Anda di halaman 1dari 19

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN

MEDIKOLEGAL
MUTILASI

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat dalam Menempuh


Program Pendidikan Profesi Dokter

Disusun Oleh :
Ardi Fauzi

22010112210008

FK UNDIP

Farah Maulida

22010112210018

FK UNDIP

Wellwinner Imanuel S.

0861050121

FK UKI

Noi Maya Anggrita S.

0861050129

FK UKI

Yohanes Theodorus

0961050160

FK UKI

Gabriela Enneria S.

0961050124

FK UKI

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DOKTER KARIADI SEMARANG
PERIODE 21 OKTOBER 16 NOVEMBER 2013
LEMBAR PENGESAHAN

MUTILASI

Disusun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh


Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Disusun Oleh :

Ardi Fauzi

22010112210008

FK UNDIP

Farah Maulida

22010112210018

FK UNDIP

Wellwinner Imanuel S.

0861050121

FK UKI

Noi Maya Anggrita S.

0861050129

FK UKI

Yohanes Theodorus

0961050160

FK UKI

Gabriela Enneria S.

0961050124

FK UKI

Mengetahui
Dosen Penguji

dr. Sigid Kirana L.B., SpKF

Residen Pembimbing

dr. Suryo Wijoyo

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah .........................................................................................2
1.3 Tujuan .............................................................................................3
1.4 Manfaat ...........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1......................................................................4
2.2 4
2.3 ..5
2.4 ..............................................................................6
2.5 .12
2.5.1 ..12
2.5.2 ..........................................24
2.5.3 ...28
2.6 ............33
BAB III KESIMPULAN ...........36
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................38

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan refarat yang berjudul Mutilasi.
3

Adapun tujuan dari penyusunan refarat ini adalah untuk mengenal pola perlukaan
yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas. Dalam proses pembuatan referat ini, penyusun
dilatih untuk membaca dan memahami buku-buku Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal khususnya dan memahami buku Kedokteran lain pada umumnya, juga
mencari bahan-bahan melalui situs-situs di internet, lalu menuangkan pengetahuan yang
telah diperoleh dari semua sumber tersebut dalam bentuk tulisan dan mempresentasikan
secara lisan di hadapan dokter penguji, dokter pembimbing, dan teman-teman.
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak
mendukung dan membantu hingga selesainya referat ini.
1. dr. Sigid Kirana L.B.,SpKF, selaku penguji referat.
2. dr. Suryo Wijoyo, selaku pembimbing referat yang senantiasa meluangkan waktu
dan penuh kesabaran membimbing kami dalam menyelesaikan referat ini.
3. Segenap staf Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro/RSUP dr. Kariadi Semarang.
4. Kedua orang tua kami yang telah memberikan bantuan baik material maupun
spiritual.
5. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro/RSUP dr.Kariadi Semarang yang telah memberikan bantuan
baik material maupun spiritual bagi kami.
Dalam penyusunan referat ini kami merasa masih banyak kekurangan baik secara
teknik maupun materi penulisan, mengingat akan kemampuan yang dimiliki kami. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat

kami harapkan demi penyempurnaan

pembuatan referat ini.


Semarang, 30 Oktober 2013

Tim Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mutilasi merupakan tindakan memotong-motong organ tubuh seseorang,
baik dalam keadaan korban masih hidup maupun sudah tidak bernyawa dengan
alasan untuk menghilangkan jejak korbannya maupun karena alasan dendam.
Maraknya terjadi pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia menimbulkan banyak
pertanyaan di benak kita. Mengapa seseorang dapat melakukan mutilasi, apakah
perbuatan tersebut dilakukan untuk menghilangkan jejak perbuatannya atau
pelaku mengalami kelainan jiwa. Di Indonesia sendiri tidak ada peraturan yang
secara khusus mengatur tentang kejahatan dengan cara mutilasi ini. Pengaturan
mutilasi pun akhirnya disamakan dengan pengaturan tindak pidana terhadap
nyawa pada umumnya, yaitu dengan berpedoman pada pasal 338 dan 340 KUHP.
Hal ini juga menjadi pertanyaan kita bahwa bagaimana Hukum Positif Indonesia
memandang dan mengatur tentang mutilasi.
Tindak Pidana Pembunuhan memang sudah lama di kenal oleh Hukum
Nasional kita melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bab XIX Buku II
KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
Kejahatan terhadap Nyawa. Jenis Pembunuhan yang di atur dalam Bab ini
meliputi Pembunuhan dengan Sengaja (Pasal 338), pembunuhan dengan rencana
(Pasal 340), Pembunuhan anak setelah lahir oleh Ibu (pasal 341-342), Mati Bagus
(Pasal 344) dan Pengguguran kandungan (pasal 346-349). Sama sekali tidak
terdapat satu pasal pun yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan yang
diikuti pemotongan tubuh korban. Keadaan ini tentu saja dapat menimbulkan
masalah hukum tentang kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Oleh
karena itu dapatlah diambil beberapa isu hokum. Pertama, apakah tindakan
pemotongan tubuh korban (mutilasi) dapat disebut sebagai kejahatan? Kedua,
ketentuan hukum pidana apakah yang dapat dikenakan pada tindak mutilasi?

Dalam makalah ini dibahas dua pokok permasalahan terkait dengan hal
tersebut, yaitu Pertama, menjawab faktor-faktor apakah yang menyebabkan
terjadinya mutilasi. Kedua, menjawab pertanyaan bagaimana pengaturan mutilasi
dalam hukum pidana Indonesia. Dalam kenyataannya, mutilasi bisa dilakukan
oleh siapapun sepanjang pelaku mempunyai kemampuan psikologis dan adanya
kondisi situasional yang memungkinkan terjadinya hal tersebut dengan tujuan
untuk menghilangkan jejak maupun karena rasa dendam si pelaku. Pengaturannya
pun tidak sembarangan karena sisi psikologi dan kriminologinya harus
diperhatikan. Disinilah hukum pidana berfungsi dalam menentukan penjatuhan
hukuman yang sesuai terhadap pelaku mutilasi.
Mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah terjadi
selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia yang telah
melakukan budaya mutilasi diamana perbuatan tersebut merupakan suatu identitas
mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil, amerika, meksiko,
peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan terhadap kaum
perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan mereka, yang
sering disebut dengan Female Genital Mutilation (FGM). FGM merupakan
prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital
perempuan yang paling sensitif.1
Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam
suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai
filosofis, tetapi Mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi kejahatan
dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan untuk
mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit untuk
dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari para
korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian,
seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian bagian-bagian
tubuh tersebut dibuang secara terpisah.
Maraknya metode Mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan
terjadi karena berbagai faktor, baik itu karena kondisi psikis dari seseorang
dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga dapat

melakukan

tindakan

yang

dapat

digologkan

sebagai

tindakan

yang

tidak manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau
karena keadaan rumah tangga dari pelaku. Kejahatan merupakan suatu istilah
yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat, pada dasarnya istilah
kejahatan itu diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia
tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Perbuatan atau tingkah laku
yang yang dinilai serta mendapat reaksi yang yang bersifat tidak disukai oleh
masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan untuk muncul
di tengah-tengah kehidupan masyarakat begitu juga dengan kejahatan mutilasi.
Tindak pidana mutilasi (human cutting body) merupakan tindak pidana yang
tergolong kejahatan terhadap tubuh dalam bentuk pemotongan bagianbagian tubuh tertentu dari korban. Apabila ditinjau dari segi gramatikal, kata
mutilasi itu sendiri berarti pemisahan, penghilangan, pemutusan, pemotongan
bagian tubuh tertentu. Dalam hal lain mutilasi itu sendiri diperkenankan dalam
etika dunia kedokteran yang dinamakan dengan istilah amputasi yaitu,
pemotongan bagian tubuh tertentu dalam hal kepentingan medis. Berdasarkan
tinjauan sejarah, mutilasi merupakan sebuah budaya yang pada dasarnya telah
terjadi selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun, banyak suku-suku di dunia
yang telah melakukan budaya mutilasi diamana perbuatan tersebut merupakan
suatu identitas mereka terhadap dunia, seperti suku aborigin, suku-suku brazil,
amerika, meksiko, peru dan suku conibos. Pada umumnya mutilasi ini dilakukan
terhadap kaum perempuan dimana tujuannya adalah untuk menjaga keperawanan
mereka, yang sering disebut dengan female genital mutilation

(FGM),

merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari


organ genital perempuan yang paling sensitif.
Pada kenyataannya, belakangan ini mutilasi tidak hanya digunakan dalam
suatu kebudayaan dimana terdapat unsur-unsur dan nilai-nilai estetika dan nilai
filosofis, tetapi mutilasi sudah termasuk kedalam suatu modus operandi
kejahatan dimana para pelaku kejahatan menggunakan metode ini dengan tujuan
untuk mengelabui para petugas, menyamarkan identitas korban sehingga sulit
untuk dicari petunjuk mengenai identitas korban, serta meghilangkan jejak dari

para korban seperti memotong bagian-bagian tubuh korban menjadi beberapa


bagian, seperti kepala, tubuh dan bagian-bagian lain tubuh, yang kemudian
bagian-bagian tubuh tersebut dibuang secara terpisah. Maraknya modus mutilasi
ini digunakan oleh para pelaku kejahatan terjadi karena berbagai faktor di
samping untuk menghilangkan jejak, baik itu karena kondisi psikis dari
seseorang dimana terjadi ganguan terhadap kejiwaan dari seseorang sehingga
dapat melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang tidak
manusiawi tersebut, karena faktor dari sosial, karena faktor ekonomi, atau karena
keadaan rumah tangga dari pelaku.
Dalam hal telah terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan Mutilasi
sangatlah di perlukan peran dan tugas pihak Kepolisian khususnya satuan
Reserse Kriminal dalam Pengungkapannya sebab penbunuhan yang dilakuka n
secara mutilasi atau dengan memotong-motong korbanya sangat susah untuk
di

lakukan pengungkapan di karenakan kondisi korban yang rusak dan

banyaknya anggota tubuh yang hilang, ini membutuhkan kerja keras dari pihak
kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal, jadi dengan Keberadaan institusi
Kepolisian dalam kehidupan masyarakat harus dapat mewujudkan hukum dalam
kenyataan, menjamin kepastian hukum, dan keadilan, sehingga memegang
peranan penting dalam mewujudkan Negara hukum.
Baik buruknya citra suatu Negara hukum sebahagian turut ditentukan
oleh kinerja Kepolisian negaranya. Kebutuhan pokok setiap manusia baik
sebagai individu

maupun sebagai warga

Negara adalah

terjaminnya

kesejahteraan dan keamanan hidupnya. Keamanan dalam negeri merupakan


syarat utama yang mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil,
makmur, dan beradad berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pada dasarnya Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 4 sebagai
berikut :
Kepolisian

Negara Republik Indonesia

bertujuan untuk

mewujudkan

keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan

ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya

hukum, terselenggaranya

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya


ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia
Fungsi kepolisian merupakan bagian dari suatu fungsi pemerintahan
Negara dibidang penegaka hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta
pembimbing masyarakat dalam rangka terjaminnya ketertiban dan tegaknya
hukum, kepolisian sebagai integral fungsi pemerintah negara, ternyata fungsi
tesebut memiliki takaran yang begitu luas, tidak sekedar aspek refresif, dalam
kaitannya dengan proses penegakan hukum pidana saja, tapi juga mencakup
aspek preventif berupa tugas-tugas yang dilakukan yang begitu melekat pada
fungsi utama hukum administratif dan bukan kopetensi pengadilan. 2
Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan masyarakat
sudah seharusnya pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal
mewujudkan rasa aman tersebut.

Dalam hal mengungkap tindak pidana

pembunuhan diperlukan kerja keras dari pihak Kepolisian khususnya satuan


Reserse Kriminal untuk mengidentifikasi korban agar menemukan siapa yang
menjadi otak pelaku pembunuhan tersebut dan segera untuk menghukum para
pelaku pembunuhan tersebut. Hal ini sudah menjadi pekerjaan rumah bagi pihak
Polri khususnya satuan Reserse Kriminal untuk mencari dan menemukan para
pelaku kejahatan, serta memberikan rasa aman bagi setiap warga negara dan
mencegah agar tidak terjadi lagi kejahatan ini sesuai dengan apa yang menjadi
cita cita Pihak kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dan sudah diatur
dalam Undang undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun
2002 melatarbelakangi penulis untuk membahas lebih jauh mengenai motif
tindak pidana mutilasi dari segi penyimpangan perilaku seksual apakah antara
satu sama lain memiliki keterkaitan yang erat, dan bagaimana tinjauan psikologi
kriminal dalam meneliti aspek-aspek kejiwaan pelaku serta faktor-faktor lain
yang mempengaruhi pelaku, serta bagaimana peranan pemeriksaan psikologis
sebagai pembuktian unsur bersalah sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman
terhadap terdakwa.

B. RUMUSAN MASALAH
1.

Bagaimana Peranan Kriminal dalam Mengungkap Tindak pidana

2.
3.

Mutilasi.
Bagaimana Tinjauan Hukum Terhadap Tindak Pidana Mutilasi.
Upayaupaya dalam Menanggulangi tindak pidana Mutilasi

C. TUJUAN PENULISAN
a) Tujuan Umum
Mengetahui
b) Tujuan Khusus
1.
Untuk mengetahui

Bagaimana

Peranan

dan

Tugas

Satuan

2.

Reserse Kriminal dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi.


Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menjadi Penyebab Tindak

3.

Pidana
Untuk mengetahui Upaya-upaya dari Satuan Reserse Kriminal
untuk Menanggulangi Tindak Pidana Mutilasi.

D. MANFAAT PENULISAN
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, khususnya kepada teman sejawat untuk menambah pengetahuan dan
wawasan pada medikolegal perlindungan pasien. Manfaat lain dari penulisan
makalah ini adalah dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan dapat
dijadikan acuan dalam menjalankan profesi sebagai seorang dokter.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.

PENGERTIAN MUTILASI
Dari pengertiannya, kata "mutilasi" tidak selalu identik dengan manusia

atau hewan. Kata ini lebih identik dengan pekerjaan memotong-motong atau
memilah sesuatu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Mutilasi (mutilate)
menurut Burton's Legal Thesaurus berarti "amputate, batter, blemish,broise,
butcher, cripple, cut, damage, debilitate, deface, deform, deprive of an important
part, disable, disfigure, dismantle, dismember, distort, gash, impair, incapatitate,
injure, knock out of shape, lacerate, maim, mangle, render a document
imperfect" (William C. Burton, Burton's Legal Thesaurus, 3 rd ed, New York:
McGraw-Hill, 1998). Kejahatan mutilasi adalah jenis kejahatan yang tergolong
sadis, dimana pelaku kejahatan itu tidak hanya membunuh atau menghilangkan
nyawa orang lain melainkan ia juga memotong-motong setiap bagian tubuh si
korbannya. Menurut beberapa ahli kejahatan pidana, biasanya kejahatan ini
terjadi tergantung kepada keadaan psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung
mengalami gangguan kejiwaan. Pada pendapat ahli lain, bahwa kejahatan ini
merupakan kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan, dengan
maksud untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut maka dilakukanlah
pemutilasian tubuh korban, sehingga korban tidak diketahui keberadaannya
ataupun jika diketahui maka akan mengelabui penyidik untuk mengungkap
identitasnya.
Dari sisi ilmu kriminologi, yang dimaksud dengan mutilasi adalah
terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang
tidak wajar. Suatu konteks tindak kejahatan orang melakukan tindakan mutilasi
adalah dengan tujuan untuk membuat relasi antara dirinya dengan korban
terputus dan agar jati diri korban tidak dikenali dengan alasan-alasan tertentu.
Terdapat dua hal yang sangat berbeda antara psikopat dan pelaku mutilasi,
meskipun dari kondisi korban sering terdapat kesamaan akibat perbuatan dari
keduanya. Psikopat adalah orang-orang yang dalam istilah ilmu krominologi
disebut sebagai orang-orang dengan orientasi benar-salahnya berbeda dengan
orang kebanyakan. Artinya, jika orang lain menganggap membunuh adalah
tindakan yang tidak salah, sebaliknya psikopat menganggap membunuh adalah

perbuatan yang benar. Sementara itu, pelaku mutilasi adalah orang normal yang
melakukan pembunuhan disertai tindakan memisah-misahkan tubuh korban
dengan kesadarannya dan oleh latar belakang emosinya.
Modus operasi kejahatan mutilasi umumnya tidak lahir dari pemikiran
sendiri, tetapi meniru kejahatan mutilasi yang sebelumnya pernah terjadi. Pelaku
berkaca pada peristiwa pidana yang pernah terjadi, lalu mempertimbangkan
cara-cara yang berlangsung di dalamnya untuk diterapkan. Perilaku semacam ini
dinamakan imitation of crime model. Menurut kriminolog sekaligus sosiolog
Perancis, Gabriel Tarde (1842-1904), manusia itu pada dasarnya individualis,
tetapi berkat kemampuan untuk meniru (imitasi), berbagai peniruan yang
dilakukannya membentuk jalinan interaksi sosial dan pada gilirannya tersusun
kehidupan sosial.
Imitasi
Mengingat imitasi merupakan salah satu bentuk aspek kegiatan belajar meniru
perilaku orang lain. Manusia mengimitasi hampir semua hal yang sanggup
ditiru, termasuk kejahatan. Menurut Chorus, proses imitasi memerlukan
beberapa syarat yaitu Pertama, adanya minat atau perhatian yang cukup besar
terhadap apa yang akan diimitasi. Kedua, ada sikap menjunjung tinggi atau
mengagumi apa yang akan diimitasi. Dan, ketiga, tergantung pada pengertian,
tingkat perkembangan, dan tingkat pengetahuan individu yang akan
mengimitasi.
Peranan Media
Semakin kaya informasi, semakin mudah melakukan peniruan. Di sinilah
media massa mempunyai peranan penting. Pemberitaan kejahatan yang
membeberkan detail-detail pelaksanaannya akan melahirkan proses imitasi
untuk kejahatan sejenis. Akibatnya media dapat menjadi transmisi modus
operasi kejahatan. Padahal, karena faktor persaingan media, tidak jarang
peristiwa kejahatan yang diberitakan sengaja didramatisasi secara berlebihan.
Motif
Pemilihan modus mutilasi juga didasari berbagai motif. Pertama, untuk

menghilangkan jejak. Kedua, ringkas dalam membawa korban. Ketiga,


pergulatan kejiwaan yang dikuasai oleh kemarahan, kebencian, dan emosiemosi lain yang tak terkendali. Pada pembunuhan yang diliputi motif ini,
mutilasi merupakan ekspresi kemarahan atau kebencian. Keempat, karena
gangguan kejiwaan yang relatif permanen, seperti psikopatis dan sadisme.
Dalam motif ini, mutilasi merupakan bentuk pemuasan bahkan kenikmatan.
Kelima, mutilasi merupakan ritual untuk meningkatkan keandalan ilmu hitam
yang dipelajari.
Kebanyakan kasus mutilasi yang pada akhir-akhir ini terungkap, umumnya
dilaksanakan berdasarkan perhitungan rasional, antara lain seperti kasus Ryan
dan Yanti. Tekanan ekonomi tampaknya lebih dominan untuk menjadi pemicu.
Mutilasi juga dapat dipandang sebagai ekspresi dari frustrasi yang akut dan
pada gilirannya menjelma menjadi bentuk-bentuk perilaku agresif. Henry dan
Short (1954) berpendapat, orang- orang yang mengalami frustrasi mudah
sekali melakukan tindakan kekerasan. Dalam frustrasi yang berat, bila ada
kesempatan, orang tidak lagi mengindahkan apa pun untuk melepaskan
tekanan jiwanya. Untuk itu, agar kekejian ini tidak terus berlanjut, menahan
diri

dalam

pemberitaan

kasus

mutilasi

dan

kesadisan

lain

perlu

dipertimbangkan.
II.

JENIS-JENIS MUTILASI
Mutilasi

memiliki

beberapa

unsur,

seperti

unsur

perencanaan

(direncanakan-tidak direncanakan), unsur pelaku (individu-kolektif), dan unsur


ritual atau inisiasi, serta unsur kesehatan atau medis. Dari berbagai macam jenis
mutilasi, secara umum setidaknya tindak pidana mutilasi dibagi menjadi
dua bagian yaitu:
a. Mutilasi defensif (defensive mutilation), atau disebut juga sebagai
pemotongan atau pemisahan anggota badan dengan tujuan untuk
menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi. Motif rasional dari
pelaku adalah untuk menghilangkan tubuh korban sebagai barang
bukti atau untuk menghalangi diidentifikasikannya potongan tubuh
korban.
9

b. Mutilasi ofensif (offensive mutilation), adalah suatu tindakan irasional


yang dilakukan dalam keadaan mengamuk, frenzied state of mind.
Mutilasi kadang dilakukan sebelum membunuh korban.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis mengambil beberapa kesimpulan yang berupa inti sari

10

sebagai berikut :

Bagaimana peranan Satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap


tindak pidana Mutilasi, diantaranya :
o Melakukan Penyelidikan
Setelah diketahuinya suatu peristiwa tindak pidana yang
terjadi maka pihak kepolisian akan langsung melakukan
Penyelidikan tentang tindak pidana tersebut, kegiatan
penyelidikan

ini

dimaksudkan

untuk

mencari

dan

mengumpulkan barang bukti permulaan atau barang bukti


yang cukup .
o Melakukan Penyidikan
Penyidikan Ini dilakukan setelah selesainya proses
penyelidikan yang ditandai dengan keluarnya surat
perintah penyidikan oleh pejabat yang berwenang di
instansi penyidik, dengan diterimanya laporan pengaduan
atau informasi tentang telah terjadinya kejahatan dan
pelaku kejahatan tersebut tidak dengan sendirinya surat
perintah penyidikan dikeluarkan.
o Melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara
Untuk mencari barang bukti yang tertinggal di Tempat
Kejadian Pembunuhan, mengambil Sdik Jari Korban,
mengambil Foto Korban, dan membawa korban kerumah
sakit untuk dilakukan Visum. Ini dilakukan untuk mencari
barang bukti mengenai kematian korban.
o Memeriksa saksi-saksi
Tujuannya adalah memintai keterangan pada seseorang
yang mengetahui/melihat peristiwa pembunuhan yang
nantinya akan menjadi bukti untuk pihak Kepolisian
Khususnya Satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap
tindak pidana Pembunuhan tersebut.
o Melakukan Visum/Otopsi
Ini dilakukan untuk mengetahui tentang kematian korban
dari tindak pidana Pembunuhan apakah di puku l dengan
menggunakan bendan tumpul, ditikam menggunakan

11

pisau, atau dicekik menggunakan tali.


o Mencari Tersangka
Ini dilakukan setelah adanya bukti-bukti yang kuat
mengenai ciri- ciri dari tersangka yang melekukan tindak
pidana Pembunuhan tersebut.
o Penangkapan
Ini dilakukan dan dijalankan berdasarkan prosedur yang
telah

berlaku,

seperti

yang

berwenang

harus

mengeluarkan surat perintah penangkapan. penangkapan


ini

dilakukan

terhadap

orang

yang

diduga

keras

melakukan kejahatan berdasarkan bukt i-bukt i yang telah


mengarah kepada tersangka.
o Penyelesain dan penyerahan berkas perkara
Ini dilakukan setelah hasil pemeriksaan tersangka dan
saksi serta kelengkapan bukti yang diperoleh, unsur-unsur
tindak pidana. Penyerahan berkas perkara merupakan
kegiatan pengiriman berkas perkara berikut penyerahaan
tanggung jawab atas tersangka dan barang buktinya
kepada penuntut umum.

Tinjauan Hukum Terhadap Tindak Pidana Mutilasi sebagai


berikut ;
Kejahatan mutilasi merupakan suatu jenis tindak pidana yang
digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong sadis
(rare crime) oleh karena objek kejahatan tersebut adalah manusia
baik dalam kondisi hidup maupun telah meninggal. Intensitas
tindak pidana mutilasi mengalami peningkatan baik dalam bentuk
latar belakang, motif maupun bentuk, yang keseluruhannya
bertujuan untuk menghilangkan jejak pelaku terhadap terjadinya
suatu peristiwa pidana pembunuhan. Mengenai ketentuan hukum
pidana

yang

mengatur,

KUHP

sebenarnya

memberikan

pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai salah


satu bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak

12

pembunuhan. Hanya saja memang sangat diakui dalam kasus


yang terjadi, sangatlah jarang pelaku melakukan mutilasi
bermotifkan penganiayaan. tindakan mutilasi seringkali terjadi
sebagai rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan
dengan tujuan agar bukti mayat tidak diketahui identitasnya.
B. Saran
Adapun yang menjadi saran penulis adalah :

Perlunya
untuk

penyuluhan

hukum

bagi

masyarakat

awam

mengetahui perbuatan yang dilarang atau tidak oleh

hukum sehingga timbul kesadaran masyarakat


mematuhi

hukum

dalam

rangka

menciptakan

untuk
budaya

hukum yang baik di kota medan sehingga dapat mencegah

terjadinya tindak pidana Pembunuhan.


Hendaknya pemerintah dalam menentukan arah kebijaksanaan
pembangunan, terutama
memperhatikan
sebagai

ekonomi

lebih

kesejahteraan masyarakat ekonomi

lemah

kelompok

dalam

masyarakat

bidang
terbanyak

di kotamadya

Medan.
DAFTAR PUSTAKA

1.
2.

Noach simanjuntak, 1984, Kriminologi, Penerbit tarsito, Bandung.


Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Tubuh dan Nyawa, PT. Raja

3.
4.

Grafindo Persada, Jakarta.


Bryan Garner, Black Law Dictionary, (Oxford University,1999)
R. Soesilo, 1986, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

5.

Cetakan Kesembilan, Penerbit Polieta, Bogor.


Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.

6.

Raja Grafindo Persada, Jakarta.


Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Reneka Cipta,
Jakarta.
13

7.

ABRI MABES Kepolisian Negara Republik Indonesia, 1987,


Himpunan JUKLAK dan JUKNIS Tentang Proses Penyidikan

8.

Tindak Pidana, Jakarta.


Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaiaan

9.

Berdasarkan KUHAP, Alumni Bandung.


Djoko Prakoso, 1987, POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan

10.

Hukum, Bina aksara, Jakarta.


Gilin Grosth, Pengantar Ilmu Bedah Anestesi, (Yogyakarta : Prima

Perkara

Pidana

Aksara,2004) Karger Rand, The act of mutilation, (Bloomingtoon


11.

university,1994)
R. Soesilo, 1989, Taktik dan Teknik dalamPenyidikan Perkara

12.

Kriminal, Politea, Bogor.


D.P.M. Sitompul, Edwar

13.

Kepolisian di Indonesia (suatu Bunga Rampai), Transito, Bandung.


M. Faal, SH, M.H.Dilp Es, 1991, Penyeringan Perkara Pidana

14.

Oleh Polisi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.


Santosa, diktip, oleh Ninik Widivanti, Yulius Waskita, 1987,

Syahperenong,

1985,

Hukum

Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina aksara,


15.

Jakarta.
G.W. Bawengan, 1991, Pengantar Psikologi Krominal, PT. Pradnya

16.

Paramita, Jakarta.
Chainur Arrasijd, 1988, Pengantar Psikologi Kriminal, Yani

17.

Corporation, Medan.
Ruslan Prawiro, 1983,

18.

Masalah, Alumni Bandung.


Stephan Huewiz, disadur oleh, Ny, Muljatno, 1986, Kriminologi,

19.

Bina Aksara, Jakarta.


Simandjuntak, B. 1981. Pengantar Krimonologi dan Patologi

20.

Sosial. Tarsito. Jakarta.


Supardi Ramlan, Patofisiologi Umum, (Bandung : Rineka Cipta,

21.

1998)
Ninik Widiyanti dan Yuius Wastika, 1987, Perkembangan
Kejahatan dan Masalahnya

22.

Kependudukan

ditinjau

dari

Teori

Fakta

Kriminologi

dan

dan

sosial, Pradnya Paramita, Jakarta.


Mahmud Mulyadi, 2008, Politik Hukum Pidana bahan Kuliah
Fakultas Hukum USU, Pustaka Bangsa Press.

14

23.

Barda nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum

24.

Pidana, citra Aditiya Bakti, Bandung.


Yesmil Anwar, SH., M.Si. dan Andang, SH., M.H. 2009,
Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung.

15

Anda mungkin juga menyukai