Anda di halaman 1dari 11

Penyakit pada Kandung Empedu: Pembaruan dalam Diagnosis dan Penatalaksanaan

David P. Vogt, MD
ABSTRAK
Tulisan ini membahas mengenai gambaran klinis penyakit batu empedu, kolesistitis
akalkulus, diskinesia biliaris, dan kanker kandung empedu, serta bagaimana menggunakan
metode diagnostik dan penatalaksanaan terkini sebaik mungkin, terutama ultrasonografi,
cholescintigraphy,

kolesistektomi

laparoskopik,

dan

endoscopic

retrograde

cholangiopancreatography (ERCP).
Untuk sebagian pasien dengan gejala penyakit kandung empedu yang akut atau menetap,
teknik diagnostik dan terapi yang ada saat ini memberikan hasil yang sebanding atau bahkan
lebih baik dibandingkan dengan metode yang sebelumnya, lebih tidak invasif, dan
memerlukan waktu pemulihan yang lebih cepat.
Tulisan ini membahas mengenai cara evaluasi dan penatalaksanaan terhadap batu
kandung empedu, batu pada saluran empedu, diskinesia biliaris, polip kandung empedu, dan
kanker kandung empedu.
KOLELITIASIS (BATU EMPEDU)
Sekitar 20 juta penduduk di Amerika Serikat (10-15% populasi dewasa) mengalami penyakit
batu empedu, dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kurang dari 50%
pasien dengan batu empedu menunjukkan gejala, dan kurang dari 10% mengalami
komplikasi yang dapat mengancam nyawa.
Gambaran klinis kolelitiasis
Kolik bilier. Sebanyak 60-70% pasien dengan kolelitiasis yang simtomatik mengalami
episode kolik bilier, yang dideskripsikan sebagai nyeri pada daerah epigastrium atau kuadran
kanan atas yang dirasakan setelah makan, dapat menyebar ke punggung bahkan sampai ke
bahu kanan. Nyeri tersebut dapat dirasakan selama beberapa menit sampai beberapa jam.
Nyeri yang hebat sering disertai dengan rasa mual dan muntah.
Sebagian pasien juga mengeluh adanya perut kembung, dispepsia, dan bersendawa,
namun apabila gejala tersebut tidak berkaitan dengan kolik bilier, gejala tidak akan membaik
setelah dilakukan tindakan kolesistektomi.Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya nyeri
tekan yang ringan pada daerah epigastrium atau kuadran kanan atas, namun sebagian besar
pasien tidak menunjukkan penemuan klinis yang signifikan.
Nyeri pada kolik bilier disebabkan oleh kontraksi kandung empedu, yang tidak dapat
mengosongkan isinya karena duktus sistikus tersumbat oleh batu. Kandung empedu

distimulasi untuk berkontraksi terutama oleh kolesistokinin, yang dihasilkan dari mukosa
duodenum. Nyeri akan menghilang setelah kandung empedu berhenti berkontraksi atau saat
duktus sistikus menjadi paten kembali.
Kolesistitis akut merupakan gejala awal batu empedu yang simtomatik pada 15-20% pasien.
Pasien dengan kolesistitis akut akan mengalami nyeri berat yang dirasakan selama beberapa
jam, sampai akhirnya mereka datang ke unit gawat darurat untuk mencari pertolongan.
Pada kolik bilier, obstruksi pada duktus sistikus hanya bersifat sementara, sedangkan
pada kolesistitis obstruksinya bersifat menetap. Obstruksi duktus sistikus yang persisten,
disertai dengan adanya iritan kimiawi pada empedu, akan menyebabkan terjadinya inflamasi
dan edema pada dinding kandung empedu. Keluhan mual dan muntah sering ditemukan.
Pada pemeriksaan fisik umumnya ditemukan nyeri tekan yang jelas pada kuadran kanan
atas, yang sering berhubungan dengan adanya massa atau rasa penuh. Palpasi pada kuadran
kanan atas pada saat inspirasi akan menyebabkan rasa tidak nyaman yang menyebabkan
pasien berhenti menarik napas (tanda Murphy positif). Tanda peritoneal lokal dan demam
sering ditemukan.
Pankreatitis akibat batu empedu (gallstone pancreatitis). Pada 10-15% pasien dengan batu
empedu yang simtomatik, gejala awal yang ditunjukkan dapat berupa komplikasi, seperti
pankreatitis akibat batu empedu atau batu
Tabel 1. Kriteria Ranson untuk prognosis
pankreatitis akut

pada duktus biliaris komunis (duktus


koledokus).
90% pasien dengan pakreatitis akibat
batu empedu mengalami episode ringan,
yang artinya tidak melebihi tiga dari 11
kriteria Ranson (tabel 1). Gejala yang
ditimbulkan serupa dengan yang terjadi
pada episode berat dari kolik bilier. Nyeri
epigastrium atau kuadran kanan atas
terjadi selama beberapa jam dan dapat
berhubungan dengan mual dan muntah.
Pada

pemeriksaan

fisik

umumnya

ditemukan nyeri tekan dan rasa penuh


pada epigastrium, tanpa disertai dengan tanda peritoneal.
Pada sebagian besar pasien, gejala akan membaik secara signifikan dalam 3-4 hari
setelah mendapatkan terapi suportif. Di samping mengeluh nyeri, pasien dengan batu saluran
empedu sering mengalami kulit kekuningan dan demam.
Pemeriksaan laboratorium untuk kolelitiasis

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan harus meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes
fungsi hati, dan kadar serum amilase dan lipase.
Pada kolik bilier yang kronis, sebagian besar pasien menunjukkan hasil pemeriksaan
laboratorium yang normal, terutama apabila tidak ada gejala pada saat pemeriksaan. Namun,
pasien dengan nyeri akut pada saat pemeriksaan, dapat memberikan hasil pemeriksaan kadar
enzim hati (aspartat aminotransferase, alanin aminotransferase, alkalin fosfatase) dan
bilirubin yang meningkat, terutama apabila terdapat batu pada saluran empedu.
Pada pankreatitis akibat batu empedu, pasien menunjukkan peningkatan kadar serum
amilase dan lipase, serta hasil tes fungsi hati yang abnormal. Pada kolesistitis akut, dapat
terjadi leukositosis, dan hampir 15% pasien menunjukkan sedikit peningkatan kadar aspartat
aminotransferase, alanin aminotransferase, alkalin fosfatase, dan bilirubin apabila batu tidak
terdapat pada duktus biliaris komunis.
Pemeriksaan radiologi untuk kolelitiasis
Ultrasonografi dan cholescintigraphy merupakan modalitas yang paling dapat membantu dan
sering digunakan dalam menegakkan diagnosis penyakit pada kandung empedu.

Gambar 1.

Ultrasonografi dalam mendiagnosis batu empedu.

Ultrasonografi (USG) dianggap aman, cepat, dan relatif tidak mahal serta tidak
memberikan paparan radiasi. USG merupakan pilihan teknik diagnostik yang digunakan pada
pasien dengan kecurigaan mengalami kolik bilier. Penemuan yang mendukung dapat berupa
adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, cairan perikolesistik, dan tanda Murphy
positif pada saat kontak dengan transduser USG (Gambar 1). Tiga temuan terakhir terutama
menunjukkan indikasi adanya kolesistitis akut. Kekurangan USG adalah keakuratan hasilnya
sangat tergantung pada orang yang melakukan dan menginterpretasikannya.
Cholescintigraphy akurat dalam mendiagnosis kolesistitis akut pada lebih dari 95%
pasien rawat jalan. Apabila dikombinasikan dengan injeksi kolesistokinin, alat ini dapat
membantu dalam mendiagnosis pasien dengan kecurigaan diskinesia biliaris.
Cholescintigraphy dapat memberikan informasi yang menunjukkan adanya obstruksi
pada duktus sistikus, yang merupakan komponen yang penting dalam patogenesis kolesistitis
kalkulus. Namun bagaimanapun, teknik tersebut juga memiliki kemungkinan terjadinya hasil
positif palsu sebesar 30-40% pada pasien yang dirawat inap dengan masalah medis lainnya
selama beberapa minggu, terutama apabila mereka mendapatkan nutrisi secara parenteral.
Pada pasien tersebut, ultrasonografi dikatakan lebih akurat untuk digunakan.
Computed tomography dikatakan tidak seakurat ultrasonografi dalam mendeteksi
adanya batu empedu, sehingga bukan merupakan teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengevaluasi pasien dengan kemungkinan penyakit biliaris kronis. Namun pada kasus yang
akut, teknik ini dapat menunjukkan adanya penebalan dinding kandung empedu atau cairan
perikolesistik yang berhubungan dengan kolesistitis akut.
ERCP apabila dicurigai adanya koledokolitiasis
Pasien yang dicurigai dengan koledokolitiasis (batu pada duktus biliaris komunis atau duktus
koledokus) mungkin akan mendapatkan manfaat dengan dilakukannya endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP), sfingterotomi, dan ekstraksi batu sebelum tindakan
kolesistektomi laparoskopi. Faktor yang dapat memperkirakan adanya suatu koledokolitiasis

di antaranya:
Hasil tes fungsi hati yang abnormal, terutama kadar bilirubin dan alkalin fosfatase
Pelebaran duktus biliaris komunis sebesar 8 mm atau lebih
Adanya batu pada duktus biliaris komunis yang teridentifikasi dengan ultrasonografi
Pendekatan lain hanya melanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopi dan melakukan
kolangiografi intraoperatif. Apabila pada kolangiografi ditemukan adanya batu, dapat
dilakukan pengangkatan secara laparoskopik, atau tindakan pembedahan dapat diubah
menjadi pembedahan eksplorasi terbuka pada duktus biliaris komunis. Bagaimanapun, pada
sebagian besar kasus, batu pada duktus biliaris komunis diangkat melalui sfingterotomi
endoskopi dalam 1-2 hari setelah kolesistektomi.

Pembedahan laparoskopi untuk pasien dengan pankreatitis akibat batu empedu


Sebagian besar pasien (90%) dengan pankreatitis akibat batu empedu mengalami episode
ringan. Nyeri yang dirasakan biasanya segera menghilang dan kadar enzim hati (aspartat
aminotransferase, alanin aminotransferase, alkalin fosfatase, bilirubin, serum amilase, dan
serum lipase) menurun dalam 3-4 hari setelah perawatan dengan terapi suportif. Yang
dimaksud dengan terapi suportif adalah tidak memberikan apapun secara oral dan
mempertahankan pasien dalam hidrasi secara intravena serta analgesia dan antibiotika secara
parenteral.
Pasien seperti ini harus menjalani kolesistektomi laparoskopi dengan kolangiografi
intraoperatif dalam satu bulan untuk mencegah terjadinya episode pankreatitis yang lebih
lanjut. Pasien tidak diperbolehkan menjalani ERCP sebelum operasi, karena dapat
mengeksaserbasi pankreatitis yang dialami. Apabila ditemukan batu pada saluran empedu
selama tindakan kolesistektomi dilakukan, maka sfingteroktomi endoskopi harus dilakukan
dalam beberapa hari.
Hasil dari kolesistektomi
Kolesistektomi masih merupakan penatalaksanaan yang terbaik untuk pasien dengan penyakit
batu empedu yang simtomatik. Teknik tersebut dikatakan efektif dan aman, dengan angka
kejadian komplikasi dan kematian yang rendah, masing-masing sebesar 14% dan 0,17%,
terutama apabila dikerjakan secara elektif pada pasien yang berusia kurang dari 65 tahun.
Frekuensi dan tingkat keparahan episode kolik bilier berbeda antara satu pasien dengan
pasien lainnya; beberapa mungkin mengalami episode yang relatif ringan selama beberapa
tahun, sedangkan yang lainnya mengalami serangan yang berat dalam satu waktu.
Kolesistektomi diindikasikan pada berbagai kondisi pasien tersebut. Bagaimanapun,
pemilihan waktu untuk melakukan tindakan tersebut pada akhirnya ditentukan oleh pasien
sendiri.
Pada pasien dengan kolik bilier yang tipikal, perbaikan gejala setelah dilakukannya
kolesistektomi terjadi pada lebih dari 85% kasus. Namun, pasien dengan batu empedu yang
mengalami nyeri atipikal atau gejala yang tidak khas, seperti kembung, bersendawa, dan
gangguan pencernaan lebih jarang mengalami perbaikan gejala bahkan setelah dilakukan
pengangkatan kandung empedu. Sehingga, pasien seperti itu perlu untuk menjalani
pemeriksaan penunjang lainnya, seperti pemeriksaan saluran pencernaan bagian atas dengan
kontras, endoskopi, dan kolonoskopi. Apabila hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan hasil

yang normal, pasien dapat dipertimbangkan untuk dilakukan kolesistektomi dengan


konsekuensi bahwa gejala mungkin tidak membaik.
Kolesistektomi laparoskopi: keuntungan dan kerugian
Kolesistektomi laparoskopi kini merupakan baku emas dalam penatalaksanaan penyakit
kandung empedu yang simtomatik. Lebih dari 500.000 tindakan kolesistektomi dilakukan di
Amerika Serikat setiap tahunnya.
Kolesistektomi laparoskopi dikatakan aman, dan apabila dibandingkan dengan
kolesistektomi terbuka yang merupakan baku emas terdahulu, teknik kolesistektomi
laparoskopi menimbulkan rasa nyeri yang lebih ringan, komplikasi yang lebih sedikit, dan
waktu pemulihan yang lebih cepat. Angka kematian akibat tindakan kolesistektomi
laparoskopi adalah sebesar 0,06-0,1%, sedangkan akibat tindakan kolesistektomi terbuka
adalah sebesar 0-0,4%. Lama perawatan rata-rata di rumah sakit setelah kolesistektomi
laparoskopi adalah selama 1,6 hari, dibandingkan 4,3 hari untuk pasien dengan
kolesistektomi terbuka. Waktu yang diperlukan untuk dapat kembali bekerja setelah tindakan
kolesistektomi laparoskopi juga relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan kolesistektomi
terbuka, masing-masing selama 15 dan 31 hari.
Sekitar 2-5% dari tindakan kolesistektomi laparoskopi yang dilakukan perlu untuk
diubah menjadi suatu prosedur terbuka, baik karena terjadinya inflamasi yang mengaburkan
perbedaan antara duktus sistikus dengan duktus biliaris komunis (duktus koledokus) ataupun
akibat perdarahan yang tidak bisa ditangani secara laparoskopik.
Komplikasi pembedahan. Komplikasi yang signifikan, yang dapat berakhir dengan
kematian, dapat terjadi akibat kolesistektomi laparoskopi. Di samping itu, kerusakan yang
terjadi selama kolesistektomi laparoskopi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
menyebabkan kematian daripada yang terjadi selama kolesistektomi terbuka. Kolesistektomi
laparoskopi juga berkaitan dengan angka kejadian kerusakan saluran empedu yang lebih
besar jika dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka (masing-masing sebesar 0,6% dan
0,1-0,25%). Lebih dari setengah pasien yang mengalami kerusakan saluran empedu
memerlukan operasi perbaikan, dan sebanyak 25% dari perbaikan tersebut perlu untuk
direvisi kembali karena terjadinya pembentukan striktur.
Analisis data berdasakan survei nasional dari hampir 80.000 prosedur kolesistektomi
laparoskopi yang dilakukan pada 4.300 rumah sakit menunjukkan kerusakan pada usus atau
pembuluh darah besar berkaitan dengan angka kematian, masing-masing sebanyak 8% dan
5%.

Angka kejadian komplikasi akibat kolesistektomi laparoskopi menurun seiring dengan


bertambahnya frekuensi tindakan pembedahan yang dilakukan oleh dokter bedah yang
bersangkutan; sebesar 21% apabila apabila dokter bedah tersebut melakukan kurang dari 10
tindakan, dan sebesar 12% apabila telah melakukan lebih dari 50 tindakan.
Angka kejadian perubahan (konversi) menjadi operasi terbuka pada pasien
dengan kolesistitis akut. Meskipun kolesistektomi laparoskopi merupakan tindakan pilihan
pada pasien kolesistitis akut, angka kejadian konversi menjadi operasi terbuka bervariasi dari
5-40%. Pada sebagian besar konversi, ditemukan bahwa tindakan laparoskopi dikerjakan tiga
hari setelah timbulnya gejala atau kandung empedu sudah menjadi gangren. Setelah tiga hari,
edema pada kandung empedu akan berkembang menjadi keras seperti kayu yang
mengaburkan anatomi area tersebut, sehingga menyulitkan untuk membedakan antara duktus
sistikus dengan saluran empedu, yang akan meningkatkan resiko terjadinya injury pada
saluran empedu. Apabila kolesistektomi laparoskopik dikerjakan dalam tiga hari setelah
timbulnya gejala, angka kejadian terjadinya konversi adalah sebesar 23-27%; namun apabila
dikerjakan setelah tiga hari maka angka kejadiannya berubah menjadi 47-59%. Sedangkan
pada pasien dengan kolesistitis bergangren, angka kejadian terjadinya konversi sebesar 3549%.
Pemasangan selang kolesistostomi
Selang kolesistostomi diindikasikan pada beberapa pasien dengan kolesistitis akut. Pada
awalnya dokter bedah memasang selang apabila mereka melakukan kolesistektomi terbuka
namun tidak dapat menyelesaikannya, baik karena pasien berada dalam kondisi kritis
sehingga dirasa tidak stabil untuk menyelesaikan prosedur yang telah direncanakan maupun
karena adanya inflamasi yang menghalangi proses kolesistekomi yang aman.
Namun sekarang, untuk pasien kritis pada ruang perawatan intensif, dapat dilakukan
pemasangan tuba kolesistostomi oleh ahli radiologi perkutan melalui hati dengan bantuan
panduan ultrasound. Prosedur ini dapat dikerjakan secara aman di tempat tidur tanpa
memerlukan anestesia umum. Angka kejadian komplikasinya rendah, dan kematian terutama
berkaitan dengan komorbiditas.
Peranan kolesistektomi pada sirosis, diabetes, dan kehamilan
Sirosis. Angka kematian sebesar 10%, terutama disebabkan karena gagal hati dan
sepsis, telah dilaporkan pada pasien dengan sirosis hati yang berat (Child-Pugh grade C) yang
menjalani tindakan kolesistektomi. Kolesistektomi laparoskopi dapat dikerjakan pada pasien

dengan siroris hati Child grade A maupun B, namun dengan kemungkinan terjadinya
komplikasi sebesar 32%.
Diabetes bukan merupakan faktor yang signifikan pada pasien dengan batu empedu.
Pasien diabetes dengan batu empedu yang asimtomatik tidak memerlukan tindakan
kolesistektomi profilaksis, seperti yang disarankan pada 20-25 tahun yang lalu.
Wanita hamil dapat dengan aman menjalani tindakan kolesistektomi laparoskopik,
terutama pada periode trimester kedua dengan bantuan tim dokter kandungan.
KOLESISTITIS AKALKULUS AKUT
Insiden terjadinya kolesistitis akalkulus (tanpa adanya batu) akut pada populasi umum
bervariasi antara 2-15%. Dulu dikatakan bahwa hampir semua pasien dengan kolesistitis
akalkulus akut memiliki riwayat mengalami trauma atau luka bakar, menjalani tindakan
pembedahan mayor, atau mengalami kegagalan multi organ. Saat ini, insiden kolesistitis
akalkulus akut telah meningkat pada pasien rawat jalan, terutama pada laki-laki usia tua
dengan aterosklerosis atau keadaan imunosupresi.
Keadaan kolesistitis akalkulus dapat dengan cepat berkembang menjadi gangren atau
perforasi, karena proses patofisiologinya lebih mengarah kepada terjadinya infark transmural
pada dinding kandung empedu, dibandingkan perubahan akibat inflamasi yang berhubungan
dengan adanya batu.
Tanda dan gejala
Sebagian besar pasien dengan kolesistitis akalkulus akut memiliki gejala berupa nyeri perut,
demam, dan nyeri tekan pada perut kuadran kanan atas atau tanda iritasi peritoneal lokal.
Hampir semua pasien menunjukkan hasil tes fungsi hati yang abnormal dan leukositosis.
Diagnosis
Pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk kolesistitis akalkulus akut antara lain
cholescintigraphy, ultrasonografi, dan computed tomography. Di antara ketiga modalitas
tersebut, ultrasonografi dan computed tomography memiliki spesifisitas yang lebih tinggi
pada pasien yang berada dalam kondisi kritis. Cholescintigraphy dikatakan akurat pada
sekitar 95% pasien rawat jalan, namun memiliki angka positif palsu sebesar 30-40% pada
pasien kritis, terutama pada pasien dalam keadaan hiperalimentasi.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan kolesistitis akalkulus akut meliputi kolesistostomi
perkutan, kolesistostomi terbuka, dan kolesistektomi. Meskipun kolesistitis akalkulus akut

dapat disebabkan oleh infark pada dinding empedu, dekompresi empedu dengan pemasangan
selang kolesistostomi dikatakan cukup untuk mengendalikan proses inflamasi. Jika
kolesistektomi diperlukan, derajat inflamasi dan indurasi biasanya menghalangi tindakan
laparoskopik.
Angka kematian pada pasien dengan kolesistitis akalkulus akut adalah sebesar 50%
apabila tindakan operasi tidak dikerjakan. Angka kematian akibat tindakan operasi pada
pasien ini berkisar antara 6-9%, yang secara signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan
angka kematian pada pasien dengan adanya batu (kalkulus). Kematian terutama berkaitan
dengan keadaan umum pasien.
DISKINESIA BILIARIS
Penatalaksanaan diskinesia biliaris merupakan suatu tantangan. Pasien umumnya memiliki
gejala kronis yang sesuai dengan kolik bilier dan fraksi ejeksi empedu yang abnormal;
namun, pada ultrasonografi maupun kolesistografi oral tidak menunjukkan adanya batu,
bahkan meskipun dilakukan pemeriksaan ulang.
Diagnosis
Evaluasi pasien dengan kecurigaan diskinesia biliaris harus meliputi endoskopi atas dan
cholescintigraphy yang distimulasi oleh kolesistokinin. Kelainan endoskopi berupa gastritis,
ulser, atau refluks harus ditangani terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan tindakan
kolesistektomi.
Penatalaksanaan
Apabila pemeriksaan endoskopi menunjukkan hasil yang normal dan fraksi ejeksi empedu
pada cholescintigraphy kurang dari 35%, maka dapat dilakukan kolesistektomi sebagai
penatalaksanaan utama. Beberapa studi menunjukkan 80-100% pasien menunjukkan
perbaikan penuh atau perbaikan yang signifikan pada gejala yang mereka alami. Pemeriksaan
patologi empedu menunjukkan kolesistitis akalkulus kronis pada 67-95% pasien.
Namun, sebuah studi menekankan bahwa fraksi ejeksi empedu yang abnormal tidak
selalu menunjukkan adanya suatu penyakit pada sistem biliaris, karena 20% pasien yang
terlibat dalam sebuah studi menunjukkan perbaikan gejala tanpa perlu dilakukannya tindakan
kolesistektomi.
POLIP KANDUNG EMPEDU
Polip kandung empedu ditemukan pada sekitar 4% populasi umum. Sebagian besar di
antaranya merupakan polip kolesterol, sedangkan lainnya adalah adenoma, polip hiperplasia,
granulasi, dan adenomyomatosis.

Polip kolesterol pada umumnya berdiameter kurang dari 10 mm dan ditemukan lebih
dari satu buah. Sedangkan adenoma berukuran lebih besar dan tunggal. Hampir semua polip
yang bersifat malignan berukuran lebih dari 10 mm dan tunggal. 20-60% pasien dengan polip
juga memiliki batu empedu.
Meskipun beberapa polip menunjukkan gejala yang sesuai dengan kolik bilier,
sebagian besar dapat terjadi tanpa gejala dan ditemukan pada saat pemeriksaan ultrasonografi
untuk mengevaluasi nyeri perut bagian atas yang tidak spesifik.
Pasien yang menunjukkan gejala (simtomatik) atau dengan polip yang berukuran
lebih dari 10 mm harus menjalani tindakan kolesistektomi. Pasien tanpa gejala dengan ukuran
polip yang kurang dari 10 mm disarankan untuk melakukan ultrasonografi lanjutan dalam 6
bulan untuk menilai pertumbuhan polip tersebut. Pembesaran ukuran polip dapat menjadi
suatu indikasi dilakukannya tindakan kolesistektomi.
KANKER KANDUNG EMPEDU
Kanker kandung empedu merupakan penyakit yang relatif jarang dijumpai dan memiliki
prognosis yang buruk. Angka kematian akibat kanker kandung empedu di Amerika Serikat
dilaporkan sekitar 6.500 setiap tahunnya, atau sekitar 4% dari seluruh kematian akibat
kanker. 80-85% pasien dengan kanker kandung empedu juga mengalami kolelitiasis.
Studi terdahulu menjelaskan adanya hubungan antara kalsium pada dinding kandung
empedu (disebut sebagai kandung empedu porselen) dengan kanker kandung empedu;
dimana 20-60% pasien dengan kandung empedu porselen mengalami kanker kandung
empedu. Namun studi terbaru menunjukkan tidak adanya kanker pada 15 spesimen kandung
empedu porselen yang merepresentasikan 0,14% dari 10.741 kolesistektomi yang dikerjakan
sejak tahun 1955 sampai 1998. Lebih dari 90% kanker empedu merupakan tipe
adenokarsinoma, yang bervariasi dari tipe dengan diferensiasi baik sampai yang
berdiferensiasi buruk.
Pasien kanker kandung empedu pada stadium awal umumnya tidak menunjukkan
gejala, begitu pula pada pasien yang disertai dengan kolelitiasis yang hanya menunjukkan
gejala kolik bilier. Pasien usia tua dengan nyeri perut kuadran kanan atas yang persisten dan
progresif dapat dicurigai mengalami kanker empedu, terutama apabila terdapat kulit
kekuningan dan massa yang teraba.
Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil yang normal sepanjang tidak terdapat obstruksi
pada traktus biliaris. Pemeriksaan radiologi yang dapat dikerjakan adalah ultrasonografi dan

computed tomography, namun kedua pemeriksaan tersebut tidak dapat menunjukkan suatu
abnormalitas apabila dikerjakan pada stadium awal. Pemeriksaan tersebut juga tidak dapat
membedakan antara neoplasma dengan proses inflamasi yang meluas. Namun, apabila dari
pemeriksaan didapatkan adanya suatu massa, terutama apabila sampai meluas ke parenkim
hati, maka perlu dilakukan suatu biopsi.
Penatalaksanaan
Apabila telah dikonfirmasi adanya suatu kanker, maka tindakan operatif tidak diindikasikan.
Namun, pasien dengan kulit kekuningan dan massa pada kandung empedu dengan ataupun
tanpa perluasan ke hati memerlukan tindakan endoskopi atau pemasangan stent perkutan.
Penatalaksanaan secara operatif untuk kanker kandung empedu, terutama reseksi
radikal, masih merupakan suatu kontroversi. Pada sebagian besar kasus, pasien menjalani
tindakan kolesistektomi untuk batu empedu simtomatis yang dialaminya, dan kanker hanya
ditemukan pada saat dilakukan pemeriksaan patologi pada pasien tersebut.
Prognosis bergantung pada kedalaman invasi ke dinding kandung empedu dan
keterlibatan kelenjar getah bening regional. Pasien pada stadium 1 (keterlibatan mukosa saja
atau mukosa dan lapisan otot) memiliki angka harapan hidup selama lima tahun sebesar 80%
setelah menjalani tindakan kolesistektomi sederhana.
Penatalaksanaan kanker stadium lanjut juga masih kontroversial (kanker empedu
dikatakan memasuki stadium lanjut apabila terdapat penetrasi tumor sampai ke dinding
kandung empedu, organ sekitar, atau kelenjar getah bening regional). Apakah pasien tersebut
harus menjalani eksplorasi ulang untuk dilakukan reseksi radikal lebih lanjut, seperti reseksi
hati atau limfadenektomi hepatis porta? Meskipun beberapa ahli menganjurkan tindakan
operatif, angka harapan hidup selama lima tahun hanya sekitar 10% pada pasien dengan
kanker stadium 2 (penetrasi sampai ke dinding kandung empedu), dan 0% pada pasien
dengan keterlibatan kelenjar getah bening regional. Berdasarkan data tersebut, disarankan
untuk tidak melakukan tindakan pembedahan re-eksplorasi pada pasien dengan kanker
kandung empedu.

Anda mungkin juga menyukai