Anda di halaman 1dari 23

KAPITAN PATIMURA

Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi di zaman ini dia lebih
dikenal dengan nama Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas atas sejarah
pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia pada umumnya.
Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy
dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang
Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena
Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.
Pattimura adalah Muslim Taat
Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram
Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia
bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan
Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim
Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim
yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah
menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku
adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.
Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali
terbit. M Sapija menulis, Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan
dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy
adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja
Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak
dalam sebuah teluk di Seram Selatan.

Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan
dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad
Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di
dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).
Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada
sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini
beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka
yaitu Pattimura.
Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan
Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya
kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri
Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku.
Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini
diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang menjadi best
seller) ini mengatakan, Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja
dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih
banyak menara masjid daripada gereja.
Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy Pattimura
Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda
disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat
akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada
masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Kedua, Belanda
menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli
perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang
membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga,
rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan
asin, dendeng, dan kopi.
Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada
tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil
merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den
Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.
Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat
Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu
Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik,
Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad
Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817
Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang
gantungan.

Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy
lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara,
memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan
apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah nasionalis-komunis
Cina berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh
izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat. Dalam film
Once Upon A Time in China, tokoh kharismatik ini diperankan aktor ternama Jet Li.

Raja Sisingamangaraja

Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya
baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai
Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka
dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat
bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja
Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang terbeang atau
ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan,
anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu
masih mengakui Tanah Batak sebagai De Onafhankelijke Bataklandan (Daerah
Batak yang tidak tergantung pada Belanda.
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan Perang Paderi dan melapangkan
jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan.
Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing,
Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu
daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang
disebut Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden, dengan seorang Residen
berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur
Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah
Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil
dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka,
atau De Onafhankelijke Bataklandan.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya
mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja
Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.
Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan
Regerings Besluit Tahun 1876 yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan
sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada
Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.

Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung,
namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak,
bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda
mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi
Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkahlangkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya
dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting
dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang,
mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula,
Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di
zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku
lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun
lamanya.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga
dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan
rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan
markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan
dan berhasil dihempang.
Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige
untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk
selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan
Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII
antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian
Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara
bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh


Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang
dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di
Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta
Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII
dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya
sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang
melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan
Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun
itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan
pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.
Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar
Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII
mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga
ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak.
Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang
kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front
perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi
koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja
Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi
Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala
bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga
didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru
dan tameng pasukan Belanda.
Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian
Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh
pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si Gurbak Ulu Na Birong.
Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut
Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong
dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII
menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung,
Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal
Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat

Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini
terjadi pada tahun 1889.
Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang
Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.
Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja
Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah
pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan
mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia
menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri
Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri
Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru
Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam,
putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom
Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang
sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan
Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan
Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII
yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang
gugur di pangkuannya.
Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan,
sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan
dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa
pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun,
selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan
kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.
Itulah yang dinamakan Semangat Juang Sisingamangaraja XII, yang perlu diwarisi
seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda.
Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah
air untuk kesenangan pribadi.
Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada
Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan.
Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat
sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan
dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang
memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja

Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke


pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan
yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja XII tegas
menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan
penjajah.
Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya
tidaklah sia-sia.
Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada
tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta.
Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya,
jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya
kepada rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya
serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi
penerus bangsa Indonesia

TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional
berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah
pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan
Belanda.
Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang
publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di
lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB
dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (18161833) yang menewaskan jutaan orang di daerah itu (http://www.petitiononline.
com/bonjol/petition.html).
Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan,
Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah
dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget
Tuanku Rao (2007).
Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek
moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833
di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos kepahlawanan
Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan
kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis,
khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi
wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang
berpotensi memecah belah bangsa ini.
Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya
seyogianya tidak mengandung hawa panas. Itu sebabnya dalam tradisi akademis,
kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.

Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi


baru bangsa iniyang hidup dalam imaji globalismeharus menyadari, negarabangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan
itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai perekat bangsa.
Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin,
Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan
bangsa Indonesia.
Jeffrey Hadler dalam An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and Uses of History (akan terbit dalam Journal of Asian Studies,
2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan
hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai
bagian wacana historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negarabangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga, merangkul kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah
mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan
tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai
pahlawan nasional.
Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan
beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan
menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan
Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi
keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat
saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi
pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia sempurna
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus
traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu
(1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan
Mandailing atau Batak umumnya.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang
dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821
atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam
perang itu karena diundang kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman


Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai
kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut
mengundang sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin
Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803
seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan
kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)
transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber
pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan
selama inimencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.
Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama
orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari
ajaran agama. Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita.
Bagaimana pikiran kita? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi
oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang
mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17
Agustus 1837)seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het
beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir
Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi
Sumber] (2004): 59-183mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi
maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.
Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan
atau diturunkan dari tandu kepahlawanan nasional yang telah diarak oleh
generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007
Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van ZuidoostAzi en Oceani, Universiteit Leiden, Belanda).

CUT NYAK DHEIN

Apabila bulan tersenyum/ Di atas bumi merdeka/ Dia adalah wajah Tjut Nyak Dhien
Apabila angin berembus / Membelai bumi Mugo yang suci/ Dia adalah nafas Tjut
Nyak Dhien (Balada Tjut Nyak Dhien, WS Rendra)
Cut Nyak Dhien adalah ikon perempuan pejuang dari Aceh. Lahir di Lampadang,
1848, putri Teuku Nanta Setia, seorang hulubalang VI Mukim, yang masih keturunan
Mahmud Sati, perantau dari Sumatera Barat.
Pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga,
seorang uleebalang yang terlibat perang melawan agresi Belanda pertama, 6 April
1873 di Kutaradja.
Perang terdahsyat
Dalam buku Paul Vant Veer, De Atjeh Oorlog, perang itu digambarkan sebagai satu
dari empat babak peperangan terdahsyat Belanda di Aceh. Teuku Lamnga ikut
dalam aksi merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dikuasai Belanda, 10
April 1873.
Ia juga menjadi saksi saat panglima perang Belanda, Mayor Jenderal JHR Khler,
tersungkur oleh peluru pasukan Aceh. Ucapan terakhir Khler, 0, God, ik ben
getroffen!! (Ya Tuhan, aku tertembak).
Sepeninggal suami pertama yang tewas dalam pertempuran di Gle Tarum, Aceh
Besar (1878), Cut Nyak Dhien diperistri Teuku Umar. Pasangan ini tidak pernah
serasi, apalagi saat Teuku Umar membelot ke Belanda, 1893. Mereka bercerai
kala Umar memilih memperluas kekuasaan bersama Belanda dan digelari Teuku
Djohan Pahlawan.
Namun, dasar Umar. Ia bukan abdi dalem yang setia. Tahun 1896 ia kembali
menusuk Belanda dari belakang ketika stamina logistik dan militernya telah cukup
kuat. Umar akhirnya tertembak pasukan Belanda, 11 Februari 1899, meski tidak
pernah diketahui apakah meninggal saat itu juga. Ia menjadi mitos menyejarah
dalam perlawanan Cut Nyak Dhien.

Seperti kisah pengkhianatan yang lekat dalam sejarah, Cut Nyak akhirnya
tertangkap oleh informasi pang laot Ali. Di tengah hujan lebat petang 4 November
1905, ia disergap di Babah Krueng Manggeng, Aceh Barat. Pemerintah Belanda
memutuskan melepaskannya dari akar perjuangan dan diasingkan ke Sumedang.
Di usia renta ia mengajar mengaji anak-anak dan ibu di Sumedang. Mereka hanya
mengenal Cut Nyak dengan panggilan Ibu Perbu (ibu ratu) dan tak pernah tahu
perjuangannya di tanah utara Sumatera itu. Ia wafat 6 November 1908, dikubur di
kompleks makam para raja, Gunung Puyuh.
Memori yang terlupa
Kisah Cut Nyak Dhien mirip ungkapan Mahmoud Darwish, memori yang terlupa
(memory of forgetfulness). Keberadaannya sempat hilang dari peredaran sejarah
Nusantara. Pemerintah Aceh baru menemukan makam Cut Nyak Dhien tahun
1959 ketika Ali Hasjmy mengunjungi perpustakaan Leiden, Belanda, dan
menemukan fakta pembuangan itu.
Padahal, sejarah tentangnya mengalir deras bak Sungai Wolya dalam syae (cerita)
masyarakat Aceh. Sekian lama ia dikisahkan oleh masyarakat, tetapi tidak pernah
terhistorisasi, dianggap mitos oleh masyarakat nasional dan elite. Bahkan, ketika
akhirnya dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Presiden Soekarno No
106/1964, makamnya tidak seperti cagar sejarah nasional. Pemerintah tak pernah
membiayai makam dan rumah tempat pengungsian yang ternyata masih milik
pribadi keturunan yang mengurus Cut Nyak masa itu. Pernah suatu masa
makamnya sepi karena terlalu banyak aparat berjaga-jaga dan menginterogasi
pengunjung setelah muncul Gerakan Aceh Merdeka (1976).
Sebenarnya sejarah harus berjalan di aras moralitas utama: bukti dan fakta, dan
mendemistifikasi segala hal yang tak terkait pada pencarian kebenaran (seks, ras,
dan etnis). Keetnisan Aceh telah menyebabkan apa yang muncul dari masa lalunya
dianggap terlalu dibesar-besarkan, dilebih-lebihkan. Dalam ungkapan Robert F
Berkhofer, Sejarah tidak bisa didenaturalisasi. Ia harus hidup meski berupa cerita
yang bersambung-sambung di sebuah komunitas, minoritas sekalipun, dan
disampaikan secara oral. Status borjuis sejarah, kata Roland Barthes, harus
dipatahkan oleh kemauan keras mendengar hal-hal khusus yang terdapat di
masyarakat lain.
Kiranya ingatan atas Cut Nyak Dhien saat ini perlu diperbarui total. Yang dibutuhkan
adalah dekonstruksi simbolis atas kisah perlawanannya dan bukan mengingat sifat
keras kepalanya dan menganggap sebagai inti kebudayaan Aceh. Bukti atas masa
lalu memang tidak bisa digoyang. Sejarawan telah merekonstruksi masa lalu
sebagai ilmu bagi kita yang butuh ingatan. Yang mungkin dilakukan adalah
memperbarui tafsir atas masa lalu agar ia bertenaga di masa kini.

Heroisme Cut Nyak harus terhargai sebagai pengorbanan Aceh atas bangsa ini.
Seperti juga pengakuan atas Kartini, Rasuna Said, dan Dewi Sartika sebagai
pahlawan-pahlawan wanita nasional.
Mengingat sejarah hanya ada sejarah manusia, maka, merunut pemikiran Max
Weber, sejarah Cut Nyak harus selalu dipilin dan dipintal dalam jaring-jaring makna.
Tugas kitalah memperbarui makna itu pada haul seabad wafatnya. Seperti puisi
Rendra di awal, yang lahir setelah mendengar cerita seorang sahabatnya, pelukis
ekspresionis Aceh, Lian Sahar, dan membayar kreativitasnya Rp 25 pada tahun
1957.

SULTAN HASANUDDIN

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan


meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah
Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I
Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah
memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin
saja. dia diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun
1655).
Sementara itu belanda memberinya gelar de Haav van de Oesten alias Ayam Jantan
dari Timur karena kegigihannya dan keberaniannya dalam melawan Kolonial
belanda. Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan
Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa,
ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan
rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang
menguasai jalur perdagangan. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana
Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi
belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik
takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia
bagian timur untuk melawan Kompeni.
Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada
tahun 1660. Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone yang merupakan kerajaan
taklukan dari Kerajaan Gowa. Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala
akhirnya tewas tetapi Aru Palaka berhasil meloloskan diri dan perang tersebut
berakhir dengan perdamaian. Akan
tetapi, perjanjian dama tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin
yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda ,
yaitu de Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.
Lalu Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh
Cornelis Speelman. Aru palaka, penguasa Kerajaan Bone juga ikut menyerang

Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk
menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Pada
tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap
Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang
merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Hingga
akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan Belanda.
Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat
pada tanggal 12 Juni 1670. Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya dengan SK Presiden Ri No
087/TK/1973.

BUNG TOMO

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Dalam rangka
memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November, kali ini
smknews akan menampilkan biografi dari salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Beliau akrab dengan sapaan Bung Tomo.
Sutomo atau Bung Tomo lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920, Sutomo
dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan
Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja
sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta,
sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan eksporimpor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa
pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya
berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja,
dan pernah pulamenjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan
menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer. Sutomo dibesarkan di
rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan
penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12
tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan
berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda
dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat
korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia).
Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan
kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya,
merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia
menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang
mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942,
peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung


dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk
menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang
pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk
peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia
menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat
rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh
tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan
pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.
Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap
dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan
Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada
tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari
panggung politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan
Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh
nasional.
Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia
pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran
sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 19561959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Namun pada awal 1970-an, ia kembali
berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras
terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh
pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras.
Baru setahun kemudian ia dilepaskan olehSuharto. Meskipun semangatnya tidak
hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap
vokal.
Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah
mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia
sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar
kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya. Sutomo sangat bersungguh-sungguh
dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya sebagai seorang
Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada 7 Oktober 1981 ia
meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda
dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah
ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan
bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum
Ngagel di Surabaya.

Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai
Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9
November 2007. Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo
bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan
ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu,
Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.

Budi Utomo (Boedi Oetomo)

adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para
mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal
20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat
sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo
menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun
pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan
Jawa. Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional.
Lahirnya Budi Utomo
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu
ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa
hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi
Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai
mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena
itu, mereka berpendapat bahwa kaum tua yang harus memimpin Budi Utomo,
sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan
organisasi itu. Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali
pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal
kalangan priayi atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden
Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo),
dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran
Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat
properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata politik ke
dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai tanah
air Indonesia makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman
orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh
Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka
bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya tanah air api udara
(Indonesia) adalah di atas segala-galanya. Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi

Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Kota Yogyakarta. Hingga


diadakannya kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh cabang di beberapa
kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan
Ponorogo. Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo
(mantan bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama.
Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU
yang bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak
anggota muda yang memilih untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul Sarekat
Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para
pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk
saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh,
antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk
mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan.
Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya
gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo
agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih
oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo
memang belum berpengalaman. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan
tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa
kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak
merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang
Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat
pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah. Kemarahan itu
mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara)
untuk menulis sebuah artikel Als ik Nederlander was (Seandainya Saya Seorang
Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap
pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan
pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh
Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo
tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi. Agak
berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan
kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah
manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang
Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa nasionalisme Indonesia tidaklah
bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme
terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku. Pendapat
tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi
Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan
orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga
tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama
Islam agar seseorang bisa menjadi anggota. Namun, Soewardi tetap mengatakan
bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi
Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme Indonesia ada dan merupakan unsur
yang paling penting.(Wikipedia.org) Incoming Search: memperingati hari

Kebangkitan Nasional, Refleksi Kebangkitan Nasional, sejarah hari Kebangkitan


Nasional, momen Kebangkitan Nasional, tokoh pergerakan Nasional, Budi utomo,
tiga serangkai.

Anda mungkin juga menyukai