Anda di halaman 1dari 3

Jika Saja Aku Buta Selamanya

Oleh Ayyasy Az Zurqi


"Jika saja." Dua kata itu dulu sering kukatakan dalam hatiku. Jika saja mataku ini
diizinkan Tuhan untuk melihat. Jika saja mataku ini keduanya bisa menyaksikan kerasnya
hidup yang selama ini hanya bisa kutahu dari dua kupingku ini. *** Pagi itu aku bangun lebih
awal dari biasanya. Namun bagiku yang namanya tidur atau bangun, keduanya sama saja.
Toh bagiku dunia ini hanya hitam dan gelap. Ingin aku rasakan segarnya udara pagi di kota
ini yang adanya hanya pagi hari. Sedangkan kalau siang hari kota ini pasti dipenuhi dengan
asap yang menyembul dari knalpot kendaraan yang berlalu lalang.
"Tingtung! Tingtung!" Begitu bunyi jam kuno milikku yang diam tergantung di
dinding rumah ini. Jam itu terus berdentang selama lima kali. Bagiku jam itu adalah satusatunya jam yang bisa menunjukkan jam berapa sekarang.
Ya, meskipun kadang aku juga menanyakan itu kepada orang lain, karena perasaan
jam itu kok tidak juga berdentang. Mungkin rusak, begitu pikirku kalau jam itu lama tidak
berdentang.
Segera aku turun dari dipanku, lalu kuambil tongkatku, kupakai sandalku, dengan
hati-hati aku menuju ke sumur yang ada di belakang rumah. Kuambil air wudhu lalu sholat
subuh.
Selesai sholat aku teringat pada satu-satunya anakku yang kini sudah melakoni
hidupnya dengan keringatnya sendiri. Kasihan anak itu, ia punya seorang bapak yang cacat
dan tak berdaya.
Kemudian dua kata itu kembali hadir di benakku. Jika saja aku bisa melihat anakku
yang telah tumbuh dewasa, yang tak pernah dapat disaksikan mataku ini sejak sepuluh tahun
yang lalu, kurang lebih. Sejak kecelakaan kerja yang menimpa diriku, yang telah
membutakan mataku ini.
Jika saja aku bisa melihat, mungkin saja anakku ini sudah bisa menjadi calon insinyur.
Sebuah cita-cita yang diidam-idamkan anakku sejak ia balita dan mungkin sampai sekarang.
Dengan keadaanku yang seperti ini, tak mampu rasanya aku mencarikan segebok uang untuk
kuliah anakku itu.
Jadilah setelah lulus SMA dia langsung cari kerja. Dua bulan yang lalu dia bekerja di
bengkel. Kemudian 3 minggu kemarin dia ikut temannya narik lyn, jadi kenek Tapi empat
hari yang lalu dia sudah berhenti jadi kenek, katanya sih ada sedikit cekcok dengan temannya

itu. Nggak tahulah apa yang ia kerjakan sekarang. Yang jelas sudah dua hari dia tidak pernah
pulang ke rumah.
"Bapakmu ini hanya bisa mendoakan, Nak, agar kamu dapat segera bekerja lagi".
Ucapan itu yang aku katakan terakhir kalinya kepada anak laki-lakiku itu.
***
Matahari mulai muncul. Kehadirannya dapat terasakan oleh kulitku ini. Dengan dua
kaki yang dibantu dengan tongkat, aku keluar rumah. Kulangkahkan kakiku pelan-pelan
karena takut terjatuh. Sambil jalan, terlintas lagi di benakku. Seandainya aku bisa melihat
indah dan sejuknya kota ini saat pagi hari, seandainya!
Teeet. Suara klakson mobil membuatku kaget dan nyaris terpental ke belakang saking
kagetnya.
"Hei tua bangka! Mau cari mati ya?" hardik orang yang mungkin sopir mobil itu.
"Bangsat!" imbuh sopir itu sebagai bonus dari cacian yang pertama tadi.
Rupanya dengan kebutaanku ini aku tak sadar kalau aku sudah berada di tengah jalan
raya yang masih sepi kendaraan sehingga aku merasa masih ada di gang kecil yang
memanjang di depan rumahku.
Kubalikkan tubuhku. Kemudian aku berusaha berjalan ke pinggir jalan. Tongkatku
terus berusaha mencari trotoar di pinggir jalan. Setelah ketemu, kuteruskan jalanku di
sepanjang trotoar.
Masih terngiang di telingaku ini cacian orang itu. Sudah benar-benar membatukah
hati orang-orang sekarang ini? Orang tua lagi buta seperti aku ini tega-teganya ia caci.
Kubiarkan kakiku terus melangkah. Keringat sudah mulai menetes dari keningku.
Sinar surya yang tadi pagi terasa hangat bersahabat kini sudah mulai terasa teriknya.
"Copet! Pencuri!" Kudengar sama-samar suara seorang wanita. Segera aku tahu
maksud teriakan wanita itu. Ia pasti sedang kecopetan.
"Copet! Copet!" Terdengar suara teriakan itu mulai diikuti suara orang lain. Kudengar
suara teriakan yang berasal dari depanku itu semakin lama semakin keras dan mendekat.
Tiba-tiba
Brak! Ada orang yang menabrakku. Aku jatuh telentang dan kurasakan orang yang
menabrakku itu ikut terjatuh. Kakinya yang satu terasa menindih perutku. Suara napasnya
yang terengah ketakutan terdengar cukup jelas. Kaki yang menindih perutku mulai terangkat.
Orang itu berusaha bangun.

Tak tahu mengapa tanganku yang masih memegang tongkat itu seakan bergerak
dengan sendirinya dan bergerak menghempas keras kaki orang yang telah menubrukku itu
sehingga ia jatuh lagi.
"Itu pasti copetnya!" Terdengar teriakan banyak orang di sekelilingku yang semakin
lama semakin mendekat ke arahku.
"Ampun Bang! Ampun!" "Ayo cepat kita keroyok saja maling itu. Biar kapok dia dan
komplotannya!" Tak lama, terdengar olehku suara seperti buah kelapa yang jatuh dari
pohonnya, disertai jerit kesakitan.
Tiba-tiba mataku merasakan ada sesuatu yang terang menyilaukan. Dengan
pandangan yang sedikit kabur dan semakin lama semakin jelas, aku dapat melihat maling itu
sedang dikeroyok ramai-ramai.
Sejenak kemudian aku baru sadar kalau sekarang aku bisa melihat lagi. Mungkin
karena ditubruk copet itu kini mataku bisa melihat lagi. Begitulah pikirku saat itu. Yang jelas,
ini adalah keajaiban.
Masih kusaksikan kerumunan orang itu baru bubar setelah suara sirine mobil polisi
meraung-meraung. Dalam beberapa saat, polisi langsung memasang pita kuning di sekeliling
laki-laki yang telah tewas itu. Entah apa namanya itu. Yang jelas, aku tahu kalau pita kuning
itu tak boleh dilewati oleh orang selain petugas.
Kudekatkan diriku pada laki-laki copet yang telah babak belur dikeroyok banyak
orang itu. Kulihat wajahnya dengan seksama.
"Astaghfirullahal adziim!" Aku begitu kaget setelah melihat wajah laki-laki itu.
Mengapa orang itu mirip sekali dengan diriki saat masih muda dulu? Seketika aku, entah
mengapa, merasa yakin kalau laki-laki itu adalah anakku sendiri. Seandainya saja aku masih
buta, aku tak akan malu melihat anakku yang berbuat keji seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai