Kelebihan hunian tinggi ada pada keluasan pemandangannya. Untuk mencapai ini,
setiap ruangan harus memiliki jendela, dan volume bangunan tidak boleh terlalu besar
agar dapat diperoleh permukaan bukaan di setiap sisinya.
Dengan konsep itu, arsitek The Peak mendesain bangunan dengan kelangsingan 1:8.
Skala ini didapat dari perbandingan lebar gedung dengan tinggi gedung. Dengan
ketinggian 215 meter, lebar The Peak hanya kurang lebih 27 meter. Menurut Davy
Sukamta, ahli struktur yang merancang banugnan ini, bahwa dengan perbandingan
tinggi dan lebar seperti itu, gedung akan rentan bergoyang. Menurutnya, setiap kali
merancang bangunan tinggi yang harus dipikir adalah gedung harus kuat terhadap gaya
gravitasi, gempa, dan angin. Tapi gedung bergoyang bukan berarti tidak kuat. Seperti
cemara yang tertiup angin, tak lantas membuatnya roboh, tetapi tetap saja meliuk.
Begitu pula gedung tinggi. Goyangan itu terjadi karena masalah stiffness atau kekakuan.
Selain itu, kekakuan juga diperlukan untuk menjaga integritas materi bangunan. Sebab,
meski tetap berdiri kokoh ketika bergoyang, material seperti kaca yang menempel bisa
saja terlepas.
http://njkontraktor.com/apartemen-the-peak-jakarta-part-1/
Masalah kekakuan saat ini masih jarang diperhatikan di Indonesia, meski sudah umum
di dunia konstruksi. Untuk mengatasi masalah kekakuan ini, Davy menerapkan sistem
konstruksi corewall dan sistem outrigger. Corewall sendiri bukan barang baru. Struktur
inti gedung tingkat tinggi ini berupa dinding beton dengan ketebalan tertentu dan
berfungsi untuk mengikat lantai. Sedangkan outrigger adalah struktur pengaku yang
berupa lengan yang terikat pada corewall hingga kolom terluar bangunan. Prinsipnya
seperti perahu layar. Tiang layar adalah intinya, kemudian balok-balok silang dan
layarnya adalah outrigger-nya. Sedangkan tali-tali layar yang diikatkan pada pasak
adalah kolom outrigger-nya. Dengan kata lain, sistem ini memanfaatkan lebar bangunan
untuk memaksimalkan kekakuan. Sistem struktur semacam itu sebenarnya sudah
diterapkan sejak 1970. Pertama kali dengan menggunakan baja. Baru pada 1990-an
The Peak berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta dan telah menjadi ikon kota Jakarta
sebagai gedung tertinggi di Indonesia. The Peak sendiri didesain oleh DP Architects dari
Singapura dan pembangunannya selesai dalam kurun waktu 5 tahun (2003-2007). Untuk
konsultan strukturnya, bangunan milik Agung Podomoro Group ini menggandeng Davy
Sukamta & Partner. Di bagian atasnya terdapat ruang observasi yang khusus diperuntukkan
bagi para penghuni apartemen ini.
Berdiri setinggi 265 m (termasuk antena), The Peak memiliki empat menara, 2 menara
kembar dengan masing-masing setinggi 35 lantai dan 55 lantai. Apartemen ini menggunakan
struktur beton bertulang yang sengaja didesain dengan mempertimbangkan gravitasi, beban
gempa dan angin, serta efek-efek lingkungan lainnya. Secara struktural, gedung dengan 55
lantai merupakan struktur yang ramping, oleh karena itu diperlukan solusi inovatif untuk
menjamin kestabilan bangunan. Dengan rasio kelangsingan 1:8, kekakuan bangunan menjadi
faktor utama dalam desain.
Menara The Peak ini sendiri telah didesain untuk menghadapi beban gempa kala ulang 500
tahunan berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan beban angin 100 tahunan. Fasilitas dari the
Boundary Layer Wind Tunnel Laboratory Canada telah melakukan uji coba perilaku
bangunan terhadap angin kuat dan terbukti bahwa gedung ini merespon dengan baik.
Percepatan pada lantai teratas dengan beban angin 10 tahunan sebesar 9.6 mg, jauh dibawah
kriteria maksimal internasional 15 mg, untuk memastikan kenyamanan penghuni.
Dengan keunikan dan fasilitas yang lengkap, The Peak telah mencatatkan diri menjadi salah
satu dari 50 Apartemen Terbaik di Dunia versi Images Publishing Australia.
Belum Diperiksa
Lompat ke: navigasi, cari
2003
Selesai
2007
Eksterior
Letak
Alamat
Atap
Puncak
Tingkat
55 dan 35
Perusahaan
Agung Podomoro
Dek Pengamatan
Ya (hanya menara penghunian)
Dibuka
2006
https://id.wikipedia.org/wiki/The_Peak_Twin_Towers