Anda di halaman 1dari 17

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Catherine Ranatan - 07120120024

Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam


ICM 1
Tinjauan Kasus
I. Identitas Pasien
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
Status perkawinan :
Alamat
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan
:
No. Regis
:

Bpk. S
61 tahun
: Laki - laki
Menikah, 4 anak
: Binong
SMP
pengangguran
00-66-51-XX

II. Anamnesa Pasien (autoanamnesis)


Tanggal Pemeriksaan
: 24 Agustus 2015; pukul 9.10 WIB
Keluhan Utama
: mual dan muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan bahwa ia mual dan muntah sejak 2 minggu yang lalu.
Ia muntah sebanyak 2 3 kali per harinya. Muntahnya berisi makanan, ia
tidak memperhatikan warna muntahnya. Pasien mengeluhkan bahwa
nafsu makannya turun, ia selalu mual dan muntah setiap makan. Selama 2
minggu ini, pasien hanya makan 2 kali dalam 1 hari, pasien selalu
mengonsumsi roti tawar. Pasien menyatakan bahwa ia jarang makan
karena ia selalu mual dan muntah setiap makan. Pasien menyadari bahwa
ada penurunan berat badan namun ia tidak mengukur beratnya, pasien
merasa bahwa ukuran baju dan celananya semakin mengecil. Pasien
menyatakan bahwa ia merasa lemas sampai tidak kuat duduk dan berdiri.
Pasien menyatakan bahwa tidak ada masalah pada buang air kecil namun
air seninya bewarna merah. Pasien menyangkal ada demam. Pasien juga
menyatakan bahwa ia tidak merasa kulit tubuhnya menjadi kuning. Pada 1
minggu sebelum masuk rawat inap, pasien pernah dirawat selama 1 hari
di klinik dekat rumahnya karena pasien lemas, ia mengaku diberikan
cairan lewat infus. Pasien mengeluhkan batuk kering selama 1 bulan,
pasien mengaku sedang dalam pengobatan TB paru yang sudah berjalan
selama 3 minggu. Pasien mendapatkan pengobatan TB paru yaitu
pirazinamid, rifampicin, dan ethambutol (400/150/215 mg)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah pernah memiliki riwayat TB paru sebelumnya pada tahun
1980. Pasien dulu diberikan pengobatan RHZE (150/75/400/275 mg), 1x3
tab. Pasien pernah didiagnosis DM tipe 2 pada bulan Juni 2015, ia
diberikan obat metformin namun tidak diminum secara rutin. Pasien juga
sudah didiagnosis hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, ia diberikan obat
captopril namun ia juga tidak meminum secara rutin. Pasien pernah
mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan lengan kanannya
harus diamputasi.
1

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

Riwayat Keluarga
Kedua orang tua pasien sudah meninggal, ayah dari pasien menderita
penyakit diabetes dan ibunya meninggal akibat penyakit jantung.
Riwayat alergi
Pasien mengatakan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi.
Riwayat lain
Pasien menyangkal memiliki penyakit jantung, hati dan ginjal. Pasien
menyatakan bahwa ia sudah berhenti merokok sejak ia dirawat inap,
sebelumnya ia dapat menghabiskan 2 bungkus rokok per harinya. Pasien
menyangkal bahwa ia sering mengonsumsi alkohol dan mengonsumsi
NAPZA.
Reaksi Pasien
Feeling
: pasien merasa tidak nyaman karena selalu mual dan
muntah.
Idea
: pasien merasa ini diakibatkan karena ia sedang sakit TB.
Function
: hal ini menggangu aktivitas.
Expectation : pasien ingin nafsu makannya kembali.
III. Pemeriksaan Fisik (23 Agustus 2015)
a) Tanda-tanda Vital : Tekanan Darah
: Denyut Jantung
: Laju Nafas
: Suhu tubuh

= 140/100 mmHg
= 88x/menit
= 16x/menit
= 36.4C (di axilla)

Pemeriksaan fisik (24 Agustus 2015)


a) Keadaan Umum
: Pasien tampak sehat
b) Kesadaran
: Compos Mentis
c) Berat Badan
: 49 kg
d) Tinggi Badan
: 171 cm
e) BMI (Body Mass Index) : 16.8
a) Tanda-tanda Vital : Tekanan Darah
= 140/90 mmHg
: Denyut Jantung = 80x/menit
: Laju Nafas
= 20x/menit
: Suhu tubuh
= 36C (di axilla)
f) Kepala/Leher
: rambut hitam dan sedikit putih
: tidak ada deformitas, tidak ada bekas
luka/operasi
: tidak ada perubahan warna kulit
: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid/kelenjar
getah
bening
g) Mata
: konjungtiva tidak anemis
: sklera ikterik
: lensa tidak keruh
h) Mulut dan Faring
: mulut tidak kering
: tidak ada pendarahan gusi
: faring tidak hiperemis
i) Thorax

:
2

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

A. paru
Inspeksi : tidak tampak luka atau perubahan warna, tidak tampak
lesi, gerak nafas dada kanan kiri simetris, tidak terdapat retraksi
otot-otot nafas tambahan.
Palpasi : tactile fracmitus normal
Perkusi : semua lapang paru sonor
Auskultasi: Kedua lapang paru-paru terdengar suara vesicular,
wheezing (-/-) dan ronki (-/-)

B. Jantung
Inspeksi : tidak tampak luka atau perubahan warna, tidak ada
penggunaan pacemaker, tidak terlihat pengangkatan ictus cordis
Palpasi : tidak teraba pengangkatan ictus cordis
Perkusi : Batas kanan jantung adalah ICS 4 garis parasternal
kanan, batas kiri jantung adalah ICS 4 garis midclavicula kiri,
batas atas jantung adalah ICS2 garis parasternalis kiri. Tidak ada
tanda pembesaran jantung.
Auskultasi : S1&S2 reguler, tidak terdapat suara jantung
tambahan yaitu murmur, gallop, dll.

j) Abdomen
:
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus 16x/ menit
Perkusi : terdapat bunyi timpani pada seluruh quadran
Palpasi : tidak terdapat nyeri pada seluruh quadran, tidak ada
pembesaran hepar
k) Extremitas
:
- tidak ada deformitas
- lengan kanan sudah diamputasi
- pemeriksaan sensorik :
a. Sentuhan ringan : pergelangan kaki sampai jari merasakan
sentuhan, pergelangan tangan sampai jari masih merasakan
sentuhan
b. Sensasi nyeri : pergelangan kaki sampai jari masih merasakan
nyeri, pergelangan tangan sampai jari masih merasakan nyeri
c. Propriosepsi (sensasi posisi) : sensasi posisi dari jari kaki benar,
sensasi posisi dari jari tangan benar
Pemeriksaan fisik (25 Agustus 2015)
a) Tanda-tanda Vital

:
:
:
:

Tekanan Darah
Denyut Jantung
Laju Nafas
Suhu tubuh

= 140/80 mmHg
= 88x/menit
= 16x/menit
= 36.8C (di axilla)

Pemeriksaan fisik (26 Agustus 2015)


a) Tanda-tanda Vital

: Tekanan Darah
: Denyut Jantung
: Laju Nafas

= 120/70 mmHg
= 80x/menit
= 16x/menit
3

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

IV. Pemeriksaan Penunjang


Untuk membantu menegakkan diagnosis pemeriksaan penunjang yang
perlu dilakukan adalah:
a. laboratorium
Pemeriksaan darah 23 Agustus 2015
pemeriksaan
Hasil
Pemeriksaan Darah Lengkap
Hemoglobin
13.5
Hematocrit
41.6
Eritrosit
5.22
Leukosit
5.34
Platelet Count
367
MCV, MCH, MCHC
MCV
79.7
MCH
25.9
MCHC
32.5
Kimia darah
SGOT SGPT
SGOT (AST)
279
SGPT (ALT)
296
Fungsi Ginjal
Ureum
23
Creatinine
0.65
eGFR
133
Bilirubin
Total
Direct
Indirect
Elektrolit
Sodium (Na)
Potasium (K)
Chloride (Cl)

Unit

Nilai Normal

g/dL
%
x 106/uL
x 106/uL
x 103/uL

13.2 17.3
40 52
4.4 5.9
3.8 10.6
150 440

fL
Pg
g/dL

80 100
26 34
32 36

U/L
U/L

5 34
0 55

mg/dL
mg/dL
mL /
1,73m2

<50
0.5 1.3
>60

mnt

2.48
1.64
0.84

mg/dL
mg/dL
mg/dL

0.2 1.2
0 0.3
0 0.7

137
3.5
101

mmol/L
mmol/L
mmol/L

137 - 145
3.6 5.0
98 - 107

U/L
U/L

5 34
0 55

SGOT SGPT
SGOT (AST)
27
U/L
SGPT (ALT)
116
U/L
Pemeriksaan darah 9 September 2015

5 34
0 55

Pemeriksaan darah 26 Agustus 2015


SGOT SGPT
SGOT (AST)
SGPT (ALT)

54
195

Pemeriksaan darah 28 Agustus 2015

Bilirubin
Total

0.53

mg/dL

0.2 1.2
4

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

Direct
Indirect

0.37
0.16

mg/dL
mg/dL

0 0.3
0 0.7

SGOT SGPT
SGOT (AST)
SGPT (ALT)

22
30

U/L
U/L

5 34
0 55

Pemeriksaan darah 17 September 2015


Bilirubin
Total
Direct
Indirect

0.6
0.2
0.4

mg/dL
mg/dL
mg/dL

0.2 1.2
0 0.3
0 0.7

SGOT SGPT
SGOT (AST)
SGPT (ALT)

19
23

U/L
U/L

5 34
0 55

Pemeriksaan Gula Darah


Waktu Pemeriksaan
23/08/2015 @10:00
23/08/2015 @12:00
23/08/2015 @18:00
24/08/2015 @06:00
25/08/2015 @06:00
26/08/2015 @06:00
26/08/2015 @12:00
26/08/2015 @18:00
27/08/2015 @06:00
28/08/2015 @05:00

Hasil
198
211
200
86
142
136
167
264
160
162

Unit
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL

Nilai Normal
<200
<200
<200
<200
<200
<200
<200
<200
<200
<200

Rapid Test (27 Agustus 2015)


Nama Pemeriksaan
HBsAg
Anti HCV

Hasil
Negatif
Negatif

Normal
Negatif
Negatif

b. pemeriksaan foto thorax


Thorax AP/PA
Kedua sinus constophrenicus dan diafragma normal
5

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

Cor : CTR <50%


Aorta : baik
Hilus, pleura, dan mediastinum baik
Pulmo : tampak fibroinfiltrat pada lapangan atas dan tengah paru
bilateral
Tulang tulang dada baik
Kesan : Cor normal
TB paru lama aktif
c. pemeriksaan USG
Hasil pemeriksaan USG : (26 Agustus 2015)
Hepar
Besar dan bentuk normal, permukaan rata, liver tip tajam, eko parenkim
homogeny. Tampak lesi kistik (diameter +/- 2.08 cm)
Struktur vascular dan biliaris intra/ekstrahepatik normal
Vesica Fellea
Besar, bentuk dan dinding normal, tak tampak batu/sludge/S.O.L
Renal dextra
Ukuran, bentuk dan permukaan normal, tak tampak tanda
bendungan/batu. Tampak lesi kistik pada pole atas (diameter +/- 1,67
cm)
Ratio parenkim sentral refleks normal
Renal sinistra
Ukuran, bentuk dan permukaan
bendungan/batu.
Ratio parenkim sentral refleks normal

normal,

tak

tampak

tanda

Spleen
Besar dan bentuk normal, eko parenkim homogeny, tak tampak SOL.
Vena lienalis dalam batas normal.
Pankreas
Besar, bentuk dan permukaan normal, eko parenkim homogeny, tak
tampak SOL.
Tak tampak pelebaran duktus pankreatikus mayor.
Kesan : Kista renal dextra
Kista hepar
Organ organ intraabdominal lainnya dalam batas normal

V. Terapi
Medika Mentosa
1. Hepatitis induced drug (18 Agustus 27 Agustus)
a. curcuma 3x200 mg
b. domperidon 3 x10 mg
c. STOP OAT
6

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

d. NGT
follow up pertama (9 September 2015)
a. izoniazid 300 mg
b. etambutol 1000 mg
follow up kedua (18 September 2015)
a. etambutol 1000 mg
b. rifampisin 150 mg
c. izoniazid 300 mg
2. Diabetes Melitus tipe 2 : metformin 3x 500 mg
3. Hipertensi : amlodipine 1x10 mg
Gizi
Intervensi gizi : diet biasa DM rendah garam, 1300 kalori
Komposisi zat gizi : protein = 15 % lemak = 15 % karbohidrat = 70%
Cara pemberian : oral
VI. Analisa Pasien
Diagnosis Kerja
:
1. hepatitis induced drug
2. TB paru kambuh
3. DM tipe 2
4. Hipertensi esensial stage 1
Faktor pendukung :
1. Gejala hepatitis dimulai sejak 1 minggu penggunaan obat OAT yang
hepatotoksik.
2. Pasien pernah menderita TB paru sebelumnya pada tahun 1980.
3. Pasien pernah didiagnosis DM tipe karena gula darah sewaktunya >200
mg/dL.
4. Tekanan darah sistol pasien rata rata yaitu 140 mmHg.
Diagnosis banding :
1. hepatitis viral : B dan C
Hepatitis viral dan hepatitis induced drug sulit dibedakan dari klinis saja.
Kontra : hasil laboratorium normal

VII. Resume
Pasien dirawat di RSUS Siloam sejak tangal 23 Agustus 2015. Pasien
datang dengan keluhan mual dan muntah sehingga ia merasa lemas.
Pasien mulai mual dan muntah sejak mengkonsumsi obat OAT selama 1
minggu. Pasien sudah mengalami keluhan ini sejak 2 minggu yang lalu,
kini ia sudah pada minggu ke 3 dari pengobatan TB parunya. Pasien sudah
pernah terkena TB paru sebelumnya pada tahun 1980. Pasien muntah
sebanyak 2 3 kali per harinya. Muntahnya berisi makanan, ia tidak
memperhatikan warna muntahnya. Pasien mengeluhkan bahwa nafsu
makannya turun, ia selalu mual dan muntah setiap makan, ia hanya
mengonsumsi roti tawar 2 kali dalam sehari. Pasien mengaku bahwa ia
7

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

mengalami penurunan berat badan. Pasien memiliki riwayat DM tipe 2 dan


hipertensi. Setelah pemberhentian OAT, sehari setelahnya nafsu makan
pasien meningkat, ia bahkan sudah mengonsumsi nasi. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan bahwa sklera pasien ikterik, wheezing dan ronki (-/-), dan
tidak ada pembesaran hepar. Pasien keluar dari rumah sakit pada tanggal
28 Agustus 2015.

VIII. Prognosis
1. Que ad vitam
: dubia ad bonam
2. Que ad fungsionam : dubia ad bonam
3. Que ad sanationam : bonam

LITERATUR MENGENAI PENYAKIT


1. Hepatitis induced drug
Hepatitis dapat disebabkan oleh obat obatan. Di antara pasien dengan gagal
hati akut, kerusakan hati akibat obat merupakan penyebab dari mayoritas kasus,
dan keracunan hati terjadi akibat penelantararan dari banyak obat baru pada
saat dikembangkan. Obat hepatotoksik dapat melukai hepatosit secara langsung
(via radikal bebas atau mediasi metabolit yang menyebabkan peroksidasi lipid
membrane dan berakhir dengan kerusakan sel hati. Obat dan metabolitnya
dapat merusak sel membrane atau molekul selular lain, mengikat secara kovalen
ke protein intrasellular, mengaktifkan jalur apoptosis, menganggu protein export
garam bile, atau menghalau jalur biokimia atau integritas selular. Gangguan
dengan pompa kanalikular bile dapat membuat endogenous bilirubin, yang dapat
merusak hati, untuk berkumpul. Kerusakan tersebut, dapat membuat nekrosis
dari hepatosit, melukai bile ducts, menghasilkan cholestasis, atau menghalau
jalur pergerakan lipid, menginhibisi sintesis protein, atau menganggu oksidasi
mitokondrial dari asam lemak, yang mengakibatkan lactic acidosis dan
akumulasi intracellular trigliserida.[1]
Kebanyakan obat, merupakan obat larut air, yang ikut dalam banyak seri
transformasi dari metabolic hati, kulminasi dalam bentuk larut air yang cocok
untuk ekskresi renal atau biliary. Proses ini dimulai dengan oksidasi atau metilasi
yang mulanya dimediasi oleh microsomal mixed-function oxygenases
cytochrome P450 (reaksi fase I) diikuti oleh glukoronidasi atau sulfasi (reaksi fase
II) atau inaktivasi oleh glutathione. Kebanyakan hepatotoksik dari obat dimediasi
oleh fase I metabolit racun, tetapi penghilangan glutathione, menghalangi
inaktivasi dari komponen berbahaya yaitu glutathione S-transferase, yang dapat
juga berkontribusi. [1]
Secara keseluruhan, 2 tipe mayor dari chemical hepatotoxicity dapat dikenali
yaitu toksik langsung dan idiosyncratic. Hepatitis akibat racun langsung terjadi
dengan pada individu yang sudah secara regular dapat diprediksi saat terpapar
dengan agen tersebut dan tergantung dengan dosis. Periode laten antara
8

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

pemaparan dan kerusakan hati umumnya singkat (seringkali hanya beberapa


jam), walaupun manifestasi klinik dapat terlambat sampau 24 48 jam. [1]
Pada reaksi obat idiosyncratic, umumnya kejadian hepatitis jarang (1 dari 1000100000 pasien) dan sulit diprediksi. Respon tidak sejelas direct hepatotoxin yang
dipengaruhi oleh dosis dan kerusakan hati dapat terjadi kapan saja saat atau
setelah terpapar dengan obat. Tambahan yang menyulitkan untuk prediksi atau
identifikasi idiosyncratic drug hepatotoxicity adalah peningkatan sedikit,
transien, dan tidak progresif dari serum aminotransferase yang akan kembali
normal
dengan
melanjutkan
penggunaan
obat.
Adaptasi
tersebut,
mekanismenya belum diketahui, hal ini terjadi pada obat obatan seperti
isoniazid, valproate, phenytoin dan HMG CoA reduktase inhibitor (statins).
Manifestasi di ekstrahepar dari hipersensitiviti yaitu rash, arthralgia, demam,
leukositosis, dan eoshinophilia, yang terjadi pada pasien pasien dengan
reaksi obat hepatotoksik idiosinkratik, observasi ini dan ketidakpasitian dari obat
hepatotoksik idiosinkratik, berkontribusi kepada hipotesis yaitu kategori reaksi
obat ini dimediasi oleh imun. [1]
Drug induced hepatitis (DIH) akibat OAT biasanya terjadi dalam 2 bulan pertama
pengobatan walaupun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi setiap saat
selama masa pengobatan. Gambaran klinis, biokimia dan histologi dari DIH sulit
dibedakan dari virus hepatitis. OAT lini pertama yang dapat memberikan
gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z. [2]
Tabel 1. Definition of hepatotoxicity according to the WHO Adverse Drug
Reaction Terminology[2]
WHO definition of hepatotoxicity
Grade 1 (Mild)
<2,5 times ULN (ALT 51 125 U/L)
Grade 2 (Mild)
2,5 5 times ULN (ALT 126 250 U/L)
Grade 3 (Moderate)
5 10 times ULN (ALT 251 500 U/L)
Grade 4 (Severe)
>10 times ULN (ALT >500 U/L)
ALT, Alanin aminotransferase; ULN, Upper Limit of Normal
Rifampisin
Rifampisin (juga disebut sebagai rifampisin) adalah antibiotik makrosiklik dengan
aktivitas utama terhadap mycobacteria, yang biasa digunakan dalam kombinasi
dengan agen lain sebagai terapi TB. Rifampisin dikaitkan dengan peningkatan
sementara dan tanpa gejala di aminotransferase dan bilirubin serum dan
merupakan penyebab terkenal klinis jelas, penyakit hati akut yang dapat menjadi
parah dan bahkan fatal.[4]
Kerusakan hati dari rifampisin jarang terjadi. Terapi jangka panjang dengan
rifampisin dapat menimbulkan pengingkatan serum aminotransferase pada 10
20% pasien, abnormalitas yang umumnya terjadi tidak membutuhkan
penyesuaian dosis atau pemutusan obat. Pada kebanyakan pasien, kadar
bilirubin serum (baik total dan tidak langsung) meningkat selama beberapa hari
pertama terapi rifampisin, dimana mereka biasanya menurun di bawah nilai
9

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

normal. Pasien yang sudah memiliki penyakit hati dan sirosis umumnya lebih
mudah menjadi jaundice pada terapi dengan rifampisin.[4]
Mekanisme hepatotoxicity dari rifampisin belum jelas diketahui, namun obat ini
secara ekstensif dimetabolisme oleh hati dan memicu banyak enzim dari hati
termasuk CYP 3A4 dan ABC C2 (MRP2). Penyebab kerusakan hati yaitu akibat
produk metabolik idiosinkratik yang dapat merupakan racun secara langsung
atau merangsang reaksi imun. [4] Rifampisin dapat menginhibisi pompa ekspor
dari mayor bile salt, hal ini dapat menyebabkan conjugated hyperbilirubinemia.
Peningkatan bilirubin yang tanpa gejala juga dapat disebabkan oleh kompetisi
dose-dependent dengan bilirubin untuk keluar dari membran sinusoidal atau dari
sekresi di canalicular. [11]
Karena rifampisin biasanya diberikan dalam kombinasi dengan isoniazid dan /
atau pirazinamid, dua agen hepatotoksik lainnya maka sulit dibedakan obat yang
merupakan
penyebab dari kerusakan hati yang ditimbulkan. Umumnya
kerusakan hati akibat rifampisin timbul dalam 1-6 minggu, tetapi telah
dilaporkan juga jangka waktu yang lebih lama. [4]
Isoniazid
Isoniazid masih merupakan pengobatan profilaksis dan terapetik regimen
antituberkulosis yang menjadi pilihan utama, walaupun sejak lama dikenal
dengan sifat hepatotoxic nya. Pada 10% pasien yang menerima pengobatan INH,
peningkatan serum aminotransferase terjadi pada minggu - minggu awal
pemberian terapi; namun, pada kebanyakan kasus, peningkatan ALT ini bersifat
self-limited, ringan (ALT <200 IU/L), dan dapat membaik dengan penghentian
terapi. Respon adaptif ini memungkinkan untuk dilanjutkannya terapi dengan
agen yang sama apabila tidak diikuti gejala dan peningkatan enzim liver yang
progresif pada terapi pertama. Acute Hepatocellular drug-induced liver injury
karena INH tetap terjadi dengan rentan waktu yang bervariasi hingga 6 bulan
dan lebih sering pada kaum alkoholik, dan pasien yang mengonsumsi obat
lainnya, seperti barbiturate, rifampicin, dan pyrazinamide. Jika ambang klinis
encephalopathy tercapai, kerusakan hepar berat akan cenderung menjadi fatal
atau bahkan hingga memerlukan transplantasi hepar. Biopsi hepar menunjukan
perubahan morfologis yang mirip dengan viral hepatitis atau bridging hepatic
necrosis. Kerusakan liver yang signifikan bergantung pada usia, meningkat
dengan signifikan pada usia diatas 35 tahun; dan frekuensi tertinggi terdapat
pada golongan usia >50 tahun, dan terendah pada golongan usia <20 tahun.
Walaupun pemberian terapi pada pasien usia >50 tahun sangat dimonitor,
hepatotoxic tetap terjadi pada ~2%. Demam, rash, eosinophilia, dan manifestasi
lainnya dari alergi obat sangat jarang terjadi. Belakangan ini, antibody terhadap
INH terdeteksi pada resipien INH, namun hubungannya dengan kerusakan liver
masih belum diketahui secara jelas. Gambaran klinis yang mirip hepatitis kronis
sudah diobservasi pada beberapa pasien. Banyak program kesehatan
masyarakat yang memerlukan profilaksis INH untuk uji tuberculin yang atau test
QuantiFERON yag positif mencakup pemantauan aminotransferase rutin per
bulannya. Bahkan untuk lebih efektif dalam menangani outcome yang serius,
10

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

dapat juga mengingatkan pasien untuk lebih waspada terhadap gejala seperti
mual, lelah (fatigue), atau jaundice, karena kebanyakan dikarenakan
penggunaan INH yang diteruskan meskipun sudah terdapat gejala. [1]

Pyrazinamide
Pirazinamid adalah obat antituberkulosis lini pertama, tetapi hanya digunakan
dalam kombinasi dengan obat antituberkulosis lain seperti isoniazid atau
rifampin. Pirazinamid dikaitkan dengan peningkatan sementara dan
asimptomatik dari serum aminotransferase. Pirazinamid merupakan penyebab
yang cukup terkenal memunculkan cedera hati akut yang dapat menjadi parah
dan bahkan fatal. [5]
Peningkatan dari serum aminotransferase umumnya kurang dari 5 kali lipat dari
batas atas dari nilai normal. Akibat pirazinamid digunakan hanya dengan
kombinasi obat TB lainnya, kontribusinya terhadap peningkatan enzim belum
terlalu jelas, namun sering dicurigai sebagai penyebab peningkatan enzim.
Pengunaan kombinasi obat dengan rifampisin dan pyrazynamide untuk latent
tuberkulosis selama 2 bulan sudah ditinggalkan karena sering menyebabkan
kerusakan hati yang berat. Onset dari kerusakan hati tersebut umumnya mulai
setelah 4 8 minggu dan terkadang terlihat lebih jelas saat obat dihentikan. Pola
kenaikan enzim hati biasanya hepatoseluler dan sindrom klinis menyerupai
hepatitis virus akut, seperti hepatotoksisitas isoniazid.[5]
Mekanisme dari kerusakan liver oleh pyrazinamide belum diketahui, namun obat
ini dimetabolisme di hati dan kerusakan dapat disebabkan oleh metabolic
intermediate. Hepatotoksik dari pyrazinamide umumnya muncul lebih sering
pada dosis yang tinggi, hal ini memunculkan anggapan bahwa pyrazinamide
memiliki efek toksik langsung.[5]
Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa pengobatan preventif dengan
kombinasi obat rifampicin dan pirazinamid menyebabkan hepatotoksik yang
parah dibandingkan pengobatan preventif dengan isoniazid. [13]
Managemen Hepatitis induced drug
Bila muncul gejala klinik yaitu ikterik, mual dan muntah maka OAT perlu
diberhentikan. Bila gejala klinis muncul dan SGOT, SGPT lebih besar 3 kali lipat
maka OAT juga perlu diberhentikan. Bila tidak terdapat gejala klinis namun
bilirubin > 2, atau SGOT, SGPT lebih besar 5 kali maka OAT perlu diberhentikan.
Bila tidak SGOT, SGPT lebih besar 3 kali lipat namun tidak ada gejala, OAT dapat
dilanjutkan namun dengan pengawasan. [12]
Setelah OAT diberhentikan, bila klinik dan hasil laboratorium kembali normal
(SGOT, SGPT, bilirubin) maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan
dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat
11

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

INH dosis penuh , bila klinik dan laboratoriumnormal , tambahkan rifampisin,


desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan
obat menjadi RHES. Dosis yang dianjurkan oleh WHO untuk TB paru dengan
kelainan hati yaitu 2 SHRE/ 6RH atau 2 SHE/ 10 HE. Pada hepatitis akut dan klinis
ikterik, Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3
bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH. [12]

Gambar
1.
alur
berdasarkan ATS [2]

managemen

2. Tuberkulosis paru
Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan lokasinya yaitu paru dan
esktra paru. Tuberkulosis paru merupakan penyakit TB yang menyerang jaringan
paru.[7]
Etiologi
12

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

Mycobacterium tuberculosis dapat ditransmisi dari suatu individu ke individu lain


melalui droplet nuclei yang menjadi aerosol melalui batuk, bersin atau berbicara.
[1]

Patofisiologi
Mycobacterium tuberculosis yang sudah masuk karena terhirup oleh udara
umumnya bersarang pada lobus atas paru. Setelah itu mikroorganisme tersebut
akan memperbanya diri dan menyebabkan inflamasi yang tidak spesifik.
Beberapa organisme akan migrasi melalui limf dan bersarang di kelenjar getah
bening, dimana mereka akan bertemu limfosit dan menginisiasi respon imun. [3]
Inflamasi di paru menyebabkan neutrofil dan makrofag migrasi ke area tersebut.
Sel sel tersebut merupakan fagosit yang menelan bakteri. Mycobacterium
tuberculosis tersebut akan bertahan di dalam makrofag melawan pembunuhan
oleh lisosom dan justru bertambah banyak di dalam sel. Sebagai perlawan,
makrofag dan limfosit akan mengeluarkan inferferon yang menginhibisi replikasi
mikroorganisme tersebut dan menstimulasi lebih banyak makrofag untuk
melawan. Makrofag yang sudah terinfeksi yang apoptosis akan mengaktifasi sel
cytotoxic T (CD8). Neutrofil, limfosit, dan makrofag bersama koloni bacilli akan
membentuk lesi granuloma yang disebut tuberkel. Jaringan yang terinfeksi dalam
tuberkel akan mati dan membentuk gambaran seperti perkejuan yang disebut
caseation necrosis. Jaringan collagenous scar akan bertumbuh di sekitar tuberkel
untuk mengisolasi bacilli. Respon imun akan selesai setelah 10 hari, mencegah
lanjutan multiplikasi dari mikroorganisme tersebut.[3]
Bila bacilli sudah terisolasi di tuberkel dan imunitas sudah berkembang, maka TB
akan menetap sebagai dormant pada hidup individu tersebut. Namun bila sistem
imun dari individu tersebut terganggu maka bacilli yang hidup dapat melarikan
diri ke bronkus dan menyebabkan active disease, dan dapat menyebar lewat
darah dan limf ke organ lain. [3]
Manifestasi Klinik
Pada TB paru terdapat gambaran klinik lainnya yaitu gejala respiratorik seperti
batuk lebih dari 3 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala
respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Selain itu, TB paru juga menimbulkan
gejala sistemik seperti demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat
badan menurun. [6] TB paru primer juga dapat tidak menimbulkan gejala. [1]
Pengobatan TB paru
Obat untuk penyakit TB paru disebut OAT (Obat Anti Tuberkulosis). OAT terdiri
dari obat lini 1 atau obat utama seperti Rifampisin, INH, Pirazinamid,
Streptomisin, Etambutol dan obat lini 2 seperti Kanamisin, Kuinolon, Derivat
rifampisin dan INH serta Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid,
amoksilin dan asam klavulanat. [6]
Dosis OAT :
13

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

Rifampisin : 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau BB


> 60 kg : 600 mg BB 40-60 kg : 450 mg BB < 40 kg : 300 mg.
Intermiten : 600 mg / kali.

INH : 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu,


15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa.
Intermiten : 600 mg / kali.

Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X


semingggu,50 mg /kg BB 2 X semingggu atau : BB > 60 kg: 1500
mgBB 40-60 kg : 1 000 mgBB < 40 kg: 750 mg.

Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :BB
>60kg : 1500 mg BB 40 -60 kg : 1000 mgBB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali.

Streptomisin: 15mg/kgBB atau BB >60kg : 1000mg BB 40 - 60 kg :


750 mg BB < 40 kg : sesuai BB

Kombinasi obat tetap yang ada yaitu Empat obat antituberkulosis dalam satu
tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan
etambutol 275 mg dan tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu
rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg. [6]
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai
hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari
pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan yaitu 3 RHZE / 6
RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat yaitu 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB). [6]
3. Diabetes mellitus tipe 2
Definisi
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan kumpulan gangguan yang heterogen
yang ditandai oleh derajat resistensi insulin yang bermacam, gangguan sekresi
insulin, dan peningkatan produksi glukosa. DM tipe 2 juga memiliki istilah lain
yaitu insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) karena kebanyakan penderita
DM tipe 2 memerlukan terapi insulin untuk mengontrol kadar gula darahnya. [1]
Etiologi
Penyebab dari DM tipe 2 adalah interaksi kompleks antara genetik dan faktor
lingkungan. DM tipe 2 memiliki kompenen genetik yang kuat, bila kedua orang
tua memiliki DM tipe 2 maka anaknya memiliki resiko 40% untuk mengidap
penyakit yang sama. [1]
Patofisiologi
14

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

DM tipe 2 ditandai oleh gangguang sekresi insulin, resistensi insulin, produksi


glukosa oleh hati yang berlebihan dan metabolisme lemak yang abnormal.
Jaringan lemak menghasilkan hormon adipokines. PPAR banyak dieskrepsikan di
sel lemak dan bertanggung jawab untuk memodulasi perubahan di adiponekines,
termasuk peningkatan jumlah serum leptin dan resistin dan penurunan
adiponectin. Perubahan tersebut berasosiasi dengan penurunan sensitifitas
insulin. Peningkatan serum free fatty acid (FFAs) serta intracellular deposit dari
trigliserida dan kolesterol menginterfensi intracellular insulin signaling dan
menurunkan respon jaringan terhadap insulin. Peningkatan fatty acid
menyebabkan perubahan sekresi insulin dalam sel beta. Sitokin inflamasi
(TNF- , IL-6) yang dilepaskan dari adiposit intra-abdominal menginduksi
resistensi insulin lewat mekanisme postreceptor. Sel beta sangat sensitif
terhadap tingginya glukosa dan FFA di darah, hal tersebut dapat memicu kondisi
glucolipotoxic yang berujung terhadap apotosis sel beta. Pada keadaan DM tipe
2, respon inhibisi sel alpha dari pankreas menjadi berkurang terhadap kenaikan
glukosa di darah sehingga sekresi glucagon bertambah. Selain itu pada pasien
DM 2 juga seringkai ditemukan defisiens amylin. Amylin merupakan hormon
yang disekresi oleh sel beta bersamaan dengan insulin. Penurunan amylin
menyebabkan kenaikan sekresi glukagon karena amylin memiliki fungsi inhibisi
terhadap glukagon. [3]
Diagnosis DM tipe 2
Kriteria diagnosis menurut American Diabetes Association (ADA) salah satu dari
berikut :

hemoglobin A1c (HbA1c) 6,5% atau lebih; tes harus dilakukan di


laboratorium dengan menggunakan metode yang disertifikasi oleh
Program Glycohemoglobin Standardisasi Nasional (NGSP) dan standar atau
dapat dilacak Control Diabetes and Complication Trial (DCCT) .
Fasting plasma glucose (FPG) 126 mg / dL (7 mmol / L) atau lebih tinggi;
puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam,
atau
Tingkat glukosa plasma setelah 2 jam lebih dari 200 mg / dL (11,1 mmol /
L) selama 75-g glukosa oral toleransi tes (OGTT), atau
Glukosa plasma secara acak yaitu 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih
tinggi pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia (yaitu, poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan) atau krisis hiperglikemik. [8]

4. Hipertensi esensial
Definisi
Hipertensi esensial adalah tekanan darah tinggi yang tidak ditemukan
penyebabnya, atau idiopatik. 90% dari penderita hipertensi tergolong hipertensi
esensial. Umumnya onset dari hipertensi esensial yaitu berkisar 20 50 tahun. [9]
Patofisiologi
Hereditas berpengaruh besar terhadap patofisiologi dari hipertensi esensial,
karena menurut bukti yang ada, orang yang merupakan first degree relatives
dari penderita hipertensi berpotensi lebih besar memiliki tekanan darah tinggi.
15

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

Pada kembar genetik dari orang yang memiliki hipertensi juga memiliki potensi
yang lebih besar dibandingkan kembar yang dizigot. Namun hingga kini, belum
ditemukan gen yang benar benar memiliki pengaruh terhadap hipertensi. [9]
Diagnosis

Gambar 2. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7

[10]

Daftar Pustaka
1. Harrison T, Longo D, Kasper D, Jameson J, Fauci A, Hauser S et al.
Harrison's principal of internal medicine. 18th ed. United State of America:
McGraw-Hill; 2012.
2. Kusmiati T, Puja Yasa I. TB Health Service in JKN Era. Workshop II TB
Update VIII. 2015. p. 15 - 18.
3. McCance K, Parkinson C. Study guide for Pathophysiology, the biologic
basis for disease in adults and children, sixth edition. St. Louis, Mo.:
Mosby; 2010.
4. Livertox.nih.gov. Rifampin [Internet]. 2015 [cited 1 September 2015].
Available from: http://livertox.nih.gov/Rifampin.htm
5. Livertox.nih.gov. Pyrazinamide [Internet]. 2015 [cited 21 September
2015]. Available from: http://livertox.nih.gov/Pyrazinamide.htm
6. Perhimpunan
Dokter Paru
Indonesia. Pedoman
Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia ;2002.
7. Blanca R, Aulasa C. Cross-sectional assessment reveals high diabetes
prevalence among newly-diagnosed tuberculosis cases [Internet]. WHO.
2011
[cited
7
October
2014].
Available
from:
http://www.who.int/bulletin/volumes/89/5/10-085738/en /index.htm.
8. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care. 2010
Jan. 33 Suppl 1:S62-9
9. Lilly L. Pathophysiology of heart disease. Baltimore, MD: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
10.U.S. DEPARTMENT OF HEALTH AND HUMAN SE RVICES National Institutes of
Health National Heart, Lung, and Blood Institute. The Seventh Report of
the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication; 2004.
11.AMERICAN JOURNAL OF RESPIRATORY AND CRITICAL CARE MEDICINE.
2006;174.
12. Van Hest R e. Hepatotoxicity of rifampin-pyrazinamide and isoniazid
preventive therapy and tuberculosis treatment. - PubMed - NCBI [Internet].
16

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Catherine Ranatan - 07120120024

Ncbi.nlm.nih.gov. 2015 [cited 16 September 2015]. Available from:


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15356811

17

Anda mungkin juga menyukai