Anda di halaman 1dari 14

A.

PATH GOAL THEORY


1. Pendahuluan
Path Goal theory (teori jalur tujuan) dari kepemimpinan telah
dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana perilaku seorang pemimpin
mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahannya. Teori ini pertama kali
diungkapkan

oleh

Evans

(1970)

dan

House

(1971).

House

(1971)

memformulasikan teori ini dengan versi yang lebih teliti dengan menyertakan
variabel situasional. Teori tersebut semakin dimurnikan olehbeberapa penulis
seperti Evans (1974); House dan Dessler (1974); House dan Mitchell (1974; dan
House (1996).
2. Konsep Path Goal Theory of Leadership
Dasar

dari

teori

ini

adalah

bahwa

tugas

seorang

pemimpin adalah membantu anggotanya dalam memberi


informasi, dukungan, dan sumber daya lain yang penting dalam
mencapai tujuan mereka (Robbins, 2011). Menurut teori ini,
suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada
tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sumber kepuasan
saat itu atau masa datang (Robbins, 2002).
Robbins dan Judge (2009) menyatakan bahwa inti dari path goal
theory adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk memberikan informasi
dan dukungan yang dibutuhkan kepada para pengikut agar mereka bisa
mencapai berbagai tujuan. Istilah path goal berasal dari keyakinan bahwa para
pemimpin yang efektif semestinya bisa menunjukkan jalan guna membantu
pengikut - pengikutnya mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan demi pencapaian
tujuan kerja dan mempermudah perjalanan serta menghilangkan berbagai
rintangannya.
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas
kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi
efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk
melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Terdapat dua variabel yang sangat
menentukan

efektifitas

pemimpin

adalah

karakteristik

pribadi

para

bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya


peraturan dan prosedur yang ada (Robbins, 2002).
Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh

bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber
kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan
motivasi sepanjang dapat membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam
pencapaian kinerja yang efektif, dan menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan
penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robbins, 2002).
Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat
adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan
hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Seperti dijelaskan dalam teori
Pengharapan (Expectancy Theory), dimana sikap dan perilaku individu
dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi
dari hasil (goal attractiveness). Model path-goal juga mengatakan bahwa
pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan
mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi (Robins, 2002).
Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang harus dilakukan
oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan tentang
pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan
kepada bawahannya. Siverthorne (2001) menjelaskan bahwa model
path-goal menganjurkan kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
a. Fungsi pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang
pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami
bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
b. Fungsi kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya
dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi
mereka.
Al-Gattan (1985) menyatakan bahwa pada bentuk aslinya path-goal
theory menguraikan dua tipe kepemimpinan yaitu kepemimpinan suportif dan
direktif namun dalam perkembangannya teori tersebut menguraikan empat tipe
kepemimpinan yaitu: suportif, direktif, partisipatif dan kepemimpinan yang
berorientasi pada pencapaian. Koontz et al dalam Kajanto (2003) menjelaskan
perbedaan empat gaya kepemimpinan dalam model path-goal sebagai berikut.
a. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari

mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar


kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara
menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan,
organisasi, koordinasi dan pengawasan.
b. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan
bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan
tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi,
sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang
menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung
(supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan
pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
c. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan
saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan.
Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
d. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang
menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal
mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses
pencapaian tujuan tersebut.
Robbins (2008) menjelaskan bahwa terdapat dua kelompok variabel
situasional dalam teori path goal yang dikembangkan House. Variabel tersebut
yaitu variabel bawahan dan variabel lingkungan. Variabel bawahan berupa locus
of control, pengalaman dan kemampuan yang dirasakan, sedangkan variabel
lingkungan berupa struktur tugas, sistem otoritas formal dan kelompok kerja
meliputi tingkat pendidikan dan kualitas hubungan diantara pemimpin dan
bawahan.
Gibson et al (2009) mencoba memetakan teori path goal dengan

menyatakan bahwa terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan


kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate
and environmental pressures and demmand. Berikut path goal theory
leadership yang disajikan oleh Gibson et al.

Gambar 1. Path Goal Theory Leadership


a. Karakteristik bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa
perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan
melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa
memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan
masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1) Letak kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan
penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal
meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada
usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung
letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh
dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang

internal

cenderung

lebih

menyukai

gaya

kepemimpinan

yang

participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya


kepemimpinan directive.
2) Kesediaan untuk menerima pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan
yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya
kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat
authoritarianism

rendah

cenderung

memilih

gaya

kepemimpinan

partisipatif.
3) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah
mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi
prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran
yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin
yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan
mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung
memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan
yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang
supportive.
b. Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini pathgoal menyatakan bahwa perilaku
pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika perilaku
tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan
tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja dan perilaku tersebut
merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa
pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk
mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.

Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:


1) Struktur tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan
yang direktif.
2) Wewenang formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan
participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang
membutuhkan kepemimpinan supportive.

B. Teori Situasional Hersey & Blanchard (The Situational Leadership Theory)


1. Pendahuluan
Teori kepemimpinan situasional atau the situational leadership theory
adalah teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh Paul Hersey, penulis buku
Situational Leader. Dan Ken Blanchard, pakar dan penulis The Minute
Manager, yang kemudian menulis pula buku Management of Organizational
Behavior. Teori ini pada awalnya diintrodusir sebagai Life Cycle Theory of
Leadership. Sampai kemudian pada pertengahan 1970an Life Cycle Theory of
Leadership berganti dengan sebutan Situational Leadership Theory. Di akhir
1970-an dan awal 1980-an, masing-masing penulis mengembangkan teori
kepemimpinannya sendiri-sendiri. Hersey mengembangkan Situational
Leadership Model dan Blancard mengembangkan Situational Leadership
Model II. Hersey dan Blanchard terus bersepakat dengan teori aslinya hingga
1977. Ketika mereka sepakat untuk menjalankan pemahaman masing-masing
pada akhir 1970-an, Hersey merubah nama dari kepemimpinan situasional
menjadi teori kepemimpinan situasional dan Blanchard menawarkan Teori
Kepemimpinan Situasional sebagai Pendekatan Situasional untuk Mengelola

Orang.
2. Konsep Teori Situasional Hersey & Blanchard
Teori Situasional (The situational theory) Hersey & Blanchard
melakukan pendekatan yang berfokus pada perhatian yang besar pada
karakteristik bawahan dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat
(Daft, 2003). Model ini menjelaskan bahwa para manajer perlu menyesuaikan
perilaku kepemimpinan mereka sebagai respons terhadap berbagai karakter dari
orang-orang yang menjadi bawahannya seperti harapan pekerja, pengalaman,
keahlian, dan kesanggupan dalam menerima tanggung jawab (Monica, 1998:
72). Hal penting pada teori Hersey & Blanchard adalah bahwa bawahan
bervariasi dalam tingkat kesiapannya dalam melakukan pekerjaan.
Teori Kepemimpinan Situasional dari Harsey dan Blanchard (dikutip
oleh Miftah Thoha (1996) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
situasional didasarkan atas hubungan antara:
a. Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan
Perilaku pengarahan dapat dirumuskan sebagai sejauh mana seorang
pemimpin melibatkan dalam komunikasi satu arah. Bentuk pengarahan
dalam komunikasi satu arah ini antara lain, menetapkan peranan yang
seharusnya dilakukan pengikut, memberitahukan pengikut tentang apa yang
seharusnya bisa dikerjakan, di mana melakukan hal tersebut, bagaimana
melakukannya, dan melakukan pengawasan secara ketat kepada pengikutnya.
b. Jumlah dukungan sosio-emosional yang diberikan oleh pemimpin
Perilaku mendukung adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan
diri dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar, menyediakan
dukungan dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan pengikut
dalam pengambilan keputusan. Kedua norma prilaku tersebut ditempatkan
pada dua poros yang terpisah dan berbeda seperti dibawah ini sehingga
dengan demikian dapat diketahui 4 (empat) gaya dasar kepemimpinan
menurut Hersey dan Blanchard (dikutip oleh Miftah Thoha, 2003).

Sumber: Miftah Thoha, 2003.

Gambar 2. Empat Gaya Dasar Kepemimpinan Situasional


1) Gaya 1 (G1), seorang pemimpin menunjukan perilaku yang banyak
memberikan pengarahan dan sedikit dukungan.
Gaya ini dirujuk sebagai instruksi, pemimpin memberikan instruksi yang
spesifik tentang peranan dan tujuan bagi pengikutnya, dan secara ketat
mengawasi tugas mereka. Dalam hal ini pemimpin memberikan batasan
peranan pengikutnya dan memberitahu mereka tentang apa, bagaimana,
bilamana dan dimana melaksanakan berbagai tugas. Inisiatif pemecahan
masalah

dan

pembuatan

keputusan

semata-mata

dilakukan

oleh

pemimpin. Pemecahan masalah dan keputusan diumumkan, dan


pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh pemimpin.
2) Gaya 2 (G2), pemimpin menunjukan perilaku yang banyak mengarahkan
dan banyak memberikan dukungan.
Gaya ini dirujuk sebagai konsultasi, karena dalam menggunakan gaya ini,
pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat
hampir sama dengan keputusan, tetapi hal ini diikutu dengan
meningkatkan banyaknya komunikasi dua arah dan perilaku mendukung,
dengan berusaha mendengar perasaan pengikut serta ide-ide dan saransaran mereka. Tetapi tetap pemimpin harus terus memberikan pengawasan
dan pengarahan dalam penyelesaian tugas-tugas pengikutnya.
3) Gaya 3 (G3), perilaku pemimpin menekankan pada banyak memberikan
dukungan dan sedikit pengarahan.
Gaya ini dirujuk sebagai partisipasi, karena posisi kontrol atas pemecahan
masalah dan pembuat keputusan yang dipegang secara bergantian. Dengan
penggunaan gaya 3 ini, pemimpin dan pengikut saling tukar menukar ide
dalam pemecahan masalah, komunikasi dua arah ditingkatkan, dan

pemimpin juga mmendukung usaha-usaha mereka dalam menyelesaikan


tugas pengikutnya.
4) Gaya 4 (G4), perilaku pemimpin yang memberikan sedikit dukungan dan
sedikit pengarahan.
Gaya ini dirujuk sebagai delegasi, karena pemimpin mendiskusikan
masalah bersama-sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan
mengenai definisi masalah yang kemudian proses pembuat keputusan
didelegasikan

secara

keseluruhan

kepada

bawahan.

Pemimpin

memberikan kesempatan yang luas bagi bawahan untuk melakasanakan


pengontrolan atas tugastugasnya, karena mereka memiliki kemampuan
dan keyakinan untuk mengemban tanggung jawab dalam pengarahan
perilaku mereka sendiri. Sesuai dengan uraian tersebut diatas, bahwa
empat gaya dasar kepemimpinan merupakan hal yang penting bagi
seorang pemimpin dalam hubungannya dengan perilaku pemimpin itu
sendiri dalam mempengaruhi bawahannya dalam hal ini perilaku
mengarahkan dan perilaku mendukung yang nantinya akan melibatkan
hubungan kerja yang berorientasi akan tugas.
c. Tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukan dalam
melaksanakan tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu.
Kematangan dalam kepemimpinan situasional dapat dirumuskan sebagai
suatu kemampuan dan kemauan dari orang-orang untuk bertanggung jawab
dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Kemampuan yang merupakan salah
satu unsur dalam kematangan, berkaitan dengan pengetahuan atau
keterampilan yang dapat diperoleh dari pendidikan, latihan dan atau
pengalaman. Adapun unsur yang lain dari kematangan bertalian dengan
keyakinan diri dan motivasi seseorang. Ada empat tingkat kematangan
menurut Hersey dan Blanchard (dalam Thoha, 2007:71), yang dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Empat Tingkat Kematangan

Sumber: Thoha, 2007.


Tabel ini menggambarkan hubungan antara tingkat kematangan para
pengikut atau bawahan dengan gaya kepemimpinan yang sesuai untuk

diterapkan ketika para pengikut bergerak dari kematangan yang sedang ke


kematangan yang telah berkembang (dari M1 sampai dengan M4).
Secara rinci keempat kuadran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
(Rivai, 2003)
1)
Kuadran M1: Tingkat kematangan bawahan rendah, yaitu kondisi dimana
kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas rendah, bawahan tidak
mau memikul tanggung-jawab dan ketidakyakinan untuk dapat melakukan
sesuatu.

Penyebabnya

tugas

yang

diembannya

jauh

di

atas

kemampuannya, kurang mengerti kaitan antara tugas dan tujuan organisasi


2)

(Rivai, 2003).
Kuadran M2: Tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang atau
moderat rendah, yaitu kondisi dimana kemampuannya melaksanakan
tugas masih rendah tetapi memiliki rasa tanggung-jawab sehingga ada
upaya berprestasi. Mereka yakin akan pentingnya tugas dan tahu pasti
tujuan yang ingin dicapai. Penyebabnya bawahan belum berpengalaman
atau belum mengikuti pelatihan dan pendidikan atau kurang memiliki
ketrampilan pada saat sekarang tetapi memiliki motivasi yang tinggi

3)

(Rivai, 2003).
Kuadran M3: Tingkat kematangan bawahan sedang ke tinggi atau moderat
tinggi, yaitu bawahan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas
tetapi karena suatu hal tidak yakin akan keberhasilan sehingga tugas itu
tidak dilaksanakan. Penyebabnya misalnya bawahan merasa kecewa
karena dipindahtugaskan ke bidang yang lain dan tidak puas dengan

4)

penempatan yang baru (Rivai, 2003).


Kuadran M4: Tingkat kematangan bawahan tinggi, yaitu bawahan
mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas ataupun
memecahkan masalah dan punya motivasi tinggi serta besar tanggungjawabnya. Bawahan mendapat kepuasan atas prestasinya dan yakin akan
selalu berhasil (Rivai, 2003: 75).
Berdasarkan model kepemimpinan Hersey & Blanchard tersebut,

perilaku kepemimpinan ini dibagi menjadi empat kuadran menurut situasi yang
dihadapi yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya kecenderungan kepada
pekerjaan (task behavior) dan rendahnya kecenderungan kepada hubungan
terhadap orang-orang (relationship behavior) (Sule & Saefullah, 2008).
Keempat kuadran pada teori kepemimpinan situasional Hersey & Blanchard

dapat dijelaskan sebagai berikut:


a. Pekerjaan yang tinggi dan hubungan yang rendah (LBI)
Perilaku ini disetarakan dengan menyampaikan atau telling (Daft, 2003).
Dimana situasi yang dihadapi adalah tuntutan terhadap pekerjaan yang tinggi
dan rendah terhadap hubungan orang-orang atau relasi, maka pemimpin yang
berorientasi pada pekerjaan yang tinggi lebih dibutuhkan, kadangkala
kecenderungan untuk sedikit otoriter karena rendahnya kesiapan bawahan
dalam menerima tanggung jawab pekerjaan. Pada situasi ini pekerjaan lebih
penting untuk dikerjakan daripada membangun hubungan dengan orangorang (Sule & Saefullah, 2008).
Seorang pemimpin pada

pokoknya

mendefenisikan

pekerjaan,

menerangkan pada kelompok tanggung jawab setiap orang, kapan pekerjaan


harus dilakukan, menetapkan peran-peran yang dimainkan oleh bawahannya
dan memerintahkan kepada mereka apa, bagaimana, bilamana dan dimana
bawahan harus melaksanakan berbagai jenis pekerjaan agar keputusan dapat
dilaksanakan dengan efektif, serta mengawasi pekerjaan dengan ketat (Rivai,
2003).
Komunikasi satu arah menjadi karakteristik perilaku kepemimpinan
meskipun perilaku hubungan yang rendah haruslah ada. Pada kondisi ini
pengambilan keputusan mutlak berada pada pemimpin sedangkan peran
bawahan sangat minimal (Monica, 1998: 72).
b. Pekerjaan yang tinggi dan hubungan yang tinggi (LB2)
Perilaku ini disetarakan dengan menjual atau selling (Daft, 2003).
Dimana kondisi yang dihadapi memerlukan perhatian yang tinggi terhadap
pekerjaan sekaligus orang-orang, sehingga lebih mengarah kepada gaya
kepemimpinan demokratis dan berorientasi kepada kemajuan dan perubahan
sangat diperlukan. Selain pekerjaan dapat diselesaikan, pemimpin dalam
situasi ini berhadapan dengan tim kerja yang baik, memiliki motivasi untuk
berprestasi dalam pekerjaan yang tinggi, sehingga mereka tidak perlu lagi
diarahkan secara ekstra untuk bekerja (Sule & Saefullah, 2008).
Pemimpin memberikan perhatian yang seimbang terhadap keyakinan,
keinginan dan kebutuhan kelompok. Pemimpin mungkin mendefenisikan
suatu tujuan, menunjuk apa yang perlu dikerjakan, siapa yang mempunyai
tanggung-jawab khusus dan sudah terdapat interaksi dengan kelompok.
Rencana sebelumnya dari pemimpin mungkin diubah karena reaksi bawahan.
Pada kondisi seperti ini, peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan cukup besar, tetapi masukan dan pendapat bawahan


sudah

mulai

dipertimbangkan

pemimpin

untuk

memperbaiki

dan

menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dan akan


dilaksanakan (Daft, 2003). Dengan menerapkan tindakan ini diharapkan
keputusan-keputusan pimpinan akan mendapat dukungan dan lebih mudah
menginstruksikannya, sehingga kepemimpinan berlangsung efektif (Rivai,
2003).
c. Hubungan yang tinggi dan pekerjaan yang rendah (LB3)
Perilaku ini disetarakan dengan peran serta atau participating. Dengan
menjalankan tindakan partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orangorang yang dipimpinnya. Bawahan memiliki karakteristik tim kerja yang
baik dan mereka termotivasi dengan baik untuk berada dalam organisasi,
akan tetapi belum banyak diarahkan pada pekerjaan yang memberikan
tantangan kepada mereka, sehingga orientasi kepada pekerjaan masih rendah.
Kondisi seperti ini perhatian utama pemimpin bukanlah pekerjaan dan
berbagai keruwetannya, tetapi sebaliknya perhatian diberikan untuk proses,
untuk mendapatkan kelompok bekerja dan bersama-sama secara efektif
untuk menyelesaikan pekerjaan (Monica, 1998).
Pimpinan dan bawahan bersama-sama memberi gagasan dalam
pengambilan

keputusan

maupun

dalam

melaksanakannya

melalui

komunikasi dua arah dan lebih difasilitasi oleh pimpinan apabila bawahan
mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk menyelesaikan pekerjaan
(Daft, 2003). Menghadapi situasi ini, pemimpin perlu untuk memberikan
dukungan kepada orang-orang atau pekerja untuk melakukan apa yang
terbaik dari pekerjaan mereka melalui pemberian motivasi. Pemimpin
menciptakan suasana mendukung, konstruktif, dan berorientasi pada
pemecahan masalah. Pemimpin pada kuadran ini benar-benar harus
memperhatikan aspek relasi antarmanusia dan pemimpin cenderung bersikap
partisipatif (Sule & Saefullah, 2008).
Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara
terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau
mengambil tugas pokok orang lain. Keikutsertaan pemimpin harus tetap
dalam fungsi sebagai pemimpin dan bukan bawahan (Rivai, 2003).
d. Pekerjaan yang rendah dan hubungan yang rendah (LB4)
Perilaku ini disetarakan dengan pendelegasian karena pengendalian
dipindahkan dari pemimpin kepada bawahan. Pemimpin mempertahankan

suatu sikap merendah dalam gaya ini, memungkinkan para bawahan untuk
diberi kesempatan memainkan kemampuan mereka melalui pendelegasian
dan pengarahan umum dengan catatan bawahan memiliki kemampuan yang
tinggi serta kedewasaan. Dalam hal ini para bawahan dituntut memiliki
kematangan (kemampuan) pekerjaan dan kematangan psikologis (kemauan).
Kematangan pekerjaan dikaitkan dengan kemampuan untuk
melaksanakan sesuatu yang berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan
sedangkan kematangan psikologis dikaitkan dengan kemampuan atau
motivasi untuk melakukan sesuatu yang erat kaitannya dengan rasa yakin.
Agar pendelegasian lebih efektif, pemimpin perlu menyeleksi dan menyusun
tugas yang dilimpahkan, menyeleksi orang yang tepat, berkemampuan dan
memiliki komitmen terhadap pekerjaan dan yang terakhir memberikan
arahan dan motivasi kepada bawahan (Nursalam, 2002).
Untuk bawahan yang mempunyai tingkat kesiapan tinggi, pemimpin
memberi tahu tujuan secara umum dan memberikan otoritas dan tanggungjawab kepada seseorang atau kelompok untuk mengerjakan pekerjaan,
persetujuan awal dari pemimpin mungkin atau mungkin tidak perlu diminta
sebelum keputusan itu diimplementasikan dan bawahan dinilai mampu untuk
mengerjakannya (Daft, 2003). Pada waktunya, pemimpin mungkin
dibutuhkan untuk konsultasi dan berdiskusi, atau untuk memberikan
pengarahan dan dorongan positif. Interaksi seperti itu tidak direncanakan
secara teratur, tetapi akan terjadi karena kebutuhan meningkat (Monica,
1998).

Berikut resume Situational Leadership Theory Hersey & Blanchard


(Monica, 1998).

Anda mungkin juga menyukai