: Priscilia
Nama Wahana
: RSUD Kab.Pacitan
Topik
: Seorang Wanita Usia 38 Tahun dengan Krisis Hipertensi
Tanggal Kasus
: 27 Maret 2015
Nama Pasien
: Ny.R
No. RM : 20.04.17
Tanggal Presentasi :
Nama Pendamping : dr. M Wildan
Tempat Presentasi :
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Deskripsi : Wanita Usia 38 tahun dengan krisis hipertensi
Tujuan : mengenali gejala dan tanda, penegakan diagnosis, dan menentukan tatalaksana
yang tepat bagi penderita Krisis Hipertensi
Bahan-Bahasan:
Tinjauan Pustaka
Riset
Kasus
Audit
Cara Membahas:
Diskusi
Presentasi dan Diskusi
Email
Pos
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
Diagnosis/ Gambaran Klinis: pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala sejak 3 hari
lalu, pusing berputar disangkal, leher terasa cengeng, pandangan penglihatan menjadi buram.
Pasien mengeluh nyeri ulu hati disertai mual tetapi tidak muntah. Pasien menyangkal adanya
sesak nafas, nyeri dada dan kejang. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
1. Riwayat penyakit dahulu :
a. Riwayat penyakit hipertensi : ada
b. Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
c. Riwayat penyakit DM
: disangkal
d. Riwayat alergi
: disangkal.
2. Riwayat penyakit keluarga :
a. Riwayat penyakit Hipertensi : ada
b. Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
c. Riwayat penyakit DM
: disangkal
d. Riwayat alergi
: disangkal
3. Riwayat sosial ekonomi
a. Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai tani.
4. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik: Rumah belum memenuhi standar kesehatan dan
lingkungan belum mendukung kesehatan
A. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran
: Composmentis
Vital Sign
: TD : 250/140 mmHg
N
: 69 x/menit ;
RR : 18 x/menit ;
S
: 36,3o C
Status Generalis
1
1. Pemeriksaan Kepala
Bentuk kepala : mesocephal, simetris,
Rambut
: warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata
: simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
Hidung
Mulut
2.
3.
4.
5.
B.
C.
B.
lidah (-)
Pemeriksaaan Leher
Kaku Kuduk (-)
Pemeriksaan Toraks
Paru
Suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-), ronki basah kasar (-/-),
Wheezing-/Jantung
S1 > S2, regular-regular, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi
: timpani
Palpasi
: supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hipokondriaka dekstra
Hepar
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba
Pemeriksaan Ekstremitas
edema (-/ -), sianosis (-/-), akral dingin (-/-)
DIAGNOSIS KERJA
Krisis Hipertensi
PENATALAKSANAAN
Terapi IGD
1. Non Farmakologis
a. Tirah baring
b. Pemasangan cateter untuk mengurangi aktivitas yang dapat merangsang
2. Farmakologis
IVFD RL 18 tpm
Injeksi antrain 1 ampul/8 jam
Injeksi ranitidine 1 ampul/12 jam
Infus furosemide 1 ampul/24 jam
P.O: Valsartan 1x80 mg
Amlodipine 1x10 mg
MONITORING
Keadaan umum dan vital sign
Hasil pembelajaran:
Mengetahui cara mendiagnosis Krisis Hipertensi dan penatalaksanaan awal pada pasien krisis
2
hipertensi
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala sejak 3 hari lalu, pusing berputar
disangkal, leher terasa cengeng, pandangan penglihatan menjadi buram. Pasien mengeluh nyeri
ulu hati disertai mual tetapi tidak muntah. Pasien menyangkal adanya sesak nafas, nyeri dada dan
kejang. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 7 tahun lalu
tetapi tidak berobat secara teratur.
Dengan keluhan subjektif di atas diagnosis yang paling mungkin adalah krisis hipertensi,
karena dari anamnesisi didapatkan pasien memiliki riwayat hipertensi, nyeri kepala, dan terdapat
gangguan penglihatan.
Objektif:
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan, didapatkan TD 250/140 mmHg, maka dapat
diketahui bahhwa pasien menderita krisis hipertensi.
Assessment:
Dari keluhan utama, anamnesis, dan pemeriksaan fisik maka pasien dapat di diagnosis
menderita krisis hipertensi. Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh
tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan
organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai
memakan obat hipertensi.
Plan:
Penatalaksanaan pada krisis hipertensi adalah penurunan tekanan darah. Tekanan darah
yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan akan memperburuk
penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak lain, penurunan yang
terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital
terutama otak, jantung, dan ginjal.
Penatalaksanaan pada krisis hipertensi terdiri dari tata laksana umum: obat anti hipertensi
oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan
hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ
sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, (ICU) dan diberi salah satu dari
obat anti hipertensi intravena (IV).
TINJAUAN PUSTAKA
KRISIS HIPERTENSI
Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang
sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada
umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat
hipertensi. Krisis Hipertensi meliputi dua kelompok, yaitu:1
1. Hipertensi darurat (emergency hypertension), dimana selain tekanan darah yang sangat
tinggi terdapat kelainan/kerusakan organ target yang bersifat progresif, sehingga tekanan
darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat
mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi.
2. Hipertensi mendesak (urgency hypertension), dimana terdapat tekanan darah yang sangat
tinggi tapi tidak disertai kelainan/kerusakan organ target yang progresif. Sehingga penurunan
tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai hari).
Membedakan kedua golongan krisis hipertensi ini bukanlah dari tingginya tekanan darah,
tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan tekanan darah yang sangat pada seorang penderita
dipikirkan suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem
syaraf sentral, miokardial, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena
cara penanggulangan keduanya berbeda. Gambaran klinis krisis hipertensi berupa tekanan darah
yang sangat tinggi (umumnya TD diastolik > 120 mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang
tinggi dan terjadi dalam waktu yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat.
Seberapa besar TD yang dapat menyebabkan krisis Hipertensi tidak dapat dipastikan, sebab hal
ini juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya normotensi atau Hipertensi ringan/sedang.
Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan Hipertensi, namun para klinisi harus tetap
waspada akan kejadian krisis Hipertensi, sebab penderita yang jatuh dalam keadaan ini dapat
membahayakan jiwa/kematian bila tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Pengobatan yang
cepat dan tepat serta intensif lebih diutamakan daripada prosesur diagnostik karena sebagian
besar komplikasi krisis Hipertensi bersifat reversible. Dalam menanggulangi krisis Hipertensi
dengan obat anti hipertensi, diperlukan pemahaman mengenai autoregulasi Tekanan darah dan
aliran darah, pengobatan yang selektif dan terarah terhadap masalah medis, yang menyertai,
pengetahuan mengenai obat parenteral dan oral anti hipertensi, variasi regimen pengobatan untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang memadai dan efek samping yang minimal.1
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
Hipertensi ensefalopati.
Eklampsi.
Feokhromositoma.
Cedera kepala.
Luka bakar.
Interaksi obat.
Tingginya tekanan darah yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya
dari tingkatan tekanan darah aktual, tapi juga dari tingginya tekanan sebelumnya, cepatnya
kenaikan tekanan darah, bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat
mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh: pada
penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan
7
kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada
penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tibatiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati
dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg.
EPIDEMIOLOGI
Dari populasi Hipertensi, ditaksir 70% menderita hipertensi ringan, 20% hipertensi
sedang dan 10% hipertensi berat. Pada setiap jenis hipertensi ini dapat timbul krisis hipertensi
dimana tekanan darah diastolik sangat meningkat sampai 120 130 mmHg yang merupakan
suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan
jiwa penderita. Angka kejadian krisis hipertensi menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu
di negara maju berkisar 2 7% dari populasi hipertensi, terutama pada usia 40 60 tahun dengan
pengobatan yang tidak teratur selama 2 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10
tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih
kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Pada umumnya krisis hipertensi
ditemukan di poliklinik gawat darurat rumah sakit dan kadang-kadang merupakan jumlah yang
cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat di bagian penyakit dalam, walaupun keluhan
utamanya berbeda-beda. Prevalensi rata-rata 1-5% penduduk dewasa tergantung dari kesadaran
pasien akan adanya hipertensi dan derajat kepatuhan makan obat. Sering pasien tidak menyadari
dirinya adalah pasien hipertensi atau tak teratur/berhenti makan obat.1
GEJALA
Hipertensi krisis umumnya adalah gejala organ target yang terganggu, diantaranya nyeri
dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta, mata kabur pada edema papilla
mata, sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak, gagal ginjal
akut pada gangguan ginjal, disamping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikan tekanan
darah pada umumnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala dan
tanda keterlibatan organ target.1,2
Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium ikut membantu diagnosis dan perencanaan.
Urin dapat menunjukkan proteinuria, hematuria dan silinder. Hal ini terjadi karena tingginya
tekanan darah juga menandakan keterlibatan ginjal apalagi bila ureum dan kreatinin meningkat.
Gangguan elektrolit bisa terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan aritmia.1,2
Funduskopi
Perdarahan
Eksudat
Edema papila
Status
Jantung
Neurologi
Sakit kepala,
kacau
Gangguan
kesadaran,
kejang,
lateralisasi
Ginjal
Denyut jelas
uremia
Membesar
Dekompensasi proteinuria
oliguria
GI
Mual,
muntah
PATOFISIOLOGI
Menurunnya tonus vaskuler merangsang saraf simpatis yang diteruskan ke sel jugularis.
Dari sel jugularis ini bisa meningkatkan tekanan darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka
akan mempengaruhi ekskresi pada renin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan
adanya perubahan pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada
pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah. Selain itu juga dapat meningkatkan
hormon aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut akan berakibat pada
peningkatan tekanan darah. Dengan Peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan
kerusakan pada organ organ seperti jantung. Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi
kronis tidak mengalami perubahan bila mean arterial pressure (MAP) 120 mmHg 160 mmHg,
sedangkan pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60 120 mmHg. Pada keadaan
hiperkapnia autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas tertinggi 125 mmHg sehingga
perubahan sedikit saja dari tekanan darah menyebabkan asidosis otak akan mempercepat
timbulnya odema otak. Tekanan darah yang sangat tinggi terutama yang meningkat dalam waktu
singkat menyebabkan gangguan atau kerusakan gawat pada target organ.1,4
Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati yaitu:4,5
1. Teori Over Autoregulation. Dengan kenaikan tekanan darah menyebabkan spasme yang
berat pada arteriole mengurangi aliran darah ke otak dan iskemi. Meningginya permeabilitas
kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler, udema di otak, petekhie, pendarahan
dan mikro infark.
2. Teori Breakthrough of Cerebral Autoregulation bila tekanan darah mencapai threshold
tertentu dapat mengakibatkan transudasi, mikoinfark dan oedema otak, petekhie,
hemorhages, fibrinoid dari arteriole.
9
Overautoregulation
Oedem otak
Spasme arteriole
TD naik mendadak
Hipertensi
Petekhiae
Ensefalopati
Mikro Infark
Breakthrough
Regulation
Nekrosis Vaskuler
DIAGNOSIS
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang
menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis
hipertensi.1,3
Anamnesis: Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesis singkat. Hal yang penting
ditanyakan:
Hal yang penting ditanyakan pada pasien hipertensi krisis
Gejala sistem kardiovascular (adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri dada).
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah (baring dan berdiri) mencari
kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, gagal jantung kongestif, altadiseksi).
Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah
jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung
koroner.1
10
Keterangan/signifikasi
Hipertensi ensefalopati atau kecemasan
Vital sign
(ansietas)
Tekanan darah yang sangat tinggi tanpa tanda
Mata
kedua lengan)
Perdarahan dan eksudat
Jantung/dada
S3
S4
Pembuluh darah Arterial Bruits
Perifer
Nadi berkurang
Neurologik
Tanda-tanda kelainan
Fokal
dengan cepat
Bedakan hipertensi
Ensefalopati dengan
Keadaan gawat darurat Neurologis karena
sebab lain.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu:5
1. Pemeriksaan yang segera seperti:
a. Darah: rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.
b. Urine: Urinalisa dan kultur urine.
c. EKG: 12 Lead, melihat tanda iskemi, untuk melihat adanya hiperventrikel kiri maupun
gangguan coroner.
d. Rontgen thoraks: apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana).
2. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama):
11
a. sangkaan kelainan renal: IVP, Renald angiography (kasus tertentu), biopsi renald (kasus
tertentu), USG untuk melihat struktur ginjal dilaksanakan sesuai dengan kondisi pasien.
b. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.
c. bila disangsikan Feokhromositoma: urine 24 jam untuk Katekholamine, metamefrin,
venumandelic Acid (VMA).
Faktor pencetus pada krisis hipertensi
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan
hipertensi emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaankeadaan klinis yang sering mencetuskan timbulnya krisis hipertensi, antara lain:5
Hipertensi renovaskular.
Glomerulonefritis akut.
Renin-secretin tumors.
Pengaruh obat: kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO Inhibitor, simpatomimetik
( pil diet, sejenis Amphetamin ), kortikosteroid, NSAID, ergot alk.
Luka bakar.
Differensial diagnosis
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti:1
Hipertensi berat
Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
Ansietas dengan hipertensi labil.
Oedema paru dengan payah jantung kiri.
12
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan
akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi dipihak lain,
penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke
organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah diturunkan?
Untuk menurunkan TD sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhaikan berbagai faktor
antara lain keadaan hipertensi sendiri (TD segera diturunkan atau bertahap), pengamatan
problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan autoregulasi TD pada
organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi dan monitoring
efek samping obat.1-3
AUTOREGULASI
Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi pembuluh darah.1
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak dimaksudkan
untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi otak telah cukup luas
diteliti dan diterangkan.1
Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure (MAP) 60 70
mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen
lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme ini
gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan
dan sinkope.1
Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic yang
disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk.
mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada
cerebrovaskuler yang normal penurunan TD yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat
ditolelir.1
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran
darah terjadi pada TD yang lebih tinggi. (gambar 1 dan 2).1
Straagaard pada penelitiannya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada 13 penderita
hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg pada orang normotensi.1
13
Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantar group normotensi dan
hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD terkontrol cenderung menggeser
autoregulasi kearah normal.1
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah resting MAP.
Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 2025% dalam
beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan TD pada
penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam
tempo 1530 menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya.
Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 23 jam. Untuk pasien dengan
infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6
12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 180/100 mmHg.1
Gbr. I : Auto regulasi Pada orang normotensi. Aliran darah otak dipertahankan pada MAP antara
60 120 140 mmHg.
Gbr. II : Auto regulasi pada orang hipertensi aliran darah otak pada krisis hipertensi
dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120 160 180 mmHg. Kurva bergeser ke kanan
GANGGUAN HEMODINAMIK PADA KRISIS HIPERTENSI
Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu: Cardiac Output (C.O) dan Systemic
Vasculer Resistance (SVR). Cardiac Output ditentukan oleh Stroke Volume (SV) dan Heart Rate
14
(HR). Resistensi perifer terjadi akibat Peripheral Vascular Resistensi (PVR) dan Renal Vascular
Resistence (RVR).1,2
TD
CO
SV
><
HR
SVR
PVR
RVR
Pada hipertensi primer, CO berkurang 25% dan VR bertambah 20 25%. Pada hipertensi
maligna, SVR bertambah akibat sekunder dari perubahan struktur hipertensi kronis dan
perubahan perubahan vasokonstriksi akut. Secara logika disukai obat anti hipertensi yang dapat
memperbaiki gangguan hemodinamik pada krisis hipertensi. Obat yang mengurangi SVR tanpa
mengurangi CO lebih disukai oleh sebagian besar penderita krisis hipertensi dengan kekecualian
bagi disecting aneurysma aorta.1,2
Obat yang menambah SVR dan mengurangi CO seperti beta blocker tanpa Intrinsic
Sympathomimetic Activity (ISA) haruslah dihindari karena akan menyebabkan eksaserbasi
gangguan hemodinamik seperti payah jantung, kongestive dan oedem paru.1,2
Status volume cairan
Umumnya kebanyakan penderita krisis hipertensi mempunyai intravaskuler volume
depletion, oleh karena itu jangan diberi terapi diuretika, kecuali bila secara klinis dibuktikan
adanya volume over load seperti gagal jantung kongestif atau oedema paru. Perlu diketahui
bahwa pembatasan cairan dan garam (natrium) serta diuretika pada hipertensi maligna akan
menyebabkan bertambahnya volume depletion sehingga bukannya menurunkan tekanan darah
malah meningkatkan tekanan darah. Pemberian diuretika dapat dilakukan bila setelah diberikan
obat anti hipertensi non diuretikal beberapa hari dan telah terjadi reflex volume retention.1
15
Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada
indikasi). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari 160
mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada
krisis hipertensi tertentu (misal: disecting aortic aneurysm). Penurunan TD tidak lebih
dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
anneurysma aorta.
TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung
dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan
disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care unit,
(ICU) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena (IV).1,6-8
1. Sodium Nitroprusside: merupakan vasodilator direk kuat baik arterial maupun venous.
Secara I.V mempunyai onset of action yang cepat yaitu: 1 2 dosis 1 6 ug / kg / menit.
Efek samping: mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerine: merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis tinggi
sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of action 3 5
menit. Dosis: 5 100 ug / menit, secara infus i.v. Efek samping: sakit kepala, mual, muntah,
hipotensi.
16
3. Diazolxide: merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus. Onset
of action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action 4 12 jam. Dosis
permulaan: 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang
diinginkan. Efek samping: hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen,
hiperuricemia, aritmia.
4. Hydralazine: merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action: oral 0,5 1 jam, i.v : 10
20 menit duration of action: 6 12 jam. Dosis: 10 20 mg i.v bolus: 10 40 mg i.m
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker. Untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular. Efek
samping: refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put, eksaserbasi
angina, MCI akut.
5. Enalapriat: merupakan vasodilator golongan ACE inhibitor. Onset on action 15 60 menit.
Dosis 0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Phentolamine (regitine): termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama untuk
mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 20 mg secara i.v bolus atau i.m.
Onset of action 11 2 menit, duration of action 3 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate: termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem
simpatis dan parasimpatis. Dosis: 1 4 mg/menit secara infus i.v. Onset of action: 1 5
menit. Duration of action: 10 menit. Efek samping: obstipasi, ileus, retensi urine, respiratori
arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering.
8. Labetalol: termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis: 20 80 mg secara i.v.
bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10 menit Efek
samping: hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi. Juga tersedia
dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan efek samping
hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering dijumpai.
9. Methyldopa: termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf simpatis.
Dosis: 250 500 mg secara infus i.v/6 jam. Onset of action: 30 60 menit, duration of action
kira-kira 12 jam. Efek samping: Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestinal, with
drawal syndrome. Karena onset of actionnya bisa tak terduga dan kasiatnya tidak konsisten,
obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
17
10. Clonidine: termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis: 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam
10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of
action 5 10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek samping:
rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan secara
tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Tabel Obat Hipertensi Oral yang dipakai di Indonesia
Obat
Nifedipin
Dosis
diulang
5-10 mg
15 menit
Kaptopril
diulang/
12,5-25 mg
jam
Klonidin
diulang/
75-150 ug
jam
Propanolol
diulang/
10-40 mg
1/2jam
Efek
5-15 menit
Lama kerja
4-8 jam
Perhatian khusus
gangguan
koroner
15-30 menit
6-8 jam
stenosis
a. renalis
30-60 menit
8-16 jam
mulut kering
ngantuk
15-30 menit
3-6 jam
Bronko
konstriksi,
Blok Jantung
18
Dosis
Efek
Lama
Klonidin IV
Perhatian
6 amp per
30-60 menit
24 jam
150 ug
250 cc
dengan
Glukosa 5%
Gangguan
mikrodrip
Koroner
Nitrogliserin
10-50ug
IV
2-5 menit
Kerja
Ensefalopati
5-10
menit
500cc
Nikardipin
0,5-6
IV
ug/kg/menit
Diltiazem IV
5-15
1-5 menit
15-30
menit
sama
Ug/kg/menit
Lalu sama
1-5 ug/kg/menit
Nitroprusid IV
0,25 ug/kg/menit
langsung
2-3 menit
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara
pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium
nitrotprusside, Nitroglycirine. Tekanan darah dapat diturunkan baik secara perlahan maupun
cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan tekanan darah
berlebihan, infus distop dan tekanan darah dapat naik kembali dalam beberapa menit.1,6-8
Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena
dapat menyebabkan tekanan darah turun bertahap. Bila tekanan darah yang diinginkan telah
dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral
yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan
kembali.1,6-8
19
Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan yang tepat
bagi pasien di ICU.
Kelompok
Tekanan
Biasa
Mendesak
Darurat
>180/110
>180/110
Sakit kepala
hebat, sesak
dada, kacau
>220/140
Darah
Gejala
Pem. fisik
gelisah
napas
gangguan kesadaran
gangguan organ
ensefalopati, edema
target
paru, gangguan
fungsi ginjal, CVA,
iskemi jantung
Pengobatan
Rencana
Mulai/teruskan obat
Oral,naikan dosis
pendek
terapi intravena
periksa ulang
rawat ruangan/ICU
Dalam 3 hari
24 jam
yang dapat ditambah 10 mg lagi menit. Yang menarik adalah bahwa 4 dari 5 penderita yang
diperiksa, aliran darah cerebral meningkat, sedang dengan clonidine yang diselidiki menurun,
walaupun tidak mencapai tahap bermakna secara statistik.11,12
PENANGGULANGAN HIPERTENSI URGENCI
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali
dalam 30 menit. Bila tekanan darah tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai
pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi
urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan.11
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan:11-13
Nifedipine: pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit). Buccal (onset 510 menit),
oral (onset 15-20 menit),duration 5 15 menit secara sublingual/buccal). Efek samping: sakit
kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
Clondine: Pemberian secara oral dengan onset 30 60 menit Duration of Action 8-12 jam.
Dosis: 0,1-0,2 mg, dilanjutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek samping: sedasi,
mulut kering. Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart block, brakardi, sick
sinus syndrome. Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Captopril: pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit
sesuai kebutuhan. Efek samping: angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada
penderita bilateral renal arteri sinosis.
Prazosin: Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila dengan
pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak 20 %
ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada
penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine.
Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun
hal ini jarang sekali terjadi).11
Dikenal adanya first dose efek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat
pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.11,13
22
Modifikasi
Rekomendasi
Kira-kira penurunan
tekanan darah, range
5-20 mmHg/10-kg
penurunan BB
8-14 mm Hg
Aktifitas fisik
2-8 mm Hg
4-9 mm Hg
2-4 mm Hg
perempuan
Singkatan: BMI, body mass index, BB, berat badan, DASH, Dietary Approach to Stop
Hypertension
* Berhenti merokok, untuk mengurangi resiko kardiovaskular secara keseluruhan
Tabel Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi*
KOMPLIKASI
Krisis Hipertensi pada keadaan khusus:1,3,4
Krisis hipertensi pd gangguan otak
1. Stroke
a. Infark: aterotrombotik, kardioembolik, lakunar.
- TD sistolik >220 mmHg dan diastolik >120 mmHg. Pengukuran dilakukan dua
kali dalam jangka waktu 30 menit
24
subarachnoid,
pecahnya
TD sistolik >220 mmHg dan diastolik >120 mmHg. Pengukuran dua kali dalam
Terdapat gejala tekanan intrakranial yang meningkat seperti: sakit kepala hebat,
muntah proyektil/tanpa penyebab gastrointestinal, papiledema (sembab papil),
kesadaran menurun.
TD sistolik >220 mmHg dan diastolik >120 mmHg. Pengukuran 2x dlm jangka waktu
30 menit.
Tidak ada tanda-tanda lain yg meningkatkan tekanan darah
Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur tatalaksana hipertensi krisis
25
menit) dengan target TD sistolik 110-120 mmHg dan frekuensi nadi 60 x/mnt.
-blocker merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi shear stress dan
mengontrol TD
Terapi medikamentosa dapat dilakukan pada diseksi aorta desenden tanpa komplikasi
Pemeriksaan fisik
26
1.
2.
3.
4.
menit.
Sasaran akhir TD sistolik < 130 mmHg dan TD diastolik < 80 mmHg.
Sebaiknya dicapai dalam 3 jam
Keluhan: Nyeri dada dg penjalaran ke leher atau lengan kiri dengan durasi lebih dari 20
menit dan dapat disertai dg gejala sistemik berupa keringat dingin, mual dan muntah dan
Feokromositoma jarang ditemukan, tetapi merupakan penyebab yang penting pada krisis
hipertensi.
Prognosis
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah 20%
dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah jantung kongestif (13%), cerebro
vascular accident (20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Mio Card (1%),
diseksi aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan
penaggulangan penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplantasi ginjal. Whitworth
melaporkan dari penelitiannya sejak tahun 1980, survival dalam 1 tahun berkisar 94% dan
survival 5 tahun sebesar 75%. Tidak dijumpai hasil perbedaan diantara retionopati KWIII dan IV.
Serum creatine merupakan prognostik marker yang paling baik dan dalam studinya didapatkan
bahwa 85% dari penderita dengan creatinite <300 umol/l memberikan hasil yang baik
dibandingkan dengan penderita yang mempunyai fungsi ginjal yang jelek yaitu 9 %.1
Kesimpulan
29
Hipertensi urgensi perlu dibedakan dengan hipertensi emergensi agar dapat memilih
pengobatan yang memadai bagi penderita. Hipertensi emergensi disertai dengan kerusakan organ
sasaran, sedangkan hipertensi urgensi tanpa kerusakan organ sasaran /kerusakan minimal. Pada
kebanyakan penderita krisis hipertensi , TD diastolik > 120 mmHg. Dalam memberikan terapi
perlu diperhatikan beberapa faktor:1
Autoregulasi dan perfusi dari vital organ (otak, jantung, dan ginjal) bila Tekanan darah
diturunkan.
Faktor klinis lain: obat lain yang diberikan, status volum dan lain-lain.
Efek samping obat. Besarnya penurunan TD umumnya kira-kira 25% dari MAP ataupun
tidak lebih rendah dari 170-180/100mmHg.
Pemakaian obat parenteral untuk hipertensi emergensi lebih aman karena TD dapat diatur
sesuai dengan keinginan, sedangkan dengan obat oral kemungkinan penurunan TD melebihi
diingini sehingga dapat terjadi hipoperfusi organ.
Pemberiaan diuretika pada hipertensi emergensi dimana dibuktikan adanya volume overload
seperti payah jantung kongestif dan oedema paru.
Pemberian Beta Blocker tidak dianjurkan pada krisis hipertensi kecuali pada aorta disekasi
akut.
Daftar Pustaka
1. Aru W Sudoyo. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI,2006.
30
2. Fauci S Anthony. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 13 Edisi 15.
Jakarta: Karisma Publishing Group, 2009.
3. Alpert J. S, Rippe J.M; 1980: Hypertensive Crisis in manual of Cardiovascular Diagnosis and
Therapy, Asean Edition Little Brown and Coy Boston, 149-60.
4. Houston MC; 1989: Pathoplysiology Clinical Aspects and tereatment Dis, 32, 99-148.
5. Kaplan NM, 1986: Clinical Hypertention, 4th Edition, William & Elkins, Baltimore, 2273-89.
6. Anavekar S.N, Johns C.I; 197: Management of Acute Hipertensive Crisis with Clonidine
(catapres), Med. J. Aust. 1: 829-Angeli.P. Chiese. M, Caregaro, et al, 1991: Comparison of
sublingual Captopril and Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies,
Arch, Intren. Med, 151: 678-82.
7. Bertel O, Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C; 1983: Nifedipine in Hypertensive
Emergencies, BrMmmed J, 286; 19-21.
8. Anwar C.H, Fadillah A. Nasution MY, Lubis HR; 1991: Efek akut obat anti hipertensi
(Nifedipine, Klonodin Metoprolol) pada penderita hipertensi sedang dan berat; naskah
lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83.
9. Calhoun DA, Oparil S; 1990: Treatmenet of Hypertensive Crisis, New Engl J Med, 323:
1177-83.
10. Gifford R.W, 1991: Management of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA, 266; 39-45.
11. Gonzale DG, Ram CSVS., 1988: New Approaches for the treatment of Hypertensive
Urgencies and Emergencies, Cheast, I, 193-5.
12. Haynes RB, 1991: Sublingual Captopril and Nifedipine on Hipertensive Emergencies, ACP
Journal Clib, 45.
13. Langton D, Mcgrath B; 1990: Refractory Hypertantion and Hypertensive Emergencies in
Hypertention Management, Mc Leman & Petty Pty Limited, Australia, 169-75.
31