Anda di halaman 1dari 21

[9]

Teori Komunikasi Massa


SEJATINYA, keberadaan teori komunikasi massa bertujuan di
samping untuk mengkaji hal-hal apa saja yang menjadi efek media
terhadap manusia atau khalayak, juga untuk membuktikan
bagaimana peranan media massa terhadap manusia atau khalayak
secara psikis.
Sekaitan dengan teori komunikasi massa, Littlejhon (1999),
membaginya ke dalam teori makro dan teori mikro. Teori mikro
komunikasi massa adalah teori yang mengkaji tentang hubungan
antara media dengan khalayaknya. Teori ini lebih memfokuskan
pada efek-efek terhadap kelompok dan individu-individu serta hasilhasil dari transaksi media itu.
Sedangkan teori makro komunikasi massa mengkaji media
massa dari sisi masyarakat dan institusinya. Para teoritisi yang
tertarik dalam relasi antara media dengan masyarakat memberi
perhatian pada cara-cara media dilekatkan dalam masyarakat dan
pengaruh bersama antara struktur-struktur yang lebih besar
dengan media.
Adapun teori-teori yang berkaitan dengan tradisi pengaruh
individu dalam studi mengenai komunikasi massa yang lebih
menekankan pada pengaruh individu dari komunikasi massa
tersebut, di antaranya sebagai berikut :
1.

Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)


Teori pengaruh tradisi pada komunikasi massa dalam
perkembangannya telah mengalami perubahan yang berliku-liku
dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori
pengaruh komunikasi peluru ajaib (bullet theory) Individu-individu
dipercaya dapat dipengaruhi secara langsung dan secara besar
oleh pesan media, mengingat media dianggap memiliki kekuasaan
dalam membentuk opini publik.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua
langkah (two step flow) menjadi populer, maka pengaruh media
dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal.
Misalnya iklan sabun Lux dipercaya tidak akan secara langsung
mempengaruhi banyak orang untuk mencobanya.
Kemudian pada tahun 1960-an, berkembang wacana baru
yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa
pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu
kekuatan dari iklan Lux misalnya secara komersil atau tidak untuk
mampu
mempengaruhi
khalayak
agar
mengkonsumsinya,
tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh
media dianggap terbatas (limited-effects model).

Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak


ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model,
dimana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama
media televisi. Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung
keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh
media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya
mengenai gelombang kebisuan.
2.
Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan
serimg digunakan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas
komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses
and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada
konsumen pesan atau komunikasi serta tidak begitu memerhatikan
mengenai pesannya. Adapun kajian yang dilakukan dalam ranah
uses and gratifications adalah mencoba untuk menjawab
pertanyan, Mengapa orang menggunakan media dan apa yang
mereka gunakan untuk media? (McQuail, 2002).
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai
anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media,
sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini
yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya
dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak
diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam
memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat
mengkonsumsi media massa (Rubin dalam Littlejohn, 1996).
Khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh
tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab
sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk
mengetahui
kebutuhannya,
memenuhi
kebutuhannya
dan
bagaimana cara memenuhinya. Oleh karena itu, media massa
dianggap hanya sebagai salah satu cara untuk memenuhi
kebutuhan individu, dan individu boleh memenuhi kebutuhan
mereka melalui media massa atau dengan cara lain.
Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali
dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti
alasan masyarakat atau pendengar terhadap acara radio berupa
opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat
kabar (McQuail, 2002).
Hasilnya, kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera
sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera
sabun mereka dapat memeroleh gambaran ibu rumah tangga dan
istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka
merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki.
Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa
dengan membaca surat kabar, selain mendapat informasi yang

berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai


informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002).
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail
(2002), dia menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang
terangkum dalam skema media persons interactions sebagai
berikut :

Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan


masalah; sarana pelepasan emosi.
Personal relationships, yaitu persahabatan; dan kegunaan
sosial.
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas;
penguatan nilai.
Surveillance, adalah bentuk-bentuk pencarian informasi.

3.

Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)


Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur
kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan
menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectancevalue theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang dicari dari
media ditentukan oleh sikap terhadap media itu sendiri. Misalnya,
jika kita percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti SuamiSuami Takut Istri menyediakan hiburan dan kita merasa terhibur,
maka kita akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan
dengan menyaksikan sitcoms.
Jika, pada sisi lain, kita percaya bahwa sitcoms menyediakan
suatu pandangan hidup yang tidak realistis dan absurd dan kita
tidak menyukai hal-hal seperti itu, maka kita akan menghindari
untuk melihatnya.
4.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)


Teori ketergantungan terhadap media pertama kali
diperkenalkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur.
Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak
asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and
gratifications, teori ini memprediksikan, khalayak tergantung pada
informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi
kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu
dari proses konsumsi media massa. Namun. khalayak tidak
memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media.
Laantas, apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak
terhadap media massa?

Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan


menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi
berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan, dibanding dengan
media yang hanya menyediakan beberapa kebutuhan saja yang
ada kaitannya dengan kepentingan.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial.
Model ini menunjukkan bahwa sistem media dan institusi sosial itu
memiliki saling ketergantungan dan berhubungan dengan khalayak
dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya, hal ini
akan memengaruhi khalayak untuk memilih media, sehingga bukan
sumber media yang menciptakan ketergantungan, melainkan
kondisi sosial.
Sementara itu, Mc Quail (1987) mengkategorikan teori-teori
makro komunikasi massa ke dalam, 1) Teori masyarakat massa; 2)
Teori-teori aliran Marxis (teori ekonomi politik media; 3) Teori kritis;
4) Teori hegemoni; 5) Pendekatan sosial budaya; dan 6) Pendekatan
struktural-fungsional.
1.

Teori Masyarakat Massa


Teori ini menekankan ketergantungan timbal-balik antara
institusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap
sumber kekuasaan sosial dan otoritas. Jadi, isi media cenderung
melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi.
Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan
menyuguhkan pandangan yang kritis atau tinjauan lain
menyangkut masalah kehidupan, media tetap saja memiliki
kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima
keberadaannya sebagaimana adanya.
Dikemukakan Baran dan Davis (2000), teori masyarakat
massa pada hakekatnya menyatakan bahwa media sedang
mengkorupsi pengaruh-pengaruh order sosial melalui pengaruh
mereka terhadap kepasrahan rata-rata orang.
Perkembangan teori ini seiring dengan berkembangnya
masyarakat industri, dimana masyarakat industri dipandang
sebagai masyarakat yang dipengaruhi (kadang-kadang negatif)
oleh media. Media dipandang mempunyai kekuatan yang sangat
besar untuk membentuk persepsi-persepsi dunia sosial dan
memanipulasi tindakan-tindakan secara tidak kentara tetapi sangat
efektif. Teori ini menganggap, media mempunyai pengaruh buruk
yang dapat merusak kehidupan sosial masyarakat.
Adapun asumsi-asumsi dasar dari teori masyarakat massa
sebagaimana dikemukakan oleh Baran dan Davis (2000), adalah
sebagai berikut :
Media dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan
karena mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam

masyarakat. Oleh karena itu harus dibersihkan atau


dilakukan restrukturasi total terhadap eksistensi media di
tengah kehidupan masyarakat.
Media mempunyai kekuatan untuk menjangkau sekaligus
mempengaruhi secara langsung terhadap pemikiran ratarata orang.
Ketika pemikiran orang sudah dirusak oleh media, semua
bersifat jelek, konsekuensi panjangnya adalah kehancuran
kehidupan individu dan juga problem-problem sosial pada
skala luas.
Rata-rata orang mudah mengecam media karena mereka
sudah diputus atau diisolir dari institusi sosial tradisional
yang sebelumnya memproteksi mereka dari tindakan
manipulasi.
Situasi sosial yang chaos yang diucapkan oleh media akan
menjadi sesuatu yang tidak terelakkan, karena terjadi
perubahan terhadap kuatnya kontrak sosial pada sistem
totaliter.
Media massa menurunkan nilai bentuk-bentuk budaya
tertinggi dan membawa pada kemunduran peradaban
secara umum.
Teori Masyarakat Massa sangat erat kaitannya dengan
budaya massa, dan teori-teori baru menekankan ide-idenya
tentang budaya pop. Media sebenarnya tidak menghilangkan
budaya, tetapi justru dapat bermain di dalamnya dan kadangkadang peranannya kontra produktif dengan perubahan budaya.
Oleh karena itu, terdapat dua konsep sosiologi yang erat
kaitannya dengan teori masyarakat massa, konsep ini dikemukakan
Ferdinant Tonnies, yaitu konsep gemeinschaft yang mewakili
budaya-budaya tradisional, dan gesellschaft yang mewakili
masyarakat industrial modern.
Sementara Emile Durkheim membuat dikotomi yang sama
dengan Tonnies tetapi dengan perbedaan mendasar berdasarkan
interpretasi kontrak-kontrak sosial modern. Konsepnya adalah
mechanical solidarity dan organic solidarity. Solidaritas mekanik
merupakan konsep tentang batasan budaya-budaya rakyat dengan
melakukan konsensus dan peranan-peranan sosial tradisional.
Sedangkan solidaritas organik adalah konsep batasan kontrak
sosial modern melalui peranan negosiasi sosial kultural. Solidaritas
organik ini dihubungkan dengan manifes demokrasi dan
perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi baru yang
ditunjang oleh information superhighway merupakan akses mediasi
bagi masyarakat yang merupakan bentuk representasi demokrasi.
Sementara McQuail (1987) menganalisa teori ini dan
direlevansikan dengan konsep kekuasaan dan integrasi. Teori
masyarakat massa berpangkal dari pandangan bahwa para

anggota masyarakat tidak terintegrasi, atau setidak-tidaknya tidak


terintegrasi secara sehat. Dengan demikian, maka inti konsep
massa yang sebenarnya mengandung dimensi nonintegrasi, tidak
saling mengenal satu sama lain, dan diorganisasi secara
serampangan.
Sedangkan relevansinya dengan konsep kekuasaan, teori ini
menunjukkan bahwa media dapat dikendalikan atau dikelola secara
monopolistik untuk dijadikan sebagai alat utama yang efektif untuk
mengorganisasi massa.
Media massa biasanya menjadi corong penguasa, pemberi
pendapat dan instruksi, serta kepuasan jiwani. Media bukan saja
membentuk hubungan ketergantungan warga masyarakat terhadap
media dalam penciptaan pendapat, tetapi juga dalam hal
penciptaan identitas dan kesadaran. Baran dan Davis (2000),
menyatakan bahwa kekuatan teori ini adalah sebagai berikut :
Spekulasi tentang efek-efek penting.
Menyoroti konflik dan perubahan struktural penting di
(dalam) kultur modern.
Menarik perhatian ke isu etika dan kepemilikan media.
2.

Teori Ekonomi Politik Media


Teori ekonomi politik media merupakan nama lama yang
dihidupkan kembali untuk digunakan dalam menyebutkan sebuah
pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada
struktur ekonomi dari pada muatan (isi) ideologis media.
Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada
kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada
analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja
kekuatan pasar media.
Menurut tinjauan ini, institusi media harus dinilai sebagai
bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem
politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat, yang diproduksi
oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan
oleh nilai tukar pelbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan
perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi
para pemilik dan penentu kebijakan.
Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan
untuk memeroleh keuntungan dari hasil kerja media dan juga
dengan keinginan bidang usaha lainnya untuk memperoleh
keuntungan,
sebagai
akibat
dari
adanya
kecenderungan
monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun
horizontal (sebagaimana halnya menyangkut minyak, kertas,
telekomunikasi, waktu luang, kepariwisataan, dan lain sebagainya).
Littlejhon (1999), mengatakan bahwa menurut teori ini isi
media merupakan komoditi untuk dijual di pasar, dan informasi
yang disebarkan dikendalikan oleh apa yang ada di pasar. Sistem

ini mengarah pada tindakan yang konservatif dan cenderung


menghindari kerugian, yang membuat beberapa jenis programming
tertentu dan beberapa media menjadi dominan sementara yang
lainnya menjadi terbatas.
Adapun konsekuensi dari keadaan seperti ini adalah
berkurangnya jumlah sumber media independen, terciptanya
konsentrasi pada pasar besar, dan munculnya sikap bodoh
terhadap calon khlayak pada sektor kecil.
Menurut Murdock dan Golding (dalam McQuail, 1987), efek
kekuatan ekonomi tidak langsung secara acak, tetapi terus
menerus. Pertimbangan untung rugi diwujudkan secara sistematis
dengan memantapkan kedudukan kelompok-kelompok yang sudah
mapan dalam pasar media massa besar, dan mematikan kelompokkelompok yang tidak memiliki modal dasar.
Oleh karena itu, pendapat yang dapat diterima berasal dari
kelompok yang cenderung tidak melancarkan kritik terhadap
distribusi kekayaan dan kekuasaan yang berlangsung. Sebaliknya,
mereka yang cenderung menantang kondisi semacam itu tidak
dapat mempublikasikan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan
mereka karena mereka tidak mampu menguasai sumber daya yang
diperlukan untuk menciptakan komunikasi efektif terhadap
khalayak luas.
Kekuatan utama pendekatan tersebut terletak pada
kemampuannya menyodorkan gagasan yang dapat dibuktikan
secara empiris, yakni gagasan yang menyangkut kondisi pasar.
Salah satu kelemahannya, unsur-unsur yang ada dalam kontrol
publik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme
kerja pasar bebas.
Walaupun pendekatan memusatkan perhatian pada media
sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), namun
pendekatan ini kemudian melahirkan ragam pendekatan baru yang
menarik, yakni ragam pendekatan yang menyebutkan bahwa
media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian bahwa
media mengarahkan perhatian khalayak ke pemasang iklan dan
membentuk perilaku publik media sampai pada batas-batas
tertentu.
3.

Teori Hegemoni Media


Teori ini kurang memusatkan perhatian pada faktor ekonomi
dan struktur ideologi yang mengunggulkan kelas tertentu, tetapi
lebih menekankan ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara
penerapan,
dan
mekanisme
yang
dijalankan
untuk
mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan
para korbannya (terutama kelas pekerja), sehingga upaya itu
berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka.

Adapun perbedaan teori ini dengan pendekatan Marxis klasik


dan pendekatan ekonomi politik terletak pada pengakuannya
terhadap lebih besarnya kadar ketidaktergantungan media pada
kekuatan ekonomi.
Ideologi sebagai suatu definisi realitas yang kabur dan
gambaran hubungan antar kelas, atau hubungan imajiner para
individu dengan kondisi keberadaan mereka yang sebenarnya
tidaklah dominan dalam pengertian bahwa ideologi itu dipaksakan
oleh kelas penguasa, tetapi merupakan pengaruh budaya yang
disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam
mengintepretasi
pengalaman
tentang
kenyataan.
Proses
interpretasi itu berlangsung secara tersembunyi (samar), tetapi
terjadi secara terus menerus.
Menurut Hall (dalam McQuail, 1987), konsep dominasi, yang
berarti pemaksaan kerangka pandangan pandangan secara
langsung terhadap kelas yang lebih lemah, melalui penggunaan
kekuatan dan keharusan ideologi yang terang-terangan, belumlah
cukup untuk menampung semua kompleksitas permasalahan.
Orang harus memahami bahwa dominasi berlangsung pada
tahap sadar maupun tidak sadar. Dengan kata lain, orang harus
melihatnya sebagai alat dari sistem hubungan yang terkait,
bukannya sebagai upaya pilih-kasih para individu yang dilakukan
secara sadar dan terang-terangan melalui penetapan peraturan
dan pengucilan yang dilakukan melalui bahasa dan wacana.
Karya teoritis beberapa pemikir Marxis banyak memberi
sumbangan terhadap dasar teori ini. Karya karya itu mengarahkan
perhatian ke pelbagai cara yang harus ditempuh untuk
menciptakan dan mensahkan jaringan hubungan kapitalisme, yakni
cara-cara yang kurang lebih sesuai dengan keinginan kelas pekerja
itu sendiri. Alat bantu yang dapat dimanfaatkan untuk menerapkan
upaya tersebut sebagian besar dimungkinkan oleh adanya
perkembangan dalam bidang analisis semiologi dan struktur yang
menyuguhkan metode untuk mengartikan makna tersembunyi dan
menggaris bawahi struktur makna.
4.

Teori Kritis
Para ahli teori kritik prihatin terhadap tanda-tanda kegagalan
ramalan Marxis tentang revolusi perubahan sosial. Untuk
menghindari kegagalan tersebut, mereka beralih mengandalkan
kemampuan superstruktur, terutama dalam wujud media massa,
guna menggantikan proses sejarah perubahan ekonomi.
Dalam satu segi, tampaknya telah terjadi kesalahan sejarah
karena ideologi kelas dominan digunakan untuk mempertahankan
kekuatan ekonomi melalui proses subversi dan asimilasi kelas
pekerja.

Budaya massa yang komersial dan universal merupakan


sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli
modal tersebut. Seluruh sistem produksi barang, jasa, dan ide yang
diselenggarakan
secara
massa
membuka
kemungkinan
diterimanya sebagian atau seluruh sistem kapitalisme dengan
ketergantungan pada rasionalitas teknologi, konsumerisme,
kesenangan jangka pendek, dan mitos tanpa kelas.
Komoditi merupakan alat budaya kritik dan perbedaan
pendapat pun dapat dipasarkan untuk memperoleh keuntungan,
meskipun harus mematikan potensi kritik.
Teori Frankfurt
menekankan dependensi orang dan kelas pada definisi citra dan
perbedaan pendapat yang berlaku umum dalam sistem
keseluruhan. Menurut mereka, media massa merupakan suatu
mekanisme yang mampu mengarahkan perubahan.
Para ahli teori kritik ini melakukan berbagai upaya yang
mengkombinasi pandangan serba media dengan dominasi satu
kelas sosial. Pandangan mereka mengenai kekuasaan media tidak
terlepas dari gagasan yang menekankan pelestarian tatanan yang
berlaku, bukannya suatu perubahan.
5.

Teori Pendekatan Sosial Budaya


Pendekatan ini diwarnai oleh tinjauan yang lebih positif
terhadap produk media massa dan oleh keinginan untuk
memahami makna dan peran yang dibawakan oleh budaya
mutakhir dalam kehidupan kelompok tertentu dalam masyarakat
-golongan muda, kaum buruh migran, kelas pekerja, kelompok
etnik minoritas, dan kelompok marjinal.
Pendekatan ini juga berupaya untuk menjelaskan cara
budaya massa berperan dalam mengintegrasikan dan mematuhkan
golongan masyarakat yang berkemungkinan menyimpang dan
menentang. Pendekatan ini telah mengarahkan banyak karya yang
berkenaan dengan produk dan konteks penggunaan budaya
mutakhir.
Stuart Hall (dalam McQuail, 1987) menulis tentang
pendekatan sosial-budaya yang menyebutkan bahwa pendekatan
ini tidak sependapat dengan peran kebudayaan di masa lalu yang
semata-mata bersifat refleksif.
Dalam konsepnya, kebudayaan saling berkaitan erat dengan
kegiatan sosial. Selanjutnya, semua kegiatan tersebut merupakan
bentuk kegiatan manusia yang berlaku di mana-mana. Di samping
itu,
pendekatan
sosial
budaya
menentang
pendekatran
superstruktur yang dipakai untuk memformulasikan hubungan
antara kekuatan ideal dengan kekuatan material, terutama jika
faktor ekonomi terlalu diperhitungkan.
Pendekatan sosial-budaya memberi definisi kebudayaan
sebagai alat dan nilai yang lahir dari kelompok sosial dan kelas

tertentu, berdasarkan kondisi sejarah dan pola hubungannya


sendiri. Dengan perangkat alat dan nilai, mereka menangani dan
memberikan reaksi terhadap kondisi keberadaan mereka.
Pendekatan sosial-budaya berupaya mendalami pesan dan
publik, melalui pemahaman pengalaman sosial pelbagai kelompok
kecil masyarakat secara cermat, kritis, dan terarah, dengan tujuan
agar dapat memberikan penjelasan menyangkut pola pilihan dan
reaksi terhadap media. Masyarakat juga biasanya diberitakan
tentang upaya pemegang kekuasaan dalam mengani krisis
legitimasi yang berulang kali dan kesulitan ekonomi yang selalu
terdapat dalam masyarakat industrialis-kapitalis.
McQuail (1987) menganalisa teori-teori aliran Marxis yang
direlevansikan
dengan
konsep
kekuasaan
dan
integrasi.
Menurutnya
teori-teori
aliran
ini
(meskipun
terdapat
keanekaragaman pendapat) selalu menekankan kenyataan bahwa
media massa pada hakikatnya merupakan alat kontrol kelas
penguasa kapitalis.
Media komunikasi cenderung dimiliki oleh para anggota kelas
berada yang diharapkan mampu untuk menjalankan media
tersebut demi kepentingan kelas itu.
Dalam teori disebutkan
bahwa terdapat hubungan langsung antara pemilikan kekuatan
ekonomi dengan penyebaran pesan yang menegaskan legitimasi
dan nilai-nilai suatu kelas dalam masyarakat.
Sementara relevansi konsep integrasi sangat menarik
perhatian para ahli teori Marxis, menurut mereka ideologi dan nilainilai baru dipandang perlu dikembangkan dan disebarluaskan ke
dalam kehidupan masyarakat.
6.

Teori Struktural Fungsionalis


Teori ini melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang
terdiri atas beberapa bagian yang saling berkaitan atau subsistem.
Setiap subsistem tersebut memiliki peran (menjalankan fungsi)
yang berarti. Salah satu di antara sekian banyak subsistem itu
adalah media massa.
Kehidupan sosial yang teratur memerlukan pemeliharaan
terhadap semua bagian masyarakat dan lingkungan sosial secara
cermat dan berkesinambungan. Dalam hal ini, media diharapkan
dapat menjamin integrasi ke dalam, ketertiban, dan memiliki
kemampuan memberikan respon terhadap kemungkinan baru yang
didasarkan pada realitas yang sebenarnya.
Teori struktural
fungsionalis tidak menganggap perlu adanya pengarahan ideologi
bagi media, karena media pada hakekatnya mampu mengarahkan
dan mengoreksi dirinya sendiri, sesuai dengan peraturan
kelembagaan tertentu yang telah disepakati secara politis.
Dalam beberapa hal tertentu, teori ini berbeda dengan
pendekatan Marxis, terutama dalam segi objektivitas dan aplikasi

universalnya. Pasalnya, teori ini melihat media cenderung bernilai


sebagai alat untuk memelihara ketertiban masyarakat, bukannya
sebagai penggerak perubahan yang potensial. Berdasarkan
pemikiran tersebut, McQuail (1987) mensarikan kegunaan teori ini
sebagai berikut :
Menyajikan kerangka berpikir untuk membahas hubungan
antara media massa dan masyarakat dan seperangkat
konsep yang sulit diganti.
Membantu dalam memahami kegiatan utama media
dalam kaitannya dengan beberapa aspek struktur dan
proses sosial.
Menciptakan jembatan antara pengamat empiris dengan
teori normatif yang membahas peran yang seharusnya
dibawakan oleh media.
McQuail (1987) menganalisa teori strukturalis fungsional
yang direlevansikan dengan konsep kekuasaan dan integrasi
sebagai berikut :
Relevansi dengan konsep kekuasaan
Sebenarnya masalah kekuasaan tidak terlalu cocok untuk
disoroti dengan teori ini. Meskipun demikian, diakui bahwa
penerapan teori tersebut menekankan adanya kebutuhan
akan pengarahan, pengendalian, dan kohesi internal
dalam suatu sistem sosial supaya struktur sosial berfungsi
dengan baik.
Relevansi dengan konsep integrasi
Teori ini menyatakan bahwa kondisi integrasi merupakan
syarat mutlak bagi kelancaran (keberlangsungan) setiap
sistem sosial. Tanpa integrasi tidak mungkin ada
kesepakatan menyangkut tujuan, cara, dan kegiatan
terkoordinasi untuk mencapai tujuan itu.
Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa dalam
masyarakat kompleks terdapat sejumlah cara yang dapat ditempuh
untuk memperoleh kontrol dan konsensus yang diperlukan. Media
massa hanyalah merupakan salah satu institusi di antara sekian
banyak institusi lain yang juga memiliki tugas yang sama.
Selain teori-teori komunikasi massa seperti yang telah
dipaparkan di atas, Onong Uchjana Effendi (2003) dalam bukunya
Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi membagi model komunikasi
masa ke dalam 4 (empat) jenis, antara lain :
1.

Model Jarum Hipodermik


Merupakan konsep awal dari efek komunikasi massa
(Hypodermis Needle Theory, 1970).
Teori ini mengasumsikan
bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa, dan

komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini


berkembang pada kekuatan propaganda Perang Dunia I (1918) dan
Perang Dunia II (1945).
Teori jarum hipodermik atau juga biasa dikenal dengan
sebutan teori peluru pertama kali ditampilkan tahun 1950-an oleh
Wilbur Schramm setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun
radio siaran CBS di Amerika yang berjudul The Invasion from Mars
(Effendy, 1993). Namun, pada tahun 1970-an, teori tersebut ditarik
kembali eksistensinya.
Adapun tokoh yang mendukung penarikan Teori Peluru, yakni
Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Menurut Lazarsfeld, jika
khalayak diterpa atau ditembak oleh peluru komunikasi, maka
mereka (komunikan) tidak akan langsung jatuh terjerembab, karena
kadang-kadang
peluru tersebut tidak tembus langsung,
akibatnya efek yang ditimbulkan berlainan dengan tujuan dari si
penembak (komunikator).
Sementara Raymond Bauer berpendapat bahwa sebenarnya
khalayak sasaran tidak pasif, mereka secara aktif mencari yang
diinginkannya dari media massa. Jika menemukannya, mereka
melakukan interpretasi sesuai dengan predisposisi dan kebutuhan
mereka.
Penentangan terhadap Teori Peluru tersebut pada akhirnya
melahirkan teori baru, yakni Teori Limited Effect Model yang
dikembangkan oleh Hovland, yang menyatakan bahwa pesan
komunikasi efektif dalam menyebarkan informasi, bukan dalam
mengubah perilaku, misalnya penayangan film bagi tentara.
Bahkan Cooper dan Jahoda memperkuat teori yang
dikembangkan Hovland tersebut yang menyebutkan bahwa
persepsi selektif dapat mengurangi efektifitas sebuah pesan.
2.

Model Komunikasi Satu Tahap (One Step Flow Model)


Model komunikasi satu tahap menyatakan bahwa saluran
media massa berkomunikasi langsung dengan massa komunikan
tanpa berlalunya suatu pesan melalui orang lain, namun pesan
tersebut tidak mencapai semua komunikan dan tidak menimbulkan
efek yang sama pada setiap komunikan. Model komunikasi satu
tahap ini merupakan model jarum hipodermik yang dimurnikan,
kendati model satu tahap ini mengakui, bahwa :
Media tidak mempunyai kekuatan yang hebat.
Aspek pilihan dari penampilan, penerimaan, dan penahanan
dalam ingatan yang seiektif mempengaruhi suatu pesan.
Untuk setiap komunikan terjadi efek yang berbeda.
Selanjutnya model satu tahap memberi keleluasaan kepada
saluran komunikasi massa untuk memancarkan efek komunikasinya
secara langsung.

3.

Model Komunikasi Dua Tahap (Two Step Flow Model)


Konsep komunikasi dua tahap ini berasal dari Lazarsfeld,
Berelson, dan Gaudet (1948) yang berdasarkan penelitiannya
menyatakan bahwa idea-idea seringkali datang dari radio dan surat
kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leaders).
Kemudian dari mereka ini berlalu menuju penduduk yang kurang
giat.
Jadi, tahap pertama adalah dari sumbernya, yakni
komunikator kepada pemuka pendapat yang mengoperkan
informasi. Sedangkan tahap kedua ialah dari pemuka pendapat
kepada pengikut-pengikutnya, yang juga mencakup penyebaran
pengaruh.
Model dua tahap ini menyebabkan khalayak menaruh
perhatian kepada peranan media massa dan komunikasi
antarpribadi. Berlainan dengan model jarum hipodermik yang
beranggapan bahwa massa merupakan tubuh besar yang terdiri
dari orang-orang yang tidak berhubungan tetapi berkaitan kepada
media, maka model dua tahap ini melihat massa sebagai
perorangan yang berinteraksi. Hal ini menyebabkan penduduk
terbawa kembali ke komunikasi massa.
Seseorang memeroleh idea baru --melalui media massa
maupun saluran antarpribadi-- kemudian terlibat pada pertukaran
komunikasi dengan kawan sederajatnya mengenai suatu pesan.
Pada kebanyakan komunikasi massa tampak bahwa sebuah pesan
laju dari sumbernya, yakni komunikator, melaiui saluran media
massa, menuju komunikan sebagai pihak penerima, yang kemudian
sebagai kebalikannya memberi tanggapan kepada pesan tersebut.
Dan atau kepada orang-orang yang berinteraksi dengannya.
Penelitian terhadap model ini selain menunjukkan adanya
kelebihan juga terdapat sejumlah kekurangan. Pada dasarnya
model ini tidak memberikan penjelasan yang cukup. Lajunya
komunikasi dengan massa komunikan pada kenyataannya lebih
rumit daripada keterangan mengenai teori dua tahap tersebut.
Apa yang diketahui tentang proses komunikasi massa
ternyata terlalu mendetail untuk diterangkan dengan satu kalimat
saja. Meskipun demikian, dari penelitian komunikasi timbul dua
keuntungan dari hipotesis dua tahap tersebut di antaranya : 1)
Suatu pemusatan kegiatan terhadap kepemimpinan opini daiam
komunikasi massa; dan 2) Beberapa perbaikari dari komunikasi dua
tahap, seperti komunikasi satu tahap dan komunikasi tahap. ganda.
4.
Model Komunikasi Tahap Ganda (Multi Step Flow
Model)
Teori ini berkembang pada tahun 1940-an. Teori ini
menyebutkan, sebagian besar orang menerima efek media dari
tangan kedua, yaitu opinion leaders yang memiliki akses terlebih
dahulu terhadap media massa.
Akibatnya, hasil komunikasi

antarpersona lebih menonjol dibandingkan dengan terpaan media


massa, karena orang-orang yang berasal dari kelas yang berbeda
akan membuat interpretasi yang berbeda pula terhadap media
atau pesan yang diterima.
Model ini menggabungkan semua model yang telah
dibicarakan terlebih dahulu. Model banyak tahap ini didasarkan
pada fungsi penyebaran yang
berurutan yang terjadi pada
kebanyakan situasi komunikasi. Ini tidak mencakup jumlah tahap
secara khusus, juga tidak khusus bahwa suatu pesan harus
berlangsung dari komunikator melalui saluran media massa.
Model ini menyatakan bahwa bagi lajunya komunikasi dari
komunikator kepada komunikan terdapat jumlah "relay" yang
berganti-ganti. Beberapa komunikan menerima pesan langsung
meialui saluran dari komunikator, yang lainnya terpindahkan dari
sumbernya beberapa kali. Jumlah tahap yang pasti dalam proses
ini bergantung pada maksud dan tujuan dari pihak komunikator.
Tersedianya
media
massa
dengan
kemampuan
untuk
menyebarkannya, sifat dari pesan, dan nilai pentingnya pesan bagi
komunikan.
Sementara itu, Melvin L. DeFleur dalam bukunya berjudul
"Theories of Mass Communication" mengemukakan, terdapat 4
(empat) teori yang berkaitan dengan komunikasi massa, yakni :
1.

Individual Differences Theory


Teori ini menyebutkan bahwa khalayak yang secara
selektif
memperhatikan
suatu
pesan
komunikasi,
khususnya jika berkaitan dengan kepentingannya, akan
sesuai dengan sikapnya. kepercayaannya dan nilainilainya. Tanggapannya terhadap pesan komunikasi itu
akan diubah oleh tatanan psikologisnya.

2.

Social Categories Theory


Teori ini bersumber pada teori sosiologi umum mengenai
massa. Asumsi dasar dan teori Melvin L.DeFleur yang
kedua ini adalah bahwa meskipun masyarakat modern
bersifat heterogen, namun orang-orang yang sama akan
memiliki pola hidup tradisional yang sama pula.
Kesamaan akan orientasi perilaku ini akan mempunyai
kaitan dengan gejala yang diakibatkan media massa.
Suatu kelompok dan khalayak akan memilih pesan
komunikasi yang kira-kira sama dan akan memberikan
tanggapan yang kira-kira sama pula.

3.

Social Relationships Theory

Menurut teori ini, sebuah pesan komunikasi mula-mula


disiarkan melalui media massa kepada pemuka pendapat.
Pada gilirannya oieh pemuka pendapat, pesan tersebut
akan langsung diteruskan secara komunikasi antarpribadi
kepada orang-orang yang kurang keterbukaannya
terhadap media massa atau dengan perkataan lain orangorang yang tidak berlangganan surat kabar, tidak memiliki
pesawat radio atau tidak mempunyai televisi. Dalam
hubungan sosial yang informal demikian, si pemuka
pendapat tadi bukan saja meneruskan informasi, tetapi
juga menginterpretasikannya Dengan demikian, maka
pengaruh pnbadi (personal influence) sangat dominan
yang merupakan mekanisme penting yang bisa mengubah
pesan komunikasi tersebut.
4.

Cultural Norms Theory


Sebagai teori keempat yang diketengahkan oleh Melvin L.
DeFleur pada hakikatnya merupakan anggapan yang
mendasar bahwa melalui penyajian yang selektif dan
penekanan pada tema tertentu, maka media massa
menciptakan kesan-kesan pada khalayak bahwa normanorma budaya yang sama mengenai topik-topik tertentu
dibentuk dengan cara-cara yang khusus.
Dengan demikian, maka secara potensial media massa
memengaruh norma-norma dan batas-batas situasi
perorangan, di antaranya :
Pertama; pesan komunikasi bisa memperkuat pola-pola
yang sudah ada (reinforce existing patterns) dan
mengarahkan orang-orang untuk percaya bahwa suatu
bentuk sosial dipelihara oleh masyarakat.
Kedua; media massa bisa menciptakan keyakinan baru
(create new
shared convictions) mengenai topik,
dengan topik mana khalayak kurang berpengalaman
sebelumnya.
Ketiga; media massa bisa mengubah norma-norma
yang sudah ada (change existing norms) dan
karenanya mengubah orang- orang dari bentuk tingkah
laku yang satu menjadi fngkah laku yang lain.

Selain sejumlah teori dan model komunikasi massa seperti


yang telah dipaparkan di atas, juga terdapat beberapa teori
komunikasi massa lainnya, antara lain :
1.

Teori Proses Seleksi (Selective Processes Theory)


Teori ini menilai orang-orang cenderung melakukan proses
selective exposure (terpaan selektif) berupa penolakan pesan atau

informasi yang berbeda dengan kepercayaan yang mereka yakini.


Pada tahun 1960, seorang ilmuwan sosial, Joseph Klapper berhasil
menerbitkan kajian penelitian efek media massa yang tergabung
dalam penelitian pasca perang tentang persuasi, pengaruh persona
dan proses selektif, yang menunjukkan bahwa pengaruh media itu
terbilang lemah, pengaruhnya kecil bagi pemilih dalam pemilihan
umum (pemilu), pasar saham dan para pengiklan.
2.
Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory)
Berdasarkan penelitian Albert Bandura, khalayak akan
melakukan peniruan terhadap apa yang mereka lihat (terutama) di
televisi, melalui suatu proses observational learning. Sementara
itu, Klapper menganggap bahwa ganjaran dari karakter televisi
dapat diterima pemirsa sebagai perilaku antisosial, termasuk
menjadi toleran terhadap pelaku pencurian dan kriminalitas serta
mengandrungi kehidupan glamour seperti yang ditampilkan di
televisi.
3.

Teori Difusi Inovasi


Everett M. Rogers mendefinisikan Difusi sebagai proses
dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu
dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem
sosial.
Pesan yang disampaikan mengandung ketermasaan
(newness) yang memberikan ciri khusus kepada difusi yang
menyangkut ketidakpastian (uncertainty).
Derajat ketidakpastian seseorang dapat dikurangi dengan
jalan memperoleh informasi. Sedangkan yang dimaksud dengan
Inovasi adalah suatu ide, gagasan, karya atau objek yang dianggap
baru oleh seseorang atau sekelompok orang. Adapun ciri-ciri dari
inovasi yang dirasakan oleh sejumlah anggota sistem sosial yang
dapat menentukan tingkat adopsi tersebut, di antaranya :
Relative advantage (keuntungan relatif); yakni suatu
derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik dari ide lain
yang menggantikannya.
Compatibility (kesesuaian); yakni suatu derajat dimana
inovasi dirasakan konsisten dengan nilai-nilai yang
berlaku, pengalaman dan kebutuhan mereka yang
melakukan adopsi.
Complexity (kerumitan); yakni suatu mutu derajat dimana
inovasi dirasakan menjadi sukar untuk dimengerti dan
dirasakan.
Trialability (kemungkinan dicoba); yakni suatu mutu
derajat
dimana
inovasi
dieksperimentasikan
pada
landasan yang terbatas.
Observability (kemungkinan diamati); yakni suatu derajat
dimana inovasi dapat disaksikan oleh orang lain.

Sementara itu, Everett M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker


mengemukakan bahwa Teori Difusi Inovasi dalam prosesnya
terdapat 4 (empat) tahap, di antaranya :
Pengetahuan; Kesadaran individu akan adanya inovasi dan
pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut
berfungsi.
Persuasi; Individu membentuk sikap setuju atau tidak
setuju terhadap inovasi.
Keputusan; Individu melibatkan diri pada aktifitas yang
mengarah pada pilihan untuk menerima atau menolak
inovasi.
Konfirmasi; Individu akan mencari suatu penguatan
(dukungan) terhadap keputusan yang telah dibuatnya,
namun bisa jadi ia malah berbalik keputusan, jika ia
memperoleh isi pernyataan yang bertentangan (McQuail,
1985)
4.
Teori Kultivasi
Menurut teori ini, media, khususnya televisi, merupakan
sarana utama untuk belajar tentang masyarakat dan kultur budaya.
Pecandu berat televisi akan memberikan anggapan-anggapan yang
berlebihan, misalnya kemungkinan seseorang menjadi korban
kriminal 1:10, padahal kenyataannya 1:50.
William berpendapat, seorang pecandu berat televisi
cenderung akan memiliki stereotipe tentang peran tertentu. Hal ini
tentu saja tidak semua pecandu berat televisi terkultivasi secara
sama, karena beberapa lebih mudah dipengaruhi televisi
dibandingkan dengan yang lain (Hirsch, 1980).
Jadi, televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk
pandangan khalayak tentang dunia, televisi merupakan salah satu
media yang paling ampuh terutama bila kontak dengan televisi
sangat sering dan berlangsung dalam waktu yang lama.
5.

Teori Agenda Setting


Studi efek media dengan pendekatan agenda setting
(penentuan/pengaturan agenda) sudah dimulai pada tahun 1960an, namun popularitasnya baru dikenal setelah publikasi hasil karya
McCombs dan Shaw di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka
menggabungkan dua metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk
mengetahui agenda media di Chapel Hill) dan survey terhadap 100
responden untuk mengetahui prioritas agenda publiknya (Haryanto,
2003).
Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi
yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya
sejumlah isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill bersesuaian
dengan urutan prioritas pada responden.

Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan


pengaruh kognitif (pengetahuan) media atas khalayak (publik),
namun studi agenda setting tersebut sudah dapat dipakai sebagai
upaya untuk mengkaji, mengevaluasi, dan menjelaskan hubungan
antara agenda media dengan agenda publik.
Alhasil, McCombs dan Shaw (2003) meyakini, hipotesa
agenda setting tentang fungsi media terbukti, dimana terdapat
korelasi yang hampir sempurna antara prioritas agenda media dan
prioritas agenda publik.
Setelah publikasi karya tersebut, banyak eksplorasi dilakukan
dengan menggunakan metode kombinasi analisa isi dan survey.
Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah beragam.
Ada yang
memperkuat, akan tetapi tidak sedikit yang memperlemah temuan
mereka tersebut.
Mengapa demikian? Rogers (1997) dalam A Paradigmatic
Hystory of Agenda Setting Research, berpendapat bahwa kurang
diperhatikannya on going process dalam framing dan priming
agenda media; maupun on going process dalam agenda publik,
seringkali kesimpulan yang didapat tidak sesuai dengan realita
yang ada.
Dengan begitu, bisa jadi hasil penelitiannya sebagian semu.
Artinya hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan
sampelnya kebetulan mendukung/tidak mendukung hipotesis yang
dikembangkan, atau mungkin pilihan atas isu-isunya kebetulan
menyangkut/tidak menyangkut terhadap kepentingan kelompok
responden.

Variabel Agenda Setting


Sampai dengan penerbitan hasil studi yang dilakukan oleh
McCombs dan Shaw pada tahun 1972, hampir semua studi agenda
setting yang dilakukan memfokuskan pada dua variabel, yaitu
agenda media (sebagai variabel independen) dan agenda publik
(sebagai variabel dependen).
Analisis hubungan antar variabel yang dilakukan biasanya
lebih menekankan kepada pola hubungan satu arah atau bersifat
linear, yaitu bahwa agenda media sangat mempengaruhi
terbentuknya agenda publik. Ini merupakan bukti bahwa
kebanyakan peneliti pada saat itu masih percaya bahwa efek media
bersifat langsung, sehingga studi mereka lebih banyak berorientasi
pada upaya pengukuran besarnya efek media.
Karenanya, banyak kritik dilontarkan, yang mempertanyakan
dimanakah perbedaan substansial antara efek media di masa lalu
dengan aplikasi pendekatan agenda setting dalam menjelaskan
sifat dan derajad efek media terhadap audiens. Dalam model
tersebut, realita yang mengarah pada hubungan timbal balik antara
agenda media dan agenda publik kurang mendapatkan perhatian.
Seringkali terlupakan bahwa framing dan priming agenda media,

dan tingkat kemenonjolan (salience) isu atau kejadian pada agenda


publik, merupakan proses tidak berujung dan tidak berpangkal.
Kurang perhatian terhadap proses baik dalam bentuk
agenda media maupun agenda public tersebut itulah yang
menyebabkan studi agenda setting kurang mampu menjelaskan
mengapa isu-isu tertentu, yang disiarkan oleh media tertentu
mempunyai pengaruh tertentu, bagi audiens tertentu.
Respon terhadap kenyataan tersebut adalah terjadinya
perubahan orientasi dalam studi agenda setting bahwa agenda
setting bukan hanya suatu gejala melainkan sebuah proses yang
berlangsung terus menerus (on going process).
Berdasarkan perspektif ini, pemenuhan (coverage) variabel
dalam studi agenda setting menjadi sangat luas, karena melibatkan
faktor-faktor yang merupakan bagian dari proses terbentuknya
agenda media dan agenda publik dan sekaligus bisa digunakan
untuk menjelaskan mengapa efek media sangat besar, kecil, atau
tidak ada sama sekali.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ada tidaknya pengaruh
agenda setting (pengaruh agenda media terhadap agenda publik)
disebut faktor kondisional, yang dapat dapat dikategorikan menjadi
2 (dua) jenis, yakni :
1. Dari perspektif agenda media yang meliputi framing;
priming; frekuensi dan intensitas pemberitaan atau
penayangan; dan kredibilitas media di kalangan audiens
atau khalayak.
2. Dari perspektif agenda publik yang meliputi, faktor
perbedaan individual; faktor perbedaan media; faktor
perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor
perbedaan kultural.
Perbedaan individual, pengaruh agenda setting akan
meningkat pada diri individu yang memberikan perhatian
lebih terhadap isu-isu yang disajikan oleh media massa.
Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa perhatian individu
terhadap isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
luas pengalaman, kepentingan, perbedaan ciri demografis,
sosiologis.
Bukti-bukti eksperimental (Iynenger & Kinder, dalam
Haryanto:2003) menunjukkan bahwa efek agenda setting
akan meningkat pada individu-individu yang memberikan
perhatian lebih terhadap isu-isu yang dikaji, sedangkan
intensitas perhatian sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan derajat kepentingannya.
Perbedaan media, yang dimaksudkan disini adalah
perbedaan coverage media yang ada pada komunitas,
kelompok masyarakat, wilayah atau negara tertentu.
Diyakini bahwa sekalipun ada kecenderungan uniformitas

dalam menyiarkan berita (isu), namun beberapa media


tertentu memberikan tekanan dan porsi yang berbeda
dalam menyiarkan berita. Framing dan priming merupakan
salah satu bukti akan hal ini. Tekanan dan porsi yang
berbeda berpengaruh terhadap aseptibilitas agenda media
di kalangan audiens. Ini berarti bahwa media yang lebih
diterima oleh audiens akan mempunyai efek agenda
setting yang lebih besar.
Penerimaan audiens terhadap media merupakan salah
satu faktor yang bisa meningkatkan prestige media
tersebut di kalangan audiens yang bersangkutan.
Berkaitan dengan masalah ini, diasumsikan bahwa bila
media mampu mengangkat prestige audiens maka efek
agenda setting akan meningkat. Hal lain yang bisa
mengangkat prestige media di kalangan audience adalah
sirkulasi (nasional, internasional), segemen pasar (kelas
menengah, atas, eksekutif).
Perbedaan isu, dilihat dari isinya, isu bisa berupa
pengungkapan masalah yang sedang dihadapi oleh
individu, kelompok, atau masyarakat, isu juga bisa berupa
usulan solusi untuk memecahkan masalah. Masing-masing
jenis isu mempunyai efek yang berbeda dalam proses
agenda setting. Oleh karena itu, seharusnya diberikan
pertimbangan khusus dalam penelitian agenda setting.
Sedangkan dilihat dari jenisnya, isu bisa dibedakan atas :
1. Obtrusive issues; adalah isu-isu yang berkaitan
langsung dengan pengetahuan dan pengalaman
individu atau khlayak. Artinya, bahwa pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh khalayak tentang isu
yang bersangkuatan bukan berasal dari media, akan
tetapi sudah dimiliki sebelumnya.
2. Unobstrusive issues; adalah isu-isu yang tidak berkaitan
langsung dengan pengetahuan/pengalaman audiens.
Bukti empirik menunjukkan bahwa efek agenda setting
lebih besar ditemukan pada individu-individu yang
mempunyai keterlibatan langsung dengan isu yang
disiarkan.
3. Selective issues; adalah isu-isu atau sejumlah isu yang
dipilih secara khusus, dengan alasan tertentu kemudian
diukur pengaruhnya pada khalayak tertentu. Pemilihan
isu(sejumlah isu) bisa dilakuakan dengan melakukan
analisa terhadap isi media massa, kemudian memilih
sejumlah diantaranya yang dianggap lebih menonjol
dibandingkan yang lain, atau bisa juga dengan cara
mengambil
topik-topik
yang
sedang
menjadi
pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.

4. Remote issues; adalah isu-isu yang sama sekali di luar


individu, kelompok, atau masyarakat, baik secara
geografis, psikologis, maupun politis. Bukti-bukti yang
dikumpulkan untuk mengevaluasi pengaruh agenda
setting berkaitan dengan remote issues masih bersifat
debatable. Artinya, beberapa temuan menyebutkan
bahwa remote issues mempunyai efek agenda setting
lebih besar. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan,
temuan yang lain menyebutkan bahwa remote issues
tidak memunyai efek sama sekali.
Perbedaan salience, yaitu pemilihan isu berdasarkan
perbedaan nilai kepentingan, dilihat dari sisi khalayak;
apakah isu yang dipilih untuk menjangkau kepentingan
sosial (komunitas yang lebih luas), kepentingan
interpersonal (keluarga teman bergaul, tempat kerja, dsb.)
ataukah kepentingan individu. Masing-masing pilihan,
tentu saja, akan menimbulkan efek agenda setting yang
berbeda.
Oleh
karena
itu
sangatlah
bijaksana
mempertimbangkan masalah ini dalam studi agenda
setting.
Perbedaan kultural, setiap kelompok masyarakat akan
menanggapi dan merespon isu yang sama secara
berbeda, yang secara otomatis akan mempengaruhi efek
agenda setting yang ditimbulkan. Teori norma budaya
yang dikembangkan de Fleur (dalam Haryanto, 2003)
menyebutkan bahwa pesan-pesan komunikasi yang
disampaikan oleh media massa bisa menimbulkan kesankesan tertentu, yang oleh individu disesuaikan dengan
norma-norma budaya yang berlaku pada masyarakat
dimana individu itu tinggal.
Sekalipun dipercaya bahwa media mampu membentuk
dan merubah norma baru sebagai acuan hidup bagi
kelompok masyarakat tertentu, namun bukti-bukti yang
ditemukan belum sepenuhnya mendukung hipotesa
tersebut.
Bukti-bukti empirik yang paling kuat adalah media massa
lebih mudah memperkokoh sistem budaya yang sudah
berakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
pengukuran
efek
agenda
setting
seharusnya
mempertimbangkan dengan hati-hati sistem budaya yang
dianut oleh individu, kelompok atau masyarakat

Anda mungkin juga menyukai