Anda di halaman 1dari 11

Adaptasi Psikologi Dalam Kehamilan

2.1 Adaptasi Psikologi Kehamilan Trimester Pertama


Trimester pertama sering dianggap sebagai periode penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukuan
wanita adalah terhadap kenyataan bahwa ia sedang mengandung. Penerimaan terhadap kenyataan
ini dan arti semua ini bagi dirinya merupakan tugas psikologis yang paling penting pada trimester
pertama kehamilan.
Sebagian besar wanita merasa sedih dan ambivalen tentang kenyataan bahwa ia hamil. Kurang lebih
80% wanita mengalami kekecewaan, penolakan, kecemasan, depresi dan kesedihan.
Fokus wanita adalah dirinya sendiri. Dari fokus pada diri sendiri ini, timbul ambivalensi mengenai
kehamilannya seiring usahanya menghadapi pengalaman kehamilan yang buruk, yang pernah ia
alami sebelumnya, efek kehamilan terhadap kehidupannya kelak (terutama jika ia memiliki karier),
tanggung jawab yang baru atau tambahan yang akan ditanggungnya, kecemasan yang berhubungan
dengan kemampuannya untuk menjadi seorang ibu, masalah-masalah keuangan dan rumah tangga
dan penerimaan orang terdekat terhadap kehamilannya. Perasaan ambivalen ini biasanya berakhir
dengan sendirinya seiring ia menerima kehamilannya. Penerimaan ini biasanya terjadi pada akhir
trimester pertama dan difasilitasi oleh perasaannya sendiriyang merasa cukup aman untuk mulai
mengungkapkan perasaan-perasaan yang menimbulkan konflik yang dialami.
Beberapa ketidaknyamanan pada trimester pertama, seperti nausea, kelemahan, perubahan nafsu
makan, kepekaan emosional, semua ini dapat mencerminkan konflik dan depresi yang ia alami dan
pada saat bersamaan hal-hal tersebut menjadi pengingat tentang kehamilannya. (2)
Perubahan berat badan sangat bermakna bagi wanita hamil selama trimester pertama. Berat badan
dapat menjadi salah satu uji realitas tentang keadaannya karena tubuhnya menjadi bukti nyata bahwa
dirinya hamil. Bagi kebanyakan wanita, peningkatan berat badan dini dapat dilihat sebagai bukti
bahwa janin yang berada di dalam kandungan mengalami pertumbuhan walaupun buktinya tidak
terlihat secara fisik.
Validasi kehamilan dilakukan berulang-ulang saat wanita mulai memeriksa dengan cermat setiap
perubahan tubuh yang merupakan bukti adanya kehamilan.
Hasrat seksual pada trimester pertama sangat bervariasi antara wanita yang satu dan yang lain.
Meski beberapa wanita mengalami peningkatan hasrat seksual, tetapi secara umum trimester
pertama merupakan waktu terjadinya penurunan libido dan hal ini memerlukan komunikasi yang jujur
dan terbuka terhadap pasangan masing-masing.
Banyak wanita merasakan kebutuhan kasih sayang yang besar dan cinta kasih tanpa seks. Libido
secara umum sangat besar dipengaruhi oleh keletihan, nausea, depresi, payudara yang membesar
dan nyeri, kecemasan, kekhawatiran, dan masalah-masalah lain yang merupakan hal yang normal
terjadi pada trimester pertama. (1)
2.2 Adaptasi Psikologi Kehamilan Trimester Kedua
Trimester kedua sering dikenal sebagai periode kesehatan yang baik (radian health), yakni periode
ketika wanita merasa nyaman dan bebas dari segala ketidaknyamanan yang normal dialami saat
hamil. Namun, trimester kedua juga merupakan fase ketika wanita menelusur ke dalam dan paling
banyak mengalami kemunduran. Selama periode ini wanita sudah mengharapkan bayi. Dengan
adanya gerakan janin, rahim yang semakin membesar, terlihatnya gerakan bayi saat di USG semakin
meyakinkan dia bahwa bayinya ada dan dia sedang hamil. Ibu menyadari bahwa bayinya adalah
individu yang terpisah dari dirinya oleh karena itu sekarang ia lebih fokus memperhatikan bayinya. Ibu
sudah menerima kehamilannya dan mulai dapat menggunakan energi dan pikirannya secara lebih
konstruktif. Sebelum adanya gerakan janin ia berusaha terlihat sebagai ibu yang baik, dan dengan
adanya gerakan janinia menyadari identitasnya sebagai ibu. Trimester kedua sebenarnya terbagi atas

dua fase, yaitu pra-quickening dan pasca-quickening. Quickening menunjukkan kenyataan adanya
kehidupan yang terpisah, yang menjadi dorongan bagi wanita dalam melaksanakan tugas psikologis
utamanya pada trimester kedua, yakni mengembangkan identitas sebagai ibu bagi dirinya sendiri,
yang bebeda dari ibunya. (1)
Menjelang akhir trimester pertama dan selama porsi pra-quickening trimester kedua berlangsung,
wanita tersebut akan mengalami lagi, sekaligus mengevaluasi kembali, semua aspek hubungan yang
ia jalani dengan ibunya sendiri. Wanita tersebut mencermati semua perasaan ini dan menghidupkan
kembali beberapa hal yang mendasar bagi dirinya. Semua masalah interpersonal yang dahulu pernah
dialami oleh wanita dan ibunya, atau mungkin masih dirasakan hingga kini, dianalisis. Potensial
kemungkinan timbulnya masalah interpersonal pada hubungan ibu dan anak sebaiknya dikaji. Dengan
pengkajian ini, akan muncul suatu pengertian dan penerimaan terhadap kualitas-kualitas yang dimiliki
ibu, yakni kualitas yang ia hargai dan hormati. Kualitas lain, yakni kualitas yang negative dan tidak
diinginkan atau tidak dihargainya, dapat ia tolak. Penolakan ini dapat menimbulkan perasaan
bersalahdan konflik personal kecuali wanita tersebut memahami bahwa proses ini normaldan bahwa
penolakan terhadap kualitas tertentu yang ada pada ibunya, dalam ia mengembangkan identitas
keibuannya sendiri, tidak berarti ia menolak ibunya sebagai pribadi. (4)
Hal lain yang terdapat dalam proses ini ialah evolusi wanita tersebut mulai dari menjadi seorang
penerima kasih sayang dan perhatian (dari ibunya) kemudian menjadi pemberi kasih saying dan
perhatian (persiapan untuk menjadi seorang ibu). Ia akan mengalami konflik berupa kompetisi dengan
ibunya agar dapat terlihat sebagai ibu yang baik. Penyelesaian aktual dalam konflik ini tidak akan
berlarut-larut sampai lama setelah bayi dilahirkan, tetapi perhatian wanita hamil terhadap ibunya dan
proses-proses yang berkaitan dengan hal tersebut akan berakhir setelah terjadi perubahan identitas
dirinya sendiri menjadi pemberi kasih sayang. Pada saat yang sama ia juga menjadi penerima kasih
sayang, menuntut perhatian dan cinta kasih, yang akibatnya, ia simpan bagi bayinya sesuai dalam
perannya sebagai pemberi kasih sayang. (1)
Dengan timbulnya quickening, muncul sejumlah perubahan karena kehamilan telah menjadi jelas
dalam pikirannya. Kontak sosialnya berubah. Ia lebih banyak bersosialisasi dengan wanita hamil atau
ibu baru lainnya, dan minat serta aktivitasnya berfokus pada kehamilan, cara membesarkan anak,
dan persiapan untuk menerima peran yang baru. Pergeseran nilai sosial ini menimbulkan kebutuhan
akan sejumlah proses duka cita, yang kemudian menjadi katalis dalam memperkirakan peran
barunya. Duka cita tersebut timbul karena ia harus merelakan hubungan, kedekatan dan peristiwa
maupun aspek tertentu yang ia miliki dalam peran sebelumnya yang akan terpengaruh dengan
hadirnya bayi dan peran barunya. Hal ini tidak berarti bahwa ia harus meninggalkan semua
hubungandan ikatan yang ia miliki, tetapi yang jelas terjadi perubahan pada hubunga dan ikatan
tersebut. Terkadang, seorang wanita hamil berada di lingkungan kerja tanpa seorang pun memahami
kehamilannya atau orang-orang dalam kontak sosialnya tidak sedang mengandung ataupun mereka
memiliki anak remaja sehingga memiliki masalah yang berbeda. Pada situasi seperti ini, wanita
tersebut dapat mengalami kesulitan untuk menemukan wanita hamil lain untuk diajak berbicara dan
membandingkan perubahan-perubahan fisik yang dialaminya. Memanfaatkan kesempatan, seperti
bergabung dengan kelas latihan kehamilan, dapat memberi wanita tersebut kontak social baru
dengan wanita hamil lain seperti yang ia harapkan. Bagi wanita multipara, hal ini mencakup
terputusnya hubungan yang telah terbina dengan anak-anak lain seiring ia mempersiapkan kondisi
rumah dan keluarganya untuk menyambut perubahan yang dihadirkan oleh bayi baru mereka nanti.
Sebagian besar perubahan peran dan peran baru wanita tersebut diuji coba, dikembangkan dan
dimurnikan dalam fantasi, imajinasi, dan angan-angan.
Quickening memudahkan wanita mengonseptualisasi bayinya sebagai individu yang terpisah dari
dirinya sendiri. Kesadaran baru ini memulai perubahan dalam fokusnya dari diri sendiri kepada bayi
yang ia kandung. Secara bertahap perubahan ini terlihat dari pengalaman mimpi bahwa orang lain,

biasanya orang yang tidak dikenal, sedang terluka. Mimpi-mimpi ini umunya diartikan sebagai
ekspresi kewaspadaan ibu mengenai ancaman terhadap bayinya. Pada saat ini jenis kelamin sang
bayi bukan hal yang penting. Perhatian ibu adalah pada kesejahteraan bayi dan menyambutnya
menjadi anggota keluarga.
Sebagian besar wanita merasa lebih erotis selama trimester kedua, kurang lebih 80% wanita
mengalami kemajuan yang nyata dalam hubungan seksual mereka disbanding pada trimester
pertama dan sebelum hamil. Trimester kedua relative terbebasdari segala ketidaknyamanan fisik, dan
ukuran perut wanita belum menjadi masalah besar, lubrikasi vagina semakin banyak pada masa ini,
kecemasan, kekhawatiran dan masalah-masalah yang sebelumnya menimbulkan ambivalensi pada
wanita tersebut mereda, dan ia telah mengalami perubahan dari seorang menuntut kasih sayang dari
ibunya menjadi seorang yang mencari kasih sayang dari pasangannya, dan semua faktor ini turut
memengaruhi peningkatan libido dan kepuasan seksual. (1)
2.3 Adaptasi Psikologi Kehamilan Trimester Ketiga
Periode ini sering disebut periode penantian, menunggu dan waspada sebab pada saat itu ibu tidak
sabar menunggu kelahiran bayinya, menunggu tanda-tanda persalinan. Perhatian ibu berfokus pada
bayinya, gerakan janin dan membesarnya uterus mengingatkan pada bayinya. Sehingga ibu selalu
waspada untuk melindungi bayinya dari bahaya, cedera dan akan menghindari orang, hal atau pun
benda yang dianggapnya membahayakan bagi bayinya. Persiapan aktif dilakukan untuk menyambut
kelahiran bayinya, membuat baju, menata kamar bayi, membayangkan mengasuh ataupun merawat
bayi, menduga-duga akan jenis kelaminnya dan rupa bayinya.
Pada trimester III biasanya ibu merasa khawatir, takut akan kehidupan dirinya, bayinya, kelainan pada
bayinya, persalinan, nyeri persalinan, dan ibu tidak akan pernah tahu kapan ia akan melahirkan.
Ketidaknyamanan pada trimester ini meningkat, ibu merasa dirinya aneh dan jelek, menjadi lebih
ketergantungan, malas dan mudah tersinggung serta merasa menyulitkan. Disamping itu ibu merasa
sedih akan berpisah dari bayinya dan kehilangan perhatian khusus yang akan diterimanya selama
hamil, disinilah ibu memerlukan keterangan, dukungan dari suami, bidan dan keluarganya. (1)
Masa ini disebut juga masa krusial atau penuh kemelut untuk beberapa wanita karena ada krisis
identitas, karena mereka mulai berhenti bekerja, kehilangan kontak dengan teman maupun kolega
(Oakley, dalam Sweet,1999). Mereka merasa kesepian dan terisolasi di rumah. Wanita mempunyai
banyak kekhawatiran seperti tindakan medikalisasi saat persalinan, perubahan body image merasa
kehamilannya sangat berat, tidak praktis, kurang atraktif, takut kehilangan pasangan. Bidan harus
mampu mengkaji dengan teliti dan hati-hati. Sejumlah stres yang dialami ibu hamil, mampu menilai
kemampuan coping dan memberikan dukungan.(2)
2.4 Mengurangi Dampak Psikologis Ibu Hamil Trimester I, II, Dan III
A. Support Keluarga
Dukungan selama masa kehamilan sangat dibutuhkan bagi seorang wanita yang sedang hamil,
terutama dari orang terdekat apalagi bagi ibu yang baru pertama kali hamil. Seorang wanita akan
merasa tenang dan nyaman dengan adanya dukungan dan perhatian dari orang-orang terdekat.
1. Suami
Dukungan dan peran serta suami dalam masa kehamilan terbukti meningkatkan kesiapan ibu hamil
dalam menghadapi kehamilan dan proses persalinan, bahkan juga memicu produksi ASI. Suami
sebagai seorang yang paling dekat, dianggap paling tahu kebutuhan istri. Saat hamil wanita
mengalami perubahan baik fisik maupun mental. Tugas penting suami yaitu memberikan perhatian
dan membina hubungan baik dengan istri, sehingga istri mengkonsultasikan setiap saat dan setiap
masalah yang dialaminya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan selama mengalami kehamilan.
Keterlibatan suami sejak awal masa kehamilan, suadah pasti akan mempermudah dan meringankan
pasangan dalam menjalani dan mengatasi brbagai perubahan yang terjadi pada tubuhnya akibat
hadirnya sesosok manusia mungil di dalam perutnya.

Bahkan, keikutsertaan suami secara aktif dalam masa kehamilan, menurut sebuah penelitian yang
dimuat dalam artikel berjudul What Your Partner Might Need From You During Pregnancy terbitan
Allina Hospitals & Clinics (tahun 2001), Amerika Serikat, keberhasilan seorang istri dalam mencukupi
kebutuhan ASI untuk si bayi kelak sangat ditentukan oleh seberapa besar peran dan keterlibatan
suami dalam masa-masa kehamilannya.
Saat hamil merupakan saat yang sensitif bagi seorang wanita, jadi sebisa mungkin seorang suami
memberikan suasana yang mendukung perasaan istri, misalnya dengan mengajak istri jalan-jalan
ringan, menemahi istri ke dokter untuk memeriksakan kehamilannya serta tidak membuat masalah
dalam komunikasi. Diperoleh tidaknya dukungan suami tergantung dari keintiman hubungan, ada
tidaknya komunikasi yang bermakna, dan ada tidaknya masalah atau kekhawatiran akan bayinya.
Menurut penelitian di Indonesia, dukungan suami yang diharapkan istri:
1. Suami sangat mendambakan bayi dalam kandungan istri.
2. Suami senang mendapat keturunan.
3. Suami menunjukkan kebahagian pada kehamilan ini.
4. Suami memperhatikan kesehatan istri yakni menanyakan keadaan istri/janin yang dikandung.
5. Suami tidak menyakiti istri.
6. Suami menghibur atau menenangkan ketika ada masalah yang dihadapi istri.
7. Suami menasihati istri agar istri tidak terlalu lelah bekerja.
8. Suami membantu tugas istri.
9. Suami berdoa untuk kesehatan istrinya dan keselamatannya.
10. Suami menungu ketika istri melahirkan.
11. Suami menunggu ketika istri di operasi. (4)
2. Keluarga
Lingkungan keluarga yang harmonis ataupun lingkungan tempat tinggal yang kondusif sangat
berpengaruh terhadap keadaan emosi ibu hamil. Wanita hamil sering kali mempunyai ketergantungan
terhadap orang lain disekitarnya terutama pada ibu primigravida. Keluarga harus menjadi bagian
dalam mempersiapkan pasangan menjadi orang tua.
Dukungan keluarga dapat berbentuk :
a. Ayahibu kandung maupun mertua sangat mendukung kehamilan ini.
b. Ayahibu kandung maupun mertua sering berkunjung dalam periode ini.
c. Seluruh keluarga berdoa untuk keselamatan ibu dan bayi.
d. Adanya ritual adat istiadat yang memberikan arti tersendiri yang tidak boleh ditinggalkan.
3. Lingkungan
Dukungan Lingkungan Dapat Berupa :
1. Doa bersama untuk keselamatan ibu dan bayi dari ibuibu pengajian, perkumpulan, kegiatan yang
berhubungan dengan sosial ataupun keagamaan.
2. Membicarakan dan menasehati tentang pengalamaan hamil dan melahirkan.
3. Adanya diantara mereka yang bersedia mengantarkan ibu untuk periksa.
4. Menunggui ibu ketika melahirkan.
5. Mereka dapat menjadi seperti saudara ibu hamil. (4)
B. Support Tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan dapat memberikan peranannnya melalui dukungan :
o Aktif : melalui kelas antenatal
o Pasif : dengan memberikan kesempatan kepada ibu hamil yang mengalami masalah untuk
berkonsultasi.
Tenaga kesehatan harus mampu mengenali tentang keadaan yang ada disekitar ibu hamil atau pasca
bersalin, yaitu: bapak, kakak, dan pengunjung. (4)

C. Rasa Aman Nyaman Selama Kehamilan


Peran keluarga khususnya suami, sangat diperlukan bagi seorang wanita hamil. Keterlibatan dan
dukungan yang diberikan suami kepada kehamilan akan mempererat hubungan antara ayah anak
dan suami istri. Dukungan yang diperoleh oleh ibu hamil akan membuatnya lebih tenang dan nyaman
dalam kehamilannya. Hal ini akan memberikan kehamilan yang sehat. Dukungan yang dapat
diberikan oleh suami misalnya dengan mengantar ibu memeriksakan kehamilan, memenuhi keinginan
ibu hamil yang ngidam, mengingatkan minum tablet besi, maupun membantu ibu melakukan kegiatan
rumah tangga selama ibu hamil. Walaupun suami melakukan hal kecil namun mempunyai makna
yang tinggi dalam meningkatkan keadaan psikologis ibu hamil ke arah yang lebih baik. (4)
D. Persiapan Menjadi Orang Tua
o Kehamilan dan peran sebagai orang tua dapat dianggap sebagai masa transisi atau peralihan
o Terlihat adanya peralihan yang sangat besar akibat kelahiran dan peran yang baru, serta ketidak
pastian yang terjadi sampai peran yang baru ini dapat disatukan dengan anggota keluarga yang baru.
Peran orang tua sebagai proses peralihan yang berkelanjutan :
1) Peralihan menjadi orang tua merupakan suatu proses dan bukan suatu keadaan statis
2) Berawal dari kehamilan dan merupakan kewajiban menjadi orang tua dimulai
Peran orang tua sebagai krisis dibandingkan sebagai masa peralihan :
1) Perubahan ini dianggap suatu krisis apabila sangat hebat, sangat mengganggu dan merupakan
perubahan negative.
2) Perubahan kebiasaan yang mengganggu seperti:
o Perubahan kehidupan seksual
o Pola tidur dan lain - lain
Hal- hal yang perlu diperhatikan terhadap kehadiran dari bayi baru lahir adalah:
Temperamen.
Cara pasangan mengartikan stres dan bantuan.
Bagaimana mereka berkomunikasi dan mengubah peran sosial mereka.
Peralihan menjadi orang tua
Fase Penantian:
1. Berkaitan dampaknya pada kehamilan.
2. Calon orang tua perlu menyelesaikan tugasnya untuk menjadi orang tua, misalnya: pembagian
tugas dalam keluarga.
3. Pasangan dalam fase ini akan mengalami perasaan yang hebat, tantangan, dan tanggung jawab.
Fase bulan madu
1. Sangat berdampak pada masa puerpurium, perlu mendapat perhatian pada asuhan kebidanannya.
2. Bersifat psikis dan bukan merupakan saat damai dan gembira.
3. Hubungan antar pasangan memiliki peran penting dalam membina hubungan baru dengan bayi.
4. Merupakan fase yang berat adaptasi dengan anggota baru. (4)
2.5 Adaptasi Yang Terjadi Pada Seluruh Anggota Keluarga
Periode antenatal adalah suatu kondisi yang dipersiapkan secara fisik dan psikologis untuk kelahiran
dan menjadi orang tua. Pada periode ini terutama perempuan yang sehat akan mencari petunjuk dan
perawatan secara teratur. Kunjungan antenatal biasanya dimulai segera setelah tidak mendapat haid
(menstruasi), sehingga bisa diidentifikasi diagnosis dan perawatan terhadap kelainan yang akan
muncul pada ibu hamil. Perawatan didesain untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan fetus
dan ditemukan keadaan abnormal sebagai antisipasi kelahirannya. Ibu dan keluarganya
membutuhkan dukungan karena stress dan proses belajar menjadi orang tua baru.
Kehamilan memengaruhi seluruh anggota keluarga dan setiap anggota harus beradaptasi, yang
prosesnya bergantung kepada budaya lingkungan yang sedang menjadi trend masyarakat.

ADAPTASI MATERNAL
Wanita segala umur selama beberapa bulan kehamilannya beradaptasi untuk berperan sebagai ibu,
suatu proses belajar yang kompleks secara sosial dan kognitif. Pada kehamilan awal tidak ada yang
berbeda. Ketika fetusnya mulai bergerak pada trimester kedua wanita tersebut mulai menaruh
perhatian pada kehamilannya dan menjalin percakapan dengan ibu nya atau temanteman lain yang
pernah hamil.
Kehamilan adalah suatu krisis yang mematangkan dan dapat menimbulkan stress tetapi imbalannya
adalah wanita tersebut siap memasuki fase baru untuk bertanggung jawab dan memberi perawatan.
Konsep dirinya berubah, siap menjadi orang tua, dan menyiapkan peran barunya. Secara bertahap ia
berubah dari memperhatikan dirinya sendiri, punya kebebasan menjadi suatu komitmen untuk
bertanggung jawab kepada makhluk lain.
Perkembangan ini membutuhkan suatu tugas perkembangan yang pasti dan tuntas yang mencakup
menerima kehamilan, mengidentifikasi peran sebagai ibu, membangun kembali hubungan dengan
ibunya, dengan suaminya, dengan bayi yang dikandungnya serta mempersiapkan kelahiran anaknya
(Wayland&Tate, 1993; Zachariya, 1994). Dukungan suami secara emosional adalah faktor yang
penting untuk keberhasilan tugas perkembangan ini.
HUBUNGAN INTERPERSONAL
Kedekatan hubungan membuat ibu hamil lebih siap berperan sebagai ibu. Pada saat anggota
keluarga menyadari peran baru mereka, bisa terjadi konflik dan ketegangan. Diperlukan komunikasi
yang efektif antara ibu dengan suami dan keluarganya. Komponen-komponen yang penting di sekitar
ibu hamil adalah ibunya sendiri, reaksinya terhadap kehamilan anaknya, menghargai kemandirian
anaknya, keberadaannya di masa lampau dan sekarang dan keinginan untuk mengenangnya.
Reaksi ibu terhadap anaknya yang mengandung penting sebagai penerimaanya sebagai nenek. Bila
ibu mendukung anak bisa berdiskusi dengan ibunya tentang kehamilan, melahirkan, dan perasaanya
apakah merasa senang atau ada penolakan sesuai dengan pengetahuannya. Pemikiran tentang ibu
hamil dan nenek dari calon anaknya, membantu anak perempuan tersebut mengantisipasi dan
mempersiapkan persalinannya dengan penuh kasih sayang. Walaupun hubungan dengan ibunya
adalah penting, tetapi yang terpenting adalah suami atau ayah dari janinnya. Seorang perempuan
yang berhubungan harmonis dengan suaminya akan menpunyai pengaruh emosional dan gejala fisik
lebih sedikit termasuk komplikasi waktu melahirkan dan penyesuaian post partum. Ada 2 kebutuhan
ibu selama hamil, perasan dicintai, nilai-nilai dan mempunyai anak dari suaminya (Richardson, 1983).
HUBUNGAN DENGAN JANIN
Hubungan ibu dengan anak dimulai selama kehamilan, ketika ibu mengkhayal dan memimpikan
dirinya sebagai ibu. Ibu ingin dekat, hangat, bercerita kepada bayinya dan mencoba membayangkan
adanya tangisan bayi, gangguan terhadap kurangnya kebebasan dan kegiatan mengasuh anak.
Hubungan ibu dan anak berkembang dalam 3 fase selama hamil :
Fase 1
Ia menerima kenyataan biologis tentang kehamilan dengan pernyataan saya hamil dan menyatakan
idetentang anak di dalam tubuhnya dan gambaran diri sendiri secabai berikut.
Pikiran terpusat padadirinya
Menyadari kenyataan dirinya hamil

Fetus adalah bagian dari dirinya


Fetus seolah-olah tidak nyata
Fase 2
Pada saat ini, ibu merasakan sebagai berikut.
Menerima tumbuhnya fetus yang merupakan makhluk yang berbeda dengan dirinya (pada bulan
kelima).
Timbul pernyataan saya akan mempunya seorang bayi.
Tumbuh kesadaran bahwa bayinya adalah makhluk lain yang terpisah dari tubuhnya.
Terlibatdalam hubungan ibu anak, asuhan dan tanggung jawab.
Mengembangkan kelekatan atau attachment. Perempuan yang menyukai kehamilannya dan
direncanakan akan senang dengan kehamilannya, merasa lekat dengan bayinya yang dimulai lebih
awal daripada perempuan lain (Koniak-Griffin, 1988).

Fase 3
Ini adalah proses kelekatan dan ibu merasakan sebagai berikut.
Merasa realistik.
Mempersiapkan kelahiran.
Persiapan menjadi orang tua.
Spekulasi mengenai jenis kelamin anak.
Keluarga berinteraksi dengan menempelkan telinganya ke perut ibu dan berbicara dengan fetus.
Cemas
Cemas adalah suatu emosi yang sejak dulu dihubungkan dengan kehamilan, yang hubungan ini tidak
jelas. Cemas mungkin emosi positif sebagai perlindungan menghadapi stresor, yang bisa menjadi
masalah apabila berlebihan. Bidan perlu memastikan:
1. Apakah cemas pada ibu hamil benar-benar timbul.
2. Apakah cemas bisa menjadi stres.
3. Apakah menurunkan kecemasan pada kehamilan bisa menguntungkan atau bahkan tidak perlu.
Banyak penelitian terhadap tingkat kecemasan yang telah dilakukan, antara lain perbandingan tingkat
kecemasan pada ibu hamil lebih tinggi pada ibu hamil dan menurun pada ibu postpartum (Sing &
Saxena, 1991). Barclay & Barclay (1976) menemukan bahwa peningkatan pengetahuan tidak
menurunkan kecemasan dan juga ditemukan bahwa perempuan yang tidak hamil menunjukkan
tingkat depresi yang lebih besar pada kehamilan daripada hasil pemantauan pada ibu hamil itu
sendiri.
Penelitian secara umum memperlihatkan bahwa intervensi pada kecemasan mempunyai efek yang
menguntungkan (Ridgeway&Matthews, 1981; Wallace,1984) sebagai berikut:
1. Persiapan untuk kecemasan
Antisipasi
Pendidikan
Pengetahuan
Strategi
2. Penurunan kecemasan
Psikologi
Fisik
Lingkungan

Biologi
3. Pengawasan kecemasan
Strategi koping
Pendekatan
4. Penghilangan stresor
Menghindari
Memeriksa kembali prosedur dan protokol
5. Penghilangan persepsi
Pengobatan
Relaksasi
Distraksi
Secara individu cemas dapat menggangu, Cohens et al.(1989) menyatakan bahwa seseorang
perempuan yang panik dapat mengalami abrupsio plasenta. Menurut Reading (1983), faktor-faktor
yang dapat mengurangi efek dari kecemasan adalah pengobatan kecemasan, sikap menghadapi
kecemasan, penilaian kecemasan, dukungan psikososial, dan strategi koping. Intervensi bisa
dilakukan untuk faktor-faktor tersebut. Stress yang berkelanjutan dapat meningkatkan perilaku yang
negatif misalnya merokok atau minum alkohol. (6)
ADAPTASI AYAH
Ayah seringkali kelihatan standar sebagai pengamat istrinya hamil. Ia diperlukan waktu konsepsi,
membayar biaya, dan menyiapkan penuntun untuk matangnya anak. Sekarang pandangan tersebut
telah berubah dan seorang ayah sekarang diharapkan berperan secara penuh merawat, terlibat
sebagai ayah, dan pemberi nafkah sebagai respons tekanan masyarakat. Pengaruh dari perubahan
feminisme dan tekanan ekonomi menyebabkan lebih banyak perempuan bekerja di luar rumah dan
berbagi peran sebagai orang tua. Pada pria terjadi perasaan menolak. Perasaan ini yang tergantung
dari banyak faktor, misalnya apakah kehamilan itu direncanakan, bagaimana hubungan laki-laki
tersebut dengan istrinya/pasangannya, pengalaman sebelumnya dengan kehamilan, umur, dan
kestabilan ekonominya.
Sumber Stres Ayah
Seorang ayah mengalami stres dalam transisi menjadi orang tua, yang disebabkan oleh:
1. Masalah keuangan.
2. Kondisi yang tidak diinginkan selama hamil.
3. Cemas bayinya tidak sehat atau normal.
4. Khawatir tentang nyeri istrinya melahirkan.
5. Peran selama melahirkan
Sumber stres yang lain adalah:
1. Perubahan hubungan dengan istri/ pasangan.
2. Hilangnya respon seksual.
3. Perubahan hubungan dengan keluarga atau teman-teman laki-lakinya.
4. Kemampuan sebagai orang tua.
Peran ayah berkembang sejalan dengan peran ibu. Secara umum, ayah yang stres menyukai anakanak, senang berperan sebagai ayah, dan senang mengasuh anak, percaya diri dan mampu menjadi
ayah, membagi pengalaman tentang kehamilan dan melahirkan dengan pasangannya (Jordan, 1990).
Perkembangan pengalaman ayah dibagi sesuai fase-fase dalam kehamilan istrinya.
Trimester I
1. Setelah mengetahui istrinya hamil, ia akan memberi tahu teman-teman dan relasinya kabar
gembira tersebut.

2. Sering bingung terhadap perubahan perasaan istrinya, termasuk perubahan tubuhnya. Ia


memperhatikan kebutuhan istrinya yang mudah lelah dan menurunnya keinginan hubungan seksual
istrinya.
3. Saat ini, anaknya adalah bayi yang potensial. Ayah sering dibayangkan berinteraksi dengan
anaknya yang dibayangkan berumur 5 atau 6 tahun, walaupun kehamilan istrinya belum kelihatan
(Jordan, 1990).
Trimester II
1. Peran ayah pada saat ini masih samar-samar, tetapi keterbatasannya meningkat dengan melihat
dan merasakan gerakan fetus.
2. Ayah menjadi lebih nyaman dengan peran barunya. Dengan melihat anaknya pada USG adalah
pengalaman yang penting dalam menerima kenyataan istrinya hamil.
3. Seorang ayah ingin meniru atau membuang perilaku sebagai ayah sesuai keinginannya. Bisa juga
timbul konflik pda pasangan tentang bagaimana menjadi ayah. Dalam peran ayah sebagai pencari
nafkah yang oleh istrinya ditambah dengan terlibat secara aktif dalam mempersiapkan perawatan
anak, maka stresnya akan meningkat. Untuk itu perlu persetujuan bersama pembagian peran
(Diemer, 1997). Di satu sisi ibu ingin dominan, di sisi lain ayah ingin lebih banyak menghabiskan
waktunya bekerja, melakukan hobinya atau dengan teman-temannya.
Trimester III
Bila pasangan mampu berkomunikasi dengan baik trimester III ini adalah waktu yang khusus dengan
gambaran yang jelas tentang perannya, dan mempersiapkan bersama kondisi ke depan.
1. Terlibat dalam kelas bersama, pendidikan kesehatan tentang melahirkan.
2. Persiapan yang nyata untuk kelahiran bayi.
3. Perannya menjadi jelas.
4. Timbul rasa takut.
5. Timbul pertanyaan, menjadi orang tua seperti apa.
6. Dapatkah ia membantu istrinya melahirkan.
7. Apakah mereka akan mempunyai bayi.
Cauvade
Secara tradisional, cauvade adalah ritual atau tabu oleh laki-laki dalam transisi menjadi ayah. Ini
berhubungan secara biofisik dan psikososial dengan istri dan anak. Misalnya, dilarang makan
makanan tertentu, dilarang membawa senjata sebelum anaknya lahir, timbul gejala-gejala fisik berupa
lelah, nafsu makan meningkat, susah tidur, depresi, sakit kepala, sakit punggung. Penelitian
menunjukkan bahwa laki-laki yang memperlihatkan sindrom cauvade, ingin mempersiapkan peran
sebagai ayah yang lebih tinggi dan terlihat lebih aktif dalam persiapan mempunyai anak (Longobucco
& Freston, 1989).
Saudara kandung
Saudara kandung perlu dipersiapkan terhadap kedatangan adiknya, karena bisa menimbulkan
perasaan bersaing (sibling rivalry). Sibling rivalry timbul karena anak-anak takut perhatian orang
tuanya berubah. Pencegahan kondisi ini dapat dilakukan dengan cara:
1. Anak diberi tahu sejak awal kehamilan.
2. Anak todler diberi kesempatan merasakan bayinya bergerak dalam rahim dan dijelaskan bahwa
rahim adalah tempat khusus bayi tumbuh.
3. Anak dapat membantu mengatur baju bayi di laci atau menyiapkan tempat tidur bayi dan kamar
bayi.
4. Bantu anak menyesuaikan diri pada perubahan ini.
5. Kenalkan anak dengan bayi, sehingga anak tidak membayangkan adiknya akan cukup besar untuk

diajak bermain.
6. Mengajak anak ke tempat periksa hamil, diberi kesempatan mendengarkan denyut jantung janin.(6)
2.6 Peran dan Keterampilan Bidan Dalam Dukungan Psikologis
Bidan harus memahami berbagai perubahan psikologis yang terjadi pada ibu hamil untuk setiap
trimester agar asuhan yang diberikan tepat sesuai kebutuhan ibu. Hal ini diperlukan ketelitian dan
kehati-hatian bidan untuk mengkaji atau menilai kondisi psikologi seorang wanita hamil tidak hanya
aspek fisik saja. Memfasilitasi wanita agar mau terbuka berkomunikasi baik dengan suami, keluarga
ataupun bidan.
Dukungan psikososial selama kehamilan telah menunjukkan secara signifikan dapat meningkatkan
kesejahteraan emosi. Dukungan psikososial dalam hal ini, (Cobb, 1976) mendefinisikan dukungan
psikososial sebagai informasi yang membawa seseorang untuk mempercayai bahwa dirinya
diperhatikan, dicintai dan dihargai. Menurut Schumaker dan Brownell (1984) dukungan psikososial
adalah pertukaran sumber informasi antara minimal 2 individu, yang terdiri dari provider dan resipien
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan resipien.
Dukungan psikososial ini akan melingdungi atau mengurangi efek negatif dari faktor resiko
psikososial, Clupepper, Jack (1993) membagi resiko psikososial menjadi 3 yaitu:
1. Karakteristik sosial atau demografi: usia tua, muda, kurang pendidikan, rumah yang tidak layak
huni,
2. Faktor psikoligis: stress. Gelisah dengan riwayat atau sedang mengalami gangguan psikologis,
dan
3. Kebiasaan hidup yang merugikan kesehatan: merokok, suka mabuk, pemakaian obat-obatan,
obesitas, terlalu kurus.
Adapun jenis dukungan psikososial yang dapat diberikan berupa esteem support (dukungan untuk
meningkatkan kepercayaan diri), informational support, tangible support (sarana fisik) dan
perkumpulan sosial. Power et al (1988) membagi dukungan sosial menjadi 2 :
1. Emotional support: semua yang dapat meyakinkan atau menjamin kedekatan dan pengetahuan
bahwa dia dicintai, diperhatikan dan diterima serta nasihat, saran yang diberikan dapat dapat
menimbulkan kepercayaan diri.
2. Practical support: meliputi semua aspek bantuan yang bertujuan membentuk individu dari sebuah
masalah berupa kegiatan fisik (action) seperti meminjamkan uang, membantu tugasnya yang tidak
bisa dikerjakan sendiri.(4)
Rogers (1980) mengidentifikasi 3 unsur dasar untuk melakukan pendekatan konseling yang berpusat
pada individu, yakni kehangatan, ketulusan, dan pemahaman yang bersifat empati:
1. Kehangatan melibatkan sikap yang dapat didekati dan terbuka, memperlakukan individu lain
dengan penghargaan yang sama, tidak menghakimi.
2. Ketulusan adalah tentang menunjukkan rasa ketertarikan yang tulus pada individu lain.
3. Empati adalah suatu respons yang memperlihatkan bahwa konselor (atau bidan) telah
mempersepsikan perasaan-perasaan individu lain secara akurat dan mengomunikasikan pemahaman
ini kepada mereka. (2)
Bidan harus mampu mengidentifikasi sumber dukungan yang ada disekitar ibu, mempelajari keadaan
lingkungan ibu, keluarga, ekonomi, pekerjaan sehari-hari. Perlu dipahami bahwa sumber dukungan
psikososial yang paling besar pengaruhnya pada individu adalah orang yang terdekat bagi mereka
seperti pasangan, teman baik, kerabat.(4)

Daftar Pustaka
1. Varney, Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume I. Jakarta: EGC.

2. Henderson, Christine. 2005. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC.


3. Purwandari, Atik. 2008. Konsep Kebidanan Sejarah dan Profesionalisme. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai