Sejarah Doktrin Gereja
Sejarah Doktrin Gereja
Konsili Vatikan II adalah Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara
tanggal 11 Oktober 1962 dan tanggal 8 Desember 1965 diadakan empat periode
sidang. Jumlah Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara
daripada yang menghadiri Konsili-konsili sebelumnya. Tercatat ada 2549 Bapa
Konsili yang hadir dalam Pembukaan serta 29 pengamat dari 17 Gereja lain, dan 8
undangan yang bukan Katolik. Jumlah tersebut belum lagi ditambah para pendengar
secara langsung pria dan wanita dari pelbagai kalangan, perhatian besar media cetak
dan radio, serta beragam informasi seputar Konsili bagi umat seluas dunia.
Baik Paus Pius XI (1922-1939) maupuan Paus Pius XII (1939-1958) pernah berpikir
tentang membuka kembali Konsili Vatikan I (1869-1870) yang terpaksa berhenti
karena perang antara Perancis dan Prusia. Tetapi Paus Yohanes XXIII-lah yang
mengejutkan gereja semesta dengan maklumat penuh optimisme pada 25 Januari
1959, bahwa beliau bermaksud mengundang suatu konsili baru dan sungguh
senyatanya yang baru karena tidak dimaksudkan sekadar melanjutkan Konsili Vatikan
I.
Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah sebuah peristiwa religius, intelektual, dan
politis yang mnenetukan dalam sejarah kontemporer Gereja Katolik. Konsili ini
membawa perubahan besar atas diri Gereja dalam memandang dirinya sendiri dan
1
dunia semesta. Inovasi-inovasi pemikiran akademis dan refleksi iman dalam konsili
ini dilontarkan dengan cemerlang tanpa berusaha meninggalkan tradisi dan ajaran
iman yang telah lampau.1 Konsili Vatikan II tampak hendak meneguhkan kembali
doktrin iman yang telah dipegang kukuh selama berabad-abad seraya pada saat yang
sama juga membadankan cita-cita dan arah yang baru.
Sampai hari ini, hasil-hasil Konsili Vatikan II masih terus menentukan arah dan
pijakan Gereja Katolik. Sebagai peristiwa, tentu saja hasil Konsili Vatikan II ini
lebih dari sekumpulan dokumen ajaran yang lalu dikodifikasi dan menjadi bahan ajar.
Maka dari itu, paper ini akan berusaha menjawab pertanyaan utama: Apa sumbangan
Konsili Vatikan II bagi perkembangan doktrin Gereja dan bagaimana sumbangan itu
dihasilkan? Untuk itu, kami akan melihat Konsili Vatikan II dalam beberapa bagian
pokok, antara lain: latar belakang, isi dan relevansi serta kemungkinan refleksi lebih
lanjut dari hasil Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II pada zamannya adalah sebuah gerakan besar yang menjadi
semacam anti-tesis dari situasi internal Gereja yang makin tersingkir dari dunia
karena kekakuannya dan sikap kerasnya menanggapi tantangan zaman modern.
Perkembangan dunia yang terlalu cepat disikapi dengan sangat hati-hati. Pelajaran
bahwa modernitas akan menghasilkan liberalisme sebagaimana terjadi dalam masa
reformasi dan revolusi Perancis membuat Gereja sangat berhati-hati menentukan
sikap dan mencurigai semua gerakan pembaruan. Gereja telah membayar terlalu
mahal dengan hilangnya banyak previlese atas negara dan dengan jatuhnya darah
korban pada masa revolusioner dan perlawanan rakyat di zaman pencerahan yang
baru saja berlalu.
Dalam
kekhawatiran
yang
mencekam
inilah,
Gereja
mengambil
posisi
berseberangan dengan dunia yang sangat tidak pasti. Sebagai lawan pencarian
1
Bdk. James C. Livingston (et al.), Vatican II and the Aggiornamento of Roman Catholic Theology
dalam Modern Christian Thought: The Twentieth Century, Minneapolis, Fortress Press 2006, 237.
kebenaran yang terus berkembang bersama ilmu pengetahuan dan teknologi, Gereja
menyuarakan semper idem bagi kebenaran iman Kitab Suci yang literer dan
uniformitas ajaran dalam segala bidang. Sebagai lawan kondisi masyarakat yang
begitu dinamis jatuh bangun setelah aneka revolusi dan dua perang dunia, Gereja
memegang teguh gambaran kota surgawi yang rapi tersusun dan terpimpin secara
mutlak dalam menghayati dirinya sebagai institusi. Gereja tidak mau mengulangi lagi
kesalahan dalam menghadapi banyak tantangan dunia yang berkembang terlalu cepat
itu. Dan ini sebabnya, Gereja sebelum masa Konsili Vatikan II dikenal sangat reaktif
dalam menghadapi dinamika zaman. Dengan mengambil putusan tegas dan jelas dari
sistem komando papisme, Gereja seolah hendak menunjukkan suara profetisnya
sebagai suara yang melawan dunia dan mati-matian menentang kutub kebenaran yang
lain.
Ternyata sikap ini tidak dapat bertahan selamanya. Doktrin haruslah menjadi bagian
hidup jemaat dan menyentuh pergulatan orang banyak yang sedang berarak di zaman
baru. Pembaruan di akar rumput meluas di mana-mana. Suara tuntutan bagi sebuah
pembaruan mulai nyaring terdengar, walau banyak yang meramalkan bahwa pimpinan
Gereja masih akan tetap kaku menimbang dunia masih dalam kondisi yang tidak baik
karena efek perang dingin. Suara tuntutan akar rumput ini akhirnya ditanggapi dengan
undangan Konsili yang mengejutkan dari Paus Yohanes XXIII. Orang-orang pada
zaman itu masih belum dapat membayangkan seberapa besar pengaruh Konsili ini
bagi Gereja Semesta dan dunia di tahun-tahun berikutnya. Tetapi kita, generasi yang
mengalami buah-buah Konsili ini, dapat melihat bahwa Konsili Vatikan II adalah
sebuah Konsili Gereja yang khusus berbicara tentang dirinya sendiri; sebuah Konsili
Gereja dari dan bagi Gereja. Pandangan baru akan dirinya membuat Gereja kita
memandang secara baru pula dunia dengan seluruh dinamikanya.
Konteks besar Konsili Vatikan II adalah seluas kisah perjalanan iman Kristen itu
sendiri. Kami berusaha menempatkan pertama-tama Konsili Vatikan II secara ringkas
dalam dua periode millenium ziarah Kristianitas. Ringkasan sejarah penting dua
millenium itu diharapkan akan memberi gambaran yang lebih utuh tentang perjalanan
Gereja Katolik hingga sampai pada Konsili Vatikan II. Konteks dekat Konsili Vatikan
II akan dibahas dalam empat bagian: kelanjutan Konsili Vatikan I, ketokohan Paus
Yohanes XXIII, situasi sosial politik dan gerakan pembaruan yang makin marak di
dalam Gereja.
Gereja Purba
Abad pertengahan
Periode ini diawali dengan skisma Timur - Barat (1045). Pada masa ini
terjadi Perang salib yang dimulai pada tahun 1095 dan berlangsung
2
Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif-sebuah Pengantar, Jogjakarta, Kanisius, 2003, 19.
Thomas michel, SJ, Pokok-Pokok Iman Kristiani, Jogjakarta, Universitas Sanata Dharma, 2001, 85.
4
Eddy Kristiyanto, 20.
3
Dari saat jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, hingga akhir abad XVI
terjadi dua peristiwa yang menentukan perkembangan sejarah Gereja,
yaitu reconquista atau penaklukan yang dilakukan oleh Spanyol dan
Portugal atas sejumlah wilayah di luar benua eropah dan reformasi
protestantisme (1517). Gerakan Luther ini diikuti oleh gerakan yang
serupa di Swiss, yang dipelopori Ulrich Zwingli, dan kemudian Jean
Calvin, yang kemudian melahirkan Gereja-Gereja Reformed dan
Presbyterian.6
Asia,
Norman P. Tanner, Sebuah Sejarah Singkat Konsili-Konsili Gereja, Kanisius, Yogyakarta 2002, 87.
Bernhard Kieser, Kisah Iman Menelusuri Sejarah Ajaran Iman dalam Yesus Kristus, pro-manuscripto,
Yogyakarta 2005, 118.
8
10
dan suatu konsili ekumenik untuk seluruh Gereja. Ia memicu apa yang terbukti
menjadi episode yang paling berkesan dalam sejarah Gereja Katolik-Roma.
Dialah yang memulai pembaruan Gereja dari satu lembaga yang statis dan
otoriter, yang berbicara secara monolog, menjadi Gereja yang dinamis dan
bersaudara, yang menggalakkan dialog. Ia menekankan pentingnya dialog baik
dengan dunia maupun di dalam Gereja sendiri.
Sesungguhnya Paus Yohanes XXIII mengundang Konsili Vatikan II bukan
untuk membuat banyak pernyataan melainkan supaya konsili menjadi
peristiwa pembaharuan dalam Gereja-bagi Gereja11. Konsili yang diumumkan
Paus Yohanes XXIII memiliki dua sasaran yang saling berkaitan erat, yakni
pembaruan internal Gereja Katolik serta tujuan akhir persatuan Gereja12. Ia
merindukan sebuah pembaruan rohani dalam terang Injil, penyesuaian dengan
masa sekarang (aggiornamento) untuk menanggapi tantangan-tantangan
zaman modern dan sekali lagi pemulihan persekutuan penuh antara
segenap umat Kristen.
c. Situasi Sosial-Politik
Satu hal yang mungkin patut dicatat adalah diterbitkannya ajaran Sosial Gereja
yang pertama, yaitu Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII pada tahun
1891. Ensiklik ini tentu saja dilatari oleh ketidakadilan yang dialami oleh
kaum buruh sebagai korban kapitalisme. Situasi yang menjadi efek Revolusi
Industri di Inggris (1716) ini memang mengubah banyak hal baik di bidang
sosial-ekonomi maupun politik waktu itu. Situasi ini bisa dikatakan luput
dari perhatian Konsili Vatikan I yang dibuka kurang lebih satu setengah abd
setelah revolusi Industri ini (tahun revolusi Industri secara umum dihitung
sejak penemuan mesin uap oleh James Watt).
Selain itu muncul kenyataan makin meningkatnya kesadaran untuk
menghargai hak-hak asasi manusia. Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia
ini mencapai puncaknya (meski pelanggaran HAM masih banyak terjadi
hingga kini) pada tahun 1948 (10 Desember) ketika diumumkannya Deklarasi
11
Bernhard Kieser, Kisah Iman Menelusuri Sejarah Ajaran Iman dalam Yesus Kristus, 162.
Georg Kirchberger-John M. Prior (ed), Konsili Yohanes XXIII Berpancawindu 1962-2002, Ende,
Ledalero, 2003, 35.
12
terhadap
Maka,
gerakan
ini
interpretasi
dan
implementasi
atas
konsili.
Rahner,
Congar,
Pembaharuan Liturgi15
Paus Pius X mengetahui benar suasana Gereja dan suasana umat pada
zamannya. Maka dengan motu proprio Tra le sollecitudini tentang
musik Gereja pada tanggal 22 November 1903, ia mendesak perlunya
suatu peran serta aktif (participatio actuosa) dari umat beriman dalam
misteri-misteri dan doa resmi liturgi Gereja. Istilah participatio
actuosa ditanggapi dengan amat baik oleh Lambert Beauduin (18731960). Beauduin memakai kata participatio actuosa sebagai program
utama dari gerakan pembaharuan yang ia motori. Tujuan karya
pastoralnya adalah menyadarkan umat bahwa liturgi bukan hanya
urusan klerus saja, melainkan juga urusan seluruh umat dan warga
Gereja. Beauduin memperoleh kesempatan untuk memperkenalkan
konsep pembaharuan liturginya di Keuskupan Agung Mechelen, Belgia
pada tahun 1909. Sidang itu menyetujui suatu usaha penerjemahan teks
misa dan ibadat sore ke dalam bahasa pribumi. Peristiwa sidang di
Mechelen ini dipandang sebagai hari lahir gerakan pembaruan liturgi.
Seiring dengan gerakan pembaruan liturgi, di Eropa juga muncul aneka
gerakan lain seperti gerakan kembali ke sumber. Gerakan kembali ke
sumber merupakan gerakan dalam hidup Gereja yang ingin mencari
sumber hidupnya langsung dari sumber asli Gereja yakni Kitab Suci
dan tulisan Bapa-Bapa Gereja. Maka, studi terhadap naskah-naskah
kuno kembali digalakkan termasuk di dalamnya usaha menemukan
kembali warisan liturgi yang telah lama dilupakan.
Sasaran utama gerakan pembaruan liturgi abad XX adalah agar umat
memahami liturgi yang mereka rayakan dan agar umat dapat
mengambil bagian dalam liturgi secara aktif. Wujud konkrit gerakan
15
E. Martasudjita,Pr, Pengantar Liturgi Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta, Kanisius,
1999, 71-73.
10
pembaruan liturgi adalah studi terhadap sejarah dan makna liturgi dari
berbagai usaha penerjemahan dan penyusunan teks liturgi. Contoh hasil
gerakan ini ialah dibuatnya misa dialogata, dimana umat ikut
menjawab secara lebih aktif dalam Perayaan Ekaristi.
Akibat pembaruan liturgi ini maka ada kelompok yang menentang
termasuk pihak Roma. Maka Paus Pius XII mengeluarkan Ensiklik
Mediator Dei pada tahun 1947 yang merupakan tanggapan resmi
pertama dari Roma mengenai gerakan pembaruan liturgi ini. Pada
prinsipnya Mediator Dei mengakui dan menyetujui usaha gerakan
pembaruan liturgi itu. Mediator Dei menyebut pembaruan liturgi
sebagai suatu penyelenggaraan Ilahi bagi zaman ini. Namun, Pius XII
juga memperingatkan akan segala usaha pembaruan yang berlebihan.
Aksi katolik
Joseph Cardijn (seorang Kardina di Belgia) adalah salah satu tokoh
penting kalau berbicara mengenai Aksi Katolik di seluruh dunia.
Perhatian J. Cardijn pada masalah-masalah social sendiri sebenarnya
juga diinspirasi oleh sebuah organisasi di Prancis bernama Le Sillon.
Organisasi ini adalah sebuah gerakan yang menekankan peran kaum
muda awam Katolik dalam mewujudkan pembaharuan sosial dan
demokrasi.
Aksi ini muncul pertama kali di Belgia pada tahun 1917 , pada
lingkungan pekerja muda Katolik. Saat itu kondisi pekerja muda di
Belgia memang cukup memprihatinkan. Banyak terjadi pelecehan
seksual terhadap pekerja perempuan remaja, upah yang kurang layak,
perlakuan kasar dari pekerja lebih tua, serta pekerjaan yang terlampau
berat
bagi
anak-anak
/remaja,
dsb. Akibatnya
meluas
pada
kemerosotan moral dan rohani. Kaum muda banyak yang terseret arus
sekularisasi (dan industrialisasi) yang cendrung menjauhkan mereka
dari Gereja.
Pada situasi inilah Cardijn muncul membangkitkan kembali kaum
muda Belgia untuk membentuk Aksi Katolik, yang awalnya berbentuk
11
12
Perubahan pokok dalam paham Gereja baik pada konsili maupun dalam
perkembangan sesudahnya adalah pergeseran titik berat dari atas ke bawah. Gereja
tidak lagi bersifat piramidal, melainkan dibangun dari bawah, dari dalam umat-umat
yang kecil. Kolegialitas yang mengikutsertakan secara aktif semua uskup dalam
pimpinan Gereja, mempunyai pengaruh pada seluruh kehidupan Gereja. Dengan
prinsip kolegialitas, ditinggalkan sentralisme Gereja. Sumber inspirasi tidak lagi
terletak dalam pusat tertinggi, melainkan dalam umat-umat setempat. Kolegialitas
berakar dalam communio.17 Menurut Rahner, Gereja sebagai peristiwa haruslah
bersifat lokal dan merupakan jemaat lokal. Gereja adalah 'himpunan manusia yang
beriman kepada Allah dalam Yesus Kristus'. Sebagai himpunan, Gereja itu inderawi
dan senantiasa perlu diaktualisasikan terus menerus oleh umat yang bersangkutan
dalam lingkungan yang kongkrit. Hanya dengan demikian Gereja menjadi aktualisasi
iman bersama, bahwa Sabda Allah benar-benar masih selalu hadir di dunia: Menurut
Rahner, Gereja menjadi penampakan historis Kehendak penyelamatan Allah yang
telah 'terjadi dalam Kristus'. Atau dengan kata-kata Lumen Gentium: Gereja menjadi
sakramen persatuan antara Allah dengan manusia dan antara manusia satu dengan
yang lain (LG 1). Persatuan ini hanya real dalam ruang dan waktu yang kongkrit dan
terbatas, khususnya dalam Ekaristi. Maka, Gereja sebagai peziarah, konkret hadir
dalam Gereja lokal dan dalam kesatuannya sebagai Tubuh Kristus.
Terjadi perubahan dalam ekklesiologi. Perubahan dalam hidup Gereja berarti
perubahan dalam pandangan terhadap Gereja. Ekklesiologi Konsili berbeda dengan
ekklesiologi Pius XII. Perubahan pokok dalam pandangan terhadap Gereja ini terjadi
pada Konsili, dengan penggeseran dari ekklesiologi yang bercorak Tubuh Mistik
17
Tom Jacobs, Di mana letak perubahan dalam Gereja?, Seri Pastoral No. 11, Yogyakarta, Pusat
Pastoral, 1979, hlm. 14.
13
Kristus18 ke arah Gereja sebagai Umat Allah. Perubahan ini berarti perubahan dari
ekklesiologi yang statis-essentialistis ke arah ekklesiologi yang dinamis-historis. Yang
baru bukan paham Umat Allah, yang sudah terdapat dalam Kitab Suci, melainkan
ekklesiologi yang berpola pada Gereja sebagai Umat Allah.
Mengapa Konsili menyodorkan kembali paham Umat Allah? Gagasan baru yang
diberikan Konsili ingin memperlihatkan sifat historis Gereja, yang hidup inter
tempora; menempatkan hirarki dalam keseluruhan Gereja sebagai suatu fungsi,
sehingga sifat pengabdian hirarki lebih kelihatan. Dengan demikian, lebih nampak
pluriformitas Gereja bukan hanya dalam pelayanannya tetapi juga dalam aneka ragam
Gereja setempat, tradisi dan kebudayaan. Maka juga dihindari soal tentang
keanggotaan Gereja dan semua orang mendapat tempatnya dalam rencana
keselamatan Allah. Gereja dilihat dalam sejarah keselamatannya senantiasa
berkembang di bawah naungan Roh Kudus. Gereja sebagai misteri dalam
perkembangannya dimulai dari bawah, dari kalangan umat sendiri. Hirarki jelas
hanya mempunyai fungsi pelayanan. Namun tetap dipertahankan aspek sosial dan
manusiawi Gereja, tapi tidak lagi ditekankan segi organisatorisnya, malah sebaliknya:
lebih diutamakan aspek kharismatisnya. Gereja adalah komunikasi iman, di mana
orang saling membantu dan saling menyokong dalam kehidupan iman.
Apa yang baru dalam paham Umat Allah pada Konsili? Dalam ekklesiologi baru ini
tekanan ada pada umat. Perubahan bukan soal kuasa atau pemerintahan di dalam
Gereja. Yang pokok ialah bahwa keselamatan dilihat menurut aspek historisnya, dan
bukan hanya secara individualistis saja. Subyek keselamatan itu adalah Gereja
seluruhnya, yang menghayati dan melaksanakan imannya sebagai komunikasi. Maka,
aspek sosio historis iman dan keselamatan tidak ditambahkan, melainkan masuk
dalam hakikat Gereja itu sendiri. Gereja sebagai communio adalah subyek iman.
Pribadi-pribadi di dalam Gereja itu berarti mengambil bagian dalam iman bersama.
Namun tidak secara kolektif dan anonim. Partisipasi ini adalah keterlibatan secara
pribadi. Ekklesiologi baru mau meletakkan pusat iman bukan dalam aku yang
individualistis, melainkan dalam kita sebagai subyek panggilan Tuhan.
18
Tubuh Mistik Kritus dilihat dalam hubungannya dengan Kristus yang mendirikan dan tetap
memimpin Gereja melalui hirarki dan dengan kehadiran Roh Kudus. Gereja dilihat sebagai realitas
sosio-korporatif yang tersusun secara organis dan yang diidentifikasi dengan Gereja Roma-Katolik.
Maka yang ditonjolkan lebih pada aspek yuridis Gereja, dan terutama fungsi hirarki.
14
Dengan kata lain, melalui Konsili Vatikan II, Gereja menyadari diri sebagai Umat
Allah (LG bab 2). Dan yang dimaksud dengan Gereja, itu bukan hanya awam atau
hanya hirarki, melainkan seluruhnya. Sedangkan Hirarki (yang dalam kurun waktu
sebelumnya kerap disamakan dengan Gereja) itu baru dibicarakan dalam LG Bab 3.
Artinya: Hirarki memang diperlukan sebagai pelayan Umat Allah. Sedangkan awam
juga dilihat dalam pengutusannya yang lebih luas bukannya menjadi 'pelengkap
penyerta' (atau malah sering 'pelengkap penderita') bagi hirarki melainkan sebagai
rekan Hirarki untuk mewujudkan segi sekuler Pengutusan Gereja. Bahkan juga
ditegaskan bahwa dalam beberapa segi hidup, hanya awamlah yang mampu
menjalankan pengutusan Gereja (LG a.33).
Selain itu Konsili Vatikan II juga ingin mengungkapkan dan menjelaskan ajaran
tentang para Uskup, pengganti para Rasul, yang dengan Pengganti Petrus, wakil
Kristus dan Kepala lahiriah seluruh Gereja bersama-sama memimpin seluruh Gereja
(LG a.18). Maksudnya, Konsili Vatikan II mau melengkapi keputusan Konsili Vatikan
I perihal Primat dan Ketidak-dapat-sesatan Paus. Dalam hal itu Vatikan II menggarap
kembali teologi Episkopal yang dalam perjalanan sejarah Gereja (khususnya dalam
abad pertengahan) agak tersisihkan. Ditegaskan lagi kedudukan kolegialitas para
Uskup, yang memang hanya mempunyai wewenang dalam kesatuan dengan Uskup
Roma sebagai kepalanya serta tanpa menodai kekuasaan primat Paus di atas semua
gembala dan umat beriman (LG a.22-23). Dengan prinsip kolegialitas ini Uskup
mengambil bagian dalam pemeliharaan rohani Gereja-Gereja partikuler yang lain dan
seluruh Gereja Semesta.19
2.2 Liturgi yang Tidak Mengasingkan Umat
Dalam Gereja sesudah Vatikan II, yang ditinggalkan bukan hanya teologi skolastik,
tapi ada pula kecenderungan untuk memutuskan segala hubungan dengan tradisi.
Inspirasi dari bawah lebih dipentingkan ketimbang ajaran yang diwariskan. Liturgi
dalam Gereja pun mendapat wajah yang serba baru. Sebab Paus Paulus VI tidak
hanya menghendaki supaya seruan konsili untuk membarui diri dilaksanakan
sepenuhnya, tetapi bahkan supaya pembaharuan itu lebih jauh lagi dari apa yang
diharapkan konsili.20
19
20
15
Sesudah pengantar teologis tentang peranan liturgi dan khususnya Ekaristi suci yang
bagi Gereja penting sekali, Konstitusi Sacrosanctum Concilium menggariskan
prinsip-prinsip pembaharuan hidup liturgis Gereja secara mendalam. Upacara-upacara
perlu diperbarui sedemikian rupa, sehingga lebih jelas melambangkan misteri
penyelamatan dan memungkinkan partisipasi aktif yang lebih penuh oleh semua
warga Gereja.
Hal baru yang ditekankan dalam Konsili Vatikan perihal liturgi ialah liturgi tidak lagi
dipandang sebagai tindakan kaum klerus saja, melainkan semua umat Allah. Maka,
partisipasi dan sentuhan personal dalam liturgi pun mulai diperbarui. Salah satu
contoh, perubahan penggunaan bahasa. Sebelum konsili, bahasa liturgi yang
digunakan adalah Latin, yang hanya diketahui oleh kaum klerus.
Konsili juga menekankan kaitan atau hubungan antara liturgi dan Gereja. Dalam
Konsili dijelaskan bahwa liturgi merupakan perayaan Gereja semesta. Hal ini tentunya
berkaitan pula dengan konsep Gereja sebagai komunio, kesatuan Tubuh Kristus.
Konsili Vatikan II menekankan bahwa subyek dari liturgi ialah umat Allah itu sendiri.
Maka, perayaan ekaristi juga dilihat sebagai perayaan umat Allah.
Perayaan liturgi dalam bahasa nasional memungkinkan partisipasi dari seluruh umat.
Dan umat tidak hanya ikut serta, mereka harus menyumbangkan pikiran dan
penghayatan dalam membentuk perayaan litugi dan kehidupan Gereja seluruhnya.
Kaum beriman berpartisipasi dalam kehidupan dan persoalan Gereja dan dunia.
tampil
dengan
wajah
pembaharuan
yang
melibatkan
diri
pada
masalah-masalah dunia, soal-soal sosial, kemiskinan, perang dan damai. Hal ini
berangkat dari keinginan para Bapa Konsili untuk memandang Gereja dalam kaitan
dengan dunia saat ini. Bersamaan dengan itu ada keinginan memandang dunia
mutakhir dengan kaca mata iman. Dunia modern adalah kancah iman mutakhir.
Dengan bertolak pada Gaudium et Spes, Gereja menampilkan dirinya dengan cara
baru: mau melayani dunia. Teologi juga berusaha untuk semakin mengolah iman dan
semakin membumi terhadap kehidupan dunia yang nyata. Tentu saja hal itu terjadi
tidak tanpa ketegangan. Prosesnya tetap dibebani oleh ketegangan antara ekstrim
16
progresif atau konservatif. Bagi beberapa pihak, Gereja terlalu lambat melaksanakan
keputusan Konsili. Namun, bagi kelompok lain Gereja terlalu radikal dan kurang
memperhatikan ortodoksi.
Gaudium et Spes dilihat sebagai ringkasan karya konsili maupun penerapan
kehidupan di dalam Gereja dan di luar Gereja. Ini merupakan dekret pertama dalam
sejarah konsili-konsili ekumenis dan umum yang ditujukan langsung ke dunia yang
luas. Gaudium et Spes mempunyai judul resmi: Gereja di dalam dunia dewasa ini
dan ingin memperlihatkan bagaimana Gereja memahami kehadiran dan usahanya di
dalam dunia dewasa ini (GS 2). Secara khusus konsili ingin berbicara kepada semua
orang untuk menjelaskan misteri manusia dan untuk turut berusaha memecahkan
masalah-masalah utama zaman kita ini (GS 10). Justru di situlah letak pokok
konstitusi pastoral ini. Sebab Gereja. Mempunyai tujuan keselamatan dan
eskatologik, yang hanya dapat tercapai sepenuhnya di dunia yang akan datang (GS
40, 2).21 Poros seluruh uraian dari Gaudium et Spes ini adalah manusia, dalam
kesatuan dan dalam keseluruhannya, dalam tubuh dan jiwa, dengan suara hati, budi,
dan kehendak (GS 3). Manusia dengan segala integritas yang dimiliki tersebut serupa
dengan Gambar dan Rupa Allah.22 Dan lebih tegas lagi diuraikan dalam GS 40, 1:
Semua yang telah kami katakan tentang martabat pribadi manusia, tentang
masyarakat manusia, dan tentang arti mendalam kegiatan manusia, semua itu
merupakan dasar untuk hubungan antara Gereja dan dunia.23
Dunia dalam konteks ini adalah dunia manusia, di mana seluruh keluarga manusia
dengan alam semesta yang di tengahnya manusia hidup. Apa yang disebut hubungan
antara Gereja dan dunia adalah pertama-tama hubungan antara dua pola dalam
kehidupan orang beriman sendiri, sesuai dengan paham Gereja yang sakramental.
Manusia disebut dunia sejauh ia sebagai subjek otonom berhadapan dengan Allah.
Ia disebut Gereja sejauh hubungannya dengan Allah terungkap dalam bentuk yang
khusus, yang lazim disebut agama (sakramen). Yang dipanggil oleh Allah, dan yang
dirahmati dalam Kristus, bukan Gereja melainkan dunia. Gereja mengartikulasikan
iman dunia.24 Maka, apa yang disebut dialog antara Gereja dan dunia, sebenarnya
tidak lain daripada dialog antara manusia sendiri sebagai subjek otonom (GS 36) dan
21
Dr. Tom Jacobs, SJ, Gereja menurut Vatikan II, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 33
Anthony O. Erhuech, Vatican II: Image of God in men, Roma: Urbaniana University Press, 1986,
hlm. 1-2
23
Ibid. hlm 34
24
Ibid.
22
17
sebagai anggota Gereja. Titik pangkalnya bukan Gereja melainkan dunia sebagai
perwujudan otonomi manusia.Berangkat dari pemahaman itu, Gereja tidak lagi
menempatkan diri di samping dunia (seperti terjadi dalam eklesiologi mengenai
Gereja dan Negara). Gereja dan dunia adalah satu, yaitu manusia menurut dua
aspek relasinya dengan Allah. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian yaitu:
Bagaimana di dalam Gereja, manusia dapat hidup sebagai subjek otonom yang
bertanggung jawab secara pribadi atas hidupnya sendiri, dan atas hidup sesama
manusia? Dan lebih khusus lagi: sejauh mana Gereja membantu orang menghayati
iman sebagai realitas hidup.
dalam situasi nyata (bdk. Evangelii Nuntiandi/EN 21, 49, 76). Oleh sebab itu dalam
hidup Gereja dan kegiatan pewartaannya, Gereja Indonesia harus menampilkan segi
kesaksian. Hanya apabila sungguh meresapi segala kegiatan gerejawi, maka kesaksian
iman menjadi efektif dalam konteks masyarakat setempat dan menjadi suatu tanda
yang membawa rakyat untuk ingin (lebih) mengetahui Kabar Gembira dan mengakui,
bahwa Allah sekarang inipun hadir di antara manusia untuk menyelamatkan.
Bila mengingat situasi hidup rakyat kita, maka buah hadirNya Roh yang menjadi inti
kesaksian kita memuat implikasi-implikasi tertentu bagi kita. Seluruh jemaah
(rohaniwan, awam, biarawan/biarawati) haruslah hidup dalam proses terus menerus
untuk kritis kepada diri sendiri, dalam terang Injil, baik pada taraf perorangan,
keluarga/komunitas, kelompok atau lingkungan atau wilayah atau paroki serta
keuskupan dan nasional. Dengan upaya itu sedikit demi sedikit kita semua dapat
memancarkan wajah Kristus.
Pilihan pertama sikap pastoral kita adalah: bahwa jemaah kristiani sendiri (baik imam
maupun awamnya, baik biarawan maupun biarawatinya) harus semakin bertobat
kepada Injil agar dapat mewartakan Injil kepada orang lain. Lebih dari itu, kita,
sebagai jemaah, perlulah memeriksa persekutuan kita dan keterlibatan kita kepada
rakyat jelata yang miskin dan hina-dina. Artinya kita harus membuka mata dan telinga
untuk menangkap keluh kesah mereka, menghargai mereka dan menawarkan upaya
menemukan kejelasan makna hidup, usaha membesarkan hati mereka serta jalan
memperbaiki situasi mereka. Kita harus mempersilahkan Tuhan untuk membimbing
kita sedemikian sehingga kita dapat betul-betul menciptakan persatuan lahir-batin
dengan mereka dalam satu tubuh dan satu Roh.
Hal itu menuntut dari kita suatu hidup dalam doa yang lebih bersungguh-sungguh;
suatu kesediaan untuk merenungkan sabda Kitab Suci dan suatu kesiagaan untuk
menanggalkan hak-hak istimewa, cara berpikir, ideologi, relasi-relasi khusus dan
milik-milik materiil kita (EN 76); suatu hidup yang lebih sederhana; suatu keterlibatan
yang nyata terhadap tugas besar memeratakan milik; kerjasama tulus dalam
masyarakat demi kepentingan umum; dan segala karya karitatif juga. Begitulah
seharusnya umat beriman menjadi saksi Kristus, menjalankan 'martyria'.
20
21
Gereja mempunyai satu jiwa-pemersatu: menjadi 'kami/kita'. Dia berada dalam setiap
pribadi warga Gereja.
Di dalam pemikiran di atas ada pemahaman mengenai "Corporate Personality", yang
merupakan gagasan sentral baik dalam PL maupun dalam PB. Berlandaskan hal itu
lebih mudahlah kita dapat memahami ucapan "Paguyuban Umat Beriman sebagai
Tubuh Kristus" seperti dalam Kis 9:4 dst; jemaat itu satu dalam Kristus (Gal 3:28)
atau malah Jemaah-Kristus (1 Kor 1:13; 8:12; 12:12) dan Kristus beserta Gereja
menjadi satu Manusia Baru (Ef 2:15) serta malah Manusia Sempurna (Ef 4:13). Dan
pengikat semuanya itu adalah Roh.
Secara ringkas: Paguyuban Umat Beriman dapat disebut sebagai Kesatuan atas
satunya Jiwa (Roh Kudus) dalam aneka pribadi yang beriman pada Kristus. Roh
Kudus yang menghidup Sabda Yang Berinkarnasi, sekarang menghidupkan
paguyuban umatNya sebagai kesatuan dalam ruang dan waktu pula. Jadi kehadiran
terus menerus Yesus Kristus dalam sejarah, sebagaimana berkat Roh Kudus Kristus
merupakan Sakramen Bapa, demikian pula berkat Roh Gereja merupakan Sakramen
Kristus, Sang Terang Bangsa-bangsa.
2.6.2 Pemersatu Lahiriah 27
Dalam bahasa gerejani awam diistilahkan 'laicus' yang berasal dari bahasa Yunani
'laikos' (yang termasuk/dari rakyat). Dalam rangkaian pengertian teologik, awam
berarti mereka yang tidak termasuk kelompok orang yang mempunyai kekuasaan
dalam Gereja. Dalam Kitab Suci pemisahan ini kena dalam pembedaan antara
kawanan ternak dan gembala (Kis 20:28.31; 1 Ptr 5:3), antara bangunan dan
pembangun (1 Kor 3:5-9; 2 Kor 3:4 dst), yang dalam jaman para Bapa Gereja jelas
dipakai oleh Klemens Alexandria, Tertullianus, Origenes dan Cyprianus. Dengan
begitu tidak mau dikatakan, seakan-akan awam hanya menjadi obyek belaka atau
menjadi pendukung lingkungan yang berdosa. Sebab semua warga Gereja (juga
klerus) itu menerima kekuasaan, bukan pembuat atau pemiliknya. Apa lagi dalam
Kitab Suci juga jelas, bahwa semua saudara dalam Kristus dipanggil untuk mendapat
warisan sebutan Putera, membangun Rumah Allah yang kudus dan bangsa milik Allah
yang kudus (1 Ptr 2:5.9 dst; 1 Kor 3:16 dst; Ef 2:19-22; Ibr 10:21 dst).
27
Ibid.
22
Maka dari itu 'awam' diartikan positif: orang yang dibaptis, warga (bukan obyek)
Gereja, sehingga memiliki peran aktif dan tanggung jawab dalam Gereja serta
termasuk dalam Umat Suci Allah (1 Ptr 2:10), harus menjadi saksi dari rahmat Allah
yang dalam Kristus merupakan penebusan. Kesaksian itu terjadi dengan seluruh
hidupnya (juga dengan kata-katanya). Dengan begitu awam ikut ambil bagian dalam
penugasan Gereja untuk mengangkat keterarahan intrinsik manusia dalam segala
seginya (kebudayaan dan sejarah) dengan menantikan dan menyambut Kerajaan
Allah; untuk ikut merayakan persembahan Gereja sebagai bagian penuh Gereja; untuk
menjalankan tugas misionaris ke luar. Awam pun juga dapat menerima
kharisma-kharisma khusus yang sering dipergunakan oleh Allah untuk memimpin
GerejaNya, walaupun dalam hal itu awam tersebut membawahkan kharismanya
dengan penuh ketaatan kepada Gereja seluruhnya melalui pemimpin resmi Gereja.
Apabila awam membantuk klerus dalam tugasnya, disebut 'Actio Catholica'. Apabila
bantuan awam itu menjadi tugas 'fulltime' hendaknya dia dimasukkan saja dalam
kalangan klerus. Sebab tugas utama awam adalah terlibat dalam dunia, tempat dia
menyampaikan baktinya kepada Allah dan memberikan kesaksiannya atas Kerajaan
Allah. Awam juga harus hidup sedemikian sehingga pelaksanaan tatadunia dan
strukturnya terjadi secara serasi dan kristiani dan berarti bagi keselamatan dunia.
Sebab dengan begitu perwujudan setiap manusia dan dunia terlaksana, yang akhirnya
harus sampai kepada Allah. Begitulah seluruh jemaah mewujudkan iman bahwa Allah
sungguh telah menjadi manusia.
Setelah melihat isi besar Konsili Vatikan II secara tematik dan umum, baiklah kita
melihat bagaimana Konsili ini sungguh membarui Gereja. Konsili Vatikan II sungguh
membarui Gereja justru karena ia senyatanya menjiwai makna sesungguhnya Konsili
Ekumenis yang memiliki keprihatinan luar biasa dalam sisi pastoral.
3.1 Keistimewaan Konsili Vatikan II (?)
Berbicara mengenai keistimewaan Konsili Vatikan II tidak bisa lepas dari Konsili
Vatikan I. menurut Kieser, Konsili Vatikan I merumuskan tempat dan tugas paus
23
dalam gereja dan khususnya infallibilitas paus dalam pengajarannya yang resmi
mengenai hal iman dan moral, supaya tersedia bagi gereja suatu sarana untuk
memberikan jawaban tegas dan tangkas terhadap masalah pastoral. Menurut Tom
Jacob, fungsi infallibilitas Paus serupa dengan inspirasi, dicari dasar yang kokoh kuat
untuk iman akan sabda Allah.28
Pada konsili vatikan II ini sedikit berbeda tekanannya jika dibandingkan dengan
Konsili Vatikan I. sejak Konsili Vatikan I, selalu ada usaha untuk lebih menekankan
segi misteri dan segi pneumatis Gereja. Gereja dilihat bukan pertama-tama secara
horisontal menurut konstitusi historisnya, tetapi secara vertikal sebagai kehadiran
Tuhan yang mulia. Gereja, sebagai misteri rahmat, dilihat dari sudut umat beriman.
Dengan keterlibatan seluruh umat mau dihapus faham gereja yang piramidal. Namun
kebanyakan bapa konsili tidak suka akan ide Tubuh Mistik, karena dianggap terlalu
kabur. Maka istilah ini tidak ada dalam konsili vatikan I. dengan Perang Dunia I
tergoncangkan kepercayaan akan organisasi dan otoritas. Maka sesudah Perang Dunia
I timbul lagi banyak perhatian untuk Tubuh Mistik khususnya sebagaimana diuraikan
dalam KS dan patristik. Karangan ini menekankan karya rahmat
dan sering
mengembangkan tema tubuh mistik sebagai dasar untuk moral dan spiritualitas. Di
dalamnya
pandangan
spiritualistis
dikawinkan
dengan
pandangan
yuridis-
Tom Jacobs, Latarbelakang Dekat Konsili Vatikan II, Spektrum 14, 1986, 63.
Tom Jacobs, Latarbelakang Dekat Konsili Vatikan II, 65.
24
mulai di kalangan protestan tetapi lama kelamaan mempunyai pengaruh dalam Gereja
Katolik. Titik awal resminya adlah Edinburgh Missionary Conference (1910).
Namun akar-akarnya terletak dalam gerakkan misi yang mempertemukan Gerejagereja dalam karya pewartaan.30
3.2 Jiwa sebuah Konsili
Untuk menjelaskan kata konsili, Norman P. Tanner mengkaitkan dengan sinode. Baru
pada akhir-akhir ini saja mulai dibedakan antara konsili dan sinode. Perbedaannya
antara konsili dan sinode demikian. Sinode mempunyai peran memberi nasehat atau
konsultasi. Sedangkan konsili mempunyai kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Pembedaan ini tertera dalam kanon 342-248 KHK 1983.31 Oleh sebab itu, pembedaan
itu merupakan sebuah pembaruan yang belum lama diadakan dan hanya berlaku untuk
Gereja Katolik Roma.
Hingga tahun 1960an dan oleh karenanya hampir selama masa yang akan diamati
dalam buku iuni, istilah sinode dan konsili praktis merupakan sinonim. Menurut
Norman, dua kata ini dapat diharapkan demikian karena dalam bahasa Inggris (dan
pasangan kata serupa dalam kebanyakan bahasa eropa: synode, concile dalam bahasa
Prancis, sinodo, concilio, yang berarti rapat tanpa ada muatan ciri penasihatan atau
ketatalaksanaannya. Baginya, mulai dari saat ini, demi lancarnya, konsili adalah kata
yang biasa digunakan karena kata itu lebih merupakan istilah yang biasa dalam bahasa
Inggris.32
Menurut Kieser, konsili berasal dari kata concilium (= bahasa latin). Dengan kata
concilium dimaksudkan suatu pertemuan yang sudah sekian kali sepanjang sejarah
telah diadakan dalam Gereja Katolik. Di antara gereja-gereja protestan, kata
concilium dipakai untuk usaha kesatuan yang berlangsung antara gereja-gereja kristen
sedunia bersama dengan organisasinya, yakni World Council of Churches. Di tahun
delapanpuluhan (abad 20), kata konsili bahkan dipakai untuk peristiwa-peristiwa
perjumpaan
antar
agama.
Maksud
pertemuan
untuk
membangkitkan
dan
25
selalu bersifat ekumenis.33 Menurut Kieser, pada tanggal 25 Januari 1959, Paus
Yohanes XXIII resmi mengumumkan akan ada Konsili Vatikan II. Bagi Paus Yohanes
XXIII, konsili diadakan bukan untuk kemajuan rohani umat kristiani saja. dalam
konsili, Paus mengundang semua kelompok dan golongan umat yang kini berpisah
untuk mencari kesatuan yang didambakan oleh begitu banyak di bumi. Menurut
Kieser, mengakui dan menerima konsili berarti mengusahakan hidup gereja dan
memang konsili diadakan untuk mengusahakan hidup gereja, bukan untuk
menghasilkan rumusan.34
3.3 Mengapa disebut Ekumenis?
Dalam menjelaskan Konsili Vatikan II sebagai salah satu konsili ekumenis, ada
masalah yang harus dihadapai sehingga konsili harus ekumenis. Adapun masalah
pokok dari konsili ekumenis adalah supaya khasanah suci dari ajaran kristiani
dipelihara dan dijaga serta diajarkan lebih berdampak. Ajaran itu menyangkut seluruh
manusia, tubuh, dan jiwanya; dan mendorong dia yang adalah musafir dan peziarah
untuk terus menerus mengarahkan pada surga. Konsili disebut ekumenis karena pada
umumnya mempunyai kekuatan mengikat untuk semua orang kristiani sebagaimana
dibedakan dari konsili-konsili setempat yang hanya memiliki kekuatan mengikat pada
satu tempat atau untuk satu masa saja.35
Berdasarkan sejarah gereja, konsili ekumenis pernah terjadi sebelum zaman modern.
Menurut Norman, ada tujuh konsili yang diakui sebagai konsili ekumenis baik oleh
Gereja Timur maupun Gereja Barat karena konsili itu diadakan sebelum terjadi skisma
dua Gereja pada abad 11, yakini Konsili Nicea I, Konsili Konstantinopel I, Konsili
Efesus, Konsili Kalsedon, Konsili Konstantinopel II, Konsili Konstantinopel III,
Konsili Nicea II.36 Lalu pada zaman modern, ada tiga konsili yang bisa dikatakan
ekumenis, antara lain: Konsili Trente, Konsili Vatikan I, dan Konsili Vatikan II.37
Dari situ menjadi jelas, bagaimana hidup kita memenuhi kewajiban dan tugas kita
sebagai warga bumi dan warga surga. Dengan demikian, manusia mencapai tujuan
33
Benhard Kieser, Diktat Kuliah Sejarah Dogtrin Gereja, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
2005, 162.
34
Benhard Kieser, Diktat Kuliah Sejarah Dogtrin Gereja, 163.
35
Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, 18.
36
Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, 27.
37
Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja, 18. Namun menurut Norman, ketiga konsili di zaman
modern ini dipertanyakan mengenai keekumenisannya. Atas pertanyaan itu, Norman tidak menjawab
secara langsung.
26
hidup yang ditetapkan Allah. maka, semua orang dipersatukan dalam masyarakat,
kini wajib terus-menerus selama hidup di dunia mengarahkan diri untuk mencapai hal
surgawi. Oleh karena itu perlu suatu ajaran yang berdampak di aneka bidang aktivitas
manusia, pribadi, keluarga, dan masyarakat. Gereja tidak boleh meninggalkan
kebenaran yakni warisan suci yang diterima bapa-bapa Gereja. Kewajiban kita bukan
hanya memelihara warisan suci itu, melainkan sungguh-sungguh tanpa takut
melibatkan diri pada karya dan usaha yang kini dituntut dari kita.
Berdasarkan realita itu, konsili vatikan II tidak hanya memelihara warisan berharga
itu. Dengan cara baru dan semangat apostolis yang kristiani katolik, Konsili Vatikan II
mengharapkan suatu langkah maju, supaya kita memperdalam ajaran dan membentuk
suatu kesadaran, setia dan seluruhnya sesuai dengan ajaran otentik. Lain halnya inti
pokok dari suatu ajaran lama yang termasuk dalam khasanah iman adalah cara ajaran
yang dikemukan. Justru yang terakhir ini membutuhkan perhatian besar.
Dengan kesabaran yang tepat, kita mesti menilai dan mengukur segala sesuatu,
mewujudkan, dan membentangkan suatu magisterium yang bersifat pastoral.
Tujuannya baik sebagai penggembalaan iman umat atas ajaran-ajaran yang
menyesatkan.
Lalu bagaimana konsili ekumenik dalam Konsili Vatikan II dijalankan? Konsili
vatikan II menolak skema komisi persiapan mengenai dua sumber wahyu (kitab suci
dan tradisi); kemudian pokok itu diolah kembali dan dirumuskan kembali menjadi
konstitusi dogmatik dei verbum tentang wahyu ilahi. Konsili tidak mau meninggalkan
agenda kontra-reformasi dan mulai bicara dengan gereja-gereja reformasi mengenai
iman-wahyu, mengenai kitab suci dan tradisi iman kristiani sebagai inti hidup gereja.
Konsili tidak mau membicarakan pokok yang memisahkan gereja katolik dan gerejagereja reformasi melainkan mau membicarakan pokok yang mempersatukan gerejagereja.
Yang penting dari pernyataan ekumenik adalah kutipan dari bapa gereja yang bukan
hanya hiasan melainkan menandakan kesatuan tradisi yang hidup dalam semua gereja;
lebih penting dari sekedar pertemuan ekumenik adalah cara konsili berpikir mengenai
liturgi, yakni wujud dasar gereja kita temukan dalam paguyuban yang berkumpul
dalam ekaristi. Perayaan ekaristi dan semua sakramen bersifat anametik dan epikletik.
27
Lebih penting pneumatologi mendapat tekanan baru dalam teologi trinitas dan bahwa
kristologi menjadi dasar kembali akan dimensi kosmik dan eskatologik.
Dalam arti katolik-teknik, Konsili Vatikan II bersifat ekumenik karena dihadiri oleh
uskup-uskup Gereja Katolik seluas dunia. dalam arti eklesiologis-teologis, konsili
vatikan II bersifat ekumenik, karena konsili mempertahankan keaslian gereja RomaKatolik sebagai gereja Kristus yang apostolik (Bdk LG.8) dan sekaligus mengakui
serta menghormati makna gerejani dari gereja-gereja yang bukan katolik roma. Maka
kesatuan gereja tidak lagi dapat diartikan kembali ke dalam organisasi gereja RomaKatolik. Kesatuan berarti usaha untuk tinggal dalam komunikasi. Untuk membangun
komunikasi, orang lain sebagai sesama justru karna dia lain. dan waktu membicarakan
hubungan gereja dengan agama-agama bukan kristiani dan terutama dalam konstitusi
pastoral Gaudium et Spes kelihatan, bahwa komunikasi ekumenik tidak boleh dibatasi
pada keakraban antar gereja kristiani. Ekumenik hanya berarti kalau memajukan
kesatuan antar semua manusia.38
3.4 Sebuah Konsili yang Pastoral
Dalam dokumen Konsili Vatikan II yang disebut dengan dekret pastoral adalah
Gaudium et Spes (GS). Gaudium et Spes berisi tentang Gereja di dunia dewasa ini.
Dekret yang panjang ini dapat dilihat baik sebagai ringkasan konsili maupun
penerapan kehidupan di dalam Gereja dan di luar Gereja. Ini adalah dekret pertama
dalam sejarah konsili ekumenis dan umum yang ditujukan langsung ke dunia yang
lebih luas. Konsili Vatikan II tidak hanya berhadapan dengan putra-putri Gereja yang
menyerukan nama Kristus tetapi kepada semua orang. Dokumen ini berbicara
langsung dengan masuk ke rincian hidup ini beserta kesulitan-kesulitannya maupun
dambaan kita akan kehidupan abadi. Tentu titik tolaknya positif terhadap seluruh
usaha manusia.39 Kieser menjelaskan bahwa Konsili Vatikan II bersifat pastoral.
Dalam perdebatan mengenai skema tentang dua sumber wahyu, sudah muncul
pemikiran mengenai arti dan maksud pastoral. Alasan dari pembela skema yang
menyatakan bahwa teks memang bersifat pastoral adalah demi kegembalaan, ajaran
katolik harus tegas dan tidak boleh dicairkan menjadi basa-basi ekumenik.
Magisterium mewujudkan sikap pastoral terutama dengan suatu pengajaran yang
38
39
28
tegas. Yang dimaksud Konsili Vatikan II bersifat pastoral untuk membina iman, dapat
dibedakan dari ajaran doktrinal, yakni usaha untuk mengatur bahasa yang dipakai
dalam lingkungan gerejani. Dalam arti ini, dokumen konsili vatikan II memuat juga
sejumlah pokok doktrinal, seperti umpamanya ajaran mengenai sacramentalitas
tahbisan uskup, ajaran mengenai colegialitas. Dari pernyataan doctrinal dibedakan
dengan pernyataan pastoral. Pernyataan pastoral bersifat praktis, tetapi tidak boleh
merupakan penyelesaian kasus-kasus semata. Pastoral bermaksud mewujudkan iman
asli dalam konteks hidup yang unik dan pribadi yang sosial dan pastoral. Jika mau
berbicara pastoral harus mengetahui kenyataan hidup lebih dahulu, manusia harus
dibicarakan secara jujur, kita menafsirkan dengan tepat. Hal itu diusahakan dalam
konsili. Disebut pastoral kalau yang dibicarakan iman dengan perhatian khusus
penghayatan iman dalam konteks hidup.40
3.5 Kutub Manusia dan Allah
Semua pembaruan Konsili Vatikan II yang dijabarkan ini mengasumsikan adanya
pandangan tertentu yang menjiwainya. Anthony O. Erhuech dalam Vatican II: Image
of God in Men, menangkap bahwa Konsili ini berjalan dengan semangat dan
keprihatinan baru bagaimana doktrin harus menyentuh manusia (Kristen) dalam hidup
kesehariannya dan dunianya. Anthony O. Erhuech dengan sangat baik menyebutkan
13 tesis penting yang mewarnai seluruh ajaran Konsili Vatikan II. Tesis-tesis inilah
yang menjadi ciri khas Konsili ini bila dibandingkan dengan Konsili-konsili
sebelumnya karena ia menjadi contoh nyata bagaimana kutub Allah dan manusia
dihadapi secara seimbang dan selanjutnya memberi sebuah ciri antisipatif dalam
perkembangan doktrin Konsili Vatikan II di masa yang akan datang. Anthony O.
Erhuech menulis dalam dua bagian besar, yaitu:
a. Manusia yang otonom41
1. Manusia adalah makhluk yang bebas dan bertanggung jawab. Manusia berhak
dan bebas untuk mengambil sikap dan keputusan terhadap ikatan dan
relasi-relasi
yang
ada.
Karena
dosa,
hak
dan
kesadaran
manusia
29
3. Manusia memang bebas. Namun sungguh tidak pernah lepas dari keterikatan.
Yang menjadi soal adalah: apakah keterikatan itu menghilangkan hak dan
tanggung jawabnya sebagai manusia atau tidak. Pembangunan adalah
pembebasan manusia dari ikatan yang menghalanginya untuk menjadi
manusia penuh. Pembangunan adalah pembaharuan bentuk-bentuk ikatan
struktur kemasyarakatan dan kebudayaan.
4. Ikatan komunal selalu melingkupi manusia yang bermasyarakat. Namun ia
tetap merupakan makhluk berpribadi dengan segala hak dan kewajibannya.
Hidup kemasyarakatan dan hidup orang per orang harus seimbang dan saling
melengkapi. Pembangunan adalah pembebasan manusia dari ikatan yang
menghalanginya untuk hidup dan berkembang sebagai manusia yang bebas
dan bertanggung jawab, termasuk hak dan tanggung jawabnya terhadap dan
dalam ikatan-ikatan komunal di mana dia hidup.
5. Manusia juga diikat oleh alam. Sebab manusia merupakan bagian dari alam
dan sekaligus harus mengatur, menguasai dan memanfaatkannya. Hal ini harus
dilaksanakan dalam kebebasan dan tanggung jawabnya terhadap Allah dan
sesama. Pembangunan adalah usaha meningkatkan nilai-nilai dan martabat
manusia. Berhasil tidaknya usaha itu tergantung pada kemampuan manusia
untuk mengatur dan memanfaatkan alam itu secara bertanggung jawab dan
tidak diperbudak oleh alam dan pandangan hidupnya mengenai alam. Justru
manusia memang tidak dapat melepaskan diri dari hukum alam; untuk
mengatur dan memanfaatkannya diperlukan keberanian dan kebebasan
mempergunakan seluruh kemampuannya. Di sini tampak peranan ilmu dan
teknologi sebagai alat di tangan manusia.
6. Historisitas manusia memainkan peranan dalam memahami pembangunan
dunia.Sebab pembangunan dapat dilihat sebagai suatu proses terus menerus
sampai akhir jaman. Di dalam proses itu manusia memperkembangkan diri
terus menerus pula. Dengan begitu manusia harus lalu senantiasa
memperbaharui diri dan rela diperbaharui serta mengambil keputusan dalam
setiap situasi di mana dia terlibat. Menyerah kepada nasib tidak terdapat dalam
kamus ini. Manusia harus selalu berusaha mengubah situasi tempat dia berada
untuk semakin menyejahterakan hidupnya. Ini merupakan cita-cita manusia
seluruhnya tanpa kecuali. Bagi orang kristiani ini merupakan panggilan iman
yang
berjalan
bersama
dengan
tugas
pengutusan
Kristus.
Maka
30
7. Kerja perlu dilihat dengan mata iman pula. Setiap usaha pembangunan adalah
usaha yang penuh arti dalam terang pewartaan Kerajaan Allah. Juga setiap
usaha yang kecil dan sederhan sekalipun. Asal itu dikerjakan dengan tanggung
jawab sebagai pekabar Injil. Dalam pembangunan manusia dipanggil untuk
memperkembangkan dan mengubah situasi untuk kesejahteraan bersama dan
bukan untuk mengeksploitasikan sesama. Maka pembangunan tergantung pada
kegiatan manusia sebagai pribadi dalam kesatuan dengan sesama dan
lingkungannya.
8. Keluarga yang bertanggung jawab merupakan tempat orang dibina sejak dini
untuk mempersiapkan peransertanya dalam penyejahteraan bersama. Setiap
keluarga, demi kesejahteraan bersama, harus merencanakan pola hidupnya
secara bertanggung jawab. Itu dikerjakan dalam rangka menjawab Rencana
Penyelamatan Allah dalam situasi dan kondisi konkret.42
b. Manusia dalam korelasinya dengan Allah43
9. Allah menyatakan diri melalui peristiwa-peristiwa dalam sejarah umat
manusia. Maka dari itu dalam setiap situasi ruang dan waktu yang tertentu kita
harus mencari kehendak Allah dan rencanaNya.
10. Kehendak Allah dalam setiap situasi konkret tidak selalu nampak secara
langsung. Untuk dapat menangkapnya kita dalam tanggung jawab di hadapan
Allah dan sesama harus menggumuli dan mengambil sikap terhadap situasi
konkret, dengan sepenuh keyakinan, kebebasan dan tanggung jawab.
11. Maka dari pembangunan yang sejati adalah usaha manusia menuju kepada
manusia dengan tatarelasi baru dengan Allah, sesama dan alam di mana dia
hidup.
12. Kritus datang supaya syalom dapat dinikmati oleh manusia sekarang dan
kepenuhannya pada akhir jaman. Maka syalom juga berati penciptaan manusia
baru dalam Kristus dan pengutusan Kristus mencakup humanisasi.
13. Setiap peningkatan nilai dan martabat manusia secara penuh (humanisasi)
yang dilakukan oleh siapa pun, disadari atau tidak, adalah hasil karya
Penyelamatan Kristus dalam Roh.
RT. Rev. Conrad De Vito, The Second Vatican Council at the Glance, Roma: ST. Paul Publication,
1966, hlm. 156
43
Bdk. Anthony O. Erhuech, hlm. 189-198
31
KATA KUNCI:
KONSERVATIF, KONSILI MELAWAN HISTORITAS KRISTIANITAS, DOKTRIN MURNI, PIJAKAN BARU
GEREJA.
Konsili Vatikan II telah memberi angin segar dengan menjujung ide dasar yakni
agiornamento (pembaharuan). Konsili Vatikan II telah memberikan banyak
perubahan bagi gereja. Namun demikian tidak dapat dipungkiri adanya beberapa
pandangan yang muncul sebagai kritik terhadap terlaksananya Konsili Vatikan II.
Pandangan-pandangan tersebut umumnya muncul dari para kaum konservatif yang
menjunjung tinggi inti tradisi dan nilai gereja Katolik. Mereka berpendapat bahwa
konsili Vatikan II telah menjauhkan Gereja Katolik dari prinsip-prinsip penting dari
iman Katolik historis; termasuk44:
1. Kepercayaan bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya gereja Kristiani
yang dibangun oleh Yesus sendiri, dengan demikian tidak ada yang lain di
luar gereja Katolik.
2. Kepercayaan bahwa gagasan modern akan kebebasan beragama adalah
kesalahan.
3. Tekanan yang pantas untuk "Empat Hal Terakhir" (Kematian, Pengadilan,
Surga, dan Neraka).
4. Kepercayaan bahwa setiap kitab dari Kitab Suci adalah sempurna.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa konsili Vatikan II adalah penyebab utama
berkurangnya iman kepercayaan Katolik dan hilangnya pengaruh Gereja di dunia
barat. Mereka berpendapat lebih lanjut bahwa Vatikan II mengubah fokus gereja dari
menyebarkan kabar keselamatan jiwa menjadi memperbaiki situasi keduniawian umat
manusia. Gereja sudah mulai masuk dalam tataran duniawi dan melupakan hal inti
yang palingpenting yakni menyelamatkan jiwa-jiwa.
Ada juga tanggapan lain bahwa Konsili Vatikan II pada akhirnya hanya memunculkan
dokumen-dokumen yang "tidak berkelanjutan dan rapuh". Dari interpretasi ini, Paus
Benediktus XVI menegaskan di depan Kuria Roma tanggal 22 Desember 2005 bahwa
semua dokumen Konsili dimaksudkan untuk "menyebarkan doktrin-doktrin secara
murni dan menyeluruh, tanpa pengurangan maupun penyimpangan". Dokumendokumen itu tidak akan rapuh dan terus berlanjut. Dengan demikian semua asas
44
32
45
33
Event adalah sejarah terjadinya KV II yang meliputi: undangan untuk mengadakan konsili oleh
Paus Yohanes XXIII tahun 1959 dan masa-masa persiapan KV II, debat dan voting dari tahun 19621965, interaksi internal antara para uskup dan para teolog, kerja dari komisi-komisi khusus hingga
publikasi hasil kerja komisi pada tanggal 7 Desember 1965. Reception of event berarti usaha
hermeneutika yang dilakukan oleh sekelompok penafsir untuk memaknai arti umat Allah, peristiwaperistiwa, tradisi dan teks. Bdk. Ormond Rush, Still Interpretingg Vatikan II: Some Hermeneutical
Principles, 2004, 2-3
34
masalah baru?) infallibilitas Paus-nya. Konsili ini mulai dengan merefleksi manusia
dalam hubungannya dengan sang Pencipta dan memiliki keprihatinan luas untuk
menjawab masalah-masalah kontemporer. Konsili Vatikan II memberi dasar luaskokoh dengan setia pada tradisi dan pada saat yang sama membarui pula tradisi itu
berdasar masukan dari banyak pihak. Karenanya, Konsili ini berhasil menetapkan
model refleksi yang dapat diterapkan untuk masa-masa yang akan datang; sebuah
model refleksi yang memampukan Gereja meng-antisipasi perkembangan dunia.
5.2 Perkembangan Teologi (Berjiwa Sungguh) Asia: Hormat pada Lokalitas50
Antisipasi Gereja terhadap perkembangan dunia paling jelas ditemui dalam hormat
Konsili terhadap kebenaran-kebenaran periferi ketika mengembangkan teologi. Dalam
konteks ini, Konsili Vatikan II memberi warna baru dalam usaha berteologi yang
sungguh berangkat dari dan bagi lokalitas. David M. Thompson dalam tulisannya,
Introduction: mapping Asian Chrsitianity in the context of world Christianity,
memaparkan adanya dua poin besar yang mewarnai perkembangan teologi. Pertama,
adanya jarak yang signifikan antara teologi dalam konteks keilmuan dengan konteks
(pemimpin) Gereja. Kedua, teologi bukanlah sesuatu yang umum dan sama saja,
karena ia tumbuh dan berkembang dalam lokalitas dan temporalitas yang tertentu
pula.
Teologi sebagai disiplin ilmu seringkali harus mengalami tegangan dengan agenda
(pemimpin) Gereja. Gereja sebagai institusi tampak lebih mendukung perkembangan
teologi yang memberi dasar langsung pada perangkat tugas-tugas pelayanan Gereja,
seperti: sakramen dan doktrin-doktrin justifikasi serta keselamatan. Sementara, teolog
akademis memilih untuk mendalami bagaimana seharusnya Injil dimengerti dan
bagaimana pergulatan iman itu dapat menemukan hubungan dengan cabang ilmu lain
seperti: filsafat dan ilmu pengetahuan lain serta berbuah dalam praksis hidup
sehari-hari. Eropa dan Amerika Utara memberi tempat sangat besar dalam pencarian
para teolog akademis ini. Teologi diterima sebagai suatu mata ajaran yang penting
dalam universitas dan sekloah tinggi mereka dan ini sebabnya mengapa
perkembangan teologi sangat berbau Eropa dan Amerika Utara. Corak Eropa dan
Amerika Utara tetap saja begitu kuat mewarnai agenda teologi global.Ini sebabnya
mengapa agenda Asia, Afrika atau Amerika Latin tidak begitu terdengar. Dengan
50
Disarikan dari David M. Thompson, Introduction: Mapping Asian Christianity in the Context of
World Christianity dalam Sebastian C.H. Kim, Christian Theology in Asia, Cambridge University
Press, Cambridge, 2008, 3-21.
35
keistimewaan yang dimiliki dua benua besar itu, para teolog Barat menerima
semacam hak untuk menentukan arah refleksi orang-orang beriman atas Gereja;
padahal Gereja sendiri memiliki banyak wajah.51
Tentu saja kita harus mengingat pula bahwa para pemimpin Gereja Katolik pada dua
benua itu juga memegang peran penting untuk mengukuhkan otoritas refleksi teologis
mereka, hingga refleksi teologis barat seolah diterima sebagai kebenaran umum
apalagi dalam Abad Tengah yang berlaku untuk semua orang Kristen. Gerakan
reformasi menolak otoritas Gerejawi dalam menentukan refleksi teologis dan
sepanjang berjalannya waktu, para teolog Katolik di luar dua benua itu juga mendapat
inspirasi dari gerakan reformasi ini.
Pada abad ke-20, pasca Konsili Vatikan II yang memberi tempat pada kekayaan lokal,
para teolog Amerika Latin mulai berani mengembangkan teologi pembebasan yang
berangkat dari keprihatinan setempat. Teologi pembebasan segera menjadi tren
dalam teologi global dan menjadi contoh bahwa kiblat teologi global juga dapat
ditemukan di luar benua Barat.
Bagaimana sumbangan terbesar Konsili Vatikan II ini ditanggapi di Asia dalam
konteks perkembangan teologi lokal? Di Asia sendiri, perkembangan teologi
mendapat inspirasi sekali lagi dari gerakan reformasi. Jemaat Protestan Asia pada
awal abad ke-20 telah merasakan kebutuhan untuk menjadi mandiri dan tidak lagi
tergantung pada misionaris asing yang berasal dari Barat. Inilah sebabnya, mengapa
teologi dalam gereja protestan di Asia dapat berjalan lebih dahulu dibanding teologi
dalam gereja Katolik Roma di Asia. Perkembangan teologi di Asia berhutang besar
pada para misionaris Barat dan hal ini sedikit banyak menjadikan Kristianitas asing
bagi penduduk Asia.
Gerakan teologi Asia sendiri, menurut Thompson, berawal dari India. Banyaknya
teolog India yang pulang setelah belajar di Eropa dan Amerika Utara, seperti: Stanley
Samartha (yang berusaha membangun Kristologi baru dalam terang perjumpaan
dengan agama-agama lain), memberi atmosfer dan dorongan untuk menciptakan
51
Bdk. David M. Thompson, Introduction: Mapping Asian Christianity in the Context of World
Christianity, 3-7.
36
teologi yang khas India. Korea, dengan tradisi yang kuat dan panjang, juga memberi
sumbangan berharga bagi perkembangan teologi Asia.
Situasi politis yang ada selama Perang Korea, selama penjajahan Jepang, dan selama
menjadi sekutu Amerika Serikat mengantar para teolog Korea untuk membentuk
teologi Minjung, yang dimulai dengan sangat sederhana: dengan mengisahkan
penderitaan rakyat yang ada di bawah rezim totaliter Korea Utara. Teologi ini
membawa dampak politis yang revolusioner pada saat itu. Hal-hal senada juga
dialami oleh jemaat beriman di Cina, di Jepang, Vietnam, Bangladesh, Indonesia dan
Filipina.
Perkembangan teologi Asia dimulai dengan latar belakang pergulatan politik dan
perang dengan segala penderitaannya. Awal abad ke-20 dimulai dengan dua perang
besar dunia di wilayah Barat dan Timur. Kemiskinan memperparah situasi Asia yang
sudah hancur oleh perang. Asia menjadi korban yang jauh lebih menderita bila
dibandingkan warga di Barat. Kemiskinan inilah yang menjadi titik tolak refleksi
teologis kedua, setelah penderitaan perang. Inilah mengapa teologi dalit sangat
menjadi terkenal di India dan Korea. Dalit adalah kasta terendah dalam sistem
masyarakat India dan diterjemahkan harafiah sebagai mereka yang tak (dapat)
tersentuh. Titik refleksi ketiga dan sekaligus yang dapat membuat para teolog
Eropa dan Amerika Utara berpikir ulang tentang bangunan teologi mereka adalah
hadirnya bermacam-macam tradisi religius dan agama yang begitu kaya. Walau
Kristianitas berasal asli dari wilayah Asia, ia hanya menjadi bagian kecil saja dari
penduduk negara-negara Asia, kecuali: Filipina dan Korea. Orang-orang Kristen Asia
telah lama memikirkan kenyataan banyaknya tradisi religius di sekitarnya sebagai
sarana pewahyuan diri Allah sendiri. Tentu saja banyak pertanyaan yang akan mucul
di seputar soal soteriologi dan kristologi, namun semua itu harus dibaca sebagai
kesempatan untuk dengan sungguh hati mempertanggungjawabkan klaim-klaim iman
Kristiani dalam semangat dialog dan pewartaan. Titik tolak refleksi teologi Asia
selanjutnya adalah isu perempuan. Usaha para teolog feminis Asia layak mendapat
pujian karena sungguh memberi inspirasi pada gerakan teologi global.
David M. Thompson dalam tulisannya ini juga tidak lupa menggarisbawahi
pentingnya peran gerakan pentakosta yang lebih luwes dan bebas dalam liturgi,
sehingga menjadi sangat populer di kalangan rakyat Asia terutama di wilayah
37
Korea. Hal ini seringkali membawa salah kaprah di kalangan teolog Barat yang sangat
memperhatikan soal-soal hukum dan aturan.
Akhirnya, dalam seluruh perkembangan teologi Asia inilah para teolog Barat terutama
harus melihat bagaimana teologi berangkat sungguh dari kenyataan hidup sehari-hari
dan dapat menjadi pedoman hidup masyarakatnya yang sangat beragam. Konsili
Vatikan II berperan sangat besar terhadap pengakuan sumber lokal kebenaran iman
Krsitiani yang direfleksikan dalam teologi. Sisi pragmatisme teologi juga dapat lebih
berbicara dan menggigit kenyataan lokal Asia yang masih sarat kemiskinan, kekerasan
dan ketidakadilan struktural. World Christianity dilihat oleh Konsili Vatikan II dalam
bentuk penghargaan yang lebih besar bagi perkembangan teologi lokal terutama
yang lebih menyentuh bagi kita: teologi yang sungguh berjiwa Asia.
5.3 Konsili Vatikan III: Kemungkinan dari Iman yang Selalu Berkembang (?)
Pada titik ini, perlulah kita menyadari pula bahwa Konsili Vatikan II adalah sebuah
peristiwa yang telah 45 tahun berlalu. Dinamika pergerakan dunia terus berubah
selama nyaris lima dekade terakhir dan memunculkan soal-soal baru. Soal-soal baru
itulah yang banyak diangkat oleh Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya yang
terbaru, Spe Salvi. Dalam terang soal-soal zaman baru inilah hasil Konsili Vatikan II
masih harus menemukan penyesuaiannya. Kami kutipkan sebagian artikel 16 dan
artikel 17 dari Spe Salvi ini:
(16) What is the basis of this new era (of modernity)? It is the new
correlation of experiment and method that enables man to arrive at an
interpretation of nature in conformity with its laws and thus finally to
achieve the triumph of art over nature (victoria cursus artis super
naturam)... (it) lies in a new correlation between science and praxis.
This is also given a theological application: the new correlation
between science and praxis would mean that the dominion over
creation given to man by God and lost through the original sin
would be re-established... (Up) to that time, the recovery of what man
had lost through the explusion from Paradise was expected from faith
in Jesus Christ. Here in lay redemption. Now this redemption; the
restoration of the lost Paradise, is no longer expected from faith, but
from the newly discovered link between science and praxis. It is not
that faith is simply denied; rather it is displaced onto another level
that of purely private and other worldly affairs and at the same time it
becomes somehow irrelevant for the world. (17) ... Joy at visible
advances in human potential remained a continuity confirmation of
faith in progress as such!
38
Usaha besar manusia dalam menguasai alam selama lima dekade terakhir berkembang
sangat pesat dan menjadi sumber utama bergesernya ranah iman ke dalam level privat
bagi orang zaman ini. Bagaimana Konsili Vatikan II masih dapat berbicara tentang
dan bagi dunia dalam situasi semacam ini bila titik tolak utama Konsili adalah titik
tolak kristologis yang tidak lagi dapat menjadi dasar kuat bagi orang-orang sekular.
Setelah banyak pembaruan di banyak bidang dilaksanakan dalam Gereja, apakah ia
sanggup menghadapi serbuan alam post-modernitas yang justru bertendensi
dekonstuktif yang mencoba meruntuhkan pusat-pusat keyakinan religius dengan
penjelasan ilmiah dan saintifik. Dalam satu segi, Gereja sangat berhati-hati
menanggapi aneka kemajuan yang terjadi selama ini. Dari segi lain, Gereja sendiri
seolah sulit menemukan pendasaran yang berdaya guna untuk menemukan jawab atas
masalah itu bila kultur masyarakat cenderung indifferent terhadap suara agamis.
Menghadapi tantangan yang makin besar ini (dan yang akan lebih besar dalam tahuntahun mendatang), masihkah Konsili Vatikan II mampu berbicara bagi hidup banyak
orang? Bagaimana persisnya sukacita atas kemajuan-kemajuan nyata potensi
manusia itu pada waktu yang sama dapat mengukuhkan iman sebagai tanggapan yang
selalu ada dalam perkembangan? Mungkinkah kita membutuhkan sebuah Konsili
Vatikan III untuk dapat menjawabnya?
Bdk. Robert Hardawiryana, Konsili Vatikan II: 1962-1965 Sebuah Pengantar dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, terj. R. Hardiwiryana, Dokpen KWI 1993, xxii-xxiii.
39
sekaligus menampilkan kesungguhan dan kekuatan imannya akan Yesus Kristus yang
meraja dahulu, sekarang dan sepanjang masa.
40