Anda di halaman 1dari 9

KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Mekanisme Kerja
Kortikosteroid berdifusi melalui barrier stratum korneum dan melalui membran sel untuk
mencapai sitoplasma keratinosit dan sel-sel lain yang terdapat epidermis dan dermis. Pada waktu
memasuki jaringan, kortikosteroid berdifusi menembus sel membran dan terikat pada kompleks
reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan
berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.
Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid.
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang berhubungan dengan
mekanisme kerja yang berbeda, antara lain adalah efek anti-inflamsi, imunosupresif,
antiproliferasi, dan vasokonstriksi. Efek kortikosteroid pada sel kebanyakan dimediasi oleh
ikatan kortikosteroid pada reseptor di sitosol, diikuti dengan translokasi kompleks obat-reseptor
ke daerah nukleus DNA yang dikenal dengan corticosteroid responsive element, dimana lalu bisa
menstimulasi atau menghambat transkripsi gen yang berdampingan, dengan demikian meregulasi
proses inflamasi.
Efek anti-inflamasi
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti.
Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menghibisi
pelepasan phospholipase A2, suatu enzim yang bertanggung jawab dalam pembentukan
prostaglandin, leukotrin, dan derivat asaam arachidonat yang lain. Kortikosteroid juga
menginhibisi faktor-faktor transkripsi yang terlibat dalam aktivasi gen pro-inflamasi. Gengen ini diregulasi oleh kortikosteroid dan memiliki peran dalam resolusi inflamasi.
Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan interleukin 1 (IL-1), sitokin proinflamasi
penting, dari keratinosit. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi
kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom
dalam memfagositosis sel.
Efek imunosupresif
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Kortikosteroid menekan
produksi dan efek faktor-faktor humoral yang terlibat dalam proses inflamasi, menginhibisi
migrasi leukosit ke tempat inflamasi, dan mengganggu fungsi sel endotel, granulosit, sel mast
dan fibroblas. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan
pengurangan sel mast pada kulit.
Efek antiproliferasi
Efek antiprolifrasi kortikosteroid topikal dimediasi oleh inhibisi sintesis dan mitosis DNA,
yang sebagian menjelaskan terapi obat-obat ini pada dermatosis dengan scale. Aktivitas
fibroblas dan pembentukan kolagen juga diinhibisi oleh kortikosteroid topikal.
Vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid menyebabkan vasokonstriksi masih belum jelas, namun dianggap
berhubungan dengan inhibisi vasodilator alami seperti histamin, bradikinin, dan

prostaglandin. Steroid topikal menyebabkan kapiler-kapiler di lapisan superfisial dermis


berkonstraksi, sehingga mengurangi edema.
Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi.
Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada
kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi.
Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami
transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison
efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak
mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor
digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah
vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion,
salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya).
Indikasi
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid bersifat paliatif dan supresif
terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
Kortikosteroid topikal direkomendasikan untuk aktivitas anti-inflamasinya pada penyakit
kulit inflamasi, tetapi dapat juga digunakan untuk efek antimitotik dan kapasitasnya utnuk
mengurangi sistesis molekul-molekul connective tissue. Variebel tertentu harus dipertimbangkan
saat mengobati kelainan kulit dengan kortikosteroid topikal. Contohnya respon penyakit terhadap
kortikosteroid topical yang bervariasi. Dalam hal ini, bisa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu
sangat responsif, responsif sedang, dan kurang responsif.
Tabel 1. Responsivitas Penyakit Kulit terhadap Kortikosteroid Topikal
Highly Responsive
Moderately Responsive
Least Responsive
Psoriasis (intertriginous)
Psoriasis
Palmo-plantar psoriasis
Atopic dermatitis (children)
Atopic dermatitis (adult)
Psoriasis of nails
Seborrheic dermatitis
Nummular eczema
Dyshidrotic eczema
Intertrigo
Primary irritant dermatitis
Lupus erythematous
Popular urticaria
Pemphigus
Parapsoriasis
Lichen planus
Lichen simplex chronicus
Granuloma annulare
Necrobiosis lipoidica
diabeticum
Sarcoidosis
Allergic contact dermatitis,
acute phase
Insect bites
Anak-anak, terutama bayi, memiliki peningkatan risiko dalam penyerapan kortikosteroid
untuk beberapa alasan. Karena anak-anak dan bayi memiliki rasio lebih tinggi dalam luas

permukaan kulit terhadap berat badan, aplikasi pada daerah yang diberikan mengakibatkan dosis
steroid sistemik yang secara potensial lebih besar. Bayi juga kurang mampu memetabolisme
kortikosteroid poten dengan cepat. Bayi premature terutama memiliki risiko karena kulitnya
lebih tipis dan penetrasi obat topical yang diberikan akan sangat meningkat. Penyerapan
kortikosteroid topikal yang berlebihan bisa menekan produksi kortisol endogen. Akibatnya,
penghentian terapi steroid topikal setelah terapi jangka panjang dapat, walaupun jarang,
menyebabkan addisonian crisis. Supresi produksi kortisol yang kronik juga dapat menyebabkan
pertumbuhan terhambat. Bila terdapat supresi kortisol, maka anak harus secara perlahan
dihentikan pemberian steroidnya untuk mencegah komplikasi ini.
Pasien usia tua juga memiliki kulit yang tipis, yang memungkinkan peningkatan penetrasi
kortikosteroid topical. Pasien usia tua juga lebih mungkin memiliki pre-existing atrofi kulit
sekunder karena penuaan.
Dosis
Sebagai aturan kerja, pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 45
g/minggu untuk kortikosteroid topikal poten atau 100 g/minggu untuk potensi sedang dan lemah
jika absorpsi sistemik dihindari.
Penyakit-penyakit yang sangat responsif biasanya akan memberikan respon pada preparat
steroid lemah, sedangkan penyakit yang kurang responsif memerlukan steroid topical potensi
menengah atau tinggi. Kortikosteroid topikal potensi lemah digunakan pada daerah wajah dan
intertriginosa. Kortikosteroid sangat poten seringkali diperlukan pada hiperkeratosis atau
dermatosis likenifikasi dan untuk penyakit pada telapak tangan dan kaki. Kortikosteroid topikal
harus dihindari pada kulit dengan ulserasi atau atrofi.
Bentuk potensi tinggi digunakan untuk jangka pendek (2 atau 3 minggu) atau secara
intermiten. Saat control terhadap penyakit sudah dicapai sebagian, penggunaan gabungan potensi
lemah harus dimulai. Pengurangan frekuensi pemakaian (misalnya pemakaian hanya pada pagi
hari, 2 hari sekali, pada akhir pekan) dilakukan ketika control terhadap penyakit sudah tercapai
sebagian. Tetapi penghentian pengobatan tiba-tiba harus dihindari setelah penggunaan jangka
panjang untuk mencegah rebound phenomena.
Efek Samping
Efek samping dapat terjadi apabila:
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan
sangat oklusif.
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striae atrofise,
telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi,
dermatitis peroral.
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid menjadi beberapa tigkat, yaitu:
Efek Epidermal
Efek ini antara lain:

1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu
penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermoepidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan.
2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini
muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid interakutan.

Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini
menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan
mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan
menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap
dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.

Efek Vaskular
Efek ini termasuk:
1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan vasokontriksi
pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang
kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut,
dan kadang-kadang pustulasi.

KORTIKOSTEROID ORAL

Mekanisme kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target
hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk
kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak
menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik
steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan
sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid
merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal
ini menimbulkan efek katabolik.
Indikasi
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error,
dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Suatu dosis tunggal
besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari
tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis
substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah. Kecuali untuk
insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif
tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus
diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Kemudian dalam periode singkat dosis harus
diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi
bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah cukup besar.
Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat
diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik. Untuk mengurangi efek
supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis
tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.
Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi
korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau
hipofisis (insufisiensi sekunder).
Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:

Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg hidrokortison harus
diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat mineralokortikoid yang dapat menahan
Na dan air.
Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg pada
pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralokortikoid
fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan
diet tinggi garam.
Hyperplasia adrenal congenital.
Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.

Terapi non-endokrin.
Dibawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau
hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian disini adalah efek antiinflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Berikut adalah kasus yang
menggunakan preparat kortikosteroid:
Fungsi paru pada fetus. Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol
pada fetus. Betametason atau deksametason selama 2 hari diberikan pada minggu ke 2734 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan mengganggu berat badan dan perkembangan
kelenjar adrenal fetus.
Artriris. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid yang sifatnya
progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat
bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti-inflamasi
nonsteroid.
Karditis reumatik.
Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan
lupus eritematus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.
Penyakit kolagen. Pemberian dosis besar bermanfaat untuk eksaserbasi akut, sedangkan
terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Untuk scleroderma umumnya obat ini kurang
bermanfaat.
Asma bronchial dan penyakit saluran napas.
Penyakit alergi.
Penyakit mata (konjungtivitis alergika, uveitis akut, neuritis optika, koroiditis).
Penyakit hepar.
Keganasan.
Gangguan hematologik lain (anemia hemolitik acquaired dan autoimun, leukemia,
purpura alergika akut dll).
Syok.
Edema serebral.

Trauma sumsum tulang belakang.

Indikasi kortikosteroid yang lain adalah pada dermatosis alergik atau penyakit yang
dianggap mempunyai dasar alergik (dermatitis atopik, pemfigus, dermatitis seboroik, dll). Yang
harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya. Erupsi eksematosa biasanya diatasi
dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi
penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.
Dosis dan mekanisme pemberian
Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada berbagai dermatosis
Nama penyakit
Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari
Dermatitis
Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET
Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra
Prednison 3x10 mg
DLE
Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa
Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris
Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus
Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa
Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa
Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer
Prednison 20-40 mg

Mengurangi Dosis Steroid Sistemik


Jangan berhenti tiba-tiba penggunaan steroids sistemik; terutama penting jika Anda telah
menggunakan selama lebih dari enam bulan. Sebagai contoh:

Tidak diperlukan penurunan jika penggunaan steroids telah kurang dari satu minggu.
Setelah mengambil dosis 30 mg atau lebih per hari untuk 3-4 minggu, mengurangi dosis
10 mg atau kurang per hari, butuh beberapa hari hingga beberapa bulan untuk
menghentikan semuanya.
Pengurangan dosis lambat mungkin diperlukan jika obat yang telah dilakukan selama
beberapa bulan.
Efek samping
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
Tempat
Macam efek samping
1.
Saluran
Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
cerna
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis

2.
3.

Otot
Susunan
saraf pusat

4.

Tulang

5.

Kulit

6.
7.
8.

Mata
Darah
Pembuluh
darah
9.
Kelenjar
adrenal bagian
kortek
10.
Metabolis
me protein, KH
dan lemak
11.
Elektrolit
12.

ulseratif.
Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan
bunuh diri), nafsu makan bertambah.
Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur
tulang panjang.
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis,
purpura, telangiektasis.
Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
Kenaikan tekanan darah
Atrofi, tidak bisa melawan stres

Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula


meninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani,
aritmia kor)
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes
simplek, keganasan dapat timbul.

Sistem
immunitas

Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik


Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang
serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:

Gangguan tidur
Meningkatkan nafsu makan
Meningkatkan berat badan
Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi

Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari
kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis aseptik
yang pinggul.

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama


Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka
kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di
bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan
setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti
infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang yang
kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah paru-paru.
Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama
dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien
dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50%
dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika
steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
Kenaikan lemak darah (trigliserida).
Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan dan
gagal jantung.
Kegoyahan dan tremor.
Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak
subcapsular posterior.
Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan,
delirium atau depresi.
Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya
tuberkulosis).
Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.
Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri
otot dan sendi dan depresi.

Anda mungkin juga menyukai