oleh
Evans
(1970)
dan
House
(1971).
House
(1971)
memformulasikan teori ini dengan versi yang lebih teliti dengan menyertakan
variabel situasional. Teori tersebut semakin dimurnikan olehbeberapa penulis
seperti Evans (1974); House dan Dessler (1974); House dan Mitchell (1974; dan
House (1996).
2. Konsep Path Goal Theory of Leadership
Dasar
dari
teori
ini
adalah
bahwa
tugas
seorang
efektifitas
pemimpin
adalah
karakteristik
pribadi
para
bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber
kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan
motivasi sepanjang dapat membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam
pencapaian kinerja yang efektif, dan menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan
penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robbins, 2002).
Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat
adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan
hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Seperti dijelaskan dalam teori
Pengharapan (Expectancy Theory), dimana sikap dan perilaku individu
dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi
dari hasil (goal attractiveness). Model path-goal juga mengatakan bahwa
pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan
mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi (Robins, 2002).
Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang harus dilakukan
oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan tentang
pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan
kepada bawahannya. Siverthorne (2001) menjelaskan bahwa model
path-goal menganjurkan kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
a. Fungsi pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang
pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami
bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
b. Fungsi kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya
dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi
mereka.
Al-Gattan (1985) menyatakan bahwa pada bentuk aslinya path-goal
theory menguraikan dua tipe kepemimpinan yaitu kepemimpinan suportif dan
direktif namun dalam perkembangannya teori tersebut menguraikan empat tipe
kepemimpinan yaitu: suportif, direktif, partisipatif dan kepemimpinan yang
berorientasi pada pencapaian. Koontz et al dalam Kajanto (2003) menjelaskan
perbedaan empat gaya kepemimpinan dalam model path-goal sebagai berikut.
a. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari
internal
cenderung
lebih
menyukai
gaya
kepemimpinan
yang
rendah
cenderung
memilih
gaya
kepemimpinan
partisipatif.
3) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah
mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi
prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran
yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin
yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan
mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung
memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan
yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang
supportive.
b. Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini pathgoal menyatakan bahwa perilaku
pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika perilaku
tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan
tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja dan perilaku tersebut
merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa
pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk
mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Orang.
2. Konsep Teori Situasional Hersey & Blanchard
Teori Situasional (The situational theory) Hersey & Blanchard
melakukan pendekatan yang berfokus pada perhatian yang besar pada
karakteristik bawahan dalam menentukan perilaku kepemimpinan yang tepat
(Daft, 2003). Model ini menjelaskan bahwa para manajer perlu menyesuaikan
perilaku kepemimpinan mereka sebagai respons terhadap berbagai karakter dari
orang-orang yang menjadi bawahannya seperti harapan pekerja, pengalaman,
keahlian, dan kesanggupan dalam menerima tanggung jawab (Monica, 1998:
72). Hal penting pada teori Hersey & Blanchard adalah bahwa bawahan
bervariasi dalam tingkat kesiapannya dalam melakukan pekerjaan.
Teori Kepemimpinan Situasional dari Harsey dan Blanchard (dikutip
oleh Miftah Thoha (1996) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
situasional didasarkan atas hubungan antara:
a. Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan
Perilaku pengarahan dapat dirumuskan sebagai sejauh mana seorang
pemimpin melibatkan dalam komunikasi satu arah. Bentuk pengarahan
dalam komunikasi satu arah ini antara lain, menetapkan peranan yang
seharusnya dilakukan pengikut, memberitahukan pengikut tentang apa yang
seharusnya bisa dikerjakan, di mana melakukan hal tersebut, bagaimana
melakukannya, dan melakukan pengawasan secara ketat kepada pengikutnya.
b. Jumlah dukungan sosio-emosional yang diberikan oleh pemimpin
Perilaku mendukung adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan
diri dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar, menyediakan
dukungan dan dorongan, memudahkan interaksi, dan melibatkan pengikut
dalam pengambilan keputusan. Kedua norma prilaku tersebut ditempatkan
pada dua poros yang terpisah dan berbeda seperti dibawah ini sehingga
dengan demikian dapat diketahui 4 (empat) gaya dasar kepemimpinan
menurut Hersey dan Blanchard (dikutip oleh Miftah Thoha, 2003).
dan
pembuatan
keputusan
semata-mata
dilakukan
oleh
secara
keseluruhan
kepada
bawahan.
Pemimpin
Penyebabnya
tugas
yang
diembannya
jauh
di
atas
(Rivai, 2003).
Kuadran M2: Tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang atau
moderat rendah, yaitu kondisi dimana kemampuannya melaksanakan
tugas masih rendah tetapi memiliki rasa tanggung-jawab sehingga ada
upaya berprestasi. Mereka yakin akan pentingnya tugas dan tahu pasti
tujuan yang ingin dicapai. Penyebabnya bawahan belum berpengalaman
atau belum mengikuti pelatihan dan pendidikan atau kurang memiliki
ketrampilan pada saat sekarang tetapi memiliki motivasi yang tinggi
3)
(Rivai, 2003).
Kuadran M3: Tingkat kematangan bawahan sedang ke tinggi atau moderat
tinggi, yaitu bawahan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas
tetapi karena suatu hal tidak yakin akan keberhasilan sehingga tugas itu
tidak dilaksanakan. Penyebabnya misalnya bawahan merasa kecewa
karena dipindahtugaskan ke bidang yang lain dan tidak puas dengan
4)
perilaku kepemimpinan ini dibagi menjadi empat kuadran menurut situasi yang
dihadapi yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya kecenderungan kepada
pekerjaan (task behavior) dan rendahnya kecenderungan kepada hubungan
terhadap orang-orang (relationship behavior) (Sule & Saefullah, 2008).
Keempat kuadran pada teori kepemimpinan situasional Hersey & Blanchard
pokoknya
mendefenisikan
pekerjaan,
mulai
dipertimbangkan
pemimpin
untuk
memperbaiki
dan
keputusan
maupun
dalam
melaksanakannya
melalui
komunikasi dua arah dan lebih difasilitasi oleh pimpinan apabila bawahan
mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk menyelesaikan pekerjaan
(Daft, 2003). Menghadapi situasi ini, pemimpin perlu untuk memberikan
dukungan kepada orang-orang atau pekerja untuk melakukan apa yang
terbaik dari pekerjaan mereka melalui pemberian motivasi. Pemimpin
menciptakan suasana mendukung, konstruktif, dan berorientasi pada
pemecahan masalah. Pemimpin pada kuadran ini benar-benar harus
memperhatikan aspek relasi antarmanusia dan pemimpin cenderung bersikap
partisipatif (Sule & Saefullah, 2008).
Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara
terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau
mengambil tugas pokok orang lain. Keikutsertaan pemimpin harus tetap
dalam fungsi sebagai pemimpin dan bukan bawahan (Rivai, 2003).
d. Pekerjaan yang rendah dan hubungan yang rendah (LB4)
Perilaku ini disetarakan dengan pendelegasian karena pengendalian
dipindahkan dari pemimpin kepada bawahan. Pemimpin mempertahankan
suatu sikap merendah dalam gaya ini, memungkinkan para bawahan untuk
diberi kesempatan memainkan kemampuan mereka melalui pendelegasian
dan pengarahan umum dengan catatan bawahan memiliki kemampuan yang
tinggi serta kedewasaan. Dalam hal ini para bawahan dituntut memiliki
kematangan (kemampuan) pekerjaan dan kematangan psikologis (kemauan).
Kematangan pekerjaan dikaitkan dengan kemampuan untuk
melaksanakan sesuatu yang berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan
sedangkan kematangan psikologis dikaitkan dengan kemampuan atau
motivasi untuk melakukan sesuatu yang erat kaitannya dengan rasa yakin.
Agar pendelegasian lebih efektif, pemimpin perlu menyeleksi dan menyusun
tugas yang dilimpahkan, menyeleksi orang yang tepat, berkemampuan dan
memiliki komitmen terhadap pekerjaan dan yang terakhir memberikan
arahan dan motivasi kepada bawahan (Nursalam, 2002).
Untuk bawahan yang mempunyai tingkat kesiapan tinggi, pemimpin
memberi tahu tujuan secara umum dan memberikan otoritas dan tanggungjawab kepada seseorang atau kelompok untuk mengerjakan pekerjaan,
persetujuan awal dari pemimpin mungkin atau mungkin tidak perlu diminta
sebelum keputusan itu diimplementasikan dan bawahan dinilai mampu untuk
mengerjakannya (Daft, 2003). Pada waktunya, pemimpin mungkin
dibutuhkan untuk konsultasi dan berdiskusi, atau untuk memberikan
pengarahan dan dorongan positif. Interaksi seperti itu tidak direncanakan
secara teratur, tetapi akan terjadi karena kebutuhan meningkat (Monica,
1998).