Legenda Batu Menangis
Legenda Batu Menangis
perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih
dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang
amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu
berdoa.
Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya
memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini !
Hukumlah
dia.
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah
menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah
badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. IbuIbu
ampunilah anakmu.. Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya.
Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi
batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih
menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis
yang mendapat kutukan ibunya itu disebut Batu Menangis .
Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa
kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah
melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari
Tuhan Yang Maha Kuasa
Versi lain
Kelahiran Putri dan Wulan yang berbeda setengah jam telah memiliki pertanda dari alam.
Putri lahir ditengah cuaca yang mendadak berubah begitu buruk, sementara adiknya muncul
saat cuaca membaik.
Setelah keduanya mulai tumbuh, barulah kelihatan perbedaan yang mencolok. Wulan
berakhlak lembut, penyabar, dan pengasih sementara si sulung Putri berwatak buruk nan
mencemaskan.
Kuatir dengan keadaan tersebut, Awang dan Sari memasukkan Putri ke sebuah pesantren
dengan harapan anaknya bisa berubah. Sayang, perilaku Putri justru malah semakin menjadi
tanpa bisa dikendalikan pemilik dan pengasuh pesantren.
Puncaknya terjadi saat Awang mengunjungi putri suluangnya, keteledoran Putri membuat
gudang dimana ia biasa bermalas-malasan terbakar. Putri sendiri selamat, namun sang ayah
yang berjibaku menyelamatkan buah hatinya harus mengalami cacat fisik permanen.
Takut bakal dihukum akibat perbuatannya, Putri melarikan diri dari pesantren dan jatuh ke
perangkat Julig, seorang dukun yang ingin mencari tumbal kepala seorang bocah.
Rupanya, tumbal tersebut bakal digunakan untuk pembangunan sebuah resort di pinggir
pantai yang dikelola Darwin seorang konglomerat. Beruntung, muncul pasangan jin penghuni
hutan tepi pantai Ranggada dan Sugari yang menyelamatkan Putri sekaligus membunuh Julig
dan Darwin.
Saat Awang dan Sari dibuat bingung mencari keberadaannya hingga menghabiskan banyak
biaya, Putri malah hidup bersenang-senang di istana jin Ranggada dan Sugari dengan
pekerjaan sebagai pendamping anak tunggal mereka Elok.
Sayangnya biarpun sudah dimanjakan oleh kedua orangtua angkatnya, kelakuan buruk Putri
yang telah mendarah-daging tidak bisa hilang. Akhirnya suami-istri jin Ranggada dan Sugari
sudah tidak tahan lagi, mereka mengusir Putri keluar dari istana jin.
Setelah sempat terlunta-lunta dan nyaris diperkosa pemuda berandal, Putri dipertemukan juga
dengan Awang dan Sari serta adiknya Wulan. Pertemuan tersebut berlangsung mengharukan
karena mereka telah berpisah selama lebih dari 10 tahun.
Lagi-lagi suasana tentram hanya berlangsung sesaat, Putri kembali berfoya-foya karena sudah
terbiasa bergelimang kemewahan tanpa perduli dengan orangtuanya yang sudah terancam
bangkrut.
Sikapnya terhadap keluarga juga sangat buruk. Selain memperlakukan Wulan dan sang ibu
seperti pembantu, Putri juga melecehkan sang ayah yang cacat. Bahkan, Awang yang
berusaha membela Wulan malah dicelakai Putri, yang tidak menunjukkan penyesalan sedikit
pun, hingga menemui ajalnya.
Di tengah kekacauan hidup dan ekonomi keluarga yang semakin morat-marit, apa yang
harusnya terjadi tidak bisa dihindari lagi. Sang ibu akhirnya kehilangan kesabaran melihat
kelakuan Putri. Yang lebih fatal, kemarahan kali ini jauh lebih parah daripada suami-istri jin
Ranggada dan Sugari.
Tanpa sadar sang ibu mengucapkan sumpah atau kutuk. Akibatnya, Putri langsung menjadi
sebuah patung batu yang terus mengucurkan air bening dari sepasang mata batunya. Konon,
air itu adalah air mata dari penyesalan Putri yang sayangnya datang terlambat