Anda di halaman 1dari 24

Ikterus Neonatorum

Makalah PBL
Blok 17 Sistem Hepatobilier

Dessy
10-2010-081 , C4
11 Juni 2012
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat


Email : dez_widjaya@yahoo.com

Pendahuluan
Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan bentuk fisiologik dan patologik. Yang
bersifat patologik dikenal sebagai hiperbilirubinemia yang dapat mengakibatkan gangguan saraf
pusat atau kematian.
Sampai saat ini ikterus masih merupakan masalah pada bayi baru lahir, terjadi sekitara
25% - 50% pada bayi lahir cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada bayi lahir kurang bulan.
Sangat penting untuk mengetahui kapan ikterus timbul, kapan menghilang dan sampai bagian
tubuh mana kuning terlihat. Ketiga hal tersebut harus diketahui dengan pasti untuk
mengklasifikasikan ikterus secara benar.

Isi
Anamnesis
Riwayat keluarga suatu fenotipe klinis rekurens mungkin memberikan petujuk mengenai
ada tidaknya dan jenis penyakit hepar. Banyak penyakit herediter, seperti tirosinemia, defisiensi
antitripsin , dan hepatitis neonatus familial, muncul sejak awal masa bayi dan mungkin
menyebabkan kerusakan ireversibel atau fatal bila tidak segera dikenali dan diatasi.1
Riwayat perinatal harus meliputi data demografi dan sosial (status sosio-ekonomi, umur,
ras), penyakit medis yang dulu pernah terjadi pada anak dan keluarga, masalah-masalah
reproduktif ibu sebelumnya (kelahiran mati, prematuritas, sensistisasi golongan darah), kejadiankejadian yang terjadi pada kehamilan (pendarahan per vaginamm obat-obatan, penyakit akut,
lamanya ketuban pecah) dan uraian mengenai kelahiran (lamanya, presentasi janin, gawat janin,
demam) dan persalinan (seksio sesaria, anesthesia atau sedasi, penggunaan forsep, skor Apgar,
perlunya resusitasi).
Penilaian skor Apgar : hitung frekuensi jantung, kaji kemampuan bernapas, kaji tonus
otot, kaji kemampuan refleks, kaji warna kulit, hitung total skor yang didapat dari hasil
pengkajian, tentukan hasil penilaian ke dalam tiga kategori asfiksia, yaitu:
a. Adaptasi baik : skor 7-10
b. Adaptasi ringan sedang : skor 4-6
c. Adaptasi berat : skor 0-3
Penilaian tersebut dilakukan pada 1, 5, 10, dan 15 menit setelah bayi baru lahir.
Tabel 1. Komponen penilaian Apgar. 2

Pemeriksaan Fisik
Ikterus adalah tanda paling awal banyak penyakit hepar, yang pada masa bayi sering
merupakan sinyal bahwa penyakitnya dapat diatasi.1
Secara klinis ikterus dapat terlihat dari sklera, selaput lendir, urin pekat warna seperti teh,
letargi, hipotonus, refleks menghisap kurang, peka rangsang, tremor, kejang, tangisan
melengking, warna kulit berwarna merah tua, ketika bilirubin melebihi 5mg/dL (85 mikromol/L).
Ikterus dimulai di wajah, kemudian menyebar ke abdomen dan kemudian ke ekstremitas.3
Pada mata, apabila bayi diangkat dan dimiringkan secara perlahan ke depan dan ke
belakang, matanya sering membuka secara spontan. Manuver ini terjadi akibat refleks labirin dan
leher, usaha untuk menginspeksi mata dengan cara demikian lebih berhasil daripada dengan
paksa membuka mata.
Ikterus dapat terlewatkan secara klinis dan lebih sulit dideteksi pada bayi preterm dan
berkulit hitam/gelap. Jika terdapat pertanyaan mengenai keparahan ikterus, ukur kadar bilirubin
dan plotkan pada diagram bilirubin, sesuai dengan usia dalam jam.
Secara klinis, carilah : pucat, bukti adanya infeksi, memar, petekie, hepatosplenomegali
(pada hemolisis), dan penurunan berat badan dehidrasi.4
Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian
ikterus, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan
leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit, pergelangan kaki dan bahu
pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan.

Gambar 1. Pembagian Derajat Ikterus Menurut Kramer.


Cara pemeriksaannya adalah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar
bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata perkiraan kadar bilirubin. Cara
4

ini juga tidak menunjukkan intensitas ikterus yang tepat di dalam plasma bayi baru lahir. Nomor
urut menunjukkan arah meluasnya ikterus.

Gambar 2. Tabel Hubungan Kadar Bilirubin dengan Ikterus.3


Pemeriksaan Penunjang
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan
yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat
memperkirakan penyebabnya.5
Pengukuran bilirubin diindikasikan jika :
a. Ikterus pada usia kurang dari 24 jam.
b. Ikterus tampaknya signifikan pada pemeriksaan klinis.
Pemeriksaan lebih lanjut yang mungkin dibutuhkan (usia <3minggu) :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Bilirubin direk.
Hitung darah lengkap, hitung retikulosit, dan apusan untuk morfologi darah tepi.
Golongan darah dan tes antibody direk (direct antibody test, DAT, atau tes Coombs).
Konsentrasi G6PD.
Albumin serum.
Urinalisis untuk mengetahui zat pereduksi (galaktosemia).4
Uji
Tujuan
Bilirubin serum
Total
Mengukur keparahan ikterus
Langsung (terkonjugasi)
Spesifik hepar, mendeteksi kolestasis
Tidak langsung (tidak terkonjugasi) Mendeteksi gangguan konjugasi atau hemolisis berat
Asam empedu serum aminotransferase
AST (SGOT)
Indeks sensitif untuk cedera hepatoselular. Terutama
bermanfaat

untuk

mendeteksi

penyakit

hepar

anikterik, memantau hepatotoksisitas, respon terhadap


ALT (SGPT)

terapi, dan perjalanan penyakit. Kadar yang sangat


tinggi berkaitan dengan kerusakan hepar yang luas
5

Albumin

(nekrosis).
Indeks kapasitas hepar untuk membentuk protein

Waktu protrombin

(subakut dan kronik).


Indeks kapasitas hepar untuk membentuk protein.
Pemanjangan yang mencolok, atau resistensi terhadap

Amonia

vitamin K mengisyaratkan penyakit hepar iminens.


Bermanfaat dalam diagnosis insufisiensi hepar, indeks
toleransi protein pada gagal hepar.
Tabel 1. Uji Fungsi Hepar Standar.1

Biopsi hepar memberikan 2 jenis informasi yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain :
1. Analisis kuantitatif jaringan untuk glikogen, lemak, besi, tembaga, dan komponen lain untuk
membuktikan adanya penimbunan. Pemeriksaan spesimen untuk aktivitas enzim tertentu
mungkin mengungkapkan defek penyebab penyakit herediter pada hepar. Defek siklus urea,
penyakit penimbunan glikogen, defisiensi aldolase, penyakit penimbunan kolesterol,
gangguan fungsi lisosom, dan defek konjugasi bilirubin (sindrom Crigler-Najjar tipe I dan II)
dapat dikarakterisasi berdasarkan informasi kuantitatif yang berasal dari analisis jaringan
hepar.
2. Gambaran histologik parenkim hepar menentukan diagnosis sindrom Reye, sindrom DubinJohnson, fibrosis hepar congenital, kolestasis intrahepar, hepatitis akut dan kronik, defisiensi
antitripsin , atresia biliaris ekstrahepar, dan hepatitis neonatus (sel raksasa).
Biopsi hepar perkutis merupakan suatu prosedur yang sederhana dan aman di tangan
orang yang berpengalaman, asalkan persyaratan dipehuni dan kontraindikasi diperhatikan.
Hematokrit, hitung trombosit, waktu protrombin, dan waktu pendarahan harus diketahui sebelum
prosedur. Waktu protrombin yang lebih dari 4 detik di atas nilai kontrol, hitung trombosit yang
kurang dari 40.000/mm3, asites berat, abses subfrenik, dan lesi vaskular diseminata merupakan
kontraindikasi relatif. Apabila biopsi dianggap esensial, pasien dengan waktu protrombin yang
memanjang harus mendapat plasma beku segar sebelum dan setelah prosedur untuk mencegah
pendarahan atau menjalani biopsi hepar terbuka (bedah).1
Working Diagnosis
Ikterus neonatorum

Ikterus disebabkan hemolisis darah janin dan selanjutnya diganti menjadi darah dewasa.
Pada janin menjelang persalinan terdapat kombinasi antara darah janin dan darah dewasa yang
mampu menarik O2 dari udara dan mengeluarkan CO2 melalui paru-paru. Penghancuran darah
janin inilah yang menyebabkan terjadi ikterus yang sifatnya fisiologis. Sebagai gambaran dapat
dikemukakan bahwa kadar bilirubin indirek bayi cukup bulan sekitar 15 mg% sedangkan bayi
belum cukup bulan 10 mg%. di atas angka tersebut dianggap hiperbilirubinemia.6
Differential Diagnosis
Dokter harus secara cepat membedakan antara

hiperbilirubinemia fisiologik, yaitu

peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dan diperkirakan jinak, dan hiperbilirubinemia
nonfisiologik atau patologik, dengan bilirubin tidak terkonjugasi mencapai kadar yang sangat
tinggi atau juga terjadi peningkatan fraksi terkonjugasi. Pada keduanya diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk menentukan penyebab peningkatan kadar bilirubin dan merancang strategi
penanganan yang tepat.
Karena kapasitas bayi baru lahir untuk mengeliminasi bilirubin relatif terbatas,
peningkatan nontoksik kadar bilirubin serum sering dijumpai pada bayi sehat selama mingguminggu pertama aklimatisasi pascanatal (ikterus fisiologik) dan yang berkaitan dengan
pemberian ASI (ikterus ASI).
Bilirubin dapat tertimbun hingga mencapai kadar toksik apabila terjadi pembentukan
berlebihan pigmen akibat hemolisis yang menyebabkan jenuhnya mekanisme konjugasi bilirubin
yang masih imatur pada neonatus, atau adanya defisiensi konjugasi bilirubin herediter. 1

1. Ikterus fisiologis
Bilirubin tidak terkonjugasi secara efisien akan dibersihkan oleh plasenta. Kadar bilirubin
di dalam darah tali pusat hanya 1,5 mg/dL. Ikterus fisiologik dijumpai pada sekitar 60% bayi
aterm dan lebih dari 80% bayi prematur. Bilirubin serum mencapai kadar maksimum sebesar
6mg/dL antara hari ke-2 dan 4 pada bayi aterm, dan 10-12 mg/dL pada hari ke-5 sampai 7
pada bayi prematur.

Penyebab hiperbilirubinemia meliputi banyak faktor : neonatus memiliki massa eritrosit


lebih banyak di dalam sirkulasi, ratio berat badan, siklus hidup eritrosit pada neonatus hanya
dua pertiga dari siklus hidup eritrosit orang dewasa, dan proporsi produksi bilirubin banyak
berasal dari sumber noneritroid (pada neonatus 25% sedangkan pada orang dewasa 10-15%).
Neonatus memproduksi bilirubin sebanyak 8,5 mg/kg/hari. Sistem konjugasi bilirubin
hepatik umumnya tidak efisien hingga bayi cukup bulan berusia 3-4 hari (pada bayi prematur
5-7 hari). Kadar bilirubin dewasa baru dijumpai setelah bayi berusia 6-14 minggu. Sirkulasi
enterohepatik dapat meningkat karena berbagai alasan.
Ikterus fisiologik tidak menimbulkan kerusakan pada bayi aterm sehat. Risiko
ensefalopati hiperbilirubin meningkat pada kadar bilirubin yang lebih tinggi pada bayi
premature, atau pada neonatus dengan distress pernapasan, sepsis, asidosis metabolic,
hipoglikemia, hipoalbuminemia, ikterus hemolitik berat akibat inkompatibilitas golongan darah atau
defisiensi G-6PD.1
Pada bayi baru lahir yang mengalami ikterus fisiologis , hiperbilirubinemia menghilang pada

usia 8 hari, tanpa ada efek yang tidak diharapkan. Ikterus fisiologis tidak memerlukan
pemeriksaan laboratorium kecuali untuk menentukan kadar bilirubin serum.7
2. Breast feeding jaundice
Bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih besar kemungkinannya mengalami peningkatan
kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi dalam minggu pertama setelah lahir dibandingkan
bayi yang mendapat susu formula. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi pada bayi yang
mendapat ASI juga diketahui berlangsung lebih lama dan kadar puncaknya lebih tinggi
daripada bayi yang mendapat susu formula.
Kadar bilirubin biasanya mencapai rentang 10-20 mg/dL, mencapai puncak pada minggu
ke-2 sampai ke-3 setelah lahir. Susu dari ibu ikterogenik akan memicu ikterus pada anak
berikutnya yang mendapat ASI. Ikterus ASI timbul secara perlahan; ikterus mungkin
menghilang pada akhir minggu ketiga, atau mungkin menetap selama 2-3 bulan. Kernikterus
belum pernah dilaporkan pada ikterus ASI, mungkin karena konsentrasi puncak bilirubin
tidak terkonjugasi tercapai setelah minggu pertama setelah lahir pada bayi yang secara umum
sehat.
Diagnosis ikterus ASI memerlukan eksklusi kausa lain hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi. Bayi yang terkena tampak lincah dan tidak dijumpai sekuele. Pada kasus yang
jarang, saat konsentrasi bilirubin serum melebihi 20 mg/dL selama 3 minggu pertama,
8

penghentian menyusui selama 3-4 hari akan menurunkan secara bermakna kadar bilirubin
serum. Konsentrasi bilirubin serum dapat meningkat 1-3 mg/dL saat bayi kembali mendapat
ASI, tetapi menurun dalam 1-2 hari.
Etiologi ikterus ASI tidak diketahui. Laporan mengenai gangguan konjugasi bilirubin
oleh suatu isomer abnormal pregnandiol, atau oleh asam lemak bebas di dalam susu dari ibu
ikterogenik, belum dibuktikan. Penulis lain menduga adanya peran asam lemak bebas,
lipase, dan komponen lain ASI. Pernah dilaporkan penyerapan bilirubin tidak terkonjugasi
yang berlebihan di usus, yang mengisyaratkan bahwa suatu konstituen ASI mendorong
penyerapan bilirubin oleh usus. Komponen ASI ini mungkin adalah -glukuronidase, yang
menghidrolisis asam glukuronat dari bilirubin glukuronida sehingga terjadi pembebasan
bilirubin tidak terkonjugasi yang kemudian secara efisien diserap untuk kembali masuk ke
kompartemen intravascular.1
3. Inkompatibilitas Rh, ABO
Isoimunisasi pada ibu merupakan penyebab utama kasus penyakit hemolitik pada
neonatus. Hal ini terjadi jika ibu yang tidak memiliki antigen sel darah merah tertentu
terpajan ke antigen tersebut melalui transfusi darah atau ke janin selama kehamilan.
Penyebab tersering penyakit hemolitik pada janin-neonatus adalah inkompatibilitas golongan
darah ABO dan sensitisasi terhadap sistem Rh.
Sistem Golongan Darah ABO
Inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kausa tersering
penyakit hemolitik pada neonatus. Sekitar 20% bayi mengalami inkompatibilitas golongan
darah ABO dengan ibunya, dan 5% mengalami gejala klinis. Untungnya, inkompatibilitas
ABO hampir selalu menyebabkan penyakit yang ringan yang bermanifestasi sebagai ikterus
neonatus atau anemia, tetapi bukan eritroblastosis fetalis (hidrops imun) dan terapi umumnya
hanya berupa fototerapi.
Inkompatibilitas ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE) karena
beberapa alasan : (1) penyakit ABO lebih sering dijumpai pada bayi yang lahir pertama. (2)
penyakitnya hampir selalu ringan daripada isoimunisasi Rh dan jarang menyebabkan anemia
yang bermakna. (3) sebagian besar isoantibodi A dan B adalah immunoglobulin M, yang
tidak dapat menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin. Oleh karena itu, meskipun
dapat menyebabkan penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tidak
9

menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatric daripada obstetric. (4)
Inkompatibilitas ABO dapat mempengaruhi kehamilan mendatang, tetapi tidak seperti
penyakit Rh CDE, jarang menjadi semakin parah.
Tidak diperlukan deteksi antenatal, induksi persalinan diri, atau amniosentesis, karena
inkompatibilitas ABO tidak menyebabkan anemia janin yang parah. Akan tetapi, pada masa
neonatus diperlukan perawatan yang cermat karena dapat terjadi hiperbilirubinemia yang
membutuhkan terapi. Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus
akibat inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut : (1) ibu memiliki golongan darah O
dengan antibody anti-A dan anti-B di dalam serumnya, sedangkan janin memiliki golongan
darah A, B, atau AB. (2) ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama. (3) terdapat anemia,
retikulositosis, dan eritroblastosis dengan derajat bervariasi. Dan (4) kausa hemolisis yang
lain telah disingkirkan dengan teliti.8
Sistem Golongan Darah Rh (Rhesus)
Antigen sel darah merah CDE Rh secara klinis penting karena sebagian besar orang yang
tidak memiliki determinan antigenik utamanya, antigen D atau Rhesus, akan mengalami
imunisasi setelah satu kali terpajan. Gen CDE diwariskan tanpa bergantung pada gen
golongan darah lain serta terletak di lengan pendek kromosom 1. Seperti sebagian besar
produk gen, tidak terdapat perbedaan dalam distribusi antigen CDE dari segi jenis kelamin,
tetapi terdapat perbedaan ras yang penting. Orang Amerika asli, Inuit, dan Cina serta orang
Asia lainnya hampir semua positif-D (99%).
Sistem golongan darah rhesus mencakup lima antigen sel darah merah : c, C, D, e, dan E.
belum ada antigen d yang teridentifikasi, dan negativitas D dianggap sebagai tidak adanya
D. antigen C,c,E dan e memiliki imunogenisitas yang lebih rendah daripada antigen D,
tetapi antigen ini dapat menyebabkan eritroblastosis fetalis. Semua wanita hamil harus
diperiksa secara rutin untuk melihat ada tidaknya antigen D di eritrosit mereka dan antibodi
ireguler lain di dalam serum mereka.8
4. Sepsis neonatorum
Bayi-bayi baru lahir sangatlah rentan terhadap sepsis bacterial (infeksi sistemik dengan
kultur darah ataupun kultur sentral lainnya yang positif).
Sepsis onset-dini (<72 jam setelah kelahiran). Definisi ini berkisar dari 24 jam 6 hari,
namun paling banyak terjadi dalam 72 jam setelah kelahiran. Kondisi ini disebabkan oleh
10

pajanan vertikal ke jumlah bakteri yang tinggi selama kelahiran dan jumlah antibodi
pelindung yang sedikit. Faktor resikonya adalah preterm (kurang bulan), ketuban pecah lama
(>18 jam), demam pada ibu saat persalinan (>38 oC), korioamnionitis, atau bayi sebelumnya
yang terinfeksi.
Sepsis onset-lambat (>72 jam setelah kelahiran). Organisme biasanya didapat melalui
transmisi nosokomial dari orang ke orang. Faktor resikonya adalah preterm, penggunaan
kateter vena atau arterial atau selang trakea, antibiotik dalam jangka panjang, atau kerusakan
pada kulit akibat perekat, probe kulit dan sebagainya.
Manifestasi klinis nya adalah biasa terjadi perburukan yang tidak spesifik, apnea dan
bradikardia, gawat napas / peningkatan kebutuhan ventilasi, pemberian makan yang
lambat/muntah/distensi abdomen, demam/hipotermia/ketidakstabilan suhu, takikardia/ kolaps
/syok/koagulasi intravascular diseminata, iritabilitas/kejang, ikterus, ruam, atau berkurangnya
pergerakan anggota gerak pada tulang atau sendi.4
5. Sefalohematom
Trauma kepala dan kulit kepala dapat terjadi selama proses persalinan yang biasanya
ringan namun kadang-kadang bisa mengakibatkan cedera yang lebih serius. Kadang-kadang,
sefalohematoma terjadi ketika pembuluh darah pecah selama persalinan atau kelahiran yang
menyebabkan pendarahan ke dalam daerah antara tulang dan periosteum.
Cedera ini terjadi paling sering berhubungan dengan persalinan dengan forsep dan
ekstraksi vakum. Sefalohematoma berbatas tegas dan tidak melebar sampai batas tulang.
Sefalohematoma dapat melibatkan salah satu atau kedua tulang parietal. Tulang oksipital
lebih jarang terlibat, dan tulang frontal sangat jarang terkena. Pembengkakan biasanya
minimal atau tidak ada saat kelahiran dan bertambah ukurannya pada hari kedua atau ketiga.
Kehilangan darah biasanya tidak bermakna.
Tidak diperlukan penanganan untuk sefalohematoma tanpa komplikasi. Kebanyakan lesi
diabsorpsi dalam 2 minggu sampai 3 bulan. Lesi yang menyebabkan kehilangan darah hebat
ke daerah tersebut atau yang menyebabkan kehilangan darah hebat ke daerah tersebut atau
yang melibatkan fraktur tulang di bawahnya perlu evaluasi lebih lanjut. Hiperbilirubinemia
dapat terjadi selama resolusi hematoma ini. Infeksi lokal dapat terjadi dan harus dicurigai bila
terjadi pembengkakan mendadak yang bertambah besar.9
6. Hepatitis neonatal

11

Transmisi nya melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi (mis.semen,
saliva) , ibu-janin (transplasental atau saat kelahiran), infeksi HBV akut : kebanyakan bayi
mengalami infeksi akibat transmisi pada trimester ketiga atau mendekati saat kelahiran,
kontrak interpersonal pada jangka waktu yang lama. Transmisi inteksi HBV perinatal dapat
dicegah pada 95% kasus dengan imunisasi bayi aktif dan pasif.
Masa inkubasi adalah 1-6 bulan. Virus dapat bertahan pada cakupan suhu ruangan pada
permukaan perabotan rumah tangga selama 1 minggu atau lebih. Ibu yang positif untuk
antigen permukaan hepatitis B (HBsAG) dan antigen e hepatitis B (HBeAG) berisiko paling
tinggi mentransmisikan virus. Biasanya penyakit benigna pada neonatus meskipun
dilaporkan adanya hepatitis neonatal fulminan fatal. 10
7. Crigler-Najjar syndrome
Defisiensi absolute (tipe I) atau relatuf (tipe II) bilirubin UDP glukuronil transferase
(sindrom Crigler-Najjar) menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi yang ekstrim.
Defisiensi glukuronil transferase tipe I adalah suatu sifat resesif yang jarang yang
bermanifestasi dalam 24 jam pertama setelah lahir berupa peningkatan pesat kadar bilirubin
tidak terkonjugasi tanpa tanda hemolisis. Empedu tidak berwarna. Aktivitas konjugasi
bilirubin tidak terdeteksi dalam specimen biopsy hati dan konjugat bilirubin (bilirubin
diglukuronida) tidak dapat di serum atau empedu saat diperiksa dengan high-performance
liquid chromatography.
Defisiensi tipe II mungkin merupakan defek dominan autosom dengan penetrasi
bervariasi. Konsentrasi bilirubin serum berkisar dari normal sampai 30 mg/dL, dan awitan
ikterus sering terlambat beberapa tahun. Aktivitas bilirubin UDP glukuronil transferase hati
dapat mencapai 50% dari normal pada pasien dengan defek tipe II. Tidak seperti defisiensi
tipe I, fenobarbital mengurangi kadar bilirubin serum pada pasien defisiensi tipe II.
Sindrom Crigler-Najjar perlu dipertimbangkan pada setiap neonatus tanpa hemolisis yang
nyata dengan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam serum di atas 10 mg/dL menetap
setelah usia satu minggu. Karena pemeriksaan UDP glukuronil transferase tidak dapat
dilakukan di sebagian besar sentra, diagnosis dapat ditegakkan melalui analisis highperformance liquid chromatography (HLPC) serum pasien. tidak adanya sama sekali
konjugat bilirubin dalam serum konsisten dengan defek tipe I, sedangkan deteksi bilirubin
monoglukuronida tanpa diglukuronida mengisyaratkan tipe II.
Ensefalopati bilirubin dapat timbul pada setiap usia, termasuk dewasa, akibat peningkatan
mendadak kadar bilirubin serum yang berkaitan dengan penyakit lain. Neonatus dengan
12

defisiensi tipe I memerlukan transfuse tukar selama 10 hari pertama untuk mencegah
neurotoksisitas bilirubin. Fototerapi harus diberikan setiap malam seumur hidup untuk
mempertahankan kadar bilirubin di bawah 15 mg/dL. Tindakan pencegahan ini dapat
mengurangi risiko kerusakan ireversibel susunan saraf pusat; namun, infeksi virus misalnya
influenza atau gastroenteritis, dan situasi lain yang menyebabkan penurunan asupan kalori,
dapat memicu hiperbilirubinemia puasa yang sangat sulit dikendalikan pada defisiensi tipe
I. bahaya yang cukup besar untuk terjadinya kernikterus merupakan alasan kuat untuk
mempertimbangkan transplantasi hati secara dini. Hiperbilirubinemia akan secara permanen
dieliminasi dalam beberapa hari setelah implantasi hati baru. Di masa mendatang, mungkin
digunakan transfer hepatosit atau terapi gen untuk mengganti enzim yang hilang. Pada
defisiensi tipe II, fenobarbital (3-5 mg/kd setiap hari) dapat mempertahankan bilirubin serum
di bawah 5 mg/dL.1
Patofisiologi
Metabolisme Bilirubin
Perbedaan utama metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus adalah pada janin
melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek. metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan
sebagai berikut :
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi
daripada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin
indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna
diazo yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin. Sel parenkima hepar mempunyai cara
yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui
membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Di dalam sel bilirubin akan terikat
terutama pada ligandin (-protein Y, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada
glutation S-transferase lain dan protein Z.

13

Proses ini merupakan proses 2 arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin
dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit
dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu.
Dengan adanya sitosol hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak.
Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan memberi tempat pengikatan
yang lebih banyak untuk bilirubin.
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide
walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukuronil transferase
merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide.
Ada 2 enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide. Pertama-tama adalah uridin
difosfat glukuronide transferase (UDPG:T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin
monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglukuronide terjadi di membrane kanalikulus. Isomer bilirubin
yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung
ke dalam empedu tanpa konjugasi misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer
foto).5
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan
diekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini
tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktifitas enzim B glukuronidase yang meningkat, bilirubin direk
banyak yang tidak dirubah mennjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi
bilirubin indirek meningkat dan terabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.
5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus
Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu,
kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar
bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis.
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana
bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar
melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus

14

diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat
terbatas.
Demikian kesanggupannya untuk mengkonjungasi. Dengan demikian hampir semua
bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi
ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya.
Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi
kumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan
oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan
disertai gejala ikterus. 5
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat kekurangan
enzim glukuronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah
dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar
albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga
dapat dimengerti bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat
berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah
yang menjadi dasar pencegahan kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila
kadar bilirubin indirek mencapao 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan
bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.5

15

Gambar 3. Metabolisme Bilirubin Normal.


Manifestasi Klinis
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat
disusun sebagai berikut :
a. Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
b. Infeksi intrauterine (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri)
c. Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
a. Biasanya ikterus fisiologis
b. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini
dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5mg% / 24 jam.
c. Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
d. Polisitemia
e. Hemolisis pendarahan tertutup (pendarahan subaponeurosis, pendarahan hepar
subkapsuler dan lain-lain).
3. Ikterus yang timbul setelah 72 jam sesudah lahir
a. Sepsis
b. Hematoma sefal
c. Hepatitis neonatal
16

d. Atresia biliaris
e. Breastmilk Jaundice
f. Kelainan Metabolik5
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6PD, piruvat kinase, pendarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya
enzim glukuronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.5
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar
hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.5
Penatalaksanaan
Medika mentosa
1. Obat pengikat bilirubin
Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin ratarata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik modalitas
ini belum diteliti secara ekstensif.
2. Blokade perubahan hem menjadi bilirubin

17

Akhir-akhir ini banyak perhatian ditujukan pada modalitas terapetik yang menggunakan
strategi untuk mencegah pembentukan bilirubin. Inhibisi kompetitif hem oksigenase akan
menghambat penguraian hem. Metaloporfirin sintetik, seperti protoporfirin timah terbukti
mengambat hem oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum, dan meningkatkan ekskresi
hem yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena potensi toksisitasnya belum
diketahui, obat-obat ini belum digunakan secara klinis untuk anak.1
3. Fenobarbital (5mg/kg/hari)
Meningkatkan aktivitas glukuronil transferase.10
Non-medika mentosa
Ikterus mungkin membutuhkan penanganan dengan fototerapi atau transfusi tukar.
Perlunya penanganan dipastikan dengan mengeplot kadar bilirubin pada suatu grafik bilirubin
berdasarkan usia (jam). Kadar absolut dan pemeriksaan serial yang menunjukkan laju
peningkatan bilirubin mengidentifikasi apakah penanganan dibutuhkan dan apakah berupa
fototerapi atau transfusi tukar. Untuk bayi preterm digunakan grafik berbeda yang ambang
terapinya lebih rendah.
1. Fototerapi
Penggunaan fototerapi sesuai anjuran dokter biasanya diberikan pada neonatus dengan
kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg%, sebelum atau sesudah transfuse tukar.
Sinar biru-hijau (panjang gelombang 425-475 nm) mengubah bilirubin tak terkonjugasi
menjadi isomer yang kurang berbahaya. Sinar ini difiltrasi untuk menghilangkan sinar
ultraviolet. Di duga proses tersebut terbanyak terjadi di daerah perifer, yaitu kapiler jaringan
subkutan.
Untuk mengoptimalkan efikasi membutuhkan :
Sumber sinar efektif yang maksimal. Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih
dari 500 jam, untuk menghindarkan turunnya energy yang dihasilkan oleh lampu yang
digunakan.
Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar. Namun pada
daerah kemaluan ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk melindungi
daerah kemaluan dari cahaya fototerapi.
Koreksi jarak antara sinar dan bayi, posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh
bayi, untuk mendapatkan energi yang optimal.
Posisi bayi diubah setiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin.
Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
18

Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urin, feses dan muntah diukur, dicatat dan
dilakukan pemantauan tanda dehidrasi.
Agar fototerapi intesif, digunakan sinar overhead optimal (dua jika perlu),
dikombinasikan dengan selimut serat optik. Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin serum
berada dalam batas normal, terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin tetap atau tidak
berubah, perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak
efektif atau bayi menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, gangguan metabolisme dan lain-lain.3
Kerugian :
Menghambat keterlibatan parental keengganan menyentuh, menggendong, memberi
makan.
Mata harus ditutup untuk melindungi dari cahaya terang (kerusakan retina).
Peningkatan kehilangan air melalui evaporasi (kecuali sumber cahaya dingin).
Peningkatan suhu. Karena suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan pengaturan suhu
pada tubuh bayi.
Timbul flea bite rash di daerah muka, badan dan ekstremitas.
Frekuensi defekasi meningkat. Meningkatnya bilirubin indirek pada usus akan meningkatkan
pembentukan enzim lactase yang dapat meningkatkan peristaltic usus.
Bronze baby syndrome. Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan
segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini sementara dan tidak mempengaruhi proses
tumbuh kembang bayi. 3
2. Transfusi tukar
Transfusi darah akan dilakukan oleh dokter pada neonatus dengan kadar bilirubin indirek
sama dengan atau lebih tinggi dari 20 mg% atau secara lebih awal sebelum bilirubin mencapai
kadar 20 mg%. darah yang digunakan sebagai darah pengganti ditetapkan berdasarkan penyebab
hiperbilirubinemia. Sebelum transfusi tukar, label darah harus diperiksa apakah sudah sesuai
dengan permintaan dan tujuan transfusi tukar. Darah yang digunakan usianya harus kurang dari
72 jam. Darah yang akan dimasukkan harus dihangatkan dulu sesuai temperature ruang.
Pemanasan darah dapat merusak eritrosit yang akan menghemolisis dan menghasilkan bilirubin.
Dua jam sebelum transfuse tukar bayi dipuasakan, bila perlu dipasang pipa nasogastrik, lalu bayi
dibawa ke ruang aseptic untuk menjalani prosedur transfusi tukar.3
Darah bayi dikeluarkan (biasanya dua kali volume, yaitu 2 x 80 mL/kg) dan diganti
dengan darah yang ditransfusikan. Jika pemeriksaan bilirubin tinggi pada pemeriksaan non19

invasif, periksa dengan pengukuran laboratorium. Periksalah bahwa bayi yang ikterus diberi
makan dengan baik dan saat ini tidak mengalami dehidrasi atau sepsis.
Saat ini jarang diperlukan, kecuali untuk hemolisis berat. Transfusi tukar dapat
mengeluarkan bilirubin (penggantian volume ganda akan menurunkan kadar bilirubin plasma
sampai sekitar setengah dari kadar sebelum penggantian) , SDM terhemolisa dan tertutup
antibody (mis., penyakit Rh) menghilangkan toksin bakteri, serta mengoreksi anemia.
Hal yang harus diperhatikan selama transfuse tukar adalah : neonatus harus dipasangi alat
monitor kardio-respirasi, tekanan darah neonatus, neonatus dipuasakan bila perlu dipasang
selang nasogastrik, neonatus dipasang infus, suhu tubuh dipantau dan dijaga dalam batas normal,
dan disediakan peralatan resusitasi.
Komplikasinya mencakup thrombosis, embolus, kelebihan atau kekurangan cairan,
kelainan metabolik, infeksi, kelainan koagulasi.4,10

Gambar 4. Penghitungan Transfusi Tukar.10


Tidak perlu menghentikan ASI kecuali bila kadarnya cukup tinggi sehingga menimbulkan
kekhawatiran terjadinya kernikterus.
Komplikasi
Kernikterus
Kekhawatiran utama pada setiap pasien dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi
adalah peningkatan sampai ke kadar yang dapat merusak otak. Kernikterus atau ensefalopati
bilirubin, secara patologis ditandai dengan pewarnaan bilirubin dan nekrosisi neuron di ganglia
basal, korteks hipokampus, dan nukleus subtalamikus otak. Bagian otak lain kurang terkena.
20

Secara klinis, kernikterus pada neonatus memperlihatkan spectrum gejala dan tanda yang
cepat berkembang menjadi penyakit yang destruktif dan biasanya fatal. Letargi, tidak nafsu
makan, rigiditas, opistotonus, menangis bernada tinggi, demam, dan kejang, yang muncul secara
berurutan, adalah gejala yang sering dijumpai.
Sindrom klinis dan lesi patologik merupakan manifestasi dari suatu ensefalopati toksik
yang disebabkan oleh penumpukan berlebihan bilirubin tidak terkonjugasi di neuron. Terdapat
hubungan dosis-respons antara konsentrasi bilirubin serum total puncak dan insidensi kecacatan
neurologik pada usia 2 tahun. Pasien yang selamat sering menderita serebral palsi tipe
koreoatetoid, tuli, retardasi mental, dan defek neurologic lainnya. Gejala sisa ini juga dapat
terjadi tanpa tanda ensefalopati bilirubin pada masa neonatus. Sebaliknya, satu-satunya
konsekuensi ensefalopati bilirubin mungkin adalah bentuk ringan kerusakan otak, misalnya
berkurangnya fungsi kognitif. Bayi prematur tampaknya sangat rentan terhadap kerusakan jenis
ini; pengaruh faktor lain yang bersifat mencederai dan berkaitan dengan prematuritas sulit
dinilai.
Ensefalopati bilirubin paling besar kemungkinannya terbentuk pada hari ke-3-7 setelah
lahir, tetapi dapat juga belakangan, seperti pada sindrom Crigler-Najjar tipe I. penelitian
mengisyaratkan adanya konsentrasi bilirubin serum kritis tertentu, yang apabila dilampaui
akan menyebabkan kernikterus pada sejumlah signifikan bayi. Penelitian tersebut, yang terutama
dilakukan pada bayi aterm dengan eritroblastosis fetalis, mungkin tidak diekstrapolasi secara
lebih luas. Pada bayi-bayi ini, konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi sebesar 20 mg/dL atau
lebih selama minggu pertama setelah lahir umumnya diterima sebagai indikasi untuk transfusi
tukar.
Konsentrasi bilirubin serum kritis belum ditetapkan untuk bayi aterm tanpa penyakit
kemolitik atau untuk bayi premature. Masih diragukan apakah kadar bilirubin serum tertentu
dapat digunakan untuk memperkirakan terjadinya kerusakan otak terkait bilirubin dalam
kaitannya dengan usia gestasi atau berat lahir. Variable lain yang berkaitan dengan kondisi klinis
tiap-tiap pasien mungkins sama atau bahkan lebih penting dalam pathogenesis kernikterus. Pada
bayi berat lahir rendah, kemunduran keadaan klinis mungkin merupakan tanda ensefalopati
bilirubin dini atau tidak diharapkan yang memerlukan terapi segera walaupun konsentrasi
bilirubin serum masih relatif rendah. 1

21

Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui
sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak
setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya
memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang,
spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis
disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan
hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan
berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta
ketajaman pendengarannya.
Pencegahan
Cara-cara mencegah peningkatan kadar bilirubin dalam darah / mengatasi hiperbilirubinemia :
1. Mempercepat proses konjugasi / meningkatkan kemampuan kinerja enzim yang terlibat
dalam pengolahan pigmen empedu (bilirubin).
2. Mengupayakan perubahan bilirubin tidak larut dalam air menjadi larut dalam air, agar
memudahkan proses pengeluaran (ekskresi) dengan cara pengobatan sinar (foto terapi).
3. Membuang bilirubin dengan cara transfusi tukar.
4. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi.
Epidemiologi
Sekitar 1 dari setiap 200 bayi yang mendapat ASI mendapat hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi yang berkepanjangan. 1
Mereka yang berasal dari Korea, Cina, serta Jepang dan Indian Amerika memiliki kadar
bilirubin yang lebih tinggi. 10
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami
ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75%
bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
22

Di Indonesia, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi
cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal
(8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.11

Kesimpulan
Ikterus pada bayi baru lahir merupakan hal yang normal terjadi. Namun harus secara
cepat dibedakan antara hiperbilirubinemia fisiologik, yaitu peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dan diperkirakan jinak, dan hiperbilirubinemia patologik, dengan bilirubin tidak
terkonjugasi mencapai kadar yang sangat tinggi atau juga terjadi peningkatan fraksi terkonjugasi.
Pada keduanya diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan penyebab peningkatan
kadar bilirubin dan merancang strategi penanganan yang tepat.
Bilirubin dapat tertimbun hingga mencapai kadar toksik apabila terjadi pembentukan
berlebihan pigmen akibat hemolisis yang menyebabkan jenuhnya mekanisme konjugasi bilirubin
yang masih imatur pada neonatus, atau adanya defisiensi konjugasi bilirubin herediter.
Bilirubin yang unconjugated harus secepatnya diturunkan kadarnya karena dapat beredar
melalui darah ke otak sehingga terjadi komplikasi yang dikenal kernikterus yang dapat membuat
bayi mengalami gangguan neurologik.

23

Daftar Pustaka
1. Susi N, Syamsi RM, Sikumbang TMN.Buku ajar pediatri Rudolph. Ed.20, Vol.2.Jakarta;
EGC;2007.h.1246-52.
2. Hidayat AAA. Asuhan neonatus, bayi dan balita. Jakarta;EGC;2009.h.18.
3. Surasmi A, Handayani S, Kusuma HN.Perawatan bayi risiko tinggi.Jakarta;EGC;2003.h.58-68.

4. Lissauer T, Fanaroff AA. At a glance neonatologi. Jakarta;Erlangga;2006.h.96-101.


5. Agusman S.Ilmu kesehatan anak. Jakarta;FKUI;2005.h.1101-25.
6. Manuaba IBG.Ilmu kebidanan, penyakit kandungan & keluarga berencana untuk pendidikan
bidan.Jakarta;EGC;2008.h.325-6.
7. Schwartz MW. Pediatri. Jakarta;EGC;2005.h.474-5.
8. Leveno KJ, Cunningham FG, Gant NF. Obstetri Williams. Ed.21. Jakarta;EGC;2009.h.307-11.
9. Wong DL, Eaton MH, Wilson D, Winkelstein ML. Buku ajar keperawatan pediatric. Vol.1. Ed.6.
Jakarta;EGC;2009.h.208.
10. Haws PS. Asuhan neonatus. Jakarta;EGC;2008.h.138-40.
11. http://www.smallcrab.com/anak-anak/535-mengenal-ikterus-neonatorum

24

Anda mungkin juga menyukai