Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Waduk Ir. H. Djuanda atau Waduk Jatiluhur merupakan suatu perairan umum yang
luasnya 8300 ha, dengan kedalaman maksimum 90 m, dan fluktuasi permukaan air tahunan
kurang lebih 25 m. Waduk ini merupakan hasil pembendungan sungai Citarum yang
berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik, tempat kegiatan kolam perikanan, pariwisata,
olahraga air, pengendali banjir, walaupun fungsi utama dari waduk ini adalah sebagai
irigasi (Ekawati et al. 2010).
Bendungan Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) dibangun pada tahun 1957 sampai dengan
1967. Bendungan ini dibangun berdasarkan gagasan dari Prof. Dr. Ir. WJ. Van
Blommestein pada tahun 1948. Gagasan tersebut, kemudian dikaji ulang sebanyak dua kali
pada tahun 1955 dan 1960 oleh Ir. Van Schravendijk dan Abdullah Angudi. Bendungan Ir.
H. Djuanda yang terletak hanya sekitar 80 km tenggara Jakarta adalah bendungan
serbaguna yang di antaranya berfungsi sebagai penyediaan air minum, irigasi, pembangkit
listrik, rekreasi , peternakan ikan dan pengendalian banjir. Terletak pada ketinggian 120
mdpl. Berdasarkan koordinat geografis,bendungan ini berada pada 631LS dan
10723BT. Luas bendungan ini adalah 8.300 ha dengan kapasitas waduk mencapai 3
milyar m3. Bendungan tersebut terdiri dari beberapa bendungan, yaitu Tower spillway yang
berbentuk morning glory atau sering disebut berbentuk bunga kecubung, bendungan
utama, pasir gombong saddle dam, Ciganea saddle dam, dan ubrug saddle dam (Sidauruk
et al. 2006).
Kunang-kunang merupakan kumbang suku Lampyridae yang dapat berpendar
memancarkan cahaya dari dalam tubuhnya. Kunang-kunang memiliki organ dan sel khusus
(Photocytes) yang mampu menghasilkan cahaya pada segmen ke-5 pada betina, dan
segmen ke-5 dan ke-6 pada jantan, larva dan telur juga dilaporkan menghasilkan cahaya
(Walker 2001).
Ciri khas dari kunang-kunang dibanding dengan serangga lain adalah cahaya yang
dihasilkan dari abdomennya. Fungsi cahaya ini adalah untuk mencari pasangan atau kawin,
sebagai peringatan adanya bahaya, dan melindunginya dari predator. Masing-masing
spesies kunang-kunang memiliki cahaya yang berbeda yang membedakan mereka
berkomunikasi satu sama lainnya. Warna cahaya yang dihasilkan kuning, oranye, kehijauan
tergantung spesiesnya (Cannings et al. 2010).

Kunang-kunang merupakan sejenis kumbang yang dapat berpendar memancarkan


cahaya. Kunang-kunang betina bercahaya pada malam hari untuk memikat kunang-kunang
jantan di kegelapan. Proses yang menarik pada makhluk hidup yang mengubah energi
kimia menjadi energi cahaya disebut bioluminisensi. Setiap makhluk hidup mampu
menghasilkan luminisensi untuk tujuan atau fungsi yang berbeda-beda (Barua et al. 2009)
Kunang-kunang dewasa, secara umum ditemui pada habitat yang sama dengan
larvanya. Kebanyakan spesies kunang-kunang ditemukan di daerah dengan kelembaban
tinggi dan hangat seperti kolam, sungai, payau, lembah, parit, dan padang rumput, yang
kemungkinan kelembaban di daerah tersebut lebih lama dibanding daerah sekitarnya.
Meskipun demikian beberapa spesies ditemukan di daerah yang sangat gersang dan kering.
Di daerah gersang ini, kunang-kunang dewasa dan larva dapat dengan mudah ditemukan
setelah hujan (Branham 2003).
Populasi kunang-kunang semakin hari semakin berkurang jumlahnya. Beberapa
waktu yang lalu kunang-kunang sangat mudah ditemukan terutama di desa-desa tetapi
sekarang sangat jarang dapat dilihat. Untuk beberapa tempat, menurut laporan dari
penduduk desa telah terjadi penurunan populasi kunang-kunang yang sangat tajam, bahkan
tidak pernah lagi terlihat keberadaannya. Kemungkinan kehadirannya sudah terancam
karena pembukaan lahan dan hutan (Sari et al. 2014).
Tujuan studi lapang ini adalah sebagai pelatihan kerja di lapangan juga untuk
mengetahui keragaman kunang-kunang di kawasan Waduk Jatiluhur, dan sebagai
pembanding

digunakan sampel kunang-kunang yang berasal dari area persawahan

belakang Giant Bubulak, Dramaga, Bogor.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Lokasi
Studi lapang dilaksanakan pada 28-30 Juli 2015 di Waduk Jatiluhur. Pengambilan
sampel kunang-kunang dilakukan di dekat perkampungan warga sekitar PLTA Waduk
Jatiluhur (Gambar 1) pada pukul 18.30-19.00 WIB. Pengambilan sampel kunang-kunang
kedua dilakukan pada 6 Agustus 2015 di area persawahan belakang Giant Bubulak,
Dramaga (Gambar 2) pukul 22.00-22.30 WIB.

Lokasi penangkapan kunangkunang dekat perkampungan


warga sekitar PLTA

Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel kunang-kunang


di Waduk Jatiluhur

Lokasi penangkapan
kunang-kunang di area
persawahan

Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel kunang-kunang


di Dramaga
Pengambilan Sampel Kunang-Kunang
Kunang-kunang ditangkap dengan menggunakan tangan dan insect net. Kunangkunang yang telah ditangkap dimasukkan ke dalam botol film kemudian diberi label. Alatalat yang digunakan untuk menangkap kunang-kunang disajikan pada Gambar 3.
Keterangan:
(a)
(b)
(c)

Insect net
Botol film
Label
(a)

(b)

(c)
Gambar 3 Alat-alat yang digunakan untuk mennangkap kunang-kunang
Pengamatan Morfologi Kunang-Kunang
Pengamatan morfologi dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari setiap bagian
tubuh dan membedakan jenis kelamin kunang-kunang. Bagian tubuh yang diamati meliputi
bagian dorsal, yaitu kepala, pronotum, dan sayap, serta bagian ventral, yaitu antena, mulut,
tungkai, dan abdomen. Bagian-bagian tersebut dipotret dan diukur dengan menggunakan

aplikasi yang ada pada

alat optilab. Alat dan bahan yang digunakan

dalam

morfologi kunang-kunang disajikan pada

pengamatan

Gambar 4.

(a)

(b)

(d)
Keterangan :

(e)
(a) Cawan petri
(b) Pinset
(c) Optilab

(c)

(f)
(d) Alkohol 70%
(e) Mikroskop Stereo
(f) Lampu belajar

Gambar 4 Alat dan bahan yang digunakan untuk mengamati morfologi kunang-kunang

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kunang-kunang didapatkan di dua lokasi yang berbeda. Berikut adalah tabel
mengenai jumlah kunang-kunang yang tertangkap dari setiap lokasi.
Tabel 1 Jumlah kunang-kunang yang tertangkap
Lokasi penangkapan

Jumlah (sampel)

Lokasi 1 (Jatiluhur)
Lokasi 2 (Dramaga, pembanding)

7
4

Lokasi 1 berada di dekat perkampungan warga sekitar PLTA Waduk Jatiluhur.


Kunang-kunang yang tertangkap dilokasi 1 berjumlah tujuh sampel. Lokasi 2 diambil
sebagai pembanding yaitu di area persawahan belakang Giant Dramaga tertangkap kunangkunang berjumlah 4 sampel. Kedua lokasi tersebut merupakan habitat yang lembab dan
berair. Hal tersebut sesuai dengan habitat kunang-kunang yang dapat ditemukan didaerah
lembab dan becek, seperti di pematang sawah, tepian kolam, selokan atau sungai
(Noerdjito 1983).
Kunang-kunang yang berada di dekat perkampungan warga sekitar PLTA Waduk
Jatiluhur memiliki ciri-ciri morfologi yang hampir sama dengan kunang-kunang yang
berada di daerah Dramaga. Perbandingan ciri-ciri morfologi kunang-kunang yang
tertangkap dapat dilihat dalam Tabel 2.
Kunang-kunang yang didapatkan dekat perkampungan warga sekitar PLTA Waduk
Jatiluhur mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di Dramaga
dengan panjang tubuh berkisar 10,75 mm. Kunang-kunang yang ditemukan di kedua lokasi
memiliki jumlah segmen antena yang sama yaitu 11 segmen. Sayap dan pronotum pada
kunang-kunang yang ditemukan di kedua lokasi juga memiliki warna yang serupa yaitu
pada sayap berwarna kuning bergaris hitam dan pronotum memiliki bercak hitam. Selain
itu, segmen abdomen pada kunang-kunang yang ditemukan memiliki jumlah yang sama
yaitu 7 segmen serta pada mulut terdapat sungut. Ukuran tubuh dan bentuk kepala pada
kunang-kunang dari lokasi 1 dan 2 memiliki bentuk yang sama yaitu terlihat jelas pada
bagian ventral tubuhnya. Bagian tubuh kunang-kunang (Luciola) yang ditemukan di daerah
perkampungan sekitar PLTA Waduk Jatiluhur disajikan dalam Gambar 5.
Tabel 2 Ciri morfologi kunang-kunang di kedua lokasi
6

No
1
2
3
4
5
6
7

Karakteristik yang di amati


Ukuran tubuh (mm)
Jumlah segmen antena
Warna pronotum
Bentuk kepala
Warna sayap
Jumlah segmen abdomen
Bentuk mulut

(a)

Lokasi 1
10,75 mm
11
Terlihat bercak hitam
Tertutup dan besar
Kuning bergaris hitam
7
Memiliki sungut

(b)

Lokasi 2
11,83 mm
11
Terlihat bercak hitam
Terlihat dan kecil
Kuning bergaris hitam
7
Memiliki sungut

(c)
Sayap
luar

(d)

sayap
dalam

(e)
(f)

(g)
Keterangan: (a) ventral
(b) dorsal

(h)
(d) mulut
(e) pronotum

(i)
(g) sayap dalam
(h) tungkai

(c) antena

(f) sayap luar

(i) abdomen

Gambar 5 Bagian tubuh kunang-kunang waduk Jatiluhur


Kunang-kunang yang berada di daerah Dramaga memiliki struktur morfologi yang
sama dengan kunang-kunang didarah perkampungan Waduk Jatiluhur. Bagian tubuh
kunang-kunang yang ditemukan di daerah Dramaga disajikan dalam Gambar 6.

Sayap
luar

(a)

(b)

(c)
(d)

sayap
dalam

(e)

(f)

(g)
Keterangan: (a) ventral
(b) dorsal
(c) antena

(h)
(d) mulut
(e) pronotum
(f) sayap luar

(i)
(g) sayap dalam
(h) tungkai
(i) abdomen

Gambar 6 Bagian tubuh kunang-kunang Dramaga


Kunang-kunang yang berada di lokasi 1 dan 2 hanya diketahui genusnya saja yaitu
Luciola . Luciola termasuk dalam subfamili Luciolinae. Ciri-ciri dari subfamili Luciolinae
yaitu memiliki bentuk tubuh pipih memanjang, terlihat cembung, bagaian dorsal tubug
ditumbuhi rambut-rambut halus, duri-duri atau setae kecil dengan panjang tubuh 4-18 mm.
Bagian sayap didorsal memiliki dua pasang sayang yaitu sayap bagian luar yang lebih
keras dan sayap bagian dalam yang seperti membran tipis. Bagian ventral terlihat kepala,
bentuk mulut, abdomen, bentuk mulut dengan sungut 11 segmen dengan panjang kurang
dari atau bisa mencapai pertengahan prothoraks, serta tiga pasang tungkai yaitu terdiri atas
femur, tibia, dan tarsus. Mata terdiri dari mata majemuk (faset) dengan ommatidium tipe
exocone, tanpa mata tunggal (ocelli), diameter horizontal mata dua kali dari diameter
vertikal mata. Tipe antena yaitu filiforms atau clavate. Abdomen dengan ventrit abdominal
5-6 ruas. Tergit dan sternit ke-7 dipisahkan oleh sutura (Lawrence et al 1991).
Klasifikasi Luciola yang berada di kedua lokasi (Thacharoen et al. 2007):
Kerajaan

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Coleoptera

Famili

: Lampyridae

Genus

: Luciola
Luciola mempunyai bercak hitam pada pronotum dan di ujung sayap luar dekat

abdomen. Bagian kepala terdapat sungut atau antena dengan 11 segmen. Abdomen
mempunyai 7 segmen diantaranya segmen 1-3 berwarna kecoklatan, segmen 4-5 berwarna
kuning terang dan dua segmen terakhir yaitu segmen 6-7 berwarna putih atau bening yang
biasa digunakan untuk memancarkan cahaya. Ciri tersebut ditemukan pada kunang-kunang
jantan. Kunang-kunang betina pada genus Luciola memiliki segmen yang sama dengan
jantan yaitu 7 segmen . Namun, ukuran tubuh betina lebih besar daripada jantan serta yang
memancarkan cahaya terdapat pada segmen ke-5 sedangkan pada jantan memancarkan
cahaya pada segmen ke-5 dan ke-6. Genus Luciola terutama pada fase larva sebagian besar
berada di disekitar perairan dan banyak tersebar didaerah Asia (Jch 2003).
Siklus hidup kunang-kunang berawal dari telur lalu berubah menjadi larva
kemudian menjadi pupa dan tumbuh menjadi dewasa. Betina akan meletakan telur sekitar

seratus butir atau lebih di tanah atau didasar pohon. Telur akan menetas dalam 2-4 minggu.
Larva kunang-kunang ditemukan di kayu-kayu yang telah membusuk atau serasah hutan
atau di daerah lembab ditepi sungai dan kolam pada malam hari. Larva bersifat karnifora,
memakan serangga lain, siput dan slug. Larva akan hidup setara satu atau dua tahun dan
kecepatan berenang larva tersebut lebih kurang 0,9 m/jam. Sekitar 1-2 minggu terakhir
dalam masa larva, larva akan berubah menjadi pupa.
Tahap selanjutnya pupa kemudian berubah menjadi
kunang-kunang dewasa yang berlangsung selama 10
hari (Sari et al. 2014)
Organ cahaya kunang-kunang terletak pada
permukaan ventral abdomen. Organ cahaya pada
kunang-kunang jantan terletak pada segmen ke-5 dan
ke-6, sedangkan pada kunang-kunang betina, organ cahaya terletak pada satu segmen saja
yaitu segmen ke-5 (Gambar 7).
Keterangan:
(a) jantan
(b) betina

(a)

(b)

Gambar 7 Organ penghasil cahaya pada kunang-kunang Luciola


Kunang-kunang mampu
enzim

memancarkan cahaya sendiri karena disebabkan oleh

luciferase yang mengkatalis senyawa luciferin. Reaksi kimia melibatkan tiga

komponen utama, yakni luciferin (substrat), luciferase (enzim) dan molekul oksigen.
Luciferin merupakan substrat yang meelawan suhu panas dan menghasilkan cahaya
sedangkan luciferase merupakan sebuah enzim yang mengkatalis dan oksigen sebagai
bahan bakar (Gajendra et al. 2002). Luciferin diaktifkan oleh ATP dengan bantuan
magnesium dan enzim luciferase untuk memproduksi adenylluciferin. Adenylluciferin
mengalami oksidasi dibantu dengan peroksida organik kemudian seluruhnya meluruh

10

secara spontan menjadi adenyloxyluciferin yang berenergi rendah yang dapat


memproduksi cahaya. Energi rendah dari adenyloxyluciferin menghasilkan penghambat
bagi reaksi selanjutnya menjadi luciferase dan pyrophosphate. Organ cahaya merangsang
saraf yang dilakukan oleh asetilkolin dan pada bagian akhir saraf bereaksi dengan ATP dan
koenzim untuk menghasilkan pirofosfat kemudian berdifusi ke butiran fagosit dan
merangsang produksi cahaya dengan menghilangkan penghambat luciferase. Luciferase
dalam reaksi tersebut mengalami eksitasi dan kembali ke keadaan dasar sambil
memancarkan cahaya. Keadaan ini merupakan proses fisika yang melibatkan transport
elektron dimana elektron pindah dari keadaan dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi dan
kemudian kembali kekeadaan dasar yang disertai pancaran cahaya. Pancaran cahaya yang
dihasilkan oleh organisme bioluminisensi ini merupakan energi dingin, karena hampir 90%
energi yang dihasilkan dari reaksi luminisensi diubah menjadi energi cahaya (Gilmour
1961).

SIMPULAN
Kunang-kunang masih ditemukan di kawasan Waduk Jatiluhur dan Dramaga.
Morfologi kunang-kunang dikawasan Waduk Jatiluhur mirip dengan morfologi kunangkunang daerah Dramaga. Kunang-kunang yang ditemukan belum dapat ditentukan nama
spesiesnya dan kemungkinan adalah dari genus Luciola dari subfamili Luciolinae.
Perbedaan kunang-kunang jantan dan betina terletak pada organ berpendar penghasil
cahaya dan ukuran tubuh.

11

DAFTAR PUSTAKA
Barua, Gohain A, Hazarika S, Saikia NM, Baruah GD. 2009. Bioluminescence Emission of
A Firefly Luciola praeusta Kieswetter 1874 (Coleoptera: Lampyridae: Luciolinae).
India (IN): Gauhati University.
Branham MA, Wenzel JW. 2003. The origin of Photic behavior and the evolution of sexual
communication in fireflies (Coleoptera: Elateroidea). Cladistics. 19(1): 1-22.
Cunnings RA., Branham MA, McVickar RH. 2010. The light-producing fireflies
(Coleoptera: Lampyridae) of British Columbia. Journal of The Entomological
Society of British Columbia. 107: 33-41.
Ekawati D, Astuty S, Dhahiyat Y. 2010. Studi kebiasaan makan nilem (Ostechilus hasselti
C.V.) yang dipelihara pada karamba jaring apung di Waduk Jatiluhur[skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

12

Gajendra, Babu, Kannan M. 2002. Lightning Bugs. India (IN): Tamil Nadu Agricultural
University Coimbatore.
Gilmour D.1961. The Biochemistry of Insects. New York (US): Academic Press.
Jch MA, Ji L. 2003. Zoologisch Botanische Gesellschaft in sterreich and wiener
Coleopterologenverein. Water Beetles of China. 3(1): 539562.
Lawrence JE, Britton EB. 1991. Coleoptera In The Insects of Australia 2nd edition.
Australia (AU): Melbourne University Press.
Noerdjito WA, Rochandi PA. 1983. Kunang-kunang. Fauna Indonesia. 1(2): 14-15.
Sari M, Ratnawulan, Gusnedi. 2014. Karakteristik fisis pemancaran cahaya kuinangkunang terbang (Pteroptyx tener). Pillar of Physic. 1: 113-120.
Sidauruk P, Alip, Pratikno B. 2006. Penelitian pola stratifikasi air waduk Jatiluhur dengan
menggunakan teknik perunut isotop alam. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan
Radiasi. 2(2): 1-12.
Thancharoen A, Ballantyne LA, Branham MA, Jeng ML. 2007. Description of Luciola
aquatilis sp. nov., a new aqualitic firefly (Coleoptera: Lampryridae: Luciolinae)
from Thailand. Zootaxa. 1611: 55-62.
Walker SM. 2001. Fireflies. Minneapolis (US): Lerner Publications Company.

13

Anda mungkin juga menyukai