Anda di halaman 1dari 5

PRODI ARSITEKTUR UNS | ARSITEKTUR EROPA| SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2015

Nama : Rizkia Rahmani Maulana


Nim
: I0214081
Tajuk : Arsitektur Eropa Campuran

Arsitektur Gereja Blenduk GPIB Immanuel Semarang


Pengantar
Bangsa Indonesia merupakan bangsa jajahan Belanda dengan kurun
waktu yang cukup lama. Penjajahan tersebut telah memonopoli banyak hal,
meliputi kondisi sosial budaya, ekonomi maupun kebudayaan. Bangunan lama
menjadi aset budaya yang harus dilestarikan keberadaannya. Arsitektur Eropa
yang telah berkembang cepat menyebar ke Indonesia dengan beberapa
tahapan yang lama-kelamaan bukan hanya diadaptasi namun telah melakukan
penyesuaian pada kondisi lingkungan di Indonesia. Bangunan yang masih
terlihat kokoh dan dipergunakan hingga sekarang adalah Gereja Immanuel
Semarang. Gereja ini merupakan gereja dengan gaya arsitektur eropa yang
berpadu dengan arsitektur jawa sebagai penyesuaian dengan lingkungan dan
iklim di Indonesia biasa di sebut The Indische Empire Style.
Pemahaman Mengenai Arsitektur Eropa
Arsitektur Indisch merupakan perpaduan antara budaya barat khususnya
Belanda dengan Indonesia Jawa. Arsitektur Indis merupakan pencerminan dari
pola dan gaya hidup menunjukkan status sosial pemilik rumah. Pada masa
kolonial Belanda sering disebut juga sebagai gaya The Indische Empire Style.
Gaya ini dipengaruhi oleh gaya landuis di pinggiran Batavia. Gaya ini
dipopulerkan oleh W. Daendles pada abad ke-18 hingga abad 19.
Dalam perjalanannya, arsitektur indish merupakan jawaban atas
tantangan terhadap alam tropis di Jawa. Dengan penyesuaian terhadap iklim,
arsitektur indis berkembang dengan pesat. Ciri yang dapat terlihat dari langgam
indis adalah denah bangunan simetri, konstruksi menyesuaikan iklim setempat,
terdapat ruang utama pada pusat bangunan, penggunaan kolom bergaya
yunani romawi dan gevel maupun pedentive pada fasad bangunan. Selain itu
untuk menyesuaikan bangunan dengan iklim di Indonesia, bangunan
menggunakan ventilasi diatas pintu dan jendela bangunan dan penggunaan
material lokal.
Pembahasan
GPIB Immanuel merupakan salah satu gereja kristen tertua Jawa Tengah
yang terletak di Jalan Letjen Suprapto 32, Semarang. GPIB Imanuel dibangun
saat kebudayaan Indis berkembang di Jawa sekitar abad XVII. Pada tahun 1753,
gereja ini berbentuk rumah panggung Jawa dengan atap arsitektur tradisional
Jawa berupa tajug. Pada tahun 1787, rumah panggung ini dirombak total dan
direnovasi kembali tahun 1894 oleh H.P.A. de Wilde dan W. Westmas, dengan
penambahan dua menara dan atap kubah, serta penambahan luas bangunan
menjadi 400m. Gereja ini bergaya arsitektur Eropa; Pseudo Baroque yang
berkembang pada abad 17-19 M.
Gereja ini biasanya disebut sebagai gereja blenduk karena penggunaan
atap kubah yang kerangkanya menggunakan konstruksi besi dengan 32 buah
jari-jari dengan 8 berukuran besar dan 24 berukuran kecil serta gelang baja

PRODI ARSITEKTUR UNS | ARSITEKTUR EROPA| SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2015

sebagai titik pusat jari-jari besi tersebut. Pada atap kubah memiliki hiasan
kemuncak berupa tongkat runcing sebagai penunjuk arah mata angin dan
penangkal petir serta pada gevel bangunan yang mempunyai variasi gevel gaya
barat tahun 1870-1940.

Gambar 1.0
Tampak Gereja Immanuel Semarang
Sumber Wikipedia

Gambar 2.0
Denah Gereja Imanuel Semarang
Sumber Moejiono

Gereja Blenduk ini mempunyai denah bangunan simetris heksagonal


dengan 4 transept di bagian utara, barat, selatan dan sehingga membentuk
massa salib yunani. Pada bagian depan diapit 2 buah menara kembar sebagai
hall dan teras terbuka yang disangga 4 buah kolom bergaya dorik romawi.
Orientasi bangunan gereja ini menghadap ke selatan yang bertujuan untuk
menghindari cahaya matahari secara langsung dan sebagai orientasi
penghawaan melalui hembusan angin datang dari arah selatan.

Gambar 3.0
Detail Fasad
Sumber Triyulianti 2010

Bangunan ini mempunyai 4 buah pintu masuk yaitu Barat, Timur, Selatan
dan utara dengan pusat berada di tengah bangunan. Penempatan pintu masuk
mendapatkan pengaruh gaya Art dan Craft yang menggunakan daun pintu
berpanel yang diberi motif geometris. Pintu masuk bermaterial kayu dengan 2
buah daun pintu. Pada jendela gereja terdapat 2 macam yaitu jendela dengan
dua buah daun krepyak dan jendela dengan kaca patri berwarna warni yang
mengadaptasi arsitektur eropa. Dibagian atas pntu dan jendela diletakkan
ventilasi sebagai penyesuaian pada iklim tropis. Selain itu bangunan GPIB
Immanuel menyesuaikan iklim tropis di Indonesia dengan cara penggunaan
teras, ventilasi silang dan pagar untuk mengurangi panas matahari dan tampias
air hujan ke dalam bangunan.

PRODI ARSITEKTUR UNS | ARSITEKTUR EROPA| SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2015

Gambar 3.0
Detail pintu dan jendela
Sumber Triyulianti 2010

Secara umum ruangan pada gereja ini terbagi menjadi 11 bagian yaitu
area teras eksterior, bilik 1 sebagai hall penerima yang dikanan kirinya terdapat
tangga menuju menara, bilik 2 sebagai ruang peralihan menuju ruang jemaat
dan ke balkon dan bilik 3 sebagai ruang upacara kebaktian dan penyimpan alat
upacaya yang biasa disebut ruang Konsistori. Sedangkan pada bilik 4
merupakan ruang perluasan ruang jemaat dan tangga menuju balkon untuk
memainkan orgel, bilik 5 sebagai ruang peralihan dan terdapat tangga menuju
runag soundsystem, ruang jemaat, ruang kantor, ruang soundsystem, ruang
orgel musik dan menara. Terdapat pula orgel musik bergaya baroque abad 18
yang dibuat oleh P. Farwangler dan Hummer. Selain itu terdapat tangga
melingkar yang terbuat dari besi tempa berukir.
Organisasi ruang pada bangunan ini mengikuti gereja di Barat yang
memiliki konsep pola sirkulasi memusat dengan kubah di tengah. Batas ruang
diwujudkan melalui elemen fisik dan non fisik berupa elevasi lantai, penggunaan
material lantai, jajaran kolom dan lainnya. Susunan ruang pada gereja memusat
sebagai perwujudan dan penerapan arsitektur terhadap keseimbangan. Ruang
jemaat sebagai pusat mempunyai makna umat kepada Tuhannya.
Pada penggunaan material lantai dengan keramik 30x30cm sedangkan
pada ruang bilik
menggunakan keramik abu abu. Pada bilik ketiga
menggunakan keramik terasso 16x16cm yang merupakan material lantai yang
dipakai pada rumah tinggal The Indische Empire Style. Renovasi pertama pada
tahun 1894 menggunakan lantai berwarna monokromatik cokelat dengan variasi
hitam untuk mempertegas pola geomeris dengan tata susun grid dan simetris
pada lantai. Selain itu, pola lantai menyerupai struktur pada batik kawung
dalam bingkai segi empat. Pada ruang sekretariat dan soundsystem
menggunakan lantai parket kayu 30x30cm yang merupakan material lantai
gaya Art Nouveau.
Pada dinding gereja menggunakan batu bata finishing yang diplester dan
kuas kapur putih yang berdinding tebal. Terdapat ornamen motif garis, bunga,
dan geometris. Terdapat pula
pilaster pada dinding dan jendela yang
memperlihatkan pengaruh renaisans, art deco dan jawa yang merupakan ciri
The Indische Empire Style. Pada interior dinding gereja berbentuk lengkung
dengan sentuhan gaya gotik yang ditopang oleh pilar dengan sistem kerangka.
Pada ruang utama terdapat kolom berwarna putih dengan ornamen emas yang

PRODI ARSITEKTUR UNS | ARSITEKTUR EROPA| SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2015

berjenis Kornitian

memberi

kesan

mewah

dan

megah

pada

bangunan.

Plafon pada teras dan bilik gereja mempunyai kesamaan motif garis dan
geometris yang merupakan ciri kolonial Belanda (Handinoto dan Paulus
Soehargo, 1996:88). Selain itu, terdapat plafon datar,Gambar
sederhana,
simetris, dan
4.0
Detail
kolom
Gereja
Immanuel
terdapat ukiran berupa stilasi bunga terletak di tengah susunan pola geometrik
Semarang
yang mencerminkan gaya arsitektur tradisional jawa.
Plafon area jemaat
Sumber Triyulianti 2010
mengikuti bentuk kubah yang menjadi atap dengan konstruksi kayu yang sangat
tinggi.

Gambar 5.0
Detail plafond Gereja Immanuel
Semarang
Sumber Triyulianti 2010

Pada furniture dalam gereja menggunakan material kayu ebony hitam


kombinasi anyaman rotan dengan bentuk lengkung dinamis, klasik pada kursi
jemaat. Bentuk secara keseluruhan terkesan alami menunjukkan ciri arsitektur
indisch. Sedangkan pada meja mimbar menggunakan kayu jatidengan ukiran
bermotif lunglungan. Pada kotak persembahan menggunakan kayu jati dengan
ukiran motif daun dengan tambahan ulir sebagai perpaduan gaya eropa dan
jawa.
Kesimpulan
Bangunan GPIB ImManuel (Gereja Blenduk) di Semarang merupakan salah
satu gereja yang menggunakan gaya arsitektur eropa campuran dengan gaya
jawa yang telah menerapkan penyesuaian bangunan terhadap iklim tropis di
Indonesia. Perpaduan arsitektur eropa dengan arsitektur jawa dapat terlihat
melalui penggunaan atap kubah, kolom kornitian dan pedentive pada fasad
bangunan yang mencirikan arsitektur Eropa. Selain itu penerapan teras pada
bangunan, ventilasi silang dan penggunaan material lokal merupakan penera[an
arsitektur jawa. Pada bagian interior didominasi pengaruh kolonial yang tengah
berkembang pada masa itu yaitu gaya Indische Empire Style, Renaisans, Art
Nouveau, Art deco, dan Art and Craft disamping penyesuaian dengan iklim lokal.
Daftar Pustaka
Supandi, Yessy. Manajemen Sumber Daya Arkeologi: Laporan Kuliah Lapangan Di
Gereja Blaenduk, Kawasan Kota Lama Semarang.

PRODI ARSITEKTUR UNS | ARSITEKTUR EROPA| SEMESTER AGUSTUS-DESEMBER 2015

Wardani Kusuma, Laksmi. Triyulianti, Leona. PENGARUH BUDAYA INDIS PADA


INTERIOR GEREJA PROTESTAN INDONESIA BARAT IMANUEL SEMARANG.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=3896&val=353. Diakses 9
Oktober 2015
Moedjiono. Indriasjario. MENGENAL GEREJA BLENDUK SEBAGAI SALAH SATU
LANDMARK KOTA SEMARANG. http://core.ac.uk/download/pdf/11731500.pdf.
Diakses 9 oktober 2015

Anda mungkin juga menyukai