Anda di halaman 1dari 3

Mahkum Fih dan Mahkum Alaih

29 f 2008 pada 3:03 pm (Agama)

MAHKUM FIH (OBYEK HUKUM)


Pengertian Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek
hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan
mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120). Sedangkan menurut ulama ushul
fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf
yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan
meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317). Jadi, secara
singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah
perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.
Syarat-Syarat Mahkum Fih
• Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan
dapat dilaksanakan.
• Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari
Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanakannya karena Allah semata.
• Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan
baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas
nama orang lain.
3) Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah
manusia.
4) Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain
sebagaimana berikut:
• Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan
oleh mukallaf.
• Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan
itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
• Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam
arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak
sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang
biasa.
• Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang
luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).
Macam-Macam Mahkum Fih
• Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’:
1) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait
dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum
syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
• Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi
dalam empat bentuk, yaitu:
1) Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan umum tanpa kecuali.
2) Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi
harta seseorang yang dirusak.
3) Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih
dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.
4) Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih
dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007: 331)

MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)


Pengertian Mahkum Alaih
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan
hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa
mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut
mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum
Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah
lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103). Jadi,
secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang
perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.
Syarat-syarat Mahkum Alaih
• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan
perantara orang lain
• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)

TAKLIF
Menurut abdul wahab khallaf Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki
dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya, atau
melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.
Dasar Taklif
Dalam islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu unuk
mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar
pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Sebagimana sabda Rasulullah Saw.
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis orang: orang itu sampai ia bangun,
anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia sembuh” (HR. Bukhori, Turmudzi,
Nasa’i, Ibn Majjah, dan Daru Quthni).
Syarat-syarat Taklif
• Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam Al Qur’an dan
sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain.
• Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah
syafe’i, 2007: 336-338).
AHLIYAH
Pengertian
Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya
orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk
menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh
ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’
untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan
bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya
dapat dinilai oleh syara’ (Syafe’i, 2007: 339).
Pembagian Ahliyah
Menurt para ulama’ ushul fiqh, ahliyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
• Ahliyatul Wujub (kecakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang untuk
menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi
setiap manusia, semenjak ia lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan
keadaannya.
• Ahliatul Ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan seseorang untuk
diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala
tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum
(Sutrisno, 1999: 106-109)
Halangan Ahliyah
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bias berubah
berubah disebabkan hal-hal berikut:
• Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah disebabkan perbuatan
manusia.
• Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia.
(Syafe’i, 2007: 340)

DAFTAR PUSTAKA

Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember
Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya

Anda mungkin juga menyukai