Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika
Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit
dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala tersebut (Fauzi, 2002).
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera
kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di
bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi
terhadap cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer and Bare, 2002).
Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik
maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala
memegang

peranan penting

terutama

dalam pencegahan

komplikasi.

Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdaraham. Cedera kepala


berperan pada hamper separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan
dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan mordibitas dan
mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderia semakin memburuk dan berkurangnya
pemilihan fungsi (Fauzi, 2002).
B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Agar penulis mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
cidera kepala, secara benar, tepat dan sesuai dengan standart keperawatan
secara professional.

2. Tujuan khusus
a. Mengetahui prinsip implementasi asuhan keperawatan pada pasien
dengan cidera kepala.
b. Dapat mengevaluasi hasil akhir asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala .

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan,
serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma
yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany,
1996).
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi
yaitu cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 15, Cidera kepala derajat
sedang, bila GCS : 9 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama
dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh
karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua
mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka
reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan
traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.
Prinsip - Prinsip pada Trauma Kepala

Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya


elastisitas untuk mengatasi adanya pukulan.

Bila daya/toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur.

Berat/ringannya cedera tergantung pada :


1. Lokasi yang terpengaruh :

Cedera kulit.

Cedera jaringan tulang.

Cedera jaringan otak.

2. Keadaan kepala saat terjadi benturan.

Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)

TIK dipertahankan oleh 3 komponen :


1. Volume darah /Pembuluh darah ( 75 - 150 ml).
2. Volume Jaringan Otak (. 1200 - 1400 ml).
3. Volume LCS ( 75 - 150 ml).

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS):


1. Cedera Kepala Ringan

GCS 13 15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30


menit.

Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2. Cedera kepala Sedang

GCS 9 12

Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang


dari 24 jam.

Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3. Cedera Kepala Berat

GCS 3 8

Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

B. ETIOLOGI
1. Kecelakaan
2. Jatuh
3. Trauma akibat persalinan

C. PATOFISIOLOGI
Cidera Kepala

TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi

Hypoxemia
Kelainan Metabolisme

Cidera Otak Primer

Cidera Otak Sekunder

Kontusio
Laserasi

Kerusakan Sel Otak

Gangguan Autoregulasi

Rangsangan Simpatis

Stress

Aliran Darah Keotak

Tahanan Vaskuler

Katekolamin

Sistemik & TD
O2 Ggan Metabolisme

Sekresi Asam Lambung

Tek. Pemb.Darah

Mual, Muntah

Pulmonal
Asam Laktat

Tek. Hidrostatik

Oedem Otak

Kebocoran Cairan Kapiler

Ggan Perfusi Jaringan

Oedema Paru Cardiac Out Put

Asupan Nutrisi Kurang

Cerebral
Difusi O2 Terhambat
Gangguan
Hiperkapnea

Pola

Ggan Perfusi Jaringan

Napas

Hipoksemia,

Hubungan Cedera Kepala Terhadap Munculnya Masalah Keperawatan


Cedera Kepala Primer
-Komotio, Kontutio,
Laserasi Cerebral

Cedera Kepala Sekunder


-Hipotensi, Infeksi General,
Syok, Hipertermi, Hipotermi,
Hipoglikemi

Gangguan vaskuler serebral dan produksi


prostaglanding dan peningkatan TIK

Nyeri
Intracerebral

Kerusakan /
Penekanan Sel Otak
Local / Difus

Gangguan
kesadaran
Penurunan GCS

Gangguan Seluruh
Kebutuhan Dasar
(Oksigenasi, Makan,
Minum, Kebersihan
Diri, Rasa Aman,
Gerak, Aktivitas Dll

Dampak Langsung

Dampak Tidak Langsung

Komotio Cerebri
Kontutio Cerebri
Lateratio Cerebri

Penurunan ADO2, VO2,


CO2,
Peningkatan Katekolamin,
Peningkatan Asam Laktat

Edema Cerebri

Gangguan Sel Glia /


Gangguan Polarisasi

Kejang

Resiko Trauma

D. Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :


1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi )
yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
a. Gegar kepala ringan
b. Memar otak
c. Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
a. Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
b. Hipotensi sistemik
c. Hipoksia
d. Hiperkapnea
e. Udema otak
f. Komplikasi pernapasan
g. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
Respon biologik
E. Gejala :
1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat.
2. Muntah proyektil.
3. Papil edema.
4. Kesadaran makin menurun.
5. Perubahan tipe kesadaran.
6. Tekanan darah menurun, bradikardia.
7. An isokor.
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.
F. Tipe / macam Trauma kepala antara lain :
1. Trauma kepala terbuka.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam
jaringan otak dan melukai :

Merobek duramater -----LCS merembes.

Saraf otak

Jaringan otak.

Gejala fraktur basis :

Battle sign.

Hemotympanum.

Periorbital echymosis.

Rhinorrhoe.

Orthorrhoe.

Brill hematom.

2. Trauma kepala tertutup


a) Komosio
Cidera kepala ringan
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.
Tanpa kerusakan otak permanen.
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
Disorientasi sementara.
Tidak ada gejala sisa.
MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital.
Tidak ada terapi khusus.
Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap,
duduk --- berdiri -- pulang.
Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet
cukup.
b) Kontosio.

Ada memar otak.

Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan.

Gejala :
-

Gangguan kesadaran lebih lama.

Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh,


konvulsi.

c)

Gejala TIK meningkat.

Amnesia retrograd lebih nyata.

Hematom epidural.
Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
Lokasi tersering temporal dan frontal.
Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
Katagori talk and die.
Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
Penurunan

kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid

(beberapa menit - beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat,
reflek patologik positip.
d) Hematom subdural.

Perdarahan antara duramater dan arachnoid.

Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.

Akut :
-

Gejala 24 - 48 jam.

Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.

PTIK meningkat.

Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil


lambat.

Sub Akut :
-

Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala


TIK meningkat --- kesadaran menurun.

e)

Kronis :
-

Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.

Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.

Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

Hematom intrakranial.
Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih.
Selalu diikuti oleh kontosio.

Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi deselerasi mendadak.


Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema
lokal.
G. Pengaruh Trauma Kepala :

Sistem pernapasan

Sistem kardiovaskuler.

Sistem Metabolisme.

Sistem Pernapasan :
Karena adanya kompresi langsung pada batang otak ---- gejala pernapasan
abnormal :

Chyne stokes.

Hiperventilasi.

Apneu.

Sistem Kardivaskuler :

Trauma kepala --- perubahan fungsi jantung : kontraksi, edema paru, tek.
Vaskuler.

Perubahan saraf otonoom pada fungsi ventrikel :


-

Disritmia.

Fibrilasi.

Takikardia.

Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis --- terjadi penurunan


kontraktilitas ventrikel. ---- curah jantung menurun --- menigkatkan
tahanan ventrikel kiri --- edema paru.

Sistem Metabolisme :

Trauma kepala --- cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya
sejumlah nitrogen.

Dalam keadaan stress fisiologis.

Hilang nitrogen meningkat ------------ respon metabolik terhadap trauma.


Trauma

Tubuh perlu energi untuk perbaikan

Nutrisi berkurang
Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama.
Pengaruh Pada G.I Tract. :
3 hari pasca trauma --- respon tubuh merangsang hipotalamus dan stimulus vagal.
Lambung hiperacidi
Hipotalamus ------ hipofisis anterior
Adrenal
Steroid
Peningkatan sekresi asam lambung
Hiperacidi
Trauma
Stress

Perdarahan lambung

Katekolamin meningkat.

H. Mekanisme Cedera Kepala


Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada
kepala manusia maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi
menjadi dua:
(1) Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja
lambat, lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang
terjadi tetapi kerusakan yang terjadi sangat berat mulai dari cidera pada
kulit kepala sampai pada kerusakan tulang kepala, jaringan dan pembuluh
darah otak. (Bajamal A.H , 1999).
(2) Dynamic loading
Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 50
milidetik). Gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (impact
injury) ataupun gaya tersebut bekerja tidak langsung (accelerateddecelerated injury). Mekanisme cidera kepala dynamic loading ini paling
sering terjadi (Bajamal A.H , 1999).
a. Impact Injury
Gaya langsung bekerja pada kepala. Gaya yang terjadi akan
diteruskan kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap
sebagian dan sebagian yang lain akan diteruskan, sedangkan jika
mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali. Tetapi gaya
impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat
dari impact injury akan menimbulkan lesi :
Pada cidera kulit kepala (SCALP) meliputi Vulnus apertum,
Excoriasi, Hematom subcutan, Subgalea, Subperiosteum. Pada tulang
atap kepala meliputi Fraktur linier, Fraktur distase, Fraktur steallete,
Fraktur depresi. Fraktur basis cranii meliputi Hematom intracranial,
Hematom epidural, Hematom subdural, Hematom intraserebral,
Hematom intrakranial. Kontusio serebri terdiri dari Contra coup
kontusio, Coup kontusio. Lesi difuse intrakranial, Laserasi serebri yang
meliputi Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).

b. Lesi akselerasi deselerasi


Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian
tubuh yang lain tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya
perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi
dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi
gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dahulu
sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga pada saat
tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai bergerak dan
oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan
terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut
akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa Hematom subdural, Hematom
intraserebral, Hematom intraventrikel, Contra coup kontusio. Selain itu
gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya terikan ataupun
robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa Komosio serebri,
Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).
Cidera Otak Primer
Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala
baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera otak
primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak
mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera
sekunder (Bajamal A.H, Darmadipura : 1993).
1. Cidera pada SCALP
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah
melindungi jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan
diteruskan melewati jaringan otak. Cidera pada scalp dapat berupa Excoriasi,
Vulnus, Hematom subcutan, Hematom subgaleal, Hematom subperiosteal.
Pada excoriasi dapat dilakukan wound toilet. Sedangkan pada vulnus apertum
harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea aponeurotika maka
galea harus dijahit (untuk menghindari dead space sedangkan pada subcutan
mengandung banyak pembuluh darah demikian juga rambut banyak
mengandung kuman sehingga adanya hematom dan kuman menyebabkan

terjadinya infeksi). Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat


diabsorbsi dalam jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit
dengan benang noabsorbsable tetapi dengan simpul terbalik untuk menghindari
terjadinya druck necrosis), pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan
kotor hendaknya diberikan anti tetanus untuk mencegah terjadinya tetanus
yang akan berakibat sangat fatal. Pada kasus dengan hematom subcutaan
sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan bebat tekan kemudian berikan
anlgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan
punksi steril. Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena pendarahan
begitu banyak dapat terjadi shock hipopolemik (Gennerellita ,1996).
2. Fraktur linier kalvaria
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja
pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala
bending dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga
intrakranial, tetapi tidak ada terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya
yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka kemungkinan
terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari penelitian di RS Dr.
Soetomo Surabaya didaptkan 88% epidural hematom disertai dengan fraktur
linier kalvaria. Jika gambar fraktur tersebut kesegala arah disebut Steallete
fracture, jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur (Bajamal AH,
1999).
3. Fraktur Depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur
masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut,
berdasarkan pernah tidaknya fragmen berhubungan dengan udara luar maka
fraktur depresi dibagi 2 yaitu fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi
terbuka (Bajamal AH, 1999).
(1) Fraktur Depresi Tertutup
Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan
operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan gangguan neurologis,
misal kejang-kejang hemiparese/plegi, penurunan kesadaran. Tindakan
yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan

penekanan pada jaringan otak, setelah mengembalikan dengan fiksasi pada


tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa
disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi
(Bajamal A.H ,1999).
(2) Fraktur Depresi Terbuka
Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif
debridemant

untuk

mencegah

terjadinya

proses

infeksi

(meningoencephalitis) yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang


jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi
hematom, kemudian menjahit durameter secara water tight/kedap air
kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang, fragmen
tulang dikembalikan jika Tidak melebihi golden periode (24 jam),
durameter tidak tegang Jika fragmen tulang berupa potongan-potongan
kecil maka pengembalian tulang dapat secara mozaik (Bajamal 1999)
.
4. Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis
cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis
dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan
daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang
dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis
mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan Bloody otorrhea,
Bloody rhinorrhea, Liquorrhea, Brill Hematom, Batles sign, Lesi nervus
cranialis yang paling sering N I, NVII dan NVIII. Diagnose fraktur basis cranii
secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis
oleh karena foto basis cranii posisinya hanging foto, dimana posisi ini sangat
berbahaya terutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal
ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat
menyebabkan apnea. Adanya gambaran fraktur pada foto basis cranii tidak
akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan biaya
perawatan karena penambahan biaya foto basis cranii (Umar Kasan , 2000).

5. Penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :


(1). Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah
batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
(2). Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan

tampon

steril

(Consul

ahli

THT)

pada

bloody

otorrhea/otoliquorrhea.
(3). Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita
tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat
(Umar Kasan : 2000).
6. Komosio Serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa
adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala.
Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar
selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah
adanya amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT
scan tidak didapatkan adanya kelainan (Bajamal AH : 1993).
7. Kontusio Serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi
otak akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita
pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan
adanya

kelainan

neurologis

akibat

kerusakan

jaringan

otak

seperti

hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing sakit kepala,


amnesia retrograde/antegrade, pada pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah
hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan
bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang mengalami
contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut Pulp brain (Bajamal
A.H & Kasan H.U , 1993 ).

8. Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom)


Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara durameter dan
tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica
media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria),
Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara
tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa
Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi
dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi
dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan
hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala
adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat
terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat
dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin
baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk
melakukan kompensasi). Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan
gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya
penurunan kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan
menetap tidak hilang dengan pemberian anlgesia. Pada CT Scan jika
perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan
pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang
dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan
sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan
adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi
didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea. Pada
penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan
diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu
Burr hole explorations yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH
biasanya dilakukan pada titik- titik tertentu yaitu Pada tempat jejas/hematom,
pada garis fratur, pada daerah temporal, pada daerah frontal (2 CM didepan
sutura coronaria), pada daerah parietal, pada daerah occipital. Prognose dari

EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8, datang lebih
dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun (Bajamal A.H , 1999).
9. Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak
dibawah lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari
Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis.
Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3
meliputiSubdural hematom akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian,
Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari 3 minggu, Subdural
hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu. Secara klinis
subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya
lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Sedangkan pada
pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang
berupa

bulan

sabit

(cresent).

Indikasi

operasi

menurut

EBIC

(Europebraininjuy commition) pada perdarahan subdural adalah Jika


perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM, Jika terdapat pergeseran garis tengah
lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom,
menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri biasanya tulang
tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea. Prognose dari
penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita
datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia
penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %,
makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek
prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara duramater dan
jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam 2
hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala gejalanya :
1). Nyeri kepala

2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
10. Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadangkadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya
daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih
dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom
tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang
dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang
kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan
faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural (Bajamal A.H ,
1999).
Cidera Otak Sekunder
Cidera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak
mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses
metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka
cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi Edema serebri,
Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial (Bajamal A.H , 1999).
1. Edema serebri
Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel sel otak, pada kasus
cidera kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik,
Edema serebri sitoststik (Sumarmo Markam et.al ,1999).

a. Edema serebri vasogenik


Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan dari blood
brain barrier (sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma
darah) ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan
osmotik dari plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan
intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraseluler,
yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra
seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra
seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan (shringkage)
(Sumarmo Markam et.al ,1999).
b. Edema serebri sitostatik
Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam
jaringan otak berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari
jaringan otak (pada keadaan aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan
di ubah menjadi 38 ATP dan H2O). Sedangkan dalam keadaan anaerob
maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O karena
kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk
menjalankan proses pompa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan
anion antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut
memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipompa
keluar dari sel menjadi masuk kedalam sel bersama masuknya natrium.
Maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi edema intra
seluler (Sumarmo Markam et.al :1999). Gambaran CT Scan dari edema
serebri Ventrikel menyempit, Cysterna basalis menghilang, Sulcus
menyempit sedangkan girus melebar.
2. Tekanan Intra Kranial
Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang
yang terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor
serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat 150 gram.
Menurut doktrin Monroe kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala
adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema,

tumor,

abses)

maka

sebagian

dari

komponen

tersebut

mengalami

kompensasi/bergeser, yang mula mula ataupun canalis centralis yang ada di


medullaspinalis yang tampak pada klinis penderita mengalami kaku kuduk
serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika kompensasi dari cairan
serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus
berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari pembuluh
darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial
dengan cara ialahVaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat,
Denyut nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan
pola napas disebut trias cushing. Jika kompensasi kedua komponen isi
rongga intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih
terus berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi yaitu
berpindah ketempat yang kosong (locus minoris) perpindahan jaringan otak
tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda - tanda klinis herniasi cerebri
tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan tekanan
intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung (Sumarmo
Markam et.al ,1999).
I. Penanganan pertama kasus cidera kepala
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti
standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support)
yang meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan
stimultan pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing, Circulasi, Disability
(ATLS ,1997). Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan
cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda
asing. Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi,
Hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar
harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai
cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan
saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak usahakan untuk
dilakukan intubasi dan support pernafasan. Setelah jalan nafas bebas sedapat

mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara 16 18


X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan
PCO 2 antara 28 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi
vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang
dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstruksi yang berakibat terjadinya
iskemia, Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm Hg jika kurang beri oksigen
masker 8 liter /menit. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi Periksa denyut
nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, Bila shock (tensi <
90 mm Hg nadi >100x

per menit dengan infus cairan RL, cari sumber

perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa
hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2x. Pada pemeriksaan disability/kelainan
kesadaran pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale,

Periksa

kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung
maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya
reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik tentukan adanya
gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia. Setelah fungsi vital
stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan
sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto
pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan
dan seksama) (ATLS , 1997).
J. Glasgow Coma Scale (GCS)
Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran
secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas
seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang
tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka
dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam
indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka mata, Reaksi verbal, Reaksi
motorik.

1). Reaksi membuka mata


Reaksi membuka mata

Nilai

Membuka mata spontan

Buka mata dengan rangsangan suara

Buka mata dengan rangsangan nyeri

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri

2). Reaksi Verbal


Reaksi Verbal
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata
Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata

Nilai
5
4
3
2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun

3). Reaksi Motorik


Reaksi Motorik
Mengikuti perintah
Melokalisir rangsangan nyeri
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri

Nilai
6
5
4
3
2
1

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi


yaitu cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 15, Cidera kepala derajat
sedang, bila GCS : 9 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama
dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh
karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua
mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya
maka reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita
dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi
nilai T.

K. Indikasi foto polos kepala


Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin
dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus
(tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan
kesadaran (Bajamal A.H ,1999). Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi
jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi
syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos
posisi AP/lateral dan oblique.
L. Indikasi CT Scan
Indikasi CT Scan adalah :
(1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat obatan analgesia/anti muntah.
(2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
(3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
(4) Adanya lateralisasi.
(5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
(6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
(7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
(8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

M. Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)


Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) meliputi :
(1) Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15).
(2) Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri).

(3) Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang,


pupil anisokor).
(4) Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan
observasi di UGD dan telah diberikan obat analgesia dan anti muntah
selama 2 jam tidak ada perbaikan.
(5) Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala.
(6) Klinis adanya tanda tanda patah tulang dasar tengkorak.
(7) Luka tusuk atau luka tembak
(8) Adanya benda asing (corpus alienum).
(9) Penderita disertai mabuk.
(10) Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus,
gangguan faal pembekuan.
Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat
dirumah sakit tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat
tinggal jauh dengan rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan
menyulitkan penderita. Pada saat penderita di pulangkan harus di beri advice
(lembaran penjelasan) apabila terdapat gejala seperti ini harus segera ke rumah
sakit misalnya : mual muntah, sakit kepala yang menetap, terjadi penurunan
kesadaran, Penderita mengalami kejang kejang, Gelisah. Pengawasan
dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x 24 jam
dengan cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).
A. Perawatan dirumah sakit
Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 15 meliputi :
1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena
dextrose cepat dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat
menimbulkan edema serebri) Di RS Dr Soetomo surabaya digunakan
D5% salin kira kira 1500 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa.
2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah
dicoba minum sedikit sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan
bantal selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian

duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita


dengan GCS 15).
4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti :
Citicholine, dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini
dari cidera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan
berangsur angsur berkurang sampai 48 jam pertama.
B. Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head
up 15 30) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga
tekanan intra kranial turun.
2). Beri masker oksigen 6 8 liter/menit.
3). Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika
tidak ada perbaikan dapat diberikan vasopressor.
4). Pasang infus D5% saline 1500 2000 cc/24 jam atau 25 30
CC/KgBB/24jam.
5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan
perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang
ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan yang dimulai pada
hari I dihubungkan dengan 500 cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian
sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus,
menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi
(stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak
terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa
lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan lahan sampai
didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan kalori 2000 Kkal.
Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada
penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di
dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus
masuk kedalam system portal.

6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari


terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan
miring kekiri dan kanan setiap 2 jam.
7). Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak
boleh langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena
dapat menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan
terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi
karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat
tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock,
Febris.
N. Transpor Oksigen
Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971,
Peitzman, 1987, Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar
yakni:
1. Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi
masuk kedalam darah.
Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen
berkaitan dengan hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma.
Gangguan oksigenansi menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah
(hipoksemia) yang selanjutnya akan menyebabkan berkurangnya oksigen
jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya, dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai
dengan proses penyebabnya :
1). Hipoksia hipoksik

:gangguan ventilasi-difusi

2). Hipoksia stagnan

: gangguan perfusi/sirkulasi

3). Hipoksia anemik

: anemia

4). Hipoksia histotoksik :gangguan pengguanaan oksigen dalam sel


(racun HCN, sepsis).
Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.
Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O2) menurut rumus NunnFreeman (MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :
Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)

Hb

= kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O2 = saturasi oksigen dalam


hemoglobin (%)

1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau
1,39
pO2

= tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg

0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.


2. Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan
Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu:
nadi meningkat (takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat,
vasokonstriksi di daerah arterial reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh
puluh lima persen volume sirkulasi berada di daerah vena. Vasokonstriksi
memeras darah dari cadangan vena kembali ke sirkulasi efektif.
Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran untuk organ prioritas
(otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus.
Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion
pressure) untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih
berat mengatasi SVR, pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang
menurun. Vasokonstriksi yang berlebihan di daerah usus dapat
menyebabkan cedera iskemik (iscemic injury), translokasi kuman
menembus usus dan masuknya endotoksin ke sirkulasi sistemik (Kreimeier
1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan vasokonstriksi sudah
berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan katekolamin.
Takikardia yang berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan EDV
menurun sehingga CO juga turun. Cardiac output atau curah jantung
adalah volume aliran darah yang membawa oksigen ke jaringan.
Hubungan antara curah jantung (CO), frekwensi denyut jantung (f) dan
Stroke Volume (SV) adalah sebagai berikut:
CO = f x SV
SV

: dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR

EDV : volume ventrikel pada akhir diastole


C

: contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)

SVR

: Systemic Vascular Resistance

VR

: Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan

normal VR = CO
Available O2 = CO x Ca O2
Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)
Ca O2
3.

: kandungan oksigen darah arterial.

Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan


Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru.
Dinamika oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi
oksigen-hemoglobin (Lentner, 19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi
kebutuhan oksigen pada organ vital (otak, jantung) diisyaratkan bhwa
kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila kadar Hb kurang dari 9 gr %
masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan peningkatan curah
jantung dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico, 1993;
Rotondo, 1993).

O. PROGNOSIS
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis :

Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin
berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusimental.

Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek


prognosis.

Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek.

Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda


penyembuhan akan tidak sempurna.

Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi:

menjurus ke arah hidup vegetatif.

Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada
gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death.

Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.

P. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu
didapati adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,
pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea /
takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala,
paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung
dan telinga dan kejang
Riwayat

penyakit

dahulu

haruslah

diketahui

baik

yang

berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik


lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang
mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya
GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski
yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai
batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus
I, II, III, V, VII, IX, XII.
4. Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala :
Obat-obatan :

Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,


dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.

Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi


vasodilatasi.

Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 %


atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau


untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.

Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak


dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.

Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita


mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan
dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah
makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).
Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.

Pembedahan.

5. Pemeriksaan Penujang

CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,


perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.

MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras


radioaktif.

Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,


seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan
dan trauma.

Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan


struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan


subarachnoid.

ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah

pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai


akibat peningkatan tekanan intrkranial

Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga


menyebabkan penurunan kesadaran.

Penatalaksanaan
Konservatif:

Bedrest total

Pemberian obat-obatan

Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan:
1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana
pengobatan, dan rehabilitasi.
Tujuan:
1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh
keluarga sebagai sumber informasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:

1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas
di otak.
2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan
sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos coma)
5. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
INTERVENSI
Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tandatanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :

Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari
pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat
meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.

Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam


pemberian tidal volume.

Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x


lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi
terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.

Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat


mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan
meningkatkan resiko infeksi.

Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan

penyebaran udara yang tidak adekuat.

Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan


ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

Tidak

efektifnya

kebersihan

jalan

napas

sehubungan

dengan

penumpukan sputum.
Tujuan :
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi
alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
1. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat
disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau
masalah terhadap tube.
2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan
yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang
tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
3. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum
banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi
untuk mencegah hipoksia.
4. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk
semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan
sputum.
Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
Tujuan :
Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
1) Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.

Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.


Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus
eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk
menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal
peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.
2) Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat
kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan
metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tandatanda keadaan syok akibat perdarahan.
3) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena
jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
4) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan
pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.
5) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan
tekanan intrakrania.
6) Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Dapat menurunkan hipoksia otak.
7) Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar
(kolaborasi).
Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti
osmotik diuritik untuk

menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat

menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan


inflamasi,

menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk

menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif

dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas


yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.
Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran
(soporos - coma )
Tujuan :
Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi
sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
1) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama
yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
2) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata
dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan
yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman,
mencegah infeksi dan keindahan.
3) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus
dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga
lingkungan yang aman dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang
ada di ruangan.
5) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
Tujuan :

Kecemasan keluarga dapat berkurang


Kriteria evaluasi :
a. Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
b. Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
c. Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan
meningkat.
Rencana tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.
2. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.
3. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
4. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan
keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.
Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
1. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk
menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
2. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
3. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah
yang menonjol.
4. Ganti posisi pasien setiap 2 jam
5. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan
memudahkan terjadinya kerusakan kulit.

6. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
7. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
8. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8
jam.
9. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam
dengan menggunakan H2O2.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar
Penanganan Cidera Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya.
Asikin

(1991)

Simposium

Keperawatan

Penderita

Cedera

Kepala.

Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.


Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.
Becker DP, Gardner S,

(1985), Intensive Management of Head Injury. In :

Wilkins RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc.


Grow Hill Company, 1953.
Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair
Surabaya.
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2
nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury,
Wilkins RH and Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York
Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press
Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta.
Umar kasan (1998), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.
Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes
Zainuddin M, (1988), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga Surabaya.

BAB III
PENUTUP
Dibicarakan mengenai cedera otak dan dasar-dasar pengelolaannya,
sehubungan dengan makin meningkatnya korban kecelakaan lalu lintas dimana
banyak diantaranya mengalami cedera otak.
Akibat benturan kepala, terjadi cedera pada otak dan jaringan sekitarnya
yang disebut dengan lesi primer. Bila korban dapat tetap bertahan, terjadi proses
lebih lanjut yang dipengaruhi oleh faktor-faktor intrakranial maupun sistemik.
Proses iniakan menghasilkan kerusakan-kerusakan yang disebut lesi sekunder.
Mekanisme terjadinya cedera akibat benturan kepala dan patofisiologik
proses selanjutnya telah dibicarakan; juga kerusakan-kerusakan pada jaringan
sekitar otak.
Pengelolaan meliputi pemeriksaan, observasi dan pengobatan penderita baik
secara konservatif maupun yang memerlukan tindakan operasi darurat. Dengan
pengelolaan yang cepat, terutama pada saat proses terjadinya lesi-lesi sekunder,
diharapkan dapat diperoleh hasil yang sebaik-baiknya bagi penderita.

Anda mungkin juga menyukai