Anda di halaman 1dari 176

Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi

Volume 13, Nomor 1, Juni 2013


ISSN 1411-8289

Pelindung / Penasehat
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik - LIPI
Penanggung Jawab
Kepala Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi - LIPI
Dewan Editor
Ketua
Dr. Goib Wiranto (Mikroelektronika)

Wakil Ketua
Dr. Ir. Yuyu Wahyu, MT (Telekomunikasi)
Anggota

Prof. Dr. Engkos Koswara N, M.Sc (Informatika)


Ir. Mashury W, M.Eng (Telekomunikasi)
Dr. Purwoko Adhi, DEA (Elektronika)
Dr. Nasrullah Armi, M.Eng (Elektronika)
Mitra Bestari
Prof. Dr. Eko Raharjo(Telekomunikasi)
Dr. Ir. Heru Wijanto, MT(Telekomunikasi)
Dr. Ir. Adit Kurniawan, M.Eng (Antena & Microwave)
Dr. Azwar Manaf (Fisika Material)

Prof. Dr. Masbah R.T Siregar (Fisika Material)


Dr. Edy Supriyanto, S.Si (Fisika Material)
Dr. Ir. A. Andaya Lestari (Antena & Microwave)
Drs. B.A. Tjipto Sujitno, M.Sc., Eng., APU
(Sains Materi / Sensor)

Editor Pelaksana
Ketua
I Dewa Putu Hermida, MT (Mikroelektronika)

Wakil Ketua
Yadi Radiansah, ST (Informatika)

Copy Editor
Asep Yudi Hercuadi, ST.EL (Elektronika)
Yaya Sulaeman, ST (Elektronika)
Shobih, MT (Mikroelektronika)
Topik Teguh Estu, ST (Telekomunikasi)

Layout Editor
Dayat Kurniawan, ST (Elektronika)
Hana Arisesa, ST (Telekomunikasi)
Novrita Idayanti, MT (Mikroelektronika)
R. Indra Wijaya, MT (Elektronika)

Desain Grafis
R. Indra Wijaya, MT (Desain Grafis dan Tata Letak)
Dicky Desmunandar (Desain Grafis dan Tata Letak)

Sekretariat / Sirkulasi
Poppy Sumarni
Lisdiani

Web Admin
Iqbal Syamsu, MT (Komputer)

Sekretariat Redaksi
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Komplek LIPI Jl. Sangkuriang, Gedung 20, Lantai 4, Cisitu, Bandung, Indonesia, 40135
Telp: +62 22 2504660, 2504661, Fax: +62 22 2504659
email: jurnal@ppet.lipi.go.id; jurnal.ppet@gmail.com
homepage: www.ppet.lipi.go.id/jurnal

Editorial

iii

Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi


Volume 13, Nomor 1, Juni 2013
ISSN 1411-8289

Editorial
Kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya
sehingga Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi bisa terbit di hadapan para pembaca semua.
Setiap makalah yang diterbitkan telah melalui proses pemeriksaan oleh Dewan Redaksi yang
telah ditunjuk sesuai dengan kompetensinya atau kepakarannya. Pada penerbitan Volume 13
Nomor 1 tahun 2013 ini, disajikan 7 makalah yang meliputi topik-topik dalam bidang
Telekomunikasi, Radar, Sonar, Sel Sulya, Sensor, Material Maju, Telemetri dan Aplikasi
Elektronika. Makalah yang diterbitkan merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan di
lingkungan LIPI.
Pada kesempatan kali ini redaksi juga memberi kesempatan kepada para peneliti dari
instansi lain yang terkait dengan bidang Elektronika, Telekomunikasi, Bahan dan Komponen
Mikroelektronika, untuk dapat ikut menerbitkan hasil penelitiannya di Jurnal ini.
Semoga makalah yang diterbitkan kali ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat
memberi kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang yang terkait. Redaksi
berharap makalah yang akan diterima untuk penerbitan selanjutnya dapat lebih bervariasi
sehingga bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi para pembaca.

Bandung, Juni 2013

Ketua Dewan Editor

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

iv

Daftar Isi

Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi


Volume 13, Nomor 1, Juni 2013
ISSN 1411-8289

Daftar Isi
Application of Large Area TiO2 Photoelectrode on Dye-Sensitized Solar Cells
Natalita M. Nursam, Lia Muliani, and Jojo Hidayat
Antena Array Mikrostrip Dual Beam Untuk Aplikasi Sensor Radar Doppler
Pamungkas Daud dan Niluh Sri Andayani

1-5

6 - 13

Performance of Dye-sensitized Solar Cells based on Gel Electrolyte


Lia Muliani, Natalita M. Nursam, and Jojo Hidayat

14 - 17

Antena Patch Array untuk Portable Coastal Radar pada Frekuensi S-Band
Folin Oktafiani dan Yussi Perdana Saputera

18 - 22

Antena Bikonikal Tabung untuk Aplikasi Radar Electronic Support Measures Dengan Pola
Radiasi Omni-directional pada Frekuensi 2 -18 GHz
Yussi Perdana Saputera, Folin Oktafiani, dan Yuyu Wahyu

23 - 27

Design Of Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring Resonator Using Transfer Matrix


And Signal Flow-Graph Methods
Dadin Mahmudin, Pamungkas Daud, and Yusuf Nur Wijayanto

28 - 32

Desain dan Realisasi Mikrostrip Bandpass Filter Dengan Struktur Hairpin


Teguh Praludi dan Yaya Sulaeman

33 - 37

ISSN 1411-8289

Application of Large Area TiO2 Photoelectrode on


Dye-Sensitized Solar Cells
Aplikasi Fotoelektroda TiO2 Area Lebar pada Sel Surya
Dye-sensitized
Natalita M. Nursam *, Lia Muliani, and Jojo Hidayat
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Komplek LIPI Gedung 20 Lantai 4, Jl Sangkuriang, Bandung 40135, Indonesia
Abstract
The scale-up of dye-sensitized solar cell (DSSC) has been a big issue as the DSSC technology process progresses from
laboratory scale to large area applications. Meanwhile, this type of solar cell has been of great interest among PV scientist and
academics as it can be produced in lower-cost processes compared to the conventional solar cells which are mostly fabricated
from silicon. The fabrication of DSSC prototypes with a relatively large active area of 9x9 cm2 are demonstrated in this paper.
Large area of TiO2 surface has been shown to significantly increase the ISC, as well as VOC and Pmax. Nevertheless, deterioration of
fill factor (FF) was observed as the result of the increase on series resistance with respect to the increase in the photoelectrode
area.
Key words: DSSC, TiO2, photo-electrode, efficiency.
Abstrak
Peningkatan luas area pada pembuatan sel surya berbasis dye-sensitized (DSSC) merupakan salah satu kendala utama yang
dihadapi pada saat ekspansi dari skala laboratorium menuju aplikasi dalam skala besar. Di lain sisi, pada saat ini jenis sel surya ini
sedang menjadi tren penelitian di kalangan peneliti maupun akademisi dikarenakan rendahnya biaya proses fabrikasi yang
dibutuhkan dibandingkan sel surya pendahulunya yang terbuat dari silikon. Tulisan ini membahas pembuatan prototipe sel surya
DSSC dengan luas area aktif berukuran relatif besar yaitu 9x9 cm2. Peningkatan luas area permukaan TiO2 secara signifikan
berakibat pada kenaikan nilai ISC, VOC, dan Pmax. Sebaliknya, penurunan nilai fill factor dapat diamati sebagai hasil dari naiknya
tahanan seri seiring dengan bertambahnya luas area fotoelektroda.
Kata kunci: DSSC, TiO2, fotoelektroda, efisiensi

I.
INTRODUCTION
Dye-sensitized solar cell (DSSC) is expected to be a
promising candidate as the latest low-cost photovoltaic
(PV) technology. The working principle of a DSSC
employs the basic mechanism of photoelectronchemistry, which is similar to that of the
photosynthesis process within the plants leaves. The
DSSC technology has been developed very quickly since
the work on this device was firstly reported by Gratzel
and his co-workers in 1991 [1]. DSSC offers several
benefits compared to the conventional silicon based
solar cell such as: attractive colorful appearances,
transparency, cheaper, and relatively easier to
fabricate.
One of the DSSC applications that has recently
been of great interest is to be incorporated as a green
and sustainable yet attractive power source on the
faade of building integrated photovoltaics (BIPV).
BIPV system normally uses solar cells as outer walls
or glass windows on the buildings, as recently studied
* Corresponding Author.
Email: nata002@lipi.go.id
Received: June 3, 2013; Revised: June 7, 2013
Accepted: June 11, 2013
Published: June 30, 2013
2013 PPET - LIPI All rights reserved

by Yoon et.al. [2]. Figure 1 shows an example of


DSSC implementation on BIPV system [3]. For such
application, DSSC needs to be fabricated on a wide
area of glass substrates, which therefore require further
analysis upon the scale-up effect. The best efficiency
of DSSC to date that is around 11%- was reported by
Graetzel [4] and Chiba et.al. [5]. However, both were
fabricated on a lab-scale with a total active area less
than 25 cm2.

Figure 1. BIPV System Featuring 6 kV of DSSC Panels at the Atrium


of CSIRO Energy Technology, Newcastle, NSW, Australia [3].

Natalita M. Nursam et al

A wide area DSSC is generally fabricated in form


of Z/M/Monolithic interconnected module [6] - [8].
However, such interconnection would reduce the
active area by increasing the inactive parts. Therefore,
we aim to fabricate a single large area of DSSC
without
the
necessity
to
use
additional
interconnections. This paper will cover two main
objectives. The first is to demonstrate the fabrication
of a DSSC using screen printing technique on a 10x10
cm2 glass substrate with a total active area of 9x9 cm2
that was manufactured from nanocrytalline TiO2 active
layer. The second goal is to study the effect of such
fabrication upon the electrical parameters of the cell
which subsequently can be used to analyze the
influencing factors in making large surface area of
DSSC.
OPERATIONAL PRINCIPLE OF DYESENSITIZED SOLAR CELL
The physical structure of a standard DSSC consists
of two sandwiched glass layered with transparent
conducting oxide (TCO). One electrode features a
porous titanium dioxide (TiO2) layer stained with dye
molecules named as photo-electrode, while the other is
the counter-electrode in which platinum (or other
catalysts) is deposited upon it. Electrolyte layer of redox
species (I- and I3-) exists between the two electrodes after
they are being sandwiched together. The general
structure of a DSSC is illustrated in Figure 2.

completed (see Eq. (4)). Further description with regard


to the above mechanism can be found in Figure 3 (b).
The overall reaction is actually similar to the
photosynthesis process which occurs in plants as shown
in Figure 3 (a).
(2)
D* D e

I 3 2e 3I

3I 2D I 2D

(3)
(4)

II.

Figure 2. Basic Structure of Typical DSSC.

The working principle of a DSSC is based on the


kinetics of the electron transfer reactions. The
photoelectrochemistry mechanisms which occur during
electron transfer within the DSSC are as follows: a dye
molecule is excited upon photon (h) absorption whereas
electron is excited from highest occupied molecular
orbital (HOMO - D) into lowest unoccupied molecular
orbital (LUMO D*) as shown by Eq. (1).
D h D *
(1)
The free electron is subsequently injected into the
conduction band of TiO2 and transparent conducting
oxide (TCO) towards the external circuit and left the
oxidized dye molecul D+ (Eq. (2)). Electron reach the
catalyst layer (Pt or C) and then recombine with holes
within the electrolyte, in form of tri iodide (I3-), to
produce iodide ions (I-) through redox reactions. This
reaction was shown by Eq. (3). The negative charge of Idiffuses back into the dye and reacts with the oxidized
molecule D+ and a full electrical cycle is therefore
ISSN 1411-8289

Figure 3. Mechanism Following Photon Absorption which Occurs


on (a) Plants, (b) Dye-Sensitized Solar Cells [9].

III.

EXPERIMENTAL

A. Materials Preparation
The glass substrates used for the counter-electrode
were soda-lime glasses which is commercially available.
Meanwhile, the FTO glass used for the photo-electrode
was purchased from Dyesol, Australia with a
conductivity of 15/. Some of the other materials were
also supplied by Dyesol, such as TiO2 transparent paste
(18NR-T), sensitizing dye B2(N719), electrolyte ELHSE, Surlyn, and hermetic sealing compound. In
addition to these materials, we also used Pt target and
some chemical reagents which were also commercially
available.
B. Fabrication of Photo-electrode
TiO2 deposition was performed using screenprinting technique which is relatively easy, low-cost, and
industrially feasible. The screen used to deposit the TiO2
layer was a Nylon #325 mesh and the printing was
performed on an area of 9x9 cm2 (see Figure 4). The
TiO2 pastes used in this experiment was Dyesol 18NR-T
with a transparent sintered layer. The printing process
was performed twice, whereas each step was ended with
a drying on an oven at a temperature of 175 oC for 10
minutes. At the end of the process, all samples were
sintered on a conveyor-belt furnace for 15 minutes. All
samples were subsequently immersed on a solution
consisting ruthenium dye Z907 and ethanol with a
concentration of 20 mg/100 ml. The dyeing process
lasted for 24 hours on a dark place and, in the end of the
process; all samples were rinsed on ethanol to remove
the dye residues or any existing water vapor.

Application of Large Area TiO2 Photoelectrode on Dye-Sensitized Solar Cells

Meanwhile, the electrical circuit configuration that was


used to measure the I-V data is depicted in Figure 6.

Figure 4. Schematic Diagram of the Fabricated DSSC.

C. Fabrication of Counter-electrode
The catalyst material used as the counter-electrode
for our samples is platinum (Pt). The reason for
choosing sputtered-Pt as the catalyst has been explained
in our previous work [10]. Deposition process for the
counter-electrode, was performed using DC-sputtering
process with an initial pressure of 6.6x10-3 Pa, argon gas
pressure of 5.3x10-1 Pa, rotation speed 5 rpm and power
5 W, for 20 minutes. As comparison, we also fabricate
another sample using transparent Pt which was deposited
using Dyesol Pt paste (PT1). This printed electrode was
subsequently sintered at 450 oC for approximately 15
minutes.

Figure 5. The I-V Characteristics of an Ideal Solar Cell [12].

D. Cell Assembly
Both photo-electrode and counter-electrode were
assembled into a sandwich structure using thermoplastic
sealant (Surlyn) with a thickness of 50 m as the spacer,
being attached on the TiO2s surroundings. All samples
were subsequently heated on a temperature of 120 oC to
strengthen the attachment process. Finally, Dyesol liquid
electrolyte EL-HSE was injected into the assembled
samples and the remaining air holes were subsequently
sealed using hermetic sealing compounds.

Figure 6. Electrical Circuit Diagram for I-V Characterization [13].

E. Current-Voltage Characterization
Solar cell characterization is generally performed
based on current-voltage (I-V) measurements using onediode model [11]. In our research, the I-V characterizations were done by measuring voltage when the DSSC
was illuminated and connected to potentiometer with
certain resistances. Other parameters that also essentials
in characterizing solar cells are open-circuit voltage
(Voc), short-circuit voltage (Isc), and efficiency. The latter
can be calculated using following expression:

V I FF
% OC SC
x100%
Pin

(5)

Where Pinis the amount of lower received by the cell


(measured using pyranometer) and FF is the fill factor
which represents the quality of any solar cells
characteristics and is determined by following
expression.

FF

Pmax
VOC I SC

(6)

The correlation between P, Voc, and Isc is described


by the I-V curve of an ideal solar cell shown in Figure 5.

IV.
RESULTS AND DISCUSSION
Figure 7 shows the photograph of our finished cell
prototype featuring Pt from sputtering process, with a
total size of 10x10 cm2 and an active area of 81 cm2.

Figure 7. DSSC Prototype Having Total TiO2 Active Area of 9x9 cm2.

Figure 8 shows the I-V curve measured from two


samples with different counter-electrodes, i.e. sputtered
Pt and transparent-printed Pt, while the rest of the
process conditions and parameters were maintained the
same. These samples were measured under direct sun
illumination with an insensity of 60 mW/cm2 (0.6 sun).
It can be seen that the application of Pt sputtering was
able to enhance both the efficiency and the maximum
output power almost a factor of two higher compared to
that of the sample featuring printed Pt. One of the
possible causes of this phenomenon is suspected due to
the charge transfer resistance at Pt/electrolyte interface

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

Natalita M. Nursam et al

(RCT) [14]. The thickness of Pt layer which was


deposited using sputtering technique is far less thick
compared to that of the printing process, which therefore
would reduce the RCT and improve the charge transfer
activities. Nevertheless, this does not conclusively
indicate that screen-printed Pt would always give less
qualified catalyst compared to sputtering. Further
optimization through printing technique and/or sintering
conditions is therefore necessary.

Figure 8. I-V Curve of 9x9 cm2 DSSC Measured at 0.6 Sun With
Different Catalyst Materials.

In order to analyze the scaling up effect of the active


area, we measured and compared the I-V curve of two
samples with an active area of 9x9 cm2 and 1x6 cm2
which were prepared under similar conditions. The
measurements were performed using monochromatic
light with an intensity of 6 mW/cm2. The measurement
graphs can be found in Figure 9. It can be briefly
concluded that the scaling up has caused significant
increase on ISC but not much profound increase was
observed on VOC. Table 1 shows the detailed data from
this measurement.

area, especially the current. This can be explained by the


increase of dye molecule attachment; hence, the photon
absorption area is increased as well. One of the most
profound causes for the decreasing efficiency is due to
the deterioration of fill factor (FF). We attribute the low
FF to series resistance losses in TCO glass substrate
(RTCO) since the larger sample was made on larger
substrate. Series resistance in DSSC is composed of
three components, i.e. RCT, RTCO, and diffusion resistance
of I3- ions in electrolyte [15]. In this case, the second
factor is suspected to dominate the cause of FF
degradation. In order to prevent such occurrence, it is
plausible to employ the TiO2 active area in stripes
design. However, the aperture ratio for designing stripe
pattern would be the main challenge. From our results,
we also conclude that our 81 cm2 active area sample
basically offers better effectiveness in the area
utilization, as is shown in Table 1 by its higher aperture
ratio. Aperture ratio is the ratio between active and
inactive area.
TABEL I
I-V PARAMETERS OF DSSC UNDER 6 MW/CM2 ILLUMINATION
CONDITION
Active
Aperture
Isc
Pmax
FF

Area
Voc(mV)
ratio
(mA)
(mW)
(%)
(%)
2
(cm )
81
8:2
619
28.6
4.83
27.29 1.19
6
6:8
520
10.6
1.97
35.75 5.47

CONCLUSIONS
In this paper, we have demonstrated the use of
screen printing method to fabricate a large size DSSC
on a 100 cm2 TCO substrate. The use of sputtering
technique to deposit the Pt catalyst layer has shown a
considerable increase in the photoconversion
efficiency. The fabrication of large active area has
shown improvements in some of the electrical
parameters, however, the opposite effect was observed
on the fill factor. The reason for this is suspected due
to the increase of TCO resistance with respect to the
increase in the TiO2 surface area.
ACKNOWLEDGEMENT
This work was fully funded by DIPA Tematik Puslit
Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (PPET LIPI) 2011. Mr. Dede
Ibrahim is thanked for his contribution during sample
preparation and assembly.
REFERENCES
B.O. Regan, M. Graetzel, A low-cost, high-efficiency solar
cell based on dye sensitized colloidal TiO2 films, Nature, vol.
353, pp. 737-740, 1991.
[2] S. Yoon, S. Tak, J. Kim, Y. Jun, K. Kang, J. Park,
Application of transparent dye-sensitized solar cells to
building integrated photovoltaics system, Building and
Environment, vol. 46, pp. 1899-1904, 2011.
[3] (2013). solar@csiro: solar technologi blog. [Online]. Available:
http://csirosolarblog.com/2011/11/24/solar-exposures-4/
[4] M. Graetzel, Photovoltaic performance and long-term
stability of dye-sensitized meosocopic solar cells, C. R.
Chimie, vol. 9, pp. 578-583, 2006.
[5] Y. Chiba, A. Islam, Y. Watanabe, R. Komiya, N. Koide, L.
Han, Dye-sensitized solar cells with conversion efficiency of
11.1%, Jap. J. of Appl. Phys., vol. 45, pp. L638-L640, 2006.
[6] A. Kay, M. Graetzel, Low cost photovoltaic modules based
on dye sensitized nanocrystalline titanium dioxide and carbon
powder, Sol. En. Mat. and Sol. Cells, vol. 44, pp. 99-117,
[1]

Figure 9. I-V Curve of DSSC With 9x9 cm2 (solid) and 1x6 cm2
(dash) Active Area Under 6 mW/cm2 Illumination.

It can be seen in Table 1 that the scaling up of active


area around a factor of 13 has caused the overall photoconversion efficiency to degrade by more than a factor
of 4. Other than the efficiency, the main electrical
parameters of the sample with 81 cm2 active area is
higher compared to those of the sample with narrower
ISSN 1411-8289

Application of Large Area TiO2 Photoelectrode on Dye-Sensitized Solar Cells


1996.
R. Sastrawan, J. Beiber, U. Belledin, et. al., A glass fritsealed dye solar cell module with integrated series
connections, Sol. En. Mat. and Sol. Cells, vol. 90, pp. 16801691, 2006.
[8] L. Wang, X. Fang, Z. Zhang, Design methods for large scale
dye-sensitized solar modules and the progress of stability
research, Renew. and Sust. En. Reviews, vol. 14, pp. 31783184, 2010.
[9] Product Catalog Februari 2011, Dyesol, Australia.
[10] L. Muliani, Y. Taryana, J. Hidayat, Pembuatan sel surya
TiO 2 dye-sensitized menggunakan metoda screenprinting, Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, vol.
10, hal. 126-131, 2010,.
[11] C. Honsberg, and S. Bowden, (2010). Pvcdrom. [Online].
Available:
http://pveducation.org/pvcdrom/characterisation/double-diode[7]

model
[12] F. Diner, M.E. Meral, Critical factors that affecting
efficiency of solar cells, Smart Grid and Renewable Energy,
vol. 1, pp. 47-50, 2010.
[13] J. Hidayat, L. Muliani, N.M. Nursam, Studi perakitan dan
pengujian karakteristik I-V sel surya dye-sensitized (DSSC)
dalam rangkaian seri yang terhubung secara eksternal, Jurnal
Elektronika dan Telekomunikasi, vol. 11, hal. 155-160, 2011.
[14] M. G. Kang, N.G. Park, Y.J. Park, K.S. Ryu, S.H. Chang,
Manufacturing method for transparent electric windows using
dye-sensitized TiO2 solar cells, Sol. En. Mat. and Sol. Cells,
vol 75, pp. 475-479, 2003.
[15] L. Han, N. Koide, Y. Chiba, A. Islam, R. Komiya, N. Fuke, A.
Fukui, and R. Yamanaka, Improvement of efficiency of dyesensitized solar cells by reduction of internal resistance, Appl.
Phys. Lett., vol. 86, pp. 1-3, 2005.

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

Antena Array Mikrostrip Dual Beam


Untuk Aplikasi Sensor Radar Doppler
Dual Beam Microstrip Antenna Array
for Doppler Radar Sensor Applications
Pamungkas Dauda, * dan Niluh Sri Andayanib
a
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI, Bandung
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Komplek LIPI Gedung 20 Lantai 4, Jl Sangkuriang, Bandung 40135, Indonesia
b
Fakultas Elektro dan Komunikasi IT Telkom, Bandung

Abstrak
Sekarang ini jumlah kendaraan meningkat dengan pesatnya, sementara sarana jalan masih tertinggal baik pertambahannya
maupun kualitas jalan serta pemeliharaan, menyebabkan kemacetan lalu lintas sering terjadi dan jumlah kecelakaan kendaraan
meningkat pula. Pengontrolan lalu lintas yang baik sangat dibutuhkan untuk efisiensi dan meningkatkan keselamatan pengguna
jalan. Sebuah sensor radar doppler dapat digunakan untuk mendeteksi laju kecepatan relatif kendaraan antara mobil dan obstacle
sehingga dapat digunakan untuk menghindari terjadinya kecelakaan dan dapat memantau kepadatan lalu lintas yang terjadi. Radar
dirancang untuk kemudahan navigasi dan bisa digunakan untuk mendeteksi kecepatan suatu benda yang bergerak dengan cara
mendeteksi energi dari suatu benda yang bergerak tersebut sekaligus menentukan posisinya. Dalam tulisan ini dibahas mengenai
desain dan implementasi antena yang mampu mendukung aplikasi radar sensor doppler. Antena ini dirancang menggunakan antena
mikrostrip dual beam yang bekerja pada frekuensi 10 GHz. Software yang digunakan untuk perancangan dan simulasi antena ini
adalah Ansoft HFSS 10. Penelitian ini dimulai dengan menghitung dimensi antena sesuai rumus yang ada. Dimensi hasil
perhitungan akan digunakan pada proses simulasi. Modifikasi dimensi antena digunakan sebagai cara untuk mendapatkan hasil
yang optimum dalam simulasi, kemudian dimensi optimum tersebut digunakan dalam proses pabrikasi. Spesifikasi antena yang
dibuat memiliki karakteristik bekerja pada frekuensi 10 GHz dengan bandwidth 60 MHz pada VSWR 1,5, serta memiliki gain
sebesar 12,42 dBi.
Kata kunci: antena mikrostrip, radar sensor doppler, bandwidth, VSWR
Abstract
The number of vehicles is increasing rapidly, while the roads are still lagging behind both increase and quality as well
as maintenance of roads, causing traffic jams often occur and the number of vehicle accidents increase as well. Traffic control is
needed for good efficiency and improve safety of road users. A doppler radar sensor can be used detect the rate of the relative
speed of vehicles between car and obstacle so it can be used to avoid accidents and can monitor the traffic that occurs. The
radar is designed for ease navigation and can be used to detect the speed of a moving object by detecting the energy of a moving
object and determine their position at any given time. In this issue discussed the design and implementation of antennas capable
of supporting applications doppler radar sensors. This antenna is designed using a dual beam microstrip antenna that works
on a frequency of 10 GHz. Software used for design and simulation of this antenna is the Ansoft HFSS10. This study begins by
calculating the dimensions of the antenna according to the existing formula. The dimensions of the calculation results will be
used in the simulation process. Modification of antenna dimensions are used as a way to get optimum results in the
simulation, then the optimum dimensions used in the manufacturing process. Specification of the antenna built to work on a
frequency of 10 GHz with a bandwidth of 60 MHz at VSWR 1.5, and has a gain of 12.42 dBi.
Key words: microstrip antenna, doppler radar sensors, bandwidth, VSWR

I.
PENDAHULUAN
Jumlah kendaraan yang semakin meningkat dengan
pesatnya, sementara sarana jalan masih tertinggal baik
pertambahannya maupun kualitas serta pemeliharaan,
menyebabkan kemacetan lalu lintas sering terjadi dan
jumlah kecelakaan kendaraan ikut meningkat.
* Corresponding Author.
Email: pmkdaud@gmail.com
Received: May 24, 2013; Revised: June 16, 2013
Accepted June 18, 2013
Published: June 30, 2013
2013 PPET - LIPI All rights reserved

Pengontrolan lalu lintas yang baik sangat


dibutuhkan untuk meningkatkan
efisiensi dan
keselamatan pengguna jalan. Keadaan ini memacu
industri otomotif untuk mengembangkan sejumlah
sistem aktif maupun pasif untuk meningkatkan
keselamatan berkendaraan di jalan raya. Sebuah sensor
radar doppler dapat mengukur, kecepatan relatif antara
mobil dan obstacle sehingga dapat digunakan untuk
menghindari kecelakaan dan hanya memantau kepadatan
lalu lintas yang tinggi. Penelitian ini mengembangkan
antena array mikrostrip dual beam untuk aplikasi radar
sensor doppler yang mampu menghasilkan gain 10 dBi,
bandwidth yang sesuai dengan spesifikasi radar yaitu

Antena Array Mikrostrip Dual Beam Untuk Aplikasi Radar Sensor Doppler

sebesar 60 MHz dan pola radiasi bidirectional pada


sudut 30o dan -30o.
II.

LANDASAN TEORI

A. Antena Mikrostrip
Antena mikrostrip merupakan salah satu jenis
antena yang berbentuk papan tipis dan mampu bekerja
pada frekuensi yang sangat tinggi. Antena microstrip
dibuat tiga lapisan bahan, yaitu lapisan patch, substrat
dielektrik, dan groudplane. Pada lapisan patch dan
groundplane terbuat dari bahan konduktor.

B. Corner Feed Patch Antenna


Corner feed patch antenna adalah antena
rektangular yang dicatu di salah satu ujungnya.
Pencatuan seperti ini akan menghasilkan adanya lebar
feed junction (Wj). Perubahan lebar dari feed junction
ini akan menyebabkan perubahan frekuensi resonansi
[1].

Gambar 2. Corner Feed Patch Antenna.

Nilai dari frekuensi resonansi didapatkan dari


rumus berikut

Gambar 1. Struktur Antena Mikrostrip.

Menurut teori saluran transmisi, antena mikrostrip


empat persegi panjang dapat dimodelkan sebagai dua
buah slot peradiasi paralel yang terpisahkan jarak
sebesar setengah panjang gelombang dalam bahan.
Ketika gelombang datang dari saluran pencatu menemui
perubahan kasar (discontinue) pada sisi input konduktor
antena mikrostrip, medan listriknya akan menyebar ke
udara bebas juga pada sisi berikutnya setelah melewati
patch atau konduktor yang dianggap sebagai saluran
transmisi. Nilai W << , jika nilai W diperbesar maka
radiasi dari tepi patch dapat dikurangi. Untuk
rektangular patch nilai W = L dan nilainya haruslah
</2, di mana adalah panjang gelombang medium
dielektrik dengan adalah panjang gelombang di ruang
hampa.

(1)

g adalah panjang gelombang medium dielektrik


(2)

eff

Berdasarkan formula Jackson and Alexopolus maka


formula W dan L adalah [1]
(3)

eff

adalah konstanta dielektrik efektif patch yang

dapat diperoleh dari

eff

r 1
2

r 1
2

12h
1 W

1
2

(4)

eff

(5)

Wj merupakan lebar dari sambungan pencatuan antena,


di mana lebar sambungan pencatuan antena akan seiring
dengan bertambahnya frekuensi resonansi. Pencatuan di
ujung antena akan memberikan impedansi input yang
tinggi dan sesuai untuk antena susunan seri. Pemodelan
ini menunjukkan dari pemodelan medan dalam adalah
penjumlahan dari dua mode amplitudo yang sama yaitu
mode (1,0) dan (0,1).
C. Antena Susunan (Array)
Antena array terdiri dari konfigurasi elemen yang
identik yang disusun sejajar. Ada tiga macam metoda
array yaitu linear array, circular array dan planar
array. Ketiga metoda ini dipergunakan tergantung dari
posisi elemen antena. Antena susunan dibuat untuk
meningkatkan gain, mendapatkan diagram arah dengan
pola tertentu (beam forming) dan mendapatkan diagram
arah dengan pengendalian tertentu (beam streering).
Berdasarkan arus catuannya, antena array
digolongkan menjadi uniform dan non uniform. Susunan
antena akan disebut uniform jika setiap elemen susunan
dicatu dengan amplitudo arus dan fasa catuan () yang
sama besar sebaliknya susunan antena dikatakan non
uniform jika amplitudo arus catuannya berbeda dengan
fasa catuan [2], [3]. Rumus array factor untuk N buah
susunan adalah :

(6)
(7)

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

Pamungkas Daud dan Niluh Sri Andayani

di mana:
k : konstanta pergeseran fasa sebesar 2/
d : jarak antar elemen
: sudut main beam antena array
: beda fasa catuan tiap elemen
an : amplitudo elemen tunggal

Mulai

Spesifikasi Antena

Penentuan
Dimensi Antena

D. Penyepadan Transformator /4
Ada beberapa jenis teknik penyepadan dengan
menggunakan transformator /4 yaitu transformator /4,
transformator /4 bertingkat binomial, stub tapper dan
lainnya. Teknik penyepadan yang digunakan pada
tulisan ini adalah teknik penyepadan dengan
menggunakan transformator /4 yang dicetak pada
bahan yang sama dengan line yang terhubung langsung
[4].

Pemodelan

Simulasi

Hasil simulasi sesuai


spesifikasi?

Tidak

Optimasi
Parameter
Antena

Ya

Realisasi
Prototipe

Pengukuran
Antena

Perbandingan dengan
hasil simulasi

Gambar 3. Transformator /4

Syarat matching adalah Zin = Z0 , sehingga beban


dipasang sejauh d dari trafo /4. Untuk memperoleh
nilai ZT, dapat digunakan rumus :
ZT =

Z0 Z L

Ya

Selesai

(8)

E. Sensor Radar Doppler


Doppler radar merupakan jenis radar yang
mengukur kecepatan radial dari sebuah objek yang
masuk ke dalam daerah tangkapan radar dengan
menggunakan efek Doppler. Hal ini dilakukan dengan
memancarkan sinyal microwave (gelombang mikro) ke
objek lalu menangkap refleksinya, dan kemudian
dianalisis perubahannya. Doppler radar merupakan jenis
radar yang sangat akurat dalam mengukur kecepatan
radial. Contoh Doppler radar adalah Weather Radar
yang digunakan untuk mendeteksi cuaca.
III.

PERANCANGAN, SIMULASI DAN REALISASI

A. Spesifikasi Teknik Antena


Pada perancangan antena terlebih dahulu ditentukan
spesifikasi teknik yang sesuai dengan aplikasi yang
diinginkan sebagai berikut:
Frekuensi kerja
:10 GHz
Bandwidth
: 60 Mhz
Impedansi terminal
: 50
VSWR
: < 1,5
Pola radiasi
: Bidirectional
Polarisasi
: Linier
Gain
: >10 dBi

Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Antena.

B. Pemilihan Bahan Substrat, Groundplane dan


Patch
Bahan yang digunakan dalam perancangan antenna
dual beam ini adalah tembaga (cooper) pada bagian
groundplane, patch dan microstrip line dan RT/Duroid
5880 pada bagian substrat. Pemilihan bahan RT/Duroid
5880 dikarenakan bahan ini bisa bekerja dengan baik
pada frekuensi tinggi. Karakteristik dari bahan yang
digunakan pada perancangan antena dual beam adalah
sebagai berikut :
1. Tembaga
a. Permitivitas relatif (r)
:1
b. Permeabilitas relatif (r) : 0,999991
c. Ketebalan
: 0,035 mm
2. RT/Duroid 5880
a. Permitivitas relatif (r)
: 2,2
b. Permeabilitas relatif (r) : 1
c. Ketebalan
: 0,93 mm
d. Rugi tangensial, (tan )
: 0,0012
e. Konduktivitas konduktor : 5,8 107 S/m
C. Perancangan Dimensi Antena
1) Spesifikasi Satu Patch Rektangular
a) Langkah 1 : Lebar patch
Secara umum, rectangular patch, lebar dan panjang
elemen sama (W = L) dapat dihitung dengan formula [1].
(9)

W = L = 9,91 mm
ISSN 1411-8289

Tidak

Antena Array Mikrostrip Dual Beam Untuk Aplikasi Radar Sensor Doppler
TABEL I
DIMENSI ANTENA HASIL PERHITUNGAN

b) Langkah 2 : Konstanta dielektrik effektif


Persamaan untuk konstanta dielektrik effektif di
mana W/h>1 adalah

eff

r 1 r 1
2

eff = 2,0115

12h
1 W

1
2

Komponen
Lebar Pacth

9,91 mm
20,23 mm

L1

80,92 mm

L2

5 mm

W1

1,1 mm

W3

1,8 mm

Panjang Ground Plane

110 mm

Lebar Ground Plane

70 mm

Tebal Ground Plane dan Patch

0,035 mm

Tebal Substrat

0,93 mm

c) Langkah 3 : Panjang gelombang


Panjang gelombang di udara dapat dihitung dengan
persamaan :

= 30 mm
dan panjang gelombang di dalam bahan/ dielektrik :

5) Jarak Patch dengan Saluran Mikrostrip


(12)

= 20,23 mm
2) Spesifikasi Susunan
Antena direksional sederhana yang terdiri dari
susunan secara linier dengan elemen antena yang
memiliki radiasi kecil, setiap elemennya dicatu dengan
sinyal yang identik dari sebuah transmitter. Apabila
lebar dari elemen antena array ditambah, maka sidelobe
bisa ditekan. Spasi antar elemen dy pada orientasi
sumbu y ditujukan untuk men-setting radiasi sirkular
dari tiap elemen yang dipancarkan agar sefasa.
Spasi antar dua elemen terdekat adalah sebagai berikut
[1]:

Dimensi

Panjang Gelombang (d)

(10)

(11)

Untuk jarak antara patch dengan saluran mikrostrip


dilakukan dengan proses trial and error sehingga
didapatkan hasil simulasi terbaik, yaitu memiliki gain
yang besar dan sidelobe yang kecil. Optimasi ini
dilakukan untuk mendapatkan pola radiasi dual beam
sesuai dengan spesifikasi. Optimasi jarak antara patch
dengan saluran mikrostrip dilakukan dengan cara
membandingkan 3 jarak yang berbeda yaitu : tanpa
saluran (0), g/8 dan g/4.
TABEL II
PERBANDINGAN POLA RADIASI HASIL OPTIMASI
Jarak
Pola Radiasi
Gain
0

9,01 dBi

g/8

12,38 dBi

(13)

o = 30 maka ds = g
Jadi jarak antar elemen terdekat adalah 20.23 mm.
3) Dimensi Substrat dan Groundplane
Dimensi minimum groundplane yang dibutuhkan
diberikan melalui persamaan berikut [4]:

(2,528
mm)

Gpmin = 6h + 2W

(14)

Dengan demikian untuk tebal substrat yang


digunakan yaitu h = 0,93 mm dan W = 8,89 mm maka
lebar groundplane dari tiap sisi elemen peradiasi adalah
Gpmin = 23,36 mm, diperoleh dimensi minimum
groundplane untuk satu patch sebesar 23,36 x 23,36
mm2. Sedangkan untuk penelitian ini menggunakan
antena susunan dengan jumlah 4 x 2 elemen maka
dimensi groundplane yang digunakan adalah 110 x 70
mm2 dengan tinggi groundplane sebesar 0,035 mm.
Sedangkan ukuran dimensi substrat sama dengan
ukuran dimensi groundplane, yaitu sebesar 110 x 70
mm2 dengan tinggi sebesar 0,93 mm. Pemilihan bahan
substrat didasari atas keperluan karakteristik antena.
4) Rancangan Hasil Perhitungan
Berikut
perhitungan.

tabel

ukuran

dimensi

berdasarkan

g/4

10,06 dBi

(5,507
mm)

Dari hasil pada ketiga hasil di atas terlihat bahwa


hasil terbaik adalah dengan menggunakan saluran
sepanjang g/8, selain gain yang dihasilkan besar,
bentuk pola radiasi sudah memenuhi kriteria dual beam

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

10

Pamungkas Daud dan Niluh Sri Andayani

yang cukup baik. Hasil yang ditunjukan pada bagian g


= 0 atau tanpa saluran kurang baik bentuk dual beamnya, karena arahnya tidak sesuai dengan spesifikasi dan
pada saluran g/4 sidelobe yang dihasilkan cukup besar.

E. Hasil Simulasi
1) VSWR, Bandwidth dan Impedansi

D. Simulasi

Gambar 7. VSWR Hasil Simulasi.


Gambar 5. Rancangan Antena Simulasi.

Lebar Patch

W2
L3
W3
W1
L2

L1

Gambar 8. Impedansi Hasil Simulasi


Gambar 6. Konfigurasi Antena Simulasi.

TABEL III
DIMENSI ANTENA HASIL OPTIMASI
Komponen
Dimensi
Lebar Pacth

8.89 mm

Panjang Gelombang (d)

20,23 mm

L1

80,92 mm

L2
L3

5 mm
2,528 mm

W1

1,1 mm

W2

1,8 mm

W3

0,6 mm

Panjang Ground Plane

110 mm

Lebar Ground Plane

70 mm

Tebal Ground Plane dan Patch

0,035 mm

Tebal Substrat

0,93 mm

ISSN 1411-8289

Hasil simulasi menunjukkan bahwa bandwidth 60


Mhz pada frekuensi 9,97 GHz 10,03 Ghz dicapai pada
VSWR < 1,35 dan impedansi sebesar 44,47 + j11,28
atau 45,88 14,23
2) Gain dan Pola Radiasi

Gambar 9. Gain Hasil Simulasi.

Antena Array Mikrostrip Dual Beam Untuk Aplikasi Radar Sensor Doppler 11

3.

Profile Projektor (Nikon V-12B)


Alat ukur ini digunakan untuk pengukuran dimensi
fisik antena. Prinsip kerjanya menggunakan efek
cahaya untuk mendapatkan bayangan obyek yang
diukur.

B. Pengukuran Antena
1) Pengukuran VSWR, Bandwidth dan Impedansi
Pengukuran VSWR menggunakan Network
Analyzer yaitu dengan membaca parameter S11 yang
merepresentasikan perbandingan daya yang dikirim ke
beban dengan daya yang dipantulkan kembali.

(a)

Gambar 11. Konfigurasi Pengukuran VSWR, Bandwidth dan


Impedansi.

a) Hasil pengukuran VSWR dan bandwidth

(b)
Gambar 10. Pola Radiasi Hasil Simulasi, (a) Bidang XZ dan (b)
Bidang YZ.

Gain hasil simulasi didapatkan sebesar 12,42 dBi dan


pola radiasi sudah terlihat sudah berbentuk dual beam.
Kedua beam bernilai maksimum saat sudut 30o
(bidirectional). Pola radiasi bidang YZ terlihat bahwa
sidelobes cukup besar dan backlobe kecil.
IV.

PENGUKURAN DAN ANALISIS


Gambar 12. Hasil Pengukuran VSWR dan Bandwidth.

A. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur antenna
pada penelitian ini adalah alat yang mampu digunakan
untuk mengukur spesifikasi antena.
1. Network Analyzer, merk: Advantest tipe R3770
(300 KHz - 20 GHz), Network Analyzer digunakan
dalam pengukuran VSWR, bandwidth, dan
impedansi antena.
2. Spectrum Analyzer, merk: HP tipe 8563E (30 Hz 26,5 GHz) dan Sweep Oscilator, merk: HP 8350 B,
alat ukur ini digunakan dalam pengukuran gain,
pola radiasi, dan polarisasi dari prototype antena
yang akan diukur.

Bandwidth 60 MHz berada pada frekuensi 9,97


GHz 10,03 GHz dicapai pada VSWR 1,343 dengan
demikian spesifikasi awal di mana bandwith 60 Mhz
dicapai pada VSWR 1,5 telah tercapai. Frekuensi
tengah yaitu pada frekuensi 10 GHz, VSWR yang
terukur adalah 1,150.
b) Hasil pengukuran impedansi
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa impedansi
pada frekuensi tengah 10 GHz dengan impedansi
43,841-j3,762 .

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

12

Pamungkas Daud dan Niluh Sri Andayani

Gambar 15. Pola Radiasi Elevasi XZ antara Hasil Simulasi dan


Pengukuran.
Gambar 13. Hasil Pengukuran Impedansi.

2) Pengukuran Pola Radiasi


Pola radiasi antena diukur pada daerah medan jauh
antena, karena pada daerah tersebut gelombang
elektromagnetik yang terpancar tidak bergantung jarak
dari antena. Nilai D dari antena array mikrostrip dual
beam ini adalah diagonal dari groundplane sebesar
13,04 mm, sedangkan

Medan jauh dari antena adalah 2xR


2D 2

2(0,13)
1,12m
0,03

Jadi jarak 2,24 m

3) Pengukuran Pola Polarisasi


Polarisasi penting karena jika polarisasi antena
penerima dan pemancar tidak match maka daya yang
diterima akan kecil, atau disebut juga dengan PLF
(polarization loss factor). Telah didapatkan data sebagai
berikut:
Daya terima maksimum (sumbu mayor) = -62,17
dBm = 7.94 x 10-8 Watt.
Daya terima minimum (sumbu minor) = -74,33
dBm = 19.18 x 10-10 Watt
Dengan analisis rasio kuat medan elektrik, maka dapat
diketahui tipe polarisasinya.
Hubungan Daya dengan kuat medan elektrik adalah
E2
Pwatt
xAe
377
Maka
P x377
P x377
E 2 watt
E watt
Ae
Ae
Rasio kuat medan elektrik(numerik)=
Pwattmayor x377
Mayor
(16)

Minor
Pwattmin or x377

6,06 x 10-10 x377


3,68 x 10-11 x377

47,8 x10 5
4,05
11,8 x10 5

Rasio kuat medan = 10 log (47,8x10-5)-10log(11.8x10-5)


= -33.2 + 39.28 = 6.08 dB

Gambar 14. Pola Radiasi Azimuth YZ antara Hasil Simulasi dan


Pengukuran.

ISSN 1411-8289

Dengan mensubstitusikan nilai sumbu mayor dan


minor ke persamaan (4.3) dan (4.4) maka didapatkan
rasio kuat medan elektrik adalah 4,05 atau 6,08 dB.
Karena 1< Rasio kuat medan elektrik (numerik) <
maka AUT berpolarisasi elips. Hasil ini berbeda dengan
polarisasi awal yang diharapkan yaitu polarisasi linear.
Perbedaan ini disebabkan oleh ruang pengukuran yang
ideal yang mengakibatkan banyaknya sinyal penginterferensi. Selain itu penggeseran antena setiap 10 tidak
presisi dalam perpindahannya, sehingga mengakibatkan
adanya perbedaan level daya yang diterima

Antena Array Mikrostrip Dual Beam Untuk Aplikasi Radar Sensor Doppler 13

5) Pengukuran Fisik
Pengukuran dilakukan dengan memilihat nilai yang
tertera pada monitor profile projector. Pengukuran
dilakukan dengan menggerakan dua buah rotor untuk
menggerakan kearah sumbu X atau sumbu Y dan satu
buah rotor untuk memperjelas bayangan Gambar yang
buram.
TABEL V
PERBANDINGAN DIMENSI HASIL SIMULASI DENGAN
HASIL PENGUKURAN
Simulasi
Prototype
Selisih
Komponen
(mm)
(mm)
(mm)
Lebar Pacth
8,89
9,076
0,186
L1
80,92
79,74
1,18
L2
5
5,149
0,149
L3
2,528
2,327
0,201
W1
1,1
1,205
0,105
W2
1,8
1,851
0,051
W3
0,6
0,699
0,099
Panjang GP
110
110,231
0,231
Lebar GP
70
70,344
0,344

Gambar 16. Pola Polarisasi Hasil Pengukuran

4) Pengukuran Gain
Pengukuran gain antena menggunakan metode dua
antena, dimana kedua antena merupakan antena yang
identik. Besarnya gain antena dinyatakan dalam satuan
dBi dengan menghitung menggunakan persamaan Friss
[5].
(

(17)

di mana:
Gt = Gr
(

(18)

Gt
Gr
Wr
Wt
R

= gain antena Tx
= gain antena Rx
= level daya terima pada Rx
= level daya terima pada Tx
= jarak antara kedua antena saat pengukuran
= Panjang gelombang yang merabat di udara
Pengukuran gain menggunakan power transmit
(Wt) sebesar 15 dBm. Perbandingan gain antara antena
prototype dengan antena simulasi adalah saat simulasi
didapatkan gain sebesar 12,28 dBi sedangkan pada
pengukuran didapatkan gain sebesar 10,65 dBi.
Walaupun terdapat selisih sebesar 1,63 dBi masih bisa
ditarik kesimpulan bahwa keduanya sudah memenuhi
spesifikasi awal yaitu 10 dBi.

Level Daya
Terima
(-dBm)
52.50
53.17
52.83
53.00
52.50
53.17
52.00
53.50
53.17
52.83

TABEL IV
GAIN HASIL PENGUKURAN
Level Daya
Rata-rata
Terima
(-dBm)
(-dBm)
53.00
52.76
52.83
53.00
52.67
52.75
53.00
53.00
53.17
52.85
52.83
53.00
52.17
52.09
53.17
53.34
52.83
53.00
53.00
52.92
Gain
Pengukuran

Gain
(dBi)
9.90
9.78
9.91
9.78
9.86
9.78
10.24
9.61
9.78
9.82

TABEL VI
PERBANDINGAN SPESIFIKASI AWAL, HASIL SIMULASI DAN
PENGUKURAN
Spesifika
Hasil
Hasil
Parameter
Catatan
si Awal
simulasi
prototipe
BW
60 MHz
60 MHz
60 MHz
Tercapai
VSWR
1.5
1,35
1,349 Tercapai
Pola
Bidirectio
Bidirecti
Bidirection
Tercapai
Radiasi
nal
onal
al
Polarisasi
Linear
Elips
Tidak
12,18
Gain
10 dBi
9,85 dBi
Tercapai
dBi
44,47 +
43,481 Z
50
Tercapai
j11,28
j8,196

KESIMPULAN
Antena dapat bekerja pada frekuensi 10 GHz
dengan VSWR 1.5 sehingga dapat diimplementasikan
untuk aplikasi RADAR. Gain yang didapat berdasarkan
hasil pengukuran yaitu 9,85 dBi pada frekuensi 10 GHz
dengan Impedansi hasil pengukuran untuk frekuensi 10
GHz diperoleh 43,841-j3,762 bersifat kapasitif,
sedangkan pada simulasi diperoleh impedansi sebesar
44,47 + j11,28 bersifat induktif. Karakteristik pola
radiasi yang diperoleh adalah bidirectional, Polarisasi
antena yang diperoleh adalah elips dengan axial ratio
sebesar 8,09 dB. Ketepatan dan ketelitian pabrikasi,
serta proses pengukuran antena sangat mempengaruhi
karakteristik antena yang menyebabkan perbedaan dari
hasil simulasi
DAFTAR PUSTAKA
[1]

[2]
[3]
[4]

9,85
[5]

D. M. Pozar. and D. H. Schaubert, Microstrip Antennas: The


Analysis and Design Of Microstrip Antennas and Arrays, New
York, IEEE Press, 1995.
I. O. William, D. C. Stuart, The Radio Amateur Antenna
Handbook, United States of America, 1978.
J. M. Robert,Phased Array Antenna Handbook, Artech House
inc,1994..
M. A. A. Putrawan, Perancangan dan Implementasi Antena
Mikrostrip Susunan Linier Lempeng Persegi pada Frekuensi 2.32.4 GHz, Tugas akhir, Institut Teknologi Telkom, Bandung,
2010.
J. Henry, Antenna Engineering Handbook, McGraw-Hill Inc ,
1961.

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

Performance of Dye-sensitized Solar Cells


based on Gel Electrolyte
Performa Sel Surya Dye-sensitized berbasis Elektrolit Gel
Lia Muliani *, Natalita M. Nursam, and Jojo Hidayat
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Komplek LIPI Gedung 20 Lantai 4, Jl Sangkuriang, Bandung 40135, Indonesia
Abstract
Electrolyte is one of the crucial elements in dye sensitized solar cells (DSC) due to the reduction-oxidation reactions take
place in this area and it has the function as the charge transfer medium. An electrolyte solution contains redox couple such as I/I3 is filled up into a space between the photo-anodes and the counter electrode. Usually, the DSC employs a liquid electrolyte
which using organic solution because easy preparation. But it has disadvantages, the solvent occur evaporation and this can
decrease the cell performance. One of way to solve this problem is change liquid electrolyte to gel electrolyte. This paper
describes fabrication of DSC based on gel electrolyte. Performance of the DSC is compared to the cell which using a liquid
electrolyte. The result shows that the energy conversion efficiency of the solar cells based on gel electrolyte was lower than
liquid electrolyte solar cell that is 1.51% and 2.23% respectively. Based on life time investigation obtained the performance of
gel electrolyte solar cell is much stable than liquid electrolyte solar cell.
Key words: dye sensitized solar cell (DSC), gel electrolyte, liquid electrolyte, I-V curve, life time
Abstrak
Elektrolit merupakan salah satu komponen penting dalam sel surya berbasis dye-sensitized (DSC), karena reaksi reduksi dan
oksidasi terjadi di sini dan berfungsi juga sebagai media transfer muatan. Suatu elektrolit terdiri dari pasangan redoks I-/I3 yang
disuntikkan melalui celah antara fotoanoda dan elektroda pembanding. Biasanya DSC mengaplikasikan larutan elektrolit yang
mengunakan pelarut organik karena preparasinya mudah. Tetapi elektrolit ini memiliki kelemahan, larutan mengalami penguapan
yang dapat menurunkan performa sel surya. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menggantikan larutan elektrolit
dengan elektrolit berupa gel. Tulisan ini menguraikan pembuatan DSC berbasis elektrolit gel. Performa sel dibandingkan dengan
sel yang menggunakan larutan elektrolit. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa efieiensi konversi energi sel surya berbasis
elektrolit gel lebih rendah dari pada larutan elektrolit, secara berurutan yaitu 1.51% and 2.23%. Sedangkan berdasarkan
penelitian life time diketahui performa sel menggunakan elektrolit gel lebih stabil.
Kata kunci: sel surya berbasis dye-sensitized (DSC), elektrolit gel, elektrolit cair, kurva I-V, life time

I.
INTRODUCTION
The high energy demand has been promote
scientists and researchers to create alternative energy
source. Photovoltaic cell is a device that is able to
convert solar energy into electrical energy. Dyesensitized solar cell (DSC) is expected as a promising
photovoltaic device in the future as green solar cell and
environmentally friendly because low fabrication cost,
simple manufacturing processing and using no toxic
materials [1], [2]. This solar cell is a new generation
which is based on the mechanism of a regenerative photo
electrochemical process and the original model cell was
reported by Gratzel in 1991 [1].

* Corresponding Author.
Email: liamuliani@gmail.com
Received: June 4, 2013; Revised: June 16, 2013
Accepted: June 21, 2013
Published: June 30, 2013
2013 PPET - LIPI All rights reserved

The components of DSC composed of a photo


electrode, dye-sensitized, a redox electrolyte and counter
electrode. They are very important materials that affect
performance of cells [3] - [5]. Figure 1 show the physical
structure of a standard DSC that consist of two
transparent conductive oxide glass (TCO) that arranged
like sandwiched. One of glass has function as photo
electrode layer which coated semiconducting Titanium
dioxide nano crystalline (nc-TiO2) layer. Photosensitive
dye molecules are attached on the surface nc-TiO2 layer.
The counter electrode is made up of catalyst material
usually is Platinum that attached to another piece of
conducting glass. An electrolyte containing the
iodide/tri-iodide redox couple is filled between the photo
electrode and counter electrode [2], [5], [6]. Dye
molecules absorb light and inject electron into the
conduction band of TiO2. The Electron passes through
the porous nano crystalline TiO2 to transparent
conductive oxide and then moves along an external load
to the counter electrode. The dye molecule is regenerated
by the redox reaction. In this process, the electron is
transferred to tri-iodide to yield iodide according to I3+2e- 3I- and when iodide diffuses to dye sensitized
porous TiO2 electrode, it reduces the oxidized dyes (S+)
following 2S+ + 3I- 2S +I3- [7].

Performance of Dye-sensitized Solar Cells based on Gel Electrolyte


Semiconductor TiO2

Counter elektroda
Electrolyt
(Pt)
TCO

Dye

TCO

TCO
I

I
3

e
e

e
e

Figure 1. The Physical Structure of a Standard DSC

Electrolyte is one of the crucial components in DSC


due to the reduction-oxidation reactions take place in this
area and it has the function as the charge transfer
medium between the photoanode and the counter
electrode [8]. The cell usually employs a liquid
electrolyte which using volatile solution because easy
preparation. In DSC based on liquid electrolyte had
achieved conversion efficiency of 11% [9]. However, the
presence of liquid electrolytes in modules may result in
some practical limitations of sealing and long-term
stability [10]. During long-term operation, the solvent
occur evaporation, higher temperatures cause the liquid
to expand, making sealing the cells a serious problem.
All of that can cause of a decrease in cell performance.
One of way to solve this problem is replacing the liquid
electrolytes by solid-state or quasi-solid-state electrolytes
such as gel electrolyte [9].
This paper describes fabrication of DSC based on
gel electrolyte. Performance of the DSC that using gel
electrolyte was studied and compared to the cell which
using a liquid electrolyte.
II.
EXPERIMENTAL
This research aims to study the performance of DSC
based on gel electrolyte. Characteristic I-V of the DSC
was compared to the cell which using a liquid
electrolyte. An electrolyte solution used Dyesol products
are EL-SGE for gel electrolyte and EL-HSE for liquid
electrolyte.
In this project, fluorine-doped tin-oxide (FTO) with
thickness of 3.24 mm and sheet resistance of 15
used as a TCO substrate. FTOwas cleaned with detergent
and then washed with deionized water and isopropyl
alcohol using ultrasonic cleaner. In this experiment, TiO2
paste (18NR-AO, Dyesol) as photo electrode was
deposited onto FTO by screen printing technique using
nylon screen. Thickness of TiO2 film was performed
based on the optimum results from our previous work
[10]. The glass coated nc-TiO2 was preheated at 120oC
for 10 minutes and sintered on a conveyor-belt furnace at
500oC for 15 minutes. All samples were subsequently
immersed on a solution consisting Ruthenium complex
dye RuL2(NCS)2:2 TBA (L = 2,2-bipyridil-4,4dicarboxylic acid; TBA = tetrabutylammonium) [11]
known as N719 (Dyesol) for 24 hours on a dark place
and continued all samples were rinsed on ethanol to
remove the dye residues.
Platinum layer as counter electrode was deposited
onto FTO by DC-sputtering processing for 20 minutes

15

with an initial pressure of 6.6x10-3 Pa, Argon gas


pressure of 5.3x10-1 Pa, rotation speed 5 rpm and power
50 W.
Dyesol gel electrolyte EL-SGE was lubricated onto
photo electrode layer while Dyesol liquid electrolyte ELHSE was injected into the assembled samples. Both
photoelectrode and counter-electrode were assembled
into a sandwich structure and clipped both edge. The
characteristics of I-V curve of 1x2 cm2 sized cells were
measured using direct Sun Simulator Oriel AM 1.5 with
the light intensity of 40 mWatt/cm-2.
III.
RESULTS AND DISCUSSION
Figure 2 shows the photograph of our cell prototype
which using gel electrolyte and liquid electrolyte.

Figure 2. Prototype of DSC Based on Gel Electrolyte (left) and Liquid


Electrolyte (right)

Figure 3 indicates photocurrent densityvoltage


characteristics of cells with liquid electrolyte and gel
electrolyte. The performance parameters of solar cells
were summarized in Table 1. The best conversion
efficiency of device was obtained of 1.51% and 2.23%
for gel electrolyte and liquid electrolyte respectively.
Overall those data show that DSC based on liquid
electrolyte had larger short-circuit current density (Jsc),
open circuit voltage (Voc), fill factor (FF) and
conversion efficiency () than that based on gel
electrolyte. Both electrolytes contain same additive
materials and solvent (3-methoxypropionitrile) [12].
The difference is the gelling agent in gel electrolyte.
Although polymers of some kinds could change the
liquid electrolyte become gel effectively, they can give a
negative influence on the photovoltaic performance and
stability of the DSC. The gel network may hinder the
charge transport in the electrolyte, also there is a
possibility that the gelators may react with the
components of the electrolyte [11].

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

16

Lia Muliani et al

Figure 3. I-V Curve of Cells With Different Elecrolyte Solution


TABLE I
THE PERFORMANCE PARAMETERS OF SOLAR CELLS
Characterstics

Gel Electrolyte

Liquid Electrolyte

(EL-SGE)

(EL-HSE)

Voc (mV)

678

643

Jsc (mA/cm2)

2.07

2.30

Pm (mWatt)

1.79

1.21

FF

0.46

0.57

(%)

1.51

2.23

To know long-term stabilities of DSC stability of


DSC based gel electrolyte, characteristics I-V of cells
was measured periodically for 750 hours. Figure 4
presents the detailed behavior of device parameters
during the aging tests. Eachof these parameters
is the data of relative changesto theinitialmeasurement
data. Figure.4 shows that the general performance of
DSC decreased very large after aging time for 24 hours.
This condition can due to the work mechanism of DSC
not yet optimal. Parameters of Open voltage (Voc) are
more stable than others(Figure.4a). Conversion
efficiency () parameter has the same behavior as the
current density (Jsc). Figure 4b and Figure 4d shows that
in long term Jsc and will decrease. This may be caused
by the evaporation of solvent during the observation
period so that the electrolyte is degraded. Matsui [2]
reported dependence of Jsc on concentration of I-/I3redox couples. Jsc increased with increasing
concentration of I-/I3- to maximum value and after that
Jsc decreased. The decreased current is result of the
decreased transparency of electrolyte which caused by
increasing of light absorption of I-/I3-[2] so that
concentrations become high. The high concentrations
may reduce light absorption by the dye [9].
Figure 4 (b) shows change of gel electrolyte Jsc
lower than liquid electrolyte. Parameter of Fill Factor
(FF) describes quality of solar cells that can easily be
visualised by drawing the area of the maximum possible
rectangle under the I-V. Teoritically, FF is affected by
parasitic resistances i.e. the series and parallel resistances
within the cell itself. Figure 4 (c) indicated that DSC
device that obtained has good enough performances.
Overall, the performance of DSC based gel electrolyte
and liquid electrolyte decreased during long-term. Based
on life time investigation known the performance of gel
electrolyte dye-sensitized solar cell is much stable than
liquid electrolyte.
ISSN 1411-8289

(a)

(b)

(c)

(d)
Figure 4. Long-term Stabilities of DSC With Liquid Electrolyte and
Gel Electrolyte Based on Change of Voltage (a), Current Density (b),
Fill Factor (c), and Efficiency (d).

Performance of Dye-sensitized Solar Cells based on Gel Electrolyte

CONCLUSIONS
Study of the performace of dye-sensitized solar cell
based on gel electrolyte has been done. The
performance of DSC based gel electrolyte and liquid
electrolyte decreased during long term. The
performance parameter of DSC based on liquid
electrolyte had larger than that based on gel electrolyte.
The best efficiency of the cell obtained was 1.51% and
2.23% for gel electrolyte and liquid electrolyte,
respectively. The performance of solar cell based on gel
electrolyte more stable than liquid electrolyte.
ACKNOWLEDGEMENT
This work was fully funded by the Thematic DIPA
Programs of Research Center for Electronics and
Telecommunication, Indonesia Institute of Sciences
(2011).
REFERENCES
[1]

[2]

M. Gratzel, Dye-sensitized solar cells, Journal of


Photochemistry and Photobiology C: Photochemistry Review
vol. 4, pp. 145-153, 2003.
M. Hiroshi, K. Okada, T. Kawashima, T. Ezure, and N. Tanabe,
Dye-sensitized solar cells using ionic liquid-based electrolytes,
Fujikura Technical Revie, 2004.

17

C. Longo and M. A. De Paoli, Dye-sensitized solar cells: a


successsful combination of materials, J. Braz, Chem, Soc.,
vol.14, no.6, pp. 889-901, 2003.
[4] H. Arakawa and K. Hara, Current status of dye-sensitized solar
cells, Semiconductor Photochemistry and Photophysics, vol.
10, pp.123-171, 2003.
[5] J. Halme, Dye sensitized nanostructured and organic
photovoltaic cells: technical review and preeliminary test,
Master thesis, Helsinki University of Technology, 2002.
[6] R. Sastrawan, Photovoltaic modules of dye solar cells,
Dissertation, University of Freiburg, 2006.
[7] P. Joshi, Y. Xie, M. Ropp, D. Galipeau, S. Bailey, and Q. Qiao,
Dye-sensitized solar cell based on low cost nanoscale
Carbon/TiO2 composite counter electrode, Energy &
Environmental Science, vol. 2, pp. 426-429, 2009.
[8] A. F. Nogueira, C. Longo, and M. A. De Paoli, Polymers in dye
sensitized solar cells, overview and perspectives, Coordination
Chemistry Reviews, vol. 248, pp.14551468, 2004.
[9] J. Wu, Z. Lan, S. Hao, P. Li, J. Lin, M. Huang, L. Fang, and Y.
Huang, Progress on the electrolytes for dye sensitized solar
cells Pure Appl. Chem, vol. 80, no. 11, pp. 22412258, 2008.
[10] L. Muliani, Y. Taryana, and J. Hidayat, Pembuatan sel surya
TiO2 dye-sensitized menggunakan metoda screen printing,
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, vol. 10, no. 1, hal. 126131, 2010.
[11] Z. Huo, S. Dai, K. Wang, F. Kong, C. Zhang, X. Pan, and X.
Fang, Nanocomposite gel electrolyte with large enhanced
charge transport properties of an I3-/I- redox couple for quasisolid-state dye-sensitized solar cells, Solar Energy Materials &
Solar Cells vol. 91, pp. 19591965, 2007.
[12] (2010) Dyesol Product Catalog. [Online]. Available:
http://www.dyesol.com
[3]

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

Antena Patch Array untuk Portable Coastal Radar


pada Frekuensi S-Band
Patch Antenna Array in S-Band Operational Frequency
for Portable Coastal Radar
Folin Oktafiani* dan Yussi Perdana Saputera
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Komplek LIPI Gd 20, Jl Sangkuriang 21/54D, Bandung 40135, Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendesain antena Portabel Coastal Radar yang bekerja pada frekuensi S-band dengan
frekuensi tengah 3 GHz. Jenis antena yang digunakan adalah antena patch mikrostrip. Satu modul antena terdiri dari 4 patch yang
diarray secara horisontal dan dicatu dengan menggunakan konektor SMA. Bahan yang digunakan untuk mendesain antena
adalah FR4 dengan ketebalan substrat 3,2 mm serta memiliki nilai r = 4,3. Bandwidth yang diperoleh dari hasil simulasi satu
modul antena sebesar 80,1 MHz untuk nilai VSWR 1,5 dimana sudah memenuhi spesifikasi antena yang diinginkan. Hasil
simulasi beamwidth horisontal dan gain satu modul antena secara berturut-turut yaitu 37 dan 8,049 dB. Untuk mendapatkan
beamwidth horisontal <1 maka satu modul antena diarray secara horisontal sebanyak 30 buah sehingga panjang keseluruhan
antena menjadi 3600 mm. Beamwidth horisontal antena array hasil simulasi diperoleh sebesar 0,9 sedangkan gain antena
meningkat menjadi 21,11 dB.
Kata kunci: antena, mikrostrip, array, radar
Abstrack
The aim of this research is to design portable coastal radar antenna that works on S-band frequency with a center frequency
3 GHz. Type of antenna is used in this research is microstrip patch antenna. One antenna module consist of four patch are
horizontally arranged and feed with SMA connector. Material used for antenna design is FR4 with a substrate thickness of 3.2
mm and has r value of 4.3. Bandwidth obtained from the simulation results of one antenna module for VSWR 1.5 is 80.1 MHz
where it meets the desired specifications of the antenna. Simulation result of horizontal beamwidth and gain of one antenna
module is 37 and 8.049 dB, respectively. To obtain horizontal beamwidth <1 then 30 antenna module is arranged in a
horizontal direction so that the overall length of the antenna to 3600 mm. From simulation results the horizontal beamwidth of
array antena is obtained by 0.9 while the antenna gain is increased to 21.11 dB.
Key words: antenna, microstrip, array, radar

I. PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah salah satu negara terbesar di dunia. Untuk
kawasan ASEAN, wilayah NKRI adalah yang paling
luas. Pengamanan dan pengawasan wilayah NKRI yang
terdiri dari kurang lebih 17.504 pulau dengan 2/3
wilayah terdiri dari lautan memerlukan aparat dan
peralatan yang berjumlah besar. Kemampuan TNI dan
Polri untuk mengawasi wilayah RI sangat terbatas
sehingga wilayah perairan Indonesia rawan akan
pencurian ikan, pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal
asing, pembajakan kapal laut dan penyelundupan.
Wilayah udara Indonesia (terutama di Indonesia timur)
juga rawan akan penyusupan oleh pesawat udara asing
[1].
Khusus untuk wilayah perairan, salah satu cara
untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah
* Corresponding Author.
Email: folin@ppet.lipi.go.id
Received: May 31, 2013; Revised: June 18, 2013
Accepted: June 27, 2013
Published: June 30, 2013
2013 PPET - LIPI All rights reserved

dalam mengawasi dan mengamankan wilayah NKRI


adalah dengan menggunakan radar coastal. Radar ini
digunakan untuk mengawasi pergerakan kapal-kapal laut
sehingga dapat dicegah tindakan-tindakan yang dapat
merugikan NKRI dan juga tabrakan kapal apabila
hendak merapat ke pelabuhan.
Kebutuhan radar di Indonesia mulai dari 800
hingga 900 buah, tetapi jumlah yang terpasang saat ini
masih di bawah angka 30 dan semuanya buatan asing.
Di antaranya adalah delapan radar buatan AS yang
dipasang di sepanjang Selat Malaka [2].
Karena fungsi radar sangat penting untuk
transportasi laut dan udara, perlu dilakukan
pengembangan kemampuan dalam negeri Indonesia
sendiri untuk penyediaan radar secara mandiri. Dengan
keterbatasan jumlah radar dan banyaknya wilayah
perairan yang harus dilakukan pengawasan maka
diperlukan sistem radar coastal yang bersifat portable.
Portable coastal radar mempunyai keunggulan
dalam
bentuk
kemudahan
untuk
melakukan
pengamatan/monitoring wilayah perairan/pantai dengan
berpindah-pindah lokasi sesuai dengan data pengamatan
yang ingin diperoleh. Apabila ditempatkan pada posisi
yang tinggi terhadap permukaan air laut, maka

Antena Patch Array untuk Portable Coastal Radar pada Frekuensi S-Band

jangkauan wilayah pengamatan akan luas/jauh


sedangkan apabila posisinya hanya beberapa meter dari
permukaan air laut maka wilayah pengamatan hanya
sedikit areanya.
Portable
coastalradar
yang
akan
dibuat
menggunakan teknologi FM-CW (frequency modulated
continuous wave). Gambar 1 memperlihatkan rancangan
portable coastalradar yang dapat bersifat stand alone
(berdiri sendiri/tidak tergantung pada kendaraan),
dimana ada satu container yang berisikan perangkat
sistem radar termasuk semua perangkat elektronika,
radio frequency, komputer + display, power supply, dan
perangkat untuk menaik-turunkan radar. Di belakang
kontainer ini terdapat satu sistem generator (genset)
untuk memberikan power supply listrik. Kontainer dan
genset ini akan ditarik menggunakan kendaraan seperti
truk.
Antenna AIS / GPS

Tx Antena
Rx Antena

Switch/Hub

RAK
MODUL

LCD

Indicator
Display

200 Cm

IF Modul
DSP Modul

LCD
GENSET UNIT

DDS Modul
AIS Modul

UPS

Control Mechanic

Outriggers

Outriggers

19

berada dalam saluran transmisi bisa disebut sebagai


gelombang terbimbing, setelah melewati saluran
transmisi maka gelombang elektromagnetik akan
dipancarkan ke udara bebas, sehingga gelombang
elektromagnetik menjadi gelombang bebas. Pada sistem
penerima gelombang bebas akan ditangkap antena yang
kemudian akan berubah menjadi gelombang terbimbing
setelah dilewatkan dalam saluran transmisi, kemudian
gelombang elektromagnetik tersebut akan diteruskan ke
bagian penerima.
Sedangkan menurut definisi yang terdapat pada The
IEEE Standard Definitions of Terms for Antenas, yaitu
definisi antena adalah suatu alat yang digunakan untuk
meradiasikan atau menerima gelombang radio [6]. Dari
sini terlihat bahwa suatu struktur dikatakan antena adalah
ketika struktur tersebut dapat berfungsi sebagai penerima
maupun, meradiasikan gelombang radio.
Antena mikrostrip adalah antena yang saat ini
popular karena memiliki keunggulan-keunggulan yang
memenuhi permintaan akan antena yang kecil dan ringan
sehingga kompatibel dan mudah diintegrasikan untuk
aplikasi yang sifatnya mobile communication [7].
Secara fisik antena mikrostrip ini terlihat sangat
sederhana karena hanya berupa lempengan PCB pada
umumnya. Pada dasarnya antena mikrostrip terdiri dari
tiga bagian yaitu patch, substrat dan ground plane, ini
dapat dilihat pada Gambar 2.

Outriggers

Gambar1. Rancangan Portable Coastal Radar.

Salah satu bagian dari sistem radar adalah antena


seperti terlihat pada Gambar 1. Jenis antena yang bisa
digunakan untuk sistem coastal radar antara lain antena
reflektor dan antena mikrostrip. Antena reflektor
mempunyai gain yang besar [3] dan beamwidth yang
sempit, tapi untuk frekuensi rendah mempunyai dimensi
yang cukup lebar sehingga tidak cocok digunakan pada
sistem radar portable. Penggunaan antena mikrostrip
dalam sistem radar telah dibahas pada [4], substrat yang
digunakan adalah RT 5880 dimana ketersediaan bahan
harus diimpor dari luar negeri dan harganya relatif
mahal.
Pada penelitian ini akan dibahas tentang desain dan
simulasi antena Portabel Coastal Radar dengan
menggunakan substrat yang tersedia di dalam negeri
sehingga mudah dalam fabrikasi. Radar ini
menggunakan frekuensi S-band dengan frekuensi kerja 3
GHz. Jenis antena yang digunakan yaitu mikrostrip
dengan menambahkan array secara horisontal untuk
mempersempit beamwidth dan meningkatkan gain.
II.
TEORI DASAR
Dalam sistem komunikasi tanpa kabel salah satu
komponen yang memegang peranan penting adalah
antena. Antena merupakan sebuah perangkat yang
digunakan untuk memancarkan dan atau menerima
gelombang elektromagnetik. Dapat dikatakan juga
bahwa antena adalah transformator antara gelombang
terbimbing dengan gelombang bebas [5]. Gelombang
elektromagnetik yang dibangkitkan pada sistem
pemancar akan dilewatkan dalam suatu saluran
transmisi, gelombang elektromagnetik yang masih

Gambar 2. Antena Mikrostrip.

F. Patch Antena Persegi


Salah satu yang paling mudah dan paling banyak
digunakan dalam perancangan patch antena mikrostrip
adalah rectangular patch antena.

Gambar 3. Distribusi Medan Listrik pada Antena Mikrostrip [8].

Pada antena mikrostrip, panjang patch peradiasi L


biasanya dibuat mendekati /2 ( di sini adalah
wavelength pada substrat) agar rongga antara patch dan
ground beresonansi [8] seperti Gambar 3.

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

20

Folin Oktafiani dan Yussi Perdana Saputera

Perancangan antena biasanya menggunakan


persamaan di bawah ini untuk menentukan lebar patch
(W) optimum [4]:

(1)

r merupakan konstanta dielektrik / relative


permittivity dari substrat dan c adalah kecepatan cahaya
dalam ruang bebas sebesar 3.108 m/s. Dengan
memperhitungkan pengaruh medan limpahan pada sisi
yang meradiasi, panjang fisik (L) antena dapat
ditentukan dengan cara:
(2)

di mana eff adalah konstanta dielektrik efektif, yakni:

Gambar 4. Konfigurasi Array [10].

(3)

L adalah besarnya medan limpahan gelombang


elektromagnet dari patch, yakni:
(

)
(

(4)

)
(

(5)

di mana:
h = tebal substrat (mm),
W = lebar patch (mm).
G. Antena Array
Antenna array atau sering disebut sebagai phased
array adalah susunan dari 2 antena atau lebih. Sinyal
dari antena tersebut digabung atau diproses untuk
meningkatkan performansi yang diperoleh dari satu
antena. Tujuan membuat antena array antara lain untuk
meningkatkan gain antena, meningkatkan directivity
antena, mengarahkan daya pancar menuju sektor sudut
yang diinginkan, menentukan arah kedatangan sinyal,
dan memaksimalkan SNR (Signal to Interference Plus
Noise Ratio) [9].
Jumlah elemen, pengaturan geometris, amplitudo
relatif dan fase relative dari antena yang akan diarray
tergantung pada pola sudut yang harus dicapai. Jika
antena array telah dirancang untuk fokus ke arah
tertentu, maka akan mudah untuk mengarahkan ke
beberapa arah lain dengan mengubah fase relative dari
elemen array, proses ini disebut steering atau scanning
[10].
Gambar 4 menunjukkan beberapa contoh array satu
dan dua dimensi yang terdiri dari antena linear yang
identik.
Jika sebuah elemen antena linier dipasang searah
sumbu z maka akan menghasilkan pola omni directional
pada sudut azimut . Dengan mereplikasi elemen antena
sepanjang sumbu x atau sumbu y maka tidak akan
diperoleh sudut azimut yang simetri. Ketika elemen
antena direplikasi sepanjang sumbu z, maka omni
directionality yang sehubungan dengan sudut azimut
dapat dipertahankan. Jika kita bisa menentukan jumlah
elemen array (an) dengan tepat, maka kita dapat
memperoleh nilai gain dan beamwidth yang diinginkan.

III.
PERANCANGAN DAN SIMULASI
Spesifikasi yang diinginkan dalam perancangan
antena Portabel Coastal Radaradalah sebagai berikut :
- Frekuensi kerja
: S Band
- Frekuensi tengah
: 3 GHz
- VSWR
: <1.5
- Bandwidth
: 60 MHz
- Beamwidth horisontal
: < 1
- Impedansi terminal
: 50
Bahan dielektrik yang digunakan sebagai substrat
pada antena adalah epoxy FR4. Karakteristik dasar
epoxy FR4 sebagai bahan dielektrik yang digunakan
untuk realisasi antena ini adalah sebagai berikut :
- Permitivitas relatif r
: 4,3
- Loss tangent
: 0,035
- Ketebalan dielektrik
: 3,2 mm
- Temperatur kerja
: -50 s/d 125o C
Salah satu kekurangan antena mikrostrip adalah
bandwidth yang sempit. Oleh karena itu pada penelitian
ini kami menggunakan ketebalan dielektrik 3,2 mm
dengan tujuan memperlebar bandwidth antena agar
sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.
Geometri antena array yang didesain dapat dilihat
pada Gambar 5.
23,1m

m
23,1m

(a)
120 mm

50mm

(b)
Gambar 5. (a) Geometri Antena Tampak Depan, (b) Geometri Antena
Tampak Belakang.

ISSN 1411-8289

Antena Patch Array untuk Portable Coastal Radar pada Frekuensi S-Band

Pada Gambar 5 dapat dilihat antena terdiri dari


empat buah patch yang diarray secara horisontal, bentuk
ini dipilih karena sinyal akan diterima oleh masingmasing patch secara bersamaan karena masing-masing
patch mempunyai jarak yang sama dengan titik
pencatuan. Pada tampak belakang terlihat antena dicatu
dengan menggunakan konektor SMA dengan
groundplane selebar substrat. Panjang 1 modul antena
adalah 120 mm.
A. Hasil Simulasi 1 Modul Antena
Antena disimulasi dengan menggunakan software
3D yang bekerja pada domain frekuensi untuk melihat
performansi antena yang didesain.
Hasil simulasi parameter s11 dan VSWR antena
ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7.

21

Dari Gambar 6 dapat disimpulkan antena yang di


desain bekerja pada frekuensi yang diinginkan, hal ini
terlihat dari nilai return loss terbaik sebesar
-25 dB
diperoleh pada frekuensi 3 GHz. Nilai VSWR 1,5
diperoleh pada rentang frekuensi 2,9608 sampai dengan
3,0409, sehingga bandwidth antena hasil simulasi
sebesar 80,1 MHz.
Pola radiasi antena hasil simulasi dapat dilihat pada
Gambar 8. Beamwidth horisontal antena hasil simulasi
dapat dilihat pada Gambar 8 (a) yaitu sebesar 37,
sedangkan beamwidth vertikal antena seperti terlihat
pada Gambar 8 (b) sebesar 92,1. Beamwidth horisontal
antena masih belum sesuai dengan spesifikasi yang
diinginkan, sehingga perlu ditambahkan array secara
horisontal.
Gain antena hasil simulasi diperoleh sebesar 8,049
dB seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 6. Hasil Simulasi S11 Antena.

Gambar 9. Hasil Simulasi Gain Antena

Gambar7. Hasil Simulasi VSWR Antena.

B. Hasil Simulasi Antena Array Horisontal


Untuk memperkecil beamwidth horisontal maka
modul antena yang telah disimulasi diarray ke arah
horisontal. Geometri antena yang telah diarray
ditunjukkan pada Gambar 10.

(a)
(b)
Gambar 8. Hasil Simulasi Pola Radiasi Antena, (a) Beamwidth Horisontal, (b) Beamwidth Vertikal

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

22

Folin Oktafiani dan Yussi Perdana Saputera

Gambar10. Geometri Antena Array.

Jumlah antena yang diarray secara horisontal


adalah 30 buah modul antena, panjang keseluruhan
antena adalah 3600 mm. Hasil simulasi beamwidth
antena array dapat dilihat pada Gambar 11.

Dengan bertambahnya jumlah antena yang diarray


maka gain antena juga akan meningkat. Antena array
dengan jumlah 30 modul antena patch menghasilkan
gain sebesar 21,11 dB seperti ditunjukkan pada Gambar
12.
KESIMPULAN
Antena portable coastal radar yang telah didesain
dan disimulasi dapat bekerja pada frekuensi 3 Ghz dan
menunjukan performansi kerja yang sesuai dengan
spesifikasi yang diinginkan. Dengan menambahkan
elemen antena yang diarray secara horisontal terbukti
dapat
mengurangi
beamwidth
horisontal
dan
meningkatkan gain antena. Bandwith antena juga dapat
ditingkatkan dengan menambah ketebalan substrat.
Fabrikasi dan pengukuran antena akan dilakukan
pada penelitian selanjutnya untuk membandingkan hasil
simulasi antena yang didesain.
DAFTAR PUSTAKA
[1]

Gambar 11. Beamwidth Horisontal Antena Array.

Terlihat pada Gambar 11 dengan menyusun antena


secara horisontal dapat menurunkan beamwidth antena.
Beamwidth horisontal antena array hasil simulasi telah
memenuhi spesifikasi yang ditentukan yaitu sebesar
0,9.

Gambar 12. Hasil Simulasi Gain Antena Array

ISSN 1411-8289

(2013) Radar sebagai mata pengawas wilayah NKRI [Online],


Available
:
http://www.radar-nasional.org/home/51-radarsebagai-mata-pengawas-wilayah-nkri
[2] Y. Ekawati. (2013), Teknologi radar, dengan radar amati pantai,
[Online],
Available
:
http://www.informatika.lipi.go.id/ipt/index.php?option=com_co
ntent&view=article&id=195%3Ateknologi-radar-dengan-radaramati-pesisir&catid=1%3Alatest-news&Itemid=59&lang=in
[3] M. Alaydrus. (2013), Antena reflektor, [Online], Available :
http://kk.mercubuana.ac.id/files/14056-8-305986707439.pdf
[4] P. Daud, Y. N. Wijayanto, Sulistyaningsih, S. Hardiati, Antena
mikrostrip patch array untuk aplikasi sistem radar maritime,
dalam Prosiding Pemaparan Hasil Litbang Ilmu Pengetahuan
teknik IV, Bandung 2008, hal B 17-B 21.
[5] H Judawisastra, Antena dan Propagasi Gelombang, Catatan
Kuliah, Penerbit ITB, 2010.
[6] The IEEE Standard Definitions of Terms for Antennas, IEEE
Std. 145, 1983.
[7] S. Rahmadita, Perancangan dan realisasi antena mikrostrip
patch persegi dengan substrat alumina pada frekuensi 3,3 -3,4
GHz Untuk Aplikasi Wimax, Tugas akhir, Institut Teknologi
Telkom, Bandung, 2010.
[8] C. A. Balanis, Antenna Theory Analysis and Design, New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2005
[9] (2013) Antenna arrays (Phased arrays). [Online]. Available:
http://www.antenna-theory.com/arrays/main.php
[10] (2013)
Waveguides.
[Online].
Available:
http://www.ece.rutgers.edu/~orfanidi/ewa/ch19.pdf

Antena Bikonikal Tabung untuk Aplikasi Radar Electronic


Support Measures Dengan Pola Radiasi Omni-directional
pada Frekuensi 2 -18 GHz
Tube Bikonikal Antenna for Radar Applications Electronic
Support Measures With Radiation Pattern Omni-directional
on Frequency 2 -18 GHz
Yussi Perdana Saputera *, Folin Oktafiani, dan Yuyu Wahyu
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Komp LIPI Gd 20, Jl Sangkuriang 21/54D, Bandung 40135, Indonesia
Abstrak
Pada tulisan ini, dilakukan penelitian mengenai perancangan antena bikonikal tabung yang memiliki pola radiasi omnidirectional yang akan digunakan pada radar Elektronic Support Measures (ESM). Antena bikonikal memiliki karakteristik
bandwidth yang sangat lebar (ultrawideband) cocok digunakan pada aplikasi ESM dengan frekuensi 2 18 GHz. Bentuk pola
radiasi omni-directional yang dirancang bertujuan agar pada saat ESM melakukan deteksi frekuensi radar (s-, c-, x-, dan kuband) dari pancaran radar yang berada di sekitarnya dapat melakukan deteksi ke segala arah. Karena kegunaan ESM sebagai
radar detektor dengan sifat sebagai penerima (receiver) dibutuhkan VSWR di bawah 2,5 dengan nilai return loss di bawah 7,436. Antena bikonikal yang dirancang menggunakan plat tembaga yang dibentuk kerucut dengan penambahan tabung dengan
pemasangan berhadapan antara antena yang dipasang pada inner konektor dan ground. Antena bikonikal dipasang mengunakan
balun , agar matching impedansi antara antena dengan konektor 50 . Plat tembaga yang digunakan dengan tebal 0,8 mm.
Kata kunci: bikonikal, tabung, antena, omni directional, Ultrawideband
Abstrack
In this paper, conducted research on the design of the antenna tube biconical have omnidirectional radiation pattern to be
used in radar ESM (Electronic Support Measures). Biconical antenna has a very wide bandwidth characteristics (Ultrawide
band) suitable for use in applications ESM with frequency 2-18 GHz. Omni directional radiation pattern shape is designed so
that when the ESM aims to detect radar frequency (s-, C-, X- and Ku-band) of the radar beam that are around can perform
detection in all directions. Because the usefulness of ESM as a radar detector with nature as a receiver, it takes VSWR below 2.5
with return loss values below -7.436. Biconical antenna is designed using a copper plate with a cone-shaped and the addition
tube of sight between the antenna installation is mounted on inner connector and ground. Biconical antenna installed using
matching , so that impedance matching between the antenna and the connector 50 . Copper plate is used with the thick 0.8
mm.
Key words: biconical, tube, antena. omni directional, ultra wide band.

I. PENDAHULUAN
Electronic Support Measures (ESM) secara umum
adalah sebuah peralatan elektronik yang berfungsi untuk
menerima sinyal gelombang elektromagnetik, kemudian
sinyal tersebut diproses dan dianalisa sehingga diperoleh
lokasi (posisi), kuat sinyal (signal strength) dan
parameter lainnya. Peralatan ESM seperti ditunjukkan
dalam Gambar 1, terdiri dari bagian penerima, bagian
prossesing dan mechanical support [1], [2].
Dalam tulisan ini, dilakukan perancangan dan
simulasi mengenai antena omni-directional yang akan
digunakan pada aplikasi ESM. Antena yang dirancang
* Corresponding Author.
Email: yussips@gmail.com
Received: May 30, 2013; Revised: June 28, 2013
Accepted: June 28, 2013
Published: June 30, 2013
2013 PPET - LIPI All rights reserved

berbentuk bikonikal dengan tambahan tabung sebagai


penambah gain.Antena bikonikal memiliki sifat dengan
bandwidth yang lebar (ultra-wide-band) yang sangat
cocok digunakan pada aplikasi ESM, yang dapat
mencakup frekuensi S-band (2-4 GHz), C-band (4-8
GHz), X-band (9-12 GHz) dan Ku-band (12-18 GHz)
[3].

Gambar 1. Desain Posisi Antena Bikonikal Tabung pada Electronic


Support Measures oleh PPET LIPI [1], [2].

24

Yussi Perdana Saputera et al

Penelitian ini dikembangkan dari penelitian yang


sudah dilakukan oleh industry telekomunikasi di negara
lain. Tetapi produk yang ada di pasaran memiliki bentuk
serta karekteristik yang kurang, sehingga tidak dapat
digunakan pada aplikasi ESM. Mulai dari bentuk yang
berbeda, VSWR yang masih tinggi, bandwidth yang
sempit serta harga yang mahal [4], [5]. Oleh karena itu
kami merancang antena bikonikal yang memiliki
karekteristik yang dapat digunakan pada ESM serta
harga yang relatif murah.
Dalam tulisan ini terdiri dari 5 bagian pembahasan;
bagian 1 berisi pendahuluan, bagian 2 berisi dasar teori
yang menjadi landasan penelitian, bagian 3 berisi
rancangan, simulasi dan hasil simulasi, bagian 4 berisi
analisa dan bagian 5 berisi kesimpulan dari penelitian
yang telah dilakukan.
II.

Konfigurasi antena bikonikal mengunakan catuan


kabel koaksial seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Panjang cone pada antena bikonikal adalah l. Radius
kerucut pada antena bikonikal dicari menggunakan
rumus:
l sin (/2)

(1)

Radius bagian cone bawah memiliki diameter


sebesar jari-jari dari kabel koaksial, sudut antara dua
kerucut adalah . Kerucut atas dan bawah disusun
simetris. Kerucut disusun dengan posisi kerucut saling
berhadapan, dengan dipisahkan gap.
Untuk (/2) mempunyai nilai 30 [1], sedangkan
untuk nilai r didapat dari r = l/2, di mana l merupakan
panjang total.

DASAR TEORI

A. Antena ESM
Antena ESM terdiri dari 2 buah antena yaitu omni
dan directional, antena omni berfungsi untuk menerima
sinyal dari keliling area 360, kemudian oleh bagian
penerima sinyal tersebut diproses (demodulasi) sehingga
diperoleh parameter seperti jenis modulasi, frekuensi
dsb. Antena directional terdiri dari 6 buah antena
dipasang membentuk lingkaran sehingga diperoleh sudut
360, masing masing antena mempunyai sudut 60,
dengan demikian fungsi antena ini hanya untuk
menentukan arah atau lokasi dari sinyal yang diterima
[1], [3].
B. Antena Bikonikal
Antena bikonikal merupakan antena yang memiliki
bentuk yang terdiri dari 2 buah kerucut yang saling
berhadapan antar masing-masing kerucut, dengan
keunggulan dapat menghasilkan bandwidth yang lebar.
Antena ini memiliki pola radiasi seperti koordinat bola,
atau mengarah ke segala arah (omni-directional).

Gambar 3. Konfigurasi Antena Bikonikal [7].

Gambar 3 adalah merupakan antena bikonikal


berbentuk sebuah bola yang menutupi antena. [a
mewakili panjang kerucut, 1 dan 2 mewakili setengah
sudut kerucut antenna bikonikal].
Struktur antena dapat dilihat pada Gambar 3. Hal ini
secara aksial simetris dan memiliki sudut cone lebar
dengan sudut setengah cone melebihi 40. Setengah
sudut cone1 dan 2 , dengan syarat memenuhi :
0<1 </2
(2)
dan,
0<2 1
(3)
Bentuk cone simetris dengan cone lainnya.
Impedansi input antena dengan panjang cone dan
sudut cone pada antena bikonikal menggunakan
formula sebagai berikut [8]:
(4)
di mana,
= 60 ln Cos ( )

(5)
[

]
[

(6)

di mana :
(7)
Gambar 2. Konfigurasi Catuan Antena Bikonikal [6].

ISSN 1411-8289

Antena Bikonikal Tabung untuk Aplikasi Radar ESM Dengan Pola Radiasi Omni-directional pada Frekuensi 2 -18 GHz

25

Keterangan :
=
=
=
=

Panjang gelombang di ruang bebas,


Karakteristik impedansi antena,
Legend repolinomial sebanyak n,
Fungsi tambahan kompleks variable
real kl,
= Fungsi Hankel bola dari pangkat 2,
= Rasio antara penyebaran TEM
tercermin dan yang datang, di area
propagasi antena.
III. DESAIN DAN SIMULASI
Dalam penelitian ini, material yang digunakan
adalah plat tembaga yang banyak dijual di pasaran,
dengan ketebalan plat 0,8 mm. Desain antena dapat
dilihat seperti Gambar 4. Desain antena yang dilakukan
dengan menambahkan tabung pada bagian atas cone, hal
ini bertujuan untuk menurunkan nilai VSWR menjadi di
bawah 2.

Gambar 7. Hasil Simulasi VSWR.

Dari simulasi yang dilakukan didapat nilai VSWR di


bawah 2, serta memiliki VSWR yang bagus pada
resonan frekuensi tengah untuk radar, yaitu :
TABEL I
HASIL SIMULASI S-PARAMETER PADA RESONAN FREKUENSI RADAR
Band
Frekuensi
VSWR
Rerturn Loss
S
3 GHz
1,8191
-10,735
C
6 GHz
1,4888
-14,136
X
10 GHz
1,1006
-26,396
Ku
15 GHz
1,798
-10,901

B. Gain dan Polaradiasi


(a)
(b)
Gambar 4. Desain antena (a) Tampak samping, (b) Tampak atas.

Gambar 8. Hasil Simulasi Gain (dalam dBi).

Dari simulasi didapatkan hasil gain keseluruhan (218 GHz) memiliki range mulai dari 1.3 dBi 3,3 dBi.
Gambar 5. Simulasi Antena Keseluruhan dengan Pencatuan 1/4 dan
Konektor Tipe N.

A. S-Parameter

TABEL II
HASIL SIMULASI GAIN PADA RESONAN FREKUENSI RADAR
Frekuensi
Band
Gain
S
3 GHz
2,438
C
6 GHz
1,973
X
10 GHz
2,914
Ku
15 GHz
1,350

Dari Gambar 8 dan 9 dapat dilihat, bahwa gain yang


dihasilkan relatif kecil. Hal ini dikarenakan, bentuk pola
radiasi yang dihasilkan mengarah ke segala arah (omnidirectional). Daya yang disebarkan merata ke segala
arah pancar yang ditimbulkan dari radiasi antena, yang
sesuai dengan spesifikasi dari aplikasi ESM yang
diinginkan.

Gambar 6. Hasil Simulasi Return Loss.


JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

26

Yussi Perdana Saputera et al

Gambar 9. Hasil Simulasi Polarisasi Antena 3D.

Gambar 9 merupakan bentuk pola radiasi yang


dihasilkan antena bikonikal tabung. Tiap-tiap frekuensi
menghasilkan bentuk pola radiasi yang berbeda. Dalam
hal ini mengambil frekuensi kerja radar.
C. Sudut Theta dan Phi (2D)
Sudut theta dan phi merupakan interpolasi yang
didapat dari radiasi antena yang membentuk grafik 2
dimensi, sehingga dapat diketahui besaran sudut yang
dihasilkan.

S-Band (3 GHz)
Main lobe magnitude = 2,4 dB

S-Band (3 GHz)
Main lobe magnitude = 1,9 dB

C-Band (6 GHz)
Main lobe magnitude = 1,1 dB

X-Band (10 GHz)


Main lobe magnitude = 2,6 dB

Ku-Band (15 GHz)


Main lobe magnitude = 1,1 dB

Gambar 11. Hasil Simulasi Sudut Phi 0 (2D) / Sudut Elevasi

Gambar 11 menggambarkan bahwa pola radiasi dari


antena yang dirancang menghasilkan pola radiasi yang
mengarah ke segala arah (omni-directional), dengan
level magnitude yang berubah-ubah di masing-masing
frekuensi (218 GHz).
D. Polarisasi Antena

C-Band (6 GHz)
Main lobe magnitude = 2 dB

(a)

(b)

Gambar 12. Hasil Simulasi Polarisasi Antena, (a) Mengarah ke Atas,


(b) Mengarah ke Bawah.

Gambar 12 menggambarkan hasil polarisasi dari


antena bikonikal yang dirancang adalah linier vertikal.
X-Band (10 GHz)
Main lobe magnitude = 2,9 dB

Ku-Band (15 GHz)


Main lobe magnitude = 1,3 dB

Gambar 10. Hasil Simulasi Sudut Theta 90 (2D) / Sudut Azimut

ISSN 1411-8289

E. Medan-E dan Medan-H


Medan-E (elektrik) dan medan-H (magnet)
merupakan medan yang dihasilkan dari catuan daya yang
ada pada antena.

Antena Bikonikal Tabung untuk Aplikasi Radar ESM Dengan Pola Radiasi Omni-directional pada Frekuensi 2 -18 GHz

27

Gambar 15. Hasil optimasi panjang balun/saluran transmisi.

(a)

(b)

Gambar 13. Hasil Simulasi Medan E dan Medan H, (a) Bagian Luar,
(b) Bagian Dalam.

IV. ANALISA
A. Tinggi Cone
Tinggi cone berpengaruh pada hasil optimasi sparameter, semakin tinggi cone, nilai s-parameter yang
dihasilkan akan semakin jelek. Tetapi nilai optimum dari
tinggi cone berada pada 15,5 mm pada setiap
frekuensinya. Percobaan yang dilakukan dengan
mengubah tinggi cone mulai dari 11 mm ke 23 mm,
dengan jarak 1 mm ditunjukkan pada Gambar 14.

KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan, antena bikonikal
terbukti mempunyai karekteristik bandwidth yang lebar
dan nilai VSWRnya mampu di bawah 2, pada frekuensi
2-18 GHz. Selain itu pola radiasi antena bikonikal
berbantuk omni-directional pada semua resonan
frekuensi yang disimulasikan, sehingga dapat memenuhi
spesifikasi antena pada ESM.
DAFTAR PUSTAKA
[1]

[2]

[3]

[4]

[5]
[6]

[7]

[8]
Gambar 14. Hasil perbandingan tinggi cone.

M. Wahab, Y. Wahyu, D. Ruhiyat, dan D. Permana, Perbaikan,


pembuatan RF head dan pembuatan electronic support measure
(ESM), PPET LIPI, Bandung, 2012.
M. Wahab, D. Rudiyat, A. B. Santiko, dan N. D. Susanti,
Research and development on rf head and baseband pocessing
of electronik support measure (ESM), in Proc. ICRAMET,
Surabaya, 2013, pp. 90 94.
Y. P. Saputera, Y. Wahyu, dan M. Wahab, Spiral antena for
electronic support measures (ESM) application 2-18 GHz,
ICRAMET, Surabaya, 2013, in Proc. ICRAMET, Surabaya,
2013, pp. 35 39.
(2013)
Antena
biconical.
[Online].
Available:
http://www.ainfoinc.com/en/pro_pdf/new_products/antena/BiConical%20Antena/tr_SZ-20300.pdf
(2013) Biconical antenna : ETS Lindgren. [Online]. Available:
http://www.ets-lindgren.com/manuals/3104C.pdf
R. Kudpik, K. Meksamoot, N. Siripon, and S. Kosulvit, Design
of a compact biconical antena for UWB applications, ISPACS,
2011.
D. Ghosh, T. K. Sarkar, and E. L. Mokole design of a wideangle biconical antena for wideband communications, Progress
In Electromagnetics Research B, vol. 16, pp 229245, 2009.
C. H. Papas and R. W. P. King, "Input impedance of wide
angle conical antenas fed by a coaxial line," Proc. IRE, vol. 37,
pp 1269-1271, Nov. 1949.

B. Panjang Balun
Panjang balun memiliki ukuran 1/4, yang bertujuan
untuk menyepadankan impedansi antena dengan
impedansi catuan. Panjang balun/saluran transmisi pada
antena haruslah benar-benar 1/4, sehingga S-parameter
mendapatkan hasil pada posisi yang paling optimum.
Dalam penelitian ini panjang balun yang paling optimum
berukuran 63 mm, dengan VSWR 1,01 pada frekuensi
center simulasi (10 GHz). Hasil optimasi panjang
balun/saluran transmisi ditunjukkan pada Gambar 15.

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

Design of Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring


Resonator Using Transfer Matrix and Signal Flow-Graph
Method
Desain Asymmetric Parallel-Cascaded MicroRingResonator Menggunakan Metode Transfer Matrix
danSignal Flow-Graph
Dadin Mahmudin *, Pamungkas Daud, and Yusuf Nur Wijayanto
Research Center for Electronics and Telecommunication, Indonesian Institute of Science (LIPI)
Jl.Sangkuriang, Kampus LIPI, Bandung 40135 Indonesia
Abstrack
Asymmetric parallel-cascaded micro-ring resonator (APCMR) is proposed. The proposed device is composed of two or
more micro-ring-resonators with different diameter. The proposed device is designed using transfer matrix combined with signal
flow graph methods. The designed device with crosstalk less than and equal -10 dB can be obtained by setting coupling
coefficient. The proposed device can be used for optical filters and sensors.
Key words: asymmetric parallel-cascaded micro-ring- resonator (APCMR), optical filter, transfer matrix, signal flow-graph.
Abstrak
Telah didesain optimasi dari asymmetric parallel-cascaded micro-ring resonator Devais yang diusulkan terdiri dari dua atau
lebih micro-ring-resonator dengan diameter yang berbeda. Devais didesain dengan menggunakan metode transfer matrix yang
dikombinasikan dengan metode signal flow graph. Devais yang dirancang dapat menghasilkan crosstalk-10 dB atau lebih rendah
dengan mengubah koefisien kopling. Perangkat yang diusulkan dapat digunakan untuk filter optik dan sensor.
Kata Kunci: asymmetric parallel-cascaded micro-ring resonator, optical filter, transfer matrix, signal flow-graph.

I. INTRODUCTION
In order to meet demand of large bandwidth in the
optical fiber backbone network, the multiplexing
technique used must be able to produce information
with the speed of giga-bit /second (Gbit/s) and even
terra-bit/second (Tbit/s). In general, WDM multiplexing
is a technique that is useful to increase the speed of
information and bandwidth by merging multiple optical
signals over the same fiber optic cable, in which the
signals coming from different optical sources with
different wavelengths. Each wavelength can have the
speed of information and different formats [1].
Filter has becoming an important element for
wavelength-division-multiplexing (WDM) system in
recent years and micro-ring resonator (MRR) is a type
of optical filter potential for use in Dense-WDM
(DWDM) networks. In DWDM networks, MRR can be
used as an optical add/drop multiplexer (OADM) and
multiplexer [2]. In addition, as a kind of filter-based
optical waveguide, MRR can be designed and
fabricated in a variety of structures and sizes. The MRR
* Corresponding Author.
Email: dadin@ppet.lipi.go.id
Received: May28, 2013; Revised: June 7, 2013
Accepted: June 28, 2013
Published: June 30, 2013
2013 PPET - LIPI All rights reserved

can be adopted for single-micro-ring resonator (SMR),


series-coupled-micro-ring resonator (SCMR), and
parallel-coupled-micro-ring resonator
(PCMR).
However, they still have disadvantages. In order to
compensate them, an APCMR can be used.
This study proposes an APCMR. The proposed
device is composed of two or more micro-ring
resonators with different diameter. The proposed device
is designed using transfer matrix combined with signal
flow graph methods. The low crosstalk can be obtained
by setting coupling coefficient. The crosstalk of -10dB
of the proposed device was calculated for frequency
spectral range (FSR) of 100 GHz. The detail analysis is
presented in this paper.
II. DEVICE CONVIGURATION
The basic configuration of the APCMR is shown
by Figure 1. APCMR consists of two rings with
asymmetric size of the diameter r1 and r2. The two rings
are aligned in a parallel-cascade structure with a
distance. The rings are coupled to straight channel
optical waveguides with coupling coefficient of K.
When a light is coupled to the input port, two light
outputs with resonance and anti-resonance effects are
induced due to the two MRR in the parallel structure
with different size. By adjusting the coupling
coefficient between the ring and straight optical

Design of Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring Resonator Using Transfer Matrix and Signal Flow-Graph Method

waveguides, the crosstalk of the proposed device can


be controlled.
K1
Input

lb

K3
Output-1

r1

r2

lb

Output-2

K4

K2

Figure 1. Basic Configuration of APCMR.

III. ANALYSIS METHOD :CALCULATION OF


APCMR TRANSMITTANCE EQUATION
The transfer matrix and signal flow-graph methods
have been used in the design of multi-path ringresonator (MPRR) [2]. The transfer matrix method is
the simplest form of the scattering matrix (in some
literatures also referred to as the ABCD transmission
matrix or matrix). The signal flow-graph method is used
to find the final form of the transfer function of a MRR

HK1

a1K1

29

structure. The signal flow-graph method is simpler than


the chain matrix methods [3]. The transfer matrix and
signal flow graph can be also used for optical circuits
and microwave [4] [7].
The transfer matrix and signal flow-graph methods
have several advantages. The first is easier to analyze
the cascade structures (more than one ring), because
each ring can be modeled separately. Total transfer
matrix can be obtained by multiplying the transfer
matrices of each of the rings. Then, the methods do not
require complex calculations. The overall structures of
the MRR just need to be divided into a network of
polar-4 (2 inputs and 2 outputs) that can be found by the
transfer matrix. Furthermore, the MRR analysis results
can be easily simulated using a C program.
The proposed device was analyzed using the
transfer matrix and signal flow-graph methods. The
proposed APCMR has two main parameters
components, which are a coupling coefficient, HKn, and
double delay-line value, Gd, such as shown in Fig. 2.

b1K1

Input

HK3

a1K3

b1K3
Output-1

b2K1

a2K1

R1

a2K3
Gd

R1

Ring-1

R2

Ring-2
b2K4

b2K2

HK2

b2K3
R2

HK4

a2K4

a2K2

b1K4

Output-2
a1K2

b1K2

(a)

HKn

Gd

a1Kn

b1Kn

b1K1

a2Kn

b2Kn

a1K2

(b)

l1
l2

a1K3
b1K4

(c)

Figure 2. (a) Block Diagram of the APMCR, (b) the Coupling, and (c) the Double Delay Line.

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

30

Dadin Mahmudin et al

Transfer matrices of the coupling and double


delay-line are expressed as
1 K n j K n An Bn
[ H Kn ] 1

,
1 K n C n Dn
j K n
(1)
j ( j ) l
e
0
,
[Gd ]
j ( j ) l
e
0

where, n = 1, 2

Then the transmittance of two light outputs


between the anti-resonance (Tar) and resonance output
(Tr) can be transformed as following equations by
considering Eq.(6) and (7)
3

Tar

b
Tr 1K 2
a1K 1

Rn e j ( j ) r

is the coupling loss, is the propagation constant,


and is the attenuation coefficient. Same coupling loss
and propagation constant are assumed. Therefore, the
transfer matrix of each coupling and double delay-line
are expressed in following equation, respectively,
b1Kn A1 B1 a1Kn
(2)
b C D a ,
1 2 Kn
2 Kn 1

b1K 1
a1K 3
b Gd a ,
2K 2
2K 4
a1K1

(3)

b1K3

GT

b1K2

Figure 3. Model of the Proposed APCMR.

From Figure2 (a) it can be seen that the input


APCMR is a1K1 while output-1 and output-2 is b1K3 and
b1K2 so that APCMR can be modeled as Fig 3.
Therefore, the proposed APCMR can be modeled as
shown in Fig. 3. As a result, the transfer matrix
becomes
a1K 1
b1K 3 (GT )11 (GT )12 b1K 3
(3)
b GT

.
0 (GT ) 21 (GT ) 22 0
1K 2
Matrix [GT] is the transfer matrix for the feedbackward configuration, while feed- forward
configuration for the APCMR as expressed as :
b1K 3
a1K 2 ( H T )11 ( H T )12 a1K 2
b H T

.
0 ( H T ) 21 ( H T ) 22 0
1K 2
a1K1
b1K2

G1

b1K1

a1K3

a1K2

b1K4

G2

(4)

( H T ) 21 .
2

(7)

IV. RESULT AND DISCUSION


In order to obtain the values of parameters
(crosstalk, bandwidth, and ripple ratio) of APCMR
proposed, the value of the variable coupling coefficient
can be adjusted ((K1, K2, K3, dan K4). Through
comparing the values of these parameters, the optimum
design of APCMR is achived. The optimum design is
expected to have -20 dB crosstalk, wide bandwidth,
and ripple ratio 1dB.. We assume that the FSR is set
to 100 GHz, which is sufficient FSR. Several
configurations based on different of the coupling
coefficient are used for simulation parameters, as
follow,
1. K1 = K2 = K3 = K4 ,
where K1=K2=K3=K4= 0.01 0.7.
2.

3.

K1 K2 = K3 = K4 ,
where K1 = 0.01 0.7 ; and K2=K3=K4=0.01,
0.05, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, 0.6, 0.7.
K1 = K2 K3 = K4 ,
where K1=K2= 0.01 0.7 ; and K3=K4= 0.01,
0.05, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, 0.6, 0.7.

4.

K1 = K3 K2 = K4 ,
where K1=K3= 0.01 0.7 ; and K2=K4= 0.01,
0.05, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, 0.6, 0.7.

Figure 4. Model of the Ring-1 and 2.

ISSN 1411-8289

(6)

The [G1] and [G2] are the transfer matrices of feed


forward from matrices [H1] and [H2] for ring-1 and 2.
The elements of the transfer function (H11, H12, H21, and
H22), which a function of Ki, K2, and K3, can be derived
by using signal flow chart.
After transmittance equations for anti-resonance
output and resonance output was obtained, to
determined the frequency response of APCMR was
used computer simulations.C program in compiler with
Cygwin is used to implement the calculation of
transmittance. These figures are the results of computer
simulation calculations described (on-plot) using the
program gnuplot version 3.7 which will produce a
frequency response of APCMR.

b1K3

Matrix [GT] can be obtained by the multiplication


between transfer matrices of each ring and double
delay-line. The transfer matrices of the ring-1 and 2 are
[G1] and [G2], respectively, where the diagram blocks
of them are shown in Fig. 4. Based on Fig. 2(b), the
proposed APCMR input is a1K1 while the outputs are
defined as b1K3 and b1K2, the transfer matrix can be
expressed as
a1K 1
b1K 3
(5)
b Gd G1 G2
.
0
1K 2

b1K 3
2
( H T )11 ,
a1K 1

5.

K1 K2 K3 = K4 ,
where K1 = 0.01, 0.05, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, 0.6,
0.7; K2 = 0.01, 0.1, 0.3, 0.5, and 0.7 ; and
K3=K4= 0.01 0.7.

By calculating the crosstalk of the proposed


APCMR at the FSR of 100 GHz for each configuration,
then optimum design of the proposed device can be
obtained.

Design of Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring Resonator Using Transfer Matrix and Signal Flow-Graph Method

31

f=100 GHz
2

-2

Crosstalk [dB]

-4

-6

-8

-10
K2=K3=K4

-12

-14

0.5

0.01

0.2

0.05

0.3

0.6

0.1

0.4

0.7

0.327

-16
0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

K1

Figure 5. Calculated Crosstalk of the Proposed APCMR for Several Values of K1.
f=100 GHz;K2=0.01

-2

Crosstalk [dB]

-4

-6

-8

-10

-12

K1

-14

0.5

0.01

0.2

0.05

0.3

0.6

0.1

0.4

0.7

-16
0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

K3=K4
0.083

0.151

0.237

Figure 6. Calculated Crosstalk of the Proposed APCMR for Several Values of the K3 = K4.

Using computer simulation of the configuration 1


and 3, the crosstalk of 0 dB can be obtained. By using
the configuration 4, the same value of crosstalk of
below 0 dB can be obtained for frequency of 100 GHz,
however the peak of the spectrum on this configuration
is under 0 dB due to the power loss on the ring, even
= 0 dB/cm. Therefore, it will be used configuration
2 and 5 to determine the optimum design of APCMR.

In order to determine the optimum device design of


the proposed APCMR, we selected the configurations
of 2 and 5. The calculated crosstalk as function to the
coupling coefficients for configuration 2 and 5 are
shown in Fig. 5 and 6, respectively. We can see that the
calculated crosstalk was over -20 dB, therefore the
crosstalk of -10 dB was selected for optimization. The
optimized parameters for obtaining crosstalk of -10 dB
at 100 GHz FSR were calculated as follow: K1 = 0.7, K2
= 0.01, and K3 = K4 = 0.237.

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

32

Dadin Mahmudin et al

CONCLUSION
We have proposed an APCMR for optical filter.
The proposed device was analyzed using transfer matrix
and signal flow graph methods. The optimization of the
proposed device was done with crosstalk of -10 dB at
FSR 100 GHz. The low crosstalk value can be obtained
by adjusting the coupling coefficients. The proposed
device can be used for optical filters and sensors.
REFERENCES
[1] S. V. Kartalopoulos, Introduction to DWDM Technology : Data
in Rainbow, Lucent Technologies, 2000

[2] I. S. Hidayat, A Study on Optical Micro-ring Resonator for


Optical Wavelength Filter, Graduation dissertation, School of

ISSN 1411-8289

Natural Scienece and Technology Okayama University, 2003.

[3] S. C. Hagness, FDTD Computational Electromagnetics

[4]
[5]

[6]
[7]

Modelling of Microcavity Lasers and Resonant Optical


Structures, Graduation dissertation doctor of philosophy in
electrical engineering, Northwestern University Evanston
Illinois, 1998.
N. Kashima, Passive Optical Components for Optical Fiber
Transmission, Artech House, 1995.
J. K. S. Poon, J. Scheuer, S. Mookherjea, G. T. Paloczi, Y.
Huang, A. Yariv, Matrix Analysis of Microring CoupledResonator Optical Waveguides, Optics Express , vol. 12, no.
1, Jan. 2004.
F. Sanchez, Matrix Algebra for All-Fiber Optical Resonators,
IEEE Journal of Lightwave Technology, vol. 9, no. 7, Jul. 1991.
D. M. Pozar, Microwave Engineering, John Wiley & Sons,
2003.

Desain dan Realisasi


Mikrostrip Bandpass Filter dengan Struktur Hairpin
Design and Realization Microstrip Bandpass Filter with
Hairpin Structure
Teguh Praludi* dan Yaya Sulaeman
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Komp LIPI Gd 20, Jl Sangkuriang 21/54D, Bandung 40135, Indonesia
Abstrak
Kebutuhan akan sebuah filter dalam sebuah rangkaian elektronik mutlak diperlukan, dikarenakan sesuai dengan fungsi filter
adalah meloloskan frekuensi yang diinginkan dan akan menahan frekuensi yang tidak diinginkan. Desain dan realisasi filter
bandpass menggunakan teknologi mikrostrip dengan struktur hairpin akan dipaparkan pada makalah ini. Strukur hairpin
merupakan perbaikan dari filter yang menggunakan parallel coupled bila ditinjau dari sisi dimensi sebuah filter, di mana pada
struktur hairpin ini, panjang dari stripline akan dilipat membentuk huruf U sebesar dengan sudut lekukan 90o. Filter
bandpass struktur hairpin dengan teknologi mikrostrip akan didesain dengan insertion loss -3 dB pada daerah passband, return
loss -20 dB, lebar bandwidth 200 MHz, impedansi karakteristik 50 , frekuensi kerja 2,9 3,1 GHz dengan respon filter
Chebyshev 0,1 dB. Filter bandpass yang didesain menggunakan bahan dari roger RO4350 yang mempunyai ketebalan 1,44 mm,
dan permitivitas relatif (r) = 3,77. Filter bandpass struktur hairpin ini dirancang dan disimulasikan dengan menggunakan
perangkat lunak ADS (Advanced Design System) dari Agilent.
Kata kunci: bandpass filter, hairpin, mikrostrip.
Abstrack
The filter in an electronic circuit is absolutely necessary, because according to the filter function which passes the desired
frequency and will block unwanted frequencies. Design and realization of bandpass filter using microstrip technology with
hairpin structure will be presented in this paper. Hairpin structure is an improvement over the use of parallel coupled filter when
it is reviewed from the filter dimensions, where in this hairpin structure, the length of the stripline will be folded to form U
letters as big as with the angle curve 90o. The bandpass filter hairpin structure with microstrip technology will be desained
with insertion loss -3 dB for range passband, return loss -20 dB, bandwidth 200 MHz, uses characteristic impedance 50 ,
with range frequency 2.9 3.1 GHz with respon Chebysev 0.1 dB, and center frequency 3 GHz. Design and realization of this
bandpass filter uses substrate RO4350 from roger corp, with thickness 1.44 mm, and effective permittivity (r) = 3.77. Design of
bandpass filter and simulation uses software ADS (Advanced Design System).
Key words: bandpass filter, hairpin, microstrip.

I. PENDAHULUAN
Tapis (filter) atau electronic filter adalah rangkaian
elektronik yang berfungsi untuk memproses (menyaring,
meneruskan, dan meredam) suatu sinyal (misal:
komponen frekuensi, dan data) yang diinginkan dan/atau
tidak memproses (membuang, menahan, meloloskan)
sinyal yang tidak diinginkan [1]. Filter dapat didesain
dengan berbagai cara dan komponen. Filter dapat dibuat
dengan menggunakan elemen-elemen terbungkah
(lumped element) yaitu kapasitor dan induktor yang
dihubungkan dengan menggunakan jalur yang dicetak di
atas printed circuit board (PCB), dan juga dapat dibuat
dengan menggunakan teknologi mikrostrip. Filter
dengan menggunakan lumped element biasanya
digunakan untuk frekuensi rendah. Sedangkan jenis filter
* CorrespondingAuthor.
Email: teguhpraludi@gmail.com
Received: June 26, 2013; Revised: June 27, 2013
Accepted: June 28, 2013
Published: June 30, 2013
2013 PPET - LIPI All rights reserved

untuk frekuensi tinggi biasa menggunakan mikrostrip.


Filter bandpass dengan teknologi mikrostrip ini bekerja
pada frekuensi 3 GHz (s-band), dan dapat diaplikasikan
pada receiver pada radar yang bekerja pada jangkauan
frekuensi 2-4 GHz.
II. DASAR TEORI
A. Parameter Filter
Bandwidth atau lebar pita adalah daerah frekuensi
saat sinyal yang melewati filter dapat diteruskan dengan
redaman sekecil mungkin. Rentang frekuensi yang
diapit di antara dua frekuensi potong (cut-off frequency)
disebut frekuensi passband, sedangkan frekuensi yang
tidak diloloskan disebut dengan stopband. Return loss
adalah perbandingan antara daya yang tersedia dari
sumber terhadap daya yang dipantulkan kembali oleh
beban. Return loss dapat terjadi karena tidak sesuainya
impedansi antara saluran transmisi dengan beban. Pada
saat pengukuran return loss dapat dilihat melalui nilai
S11. Selain itu terdapat parameter lain dari filter yaitu
insertion loss yang dapat didefinisikan sebagai
perbandingan antara daya yang tersedia dari sumber

34

Teguh Praludi dan Yaya Sulaeman

dengan daya keluaran filter ke beban [1]. Pada saat


pengukuran insertion loss dapat dilihat melalui nilai S21.
Bandpass filter adalah sebuah filter yang berfungsi untuk
meloloskan frekuensi pada range tertentu, sehingga akan
terdapat dua buah frekuensi cut-off, yaitu frekuensi cutoff bawah dan frekuensi cut-off atas.
B. Mikrostrip
Saluran transmisi mikrostrip adalah konduktor tipis
dengan lebar w yang dicetak pada bagian atas substrat
berdielektrik dengan permitivitas relatif r, tebal substrat
h, tebal mikrostrip t, dan tan (juga disebut loss
tangent atau tangen delta). Substrat tersebut memiliki
ground plane pada sisi yang berlawanan dengan jalur
mikrostrip [2]. Di atas strip adalah udara sehingga bila
tanpa shielding sebagian medan elektromagnetik akan
meradiasi, dan sebagian lagi ada yang masuk kembali ke
dalam substrat dielektrik. Jadi ada dua dielektrik yang
melingkupi strip: udara dengan konstanta dielektrik satu
dan substrat dengan konstanta dielektrik r 1. Dengan
demikian saluran mikrostrip, secara keseluruhan, dapat
kita pandang sebagai sebuah saluran dengan dielektrik
homogen yang lebih besar dari satu tapi lebih kecil dari
r [3].

( )

) ]

(2)

D. Impedansi Karakteristik
Impedansi karakteristik adalah fungsi dari lebar strip
penghantar, tebal bahan dielektrik dari permukaan
sampai bidang tanah (ground plane) dan homogenitas
bahan dielektrik (dinyatakan eff) [4]. Karakteristik
transmisi pada mikrostrip ditentukan oleh konstanta
dielektrik dan impedansi karakteristik. Untuk
menentukan besarnya impedansi karakteristik saluran,
dapat digunakan Persamaan (3) dan (4).
[

] Untuk w/h 1

(3)

(4)

)]

Untuk w/h > 1


III. DESSAIN DAN REALISASI
A. Hairpin
Dasar dari mikrostrip dengan model hairpin ini
adalah dari desain mikrostip pada parallel coupled,
tetapi dengan menekuk jalur mikrostrip menjadi dua
seperti huruf U, dengan sudut lekukan sebesar 90o,
tujuannya adalah memanfaatkan ruang yang ada
sehingga akan didapatkan dimensi yang lebih kecil. Pada
Gambar 2 ditunjukkan sebuah saluran hairpin tunggal,
dengan dinamakan sudut lekukan [3].

Gambar 1. Saluran Mikrostrip.

C. Konstanta Dielektrik Efektif


Pada mikrostrip terdapat pengaruh oleh dielektrik
yang ditimbulkan oleh udara dan substrat sehingga
strukturnya tidak homogen, maka diperlukan konstanta
dielektrik relatif sebagai pengganti, untuk menentukan
hambatan karakteristik. Konstanta dielektrik relatif dapat
dianggap sebagai konstanta dielektrik medium homogen
pengganti medium udara dan substrat dengan h (tinggi
substrat), w (ketebalan mikrostrip) dan konstanta
dielektrik (r), pada saluran mikrostrip untuk
menentukan konstanta dielektrikefektif dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan Hammersted dan
Jansen [2] seperti yang diperlihatkan pada Persamaan
(1) dan (2).

Gambar 2. Pole Tunggal Hairpin.

(1)

Dengan :
Gambar 3. Filter Hairpin Lima Pole.

ISSN 1411-8289

Desain dan Realisasi Mikrostrip Bandpass Filter dengan Struktur Hairpin

Sedangkan pada Gambar 3 diperlihatkan susunan


stripline hairpin
yang menggunakan lima buah
resonator [4].
B. Spesifikasi Filter
Parameter substrat sangat mempengaruhi spesifikasi
filter yang akan dirancang, pada paper ini menggunakan
substrat RO4350 dengan spesifikasi sebagai berikut :
konstanta dielektrik, r = 3,77, ketebalan substrat (H) =
1,44 mm, ketebalan mikrostrip (T) = 0,035 mm, loss
tangent (tan = 0.004, dengan lebar bandwidth = 200
MHz. Dalam menentukan dimensi dari mikrostrip
terlebih dahulu dicari besarnya nilai respon chebyshev
untuk 5 buah pole resonator [5] [8].
2

g1 = sin 2n

gi-1

4 sin[

(2i-1)
(2i -3)
]sin[
]
2n
2n

2+

sin2 [

(6)

(i-1)
]
n

ripple
=ln [coth (
)]
17,37
=sinh

Selanjutnya dihitung nilai Z0e dan Z0o dengan


menggunakan Persamaan (11) dan (12) :
(Z0e)n = Z0 [1 + JZ0+ (JZ0)2]

(11)

(Z0o)n = Z0 [1 - JZ0+ (JZ0)2]

(12)

Orde

TABEL II
MODE EVEN DAN MODE ODD
ZoJn
Z0e(Ohm)

0,1985

61,8951

42,0451

0,3218

71,2677

39,0877

0,2452

65,2661

40,7461

0,2452

65,2661

40,7461

0,3218

71,2677

39,0877

0,1985

61,8951

42,0451

Z0o (Ohm)

Pada Tabel 2 ditunjukkan besarnya mode even dan


mode odd yang menggambarkan besarnya efek kopling
yang terjadi diantara dua resonator yang saling
berdekatan. Selanjutnya, dengan menggunakan linecal
yang terdapat pada ADS, didapatkan dimensi dari
mikrostrip dengan lebar (w) = 2,8 mm, jarak antara dua
resonator (s) = 0,88 mm dan panjang (L) = 14,76 mm.
Kemudian dilakukan simulasi dan optimasi untuk
mendapatkan hasil yang optimal dari filter yang
dirancang.

2n

Frekuensi (GHz)

TABEL I
ELEMEN CHEBYSHEV UNTUK RIPPLE 0,1 DB
g1
g2
g3
g4

2.5

3.5

0
g5

0.3053

1.0000

0.8431

0.6220

1.3554

1.0316

1.1474

1.0316

1.0000

1.1088

1.3062

1.7704

0.8181

1.3554

1.1468

1.3712

1.975

1.3712

1.1468

-10
Respon S11 dan S21 (dB)

gi =

(5)

35

-20
-30

Tabel 1 memperlihatkan respon filter Chebyshev


dengan ripple 0,1 dB untuk banyaknya resonator dari
satu sampai lima pole. Selanjutnya dilakukan
perhitungan besarnya impedansi mode even dan mode
odd [6].

FBW=

f2- f1
f1

Z0 J1 =

FBW

Z0 Jn =

FBW

2g1

2gn-1 gn

Z0 JN+1 =

FBW
2gN gN+1

(7)

(8)

(9)

(10)

-40
-50

S11(simulasi)
S11(pengukuran)

S21(simulasi)
S21(pengukuran)

Gambar 4. Respon S11 dan S21 Lima Pole Hairpin.

Gambar 4 menunjukkan hasil simulasi dan realisasi


sebuah bandpass filter yang menggunakan teknologi
mikrostrip dengan struktur hairpin yang menggunakan
lima buah resonator, terjadi pergeseran frekuensi kerja
pada filter tersebut. Data dari hasil pengukuran dan
simulasi di konversikan kedalam microsoft excel untuk
selanjutnya digabung dan dibandingkan.Frekuensi kerja
menjadi lebih tinggi bila di bandingkan dengan hasil
simulasi. Hasil simulasi dan realisasi bandpass filter
tersebut pada frekuensi kerja 3 GHz ditampilkan pada
Tabel.3.

dengan n = 2,3,. N

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

36

Teguh Praludi dan Yaya Sulaeman

TABEL III
RESPON S11 DAN S21 PADA LIMA RESONATOR
Jumlah resonator

frekuensi 2,9 GHz dihasilkan nilai return loss -4,554 dB


dan pada frekuensi 3,1 GHz sebesar -4,366 dB.

Lima Hairpin

Insertion Loss Simulasi (S11) (dB)


Insertion Loss Realisasi (S11) dB)

-1,46
-1.56

Return Loss Simulasi (S21) (dB)

-22,06

Return Loss Realisasi (S21) (dB)

-22,02

Seperti yang terlihat pada Tabel 3, bahwa respon


insertion loss maupun return loss yang yang dihasilkan
tidak jauh berbeda antara simulasi dan realisasi,
meskipun untuk hasil simulasi masih mempunyai respon
yang lebih baik. Sedangkan nilai terbaik insertion loss
dan return loss pada simulasi berada pada frekuensi 2,99
GHz dengan nilai insertion loss-1,45 dB dan return loss
-26,91 dB. Sedangkan pada realisasi nilai terbaik pada
frekuensi 3,050 GHz dengan insertion loss sebesar -1,32
dB dan return loss -42,21 dB, terjadi pergeseran sebesar
60 MHz.
Gambar 7. Hasil pengukuran respon S11 filter hairpin lima resonator

IV. HASIL DAN ANALISA


Pada Gambar 7 ditunjukkan hasil pengukuran dari
realisasi bandpass filter untuk respon S11 pada frekuensi
2,9 GHz sebesar -2,69 dB dan pada frekuensi 3,1 GHz
sebesar -16,36 dB. Nilai terbaik di dapat pada frekuensi
3,05 GHz dengan respon yang dihasilkan -42,21 dB.

Gambar 5. Hasil Simulasi S11.

Pada Gambar 5 diperlihatkan gambar hasil simulasi


dari S11 yang menggunakan ADS, terlihat bahwa pada
frekuensi 2,9 GHz dihasilkan nilai return loss -4,477 dB
dan pada frekuensi 3,1 GHz sebesar -4,475 dB.
Gambar 8. Hasil Pengukuran Respon S21 Filter Hairpin Lima
Resonator.

Pada Gambar 8 ditunjukkan hasil pengukuran dari


realisasi bandpass filter untuk respon S21 pada frekuensi
2,9 GHz sebesar -8,10 dB dan pada frekuensi 3,1 GHz
sebesar -1,62 dB. Nilai terbaik didapat pada frekuensi
3,05 GHz dengan respon yang dihasilkan -1,32 dB.

Gambar 6. Hasil Simulasi S21.

Pada Gambar 6 ditunjukkan Gambar hasil simulasi


dari S21 yang menggunakan ADS, terlihat bahwa pada
ISSN 1411-8289

Desain dan Realisasi Mikrostrip Bandpass Filter dengan Struktur Hairpin

37

realisasi dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.


Besarnya insertion loss pada simulasi -1,46 dB
sedangkan pada realisasi besarnya insertion loss -1,56
dB terdapat perbedaan sebesar 0,01 dB. Untuk respon
return loss pada simulasi -22,06 dB sedangkan pada
realisasi -22,02 dB, terdapat perbedaan sebesar 0,04 dB.
Nilai respon terbaik insertion loss pada simulasi -1,45
dB berada pada frekuensi 2,99 GHz, sedangkan untuk
return loss sebesar -27,19 dB berada pada frekuensi 2,98
GHz. Pada realisasi filter bandpass ini respon yang
terbaik dari hasil pengukuran berada pada frekuensi 3,05
GHz dengan respon insertion loss -1,32 dB dan return
loss sebesar -42,21 dB.

Gambar 9. Realisasi Bandpass Filter.

DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]

[5]

Gambar 10. Realisasi Bandpass Filter dengan Shielding.

Pada Gambar 9 diperlihatkan realisasi dari sebuah


filter bandpass hairpin yang menggunakan teknologi
mikrostrip dalam bentuk terbuka, sedangkan pada
Gambar 10 diperlihatkan bahwa filter tersebut telah
diberi shielding (penutup).

[6]

[7]

[8]

KESIMPULAN
Telah dilakukan beberapa kali simulasi, kemudian
dilakukan optimasi untuk mendapatkan nilai respon yang
terbaik pada bandpass filter dengan struktur hairpin
yang bekerja pada frekuensi 2,9 3,1 GHz. Hasil

D. M. Pozar, Microwave Engineering, John Wiley & Sons inc,


1998.
J. S. Hong, Microstrip Filters for RF/Microwave Applicatios,
John Wiley & Sons, 2011.
H. Madan, Design Of Microstrip Bandpass Filters, College of
Engineering, Pune, 2007.
K.Vidhya and T.Jayanthy "design of microstrip hairpin band
pass filter using defected ground structure and open stubs" in
proc. International Conference on Information and Electronics
Engineering, IPCSIT vol.6 (2011), 268 272.
S. Seghier, N. Benabdallah, N. Benahmed, F. T Bendimerad and
K. Aliane, Design and Optimization of Parallel Coupled
Microstrip Bandpass Filter for FM Wireless Applications, The
Computing Science and Technology International Journal, vol.
2, no. 1, march, 2012.
N. Toledo, Practical Techniques for designing Microstrip
tapped hairpin resonator filters on FR4 laminate, in 2nd
National ECE Conference, Manila, Philippines, November
2001.
S.Y. Lee and C.M.Tsai, "New Cross-Coupled Filter Design
Using Improved Hairpin Resonators," IEEE Transactions on
Microwave Theory and Techniques, vol. 48, no. 12, december
2000, 2482 - 2490.
G.L. Matthaei Narrow-Band, Fixed-Tuned, and Tunable
Bandpass Filters With ZigZag HairpinComb Resonators,
IEEE Transactions on Microwave Theory and Techniques, vol.
51, no. 4, april 2003.

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

38

ISSN 1411-8289

Indeks Abstrak

iii

Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi


Volume 13, Nomor 1, Juni 2013
ISSN 1411-8289

Indeks Abstrak
Natalita M. Nursam, Lia Muliani, and Jojo Hidayat
(Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.)

Pamungkas Dauda dan Niluh Sri Andayanib (aPusat


Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, bFakultas Elektro dan
Komunikasi IT Telkom, Bandung.)

Application of Large Area TiO2 Photoelectrode on DyeSensitized Solar Cells

Antena Array Mikrostrip Dual Beam Untuk Aplikasi


Sensor Radar Doppler

Aplikasi Fotoelektroda TiO2 Area Lebar pada Sel


Surya Dye-sensitized

Dual Beam Microstrip Antenna Array for Doppler


Radar Sensor Applications

Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Juni 2013,


ISSN 1411-8289, Vol. 13, No. 1, Hal. 1-5.

Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Juni 2013,


ISSN 1411-8289, Vol. 13, No. 1, Hal. 6-13.

The scale-up of dye-sensitized solar cell (DSSC) has


been a big issue as the DSSC technology process
progresses from laboratory scale to large area
applications. Meanwhile, this type of solar cell has been
of great interest among PV scientist and academics as it
can be produced in lower-cost processes compared to
the conventional solar cells which are mostly fabricated
from silicon. The fabrication of DSSC prototypes with a
relatively large active area of 9x9 cm2 are demonstrated
in this paper. Large area of TiO2 surface has been
shown to significantly increase the ISC, as well as VOC
and Pmax. Nevertheless, deterioration of fill factor (FF)
was observed as the result of the increase on series
resistance with respect to the increase in the
photoelectrode area.

Sekarang ini jumlah kendaraan meningkat dengan


pesatnya, sementara sarana jalan masih tertinggal baik
pertambahannya
maupun
kualitas
jalan
serta
pemeliharaan, menyebabkan kemacetan lalu lintas sering
terjadi dan jumlah kecelakaan kendaraan meningkat
pula. Pengontrolan lalu lintas yang baik sangat
dibutuhkan untuk efisiensi dan meningkatkan
keselamatan pengguna jalan. Sebuah sensor radar
doppler dapat digunakan untuk mendeteksi laju
kecepatan relatif kendaraan antara mobil dan obstacle
sehingga dapat digunakan untuk menghindari terjadinya
kecelakaan dan dapat memantau kepadatan lalu lintas
yang terjadi. Radar dirancang untuk kemudahan navigasi
dan bisa digunakan untuk mendeteksi kecepatan suatu
benda yang bergerak dengan cara mendeteksi energi dari
suatu benda yang bergerak tersebut sekaligus
menentukan posisinya. Dalam tulisan ini dibahas
mengenai desain dan implementasi antena yang mampu
mendukung aplikasi radar sensor doppler. Antena ini
dirancang menggunakan antena mikrostrip dual beam
yang bekerja pada frekuensi 10 GHz. Software yang
digunakan untuk perancangan dan simulasi antena ini
adalah Ansoft HFSS 10. Penelitian ini dimulai dengan
menghitung dimensi antena sesuai rumus yang ada.
Dimensi hasil perhitungan akan digunakan pada proses
simulasi. Modifikasi dimensi antena digunakan sebagai
cara untuk mendapatkan hasil yang optimum dalam
simulasi, kemudian dimensi optimum tersebut digunakan
dalam proses pabrikasi. Spesifikasi antena yang dibuat
memiliki karakteristik bekerja pada frekuensi 10 GHz
dengan bandwidth 60 MHz pada VSWR 1,5, serta
memiliki gain sebesar 12,42 dBi.

Key words: DSSC, TiO2, photo-electrode, efficiency.


Peningkatan luas area pada pembuatan sel surya berbasis
dye-sensitized (DSSC) merupakan salah satu kendala
utama yang dihadapi pada saat ekspansi dari skala
laboratorium menuju aplikasi dalam skala besar. Di lain
sisi, pada saat ini jenis sel surya ini sedang menjadi tren
penelitian di kalangan peneliti maupun akademisi
dikarenakan rendahnya biaya proses fabrikasi yang
dibutuhkan dibandingkan sel surya pendahulunya yang
terbuat dari silikon. Tulisan ini membahas pembuatan
prototipe sel surya DSSC dengan luas area aktif
berukuran relatif besar yaitu 9x9 cm2. Peningkatan luas
area permukaan TiO2 secara signifikan berakibat pada
kenaikan nilai ISC, VOC, dan Pmax. Sebaliknya, penurunan
nilai fill factor dapat diamati sebagai hasil dari naiknya
tahanan seri seiring dengan bertambahnya luas area
fotoelektroda.

Kata kunci : antena mikrostrip, radar sensor doppler,


bandwidth, VSWR

Kata kunci : DSSC, TiO2, fotoelektroda, efisiensi


The number of vehicles is increasing rapidly, while the
roads are still lagging behind both increase and quality
as well as maintenance of roads, causing traffic jams
JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

iv

Indeks Abstrak

often occur and the number of vehicle accidents


increase as well. Traffic control is needed for good
efficiency and improve safety of road users. A doppler
radar sensor can be used detect the rate of the relative
speed of vehicles between car and obstacle so it can be
used to avoid accidents and can monitor the traffic that
occurs. The radar is designed for ease navigation and
can be used to detect the speed of a moving object by
detecting the energy of a moving object and determine
their position at any given time. In this issue discussed
the design and implementation of antennas capable of
supporting applications doppler radar sensors. This
antenna is designed using a dual beam microstrip
antenna that works on a frequency of 10 GHz. Software
used for design and simulation of this antenna is the
Ansoft HFSS10. This study begins by calculating the
dimensions of the antenna according to the existing
formula. The dimensions of the calculation results will
be used in the simulation process. Modification of
antenna dimensions are used as a way to get optimum
results in the simulation, then the optimum dimensions
used in the manufacturing process. Specification of the
antenna built to work on a frequency of 10 GHz with a
bandwidth of 60 MHz at VSWR 1.5, and has a gain of
12.42 dBi.
Key words: microstrip antenna, doppler radar sensors,
bandwidth, VSWR

Lia Muliani, Natalita M. Nursam, and Jojo Hidayat


(Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Performance of Dye-sensitized Solar Cells based on Gel
Electrolyte
Performa Sel Surya Dye-sensitized berbasis Elektrolit
Gel
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Juni 2013,
ISSN 1411-8289, Vol. 13, No. 1, Hal. 14-17.
Electrolyte is one of the crucial elements in dye
sensitized solar cells (DSC) due to the reductionoxidation reactions take place in this area and it has the
function as the charge transfer medium. An electrolyte
solution contains redox couple such as I-/I3 is filled up
into a space between the photo-anodes and the counter
electrode. Usually, the DSC employs a liquid electrolyte
which using organic solution because easy preparation.
But it has disadvantages, the solvent occur evaporation
and this can decrease the cell performance. One of way
to solve this problem is change liquid electrolyte to gel
electrolyte. This paper describes fabrication of DSC
based on gel electrolyte. Performance of the DSC is
compared to the cell which using a liquid electrolyte.
The result shows that the energy conversion efficiency
of the solar cells based on gel electrolyte was lower
than liquid electrolyte solar cell that is 1.51% and
2.23% respectively. Based on life time investigation
obtained the performance of gel electrolyte solar cell is
much stable than liquid electrolyte solar cell.
ISSN 1411-8289

Key words: dye sensitized solar cel (DSC)l, gel


electrolyte, liquid electrolyte, I-V curve, life time
Elektrolit merupakan salah satu komponen penting
dalam sel surya berbasis dye-sensitized (DSC), karena
reaksi reduksi dan oksidasi terjadi di sini dan berfungsi
juga sebagai media transfer muatan. Suatu elektrolit
terdiri dari pasangan redoks I-/I3 yang disuntikkan
melalui celah antara fotoanoda dan elektroda
pembanding. Biasanya DSC mengaplikasikan larutan
elektrolit yang mengunakan pelarut organik karena
preparasinya mudah. Tetapi elektrolit ini memiliki
kelemahan, larutan mengalami penguapan yang dapat
menurunkan performa sel surya. Salah satu cara untuk
mengatasinya adalah dengan menggantikan larutan
elektrolit dengan elektrolit berupa gel. Tulisan ini
menguraikan pembuatan DSC berbasis elektrolit gel.
Performa sel dibandingkan dengan sel yang
menggunakan larutan elektrolit. Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa efieiensi konversi energi sel surya
berbasis elektrolit gel lebih rendah dari pada larutan
elektrolit, secara berurutan yaitu 1.51% and 2.23%.
Sedangkan berdasarkan penelitian life time diketahui
performa sel menggunakan elektrolit gel lebih stabil.
Kata kunci: sel surya berbasis dye-sensitized (DSC),
elektrolit gel, elektrolit cair, kurva I-V, life time

Folin Oktafiani dan Yussi Perdana Saputera (Pusat


Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Antena Patch Array untuk Portable Coastal Radar pada
Frekuensi S-Band
Patch Antenna Array in S-Band Operational Frequency
for Portable Coastal Radar
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Juni 2013,
ISSN 1411-8289, Vol. 13, No. 1, Hal. 18-22.
Penelitian ini bertujuan untuk mendesain antena
Portabel Coastal Radar yang bekerja pada frekuensi Sband dengan frekuensi tengah 3 GHz. Jenis antena yang
digunakan adalah antena patch mikrostrip. Satu modul
antena terdiri dari 4 patch yang diarray secara
horisontal dan dicatu dengan menggunakan konektor
SMA. Bahan yang digunakan untuk mendesain antena
adalah FR4 dengan ketebalan substrat 3,2 mm serta
memiliki nilai r = 4,3. Bandwidth yang diperoleh dari
hasil simulasi satu modul antena sebesar 80,1 MHz
untuk nilai VSWR 1,5 dimana sudah memenuhi
spesifikasi antena yang diinginkan. Hasil simulasi
beamwidth horisontal dan gain satu modul antena secara
berturut-turut yaitu 37 dan 8,049 dB. Untuk
mendapatkan beamwidth horisontal <1 maka satu
modul antena diarray secara horisontal sebanyak 30
buah sehingga panjang keseluruhan antena menjadi
3600 mm. Beamwidth horisontal antena array hasil
simulasi diperoleh sebesar 0,9 sedangkan gain antena
meningkat menjadi 21,11 dB.

Indeks Abstrak

Kata kunci: antena, mikrostrip, array, radar

Kata kunci: bikonikal, tabung, antena, omni-directional


dan Ultra-wide-band.radar

The aim of this research is to design portable coastal


radar antenna that works on S-band frequency with a
center frequency 3 GHz. Type of antenna is used in this
research is microstrip patch antenna. One antenna
module consist of four patch are horizontally arranged
and feed with SMA connector. Material used for
antenna design is FR4 with a substrate thickness of 3.2
mm and has r value of 4.3. Bandwidth obtained from
the simulation results of one antenna module for VSWR
1.5 is 80.1 MHz where it meets the desired
specifications of the antenna. Simulation result of
horizontal beamwidth and gain of one antenna module
is 37 and 8.049 dB, respectively. To obtain horizontal
beamwidth <1 then 30 antenna module is arranged in
a horizontal direction so that the overall length of the
antenna to 3600 mm. From simulation results the
horizontal beamwidth of array antena is obtained by
0.9 while the antenna gain is increased to 21.11 dB.
Key words: antena, microstrip, array, radar

In this paper, conducted research on the design of the


antenna tube biconical have omnidirectional radiation
pattern to be used in radar ESM (Electronic Support
Measures). Biconical antenna has a very wide
bandwidth characteristics (Ultrawide band) suitable for
use in applications ESM with frequency 2-18 GHz.
Omni directional radiation pattern shape is designed so
that when the ESM aims to detect radar frequency (s-,
C-, X- and Ku-band) of the radar beam that are around
can perform detection in all directions. Because the
usefulness of ESM as a radar detector with nature as a
receiver, it takes VSWR below 2.5 with return loss
values below -7.436. Biconical antenna is designed
using a copper plate with a cone-shaped and the
addition tube of sight between the antenna installation
is mounted on inner connector and ground. Biconical
antenna installed using matching , so that
impedance matching between the antenna and the
connector 50 . Copper plate is used with the thick 0.8
mm.

Yussi Perdana Saputera, Folin Oktafiani, dan Yuyu


Wahyu
(Pusat
Penelitian
Elektronika
dan
Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Key words: biconical, tube, antena. omni-directional


and ultra-wide-band.

Antena Bikonikal Tabung untuk Aplikasi Radar


Electronic Support Measures Dengan Pola Radiasi
Omni-directional pada Frekuensi 2 -18 GHz

Dadin Mahmudin, Pamungkas Daud, and Yusuf Nur


Wijayanto ( Research Center for Electronics and
Telecommunication, Indonesian Institute of Science
(LIPI) )

Tube Bikonikal Antenna for Radar Applications


Electronic Support Measures With Radiation Pattern
Omni-directional on Frequency 2 -18 GHz
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Juni 2013,
ISSN 1411-8289, Vol. 13, No. 1, Hal. 23-27.
Pada tulisan ini, dilakukan penelitian mengenai
perancangan antena bikonikal tabung yang memiliki
pola radiasi omni-directional yang akan digunakan pada
radar Elektronic Support Measures (ESM). Antena
bikonikal memiliki karakteristik bandwidth yang sangat
lebar (ultrawideband) cocok digunakan pada aplikasi
ESM dengan frekuensi 2 18 GHz. Bentuk pola radiasi
omni-directional yang dirancang bertujuan agar pada
saat ESM melakukan deteksi frekuensi radar (s-, c-, x-,
dan ku-band) dari pancaran radar yang berada di
sekitarnya dapat melakukan deteksi ke segala arah.
Karena kegunaan ESM sebagai radar detektor dengan
sifat sebagai penerima (receiver) dibutuhkan VSWR di
bawah 2,5 dengan nilai return loss di bawah -7,436.
Antena bikonikal yang dirancang menggunakan plat
tembaga yang dibentuk kerucut dengan penambahan
tabung dengan pemasangan berhadapan antara antena
yang dipasang pada inner konektor dan ground. Antena
bikonikal dipasang mengunakan balun , agar
matching impedansi antara antena dengan konektor 50
. Plat tembaga yang digunakan dengan tebal 0,8 mm.

Design of Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring


Resonator Using Transfer Matrix and Signal FlowGraph Method
Desain Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring
Resonator Menggunakan Metode Transfer Matrix dan
Signal Flow-Graph
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Juni 2013,
ISSN 1411-8289, Vol. 13, No. 1, Hal. 28-23.
Asymmetric parallel-cascaded micro-ring resonator
(APCMR) is proposed. The proposed device is
composed of two or more micro-ring-resonators with
different diameter. The proposed device is designed
using transfer matrix combined with signal flow graph
methods. The designed device with crosstalk less than
and equal -10 dB can be obtained by setting coupling
coefficient. The proposed device can be used for optical
filters and sensors.
Key words: asymmetric parallel-cascaded micro-ringresonator (APCMR), optical filter, transfer matrix,
signal flow-graph.
Telah didesain optimasi dari asymmetric parallelcascaded micro-ring resonator Devais yang diusulkan
terdiri dari dua atau lebih micro-ring-resonator dengan
diameter yang berbeda. Devais didesain dengan
menggunakan
metode
transfer
matrix
yang

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

vi

Indeks Abstrak

dikombinasikan dengan metode signal flow graph.


Devais yang dirancang dapat menghasilkan crosstalk-10
dB atau lebih rendah dengan mengubah koefisien
kopling. Perangkat yang diusulkan dapat digunakan
untuk filter optik dan sensor.
Kata kunci: asymmetric parallel-cascaded micro-ring
resonator, optical filter, transfer matrix, signal flowgraph.

Teguh Praludi dan Yaya Sulaeman (Pusat Penelitian


Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia)
Desain
dan Realisasi Mikrostrip Bandpass Filter
dengan Struktur Hairpin
Design and Realization Microstrip Bandpass Filter with
Hairpin Structure
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Juni 2013,
ISSN 1411-8289, Vol. 13, No. 1, Hal. 33-37.
Kebutuhan akan sebuah filter dalam sebuah rangkaian
elektronik mutlak diperlukan, dikarenakan sesuai
dengan fungsi filter adalah meloloskan frekuensi yang
diinginkan dan akan menahan frekuensi yang tidak
diinginkan. Desain dan realisasi filter bandpass
menggunakan teknologi mikrostrip dengan struktur
hairpin akan dipaparkan pada makalah ini. Strukur
hairpin merupakan perbaikan dari filter yang
menggunakan parallel coupled bila ditinjau dari sisi
dimensi sebuah filter, di mana pada struktur hairpin ini,
panjang dari stripline akan dilipat membentuk huruf U
sebesar dengan sudut lekukan 90o. Filter bandpass
struktur hairpin dengan teknologi mikrostrip akan

ISSN 1411-8289

didesain dengan insertion loss -3 dB pada daerah


passband, return loss -20 dB, lebar bandwidth 200
MHz, impedansi karakteristik 50 , frekuensi kerja 2,9
3,1 GHz dengan respon filter Chebyshev 0,1 dB. Filter
bandpass yang didesain menggunakan bahan dari roger
RO4350 yang mempunyai ketebalan 1,44 mm, dan
permitivitas relatif (r) = 3,77. Filter bandpass struktur
hairpin ini dirancang dan disimulasikan dengan
menggunakan perangkat lunak ADS (Advanced Design
System) dari Agilent.
Kata kunci: bandpass filter, mikrostrip, hairpin.
The filter in an electronic circuit is absolutely
necessary, because according to the filter function
which passes the desired frequency and will block
unwanted frequencies. Design and realization of
bandpass filter using microstrip technology with hairpin
structure will be presented in this paper. Hairpin
structure is an improvement over the use of parallel
coupled filter when it is reviewed from the filter
dimensions, where in this hairpin structure, the length
of the stripline will be folded to form U letters as big
as with the angle curve 90o. The bandpass filter
hairpin structure with microstrip technology will be
desained with insertion loss -3 dB for range passband,
return loss -20 dB, bandwidth 200 MHz, uses
characteristic impedance 50 , with range frequency
2.9 3.1 GHz with respon Chebysev 0.1 dB, and center
frequency 3 GHz. Design and realization of this
bandpass filter uses substrate RO4350 from roger corp,
with thickness 1.44 mm, and effective permittivity (r) =
3.77. Design of bandpass filter and simulation uses
software ADS (Advanced Design System).
Key words : Bandpass filter, Microstrip, Hairpin

Indeks Pengarang

vii

Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi


Volume 13, Nomor 1, Juni 2013
ISSN 1411-8289

Indeks Pengarang
Dadin Mahmudin, Design Of Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring Resonator Using Transfer Matrix And
Signal Flow-Graph Methods, 03(1): 28 32
Folin Oktafiani, Antena Bikonikal Tabung untuk Aplikasi Radar Electronic Support Measures Dengan Pola Radiasi
Omni-directional pada Frekuensi 2 -18 GHz, 03(1): 23 - 27
Folin Oktafiani, Antena Patch Array untuk Portable Coastal Radar pada Frekuensi S-Band, 03(1): 18 22
Jojo Hidayat, Performance of Dye-sensitized Solar Cells based on Gel Electrolyte, 03(1): 14 - 17
Jojo Hidayat,Application of Large Area TiO2 Photoelectrode on Dye-Sensitized Solar Cells, 03(1): 1 5
Lia Muliani, Performance of Dye-sensitized Solar Cells based on Gel Electrolyte, 03(1): 14 - 17
Lia Muliani, Application of Large Area TiO2 Photoelectrode on Dye-Sensitized Solar Cells, 03(1): 1 5
Natalita M. Nursam, Performance of Dye-sensitized Solar Cells based on Gel Electrolyte, 03(1): 14 - 17
Natalita M. Nursam, Application of Large Area TiO2 Photoelectrode on Dye-Sensitized Solar Cells, 03(1): 1 5
Niluh Sri Andayani, Antena Array Mikrostrip Dual Beam Untuk Aplikasi Sensor Radar Doppler, 03(1): 6 - 13
Pamungkas Daud, Antena Array Mikrostrip Dual Beam Untuk Aplikasi Sensor Radar Doppler, 03(1): 6 - 13
Pamungkas Daud, Design Of Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring Resonator Using Transfer Matrix And
Signal Flow-Graph Methods, 03(1): 28 32
Teguh Praludi, Desain dan Realisasi Mikrostrip Bandpass Filter dengan Struktur Hairpin, 03(1):33 37
Yaya Sulaeman, Desain dan Realisasi Mikrostrip Bandpass Filter dengan Struktur Hairpin, 03(1):33 - 37
Yussi Perdana Saputera, Antena Bikonikal Tabung untuk Aplikasi Radar Electronic Support Measures Dengan
Pola Radiasi Omni-directional pada Frekuensi 2 -18 GHz, 03(1): 23 - 27
Yussi Perdana Saputera, Antena Patch Array untuk Portable Coastal Radar pada Frekuensi S-Band, 03(1): 18 - 22
Yusuf Nur Wijayanto, Design Of Asymmetric Parallel-Cascaded Micro-Ring Resonator Using Transfer Matrix
And Signal Flow-Graph Methods, 03(1): 28 32
Yuyu Wahyu, Antena Bikonikal Tabung untuk Aplikasi Radar Electronic Support Measures Dengan Pola Radiasi
Omni-directional pada Frekuensi 2 -18 GHz, 03(1): 23 - 27

JURNAL ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI, Vol. 13, No. 1, Juni 2013

viii

Mitra Bestari

Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi


Volume 13, Nomor 1, Juni 2013
ISSN 1411-8289

Mitra Bestari
Pada volume 13 tahun 2013, Jurnal Elekronika dan Telekomunikasi mengundang Mitra Bestari
untuk berpartisipasi dalam penelaahan naskah yang masuk ke redaksi pelaksana. Partisipasi dari
Mitra Bestari ini diperlukan untuk menjamin bahwa naskah yang akan diterbitkan ditelaah oleh
para ahli dalam bidang yang bersangkutan.
Mitra Bestari yang turut berpartisipasi dalam edisi ini adalah :
Drs. B.A. Tjipto Sujitno, M.Sc., Eng., APU
Peneliti Bidang Sains Materi / Sensor
PTAPB-BATAN.
tjiptosujitno@batan.go.id
Dr. Edy Supriyanto, S.Si, M.Si
Peneliti Bidang Fisika Material
Universitas Negeri Jember (UNEJ).
supriyanto_e2003@yahoo.com
Dr. Ir. A. Andaya Lestari
Peneliti Bidang Antenna & Microwave
Direktur IRCTR Indonesia.
a.a.lestari@rcs-247.com
Prof. Dr. Eko Raharjo
Dosen dan Peneliti Bidang Telekomunikasi
Universitas Indonesia (UI).
eko.rahardjo89@gmail.com
Dr. Ir. Adit Kurniawan, M.Eng
Dosen dan Peneliti Bidang Antenna & Microwave
Institute Teknologi Bandung (ITB).
adit@stei.itb.ac.id
Untuk itu, kami pengelola Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya dan kami berharap bahwa kerja sama dan partisipasinya dapat berlanjut di
waktu yang akan datang.

ISSN 1411-8289

Panduan Penulisan
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi
Naskah harus diserahkan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dan disampaikan secara online melalui email ke alamat redaksi :
jurnal@ppet.lipi.go.id atau jurnal.ppet@gmail.com.
2. Naskah harus mengandung setidaknya 2.000 kata dan tidak melebihi 8 halaman A4 termasuk Gambar dan tabel, tidak
mengandung lampiran, ditulis menggunakan Open Office Text Document (odt.) Atau Microsoft Word (.doc / .docx) dengan
margin untuk atas, kanan dan bawah adalah 2 cm dan 2,5 cm untuk kiri.
3. Seluruhdokumen diketik dengan font TimesNew Roman (TNR)atau Times dengan jarak antar baris (spasi 1).Jenis font
yanglain dapat digunakanjika diperlukanuntuk tujuan khusus.
4. Judul, nama penulis dan alamat afiliasi ditulis dalam format satu kolom, rata tengah. Sedangkan bagian-bagian naskah
selanjutnya ditulis dalam dua kolom, rata kiri-kanan, dengan lebar masing-masing kolom 8cm dan jarak antar kolom 0,5 cm.
5. Judul harus kurang dari 15 kata dengan format fontTNR 18, title case, small caps, rata tengah, tebal. Nama penulis
dipisahkan dengan tanda koma dengan format fontTNR 13, title case, rata tengah, tebal. Alamat afiliasi ditulis secara
berurutan dengan format fontTNR 9, rata tengah, miring.
6. Abstrak tidak mengandung Gambar atau tabel, rata kiri-kanan, dalam TNR 9. Heading adalah 'Abstract' (dalam bahasa
Inggris) dan 'Abstrak' (dalam bahasa Indonesia): dicetak miring dan tebal. Abstrak Indonesia harus tidak melebihi 250 kata
dan abstrak bahasa Inggris tidak boleh lebih dari 150 kata.
7. Kata kunci berisi 3-5 kata dipisahkan dengan koma, rata kiri-kanan, dalam TNR 9. Heading adalah Keywords' (dalam
bahasa Inggris) dan 'Kata Kunci' (dalam bahasa Indonesia): dicetak miring dan tebal.
8. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa indonesia, anda diharuskan untuk menyertakan juga judul, abstrak dan kata kunci
dalam bahasa Inggris dan sebaliknya.
9. Tubuh naskah harus diketik dalam TNR 10 dengan spasi tunggal, rata kiri-kanan. Setiap baris pertama paragraf menjorok
0.63 cm.
10. Naskah disusun dalam empat bagian utama: Pendahuluan, Isi Naskah, Hasil dan Pembahasan, serta Kesimpulan.
Selanjutnya diikuti Ucapan Terima Kasih dan Daftar Pustaka.
11. Heading perbagian diharapkan tidak lebih dari tiga level. Heading level 4 tidak direkomendasikan namun masih dapat
diterima.
a. Heading level 1 ditulis dengan format; title case, small caps, rata tengah, dengan penomoran romawi diikuti titik.
Dengan jarak spasi before = 9 dan after = 3.
b. Heading level 2 ditulis dengan format; title case, rata kiri, dengan penomoran huruf besar diikuti titik. Dengan jarak
spasi before = 7.5 dan after = 3.
c. Heading level 3 ditulis dengan format; title case, rata kiri, dengan penomoran angka diikuti kurung tutup. Dengan
jarak spasi before = 6 dan after = 3.
d. Heading level 4 tidak direkomendasikan, namun masih dapat diterima dengan format; sentence case, justified, left
indent 0.63 cm, hanging indent 0.63 cm, penomoran huruf kecil diikuti kurung tutup. Dengan jarak spasi before = 6
dan after = 3. Heading level 5 tidak dapat diterima.
12. Gambar/tabel direkomendasikan dalam format hitam putih dengan resolusi 150-300 dpi. Jika dibuat dalam format berwarna,
harus dipastikan bahwa masih dapat terbaca dengan jelas ketika naskah dicetak hitam putih. Gambar/ tabel harus diletakkan
rata tengah kolom. Gambar/ tabel yang lebar dapat diletakkan sampai 2 kolom dan harus diletakkan pada bagian awal atau
akhir halaman.
13. Setiap Gambar harus diberi nomor urut dengan angka arab dan keterangan ringkas, diletakkan setalah Gambar, dengan
format; rata tengah, TNR 8. Setiap tabel harus diberi nomor urut dengan angka romawi dan keterangan ringkas, diletakkan
sebelum tabel, dengan format; small caps, rata tengah, TNR 8. Keterangan tabel diletakkan sebelum tabel yang
bersangkutan.
14. Persamaan harus ditulis dengan jelas, diberi nomor urut dan diikuti keterangan notasi-notasi yang dipergunakan.
15. Header dan footer termasuk nomor halaman tidak direkomendasikan untuk ditulis. Semua hyperlink yang menuju ke suatu
URL akan dihilangkan. Jika hendak mengacu pada suatu URL, hendaknya ditulis menggunakan font biasa.
16. Penomoran sumber acuan dalam daftar pustaka menggunakan kurung siku disesuaikan dengan kemunculannya dalam
naskah (contoh [1],[2],[3], dst). Diketik rata kanan-kiri, hanging indent 0,63 cm, TNR 8, spasi 1. Ketika mengacu daftar
pustaka dalam naskah, cukup menggunakannomor referensi, seperti dalam[2]. Jika menggunakan lebih dari satu acuan
masing-masing nomor sumber acuan ditulis dengankurung siku yang dipisahkan dengan tanda koma (misalnya [2], [3], [4] [6]).
17. Petunjuk rinci penulisan sumber acuan dapat dilihat pada 'petunjuk tata letak tulisan' yang bisa digunakan sebagai template
penulisan, dapat unduhdari www.ppet.lipi.go.id/jurnal/paper_format.doc.
18. Dewan redaksi berwenang menolak naskah berdasarkan pertimbangan peer reviewer dan membuat perubahan yang
diperlukan atau penyesuaian terkait dengan tata bahasa tanpa mengubah substansi. Perubahan yang menyangkut substansi
akan dikonsultasikan dengan penulis pertama.

ISSN 1411-8289

Progress In Electromagnetics Research, PIER 60, 207219, 2006

STUDY ON HIGH GAIN CIRCULAR WAVEGUIDE


ARRAY ANTENNA WITH METAMATERIAL
STRUCTURE
Li B., Wu B., and Liang C.-H.
National Key Laboratory of Antennas and Microwave Technology
Xidian University
Xian, 710071, China
AbstractA new method to improve the gain of circular waveguide
array antenna with metamaterial structure is presented.
The
electromagnetic characteristics of metamaterial and circular waveguide
antenna with metamaterial structure are studied by using numerical
simulation method, which are also compared with those of the
conventional circular waveguide antenna.
The simulation and
experimental results show that this method is eective and
metamaterial structure can realize congregating the radiation energy,
so the gain of the antenna increases while the side lobe level decreases.

1. INTRODUCTION
In the late 1960s, Veselago [1] studied the electrodynamics
of substances with simultaneously negative values of dielectric
permittivity () and magnetic permeability (). Although not present
in nature, interesting properties were theoretically predicted for these
substances, such as the reversal of the Snell law, Doppler Eect,
Cherenkov radiation and build prefect lenses. Metamaterials have been
extensively studied in the recent years, in the framework of microwave
applications. Several works [24] have been aimed towards the
improvement of the performances of antennas in the microwave range
of frequencies. It is noted in [5, 6] that some principal properties of
waves propagating in materials with negative permittivity and negative
permeability are considered and high directivity can be obtained from
conventional antenna using metamaterials. Some slotted antennas with
metamaterials are studied in [7, 8].
In this paper, we present a new design of a high gain circular
waveguide array antenna using metamaterial structure. The properties

208

Li, Wu, and Liang

of metamaterial structure and the radiation characteristics of the


array antennas are investigated by numerical method. The simulation
results are given using Ansoft HFSS 3-D simulator which is based on
the nite element method (FEM). Our studies demonstrate that the
metamaterial structure can realize an eective refraction index which
approximates zero and congregate the radiation energy. Moreover,
a great improvement of gain can be obtained by using metamaterial
structure on the array antenna in comparison with the conventional
one.
2. PRINCIPAL CHARACTERISTICS OF
METAMATERIAL STRUCTURE
The metamaterial, which is studied in this paper, is composed of copper
grids with a square lattice whose period is equal to a mm (in the xaxis and y-axis directions). The grids spacing in the z-axis direction
is H mm, and side length of the square holes in the copper grids is
(a r) mm. the structure of the metamaterial is shown in Fig. 1.
metal
air
r
a

Figure 1. Structure of the proposed metamaterial.


When the period of the square lattices is less than microwave
wavelength, this structure can be seen as a metal thin-wire array. This
metamaterial structure has a characteristic response to electromagnetic
radiation due to the plasma resonance of the electron gas. Theoretical
and experimental researches have shown that such arrays of continuous
thin wires are characterized by a plasma frequency [6].
Both
approximate analytical theory and rigorous homogenization theory
show that the equivalent permittivity has a behavior governed by a
plasma frequency in the microwave domain:
ef f () = 1 p2 / 2

(1)

where p is the plasma frequency and the frequency of the


electromagnetic wave. The equivalent permittivity is negative when
the frequency is below p , which has been widely discussed and applied

Progress In Electromagnetics Research, PIER 60, 2006

209

in microwave domain [9], but other properties of this metamaterial


structure have seldom been discussed: the permittivity can be positive
and less than one when microwave frequency is just above the plasma
frequency ( p ). That is to say, the permittivity can be less than
one, eventually approximately zero. According to solid-state physical
theory, the plasma frequency of metal thin-wire array can be dened
as:
nef f e2
(2)
p2 =
0 mef f
where nef f is the eective electron density, mef f the eective mass of
the electrons and e the electron charge. The average electron density
of metamaterial structure is reduced in respect that only part of the
space is lled by metal.
r2
(3)
nef f = n 2
a
Where n is the density of electrons in the wires, r is the radius of
the wire and is the cell side of the square lattice on which the wires
are arranged. At the same time, we note that, according to classical
mechanics, any current ows, a strong magnetic eld generates around
the wire, and an enhancement of the eective mass of the electrons is
caused by magnetic eects. Where mef f is the new eective mass of
the electrons given by
mef f =

0 e2 r2 n
ln(a/r)
2

(4)

From the classical formula for the plasma frequency of thin-wire


structures
p2 =

e2

nef f
0 mef f

r2 2
e
2
2c20
a2
=
=
=
0 0 a2 ln(a/r)
a2 ln(a/r)
u0 e2 r2 n
0
2
n

(5)

where c0 is the velocity of light in free space. According to this special


metamaterial structure, formula (5) can be revised and dened as:
p2 =

nef f e2
c20
=
0 mef f
KaH ln(aH/rt)

(6)

where K is the revised coecient, K = 3 5, here K is 3. This


metamaterial structure, which is satised with the microwave plasma
frequency, can be designed easily according to [6]. The Snell-Decartes

laws imply that the refractive index can be dened as n = r r ,

210

Li, Wu, and Liang

with the conclusion of [1] when microwave frequency is just above


and close to plasma frequency, this structure has a very low refractive
index within microwave plasma frequency. If the refractive index of
the metamaterial is very small, then the emitted eld is concentrated
around the normal of the slab. This is summarized in Fig. 2. The
E-eld distributions in free space without and with metamaterial
structure are shown in Figs. 3a and 3b, respectively.
We compare the dierent E-eld distributions in Fig. 3 and nd
that, when electromagnetic wave propagates in free space, the electric

Figure 2. Geometrical interpretation of the emission of a source inside


a slab of metamaterial whose refractive index approximates zero.

Figure 3a. E-eld distribution in free space without metamaterial


structure.

Figure 3b.
structure.

E-eld distribution in free space with metamaterial

Progress In Electromagnetics Research, PIER 60, 2006

211

eld is enhanced by using metamaterial structure. Making use of this


extraordinary property of the metamaterial structure, we apply it to
the antenna in order to focusing the incident elds radiated from the
antenna. We can reduce the unit number of array antenna for the
same gain, which has important signicance to miniaturization design
of array antenna.
3. SIMULATION AND NUMERICAL RESULTS
3.1. The Circular Waveguide Antenna
Based on the general process of antenna design, the structure of the
circular waveguide antenna is shown in Fig. 4a. The circular waveguide
antenna whose driven element is coaxial probe has been designed to
work at 12 GHz. The diameter of circular waveguide is 20 mm and the
length is 26.5 mm. The distance from the coaxial probe to the bottom
of antenna is 9.25 mm. The length of coaxial probe is 6.25 mm,and the
size of metal ground is 60 mm 60 mm.

Figure 4a. Circular waveguide antenna with metamaterial structure.


The metamaterial structure is composed of very thin copper grids
with square lattices whose period is equal to 7.6 mm, and side length
of square holes in the copper grids is 6.5 mm. The spacing between
two layers in the z-axis direction is 9.5 mm and each layer is composed
of 9 9 cells, the total length of edge is 68.4 mm. The metamaterial
structure is located at 9.5 mm from the antenna aperture.
The simulation results of PEC and metamaterial structures are
shown in Fig. 4b. The gain of antenna with metamaterial structure
increases from the original 9.053 dB to 17.34 dB, which is improved
observably.

212

Li, Wu, and Liang


0

20

330

30

10

20

XOZ Plane
300

330

30

YOZ Plane

10
0

60

300

60

-10

-10
-20

-20

270

90

-30
90

270
-30

-10
0

-20

120
PEC
Metamaterial

240

-10
240

120

PEC
Metamaterial

10
10

20

210

150

20

210

180

150
180

Figure 4b. Comparison of the radiation patterns.


In theory, the maximum directivity of an aperture antenna is
Dmax = 4A/20 , and the maximum gain Gmax = kDmax , k is the
eciency. It is assumed k = 1, then it is approximate to take
Gmax (dB) = 10 log(4A/20 ), where A = 60 mm 60 mm, 0 =
c0 /f0 = 25 mm, so the theoretical maximum value of the antenna
gain is Gmax (dB) = 18.6 dB. The gain of the circular waveguide
aperture antenna with metamaterial structure is already very close
to the theoretical maximum value of antenna with the same size and
operating frequency.
As the foundation of the antenna design, it is necessary to analyze
the eect of the spacing between two layers of matematerial structure,
the curve of the gain which is changed with the spacing between two
layers is shown in Fig. 5(a), while the curve of gain with dierent
operating frequency is shown in Fig. 5(b). We can conclude that: only
when the antenna works within the design frequency range can it get
a more theoretical gain.
3.2. The Circular Waveguide Antenna Array
The arrays of circular waveguide antenna have found wide application
in communication and radar domain. A conventional method to
improve the gain of antenna is to use the array form. While in this
paper, we propose a more eective method by using the array structure
combining with metamaterial-mantled technology.

Progress In Electromagnetics Research, PIER 60, 2006


18

213

18

16

16

14

Gain(dB)

Gain(dB)

14

12

12

10

10

8
8

6
4

10

11

9.5

10.0

Spacing (mm)

(a)

10.5

11.0

11.5

12.0

12.5

13.0

Frequency (GHz)

(b)

Figure 5. (a) Gain of antenna with dierent spacing between two


layers, (b) Gain of antenna with dierent operating frequency.
3.2.1. Two-element Array
A model of antenna array with two parallel elements using
metamaterial structure is shown in Fig. 6a. The dimension of the
element in array is the same as in the single circular waveguide antenna,
and the distance of the two element centers is 42 mm. Two layers
of metamaterial structure are placed, each layer of the metamaterial
structure is composed of 15 15 cells with the total size is 68.4 mm
114 mm, and the rst layer is placed at 9.5 mm above the array antenna
aperture. The spacing between two layers in the z-axis direction is also
9.5 mm. The simulation results are shown in Fig. 6b.

Figure 6a. Model of the two-element array.

214

Li, Wu, and Liang


0

0
20

XOZ Plane

10

YOZ Plane

10
0

60

300

60

300

30

330

20

30

330

-10
-10

-20
-30

-20
270

90

-20

90

270
-30
-20

-10

-10
0

240

PEC
Marematerial

10
20

210

150

120

240

120

PEC
Marematerial

10
20

210

180

150
180

Figure 6b. Radiation patterns of the two-element array.

3.2.2. Four-element Array


Two cases of the four-element array with 1 4 form and 2
2 form are studied. The radiation patterns of the antenna array
with matematerial structure are simulated and compared with the
conventional antenna array.
In the case of the 1 4 array, the dimension of the element is
the same as the single circular waveguide antenna, and the distance
of the two element centers is 42 mm. The metamaterial structure is
composed of 9 25 cells, Its total size is 68.4 mm 200 mm with the
rst layer placed at 9.5 mm above the array antenna aperture. This
model of four-element array with metamaterial structure is shown in
Fig. 7a and its simulation results are shown in Fig. 7b.

Figure 7a. Model of the 1 4 antenna array.

Progress In Electromagnetics Research, PIER 60, 2006


0

0
330

20

30

30

XOZ Plane

10
300

215

YOZ Plane

10
0

60

30

330

20

300

60

-10
-20

-10

-30
-20

-40
270

90

-20

-40

90

270

-30
-10
0

-20
-10
120
PEC
Marematerial

240

10
20

PEC 120
Marematerial

240

10
20

210

150
180

30

210

150
180

Figure 7b. Radiation patterns of the 1 4 antenna array.


The model of the 2 2 array antenna with metamaterial structure
is shown in Fig. 8a.The dimension of the element is the same as the
single circular waveguide antenna, and the distance of the two element
centers is 42 mm. Each layer of the metamaterial structure is composed
of 15 15 cells, and total size is 114 mm 114 mm. Its simulation
results are shown in Fig. 8b.
From the simulation results we can see that, the gain of twoelement antenna array increases from the original 11.92 dB to 19.15 dB,
while that of four-element antenna array is improved from 14.76 dB
to 21.85 dB for 1 4 form and from 14.65 dB to 21.67 dB for 2
2 form, respectively. Generally speaking, the gains of the circular
waveguide array antenna with metamaterial structure have an about
7 dB addition in comparison with those of conventional antenna. We
believe that the improvement owns to metamaterial structure used on
circular waveguide array antenna which can congregate the radiation
energy.
In order to testify the simulation results, a circular waveguide
antenna with metamaterial structure is fabricated and measured.
Fig. 9(a) and (b) show the photographs of the PEC antenna and
antenna with matematirial, respectively. Fig. 10 shows the measured
radiation patterns of the circular waveguide antenna with matematirial
structure and the conventional antenna which works at 12 GHz.
Compared with the PEC antenna, the gain of antenna with
metamaterial structure has a 5.3 dB addition which is about 3 dB less
than that of simulation result. It is believed that this dierence is
mainly caused by the errors of experiment. At the same time, the
side lobe decreases obviously while the back lobe increases due to the

216

Li, Wu, and Liang

Figure 8a. Model of the 2 2 antenna array.


30

30
330

20

30

XOZ Plane

10
0
300

-10

-20

-30

-30

-40

-40
90

270

-40

-30

-30

-20

-20

-10
0

90

270

-10
120
PEC
Marematerial

240

10
20
30

60

300

-10

-20

-40

YOZ Plane

10
0

60

30

330

20

PEC 120
Marematerial

240

10
20

210

150
180

30

210

150
180

Figure 8b. Radiation patterns of the 2 2 antenna array.

(a)

(b)

Figure 9. (a) Photograph of the PEC antenna, (b) Photograph of the


antenna with metamatirial.

Progress In Electromagnetics Research, PIER 60, 2006


0

217

PEC
MATEMATIRIAL

Gain(dB)

-10

-20

-30

-40

XOZ Plane

-50
-150

-100

-50

50

100

150

Angle (Deg)

Figure 10a. Measured radiation patterns of the circular waveguide


antenna (XOZ plane).
0

PEC
MATEMATIRIAL

Gain(dB)

-10

-20

-30

-40

YOZ Plane

-50
-150

-100

-50

50

100

150

Angle (Deg)

Figure 10b. Measured radiation patterns of the circular waveguide


antenna (Y OZ plane).

218

Li, Wu, and Liang

reection eect of the metamaterial. The measurement results validate


that, it is eectual to raise the gain of the circular waveguide antenna
by using metamaterial structure.
4. CONCLUSIONS
The principle characteristic of the proposed metamaterial structure
is studied, then the radiation characteristic of a circular waveguide
antenna array with metamaterial structure is simulated using
numerical method.
The simulation results, which validate the
theoretical analysis, show an about 7 dB addition in the antenna
array gain in comparison with the conventional antenna array, so the
radiation characteristics of antenna array with metamaterial structure
are remarkably improved, nally the practicability of this method is
illustrated with an example of single circular waveguide antenna. It is
also expected that the metamaterial structure can be applied in various
antennas to improve their radiation performance.
REFERENCES
1. Veselago, V. G., The electrodynamics of substances with
simultaneously negative values of and , Soviet Physics
USPEKI, Vol. 10, No. 4, 509514, 1968.
2. Smith, D. R., W. J. Padilla, D. C. Vier, et al., Composite medium
with simultaneously negative permeability and permittivity,
Physical Review Letters, Vol. 84, No. 18, 41844187, 2000.
3. Enoch, S., G. Tayeb, P. Sabouroux, and P. Vincont, A
metamaterial for directive emission, Physical Review Letters,
Vol. 89, No. 21, 213902:1-4, 2002.
4. Pendry, J. B., Negative refraction males a prefect lens, Physical
Review Letters, Vol. 85, No. 21, 39663969, 2000.
5. Lindell, L. V., S. A. Tretyakov, K. I. Nikoskinen, and S. Ilvonen,
BW media media with negative paraments, capable of
supporting backward waves, Microwave Opt. Tech. Lett., Vol. 31,
No. 2, 129133, 2001.
6. Ziolkowski, R. W. and E. Heyman, Wave propagation in media
having negative permittivity and permeability, Phys. Rev. E,
Vol. 64, No. 5, 056625:1-15, 2001.
7. Hamid, A.-K., Study of lossy eects on the characteristics of
axially slotted circular or elliptical cylindrical antennas coated
with metamaterials, Microwaves, Antennas and Propagation,
IEE Proceedings, 485490, Dec. 2005.

Progress In Electromagnetics Research, PIER 60, 2006

219

8. Hamid, A.-K., Axially slotted antenna on a circular or elliptic


cylinder coated with metamaterials, Progress In Electromagnetic
Research, PIER 51, 329341, 2005.
9. Thevenot, M., C. Cheype, A. Reineix, and B. Jecko, IEEE Trans.
Microwave Theory Tech., Vol. 47, 2115, 1999.

Progress In Electromagnetics Research Letters, Vol. 22, 147154, 2011

THREE SECTIONS CIRCULAR WAVEGUIDE


APERTURE ANTENNA WITH CONICAL BEAM
S. Qi, W. Wu, and D. Fang
Ministerial Key Laboratory of JGMT
Nanjing University of Science and Technology, Nanjing 210094, China
AbstractA three sections circular waveguide aperture antenna
with conical beam is presented. By using two waveguide steps, the
aperture distribution of the antenna can be controlled to realize the
requirements on the radiation pattern with conical beam including the
flare angle, gain and the side lobe level. Through optimized design,
the impedance bandwidth of 550 MHz with 10 dB return loss, the
gain of 8.1 dB and a flare angle of 50 degrees have been achieved at the
central frequency 35 GHz. Good agreement has been observed between
simulated results and measured ones. The proposed antenna is easy to
be fabricated and suitable for many applications.
1. INTRODUCTION
Antennas with a conical beam have been required for communications
between base stations and moving vehicles. The demand of conical
beam antennas is also increasing in wireless network systems,
consisting of numerous indoor base station antennas, because they
can cover a large service area and provide a stable signal quality [1].
Recently, printed antennas have been employed in obtaining conical
beam. TM01 mode of the circular patch antennas have been reported to
produce a conical beam pattern [2]. However, the design has difficulty
with side lobe level control when the size of the patch increases to
obtain high gain and large flare angle. In [3, 4] multiple antenna
elements which are arranged in a circular topology have been proposed
to generate an omni-directional radiation pattern. Some of them are
either poor azimuth symmetry or with a complicated feeding network.
A GA-based design of multi-ring arrays with omni-directional conical
beam pattern has been reported [5]. However it also needs complicated
feeding network.
Received 21 February 2011, Accepted 25 March 2011, Scheduled 30 March 2011
Corresponding author: Shishan Qi (qishishan@gmail.com).

148

Qi, Wu, and Fang

In this paper, a three sections circular waveguide aperture antenna


with a conical beam is presented. Two circular waveguide steps are
introduced to control the aperture distribution of the antenna for the
purpose of realizing the required beam and the impedance matching.
A coaxial line is used to feed this three sections circular waveguide
aperture antenna from the bottom. The formally exact mode matching
method [616] is known to be one of the most efficient and accurate
method for analyzing such regular structures. It is therefore employed
in predicting the return loss and radiation pattern of the proposed
three sections circular waveguide aperture antenna. Numerical results
for the scattering parameters and radiation patterns agree well with
measured ones. The designed antenna exhibits good return loss, side
lobe level, flare angle, and gain performance in the 10 dB impedance
bandwidth of 550 MHz at the central frequency of 35 GHz.
2. DESCRIPTION OF THE ANTENNA
CONFIGURATION
Conical beam can be easily obtained by exciting TM0m modes in an
open ended circular waveguide. Figure 1 shows the geometry of the
three sections circular waveguide aperture antenna fed by a coaxial
line. The antenna can be divided into five parts: two coaxial lines,
two circular waveguides and one open ended circular waveguide. As
indicated in Figure 1, the inner and outer radii of the coaxial feed line
are a and b, respectively. The radii of the i-th circular waveguide is,
respectively Ri for i = 1, 2, 3. The length of the i-th circular waveguide
is, respectively Li for i = 1, 2, 3. The length of the inner conductor of
L1

L2

L3

2b
R1

R2

R3
z

2a

II
A

III
B

IV
C

V
D

VI
E

Figure 1. The geometry of the three sections circular waveguide


aperture antenna fed by a coaxial line.

Progress In Electromagnetics Research Letters, Vol. 22, 2011

149

the coaxial line embed in the first circular waveguide is L.


The radiation pattern of the TM0m mode for an open ended
circular waveguide is [17]
E = B

k0 ejk0 rf ar
k sin J1 (xm )J0 (k0 sin R)
0
2rf ar
J1 (xm )[(xm /R)2 (k0 sin )2 ]

(1)

where is the flare angle in elevation plane, J0 and J1 are the Bessel
functions of the first kind with zero order and first order, xm is the
m-th zero point of J0 , R is the radius of the open ended circular
waveguide, k0 is the wavenumber in free space, and rf ar is the distance
between antenna and observation point of far field. The flare angle is
determined by R and the main TM mode being used. Figures 2 and 3
show the magnitude and phase of the radiation pattern corresponding
to the TM0m (m = 1, 2, 3, 4) mode of the open ended circular waveguide
with radius equal to 15 mm, respectively. It can be seen that beam
150

-5

100

-10
-15
TM 01

-20

TM 01

50

TM 02
TM 03

TM 04

TM 02
TM 03

-25
-30

Phase (deg ree)

Normalized direct ivity (dB)

TM 04
0

20

40
60
Theta (degree)

(a)

80

100

-50
-100

20

40
60
Theta (degree)

80

100

(b)

Figure 2. The radiation pattern corresponding to the TM0m (m =


1, 2, 3, 4) mode of the open ended circular waveguide with radius of
15 mm. (a) Magnitude, and (b) phase.

Figure 3. Photograph of the fabricated three sections circular


waveguide aperture antenna fed by a coaxial line.

150

Qi, Wu, and Fang

direction moves to 90 degrees when m increases from 1 to 4 and


phase of the radiation pattern alternates between 120 degrees and 60
degrees. Due to the fact, the magnitude and phase of every mode can
be controlled to synthesize our desired radiation pattern by introducing
several waveguide steps. In this paper, TM03 mode has been selected
as the main TM mode on the aperture of the antenna while TM01
and TM02 modes mainly contribute to the side lobe. Therefore, R3
can be determined using (1) due to the desired beam direction and the
main TM mode being used while R1 can be determined by requirement
of only TM01 mode propagation. In order to obtain good side lobe
level performance, R2 , L2 and L3 of waveguide steps are tuned to
suppress the proportion of TM01 and TM02 modes on the aperture
of the antenna. It should be noted that all other higher TM modes
are cutoff modes. By properly adjusting L and L1 , good impedance
matching for the proposed antenna can be realized.
3. MODE-MATCHING FORMULATION
Due to the fact that multiple parameters of the antenna need to
be optimized, the efficient and accurate mode matching method [6
16] is employed as the modeling tool. As shown in Figure 1, both
the structure and the incident TEM mode in the coaxial feed line
are axis-symmetric (/ = 0), only the dominant TEM mode and
TM0m modes in these waveguides can be excited. Based on this
property, we can derive the field expressions for all the sub-regions
in Figure 1. There are five waveguide junctions in this antenna:
the coaxial waveguide to coaxial waveguide, the coaxial waveguide
to circular waveguide, the circular waveguide to circular waveguide
and circular waveguide to free space. Referring to Figure 1, in
regions I, II, III, IV and V, the transverse electromagnetic fields with
respect to the z axis can be represented by

Mi
*i
P

i,0m z + A ei,0m z *

A+
e
e i,0m ()
E t () =
i,0m
i,0m
m=1
(2)

Mi
*i
P

*
*
+

z
i,0m
i,0m
H t () =
Ai,0m e
Ai,0m e
Yi,0m z e i,0m ()
m=1

A
i,0m ,

where
i,0m , Yi,0m , and e i,0m () are the incident and reflected
modal amplitude, the propagation constant, model admittance, and
normalized transverse modal electric field of the TM0m mode in the
i-th waveguides (i = I, II, III, IV, V), respectively. The expression
*
of e i,0m () for coaxial waveguide and circular waveguide is available
in [7].

Progress In Electromagnetics Research Letters, Vol. 22, 2011

151

Use of proper inner products and application of the boundary


conditions that the tangential electromagnetic field components must
be continuous across the junctions will lead to the electric and magnetic
field matching equations [8]

Mj (A+
j,1 + Aj,1 ) = Aj,2 + Aj,2
(3)

T
Yj,1 (A+
j,1 Aj,1 ) = Mj Yj,2 (Aj,2 Aj,2 )
where the superscript T represents the transpose operation, and Mj ,
A
j and Yj are the model mutual matrix, the incident and reflected
modal amplitude column vector at each side of the j-th junction
(j = A, B, C, D), model admittance diagonal matrix at each side of
the j-th junction.
Therefore, S-parameters of the j-th junction can be easily
obtained by

S
= (MjT Yj,2 M + Yj,1 )1 (Yj,1 MjT Yj,2 Mj )

j,11
Sj,21 = Mj (Sj,11 + I)
.
(4)
T Y
S
= Yj,1 Sj,21

j,2

j,12
Sj,22 = Mj Sj,12 I
The mode matching matrices at junctions E are available in [9]. After
cascading the S-parameters of all junctions, we can obtain the modal
expansion coefficients at the aperture and the reflection coefficient at
the input port of the feed line. Once the expansion coefficients are
known, the electric and magnetic field expressions can be obtained
at the circular waveguide aperture, from which the overall radiation
pattern can be finally obtained by superposing radiation pattern of
each TM0m .
By changing L, Li , and Ri , the desired radiation pattern and
return loss can be synthesized. However, it is very difficult to determine
the optimal value of seven variations. Pareto genetic algorithm for
multi-objective has been employed to synthesis the desired antenna
radiation pattern and return loss. The individual of population is
constructed as
Q = [ R1 R2 R3 L L1 L2 L3 ] ,
(5)
which is the vector of variables to be optimized. The fitness function
is assigned as

/2
X
Eactual (, Q) 2
20 log
,
(6)
Edesired ()
=0

for radiation pattern and


X
(Sactual (Q, f ) Sdesired (f ))2 ,
f

(7)

152

Qi, Wu, and Fang

for reflection coefficient. Eactual (, Q) and Sactual (Q, f ) are the


antenna radiation pattern and return loss respectively from our
method. Edesired () and Sdesired (f ) are the objective radiation pattern
and return loss as shown in Figures 4 and 5 respectively. The
final optimal antenna parameters are given as follows: a = 0.3 mm,
b = 1 mm, R1 = 4 mm, R2 = 12.6 mm, R3 = 15 mm, L = 2 mm,
L1 = 6.3 mm, L2 = 4.6 mm, L3 = 4.6 mm.
4. SIMULATED AND MEASURED RESULTS
A three sections circular waveguide aperture antenna has been
designed, fabricated and tested. The photograph of the fabricated
antenna is shown in Figure 3. The return loss of the antenna
is measured by a network analyzer Agilent E8722ES and radiation
pattern is measured in an anechoic chamber. Figure 4 shows the
simulated and measured return loss results of the fabricated antenna.
The measured impedance bandwidth with 10 dB return loss of the
three sections circular waveguide aperture antenna is 550 MHz at
35 GHz. Figure 5 provides the comparison between simulated radiation
pattern and measured ones. Good agreement is observed. The
measured flare angle and gain of the radiation pattern at 35 GHz
is 50 degrees and 8.1 dB respectively.
Simulated ripple of the
radiation pattern in azimuth plan is 0.04 dB. The discrepancies between
simulated and measured results are owing to tolerance of manufacture
and test instrument.
0

-5

-10
-15
-20
-25
-30
-35
34

34.5

35
Freq (GHz)

Measured
Mode match
CST
Objective
35.5
36

Figure 4. Simulated and measured return loss results of the


coaxial-fed three sections circular
waveguide aperture antenna.

Normalis ed ga in (dB)

Re turn loss (dB)

-5

-10

-15

-20

-25

-50

0
Angle (deg )

Measured
Mode match
CST
Objective
50

Figure 5. Simulated and measured radiation pattern results


of the coaxial-fed three sections
circular waveguide aperture antenna.

Progress In Electromagnetics Research Letters, Vol. 22, 2011

153

5. CONCLUSION
In this paper, a three sections circular waveguide aperture antenna
with a conical beam has been designed, fabricated and tested. Two
waveguide steps are introduced to optimize the return loss and
radiation pattern of the three sections circular waveguide aperture
antenna. Experimental results demonstrate that it can achieve a
flare angle of 50 degrees, 8.1 dB gain and 11.3 dB side lobe levels.
Measured results are in good agreement with simulated ones. The
number of steps can be increased to satisfy more critical requirements.
The proposed three sections circular waveguide aperture antenna in
this paper is an effective structure to realize a conical beam.
REFERENCES
1. Wu, B. Q. and K.-M. Luk, A wideband, low-profile, conicalbeam antenna with horizontal polarization for indoor wireless
communications, IEEE Antennas Wirel. Propag. Lett., Vol. 8,
340343, Jul. 2009.
2. Guo, Y.-X., M. W. Chia, Z. N. Chen, and K.-M. Luk, Wide-band
L-probe fed circular patch antenna for conical-pattern radiation,
IEEE Trans. Antennas Propag., Vol. 52, No. 4, 11151116,
Apr. 2004.
3. Mcewan, N. J., R. A. Abd-alhameed, E. M. Ibrahim, P. S. Excell,
and J. G. Gardiner, A new design of horizontally polarized and
dual-polarized uniplanar conical beam antennas for hiperlan,
IEEE Trans. Antennas Propag., Vol. 51, No. 2, 229237,
Feb. 2003.
4. Chen, K.-C., Y. Qian, C.-K. C. Tzuang, and T. Itoh, A periodic
microstrip radial antenna array with a conical beam, IEEE
Trans. Antennas Propag., Vol. 51, No. 4, 756765, Apr. 2003.
5. Son, S.-H., S.-I. Jeon, C.-J. Kim, and W. Hwang, GA-based
design of multi-ring arrays with omnidirectional conical beam
pattern, IEEE Trans. Antennas Propag., Vol. 58, No. 5, 1527
1535, May 2010.
6. Safavi-naini, R. and R. H. Macphie, On solving waveguide
junction scattering problems by the conservation of complex power
technique, IEEE Trans. Microw. Theory Tech., Vol. 29, No. 4,
337343, Apr. 1981.
7. Macphie, R. H., M. Opie, and C. R. Ries, Input impedance of
a coaxial line probe feeding a circular waveguide in the TM01

154

8.

9.
10.

11.
12.

13.

14.

15.

16.

17.

Qi, Wu, and Fang

mode, IEEE Trans. Microw. Theory Tech., Vol. 38, No. 3, 334
337, Mar. 1990.
Shen, Z. and R. H. Macphie, An improved modal expansion
method for two cascaded junctions and its application to
waveguide filters, IEEE Trans. Microw. Theory Tech., Vol. 43,
No. 12, 27192722, Dec. 1995.
Shen, Z.-X. and R. H. Macphie, A simple method for calculating
the reflection coefficient of open-ended waveguides, IEEE Trans.
Microw. Theory Tech., Vol. 45, No. 4, 546548, Apr. 1997.
Jiang, Z., Z. Shen, and X. Shan, Mode-matching analysis of
waveguide j-junction loaded with an h-plane dielectric slab,
Journal of Electromagnetic Waves and Applications, Vol. 16,
No. 11, 16131614, 2002.
Park, J. K., Scattering analysis from a gap in the inner
conductor of a coaxial line, Journal of Electromagnetic Waves
and Applications, Vol. 17, No. 1, 121129, 2003.
Du, K., V. V. Varadan, and V. K. Varadan, Estimation
of reflection coefficients for an open-ended coaxial waveguide
radiating into a chiral half-space, Journal of Electromagnetic
Waves and Applications, Vol. 15, No. 5, 643663, 2001.
Anastassiu, H. T., J. L. Volakis, and D. C. Ross, The
mode matching technique for electromagnetic scattering by
cylindrical waveguides with canonical terminations, Journal of
Electromagnetic Waves and Applications, Vol. 9, Nos. 1112,
13631391, 1995.
Morgan, M. A. and F. K. Schwering, Mode expansion solution
for scattering by a material filled rectangular groove, Journal of
Electromagnetic Waves and Applications, Vol. 12, No. 4, 467468,
1998.
Li, L. W., L. Zhou, M. S. Leong, T. S. Yeo, and P. S. Kooi, An
open-ended circular waveguide with an infinite conducting flange
covered by a dielectric hemi-spherical radome shell: Full-wave
analysis and green dyadics, Journal of Electromagnetic Waves
and Applications, Vol. 13, No. 4, 561563, 1999.
Gentili, G. G., R. Nesti, and G. Pelosi, Efficient analysis of
a complete feeding system in corrugated circular waveguide,
Journal of Electromagnetic Waves and Applications, Vol. 13,
No. 12, 16311648, 1999.
Silver, S., Microwave Antenna Theory and Design, 336341,
McGraw-Hill, New York, 1949.

STUDI PERBANDINGAN EFISIENSI BAHAN PADA PEMBUATAN


ANTENA HORN SEKTORAL BIDANG MEDAN LISTRIK (E)
Budi Aswoyo
Dosen Teknik Telekomunikasi
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS, Surabaya 60111
Email: budias@eepis-its.edu

Abstrak
Pada penelitian ini dilakukan studi perbandingan
efisiensi bahan pada pembuatan Antena Horn Sektoral
Bidang Medan Listrik (Bidang-E). Metodenya,
antena-antena tersebut dibuat dari beberapa bahan
konduktor, yakni dari bahan seng, almunium, dan
tembaga, dengan ukuran yang sama, dan masingmasing diukur direktivitas dan gainnya. Rasio antara
direktivtas dan gain merupakan nilai efisiensi dari
masing-masing antena. Ketiga antena tersebut
dirancang untuk dapat beroperasi pada jaringan
wireless LAN 2,4 GHz. Dari hasil pengukuran
direktivitas masing-masing antena dari bahan seng,
almunium, dan tembaga, berturut-turut diperoleh
direktivitas sebesar 13,48 dB, 14,01 dB, dan 14,69
dB. Selanjutnya dengan pengukuran gain dengan
metode pembanding, diperoleh gain dari ketiga antena
dari bahan seng, almunium dan tembaga sebesar
10,15 dB, 12,15 dB dan 13,15 dB. Sehingga diperoleh
efisiensi bahan dari pembutan antena Antena Horn
Sektoral Bidang-E dari bahan seng, almunium dan
tembaga, masing-masing sebesar 46,45 %, 65,15 %,
dan 69,97 %.

Gambar 1. Teori efisiensi antena

Dimana:
: daya radiasi yang dipancarkan oleh
suatu antena;
: daya akibat rugi-rugi oleh bahan dari
antena
Sedangkan

Kata kunci Efisiensi, Antena Horn Sektoral Bidang-E,


Wireless LAN 2,4 GHz

dapat dinyatakan sebagai

......................(2)
Definisi efisiensi antena dapat dinyatakan dengan
persamaan

1. LANDASAN TEORI
1.1 Teori Efisiensi Antena
Gambar 1 menunjukkan teori tentang efisiensi
antena. Ketika antena dicatu oleh suatu daya masukan
Pin di terminal input, maka daya tersebut tidak akan
seluruhnya dipancarkan oleh antena ke udara. Faktor
rugi-rugi antenna yang disebabkan oleh bahan, sangat
berpengaruh terhadap efisiensi antenna.
Dengan teori saluran transmisi, daya masukan
Pin yang masuk termnial antena akan terbagi menjadi
dua bagian, yaitu Prad dan Pohmic [1] ,

..........................(3)
Nilai efisiensi antena antara 0 sampai dengan 100 %.
Untuk mencari pendekatan efiseinsi antena yang
berbasis pada waveguide, maka harus dicari dari
asumsi rugi-rugi (losses) yang terjadi pada waveguide
[2]. Jika kondutivitas bahan dielektrik pengisi
waveguide sangat kecil (mendekati nol) dan/atau
konduktivitas konduktor dinding waveguide tidak tak
berhingga (noninfinite), maka gelombang akan
teredam secara exponensial selama perambatan dalam
waveguide.

............................... (1)

tidak dapat meradiasikan gelombang radio sesuai


dengan yang diharapkan. Sebaliknya, jika dinding
antena terbuat dari bahan super konduktor (w ),
maka nilai efisiensi e 100 %. Artinya antena
tersebut akan meradiasikan gelombang radio dengan
sempurna, tanpa rugi-rugi ohmik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pernyataan gain antena memuat rugi-rugi ohmik dari
bahan antena, sedangkan untuk direktivitas antena
tidak memuat rugi-rugi [2].

Untuk mode TE10, pendekatan rugi-rugi


dielektrik (dielectric loss) dan rugi-rugi dinding
waveguide dinyatakan sebagai berikut. Rugi-rugi
dielektrik yang diisikan pada waveguide pada
frekuensi operasi f tertentu dinyatakan dengan [3] ,

... (4)
dengan,
: permeabilitas dielektrik pengisi
waveguide.
: permitivitas dielektrik pengisi
waveguide.
: konduktivitas dielektrik pengisi
waveguide.
: frekuensi cut off mode TE10.
: impedansi waveguide mode TE10.
= udara

Jika waveguide berisi udara (

1.2. Antena Horn Sektoral Bidang-E


Antena Horn Sektoral Bidang-E adalah antenna
horn berbentuk persegi yang mana Mulut dari antena
ini melebar ke arah medan listriknya (E). Dimensi
pelebaran ini dinyatakan dengan . Antena ini dicatu
oleh saluran pandu gelombang persegi (rectangular
waveguide) dengan dimensi penampang a x b (a =
panjang penampang; b = lebar penampang). Dimensi
dari bidang medan magnet sama dengan panjang
penampang saluran pandu gelombang pencatunya,
yaitu a. Jarak R diukur dari virtual apex dari horn ke
bidang aperture-nya. Bentuk dan konstruksi dari
antena horn sektoral bidang E dapat dilihat pada
Gambar 2 [4].

0), maka

rugi-rugi dielektrik
0). Sehingga rugi-rugi
waveguide terjadi hanya karena bahan dinding.
Rugi-rugi dinding waveguide, berkaitan dengan
jenis bahan diding waveguide dan frekuensi kerja
operasi f, dinyatakan dengan [1]

..................(5)
dimana :
= permeabilitas bahan dinding
waveguide, dan
= konduktivitas bahan dinding
waveguide.
Gambar 2. Geometri Antena Horn Sektoral Bidang-E

Sedangkan berdasarkan persamaan (5), maka


Pohmic dinyatakan dengan

Direktivitas dari antena horn sektoral bidang-E


berdasarkan dimensinya dapat ditunjukkan pada
Gambar 3. Ketika sudut pelebaran semakin
meningkat, direktivitas Antena Horn Sektoral BidangE juga semakin meningkat hingga mencapai nilai
maximum. Dan ketika melewati nilai maximum maka
nilai direktivitas akan menurun.
Directivity dari horn sectoral bidang-E dapat
diperoleh dengan persamaan [4]:

........... (6)
Sehingga
dengan :

rumusan

efisiensi

antena

dinyatakan

......... (7)
Persamaan (7), dapat dijadikan pendekatan
untuk menentukan efisiensi antena berbasis
waveguide yang dididingnya dari bahan tertentu.
Berdasarkan persamaan tersebut, dapat dilihat bahwa
semakin tinggi nilai konduktivitas bahan dinding
suatu antena, maka semakin tinggi nilai efisien suatu
antena. Sebagai ilustrasi, jika antena tersebut terbuat
dari bahan dielektrik sempurna (w 0), maka nilai
efisiensi e 0. Artinya antena tersebut sama sekali

........................................(8)

....................................(9)

.........................................(10)

2. PERENCANAAN DAN PEMBUATAN ANTENA HORN SEKTORAL BIDANG-E


Dari rumus-rumus di atas, dapat direncanakan
suatu antena Horn Sektoral Bidang-E yang dapat
bekerja secara optimum. Ada beberapa ketentuan
yang harus diperhatikan dalam perencanaan antena
tersebut :
Antena ini dicatu dengan rectangular waveguide
(pandu gelombang yang berbentuk persegi) tipe
WR340 dengan ukuran a = 8,636 cm dan b = 7
cm.
Antena ini akan direncanakan dalam keadaan
optimum, artinya ukurannya menghasilkan gain
yang maksimum.
Antena ini direncanakan mempunyai direktivitas
tertentu.
Antena Horn Sektoral Bidang-E yang telah
dibuat merupakan hasil dari perencanaan yang ada,
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Normalisasi directivity pada Antena Horn


Sektoral Bidang E [4]
dimana :
: pelebaran dimensi pandu gelombang
kearah medan listrik (cm
: panjang gelombang (cm).
: dimensi panjang waveguide (cm)
1.3 Waveguide Persegi
Waveguide persegi adalah pandu gelombang
dengan penampang persegi dan model ini sering
digunakan dalam praktik. Hal ini disebabkan karena
perencanaan, analisa serta pembuatan relatif mudah.
Dalam analisanya, waveguide persegi memberikan
hasil yang sederhana dengan menggunakan koordinat
siku-siku (kartesian).
Pada waveguide persegi menggunakan mode
. Frekuensi cut-off pada waveguide persegi
adalah [3]:

Gambar 4. Antena Horn Sektoral Bidang-E dengan


bahan seng, aluminium dan tembaga

3. PENGUKURAN PARAMETER ANTENA DAN


PERHITUNGAN EFISIENSI

.................................... (4)

Untuk mendapatkan nilai efisien antena, terlebih


dahulu harus dilakukan pengukuran dan perhitungan
parameter-parameter antena yang melputi: pola
radiasi, direktivitas dan gain antena. Pengukuran
dilakukan di ruang An-echoic Chamber PENS-ITS.
Pengukuran pola radiasi dilakukan pada pola
radiasi bidang-H dan bidang-E Hasil pengukran pola
radiasi untuk antena dengan bahan seng, almunium,
dan tembaga berturut-turut, diberikan pada Gambar 5,
Gambar 6, dan Gambar 7.

dimana :
: dimensi panjang waveguide.
: permeabilitas.
: permitivitas
Panjang gelombang dalam waveguide dapat dituliskan
[3] :
................................... (5)
dimana :
: panjang gelombang diruang hampa
(cm).
: Panjang Gelombang cut off ( =

).

(b)
Gambar 6. Pola radiasi Antena Horn Sektoral Bidang-E
pada bahan aluminium
(a) Bidang-E (vertikal)
(b) Bidang-H (horisontal)

(a)

(b)
Gambar 5 .Pola radiasi Antena Horn Sektoral
Bidang-E pada bahan seng
(a) Bidang-E (vertikal)
(b) Bidang-H (horisontal)

(a)

(b)
Gambar 7. Pola radiasi Antena Horn Sektoral
Bidang-E pada bahan tembaga
(a) Bidang-E (vertikal)
(b) Bidang-H (horisontal)

(a)

Paremater direktvitas suatu antena dapat


dihitung dengan menggunakan pola radiasi yang
dihasilkan pada pengukuran pola radiasi bidang-E dan
bidang-H. Sudut setengah daya dapat dicari dengan
menggunakan gambar pola radiasi. Dengan menandai
titik -3 dB pada pola radiasi kemudian menarik sudut
pada titik tersebut. Persamaan untuk menghitung
direktivitas dapat menggunakan rumus [4]:

............................. (13)
Dimana: G = gain antena (tanpa satuan) dan D =
direktivitas antena (tanpa satuan).
Dari nilai direktivitas pada Tabel 1 dan gain pada
Tabel 2, maka efisien antena dapat dihitung dengan
Persamaan (13), dan hasilnya dipaparkan pada Tabel
3 di bawah ini.

...............................(11)

Tabel 3. Hasil perhitungan efisiensi antena

dimana :
: sudut pada titik setengah daya bidangH (radian)
: sudut pada titik setengah daya bidangE (radian)
Dengan menggunakan rumus (11) dan
berdasarkan Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7,
maka direktivitas dari antena dari bahan seng,
almunium, dan tembaga dapat dihitung, dan hasilnya
berturut-turut ditampilkan paga Tabel 1.

Bahan Antena

Nilai direktivitas (dB)

1.

Seng

13,48

2.

Aluminium

14,01

3.

Tembaga

14,69

....... (12)

Hasil pengukuran dan perhitungan gain


berdasarkan rumus (12) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengukuran gain
Level Penerimaan
No
.

Bahan
Antena

USB
adapter
wifi
(Ps)(-dBm)

Gain
(dB)

1.

Seng

-36

-44

10,15

2.

Aluminium

-34

-44

12,15

3.

Tembaga

-33

-44

13,15

Efisiensi

1.
2.

Seng

46,45 %

Aluminium

65,15 %

3.

Tembaga

69,97 %

Dari pengukuran pola radiasi pada Gambar 5,


Gambar 6, dan Gambar 7 dapat diketahui pada Antena
Horn Sektoral Bidang-E untuk semua bahan, baik
seng, almunium, dan tembaga mempunyai level
penerimaan gelombang tertinggi berada pada posisi
0. Hal ini dapat dinyatakan bahwa antenna ini
bersifat direksional. Level sinyal yang ditangkap akan
terus berkurang pada saat setiap putaran 10. Karena
pada kondisi saat ini antena tidak mengarah pada
pemancar (Acces Point). Pada posisi antena 180,
antena masih menangkap sinyal yang dipancarkan
Access Point, namun level sinyal yang terekam
sangatlah kecil.
Dapat dilihat HPBW pada posisi bidang-E
(vertikal) lebih lancip daripada HPBW pada posisi
bidang-H (horisontal). karena kebanyakan antena
omni directional yang menyebarkan sinyal wireless
pada hotspot dipasang secara vertikal.
Hasil pengukuran dan perhitungan direktivitas
menunjukkan bahwa antena dengan bahan seng
bernilai 13,48 dB, antena dengan bahan aluminium
bernilai 14,01 dB dan antena dengan bahan tembaga
bernilai 14,69 dB. Ketiga antena tersebut mempunyai
nilai pengarahan yang hampir sama. Sehingga dari
ketiga antena mempunyai daya pancar sama.
Dari hasil pengukuran gain antena pada Tabel 2,
gain pada antena dengan bahan seng sebesar 10,15
dB, bahan aluminium 12,15 dB dan bahan tembaga
13,15 dB. Kondutivitas bahan sangat berpengaruh
gain yang dihaslkan. Bila konduktivitas suatu bahan
relatif semakin besar, maka semakin besar gain yang
didapatkan.
Dari hasil perhitungan efisiensi yang dipaparkan
pada Table 3, terlihat bahwa nilai efisiensi antena
dengan bahan seng yang mencapai 46,45 %, bahan
aluminium mencapai 65,15 %, dan bahan tembaga
lebih besar mencapai 69,97 %. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai konduktivitas suatu bahan mempengaruhi
efisiensi pada antena. Semakin tinggi
nilai

Pada pengukuran gain diperlukan antena standar


atau yang dianggap standard sebagai pembanding.
Dalam hal ini, yang dianggap sebagai antenna standar
adalah anena pada USB adapter dengang asumsi gain
sebesar 2,15 dB. Untuk menghitung gain pada
pengukuran dapat menggunakan rumus berikut:

Antena
Horn
Sektoral
Bidang E
(Pt)(-dBm)

Bahan Antena

4. DISKUSI

Tabel 1. Hasil perhitungan direktivitas


No

No.

Terakhir, perhitungan efisiensi antena dapat


dilakukan dengan membandingkan gain pada antena
dan directivitas. Persamaan untuk menghitung
efisiensi dapat menggunakan rumus [4] :

konduktivitas bahan, semakin besar nilai efisiensi


suatu antenna. Pada bahan seng mempunyai nilai
konduktivitas sebesar 1,7
mho/meter, bahan
aluminium mempunyai nilai konduktivitas sebesar 3,5
mho/meter dan pada bahan tembaga
mempunyai nilai konduktivitas 5,7
mho/meter.

5. KESIMPULAN
Dari hasil pengukuran pola radiasi pada Antena
Horn Sektoral Bidang-E dengan bahan seng memiliki
nilai HPBW sebesar 44 pada bidang-H, dan 42 pada
bidang-E dengan direktivitas sebesar 13,48 dB, antena
dengan bahan aluminium pada bidang-H mempunyai
nilai HPBW sebesar 42 dan pada bidang-E sebesar
39 dengan direktivitas sebesar 14,01 dB, dan pada
antena dengan bahan tembaga pada bidang-H
mempunyai nilai HPBW sebesar 40 dan pada
bidang-E sebesar 35 dengan direktivitas sebesar
14,69 dB. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pola
rediasi ketiga antena tesebut bersifat direksional.
Gain antena dengan bahan seng sebesar 10,15
dB, dengan bahan aluminium sebesar 12,15 dB, dan
bahan tembaga sebesar 13,15 dB.
Nilai efisiensi antena dengan bahan seng
mencapai 46,45 %, bahan aluminium mencapai 65,15
%, dan bahan tembaga lebih besar mencapai 69,97 %.
Nilai ini berkaitan dengan konduktivitas bahan,
semakin tinggi konduktivitas bahan, semakin tinggi
efisiensinya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Joseph A. Edminister Schaums Outline Of,


[2]
[3]
[4]
[5]

theory and problems of electromagnetic, second


edition, 1988.
Fawwaz T.Ulaby, Fundamental Of Applied
Electromagnetics, Internationa Editional, 2001.
Muhammad Milchan, Mr. Miura, Transmisi
Gelombang Mikro, PENS-ITS, Surabaya, 1999.
Balanis, C. A., Antenna Theory: Analysis and
Design, Third Edition, John Willey and sons,
New York, 2005.
Budi Aswoyo , Perancangan Optimasi dan
Implementasi Antenna Horn Sektoral Bidang-E
pada Frekuansi Band-X, PENS-ITS, Surabaya,
2002.

PERBANDINGAN EFISIENSI ANTENA HORN KONIKAL


DENGAN BERBAGAI BAHAN UNTUK APLIKASI WIRELESS
LAN 2,4 GHz
1

Shannaz Natia1, Budi Aswoyo2


Mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Jurusan Teknik Telekomunikasi
2
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS, Surabaya 60111
e-mail : shannataya_nay@yahoo.com

Abstrak

ini banyak dipakai karena selain murah juga


dirasa lebih efisien karena tidak memerlukan
kabel dalam konfigurasinya. Pada sistem
komunikasi wireless dibutuhkan peranan antena
dalam proses transmisi data. Karena dengan
antena, gelombang elektromagnet dapat
diterima dan ditransmisikan.
Dalam pembuatan antena diperlukan
pemilihan bahan berdasarkan parameter
tertentu. Parameter bahan tersebut meliputi
konduktivitas, permeabilitas, dan permitivitas.
Konduktivitas adalah parameter bahan yang
sangat berpengaruh dalam pembuatan antenna
sehingga diperlukan konduktivitas yang
maksimal untuk mengoptimalkan efisiensi
antenna.
Pada proyek akhir ini akan dibuat tiga
buah antena Horn Konikal berukuran sama
dengan tiga bahan yang berbeda. Ketiga bahan
tersebut yaitu tembaga, seng, dan aluminium.
Dari ketiga antena tersebut akan dibandingkan
efisiensinya
dengan
cara
pengukuran
direktivitas dan penguatan (gain) dari masing
masing antena tersebut. Untuk menghasilkan
direktivitas yang optimum, dibutuhkan ukuran
dari dimensi antena yang tepat, mulai dari
dimensi saluran pandu gelombang pencatunya
sampai dengan dimensi panjang antena dari
pencatu ke bidang aperture. Pencatu (driver)
antena ini menggunakan USB Adapter WiFi.

Antena Horn Konikal merupakan antena


celah (aperture anntena) berbasis saluran pandu
gelombang lingkaran (circular waveguide) dengan
bentuk akhir antena ini menyerupai kerucut, yang
mulutnya melebar ke arah bidang medan listrik (E)
dan bidang magnet (H). Dalam Proyek Akhir ini
akan dilakukan perancangan dan pembuatan antena
Horn Konikal pada frekuensi 2,4 GHz. Pada Proyek
Akhir ini akan dibuat tiga buah antena Horn Konikal
berukuran sama (diameter = 9 cm) dengan tiga bahan
yang berbeda, yaitu aluminium, seng, tembaga. Dari
ketiga antena tersebut akan dibandingkan efisiensi
dengan cara pengukuran direktivitas dan penguatan
(gain) dari masing masing antena. Ketiga antena
tersebut diimplementasikan pada aplikasi video
conference pada jaringan wireless LAN (WLAN) 2,4
GHz. Pencatu (driver) antena ini menggunakan USB
Adapter WiFi.
Proyek Akhir ini mempunyai bentuk pola
radiasi yang hampir sama, menghasilkan HPBW
sebesar 25 pada bidang-H, dan 24 pada bidang-E.
Direktivitas yang dihasilkan sebesar 18,37 dB untuk
ketiga antena. Penguatan (gain) untuk antena bahan
tembaga sebesar 16,15 dB, alumunium sebesar 14,15
dB, dan untuk antena bahan seng menghasilkan
penguatan (gain)
sebesar 10,15 dB. Sehingga
efisiensi yang dihasilkan untuk bahan tembaga
sebesar 59,94%, antena bahan alumunium sebesar
37,82%, dan untuk antena bahan seng menghasilkan
efisiensi sebesar 15,05%. Berdasarkan hasil
pengukuran parameter QoS pada implementasi
WLAN 2,4 GHz, peningkatan nilai delay terjadi pada
saat siang hari. Nilai delay, jitter, dan throughput

2.

yang terjadi sesuai dengan standar ITU yang


telah ditetapkan, sehingga ketiga antena
tersebut masih layak digunakan untuk video
conference.

2.1 Antena Horn Konikal


Dalam perancangan antena Horn Konikal,
untuk menghasilkan pengarahan radiasi
(directivity) yang optimum, dibutuhkan dimensi
dari bentuk geometri antena yang tepat, mulai
dari dimensi saluran pandu gelombang
(waveguide) pencatunya, dimensi panjang
antena dari pencatu ke bidang aperture, sampai
dengan dimensi pelebaran ke arah masingmasing bidang-E dan bidang-H.
Secara umum geometri antena Horn
Konikal ditunjukkan pada Gambar 1 [1].

Kata kunci: Antena Horn Konikal, circular


waveguide, wireless LAN (WLAN) 2,4
GHz, USB Adapter WiFi

1.

LANDASAN TEORI

PENDAHULUAN

Saat ini kebutuhan komunikasi sangatlah


tinggi. Untuk itulah perkembangan teknologi
komunikasi sangat diperlukan. Di antaranya
adalah penggunaan teknologi wireless sebagai
penunjang kelancaran komunikasi. Teknologi

Direktivitaas Horn Konnikal (dalam dB),


dap
pat dinyatakann dengan [1]:
........(1)
Dim
mana :
C = kelilinng lingkaran aaperture
L(s)= angkaa koreksi untuuk menghitung
g loss
pada direktivitass (loss fig
gure),
dinyaatakan dalam ((dB)
Direktivitas dari Hornn Konikal adalah
a
opttimum ketika diameter bidaang aperture sama
den
ngan :

Gambar 1. Geeometri antena Horn


H
Konikal

dimaana :
L = jarak darii virtual appex ke biddang
aperture
cc = sudut pelebaran
dm
m = diameter bidang
b
aperturre
d = diameter penampang
p
panndu gelombanng
bundar (circcular waveguiide)

........................... (2)
den
ngan loss figuure sekitar 2,9 dB.

2.2
2 Circular Waveguide
W
Pada dasarrnya dalam ssebuah waveg
guide
terdapat tiga karrakteristik yanng penting, yaiitu :
Frekuenssi cut-off.
Panjang gelombang
g
cuut-off.
Mode proopagasi.
Pad
da circular waveguide
w
menggunakan mode
m
TE
E1.1 dan TM0.1. Frekuensi cuut-off pada cirrcular
wa
aveguide adalaah [2]:

Direktivitas dari antenaa Horn Konikal


berddasarkan dimennsinya dapat ditunjukkan
d
p
pada
Gam
mbar 2, dimana suatu direktivitas
d
a
akan
optim
mum ketika horn apertuure (dm) adaalah
konsstan dan panj
njang antennaa (L) adalah tak
terhiingga (bervarriasi), serta sudut
s
(c) saama
denggan nol.

.................... (3)
dim
mana:
a
= radiius circular w
waveguide
m.n = funggsi Bessel
Tab
bel di bawahh ini adalah taabel mode TE
E dan
TM
M pada circulaar waveguide::
Ta
abel 1. Tabel mode
m
TM dann TE pada circcular
waveguide [22].
Mode
Moode
m.n
m.n
m
TE0.1
3
3,832
TM
M0.1
2,40
05
TE1.1
1,841
TM
M1.1
3,83
32
TE2.1
3
3,050
TM
M2.1
5,13
36
TE0.2
7
7,016
TM
M0.2
5,52
20
TE1.2
5
5,330
TM
M1.2
7,01
16
G
Gambar
2. Direktivitas opttimum antena
Hoorn Konikal [11]

Pan
njang gelombang cut-off [2]:

Pada Gam
mbar 2, terlihat
t
bahhwa
karakkteristik Hornn Konikal miirip dengan horn
h
piram
midal atau horn
h
sektoral. Ketika suudut
pelebbaran semakkin meningkkat, direktivvitas
antenna Horn Konnikal juga sem
makin meninggkat
hinggga mencapai nilai maksim
mum. Dan kettika
meleewati nilai maksimum
m maka nilai
n
direkktivitas akan menurun. Di sini direktivvitas
optim
mum dapat terrlihat.

.............................. (4)
dim
mana :
= panj
njang gelombaang cut-off
0
d
= diam
meter circularr waveguide

Panjang gelombang di dalam waveguide


(g) tidak sama dengan panjang gelombang di
ruang bebas (free space ()), dimana [2]:

Besar efisiensi antena antara 0 sampai


dengan 100 %. Untuk mencari pendekatan
efisiensi antena yang berbasis pada waveguide,
maka harus dicari dari asumsi rugi-rugi (losses)
yang terjadi pada waveguide [4]. Jika
konduktivitas
bahan
dielektrik
pengisi
waveguide sangat kecil (mendekati nol)
dan/atau konduktivitas konduktor dinding
waveguide tidak tak berhingga (noninfinite),
maka gelombang akan teredam secara
exponensial
selama
perambatan
dalam
waveguide [2].
Untuk mode TE1.1, pendekatan rugi-rugi
dielektrik (dielectric loss) dan rugi-rugi
dinding waveguide dinyatakan sebagai berikut.
Rugi-rugi dielektrik yang diisikan pada
waveguide pada frekuensi operasi f tertentu
dinyatakan dengan [5],

........................ (5)

................................(6)

dengan,
Vc = kecepatan cahaya di udara 3x10m/s
Dalam sebuah circular waveguide medan
listrik dan medan magnet akan membentuk
suatu struktur sesuai dengan mode propagasi
gelombang yang melewatinya.

2.3 Efisiensi Antena


Ketika antena dicatu oleh suatu daya
masukan Pin di terminal input, maka daya
tersebut tidak akan seluruhnya untuk
dipancarkan oleh antena ke udara. Faktor rugirugi antena yang disebabkan oleh material,
sangat berpengaruh terhadap efisiensi antena.
Hal ini dapat diterangkan pada Gambar 3
sebagai berikut [4].

Pohmic losses
Antena

.
.

Prad

Dengan teori saluran transmisi, daya


masukan Pin yang masuk terminal antena akan
terbagi menjadi dua bagian, yaitu Prad dan Pohmic
[3],

..................... (11)

material

dinding

material

dinding

Sedangkan berdasarkan Persamaan (12),


maka Pohmic dinyatakan dengan:

Definisi efisiensi antena dapat dinyatakan


dengan Persamaan:

..... (10)

dinyatakan

............................... (8)

Dimana :
= permeabilitas
waveguide
= konduktivitas
waveguide

= daya radiasi yang dipancarkan oleh


antena
= daya akibat rugi-rugi oleh material
dapat

= permeabilitas dielektrik pengisi


waveguide
= permitivitas dielektrik pengisi
waveguide
= konduktivitas dielektrik pengisi
waveguide
= frekuensi cut-off mode TE1.1
= impedansi waveguide mode TE1.1

.............................. (7)

Dimana:

Sedangkan
sebagai [3]:

Jika waveguide berisi udara ( = udara


0). Sehingga
0), maka rugi-rugi dielektrik
rugi-rugi waveguide terjadi hanya karena bahan
dinding.
Rugi-rugi dinding waveguide, berkaitan
dengan jenis material diding waveguide dan
frekuensi kerja operasi f, dinyatakan dengan
[5]:

Gambar 3. Teori efisiensi antena

dengan:

Terminal input

Pin

Sehingga rumusan
dinyatakan dengan [10]:

................................... (9)

/
efisiensi

.. (13)
antena

mengurangi nilai ini. Throughput juga


merupakan bandwidth aktual yang
terukur pada suatu ukuran waktu tertentu
dalam suatu hari menggunakan rute
internet yang spesifik ketika sedang
melakukan download suatu file.

................... (14)

Bagaimanapun juga, efisiensi ini sulit


untuk dihitung secara tepat, karena daya radiasi
total Prad dan arus pada antena I sulit dihitung
secara tepat. Sehingga penentuan efisiensi
antena, pada umumnya dilakukan dengan cara
pengukuran eksperimental [3].
Persamaan 16, dapat dijadikan pendekatan
untuk menentukan efisiensi antena berbasis
waveguide yang di dindingnya dari material
tertentu. Berdasarkan Persamaan tersebut,
dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai
konduktivitas material dinding suatu antena,
maka semakin tinggi nilai efisiensi suatu
antena. Sebagai ilustrasi, jika antena tersebut
terbuat dari bahan dielektrik sempurna (w
0), maka nilai efisiensi e 0. Artinya antena
tersebut sama sekali tidak dapat meradiasikan
gelombang radio sesuai dengan yang
diharapkan. Sebaliknya, jika dinding antena
terbuat dari bahan super konduktor (w ),
maka nilai efisiensi e 100 %. Artinya antena
tersebut akan meradiasikan gelombang radio
dengan sempurna, tanpa rugi-rugi ohmik.

3.

METODOLOGI

3.1 Perencanaan Suatu Antena Horn


Dari rumus-rumus di atas, dapat
direncanakan suatu antena Horn Konikal yang
dapat bekerja secara optimum. Ada beberapa
ketentuan yang harus diperhatikan dalam
perencanaan antena tersebut :
1. Antena Horn ini dicatu dengan circular
waveguide (pandu gelombang
yang
berbentuk lingkaran) dengan ukuran
diameter d = 9 cm.
2. Antena Horn Konikal ini akan
direncanakan dalam keadaan optimum,
artinya ukuran dari antena ini mampu
menghasilkan gain yang maksimum.
3. Antena ini direncanakan mempunyai
direktivitas 18 dB.

2.4 Parameter QoS

3.2 Perancangan Antena Horn Konikal

QoS-Forum mendefinisikan QoS sebagai


ukuran kolektif atas tingkat layanan yang
disampaikan ke pelanggan, atau dengan kata
lain, sebagai suatu pengukuran tentang seberapa
baik jaringan dan merupakan suatu usaha untuk
mendefinisikan karakteristik dan sifat dari suatu
layanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
menentukan QoS dari suatu jaringan WLAN,
antara lain [7]:
1. Delay (ms) didefiniskan sebagai waktu
yang dibutuhkan untuk mengirimkan
data dari sumber (pengirim) ke tujuan
(penerima), sedangkan bandwidth adalah
kecepatan maksimum yang dapat
digunakan untuk melakukan transmisi
data antar computer pada jaringan IP
atau internet.
2. Jitter (ms), atau variasi dalam latency,
variasi delay yang terjadi akibat adanya
selisih waktu atau interval antar
kedatangan paket di penerima, variasivariasi dalam panjang antrian, dalam
waktu pengolahan data, dalam waktu
yang dibutuhkan untuk retransmisi data
(karena jalur yang digunakan juga
berbeda), dan juga dalam waktu
penghimpunan ulang paket-paket di
akhir perjalanan.
3. Throughput (kbps), yaitu kecepatan
(rate) transfer data efektif, yang diukur
dalam bps. Maka penggunaan sebuah
saluran secara bersama-sama juga akan

Untuk merencanakan suatu antena Horn


Konikal pada umumnya diinginkan yang
mempunyai direktivitas tertentu (Dc). Antena
ini dicatu dengan memakai pandu gelombang
lingkaran
(circular
waveguide)
yang
mempunyai diameter d = 9 cm. Sedangkan
obyek lain dari perencanaan ini adalah untuk
mendapatkan ukuran yang lainnya seperti L, ,
c, dan dm.
Untuk antena Horn Konikal yang
direncanakan dengan harga direktivitas tertentu
akan optimum ketika diameter bidang aperture
sama dengan pada Persamaan (4). Sedangkan
direktivitas antena Horn Konikal dapat
ditentukan dengan Persamaan (1). Dengan
menentukan harga direktivitas (Dc) yang telah
diketahui, maka ukuran keliling bidang
aperture C dapat dihitung nilainya.
Setelah didapat nilai direktivitas Dc,
diameter bidang aperture dm, dan keliling
bidang aperture C, maka nilai L, , dan c
dapat kita hitung.
Prosedur Perencanaan Antena Konikal :
Menentukan frekuensi kerja antena
sehingga
didapatkan
panjang
gelombang (), dan menentukan
ukuran waveguide.
Menentukan besarnya nilai direktivitas
Dc optimum yang diinginkan.
Mendapatkan nilai diameter bidang
aperture dm.
Mendapatkan nilai L, , d, dan c.

3.3 Pembuatan Antena Horn Konikal

4.1 Pengukuran Pola Radiasi

Dalam pembuatan antena, beberapa hal


yang perlu diperhatikan, yaitu bahan antena dan
teknik pembuatan antena.
Bahan yang diperlukan untuk membuat
suatu antena Horn Konikal ini diharapkan dapat
memberikan daya pancar radiasi gelombang
elektromagnetik yang cukup besar, sehingga
dibutuhkan pemilihan bahan yang cukup
memadai. Pada pembentukan antena Horn
Konikal ini dipilih dari 3 bahan yang berbeda,
yaitu seng, aluminium, dan tembaga.

Dalam pengukuran pola radiasi dilakukan


sebanyak dua kali untuk masing-masing antena.
Yaitu pola radiasi pada bidang-E dan pada
bidang-H. Dalam pengukuran ini harus
memperhatikan jarak pada proses pengukuran.
Dua antena yang merupakan bagian dari
link komunikasi di ruang bebas (free-space),
dengan jarak antar antena R, yang dianggap
jarak cukup jauh dan memenuhi syarat daerah
medan jauh (far-field).
Setelah pengukuran pola radiasi antena
Horn Konikal 2,4 GHz pada bidang-E dan
bidang-H selesai dilakukan, maka dapat
diketahui bentuk pola radiasi yang diperoleh
dari pengukuran level sinyal antena dan data
pengukuran tersebut setelah dinormalisasi.
Hasil dari pola radiasi antena Horn
Konikal tersebut dapat dilihat pada Gambar 5
dan Gambar 6 berikut :
1. Pola radiasi bidang-H (Vertikal)

3.4 Hasil Rancangan Antena Horn Konikal


Antena Horn Konikal yang telah dibuat
merupakan hasil dari perencanaan yang ada,
dapat dilihat pada gambar berikut ini :

250

(a)

(b)

(a)
250

(c)
Gambar 4. Antena Horn Konikal
(a) bahan seng
(b) bahan alumunium
(c) bahan tembaga

4.

PENGUJIAN DAN ANALISA

Sebelum dilakukan pengujian antena,


terlebih dahulu antena Horn Konikal yang telah
jadi dilakukan pengukuran untuk mengetahui
karakteristik dari antena tersebut meliputi pola
radiasi, penguatan (gain), dan direktivitas
(directivity) sehingga didapatkan efisiensi dari
masing-masing antena. Selanjutnya dilakukan
aplikasi download pada jaringan wireless 2,4
GHz. Parameter yang akan di ukur adalah
delay, jitter dan throughput.

(b)

250

240

(c)
Gambar 5. Plot pola radiasi bidang-H
(a)Antena Horn Konikal aluminium
(b)Antena Horn Konikal seng
(c)Antena Horn Konikal tembaga

2.

(c)
Gambar 6. Plot pola radiasi bidang-E
(a)Antena Horn Konikal aluminium
(b)Antena Horn Konikal seng
(c)Antena Horn Konikal tembaga
Dari gambar hasil pola radiasi diatas dapat
dilihat hasil pengukuran pola radiasi antena
Horn Konikal hasil rancangan pada dua kondisi,
yaitu pola radiasi bidang-E dan bidang-H.
Radiasi maksimum antena Horn Konikal terjadi
pada saat posisi 0. Hal ini disebabkan karena
level sinyal terbesar ada pada saat posisi antena
0 yang langsung menghadap lurus sejajar
dengan antena pemancar dalam hal ini adalah
Acccess Point. Kemudian ketika antena diputar
searah jarum jam sebesar tiap 10, level sinyal
yang ditangkap antena akan terus berkurang. Ini
karena posisi antena yang tidak tepat mengarah
pada antena pemancar Access Point. Pada saat
posisi antena 180, level sinyal yang ditangkap
sangatlah minim, karena antena Horn Konikal
sebagai antena penerima membelakangi Access
Point yang memancarkan sinyal. Dari
percobaan yang telah dilakukan, antena Horn
Konikal masih menangkap sinyal yang
dipancarkan oleh Access Point. Hanya saja
sinyal yang ditangkap levelnya sangatlah
rendah.
Ketiga antena tersebut sama-sama
memiliki pola radiasi yang terarah. Sehingga
dari gambar pola radiasi yang didapat dari hasil
pengukuran dapat dikatakan bahwa antena yang
dibuat telah sesuai dengan harapan karena
memiliki pancaran daya yang terarah.

Pola radiasi bidang-E (Horizontal)


240

(a)
240

4.2 Pengukuran Gain


Untuk menyatakan gain maksimum antena
Horn Konikal ini, dilakukan dengan cara
membandingkan dengan antena lain dari Access
Point (dengan metode pengukuran). Dalam
posisi ini antena penerima harus mempunyai
polarisasi yang sama dengan antena pada
Access Point dan selanjutnya ia diarahkan

(b)

Tabel 4. Directivity pada antena Horn Konikal

sedemikian rupa agar diperoleh daya output


maksimum.

Bahan Antena Horn


Konikal

No.
1.
2.
3.

Apabila pada antena access point sudah


diketahui gain maksimumnya, yaitu pada
frekuensi 2,4 GHz sebesar 2,15 dBi, maka dari
pengukuran diatas gain antena Horn Konikal
dapat dihitung dengan Persamaan [8]:

4.4 Perhitungan Efisiensi Antena


Efisiensi antena dapat dihitung dengan
menggunakan hasil pengukuran directivity dan
gain. Untuk menghitung efisiensi digunakan
Persamaan [6]:

(15)
Hasil pengukuran penguatan (Gain) antena hasil
rancangan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

No

1
2
3

Aluminium
Seng
Tembaga

100% ................................ (17)

Hasil pengukuran directivity antena hasil


rancangan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3. Hasil pengukuran gain


Level Penerimaan
Antena
USB
Horn
Adapter
Konikal
WiFi
(Pt)
(Ps)
(-dBm)
(-dBm)
-32
-44
-36
-44
30
44

18,37
18,37
18,37

Aluminium
Seng
Tembaga

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa


nilai dari parameter pada perancangan sangat
dipengaruhi oleh proses pembuatan dan kondisi
pada saat pengukuran. Sehingga terjadinya
error akan mempengaruhi hasil dari parameter
yang terukur.

Gambar 7. Pengukuran level daya pada


USB Adapter

Bahan
Antena
Horn
Konikal

Nilai
Directivity
(dB)

Gain
Horn
Konikal
(dB)

Tabel 5. Efisiensi pada antena Horn Konikal


Gain
(dB)
14,15

Direktivitas
(dB)
18,37

Efisiensi

Bahan
Antena
Aluminium

Seng

10,15

18,37

15,05 %

Tembaga

16,15

18,37

59,94%

No.

14,15
10,15
16,15

37,82 %

4.3 Pengukuran Directivity


Directivity suatu antena dapat diperkirakan
dengan menggunakan pola radiasi yang
dihasilkan pada pengukuran pola radiasi bidang
E dan bidang H. Persamaan untuk menghitung
directivity dapat menggunakan rumus [4]:
10 log

4.5 Pengujian Video Conference


Setelah melakukan pengukuran beberapa
parameter, antena Horn Konikal telah siap
digunakan untuk aplikasi video conference pada
jaringan
wireless
2,4
GHz
dengan
menggunakan software NetMeeting. Antena
Horn Konikal dipasang sebagai antena
penerima, sedangkan Access Point sebagai
pemancarnya. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui keoptimalan dari antena Horn
Konikal yang telah dibuat dalam aplikasi video
conference. Parameter yang akan diukur adalah
delay,
jitter
dan
throughput
dengan
menggunakan software wireshark. Pengukuran
ini dilakukan pengukuran selama 14 hari, dan
dalam sehari dilakukan pengambilan data
sebanyak 3 kali, yaitu pagi, siang, dan sore
(masing-masing selama 2-5 menit).

.................................................... (16)

dimana:

= sudut pada titik setengah daya


bidang H (derajat)
= sudut pada titik setengah daya
bidang E (derajat)

Sudut tersebut dapat dicari dengan


menggunakan gambar pola radiasi. Dengan
menandai titik -3 dB pada pola radiasi
kemudian menarik sudut pada titik tersebut. Ini
dilakukan untuk bidang E dan H. Sehingga dari
sudut yang didapat kita dapat mengukur
directivity.

sama, oleh karena itu nilai directivity yang


dihasilkan sama.
Pada pengukuran gain, harga faktor
penguatan pada antena bahan tembaga bernilai
16,15 dB, pada antena bahan alumunium
bernilai 14,15 dB, dan pada antena bahan seng
bernilai 10,15 dB. Hal ini disebabkan karena
nilai konduktivitas tembaga memiliki nilai
tertinggi di antara ketiganya, sedangkan nilai
konduktivitas seng adalah yang paling rendah.
Faktor attenuasi bergantung pada bahan yang
digunakan dan konduktivitas suatu bahan.
Karena pada antena horn gelombang
dipantulkan sepanjang dinding antena, maka
semakin tinggi nilai konduktivitas suatu bahan,
semakin baik bahan tersebut memantulkan
gelombang sehingga semakin rendah atenuasi
yang dihasilkan.
Pada perhitungan efisiensi antena, sesuai
dengan pendekatan pada Persamaan (16),
dimana semakin semakin tinggi nilai
konduktivitas material dinding suatu antena,
maka semakin tinggi nilai efisiensi suatu antena
antena tersebut. Oleh karena itu, dari hasil
perhitungan, efisiensi antena jika diurutkan dari
efisiensi yang tertinggi sampai yang paling
rendah adalah tembaga memiliki efisiensi
sebesar 59,94%, aluminium efisiensinya sebesar
37,82%, dan seng 15,05%. Hal tersebut sesuai
dengan nilai konduktivitas masing-masing
bahan, bahwa tembaga memiliki konduktivitas
tertinggi diantara aluminium dan seng.
Berdasarkan hasil pengukuran parameter
QoS, dapat dilihat bahwa peningkatan nilai
delay terjadi pada saat siang hari. Hal ini
dikarenakan pada saat tersebut adalah jam sibuk
orang melakukan kegiatan, dengan kata lain
throughput yang bisa digunakan semakin kecil.
Sehingga penyampaian data video conference
dari transmitter ke receiver, atau sebaliknya
mengalami
delay.
Delay
yang
besar
mengakibatkan gambar dan suara terlambat
diterima. Sehingga kualitas layanan (gambar
dan suara) menurun.

Tabel 6. Hasil pengujian video conference


Antena Horn Konikal Bidang-H
Bahan
Antena
Aluminium

Seng

Tembaga

Waktu
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore

Delay
(ms)
212,22
248,55
210,58
230,09
280,46
226,98
206,57
236,83
203,51

Jitter
(ms)
26,97
42,22
32,1
53,29
75,25
74,895
26,76
36,46
29,59

Throughput
(kbps)
36,28
34,07
36,64
34,78
37,35
37,28
36,83
35,86
37,93

Antena Horn Konikal Bidang-E


Bahan
Antena
Aluminium

Seng

Tembaga

Waktu
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore

Delay
(ms)
226,77
257,29
226,48
230,05
274,74
227,05
182,48
226,77
195,83

Jitter
(ms)
28,25
34,96
28,19
37,71
39,61
36,07
28,1
34,76
24,65

Throughput
(kbps)
36,49
36,53
35,64
35,59
34,5
35,62
36,53
36,72
37,78

Dari data hasil pengujian di atas dapat


dilihat bahwa Antena Horn Konikal yang dibuat
masih layak digunakan dalam aplikasi video
conference sesuai dengan standar ITU. Untuk
standar delay yang diijinkan dalam pelaksanaan
video conference adalah <150 ms dengan hasil
yang sangat baik, delay 150 ms 400 ms masih
dapat diterima dengan baik, dan >400 ms
dengan hasil yang sangat buruk dan tidak layak
untuk diadakan video conference. Untuk standar
jitter yang diijinkan oleh ITU adalah <75 ms.
Sedangkan Untuk standar throughput yang
diijinkan oleh ITU adalah 16 kbps 384 kbps.
Maka antena Horn Konikal yang telah dibuat
dapat digunakan untuk aplikasi video
conference sesuai dengan standar ITU yang
telah ditentukan.

4.6 Analisa
Berdasarkan gambar pola radiasi antena
Horn Konikal yang telah dibuat, dapat dilihat
bahwa ketiganya telah sesuai dengan yang
diinginkan, yaitu ketiga antena tersebut
mempunyai pancaran daya yang terarah. Antena
yang dihasilkan memilki ukuran dan bentuk
yang sama sehingga pola daya pancar yang
dihasilkan hampir sama. Dari pola daya pancar
tersebut untuk semua antena, dihasilkan HPBW
sebesar 25 pada bidang-H, dan 24 pada
bidang-E.
Pada pengukuran directivity, harga
directivity yang dihasilkan memiliki nilai yang
sama yaitu 18,37 dB. Nilai directivity suatu
antena bergantung pada daya pancar antena
tersebut. Pada antena hasil rancangan, antena
tersebut memiliki ukuran dan bentuk yang sama
sehingga daya pancar yang dihasilkan hampir

5.

KESIMPULAN

Berdasarkan pada hasil pengujian dan


analisa terhadap hasil yang didapatkan, dapat
diambil suatu kesimpulan, yaitu :
1) Proyek akhir ini menghasilkan bentuk
pola radiasi yang hampir sama,
menghasilkan HPBW sebesar 25 pada
bidang-H, dan 24 pada bidang-E.
2) Proyek
Akhir
ini
menghasilkan
direktivitas sebesar 18,37 dB untuk
ketiga antena.
3) Proyek
Akhir
ini
menghasilkan
penguatan (gain) untuk antena bahan
tembaga sebesar 16,15 dB, alumunium

sebesar 14,15 dB, dan untuk antena


bahan seng menghasilkan penguatan
(gain) sebesar 10,15 dB.
4) Proyek akhir ini menghasilkan efisiensi
antena untuk bahan tembaga sebesar
59,94%, antena bahan alumunium
sebesar 37,82%, dan untuk antena bahan
seng menghasilkan efisiensi sebesar
15,05%.
5) Pada implementasi antena Horn Konikal
pada WLAN 2,4 GHz untuk aplikasi
video conference, peningkatan nilai delay
terjadi pada siang hari. Nilai delay, jitter,
dan throughput yang terjadi sesuai
dengan standar ITU yang telah
ditetapkan, sehingga ketiga antena
tersebut masih layak digunakan untuk
video conference.

DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]

[3]

[4]
[5]
[6]
[7]

[8]
[9]

Balanis, C. A., Antenna Theory: Analysis and Design,


Third Edition, John Willey and sons, New York, 2005.
Prof. Dr. Motoo Miura, Ir. Muhamad Milchan,
Microwave Engineering (Radiowave Transmission
and Microwave), PENS-ITS, Surabaya, 1990.
Harry Ramza, Buku Antena dan Propagasi,
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA,
Jakarta.
Fawwaz T. Ulaby, Fundamental Of Applied
Electromagnetics, International Edition, 2001.
Joseph A. Edminister, Schaums Outline Of Theory
And Problems Of Electromagnetics Second Edition.
John D.Krous, Antenas, McGraw-Hill Book
Company, 1998.
Anugrah Robby, Analisa Kinerja Jaringan Jembatan
Timbang Online di Jawa Timur Menggunakan Radio
Link, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
2008.
Budi Aswoyo, Antena dan Propagasi, Surabaya,
2006.
Hidayanto Djamal, Sistem Komunikasi I Modul 14,
Pusat Pengembangan Bahan Ajar-UMB Universitas
Mercubuana.

HORN ANTENNA

TUGAS
MATA KULIAH TOPIK KHUSUS ANTENA

SUDIRMAN MALIANG
D41106007

KONSENTRASI TEKNIK TELEKOMUNIKASI DAN INFORMASI


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 ANTENA
Antena (antenna atau areal) adalah perangkat yang berfungsi untuk memindahkan
energi gelombang elektromagnetik dari media kabel ke udara atau sebaliknya dari
udara ke media kabel. Karena merupakan perangkat perantara antara media kabel dan
udara, maka antena harus mempunyai sifat yang sesuai (match) dengan media kabel
pencatunya.

1.2 KLASIFIKASI JENIS ANTENA


Terdapat banyak cara untuk mengklasifikasikan jenis antena di dalam sistem
komunikasi wireless. Salah satu model pengelompokan jenis antena yakni
berdasarkan konfigurasi struktur material penyusunnya. Berdasarkan sudut pandang
ini, antena dapat dibagi ke dalam beberapa jenis antena seperti wire, aperture,
microstrip, array, reflector, dan lens antenna.

1.3 HORN SEBAGAI ANTENA APERTURE


Aperture antenna atau antena apertur mungkin lebih dikenal oleh orang-orang awam
saat ini dibandingkan di masa lalu karena peningkatan kebutuhan untuk bentuk yang
lebih sederhana dari antena-antena dan peralatan frekuensi tinggi. Beberapa bentuk
dari antena apertur ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Antena-antena pada tipe
ini sangat bermanfaat untuk aplikasi pada pesawat dan kendaraan angkasa. Ditambah
lagi, antena-antena ini dapat dilapisi dengan sebuah bahan dielektrik untuk
melindunginya dari sejumlah pengaruh faktor kimiawi dan fenomena fisika lainnya
yang berasal dari lingkungan komunikasi wireless.

BAB II
ANTENA HORN

Antena horn merupakan antena yang paling banyak dipakai dalam sistem komunikasi
gelombang mikro. Antena ini ada dan mulai digunakan pada tahun 1800-an.
Antena ini mempunyai gain yang tinggi, VSWR yang rendah, lebar pita
(bandwidth) yang relatif besar, tidak berat, dan mudah dibuat.
2.1 JENIS-JENIS ANTENA HORN
Berdasarkan bentuk luasannya, antena horn diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu
antena horn persegi (rectangular horn antenna) dan antena horn kerucut (conical
horn antenna).

Gambar : Jenis-jenis antenna Horn

2.2 PENGGUNAAN ANTENA HORN


Antena horn digunakan secara luas, diantaranya sebagai elemen penerima untuk
radio

astronomi, tracking satelit, serta sebagai pencatu pada reflektor antena

parabola. Jenis antena horn yang sering dipakai dalam praktek adalah antena horn
piramida, karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan karakteristik dari antena horn,
khususnya mengenai pola radiasi, faktor penguatan dan keterarahannya. Horn
dapat

dianggap

sebagai

bumbung

(pandu)

gelombang yang

dibentangkan

sehingga gelombang-gelombang di dalam pandu tersebut menyebar menurut suatu


orde tertentu dan akan menghasilkan suatu distribusi medan melalui mulut horn
sehingga dapat dianggap sebagai sumber radiasi yang menghasilkan distribusi
medan melalui suatu luasan tangkap. Amplitudo dan fase medan pada bidang
mulut horn tergantung pada jenis dan mode gelombang catu yang masuk ke horn
melalui pandu gelombang dan tergantung pada sifat-sifat horn.
2.3 SIFAT-SIFAT ANTENA HORN
Karakteristik medan-medan radiasi misalnya: pola radiasi, faktor

penguatan,

keterarahan dan sebagainya sangat ditentukan oleh dimensi antena horn, seperti
panjang horn R (1 atau 2 ), lebar a dan tinggi b atau ukuran-ukuran aperture.
Penguatan maksimum dari antenna horn diuraikan dengan persamaan:
Gain Optimum Horn = 10 [0.808 + log a/ x log b/]
Sedangkan directivity untuk sebuah antenna horn adalah:
D = 4 Ae//2
= 2 ap Ap//2
Untuk antenna horn rectangular Ap = aEaH, diperoleh ap = 0.6, maka persamaan
menjadi:
D = 7.5 Ap/ 2

atau

D = 10 log 7.5 Ap/ 2 dBi

2.4 ANTENA HORN PERSEGI


Ada tiga macam antena horn persegi seperti ditunjukkan. Antena horn ini dicatu
melalui pandu gelombang yang dindingnya melebar. Untuk pandu gelombang
dengan mode dominan, bidang-E berada dibagian vertikal sedangkan bidang-H
berada dibagian horisontal. Antena horn yang mengalami pelebaran pada bidang
yang lebar serta bidang yang sempit tidak mengalami perubahan dinamakan antena
horn sektoral

bidang-H.

Dan

sebaliknya,

jika

antara

horn

ini mengalami

pelebaran pada bidang yang sempit dinamakan sebagai antena horn sektoral
bidang-E. Jika kedua bidang antena mengalami pelebaran maka disebut sebagai
antena horn piramida.

Gambar: Antena horn persegi


2.5 ANTENA HORN PIRAMIDA
Antena horn persegi yang paling populer adalah antena horn

jenis

piramida

(pyramidal horn antenna).


Antena horn piramidal merupakan antena celah (aperture antenna) berbasis saluran
pandu gelombang persegi (rectangular waveguide), sedangkan mulutnya melebar ke
arah bidang medan listrik (E) dan bidang medan magnet (H), sehingga bentuk akhir
antena ini menyerupai piramida.

2.6 KONSTRUKSI ANTENA HORN


Seperti yang ditunjukan gambar berikut, antena ini mengalami pelebaran pada
kedua sisinya. Ukuran dari penampang pandu gelombangnya adalah a dan b,
dengan a adalah bagian yang lebih lebar dari pada bagian b.

Gambar: Bentuk geometri antena horn piramida

Gambar

(a) Sektoral bidang-E

(b) Sektoral bidang-H

Dari gambar (bidang-E) secara geometris dimensi antena horn bisa dinyatakan
sebagai berikut:

e2 = 22 + * +
e = tan-1 *

Sedangkan untuk bidang-H dimensinya dapat dinyatakan dengan:


h2 = 12 + * +

h = tan-1 *

Dengan : Pe = Ph = Pp
a1, b1 = ukuran mulut antena horn
a, b = ukuran dari penampang pandu gelombang

Gambar: Antena Horn

2.7 POLA RADIASI ANTENA HORN


Pola radiasi suatu antena didefinisikan sebagi suatu pernyataan secara grafis yang
menggambarkan sifat radiasi suatu antena (pada medan jauh) sebagian fungsi dari
arah itu adalah pointing vektor, maka ia disebut sebagai Pola Daya (Power Pattern).

Gambar : Pola radiasi antenna horn

Untuk menentukan pola radiasi antena horn piramida sebagai fungsi dari medan
jauh, maka terlebih dahulu ditentukan medan listriknya pada luasan (mulut) horn.
Ey = E0 cos
Hx =

Zg = [
Dengan :

( ) ]

E0

= konstanta

= konstanta fase di dalam pandu gelombang

= impedansi intrinsic

Gambar: Deskripsi Pola Radiasi Antena Horn.

2.5. TEOREMA LUASAN TANGKAP (APERTURE)


Suatu antena yang mempunyai

struktur berupa

suatu

luasan yang

dilalui

gelombang elektromagnetik dinamakan antena luasan (aperture antenna). Antena


horn adalah merupakan salah satu contoh dari antena luasan. Konsep dari aperture
ditunjukkan sangat sederhana, yaitu dengan mempertimbangkan suatu antena
penerima. Andaikata bahwa antena penerima adalah suatu horn elektromagnetik
yang dibenamkan didalam medan dari suatu gelombang datar serba sama.
Ambilah vektor poynting, atau kerapatan power dari gelombang datar S watt
permeter persegi. Apabila horn menyerap semua power dari gelombang melalui
seluruh luasan a1, maka power P yang diserap dari gelombang adalah [2] :
P = S . A (watt)
Sehingga, horn elektromagnetik dapat dianggap sebagai suatu aperture. Power
total yang diserap dari gelombang yang melaluinya menjadi sebanding dengan
aperture atau luasan mulut.
2.6. WAVEGUIDE
Waveguide

adalah

saluran

tunggal

yang

berfungsi

untuk menghantarkan

gelombang elektromagnetik (microwave) dengan frekuensi 300 MHz 300 GHz.


Dalam kenyataannya, waveguide merupakan media transmisi yang berfungsi
memandu gelombang pada arah tertentu. Secara umum waveguide dibagi menjadi
tiga yaitu, yang pertama adalah Rectanguler Waveguide (waveguide dengan
penampang persegi) dan yang kedua adalah Circular Waveguide (waveguide
dengan penampang lingkaran), dan Ellips Waveguide

(waveguide

dengan

penampang ellips).
Dalam waveguide diatas mempunyai dua karakteristik penting, yaitu :
1. Frekuensi cut off, yang ditentukan oleh dimensi waveguide.
2. Mode gelombang yang ditransmisikan, yang memperlihatkan ada tidaknya
medan listrik atau medan magnet pada arah rambat.

Faktor-faktor dalam pemilihan waveguide sebagai saluran transmisi antara lain :


1. Band frekuensi kerja, tergantung pada dimensi.
2. Transmisi daya, tergantung pada bahan.
3. Rugi-rugi transmisi, tergantung mode yang digunakan.
Pemilihan waveguide sebagai pencatu karena pada frekuensi diatas 1 GHz, baik
kabel pair, kawat sejajar, maupun kabel koaksial sudah tidak efektif lagi
sebagai media transmisi gelombang elektromagnetik. Selain efek radiasinya yang
besar, redamannya juga semakin besar. Pada frekuensi tersebut, saluran transmisi
yang layak sebagai media transmisi gelombang elektromagnetik (microwave)
adalah Waveguide.
Waveguide merupakan konduktor logam (biasanya terbuat dari brass atau
aluminium) yang berongga didalamnya, yang
penampang

berbentuk

pada umumnya mempunyai

persegi (rectanguler waveguide) atau lingkaran (circular

waveguide). Saluran ini digunakan sebagai pemandu gelombang dari suatu sub
sistem ke sub sistem yang lain. Pada umumnya di dalam waveguide berisi
udara, yang mempunyai karakteristik mendekati ruang bebas.
Waveguide Persegi
Waveguide persegi adalah pandu gelombang dengan penampang persegi dan
model

ini

perencanaan,

sering

digunakan

analisa

dalam praktik.

Hal

ini

disebabkan

serta pembuatannya relatif mudah. Dalam

karena

analisanya,

waveguide persegi memberikan hasil yang sederhana, dengan menggunakan


koordinat siku-siku (kartesian). Dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar: Sistem koordinat untuk waveguide

2.7. PERKEMBANGAN ANTENA HORN


Ridge Horn
Perkembangan antenna horn sekarang ini begitu pesat terutama dalam memodifikasi
bentuknya. Hal ini disebabkan karena antenna horn konvesional memiliki
keterbatasan bandwidth. Selain itu para peneliti ingin mencari antenna yang
broadband, ultra wide band, dan antenna yang memiliki gain yang tinggi. Salah satu
dari modifikasi itu adalah penambahan ridge horn. Central Ridge memuati waveguide
dan itu bermanfaat untuk meningkatkan bandwidth dengan menurunkan frequency
cutoff dari mode dominan.

Pemandu rectangular dengan single ridge terlihat dalam gambar a dan double ridge
pada gambar b.
Sebenarnya

frequency cutoff dapat diturunkan dengan menempatkan material

dielektric dalam waveguide.Tapi ini tidak meningkatkan bandwidth bahkan dapat


menyebabkan losses yang meningkat.

Dengan membuat stuktur double ridge dari waveguide dalam pyramidal horn
seperti pada gambar.13-27 penggunaan bandiwtdth dari horn dapat ditingkatkan
berlipat-lipat. Dimana double ridge tersebut menggunakan coaxial feed dan diletakan
memotong salah satu bagian dari ridge. Double ridge juga menghasilkan single
polarization.

Selain double ridge terdapat metode lain dalam meningkatkan performansi


dari suatu antenna horn yaitu penggunaan quad-ridge square waveguide. Quad-ridge
square waveguide dapat menghasilkan dual orthogonal linear polarization dengan
menggunakan dual- coaxial feed dalam ridge-nya. Seperti pada gambar berikut.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Antena (antenna atau areal) adalah perangkat yang berfungsi untuk


memindahkan energi gelombang elektromagnetik dari media kabel ke udara
atau sebaliknya dari udara ke media kabel.

Berdasarkan sudut pandang ini, antena dapat dibagi ke dalam beberapa jenis
antena seperti wire, aperture, microstrip, array, reflector, dan lens antenna.

Antena horn merupakan antena yang paling banyak dipakai dalam sistem
komunikasi gelombang mikro karena mempunyai gain yang tinggi, VSWR
yang rendah, lebar pita (bandwidth) yang relatif besar, tidak berat, dan
mudah dibuat.

Dengan melihat pola radiasinya, antenna Horn digolongkan sebagai antenna


directional yang memancar dengan pengarahan.

Berdasarkan bentuk luasannya, antena horn diklasifikasikan dalam dua jenis


yaitu antena horn persegi (rectangular horn antenna) dan antena horn
kerucut (conical horn antenna).

Horn dapat dikembangkan menjadi antenna horn ridge untuk memperbesar


lebar band dari antenna horn konventional.

REFERENSI

Krous, John D. 1988. Antenas. McGraw-Hill Book Company.

Balanis, C.A. 2005. Antenna Theory Analysis and Design. 3rd Edition. New
Jersey : John Wiley and Sons.

Paramita, Rizqi. 2008. Desain dan Implementasi Antena Horn Piramidal


untuk Link Line Of Sight Wireless LAN 2,4 GHz. Surabaya : Politeknik
Negeri Elektronika Surabaya Institut Teknologi Sepuluh November.

www.wikipedia.org (keyword: horn antenna)

www.image.google.co.id (keyword: radiaton pattern horn antenna)

Sudirman Maliang
D41106007

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN ANTENA HORN DUAL PIRAMIDAL DUAL


POLARISASI UNTUK APLIKASI WIMAX DI INDONESIA
Rizal Julysar Putra Dhani[1], Budi Aswoyo[2]
1

Electrical Engineering Polytechnic Institute of Surabaya (EEPIS),


Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia
Kampus ITS Keputih Sukolilo, Surabaya, 60111
Telp. +62 (31) 594 7280 Fax +62 (31) 594 6114

Email: julysar_evin@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pola radiasi merupakan salah satu parameter antena yang sangat penting untuk diketahui dan difahami oleh
mahasiswa jurusan teknik telekomunikasi pada khususnya dan mahasiswa politeknik pada umumnya. Oleh karena itu
pada mata kuliah praktek antena, pengukuran pola radiasi sangat diutamakan.
Pada paper ini atau Tugas akhir ini menitikberatkan pada analisis karakteristik radiasi antena Horn. Mengingat
bahwa antena Horn merupakan antena mikrowave, yaitu antena yang memancarkan dan menerima gelombang
elektromagnetik untuk frekuensi 2.3 GHz.
Data-data yang dianalisis didapat dari simulasi dan pengukuran. Simulasi dilakukan dengan perangkat lunak
Matlab, sedangkan pengukuran yang dilakukan dengan cara yaitu mengukur Pola radiasi, Polarisasi, Gain, dan
Directivity yang dilengkapi beberapa antena Horn yang parameternya sudah diubah-ubah.
Dari hasil pengukuran dan analisa diperoleh maka kedua antena ini menghasilkan pola radiasi yang
directional, dimana pada antena yang pertama (corong ukuran 28,6 cm) nilai HPBW probe-1 (bidang-E) sebesar 38o,
serta nilai HPBW probe-1 (bidang-H) sebesar 48o. Sedangkan pada probe-2 (bidang-E) dan (bidang-H) memiliki nilai
HPBW yang sama yaitu sebesar 43o.

Kata Kunci : Antena Horn Piramidal, Frekuensi 2.3 GHz


1.

PENDAHULUAN
Antena horn piramidal umumnya dioperasikan pada
frekuensi gelombang mikro (microwave) di atas 1000
MHz. Antena ini merupakan antena celah (apature
antena) berbentuk piramida yang mulutnya melebar ke
arah bidang medan listrik (E) dan bidang magnet (H)
dengan berbasis saluran pandu gelombang persegi
(rectangular waveguide). Dalam implementasinya antena
ini digunakan untuk WIMAX dengan frekuensi 2,3 GHz
yang memiliki dua buah polarisasi.
Dalam optimasi antena horn piramida, untuk
menghasilkan direktivitas yang optimum, dibutuhkan
ukuran dari dimensi antena yang tepat, mulai dari dimensi
saluran pandu gelombang pencatunya, dimensi panjang
antena dari pencatu ke bidang aperture sampai dengan
dimensi pelebaran ke arah masing-masing bidangnya
(bidang E dan bidang H).
2.

TUJUAN
Penelitian pada Proyek Akhir ini bertujuan sebagai
berikut:
Mendesain dan membuat antena horn piramidal yang
memiliki dua buah polarisasi pada frekuensi 2,3 GHz.
Mengimplementasikan antena horn piramida yang
memiliki dua buah polarisasi pada WIMAX.

3.

RUMUSAN dan BATASAN MASALAH


Permasalahan yang akan diselesaikan pada proyek
akhir ini adalah merancang dan membuat antena horn
piramidal yang memiliki dua buah polarisasi untuk
aplikasi WIMAX serta mengukur karakteristik yang
meliputi pola radiasi dan gain.
Batasan masalah dalam proyek akhir ini yaitu:
Bahan yang digunakan adalah alumunium, dengan
ketebalan 1,7 mm.
Penguatan yang dihasilkan di atas 10 dB.
Jumlah yang dibuat 2 buah dengan ukuran yang berbeda.
4.

METODOLOGI
Perencanaan serta pembuatan antena Horn ini melalui
tahap-tahap sebagai berikut :

STUDI PUSTAKA
Dalam mempelajari bagaimana cara membuat antena
Horn dilakukan pendalaman bahan-bahan literatur yang
berhubungan dengan proyek akhir. Pendalaman literatur
dan pengambilan data dilakukan dengan cara bowsing di
intrenet, dari buku, atau meminjam buku dari
perpustakaan sesuai dengan proyek terkait.

EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Antena Horn
Antena Horn merupakan salah satu antena
microwave [1] yang digunakan secara luas, antena ini
muncul dan digunakan pada awal tahun 1800-an.
Walaupun sempat terabaikan pada tahun 1900-an, antena
Horn digunakan kembali pada tahun 1930-an. Antena
Horn banyak dipakai sebagai pemancar untuk satelit dan
peralatan komunikasi di seluuh dunia, antena Horn
merupakan bagian dari passed array gain antenna.
Penggunaan yang luas merupakan pengaruh dari
kemudahan pembuatan antena Horn dan kekuatan gain
yang besar serta kemampuan daya total dalam
memancarkan gelombang elektromagnetik sehingga
antena Horn ini banyak dipakai.
Antena Horn dapat dibagi menjasi tiga jenis yaitu:
1. Antena Horn sektoral bidang-E
2. Antena Horn sektoral bidang-H dan
3. Antena Horn Piramid

Dengan HPBW left dan HPBW right : titik-titik pada kiri


dan kanan dari main lobe dimana pola daya mempunyai
harga .
Seringkali dibutuhkan antena yang mempunyai pola
radiasi broad side atau end fire. Suatu antena broad side
adalah antena dimana pancaran utama maksimum dalam
arah normal terhadap bidang dimana antena berada.
Sedangkan antena end fire adalah antena yang pancaran
utama maksimum dalam arah paralel terhadap bidang
utama dimana antena berada. Namun demikian ada juga
antena yang mempunyai pola radiasi di mana arah
maksimum main lobe berada diantara bentuk broad side
dan end fire yang disebut dengan intermediate. Antena
yang mempnyai pola radiasi intermediate banyak
dijumpai pada phased array antenna.

(a)
Antena Horn sektoral
bidang-H

Antena Horn sektoral


bidang-E

(b)

(c)

Gambar 2.2 a. Broad Side


b. End Fire
c. Intermediate

Antena Horn

Gambar 2.1 Macam-macam


antenna horn
Piramid

Pola Radiasi Antena


Pola radiasi (radiation pattern) merupakan salah
satu parameter penting dari suatu antena. Parameter ini
sering dijumpai dalam spesifikasi suatu antena, sehingga
pembaca dapat membayangkan bentuk pancaran yang
dihasilkan oleh antena tersebut.
Dalam hal ini, maka pola radiasi disebut juga
pernyataan secara grafis yang menggambarkan sifat
radiasi dari antena (pada medan jauh) sebagai fungsi dari
arah dan penggambarannya dapat dilihat pada diagram
pola radiasi yang sudah diplot sesuai dengan hasil
pengukuran sinyal radiasi dari suatu antena.

Gain Antena
Gain antena (Gt) dapat dihitung dengan
menggunakan antena lain sebagai antena yang standard
atau sudah memiliki gain yang standard (Gs). Dimana
membandingkan daya yang diterima antara antena
standard (Ps) dan antena yang akan diukur (Pt) dari
antena pemancar yang sama dan dengan daya yang sama.

Side Lobe Level

Suatu contoh pola daya antena digambarkan dengan


koordinat polar. Lobe utama (main lobe) adalah lobe yang
mempunyai arah dengan pola radiasi maksimum.
Biasanya juga ada lobe-lobe yang lebih kecil
dibandingkan dengan main lobe yang disebut dengan
minor lobe. Lobe sisi (side lobe) adalah lobe-lobe selain
yang dimaksud.
Secara praktis disebut juga minor lobe. Side lobe
dapat berharga positif ataupun negatif. Pada kenyataannya
suatu pola mempunyai harga kompleks. Sehingga
digunakan magnitudo dari pola medan | F() | atau pola
daya | P() |
Ukuran yang menyatakan seberapa besar daya yang
terkonsentrasi pada side lobe dibanding dengan main lobe
disebut Side Lobe Level (SLL), yang merupakan rasio
dari besar puncak dari side lobe terbesar dengan harga
maksiumum dari main lobe. Side Lobe Level (SLL)
dinyatakan dalam decibel (dB), dan ditulis dengan rumus
sebagai berikut :

HPBW
HPBW adalah sudut dari selisih titik-titik pada
setengah pola daya dalam main lobe, yang dapat
dinyatakan dalam rumus sebagai berikut :
HPBW = | HPBW left - HPBW right |

SLL = 20Log

F SLL
Fmaks

dB

Dengan :
F(SLL)
: nilai puncak dari side lobe terbesar

EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

F(maks)

: nilai maksimum dari main lobe

PERANCANGAN ANTENA HORN

Antena horn ini beroperasi pada frekuensi 2,3 GHz.


Disini untuk proses perancangan ini yang pertama kali
yang dilakukan adalah merancang dimensi waveguide
yaitu dimensi a dan b. Penekanan tersebut adalah
memiliki polarisasi ganda yaitu polarisasi linier horizontal
dan vertikal. Karena memiliki dua buah polarisasi dimensi
a dan b yang sama sehingga menyebabkan karakteristik
antara bidang-E dan bidang-H yang hampir sama.
Untuk mengetahui berapa besar dimensi a yang di
gunakan maka kita melihat tabel yang merupakan standart
internasional tentang waveguide. Seperti yang di
tunjukkan pada tabel 1. di dalam tabel tersebut terdapat
dua dimensi yaitu waveguide bagian dalam dan juga
bagian luar, itu digunakan bila terdapat dimensi luar dan
dalam karena harus di gabung dengan peralatan yang
lainnya, jika tidak yang dibutuhkan hanya dimensi
dalamnya saja.

Perancangan Dimensi antena Berdasarkan


Perhitungan
Untuk mencari nilai dari panjang gelombang maka
selanjutnya mencari nilai dari panjang gelombang g (g)
dengan menggunakan rumus sebagai berikut [1].
................................................. (1)
Coupling daya terhadap antena ada 2 buah, coupling
vertikal dan coupling horisontal, dengan jarak g
terhadap dinding short circuited. Sedangkan dari coupling
daya menuju ke pelebaran mulut antena dengan jarak
g.

Besar daripada panjang Ae ditunjukkan pada persamaan 4


sebagai berikut:
Ae = 2 = 26 cm .....................................................(4)
Besar daripada panjang Ah ditunjukkan pada persamaan 5
sebagai berikut:
Ah = 2 = 26 cm .....................................................(5)
Dimensi pelebaran antena 2 dengan panjang R=3.
Besarnya panjang R ditunjukkan pada persamaan 6
sebqgai berikut:
R = 3 = 39 cm .....................................................(6)
Besarnya panjang Ae ditunjukkan pada persamaan 6
sebqgai berikut:
Ae = 3 = 39 cm ........................................................(7)
Besar daripada panjang Ah ditunjukkan pada persamaan 8
sebagai berikut:
Ah = 3 = 39 cm .....................................................(8)
Maka hasil dari kedua dimensi tersebut dapat di lihat
pada gambar 2.5 dan 2.6. Dan ternyata berdasarkan
perhitungan dimensi tersebut tidak bisa menghasilkan
sesuai dengan harapan, dalam arti belum optimum baik
gain maupun direktivitasnya. Oleh karena itu perlu
dilakukan perancangan dimensi pelabaran mulut antena
horn piramidal menggunakan
simulasi program yang di buat dengan
menggunakan MATLAB.

..........................................(2)
Untuk dimensi pelebaran mulut dari pada antena horn
membuat dua buah dimensi yang digunakan untuk
perbandingan yaitu dengan panjang dari R = 2 dan R =
3. Untuk nilai daripada Ae dan Ah, di karenakan memiliki
dua buah polarisasi selain dimensi weveguide a dan b
yang sama maka berlaku juga pada Ae dan Ah nilainya
juga sama karena karakteristik antara bidang-E dan
bidang-H hampir mendekati sama

Gambar 2.5 Dimensi antena horn 1

Dimensi pelebaran antena 1 dengan panjang R=2.


Besarnya panjang R ditunjukkan pada persamaan 3
sebagai berikut:
R = 2 = 26 cm .......................................................(3)
Gambar 2.6 Dimensi antena horn 2
EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

PENGUKURAN POLA RADIASI ANTENA


Pengukuran pola radiasi dilakukan empat kali untuk
masing-masing antena. Dimana masing-masing antena
terdiri dari dua probe (probe 1 dan probe 2) yang meliputi
bidang-E dan bidang-H. Didalam pengukuran pola radiasi
antena horn ini akan digunakan sebagai aplikasi WIMAX
yang frekuensinya 2,3 GHz.
Gambar 2.8 Pemasangan di ruang Chamber

3.

Gambar 2.7 Set up pengukuran pola radiasi


Dua antena yang terpasang di dalam ruang chamber
dengan jarak antar antena R, yang dianggap jarak cukup
jauh dan memenuhi syarat daerah medan jauh (far-field).
Peralatan yang digunakan pada pengukuran pola
radiasi ini diantaranya adalah:
Antena horn piramidal dual polarisasi yang telah
kita buat.
Antena horn sebagai pemancar.
Connector Coaxial.
Spectrum Analyzer.
SSG
Adapun langkah-langkah dalam melakukan
pengukuran pola radiasi antena adalah sebagai berikut :
1. Memasang antena horn pemancar (Tx) dengan
menggunakan SSG sesuai dengan polarisasi
yang ada di bagian SSG.

Gambar 2.8 Pemasangan antena


(a) Antena Tx, dan
(b) SSG

2.

Untuk proses pengukuran, di ruang chamber di


fungsikan untuk mengukur dari antena penerima ke
antena pemancar agar tidak terjadi pantulan.

Menyambung antara antena penerima (Rx)


dengan spectrum analyzer yang disambungkan
menggunakan connector coaxial.

Gambar 2.9 Pemasangan antena Rx dan spektrum analyzer

4.

Sambungkan kabel coaxial ke spektrum analyzer


dan SSG
digunakan untuk membangkitkan
sinyal. Sinyal tersebut akan dipancarkan
menggunakan antena standart (Tx) dan akan
diterima oleh antena penerima yaitu antena yang
dibuat sebagai (Rx) yang hasilnya didisplay di
spectrum analyzer.
5. Dilakukan pengukuran pada antena R=2=28,6
cm.
6. Diukur bidang-H pada saat probe 1, sedangkan
untuk mendapatkan bidang-E maka posisi antena
Rx harus sejajar dengan antena pada Tx agar
polarisasinya menjadi berubah yang semula
vertikal menjadi horisontal. Pengukurannya dari
00 sampai 3600.
7. Diukur bidang-H pada saat probe 2, sedangkan
untuk mendapatkan bidang-E maka posisi antena
Rx harus sejajar dengan antena Tx agar
polarisasinya menjadi berubah yang semula
vertikal menjadi horisontal. Pengukurannya dari
00 sampai 3600.
8. Untuk
Antena
yang
kedua
dengan
R=3=35,1cm, sistem pengukurannya sama pada
langkah 6 dan 7.
Setelah melalui langkah-langkah pengukuran pola
radiasi antena horn piramidal 2,3 GHz pada bidang E dan
H pada probe 1 dan probe 2, maka dapat diketahui bentuk
pola radiasi yang diperoleh dari pengukuran level sinyal
antena dan data pengukuran tersebut dinormalisasi. Data
hasil pengukuran serta normalisasi selengkapnya dapat
dilihat pada bab lampiran. Berikut ini dapat dilihat
gambar pola radiasi yang didapat dari hasil pengukuran.

EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

1.

Pola radiasi bidang-H probe 1 (R=2=28,6 cm)

2.

Pola radiasi bidang-E probe 1 (R=2=28,6 cm)

Pola radiasi bidang-H probe 1 (R=3=35,1 cm)

5.

6.

Pola radiasi bidang-H probe 2 (R=3=35,1 cm)

7.
3.

Pola radiasi bidang-E probe 1 (R=3=35,1 cm)

Pola radiasi bidang-H probe 2 (R=2=28,6 cm)

8.

Pola radiasi bidang-E probe 2 (R=3=35,1 cm)

4. Pola radiasi bidang-E probe 2 (R=2=28,6 cm)

Gambar 2.10 (1, 2, 3, 4,5,6,7,8) Gambar Pengukuran Pola


Radiasi Antena Horn Piramida
EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

PENGUKURAN GAIN
Untuk menyatakan gain maksimum antena horn
piramidal ini dengan cara membandingkan dengan antena
lain dari dipole yang dipakai sebagai coupling antena
(dengan metode pengukuran). Dalam posisi ini antena
penerima harus mempunyai polarisasi yang sama dengan
antena pada dipole dan selanjutnya ia diarahkan
sedemikian rupa agar diperoleh daya output maksimum.
Didalam pengukuran gain
antena horn ini akan
digunakan sebagai aplikasi WIMAX yang frekuensinya
2,3 GHz.

Gambar 2.11 Set up pengukuran gain


(a) Set up pengukuran gain yang diterima oleh
antena standard
(b) Set up pengukuran gain yang diterima oleh
antena yang dibuat
Untuk hasil yang didapat dari pengukuran gain dapat
dilihat pada lembar lampiran.
Gain = Antena (dBm) Antena Standart (dBm) + 9.64
(dB).......(9)
Dari hasil pengukuran faktor penguatan (Gain)
antena hasil rancangan dapat dilihat pada lampiran, harga
faktor penguatan pada tabel tersebut bervariasi yang
nilainya tergantung pada faktor attenuasi pada attenuator,
temperatur (kondisi ruangan dan pengaruh benda-benda
disekitarnya. Sehingga sulit untuk dicari nilai yang tepat).
Pengukuran untuk mendapatkan faktor penguatan
antena horn tersebut diatas cukup sulit dilakukan untuk
mendapatkan harga yang tepat sesuai dengan
perencanaan, hal ini disebabkan :
Radiasi sinyal yang dipancarkan sangat peka
terhadap lingkungan sekitarnya, karena sinyal
akan mengalami attenuasi di ruang chamber dan

dipantulkan atau diserap oleh benda-benda di


ruangan,
juga
bahan
yang
digunakan
mempengaruhi daya pancarnya.
Gelombang pantul yang cukup besar, karena
bendabenda disekitar pengukuran.
Setting alat pada saat pengukuran sulit
dipertahankan ketepatannya (selalu berubah)

PENGUKURAN POLARISASI
Pada pengukuran polarisasi ini sama dengan
pengukuran Polaradiasi dimana dilakukan dua kali untuk
masing-masing antena. Dimana masing-masing antena
terdiri dari dua probe (probe 1 dan probe 2) yang meliputi
bidang-E dan bidang-H.
Dua antena yang terpasang di dalam ruang chamber
dengan jarak antar antena R, yang dianggap jarak cukup
jauh dan memenuhi syarat daerah medan jauh (far-field).
Untuk proses kerjanya akan di jelaskan sebagai berikut:
1. Pada antena pemancar (Tx) dan antena penerima
(Rx) ini diletakkan dengan secara sejajar.
2. Pada antena penerima (Rx) pada probe-1 posisi
vertikal, maka pada sisi pemancar (Tx) posisi
vertikal
3. akan didapatkan nilainya sebesar = -36,8 dBm.
4. Pada antena penerima (Rx) pada probe-1 posisi
vertikal, maka pada sisi pemancar (Tx) posisi
horizontal akan didapatkan nilainya sebesar = 43,2 dBm.
5. Maka antena pada saat Probe-1 dicatu akan
berpolarisasi vertikal, sedangkan.
6. Pada antena penerima (Rx) pada probe-2 posisi
horizontal, maka pada sisi pemancar (Tx) posisi
vertikal akan didapatkan nilainya sebesar = -44,4
dBm.
7. Pada antena penerima (Rx) pada probe-2 posisi
horizontal, maka pada sisi pemancar (Tx) posisi
horizontal akan didapatkan nilainya sebesar = 37 dBm.
8. Maka antena pada saat probe-2 dicatu akan
berpolarisasi horizontal.
PENGUKURAN DIRECTIVITY
Directivity suatu antena dapat diperkirakan
dengan menggunakan pola radiasi yang dihasilkan
pada pengukuran pola radiasi bidang E dan bidang H.
Persamaan untuk menghitung
directivity dapat
menggunakan :
(10)
Sudut tersebut dapat dicari dengan menggunakan
gambar pola radiasi. Dengan menandai titik -3 dB
pada pola radiasi kemudian menarik sudut pada titik
tersebut. Ini dilakukan untuk bidang E dan H.

EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Sehingga dari sudut yang didapat kita dapat


mengukur directivity.
ANTENA HORN PROBE-1 (R=2=28,6 cm)

4
48 0.38 0

41.253
22,61
1.824 0

D 13,54dB

(Simulasi Directivity) (Pengukuran Directivity)


%error =
x 100%
(Simulasi Directivity)
.....................
..(3.3)
%ERROR
ANTENA
(R=2=28,6 cm)

4
430.430

41.253
22,31
1.849 0

D 13,48dB
ANTENA HORN PROBE-1 (R=3=35,1 cm)

4
D 0 0
34 .30

41.253
40,44
1.020 0

X 100%
14,68 dB
114

=
14.68
= 7,76%
%ERROR
ANTENA
(R=2=28,6 cm)

ANTENA HORN PROBE-2 (R=3=35,1 cm)

4
42 0.30 0

41.253
32,74
1.260 0

D 15,15dB
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa nilai dari
parameter pada perancangan sangat dipengaruhi oleh
proses pembuatan dan kondisi pada saat pengukuran.
Sehingga terjadinya error akan mempengaruhi hasil
dari parameter yang terukur.

HORN

PROBE-2

14,68 dB 13,48 dB
%error =

X 100%
14,68 dB
120

=
14,68
=

D 15,86dB

PROBE-1

14,68 dB 13,54 dB
%error =

ANTENA HORN PROBE-2 (R=2=28,6 cm)

HORN

8,17%

%ERROR
ANTENA
(R=3=35,1 cm)

HORN

PROBE-1

16,40 dB 15,86 dB
%error =

X 100%
16,40 dB
54

=
16,40
= 3,29 %

%ERROR
ANTENA
(R=3=35,1 cm)

HORN

PROBE-2

16,40 dB 15,15 dB
EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

%error =

X 100%

16,40 dB

125
=

Sinyal yang di tangkap oleh antena terdisplay


oleh spectrum analyzer berubah-ubah.
Selain itu antena horn tidak presisi dilihat dari
hasil rancangan baik kesimetrisan maupun
kehalusan dalam pembuatannya.

16,40
= 7,62 %
ANALISA
Setelah melakukan semua perancangan, pembuatan,
dan percobaan, maka dapat dianalisa bahwa antena Horn
merupakan antena yang mempunyai sifat pancaran radiasi
yang directional
yaitu : Antena yang
pancaran
radiasinya mengarah pada arah tertentu. Adapun dari hasil
pengukuran mempunyai pola radiasi yang directional
tetapi agak tidak presisi terpusat, hal ini dikarenakan
karena adanya sedikit ketidak presisian suatu antena Horn
yang diukur.
Proyek akhir ini merupakan salah satu cara
pengembangan antenna horn yang berfrekuensi 2,3 GHZ
yang dimiliki oleh PENS-ITS. Antena Horn yang telah
dirancang dari hasil proyek akhir ini dapat dipakai untuk
menambah wawasan mengenai antena horn dengan
frekuensi 2,3 GHZ di jurusan telekomunikasi PENS-ITS.
Sedangkan pada aplikasi WIMAX dapat dianalisa
bahwa antena ini adalah antena horn yang frekuensi
WIMAX adalah frekuensi 2,3 GHz, dari antena yang

KESIMPULAN
Dari keseluruhan isi yang ada pada Proyek Akhir ini,
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Antena Horn merupakan antena yang
mempunyai sifat yang directional dalam
memancarakan radiasi yaitu, pacaran
radiasinya mengarah pada arah tertentu.
Pada kedua antena ini menghasilkan pola
radiasi yang directional, dimana pada antena
yang pertama (corong ukuran 28,6 cm) nilai
HPBW probe-1 (bidang-E) sebesar 38o, serta
nilai HPBW probe-1 (bidang-H) sebesar 48o.
Sedangkan pada probe-2 (bidang-E) dan
(bidang-H) mimiliki nilai HPBW yang sama
yaitu sebesar 43o.
Pada kedua antena ini, dapat menghasilkan
penguatan (gain) yang optimum diatas 10
dB, pada masing-masing probenya baik
pada saat posisi vertikal dan juga pada saat
posisi horizontal.

[1]

diukur setiap stepnya, yaitu setiap 2 . lalu kemudian akan


digambarkan setiap derajatnya itu dengan pola radiasi
antena yang diukur. Misalnya :

[2]

Collin, R.e., Antennas and Radiowave


Propagation, McGraw-Hill, New York,
1985.

[3]

Fawwaz, T.Ulaby, Fundamental of Applied


Electromagnetics, 2001 Ed., Printice Hall
International, Inc., 2001.

[4]

Ishimaru, A., Electromagnetic Wave


propagation, Radiation and Scattering,
Prentice Hall, Upper Saddle River, New
York, 1991.

[5]

Kraus, J.D, Antennas, 2th ed., McGraw-Hill,


New York, 1988.

[6]

Sander,
K.F.
and
G.A.L.
Reed,
Transmisssion
and
Propagation
of
Electromagnetic Wave, 2th ed, Cambridge
University press, Cambridge, England, 1986

[7]

Stutzman, W.L and G.A Thiele, Antenna


Theory and Design, John Wiley & Sons,
New York, 1981.

Antena Horn akan mempunyai pola radiasi antena


yang directional atau terarah ke arah tertentu.

Sedangkan untuk antena yang lainnya akan


mengikuti pola radiasi yang sesuai dengan parameter
dan jenis dari suatu antena yang diukur.
Dari pengujian parameter-parameter antena tersebut
bahwa:
Radiasi sinyal yang dipancarkan sangat peka
terhadap lingkungan sekitarnya, karena sinyal
akan mengalami attenuasi di ruang chamber dan
dipantulkan atau diserap oleh benda-benda di
ruangan,
juga
bahan
yang
digunakan
mempengaruhi daya pancarnya.
Gelombang pantul yang cukup besar, karena
benda-benda disekitar pengukuran.
Setting alat pada saat pengukuran sulit
dipertahankan ketepatannya (selalu berubah).
Keadaan chamber yang kurang ideal.
Radiasi antena yang dipancarkan mengalami
attenuasi, pantulan dan serapan sebelum ke
antena.

DAFTAR PUSTAKA
Balanis, C.A., Antena Theory: Analysis and
Design, Harper & Row, New York, 1982.

EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

[8]

http://www.ainfoinc.com/en/aboutus.asp

[9]

www.rfcafe.com/.../rectangular_waveguide
_30.gif

[10]

Miura Mooto and milchan Muhamad,


Transmisi
Gelombang
Radio
dan
Microwave, ITS-Surabaya, 1990.

[11]

Balanis. Constantine A., Antenna Theory:


Analysis and Design, 3th ed, John Willey
and sons, New York, 2005.

[12]

www.bellcommspain.com

[13]

http://id.wikipedia.org/wiki/Frekuensi

[14]

Risdiyanto, Idung, Spektral Gelombang


Elektromagnetik, pdf.

[15]

http://id.wikipedia.org/wiki/frekuensi_radio

EEPIS-ITS
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB II
TEORI PENUNJANG

2.1 Umum
Pada bab ini akan diberikan teori dasar yang melandasi permasalahan dan
penyelesaian yang dibahas dalam tugas akhir ini. Teori dasar yang diberikan
meliputi : terminologi antena, yang memberikan definisi dan klasifikasi tentang
antena yang telah berkembang sampai saat ini, waveguide. Selanjutnya, diberikan
teori tentang antena horn dan parameter-parameternya.

2.2 Terminologi Antena


Antena (antenna atau areal) didefinisikan sebagai suatu struktur yang
berfungsi sebagai media transisi antara saluran transmisi atau pemandu
gelombang dengan udara, atau sebaliknya. Karena merupakan perangkat perantara
antara saluran transmisi dan udara, maka antena harus mempunyai sifat yang
sesuai (match) dengan saluran pencatunya.
Secara umum, antena dibedakan menjadi antena isotropis, antena
omnidirectional, antena directional, antena phase array, antena optimal dan
antena adaptif. Antena isotropis (isotropic) merupakan sumber titik yang
memancarkan daya ke segala arah dengan intensitas yang sama, seperti
permukaan bola. Antena ini tidak ada dalam kenyataan dan hanya digunakan
sebagai dasar untuk merancang dan menganalisa struktur antena yang lebih
kompleks. Antena omnidirectional adalah antena yang memancarkan daya ke
segala arah dan bentuk pola radiasinya digambarkan seperti bentuk donat

(doughnut) dengan pusat berimpit. Antena ini ada dalam kenyataan dan dalam
pengukuran sering digunakan sebagai pembanding terhadap antena yang lebih
kompleks. Misalnya, suatu antena dengan gain 10 dBi (kadang-kadang dinyatakan
dalam dBic atau disingkat dB saja). Artinya antena ini pada arah tertentu
memancarkan daya 10 dB lebih besar dibanding dengan antena isotropis. Ketiga
jenis antena diatas merupakan antena tunggal dan bentuk pola radiasinya tidak
dapat berubah tanpa merubah fisik antena atau memutar secara mekanik dari fisik
antena.
Selanjutnya adalah antena phase array yang merupakan gabungan atau
konfigurasi array dari beberapa antena sederhana dan menggabungkan sinyal yang
menginduksi masing-masing antena tersebut untuk membentuk pola radiasi
tertentu pada keluaran array. Setiap antena yang menyusun konfigurasi array
disebut dengan elemen array. Arah gain maksimum dari antena phase array dapat
ditentukan dengan pengaturan fase antar elemen-elemen array.
Antena optimal merupakan suatu antena dimana penguatan (gain) dan fase
relatif setiap elemennya diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan kinerja
(performance) pada keluaran yang seoptimal mungkin. Kinerja yang dimaksud
antara lain signal to interference ratio, SIR atau signal to interference plus noise
ratio, SINR. Optimasi kinerja dapat dilakukan dengan menghilangkan atau
meminimalkan

penerimaan

sinyal

yang

dikehendaki

(interferensi)

dan

mengoptimalkan penerimaan sinyal yang dikehendaki.


Antena adaptif merupakan pengembangan dari antena phase array maupun
antena optimal, dimana arah gain maksimum dapat diatur sesuai dengan gerakan
dinamis (dinamic fashion) obyek yang dituju. Antena dilengkapi dengan digital

signal processor (DSP), sehingga secara dinamis mampu mendeteksi dan melacak
berbagai macam tipe sinyal, meminimalkan interferensi serta memaksimalkan
penerimaan sinyal yang diinginkan.

2.3 Teori Tentang Antena


Yang

dimaksud

dengan

antena

adalah

perangkat

yang

berfungsi

memancarkan atau menerima gelombang elektromagnetik ke atau dari udara.


Dalam

perencanaan

antena,

harus

mempertimbangkan

beberapa

faktor,

diantaranya adalah arah radiasi yang diinginkan, polarisasi yang dimiliki,


frekuensi kerja dan bandwith (lebar bidangnya).

Gambar 2.1 Blok Sistem Antena

Untuk antena microwave, terutama pada frekuensi di atas 1 GHz penggunaan


waveguide, antena luasan, antena microstrip, dan antena celah akan lebih efektif
dibanding dengan antena kawat. Karena pada umumnya antena yang demikian
mempunyai sifat pengarahan yang baik, gain yang relatif tinggi.

Gambar 2.2 Ilustrasi Kerja Antena

2.3.1 Parameter-parameter Antena


Disini akan dibahas parameter-parameter yang digunakan dalam sistem
antena. Parameter yang selalu digunakan dalam sistem antena adalah pola radiasi,
direktivitas dan gain, bandwith, HPBW.

2.3.1.1 Pola Radiasi


Pola radiasi suatu antena didefinisikan sebagi suatu pernyataan secara
grafis yang menggambarkan sifat radiasi suatu antena (pada medan jauh) sebagi
fungsi dari arah itu adalah pointing vektor, maka ia disebut sebagai Pola Daya
(Power Pattern)

Gambar 2.3 Sifat Radiasi

10

Gambar 2.4 Ilustrasi Pola Radiasi

Gambar 2.5 Keterangan Pola Radiasi

Beam utama (main beam) atau lobe utama (main lobe) adalah pancaran
utama dari pola radiasi suatu antena.

Lobe kecil (minor lobes) adalah pancaran-pancaran kecil selain pancaran


utama dari pola radiasi antena.

Lobe sisi (side lobes) adalah pancaran-pancaran kecil yang dekat dengan
pancaran utama dari pola radiasi antena.

11

Lobe belakang (back lobe) adalah pancaran yang letaknya berlawanan


dengan pancaran utama dari pola radiasi antena.

Titik setengah daya (Half power point) adalah suatu titik pada pancaran
utama yang mempunyai nilai daya separuh dari harga maksimumnya.

Half power beam width (HPBW) adalah lebar sudut yang memisahkan dua
titik setengah daya pada pancaran utama dari pola radiasi.

Front to back ratio adalah perbandingan antara daya maksimum yang di


pancarkan pada lobe utama (main lobe) dan daya pada arah belakangnya.

2.3.1.1.1 Bidang Pola Radiasi


Penamaan bidang pola radiasi antena :

Bidang elevasi = pola radiasi antena yang diamati dari sudut elevasi.

Bidang azimuth = pola radiasi antena yang diamati dari sudut azimuth.

Bidang E = bidang medan listrik dari pola radiasi antena.

Bidang H = bidang medan magnet dari pola radiasiantena.

Gambar 2.6 Bidang Elevasi dan Azimuth

12

Gambar 2.7 Pola Radiasi dipole /2


2.3.1.2 Half Power Beam Width (HPBW)
Parameter lain didalam pola daya adalah half power beam width (HPBW),
yang merupakan lebar sudut yang memisahkan antara dua titik pada beam utama
dari suatu pola daya, dimana daya pada dua titik itu sama dengan separuh dari
daya maksimumnya
HP = HP left HP right ..................................................................(2.1)
Dimana HP left dan HP right adalah titik-titik disebelah kanan dari maksimum
beam utama dimana harga pola daya pada kedua titik itu sama dengan separuh
dari harga maksimumnya. ellipsnya sama dengan nol sehingga perputaran ujung
vector medannya seolah-olah hanya bergerak maju mundur pada garis satu saja,
maka keadaan itu membuat polarisasi ellips munjadi polarisasi linear. Polarisasi
inilah yang dalam kemungkinannya bisa berupa polarisasi linear dengan arah
vertikal, polarisasi linear dengan arah horisontal ataupun polarisasi linear antara
kedua posisi itu (miring).

2.3.1.3 Bandwith Antena


Pemakaian sebuah antena didalam sistem pemancar atau penerima selalu
dibatasi oleh daerah frekuensi kerjanya. Pada range frekuensi kerja tersebut antena

13

dituntut harus dapat bekerja dengan efektif agar ia dapat menerima atau
memancarkan gelombang yang mengandung band frekuensi tertentu. Pengertian
harus dapat bekerja dengan efektif disini adalah distribusi arus dan impedansi dari
antena pada range frekuensi tersebut benarbenar belum banyak mengalami
perubahan yang berarti. Sehingga pola radiasi yang sudah direncanakan serta
VSWR yang dihasilkannya masih belum keluar dari batas yang diijinkan. Daerah
frekuensi kerja dimana antena masih dapat bekerja dengan inilah yang dinamakan
Bandwith antena. Suatu misal, sebuah antena bekerja pada frekuensi tengah
sebesar fc, namun ia masih dapat bekerja dengan baik pada frekuensi f1 (dibawah
fc) sampai dengan fu (diatas fc), maka lebar Bandwith dari antena itu adalah (fu
f1). Tetapi apabila dinyatakan dalam prosen, bandwith antena tersebut adalah :

Bandwith yang dinyatakan dalam prosen seperti ini biasanya digunakan untuk
menyatakan bandwith antena-antena yang memiliki band sempit (narrow band ).
Sedangkan untuk menyatakan bandwith antena band lebar (broad band) biasanya
digunakan definisi ratio perbandingan antar batas frekuensi atas dan frekuensi
bawah .

Suatu antena digolongkan sebagai antena broadband, apabila impedansi dan pola
radiasi dari antena itu tidak mengalami perubahan yang berarti untuk fu/f12.
batasan yang digunakan untuk mendapatkan fu dan f1 adalah ditentukan oleh
harga VSWR = 2

14

Tabel 2.1 Contoh Penampilan Lebar band Frekuensi

Bandwith antena sangat dipengaruhi oleh luas penampang konduktor yang


digunakan serta susunan fisiknya (bentuk geometrisnya). Misalnya pada antena
dipole, antenna tersebut akan mempunyai bandwith yang semakin lebar apabila
konduktor yang digunakannya semakin besar. Demikian pula pada antena yang
mempunyai susunan fisik smoth, biasanya antenna tersebut akan menghasilkan
pola radiasi dan impedansi masuk yang berubah secara smoth terhadap perubahan
frekuensi (misalnya pada antena bionical, log periodic dan sebagainya ). Selain
itu, pada jenis antena gelombang berjalan (traveling waves) ternyata dijumpai
lebih lebar range frekuensi kerjanya dari pada antena resonan.

2.3.1.4 Direktivitas dan Gain Antena


Salah satu karakteristik antena yang dapat memberikan gambaran berapa
banyak energi yang dikonsentrasikan pada arah yang dikehendaki terhadap arah
yang lain disebut directivity. Pengertian directivity ini akan sama dengan power
gain apabila antena itu 100% efisien. Biasanya power gain suatu antena

15

dinyatakan secara relatif terhadap antena referensi isotropis atau dipole .


Sebelum masalah radiasi direktivitas dan gain antena ini dibicarakan lebih lanjut,
terlebih dahulu dikemukakan pengertian intensitas radiasi yang mempunyai
definisi :

Intensitas radiasi adalah daya yang dipancarkan pada suatu arah persatuan sudut
ruang (solid angle), sedemikian sehingga total daya dipancarkan sumber sudut itu
merupakan integral keseluruhan dari intensitas radiasi terhadap sudut ruang.

Dimana d = sin d d
karena intensitas radiasi diatas sebanding dengan magnitude pointing
vektor, maka intensitas radiasi akan sebanding pula dengan kuadrat pola medan
|F(, )|, sehingga intensitas radiasi dapat juga ditulis dalam bentuk :

Dimana : Um = magnitude (besar maksimum) dari intensitas radiasi.


Dengan demikian intensitas radiasi rata-rata adalah :

2.3.1.5.1 Direktivitas
Direktivitas suatu antena didefinisikan sebagai perbandingan antara harga
maksimum

intensitas

dipancarkannya .

radiasi

dengan

intensitas

radiasi

rata-rata

yang

16

Sedangkan perbandingan intensitas radiasi pada suatu arah tertentu dengan radiasi
rata-rata dinamakan directivity gain .

Dengan demikian definisi directivity secara sederhana tidak lain merupakan harga
maksimum dari directivity gain.
2.3.1.5.2 Gain
Apabila suatu antena dipakai sebagai antena pemancar, pada umumnya
daya yang diradiasikan sedikit kurang jika dibandingkan dengan daya yang
diberikan oleh transmitter di terminal catunya, hal ini disebabkan adanya faktor
efisiensi pada setiap antena, yang dinyatakan dengan :

Gain antena mempunyai hubungan erat dengan direktivity dan faktor efisiensi ini.
Secara kwantitatif, power Gain didefinisikan sebagai :
.............................................(2.11)
Dengan persamaan (2.16) dan (2.17) , maka power gain menjadi :

Sehingga power gain maksimum antena adalah [1] :

G = e .D ..........................................................................(2.13)
Persamaan diatas adalah persamaan secara teoritis bisa digunakan untuk
menghitung suatu gain antena. Namun dalam prakteknya jarang gain antena

17

dihitung berdasarkan directivity dan efisiensi yang dimilikinya, karena untuk


mendapatkan directivity antena memang diperlukan perhitungan yang tidak
mudah.

2.4 Pengertian Waveguide


Waveguide adalah saluran tunggal yang berfungsi untuk menghantarkan
gelombang elektromagnetik (microwave) dengan frekuensi 300 MHz 300 GHz.
Dalam kenyataannya, waveguide merupakan media transmisi yang berfungsi
memandu gelombang pada arah tertentu. Secara umum waveguide dibagi menjadi
tiga yaitu, yang pertama adalah Rectanguler Waveguide (waveguide dengan
penampang persegi) dan yang kedua adalah Circular Waveguide (waveguide
dengan penampang lingkaran), dan EllipsWaveguide (waveguide dengan
penampang ellips) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8

Gambar 2.8 Jenis Waveguide

Dalam waveguide diatas mempunyai dua karakteristik penting, yaitu :


1. Frekuensi cut off, yang ditentukan oleh dimensi waveguide.

18

2. Mode gelombang yang ditransmisikan, yang memperlihatkan ada


tidaknya medan listrik atau medan magnet pada arah rambat.
Faktor-faktor dalam pemilihan waveguide sebagai saluran transmisi antara
lain :
1. Band frekuensi kerja, tergantung pada dimensi.
2. Transmisi daya, tergantung pada bahan.
3. Rugi-rugi transmisi, tergantung mode yang digunakan.
Pemilihan waveguide sebagai pencatu karena pada frekuensi diatas 1 GHz,
baik kabel pair, kawat sejajar, maupun kabel koaksial sudah tidak efektif lagi
sebagai media transmisi gelombang elektromagnetik. Selain efek radiasinya yang
besar, redamannya juga semakin besar.
Pada frekuensi tersebut, saluran transmisi yang layak sebagai media
transmisi gelombang elektromagnetik (microwave) adalah waveguide. Waveguide
merupakan konduktor logam (biasanya terbuat dari brass atau aluminium) yang
berongga didalamnya, yangpada umumnya mempunyai penampang berbentuk
perseg (rectanguler waveguide) atau lingkaran (circular waveguide).
Saluran ini digunakan sebagai pemandu gelombang dari suatu sub sistem ke
sub sistem yang lain. Pada umumnya di dalam waveguide berisi udara, yang
mempunyai karakteristik mendekati ruang bebas. Sehingga pada waveguide
persegi Medan listrik E harus ada dalam waveguide pada saat yang bersamaan
harus nol di permukaan dinding waveguide dan tegak lurus. Sedangkan medan H
juga harus sejajar di setiap permukaan dinding waveguide. Dikatakan mode TE
(Transverse Electric) karena hanya komponen medan listrik yang tegak lurus
terhadap arah propagasi.

19

2.4.1 Karakteristik Waveguide


Karakterik dari waveguide dapat dilihat pada Gambar2.2 dibawah ini :

Gambar 2.9 Karakteristik umum waveguide


Dari Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa frekuensi kerja berada di antara fmin
dan fmax, Band frekuensi kerja : > c atau < c. Selain itu waveguide juga
memiliki karakteristik yang penting yaitu frekuensi cut off dan mode gelombang
yang ditransmisikan.

2.5 Waveguide Persegi


Waveguide persegi adalah bumbung gelombang dengan penampang persegi
dan model ini sering digunakan dalam praktik. Hal ini disebabkan karena
perencanaan, analisa serta pembuatannya relatif mudah. Dalam analisanya,
waveguide persegi memberikan hasil yang sederhana, dengan menggunakan
koordinat siku-siku (kartesian). Dapat dilihat pada Gambar 2.10.

20

Gambar 2.10 Sistem koordinat untuk waveguide

2.5.1 Konfigurasi Medan pada Waveguide Persegi


Konfigurasi dari medan E dan H dari rectangular waveguide mode TE10 dapat
dilihat pada Gambar 2.11 .

Gambar 2.11 Konfigurasi medan E dan H dalam rectangular waveguide

2.6 Mode Domain (MODE TE10)


Mode yang paling sederhana dan seringkali digunakan dalam aplikasi mode
TE dan mempunyai frekuensi cut off yang paling rendah diantara mode-mode TE
yang lain adalah mode TE10. Mode ini dinamakan mode dominan mode TE
dalam rectangular waveguide. Persamaan untuk mode TE10, dapat diperoleh
dengan memasukkan m = 1 dan n = 0 ke dalam persamaan berikut :

21

Sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut :

Distribusi untuk mode ini dapat dilihat pada Gambar 2.5. Frekuensi cut off untuk
mode ini dapat dinyatakan dengan persamaan 2.11 :

Dimana a adalah dimensi panjang waveguide.


0 adalah permeabilitas.
0 adalah permitivitas, dimana permeabilitas dan permitivitas tergantung
dari bahan yang mengisi dalam waveguide persegi yaitu udara.

22

2.7 Coupling Untuk Waveguide


Untuk membangkitkan suatu mode dari suatu waveguide, diperlukan
peralatan untuk

menghubungkan

kedalam

dan

keluar

dari

waveguide.

Permasalahannya adalah bagaimana menghubungkan energi dari suatu saluran


transmisi USB Adapter WiFi ke waveguide. Pertama, saluran transmisi dapat
dihubungkan medan listrik dari waveguide dengan memasukkan suatu USB
Adapter WiFi ke dalam waveguide sedemikian rupa sehingga USB Adapter WiFi
muncul didalam waveguide setinggi /4. Dengan cara seperti ini USB Adapter
WiFi menghubungkan medan listrik didalam waveguide. Situasi ini ditunjukkan
oleh Gambar 2.6 yang mana aplikasi tersebut untuk mode TE10 didalam
waveguide persegi. Metode coupling semacam ini akan berfungsi sebagai sumber
arus dengan suatu short circuit yang ditentukan prinsip konversi arus.
USB Adapter WiFi ke kabel
Koaksial

Gambar 2.12 Coupling medan listrik

Metode kedua dari sistem coupling suatu saluran transmisi USB Adapter
WiFi ke suatu waveguide adalah dengan menghubungkan medan magnetnya.
Metode ini dikerjakan dengan menyisipkan suatu loop dari kawat kedalam
waveguide. Bentuk coupling ini berfungsi sebagai sumber tegangan, yang mana

23

tegangan open-circuit dapat ditentukan dengan menggunakan aplikasi dari


persamaan Maxwell .
E.dl = - j Hda .....................................................................................(2.25)

2.8 Teorema Luasan Tangkap (Aperture)


Suatu antena yang mempunyai struktur berupa suatu luasan yang dilalui
gelombang elektromagnetik dinamakan antenna luasan (aperture antenna).
Antena horn adalah merupakan salah satu contoh dari antena luasan. Konsep dari
aperture ditunjukkan sangat sederhana, yaitu dengan mempertimbangkan suatu
antenna penerima. Andaikata bahwa antena penerima adalah suatu horn
elektromagnetik yang dibenamkan didalam medan dari suatu gelombang datar
serba sama. Ambilah vektor poynting, atau kerapatan power dari gelombang datar
S watt permeter persegi. Apabila horn menyerap semua power dari gelombang
melalui seluruh luasan a1, maka power P yang diserap dari gelombang adalah :
P = S . A (watt)

... ..........................................(2.26)

Sehingga, horn elektromagnetik dapat dianggap sebagai suatu aperture. Power


total yang diserap dari gelombang yang melaluinya menjadi sebanding dengan
aperture atau luasan mulut.

2.9 Teori Tentang Antena Horn


Antena horn merupakan antena yang paling banyak dipakai dalam sistem
komunikasi gelombang mikro. Antena ini ada dan mulai digunakan pada tahun
1800-an. Antena ini mempunyai gain yang tinggi, VSWR yang rendah, lebar pita
(bandwidth) yang relatif besar, tidak berat, dan mudah dibuat. Berdasarkan bentuk

24

luasannya, antena horn diklasifikasikan dalam dua jenis (lihat Gambar 2.13) yaitu
antena horn persegi (rectangular horn antenna) dan antena horn kerucut (conical
horn antenna).

Gambar 2.13 (a) Antena horn persegi


(b) Antena horn kerucut
Antena horn digunakan secara luas, diantaranya sebagai elemen penerima
untuk radio astronomi, tracking satelit, serta sebagai pencatu pada reflektor antena
parabola. Jenis antena horn yang sering dipakai dalam praktek adalah antena horn
piramida, karena itu dalam bab ini akan dijelaskan karakteristik dari antenna horn
jenis piramida, khususnya mengenai pola radiasi, factor penguatan dan
keterarahannya.
Horn dapat dianggap sebagai bumbung (bumbung) gelombang yang
dibentangkan sehingga gelombang-gelombang didalam bumbung tersebut
menyebar menurut suatu orde tertentu dan akan menghasilkan suatu distribusi
medan melalui mulut horn sehingga dapat dianggap sebagai sumber radiasi yang
menghasilkan distribusi medan melalui suatu luasan tangkap. Amplitudo dan fase
medan pada bidang mulut horn tergantung pada jenis dan mode gelombang catu
yang masuk ke horn melalui bumbung gelombang dan tergantung pada sifat-sifat
horn. Karakteristik medan-medan radiasi misalnya : pola radiasi, faktor

25

penguatan, keterarahan dan sebagainya sangat ditentukan oleh dimensi antenna


horn, seperti panjang horn R, lebar a dan tinggi b atau ukuran-ukuran aperture.

2.9.1 Antena Horn Persegi


Ada tiga macam antena horn persegi seperti ditunjukkan (lihat gambar
2.14). Antena horn ini dicatu melalui bumbung gelombang yang dindingnya
melebar. Untuk bumbung gelombang dengan mode dominan, bidang-E berada
dibagian vertical sedangkan bidang-H berada dibagian horisontal. Antena horn
yang mengalami pelebaran pada bidang yang lebar serta bidang yang sempit tidak
mengalami perubahan dinamakan antena horn sektoral bidang-H. Dan sebaliknya,
jika antara horn ini mengalami pelebaran pada bidang yang sempit dinamakan
sebagai antena horn sektoral bidang-E. Jika kedua bidang antena mengalami
pelebaran maka disebut sebagai antena horn piramida.

Gambar 2.14 Antena horn persegi

26

2.9.2 Antena Horn Piramida


Antena horn persegi yang paling populer adalah antena horn jenis
piramida (pyramidal horn antenna). Seperti yang ditunjukan pada (lihat gambar
2.15), antena ini mengalami pelebaran pada kedua sisinya. Ukuran dari
penampang bumbung gelombangnya adalah a dan b, dengan a adalah bagian yang
lebih lebar dari pada bagian b.

(a)

(b)

27

(c)

Gambar 2.15 (a) Bentuk antena horn piramida


(b) Sektoral bidang-E
(c) Sektoral bidang-H

Dari gambar (bidang-E) secara geometris dimensi antena horn bisa dinyatakan
sebagai berikut :

Sedangkan untuk bidang-H dimensinya dapat dinyatakan dengan :

28

Dengan : PH= Jarak dari virtual apex ke bidang aperture bidang-H


PE = Jarak dari virtual apex ke bidang aperture bidang-E
a1= Ae = ukuran mulut antena horn ke arah medan listrik
b1=Ah = ukuran mulut antena horn ke arah medan magnet
a, b = ukuran dari penampang bumbung gelombang (waveguide)

2.9.3 Pola Radiasi Antena Horn Piramida


Untuk menentukan pola radiasi antena horn piramida sebagai fungsi dari
medan jauh, maka terlebih dahulu ditentukan medan listriknya pada luasan
(mulut) horn.

Dengan :
E0 = konstanta
g = konstanta fase di dalam bumbung gelombang
= impedansi intrinsic
Medan listrik yang sampai ke mulut horn akan mengalami perubahan, artinya
setiap titik pada mulut horn akan mempunyai fase berbeda karena mempunyai
jarak yang tidak sama di hitung dari puncak horn. Dari gambar (2.15), bisa dilihat
bahwa panjang R berubah-ubah, dimana semakin kedinding horn R semakin
panjang. Gelombang yang sampai dimulut horn akan mempunyai perbedaan fase
terhadap fase di pusat horn. Sedangkan konstanta fasenya juga mengalami

29

perubahan, dari g (konstanta fase di dalam bumbung gelombang) menjadi


(konstanta fase di ruang bebas). Akan tetapi untuk horn yang mulutnya besar (a1,
b1) >> sehingga g . Pola radiasi pada bidang-H dapat memakai distribusi
perbedaan fase pada bidang-H sebagai fungsi posisi (x,y). Distribusi perbedaan
fasenya dapat dinyatakan:

Nilai maksimum x = maka beda fase maksimumnya

Sehingga,
t

a1
8 1

top

dapat dicari ...(2.38)

a1
3 (optimum) (2.39)
8
8 1

Dengan a1 (optimum) =

3 1

Sedangkan HPBW untuk perilaku antena optimum dapat ditentukan dari pola plot
pada gambar (2.16) untuk t = 3/8, sinar utama (main beam) terjadi pada titik -3 dB
untuk (a1/) sin H = 0,68. sehingga HPBW optimum untuk Bidang-H adalah :

30

Gambar 2.16 Plot pola radiasi untuk horn sektoral bidang-H


Pola radiasi pada bidang-E dapat memakai distribusi perbedaan fase pada bidangE sebagai fungsi posisi (x, y). Distribusi perbedaan fasenya dapat dinyatakan
dengan

Nilai maksimum dari y = b1/2, maka maksimum perbedaan fasenya menjadi,

Dengan, b1 (optimum) =

2 2

Sedangkan HPBW untuk perilaku antena optimum dapat ditentukan dari pola plot
pada gambar (2.17) untuk s = sinar utama (main beam) terjadi pada titik -3 dB
untuk (b1/) sin E = 0,47. Sehingga HPBW optimum untuk bidang-E adalah :

31

Fungsi FH () dan FE () dapat digambarkan seperti tampak pada gambar (2.16)


dan gambar (2.17), untuk bermacammacam harga t dan s, merupakan pola umum
dari pola radiasi antena, yang didapatkan untuk ukuran horn tertentu a1 dan b1
(panjang dan lebar dari mulut horn). Gambar (2.16) pola bidang- H merupakan
fungsi dari (a1/) sin sedangkan pola bidang-E pada gambar (2.17) merupakan
fungsi (b1/) sin . Dimana factor elemennya (1 + cos )/2 tidak diikutkan.
Dibawah ini gambar dari plot pola radiasi untuk horn sektoral bidang-E.

Gambar 2.17 Plot Pola Radiasi untuk Horn Sektoral Bidang-E


Dengan menggunakan gambar (2.16) dan gambar (2.17) dapat ditentukan HPBWnya yaitu :

Untuk harga t = 3/8, kedudukan titik -3 dB diperoleh pada harga (a1/) sin
= 0,68. sehingga HPBW pada bidang-H (HPH) adalah 2H = 2 sin-1
(0,68 /a1).

Untuk harga s= , keduduka titik -3 dB diperolehpada harga (b1/) sin


= 0,47. sehingga HPBWpada bidang-E (HPE) adalah 2E = 2 sin-1 (0,47
/b1).

32

2.9.4 Keterarahan dan Faktor Penguatan


Keterarahan adalah salah satu parameter yang dipakai untuk menentukan
penampilan dari suatu antena. Keterarahan dapat dihitung dari persamaan :
1 cos I ( , 00 )
..(2.45)
Fh ( )
2 I ( 00 , 00 )
2
2
1 cos C (r4 ) C (r3 ) S (r 4 ) S (r3 )
Fe ( )

2
4 C 2 (2 s ) S 2 (2 s )

r3 2 s 1 Ae sin /( 4s )

(2.46)

.(2.47)

r4 2 s 1 Ae sin /(4s .(2.48)


Dengan memakai persamaan medan listrik pada luasan mulut horn, maka dapat
dicari parameter-parameter berikut dengan bantuan integral fresnel cosinus dan
sinus :
q

Ae
.(2.49)
2R
x

C ( x) cos ( t 2 / 2)dt ....(2.50)


0

S ( x) sin ( t 2 / 2)dt ...(2.51)


0

(2.52)

. . (2.53)
Dengan persamaan-persamaan diatas diperoleh keterarahan seperti berikut :
Dp

DE DH .......(2.54)
32 a
b

33

Dengan,
DE

32 Ae Ah C 2 (q ) S 2 (q)
.(2.55)
2
q

DH

4 Ae R
C ( P1 ) C ( P2 )2 S ( P1 ) S ( P2 )2 (2.56)
Ah

Dengan,
I ( , 0 ) e
0

1
x A
j sin
2
8t
1
x A
j sin
2
8t

C ( s2 ) jS (s2 ) C ( s1 ) jS ( s1 )

.(2.57)

C (t2 ) jS (t2 ) C (t1 ) jS (t1 )

Dimana :
a1= Ae = ukuran mulut antena horn ke arah medan listrik
b1=Ah = ukuran mulut antena horn ke arah medan magnet
a, b = ukuran dari penampang bumbung gelombang (waveguide)
1, 2 = panjang axial dari horn dilihat dari bidang-E dan bidang-H.

2.10 MATLAB 6.5


Matlab 6.5 merupakan software program aplikasi yang digunakan untuk
komputasi teknik. Nama Matlab merupakan singkatan dari MATrix LABoratory.
Matlab mampu mengintegrasikan komputasi, visualisasi, dan pemrograman untuk
dapat digunakan secara mudah. Penggunaan Matlab diantaranya adalah pada:
1. Matematika dan Komputansi
2. Pengembangan algoritma
3. Pemodelan, simulasi, dan prototyping
4. Analisa, eksplorasi, dan visualisasi data
5. Pengolahan grafik untuk sains dan teknik

34

Pada tugas akhir ini Matlab 6.5 digunakan untuk proses pengolahan data,
yakni proses yang berkaitan dengan analisa dan visualisasi data.

2.10.1 Lingkup Matlab


Ada beberapa tools yang disediakan oleh Matlab 6.5 diantaranya sebagai berikut:
Command Window, yang berfungsi untuk tempat memasukkan dan
menjalankan variabel (fungsi) dari Matlab dan M File.
Command History, yang berfungsi menampilkan fungsi-fungsi yang telah
dikerjakan pada command window.
Launch Pad, yang berfungsi untuk akses tools, demo, dan dokumentasi
semua produk Math Works.
Help Browser, yang berfungsi untuk menampilkan dan mencari dokumentasi
yang ada pada Matlab.
Current Directory Browser, yang berfungsi menampilkan file-file Matlab dan
file yang terkait serta mengerjakan operasi file seperti membuka dan
mencari isi file.
Workspace Browser, yang memuat variabel-variabel yang dibuat dan yang
disimpan dalam memori saat penggunaan Matlab.
Editor / Debugger, yang berfungsi untuk membuat dan memeriksa M File
Beberapa tools ini merupakan tools yang secara umum digunakan pada
Matlab, namun sebenarnya selain itu ada banyak tools tambahan lainnya
pada Matlab.

35

Gambar 2.18 Matlab


2.10.2 M File Editor
M File merupakan file teks yang memuat variabel- variabel dan fungsi
yang ada pada Matlab. M File berupa nama file script dalam Matlab yang
disimpan dengan ekstensi .m.
M File memudahkan dalam penulisan (pembuatan) program dalam Matlab.
Dimana fungsi-fungsi yang ada pada M File tersebut dapat mengakses semua
variabel Matlab dan menjadi bagian dari ruang kerja Matlab.

36

Gambar 2.19 M File

BAB III
PERANCANGAN, PEMBUATAN, DAN PENGUKURAN
PARAMETER ANTENA HORN PIRAMIDA

3.1 Perencanaan Suatu Antena Horn


Dari rumus-rumus antena yang diketahui, dapat direncanakan suatu antena horn
piramida yang optimum. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan adalah :
1. Antena horn yang akan direncanakan dalam kondisi optimum, artinya
ukuran dari antena ini mampu menghasilkan gain yang maksimum.
2. HP bidang-E dan HP bidang-H mempunyai ukuran yang seimbang.
3. Antena yang direncanakan mempunyai gain yang tertentu.
4. Antena horn ini dapat dicatu dengan memakai bumbung gelombang yang
sederhana (bumbung gelombang persegi).

3.2 Perencanaan Antena Horn Piramida


Secara umum, geometri antena horn piramidal ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Mulut dari antena ini melebar kearah medan listriknya (E) dengan dimensi
pelebaran Ae dan ke arah medan magnet (H) dengan pelebaran dimensi ini Ah.
Panjang antena dari Virtual apex ke bidang aperture dinyatakan dengan R.
Antena ini di catu oleh bumbung gelombang persegi (Rectanguler waveguide)
dengan dimensi penampang a x b (a = panjang penampang, b = lebar
penampang). Untuk mencari dimensi mulut dari antena horn piramida digunakan
persamaan sebagai berikut :

Ah a1 0,45 G .......................................................................(3.1)

37

38

Ae b1

G 2
.......................................................................(3.2)
0,15 4 a1

Direktivitas antena ini berbanding lurus dengan pengarahan radiasi dari


masing-masing antena horn sektoralnya, yaitu sektoral bidang medan listrik (E),
sektoral bidang magnet (H). Pada analisa ke arah sektoral bidang medan listrik,
menghasilkan bentuk antena horn sektoral bidang-E yang di tunjukkan pada
Gambar 3.1, dengan pengarahan radiasi dinyatakan dengan persamaan (3.3)
DE

32 Ae Ah C 2 (q ) S 2 (q)
(3.3)
2
q

Dimana :
a1= Ae = ukuran mulut antena horn ke arah medan listrik
b1=Ah = ukuran mulut antena horn ke arah medan magnet
a, b = ukuran dari penampang bumbung gelombang (waveguide)
1, 2 = panjang axial dari horn dilihat dari bidang-E dan bidang-H.

: Panjang gelombang.

C (q) dan S (q) merupakan integral Fresnel yang didefinisikan dengan


persamaan (3.2) dan (3.3)

Ae
...(3.4)
2R
q

C (q ) cos ( x 2 / 2)dx ....(3.5)


0

S (q) sin ( x 2 / 2)dx ..(3.6)


0

39

Apabila analisa kearah sektoral bidang medan magnet, bentuk antena menjadi
antena horn sektoral bidang-H, dengan direktivitas dinyatakan dengan persamaan
(3.7)
DH

P1

P2

4 Ae R
C ( P1 ) C ( P2 )2 S ( P1 ) S ( P2 )2 .....(3.7)
Ah

a1

(3.8a)

b1

.. . (3.8b)

Harga direktivitasnya berbanding lurus denganpengarahan radiasi masing-masing


antena sektoral tersebut dan dinyatakan dengan persamaan (3.9)
Dp

DE DH .......(3.9)
32 a
b

Dengan DE dan DH berturut-turut direktivitas antena horn sektoral bidang-E dan


antena sektoral bidang-H.

Gambar 3.1 Geometri Antena Horn piramida

40

Dengan :
R

: Jarak dari virtual apex ke bidang aperture

Ae

: pelebaran ke arah medan listrik

Ah

: pelebaran ke arah medan magnet

axb

: dimensi penampang bumbung gelombang (waveguide)

3.3 Perancangan Menggunakan Matlab


Antena horn beroperasi pada frekuensi 2,4 GHz. Antena ini dicatu dengan
bumbung gelombang tipe WR340 dengan ukuran dalam a = 8,636 cm dan b = 7
cm. Antena ini direncanakan mempunyai gain sebesar 16 dB dari pengukuran
awal. Sesuai dengan prosedur diatas dengan bantuan program Matlab dapat
ditentukan dimensi antena horn, yang sebelumnya memberikan harga gain, a, b.
Hasil running program didapatkan :

Tabel 3.1 Parameter dalam perancangan antena horn dengan Gain 16 dB


Desain Parameter untuk Gain Optimum Antena Horn Piramida
a1
b1
p1
p2
IH
IE
pE
pH

=
=
=
=
=
=
=
=

35.4910 cm
27.3972 cm
33.5897 cm
29.9149 cm
37.9891 cm
32.8918 cm
22.3576 cm
24.1163 cm

befa ( )
VSWR
HPh
HPe
Direktivitas

=
=
=
=
=

0.0574
1.1219
27.61260
24.68260
85.5916 = 19,324 dB

41

Hasil running program untuk Pola Radiasi Antena Horn Piramida pada bidang E

Gambar 3.2 Pola Radiasi Antena Horn Piramida


3.4 Simulasi Menggunakan SuperNEC 2.9
Setelah

tahap

perancangan

selesai,

langkah

selanjutnya

adalah

mensimulasikan hasil rancangan tadi sebelum diimplementasikan dalam bentuk


sebenarnya. Simulasi digunakan sebagai pendekatan antara perancangan dengan
keadaan sebenarnya. Dalam simulasi, akan diketahui apakah hasil rancangan
sudah sesuai dengan kondisi yang diinginkan atau belum.
Untuk mensimulasikan antena horn piramida ini, penulis menggunakan
software SuperNEC 2.9. SuperNec adalah salah satu software simulasi medan
elektromagnetik yang menggunakan perhitungan berbasis Method of Moment dan
dapat memeberikan banyak informasi untuk perancangan pada output filenya.

42

Parameter-parameter pada tabel 3.1 selanjutnya digunakan sebagai input bagi


software untuk membuat model dari antena horn yang dirancang. Prose
memasukan parameter-parameter input dari natena horn dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 3.3 Memasukan Parameter Rancangan pada Software SuperNec

Setelah model dari antena selesai dibuat oleh software, selanjutnya model tadi
ditampilkan bentuk geometrinya sesuai dengan parameter yang telah penulis
masukan. Atur frekuensi kerja dari model antena horn yang dibuat agar software
dapat menentukan secara otomatis bentuk dari antenna horn yang akan dibuat.
Hasilnya dapat dilihat pada gambar 3.4

43

Gambar 3.4 Model Antena Horn Hasil Perancangan Pada SuperNEC

Langkah selanjutnya adalah mengatur parameter simulasi. Parameter simulasi


yang dimaksud antara lain sebagai berikut :
1. Frekuensi uji, frekuensi uji dapat dipilih pada frekuensi 2400 MHz
2. Near Field plot
3. Radiation Pattern, radiation pattern dapat dipilih untuk beberapa
orientasi arah.
Sampai disini model antena horn telah siap disimulasikan. Software
SuperNEC secara otomatis melakukan perhitungan-perhitungan berdasarkan pada
parameter simulasi yang telah diatur tadi. Gambar pola radiasi azimuth dan
elevation hasil simulasi dari antena horn hasil perancangan pada frekuensi 2,4
GHz dapat dilihat pada gambar 3.5

44

(a)

(b)
Gambar 3.5 Hasil Simulasi Pola Radiasi dari Antena Horn dalam Koordinat
Polar 2D pada Frekuensi 2,4 GHz (a) Azimuth (b) Elevasi

45

Berikutnya akan dilihat berapa besar impedansi dari antena horn hasil
perancangan ini. Dalam simulasi, impedansi dari antena horn adalah sebesar
59,5-j5,5 seperti digambarkan dalam smith chart pada gambar 3.6

Gambar 3.6 Hasil Simulasi Impedansi Antena Horn pada Frekuensi 2,4 GHz
Digambarkan dalam Smith Chart

Dengan nilai impedansi 59,5-j5,5, apabila antena horn dihubungkan dengan


saluran transmisi yang mempunyai impedansi karakteristik sebesar 50 , maka
akan menimbulkan gelombang pantul yang perbandingannya kita kenal dengan
istilah VSWR (Voltage Standing Wave Ratio).
Nilai VSWR antena horn hasil perancangan dapat dilihat pada gambar 3.7
berikut ini.

46

Gambar 3.7 Hasil Simulasi VSWR dari Antena Horn pada Frekuensi 2,4 GHz

Dari hasil simulasi, diketahui bahwa antena horn mempunyai nilai VSWR
sebesar 1,22 jika dihubungkan dengan saluran transmisi yang mempunyai nilai
impedansi karakteristik sebesar 50 .
Berikutnya akan dilihat berapa besar gain dari antena horn hasil perancangan
ini. Dalam simulasi, gain dari antena horn adalah sebesar
digambarkan pada gambar 3.8

16,3 dBi seperti

47

Gambar 3.8 Hasil Simulasi Gain dari Antena Horn pada Frekuensi 2,4 GHz
3.5 Pembuatan Antena Horn Piramida
Setelah perhitungan dan simulasi selesai dilakukan, langkah selanjutnya
adalah mengimplementasikan hasil perancangan antena horn untuk frekuensi
2,4GHz tadi . Sebelum pembuatan antena ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu : bahan antena dan teknik pembuatan antena.

3.5.1 Bahan Antena


Bahan yang diperlukan untuk membuat suatu antena horn piramida ini
diharapkan dapat memberikan daya pancar radiasi gelombang elektromagnetik
yang cukup besar, sehingga dibutuhkan pemilihan bahan yang cukup memadai.
Pada pembentukan antena horn piramida ini dipilih dari plat almunium dengan

48

ukuran tebal 1,7 mm. Ada beberapa hal yang memungkinkan bahan tersebut
digunakan : mudah didapat, ringan, konduktivitasnya cukup besar, mudah untuk
konstruksi dan penyambungannya. Adapun konduktivitas dari beberapa
penghantar ditunjukkan pada tabel 3.2

Tabel 3.2 Konduktivitas dari beberapa penghantar

3.5.2 Teknik Pembuatan


Teknik pembuatan antena horn piramida ini cukup rumit dilakukan tanpa
peralatan yang memadai untuk mendapatkan dimensi antena yang tepat (presisi).

Alat dan Bahan :


1. Kertas Karton, spidol, penggaris, gunting (pola).
2. gunting seng, plat alumunium dengan ketebalan 1,7 mm, palu kayu
(pemotongan plat).
3. Baut dengan ukuran 4 mm dan 0.5 mm, Obeng, sekerup.
4. Bor dengan mata bor berukuran 14 mm, 5 mm, 1 mm, kikir besar dan
kecil.
5. type N-connector male dan female, kabel pigtail.

49

Langkah-langkah yang di lakukan pada pembuatan antena ini yaitu :


1. Dimensi antena didapatkan dari bantuan program matlab.
2. Membuat pola konstruksi dari kertas karton yang sedemikian rupa
sehingga bila dibentuk akan sama dengan bentuk antena.
3. Menerapkan pola konstruksi pada plat almunium yang sudah disediakan.
4. Memotong plat almunium sesuai dengan pola,

Gambar 3.9 Hasil Potong plat alumunium sesuai dengan pola.


5. Membentuk potongan plat sesuai dengan bentuk yang diharapkan
(dimensinya cocok dengan program).
6. Menyambung bagian yang belum tertutup dengan menggunakan las
alumunium sehingga didapatkan bentuk seperti corong berbentuk
persegi.
Setelah antena horn terbentuk, selanjutnya akan disambung dengan bumbung
gelombang, sedangkan untuk tuning antena ditambahkan kabel tembaga sepanjang
3 cm pada type N-connector dan lokasi optimum untuk N-connector adalah 3,125
cm dari belakang bumbung gelombang. Berikut gambar N-connector untuk
tuning.

50

Gambar 3.10 N-connector dengan penambahan kabel tembaga 3 cm

3.5.3 Hasil Rancangan Antena Horn Piramida


Antena horn piramida yang telah dibuat merupakan hasil dari perancangan yang
ada, dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3.11 Hasil Rancangan Antena Horn


3.6 Pengukuran Parameter Antena Horn Piramida
Setelah menjalani proses perancangan dan pembuatan antena horn piramida,
proses berikutnya adalah pengujian atau pengukuran beberapa parameter antena
yang dibutuhkan untuk mengetahui apakah antena yang sudah dirancang
memenuhi standar antena horn piramida 2,4 GHz dan layak untuk digunakan pada
komunikasi data atau jaringan komputer secara wireless dengan frekuensi 2,4
GHz.

51

Ada beberapa parameter antena yang diukur untuk menunjukkan


karakteristik serta kemampuan kerja dari antena, antara lain: SWR, impedansi,
pola radiasi, dan gain.

3.6.1 Pengukuran VSWR dan Impedansi Input


Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) dan impedansi input merupakan
parameter yang mengindikasikan kesesuaian sebuah antena terhadap saluran
transmisi dan frekuensi kerjanya, sehingga mempengaruhi daya yang diterima.
Pada pengukuran ini menggunakan Advantest R3770 Network Analyzer (NA)
untuk mendapatkan nilai VSWR dan impedansi input antenna horn piramida.

Gambar 3.12 Advantest R3770 Network Analyzer

Peralatan yang digunakan pada pengukuran VSWR dan impedansi input:


1. Advantest R3770 Network Analyzer
2. Antena horn piramida 2,4 GHz
3. Kabel Koaxial

52

Antena Horn
Piramida
Kabel Koaxial

Network
Analyzer
advantest R3770

Gambar 3.13 Rangkaian Pengukuran VSWR dan Impedansi Input

Langkah-langkah pengukuran VSWR dan impedansi input::


1. Merangkai peralatan seperti pada Gambar 3.13.
2. Menghidupkan dan mengalibrasi Network Analyzer (NA).
3. Menghubungkan antena horn piramida yang sudah dirancang dengan NA
menggunakan kabel koaxial.
4. Mengambil gambar dari display NA untuk nilai VSWR yang kemudian file
disimpan.
5. Mengambil gambar dari display NA untuk nilai impedansi input dengan mode
diagram smith-chart yang kemudian file disimpan.

53

3.6.2 Pengukuran Pola Radiasi Antena


Pengukuran pola radiasi dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah bentuk
pola radiasi antena horn piramida yang telah dibuat. Selain itu yang paling penting
adalah mengetahui seberapa jauhkah ketepatan perancangan antena dan apakah
antena yang telah dibuat telah sesuai dengan harapan.
Terdapat beberapa jenis pola radiasi, antara lain dinyatakan dalam pola
kerapatan daya (W/m) serta pola kuat medan (A/m). Secara ideal, antena penerima
dapat digunakan sebagai antena pemancar dengan sifat yang sama (prinsip
reprositas). Untuk memudahkan pengukuran, maka antena horn piramida
digunakan sebagai antena penerima dengan memakai asumsi prinsip reprositas.
Untuk mendapatkan hasil yang baik dari pengukuran pola radiasi ada
beberapa hal yang harus diperhatikan adalah menghindari gangguan pantulan dari
benda disekitar pengukuran, tinggi antena default sebagai pemancar di sisi access
point dengan antena horn piramidal yang diukur sebagai penerima di sisi laptop
haruslah sejajar dan lurus. Pola radiasi suatu antena merupakan karakteristik yang
menggambarkan sifat radiasi antena pada medan jauh sebagai fungsi dari arah.
Arah disini adalah memutar antena penerima dari posisi 00 sampai 3600, baik
pada bidang H maupun pada bidang E. Untuk mengukur pola radiasi antena yang
sudah dibuat, maka antena tersebut dipakai sebagai antena penerima, dengan
bantuan laptop dan di tambahkan access point dengan frekuensi 2,4 GHz yang
kemudian diletakkan antena horn piramida sebagai pengganti antena eksternal dari
access point. Pada pengukuran ini antena pemancar menggunakan antena yang
sudah terpasang oleh access point TP-link (TL-WA5110G) standar protokol
802.11g dengan frekuensi 2,4 GHz.

54

Peralatan yang digunakan dalam pengukuran pola radiasi ini diantaranya adalah :
1. Laptop
Pada pengukuran parameter antena dan pengujian antena pada jaringan
wireless ini penggunaan laptop sangat dibutuhkan. Laptop yang digunakan adalah
laptop support dengan jaringan wireless. Melalui laptop, kita dapat memantau
aktifitas wireless yang ada dengan menggunakan software monitor. Software yang
digunakan adalah Netstumbler dan software dari access point.

Gambar 3.14 Penggunaan Laptop pada Pengukuran


2. Access Point
Alat ini sering digunakan sebagai piranti server pada jaringan WLAN. Dan
biasanya diletakkan di langit-langit dalam ruangan WLAN indoor. Alat ini dapat
menyalurkan data secara wireless dari PC ke PC secara infrastruktur.
Access Point (AP) ini disertai adaptor sebagai pencatu daya dari alat
tersebut, juga tersedia kabel UTP agar dapat terhubung secara wired dan antena
eksternal dengan gain 4 dBi. Ada 3 indikator led di pinggir alat ini terdiri dari :
power, LAN dan WLAN. Led pada power menyala memberitahukan AP tercatu
oleh listrik melalui adaptor, led pada LAN menyala memberitahukan AP oleh
listrik melalui adaptor, led pada LAN menyala memberitahukan AP terhubung

55

secara wired melalui kabel UTP dan led pada WLAN memberitahukan AP
terhubung secara wireless dengan piranti lain.

Gambar 3.15 Access Point TP-Link tipe TL-WA5110G


Pada tugas akhir ini, digunakan AP produk TP-Link tipe TL-WA5110G
standar IEEE 802.11g dengan frekuensi 2,4 GHz. Access Point digunakan sebagai
pemancar dan penerima, dimana antena yang digunakan sebagai antena eksternal
disisi penerima digantikan dengan antenna horn piramida. Sebelumnya yang perlu
diperhatikan dalam menggunakan AP untuk koneksi antar jaringan komputer
secara wireless adalah penamaan SSID (Service Set IDentifier).
3. Kabel pigtail
Kabel ini digunakan untuk menghubungkan antena Horn piramida yang
sudah dibuat dengan access point yang terhubung dengan laptop. Gambar kabel
pigtail dapat dilihat pada Gambar 4.7 . Pigtail merupakan kabel yang berdiameter
relatif kecil sepereti ekor babi yang terdiri dari sambungan antara konektor tipe
male MC-card dan konektor tipe male N-type, dimana konektor tipe male MCcard untuk menghubungkan pigtail dengan access point dan konektor tipe male
N-type untuk menghubungkan pigtail dengan antena.

56

Gambar 3.16 Kabel Pigtail


Pengukuran Pola radiasi dilakukan dua kali, yaitu pola radiasi pada bidang
H dan pola radiasi pada bidang E. Dalam pengukuran harus memperhatikan jarak
pada proses pengukuran.
Peralatan yang digunakan pada pengukuran pola radiasi ini diantaranya adalah :
a. Antena horn piramida yang telah dibuat
b. Laptop
c. 2 buah Access Point pada sisi pengirim dan penerima
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan pengukuran pola
radiasi yaitu :
1. Merangkai peralatan-peralatn seperti pada Gambar 3.17 , memastikan posisi
Access Point (AP) dan antena yang diukur sejajar.

5 meter

Pigtail

Access point
Access point

Laptop

Kabel UTP

Gambar 3.17 Rangkaian Peralatan Pengukuran Pola Radiasi

57

2. Menyalakan laptop dan memasangkan access point, memastikan antena dan


access point sudah benar-benar terhubung dengan menggunakan kabel pigtail.
Jika laptop yang digunakan support dengan wireless maka perangkat wireless
pada laptop dipastikan mati.
3. Menyalakan Access Point (AP), memastikan indikasi led pada power menyala.
AP yang terpasang adalah AP yang telah diset .
4. Set alamat IP pada laptop. IP pada laptop harus satu network dengan IP pada
AP. IP pada AP adalah 192.168.1.1.
5. Setelah semua terangkai dengan benar cek apakah sinyal AP telah dapat
tertangkap oleh antena horn piramida yang terhubung dengan laptop. Ini dapat
dilihat dengan memilih menu Wireless mode

client

survey.

6. Mencatat nilai level sinyal yang tertera pada laptop pada sudut 00. Level sinyal
pada laptop dapat dipantau dengan menggunakan sotware Netstumbler atau
dari nilai sinyal yang terdapat pada AP List.
7. Memutar posisi antena menjadi 100, 200, 300 hingga posisi 3600 dengan aturan
seperti pada Gambar 3.18, lalu mencatat nilai level daya ke dalam tabel pada
posisi sudut tersebut, untuk mendapatkan hasil pola radiasi bidang H.
8. Setelah mendapatkan nilai tersebut konversi level dalam unit dB tersebut
menjadi satuan milliwatt menggunakan persamaan:
dB(W) = 10 Log

P
. (3.10)
1W

9. Untuk membantu mengetahui hasil gambar pola radiasi dari hasil data secara
mudah dan cepat berdasarkan pada data yang sudah diambil dari posisi sudut
00 sampai 3600 pada level sinyal pola radiasi bidang H, dapat digunakan
Autoshape pada Microsoft Word.

58

10. Setelah mendapatkan gambar grafik pola radiasi untuk bidang H, maka ulangi
langkah percobaan 1 - 6.
11. Memutar posisi antena menjadi 100, 200, 300, .... , 3600 dengan aturan seperti
pada Gambar 3.19, lalu mencatat nilai level dBW ke dalam tabel pada posisi
sudut tersebut, untuk mendapatkan hasil pola radiasi bidang E.
12. Mengulangi langkah percobaan 8, setelah itu melakukan langkah percobaan 9
untuk hasil data level sinyal pola radiasi bidang E.

Gambar 3.18 Posisi Antena untuk Pola Radiasi Bidang H

Gambar 3.19 Posisi Antena untuk Pola Radiasi Bidang E

59

3.6.3 Pengukuran Gain


Untuk menyatakan gain maksimum antena horn piramida ini dengan cara
membandingkan dengan antena lain dari Access Point (dengan metode
pengukuran). Dalam posisi ini antena penerima harus mempunyai polarisasi yang
sama dengan antena pada Access Point dan selanjutnya ia diarahkan sedemikian
rupa agar diperoleh daya output maksimum.

Udara

Access Point
Kabel UTP

Access Point

Gambar 3.20 Pengukuran Gain dengan Membandingkan Besarnya Daya yang


Diterima

OPTIMASI PERENCANAAN ANTENA HORN PIRAMIDA DENGAN


MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIK
MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR
Oleh
TRIYOGA PRAPTO W L2F 300 570
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Abstrak
Antena horn piramida adalah antena yang dipakai dalam sistem telekomunikasi gelombang mikro. Performansi antena
horn piramida dapat diukur dari nilai direktivitas atau pengarahannya, semakin tinggi nilai direktivitas, maka performansi
antena tersebut semakin baik. Nilai direktivitas ditentukan oleh ukuran dimensi antena. Untuk mendapat nilai direktivitas
yang lebih tinggi atau optimum, maka ukuran dimensi antena horn piramida harus dirancang secara tepat pada waktu
proses perencanaannya.
Proses perencanaan dimensi-dimensi antena horn piramida yang menghasilkan direktivitas optimum dapat dilakukan
dengan menggunakan metode algoritma genetik. Algoritma genetik adalah algoritma pencarian nilai solusi suatu
permasalahan yang didasarkan pada mekanisme seleksi alamiah individu-individu dalam suatu populasi dengan
menggunakan nilai daya tahan hidup / fitness sebagai nilai kualitatif dalam penentuan individu terbaik dalam populasi yang
akan direpresentasikan sebagai solusi optimum dari permasalahan tersebut. Pada Tugas Akhir ini akan disimulasikan
penggunaan algoritma genetik untuk menentukan kombinasi nilai dimensi-dimensi antena horn piramida yang akan
menghasilkan direktivitas optimum, yang beroperasi pada frekuensi kerja tertentu, dengan program simulasi yang dibuat
menggunakan Matlab 6.1.
Dari hasil pengujian menggunakan program simulasi, diambil kesimpulan yaitu semakin tinggi frekuensi kerja antena
yang digunakan, maka nilai persentase optimasi atau persentase peningkatan nilai direktivitas juga semakin besar. Pada
keenam sample frekuensi kerja yang diuji, persentase kenaikan nilai direktivitas dalam satuan dBi sebesar 2,0606 % pada
sample frekuensi kerja terendah 10 GHz dan sebesar 3,5504 % pada sample frekuensi kerja tertinggi 325 GHz.
I
1.1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dunia telekomunikasi dewasa ini selalu menuntut
suatu kemajuan teknologi yang lebih sempurna daripada
teknologi sebelumnya, salah satu contohnya adalah
teknologi antena. Antena yang berfungsi baik sebagai
transmitter (pemancar) maupun sebagai receiver
(penerima) gelombang elektromagnetik memiliki peranan
yang sangat penting dalam suatu sistem telekomunikasi
radio, oleh karena itu peningkatan mutu antena sangatlah
diperlukan untuk mencapai suatu nilai pancar atau terima
yang optimum. Perangkat antena dibedakan berdasarkan
bentuk dan kualitas bahan yang digunakan, sehingga
kemampuan tiap-tiap antena untuk memancarkan maupun
menerima suatu gelombang elektromagnetik tentu
berbeda.
Salah satu jenis antena adalah antena horn
piramida, antena ini dipakai dalam sistem telekomunikasi
gelombang mikro. Kelebihan antena horn piramida antara
lain mempunyai gain yang tinggi, bandwidth yang relatif
lebar, tidak berat dan mudah untuk dibuat. Pada antena
horn piramida, untuk mendapatkan kapasitas pengarahan
antena terbaik dan pancaran radiasi yang sempit sehingga
intensitas radiasinya menjadi semakin kuat, maka nilai
direktivitas-nya perlu dibuat seoptimum mungkin. Untuk
itu maka dipandang perlu adanya suatu metode pencarian
direktivitas antena horn piramida yang optimum. Hal
inilah yang menjadi pokok permasalahan yang hendak
dicari jalan keluarnya dalam penulisan Tugas Akhir ini.

1.3

Pembatasan Masalah
Dalam Tugas Akhir ini diberikan pembatasanpembatasan sebagai berikut:
a. Optimasi perencanaan antena horn piramida disini
adalah optimasi nilai direktivitas antena dan
mengabaikan faktor kualitas bahan antena yang
digunakan serta faktor-faktor eksternal lainnya yang
mempengaruhi proses transmisi gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan antena.
b. Karena pokok permasalahan adalah nilai
direktivitas, maka antena horn piramida yang
dibahas dititikberatkan pada antena pemancar.
c. Proses optimasi direktivitas antena horn piramida
dilakukan dengan menggunakan metode algoritma
genetik, dengan parameter kontrol algoritma
genetik sebagai berikut : proses seleksi
menggunakan metode Roulette Wheel, Proses
crossover menggunakan metode Single Point
Crossover dan proses mutasi menggunakan metode
Mutasi Biner.
II
ANTENA HORN PIRAMIDA
2.1
Karakteristik Antena
2.1.1 Intensitas Radiasi
Intensitas radiasi didefinisikan sebagai daya yang
dipancarkan oleh suatu antena tiap satuan sudut ruang.
Intensitas radiasi dapat diperoleh dengan mengalikan
rapat radiasi (daya persatuan luas) terhadap kuadrat jarak
pada titik yang diukur.
2.1.2 Direktivitas dan Gain
Direktivitas merupakan perbandingan antara
intensitas radiasi maksimum dengan intensitas radiasi
rata-rata.
Gain didefinisikan sebagai perbandingan antara
intensitas maksimum suatu antena directive (arah
pancarnya ke satu arah) dengan intensitas radiasi suatu
antena pembanding isotropis (arah pancarnya ke segala
arah), dalam kondisi daya masukan kedua antena sama
besar.

1.2

Tujuan
Tujuan Tugas Akhir ini adalah membuat
perencanaan antena horn piramida yang mempunyai
direktivitas optimum yang beroperasi pada frekuensi
kerja tertentu, dengan jalan menentukan kombinasi
ukuran dimensi-dimensi antena secara tepat, yang akan
menghasilkan direktivitas optimum dengan menggunakan
metode optimasi algoritma genetik.

Makalah Seminar Tugas Akhir

2.2

Antena Horn Piramida


Antena horn Piramida merupakan antena yang
dipakai dalam sistem telekomunikasi gelombang mikro
(microwave). Skema antena horn piramida (pyramidal
horn antenna) berikut dimensi-dimensinya ditunjukkan
pada Gambar 1.

Karena nilai dari R1 dan R 2 adalah sama, maka


untuk perhitungan selanjutnya hanya diperlukan nilai
tunggal yaitu panjang antena horn (R).
R = R1 = R2 ........................................................... (9)
Sedangkan panjang pangkal antena horn piramida
bidang H (r1) dapat dicari dengan menggunakan
persamaan (10).

y
x
Rh

R1

Aa
Rxh Rh 2

b
r1
r

(a)

B b
Rzh Rxh 2

(b)
Re

Dan panjang pangkal antena horn piramida bidang


E (r 2) dapat dihitung melalui persamaan (11).

r2

(c)

B b
2
Rxe R e

Gambar 1 Dimensidimensi antena horn piramida


Keterangan :
(a) Bentuk geometris antena horn piramida
(b) Penampang melintang pada bidang H
(c) Penampang melintang pada bidang E

Aa
Rze Rxe 2

2.3

Direktivitas Antena Horn piramida


Direktivitas atau pengarahan adalah salah satu
parameter yang dipakai untuk menentukan performansi
dari suatu antena horn piramida. Penentuan nilai
direktivitas dimulai dengan memasukkan nilai dimensidimensi antena horn yang telah dibahas di depan ke
dalam persamaan (12), (13) dan (14).

Re . K .................................................................. (1)

Sedangkan panjang penampang bidang H antena


horn piramida (Rh), seperti ditunjukkan Gambar 1b dapat
dinyatakan dengan persamaan (2).

K . 2 .................................................................. (2)
Re

c ........................................................................ (3)
f

.............................................................. (12)

2. .R

p1

Dengan :

r2 R2 Rze ......................................................... (11)

Panjang penampang bidang E (R e) pada Gambar


1c bisa dinyatakan dengan persamaan (1).

Rh

r1 R1 Rzh ......................................................... (10)

R2

p2

1 R /

2 A /
1 R /

2 A /

A / .......................... (13)

R /
A / .......................... (14)

R /

Dengan memakai persamaan medan listrik pada


luasan mulut antena horn, maka dapat dicari parameterparameter berikut dengan bantuan integral fresnel sinus
dan cosinus, seperti diperlihatkan pada persamaan (15)
dan (16).

10 G / 10 ........................................................... (4)

K
15,7497
Dimana :
f = frekuensi kerja antena (GHz)
= Panjang gelombang (m)
c = Kecepatan cahaya (3.108 m/detik)
K = Efisiensi radiasi
G = Gain antena (dBi)

x
2
................................................. (15)
C x cos
.d
2
0
x
2
.d ................................................ (16)
S x sin
2
0

Untuk menentukan dimensi aperture antena, yaitu


mulut antena horn sisi A dan B diperoleh dengan
persamaan (5) dan (6).

Maka dari persamaan-persaman tersebut di atas,


diperoleh nilai direktivitas masing- masing untuk antena
horn sektoral bidang H, antena horn sektoral bidang E
dan antena horn piramida seperti berikut :
Untuk antena horn sektoral bidang E, analisa ke
arah sektor medan listrik E menghasilkan bentuk antena
horn sektoral bidang E dengan direktivitas-nya (DE)
dinyatakan oleh persamaan (17).

A 3.Rh . ............................................................... (5)


B 2.Re . .............................................................. (6)

Maka panjang antena untuk masing-masing


bidang H (R1) dan bidang E (R2) dapat ditentukan dengan
persamaan (7) dan (8).
a b ......................................... (7)
R1 Rh 1

2 A 2 B

DE

a b
R2 Re 1

.......................................... (8)
2 A 2 B

Untuk antena horn sektoral bidang H, analisa ke


arah sektor medan listrik H menghasilkan bentuk antena

32.a.B C 2 (q ) S 2 ( q ) ......................................... (17)

.2
q2

Makalah Seminar Tugas Akhir

horn sektoral bidang H dengan direktivitas-nya (DH)


dinyatakan oleh persamaan (18).
DH

4 . .b
C ( p 1) C ( p 2 )
.A

S
2

( p 1)

S ( p2)

.........
2

III

ALGORITMA GENETIK
Algoritma genetik adalah algoritma pencarian
nilai yang didasarkan pada mekanisme evolusi biologis.
Langkah-langkah di dalam algoritma genetik didasarkan
pada mekanisme pemilihan spesies secara alamiah
dengan menggunakan perkembangan genetik, dimana
alam secara terus menerus melakukan pemilihan dengan
mempertahankan spesies-spesies yang mempunyai daya
tahan hidup yang tinggi (fit) dan membuang atau
mematikan spesies-spesies yang mempunyai daya tahan
hidup yang rendah atau lemah. Dengan proses
perkawinan silang antara spesies-spesies tersebut akan
menyebabkan terjadinya perubahan gen-gen. Perubahan
genetik ini tidak hanya terjadi pada perkawinan silang,
tetapi juga bisa terjadi akibat mutasi gen dan proses
adaptasi. Pada kurun waktu tertentu (sering dikenal
dengan istilah generasi), populasi secara keseluruhan
akan lebih banyak memuat spesies yang fit.
Pada algoritma ini, teknik pencarian dilakukan
sekaligus atas sejumlah solusi yang mungkin yang
dikenal dengan istilah Populasi. Individu yang terdapat
dalam satu populasi disebut dengan istilah Kromosom.
Kromosom ini merupakan suatu solusi yang masih
berbentuk simbol. Populasi awal dibangun secara acak,
sedangkan populasi berikutnya merupakan hasil evolusi
kromosom-kromosom melalui iterasi yang disebut
dengan istilah Generasi. Pada setiap generasi,
kromosom akan melalui proses evaluasi dengan
menggunakan alat ukur yang disebut dengan fungsi
Fitness. Nilai fitness dari suatu kromosom akan
menunjukkan kualitas kromosom dalam populasi
tersebut. Generasi berikutnya dikenal dengan istilah
Offspring (anak), terbentuk dari gabungan dua
kromosom generasi sekarang yang bertindak sebagai
Parent (induk) dengan menggunakan operator
Crossover (penyilangan). Selain operator penyilangan,
suatu kromosom dapat juga dimodifikasi dengan
menggunakan operator Mutasi. Populasi generasi yang
baru, dibentuk dengan cara menyeleksi kromosom
dengan nilai fitness terbaik dari kromosom induk dan
dikonversikan ke kromosom anak, serta jumlah
kromosom yang terseleksi sebanding dengan jumlah
kromosom yang dibuang sehingga ukuran populasi
(jumlah kromosom dalam suatu populasi) selalu konstan.
Setelah melalui beberapa generasi, maka algoritma
genetik akan konvergen ke kromosom terbaik.
Diagram alir Algoritma genetik secara umum
ditampilkan dalam Gambar 2. Sedangkan subrutin
Pembangkitan Populasi Pada Generasi Baru yang
memuat urutan operasi genetik, dapat dijabarkan dalam
rutin diagram alir pada Gambar 3.

(18)

Untuk antena horn piramida, dapat dibentuk dari


dua antena horn , yaitu antena horn sektoral bidang E dan
bidang H. Harga direktivitas-nya (DP) berbanding lurus
dengan direktivitas radiasi masing-masing antena horn
sektoral tersebut dan dinyatakan dengan persamaan (19).
Dimana DE dan DH berturut-turut adalah direktivitas
antena horn sektoral bidang E dan antena horn sektoral
bidang H.
Dp

. 2
.DE .D H ................................................ (19)
32.a.b

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa


direktivitas antena adalah perbandingan antara intensitas
radiasi maksimum dengan intensitas radiasi rata-rata
yang dipancarkan oleh suatu antena, sehingga bilamana
direktivitas antena horn piramida dinyatakan dalam
satuan penguatan intensitas radiasi, maka digunakan
persamaan (20) dengan satuan dBi.
D p ( dBi) 10. log( D p ) ............................................ (20)

2.4

Waveguide Antena Horn Piramida


Waveguide antena berfungsi untuk memandu
gelombang elektromagnetik yang akan dipancarkan atau
diterima oleh antena. Antena horn piramida
menggunakan waveguide standar untuk antena horn
persegi (Waveguide Rectangular / WR). Jenisjenis
waveguide standar antena horn persegi dibedakan
menurut penggunaan frekuensi kerja yang digunakan.
Setiap jenis mempunyai ukuran panjang a dan lebar b
yang berbeda. Jenisjenis waveguide antena horn persegi
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Jenis waveguide standar antena horn persegi
No

Jenis
Waveguide

Range Frekuensi Kerja


Yang Digunakan (GHz)

WR

650

1,12

WR

430

1,71

WR

284

2,61

WR

187

WR

137

WR

7
8

Dimensi
Panjang
a (cm)

Lebar
b (cm)

1,7

16,9

8,66

2,6

11,3

5,87

3,95

7,62

3,81

3,96

5,85

5,08

2,54

5,86

8,2

3,81

1,91

90

8,21

12,4

2,54

1,27

WR

62

12,41

18

1,78

0,99

WR

42

18,1

26,5

1,27

0,64

WR

28

26,51

40

0,91

0,56

10

WR

19

40,1

60

0,68

0,44

11

WR

12

60,1

90

0,51

0,36

12

WR

90,1

140

0,20

0,20

13

WR

140,1

220

0,20

0,20

14

WR

220,1

325

0,20

0,20

Keterangan: WR = Waveguide Rectangular

Makalah Seminar Tugas Akhir

3.1

Penentuan Parameter Kontrol


Yang disebut dengan parameter kontrol algoritma
genetik, yaitu: maksimum generasi (ngen), ukuran
populasi (popsize), probabilitas crossover (pc) dan
probabilitas mutasi (pm). Nilai parameter ini ditentukan
juga berdasar permasalahan yang akan dipecahkan. Dari
berbagai referensi, ada beberapa rekomendasi yang bisa
digunakan, antara lain :

Mulai

D ata
M asukan

Pe nentuan Mod el Data


Da n F ungsi Tujuan

Mengko dekan D ata


Ma suka n S ebag ai
K ump ulan S pesie s
Da la m P opulasi
(P end efinisian Sp esie s)

P erhitungan N ilai Fitness


(Fitness Function)

Spe sies
B aru Yang
O ptim al

Ya

Optim al ?

Tida k

Pem bangkita n
P opula si P ada
Generasi Baru

Mendeko dekan
Spesies S ebagai
Data Keluaran

Untuk permasalahan yang akan memiliki kawasan


solusi cukup besar, direkomendasikan nilai
parameter kontrol :
(popsize; pc; pm) = (50; 0,6; 0,001)
Bila rata-rata fitness setiap generasi digunakan
sebagai indikator, maka digunakan parameter :
(popsize; pc; pm) = (30; 0,95; 0,01)
Bila fitness dari individu terbaik dipantau pada
setiap generasi, maka diusulkan :
(popsize; pc; pm) = (80; 0,45; 0,01)
Maksimum generasi (ngen) dan ukuran populasi
(popsize) sebaiknya tidak lebih kecil dari 30, untuk
sembarang jenis permasalahan.

Parameter-parameter kontrol algoritma genetik di


atas tidak mutlak harus digunakan, karena hanya sebagai
referensi bantuan agar algoritma genetik yang dijalankan
mampu mencapai hasil yang tepat dalam artian akan
menghasilkan suatu nilai yang dianggap sebagai nilai
optimum. Bilamana dipakai parameter kontrol yang lain,
(ngen, popsize; pc; pm) yang berbeda, tidak menjadi
masalah bila juga akan menghasilkan nilai optimum.

D ata
Keluaran

S ele sa i

Gambar 2 Diagram alir algoritma genetik secara umum

3.2

Fungsi Fitness
Fungsi evaluasi merupakan masalah yang penting
dalam algoritma genetik. Fungsi evaluasi yang baik harus
mampu memberikan nilai fitness sesuai dengan kinerja
kromosom. Pada permulaan optimasi, umumnya nilai
fitness masing-masing individu mempunyai rentang yang
lebar. Seiring dengan bertambahnya generasi beberapa
kromosom mendominasi populasi dan menyebabkan nilai
fitness akan mempunyai rentang yang sempit dan pada
akhirnya setelah melewati beberapa generasi, nilai fitness
akan terkonsentrasi ke suatu nilai tunggal yang dianggap
sebagai nilai terbaik. Karena yang akan dihitung adalah
nilai optimum dari suatu fungsi, maka fungsi fitness yang
dipilih umumnya adalah fungsi itu sendiri.

M ulai

P em ilihan S pesies
Terbaik B erdasarkan
Nilai Fitness (S election)

Rekom binasi
K rom osom (Crossover)

Mutasi Gen (Mutation)

3.3

Pendefinisian Spesies
Fase pendefinisian spesies dilakukan melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut: Penentuan model
spesies yang paling sederhana adalah spesies dengan
kromosom yang terdiri dari gen-gen yang tersusun dari
bilangan biner. Misalnya suatu fungsi f(x) yang
dioptimumkan pada interval [a b], kromosom akan
disajikan dalam bentuk biner untuk merepresentasikan
bilangan real dari variabel x, sedang panjang kromosom
ditentukan berdasarkan ketelitian yang diinginkan,
dengan cara menggunakan persamaan (21).

Pelestarian Krom osom


Terbaik (B reeder
Genetic Algorithms )

K um pulan
S pesies Pada
G enerasi Yang
B aru
(Offspring)

Pembagian ranah = (b-a) x 10n .............................. (21)


S elesai

Dimana :
(a,b) = Panjang ranah a ke b
n
= Ketelitian / presisi yang diinginkan

Gambar 3 Diagram alir urutan operasi genetik pada populasi


dalam satu generasi

Setelah pembagian ranah diketahui maka akan


didapatkan panjang kromosom dengan menggunakan
persamaan (22).

Langkah-langkah algoritma genetik dijelaskan dalam


poin-poin berikut.

2(L-1) < pembagian ranah < 2L ............................... (22)

Makalah Seminar Tugas Akhir

Dimana :
L= panjang kromosom

pk

Setelah diketahui panjang kromosom, maka akan


dibangkitkan bilangan biner acak sebesar popsize (ukuran
populasi) yang diinginkan. Setelah didapatkan kromosom
sebanyak popsize maka selanjutnya dilakukan pemetaan
dari kromosom biner (b17 b16 b15 .. b0) ke bilangan
real x dari interval [a b] dilakukan dengan dua langkah
sebagai berikut :
a.

popsize

a.
b.

10

Mencari Bilangan real x yang merupakan


perwujudan dari kromosom bersangkutan dengan
persamaan (24)
(b a) ........................................ (24)
x a x'.
( x max 1)

n crossover = pc x popsize .................................... (29)


Dengan :
n crossover = Jumlah kromosom yang diharapkan mengalami
crossover
pc
= Probabilitas crossover

Kromosom yang mengalami crossover ditentukan


dengan persamaan (30).
Kromosom vi yang mengalami crossover = r i < pc .. (30)
Dimana :
ri
= Bilangan acak yang dibangkitkan, i =1,2, popsize
vi = Kromosom dalam populasi, i =1,2, popsize

3.6

Mutasi
Operator mutasi digunakan untuk melakukan
modifikasi satu atau lebih nilai gen dalam individu yang
sama. Mutasi memastikan bahwa probabilitas untuk
pencarian pada daerah tertentu dalam persoalan tidak
pernah nol dan mencegah kehilangan total materi genetik
setelah pemilihan dan penghapusan. Mutasi ini bukanlah
operator genetik yang utama, tetapi hanya dilakukan
secara acak pada gen dengan kemungkinan / probabilitas
yang kecil. Bit yang akan terkena mutasi ditentukan
dengan syarat pada persamaan (31).
Syarat bit yang terkena mutasi = ri < pm ................ (31)
Dengan :
ri
= Bilangan acak yang dibangkitkan pada setiap bit
Pm = Probabilitas mutasi

Menghitung total fungsi fitness dari populasi


tersebut.
popsize
i

3.7

Pelestarian Kromosom Terbaik


Seperti telah diketahui bahwa metode seleksi
dalam algoritma genetik dilakukan secara acak, sehingga
ada kemungkinan bahwa kromosom yang sebenarnya
sudah baik tidak bisa turut serta pada generasi berikutnya
karena tidak lolos seleksi. Untuk itu perlu kiranya ada
pelestarian kromosom-kromosom terbaik, sehingga

................................................ (26)

i 1

c.

Membangkitkan bilangan acak desimal r untuk


rentang [0 1] sebanyak popsize yaitu 20 kali.
Bila r < q1 , maka dipilih kromosom pertama (vi),
bila r > q1 dipilih kromosom ke-i (2 < i <
popsize) sedemikian rupa sehingga: qi-1 < r < qi.

Crossover
Crossover (pindah silang/rekombinasi kromosom)
adalah operator genetik yang utama. Metode yang
dipakai di sini yaitu Single Point Crossover (penyilangan
satu titik). Prinsip kerja operator ini adalah dengan
mengambil individu dan memotong string kromosom
mereka pada posisi yang terpilih secara acak, untuk
memproduksi dua segmen head dan dua segment tail.
Jumlah kromosom yang diharapkan mengalami crossover
dalam satu populasi ditentukan persamaan (29).

Menghitung fungsi fitness (F) untuk masing-masing


kromosom (vi). Dengan i = 1, 2, Popsize
F(vi) = f (xi) .................................................... (25)

F (v )

.................................................... (28)

3.5

Seleksi
Pada proses algoritma genetik, keanekaragaman
populasi dan tekanan seleksi memegang peranan penting.
Keduanya sangat berkaitan erat. Meningkatnya tekanan
seleksi akan berakibat pada minimnya keragaman
populasi. Sebaliknya tekanan seleksi yang terlalu longgar
membuat proses pencarian menjadi kurang efisien.
Seleksi merupakan proses yang bertanggung jawab atas
pemilihan kromosom dalam proses reproduksi.
Proses seleksi kromosom yang akan mengalami
operasi genetik adalah menggunakan teknik stokastik
dalam hal ini salah satunya adalah metode Roulette
Wheel Selection (seleksi roda rolet). Metode roulette
wheel ini merupakan metode yang paling sederhana, dan
sering juga dikenal dengan nama Stochastic Sampling
With Replacement. Pada metode ini, individu-individu
dipetakan dalam suatu segmen garis secara berurutan
sedemikian sehingga tiap-tiap segmen individu memiliki
ukuran yang sama dengan ukuran fitness-nya. Sebuah
bilangan acak dibangkitkan dan individu yang memiliki
segmen dalam kawasan bilangan acak tersebut akan
terseleksi. Proses ini diulang hingga diperoleh sejumlah
individu yang diharapkan. Langkah-langkah proses
seleksi adalah sebagai berikut:

Ftotal

Proses seleksi didasarkan atas pemutaran roulette


wheel sebanyak popsize kali, setiap kali dipilih
kromosom tunggal sebagai populasi baru, dengan cara
sebagai berikut :

3.4

b.

p
i 1

Dimana :
x
= Nilai real kromosom
a
= Batas kiri interval
b
= Batas kanan interval
x = Hasil perubahan kromosom biner dar bilangan basis 2
menjadi basis 10
xmax = Batas tertinggi range

a.

Menghitung Fitness komulatif (qk) untuk masingmasing kromosom vi . Dengan i = 1, 2, popsize

qk

Mengubah kromosom biner dari bilangan basis 2


menjadi bilangan basis 10 yang kemudian
direpresentasikan sebagai nilai x dengan
menggunakan persamaan (23)
17
(b17 b16 b15 .. b0)2 = b .2 t = x .... (23)
t 0

b.

d.

F v1 ..................................................... (27)
Ftotal

Menghitung Fitness relatif (pk) atau probabilitas


seleksi untuk masing-masing kromosom vi. Dengan i
= 1, 2, popsize

Makalah Seminar Tugas Akhir

kromosom-kromosom yang sudah baik tersebut bisa lolos


seleksi. Seorang pakar algoritma genetik, Muhlenbein,
mengusulkan adanya perbaikan pada algoritma genetik
yang dikenal dengan nama Breeder Genetic Algorithms
(BGA). Pada BGA ini digunakan parameter r, yang
menunjukkan kromosom-kromosom terbaik. Kromosomkromosom ini akan tetap dipertahankan pada generasi
berikutnya dengan cara menggantikan sebanyak r
kromosom pada generasi tersebut secara acak.
Kromosom-kromosom
yang
akan diganti
ditentukan secara acak dengan mengacu pada persamaan
(32).

dapat menghasilkan direktivitas antena yang optimum ini


dilakukan dengan menggunakan metode optimasi
algoritma genetik, yang alur kerjanya ditampilkan dalam
diagram alir pada Gambar 4. Pada diagram alir tersebut,
subrutin Operasi Algoritma Genetik dapat dijabarkan
sebagai urutan operasi algoritma genetik yang
sebelumnya telah ditampilkan pada diagram alir pada
Gambar 2.
Mulai

G ain A ntena
=2 0 dB i

Syarat kromosom yang akan diganti = r i < r .......... (32)

Frekuensi Kerja
A ntena (GHz)

Dengan :
ri = Bilangan acak yang dibangkitkan pada setiap kromosom
r = Probabilitas pelestarian kromosom terbaik

Je nis
W ave guide
S tand ar Yang
Digunakan

3.8

Konvergensi Algoritma Genetik


Dengan cara yang sama, melewati proses seleksi,
crossover, mutasi dan pelestarian kromosom terbaik yang
dilakukan pada generasi kedua sampai maksimum
generasi, maka akan didapatkan kondisi konvergen.
kondisi konvergensi algoritma genetik akan tercapai bila
berada dalam kondisi :

Dim ensi
W ave guide
A ntena Horn
Pe rseg i
Stand ar (a, b)

Ranah P enca rian :


A min - Am aks
B min - Bm aks
Rmin - Rm aks

O p erasi Algo ritm a


Ge netik

Direktivita s
Op tim um Denga n
Nilai Dim e nsi A,
B d an R

Fitness terbaik tiap generasi telah berulang sebanyak


n kali pada n generasi terakhir, dan / atau :
Semua anggota populasi, yaitu kromosomkromosom telah memiliki karakteristik yang sama,
dengan kata lain : fitness terbaik = fitness terburuk =
fitness rata-rata.

Pe rencanaa n Antena
Horn Piram ida Denga n
Dire ktivitas Op tim um
Ya ng M em punya i Dim ensi
a, b, A , B d an R

Sehingga nilai fitness terbaik yang telah konstan


pada kedua indikator konvergensi di atas selanjutnya
direpresentasikan sebagai solusi optimum dari
permasalah tersebut.

Sele sai

Gambar 4 Diagram alir penerapan algoritma genetik untuk


perencanaan antena horn piramida untuk menghasilkan
direktivitas optimum

Penentuan direktivitas antena yang optimum disini


dilakukan pada antena dengan frekuensi dan gain
tertentu, dengan menggunakan waveguide yang sesuai
dengan frekuensi kerja antena yang telah ditentukan.
Frekuensi kerja antena harus berada dalam range
frekuensi waveguide standar pada Tabel 1.
Pada contoh kasus disini akan dibahas optimasi
direktivitas antena horn piramida yang mempunyai
frekuensi kerja = 10 GHz dan gain = 20 dBi, dengan nilai
dimensi antena yang disyaratkan memiliki ketelitian
empat angka di belakang koma. Karena frekuensi kerja
antena yang digunakan adalah 10 GHz maka waveguide
yang digunakan adalah WR 90 yang mempunyai cakupan
range frekuensi 8,21 12,4 GHz dengan panjang a = 2,54
cm dan lebar b = 1,27 cm. Range frekuensi waveguide
8,21 12,4 GHz ini digunakan untuk menentukan ranah
dimensi antena minimum dan maksimum yang dapat
diperoleh dari perhitungan, sedangkan nilai frekuensi
kerja antena 10 GHz digunakan untuk menentukan nilai
panjang gelombang () yang berguna pada saat proses
pencarian dimensi antena dan juga proses pencarian
direktivitas antena horn piramida (Dp).
Dengan memasukkan frekuensi minimum 8,21
GHz dan gain 20 dBi pada persamaan (1) sampai (11)
akan menghasilkan nilai A = 15,9479 cm, B = 13,0214
cm dan R = 26,1800 cm. Sedangkan dengan frekuensi
maksimum 12,4 GHz dan gain = 20 dBi yang
dimasukkan pada persamaan (1) sampai (11) akan
menghasilkan nilai A = 10,5590 cm, B = 8,6214 cm dan

IV

PERANCANGAN SISTEM DAN ANALISA


OPTIMASI
4.1
Perancangan Sistem Optimasi
Optimasi perencanaan antena horn piramida disini
dimaksudkan sebagai kegiatan untuk mencari nilai
direktivitas antena horn piramida yang optimum dengan
jalan menentukan kombinasi ukuran dimensi-dimensi
antena yang mempengaruhi nilai direktivitasnya.
Proses pencarian nilai dimensi-dimensi antena
horn piramida yang dimulai dengan memasukkan nilai
frekuensi dan gain antena yang digunakan, telah dibahas
pada Bab 2 yaitu dengan menggunakan persamaan (1)
sampai (11), sedangkan proses pencarian nilai direktivitas
antena horn piramida menggunakan persamaan (12)
sampai (20). Dari persamaan-persamaan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa nilai direktivitas antena horn
piramida dipengaruhi oleh nilai dimensi-dimensinya
yaitu: A (panjang mulut antena bidang-H), B (lebar mulut
antena bidang-E), R (panjang antena), a (panjang
waveguide bidang-H) dan b (lebar waveguide bidang-E).
Dengan demikian, untuk menentukan direktivitas
antena horn piramida yang optimum maka cara yang
dipakai adalah menentukan kombinasi yang tepat antara
nilai dimensi-dimensi tersebut. Karena nilai dimensi a
dan b disesuaikan dengan ukuran waveguide standar
antena horn persegi seperti ditampilkan pada Tabel 1,
maka nilai a dan b tidak bisa disesuaikan lagi, sehingga
nilai dimensi antena yang bisa dikombinasikan untuk
mencari direktivitas antena yang optimum adalah A, B
dan R. Proses pencarian kombinasi A, B dan R yang

Makalah Seminar Tugas Akhir

R = 18,3403 cm. Dengan demikian ranah pencarian nilai


dimensi antena diketahui yaitu :

Contoh perhitungan untuk kromosom pertama (v1)


yaitu memasukkan bilangan biner hasil pembangkitan
acak ke dalam persamaan (24), untuk mendapatkan nilai
real variabel A, B dan R. Batas kiri dan batas kanan
interval adalah nilai minimum dan nilai maksimum ranah
pencarian nilai dimensi antena A, B dan R.
Contoh perhitungan untuk kromosom pertama (v1)
yaitu memasukkan bilangan biner hasil pembangkitan
acak
yaitu
(000111110001000111011010100010010110110100110
0001) ke dalam persamaan (24), untuk mendapatkan nilai
real variabel A, B dan R. Batas kiri dan batas kanan
interval adalah nilai minimum dan nilai maksimum ranah
pencarian nilai dimensi antena A, B dan R.

Dimensi A berada pada range : 10,5590 15,9479


cm
Dimensi B berada pada range : 8,6214 13,0214
cm.
Dimensi R berada pada range : 18,3403 26,1800
cm.

Dari sini permasalahan dapat dirumuskan yaitu :


Tentukan nilai A pada interval [10,5590 15,9479], B
pada interval [8,6214 13,0214] dan R pada interval
[18,3403
26,1800] yang mengoptimumkan fungsi
.2

Dp 10. log
.DE .DH dengan nilai A, B, R dan Dp
32
.
a
.
b

disyaratkan mempunyai batas ketelitian empat angka di


belakang koma . Pada penggunaan algoritma genetik
untuk memecahkan permasalahan ini, pertamakali yang
harus dilakukan adalah menentukan parameter kontrol
algoritma genetik. Pada kasus ini, parameter kontrol
algoritma genetik yang digunakan adalah:

Batas kiri interval A = 10,5590


Batas kanan interval A = 15,9479
Batas tertinggi range = 216 = 65536
A = (0001111100010001)2 = (7953)10 ;

Batas kiri interval B = 8,6214


Batas kanan interval B = 13,0214
Batas tertinggi range = 216 = 65536
B = (1101101010001001)2 = (55945)10 ;

Fungsi fitness yang digunakan adalah persamaan


akhir perhitungan, yaitu persamaan direktivitas antena
horn piramida dalam satuan dBi, yaitu :
. 2

.D E .DH
Fungsi fitness = D p (dBi) 10. log

B = 8,6214 55945.

Langkah selanjutnya adalah membangkitkan


kromosom biner secara acak sebanyak ukuran populasi
yaitu 30 buah kromosom, yang digunakan sebagai
populasi awal generasi pertama. Untuk menentukan
panjang kromosom tiap komponen A, B dan R,
digunakan persamaan (21) dan (22) yang menghasilkan :
Pembagian ranah A =
53.889
Pembagian ranah B =
44.000
Pembagian ranah R =
78.397

dan

( 26,1800 18,3403)
21,6841
R = 18,3403 55905.
(131072 1)

Untuk mendapatkan nilai fitness yang berupa


fungsi direktivitas antena horn piramida maka nilai real
A = 11,2130; B = 12,3775 dan R = 21,6841 dimasukkan
ke dalam persamaan (12) hingga (20) yang akan
menghasilkan :

(15,9479 - 10,5590) x 104 =


(13,0214 -

dan

(13,0214 8,6214)
12,3775
(65536 1)

Batas kiri interval R = 18,3403


Batas kanan interval R = 26,1800
Batas tertinggi range = 217 = 131072
R = (01101101001100001)2 = (55905)10 ;

dan

(15,9479 10,5590)
11,2130
(65536 1)

A = 10,5590 7953.

Maksimum generasi (ngen) = 50


Ukuran populasi (popsize)
= 30
Probabilitas crossover (pc) = 0,9
Probabilitas mutasi (pm)
= 0,01
Probabilitas pelestarian kromosom terbaik (r) = 0,2

32.a.b

Bit ke-33 hingga bit ke-49 merepresentasikan


variabel R

8,6214) x 104 =

Nilai Fitness = Direktivitas Antena (dBi) = 6,8257

(26,1800 - 18,3403) x 104 =

Maka :

Dimensi A, B dan R yang ditampilkan dalam tabel


menggunakan satuan cm sedangkan nilai fitness
menggunakan satuan dBi. Proses yang sama juga
diterapkan pada kromosom ke-2 hingga kromosom ke-30.
Setelah melewati tahapan seleksi, crossover,
mutasi dan pelestarian kromosom terbaik, maka dari
populasi generasi pertama didapatkan hasil : pada
populasi akhir generasi pertama dapat dilihat bahwa:

Panjang kromosom A = 16 bit


Panjang kromosom B = 16 bit
Panjang kromosom R = 17 bit

Fitness terburuk
Fitness rata-rata
Fitness terbaik

Dengan begitu, untuk kromosom dengan panjang


49 bit yang akan digunakan disini, nantinya berlaku:

Hasil ini tentu belum optimal karena baru


perhitungan satu generasi. Untuk mencapai kondisi
optimal atau konvergen maka penghitungan harus
dilanjutkan ke generasi kedua dan seterusnya hingga
generasi ke-50 sesuai dengan parameter kontrol algoritma
genetik yang telah ditentukan sebelumnya, dengan
metode yang sama dengan perhitungan generasi pertama.

Karena,
215 < 53.889 < 216
215 < 44.000 < 216
216 < 78.397 < 217

Bit ke-1 hingga bit ke-16 merepresentasikan


variabel A
Bit ke-17 hingga bit ke-32 merepresentasikan
variabel B

= 5,4453 (pada kromosom ke-1)


= 6,8785
= 7,2358 (pada kromosom ke-8)

Makalah Seminar Tugas Akhir

4.2

Analisa Optimasi
Untuk melakukan perhitungan nilai optimum
dengan menggunakan algoritma genetik hingga generasi
ke-50, tentu tidak mudah dilakukan secara manual,
karena masalah keterbatasan waktu, tenaga dan juga yang
utama adalah masalah ketelitian proses penghitungan.
Untuk itu maka perlu dirancang suatu program simulasi
yang berfungsi untuk melakukan perhitunganperhitungan algoritma genetik yang prosesnya telah
dijelaskan di bagian depan. Dengan menggunakan
program simulasi untuk proses perhitungan, maka akan
menghemat waktu, tenaga dan juga hasil yang didapat
memiliki tingkat akurasi atau ketelitian yang tinggi.
Program simulasi yang digunakan, dibuat
menggunakan bahasa pemrograman Matlab versi 6.1
yang dijalankan pada Personal Computer dengan sistem
operasi Microsoft Windows. Pada Tugas Akhir ini,
dirancang dua buah program simulasi, yang pertama
adalah program perhitungan karakteristik antena horn
piramida tanpa optimasi yang meliputi dimensi dan
direktivitas berdasarkan persamaan-persamaan dasar teori
dan yang kedua adalah program perhitungan karakteristik
antena horn piramida yang meliputi dimensi dan
direktivitas yang dioptimasi dengan menggunakan
algoritma genetik, dimana program ini dirancang dengan
berbasis GUI (Graphical User Interface). Keluaran dari
kedua program simulasi tersebut nantinya akan
dibandingkan untuk mengetahui kondisi direktivitas
antena horn piramida tanpa dan dengan proses optimasi.
Tampilan
program
simulasi
perhitungan
karakteristik antena horn piramida tanpa optimasi
ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 6 Tampilan hasil penghitungan optimasi karakteristik


antena

Gambar 7 Tampilan grafik hasil optimasi oleh algoritma


genetik

Berdasarkan pada hasil yang didapat dari


perhitungan menggunakan program simulasi yang
ditampilkan pada Gambar 6 maka atas rumusan
permasalahan, Maka dari hasil proses optimasi,
didapatkan hasil yaitu pada frekuensi kerja antena = 10
GHz dan gain = 20 dBi, antena horn piramida
mempunyai direktivitas optimum 7,2332 dBi dengan
ukuran dimensi a = 2,54 cm, b = 1,27 cm, A= 14,9449
cm ; B = 11,3795 cm dan R = 22,0225 cm. Direktivitas
hasil optimasi ini tentunya lebih baik daripada
direktivitas antena tanpa optimasi, seperti telah
ditampilkan oleh program perhitungan karakteristik
antena tanpa optimasi pada Gambar 5 yaitu 7,0893 dBi.
Untuk mengetahui apakah hasil dari perhitungan
menggunakan algoritma genetik lebih baik dari
perhitungan tanpa optimasi, maka hasil dari kedua
macam metode perhitungan tersebut akan dibandingkan
satu sama lain. Karakteristik antena yang dibandingkan
adalah nilai direktivitas pada perhitungan dengan
frekuensi kerja antena yang berbeda-beda seperti
ditampilkan pada Tabel 2.

Gambar 5 Tampilan program simulasi perhitungan


karakteristik antena horn piramida tanpa optimasi

Sedangkan
tampilan
program
simulasi
perhitungan karakteristik antena horn piramida yang
dioptimasi dan grafik hasil optimasi dengan
menggunakan algoritma genetik
ditampilkan pada
Gambar 6 dan Gambar 7.
Dari grafik hasil optimasi pada Gambar 7, dapat
dilihat bahwa syarat kondisi konvergensi telah terpenuhi
pada indikator pertama yaitu: fitness terbaik tiap generasi
telah berulang sebanyak n kali pada n generasi terakhir,
dengan demikian proses optimasi dianggap telah berhasil.

Makalah Seminar Tugas Akhir

Tabel 2 Perbandingan direktivitas antena tanpa dan dengan


proses optimasi
Direktivitas Tanpa
Optimasi
Tanpa
dBi
Satuan

Frek.
Kerja
(GHz)

Direktivitas
Dengan Optimasi
Tanpa
dBi
Satuan

Peningkatan
Direktivitas
Tanpa
dBi
Satuan

Persentase
Peningkatan (%)
Tanpa
dBi
Satuan

10

5,1160

7,0893

5,2910

7,2354

0,1750

0,1461

3,4206

2,0606

40

19,9219

12,9933

21,1641

13,2560

1,2422

0,2627

6,2353

2,0218

80

39,2112

15,9341

42,2532

16,2586

3,0420

0,3245

7,7580

2,0365

140

69,8618

18,4424

76,3607

18,8287

6,4989

0,3863

9,3025

2,0947

220

104,5948

20,1951

116,3912

20,6592

11,7964

0,4641

11,2782

2,2981

325

144,0887

21,5863

171,8977

22,3527

27,8090

0,7664

19,2999

3,5504

4.3

Hasil Optimasi Perencanaan Antena Horn


Piramida
Setelah nilai direktivitas antena horn piramida
yang optimum dengan nilai dimensi antena A, B dan R
telah didapatkan, maka kemudian akan dicari nilai
besaran dimensi antena yang lain yaitu R h, Re , r1 dan r2.
Nilai dimensi a dan b telah didapat dari tabel jenis
waveguide antena horn persegi standar. Untuk
perencanaan antena horn yang optimum pada frekuensi
kerja 10 GHz dan gain 20 dBi dengan menggunakan
algoritma genetik, misalnya dengan menggunakan
parameter kontrol (populasi = 50, maksimum generasi =
30, probabillitas crossover = 0,9 dan probabilitas mutasi
= 0,01) maka dari perhitungan program simulasi akan
didapatkan nilai direktivitas optimum yaitu 7,2354 dBi
dengan nilai A= 15,8016 cm, B = 11,3347 cm, R =
24,7309 cm. Sesuai dengan waveguide yang digunakan
yaitu WR90, maka nilai a = 2,54 cm dan b = 1,27 cm.
Berdasar nilai dimensi yang telah didapatkan
tersebut, maka nilai dimensi antena lainnya dapat
diketahui dengan menggunakan persamaanpersamaan
dasar teori pada Bab 2. Dengan memodifikasi persamaan
(7) dan (8) maka didapatkan nilai Re = R h = 21,7626 cm.
Kemudian dari nilai R e dan Rh serta dengan
menggunakan persamaan (10) dan (11), didapatkan nilai
dimensi r 1 = r2 = r = 4,6232 cm.
Dengan demikian semua nilai dimensi antena horn
piramida, yang telah dioptimasi untuk mendapatkan
direktivitas optimum telah diketahui dan proses
perencanaan antena horn piramida dianggap telah selesai.
Hasil dari perencanaan antena horn piramida berupa
skema antena dan nilai dimensi antena, ditampilkan pada
Gambar 9.

Hasil dari Tabel 2 tentang perbandingan nilai


direktivitas tanpa optimasi dengan nilai direktivitas
dengan optimasi tersebut dapat dijabarkan dalam sebuah
grafik pada Gambar 8a dan 8b.
Perbandingan direktivitas antena tanpa dan dengan proses
optimasi dengan frekuensi berubah pada nilai gain = 20 dBi

Direktivitas

200
180

171,8977

160
140
120
100
80
60
40
20
0

144,0887

116,3912

Tanpa optimasi

104,5948

76,3607

Dengan optimasi
69,8618

42,2532
21,1641
5,291

39,2112

19,9219
5,116

10

40

80 140 220 325

Frekuensi Kerja (GHz)

(a)
Perbandingan direktivitas antena (dalam dBi) tanpa dan dengan
proses optimasi dengan frekuensi berubah pada nilai gain =
20dBi

22,3527

25

20,6592

Direktivitas (dBi)

18,8287

20

16,2586
13,256

SKEMA ANTENA

21,5863
20,1951

18,4424

15,9341

15

Tanpa optimasi

12,9933

10

Peningkatan nilai direktivitas tanpa satuan terlihat


menunjukkan hasil yang lebih signifikan daripada
peningkatan nilai direktivitas dengan satuan
penguatan (dBi).

Dengan optimasi

7,2354

7,0893

5
r

10

40

80 140 220 325

BIDANG-H

BIDANG-E

Frekuensi Kerja (GHz)


Re

Rh

(b)

R1
a

Gambar 8 Grafik perbandingan nilai direktivitas antena horn


piramida tanpa dan dengan proses optimasi : (a) direktivitas
tanpa satuan (b) direktivitas dalam satuan dBi

Nilai direktivitas antena horn piramida yang


dihasilkan dengan proses optimasi bernilai lebih
tinggi daripada nilai direktivitas tanpa proses
optimasi pada semua sample frekuensi kerja yang
diuji.
Semakin tinggi frekuensi kerja antena yang
digunakan, maka prosentasi optimasi (peningkatan
nilai direktivitas) yang dihasilkan oleh perhitungan
menggunakan algoritma genetik, juga mengalami
trend peningkatan.

: 10

GAIN

: 20

DIREKTIVITAS

: 5,2910

DIR. (PENGUATAN)

: 7,2354

WAVEGUIDE

B
r2

ANT ENA
FREKUENSI
KERJA

R2

r1

Dari hasil pengujian yang telah ditampilkan pada


Tabel 2 dan Gambar 8, dapat diambil suatu kesimpulan
yaitu :

: WR 90

H ORN
GHz

dBi

dBi

PIR AMID A
DIMENSI ANTENA
a

: 2,54

cm

: 1,27

cm

: 15,8016

cm

: 11,3347

cm

R1 = R2 = R

: 24,7309

cm

r1 = r2 = r

: 4,6232

cm

Rh = Re

: 21,7626

cm

Gambar 9 Hasil optimasi perencanaan antena horn piramida

Makalah Seminar Tugas Akhir

4.

V
5.1

PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil pengujian menggunakan program
simulasi serta analisa hasil pengujian, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses optimasi dengan menggunakan algoritma
genetik pada waktu proses perencanaan, dapat
digunakan untuk meningkatkan nilai direktivitas
antena horn piramida tanpa meningkatkan nilai
frekuensi kerja dan gain antena yang digunakan,
dengan cara mencari kombinasi nilai dimensidimensi antena yang mempengaruhi nilai
direktivitas, sehingga pada akhirnya didapatkan
kombinasi nilai dimensi-dimensi antena yang
menghasilkan direktivitas antena yang optimum.
2. Proses penghitungan nilai optimum direktivitas
antena horn piramida pada frekuensi kerja tertentu
dengan berbagai parameter kontrol algoritma genetik
yang berbeda-beda menghasilkan nilai optimum
direktivitas antena yang nilainya tidak terpaut jauh.
Pada proses pengujian dengan sample frekuensi
kerja 10 GHz, dengan parameter kontrol algoritma
genetik (populasi, generasi, probabilitas crossover,
probabilitas mutasi) mendapatkan hasil : (30; 50;
0,6; 0,02) menghasilkan nilai optimum 7,2340 dBi,
(30; 50; 0,9; 0,01) = 7,2332 dBi, (50; 30; 0,6; 0,02)
= 7,2335 dBi, (50; 30; 0,9; 0,01) =7,2354 dBi, (80;
20; 0,6; 0,02) = 7,2356 dBi, (80; 20; 0,9; 0,01) =
7,2358 dBi. Hasil tersebut lebih baik daripada nilai
direktivitas antena tanpa optimasi yaitu 7,0893 dBi.
3. Dari hasil pengujian optimasi nilai direktivitas
antena horn piramida pada berbagai macam sample
frekuensi kerja, proses optimasi dapat meningkatkan
nilai direktivitas antena pada keenam sample
frekuensi kerja yang diuji, dengan persentase
kenaikan nilai direktivitas dalam satuan dBi sebesar
2,0606 % pada sample frekuensi kerja terendah 10
GHz dan sebesar 3,5504 % pada sample frekuensi
kerja tertinggi 325 GHz.
4. Dengan demikian semakin tinggi frekuensi kerja
antena yang digunakan, maka nilai persentase
optimasi atau persentase peningkatan nilai
direktivitas yang dihasilkan oleh proses optimasi
menggunakan algoritma genetik juga mengalami
peningkatan.

5.

6.

7.

8.

9.
10.

11.
12.
13.
14.

15.
16.

5.2

Saran
Kendala utama hasil perencanaan antena horn
piramida yang mempunyai dimensi-dimensi antena
dengan ketelitian empat angka di belakang koma ini
adalah mengimplementasikannya ke dalam perangkat
keras secara tepat, jadi oleh karena itu bila tidak
memungkinkan, nilai dimensi antena dapat sekurangkurangnya dibulatkan dengan ketelitian satu angka di
belakang koma.

17.

18.

19.
20.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.

21.

Blake,Lamont V, Antennas, New York:John Wiley


& Sons,1966
Chipperfield,Andrew, Peter Fleming, Hartmut
Polheim & Carlos Fonseca, Genetic Algorithms
Toolbox (For Use With Matlab)
Collins,RE, Antennas and Radiowave Propagation,
New
York:Mc
Graw-Hill
International
Education,1985

22.

23.

10

Davis,Lawrence, Handbook of Genetic Algorithms,


New York:Van Nostrand Reinhold,1991
Dawid, Herbert, Adaptive Learning by Genetic
Algorithms-Analytical Result and Applications to
Economic Models (Second, Revised and Enlarged
Edition), Vienna:Springer,1996
Delgado, Heriberto J. and Michael H. Thursby, Ph.
D, "Design of a 10 GHz Rectangular Microstrip
Patch Antenna Using HP Momentum", Report
Number 1, Antenna Systems Laboratory Technical
Journal, Department of Electrical/Computer
Engineering - Florida Institute of Technology, 1997
Delgado, Heriberto J., Young-Min Jo and Michael
H. Thursby, Ph.D., "Anechoic Chamber Quiet
Zone
Analytical
and
Experimental
Characterization for Various Transmitting
Antennas", Report Number 11, Antenna Systems
Laboratory Technical Journal, Department of
Electrical/Computer Engineering Florida Institute of
Technology, December,1997
Djarwanto PS, Pokok-Pokok Metode Pengumpulan
Data
dan
Penulisan
Karya
Ilmiah,
Jakarta:Liberty,1991
Gandhi, OMP., Microwave Engineering and
Applications, Singapore: Maxwell Macmillan
International ed.,1989
Hanselman, Duane & Bruce Littlefield, Matlab
(Bahasa Komputasi Teknis),Yogyakarta:Andi
Yogyakarta,2000
Krauss,John D, Antennas (Second Edition), New
York : Mc Graw-Hill International Education,1988
Krauss,John D,Ronald J Marhefka, Antennas (Third
Edition), New York:Mc Graw-Hill International
Education,2002
Kuswara Setiawan, Paradigma Sistem Cerdas
Artificial
Intelligence,
Malang:Bayumedia
Publishing, 2003
Man K.F, K.S.Tang, S.Kwong & W.A.Halang,
Genetic Algorithms For Control and Signal
Processing Advanced in Industrial Control,
London:Springer- Verlag London Limited,1997
Michalewicz, Zbigniew, Genetic Algorithms + Data
Structures = Evolution Programs, Vienna:SpringerVerlag,1996
Mitsuo Gen, Runwei Cheng, Genetic Algorithms &
Engineering Design, Canada:John Wiley & Sons
Inc,1997
Polheim,Hartmut, GEA Toolbox: Genetic and
Evolutionary Algorithms: Principles, Methods and
Algorithms.http://www.geatbx.com/docu/algindex.h
tml
Russel,Stuart J & Peter Norvig, Artificial
Intelligence a Modern Approach, New Jersey:
Prentice Hall,1995
Sandi
Setiawan,
Artificial
Intelligence,
Yogyakarta:Andi Offset,1993
Son Kuswandi, Pengendali Cerdas, Jakarta:
EEPIS,2000
Sri Kusumadewi, Artificial Intelligence (Teknik
dan Aplikasinya), Yogyakarta:Graha Ilmu,2003
Young-Min Jo, Phase Model for a Sectoral Horn
Antenna, Technical Report, Antenna Systems
Laboratory-Florida Institute Of Technology, July
1997
Young-Min Jo & Michael H. Thursby, Ph.D, Field
Analysis Using a Horn Antenna in the QuietZone, Report Number 9, Antenna Systems

Makalah Seminar Tugas Akhir

24.
25.
26.
27.

Laboratory Technical Journal - Florida Institute of


Technology, November,1997
______, Building GUI With Matlab,The Math
Works,June,1997
______, Getting Started With Matlab,The Math
Works,September,1998
______,Pyramidal
Horn
Antenna,
http://www.qwed.com.pl
______, Using Matlab, The Math Works,Januari,
1999

Mengetahui / Menyetujui
Pembimbing I

Achmad Hidayatno, ST,MT


NIP. 132 137 933

Pembimbing II

Aghus Sofwan, ST,MT


NIP. 132 163 757

11

Anda mungkin juga menyukai