Anda di halaman 1dari 13

ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA

Latar Belakang
Selama dua tahun terakhir Bank Indonesia telah berupaya untuk menggerakkan industry
perbankan Indonesia ke arah yang lebih baik melalui implementasi program-program Arsitektur
Perbankan Indonesia (API), baik se bagai inisiator maupun fasilitator. Sebagai inisiator, Bank
Indonesia telah menerbitkan peraturan dan ketentuan agar industri perbankan dapat melaksanakan
kegiatannya usahanya secara prudent, mengacu pada standar internasional, dan lebih memperhatikan
hak-hak nasabah. Sementara itu sebagai fasilitatorBank Indonesia mengupayakan terjalinnya
kerjasama yang konstruktif dengan pihak-pihak yang terkait dengan program API untuk
menghasilkan suatu stimulan bagi terwujudnya sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien.
Sejak diluncurkan pada tanggal 9 Januari 2004, API telah mendapatkan beragam tanggapan
dalam bentuk saran dan kritik membangun untuk menjadikan program-program API lebih terintegrasi
dengan program perekonomian nasional. Selain itu, perkembangan perbankan secara global juga
menuntut adanya penyesuaian terhadap program- program API agar pada waktunya nanti industri
perbankan nasional mampu bersaing pada tataran internasionaldengan sumber daya manusia yang
unggul, teknologi informasi yang memadai, dan infrastruktur pendukung yang cukup.
Bertolak dari kebutuhan di atas, Bank Indonesia telah menyusun kembali program-program
API dan menuangkannya dalam buku API edisi kedua ini. Pada dasarnya program-program API yang
telah disempurnakan memuat arahan dan strategi yang lebih konkrit terkait dengan konsolidasi
perbankan nasional, pengembangan perbankan syariah dalam jangka panjang, peningkatan
pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta penguatan kelembagaan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR). Secara keseluruhan, penyempurnaan ini menyebabkan bertambahnya
program dan kegiatan API yang akan dilakukan secara bertahap sampai dengan tahun 2013 dari 19
program yang tertuang dalam 34 kegiatan menjadi 20 program yang dijabarkan kedalam 55 kegiatan.
Keberhasilan implementasi program-program API tentunya tidak akan terlepas dari
koordinasi dan kerjasama yang baik dengan stakeholders. Oleh karena itu, Bank Indonesia
memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah mendukung
implementasi program-program API selama ini. Selanjutnya, Bank Indonesia mengharapkan agar
kerjasama yang telah terjalin dapat lebih dipererat agar tatanan baru sistem perbankan nasional dapat
segera terwujud dan industri perbankan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada
pertumbuhan ekonomi nasional.

1. Basel Core Principle (Prinsip Pokok Basel)


Pertumbuhan jumlah bank swasta yang sangat cepat mulai tahun 1980-an ternyata
membawa perekonomian Indonesia ke suatu tahapan baru dalam perkembangannya.
Peran sektor perbankan dalam memobilisasikan dana masyarakat untuk berbagai tujuan telah
mengalami peningkatan yang sangat besar. Sektor perbankan, yang sebelumnya tidak lebih hanya

sebagai fasilitator kegiatan pemerintah dan beberapa perusahaan besar, telah berubah menjadi
sektor yang sangat berpengaruh bagi perekonomian.
Perkembangan yang pesat tersebut tampaknya tidak diikuti perkembangan penerapan
prinsip kehati-hatian yang seimbang, bahkan istilah tersebut terdengar masih asing bagi sebagian
para bankir apalagi masyarakat awam pada waktu itu. Kenyataan tersebut menyebabkan pada
akhir tahun 1990-an terjadi masalah besar dalam dunia perbankan di Indonesia. Secara
bersamaan, sebagian besar bank-bank yang ada dalam kondisi bermasalah. Otoritas moneter
dengan sangat terpaksa harus melikuidasi banyak bank yang dipandang tidak dapat diselamatkan
lagi.
Bank for International Settlement (BIS) telah lama mencari tahu praktik-praktik
perbankan yang dianggap dapat menciptakan dunia perbankan yang efisien dan efektif dalam
perannya sebagai financial intermediary. Menyadari adanya prinsip-prinsip yang telah
dirumuskan dalam BIS dan perlunya merancang ulang sektor perbankan di Indonesia dalam
jangka panjang, otoritas moneter berusaha untuk membuat Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Adanya API, berarti Bank Indonesia secara bertahap berkeinginan untuk menerapkan praktikpraktik terbaik internasional yang tercakup dalam 25 Prinsip Pokok Basel untuk pengawasan
perbankan yang efektif (Basel Core Principles for Effective Banking Supervision), sehingga
dalani jangka waktu lima tahun ke depan diharapkan Indonesia telah sejajar dengan negaranegara lain yang telah lebih dahulu menerapkan prinsip-prinsip tersebut.
The Basel Committee on Banking Supervision adalah sebuah komite otoritas pengawas
perbankan yang didirikan oleh gubernur bank sentral dari negara-negara G-10 pada tahun 1975.
Lembaga ini terdiri dari wakil-wakil senior dari otoritas pengawas perbankan dan bank sentral
dari Belgia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Swedia, Swiss,
Inggris, dan Amerika Serikat. Lembaga ini biasanya bertemu di the Bank for International
Settlements di kota Basel-Swiss, yang juga merupakan lokasi sekretariat tetapnya.
Komite ini telah menyusun dua jenis dokumen, yaitu :
1. Paket lengkap Core Principles for Effective Banking Supervision (The Basel Core
Principles).
2. Compendium (akan diperbarui secara periodik) terhadap semua rekomendasi, pedoman, dan
standar yang telah dikeluarkan oleh Basel Committee yang sebagian besar saling berkaitan
dengan core principles.
Kedua dokumen tersebut telah disetujui oleh gubernur bank sentral negara-negara G- 10.
Dokumen tersebut telah diserahkan kepada menteri keuangan negara G-7 dan G- 10 sebelum Denver
Summit pada Juni 1997 dengan harapan bahwa mereka akan dapat mewujudkan mekanisme bagi
penguatan stabilitas keuangan di masing-masing negara.

Untuk mengembangkan prinsip-prinsip tersebut, Basel Committee telah bekerja sama erat
dengan otoritas pengawasan di luar negara G- 10. Dokumen tersebut telah disusun dalam suatu
grup yang terdiri dari perwakilan Basel Committee dan juga dari negara Chili, Cina, Republik
Czech, Hong Kong, Meksiko, Rusia, dan Thailand. Sembilan negara yang lain (Argentina, Brazil,
Hungaria, India, Indonesia, Korea, Malaysia, Polandia, dan Singapura) juga terlibat dalam
kegiatan ini. Draf atas dokumen tersebut juga disusun berdasarkan hasil konsultasi dengan
pengawas perbankan yang lebih banyak lagi, baik secara langsung maupun melalui grup pengawas
perbankan regional.
The Basel Core Principle terdiri dari dua puluh lima prinsip dasar yang perlu ada bagi
terwujudnya sistem pengawasan yang efektif. Prisip-prinsip tersebut berkaitan dengan:

Persyaratan bagi pengawasan perbankan yang efektif prinsip ke-1


Perizinan dan Struktur prinsip ke-2 hingga ke-5
Peraturan Prinsip kehati-hatian prinsip ke-6 hingga ke-15
Metode Pengawasan Perbankan Terus-menerus prinsip ke-16 hingga ke-20
Informasi prinsip ke-21
Wewenang Formal Pengawasan prinsip ke-22
Perbankan Lintas Negara prinsip ke-23 hingga ke-25

The basel core priniple dimaksudkan sebagai acuan dasar bagi pengawas dan otoritas
publik lain di semua negara secara internasional.
Keduapuluh lima inti dalam pengawasan perbankan yang efektif, seperti yang telah
dirumuskan BIS, meliputi:
Persyaratan Pengawasan Perbankan yang Efektif
1. System pengawasan perbankan yang efektif memiliki tanggung jawab dan tujuan yang jelas
pada setiap badan yang terlibat dalam pengawasan. Setiap badan harus memiliki
independensi dan sumber daya yang sesuai. Kerangka legal bagi pengawasan perbangkan
juga diperlukan, yang mencakup pemberian otorisasi organisasi perbankan dan pengawasan
yang terus menerus, wewenang menentukankesesuaian dengan peraturan dan juga berkaitan
dengan kehati-hatian, serta perlindungan hokum bagi pengawas. Pengaturan keterkaitan
informasi bagi pengawas dan perlindungan kerahasiaan informasi tersebut juga harus ada.
Perizinan dan Struktur
2. Kegiatan dari lembaga yang diberikan izin dan diawasi harus dirumuskan dengan jelas, dan
penggunaan nama bank harus dikendalikan sejauh mungkin.
3. Lembaga pemberi izin harus berwenang menentukan persyaratan dan juga menolak
pendirian yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Proses perizinan paling
tidak mencakup penelitian terhadap struktur kepemilikan bank, direktur, dan manajemen

senior; pengendalian internal; proyeksi kondisi keuangan yang mencakup modal awal; dan
bila pendirinya adalah bank asing rekomendasi dari pengawas perbankan tempat asal bank
tersebut juga harus ada.
4. Pengawas perbankan harus memiliki wewenang untuk menilai dan menolak usulan
pemindahan kepemilikan atau pengendalian dalam jumlah besar ke pihak lain.
5. Pengawas harus memiliki wewenang untuk menentukan persyaratan penilaian akuisi atau
investasi besar oleh suatu bank dan juga memastikan bahwa tindakan tersebut akan
menyebabkan bank menanggung risiko yang berlebihan dan menghalangi pengawasan yang
efektif.
Peraturan dan Persyaratan Kehati-hatian
6.

Pengawas perbankan harus menetapkan peraturan modal minimum yang tepat dan sesuai
prinsip kehati-hatian bagi semuabank. Persyaratan tersebut harus mencerminkan risiko yang
dihadapi bank dengan menetapkan komponen modal sehingga dapat mencerminkan kemampuan
bank menyerap kerugian. Setidaknya untuk bank yang aktif secara internasional, peraturan ini
harus tidak lebih rendah daripada yang telah ditetapkan dalam Basel Capital Accord dan
perubahannya.

7. Bagian penting dari suatu sistem pengawasan adalah penilaian kebijakan, praktik, dan prosedur
bank dalam kaitannya dengan pemberian pinjaman, investasi, serta pengelolaan pinjaman dan
portofolio investasi yang telah dilakukan.
8. Pengawas perbankan harus memastikan bahwa bank menjalankan kebijakan, praktik,
dan prosedur untuk evaluasi terhadap kualitas aset, ketepatan antisipasi kredit macet,
dan ketepatan pencadangan kredit macet.
9.

Pengawas perbankan harus memastikan bahwa bank memiliki sistem informasi manajemen
yang memungkinkan manajemen mengidentifikasikan tingkat konsentrasi portofolionya.
Pengawas harus menetapkan batas kehati-hatian untuk membatasi risiko bank terhadap pem injarn
atau grup tertentu.

10. Dalam rangka rnencegah kerancuan akibat pemberian pinjaman yang saling berkaitan,
pengawas perbankan harus mengatur agar bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaanperusahaan atau perorangan yang saling berkaitan dilakukan secara independen dan tidak
mendominasi, sehingga dapat dimonitor secara efektif dan perlu dilakukan tindakan lain untuk
mengendalikan risikonya.
11. Pengawas perbankan harus memastikan bahwa bank memiliki kebijakan dan prosedur yang
tepat untuk rnengidentifikasi, memonitor, dan mengendalikan risiko negara (country risk) dan
risiko transfer (transfer risk) dalam pinjaman dan investasi internasionalnya, sehingga juga
dapat memiliki cadangan yang sesuai untuk risiko tersebut.

12. Pengawas perbankan harus memastikan bahwa bank memiliki sistem yang dapat secara akurat
mengukur, memonitor, dan mengendalikan risiko pasar. Pengawas harus memiliki wewenang
untuk menerapkan batasan tertentu dan atau persyaratan modal tertentu yang terkait risiko pasar
tersebut (market risk exposures).
13. Pengawas perbankan harus memastikan bahwa bank memiliki proses manajemen risiko
komprehensif (termasuk pengawas manajemen senior dan direktur) untuk
mengidentifikasikan, memonitor, dan mengendalikan semua risiko penting lain sehingga dapat
menetapkan persyaratan modal yang diperlukan.
14. Pengawas perbankan harus mewajibkan bank agar memiliki pengendalian internal yang sesuai
dengan karakter dan skala bisnis masing-masing bank. Hal ini harus mencakup
pengaturan yang jelas terhadap pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab; pemisahan
fungsi tanggung jawab, pembayaran, dan pengelolaan aset dan kewajiban; rekonsiliasi
proses-proses tersebut; perlindungan aset; audit internal dan eksternal yang tepat; dan kesesuaian
fungsi-fungsi tersebut dengan peraturan dan perundang-undangan.
15. Pengawas perbankan harus mewajibkan bank agar memiliki kebijakan, praktik, dan prosedur
yang tepat (termasuk aturan ketat tentang pemahaman terhadap konsumen) untuk
menciptakan standar profesional dan etis yang tinggi dalam sektor keuangan sehingga dapat
mencegah penyalahgunaan bank secara sengaja atau tidak sengaja untuk tujuan kriminal.
Metode Pengawasan Perbankan Berkelanjutan
16. Sistem pengawasan perbankan yang efektif harus mencakup pengawasan langsung clan tidak
langsung.
17. Pengawas perbankan harus memiliki interaksi rutin dengan manajemen bank dan pemahaman
lengkap terhadap kegiatan bank tersebut.
18. Pengawas perbankan harus memiliki alat untuk mengumpulkan, menilai, dan menganalisis
laporan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dari bank secara mandiri maupun terkonsolidasi.
19. Pengawas perbankan harus memiliki alat validasi independen terhadap informasi pengawasan
baik melalui penelitian langsung maupun melalui auditor eksternal.
20. Unsur penting dari pengawasan perbankan adalah kemampuan pengawas untuk mengawasi
grup perbankan secara terkonsolidasi.
Peraturan Informasi
21. Pengawas perbankan harus memastikan bahwa setiap bank merniliki pencatatan yang baik
sesuai kebijakan akuntansi sehingga memungkinkan pengawas mendapatkan gambaran yang

benar dan wajar tentang kondisi keuangan bank serta tingkat keuntungannnya. Bank juga harus
memublikasikan secara teratur laporan keuangan yang secara wajar mencerminkan kondisi
bank.
Kewenangan Formal Pengawas
22. Pengawas perbankan harus memiliki kebijakan pengawasan yang tepat untuk menjalankan
tindakan perbaikan terjadwal bila perbankan tidak memenuhi prinsip kehati-hatian (misalnya
rasio kecukupan modal), bila ada pelanggaran peraturan, atau bila deposan terancam karena
berbagai hal. Dalam kondisi yang ekstrem, hal ini harus mencakup kemampuan untuk
rnencabut izin bank atau merekomendasikan pencabutan izin usaha bank.
Perbankan Antar Negara
23. Pengawas perbankan harus melaksanakan pengawasan terkonsolidasi secara internasional
terhadap bank yang aktif secara internasional, pernonitoran, dan penerapan prinsip kehatihatian terhadap semua aspek bisnis dari bank yang aktifsecara internasional (terutama melalui
cabang luar negeri, joint venture luar negeri, clan anak perusahaan di luarnegeri).
24. Unsur kunci dari pengawasan terkonsolidasi adalah pertukaran informasi dengan berbagai
pengawas perbankan yang lain, terutama pengawas nasional yang berwenang.
25. Pengawas perbankan menetapkan agar bank asing juga menerapkan standar yang sama dengan
standar bagi bank domestik dan pengawas juga harus memiliki wewenang untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan dari pengawas perbankan asal bank asing tersebut untuk
menjalankan pengawasan terkonsolidasi.
Dalam melaksanakan prinsip-prinsip di atas untuk menuju pengawasan perbankan yang efektif,
hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

tujuan utama pengawasan adalah menciptakan stabilitas dan kepercayaan dalam sistem
keuangan, sehingga dapat mengurangi risiko kerugian bagi deposan dan kreditor yang lain;
pengawas perlu mendorong tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)
dengan cara menciptakan struktur dan tanggung jawab yang tepat bagi dewan direksi dan
manajemen senior bank serta mengusahakan pengawasan dan transparansi pasar;
agar pengawas dapat secara efektif menjalankan tugasnya, pengawas harus memiliki
independensi, alat, dan wewenang untuk mendapatkan informasi langsung dan tidak
langsung, serta wewenang untuk menerapkan keputusannya;
pengawas harus memahami bidang usaha yang dijalankan oleh bank yang diawasi dan
memastikan bahwa risiko yang dihadapi bank telah dikelola dengan baik;
pengawasan perbankan yang efektif perlu memastikan bahwa profit risiko masingmasing
bank telah dianalisis dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan;

pengawas harus memastikan bahwa bank memiliki sumber daya yang sesuai untuk
mengelola risiko termasuk masalah modal yang cukup, manajemen yang baik, serta sistem
pengendalian dan akuntansi yang efektif; dan
kerja sama erat dengan pengawas yang lain merupakan sesuatu yang penting, terutama
menyangkut operasi bank antar negara.
2. Pengertian Arsitektur Perbankan Indonesia
Arsitektur Perbankan Indonesia adalah Kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang
bersifat menyeluruh dan memberi arah , bentuk dan tatanan industri perbankan untuk rentang
waktu 5 s/d 10 tahun kedepan. API jadi sangat dibutuhkan dalam rangka memperkuat dasar-dasar
industri perbankan. Krisis 1997 menunjukkan bahwa industri perbankan secara umum dan BI
sebagai pengawas belum kokoh. API adalah program restrukturisasi perbankan pasca
International Monetery Fund (IMF). BI mulai implementasikan API sejak 2004 dan dijalankan
secara bertahap s/d 2013 (10 Tahun)..
VISI API :
A.

Menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien,

B. Menciptakan kestabilan sistem keuangan,


C. Mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
3. Enam Pilar API :
Dalam rangka menciptakan perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan
kestabilan keuangan nasional maka ditetapkan 6 (enam) pilar API, yang meliputi :
a. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat sehingga mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang
berkesinambungan.
b. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada
standar internasional.
c. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta
memiliki ketahanan dalam menghadapi resiko.
d. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal
perbankan nasional.
e. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan
yang sehat.
f. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)


Pengertian
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi
menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan
pada 22 September2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan
sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005.Setiap bank yang
melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan
LPS.
Di dalam perekonomian modern dewasa ini diperlukan suatu sistem penyangga ekonomi yang
kokoh sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan para pelaku ekonomi yang bernaung
dibawahnya, dan yang menjadi salah satu tiang penyangganya adalah LPS. Hal itu tercermin dari
salah satu fungsi dari LPS yakni menjamin simpanan nasabah.
Belajar dari krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank
mengakibatkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan nasional diikuti
dengan penarikan simpanan besar-besaran pada sistem perbankan atau rush. Maka untuk
meredam efek bola salju tersebut saat itu pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan
diantaranya program penjaminan seluruh simpanan masyarakat atau yang lebih dikenal
dengan blanket guaranteemelaluiKeputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat
Setelah beberapa tahun dilaksanakannya kebijakan blanket guarantee memang dapat
menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Tetapi mengingat
risiko dari blanket guarantee sangat besar yakni kewajiban penyediaan dana talangan dan
munculnya moral hazard bankir juga masyarakat, maka diperlukan suatu lembaga penjaminan
simpanan yang independen.

Fungsi dan Peranan Lembaga Penjamin Simpanan


LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas
sistem perbankan sesuai kewenangannya.
Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum
sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah
menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari Rp 100 juta maka sisa
simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank tersebut.
Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan nasabah
kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember2006, rekening bersaldo sama
atau kurang dari Rp 100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan.

Sejak terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 3
Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga
Penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi
Rp2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Perpu ini dapat disesuaikan kembali, apabila krisis global
meluas atau mereda.
LPS juga turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannnya
Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
2. Melaksanakan penjaminan simpanan.
3. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas
sistem perbankan.
4. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang
tidak berdampak sistemik.
5. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Menetapkan dan memungut premi penjaminan.


Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan
laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4.
Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi
kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
Menjatuhkan sanksi administratif.

Tujuan Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan


Krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia pada tahun 1998 ditandai
dengan dilikuidasinya 16 bank yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat
pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa
kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk
simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor
26 Tahun 1998 tentang "Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum" dan Keputusan
Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang "Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat".

Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali


kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang
terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun
masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah
penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas
lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan bertujuan untuk menumbuhkan kembali rasa
aman masyarakat untuk bertransaksi dengan bank dalam hal simpanan sehingga muncul kembali
rasa kepercayaan mereka terhadap bank.
Syarat Penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan
Selain memenuhi besaran nilai simpanan yang dijamin, nasabah juga perlu memenuhi syaratsyarat berikut:
1. Simpanan nasabah tercatat dalam pembukuan bank;
2. Nasabah tidak memperoleh bunga simpanan yang melebihi tingkat bunga wajar yang ditetapkan
oleh LPS/nasabah tidak menerima imbalan yang tidak wajar dari bank; dan
3. Nasabah tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, misalnya memiliki kredit macet di
bank tersebut
Peserta Penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan
Sesuai Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan, setiap bank
wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin
simpanan masyarakat pada bank tersebut dibentuk LPS. Dalam Pasal 12 UU LPS ketentuan
tersebut dipertegas dengan menyebutkan bahwa setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di
wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS. Jenis bank tersebut meliputi
bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank campuran, dan bank asing, serta bank
konvensional dan bank syariah.

LEMBAGA PENGAWAS INDEPENDEN

Lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, terhitung sejak
31 Desember 2013, dan dengan ditandatanganinya BAST antara Bank Indonesia dan Otoritas
Jasa Keuangan, maka tugas pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan dari Bank
Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan. Sejak tanggal 31 Desember 2013 tersebut, pengawasan
terhadap individual bank (microprudentia) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Namun,
pengawasan terhadap macroprudential tetap dilakukan oleh Bank Indonesia, berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan.
Pada dasarnya, factor yang melatar belakangi pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu
berbeda di setiap negara, namun setidaknya terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya
perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya
konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini
menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam
regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga
pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas
sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas
sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi
komponen utama good governance. Untuk meningkatkan good governance pada lembaga
pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa
keuangannya.
Selain itu, Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU
OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di
bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi
kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsector keuangan baik dalam hal produk maupun
kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan
kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas
transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu,
banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral
hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas
sistem keuangan.
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo dalam sambutannya menyatakan bahwa
Bank Indonesia memindahkan fungsi pengawasan bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
kondisi perbankan yang sehat dengan aturan yang tepat. Ke depan, Bank Indonesia dan Otoritas
Jasa Keuangan akan senantiasa bekerja sama dan berkoordinasi sehingga diharapkan akan
diperoleh keseimbangan yang tepat terkait bauran kebijakan antara macroprudential dan
microprudential untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

Pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan bank yang dilakukan telah melalui proses panjang
yang ditandai dengan pembentukan Tim Task Force OJK di Bank Indonesia dan Tim Transisi
Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank di Otoritas Jasa Keuangan sejak awal 2013. Melalui kedua
Tim tersebut, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan telah melakukan koordinasi yang
sangat baik, tidak hanya terkait soal pengalihan sumber daya manusia, namun juga terkait dengan
pengalihan dokumen, data, dan sistem informasi serta penggunaan gedung-gedung Bank
Indonesia sebagai Kantor Otoritas Jasa Keuangan baik di pusat maupun daerah-daerah.
Independensi Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Sistem Perbankan
Sebagai lembaga yang didirikan dan bersifat independen, tentunya Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mempunyai peran yang sangat strategis dalam melakukan pengawasan terhadap seluruh lembaga
keuangan yang berada di wilayah Indonesia termasuk di dalamnya industry perbankan. Dikatakan
strategis dikarenakan pengawasan OJK terhadap industry keuangan tersebut adalah sebagaimana
yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU
OJK).
Pentingnya independensi bagi otoritas pengawas jasa keuangan paling tidak karena dua hal.
Pertama, hampir semua krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1990an diakibatkan oleh
pengaruh politik. Lemah dan tidak efektifnya regulasi seringkali disebabkan campur tangan
politik. Kedua, dialihkannya kewenangan pengawasan dari bank sentral. Bank sentral selama ini
telah mendapat independen sehingga dengan dialihkannya pengwasan dari bank sentral, isu
indepenensi muncul kembali. Di samping itu, pendirian lembaga pengawas yang superpower
menimbulkan kekhawatiran tentang kewenangan besar yang dimilikinya.
Terkait masalah anggaran dalam melaksanakan kegiatan operasional maka sesuai dengan Pasal
37 UU OJK menetapkan bahwa:
(4) OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
(5) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang
dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.
(7) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.
(8) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk
tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Kemudian dalam Peraturan Pelaksana 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam rangka jenis pungutan yang diambil oleh OJK adalah biaya perizinan,
persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi korporasi; dan biaya
tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian
Ketentuan di atas dapat melepaskan ketergantungan OJK pada ketersediaan anggaran yang
berasal dari APBN, sehingga diharapkan dapat mengurangi intervensi terhadap OJK. Namun
demikian, muncul potensi intervensi yang berasal dari industri yang membiayai OJK. Untuk itu,
akuntabilitas merupakan hal penting bagi OJK. Akuntabilitas diperlukan OJK untuk meletigimasi
tindakannya atas dasar kewenangan yang diberikan. Intergritas direfleksikan dalam mekanisme
yang mensyaratkan karyawan lembaga dalam mencapai tujuan organisasi tanpa menjadi takut
terhadap intervensi.
Persoalan lainnya yang mempengaruhi idependensi OJK adalah pembiayaan di OJK yang
bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa
keuangan. Penetapan besaran pungutan itu dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan
pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pungutan atau iuran akan mengurangi
independensi OJK sehingga akan lebih baik jika pendanaan OJK berasal dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Akan tetapi demi perkembangan industri jasa keuangan di Indonesia, pungutan atau iuran dapat
saja dilakukan oleh OJK, namun untuk 5 (lima) tahun pertama tentu saja pembiayaan berasal dari
dana APBN. Selain itu, pungutan atau iuran juga dapat dilakukan jika pembiayaan terhadap OJK
terlalu membebani APBN. Namun di satu sisi, apabila OJK ini memiliki program yang baik
untuk pengembangan jasa keuangan di Indonesia, pungutan atau iuran ini nantinya tidak akan
ditolak oleh industri jasa keuangan apabila sudah merasakan manfaat dari lembaga pengawas dan
pengaturan jasa keuangan ini.

Anda mungkin juga menyukai