Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 2 : ANALISA PENGARUH EKSTERNAL PADA ARSITEKTUR DI INDONESIA

Mata Kuliah Arsitektur Indonesia - PRODI ARSITEKTUR UNIVERSITAS KRISTEN PETRA


PEMBELAJARAN DARING SEMESTER GENAP 2020 – 2021
Dosen Pengampu : Christine Wonoseputro, ST., M.A.S.D.

Nama Mahasiswa : Louisa Elizabeth Shenelo


NRP Mahasiswa : B12200055

Sejarah Gereja Blenduk Semarang (GPIB Imanuel)

Pada tahun 1753, gereja protestan pertama di Semarang resmi dilembagakan.


Pendeta pertamanya adalah Johannes Wilhelmus Swemmelaar (1753-1760) yang mulai
melayani jemaat di Semarang. Informasi awal mengenai gereja dan bangunannya sangat
terbatas, laporan tertua mengenai kondisi bangunan Gereja Blenduk berasal dari tahun 1758,
yakni catatan V.O.C tanggal 24 Juni. Dalam laporan tersebut, bangunan tersebut mengalami
kerusakan serius karena semut putih dan mendesak untuk diperbaiki. Menurut pihak
konsistori gereja, bangunan dalam kondisi rawan runtuh setelah hujan deras, angin, dan
gempa bumi. Mereka berpendapat bahwa diperlukan pembangunan delapan pilar kayu baru
dan besar pada pondasi batu untuk menggantikan yang sebelumnya. Hal itu berarti juga
bagian bawah bangunan perlu ditarik keluar.
Saat itu arsitek Frederik Justman mengatakan ada kebocoran di beberapa titik setelah
pemindahan beberapa penutup atap, dan air hujan masuk sampai ke dinding dalam
bangunan. Ia juga mencatat bahwa ada kesulitan untuk mendengar suara menteri karena
pantulan yang tidak teratur, sehingga diusulkan untuk penyesuaian ulang. Perbaikan
selanjutnya dilakukan pada tahun 1785, dan masih berkutat di bagian atap, yang memakan
waktu lebih lama. Berdasarkan data sejarah tersebut, elemen bangunan yang diperhatikan
adalah atap dan pilar bawah atap. Diduga bentuk awal denah utama terdiri dari delapan
pilar kayu dan bentuk atap belum jelas, serta bahan penutup atap juga tidak disebutkan,
namun diduga kuda-kuda kayu atap berbahan kayu. Pada tahun 1787, di tempat bangunan
gereja pertama didirikan, direncanakan pendirian bangunan gereja baru. Bangunan gereja
pertama dibongkar, dan didirikan bangunan gereja baru yang memiliki denah berbentuk
segi delapan dan atap berbentuk kubah. Bangunan gereja yang baru ini ditahbiskan pada
19 Oktober 1795 oleh Pendeta Fredericus Montanus (1778-1814) yang melayani pada saat
itu. Pada malam hari tanggal 10 Juni 1867, terjadi gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta
dan Jawa Tengah. Bangunan gereja turut mengalami kerusakan yang cukup parah akibat
gempa tersebut. Dua menara gereja runtuh, dinding mengalami retak, dan sirap atap kubah
rusak. Bangunan gereja yang rusak tidak segera diperbaiki karena pada saat itu gereja
mengalami masalah keuangan, sementara kota tidak memiliki dana untuk perbaikan. Pada
tanggal 24 Desember, dewan gereja memutuskan untuk merobohkan bangunan gereja yang
rusak untuk mendirikan bangunan baru. Rencana ini belum sempat terlaksana karena gereja
memperoleh dana untuk perbaikan.
Empat tahun setelah perbaikan, 25 Juni 1871 bangunan gereja dapat digunakan
kembali untuk beribadah. Empat tahun setelahnya, pada malam 16 April 1875 bangunan
gereja tersambar petir yang menyebabkan atap bangunan gereja terbakar. Kala itu dewan
gereja memiliki dana untuk melakukan perbaikan, sehingga bagian yang rusak dapat segera
diperbaiki. Pada 12 Desember 1890 terjadi gempa bumi yang mengguncang Juwana Pati.
Gempa tersebut menyebabkan bangunan gereja yang telah diperbaiki rusak kembali.
Akhirnya diputuskan untuk merombak besar-besaran bangunan gereja. Kali ini dewan gereja
berhasil mengumpulkan dana hingga 60.000 gulden. Pekerjaan rehabilitasi memakan waktu
sekitar dua tahun, dimulai tahun 1894 sampai 1895. Perancangnya adalah H.P.A de Wilde
seorang ahli ukur dan W.Westmas seorang arsitek sipil. Rehabilitasi ini tidak banyak
mengubah bangunan asli yang sudah ada sejak tahun 1794. Rehabilitasi yang dilakukan
meliputi penambahan portico (teras) dan menara di bagian muka, penggantian atap kubah,
penggantian kusen daun pintu dan jendela serta penggantian kaca dengan kaca patri.
Tambahan pediment (semacam gunungan) dengan empat kolom Tuscan sebagai portico
memperkuat gaya neo klasik pada bangunan ini. Dua menara yang runtuh ketika gempa tahun
1869 dibangun kembali menjadi menara jam (klokken toren). Sedangkan bagian atap yang
mengalami kerusakan beberapa kali, diganti atap kubah baru yang terbuat dari plat metal
menggantikan atap lama dari sirap kayu. Plafon bilah kayu yang juga berbentuk kubah dengan
ornamen di tengahnya menambah keindahan di bagian interior. Atap kubah dan denah
oktagonal bangunan Gereja Blenduk saat ini adalah bangunan yang telah direhabilitasi tahun
1894-1895 dan 2002-2003. Kemungkinan besar berbeda dengan bangunan awal yang
didirikan pada tahun 1795. Bangunan tidak mengalami perubahan fungsi sejak awal hingga
saat ini, yaitu sebagai tempat ibadah.
Gereja Blenduk terletak di Jl.Letjend Soeprapto No. 32 Kawasan Kota Lama Semarang.
Jalan Letjend Soeprapto yang berada di depan Gereja Blenduk dahulu bernama Heerenstraat
merupakan jalan utama. Terletak pada koordinat X: 436774.897 dan Y: 9229724.12. Situs ini
memiliki luas 1137,37 m². Selain digunakan untuk kebaktian setiap hari minggu, pada hari-
hari biasa Gereja Blenduk digunakan untuk kegiatan gereja seperti pelayanan, latihan paduan
suara, dan persekutuan doa. Gereja Blenduk saat ini dikelola oleh G.P.I.B. Immanuel
Semarang, serta telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya di bulan Oktober tahun
2018. Berikut merupakan tabel riwayat pembangunan Gereja Blenduk Semarang.
Tahun Peristiwa
1753 Dugaan bangunan awal berdiri
1787 Perencanaan gereja baru
1794 Bangunan gereja baru telah berdiri
1867 Gempa bumi, gereja mengalami kerusakan
1871 Bangunan gereja selesai diperbaiki
1875 Bangunan gereja tersambar petir
1890 Gempa bumi, gereja mengalami kerusakan
1894-1895 Rehabilitasi besar (atap kubah baru,
jendela baru, portico, menara baru)
2002-2003 Rehabilitasi oleh pihak G.P.I.B Immanuel
Semarang
Sumber: http://borobudur.kemdikbud.go.id/index.php/jurnalkonservasicagarbudaya/article/view/196/175

Pokok Bahasan:

Foto lama Gereja Blenduk sebelum direhabilitasi Foto lama Gereja Blenduk setelah direhabilitasi

Gambar di kiri atas merupakan bentuk Gereja Blenduk sebelum mengalami


rehabilitasi besar dan gambar di kanannya merupakan bentuk setelah mengalami rehabilitasi
besar pada tahun 1894-1895. Terlihat beberapa perubahan seperti penambahan atap kubah
baru, jendela baru, portico, dan menara baru. Sedangkan bentuk paling awal Gereja Blenduk
yang memiliki bentuk seperti rumah panggung Jawa dengan atap yang sesuai dengan
arsitektur Jawa tidak dapat ditemukan foto atau dokumentasi serupa.

GPIB Imanuel dibangun dengan bentuk denah oktagonal (segi delapan). Bentuk denah
ini mirip salib Yunani di gereja kuno Eropa, bentuk denah salib gereja berasal dari tipe Baskilia
yang berbentuk persegi panjang, membentang dari pintu masuk sampai ke altar dan memusat
di area jemaat di bagian tengah. Bentuk denah juga sesuai dengan arah mata angin dengan
titik pusat di tengah, yang menurut masyarakat Jawa menggambarkan keseimbangan yang
absolut. Tampak depan bangunan GPIB Imanuel yang terlihat simetri dan kokoh menunjukkan
pengaruh gaya Indische Empire Style yang berkembang pada bangunan megah kolonial dan
landhuizen. Bangunan menggunakan atap kubah dan atap pelana dengan konstruksi kubah
dari besi yang jari-jarinya berjumlah 32 buah. Arsitektur bangunan ini memiliki hiasan
kemuncak berupa jam dinding dan tongkat runcing pada atap kubah dan pada gevel
bangunan. Keseluruhan bangunan memiliki dinding berwarna putih yang memberi kesan
kolonial.

Pada interior gereja, terdapat pengaruh Gotik yang terlihat pada dinding lengkung
yang ditopang oleh pilar. Pada Gereja Gotik Kuno, bangunan dibuat dengan system kekrangka
dan penopang. Beban atap yang melengkung dan tinggi ditopang oleh pilar-pilar. Finishing
pilar dicat dengan warna putih dan emas pada ornamennya sehingga terlihat mewah dan
megah. Pilar-pilar yang mengelilingi area jemaat ini adalah pilar Yunani jenis Corinthian.

Area jemaat merupakan pusat interior gereja yang berbentuk


oktagonal. Ciri-ciri The Indische Empire Style terlihat pada penggunaan
terasso dan pemakaian pola geometris dengan tata susun grid dan simetris
pada area ini. Sedangkan pada area sekretariat dan soundsystem
menggunakan lantai parket kayu sebagai materialnya. Lantai parket kayu
adalah material lantai gaya Art Nouveau yang berkembang pada tahun
1888-1905.

Pada dinding bagian dalam Gereja Blenduk, dinding terpengaruh gaya The Indische
Empire Style dengan penggunaan batu bata finishing plesteran dan kuas kapur putih,
berdinding tebal, dan dominan warna putih, serta memiliki ornament motif garis, bunga, dan
geometris yang ditumpuk-tumpuk dari plesteran. Terdapat pilaster pada dinding dan jendela
yang memperlihatkan adanya pengaruh Renaissance, Art Deco, dan Jawa. Pilaster merupakan
salah satu ciri dari bangunan bergaya The Indische Empire Style pada saat itu. Pada plafon
gereja, bagian plafon pada teras dan bilik gereja memiliki kesamaan motif garis dan geometris
yang merupakan ciri kolonial Belanda. Selain itu, plafonnya juga memiliki bentuk yang datar,
sederhana, dan simetris, serta terdapat ukiran berupa stilasi bunga. Ornamen ini merupakan
motif tradisional Jawa sehingga terlihat adanya pencampuran budaya Barat dengan budaya
Jawa dengan cara menggabungkan elemen tradisional ke dalam desain gaya kolonial.

Pintu masuk utama pada Gereja Blenduk memiliki bentuk dan ornamen geometris
yang mendapat pengaruh dari gaya Art and Craft yang muncul pada tahun 1888-1920. Pintu
dengan gaya Art and Craft ini menggunakan daun pintu kayu berpanel yang diberi detail
geometris. Bentuk penyesuaian iklim Jawa pada bagian pintu gereja yakni dengan adanya
lubang angin-angin yang terletak di atas pintu atau jendela serta penggunaan bentuk pintu
dan jendela kupu tarung. Pada bagian jendela Gereja Blenduk, terdapat beberapa jenis
jendela dari bahan stained glass. Ada pula yang menggunakan kayu dan stained glass dengan
motif ornament zaman Byzanthium yang dipakai pada arsitektur gereja zaman kuno atau
zaman Kristus awal. Pada jendela ini, terlihat adanya pengaruh gaya kolonial tanpa pengaruh
budaya Jawa.

Perabot di Gereja Blenduk merupakan perabot asli


yang sudah ada sejak dahulu. Pada meja persembahan,
material yang digunakan yakni kayu jati. Bentuknya
memperlihatkan adanya perpaduan gaya klasik Eropa dengan
motif ukiran tradisional Jawa berupa motif lunglungan. Pada
mimbar, bentuk mimbar terkesan unik karena mempunayi
atap kubah, terkesan melayang, dan terdapat ukiran motif
ikal di samping salib, serta ukiran menyerupai bunga dan
daun pada plafon mimbar. Bentuk keseluruhan mimbar menunjukkan ciri-ciri gaya kolonial
dengan motif ukiran tradisional Jawa.

GPIB Imanuel dibangun menghadap ke Selatan, menghindari cahaya matahari secara


langsung. Dalam budaya Jawa, Orientasi sangat penting dalam perencanaan dan pendirian
rumah tradisional Jawa. Masyarakat Jawa mensyaratkan arah hembusan angin dalam
membangun tempat tinggal. Selain itu, bangunan ini memiliki empat buah pintu masuk, yaitu
Timur, Barat, Selatan, dan Utara, dengan pusat berada di tengah bangunan. Ini merupakan
pertimbangan pendirian rumah tradisional Jawa yaitu memperhitungkan empat arah kiblat
yang menimbulkan satu titik temu di tengah. Jendela gereja GPIB Imanuel ditempatkan
mengelilingi bangunan dalam jumlah banyak. Di Jawa yang beriklim tropis lembab, jendela
dalam jumlah banyak sangat menguntungkan untuk sirkulasi udara dan pencahayaan alami
dalam ruang. Gereja GPIB juga dikelilingi oleh teras dan pagar sebagai bentuk adaptasi
terhadap iklim tropis lembab. Teras dimaksudkan untuk mengurangi panas matahari yang
masuk ke dalam ruang. Uraian di atas menjelaskan bahwa orientasi bangunan GPIB Imanuel
terpengaruh Indische Empire Style, perwujudan dari adaptasi arsitektur kolonial Belanda
terhadap iklim dan budaya di Jawa.

REFERENSI
Wardani, L.K., Triyulianti, L. (2010). Pengaruh Budaya Indis Pada Interior Gereja Protestan
Indonesia Barat Imanuel Semarang. Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/218139-none.pdf
Putra, Y.K.H., (2019). Nilai Penting Atap Kubah dan Denah Oktagonal pada Gereja Blenduk.
Retrieved from
http://borobudur.kemdikbud.go.id/index.php/jurnalkonservasicagarbudaya/article/vi
ew/196/175

Anda mungkin juga menyukai