I. PENDAHULUAN
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah
berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan keselamatan
manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan
Dunia ke 16 di Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964 (Sulaksono, M.E., 1987).
Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang
segi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan, perlunya
dilakukan percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya
dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia
(Sulaksono, M.E., 1987).
Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu
memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Sulaksono, M.E., 1987).
Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk
menentukan toksisitasnya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek
biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang
dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja
(duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang
tepat untuk memberikan respons tertentu (Anonim I., 2008).
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui
rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara
intravena dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang
relatif lebih cepat dan bermanfaat. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan
parenteral serta yang lainnya harus ditentukan untuk mencapai efek yang maksimal (Anonim I.,
2008).
II. TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan.
- Untuk mengetahui berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang
ditimbulkan.
- Untuk mengetahui teknik pemberian obat melalui rute intraperitoneal (i.p.) dan secara
oral.
- Untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.
- Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute yang diberikan.
- Untuk menyatakan duration of action obat berdasarkan rute yang diberikan.
- Untuk mengetahui efek dari pemberian Luminal Natrium berdasarkan dosis dan rute
pemberian terhadap hewan percobaan.
III. PRINSIP PERCOBAAN
- Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan
spidol permanen dengan bentuk-bentuk tertentu.
- Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal), sehingga dapat
diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat.
- Dengan membandingkan peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan
dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan,
maka ada 4 golongan hewan, yaitu
1). Hewan liar.
2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim
barrier (tertutup).
4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem
isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan
macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan,
semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu
percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila
menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman
(Sulaksonono, M.E., 1987).
Jenis-jenis Hewan percobaan:
No Jenis hewan percobaan
Spesies
1.
Mus musculus
2.
Rattus norvegicus
3.
Mescoricetus auratus
4.
Chinese Haruster
Cricetulus griseus
5.
Marmut
6.
Kelinci
Oryctolagus cuniculus
7.
Mongolian gerbil
Meriones unguiculatus
8.
Forret
9.
Sigmodon hispidus
10. Anjing
Canis familiaris
11. Kucing
Fells catus
13. Barak
Macaca nemestrina
Presbytis ctistata
Macaca mulata
16. Chimpanzee
Pan troglodytes
Macaca nigra
18. Babi
19. Ayam
Gallus domesticus
21. Katak
Rana sp.
22. Salamander
Hynobius sp.
Spesies
23
Lain-lain
tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara. (marking, ear punching, too clipping, ear tags,
tattocing, coat colors) (Sulaksono, M. E., 1992).
Obat dalam tubuh akan mengalami beberapa fase yaitu:
- Fase farmasetik
- Fase farmakokinetik
- Fase farmakodinamik
Fase-fase estafet utama dalam aksi obat dalam tubuh dapat dilihat:
Dosis
I. Fase Farmasetik
Optimasi ketersediaan
farmasetik
Absorpsi
Distribusi
Biotransformasi
Ekskresi
Optimasi ketersediaan
biologik
III.
Fase
Farmakodinam
ik
No.
Istilah
1.
2.
Sublingual
Parenteral
injeksi
jaringan
a. intravena
b. intrakardial
Menembus jantung, memberi efek sistemik
c. intrakutan
Menembus kulit, memberi efek sistemik
d. subkutan
Di bawah kulit, memberi efek sistemik
e. intramuskular
Menembus otot daging, memberi efek sistemik
4
Intranasal
Aural
No.
Istilah
Intrarespiratoral
Rektal
Vaginal
Uretral
Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmiter misalnya Ch, dan untuk repolarisasi
membran sel neuron setelah depolarisasi
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
FENOBARBITAL
Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organik pertama yang
digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, membatasi penjalaran aktivitas bangkitan
dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi dengan
potensi terkuat, tersering digunakan, dan termurah. Dosis efektif relatif rendah. Efek sedatif,
dalam hal ini dianggap efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan
sentral lainnya tanpa menghi-langkan khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil;
kadang-kadang hanya timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada
penggunaan sebagai antiepilepsi belum pernah dilaporkan. Fenobarbital adalah obat terpilih
untuk memulai terapi epilepsi grand mal. Karena efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi
lainnya, khususnya dengan fenitoin, penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan
obat-obat tersebut
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan kortikal
lainnya; juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya terbatas,
karena sifat antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, fenobarbital sering cocok untuk terapi
awal serangan absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi mengingat
kemungkinan komplikasi serangan tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-nis epilepsi
tersebut. Terhadap epilepsi psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams berhati-hati,
oleh karena ada kemungkinan terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama hams di-ingat
oleh mereka yang menggunakan fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap kelainan dengan
konvulsi (umpamanya pada bidang kesehatan anak) (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk
mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10
sampai 30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata.
Penghentian pemberian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan
meningkatnya frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
MEFOBARBITAL
Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbiturat), efek sedatifnya lebih lemah daripada fenobarbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi mefobarbital tetap efektif terhadap grand
mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama dengan fenobarbital karena terjadi N-demetilasi di
hati. Khasiat mefobarbital terhadap petit mal jelas me-lebihi fenobarbital, akan tetapi kurang bila
diban-dingkan dengan obat yang selektif terhadap petit mal. Dosis yang biasa diberikan pada
orang dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis terbagi
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
METARBITAL
Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-metil-5,5-dietilbarbiturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa kerjanya paling lama. Metarbital
tidak memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat antikonvulsi); tetapi dalam kombinasi
ataupun sebagai obat tunggal berguna terhadap grand mal yang sudah refrakter terhadap
pengobatan lazim; juga terhadap epilepsi mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap spasme
mioklonik pada anak kecil (infant) metarbital paling baik khasiatnyajdan pada kelainan dengan
konvulsi akibat kerusakan pada otak, metarbital juga sangat berguna
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam kulit. Dosis awal
dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari dan dapat dinaik-kan menjadi
800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan sehari, diberikan terbagi. (Utama, H dan
Vincent H.S. Gan,1995)
Obat hipnotik dapat menimbulkan rasa mengantuk dan memperlama keadaaan tidur. Efek
hipnotik lebih bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat daripada sedasi dan obat ini dapat
diperoleh secara mudah pada kebanyakan obat-obat sedatif dengan jalan meningkatkan dosis
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk
obat-obat hipnotif sedatif. Walaupun begitu, pada masing-masing obat, terdapat perbedaan dalam
hubungan antara dosis dan tingkat depresi susunan saraf pusat. Dua contoh dari hubungan dosisrespon diperlihatkan pada Gambar 21-1. Slope yang linier dari obat A adalah khas dari
kebanyakan obat sedativa-hipnotika yang lebih tua, termasuk barbiturat dan alkohol. Pada obatobat tersebut, peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu
keadaan anestesi umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan
pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian. Deviasi
dari hubungan linier dosis-respon seperti terlihat pada obat B, akan memerlukan proporsi yang
lebih besar dalam peningkatan dosis untuk mendapatkan depresi susunan saraf pusat yang lebih
dalam daripada hipnosis. Hal ini menunjukkan/ ditunjukkan oleh kebanyakan obat dari golongan
benzodiazepin, dan batas keamanaan yang lebih besar merupakan penawaran yang penting dalam
penggunaan klinik yang luas untuk mengobati keadaan ansietas dan gangguan tidur.
Koma Obat A
E
F Anestesi Obat B
E
K
Hipnosis
S
S
P Sedasi
Kenaikan Dosis
(Katzung, B.G., 1998)
VI. METODE PERCOBAAN
5.1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- oral sonde mencit
- spidol permanent
- spuit 1 ml
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml
b. Peroral
Mencit
1. Penandaan Hewan
ekornya
dengan
spidol permanent
Diangkat ke atas timbangan elektrik
Dicatat beratnya
Hasil
2. Persiapan Hewan
Hasil
3. Cara Pemberian Obat
a. Per Oral
Mencit
Mencit
Dosis mencit II
Berat mencit : 26,1 gr
Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (oral)
Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)
Jumlah obat yang diberikan :
=
Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
Jumlah larutan obat yang disuntikkan
=
Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
Jumlah larutan obat yang disuntikkan
=
Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
Jumlah larutan obat yang disuntikkan
No
Perlakuan
Waktu
10
20
30
40
50
60
70
80
90
(aquadest)
1.1
1.2
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.2
1.2
dosis
1.1
1.1
1.1
1.1
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.1
1.1
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.1
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
1.4
ta
Pe
1.
secara i.p
rco
ba
2.
3.
Ket
80
Luminal
dosis
80
nga
n:
Luminal
an
era
Kontrol
Luminal
dosis
90
1.1
Luminal
dosis
mg/Kg BB i.p
Normal
1.2 Garuk-Garuk (reaktif)
1.3 Gerak lambat
1.4 Tidur
i.p = intraperitoneal
6.3. Grafik Percobaan
Terlampir
90
6.4. Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa peningkatan dosis yaitu dari 80mg/KgBB menjadi
90mg/KgBB dengan rute pemberian yang sama yaitu Mencit II (Luminal Na 0,7% dosis
80mg/KgBB secara oral) dengan Mencit IV ((Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara oral)
dan antara Mencit III ((Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara i.p.) dengan Mencit V
(Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) akan memberikan efek luminal Na (tidur) lebih
cepat. Sementara Mencit I I (kontrol (aquadest) secara i.p. 1% BB ) tidak menunjukkan efek
mengantuk (walaupun pada menit ke-20, menit ke-80 dan menit ke-90 mencit berlaku reaktif).
Hal ini mungkin hanya disebabkan oleh perilaku mencit saja.
Menurut literatur, derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah
karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas
yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis
yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di
medula, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, B. G., 1998).
Berdasarkan percobaan juga diperoleh hasil bahwa pemberian obat secara i.p. menunjukkan
onset of action yang lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian obat secara oral. Oleh
karena itu, Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) menunjukkan onset of
action yang paling cepat diantara semua mencit karena pemberiannya secara i.p. dan dosisnya
yang tinggi.
Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum
dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian
intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur
dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar
obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
penderita. Namun suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi
terlalu besar (Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995).
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
- Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan
dengan urutan mencit.
- Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian
abdomen mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah
masukknya obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.
- Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara
Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi
langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan
mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan
memberikan efek.
- Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat
- Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute
pemberian obat secara oral.
- Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan
rute pemberian obat secara oral.
- Dari hasil yang diperoleh diketahui :
Mencit I (kontrol [aquadest 1%] secara i.p) pada menit ke 10 sampai 90 normal walaupun
pada menit ke-20, 80 dan 90 menunjukkan gerakan reaktif
Mencit II (Luminal Na 0,7%, 80 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke 10 sampai menit
ke-40 normal diteruskan dengan gerakan lambat pada menit ke-50 sampai 90.
Mencit III (Luminal Na 0,7 %, 80 mg/Kg BB secara i.p) pada menit ke-10 langsung
reaktif kemudian menunjukkan gerakan lambat dari menit ke-20 sampai menit ke-90.
Mencit IV (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke-10 dan 20
menunjukkan gerakan normal lalu diikuti gerakan lambat pada menit ke-30 sampai 90
(efeknya lebih cepat dibandingkan dengan mencit II karena dosis ditingkatkan)
Mencit V (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p.) pada menit ke-10 normal dan
pada menit ke-20 sampai menit ke-30 gerakan lambat dan mulai tidur pada menit ke-40
sampai menit ke-90 (efeknya lebih cepat bila dibandingkan dengan mencit III karena
dosis ditingkatkan).
7.2 Saran
Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit
agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami
kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.
Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan
sedatif-hipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan onset of
action dan duration of action.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam Farmakologi dan
Terapi. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Sulaksono, M.E., 1987. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan Percobaan. Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_Pe
rkembangbiakanHewanPercobaan.html
Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan
Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_Faktor
KeturunandanLingkungan.html
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 357.
Utama, H dan Vincent H.S.Gan,1995. Antikonvulsi Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi IV.
Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 168-169.
sebelum percobaan dibidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan
terhadap manusia.4Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratanpersyaratantertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai
dalampengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta
mampumemberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia.5Pemberian obat pada
hewan percobaan bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dapatdilihat pada table
berikut.
III.Prosedur Percobaan
1. Cara Memegang Hewan Percobaan Sehingga Siap untuk Diberi Sediaan Ujia. Mencit Ujung
ekor mencit diangkat dengan tangan kanan, diletakkan pada suatu tempat yangpermukaannya
tidak licin (misal ram kawat pada penutup kandang), sehingga ketika ditarik,mencit akan
mencengkram. Kulit tengkuk dijepit dengan telunjuk dan ibu jari tangan kiri, ekornya tetap
dipegang dengantangan kanan. Posisi tubuh mencit dibalikkan, sehingga permukaan perut
menghadap kita dan ekor dijepitkanantara jari manis dan kelingking tangan kiri.b. TikusTikus
dapat diperlakukan sama seperti mencit, tetapi bagian ekor yang dipegang pada bagianpangkal
ekor dan pegangannya pada bagian tengkuk bukan dengan memegang kulitnya.Cara memegang
tikus sebagai berikut: Tikus diangkat dengan memegang ekornya dari belakang kemudian
diletakkan di ataspermukaan kasar. Tangan kiri perlahan-lahan diluncurkan dari belakang
tubuhnya menuju kepala. Ibu jari dantelunjuk diselipkan ke depan dan kaki kanan
depan dijepit di antara kedua jari tersebut.c. KelinciKelinci harus diperlakukan dengan
halus, tetapi sigap, karena kadang-kadang memberontak.Kelinci diperlakukan dengan cara
memegang kulit lehrtnya dengan tangan kiri, kemudianpantatnya diangkat dengan tangan kanan
dan didekapkan ke dekat tubuh.d. Marmot
Marmot diangkat dengan cara memegang bagian punggung atas dengan tangan kiri
danmemegang bagian punggung bawah dengan tangan kanan.2. Cara Memberikan ObatPada
Hewan Percobaana.MencitOral:Cairan obat diberikan dengan mengginakan sonde oral. Sonde
oral ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian perlahan-lahan dimasukkan
sampai ke esofagus dan cairanobat dimasukkan.Sub kutan:Kulit di daerah tengkuk diangkat dan
ke bagian bawah kulit dimasukkan obat denganmenggunakan alat suntik 1 ml.Intra vena:Mencit
dimasukkan ke dalam kandang restriksi mencit, dengan ekornya menjulur keluar.Ekornya
dicelupkan ke dalam air hangat agar pembuluh vena ekor mengalami dilatasi,
sehinggamemudahkan pemberian obat ke dalam pembuluh vena. Pemberian obat dilakukan
denganmenggunakan jarum suntik no. 24.Intramuskular:Obat disuntikkan pada paha posterior
dengan jarum suntik no. 24.Intra peritonial:Pada saatpenyuntikan, posisi kepala lebih rendah dari
abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudutsekitar 100 dari abdomen pada daerah yang sedikit
menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak mengenai kandung kemih. Penyuntikan
tidak di daerah yang terlalu tinggauntuk menghindari terjadinya penyuntikan pada hati.b.
Tikus Pemberian secara oral, intra muskular dan intra peritonial dilakukan dengan cara yang
samaseperti pada mencit. Pemberian secara sub kutan dilakukan di bawah kulit tengkuk atau
kulit abdomen. Pemberian secara intra vena lebih mudah dilakukan pada vena penis
dibandingkan dengan venaekor.c. KelinciOral:Pemberian obat dengan cara oral pada kelinci
dilakukan dengan menggunakan alat penahanrahang dan pipa lambung.Sub kutan:Pemberian
obatsecara sub kutan dilakukan pada sisi sebelah pinggang atau tengkuk dengan carakulit
diangkat dan jarum (no. 15) ditusukkan dengan arah anterior.Intra vena:Penyuntikan dilakukan
pada vena marginalis di daerah dekat ujung telinga. Sebelumpenyuntikan, telinga dibasahi
terlebih dahulu dengan alkohol atau air hangat.Intra muskular:Pemberian intramuskular dapat
dilakukan pada otot kaki belakang.Intra peritoneal:Posisi diatur sedemikian rupa sehingga letak
kepala lebih rendah daripada perut. Penyuntikandilakukan pada garis tengah di muka kandung
kencing.d. Marmot
II.
1.
http://mouseworksonline.com/images/mice.jpg
Cendrung berkumpul bersama
Penakut, fotofobik
Lebih aktif pada malam hari
Aktivitas terhambat dengan kehadiran manusia
Tidak mengigit
Cara memperlakukan mencit :
Dengan tangan kanan angkat ekornya dan
biarkan mencit menjangkau kawat
kandang dengan kaki depannya, tarik
sedikit ekornya.
Dengan tangan kiri, cubit kulit diantara 2
telinga dan 3 jari yang lain memegang
kulit punggung
Ekor dijepit diantara jari manis dan
kelingking
2.
Tikus
http://cmbi.bjmu.edu.cn/news/Temporary/rat5_files/rats_180.jpg
Sangat cerdas
Tidak begitu fotofobik
Aktivitasnya tidak terhambat dengan kehadiran manusia
Bila diperlakukan kasar atau dalam keadaan defisiensi nutrisi, cendrung menjadi galak dan
sering menyerang
http://research.uiowa.edu/animal/rabbit7.jpg
Jarang bersuara kecuali dalam kondisi nyeri yang luar biasa.
Cendrung berontak bila kenyamannya terganggu.
Sangat rentan terhadap angin langsung dan udara dingin.
Untuk perlakuan yang hanya memerlukan kepala, masukkan ke dalam holder.
Cara memperlakukan kelinci :
Perlakukan dengan halus.
Jangan memegang telinga saat mengangkat / menangkap.
Pegang kulit leher kelinci dengan
tangan kiri.
http://www.theodora.com/rodent_laboratory/images/oral_gavage.jpg
Kelinci :
Pemberian per-oral dengan menggunakan selang kateter. Selang kateter dimasukkan kedalam
mulut kelinci , untuk memastikan selang tersebut masuk ke dalam rongga mulut maka ujung
selang yang satu dimasukkan ke dalam beaker glas yang berisi air. Jika belum tepat maka akan
timbul gelembung-gelembung dalam air.
2.
Subkutan
Mencit,tikus dan kelinci :
Obat disuntikkan di bawah kulit daerah tengkuk (di leher bagian atas) dengan terlebih dahulu
mencubit kulitnya, lalu suntikkan dengan sudut 45 derajat.
http://www.theodora.com/rodent_laboratory/injections.html
3.
Intravena
Mencit dan tikus :
Masukkan hewan ke dalam holder sehingga ekor terjulur ke luar. Obat disuntikkan pada vena
ekor (vena lateral) dengan terlebih dahulu vena ekor di dilatasi menggunakan alkohol atau
xylol.
http://www.theodora.com/rodent_laboratory/injections.html
Kelinci :
Obat disuntikkan pada vena marginalis telinga. Bulu telinga harus dahulu dicukur.
4.
Intraperitoncal
Mencit dan tikus :
Hewan dipegang sesuai ketentuan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Pada saat penyuntikkan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen yaitu dengan
menunggingkan mencit atau tikus .
Jarum disuntikkan sehingga membentuk sudut 46 derajat dengan abdomen, posisi jarum agak
menepi dari garis tengah (linea alba) untuk menghindari agar tidak mengenai organ di dalam
peritoneum.
http://www.theodora.com/rodent_laboratory/injections.html
Kelinci :
Jarang dilakukan
II.2.2. Klasifikasi Hewan Coba (3)
Mencit ( Mus musculus )
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class
: Mamalia
Sub Class : Rodentia
Family : Muridae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Tikus putih (Rattus norvegicus)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub ordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
II.1 Dasar Teori
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses
kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa tersebut disebut obat, dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan resiko penggunaan obat. Karena itu dikatakan
farmakologi merupakan seni menimbang ( the art of weighing). Obat didefinisikan sebagai senyawa
yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan
suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seseorang infertil, atau melumpuhkan otot rangka selama
pembedahan hewan coba. Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu cara
Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk
pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek teraupetis obat berhubungan erat dengan efek
dosisnya. Pada hakikatnya setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan
merusak organisme (sola dosis facit venenum; hanya dosis membuat racun. Paracelcus) (Tjay Hoan,
Dkk 2007).
Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang khusus diternakan
untuk keperluan penelitian biologik. Hewan percobaan digunakan untuk penelitian pengaruh bahan
kimia atau obat pada manusia. Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah
berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan
internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki.
Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang meng-gunakan manusia (1964) antara lain
dikatakan perlunya diakukan percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun
riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia
melalui suatu penelitian biomedis (Sulaksono, M.E., 1992).
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan
lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4
golongan hewan, yaitu :
1)
Hewan liar.
2)
3) Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim barrier
(tertutup).
4)
Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem
isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan macam
percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna
pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap
hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional
ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksono, M.E., 1987).
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan
berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan hewan
percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (Malole, 1989):
1.
Faktor internal pada hewan percobaan sendiri : umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan
2.
Faktorfaktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang, populasi dalam
kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai
oksigen dalam ruang pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.
3.
Keadaan faktorfaktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan
terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan
dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu cara pemberian
senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa
bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu
tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang
akan digunakan. Sebelum senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus
melalui proses absorpsi terlebih dahulu.
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga
merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Rute
pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008).
1. Jalur Enteral
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti pemberian obat
melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral merupakan jalur pemberian obat
paling banyak digunakan karena paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian
melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar
atau tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga alasan
kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui
jalur ini dan untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
2. Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah transdermal (topikal), injeksi,
endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian
obat melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau lokal.
1.
Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam laboratorium farmakologi
dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani dan bersifat penakut, fotofobik,
cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran
manusia akan mengurangi aktivitasnya.
Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, biarkan menjangkau /
mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk
menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit
antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan
- Cara Pemberian
Pemberian secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi jarum/kanula oral
(berujung tumpul). Kanula ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan
melalui langit-langit ke arah belakang sampai esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu
diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan kanus yang mulus disertai pengeluaran cairan
sediaannya yang mudah adalah cara pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk ke
dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian.
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya tegang, kemudian jarum
disuntikkkan dengan membentuk sudut 100 dengan abdomen pada bagian tepi abdomen dan tidak
terlalu ke arah kepala untuk menghindari terkenanya kantung kemih dan hati.
Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol dan telunjuk
kemudian jarum ditusukkan di bawah kulit di antara kedua jari tersebut.
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam kandang individual yang sempit
dengan ekor dapat menjulang ke luar. Dilatasi vena untuk memudahkan penyuntikan, dapat dilakukan
dengan pemanasan di bawah lampu atau dengan air hangat.
a.
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Lama hidup
: 1-2 tahun
Lama bunting
: 19-21 hari
: 1-24 jam
Umur disapih
: 21 hari
Umur dewasa
: 35 hari
Umur dikawinkan
: 8 minggu
Siklus kelamin
: poliestrus
Perkawinan
Berat dewasa
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1
III.1.1 Alat
1. Kandang mencit
III.1.2 Bahan
III.2
Cara kerja
III.2.1 Kelinci
3. Dapat digunakan kotak atau kandang individu kelinci agar tidak banyak bergerak
III.2.1 Mencit
2. Mencit dibiarkan mencengkram alas penutup kandang yang kasar (kawat) sehingga tertahan ditempat
3. Ibu jari dan jari telunjuk kiri menjepit kulit tenguk seerat mungkin
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
IV.2 Pembahasan
Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang khusus diternakan
untuk keperluan penelitian biologik. Hewan percobaan digunakan untuk penelitian pengaruh bahan
kimia atau obat pada manusia. Beberapa jenis hewan yang sering dipakai dalam penelitian maupun
praktikum yaitu:Kelinci (Oryctolagus cuniculus) Marmut (Cavia parcellus), Mencit (Mus musculus), Tikus
(Rattus novergicus).
Percobaan kali ini adalah membahas tentang bagaimana cara penanganan hewan coba sebelum kita
melakukan pemberian obat terhadap hewan coba maka dari itu kita harus mengetahui bagaimana cara
penanganan hewan coba yang baik dan benar terlebih dahulu.
Langkah awal dari percobaan ini adalah menyiapkan alat dan bahan. Setelah itu mulai mempraktekkan
cara memperlakukan hewan percobaan yang sebelumnya telah dijelaskan oleh asisten. Hewan yang
dipakai dalam percobaan ini adalah Kelinci (Oryctolagus cuniculus) dan Mencit (Mus musculus).
Pertama-tama dilakukan perlakuan terhadap kelinci dengan cara dielus-elus bagian kepala sampai
bagian belakang tubuhnya agar kelinci tenang dan mudah di pegang. Kemudian digenggam atau
dipegang pada leher kelinci dengan tangan kanan. Lalu bagian pantat atau bagian belakang ekornya
dengan tangan kiri diangkat bersamaan dengan pegangan pada lehernya dan langsung didekapkan di
badan kita agar agar kelinci tidak mudah lepas atau melompat. Setelah itu kelinci siap diberi perlakuan.
Untuk percobaan tertentu pada hewan coba kelinci, biasanya kelinci dimasukkan pada kotak percobaan
agar tidak banyak bergerak dan memudahkan peneliti atau praktikkan mengambil sampel misalnya
darah kelinci. Selain itu, kita tidak diperbolehkan sekali-kali memegang telinga kelinci pada saat
penanganan karena pada telinga kelinci syaraf dan pembuluh darahnya dapat terganggu dan telinga
kelinci juga sangat sensitif, sehingga bila telinganya dipegang, maka dapat mempengaruhi system saraf
pada kelinci.
Untuk mencit cara penanganannya adalah yang pertama ujung dari ekor mencit diangkat dengan
tangan kiri, dibiarkan mencit mencengkram alas penutup kandang yang kasar yang berupa kawat
sehingga tertahan ditempat, setelah itu mencit di elus-elus agar tenang dan mudah dipegang. Kemudian
ibu jari kita dan jari telunjuk kanan menjepit tengkuk mencit seerat mungkin tetapi tidak boleh terlalu
kencang karena mencit terlalu kecil selanjutnya ekor mencit dipindahkan, dijepit di antara jadi manis
dan kelingking tangan kanan dengan demikian, mencit yang telah terpegang oleh tangan kanan siap
untuk diberi perlakuan.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai macam hewan uji digunakan di
laboratorium, seperti Mencit (Mus musculus) yang memerlukan penanganan khusus. Cara perlakuan
hewan coba seperti mencit awalnya harus diperhatikan kondisi dari hewan coba tersebut agar hewan
coba tidak mengalami stres. Untuk perlakuan mencit awalnya ujung ekor mencit diangkat dengan
tangan kanan ataupun kiri ( tergatung kenyamanan praktikan dalam memegang mencit ). Selanjutnya
telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit tengkuk, sedangkan ekornya tetap dipegang dengan
tangan kanan (ataupun sebaliknya). Kemudian, posisi tubuh mencit dibalikkan, sehingga permukaan
perut menghadap kita dan ekor dijepitkan diantara jari manis dan kelingking tangan kiri. Sedangkan
untuk kelinci awalnya dipegang kulit tengkuknya, kemudian pantat diangkat dengan tangan kanan dan
didekapkan ke badan.
V.2 SARAN
Sebaiknya dalam menangani hewan coba perlu diperhatikan etika-etika penanganan hewan coba di
laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Gan Gunawan, Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: FK-UI
Tim Dosen. 2011. Penuntun Praktikum Farmakologi dan Toksikologi. Makassar: AKFAR YAMASI