Disusun oleh :
Nama
: Ira Susanti
: 06111005014
Dosen Pembimbing
Artikel 1
FILSAFAT ILMU Etika dalam Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan
moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan
IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis
sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan
IPTEK selanjutnya.
Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru menjadikan
manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk
mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan
untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang,
dan bersifat universal. Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat
kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan
IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai tuan
teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu
menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan teknologi yang
IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.
Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari
kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang
semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan
manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai
intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi
justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan
dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan
menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada
fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk
spiritual.
nilai
dan
norma
hanya
menghambat
kemajuan
IPTEK.
Pemahaman
rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah,
dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi
pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap
problem nilai secara langsung.
Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan
sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari
pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya,
dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu
pengetahuan.Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu
dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua
memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan,
sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil
dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis. Selain 3
indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu pengetahuan,
yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai kepentingan,
terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik kepentingan antara
ilmuwan dengantruth claim melawan penguasa dengan authority claimnya. Dan di negara
berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.
Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai.
Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis
semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang
perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu
selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan
agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu
pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan
semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan
ideologis dan politik.
Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti
perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada
teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita
sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam
perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu
banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek
jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya
satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan
electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi
fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam waktu
yang amat singkat.
Komentar :
Menurut saya setelah membaca artikel diatas dapat kita ketahui bahwa berbagai
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada kemudahankemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun
kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak
oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam
peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan
teknologi.
Artikel 2
FILSAFAT ILMU SEBAGAI SARANA
PENALARAN ILMIAH DAN PENERAPANNYA
DALAM PENELITIAN
A. Pendahuluan
Manusia lahir dalam keadaan misterius. Artinya sangat sulit mengetahui mengapa,
bagaimana, dan untuk apa kelahirannya itu. Yang pasti diketahui ialah bahwa manusia
dilahirkan oleh Tuhan melalui manusia lain (orang tua),
kehidupannya dan sadar pula akan tujuan hidupnya. Yaitu kembali kepada Tuhan.
Kehadirannya ke dunia seperti buku tanpa bab pendahuluan dan penutup. Ia akan
menghadapi isinya saja. Ia harus menyusun sendiri bab pendahuluan dan penutupnya itu
berdasarkan fakta yang tersirat dalam lembaran-lembaran isinya.
Oleh karena itu setiap orang akan cenderung berbeda pandangannya tentang ide
penutup buku yang menggambarkan tujuan akhir hidupnya nanti. Hal ini setiap orang
tidak sama kemampun imajinasinya terhadap lembaran-lembaran isi buku yang
menggambarkan fakta atau kenyataan hidup ini. Perbedaan-perbedaan itu hendaknya
justru dipandang sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang misteri hidup dan
kehidupan manusia.
Menurut Soertrisno dkk., sesungguhnya manusia adalah mahluk yang lemah, yang
keberadaannya sangat tergantung kepada penciptanya. Akan tetapi kebergantungan
terhadap sang pencipta tersebut bukanlah semata-mata melainkan ketergantungan
(dependence) yang berkeleluasan (indevendence). Manusia menerima ketergantungan itu
dengan otonomi, independensi, serta kreaktifitasnya sedemikian rupa sehingga mampu
mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.
B. Pembahasan
1.
Makin banyak
pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan diperkirakan sejak 400 tahu yang lalu. Sejak
pemikir-pemikir seperti Copermicus, Galileo, Kappler, dan yang lebih jelas lagi sejak F.
Bacon pada abad ke 15 dan 16.
3. Penalaran Ilmiah
Pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka
proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru
dianggap sahih (valid) kalau proses kesimpulan terseburt dilakukan menurut cara tertentu.
Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika,
hakikat
keilmuan
agar
dapat
melakukan
penelitian
dan
sekaligus
mengkomunikasikannya secara tertulis. Sehingga tidak lagi menjadi soal dari mana dia
akan memulai, sesudah itu melakngkah ke mana. Sebab penguasaan tematis dan teknik
akan menjamin suatu keseluruhan bentuk yang utuh.
Demikian juga bagi seorang penulis ilmiah yang baik, tidak jadi masalah apakah
hipotesis ditulis langsung setelah perumusan masalah, ditempat mana akan dinyatakan
postulat, asumsi, atau prinsip, sebab dia tahu benar hakikat dan fungsi unsur-unsur
tersebut dalam keseluruhan struktur penulisan ilmiah.
Setelah masalah dirumuskan denganbaik, maka seorang peneliti menyatakan tujuan
penelitiannya. Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan
kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang dirumuskan.Setelah itu
dibahaslah kemungkinan-kemungkinan kegunaan penelitian yang merupakan manfaat
yang dapat dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari peneliti. Menurut Jujun S.
mengemukakan secara kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan dalam langkah
dalam pengajuan masalah yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian. Patut dikemukakan bahwa
terdapat kaitan yang erat antara keenam kegiatan tersebut.
Antara latar belakang masalah dan kegunaan penelitian kadamg-kadang sudah
terdapat kaitan yang bersifat a priori umpamanya sebuah penelitian akan digunakan
sebegian dasar penyusunan kebijakan secara nasional. Tentu saja hasil penelitian
dipergunakan untuk kebijakan bersifat nasional maka hal ini akan mempengaruhi empat
kegiatan lainnya terutama sekali proses pembatasan masalah, sebab untuk generalisasi ke
tingkat nasional kita tidak mungkin melakukan infersens dari hasil penelitian yang terbatas
pada suatu kecamatan.
Penyusunan kerangka teoritis. Setelah masalah berhasil dirumuskan dengan baik
maka langkah kedua dalam metode ilmiah adalah mengajukan hipotesis. Hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan. Seperti diketahui
dalam memecahkan berbagai persoalan terdapat bermacam cara yang dapat ditempuh
manusia. Namun secara garis besarnya maka cara tersebut dapat dikategorikan kepada
cara ilmiah dan non ilmiah.
Dengan meletakkan kerangka teoritis pada fungsi sebenarnya maka kita lebih maju
dalam meningkatkan mutu keilmuan keegiatan penelitian. Secara ringkas langkah dalam
menyusun kerangka teoritis dan pengauan hipotesis adalah: pengkajian mengenai teoriteori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis, pembahasan mengenai penelitian-
penelitian yang relevan, penyusunan kerangka berpikir, dalam pengajuan hipotesis dengan
menggunakan premis-premis dan perumusan hipotesis.
Metodologi penelitian. Pada bagian ini setelah berhasil merumuskan hipotesis yang
diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah berikutnya
adalah mengajukan hipotesis tersebut secara empirik. Secara ringkas dalam penyusunan
dalam metodologi penelitian mencakup kegiatan sebagai berikut: tujuan penelitian secara
lengkap dan operasional dalam bentuk pertanyaan yang mengidentifikasikan variabelvariabel dan karakteristik-karakteristik hubungan yang akan diteliti, tempat dan waktu
penelitian dimana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel-variabel yang ditelit,
metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi
yang diharapkan,teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian tingkat
keumuman dan metode penelitian, teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi
variabel yang akan dikumpulkan, suber data, teknik pengukuran, instrument, dan teknik
mendapatkan data, teknik analisis data yang mencakup langkah-langkah dan teknik
analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis.
Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metode penelitian
maka sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan hasil apa yang kita
temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan
untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian untuk menarik
kesimpulan penelitian. Deskripsi tentang langkah-langkah dan cara pengelompokan data
sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian. Namun sering kita melihat
bahwa bagian ini dipenuhi dengan pernyataan-peryataan yang kurang relevan dan
pembahasan hasil penelitian yang menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus analisis
dalam pengkajian.
Dengan memahami struktur penelitian dan penulisan ilmiah, maka barulah dalam
peroses penerapan ilmia dapat dilakukan dengan baik sehinga hasilnya-pun dapat dicapai
dengan baik serta bermanfaat kepada pengembangan ilmu pengetahuan.
Komentar :
Dari artikel diatas menurut teori kebenaran yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai
dasar untuk menghasilkan kebenaran untuk berpikir tepat dan logis. Dengan adanya cara
berpikir logis, maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh
pengetahuan juga berkembang. Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu
mengembangkan
pengetahuan
yang
merupakan
rahasia
kekuasaan-kekuasaannya.
Artikel 3
Perkembangan Filsafat Islam
A. Latar Belakang
Awalnya filsafat disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab
filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau segala hal,
baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala
problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan
masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan perannya.
Dewasa
ini,
peran
dan
fungsi
filsafat
mengalami
perkembangan
dalam
ilmuan Muslim pada periode klasik yang karya-karyanya secara langsung memuat
pembahasan mengenai pendidikan yaitu:
Ibn Qutaibah (213-276 H), nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim
Qutaibah al-Dainuri, keahliannya adalah bahasa Arab dan sejarah; karya yang
terkenal : al-Maani al-Kabirah, syakl al-Quran, Gharib al-Quran, Tawil Mukhtalaf alHadits, Fadhl al-Arab, al-Syir wa al-Syuara; al-Maarif, al-Radd ala al Jahimmiyah wa
al-Musyibbihah, Imamah wa al-Siyasah, dan Uyun al-Akhbar. Pemikirannya menyangkut
tentang masalah pendidikan bagi kaum wanita, ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilai bagi
yang mengembangkannya.
Perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode klasik ini masih menyimpan
tokoh-tokoh seperti ; Ibnu Masarrah (269-319) yang pemikirannya menyangkut tentang
jiwa dan sifat-sifat manusia, Ibnu Maskawaih (330-421), pemikirannya tentang pentingnya
pendidikan akhlak, Ibnu Sina (370-428), karya besarnya as-Syifa dan al-Qanun alTibb sebuah karya ensiklopedi kedokteran, dan Al-Gazali (450/1058-505/1111 M), karya
besarnya sering menjadi acuan berbagai pandangan masyarakat dan sangat terkenal
yaitu Ihya Ulum al-Din, menurutnya bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat
mengantarkan manusia kepada keredaan Allah swt., yang tentunya selamat hidup dunia
dan akhirat.
3. Periode Modern
Periode modern merujuk pada pembagian periodesasi sejarah Islam, yaitu menurut
Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. periode ini ditandai
dengan dikuasainya Bani Abbas dan Bani Ummaiyah secara politik dan dilumpuhkan oleh
imperialis Barat. Namun ada tiga kerajaan besar Islam yang masih memegang hegemoni
kekuasaan Islam, yaitu Turki Usmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), kerajaan Safawi
(Persia), dan kerajaan Mughol (India).
Beberapa pemikir pendidikan yang tersebar di sejumlah kekuasaan Islam tersebut sebagai
tokoh yang ada kaitannya dengan perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode
modern, seperti:
Muhammad Abduh (1849-1905), tokoh ini yang memulai membongkar kejumudan
umat Islam dengan konsep rasionalitasnya, pemikirannya tentang pendidikan yang
disebarkan melalui majalah al-Manar dan al-Urwat al-Wusqa menjadi rujukan bagi tokoh
modern dan perkembangan filsafat pendidikan Islam yang mencuat dalam sebuah
konferensi pendidikan Islam sedunia.
Artikel 4
dibahas di sini adalah apa yang dimaksud dengan ilmu, taqdir dan qadar serta bagaimana
kerelevansiannya satu dengan lain.
B. Pengertian Ilmu
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, yakniilmun yang berakar kata dari
kata alima-yalamu-ilmunyang berarti pengetahuan. Ilmu juga berarti pengetahuan yang
jelas tentang se-suatu. DalamKamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan,
suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Sedangkan menurut The Liang Gie, ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional
dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga
menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala alam dan
kemasyarakatan
dengan
tujuan
mencapai
kebenaran,
memperoleh
pemahaman,
C. Pengertian Qadar
Kata qadar berasal dari bahasa Arab, yakni al-qadr yang berarti menetapkan.
Pengertian ini disepadankan dengan kata al-hukm artinya; penetapan, sehingga dalam alQuran ditemukan istilah yang disebut dengan malam qadr yaitu malam yang ditetapkan
oleh Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun.
Menurut istilah, qadar adalah ketetapan atau ketentuan Tuhan sejak azali dan tidak
ada satu makhluk pun yang dapat merubahnya. Dengan kata lain qadar merupakan undangundang, di mana manusia tidak mampu merubahnya. Dalam ilmu kalam, istilah qadar ini
disamakan dengan qadha, yakni penetapan Allah yang tidak berubah-ubah.
Karena qadar merupakan ketetapan Allah, maka apa yang telah ditetapkan-Nya
tiada kuasa bagi makhluk-Nya untuk mengadakan perubahan atas ketetapan tersebut.
Misalnya saja, Allah telah menetapkan bagi bulan suatu manzilah untuk mengelingi
matahari, maka walau bagaimana pun usaha manusia untuk merubahnya, sungguh siasialah usahanya, karena qadarnya memang sudah demikian.
D. Relevansi Antara Ilmu, Taqdir dan Qadar
Relevansi yang dimaksud dalam kajian ini adalah adanya hubungan erat antara satu
dengan lain, yaitu ilmu, taqdir dan qadar saling terkait. Dalam hal ilmu lahir dari proses
berpikir manusia; dan dengan ilmu itu manusia mampu mengetahui berbagai ukuranukuran yang disebut taqdir dan ia juga mampu mengetahui ketentuan Tuhan yang disebut
qadar. Pengetahuan (ilmu) tersebut, tentu saja lahir dari asas berfikirnya yang dituntun oleh
wahyu.
Indikasi di atas memberikan landasan bagi perumusan pandangan mengenai hal-hal
mendasar dalam tinjauan filosofis. Dengan dasar itu, maka dapat dikatakan bahwa antara
ilmu, taqdir dan qadar dalam Filsafat Ilmu memang memiliki keterkaitan yang sangat erat
menurut pandangan Islam. Salah satu ayat yang dapat dijadikan dasar perumusan
mengenai hal tersebut adalah firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai
berikut:
( 190)
191)
Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190); (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka" (191).
Dari ayat tersebut diperoleh gambaran tentang orang yang disebut sebagai ulul albb, yang cirinya dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Memiliki pandangan bahwa seluruh realitas yang ditunjukkan oleh fenomena alam
semesta adalah tanda-tanda adanya Allah dengan segala ke-Maha-an dalam sifat-sifat-Nya
(seperti Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Agung, dan lain-lain) yang menciptakan
alam semesta ini. Peristiwa-peristiwa di alam semesta ini kesemuanya berada dalam
pengetahuan Tuhan dan sebagian kecilnya berada dalam pegetahuan atau ilmu manusia.
Peristiwa-peristiwa yang itu sementara ulama menyimpulkannya sebagai sunnatullah yang
tidak
sepenuhnya
cenderung
dipersamakan
dengan
takdir.
Alasannya,
karena sunnatullah yang digunakan oleh Alquran adalah hukum-hukum Tuhan yang pada
dasarnya tidak akan mungkin berubah. Sedangkan taqdir mencakup hukum-hukum atau
undang-undang alamiah yang mungkin saja dapat berubah, jika manusia mempergunakan
ilmunya dengan sebaik-baiknya. Kalau pun manusia tidak mampu merubahnya, maka
tetaplah hukum Tuhan itu sebagai sunnatullah dan itulah disebut dengan qadar. Misalnya
saja, telah menjadi sunnatullah bahwa air itu sifatnya hangat, tetapi air itu boleh
ditaqdirkan menjadi dingin dan panas. Tetapi bila saja, air yang hangat itu dibiarkan
begitu, maka ia tetap hangat dan itulah qadar yang ditetapkan Allah atasnya.
2. Berfikir dalam keaadaan senantiasa sadar (zikir) akan Allah. Dengan filosofi berfikir
yang demikian itu ia memikirkan segala kejadian di alam semesta, termasuk di dalamnya;
memikirkantaqdir yang ada dalam penciptaan bumi, sehingga mendorong dirinya untuk
berikhtiar dan menhhasilkan sesuatu dari tindakan-tindakannya sendiri. Kemudian, dari
pikirannya tersebut menghasilkan pengetahuan bahwa dalam pergantian siang dan malam
merupakan suatu qadaratau ketentuan mutlak, sehingga; (1)kesadaran keTuhanannya
senantiasa terawat (ditunjukkan oleh cetusan kata Rabbana); dan (2)menemukan kejelasan
makna (ilmu) tentang ketidaksia-siaan ciptaan Allah.
3. Menjadikan pengetahuannya beresensi sebagai doa. Dengan kata lain, ketika bentuk
penggunaan pengetahuan tersebut sebagai alat untuk melaksanakan berbagai kegiatan
duniawi yang merupakan taqdir, maka ia berupaya mencegah dirinya menemui azab
neraka, yang pada pengertian hakikinya merupakan perwujudan ibadah kepada Allah,
sehingga Allah lah yang menentukan diterimanya doanya dan itulah qadar-nya (diterima
atau tidak).
Manusia dengan ilmu pengetahuannya menjadikan dirinya ber-qudrah atau memiliki
kekuatan melaksanakan kehendaknya, dan bukan tunduk pada taqdir (ukuran)Tuhan, akan
tetapi ia tunduk pada qadar (ketentuan) Tuhan. Dengan ilmu atau pengetahuan yang
dimilikinya, manusia mampu mengelola alam ini sesuai dengan taqdir-nya, tetapi
terkadang terjadi hal-hal yang di luar kehendak atau keinginan manusia itu sendiri yang
merupakan qadar yang ditetapkan oleh Tuhan.
Komentar :
Dari artikel diatas dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan erat antara satu dengan lain,
yaitu ilmu, taqdir dan qadar saling terkait. Dalam hal ilmu lahir dari proses berpikir
manusia; dan dengan ilmu itu manusia mampu mengetahui berbagai ukuran-ukuran yang
disebut taqdir dan ia juga mampu mengetahui ketentuan Tuhan yang disebut qadar. Dengan
demikian, posisi ilmu dan taqdir serta qadar jika ditinjau dengan pendekatan filosofis,
sungguh akan bermuara pada adanya kerelevansian yang utuh. Dari tinjauan filosofis,
ditemukan adanya suatu kerelevansian antara ilmu dan taqdir serta qadar. Dalam hal ini
ilmu merupakan suatu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dan nilai kebenarannya
relatif. Sedangkan taqdir merupakan ukuran tertentu bagi manusia untuk berbuat dan nilai
kebenarannya spekulatif. Sementara Qadar merupakan ketentuan yang tidak dapat
diganggu gugat oleh manusia dan nilai kebenarannya absolut.
Artikel 5
Hati-hati Belajar Filsafat Ilmu Sekular
Di berbagai perguruan tinggi, khususnya di tingkat Pasca Sarjana, para mahasiswa
biasanya diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu. Sejauh ini, sudah banyak diterbitkan buku
tentang Filsafat Ilmu. Sayangnya, kuatnya dominasi sekularisme yang menolak campur
tangan agama -- dalam bidang keilmuan kontemporer turut berpengaruh dalam perumusan
konsep Filsafat Ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi saat ini. Beberapa kutipan isi buku
Filsafat Ilmu berikut ini bisa disimak.
Sebagai contoh, sebuah buku yang sangat terkenal berjudul Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, cetakan kesembilan),
mengutip pendapat Auguste Comte (1798-1857) yang membagi tiga tingkat perkembangan
pengetahuan manusia, yaitu religius, metafisik, dan positif. Selanjutnya, diuraikan:
Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga
ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai
berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) wujud yang menjadi objek penelaahan yang
terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat
metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu)
dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang
obyektif. (hal. 25).
Karakteristik berpikir filsafat dijelaskan dalam buku ini, yaitu: pertama,
menyeluruh; kedua, mendasar; ketiga, spekulatif. Tentang bidang telaah filsafat, ditulis
dalam buku ini: Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala
masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai
pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun
mulai merambah pertanyaan lain. (hlm. 23-25).
Ada lagi sebuah buku berjudul Filafat Ilmu yang disusun Tim Dosen Filsafat
Ilmu sebuah Universitas terkenal di Yogyakarta (1996, cetakan pertama). Ditulis dalam
pendahuluan buku ini:
Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah, dan
menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu
pengetahuan, seni, dan agama. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia
dalam hal makna dan nilai-nilainya Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu
dan pemahaman tentang moral, estetika, dan agama. Para filsuf telah mencari suatu
pandangan tentang hidup secara terpadu, menemukan maknanya serta mencoba
memberikan suatu konsepsi yang beralasan tentang alam semesta dan tempat manusia di
dalamnya. (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 1.)
****
Itulah beberapa contoh materi kuliah Filsafat Ilmu yang diajarkan kepada para
mahasiswa. Jika ditelaah beberapa uraian pada dua buku Filsafat Ilmu tersebut, akan
dijumpai problematika yang serius. Teori positivisme Comte dalam perspektif Islam
jelas sangat bermasalah. Sebab, ia meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang
paling primitif dan akan punah saat manusia memasuki era positivisme atau empirisisme,
dimana yang diakui sebagai ilmu hanyalah pengetahuan yang didapat dari panca indera
manusia. Teori Comte ini pun sekarang tak terbukti. Sebab, manusia di Barat dan di
Timur di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap memegang
kepercayaan pada hal-hal yang metafisik dan juga agama. Di negara-negara Barat sendiri,
banyak manusia percaya kepada dukun ramal (fortune teller).
Juga, faktanya, saat ini, dunia ilmu pengetahuan pun sudah menerima kebenaran di
luar positivisme. Seorang mahasiswa tidak mungkin mengklarifikasi semua pernyataan
keilmuan yang diajarkan kepadanya oleh dosennya. Misalnya, saat dosen menjelaskan,
bahwa kecepatan cahaya adalah sekitar 270.000 km/detik, maka si mahasiswa hanya
diminta untuk percaya, tanpa perlu membuktikan secara empiris. Ketika si dosen
menjelaskan, bahwa suatu rumus adalah rumus buatan Phytagoras, maka si mahassiwa
juga harus percaya saja, dan tidak mungkin membuktikan secara empiris.
Bahkan, seorang Profesor filsafat akan puas menjadi muqallid (pentaqlid); hanya
percaya saja kepada segala macam penjelasan pramugari, saat bepergian menggunakan
pesawat terbang. Ia begitu mudah percaya kepada orang yang mungkin sama sekali tidak
pernah dikenalinya. Ia percaya kepada orang yang dikatakan sebagai pilot, meskipun ia
sama sekali tidak kenal. Sang profesor tadi juga tidak minta pembuktian, apa benar pilot
pesawat itu, benar-benar seorang pilot. Ia hanya percaya pada cerita orang yang mungkin
tak dikenalnya. Alhasil, si professor menerima kebenaran ilmiah, bukan berdasarkan
metode empiris, tetapi menerima kebenaran ilmiah dari jalur pemberitaan. Inilah yang
dalam konsep epistemologi Islam disebut sebagai jalur kebenaran ilmiah melalui khabar
shadiq (true report).
Bagi seorang Muslim, pengetahuan yang didapat dari jalur khabar shadiq ini juga
merupakan ilmu. Sebab, ia diperoleh dari sumber-sumber terpercaya, semisal al-Quran dan
hadits Nabi Muhammad SAW. Ilmu yang diraih dari jalur khabar shadiq ini juga diterima
secara universal. Misal, dalam soal pengakuan anak terhadap kedua orang tuanya. Sangat
jarang terjadi, ada anak yang meminta pembuktian secara rasional dan empiris berkenaan
dengan status hubungannya dengan kedua orang tuanya. Misalnya, anak meminta bukti
ilmiah berupa tes DNA. Kita biasanya menerima saja cerita-cerita dari orang yang kita
percayai, bahwa orang tua kita adalah A dan B. Pengetahuan semacam ini dalam konsep
epistemologi Islam juga disebut sebagai ilmu, yang juga diraih dengan metode ilmiah.
Karena itu, dalam perspektif Islam, tidaklah tepat jika dikatakan, suatu ilmu hanya
dapat diraih dari metode empiris dan rasional. Pengetahuan tentang Allah, tentang para
Nabi, tentang akhirat, tentang keutamaan bulan Ramadhan, keutamaan ibadah haji, dan
sebagainya, juga dikatakan sebagai ilmu sebab didapatkan dari sumber-sumber
terpercaya (khabar shadiq), meskipun hal itu di atas jangkauan akal (supra rasional).
Masalah cara-cara meraih ilmu (epistemologi) saat ini telah banyak dibahas oleh para
pakar keilmuan Islam.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Direktur Center for Advanced Studies on
Islam, Science, and Civilization -- Universiti Teknologi Malaysia, dalam makalahnya yang
berjudul Konsep Ilmu dalam Tinjauan Islam, menjelaskan, bahwa dalam Tradisi Islam,
ilmu pengetahuan tiba melalui pelbagai saluran, yaitu pancaindera (al-hawass alkhamsah), akal fikiran sihat (al-aql al-salim), berita yang benar (al-khabar al-sadiq), dan
intuisi (ilham).
Tentang akal fikiran sehat, Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa aspek akal
manusia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang
sesuatu yang jelas, yaitu perkara yang dapat difahami dan dikuasai oleh akal, dan tentang
sesuatu yang dapat dicerap dengan indera. Akal fikiran (al-Aql) bukan hanya rasio. Akal
adalah fakultas mental yang mensistematisasikan dan mentafsirkan fakta-fakta empiris
menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu
yang dapat difahami. Akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu
menjadi tempat intuisi. Dengan demikian, akal adalah perantara yang menghubungkan
akal-fikiran dengan intuisi.
Oleh sebab itu, sesiapa yang membatasi fungsi akal-fikiran sebagai aspek yang
rasional dan dapat dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan akal fikiran
daripada kualiti yang sebenarnya dan, dengan demikian, menjadikan akal fikirannya tidak
sihat. Perlu diketahui bahwa hati yang dikatakan sebagai sumber intuisi bukanlah hati
fisik, melainkan realiti yang terdapat di alam roh yang menggunakan semua daya yang lain
sebagai instrument, tulis Prof. Wan Mohd Nor.
Berita yang benar, jelas Prof. Wan Mohd Nor, adalah sumber lain ilmu
pengetahuan yang terdiri daripada dua jenis. Jenis yang pertama adalah berita yang
terbukti secara terus-menerus dan disampaikan oleh mereka yang kebaikan akhlaknya
tidak mengizinkan akal fikiran kita untuk membayangkan bahwa mereka akan melakukan
dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawatir adalah contoh yang sangat tepat tentang
jenis berita ini. Kesepakatan umum para ahli, ilmuwan, dan sarjana juga dianggap sebagai
bahagian daripada jenis ini. Meskipun memiliki autoriti, kesepakatan tersebut masih dapat
dipersoalkan menurut kaedah rasional dan empirikal, sebagaimana yang terjadi dalam kes
laporan sejarah, geografi, dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak, yang dibawa
oleh Nabi berdasarkan wahyu.
Demikian paparan Prof. Wan Mohd Nor tentang sumber-sumber ilmu dalam Islam,
yang tidak membatasi hanya dari sumber panca indera (empiris) dan akal (rasional).
Pandangan Islam tentang sumber ilmu yang bisa disebut sebagai metode ilmiah ini
berbeda dengan penjelasan pada sebagian buku Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian
sekular yang membatasi kategori ilmiah hanya pada hal-hal yang rasional dan empiris.
(Dikutip dari Makalah yang pernah dibentangkan oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud saat
bertindak sebagai Pembicara Utama dalam Workshop Dasar-Dasar Epistemologis Dalam
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Indonesia, 11
April 2005. Dengan sedikit editing, makalah ini telah dipublikasikan di Jurnal Tadibuna,
Jurnal Program Doktor Pendidikan Islam, UIKA Bogor, Nomor 2, Vol. I, 2012.)
****
Konsep ilmu dalam Islam itu berbeda dengan banyak buku Filsafat Ilmu yang kini
diajarkan kepada para mahasiswa. Dalam buku Filsafat Ilmu yang telah disebut
terdahulu, dinyatakan: Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan
yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini
harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Ilmu tidak
bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi
manusia dalam tahap perkembangan tertentu. (1995:131-132).
Jika konsep dan definisi ilmu itu diterapkan untuk Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tafsir
al-Quran, atau Ilmu Ushul Fiqih, maka akan menimbulkan kerancuan yang sangat serius.
Sebab, pengetahuan bahwa Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada
sumber yang mutlak benar, yaitu al-Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina,
dan khamr, adalah ilmu yang mutlak juga. Penafsiran bahwa Nabi Isa a.s. tidak wafat di
tiang salib, juga merupakan ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak akan berubah sampai
Akhir Zaman.
Adalah sangat keliru jika orang belajar ilmu bukan untuk meyakini kebenaran suatu
ajaran, atau bahkan tidak ditujukan untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya. Prof. Wan
Mohd Nor, dalam makalahnya yang dirujuk pada bagian terdahulu, menjelaskan, bahwa
dari segi linguistik, perkataan ilm berasal daripada akar kata ain-lam-mim yang diambil
daripada perkataan alamah, yaitu tanda, penunjuk, atau petunjuk yang dengannya sesuatu
atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri; petunjuk; tanda. Dengan demikian,
malam (jamak: maalim) berarti tanda jalan atau sesuatu yang dengannya seseorang
membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Seiring dengan itu,
alam juga dapat diartikan sebagai penunjuk jalan. Maka bukan tanpa alasan jika
penggunaan istilah yah (jamak: ayat) dalam al-Quran yang secara literal berarti tanda
merujuk pada ayat-ayat al-Quran dan fenomena alam.
Demikian, penjelasan Prof. Wan Mohd Nor. Dan memang, kata ilmu, alam, dan
ilm (ilm dengan makna yakin), memiliki akar kata yang sama. Ini menarik, karena
alam jika dipahami sebagai ayat Allah, maka akan menghasilkan ilmu yang
mengantarkan manusia kepada keyakinan pada Allah SWT. Karena itulah, Allah SWT
memperingatkan bahwa nanti di akhirat, neraka jahanam akan dijejali dengan manusiamanusia dan jin yang mereka memiliki mata tetapi tidak sampai dapat memahami ayatayat Allah; juga telinga dan akal mereka tak sampai mengantarkan mereka kepada
pemahaman dan keimanan kepada Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih
sesat. (QS al-Araf: 179).
Orang yang berilmu diletakkan pada derajat yang tinggi, karena dengan ilmunya itu
dia mengenal Tuhannya dan mengenal agama Tuhan yang sebenarnya. Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tiada Tuhan melainkan Dia,
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan (ilm) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) diantara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya. (QS 3:18-19).
Komentar :
Saya sepakat dengan judul artikel ini bahwa kita harus hati-hati (waspada / aware) ketika
belajar filsafat ilmu. Namun bukan berarti kita "tidak boleh" belajar filsafat ilmu ala barat,
karena penting menurut saya buat kita untuk mempelajari "kerangka berpikir" dari para
tokoh filsafat barat termasuk Comte, jadi penekanannya pada kerangka berpikir mereka.
Waspada dan hati-hati sangat perlu dalam mempelajari apapun, tapi jangan pernah berhenti
belajar itu yang lebih penting lagi. Tentu, agar manusia menjadi mulia, tidak boleh ia
sembarangan menerima ilmu. Ilmu-ilmu yang baiklah yang perlu dipelajari. Sebab, ilmuilmu yang baik itulah yang akan mengantarkan manusia kepada keimanan dan
kebahagiaan. Karena begitu penting dan strategisnya kedudukan ilmu dalam Islam, maka
seyogyanya Perguruan Tinggi tidak lagi mengajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu yang
sekular, yang menafikan wahyu sebagai sumber ilmu. Kini, menjadi tugas berat dan mulia
bagi para cendekiawan Muslim untuk merumuskan mata kuliah Filsafat Ilmu yang benar.
Artikel 6
moden mengatakan, materi ada sebelum jiwa (mind), dan dunia material adalah yang
pertama. Sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua.
Kelompok materialis, sebagaimana kelompok aliran-aliran lainnya tidak sepakat
atas segala persoalan, atau tidak berpegang seluruhnya kepada persoalan-persoalan
tersebut di atas. Dalam dunia sekarang, materialisme dapat mengambil salah satu dari dua
bentuk, satu mekanisme atau materialisme mekanik (mechanistic materialism) dengan
tekanan pada sains alam; dan kedua materialisme dialektik (dialectical materialsm) yang
merupakan filsafat resmi Rusia, Cina, dan kelompok-kelompok komunis lainnya di seluruh
dunia. Materialisme mekanik mempunyai daya tarik yang sangat besar oleh karena
kesederhanaannya. Dengan menerima pendekatan itu, seseorang merasa telah dapat
membebaskan diri dari problema-problema yang membingungkan yang selama beabadabad. Apa yang riil (benar, sungguh-sungguh ada) dalam manusia adalah badannya, dan
ukuran kebenaran atau realitas adalah sentuhan penglihatan dan suara, yakni alat-alat
verifikasi eksperimental. (Juhaya S. Pradja, 1987)
Banyak ahli pikir berpendapat bahwa jika sains dapat menjelaskan segala sesuatu
dengan sebab mekanik saja, akibatnya tak ada alasan untuk percaya kepada Allah dan
tujuan dari alam. Hukum yang sama berlaku bagi manusia, binatang-binatang yang rendah
dan planet. Kesadaran pikiran adalah hasil dari perubahan-perubahan dalam otak atau
syaraf. Alam diatur dengan hukum fisik materi, walaupun hal itu menyangkut proses yang
sangat kompleks dan halus dari akal manusia. Hidup hanya merupakan proses fisiologi dan
hanya mempunyai arti fisiologi.
Banyak sekali ahli filsafat, humanis, idealis, pragmatis, dan lain-lain mengatakan
bahwa materialisme mekanik tidak menjelaskan seluruh problem. Kebanyakan orang
mengakui bahwa terdapat sistem di dunia yang dapat dijelaskan dengan secara mekanik
dengan sebaik-baiknya, dan hanya sedikit orang yang mempersoalkan nilai pemakaian
interprestasi mekanik di bidang di mana interpretasi tersebut membantu pemahaman kita.
Tapi banyak orang menyangsikan prinsip-prinsip mekanik untuk memberikan dasar yang
memuaskan bagi penjelasan segala bahwa materialisme adalah suatu contoh dari reductive
fallacy yang terjadi jika situasi yang kompleks atau suatu keseluruhan yang sederhana.
Contohnya, ketika seorang materialis mengatakan bahwa akal itu adalah sekadar bentuk
dari materi, para kritikus mengatakan bahwa ia melakukan suatu kesalahan yaitu reduction
yang kasar.
baik, maka anak tersebut cenderung baik. Sebaliknya, jika kehidupan di sekitarnya buruk,
anak cenderung berkembang ke arah buruk.
Artikel 7
dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak (kebenarannya) yang dibawa oleh Nabi
berdasarkan wahyu.
Buku Filsafat Ilmu karya Dr Adian Husaini dkk ini (tebal 310 halaman) mengritik
buku popular Filsafat Ilmu karya Jujun S Suriasumantri. Misalnya pendapat Jujun tentang
ilmu: Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun
secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari
bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absoluteIlmu tidak bertujuan
untuk mencari kebenaran absolute melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia
dalam tahal perkembangan tertentu. (hlm. 131-132).
Jika konsep dan definisi ilmu Jujun itu diterapkan untuk ilmu Ushuluddin, ilmu
tafsir al Quran dan ilmu Ushul Fiqh maka akan menimbulkan kerancuan besar. Sebab
pengetahuan bahwa Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada sumber
yang mutlak benar, yaitu Al Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina dan
khamr, adalah ilmu yang mutlak juga. Penafsiran bahwa Nabi Isa as tidak wafat di tiang
salib, adalah ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak berubah sampai akhir zaman.
Jika filsuf Yunani dan banyak filsuf lainnya masih berspekulasi tentang asal mula
dan masa depan kehidupan, maka filsafat dalam Islam yang berdasarkan wahyu- sudah
memberikan ilmu yang jelas dan tidak spekulatif. Asal usul manusia sudha sangat jelas,
yaitu beradal dari keturunan Adam as. Ketika manusia menolak informasi dari wahyu,
maka secara otomatis, mereka akan berspekulasi. Malangnya berspekulasi kemudian diberi
nilai yang sangat tinggi, yaitu sedang berfilsafat.
Masalah epistemologi ilmu -theory of knowledgeini adalah masalah yang
penting. Epistemologi berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa
meraih ilmu. Sementara itu knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang
sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Islam adalah agama yang sangat menghargai
ilmu. Al Quran adalah kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran
dan keilmuan. Ini misalnya tergambar dari penyebutan kata al ilm dan derivasinya,
mencapai 823 kali.
Menurut Dr Adian, yang diajarkan pertama kali kepada Nabi Adam as adalah ilmu
tentang nama-nama benda (al Baqarah 31). Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw berkaitan dengan perintah membaca (iqra) dan menulis yang
disimbolkan dengan pena (al qalam). Wahyu ini pun sudah berbicara tentang proses
penciptaan manusia yang berasal dari al alaq (sesuatu yang melekat). Jadi sejak awal Al
Quran mengingatkan bahwa proses membaca dan belajar tidak boleh dipisahkan dengan
keimanan.
Fakta sejarah membuktikan bagaimana ketinggian peradaban Islam yang dilandasi
keilmuan. Seorang sejawaran Irlandia, Tim Wallace-Murphy, dalam bukunya, What Islam
did for Us: Understanding Islama Contribution to Western Civilization (London: Watkins
Publishing, 2006), menggambarkan kejayaan keilmuan Islam yang kemudian memberikan
jasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern di Barat. Ia membuat
perbandingan kehidupan peradaban Islam dan peradaban Barat di masa kejayaan Islam di
Andalusia (Spanyol) : Kehidupan bagi sebagian besar masyarakat Kristen Eropa adalah
singkat, brutal dan biadab, dibandingkan dengan kehidupan yang canggh, terpelajar dan
rezim yang toleran di wilayah Muslim Spanyol).
Kaum Kristen di Eropa, menurut Tim Wallace-Murphy, mengenal ilmu
pengetahuan bukanlah langsung dari warisan tradisi Yunani, tetapi melalui buku-buku
berbahasa Arab yang ditulis oleh Ilmuwan-ilmuwan Muslim dan Yahudi. Mereka belajar
dan menerjemahkan secara bebas pada pusat-pusat pembelajaran Islam di Spanyol, yang
disebutnya sebagai the gratest culture centre in Europe. Ketika itu Barat menjadikan
kampus-kampus di Spanyol sebagai model. Tahun 1263 berdirilah Oxford University, dan
tak lama sesudah itu berdiri Cambridge University. It was well known and respected
colleges in al Andalus that became a models on which Oxford and Cambridge were
based,tulis Wallace-Murphy. Jadi kampus-kampus terkenal di Eropa seperti Oxford dan
Cambridge didirikan dengan mengambil model kampus-kampus terkenal dan hebat yang
ada di Andalusia.
Dr Salmah, Dosen di UPM Serawak Malaysia dalam bukunya Andalusia
menyatakan: Pada zamannya Universiti Cordova telah diperbesar dan dipertingkatkan
peranannya sehingga muncul sebagai universiti yang terbaik dan terbesar di dunia.
Universiti Cordova ini telah berupaya menandingi Universiti Al Azhar di Kaherah (Kairo)
dan Nizamiyah di Baghdad. Ia telah berjaya menarik ramai pelajar sama ada Kristian,
Yahudi dan Islam, bukan sahaja dari Andalus tetapi juga dari Negara-negara di Eropah,
Afrika dan Asia.
Universitas Cordova yang letaknya di Masjid Cordova adalah tempat yang paling
baik untuk belajar pada saat itu. Saat itu telah ada jurusan astronomi, matematika,
kedokteran, teologi dan undang-undang/hukum. Amir Hasan Siddiqi sebagaimana dikutip
Salmah menyatakan: Pada abad ke-10 M Apabila Cordova (ibu Negara kerajaan Umayah
Spanyol) mula menyaingi Baghdad, pasang surut aliran budaya dan pembelajaran yang
bertimbal balik. Semasa abad yang berikutnya, bertambah ramai lagi pelajar dari wilayah
Islam Timur dan Kristian Eropah berduyun-duyun datang ke Universiti Cordova, Toledo,
Granada dan Seville
untuk menimba ilmu dari perigi ilmu pengetahuan yang mengalir ke sana dengan banyak
sekali.
Komentar :
Dengan membaca artikel diatas kita dapat mengetahui bahwa Gaya hidup dan
budaya barat sudah sangat berpengaruh terhadap budaya Indonesia khususnya islam. Baik
dalam hal pakaian, makanan, musik, dan lain-lain. Sebagian besar budaya Barat yang
masuk ke Indonesia adalah sisi negatif dari budaya barat. Seperti sifat berfoya-foya,
materialis, pergaulan bebas, dan lain-lain. Budaya barat sudah sangat mempengaruhi
sehingga sebagian besar orang Indonesia lebih menyukai membeli produk luar negri
daripada produk Indonesia sendiri. Walaupun budaya barat sudah bercampur dengan
budaya Indonesia, tetapi sebagian besar orang Indonesia masih bisa membedakan yang
mana budayanya dan yang mana budaya barat.
Berdasarkan pembahasan tersebut, saran penulis adalah sebagai berikut.
menyaring budaya barat yang masuk ke Indonesia. Sehingga hanya sisi positif dari budaya
barat yang masuk ke Indonesia. Kita juga harus menyaring budaya barat yang masuk ke
Indonesia, agar budaya kita tidak hilang karena budaya barat yang masuk tersebut
artikel 8
Sebab
pendidikan
otoriter
akan
mematikan
potensi
pebelajar
untuk
mengembangkan potensinya.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi
kebudayaan baru yang memberikan warna dan corak dari kreasi yang dihasilkan dari
situasi yang tercipta secara edukatif.
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya terintegrasi
dengan lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari masyarakat, sehingga harus diupayakan
pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan
prinsip learning by doing (belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya
berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga
sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan
berintelektual.
2. Aliran essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai
budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan
kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan
modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang
diwariskan itu (Sahabuddin, 1997:191).
Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pendidikannya
dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia
objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos. Dengan landasan pemikiran tersebut,
maka belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri.
3. Aliran perenialisme berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh
pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato
manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran.
Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar
kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles
lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan adalah kebahagian untuk
mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan
secara seimbang.
Menurut Robert Hutchkins dalam (Jalaluddin, 1997:96) bahwa manusia
adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi agar
seseorang dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.
4. Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun
kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud
bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat
manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis,
bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya
bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam
praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensipotensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran,
keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit,
nasionalitas, kepercayaan, dan agama. (Sahabuddin, 1987:194).
Komentar :
Menurut saya pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting
untuk pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam
pendidikan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis
dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah,
nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin
membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh
masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.
Artikel 9
khilafan
lis-sufisthaiyyah (Lihat:
modern: How is knowledge possible? Jawaban pertanyaan ini adalah ilmu diperoleh
melalui tiga sumber, yaitu persepsi indera (idrak al-hawass), proses kognitif akal yang
sehat (taaqqul) termasuk intuisi(hads), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq).
Demikian
ditegaskan
oleh
Saduddin
at-Taftazani, Syarh
al-Aqaid
an-
wa
1-Mutaakhkhirin, cetakan
Kairo:
al-Matbaah
al-Husayniyyah,
1969. Dengan nalar dan pikir ini manusia bisa berartikulasi, menyusun proposisi,
menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik
kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi ruhani seseorang dapat menangkap pesan-pesan
ghaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya.
Selain persepsi indera dan proses akal sehat, sumber ilmu manusia yang tak kalah
pentingnya adalah khabar sadiq, yakni informasi yang berasal dari atau disandarkan pada
otoritas. Sumber khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah
dan
Sunnah
Rasul-Nya)
yang
diterima
dan
ditransmisikan(ruwiya) dan
ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman.Mengapa hanya khabar sadiq yang diakui
sebagai sumber ilmu? Mengapa tidak semua informasi bisa dan atau harus diterima?
Lantas kapan suatu proposisi, informasi, pernyataan, ucapan, pengakuan, kesaksian, kabar
mesti ditolak? Apa patokan dan ukurannya? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini pun
telah dirumuskan oleh para ulama ahli hadis dan usul fiqh.
Secara umum, khabar atau kabardalam arti berita, informasi, cerita, riwayat,
pernyataan, atau ucapan, berdasarkan nilai kebenarannya dapat diklasifikasikan menjadi
kabar benar (shadiq)dan kabar palsu (kadzib). Sebagian ulama bahkan berpendapat
pemilihan
ini
perlu
diperjelas
lagi
dengan
kriteria
dengan
sendirinya (bi-
nafsihi atau lidzatihi) yakni tanpa diperkuat oleh sumber lainnya, dan dengan yang
lain (bi-ghayrihi) yakni karena didukung dan diperkuat oleh sumber lain. Khabar
shadiq menurut
Imam
an-Nasafi, alAqaiddibedakan
menjadi
dua
macam.
Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dan
banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Maka kabar jenis ini
merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya (mujib li l-ilmi d-dharuri). Kedua,
informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan mukjizat.
Informasi melalui jalur ini bersifat istidlali dalam arti baru bisa diterima dan diyakini
kebenarannya (yakni menjadi ilmu dharuri alias necessary knowledge) apabila telah
diteliti dan dibuktikan terlebih dulu statusnya. Keterangan Imam an-Nasafi ini
menggabungkan aspek kualitas dan kuantitas narasumber.
Penting sekali diketahui bahwa tidak semua informasi atau pernyataan yang
berasaldari orang banyak bisa serta-merta dianggap mutawatir. Mengingat implikasi
epistemologisnya yang sangat besar, para ulama telah menetapkan sejumlah syarat sebagai
patokan untuk menentukan apakah sebuah kabar layak disebut mutawatir atau tidak.
Berkenaan dengankhabar al-wahid atau khabar al-ahad, para ulama juga telah
menetapkan persyaratan yang cukup ketat, tidak hanya untuk nara sumbernya, tapi
mencakup isi pesan yang disampaikannya, serta cara penyampaiannya. Maka sebuah kabar
yang membawa ilmu mesti diklasifikasi juga berdasarkan kualitas sumber-sumbernya,
siapa pembawa atau penyebarnya atau orang yang mengatakannya, lalu bagaimana
kualifikasi serta otoritasnya (sanad atau isnadnya).
Sikap kritis terhadap sumber dan isi ilmu dalam juga perlu dilakukan terhadap sumber
intern masyarakat Islam sendiri. Hal ini dapat dilacak dan sejarah keilmuan Islam sejak
kurun pertama Hijriyah. Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, Umar ibn al-Khattab dan Ali ibn
Abi Talib terkenal sangat berhati-hati dalam menerima suatu laporan atau khabar dari para
Sahabat mengenai ucapan, perbuatan ataupun keputusan yang ditetapkan Rasulullah SAW.
Untuk menepis kemungkinan terjadinya tindakan pemalsuan dan dusta atas nama
Rasulullah
SAW,
para
khalifah
bukan
hanya
melakukan
pemeriksaan
seksama (tatsabbut) dengan cara meminta minimal dua orang saksi (istisyhad) dan
menuntut
juga
mengimbau
agar
orang
tidak gampangan mengeluarkan hadith (iqlal fi r-riwayah). Untuk ini kita bisa merujuk
kitab Hujjiyyat as-Sunah karya Abd al-Ghani Abd al-Khaliq, Washington: International
Institute of Islamic Thought, 1986.
Sikap
selektif
terhadap
sumber
ilmu
yang
dikembangkan
menjadi
metode isnad ternyata masih sangat relevan dalam tradisi intelektual di jaman modern ini.
Pentingnya metode ini dapat dirujuk kepada pernyataan ulama salaf Abdullah ibn alMubarak (w. 181 H 797 M): Tanpa sandaran otoritas, niscaya setiap orang akan berbicara
tentang apa saja sesuka-hatinya (lawla l-isnad, laqala man syaa ma syaa). Sedangkan
Abu Hurayrah r.a., Ibn Abbas r.a., Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, ad-
Dhahhak, Ibrahim an-Nakhai pun telah berpesan: Sesungguhnya ilmu ini adalah agama.
Karena itu, perhatikanlah dengan siapa kalian berguru dalam soal agama (inna hadzal-ilma dinun, fa unzhuru amman takhudhuna dinakum). (Imam Abu Hatim Muhammad
ibn Hibban, kitab al-Majruhin min al-Muhaddithin wa d-Dhuafa wa l-Matrukin, cetakan
Aleppo: Dar al-Way, 1396 H.
Komentar :
Dari artikel diatas dapat kita simpulkan bahwa ilmu haruslah dicari dari sumber-sumber
yang otoritatif yaitu mereka yang memiliki pandangan hidup Islam dan terpancarkan dari
prinsip-prinsip ajaran agama Islam itu sendiri. Maka dapat kita simpulkan bahwa filsafat
ilmu itu mencakup arti mengetahui, obyek pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, dan
proses mengetahui yang dalam Islam memiliki ciri khas tersendiri dan karenanya secara
substantif sangat berbeda dengan filsafat ilmu dalam peradaban-peradaban lain. Prinsip
-prinsip (usul) dan dasar-dasar (mabadi) filsafat Ilmu dalam Islam telah dirumuskan
olehpara ulama Islam terdahulu (salaf) dan golongan Ahlus-Sunnah wal-Jamaah
berasaskan kitab suci al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW sehingga tidak empirisistik
hanya mengandalkan persepsi inderawi dan bukan pula rasionalistik mendewakan
kemampuan akal belaka, akan tetapi dikuatkan oleh wahyu otentik yang berasal dari Allah
swt, Sang Pemilik ilmu.
Artikel 10
FISAFAT ILMU DAN AGAMA
PENDAHULUAN
Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat
menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani ditakdirkan
Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu keterangan
rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos yang teratur
dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang menguasai ilmu orang
Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan rasional. Pada hakikatnya kelahiran cara
berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum
itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi dan mitologi yang bersifat gaib
dan tidak rasional.
Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala
sesuatu. Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada
kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu Causa Prima dari pada segala yang ada, bahwa
dalam
hal
ini
yaitu
Allah
Maha
Pencipta,
Maha
Besar,
dan
mengetahui.
Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari
kebenaran. Dengan demikian Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.
Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia
ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan
kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan
pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam
berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun
yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan
tujuan
manusia,
tentang
hidup
dan
mati,
tentang
hakikat
manusia
sebagainya.
Ketidak mampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat
tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya
menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian
manusia.
Latar Belakang
Yang melatar belakang belakangi Penulis mengambil tema Fisafat Ilmu dan
Agama dari mata kuliah Filsafat Ilmu adalah merupakan kajian dari pengembangan pada
penerapan sistem yang erat kaitanya dengan Manusia dengan transendennya dapat
mengatasi struktur alam jasmani, dengan budinya dapat mengembangkan ilmu
pengetahuannya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya mencari bukti-bukti sebagai
evidensi untuk mendapatkan kebenaran. Hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia
mendapatkan kebenaran,namun karena sifat tidak puas yang ada pada manusia, maka
manusia selalu mencari kebenaran.
Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari Penulis menyajikan Tema diatas adalah sejalan
dengan uraian Tugas Tengah Semester dari mata kuliah Filsafat Ilmu, dngan upaya untuk
lebih memahami bahwa menurut Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang
dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya
diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau
menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain.
Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan faktafakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat
sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam
pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh
membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang
misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang
bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai
prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan
menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia.
Dasar Hukum
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2.
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
Tentang
Otonomi
Daerah.
Pemerintah
Pusat
dan
Daerah
Otonom.
Pendidikan
dasar
Tahun
dan
Pemberantasan
Buta
Aksara.
9. Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
10. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
11. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan pendidikan Dasar dan Menengah.
12. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
Peraturan Mendiknas Nomor 22 dan 23.
1. Memahami konsep dasar filsafat, Ilmu, dan Agama kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan
fungsinya untuk dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmu dan
pendidikan secara akademik dan profesional.
2. Mampu memahami filsafat, Ilmu, dan Agama untuk mengembangkan diri sebagai ilmuwan
maupun sebagai pendidik dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan
kuantitatif dan kualitatif maupun perpaduan kedua-duanya dalam konsentrasi bidang studi yang
menjadi minat utamanya.
3. Mampu menerapkan filsafat, Ilmu, dan Agama sebagai dasar pemikiran, perencanaan dan
pengembangan khususnya landasan keilmuan dan landasan pendidikan yang dijiwai nilai-nilai
ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat,
bangsa dan negara serta umat manusia dalam pemahaman dan perkembangan lingkungan dinamika
global.
Suatu peristilahan perlu dipahami konteks-nya untuk memperoleh kejelasan maknanya, baik itu
konteks sosial, budaya bahkan politik. Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah
melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang
dilukiskan atau diwakilinya. Submenu Terminologi memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang
disebutkan tadi bisa digunakan. Dalam bagian ini juga dapat diperoleh uraian lebih lanjut mengenai
relasi antara filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan.
Di dalam memberikan rumusan yang pasti tentang apa yang termuat dalam kata "filsafat" adalah
suatu pekerjaan yang terlalu berani dan sombong! Saya ingin mulai dari sini. Memang, para
peminat filsafat, kita sulit mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf (ahli filsafat) pun
mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena terdapatnya beragam-ragam
paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing filsuf. Namun,
sebuah pengertian awal mesti diberikan; maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di
dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini, maka pengertian tersebut haruslah
bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak orang, sehingga dapat dijadikan tempat berpijak
bersama.
Baiklah kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar katanya, dari mana kata ini datang.
Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta, mencintai, philos
pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta akan kebijaksanaan". Cinta
artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan
artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan
yang
sungguh
akan
kebenaran
sejati.
Demikian
arti
filsafat
pada
mulanya.
Dari arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum.Filsafat adalah suatu ilmu,
meskipun bukan ilmu vak biasa, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk
memperoleh kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang radikal
dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang
membawa usahanya itu kepada suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus,
dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat, "Ilmu tentang hakikat". Di sinilah
kita memahami perbedaan mendasar antara "filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains". Ilmu
membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam empiris. Ilmu
menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan "apa sebabnya". Filsafat mencakup
pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar
(keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu empiris.
2. Ilmu.
adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia, Segi-segi ini
dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian
dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.
Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan yang dikaruniahi
ilmu
(Al
Mujadilah:
11)
Ilmu (Science) haruslah "diusahakan" dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus
dilaksanakan dengan metode tertentu dan terukur, dan akhirnya "aktivitas yang
bermetode" itu akan mendatangkan pengetahuan yang sistematis (tahu / mengerti).
Kesatuan dan interaksi dari ketiga komponen yang tersusun menjadi Ilmu (science)
dapat dijelaskan dengan bagan di bawah ini:
Begitu banyak definisi ilmu yang dikemukakan oleh para pakar (scientist) sesuai latar belakang
masing-masing, namun pendapat Marx dan Hillix secara tepat menegaskan bahwa ihnu merupakan
usaha keseluruhan yang bulat (total enterprise) dari manusia itu sendiri. Karakteristik dari ilmu
haruslah rasional, kuantitatif, infinite (tidak hingga), atomic
Syarat-syarat
ilmu
Berbeda dengan pengetahuan ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui
apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.
Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah
ada lebih dahulu.
1.
Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat
bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek,
yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut
kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah
harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari
kata Yunani Metodos yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek,
ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga
membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun
secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat
umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180. Karenanya universal
merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-
paling
sulit
diberikan
pengertian
dan
defenisi
selain
dari
kata
agama.
Menurut Mukti Ali, terdapat tiga argumentasi yang dapat dijadikan alasan dalam menanggapi
statemen tersebut. Pertama karena pengalaman agama adalah soal batin dan subjektif. Kedua
barangkali tidak ada orang yang begitu semangat dan emosional daripada membicarakan agama.
Karena itu, membahas arti agama selalu dengan emosi yang kuat dan yang ketiga konsepsi tentang
agama
akan
dipengaruhi
oleh
tujuan
orang
yang
memberikan
pengertian
agama.
Adapun pengertian agama dari segi istilah dapat dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K.
Nottingham mengatakan bahwa agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana
sehinnga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Lebih lanjut
Nottingham mangatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur
dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama dapat
membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri.
Sementara itu Durkheim mengatakan agama adalah pantulan dari solidaritas social. Bahkan kalau
dikaji
katanya
Tuhan
itu
sebenarnya
adalah
ciptaan
masyarakat
Definisi tentang agama sangatlah banyak namun harun nasution sendiri mendefinisikan agama
sebagai berikut :
a. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
b.
Pengakuan
terhadap
adanya
kekuatan
gaib
yang
menguasai
manusia.
c. Mengingatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber
yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
d.
e.
Kepercayaan
Suatu
pada
sistem
suatu
kekuatan
tingkah
gaib
laku
yang
yang
menimbulkan
berasal
dari
cara
hidup
tertntu.
kekuatan
gaib.
misterius
yang
terdapat
dalam
alam
sekitar
h. Ajaran yang diwahyukan tuhan melalui seorang manusia melalui seorang rasul.
manusia.
buruk.
Secara umum mempelajari ilmu pengetahuan agama dibagi dalam dua bagian; ada
pengetahuan agama yang wajib diketahui oleh setiap individu atau yang dikenal dengan istilah
fardhu 'aini. Dan ada pengetahuan agama yang hukum mempelajarinya adalah fardhu kifyah.
Artinya tidak setiap orang dituntut mengetahuinya.
Tetapi umat Islam secara jamaah (kolektif) wajib mengetahuinya. Jika tidak ada yang
mempelajarinya, semua berdosa dan jika ada sebagian yang telah mempelajarinya, yang tidak
mempelajari tidak terkena dosa. Seperti memperdalam pengetahuan agama secara rinci untuk
menjawab problematika umat.
Sedangkan ilmu pengetahuan dunia dan umum, hukum mengetahuinya adalah fardhu
kifyah.
Pada
Artinya
dasarnya
harus
ada
bukan
sebagian
setiap
umat
orang
Islam
harus
yang
menjadi
mengetahui
dokter
ilmu
misalnya.
kedokteran.
Dengan demikian nampak jelas bagi kita, bahwa ilmu agama memiliki nilai lebih dari ilmu
pengetahuan dunia. Sebab, bodoh dari ilmu dunia hanya membuat manusia sengsara di dunia.
Tetapi ketika manusia bodoh dari pengetahuan agama membuat manusia sengsara di dunia dan
akhirat. Seluruh Nabi dan Rasul pun diutus Allah ke dunia dengan membawa ilmu pengetahuan
agama, yaitu untuk menjelaskan kepada manusia, apa yang harus ia lakukan di dunia ini. Ilmu
pengetahuan ini tidak dapat disingkap oleh akal manusia tanpa diutusnya para Rasul dan
diturunkannya kitab-kitab Allah.
Manusia yang mampu menyingkap banyak hakikat alam semesta dengan ilmu pengetahuan dunia
yang ia miliki, namun jahil dari ilmu pengetahuan agama yang diwariskan oleh para Nabi dan lupa
terhadap akhirat, sesungguhnya bukan orang yang berilmu di sisi Allah. Tetapi termasuk orang
yang bodoh. Allah berfirman:
"tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai." (QS. 30:7)
2.
Apakah
Ilmu
Bisa
Jadi
Bekal
Dalam
Menjalankan
Agama
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum (30): 30)
Manusia dengan transendennya dapat mengatasi struktur alam jasmani, dengan budinya dapat
mengembangkan ilmu pengetahuannya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya mencari bukti-bukti
sebagai evidensi untuk mendapatkan kebenaran. Hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia
mendapatkan kebenaran,namun karena sifat tidak puas yang ada pada manusia, maka manusia
selalu mencari kebenaran.
bahwa hukum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber
dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat akal". Abul Hasan 'Amiri, dalam kitab
al-Itmm lifadhil al-anm, membahas hubungan antara teori (ilmu) dan amal, di situ ia
menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham, lintasan
ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al-aql). An-nusuk berarti ibadah,
kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan, menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi adalah rasional dan
apa yang rasional dapat menyebabkan kesucian dan kedekatan keda Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah
satu karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berpikir, dan kontemplasi juga merupakan
salah satu bentuk ibadah dan doa. Menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis
(terapan) pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada realitas
mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan ilmu atas segala sesuatu
tersingkap baginya.
Musa bin Maimun, seorang filosof Yahudi, karena terpengaruh filsafat Islam beranggapan
bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah satu bentuk ibadah yang dapat mengantarkan
manusia pada kebahagiaan, karena itu ia berupaya merujukkan akal dan agama. Ia, dalam kitabnya
Dillah al-hairn, berkata, "Tafakkur dan berpikir merupakan jalan kesempurnaan manusia. Ilmu
dan makrifat adalah salah satu bentuk ibadah yang sesungguhnya dapat mengantarkan seorang
hamba dekat kepada Tuhan, makrifat dapat menyingkap hakikat dan rahasia eksistensi. Semakin
tinggi dan sempurna pengetahuan manusia maka semakin ia dekat kepada Tuhan dan semakin
dalam kecintaannya kepada-Nya" Walaupun menurutnya ibadah merupakan hasil dari kecintaan,
tetapi kecintaan seseorang kepada Tuhan berbanding lurus dengan ilmu dan makrifatnya.
Dalam hal ini jelas bahwa ilmu adalah merupakan bekal bagi manusia dalam menjalani hidup dan
kehidupan, termasuk ketika melakukan hubungan bersosialisasi dengan lingkungan, melalui ilmu
pemgetahuan yang benar dan bermanfaat, dapat di jadikan tolok ukur dalam mengaplikasikan ilmu
yang di kuasainya dalam kehidupan sehari-hari.