Anda di halaman 1dari 36

POTENSI PENDAFTARAN ROKOK KRETEK SEBAGAI INDIKASI GEOGRAFIS

KOTA KUDUS

USULAN PENELITIAN TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan


Program Magister Ilmu Hukum

Disusun Oleh :

Toebagus Galang Windi Pratama, S.H.


11010114410077

Pembimbing :

Dr, Kholis Roisah, S.H., M.Hum

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN

POTENSI PENDAFTARAN ROKOK KRETEK SEBAGAI INDIKASI GEOGRAFIS


KOTA KUDUS

USULAN PENELITIAN TESIS

Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan


Program Magister Ilmu Hukum

Mengetahui Pembimbing,

Peneliti,

Dr. Kholis Roisah, S.H., M.Hum


NIP. 196012301986032004

Toebagus Galang Windi P, SH.


NIM. 11010114410077

DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................

DAFTAR ISI ..........................................................................................

ii

A. Latar Belakang .......................................................................

B. Perumusan Masalah .................................................................

14

C. Tujuan Penelitian ....................................................................

15

D. Kegunaan Penelitian ................................................................

15

1. Kegunaan Teoritis ................................................................

15

2. Kegunaan Praktis .................................................................

16

E. Kerangka Pemikiran ................................................................

17

F. Metode Penelitian .....................................................................

20

1. Metode Pendekatan ...............................................................

20

2. Spesifikasi Penelitian .............................................................

20

3. Jenis Dan Metode Pengumpulan Data ...................................

21

4. Metode Analisis Data .............................................................

24

G. Jadwal Penelitian ........................................................................

25

H. Sistematika Penulisan .................................................................

26

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

iii

ii

A. Latar Belakang
Indonesia mengenal berbagai macam kekayaan intelektual, salah satunya yakni
Indikasi Geografis/ indikasi geografis merupakan jenis kekayaan intelektual berupa
suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan
Geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor
tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Adanya aturan mengenai IG di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma
perlindungan KI, hadir setelah keikutsertaan dan ratifikasi Indonesia dalam Persetujuan
TRIPs (vide Keppres No. 7 Tahun 1994). Norma baru yang merupakan bagian dari
penyesuaian aturan KI pasca penandatanganan Persetujuan TRIPs ini dimasukkan
dalam rezim Merek sebagaimana tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek
dan dalam UU Merek yang baru, UU No. 15 Tahun 2001 (UU Merek). Norma
pembatasannya tercantum pada Pasal 56 ayat (1) UU Merek, yakni :
Indikasi-Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah
asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan Geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan
kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Geographical Indication atau Indikasi Geografis (IG) yang tertuang dalam norma
Persetujuan TRIPs merupakan pengembangan dari aturan mengenai Appellation of
Origin (AO) sebagaimana diatur dalam The Paris Convention for the Protection of
Industrial Property 1883 (Konvensi Paris 1883), sebagai berikut:
the geographical name of a country, region, or locality, which serves to
designate a product originating therein, the quality and characteristic of which are due

exclusively or essentially to the geographical environment, including natural and


human factor.

Bersama dengan Indikasi Asal (Indication of Source), AO termasuk dalam aturan


nama dagang yang memakai nama tempat untuk produk dagangnya. Nama tempat
berfungsi sebagai tanda pembeda. Lebih luas pengertiannya dari AO yang harus sama
persis dengan produknya, IG merujuk tidak hanya pada nama tempat, tetapi juga tandatanda kedaerahan atau lambang dari lokasi bersangkutan yang mengidentifikasikan asal
produk khas bersangkutan. Contohnya seperti Menara Petronas, Opera House Sidney
ataupun Rumah Adat Toraja. Tanda itu bukan produk dagangnya, tetapi melekat pada
produk sebagai tanda asal yang berhubungan dengan kerakteristik produknya.
Bandingkan kondisinya dengan produk berupa Champagne, Tequila, ataupun keju
Parmagiano. Kesemuanya merupakan contoh IG.
Definisi Persetujuan TRIPs mengenai IG dituangkan dalam Pasal 22 ayat (1),
sebagai berikut:
indication which identify a good as originating in the territory of a Member,
or a region or locally in that territory, where a given quality, representation or other
characteristic of the goods is essentially attributable to its geographical origin.

IG sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih jauh


ihwal norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum yang harus
dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum dalam rangka
perlindungannya (legal means), termasuk singgungannya dengan persaingan tidak sehat
(unfair competition). Bentuk perlindungan seperti apa diserahkan pada kebijaksanaan

masing-masing Negara. Aturan IG pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di luar


aturan Merek. Walaupun TRIPs sendiri mengakui bahwa baik IG maupun Merek
merupakan rezim yang independen.
Serupa dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan IG juga
mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja pendaftaran
dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili atau memiliki
kepentingan atas produk bersangkutan. Berbeda dengan perlindungan merek, IG tidak
mengenal batas waktu perlindungan sepanjang karakteristik yang menjadi unggulannya
masih tetap dapat dipertahankan. Penjabaran secara rinci ihwal perlindungan IG
dituangkan dalam aturan pelaksana berupa PP No. 51 Tahun 2007 tentang IndikasiGeografis (PP 51/2007).
Perlindungan terhadap Indikasi Geografis bagi Indonesia adalah merupakan hal
yang penting, mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam,
baik hayati maupun non hayati terlebih didukung dengan iklimnya yang tropis sehingga
juga memiliki kekayaan sumber daya genetik ( SDG) yang berlimpah ruah dan SDG ini
merupakan hal yang vital karena berkaitan erat dengan aspek ketahanan pangan,
pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan dan aspek ekonomi1 dalam bidang
budaya Indonesia juga amat kaya sebagaimana dapat dilihat dari banyaknya masyarakat
adat yang terbentang dari sabang hingga merauke yang tentu saja dari interaksinya
dengan alam yang kaya ini menghasilkan pengetahuan tradisional dan budaya komunal
yang beragam. Hal inilah yang wajib digali untuk kemudian dikembangkan dan
dilestarikan lewat perlindungan Indikasi Geografis demi kemakmuran masyarakat.

Efriadi Lubis, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik berdasarkan penerapan konsep
sovereign right dan kekayaan intelektual, Hal 1; Alumni, Bandung, 2009.

Keberadaan Indikasi Geografis kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Hal


ini dapat dilihat dari minimnya peraturan yang mengaturnya terlebih persyaratan yang
sulit dimana dalam salah satu persyaratan diwajibkan membuat buku persyaratan yakni
buku yang memuat deskripsi barang yang dimaksud dengan mendetail mulai dari
sejarah, karakteristik dan lain lain yang amat memakan waktu dan biaya sehingga
hingga saat ini tercatat hanya 31 Indikasi Geografis yang terdaftar di Indonesia dimana
27 produk merupakan hasil mentah dan hanya 1 yang merupakan hasil kerajinan yakni
Mebel Ukir Jepara dan 3 lainnya merupakan produk negara lain yang didaftarkan di
indonesia2.
Keberadaan Indikasi Geografis amat penting karena menjadikan suatu produk
sebagai indikasi geografis sama dengan menyatakan bahwa produk tersebut adalah
produk unggulan daerah yang bersangkutan. Dengan adanya indikasi geografis maka
produk tersebut dapat terhindar dari pemalsuan. selain mencegah pemalsuan, manfaat
yang juga tidak kalah pentingnya adalah merangsang timbulnya inovasi baik
pengembangan lebih lanjut produk, atau strategi pemasaran seperti festival produk dan
pasar murah yang tentunya mendorong timbulnya lapangan kerja baru terkait dengan
Produk Indikasi Geografis tersebut.
Direktorat jenderal kekayaan intelektual mencatat Indikasi Geografis yang ada di
Indonesia hingga pada saat penulis membuat tulisan ini berjumlah 31, dengan catatan
bahwa 28 produk merupakan produk asli Indonesia dan 3 produk yakni
Champagne,Parmigiano Reggiano, dan Pisco merupakan produk asing. Dari 28 produk

Didik taryadi, handout, sistem perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia dibawakan pada legal
workshop implikasi undang undang merek terhadap produk unggulan daerah di Indonesia tanggal
23 mei 2015.

itu sebanyak 27 produk adalah produk pertanian dan pangan dan hanya 1 produk yang
merupakan hasil kerajinan yakni Mebel Ukir Jepara. 3
Terobosan yang berhasil dilakukan oleh meubel ukir jepara sebagai satu satunya
produk kerajinan yang menjadi indikasi geografis di indonesia membuka membuka
peluang bagi produk kerajinan lainnya. Indonesia adalah negeri yang tidak hanya kaya
alamnya namun juga kaya akan budayanya. Salah satu yang menarik adalah budaya
rokok, yakni suatu kegiatan membakar tembakau untuk kemudian dikulum asapnya.
Bila bicara mengenai rokok tentunya erat kaitannya dengan tembakau. Berbeda
dengan tembakau lainnya, Tembakau Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan
negara manapun di dunia ini. Tembakau deli misalnya, yang telah dikembangkan sejak
tahun 1864 di tanah deli provinsi sumatera utara yang terkenal sebagai pembalut cerutu
terbaik di dunia. Jenis Tembakau ini merupakan jenis yang hanya tumbuh di Indonesia
dan memiliki kualitas dan citarasa yang berbeda dari Tembakau lain.
Kebiasaan mengkonsumsi Tembakau dengan cara digunakan sebagai Rokok
konon berasal dari benua amerika sekitar tahun 600 SM4, penduduk asli Amerika pada
saat itu suka mengkonsumsi Tembakau sebagai Rokok. Kemudian pada tahun 1492
ketika tim ekspedisi colombus pertama kali menginjakkan kakinya di tanah amerika,
para pendatang baru ini tertarik dengan kultur suku asli amerika yang suka
mengkonsumsi Tembakau dengan cara memasukkan Tembakau yang disulut ke dalam
sejenis pipa dan menghisap asapnya. Tidak butuh waktu lama bagi rombongan
colombus untuk tertular kebiasaan ini dan kemudian pulang dari ekspedisi dari benua
amerika dengan membawa hasil ekspedisi termasuk Tembakau dan lambat laun

3
4

Peta Wilayah Indikasi Geografis Terdaftar Februari 2015, DJKI, 2015.


Ronald hutapea, why Rokok ? Tembakau dan peradaban manusia, Hal XV ; bee media, jakarta, 2013.

budidaya Tembakau sebagai Rokok berkembang juga di Eropa dan kemudian dunia,
termasuk Indonesia.
Di Indonesia, Tembakau mendapat sambutan yang baik dan menjadi bagian dari
kultur bangsa Indonesia, Tembakau pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh
pedagang dari Portugis pada sekitar 1600-an, hal ini dapat dilihat dari kata "Tembakau"
sendiri yang merupakan kata turunan dari kata Tumbaco dalam bahasa Portugis
daripada kata "Tobacco" dalam bahasa Inggris.
Indonesia karena kekayaan alam dan budayanya memiliki jenis Rokok yang
berbeda dengan Rokok Konvensional yakni Rokok Kretek, yakni Rokok yang
menggunakan Tembakau asli yang dikeringkan, ia juga dapat disebut dengan Rokok
herbal karena memadukan Tembakau dengan cengkeh yang diberi saus tertentu yang
memberikan citarasa yang berbeda dari Rokok konvensional, asal usul kata Kretek
sendiri muncul karena pada saat dihisap terdengar bunyi Kretek-Kretek.
Sejarah penemuan Rokok Kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang
asal usul yang akurat tentang Rokok Kretek. Menurut kisah yang hidup dikalangan para
pekerja pabrik Rokok, riwayat Kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun
waktu sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada
bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu, sakitnya pun reda.
Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan Tembakau
untuk dilinting menjadi Rokok5
Kala itu melinting Rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari
melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap Rokok
ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini kepada
5

Gessler, Diana Hollingsworth. Artikel, The Sampoerna Legacy: A Family & Business History.

kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "Rokok obat" ini pun
mengalir. Djamari melayani banyak permintaan Rokok cengkeh. Lantaran ketika
dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek", maka Rokok temuan
Djamari ini dikenal dengan "Rokok Kretek". Awalnya, Kretek ini dibungkus klobot atau
daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung
kemasan sama sekali. Rokok Kretek pun kian dikenal.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di
tangan Nitisemito, perintis industri Rokok di Kudus. Bisnis Rokok dimulai oleh
Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek "Tjap Bal
Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri
Rokok Kretek di Indonesia.
Mbok Nasilah, istri dari Nitisemito yang juga dianggap sebagai penemu pertama
Rokok Kretek karena ia menemukan Rokok Kretek untuk menggantikan kebiasaan
nginang pada sekitar tahun 1870.. Pada awalnya ia mencoba meracik Rokok. Salah
satunya dengan menambahkan cengkeh ke Tembakau. Campuran ini kemudian
dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini
disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah
Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha Rokok Kreteknya
menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label
Rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama
ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti
dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek

ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan
Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi,
Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektare di Desa jati. Ketika
itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan Rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan
tujuh pabrik Rokok kecil (gurem). Di antara pabrik besar itu adalah milik M.
Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin
(merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis &
Manggis).
Keperkasaan bal tiga saat ini sudah tidak terlihat karena semua pabrik itu kini
telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan di antara para ahli warisnya.
Munculnya perusahaan Rokok lain seperti Nojorono/Clas Mild (1930), Djamboe Bol
(1937), Djarum (1951), dan Sukun, semakin mempersempit pasar Bal Tiga ditambah
dengan pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang,
juga ikut memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada
tahun 1955, sisa kerajaan Kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli warisnya.
Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga karena berdirinya Rokok Minak
Djinggo pada tahun 1930. Pemilik Rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal
Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong
banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M.
Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.
Pada tahun 1930, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan
markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk
baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan Rokok lain yang

mampu bertahan hingga kini seperti Rokok Djamboe Bol milik H.A. Ma'roef, Rokok
Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang didirikan Oei Wie Gwan.
Perusahaan Rokok Kretek Djarum berdiri pada 21 April 1951 dengan 10 pekerja.
Oei Wie Gwan, mantan agen Rokok Minak Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya
dengan memasok Rokok untuk Dinas Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955,
Djarum mulai memperluas produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar
setelah menggunakan mesin pelinting dan pengolah Tembakau pada tahun 1967.
Di era keemasan Minak Djinggo dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma bisnis
Kretek menjalar hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen Rokok bermunculan.
Di Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik Kretek juga membuat Rokok
jenis Rokok klembak. Rokok ini berupa oplosan Tembakau, Cengkeh dan Kemenyan.
Rokok Kretek memiliki sejarah yang panjang di Indonesia, sejak diperkenalkan
oleh bangsa Portugis, ia sudah berakar ke dalam kebudayaan bangsa dan keberadaannya
sulit tergantikan namun seiring dengan berkembangan jaman terlebih di era globalisasi
ini merokok menjadi suatu hal yang tabu. Dikatakan demikian, karena banyak penelitian
medis yang mengungkapkan tentang bahaya merokok baik pada perokok secara aktif
yakni yang menghisap langsung dan perokok pasif atau yang menghisap secara tidak
langsung, tanpa memandang kontribusi besar yang diberikan oleh industri Rokok pada
negara. Pada tahun 2013, perusahaan Rokok besar seperti Sampoerna menyumbangkan
cukai sejumlah Rp 30,7 triliun. Kontribusi tercatat sebesar 29,6% dari total pendapatan
domestik cukai produk Tembakau negara sebesar Rp103,6 triliun pada tahun 2013

berdasarkan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun 2015.6
Pendapatan negara yang luar biasa hanya dari cukai Rokok tidaklah
mengherankan, karena Indonesia adalah penghasil Tembakau terbesar dan kualitasnya
yang bagus membuat banyak pertumbuhan pabrik-pabrik Rokok yang kadang kala
menimbulkan pro dan kontra di sana-sini. Namun

ironisnya tidak terlihat adanya

dukungan pemerintah untuk melindungi salah satu industri yang menjadi pilar bangsa
ini, hal ini dapat dilihat dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109
Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi kesehatan. Peraturan ini antara lain mengatur masalah produksi yang
meliputi uji kandungan kadar nikotin dan tar, penggunaan bahan tambahan, pengemasan
produk Tembakau, dan pencantuman peringatan kesehatan di bungkus Rokok yang bila
ditilik merupakan produk undang undang yang disponsori oleh WHO sebagaimana
tertuang dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
FCTC menekankan dan memprioritaskan terhadap hak setiap orang untuk
menjaga kesehatan. Karena konsumsi Tembakau dan paparan asap Rokok diasumsikan
dan disimpulkan sebagai suatu epidemik yang telah menjadi persoalan internasional.
Asumsi dan kesimpulan ini didasarkan atas berbagai penelitian tentang pengaruh asap
Rokok, produk-produk yang mengandung Tembakau yang diracik dengan canggih
untuk menimbulkan ketergantungan, selain dihasilkan secara farmakologis aktif,
mengandung racun, mutagenik dan risiko kanker, serta penyakit lainnya, bahkan
kemiskinan.7
6

http://www.sampoerna.com/id_id/tobacco_regulation/pages/tobacco_taxation_system_in_Indonesia.
aspx diakses pada 14/08/2015.
7
Lihat Pembukaan dalam FCTC.

10

Rezim kesehatan dunia memang telah memprioritaskan hak setiap orang untuk
menjaga kesehatan berkaitan konsumsi Tembakau dan paparan asap Rokok, karena
dinilai berisiko tinggi atas beberapa PTM ( Penyakit Tidak Menular ), bahkan secara
mengerikan dikampanyekan berisiko kematian. Langkah-langkah pengendalian
Tembakau itu telah didukung oleh penelitian tentang dampak konsumsi Tembakau
terhadap kesehatan yang dilakukan WHO, sehingga diperkirakan sampai tahun 2020
bakal menjadi persoalan kesehatan terbesar atas penyakit yang ditimbulkan. Diprediksi,
praktik dan perilaku konsumsi Tembakau dapat menyebabkan 8,4 juta kematian setiap
tahun. Dikatakan, konsumsi Tembakau bakal membunuh setiap orang dalam 10 detik.
Diperkirakan pula bahwa peningkatan konsumsi Tembakau di Asia dapat meningkatkan
kematian empat kali lipat dari 1,1 juta orang (1990) menjadi 4,2 juta orang (2020).8
PP No. 109 tahun 2012 dapat juga dikatakan sebagai kepanjangan tangan dari
FCTC, karena terdapat sejumlah pasal pengaturan Iklan, Promosi, Sponsor, Tar dan
Nikotin, diversifikasi Tembakau, penjualan Rokok, dan seterusnya. Di satu sisi PP ini
telah menyederhanakan persoalan karena melihat Tembakau dan Rokok hanya dengan
perspektif kesehatan. Tetapi sekaligus juga melampaui kewenangannya (Over
Authority)9, karena mengatur berbagai problem diluar konteks bidang kesehatan. Dalam
konteks ini pemerintah hendaknya mengambil posisi yang lebih bijak. Masalah
Tembakau dan Rokok tidak bisa direduksi hanya semata persoalan kesehatan, akan
tetapi lebih luas lagi dalam dimensi sosial ekonomi dan budaya, yang melibatkan jutaan
rakyat menggantungkan hidup dalam temali mata rantai dari sektor ini.
8

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang
Pengesahan Framework Convention on Tobacco Control (Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian
Tembakau),Hal 17-18; KomnasHAM, jakarta, 2012.
9
Thomas Sunaryo, OPINI AKADEMIK Atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, Hal 4;
serial kerakyatan Indonesia, jakarta, 2013.

11

Tembakau dan Rokok merupakan satu-satunya industri nasional yang terintegrasi


dari hulu sampai ke hilir. Industri Rokok dikelola dengan sumber daya dalam negeri
baik tenaga kerja dan juga bahan baku. Ditengah gejala de-industrialisasi yang ditandai
dengan keterpurukan wajah industri nasional, oleh globalisasi dan perdagangan bebas,
tindakan memaksakan standarisasi aturan yang berdampak mematikan industri dalam
negeri, adalah cermin sikap yang bertentangan dengan semangat nasionalisme.
Satu hal yang ironis karena di satu sisi Rokok yang keberadaannya dianggap
sebagai barang yang semi-haram karena hanya ditinjau dari segi kesehatan, tanpa
melihat manfaat ekonomi yang dihasilkan. Padahal, ada banyak pengalaman lain yang
konkret di mana sejumlah orang berusia senja laki-laki dan perempuan masih
menikmati kepulan asap yang berasal dari racikan Tembakau dan cengkeh. Bahkan, ada
juga suatu penelitian yang menyimpulkan manfaat merokok, yaitu [a] menurunkan
risiko operasi penggantian lutut, [b] menurunkan risiko penyakit parkinson, [c]
menurunkan risiko obesitas, [d] menurunkan risiko kematian setelah si perokok
mengalami beberapa serangan jantung, dan [e] membantu obat jantung clopidogrel
bekerja lebih baik.10
Berbagai jenis riset lainnya yang pro-Rokok juga memberikan hasil positif juga
dapat dilihat, seperti ditemukannya Rokok sehat oleh Prof Sutiman Bambang Sumitro
MS DSc yang juga dikenal dengan istilah Divine Cigarrette11 hasil penelitian nano
teknologi yang menagkal radikal bebas dalam tubuh dan menghasilkan asap yang relatif
sedikit dari Rokok konvensional. Resiko merokok yang demikian menjadi perlu

10

Penelitian dari Universitas Adelaide, Australia, muncul dalam jurnal Arthritis & Rheumatism. Selain itu
dalam dalam jurnal Thrombosis Research, edisi Oktober 2010. Lihat Benarkah Merokok Ada
Manfaatnya? tempo.co, Jumat, 21 Desember 2012 | 07:00 WIB.
11
http://www.kaskus.co.id/thread/5128ef7e8027cf8b30000004/diskusi-divine-cigarette---Rokok-yangmenyehatkan/1 diakses pada 01/09/2015.

12

dipertanyakan kembali apakah memang benar benar berbahaya bagi kesehatan ? karena
tidak menutup kemungkinan bahwa dampak dampak yang ditimbulkan bukan
sepenuhnya berasal dari merokok melainkan sebab sebab lainnya seperti pencemaran
udara yang terus meningkat akibat pelepasan emisi gas rumah kaca dan bentuk
pencemaran lainnya.
Kajian-kajian mengenai potensi Rokok seringkali tidak diperhatikan namun
pemerintah justru terus menerus menekan industri Rokok seolah Rokoklah penyebab
permasalahan permasalahan tersebut seperti dalam PP nomor 109 tahun 2012 terlebih
keputusan menteri keuangan untuk menaikkan tarif cukai Rokok yang sekali lagi
menggerus industri Rokok.
Kenaikan tarif cukai tidak begitu memukul industri Rokok raksasa seperti
sampoerna atau djarum namun sangat berefek bagi industri kecil dan menengah, tak
kurang dari 4100 industri Rokok gulung tikar sejak 2009 12 hal ini karena Rokok Kretek
sudah tidak lagi dianggap sebagai kearifan lokal oleh pemerintah dan pandangan sempit
pemerintah yang hanya memandang Rokok dari segi medis belaka.
Beberapa kenyataan mengenai polemik mengenai industri hasil Tembakau diatas
yang menggambarkan besarnya pembatasan terhadap industri Tembakau, membuat
penulis bertanya, bukankah sudah saatnya industri Tembakau mendapat perhatian ?
bukannya mendapat pujian akan prestasi yang mereka capai, namun mereka seringkali
dihujat karena menyebabkan penyakit pernafasan, penyebab kantong kering,
penyebab kenakalan remaja, dan tak jarang yang mengkonotasikan perokok sebagai
berandalan dan budaya merokok yang bisa dikatakan sebagai kearifan lokal,

12

juga

http://www.cnnIndonesia.com/ekonomi/20150320113249-92-40539/cukai-naik-4100-pabrik-Rokokgulung-tikar/

13

sebagai sarana berkomunikasi antar warga menjadi terlupakan ditelan isu isu negatif
dalam masyarakat.
Kearifan lokal Rokok Kretek menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Rokok
Kretek yang sudah lekat dengan imej kota Kudus dengan segala pro dan kontranya
sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dan memberikan kontribusi besar. bila
demikian maka sudah sepatutnya apabila produk Rokok Kretek dijadikan Indikasi
Geografis kota Kudus.
Gagasan Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota Kudus tentunya
memungkinkan. karena dengan masuknya meubel ukir jepara sebagai satu satunya
kerajinan sebagai Indikasi Geografis di Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan
Rokok Kretek Kudus yang juga sebagai salah satu bentuk kerajinan menjadi Indikasi
Geografis.
Kemungkinan Rokok Kretek menjadi Indikasi Geografis kota Kudus juga
bertambah karena hingga saat ini Indonesia juga sudah mengakui beberapa produk
Tembakau dari berbagai daerah di Indonesia yakni Tembakau hitam dan Tembakau
mole sumedang, dan juga Tembakau Srinthil temanggung namun tentunya gagasan
Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota Kudus sudah pasti akan menimbulkan
hambatan karena mainstream pemikiran masyarakat adalah Rokok sama dengan barang
haram sebagaimana yang dilontarkan oleh organisasi islam besar yakni majelis ulama
Indonesia ( MUI )13 karena hanya memandang dari segi kesehatan.

13

http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/14/pbnu-fatwa-haram-mui-soal-Rokok-tendensius
diakses pada 14/08/2015

14

Rokok Kretek menjadi Indikasi Geografis bukanlah menjadi suatu hal yang tidak
mungkin sama halnya dengan cerutu kuba dan Tembakau turki. 14 karena walaupun
Tembakau berasal dari amerika namun seiring perkembangan jaman, Tembakau yang
mulai di budidayakan di negara masing masing mulai memiliki ciri khas yang berbeda
satu sama lain. cita rasa Rokok Kretek Kudus yang tidak hanya berupa Tembakau
namun juga dicampur dengan cengkeh dan saus tertentu tentunya memiliki citarasa
yang berbeda dengan Rokok dari daerah lain. Adanya Indikasi Geografis juga dapat
merangsang inovasi terhadap Rokok Kretek dan bukan tidak mungkin Indonesia dapat
mengejar standar kesehatan yang diterapkan WHO terkait batas minimum tar dan
nikotin dalam Rokok.
Berdasarkan pandangan pandangan diatas inilah, ketika muncul usulan bahwa
kretek sebaiknya dimasukkan ke dalam rancangan undang undang kebudayaan menuai
kritikan keras karena dalam Pasal kretek masuk ke dalam Pasal 37 RUU Kebudayaan.
Pasal itu menyebutkan, kretek tradisional merupakan sejarah dan warisan kebudayaan
yang harus dihargai, diakui, serta dilindungi pemerintah dan pemerintah daerah.
Sementara, Pasal 49 menyebutkan perlindungan terhadap kretek tradisional dapat
diwujudkan dengan inventarisasi dan dokumentasi; fasilitasi pengembangan kretek
tradisional; sosialisasi, publikasi dan promisi kretek tradisional; festival kretek
tradisional; dan perlindungan kretek tradisional.15
Usulan kretek sebagai warisan budaya bangsa dalam RUU kebudayaan
dikhawatirkan mendukung budaya merokok bahkan kepada anak di bawah umur karena
adanya publikasi dan promosi terhadap produk yang dikmasukkan sebagai warisan
14

Melissa brockley, TED Case Studies Number760, 2004 pada http://www1.american.edu/ted/turkishtobacco.html diakses pada 14/08/2015.
15
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/30/08153311/Pasal.Kretek.dalam.RUU.Kebudayaan.Diang
gap.Bertentangan.dengan.UU.Lain Diakses Pada 02/10/2015.

15

budaya. Kretek sebagai warisan budaya, apabila dilihat, memiliki kesamaan dengan
indikasi geografis karena dengan menjadikan kretek sebagai indikasi geografis atau
produk unggulan daerah yang bersangkutan sama halnya dengan meningkatkan promosi
produk tersebut sehingga meningkatkan jumlah konsumsi produk yang dimaksud.
Dari uraian latar belakang diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasannya
walaupun industri Rokok Kretek di Indonesia berkembang pesat namun tidak mendapat
perhatian dari pemerintah sehingga banyak perusahaan Rokok Kretek kecil dan
menengah gulung tikar untuk itu keberadaan Indikasi Geografis atas Rokok Kretek
menjadi amat diperlukan.
Gagasan Indikasi Geografis terhadap Rokok Kretek Kota Kudus tentunya
menimbulkan kontroversi karena Rokok sering dipandang negatif karena dampaknya
yang buruk bagi kesehatan, padahal banyak negara berlomba untuk mendaftarkan
Indikasi Geografis atas olahan Tembakaunya seperti Kuba dan Turki terlebih dalam
menghadapi MEA tentunya sektor industri yang memiliki kontribusi besar sudah
sewajarnya diperhatikan dan didukung. Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk
menuangkannya ke dalam Tesis dengan judul POTENSI PENDAFTARAN ROKOK
KRETEK SEBAGAI INDIKASI GEOGRAFIS KOTA KUDUS.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

yang

telah

disusun

bahwasannya

penulis

mengidentifikasi beberapa hal yang dijadikan pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam tesis ini, yakni sebagai berikut :

16

1. Apakah Produk Rokok Kretek Di Kota Kudus Dapat Dilindungi Sebagai Indikasi
Geografis ?
2. Bagaimana Implikasi Perlindungan Hukum Terhadap Rokok Kretek Sebagai Indikasi
Geografis Kota Kudus ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan ketiga identifikasi masalah yang akan dibahas dalam tesis ini
tentunya memiliki tujuan. Tujuan dari penelitian tesis ini ialah sebagai berikut :
1. untuk mengkaji dan menganalisis formulasi dan regulasi Indikasi Geografis di
Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan Potensi Rokok Kretek sebagai Indikasi
Geografis kota Kudus.
2. untuk mengkaji dan menganalisis dampak yang akan ditimbulkan dari Rokok Kretek
apabila ia menjadi Indikasi Geografis kota Kudus.

.
D. Kegunaan Penelitian
Dari tujuan penelitian diatas maka diharapkan dari hasil penulisan dan
pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kontribusi atau manfaat baik secara
teoritis atau secara praktis sebagai bagian yang tidak terpisahkan, yaitu dari segi :

1. Teoritis Akademis
Dari segi teoritis akademis penelitian ini diharapkan berguna bagi
perkembangan ilmu hukum, penajaman dan aktualitas ilmu hukum dan dari segi

17

tata negara terutama yang berkaitan dengan pengaturan intellectual property


Indikasi Geografis
dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan wawasan bagi penulis pada khususnya dan segenap civitas
akademika universitas diponegoro pada umumnya terkait gagasan pengajuan
Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota Kudus sehingga selebihnya
diharapkan dapat terus melanjutkan pengembaraan dan penjelajahan teori hukum
untuk menuju kesempurnaan sehingga pikiran masyarakat tidak lagi menjadi
skeptis dan apatis terhadap industri Rokok dan dalam hubungannya dengan
hukum memberikan rasa keadilan bagi industri Rokok.
2. Praktis
dari segi praktis, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan masukan
yang sangat berarti bagi penulis secara pribadi dan dapat memacu penulis untuk
meningkatkan kualitas penulisannya dalam penelitian penelitian ke depannya
nanti.
dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi besar
bagi para pihak terkait dalam peneltian ini terutama industri Rokok Kretek Kudus
dan pemerintah kota Kudus dan dapat dijadikan bahan masukan dalam pembuatan
buku syarat yang menjadi salah satu persyaratan yang paling sulit dalam
pembuatan Indikasi Geografis.

18

E. Kerangka Pemikiran

Rokok Kretek

Tradisi/ Budaya Bangsa

Kontra : (alasan kesehatan )

pasal 3 PP No. 51 Thn 2007


Tentang Indikasi Geografis

WHO
( Framework Convention On Tobacco
Control Part III )

Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007


Tentang Cukai

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109


Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau Bagi
kesehatan.

Pro : ( alasan budaya/kearifan lokal dan ekonomi )

UUD 1945 Pasal 27 (2), 32, 33 (3)


Trade Related Intellectual Property Rights
( TRIPS ) Section 3 Article 22

( Indikasi Geografis ) dalam pasal


56, 57 dan pasal 58 UU nomor 15
tahun 2001 tentang merek.

PP Nomor 51 tahun 2007 tentang


Indikasi Geografis Pasal 2 Ayat (2)

Rokok Kretek Sebagai Kekayaan Intelektual Komunal


Indikasi Geografis Kota Kudus

v
Pokok Permasalahan :
1. Apakah Produk Rokok Kretek Di Kota Kudus Dapat Dilindungi Sebagai Indikasi
Geografis ?
2. Bagaimana Implikasi Perlindungan Hukum Terhadap Rokok Kretek Sebagai
Indikasi Geografis Kota Kudus ?

Analisa Permasalahan Menggunakan Teori :


- Teori Lawrence M. Friedman Tentang 3 unsur
sistem hukum
- Teori Richard A. Posner tentang economic analysis
of law

Hasil Penelitian Yang Diharapkan :


- Potensi Rokok Kretek sebagai
Indikasi Geografis
- dampak yang timbul dari Rokok
Kretek sebagai Indikasi Geografis

Tabel : alur kerangka pemikiran tesis

19

Segala peraturan perundang undangan yang berada di Indonesia tunduk kepada


undang undang dasar 1945 sebagai peraturan normatif tertinggi atau dikenal juga
dengan grundnorm16 dan pancasila sebagai yang dicita citakan. Dalam pelaksanaannya
juga peraturan perundang undangan juga harus tunduk pada instrumen internasional
sebagai salah satu bentuk konsekuensi negara dalam hubugan intrernasonal walaupun
kedudukannya masih dibawah undang undang dasar sebagai simbol kedaulatasn
pemerintahan negara.
Instrumen internasional dari WHO yakni framework convention on tobacco
control yang pada awalnya merupakan hasil dari Resolution WHO 48.11 in May 1995
yang mendorong negara negara dunia untuk menggalakkan anti Rokok. Indonesia
temasuk salah satu negara yang mendukung resolusi tersebut terbukti dengan
dikeluarkannya undang undang nomor 29 tahun 2007 yang kemudian dengan peraturan
pelaksanaannya yakni PP nomor 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang
mengandung bahan adiktif yang semakin membatasi dan menganaktirikan industri
Rokok di Indonesia.
Rokok dalam hal ini Rokok retek merupakan produk asli Indonesia yang sudah
berakar pada budaya bangsa sekian lamanya dan layak dikatakan juga sebagai salah satu
identitas bangsa maka dari itu sudah selayaknya Rokok Kretek diakui sebagai kekayaan
intelektual bangsa yakni dengan dijadikan sebagai Indikasi Geografis di kota tempat
Rokok Kretek pertama kali ditemukan yakni kota Kudus.
Adanya gagasan Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota Kudus tentunya
akan menimbulkan banyak pertentangan walaupun tak jarang juga yang mengamininya.

16

Grundnorm atau dikenal juga dengan istilah staatfundamentalnorm, hans nawiaski, dalam hans kelsen,
teori hans kelsen tentang hukum, Hal 170, terjemahan, jimly asshidique, ali syafaat, MKRI, 2006.

20

Timbulnya pertentangan tentu saja wajar mengingat masyarakat dewasa ini baik secara
nasional maupun internasional memandang sebelah industri Rokok sebagai sesuatu
barang berbahaya yang merusak kesehatan padahal nilai historisnya amat dalam dan
memiliki potensi ekonomi yang amat besar terlebih bagi negara dengan kekayaan alam
melimpah seperti Indonesia.
Section 3 article 22 TRIPs pada dasarnya memperbolehkan Rokok Kretek sebagai
Indikasi Geografis kota Kudus karena Rokok Kretek mencerminkan sinergi antara alam
dengan manusia yang hidup di dalamnya yang menghasilkan karakteristik yang
mencerminkan wilayah Kudus namun pembatasan dalam pasal 3 poin (a) PP nomor 51
tahun 2007 memberikan batasan yang masih rancu yakni larangan Indikasi Geografis
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan
atau ketertiban umum dan pertanyaannya apakah Rokok Kretek termasuk ?
Untuk membahas pokok permasalahan pertama yakni apakah bisa Rokok retek
dilindungi sebagai Indikasi Geografis kota Kudus, maka penulis dalam menganalisisnya
akan berpegangan pada teori dari Lawrence M. Friedman tentang tiga unsur sistem
hukum 17 sebagai teori utama dalam menganalisis disertai teori teori relevan lainnya
sebagai pendukung dan teori dari Richard A. Posner tentang economic analysis of law18
sebagai teori utama dalam menganalisis pokok permasalahan kedua yakni dampak yang
ditimbulkan apabila Rokok Kretek menjadi Indikasi Geografis kota Kudus yang
tentunya dari segi ekonomi dan didukung dengan teori teori lainnya yang relevan.
Dalam pembahasan pokok permasalahan pertama akan menggunakan teori dari
lawrence M. Friedman tentang tiga unsur sistem hukum dimana hukum terdiri dari 3 hal
17

Lawrence Friedman, American Law, Hal 6 ; W.W Norton & Company, London, 1994.
Richard Posner, dalam Sanders, Anthony, Posner, Hayek & The Economic Analysis Of Law, Paper, Hal
1 ; Geogre Mason University, Virginia, 2003.

18

21

yakni struktur hukum ( legal stucture ), substansi hukum (legal substance) dan budaya
hukum ( legal culture). Struktur hukum meliputi lembaga pemerintah yang bersifat
eksekutif, yudikatif dan legislatif sedangkan substansi hukum adalah norma maupun
peraturan perundang undangan yang berlaku. Dan budaya hukum merupakan pandangan,
kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai nilai dan
pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, yang artinya budaya hukum ialah iklim
dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar dan
dilaksanakan.
Dengan

menggunakan

teori

ini

penulis

dapat

mengidentifikasi

pokok

permasalahan pertama dengan akurat karena untuk mengetahui apakah suatu objek
dalam hal ini Rokok Kretek bisa dilindungi sebagai Indikasi Geografis perlu
memperhatikan 3 aspek sebagaimana teori yang diungkapkan Friedman yakni substansi
hukum, aturan aturan yang mendukung Rokok Rokok Kretek agar dapat menjadi
Indikasi Geografis, struktur hukum, yakni kesiapan dan kemauan dari aparatur
pemerintah dalam mendukung Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota Kudus
dan kultur hukum yang merupakan titik yang paling penting karena bersinggungan
langsung dengan masyarakat.
Untuk membahas pokok permasalahan kedua yakni apa dampak yang ditimbulkan
Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis, penulis menggunakan teori dari richard A.
Posner tentang economic analysis of law yang mendalilkan bahwa

sesuatu pada

hakikatnya harus memberikan manfaat atau nilai utilitas bagi sesuatu yang lain ( social
welfare ), yang dalam perkembangannya setelah dianalisis oleh Ronald Coasei (1960)
dan Posner sendiri, ide analisis ekonomi terhadap hukum berkembang sehingga
mencakup Transaction Cost Of Economy yang berkaitan dengan efisiensi peraturan

22

hukum yang sebagian besar hukum privat, economy constitution yang berkaitan dengan
tindakan manusia termasuk peraturan hukum formal, kebiasaan informal, tradisi dan
aturan sosial, dan public choice yang berkaitan dengan proses memutuskan secara
demokratis dengan mempertimbangkan metode ekonomi dan perdagangannya.
Teori dari posner ini diharapkan dapat memberikan analisis yang akurat akan
dampak terutama di bidang ekonomi apabila Rokok Kretek dijadikan Indikasi Geografis
kota Kudus. Kajian terhadap dampak yang timbul tentu tidak cukup akurat apabila
hanya ditinjau dari bidang eknomi saja, maka dari itu penulis menggunakan teori teori
lain yang relevan seperti teori Law As A Tool Of Social Engineering Roscoe Pound 19,
yang dapat dengan akurat menggambarkan kondisi masyarakat yang tentunya akan
mengalami perubahan apabila Rokok Kretek menjadi Indikasi Geografis.
Perlindungan asas dan kaedah KI yang ada dalam sistem hukum Indonesia saat ini
masih mencerminkan nilai nilai arus global yang Individualis dan Kapitalistik20 tanpa
mengakomodir nilai nilai yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang bersifat
komunal dan spiritual dan maka dari itu untuk dapat mengetahui apakah Rokok Kretek
bisa menjadi Indikasi Geografis maka perlu dilakukan penelitian mendalam yang tidak
hanya berpegang pada instrumen hukum yang ada baik itu nasional maupun
internasional.
Untuk mengtahui Rokok Kretek apakah bisa menjadi Indikasi Geografis atau
tidak juga memerlukan instrumen hukum yang hidup di dalam masyarakat berupa
budaya adat istiadat dan juga sejarah dari Rokok Kretek itu sendiri karena poin
terpenting dari Indikasi Geografis ialah buku syarat yang berisi uraian lengkap dari
19

Roscoe pound, dalam Atmadja, edi, artikel, hukum sebagai sarana rekayasa sosial, radar lampung, 30
mei 2012.
20
Kholis roisah, dinamika perlindungan KI Indonesia dalam tatanan global ,Hal 150, Pustaka Magister,
semarang,2013

23

produk yang dimaksud sebagaimana terdapat dalam PP 51 tahun 2007 maka dari itu
penulis memilih metode penelitian yang bersifat Yuridis Empiris yang tidak hanya
melihat hukum sebagai suatu hal yang rigid namun hukum sebagai suatu aturan yang
dinamis yang hidup di dalam masyarakat sehingga dapat menemukan hal yang menjadi
titik utama dari penelitian hukum ini yakni apakah bisa Rokok retek menjadi Indikasi
Geografis kota Kudus dan apa keuntungan dan kerugian yang mungkin timbul apabila
Rokok Kretek dijadikan sebagai Indikasi Geografis.

F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan penulis dalam penelitian hukum
ini sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya adalah metode penelitian yang
bersifat yuridis empiris. Keunggulan dari metode pendekatan ini adalah tidak
memandang hukum hanya sekedar peraturan perundang undangan namun hukum
yang hidup dalam masyarakat. Ia mengkaji sebagai variable bebas yang
menimbulkan pengaruh dan akibat dalam berbagai aspek kehidupan soaial.
Metode pendekatan ini sangat efektif untuk meneliti Rokok Kretek sebagai
Indikasi Geografis karena sifatnya yang praktis yang mengharuskan melihat
kenyataan yang ada di lapangan karena dari kata penelitian sendiri yakni yaitu
research yang terdiri dari dua kata yakni re dan search yang berarti pencarian
kembali,21 bukan sekadar read atau hanya membaca apa yang sudah ada.

21

Bambang sunggono, metodologi penelitian hukum , Hal 27; raja grafindo persada, jakarta: 1997.

24

2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis 22 yaitu
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan obyek
penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya. Bersifat deskriptif karena penelitian ini mempunyai maksud
untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis, faktual dan akurat mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan penulisan Hukum ini yaitu potensi
Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota Kudus terutama terkait dengan
hambatan hambatan yang menghadang dan keuntungan dan kerugian yang
mungkin timbul.
Analisa penelitian ini diharapkan dapat mengetahui bagaimana keadaan
yang ada pada teori dan praktek, sehingga diharapkan pada akhir kegiatan dapat
memecahkan masalah yang ada. Bila digolongkan sebenarnya penelitian ini
merupakan gabungan antara observasi lapangan dan studi pustaka karena tak
dapat dipungkiri bahwa studi pustaka mutlak dibutuhkan sebagai modal awal
dalam melakukan penelitian. Sedangkan dalam mencari dan mengumpulkan datadata yang ada difokuskan pada pokok-pokok permasalahan yang ada, supaya
dalam penelitian ini tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam
pembahasan, atau dengan kata lain akurat.

22

Hadari Nawawi & Mimi Martini, Penelitian Terapan, Hal 73 ; Yogyakarta: 1994.

25

3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data


Menurut Supranto dalam bukunya pengantar statistik bidang hukum,
lazimnya data yang diperoleh dalam penelitian ada dua, yakni23 :
1. Data Primer, yakni data yang diperoleh langsung dari objeknya. Dengan
kata lain data yang diperoleh secara langsung pada lokasi penelitian yaitu
pihak pihak terkait dalam potensi Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis
kota Kudus. adapun dalam memperolehnya menurut Burhan Ashshofa 24 ,
dapat dilakukan dengan dua cara yakni dengan observasi dan dengan
wawancara. Penulis lebih memilih menggunakan wawancara karena
berbeda dengan observasi yang hanya bersifat pengamatan, dengan
wawancara hal yang sebelumnya tidak bisa didapatkan hanya dengan
mengamati bisa didapatkan.
Dalam

melakukan wawancara juga ada beberapa hal yang harus

diperhatikan yakni apa yang ingin diketahui, tujuan penelitian, dan waktu
dan sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu untuk mempermudah
penulis membuat daftar pertanyaan yang akan ditanyakan dalam wawancara
yang dilakukan dengan tidak menutup kemungkinan adanya pertanyaan lain
ketika wawancara dilakukan kepada pihak yang berwenang maupun yang
berkepentingan dalam hal Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota
Kudus ini yang antara lain :
a. Bagian Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum Dan Ham RI Jawa
Tengah.

23
24

J. Supranto, Pengantar Statistik Bidang Hukum, Hal 47; Rineka Cipta, Jakarta ; 1995.
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Hal 59; Rineka Cipta, Jakarta ; 2007 .

26

b. Pemerintah Kabupaten Kudus.


c. Komunitas Kretek.
d. Komisi Nasional Pengendalian Tembakau.
e. Musium Kretek Kudus.
2. Data Sekunder, yakni data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi.
Menurut Burhan Ashshofa 25 data Sekunder memiliki arti penting sebagai
berikut :
a. Untuk mencari data awal atau informasi
b. Untuk mendapatkan landasan teori atau landasan hukum
c. Untuk mendapat batasan atau definisi atau arti dari suatu istilah

Menurut

Burhan

Ashshofa

juga,

data

sekunder

ini

dapat

dikelompokkan menurut kekuatan mengikat dari isinya, yakni :


a. Bahan Primer, ialah bahan yang mengikat isinya karena dikeluarkan oleh
pemerintah baik itu instrumen hukum nasional maupun internasional
yang sudah diratifikasi. Untuk bahan Primer yang digunakan penulis
dalam penelitian hukum ini adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. WHO ( Framework Convention On Tobacco Control / FCTC )
3. Trade Related Intellectual Property Rights ( TRIPS )
4. Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai
5. Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi kesehatan.

25

Op cit, Hlm 103.

27

7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi


Geografis

b. Bahan Sekunder, ialah bahan yang isinya membahas Bahan Primer,


untuk bahan sekunder bisa didapat dari buku ataupun dari artikel. Bahan
sekunder yang digunakan oleh penulis sendiri sebagian besar terdiri dari
buku antara lain :
1. Ronald hutapea, why Rokok ? Tembakau dan peradaban manusia
2. Mangku Sitepoe, Kekhususan Rokok Indonesia
3. Thomas Sunaryo, Kretek Pusaka Nusantara
4. Miranda Harian, Membunuh Nusantara :

Konspirasi Global

Penghancuran Kretek
5. Stefanie Schumann, Geographical Indication ; local product in local
market
6. Bernard OConnor, The Law Of Geographical Indication
7. Kholis Roisah, Dinamika Perlindungan HKI Indonesia dalam tatanan
Global
8. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum

5. Metode Analisis Data


Sebagai sarana untuk menarik kesimpulan dari dari data yang sudah
dikumpulkan maka penulis menggunakan metode analisis data yang bersifat
kualitatif dengan menelaah konsep-konsep, azas-azas, doktrin-doktrin, disajikan
dalam bentuk kalimat-kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategorisasi.
Analisis secara kualitatif tentu tidak lepas dari kedudukan subjek, dan objek
penelitian hingga terjadinya hubungan hukum bagi keduanya.

28

Dalam kaitannya dengan hubungan antara subjek dengan objek penelitian


maka subjek yang dimaksud adalah Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota
Kudus sedangkan objek peelitian ialah pihak pihak yang berkepentingan dan
berkewenangan dalam Indikasi Geografis dan Rokok Kretek yakni kementerian
hukum dan HAM wilayah jawa tengah selaku pihak yang berwenang mengurus
pendaftaran hak kekayaan intelektual dan pemerintah kota Kudus selaku otoritas
yang berwenang dan industri Rokok Kretek Kudus.

G. Jadwal Penelitian
Agar penelitian dapat terlaksana dengan lancar dan baik maka penulis
menerapkan jadwal penelitian yang dijadikan sebegai patokan dalam menyelesaikan
penelitian hukum ini yakni sebegai berikut :

No.

Tahun 2015/2016
Kegiatan
Aug Sep Oct Nov Dec Jan

Penyusunan Proposal

Bimbingan, Usulan Penelitian, koreksi

V
V

dan Acc Untuk diseminarkan


3

Seminar Usulan Penelitian

Revisi

Pelaksanaan Penelitian

Penyusunan Dan Pengolahan Data dari

Bab I hingga Bab, Revisi, Bimbingan

29

dan Acc Untuk Seminar Hasil Penelitian


7

Seminar Hasil Penelitian

Revisi

Sidang Akhir

H. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini akan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:
BAB I :

Pendahuluan

Pada bab ini terdiri dari latar belakang Masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II :

Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini menguraikan teori-teori dan peraturan-peraturan yang mendasari


tentang masalah yang dibahas dalam hal ini teori teori hukum dan aturan hukum
yang relevan membahas kemungkinan Rokok Kretek sebagai Indikasi Geografis kota
Kudus baik dari dalam maupun luar negeri dan tidak menutup kemungkinan bersifat
interdisipliner. Berisi kerangka pemikiran dengan masalah pokok yang ditulis.
BAB III :

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Dalam bab ini akan menguraikan hasil penelitian dan membahasnya secara
mendalam, bab ini akan terdiri menjadi 2 sub bab sesuai dengan pokok permasalahan
yang dibahas yakni apakah Produk Rokok Kretek dapat dilindungi sebagai Indikasi
Geografis kota Kudus atau tidak sebagai sub bab 1 dan apa dampak yang

30

ditimbulkan apabila Rokok Kretek menjadi Indikasi Geografis kota Kudus sebagai
sub bab 2.
BAB IV : Penutup
Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian hukum ini
disertai dengan saran yang merupakan sumbangan dari pemikiran penulis.

31

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Mangku sitepoe, Kekhususan Rokok Indonesia; Grasindo, jakarta, 2000.
Ronald hutapea, why Rokok ? Tembakau dan peradaban manusia; bee media, jakarta,
2013.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Naskah Akademik Rancangan UndangUndang tentang Pengesahan Framework Convention on Tobacco Control
(Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau), Jakarta: KomnasHAM,
2012,
Thomas Sunaryo, OPINI AKADEMIK Atas Peraturan Pemerintah Nomor 109
Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan; serial kerakyatan Indonesia, jakarta,
2013.
Penelitian dari Universitas Adelaide, Australia, muncul dalam jurnal Arthritis &
Rheumatism. Selain itu dalam dalam jurnal Thrombosis Research, edisi
Oktober 2010
Efriadi Lubis, Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik berdasarkan
penerapan konsep sovereign right dan kekayaan intelektual ; Alumni, Bandung,
2009.
hans kelsen, teori hans kelsen tentang hukum, terjemahan, jimly asshidique, ali
syafaat; MKRI, 2006.
Kholis roisah, dinamika perlindungan HKI Indonesia dalam tatanan global; Pustaka
Magister, semarang,2013.
Hadari Nawawi & Mimi Martini, Penelitian Terapan ; Yogyakarta: 1994.
J. Supranto, Pengantar Statistik Bidang Hukum; Rineka Cipta, Jakarta ; 1995.
iii

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum; Rineka Cipta, Jakarta ; 2007


Gessler, Diana Hollingsworth. The Sampoerna Legacy: A Family & Business History.
Peta Wilayah Indikasi Geografis Terdaftar Februari 2015, DJKI, 2015.
Richard Posner, dalam Sanders, Anthony, Posner, Hayek & The Economic Analysis
Of Law, Paper ; Geogre Mason University, Virginia, 2003
B. Internet
http://www.sampoerna.com/id_id/tobacco_regulation/pages/tobacco_taxation_syste
m_in_Indonesia.aspx
http://www.cnnIndonesia.com/ekonomi/20150320113249-92-40539/cukai-naik4100-pabrik-Rokok-gulung-tikar/
http://www.kaskus.co.id/thread/5128ef7e8027cf8b30000004/diskusi-divinecigarette---Rokok-yang-menyehatkan/1
http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/14/pbnu-fatwa-haram-mui-soal-Rokoktendensius
Melissa

brockley,

TED

Case

Studies

Number760,

2004

pada

http://www1.american.edu/ted/turkish-tobacco.html
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/30/08153311/Pasal.Kretek.dalam.RUU.Ke
budayaan.Dianggap.Bertentangan.dengan.UU.Lain

C. Seminar
Didik taryadi, handout, sistem perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia
dibawakan pada legal workshop implikasi undang undnag merek terhadap
produk unggulan daerah di Indonesia tanggal 23 mei 2015.

iv

Anda mungkin juga menyukai