Bpk. S
61 tahun
: Laki - laki
Menikah, 4 anak
: Binong
SMP
pengangguran
00-66-51-XX
Riwayat Keluarga
Kedua orang tua pasien sudah meninggal, ayah dari pasien menderita
penyakit diabetes dan ibunya meninggal akibat penyakit jantung.
Riwayat alergi
Pasien mengatakan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi.
Riwayat lain
Pasien menyangkal memiliki penyakit jantung, hati dan ginjal. Pasien
menyatakan bahwa ia sudah berhenti merokok sejak ia dirawat inap,
sebelumnya ia dapat menghabiskan 2 bungkus rokok per harinya. Pasien
menyangkal bahwa ia sering mengonsumsi alkohol dan mengonsumsi
NAPZA.
Reaksi Pasien
Feeling
: pasien merasa tidak nyaman karena selalu mual dan
muntah.
Idea
: pasien merasa ini diakibatkan karena ia sedang sakit TB.
Function
: hal ini menggangu aktivitas.
Expectation : pasien ingin nafsu makannya kembali.
III. Pemeriksaan Fisik (23 Agustus 2015)
a) Tanda-tanda Vital : Tekanan Darah
: Denyut Jantung
: Laju Nafas
: Suhu tubuh
= 140/100 mmHg
= 88x/menit
= 16x/menit
= 36.4C (di axilla)
:
2
A. paru
Inspeksi : tidak tampak luka atau perubahan warna, tidak tampak
lesi, gerak nafas dada kanan kiri simetris, tidak terdapat retraksi
otot-otot nafas tambahan.
Palpasi : tactile fracmitus normal
Perkusi : semua lapang paru sonor
Auskultasi: Kedua lapang paru-paru terdengar suara vesicular,
wheezing (-/-) dan ronki (-/-)
B. Jantung
Inspeksi : tidak tampak luka atau perubahan warna, tidak ada
penggunaan pacemaker, tidak terlihat pengangkatan ictus cordis
Palpasi : tidak teraba pengangkatan ictus cordis
Perkusi : Batas kanan jantung adalah ICS 4 garis parasternal
kanan, batas kiri jantung adalah ICS 4 garis midclavicula kiri,
batas atas jantung adalah ICS2 garis parasternalis kiri. Tidak ada
tanda pembesaran jantung.
Auskultasi : S1&S2 reguler, tidak terdapat suara jantung
tambahan yaitu murmur, gallop, dll.
j) Abdomen
:
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus 16x/ menit
Perkusi : terdapat bunyi timpani pada seluruh quadran
Palpasi : tidak terdapat nyeri pada seluruh quadran, tidak ada
pembesaran hepar
k) Extremitas
:
- tidak ada deformitas
- lengan kanan sudah diamputasi
- pemeriksaan sensorik :
a. Sentuhan ringan : pergelangan kaki sampai jari merasakan
sentuhan, pergelangan tangan sampai jari masih merasakan
sentuhan
b. Sensasi nyeri : pergelangan kaki sampai jari masih merasakan
nyeri, pergelangan tangan sampai jari masih merasakan nyeri
c. Propriosepsi (sensasi posisi) : sensasi posisi dari jari kaki benar,
sensasi posisi dari jari tangan benar
Pemeriksaan fisik (25 Agustus 2015)
a) Tanda-tanda Vital
:
:
:
:
Tekanan Darah
Denyut Jantung
Laju Nafas
Suhu tubuh
= 140/80 mmHg
= 88x/menit
= 16x/menit
= 36.8C (di axilla)
: Tekanan Darah
: Denyut Jantung
: Laju Nafas
= 120/70 mmHg
= 80x/menit
= 16x/menit
3
Unit
Nilai Normal
g/dL
%
x 106/uL
x 106/uL
x 103/uL
13.2 17.3
40 52
4.4 5.9
3.8 10.6
150 440
fL
Pg
g/dL
80 100
26 34
32 36
U/L
U/L
5 34
0 55
mg/dL
mg/dL
mL /
1,73m2
<50
0.5 1.3
>60
mnt
2.48
1.64
0.84
mg/dL
mg/dL
mg/dL
0.2 1.2
0 0.3
0 0.7
137
3.5
101
mmol/L
mmol/L
mmol/L
137 - 145
3.6 5.0
98 - 107
U/L
U/L
5 34
0 55
SGOT SGPT
SGOT (AST)
27
U/L
SGPT (ALT)
116
U/L
Pemeriksaan darah 9 September 2015
5 34
0 55
54
195
Bilirubin
Total
0.53
mg/dL
0.2 1.2
4
Direct
Indirect
0.37
0.16
mg/dL
mg/dL
0 0.3
0 0.7
SGOT SGPT
SGOT (AST)
SGPT (ALT)
22
30
U/L
U/L
5 34
0 55
0.6
0.2
0.4
mg/dL
mg/dL
mg/dL
0.2 1.2
0 0.3
0 0.7
SGOT SGPT
SGOT (AST)
SGPT (ALT)
19
23
U/L
U/L
5 34
0 55
Hasil
198
211
200
86
142
136
167
264
160
162
Unit
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
Nilai Normal
<200
<200
<200
<200
<200
<200
<200
<200
<200
<200
Hasil
Negatif
Negatif
Normal
Negatif
Negatif
normal,
tak
tampak
tanda
Spleen
Besar dan bentuk normal, eko parenkim homogeny, tak tampak SOL.
Vena lienalis dalam batas normal.
Pankreas
Besar, bentuk dan permukaan normal, eko parenkim homogeny, tak
tampak SOL.
Tak tampak pelebaran duktus pankreatikus mayor.
Kesan : Kista renal dextra
Kista hepar
Organ organ intraabdominal lainnya dalam batas normal
V. Terapi
Medika Mentosa
1. Hepatitis induced drug (18 Agustus 27 Agustus)
a. curcuma 3x200 mg
b. domperidon 3 x10 mg
c. STOP OAT
6
d. NGT
follow up pertama (9 September 2015)
a. izoniazid 300 mg
b. etambutol 1000 mg
follow up kedua (18 September 2015)
a. etambutol 1000 mg
b. rifampisin 150 mg
c. izoniazid 300 mg
2. Diabetes Melitus tipe 2 : metformin 3x 500 mg
3. Hipertensi : amlodipine 1x10 mg
Gizi
Intervensi gizi : diet biasa DM rendah garam, 1300 kalori
Komposisi zat gizi : protein = 15 % lemak = 15 % karbohidrat = 70%
Cara pemberian : oral
VI. Analisa Pasien
Diagnosis Kerja
:
1. hepatitis induced drug
2. TB paru kambuh
3. DM tipe 2
4. Hipertensi esensial stage 1
Faktor pendukung :
1. Gejala hepatitis dimulai sejak 1 minggu penggunaan obat OAT yang
hepatotoksik.
2. Pasien pernah menderita TB paru sebelumnya pada tahun 1980.
3. Pasien pernah didiagnosis DM tipe karena gula darah sewaktunya >200
mg/dL.
4. Tekanan darah sistol pasien rata rata yaitu 140 mmHg.
Diagnosis banding :
1. hepatitis viral : B dan C
Hepatitis viral dan hepatitis induced drug sulit dibedakan dari klinis saja.
Kontra : hasil laboratorium normal
VII. Resume
Pasien dirawat di RSUS Siloam sejak tangal 23 Agustus 2015. Pasien
datang dengan keluhan mual dan muntah sehingga ia merasa lemas.
Pasien mulai mual dan muntah sejak mengkonsumsi obat OAT selama 1
minggu. Pasien sudah mengalami keluhan ini sejak 2 minggu yang lalu,
kini ia sudah pada minggu ke 3 dari pengobatan TB parunya. Pasien sudah
pernah terkena TB paru sebelumnya pada tahun 1980. Pasien muntah
sebanyak 2 3 kali per harinya. Muntahnya berisi makanan, ia tidak
memperhatikan warna muntahnya. Pasien mengeluhkan bahwa nafsu
makannya turun, ia selalu mual dan muntah setiap makan, ia hanya
mengonsumsi roti tawar 2 kali dalam sehari. Pasien mengaku bahwa ia
7
VIII. Prognosis
1. Que ad vitam
: dubia ad bonam
2. Que ad fungsionam : dubia ad bonam
3. Que ad sanationam : bonam
normal. Pasien yang sudah memiliki penyakit hati dan sirosis umumnya lebih
mudah menjadi jaundice pada terapi dengan rifampisin.[4]
Mekanisme hepatotoxicity dari rifampisin belum jelas diketahui, namun obat ini
secara ekstensif dimetabolisme oleh hati dan memicu banyak enzim dari hati
termasuk CYP 3A4 dan ABC C2 (MRP2). Penyebab kerusakan hati yaitu akibat
produk metabolik idiosinkratik yang dapat merupakan racun secara langsung
atau merangsang reaksi imun. [4] Rifampisin dapat menginhibisi pompa ekspor
dari mayor bile salt, hal ini dapat menyebabkan conjugated hyperbilirubinemia.
Peningkatan bilirubin yang tanpa gejala juga dapat disebabkan oleh kompetisi
dose-dependent dengan bilirubin untuk keluar dari membran sinusoidal atau dari
sekresi di canalicular. [11]
Karena rifampisin biasanya diberikan dalam kombinasi dengan isoniazid dan /
atau pirazinamid, dua agen hepatotoksik lainnya maka sulit dibedakan obat yang
merupakan
penyebab dari kerusakan hati yang ditimbulkan. Umumnya
kerusakan hati akibat rifampisin timbul dalam 1-6 minggu, tetapi telah
dilaporkan juga jangka waktu yang lebih lama. [4]
Isoniazid
Isoniazid masih merupakan pengobatan profilaksis dan terapetik regimen
antituberkulosis yang menjadi pilihan utama, walaupun sejak lama dikenal
dengan sifat hepatotoxic nya. Pada 10% pasien yang menerima pengobatan INH,
peningkatan serum aminotransferase terjadi pada minggu - minggu awal
pemberian terapi; namun, pada kebanyakan kasus, peningkatan ALT ini bersifat
self-limited, ringan (ALT <200 IU/L), dan dapat membaik dengan penghentian
terapi. Respon adaptif ini memungkinkan untuk dilanjutkannya terapi dengan
agen yang sama apabila tidak diikuti gejala dan peningkatan enzim liver yang
progresif pada terapi pertama. Acute Hepatocellular drug-induced liver injury
karena INH tetap terjadi dengan rentan waktu yang bervariasi hingga 6 bulan
dan lebih sering pada kaum alkoholik, dan pasien yang mengonsumsi obat
lainnya, seperti barbiturate, rifampicin, dan pyrazinamide. Jika ambang klinis
encephalopathy tercapai, kerusakan hepar berat akan cenderung menjadi fatal
atau bahkan hingga memerlukan transplantasi hepar. Biopsi hepar menunjukan
perubahan morfologis yang mirip dengan viral hepatitis atau bridging hepatic
necrosis. Kerusakan liver yang signifikan bergantung pada usia, meningkat
dengan signifikan pada usia diatas 35 tahun; dan frekuensi tertinggi terdapat
pada golongan usia >50 tahun, dan terendah pada golongan usia <20 tahun.
Walaupun pemberian terapi pada pasien usia >50 tahun sangat dimonitor,
hepatotoxic tetap terjadi pada ~2%. Demam, rash, eosinophilia, dan manifestasi
lainnya dari alergi obat sangat jarang terjadi. Belakangan ini, antibody terhadap
INH terdeteksi pada resipien INH, namun hubungannya dengan kerusakan liver
masih belum diketahui secara jelas. Gambaran klinis yang mirip hepatitis kronis
sudah diobservasi pada beberapa pasien. Banyak program kesehatan
masyarakat yang memerlukan profilaksis INH untuk uji tuberculin yang atau test
QuantiFERON yag positif mencakup pemantauan aminotransferase rutin per
bulannya. Bahkan untuk lebih efektif dalam menangani outcome yang serius,
10
dapat juga mengingatkan pasien untuk lebih waspada terhadap gejala seperti
mual, lelah (fatigue), atau jaundice, karena kebanyakan dikarenakan
penggunaan INH yang diteruskan meskipun sudah terdapat gejala. [1]
Pyrazinamide
Pirazinamid adalah obat antituberkulosis lini pertama, tetapi hanya digunakan
dalam kombinasi dengan obat antituberkulosis lain seperti isoniazid atau
rifampin. Pirazinamid dikaitkan dengan peningkatan sementara dan
asimptomatik dari serum aminotransferase. Pirazinamid merupakan penyebab
yang cukup terkenal memunculkan cedera hati akut yang dapat menjadi parah
dan bahkan fatal. [5]
Peningkatan dari serum aminotransferase umumnya kurang dari 5 kali lipat dari
batas atas dari nilai normal. Akibat pirazinamid digunakan hanya dengan
kombinasi obat TB lainnya, kontribusinya terhadap peningkatan enzim belum
terlalu jelas, namun sering dicurigai sebagai penyebab peningkatan enzim.
Pengunaan kombinasi obat dengan rifampisin dan pyrazynamide untuk latent
tuberkulosis selama 2 bulan sudah ditinggalkan karena sering menyebabkan
kerusakan hati yang berat. Onset dari kerusakan hati tersebut umumnya mulai
setelah 4 8 minggu dan terkadang terlihat lebih jelas saat obat dihentikan. Pola
kenaikan enzim hati biasanya hepatoseluler dan sindrom klinis menyerupai
hepatitis virus akut, seperti hepatotoksisitas isoniazid.[5]
Mekanisme dari kerusakan liver oleh pyrazinamide belum diketahui, namun obat
ini dimetabolisme di hati dan kerusakan dapat disebabkan oleh metabolic
intermediate. Hepatotoksik dari pyrazinamide umumnya muncul lebih sering
pada dosis yang tinggi, hal ini memunculkan anggapan bahwa pyrazinamide
memiliki efek toksik langsung.[5]
Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa pengobatan preventif dengan
kombinasi obat rifampicin dan pirazinamid menyebabkan hepatotoksik yang
parah dibandingkan pengobatan preventif dengan isoniazid. [13]
Managemen Hepatitis induced drug
Bila muncul gejala klinik yaitu ikterik, mual dan muntah maka OAT perlu
diberhentikan. Bila gejala klinis muncul dan SGOT, SGPT lebih besar 3 kali lipat
maka OAT juga perlu diberhentikan. Bila tidak terdapat gejala klinis namun
bilirubin > 2, atau SGOT, SGPT lebih besar 5 kali maka OAT perlu diberhentikan.
Bila tidak SGOT, SGPT lebih besar 3 kali lipat namun tidak ada gejala, OAT dapat
dilanjutkan namun dengan pengawasan. [12]
Setelah OAT diberhentikan, bila klinik dan hasil laboratorium kembali normal
(SGOT, SGPT, bilirubin) maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan
dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat
11
Gambar
1.
alur
berdasarkan ATS [2]
managemen
2. Tuberkulosis paru
Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan lokasinya yaitu paru dan
esktra paru. Tuberkulosis paru merupakan penyakit TB yang menyerang jaringan
paru.[7]
Etiologi
12
Patofisiologi
Mycobacterium tuberculosis yang sudah masuk karena terhirup oleh udara
umumnya bersarang pada lobus atas paru. Setelah itu mikroorganisme tersebut
akan memperbanya diri dan menyebabkan inflamasi yang tidak spesifik.
Beberapa organisme akan migrasi melalui limf dan bersarang di kelenjar getah
bening, dimana mereka akan bertemu limfosit dan menginisiasi respon imun. [3]
Inflamasi di paru menyebabkan neutrofil dan makrofag migrasi ke area tersebut.
Sel sel tersebut merupakan fagosit yang menelan bakteri. Mycobacterium
tuberculosis tersebut akan bertahan di dalam makrofag melawan pembunuhan
oleh lisosom dan justru bertambah banyak di dalam sel. Sebagai perlawan,
makrofag dan limfosit akan mengeluarkan inferferon yang menginhibisi replikasi
mikroorganisme tersebut dan menstimulasi lebih banyak makrofag untuk
melawan. Makrofag yang sudah terinfeksi yang apoptosis akan mengaktifasi sel
cytotoxic T (CD8). Neutrofil, limfosit, dan makrofag bersama koloni bacilli akan
membentuk lesi granuloma yang disebut tuberkel. Jaringan yang terinfeksi dalam
tuberkel akan mati dan membentuk gambaran seperti perkejuan yang disebut
caseation necrosis. Jaringan collagenous scar akan bertumbuh di sekitar tuberkel
untuk mengisolasi bacilli. Respon imun akan selesai setelah 10 hari, mencegah
lanjutan multiplikasi dari mikroorganisme tersebut.[3]
Bila bacilli sudah terisolasi di tuberkel dan imunitas sudah berkembang, maka TB
akan menetap sebagai dormant pada hidup individu tersebut. Namun bila sistem
imun dari individu tersebut terganggu maka bacilli yang hidup dapat melarikan
diri ke bronkus dan menyebabkan active disease, dan dapat menyebar lewat
darah dan limf ke organ lain. [3]
Manifestasi Klinik
Pada TB paru terdapat gambaran klinik lainnya yaitu gejala respiratorik seperti
batuk lebih dari 3 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala
respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Selain itu, TB paru juga menimbulkan
gejala sistemik seperti demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat
badan menurun. [6] TB paru primer juga dapat tidak menimbulkan gejala. [1]
Pengobatan TB paru
Obat untuk penyakit TB paru disebut OAT (Obat Anti Tuberkulosis). OAT terdiri
dari obat lini 1 atau obat utama seperti Rifampisin, INH, Pirazinamid,
Streptomisin, Etambutol dan obat lini 2 seperti Kanamisin, Kuinolon, Derivat
rifampisin dan INH serta Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid,
amoksilin dan asam klavulanat. [6]
Dosis OAT :
13
Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :BB
>60kg : 1500 mg BB 40 -60 kg : 1000 mgBB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali.
Kombinasi obat tetap yang ada yaitu Empat obat antituberkulosis dalam satu
tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan
etambutol 275 mg dan tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu
rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg. [6]
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari
pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan yaitu 3 RHZE / 6
RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat yaitu 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB). [6]
3. Diabetes mellitus tipe 2
Definisi
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan kumpulan gangguan yang heterogen
yang ditandai oleh derajat resistensi insulin yang bermacam, gangguan sekresi
insulin, dan peningkatan produksi glukosa. DM tipe 2 juga memiliki istilah lain
yaitu insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) karena kebanyakan penderita
DM tipe 2 memerlukan terapi insulin untuk mengontrol kadar gula darahnya. [1]
Etiologi
Penyebab dari DM tipe 2 adalah interaksi kompleks antara genetik dan faktor
lingkungan. DM tipe 2 memiliki kompenen genetik yang kuat, bila kedua orang
tua memiliki DM tipe 2 maka anaknya memiliki resiko 40% untuk mengidap
penyakit yang sama. [1]
Patofisiologi
14
4. Hipertensi esensial
Definisi
Hipertensi esensial adalah tekanan darah tinggi yang tidak ditemukan
penyebabnya, atau idiopatik. 90% dari penderita hipertensi tergolong hipertensi
esensial. Umumnya onset dari hipertensi esensial yaitu berkisar 20 50 tahun. [9]
Patofisiologi
Hereditas berpengaruh besar terhadap patofisiologi dari hipertensi esensial,
karena menurut bukti yang ada, orang yang merupakan first degree relatives
dari penderita hipertensi berpotensi lebih besar memiliki tekanan darah tinggi.
15
Pada kembar genetik dari orang yang memiliki hipertensi juga memiliki potensi
yang lebih besar dibandingkan kembar yang dizigot. Namun hingga kini, belum
ditemukan gen yang benar benar memiliki pengaruh terhadap hipertensi. [9]
Diagnosis
[10]
Daftar Pustaka
1. Harrison T, Longo D, Kasper D, Jameson J, Fauci A, Hauser S et al.
Harrison's principal of internal medicine. 18th ed. United State of America:
McGraw-Hill; 2012.
2. Kusmiati T, Puja Yasa I. TB Health Service in JKN Era. Workshop II TB
Update VIII. 2015. p. 15 - 18.
3. McCance K, Parkinson C. Study guide for Pathophysiology, the biologic
basis for disease in adults and children, sixth edition. St. Louis, Mo.:
Mosby; 2010.
4. Livertox.nih.gov. Rifampin [Internet]. 2015 [cited 1 September 2015].
Available from: http://livertox.nih.gov/Rifampin.htm
5. Livertox.nih.gov. Pyrazinamide [Internet]. 2015 [cited 21 September
2015]. Available from: http://livertox.nih.gov/Pyrazinamide.htm
6. Perhimpunan
Dokter Paru
Indonesia. Pedoman
Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia ;2002.
7. Blanca R, Aulasa C. Cross-sectional assessment reveals high diabetes
prevalence among newly-diagnosed tuberculosis cases [Internet]. WHO.
2011
[cited
7
October
2014].
Available
from:
http://www.who.int/bulletin/volumes/89/5/10-085738/en /index.htm.
8. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care. 2010
Jan. 33 Suppl 1:S62-9
9. Lilly L. Pathophysiology of heart disease. Baltimore, MD: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
10.U.S. DEPARTMENT OF HEALTH AND HUMAN SE RVICES National Institutes of
Health National Heart, Lung, and Blood Institute. The Seventh Report of
the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication; 2004.
11.AMERICAN JOURNAL OF RESPIRATORY AND CRITICAL CARE MEDICINE.
2006;174.
12. Van Hest R e. Hepatotoxicity of rifampin-pyrazinamide and isoniazid
preventive therapy and tuberculosis treatment. - PubMed - NCBI [Internet].
16
17