Anda di halaman 1dari 12

1.

Pemeriksaan untuk menentukan tinggi rendahnya intensitas bunyi yang


dialami pada penderita tinitus:
Kekerasan atau intensitas bunyi tinitus dapat diukur, baik secara subjektif
maupun objektif. Pengukuran secara objektif dengan menggunakan metode
matching menggunakan alat audiometer, sedangkan secara subjektif dapat
menggunakan skala dari Klockhoff dan Lindblom (KL) atau skor visual
analogue scale (VAS).
Pada klasifikasi KL, tinitus dibagi menjadi tiga derajat, yaitu: derajat I,
apabila bunyi tinitus hanya terdengar pada lingkungan yang sepi; derajat II,
apabila tinitus terdengar dalam kondisi lingkungan sehari-hari, namun bunyi
tersebut dapat hilang atau dapat diabaikan dengan bunyi lingkungan yang
ramai dan tidak mengganggu proses tidur; derajat III, apabila tinitus terdengar
pada semua kondisi lingkungan, tidak dapat hilang atau diabaikan dan
mengganggu proses tidur.
Skor VAS yang digunakan untuk menilai kekerasan tinitus dengan cara
menggunakan garis sepanjang 10 cm dengan skala 0 cm menunjukkan
kekerasan tinitus yang pelan, serta skala 10 cm menunjukkan kekerasan
tinitus yang sangat keras. Selanjutnya pasien diminta untuk mengukur sendiri
kekerasan tinitus yang dirasakannya, dengan memberi tanda berupa garis
vertikal pada garis tersebut. Pengukuran secara subjektif dilakukan sebanyak
dua kali sebelum dan sesudah pengukuran psikoakustik tinitus.
Penilaian tinitus secara objektif menggunakan alat audiometer klinik
dengan metode matching. Stimulus diberikan pada telinga sisi kontralateral
dari sisi tinitus. Jika tinitus bilateral, maka telinga yang mengalami keluhan
lebih berat dianggap sebagai sisi tinitus. Pemeriksaan tinitus meliputi
pengukuran frekuensi (pitch matching) tiap oktaf dan intensitas (loudness
matching) dengan peningkatan tiap 1 dB. Hasil pengukuran frekuensi tinitus
dalam satuan Hertz (Hz) dan intensitas dalam satuan dBHL.
Penggolongan frekuensi tinitus yang didapat dengan metode matching
dibagi menjadi frekuensi lebih dari atau sama dengan 2000 Hz dan di bawah
2000 Hz.

Sumber: Laporan Penelitian Korelasi antara pengukuran tinitus secara subjektif


dan

objektif

pada

pasien

tinitus

subjektif.

http://www.researchgate.net/publication/267787838
Audiological clinical assessment. In: Moller AR, Langguth B, DeRidder
D, Kleinjung T, editors. Textbook of tinnitus. London: Springer; 2010.
p.409-16
2. Tatalaksana anti-inflamasi untuk radang kronik:
Peradangan berulang yang terjadi pada hidung, faring, dan tonsil,
mengarahkan pada keadaan kronis. Peradangan kronis sendiri dapat
mengalami eksaserbasi akut berulang pada masa intervalnya, keluhan yang
muncul biasanya rasa tidak enak pada tenggorokan atau hidung, seperti rasa
kering dan iritasi menjengkelkan. Membrana mukosa kadang terlihat pucat,
pembuluh darah menonjol, dinding mukosa sering ditutupi oleh sekresi
mukous dan jaringan limfoid sering hipertrofi dan memiliki gmbaran
bergranul atau berbenjol-benjol.
Fokus utama penangan peradangan kronis adalah mencegah agar tidak
terjadi eksaserbasi akut. Bila terjadi eksaserbasi akut, penanganannya adalah
sama seperti pada radang akut pada umumnya dengan memberikan obat antiinflamasi dan mengatasi sumber penyebab peradangan berulangnya.
Pada peradangan kronik dalam keadaan tidak terjadi eksaserbasi, tidak
ada penanganan yang spesifik dan pasien tidak diberikan obat anti-inflamasi
untuk menterapi peradangan kronik. Biasanya hanya diberikan terapi
simptomatis seperti obat kumur atau tablet hisap untuk keluhan di
tenggorokan.
Selain itu, pilihan terapi yang lain adalah dengan melakukan tonsilektomi
pada tonsilitis kronis, kaustik pada faringitis kronis atau konka hipertrofi
dengan zat kimia (nitras argenti atau triklokauterisasi) atau dengan electro
cauter.
Sumber: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala
Leher. Edisi ke-7. Jakarta. Balai Penerbit FK UI, 2010

3. Pemeriksaan untuk menentukan penyebab kekakuan pada membran


timpani (membedakan apakah dari kelainan membran timpani atau dari
tulang pendengaran) :
Pengukuran dengan audiometri impedans digunakan secara klinis baik
sebagai alat screening dan diagnostik untuk identifikasi dan klasifikasi
gangguan perifer (khususnya telinga tengah) dan sentral dan dapat digunakan
sebagai alat untuk memperkirakan sensitivitas pendengaran secara obyektif.
Karakteristik imitansi (impedansi dan/atau masuk) dari sistem telinga
tengah dapat disimpulkan secara obyektif dengan teknik elektropsikologi
cepat dan noninvasif dan kemudian terkait dengan pola yang sudah dikenal
baik untuk berbagai temuan jenis lesi telinga tengah. Tympanometry adalah
rekaman terus-menerus impedansi telinga tengah sebagaimana tekanan udara
di kanal telinga secara sistematis meningkat atau menurun. Awalnya di
pengujian, volume saluran telinga diperkirakan. Jika melebihi 2 cm 3,
kemungkinan perforasi dari membran timpani harus dipertimbangkan. Sebuah
sistem telinga tengah dengan impedansi rendah (masuk tinggi) lebih mudah
menerima energi akustik, sedangkan telinga tengah dengan impedansi tinggi
(masuk

rendah)

cenderung

untuk

menolak

energi

akustik.

Dalam

timpanogram itu, pemenuhan statis (kekakuan yang resiprokal) dari


komponen telinga tengah diplot sebagai fungsi dari tekanan dalam saluran
telinga.
Pada pemeriksaan audiometri impedans diperiksa kelenturan membrane
timpani dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna. Didapatkan
istilah: a) Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum
timpani.

Misalnya ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran

(ossicular chain), kekakuan membrane timpani dan membran timpani yang


sangat lentur; b) Fungsi tuba Eustachius (Eustachian tube function), untuk
mengetahui tuba Eustachius terbuka atau tertutup; c) Refleks stapedius. Pada
telinga normal, refleks stapedius muncul pada rangsangan 70-80 dB di atas
ambang dengar. Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks stapedius
menurun, sedangkan pada lesi di retrokoklea, ambang itu naik.

Audiometri hambatan telah dianggap semakin penting artinya dalam


rangkaian pemeriksaan audiologi. Timpanometri merupakan alat pengukur
tak langsung dari kelenturan (gerakan) membrana timpani dan sistem osikular
dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal, atau negatif. Energi akustik
tinggi dihantarkan pada telinga melalui suatu tabung tersumbat; sebagian
diabsorpsi dan sisanya dipantulkan kembali ke kanalis dan dikumpulkan oleh
saluran kedua dari tabung tersebut. Bila telinga terisi cairan, atau bila
gendang telinga menebal, atau sistem osikular menjadi kaku, maka energi
yang dipantulkan akan lebih besar dari telinga normal. Dengan demikian
jumlah energi yang dipantulkan makin setara dengan energi insiden.
Hubungan ini digunakan sebagai sarana pengukur kelenturan.

Gambar 1. Timpanometer

Timpanometer

adalah

alat

yang

digunakan

dalam

pemeriksaan

timpanometri. Pada dasarnya alat pengukur impedans terdiri dari 4 bagian


yang semuanya dihubungkan ke liang telinga tengah oleh sebuah alat kedap
suara, sebagai berikut: 1) Oscilator : Alat yang menghasilkan/memproduksi
bunyi/nada bolak-balik (biasanya 220 Hz), suara yang dihasilkan tersebut
masuk ke earphone dan diteruskan ke liang telinga; 2) Sebuah mikrofon dan
meter pencatat sound pressure level dalam liang telinga; 3) Sebuah pompa
udara dan manometer yang dikalibrasi dalam milimeter air (-600 mmH 2O s.d
+1.200 mmH2O). Suatu mekanisme untuk mengubah dan mengukur tekanan

udara dalam liang telinga; 4) Compliancemeter : untuk menilai bunyi yang


diteruskan melalui mikrofon.

Gambar 2. Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan


Timpanometri

Cara Pemeriksaan
Probe, setelah dipasangi tip yang sesuai, dimasukkan ke dalam liang
telinga sedemikian rupa sehingga tertutup dengan ketat. Mula-mula ke dalam
liang telinga yang tertutup cepat diberikan tekanan 200 mmH 2O melalui
manometer. Membrana timpani dan untaian tulang-tulang pendengaran akan
mengalami tekanan dan terjadi kekakuan sedemikian rupa sehingga tak ada
energi bunyi yang dapat diserap melalui jalur ini ke dalam koklea. Dengan
kata lain, jumlah energi bunyi yang dipantulkan kembali ke dalam liang
telinga luar akan bertambah.
Tekanan kemudian diturunkan sampai titik di mana energi bunyi diserap
dalam jumlah tertinggi; keadaan ini menyatakan membran timpani dan
untaian tulang pendengaran dalam compliance yang maksimal. Pada saat
compliance maksimal ini dicapai, tekanan udara dalam rongga telinga

tengah sama dengan tekanan udara dalam liang telinga luar. Jadi tekanan
dalam rongga telinga tengah diukur secara tak langsung.
Tekanan dalam liang telinga luar kemudian diturunkan lagi sampai -400
mmH2O.

Dengan demikian akan terjadi lagi kekakuan dari membrana

timpani dan untaian tulang-tulang pendengaran, sehingga tak ada bunyi yang
diserap, dan energi bunyi yang dipantulkan akan meningkat lagi.
Cara Kerja Impedans Meter
Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang
dimasukkan ke dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan
frekuensi 220 Hz. Alat lainnya mendeteksi respon dari membran timpani
terhadap nada tersebut.
Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga menghadirkan
berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negatif ke dalam
liang telinga. Jumlah energi yang dipancarkan berhubungan langsung dengan
compliance. Compliance menunjukkan jumlah mobilitas di telinga tengah.
Sebagai contoh, lebih banyak energi yang kembali ke alat pemeriksaan, lebih
sedikit energi yang diterima oleh membran timpani. Hal ini menggambarkan
suatu compliance yang rendah.

Compliance yang rendah menunjukkan

kekakuan atau obstruksi pada telinga tengah.

Data-data yang didapat

membentuk sebuah gambar 2 dimensi pengukuran mobilitas membran


timpani.

Pada telinga normal, kurva yang timbul menyerupai gambaran

lonceng.
Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila tekanan
udara sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga yang normal,
penghantaran maksimum terjadi pada atau mendekati tekanan atmosfir.
Itulah sebabnya ketika tekanan udara di dalam liang telinga sama dengan
tekanan udara di dalam kavum timpani, imitans dari sistem getaran telinga
tengah normal akan berada pada puncak optimal dan aliran energi yang
melalui sistem ini akan maksimal. Tekanan telinga tengah dinilai dengan
bermacam-macam tekanan pada liang telinga yang ditutup probe sampai

sound pressure level (SPL) berada pada titik minimum.

Hal ini

menggambarkan penghantaran bunyi yang maksimum melalui telinga tengah.


Tetapi bila tekanan udara dalam salah satu liang telinga lebih dari (tekanan
positif) atau kurang dari (tekanan negatif) tekanan dalam kavum timpani,
imitans sistem akan berubah dan aliran energi berkurang. Dalam sistem yang
normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah atau di atas dari
tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran energi akan
menurun dengan cepat sampai nilai minimum.
Pada tekanan yang bervariasi di atas atau di bawah titik maksimum, SPL
nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah, menggambarkan sebuah
penurunan dalam penghantaran bunyi yang melalui telinga tengah.

Interpretasi
Tipe-tipe klasifikasi timpanometri adalah sebagai berikut:
1.

Tipe A

terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.


mempunyai bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0
daPa dan penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau
positif. Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara
sekitar, memberi kesan tekanan udara telinga tengah yang normal.

Gambar 3.Timpanogram Normal

2.

Tipe As.

Terdapat pada kekakuan rangkaian tulang pendengaran, otosklerosis


dan keadaan membran timpani yang berparut.

Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak berada


atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara
signifikan berkurang.

Huruf s di belakang A berarti stiffness atau

shallowness. Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan


udara sekitar, tapi kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau
kekauan sistem osikular seringkali dihubungkan dengan tipe As.

Gambar 4.Timpanogram Tipe As

3.

Tipe Ad.

Terdapat

pada

diskontinuitas

keadaan

membran

(kadang-kadang

timpani

sebagian)

yang

flaksid

atau

dari

tulang-tulang

pendengaran.

Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak


lebih tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang
A berarti deep atau discontinuity.

Kelenturan maksimum yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara


sekitar, dengan peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan
diturunkan mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe Ad dikaitkan
dengan diskontinuitas sitem osikular atau suatu membrana timpani
mono metrik.

Gambar 5.Timpanogram Tipe Ad


4.

Tipe B

Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung


mendatar, atau sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan
cairan di telinga tengah (kavum timpani), misalnya pada otitis media
efusi.

ECV dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak ada

mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV >
normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani.

Gambar 6.Timpanogram Tipe B


5.

Tipe C

Terdapat pada membran timpan retraksi dan malfungsi tuba Eustachius.


Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan negatif di
luar -150 mm H2O indikatif ventilasi telinga tengah miskin karena
tabung estachius disfungsi. Pola timpanometrik, dalam kombinasi dengan
pola audiogram, ijin diferensiasi antara dan klasifikasi gangguan telinga
tengah.

Gambar 7. Timpanogram Tipe C


Sumber:
1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p. 30,46
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta;
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p 15-18,27
3. Hidayat, B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan
Stadium Tumor pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen
THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan [online] 2009. Available from
URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6424/1/09E01722.pdf

Anda mungkin juga menyukai