Anda di halaman 1dari 8

BAB II

FUNGSI, KELEBIHAN, DAN KELEMAHAN HEPTAKLOR


Hasil pertanian di Indonesia semakin meningkat dengan menggunakan pestisida, Petani
menjadi senang dengan melihat hasil tanam yang melimpah serta tidak rusak diganggu
dengan hama dan gulma. Penggunaan pestisida sudah sangat meluas, berkaitan dengan
dampak positifnya, yaitu meningkatnya produksi pertanian dan menurunnya penyakitpenyakit yang penularannya melalui perantaraan makanan (foodborne diseases) atau pun
vektor (vector-borne diseases). (Weiss et al 2004). Pestisida berasal dari kata pest, yang
berarti hama dan cida, yang berarti pembunuh, jadi pestisida adalah substansi kimia
digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Secara luas pestisida
diartikan
sebagai
suatu
zat
yang
dapat
bersifat
racun,
menghambat
pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, pengaruh hormon,
penghambat makanan, membuat mandul, sebagai pengikat, penolak dan aktivitas lainnya yang
mempengaruhi OPT. Sedangkan menurut The United State Federal Environmental Pestiade
Control Act, Pestisida adalah semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas
atau mencegah gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus,
bakteri, jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat
pada manusia dan binatang lainnya. Atau semua zat atau campuran zat yang digunakan
sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman. Terdapat berbagai jenis
pestisida salah satunya adalah Hidrokarbon Berklor. Kelompok senyawa ini sering sisebut
sebagai organoklorin walaupun penamaannya kurang tepat karena didalamnya termasuk fosfat
organik yang mengandung klor.
Klasifikasi Kimiawi Pestisida Organoklorin.
Insektisida organoklorin dikelompokkan menjadi tiga golongan berikut:
1. DDT dan analognya, misalnya BHC, dicofol, Klorobenzilat, TDE dan metoxychlor.
2. Senyawa siklodien, misalnya aldrin, dieldrin, endrin, endusulfan dan heptaklor
3. Terpena berklor, misalnya toksafen
Heptaklor, sebuah hidrokarbon siklodiena terklorinasi, adalah salah satu kelas dari
insektisida sintesis yang telah dipakai secara luas untuk membasmi rayap dan serangga tanah
di negara maju sepanjang tahun 1960 dan 1970-an. Heptaklor dapat teroksidasi menjadi
heptaklor epoksida, suatu zat yang lebih persisten dan beracun daripada senyawa induk.
Heptaklor dan metabolitnya (heptaklor epoksida) yang hadir di berbagai daerah di seluruh
dunia dan ditemukan terutama di dalam tanah. Kelarutan rendah, kecenderungan untuk partisi
istimewa ke fase lipofilik dan adanya heteroatom klorin membuat mereka sangat beracun.
Insektisida ini telah dianggap sebagai karsinogen manusia dan modus utama toksisitas adalah
dengan menyerang sistem saraf pusat (World Health Organization, 1984). Beberapa negara
maju melarang produksi dan penggunaan heptaklor pada tahun 1970-an. Tetapi, beberapa
negara berkembang terus menggunakan pestisida ini baik untuk pertanian dan program
kesehatan masyarakat, karena biayanya yang murah dan kemampuannya yang tinggi untuk
membasmi beragam hama. Karea mengetahui bahaya-bahaya yang disebabkan oleh heptaklor,
sangatlah penting untuk mengembangkan metode remediasi yang efektif.

Bioremediasi menggunakan mikroorganisme merupakan metode dengan biaya yang


paling efektif untuk menangani berbagai pestisida. Pendekatan yang pertama diusulkan oleh
Miles et al. (1969) dimana ia menggunakan bakteri tanah dan jamur untuk metabolisme
heptaklor menjadi berbagai produk samping melalui berbagai jalur metabolisme yang
independen. Heptaklor epoksida, chlordene, chlordene epoksida, 1-hydroksichlordene, dan 1hidroksi-2,3-epoksichlordene telah terdeteksi sebagai metabolit dari heptaklor (Miles et al.,
1969). Baru-baru ini, jamur pelapuk putih (WRF) menawarkan keuntungan melalui bakteri
dari senyawa yang dapat mengoksidasinya (Pointing, 2001). Organisme ini secara umum
lebih toleran pada konsentrasi yang tinggi dari zat kimia yang menyebabkan polusi daripada
bakteri. Oleh karena itu, jamur pelapuk putih mewakili beberapa alat yang prospektif untuk
bioremediasi lingkungan. Transformasi heptaklor dengan jamur pelapuk putih telah
dideskripsikan sebelumnya oleh Arisoy (1998) dan Nwachukwu dan Osuji (2007). Sementara
itu, metabolit dan jalur metabolit dari transformasi heptaklor belum pernah dilaporkan. Barubaru ini, beberapa jamur pelapuk putih dengan genus Phlebia dilaporkan dapat mendegradasi
heptaklor dan heptaklor epoksida (Xiao et al., 2011). Phlebia acanthocystis memiliki
kemampuan tertinggi untuk mendegradasi heptaklor diantara 18 spesies Phlebia dimana
heptaklor epoksida, 1-hidroksichlordene, dan 1-hidroksi-2,3-epoksidachlordene telah
terdeteksi sebagai metabolit produk. Sebaliknya, Phlebia aurea memiliki kemampuan tertinggi
untuk mendegradasi heptaklor epoksida dengan heptaklor diol dan 1-hidroksi-2,3epoksichlordene adalah produk metabolit dari kultur jamur ini, menunjukkan bahwa reaksi
hidrolisis dan hidroksilasi yang menyerang transformasi heptaklor epoksida (Xiao et al.,
2011). Ini merupakan laporan pertama yang mendeskripsikan metabolit dari heptaklor dan
heptaklor epoksida dengan jamur pelapuk putih. Meski begitu, walaupun Phlebia
acanthocythis adalah pendegradasi heptaklor yang baik, jamur ini memiliki kemampuan yang
rendah untuk mendegradasi heptaklor epoksida. Sementara itu, Phlebia aurea adalah satusatunya jamur yang efektif terhadap transformasi heptaklor epoksida.
Beberapa jenis organoklorin yang ditemukan, yaitu aldrin, heptaklor, dieldrin, dan DDT
tergolong sebagai senyawa Persistent Organic Pollutants (POPs). POPs adalah senyawa
kimia yang persisten di lingkungan, dapat mengalami bioakumulasi di rantai makanan, dan
memiliki risiko menjadi penyebab banyak dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan. Sekarang, komunitas internasional telah mengambil tindakan darurat yang
bersifat global untuk mengurangi dan mengeliminasi diproduksinya bahan-bahan kimia ini.
Heptaklor merupakan insektisida kontak dan non sistemik. Kegunaan utamanya adalah
untuk menangani serangga di tanah, rayap, serangga di tanaman kapas, belalang, dan
beberapa hama tanaman lainnya. Kelarutan heptaklor dalam air sangat rendah, sedangkan
kelarutannya di dalam lemak tinggi. Kemampuan heptaklor untuk menguap cukup tinggi dan
dapat menjadi bagian dari atmosfer saat terjadi penguapan (Ritter, 1997). Persistensi heptaklor
di tanah terbilang tinggi karena memiliki kecenderungan untuk teradsorbsi di dalam tanah
serta sangat sulit mengalami pergerakan menuju air tanah. Faktor lainnya yang mempengaruhi
persistensi heptaklor adalah temperatur dan kelembaban. Dikarenakan kelarutannya yang
rendah dalam air dan kemampuan menguapnya yang tinggi dari air, maka konsentrasi
heptaklor yang ditemukan di sampel air relatif rendah, yaitu berkisar antara 0,133-1,67 ppb.
Konsentrasi yang ditemukan di tanah lebih besar, yaitu sekitar 0,3- 25,1 ppb. Dapat dilihat
pada Gambar 4 (lampiran), sampel tanah sawah basah pada ketinggian 1140 m dpl (titik 1)
adalah sampel dengan konsentrasi heptaklor tertinggi, yaitu 25,1 ppb. Hal ini dapat
disebabkan akumulasi yang terjadi akibat run-off dari titik yang berada lebih tinggi. Rata-rata
konsentrasi yang ditemukan di sampel tanah adalah 3,218 ppb, sedangkan di sampel air

adalah 0,566 ppb. Konsentrasi di sampel air lebih rendah dibandingkan konsentrasi di sampel
tanah juga dapat disebabkan karena kemampuan menguap heptaklor di air lebih tinggi
dibandingkan kemampuan menguapnya di tanah. Selain melalui proses penguapan, heptaklor
dapat hilang dari tanah dan air dengan proses hidrolisis. Heptaklor dapat terhidrolisis menjadi
1-hidroksilklordan dan heptaklor epoksida. Untuk sampel air sawah kering pada ketinggian
1120 m dpl (titik 15), didapat konsentrasi yang cukup signifikan dibanding titik yang lain,
yaitu 1,67 ppb. Sama halnya seperti konsentrasi endosulfan pada titik yang sama, akumulasi
konsentrasi dari lokasi yang lebih tinggi dapat terjadi mengingat adanya run-off akibat hujan.

Heptaklor adalah bahan kimia yang dibuat untuk membunuh serangga dirumah,
bangunan, dan beberapa lahan pertanian. Heptaklor tidak pernah digunakan lagi untuk tujuan
ini semenjak tahun 1988, dan tidak ada sumber alami dari heptaklor dan heptaklor epoksida.
Nama penjualan heptaklor adalah Heptagran, Heptamul, Heptagranox, Heptamak,
Basaklor, Drinox, Soleptax, Gold Crest H-60, Termide, and Velsicol 104.
Heptaklor yang murni adalah serbuk putih, heptaklor teknis adalah bubuk coklat dan memiliki
tingkat kemurnian yang lebih rendah dari heptaklor murni. Heptaklor teknis adalah bentuk
heptaklor paling sering digunakan sebagai pestisida. Aroma heptaklor agak seperti kamper,
tidak mudah terbakar dan tidak meledak, dan tidak mudah larut dalam air.
Fungsi Heptaklor:
1. Membasmi hama, terutama rayap dan serangga dalam tanah, di sekitar tahun 1960-1970-an.
Tetapi akhir-akhir ini, heptaklor sudah tidak dapat digunakan untuk membasmi hama tersebut,
tetapi digunakan untuk membasmi semut api.
2. Heptaklor teknis yang lebih aman dari heptaklor murni, masih digunakan sebagai pembasmi
hama / digunakan sebagai pestisida.
3. Heptaklor epoksida produk samping dari heptaklor, digunakan sebagi insektisida, tidak ada
sumbernya dari alam, semua sintesis
Karena baik heptaklor dan heptaklor epoksida dapat tersebar jauh melalui angin dari
satu tempat dimana dia disemprotkan, misalnya pada lahan yang berhama dan area-area
dimana digunakan heptaklor. Pada tanah dan air, heptaklor dirubah oleh bakteria menjadi zat
yang lebih berbahaya, yaitu heptaklor epoksida, atau menjadi zat yang kurang berbahaya.
Tanaman dapat menyerap heptaklor melalui akar yang menancap pada tanah. Heptaklor pada

udara dapat tersimpan pada daun-daun tanaman dan memasuki tanaman dari tanah yang
terkontaminasi.
Kelemahan Heptaklor:
1. Karena hewan dapat memakan tanaman yang mengandung heptaklor, maka mereka
pun menyerap heptaklor tersebut. Sehingga heptaklor dapat dirubah menjadi
heptaklor epoksida yang jauh lebih berbahaya didalam tubuh mereka, heptaklor
epoksida terurai sangat lama di lingkungan. Heptaklor epoksida dapat tinggal sangat
lama di lingkungan, sampai bertahun-tahun. Baik heptaklor dan heptaklor epoksida
dapat ditemukan pada peternakan ikan
2. Semakin menumpuk konsentrasi heptaklor/heptaklor epoksida dalam tubuh manusia/
hewan, akan semakin beracun dan mematikan
3. Bersifat karsinogenik bagi manusia yang tidak sengaja mengkonsumsinya
4. Untuk hewan, berbahaya bagi kerja hati
5. Untuk hewan, berbahaya bagi fertilitasnya (menurun), dan eksitabilitas
6. Menyebabkan tumor liver bagi hewan yang memakan tumbuhan yang mengandung
heptaklor
7. Sangat susah terdegradasi di dalam tanah, maupun di air
8. Kemampuan heptaklor untuk menguap cukup tinggi dan dapat menjadi bagian dari
atmosfer saat terjadi penguapan
9. Kelarutan dalam air rendah, mengakibatkan heptaklor maupun heptaklor epoksida
dapat bertahan lama didalam air dan diminum oleh ikan, terutama dalam skala
peternakan, dan mengakibatkan bahaya bagi manusia yang mengkonsumsi ikan yang
telah meminum air mengandung heptaklor
10. Kelebihan pemakaian heptaklor akan menyebabkan terbunuhnya tanaman-tanaman
lain dan hewan-hewan kecil di sekitarnya
Kelebihan Heptaklor:
1. Sangat persisten terhadap hama, sehingga dapat membasmi berbagai hama terutama
rayap, serangga, dan semut api
2. Dapat didegradasi dan menghasilkan beberapa metabolit produk yang lebih aman,
dan bisa juga menyebabkan metabolit produk yang lebih berbahaya; yaitu heptaklor
epoksida
3. Dapat di degradasi oleh bakteri dan mikroorganisme, walaupun memerlukan waktu
yang lama
4. Tidak tersedia di alam, sehingga tidak mudah menyebar dengan konsentrasi yang
tinggi
5. Mudah larut dalam lemak
6. Dapat didegradasi oleh jamur pelapuk putih, dan menghasilkan metabolit produk
seperti chlordene, chlordene epoksida, 1-hydroksichlordene, dan 1-hidroksi-2,3epoksichlordene yang lebih aman daripada heptaklor dan heptaklor epoksida
Heptaklor dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang mengandung
heptaklor, atau heptaklor epoksida, yang kemudian masuk kedalam aliran darah melalui paru-paru.
Tidak diketahui berapa cepat senyawa ini akan masuk dan diam dalam aliran darah. Baik heptaklor
dan heptaklor epoksida dapat masuk dalam tubuh melalui perut setelah memakan
makanan/minuman yang mengandung heptaklor. Heptaklor juga dapat masuk melalui kulit, dan bisa
diturunkan secara langsung dari darah seorang ibu hamil pada janin anaknya melalui plasenta, juga
dapat melalui air susu ibu. Sekali berada didalam tubuh, heptaklor akan berubah menjadi heptaklor
epoksida dan senyawa senyawa kimia lain yang berhubungan. Sebagian besar heptaklor, heptaklor

epoksida, dan metabolit produk lain yang telah masuk didalam tubuh dapat keluar melalui feces dan
urine beberapa hari setelah terkontaminasi. Beberapa heptachlor dan heptachlor epoksida juga dapat
tersimpan didalam tubuh atau lemak setelah waktu yang lama. Heptaklor dan heptaklor epoksida
yang telah tersimpan di dalam lemak akan meninggalkan tubuh lebih lambat.

Daftar Pustaka

Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). Public Health Statement
for Heptachlor and Heptachlor Epoxide. Atlanta, GA: U.S. Department of Health
and Human Services, 1989.
Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). Toxicological Profile for
Heptachlor and Heptachlor Epoxide. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and
Human Services, 1993.
Mississippi State University Extension Service, Farm Chemical Safety Series,
Recognizing Pesticide Poisoning. http://msucares.com/pubs/pub1933.htm
Reigart, Routt J. and Roberts, James R. Medical University of South Carolina.
Recognition and Management of Pesticide Poisonings. Fifth ed. Washington,
D.C.: U.S. Environmental Protection Agency, Office of Pesticide Programs, 1999.
Arisoy, M., 1998. Biodegradation of chlorinated organic compounds by white-rot fungi.
Bulletin of Environmental Contamination & Toxicology 60, 872e876.
Bezalel, L., Hadar, Y., Fu, P.P., Freeman, J.P., Cerniglia, C.E., 1996. Initial oxidation
products in the metabolism of pyrene, anthracene, fluorene, and dibenzothiophene
by the white rot fungus Pleurotus ostreatus. Applied & Environmental
Microbiology 62, 2554e2559.
Bumpus, J.A., Aust, S.D., 1987. Biodegradation of DDT [1,1,1-Trichloro-2,2-Bis (4Chlorophenyl) ethane] by the white rot fungus Phanerochaete chrysosporium.
Applied & Environmental Microbiology 53, 2001e2008.
Byss, M., Elhottov, D., Trska, J., Baldrian, P., 2008. Fungal bioremediation of the
creosote-contaminated soil: influence of Pleurotus ostreatus and Irpex lacteus on
polycyclic aromatic hydrocarbons removal and soil microbial community
composition in the laboratory-scale study. Chemosphere 73, 1518e1523.
Carter, F.L., Stringer, C.A., Heinzelman, D., 1971. 1-Hydroxy-2,3-epoxychlordene in
Oregon soil previously treated with technical heptachlor. The Bulletin of
Environmental Contamination & Toxicology 6, 249e254.
Chiu, S.W., Ching, M.L., Fong, K.L., Moore, D., 1998. Spent oyster mushroom
substrate performs better than many mushroom mycelia in removing the biocide
pentachlorophenol. Mycological Research 102, 1553e1562.
Eggen, T., 1999. Application of fungal substrate from commercial mushroom
production e Pleorotus ostreatus e for bioremediation of creosote contaminated
soil. International Biodeterioration & Biodegradation 44, 117e126.
Fahr, K., Wetztein, H.G., Grey, R., Schlosser, D., 1999. Degradation of 2,4dichlorophenol and pentachlorophenol by two brown rot fungi. FEMS
Microbiology Letters 175, 127e132.
Feroz, M., Podowski, A.A., Khan, M.A.Q., 1990. Oxidative dehydrochlorination of
heptachlor by Daphnia magna. Pesticide Biochemistry & Physiology 36, 101e105.
Hidayat, A., Tachibana, S., 2012. Characterization of polylactic acid (PLA)/kenaf
composite degradation by immobilized mycelia of Pleurotus ostreatus.
International Biodeterioration & Biodegradation 71, 50e54.

Kamei, I., Kondo, R., 2005. Biotransformation of dichloro-, trichloro-, and


tetrachlorodibenzo-p-dioxin by the white-rot fungus Phlebia lindtneri. Applied
Microbiology & Biotechnology 68, 560e566.
Kamei, I., Suhara, H., Kondo, R., 2005. Phylogenetical approach to isolation of whiterot
fungi capable of degrading polychlorinated dibenzo-p-dioxin. Applied
Microbiology & Biotechnology 69, 358e366.
Kataoka, R., Takagi, K., Kamei, I., Kiyota, H., Sato, Y., 2010. Biodegradation of
dieldrin by a soil fungus isolated from a soil with annual endosulfan applications.
Environmental Science & Technology 44, 6343e6349.
Leontievsky, A.A., Vares, T., Lankinen, P., 1997. Blue and yellow laccases of
ligninolytic fungi. FEMS Microbiology Letters 156, 9e14.
Lu, P.Y., Metcalf, R.L., Hirwe, A.S., Williams, J.W., 1975. Evaluation of environmental
distribution and fate of hexachlorocyclopentadiene, chlordene, heptachlor, and
heptachlor epoxide in a laboratory model ecosystem. Journal Agriculture Food
Chemistry 23, 967e973.
Lu, Y., Phillips, D.R., Lu, L., Hardin, I.R., 2008. Determination of the degradation
products of selected sulfonated phenylazonaphthol dyes treated by white rot
fungus Pleurotus ostreatus by capillary electrophoresis coupled with electrospray
ionization ion trap mass spectrometry. Journal of Chromatography A 208,
223e231.
Miles, J.R.W., Tu, C.M., Harris, C.R., 1969. Metabolism of heptachlor and its
degradation products by soil microorganisms. Journal of Economic Entomology
62, 1334e1348.
Miles, J.R.W., Tu, C.M., Harris, C.R., 1971. Degradation of heptachlor epoxide and
heptachlor by a mixed culture of soil microorganisms. Journal of Economic
Entomology 64, 839e841.
Moeder, M., Cajthaml, T., Koeller, G., Erbanov, P., _Sa_sek, V., 2005. Structure
selectivity in degradation and translocation of polychlorinated biphenyls (Delor
103) with a Pleurotus ostreatus (oyster mushroom) culture. Chemosphere 61,
370e1378.
Motomura, M., Toyomasu, T., Mizuno, K., Shinozawa, T., 2003. Purification and
characterization of an aflatoxin degradation enzyme from Pleurotus ostreatus.
Microbiological Research 158, 237e242.
Nwachukwu, E.O., Osuji, J.O., 2007. Bioremedial degradation of some herbicides by
indigenous white rot fungus, lentinus subnudus. Journal of Plant Sciences 2,
619e624.
Palmieri, G., Cennamo, G., Sannia, G., 2005. Remazol Brilliant Blue R decolourisation
by the fungus Pleurotus ostreatus and its oxidative enzymatic system. Enzyme &
Microbial Technology 36, 17e24.
Patel, H., Gupte, A., Gupte, S., 2009. Biodegradation of fluoranthene by basidiomycetes
fungal isolate Pleurotus ostreatus HP-1. Applied Biochemistry & Biotechnology
157, 367e376.

Pointing, S., 2001. Feasibility of bioremediation by white-rot fungi. Applied


Microbiology & Biotechnology 57, 20e33.
Feng, K; Yu, B.Y.; Wang, X.L.; Ge, D.M.; Wang, X.Z.; Wong, M.H.; Cao, Z.H. 2003.
Distribution of Organochlorine Pesticides (DDT and HCH) Between Plant and Soil
System. Environmental Geochemistry and Health 26, pages 253258
Jayashree, R; Vassudevan, R. 2006. Persistence and Distribution of Endosulfan Under Field
Condition. Environ Monit Assess 131, pages 475487
Miglioranza, Karina SB; de Moreno, Julia E. Aizpun; de Moreno, Victor J. 2002. Dynamics of
Organochlorine Pesticides in Soils From a Southeastern Region of Argentina.
Environmental Toxicology and Chemistry, Vol 22, pages 712-717
Nugraha. 2007. Evaluasi Penggunaan Insektisida Organoklorin di Persawahan di Pantai
Utara Jawa
Poolpak, T.2007.Residue analysis of organochlorine pesticides in the Mae Klong river of
Central Thailand. Journal of Hazardous Materials 156, pages 230-239
Ramesh A, Tanabe S, Murase H, Subramanian AN, Tatsukawa R. 1991. Distribution and
behavior of persistent organochlorine pesticides in paddy soils and sediments in the
tropical environment:A case study in south India. Environmental Pollution 74, pages
293-307
Ritter, L. 1997. Persistent Organic Pollutants
Saenong. 2005. Kerusakan Lingkungan dan Gangguan Kesehatan Sebagai Dampak
Penggunaan Pestisida Pertanian
Sarkar, S.K., Bhattacharya B.D.,Bhattacharya A., Chatterjee M.,Alam A., Satpathy K.K.,
Jonathan M.P. 2007. Occurrence, distribution and possible sources of organochlorine
pesticide residues in tropical coastal environment of India: An overview. Environmental
International 34, pages 1062-1071
Soemirat, Juli. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sofia. 2001. Pengaruh Pestisida dalam Lingkungan Pertanian
Sulaeman, Eman; Ardiwinata, Asep Nugraha. 2008. Residu Insektisida Organoklorin Pada
Tanah dan Air Sawah di Propinsi Jawa Barat
Squibb, Katherine. 2002. Pesticides. Apllied Toxicology NURS 735
The Centers for Disease Control and Prevention. 2005. Spotlight on Organochlorine
Pesticides
Yao, Fenxia; Yu, Guifen; Bian, Yongrong; Yang, Xinglun; Wang, Fang; Jiang, Xin.
2006. Bioavailability to grains of rice of aged and fresh DDD and DDE in soils.
Chemosphere 68, pages 7884

Anda mungkin juga menyukai