LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI FARMASI
CARA PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN ,RUTE PEMBERIAN
OBAT,PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT, DAN
DOSIS OBAT, RESPON DAN INDEKS TERAPI
Nama
NIM
: 091501110
Program
: S-1 FARMASI
Kelompok / Hari
: IV (Empat) / Selasa
Asisten
: Fanny Alvianti
Tanggal Percobaan
: 08 Febuari 2011
( Fanny Alvianti )
Praktikan ,
Perbaikan :
1. Perbaikan I , Tanggal
Telah diperbaiki
2. Perbaikan II , Tanggal
Telah diperbaiki
3. Perbaikan III, Tanggal
Telah diperbaiki
4. Perbaikan IV , Tanggal
Telah diperbaiki
5. Pergantian Jurnal
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Nilai :
PENDAHULUAN
Kebanyakan obat diberikan lewat mulut ( peroral ) sehingga obat harus
melalui dinding usus sebelum mencapai aliran darah. Proses penyerapan absorbsi ini
disebabkan oleh berbagai hal, tapi biasanya sesuai dengan kelarutan obat terhadap
lemak ( lipid solubility ). Dengan demikian molekul molekul tak terionisasi lebih
gampang larut dibandingkan molekul yang terionisasi, karena ia lebih larut terhadap
lemak serta molekulnya dikelilingi oleh mantel yang terdiri dari molekul molekul
air. Obat obat yang diserap dari saluran pencernaan akan mencapai sirkulasi portal
dan beberapa dia antaranya akan mengalami metabolisme begitu memasuki hati
( metabolisme lintas pertama, first pass metabolism ).
Obat obat yang cukup kelarutannya dalam lemak akan mudah diserap
pada pemberian oral dan cepat didistribusikan melalui cairan tubuh ( sirkulasi ).
Beberapa obat akan berikatan dengan albumin plasma, lalu di dalam plasma akan
terbentuk keseimbangan anatar obat yang berikatan dengan albumin dan obat bebas.
Obat yang berikatan dengan protein plasma akan tertahan di dalam sistemik vaskuler
sehingga tak mampu melakukan aksi farmakologik.
Bila obat diberikan dengan jalan injeksi intravena, obat akan langsung
mencapai aliran darah dan dengan cepat pula disebarkan mencapai jaringan
jaringan dalam tubuh. Dengan melakukan pengambilan contoh darah ulang,
penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari waktu ke waktu dapat diukur
(misalnya pengukuran kecepatan eliminasi ). Sering konsentrasi akan menurun
secara permulaan. Pada keadaan ini akan didapatkan kurva yang dikenal dengan
eksponensial yang bermakna pada saat pemberian obat, fraksi konstan dari obat yang
beredar segera mengalami eliminasi.Banyak obat menunjukkan penurunan
konsentrasi plasma secara eksponensial, karena kecepatan ( laju ) dimana obat
menjalani proses eliminasi biasanya sebanding dengan konsentrasi obat dalam
plasma.
potensi,
kecuraman
(slope),
efek
maksimal,
dan
variasi
biologik.
(Ganiswara,1995)
Variabel ini relatif tidak penting karena dalam kinil digunakan dosis yang
sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena
dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau
membahayakan bila obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit.
(Ganiswara,1995)
Efek maksimal adalah respon maksimal yang ditimbulkan oleh obat bila
diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan
ditunjukkan dataran( plateu) pada DEC. Tetapi dalam klinik dosis obat dibatasi oleh
timbulnya efek samping, dalam hal ini efek maksimal yang dacapai dalam klinik
mungkin kurang dari efek maksimal yang sesungguhnya . Ini merupaka variabel
yang penting.Misalnya morfin dan aspirin. Berbeda dalam efektifitasnya sebagai
analgetik ; morfin dapat menghilangkan rasa nyeri yang hebat , sedangkan aspirin
tidak Efek maksimal obat tidak selalu berhubungan dengan potensinya .
(Ganiswara,1995)
Efek umunya timbul karena interkasi obat dengan reseptor pada sel sutau
organisme. Interaksi obat dengan resepornya ini mencetuskan perubahan boikomia
dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut . Reseptor merupakan
komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama
bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh .Kedua bahwa obat tidak
menimbulkan suatu efek baru , tetapi hanya memodulasi efek yang ada.Walau tidak
berarti bagi terapi gen secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang .
(Ganiswara,1995)
II.
TUJUAN PERCOBAAN
Untuk melihat berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang
ditimbulkan
Untuk menyatakan akibat-akibat praktis pengaruh rute pemberian obat
III.
PRINSIP PERCOBAAN
Penandaan hewan percobaan dengan memberi tanda berupa garis pada bagian
ekor. Penentuan berbagai rute pemberian obat kepada pasien dilakukan
berdasarkan kondisi dan kemampuan pasien untuk menerima suatu cara
pemberian obat serta bagaimana sifat suatu bahan obat apabila telah masuk ke
dalam tubuh. Pemberian obat melalui intraperitoneal dan per oral dengan dosis
yang berbeda untuk melihat onset of action serta duration of action dari luminal
natrium 0,7 %. Pemberian Luminal Na 0,7 % terhadap mencit dengan
memperhatikan kondisi / variasi biologis seperti jenis kelamin jantan dan betina,
puasa dan tidak puasa, dan berat badan. Pemberian Luminal Natrium 3% dengan
variasi dosis(100,200,400,dan 800 mg/kg BB) secara intraperitonial berdasarkan
berat badan hewan percobaan untuk mengetahui respon obat dan menentukan
indeks terapi dengan selang waktu 90 menit.
IV.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
2. Hewan percobaan harus diberi makan sesuai dengan makanan standar untuknyadan
diberi minum.
3.
1.
Cara terbaik untuk membunuh hewan dengan memberikan suatu anastetik over dosis.
Injeksi barbiturat (Na.pentobarbital 300 mg/ml) secara I.V untuk kelinci dan anjing.
Secara I.P untuk marmut, tikus dan mencit atau dengan inhalasi menggunakan
kloroform, CO2, nitrogen dll dalam wadah tertutup untuk semua jenis hewan.
2. Hewan disembelih, kemudian dimasukkan dalam kantong plastic dan dibungkus lagi
dengan kertas diletakkan didalam tas plastic, ditutup dan disimpan dalam lemari
pendingin atau langsung diabukan.
1.
2.
bobot badab
i.v
Intra Vena
i.m
Intra Muscular
i.p
Intra Peritoneal
s.c
Sub Kutan
p.o
Per Oral
Mencit Tikus
Kera
Anjing
Manusia
dan BB 20 g
200 g
400 g
1,5 kg
2 kg
4 kg
12 kg
70 kg
rata-rata
Mencit 1,0
7,0
12,29
27,8
28,7
64,1
124,2
387,9
20 g
Mencit
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
60,5
20 g
Marmut 0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
400 g
Kelinci 0,04
0,25
0,44
1,0
1,06
2,4
4,5
14,2
1,5 kg
Kucing 0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
2 kg
Kera
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
0,14
0,016
4 kg
Anjing
0,008
0,06
12 kg
Manusi 0,0026 0,018
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
0,031
0,07
0,76
0,16
0,32
1,0
a 70 kg
Cara mempergunakan tabel :
Bila diinginkan dosis absolute pada manusia dengan BB 70 kg dari data dosis pada
anjing 10 mg/kg (untuk anjing dengan bobot 12 kg), maka lebih dahulu dihitung
dosis absolute pada anjing, yaitu (10 12) mg = 120 mg.
Dengan mengambil factor konversi 3,1 dari table diperoleh dosis untuk manusia =
(120 3,1) mg = 372 mg.
Dengan demikian dapat diramalkan efek farmakologis suatu obat yang timbul pada
manusia dengan dosis 382 mg / 70 kg BB adalah sama dengan yang timbul pada
anjing dengan dosis 120 mg/ 12 kg BB, dari obat yang sama.
Hewan coba atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang
khusus diternakkan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan laboratorium
tersebut digunakan sebagai model untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat
pada manusia. Beberapa jenis hewan dari yang ukurannya terkecil dan sederhana ke
ukuran yang besar dan lebih komplek digunakan untuk keperluan penelitian ini,
yaitu: mencit, tikus, kelinci, dan kera.
Untuk memegang mencit yang akan diperlakukan (baik pemberian obat
maupun pengambilan darah) maka diperlukan cara-cara yang khusus sehingga
mempermudah cara perlakuannya. Secara alamiah mencit cenderung menggigit bila
mendapat sedikit perlakuan kasar. Pengambilan mencit dari kandang dilakukan
dengan mengambil ekornya kemudian mencit ditaruh pada kawat kasa dan ekornya
sedikit ditarik. Cubit kulit bagian belakang kepala dan jepit ekornya (Lihat gambar 1)
10
(Anonim, 2007)
Untuk pemberian obat atau senyawa lain pada mencit:
1. Secara oral: (a) dicampur dengan makanan atau minuman dan
biasanya dilakukan kalau perlakuan untuk jangka waktu lama. Namun cara ini paling
tidak teliti dan kalau senyawa yang diberikan berbau atau menyebabkan rasa tidak
enak pada makanan atau minuman sehingga konsumsi makanan dan minuman sangat
berkurang hingga dosis obat juga berkurang. (b) dengan jarum khusus, ukuran 20 dan
panjang kira-kira 5 cm untuk memasukkan senyawa lansung ke dalam lambung
melalui esofagus. Jarum ini ujungnya bulat dan berlubang ke samping. Akan tetapi
memakia jarum seperti perlu hati-hati agar dinding esofagus tidak tembus. (c) Cara
paling aman ialah memakai pipa lambung dibuat dari karet atau plastik agak kaku.
Garis tengah pipa itu harus cukup kecil sehingga dapat masuk ke dalam esofagus
mencit. Panjang pipa dapat ditentukan dengan menaksir jarak antara hidung dan
tulang rusuk terakhir. Tetapi masih perlu hati-hati jangan sampai tembus ke esofagus
atau trakea mencit. Kalau pipa semacam ini dipakai dengan spet, dapat diperoleh
dosis pasti dan mudah di ukur.
2. Secara Intravena (IV): dengan cara ini, mencit harus dipegang
sehingga tidak dapat bergerak. Mencit dapat dikuasai dengan meletakkan mencit
dalam tabung plastik cukup besar supaya mencit tidat berputar ke belakang dan
supaya ekornya keluar dari tabung. Sumbat dari kapas diletakkan di belakang mencit
untuk mencegah mencit
berukuran 28 gauge, panjang 0,5 cm dan di suntikkan dilakukan pada vena lateralis
ekor. Cara ini sukar tetapi sedikit lebih mudah kalau mencit dihangatkan terlebih
dahulu. Tetapi kalau kulit mencit berpigmen cara ini hampir tidak mungkin karena
11
venanya kecil dan sukar dilihat meskipun mencit berwarna putih. Pemakaian cara ini
perlu banyak latihan agar berhasil baik.
3. Secara Intraperitoneal (IP): cara memegang mencit untuk
menyuntik dengan car ini sama dengan cara IM, jadi dinding abdomen ditegangkan.
Teknik penyuntikan dan jarum yang dipakai juga sama dengan cara mengambil
cairan asites. Suntikan di lakukan di daerah abdomen di antara cartilago xiphoidea
dan symphysis pubis. Perlu hati-hati agar jarum tidak masuk ke dalam kandung
kencing atau usus. Kalau sampai terjadi demikian, sering menyebabkan respon yang
sangat bervariasi dalam satu kelompok hewan lebih-lebih dengan anestetika.
( John B.Smith, 1988)
Pemberian obat peroral merupakan cara pemberian obat yang paling
umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya adalah banyak
faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran
pencernaan, dan perlu kerja sam dengan penderita, tidak bisa dilakukan bila pasien
koma. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif,
karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut
dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan di
lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas di bandingkan dengan
epitel lambung. Selain itu epitel lambung tertutup lapisan mukus yang tebal dan
mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan
pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat dan
sebaliknya. Akan tetapi, perubahan dalam kecepatan pengosongan lambung atau
motilitas saluran cerna biasnya tidak mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi
atau yang mencapai sirkulasi sistemik, kecuali pada 3 hal berikut:
1. Obat yang diabsorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan usus
( misalnya digoksin, difenihidantoin, prednison ) memerlukan waktu transit dalam
saluran cerna yang cukup panjang untuk kelengkapan absorpsinya.
2. Sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang absorpsinya
iasany kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan penglepasan obat di
lingkunagn berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk
meningkatkan jumlah yang diserap.
12
hiperreaktif
terhadap suatu obat di mana intensitas efek suatu obat dengan dosis tertentu
berkurang atau bertambah bila dibandingkan dengan efek yang terlihat pada
kebanyakan individu.
(Catatan: Istilah hipersensitivitas dimaksudkan dengan respons alargik
atau imonologik terhadap obat-obat). Dengan beberapa obat, intensitas respons dari
13
pemberian obat bisa berubah selama masa terapi; dalam hal ini, respons biasanya
menurun sebagai akibat pemberian obat yang terus-menerus, menghasilkan suatu
keadaan yang relatif toleransi pada efek obat. Apabila respons obat berkurang secara
cepat setelah pemberian suatu obat, respons tersebut dikatakan sebagai takifilaksis.
Pengaruh klinis umum dari keanekaragaman individu dalam respons obat
adalah jelas: Si dokter harus siap untuk mengubah dosis obatnya atau mengubah
pilihan obatnya, tergantung pada respons yang terlihat pada penderita tersebut.
Bahkan sebelum memberikan dosis pertama dari suatu obat, dokter harus
mempertimbangkan faktor-faktor yang mungkin membantu dalam meramalkan
tujuan dan tingkat variasi-variasi yang mingkin dalam respons obat. Ini meliputi
kecenderungan suatu obat tertentu untuk menghasilkan toleran atau takifilaksis,
demikian pula efek dari umur, seks, ukuran tubuh, keadaan penyakit, dan pemberian
obat-obat lain secara stimultan.
( Katzung, 2001 )
14
(Joenoes, 2002)
Hubungan dan intensitas efek dalam keadaan sesungguhnya tidaklah
sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam menghasilkan efek .
Efek antihiperensi misalnya; merupakan suatu kombinasi efek terhadap jantung ,
vaskuler dan sistem saraf. Walaupun demikian, suatu kurva efek kompleks dapat
diuraikan kedalam kurva kurva sederhana untuk masing-masing komonennya .
Kurva sederhana ini, bagaimanapun bentuknya, selalu mempunyai empat variabel
yaitu potensi, kecuraman (slope), efek maksimal, dan variasi biologik.
Potensi menunjukkan rentang dosis obat yang menimbulkan efek.
Besarnya ditentukan oleh :
1. Kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat
farmakokinetik obat
2. Afinitas obat terhadap reseptornya.
Variabel ini relatif tidak penting karena dalam kinil digunakan dosis yang
sesuai dengan potensinya. Hanya, potensi yang terlalu rendah akan merugikan karena
dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu tinggi justru merugikan atau
membahayakan bila obatnya mudah menguap atau mudah diserap melalui kulit
Efek maksimal adalah renponmaksimal yang ditimbulkan oleh obat bila
diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas intrinsik obat dan
ditunjukkan dataran( plateu) pada DEC. Tetapi dalam klinik dosis obat dibatasi oleh
timbulnya efek samping, dalam hal ini efek maksimal yang dacapai dalam klinik
mungkin kurang dari efek maksimal yang sesungguhnya . Ini merupaka variabel
15
16
poten obat tersebut. Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang
memberikan 50 % dari respons maksimal ED 50 . Obat dengan suatu ED
50
yang
rendah lebiuh poten daripada obat dengan ED 50 yang lebih besar. Afinitas ( K d )
suatu reseptor untuk obat merupakan suatu faktor yang penting dalam menentukan
potensi. Tetapi, efikasi lebih penting daripada potensi karena terpusat pada efektivitas
obat. (Misalnya , suatu obat yang lebih poten tidak bisa mencapai reseptornya dalam
konsentrasi yang cukup akibat beberapa keadaan patologik).
3. Slope kurva dosis-respons : Slope daripada bagian tengah suatu kurva
dosis-respons bervariasi dari satu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang curam
menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu
perubahan besar dalam respons.
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan
toksisitas dengan dosis yang menghasilkan suatu respons yang efektif dan diinginkan
secara klinik dalam suatu populasi individu.
Indeks terapeutik = dosis toksis / dosis efektif
Jadi, indeks terapeutik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena
nilai yang besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas / lebar di antara
dosis-dosis yang efektif dan dosis-dosis yang toksik.
(Mycek, 2001)
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang
diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin,
besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan daya tangkis penderita.
Takaran pemakaian yang dibuat dalam Farmakope Indonesia dan
farmakope negara-negara lain hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu
pula dosis maksimal (MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis,
bukan merupakan batas yang harus mutlek ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat
dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan oleh Farmakope
Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai
ketepatannya, antar lain berhubung dengan variasi biologi dan faktor-faktor tersebut
di atas. Sebagai gantinya, kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang
biasanya lazim memberikan efek yang diionginkan.
17
Hampir semua obat pada dosis yang cukup besar menimbulkan efek
toksis (=dosis toksis, TD) dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (=dosis
letal, LD). Dosis terapeutis adalah takaran di mana obat menghasilkan efek yang
diiginkan.
Untuk menilai keamanan dan eg\fek suatu obat, di dalam laboratorium
farmakologi dilakukan penelitian menggunakan binatang percobaa. Yang ditentukan
adalah khusus ED50 dan LD50, yaitu dosis yang masing-masing memberiakan efek
atau yang mematikan 50% dari jumlah binatang.
Indek terapi meruipakan perbandingan antara kedua dosis itu, yang
merupakan suatu ukuran keamanan obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman
penggunaan penggunaan obat tersebut. Tetapi, hendaknya diperhatikan bahwa indeks
terapi ini tidak dengan begitu saja dapat dikolerasikan terhadap manusia, seperti
sen\mua hasil percobaan dengan binatang, karena adanya perbedaan metabolisme.
Luas terapi adalah jarak antara LD50 dan ED50, juga dinamakan jarak
keamanan (safety margin). Seperti indeks terapi, luas terapi berguna pula sebagai
indikasi untuk keamanan obat., terutama untuk obat yang digunakan secara kronis.
Obat dengan luas terapi kecil, yaitu dengan selisih kecil antara dosis terapi dan dosis
toksisnya, mudah sekali menimbulkan keracunan bila dosis normalnya dilampaui
misalnya antikoagulansi kumarin, fenitoin, teofilin, litium karbonat dan tolbutamid.
(Tjay & Rahardja, 2002)
Pada skema terapeutik, efek farmakologik suatu obat hanya tergantung
pada bentuk bebasnya. Suatu senyawa dengan ikatan plasmatik yang kuat semula
menjenuhkan tempat ikatan sambil melepaskan dosis awal, dan selanjutnya
menjamin dosis-rawat sesuai dengan fraksi bebas yang dilepaskan. Hal ini yang
diterapkan untuk pengobatan dengan fenilbutazon, atau antikoagulan.
Interaksi obat sebagai akibat terjadinya ikatan plasmatic pada obat
tertentu dapat menyulitkan langkah berikutnya. Ikatan plasmatic tersebut tidak
spesifik, beberapa molekul dapat memiliki suatu afinitas pada protein yang sama
dengan titik tangkap protein yang sama. Hal tersebut menimbulkan terjadinya
persaingan antara molekul-molekul untuk menduduki titik tangkap. Molekul yang
mempunyai ikatan protein yang paling stabil akan menyingkirkan molekul lain dari
tempat ikatannya dan hal ini meningkatkan jumlah bentuk bebasnya.
18
Penyebaran dan peniadaan suatu zat aktif baik karena metabolisme dan
atau pengeluaran serta reaksi farmakologik in vivo, dipengaruhi oleh keadaan fisiopatologik organ penerima pada respon yang teramati, dan oleh parameter aktivitas
teraupetik yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditetapkan. Pada penderita yang
sama, parameter yang sejenis relative tepat namun penggunaan suatu obat secara
terus menerus dapat perubahan karakteristik kimia atau farmasetik. Dengan kata lain
bila zat aktif masuk ked al;am tubuh maka efek teraupetiknya terutama tergantung
pada organ penerima.
Sebaliknya, perbedaan dalam cara pemberian, sifat fisiko-kimia zat dan
teknologi pembuatan sediaan obat dapat memberikan efek yangt berbeda. Perbedaan
tersebut tergantung pada merek dagang obat dan hal tersebut terutama mempengaruhi
kesetaraan kimia dan kesetaraan farmasetik. Walaupun pengaruhnya pada kesetaraan
biologic tidak nyata, namun dapat mengakibatkan efek terapeutik yang berbeda.
Sedangkan kesetaraan kimia adalah kesetaraan dari dua obat yang diberikan dengan
cara dan dosis zat aktif yang sama, sedangkan kesetaraan farmasetimk adalah
kesetaraan antara dua bentuk sediaan yang sama dengan zat aktif dan dosis lazim
yang sama.
(Aiache, 1993)
Ikatan obat dengan reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah
(ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, Van der Waals, mirip ikatan antara substrat dengan
enzim, jarang terjadi ikatan kovalen. Ini hanya berlaku untuk satu efek. Jika efek
yang diamati merupakan gabungan beberapa efek, maka log DEC nya dapat
bermacam-macam bentuknya. Tetapi untuk masing-masing efek tersebut, log DEC
umumnya berbentuk sigmoid.
Potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek.
Besarnya ditentukan oleh:
1. Kadar obat yang mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat-sifat
farmakokinetik obat.
2. Afinitas obat terhadap reseptornya.
Variabel ini relatif tidak penting karena dalam klinik digunakan dosis
yang sesuai dengan potensinya. Hanya, jika potensi yang diperlukan terlalu rendah,
akan merugikan karena dosis yang diperlukan terlalu besar. Potensi yang terlalu
19
tinggi justru merugikan atau membahayakan jika obatnya mudah menguap atau
mudah diserap melalui kulit.
Hubungan antara kadar atau dosis obat dengan besarnya efek terlihat
sebagai kurva dosis-intensitas efek yang berbentuk hiperbola. Jika dosis dalam log,
maka hubungan antara log dosis dengan besarnya efek terlihat sebagai kuva log
dosis-intensitas efek yang berbentuk sigmoid.
Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi
diperlukan satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang
responsif (dalam %) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis), maka akan
diperolaeh kurva distribusi normal. Jika distribusi frekuensi tersebut dibuat kumulatif
maka akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang disebut kurva log dosis-persen
responsif (log dose-percent curve = log DPC). Oleh karena respons pasien di sini
bersifat kuantal (all or none), maka kurva sigmoid ini disebut juga kurva log dosisefek kuantal (quantal log dose-effect curve = loq DEC kuantal). Jadi log DPC
menunjukkan variasi individual dari dosis yang diperlukan untuk menimbulkan suatu
efek tertentu.
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis
terapi median atau dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah
dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis
toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat
dinyatakan dalam rasio berikut :
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua tanpa menimbulkan efek
toksik pada seorangpun pasien. Oleh karena itu,
Indeks terapi = TD1/ED99 adalah lebih tepat dan untuk
obat ideal = TD1/ED99 1
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan
teliti karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir
mendatar.
V.
METODE PERCOBAAN
20
Timbangan elektrik
Oral sonde
Spuit 1 ml
Alat suntik 1 ml
Stopwatch
Beaker glass 25 ml
Erlenmeyer 10 ml
Spidol permanen
5.1.2. BAHAN
-
Mencit 5 ekor
Aquadest
Luminal Na kosentrasi 3 %
dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki
depan berpaut pada kawat kasa dari kandang
2. Persiapan Hewan
-
dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan
terpaut pada kawat kasa dari kandang
21
3. Per Oral
- Ditimbang berat mencit.
- Ditandai mencit dengan menggunakan spidol pada ekornya.
- Dihitung dosis pemberian.
- Dipegang tengkuk mencit.
- Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat dengan dosis 90mg/kgBB
berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke
esofagus.
- Didesak larutan obat keluar dari alat suntik.
- Diamati efek obat yang terjadi selama 90 menit.
- Diulangi perlakuan yang sama dengan dosis obat 80 mg/kgBB.
4. Intraperitoneal
- Ditimbang berat mencit.
- Ditandai mencit dengan menggunakan spidol pada ekornya.
- Dihitung dosis pemberian.
- Dipegang tengkuk mencit dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar dibawah rahang hingga posisi abdomen lebih tinggi dari
-
kepala.
Disuntikkan larutan obat dengan dosis 90 mg/kgBB pada bagian
22
x 26 g = 0.26 ml
100
23
- Mencit II (intraperitoneal)
Berat mencit = 34 g
Dosis luminal Na = 80 mg/kg BB
konsentrasi obat = 0.7%
Jumlah obat yang diberikan = 80 mg/kgBB x 34 g = 2,72mg
1000
Konsentrasi obat dalam 0.7%, berarti = 0.7 g
100 ml
= 700 mg = 7 mg/ml
100 ml
= 700 mg = 7 mg/ml
100 ml
24
0.0125
- Mencit IV (Intraperitoneal)
Berat mencit = 25,4 g
Dosis luminal Na = 90 mg/kg BB
konsentrasi obat = 0.7%
Jumlah obat yang diberikan = 90 mg/kgBB x 25,4 g = 2.286 mg
1000
Konsentrasi obat dalam 0.7%, berarti = 0.7 g
100 ml
= 700 mg = 7 mg/ml
100 ml
- Mencit V (oral)
Berat mencit = 25,9 g
Dosis luminal Na = 90 mg/kg BB
konsentrasi obat = 0.7%
Jumlah obat yang diberikan = 90 mg/kgBB x 25,9 g = 2.331 mg
1000
Konsentrasi obat dalam 0.7%, berarti = 0.7 g
100 ml
= 700 mg = 7 mg/ml
100 ml
25
1 skala = 1 : 80 = 0.0125
Jumlah larutan yang disuntikkan = 0.333= 26,64 skala= 27 skala
0.0125
Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat
Mencit I
Berat badan
= 25,8 g
= 0,7 %
50 mg
=
x berat mencit (g)
1000 g
Konsentrasi 0.7% =
50 mg
1000 g
x 25,8 g = 1,294 mg
0,7 g
100 ml
700 ml
= 7 mg/ml
100 ml
= 35,6 g
= 0,7 %
50 mg
Dosis (mg)
=
x berat mencit (g)
1000 g
x 35,6 g = 1,78 mg
0,7mg
g
700 ml
50
Konsentrasi 0.7% =
=
= 7 mg/ml
100
100 ml
1000ml
g
dosis (mg) 1,78
Volume larutan yang disuntikan = 7 mg/ml = 7 = 0.25 ml
= 29,4 g
= 0,7 %
50 mg
1000 g
50 mg
1000 g
26
Dosis (mg)
Konsentrasi 0.7% =
0,7 g
100 ml
700 ml
= 7 mg/ml
100 ml
= 28,3 g
= 0,7 %
=
Konsentrasi 0.7% =
50 mg
1000 g
50 mg
1000 g
x 28,3 g = 1,415 mg
0,7 g
100 ml
700 ml
= 7 mg/ml
100 ml
Mencit V (jantan)
Berat badan
= 25,9 g
= 0,7 %
50 mg
=
x berat mencit (g)
1000 g
Konsentrasi 0.7% =
50 mg
1000 g
x 25,9 g = 1,295 mg
0,7 g
100 ml
700 ml
= 7 mg/ml
100 ml
27
= 25,7 g
= 0,7 %
50 mg
=
x berat mencit (g)
1000 g
Konsentrasi 0.7% =
50 mg
1000 g
x 25,7 g = 1.285 mg
0,7 g
100 ml
700 ml
= 7 mg/ml
100 ml
dosis (mg) 1,28
=
7 mg/ml
7 = 0.18 ml
= 23,4 g
=3 %
Dosis (mg)
100 mg
x berat mencit (g)
1000 g
100 mg
x 23,4 g =2,34 mg
1000 g
Konsentrasi 3%
3g
100 ml
3000 ml
= 30 mg/ml
100 ml
dosis (mg)
Volume larutan yang disuntikan = 30 mg/ml =
2,34
30
= 0,078 ml
Mencit II
Berat badan
= 23,2 g
=3 %
100 mg
1000 g
100 mg
1000 g
28
Dosis (mg)
Konsentrasi 3%
3g
100 ml
3000 ml
= 30 mg/ml
100 ml
dosis (mg)
Volume larutan yang disuntikan = 30 mg/ml =
2,32
30
= 0,077 ml
Mencit III
Berat badan
= 22,9 g
=3 %
Dosis (mg)
200 mg
x berat mencit (g)
1000 g
200 mg
x 22,9 g = 4,58 mg
1000 g
Konsentrasi 3%
3g
100 ml
3000 ml
= 30 mg/ml
100 ml
dosis (mg)
Volume larutan yang disuntikan = 30 mg/ml =
4,58
30
= 0,15 ml
Mencit IV
Berat badan
= 24,4 g
=3 %
Dosis (mg)
200 mg
x berat mencit (g)
1000 g
200 mg
x 24,4 g = 4,88 mg
1000 g
Konsentrasi 3%
3g
100 ml
3000 ml
= 30 mg/ml
100 ml
29
dosis (mg)
Volume larutan yang disuntikan = 30 mg/ml =
4,88
30
= 0,16 ml
Mencit V
Berat badan
= 25,9 g
=3 %
Dosis (mg)
400 mg
x berat mencit (g)
1000 g
400 mg
x 25,9 g = 10,36 mg
1000 g
Konsentrasi 3%
3g
100 ml
3000 ml
= 30 mg/ml
100 ml
dosis (mg)
Volume larutan yang disuntikan = 30 mg/ml =
10,36
= 0,34 ml
30
Mencit VI
Berat badan
= 27 g
=3 %
Dosis (mg)
400 mg
x berat mencit (g)
1000 g
400 mg
x 27 g = 10,8 mg
1000 g
Konsentrasi 3%
3g
100 ml
3000 ml
= 30 mg/ml
100 ml
dosis (mg)
Volume larutan yang disuntikan = 30 mg/ml =
10,8
30
= 0,36 ml
Mencit VII
Berat badan
= 25,9 g
=3 %
=
800 mg
x berat mencit (g)
1000 g
800 mg
1000 g
30
x 25,9 g = 20,72 mg
Konsentrasi 3%
3g
100 ml
3000 ml
= 30 mg/ml
100 ml
dosis (mg)
Volume larutan yang disuntikan = 30 mg/ml =
20,72
= 0,69 ml
30
Mencit VIII
Berat badan
= 22,7 g
=3 %
Dosis (mg)
800 mg
x berat mencit (g)
1000 g
800 mg
x 22,7 g = 18,16 mg
1000 g
Konsentrasi 3%
3g
100 ml
3000 ml
= 30 mg/ml
100 ml
dosis (mg)
Volume larutan yang disuntikan = 30 mg/ml =
Diketahui :
18,16
= 0,60 ml
30
a untuk ED50 = 2
a untuk LD50 = 2,6
b
= 0,3
pi
ED50
=1
pi
LD50 = 0,75
*ED50
m
31
= 2 0,3 (0,5)
Log ED50 = 1,85
ED50
= 70,79 mg/kgBB
* LD50
m = a-b (pi 0,5)
= log 400 0,30 (0,75-0,5)
= 2,6 0,30 (0,25)
Log LD50 = 2,525
LD50
= 334,97 mg/kg BB
LD50
Indeks Terapi = ED50
334,97 mg / kgBB
70,79mg / kgBB
= 4,73
Kontrol
10
1.2
20
1.1
30
1.1
WAKTU (MENIT)
40
50
60
1.1
1.1
1.1
1.2
1.1
1.4
1.2
70
1.1
80
1.1
90
1.1
1.1
1.1
1.1
aquadest 1%,
2.
intraperitonial
Luminal Na []
1.4
1.1
0,7%, dosis 80
32
mg/kgBB,
3.
Intraperitonial
Luminal Na []
1.2
1.1
1.4
1.1
1.1
1.1
1.4
1.3
1.1
1.4
1.4
1.1
1.1
1.2
1.2
1.2
1.2
1.2
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.3
1.1
1.1
1.1
0,7%, dosis 90
mg/kgBB,
4.
Intraperitonial
Luminal Na []
0,7%, dosis 80
5.
mg/kgBB, oral
Luminal Na []
0,7%, dosis 90
mg/kgBB, oral
Keterangan :
- 1.1 : Normal
- 1.2 : Reaktif
- 1.3 : Gerak Lambat
- 1.4 : Tidur
30
1.3
1.4
1.3
WAKTU (MENIT)
40
50
60
1.3
1.3
1.3
1.4
1.3
1.3
1.4
1.2
1.1
70
1.3
1.3
1.1
80
1.3
1.3
1.3
90
1.3
1.3
1.3
1.
2.
3.
Mencit 1 BB
Mencit 2 BB
Mencit 3
10
1.2
1.2
1.2
4.
puasa
Mencit 4 tidak
1.1
1.1
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
5.
puasa
Mencit 5
1.2
1.2
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
6.
jantan
Mencit 6
1.2
1.2
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
betina
33
Keterangan :
- 1.1 : Normal
- 1.2 : Reaktif
- 1.3 : Gerak Lambat
- 1.4 : Tidur
Dosis,Respon,dan Indeks Terapi
DOSIS
Mg/kg
BB
Jumlah
Hewan
100
200
3
4
NO
Jumlah yang
memberikan
respon
pi
efek
mati
ED50
LD50
400
0,5
800
34
35
6.4 PEMBAHASAN
Rute Pemberian Obat
Dari data percobaan diperoleh hasil bahwa mencit 1 tetap pada keadaan
normal setelah di beri aquadest secara intraperitoneal. Pada mencit dosis 80 dan dosis
90 baik secara oral maupun peritoneal diperoleh hasil yaitu pada dosis pemberian
luminal Na yang lebih besar diperoleh respon yang lebih cepat dari dosis yang lebih
kecil.
Dari data hasil percobaan juga diperoleh kesimpulan bahwa pemberian secara
intraperitoneal menghasilkan respon yang lebih cepat dari pemberian per oral. Hal ini
sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari buku yaitu keuntungan pemberian
obat secara suntikan salah satunya adalah efeknya dapat timbul lebih cepat dan
teratur dibandingkan dengan pemberian secara per oral.
( Ian Tanu,1995)
36
37
obat langsung
adalah
dengan posisi
38
Pemberian obat secara oral tidak dapat diaplikasikan untuk pasien yang
tidak sadarkan
diri , bioavaibilitasnya
rendah , serta
memerlukan
Pada percobaan onset of action yang paling cepat memberikan efek adalah
intraperitoneal lalu per oral.
mencit.
Dari percobaan didapat bahwa semakin besar dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan maka akan semakin cepat pengaruh atau
7.2 SARAN
-
39
Sebaiknya dalam percobaan juga diujikan pada hewan yang lain, misalnya
tikus atau kelinci sehingga dapat dibandingkan hasilnya
DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J. M., (1993), Farmasetika 2 : Biofarmasi, Edisi Kedua, Airlangga
University Press, Surabaya, halaman 89-92
Anonim,(2007), http://medicafarma.blogspot.com/2010/04/penanganan-hewanpercobaan_24.html
Ganiswarna, Sulistia Gan., (1995), Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5, Gaya Baru;
Jakarta, halaman 5-6
Tanu, I., (1995), Farmakologi dan Terapi, Edisi Keempat, Fakutas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, halaman 16-18
Smith, John. B dan Soesanto, M., (1988), Pemeliharaan, Pembiakan, Dan
Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis, UI-Press, Jakarta,
halaman 33-34.
40
Katzung, Bertram G., (2001), Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi Pertama,
Salemba Medika, Jakarta, halaman 31, 61-62, 54
Mycek, M. J., Harvey, R. A., Champe, P. C., (2001), Farmakologi Ulasan
Bergambar, Edisi Kedua, Widya Medika, Jakarta, halaman 26
Setiawati, A., dkk., (2007), Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima, Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI, Jakarta, halaman 17 19
Tjay, T.H. & Rahardja, K., (2002), Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Kelima, Cetakan Kedua, Penerbit P.T Elex
Medika Komputindo, Jakarta, halaman 43, 46-47
Yahya dan Rizali. (1994). Pengantar Farmakologi. Jakarta : PT Pustaka
Widyasarana. Hal 28 30
41