Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah


Keputusan Presiden Irak yakni Saddam Husein untuk menginvasi Kuwait pada 2

Agustus 1990 merupakan awal kehancuran negara Irak. Amerika Serikat di bawah
kepemimpinan George H. W. Bush berusaha memukul mundur kekuatan Irak dan
menghimpun koalisinya di atas tanah Kuwait dalam rangka menyelamatkan sektor ekonomi
Amerika Serikat yang telah terbentuk di tanah Kuwait.
Invasi Irak ke Kuwait menjadi pukulan keras bagi Amerika Serikat yang merupakan
ancaman serius bagi kepentingannya di Teluk Persia guna menjamin terus mengalirnya
minyak dunia dan mencegah hegemoni musuh di region Teluk Persia. Amerika Serikat
memprediksikan jika Irak berhasil menguasai Kuwait maka 9% minyak dunia di kuasai Irak
dengan saingannya Arab Saudi yang berhasil menguasai 11% produksi minyak global.
1.2

Rumusan Masalah
Mengapa Amerika Serikat bersikukuh mempertahankan geostrategi nya di Timur Tengah.
Apa yang menjadi dalil keberanian dan kepentingan Presiden Saddam Husein melakukan
invasinya ke Kuwait.
Apa-apa saja yang menjadi penyebab terjadinya Perang Teluk Persia I dan Perang Teluk
Persia II.

1.3

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini guna menambah wawasan bagi kita semua para pembaca maupun
penulis sendiri dalam mengulas balik sejarah khususnya terjadinya invasi Irak ke Kuwait
maupun invasi Amerika Serikat ke Irak dalam rangka mempertahankan aset-aset kepentingan
negaranya di Timur Tengah. Selain itu penulisan makalah ini dalam rangka penyelesaian
tugas di Ujian Tengah Semester dan pemenuhan mata kuliah Diplomasi Amerika Serikat.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Nilai Penting Teluk Persia bagi Amerika
Berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1914 membawa dunia pada permintaan
pasokan minyak yang cukup tinggi terutama disebabkan pada tiap-tiap negara yang berperang
merubah kapal-kapal mereka dari penggunaan batu bara beralih pada penggunaan minyak.
Setiap negara-negara yang berperang pada saat itu terus meningkatkan angkatan bersenjata
mereka dengan menambah truk, tank, serta pesawat. Hal ini menjadi pemicu semakin
meningkatnya permintaan minyak dunia sehingga bisa dikatakan minyak merupakan harta
karun yang diperebutkan dan diperdagangkan oleh setiap negara hingga saat ini. Layaknya
Teluk Persia di asumsikan sebagai ladang minyak baru bagi dunia yang telah memberikan
suplai netral bagi pemenuhan pasokan minyak dunia. Di tahun 1909 perusahaan Anglo-Persia
(APOC) mulai membangun pipa untuk mentransportasikan minyak dari sumbernya ke
pelabuhan terdekat di Teluk Persia.
Hingga pada Perang Dunia II permintaan minyak semakin menunjukan
peningkatannya mencapai 900% dibandingkan 21 tahun yang lalu (Yergin, 1991; Palmer,
1993). Mengetahui hal tersebut Amerika menetapkan Teluk Persia sebagai geostrategic

pertamanya menjadi wilayah pensuplai minyak yang potensial. Bahkan di tahun 1944 tercatat
dalam laporan teknikal pemerintahan Amerika teluk Persia dilabeli sebagai Pusat Gravitasi
bagi perkembangan minyak (Yergin, 1991) .

2.2 Kondisi Internal Irak pasca Perang Delapan Tahun Dengan Iran
Pasca terlepas dari dominasi pemerintahan Inggris, negara Irak terlibat perang dengan
negara tetangganya yaitu Iran di tahun 1980-1988 berkaitan dengan konflik perbatasan
wilayah bekas peninggalan Inggris. Di tahun 1990 Irak mengalami inflasi sebesar 40%, impor
penduduk meninkat 12 juta triliun, impor militer lima triliun dollar, hutang dengan negaranegara non arab sebesar 6-7 juta dollar pertahun (Polack, 2002) . Sementara pendapatan
dalam negeri Irak terbesar berasal bergantung dari minyak mentahnya yang kendati terus
mengalami kemerosotan harga setelah ditemukan sumber minyak baru di Alaska, Laut Utara,
dan negara bekas Uni Soviet. Menyebabkan persaingan harga yang begitu ketat antara
sumber minyak terbaru tersebut dengan harga yang telah ditetapkan Irak akibatnya Irak harus
menurunkan harga minyaknya jauh di bawah harga yang ditetapkan sebelumnya.

Kondisi internal di negara Irak semakin terpuruk ketika para anggota OPEC seperti
Kuwait dan United Arab Emirates (UAE) memproduksi minyak dengan kuantitas yang
berlebihan dan harga yang relatif rendah dengan tujuan mencapai kebijakan jangka panjang.
Hal tersebut mengakibatkan ketergantungan dunia terhadap minyak mereka seperti halnya
Kuwait yang terus maningkatkan produksi minyak mereka sehingga harga minyak dunia pun
jatuh dari 22 dollar menjadi 16 dollar perbarel.
Kondisi ini menjadi tekanan bagi negara Irak dimana negara yang penghasilan
utamanya 90% berasal dari penjualan minyak tersebut terus menurunkan harga dalam
menyeimbangkan harga pasaran minyak dunia dan selain itu Irak juga harus menutupi
hutang-hutang pasca peperangannya dengan Iran.
Presiden Saddam Husein memprediksikan bahwa jatuhnya satu dollar harga minyak
dunia akan menyebabkan kerugian sebesar satu dollar bagi pendapatan Irak dan hal tersebut
benar-benar terbukti hingga tahun 1990 Baghdad mengalami permasalahan finansial yang
teramat parah (Polack, 2002).
Kemerosotan ekonomi yang dialami Irak menyebabkan Presiden Saddam Husein
kehabisan cara untuk menyelamatkan negaranya. Hingga ahirnya Irak berani untuk
memutuskan perluasan area penambangan minyaknya sampai ke Kuwait.
Keberanian Presiden Saddam Husein dalam invasinya ke Kuwait didasarkan atas
beberapa asumsi yang masih berkaitan dengan Amerika Serikat yaitu :
Pertama, Irak percaya bahwa koalisi multinasional Amerika Serikat kesemuanya secara
politik rentan dan akan kolaps jika tekanan terjadi pada hubungan mereka terutama koalisi
anggota negara Arab. Presiden Saddam Husein dan para penasehatnya percaya bahwa banyak
negara Arab yang bivalent (mendua) atas nasib Kuwait, tidak menyukai dukungan Amerika
Serikat atas Israel serta sensitif atas paksaan imperialis di Timur Tengah (al-Radi, 1998).
Kedua, Presiden Saddam Husein yakin bahwa Amerika Serikat tidak akan mentoleransi
harga minyak Kuwait yang sewaktu-waktu meningkat dan kemudian Amerika Serikat akan
meliberalisasi Kuwait. Ia percaya Kuwait tidak begitu penting bagi Barat dan hanya
memfokuskan aliran minyak yang terus berjalan serta percaya bahwa pelajaran yang dialami
Amerika Serikat di Vietnam dan Lebanon di mana Amerika akan angkat tangan jika unit
Amerika mengalami korban yang sangat banyak (al-Radi, 1998).
Ketiga, Presiden Saddam Husein percaya diri dalam perang Irak ke Kuwait, Amerika
Serikat akan mengalami kekalahan yang serius sehingga mampu memaksa mereka ke
meja bargaining. Sayangnya ia gagal memperhitungkan besarnya jurang perbedaan

kualitas perlengkapan, taktik dan personel antara militer Irak dan Amerika Serikat (al-Radi,
1998).
Keempat, Presiden Saddam Husein percaya bahwa kekuatan udara akan berperan sedikit
dalam perang dengan koalisi. Dalam sebuah siaran radio Presiden Saddam Husein
meyakinkan rakyatnya bahwa Amerika Serikat bergantung pada pasukan udara. Dalam
sejarah peperangan, pasukan udara tidak pernah menentukan perang. Mereka punya
setidaknya 600 pasukan udara, semuanya buatan Amerika Serikat dan pilotnya mendapatkan
pelatihan di Amerika Serikat. Mereka terbang ke Baghdad seperti awan hitam, tapi tetap tidak
menentukan hasil akhir perang. Amerika Serikat bisa saja menghancurkan kota, pabrik, dan
membunuh, namun tidak menentukan hasil akhir peperangan dengan angkatan udara. (alRadi, 1998).
Terakhir, pernyataan diplomat Amerika Serikat April Glaspie dalam lawatannya ke Irak
yang mengatakan bahwa kita tidak ingin berkomentar terkait konflik negara-negara Arab
sebagaimana masalah perbatasan Anda dengan Kuwait (Woodward, 212).
Semakin menguatkan asumsi Irak bahwa Amerika Serikat tidak akan mengambil tindakan
jika militer Irak menyerang Kuwait. Presiden Saddam Husein begitu percaya diri dengan
asumsi-asumsinya untuk menjalankan invasi ke Irak. Usaha Organisasi internasional telah
diajukan pada Irak. Tercatat pada musim gugur tahun 1990, Amerika Serikat, Liga Arab,
Perancis, dan Rusia tiba di Baghdad mencoba melakukan penyelesaian masalah invasi Irak ke
Kuwait namun tepat sebulan sebelum Operation Desert Shield (Operasi Badai Gurun)
Amerika Serikat ternyata Baghdad segera menolak resolusi yang dilayangkan pihak PBB.
2.3 Perang Teluk I
Kedekatan Irak dan Amerika Serikat sebenarnya tidak sebegitu intens. Pada masa
kerajaan Persia di Irak pun belum terjalin bilateral di kedua negara tersebut, hingga pada
masa pemerintahan Turki Ottoman baru lah tercipta jalinan bilateral di kedua negara tersebut.
Jatuhnya kepemimpinan Turki Ottoman pasca Perang Dunia I, menjadikan Irak sebagai
negara Irak yang modern dan didominasi oleh negara Inggris bukannya Amerika. Pasca
Perang Dunia II, Amerika hanya menaruh minatnya kepada Arab Saudi dan Iran mengingat
kedua negara tersebut merupakan negara yang kaya akan potensi minyak. Irak sendiri
dipandang Amerika sebagai negara radikal lemah dan memiliki kedekatan dengan Rusia
namun tidak begitu mengancam. Barulah di tahun 1980 bilateral antara Irak dan Amerika
Serikat mulai terjalin begitu erat. Akibat kemerosotan ekonomi yang dialami negaranya, Irak
berencana untuk menginvasi Kuwait. Mengetahui rencana Irak untuk menginvasi wilayah

Kuwait, hal tersebut menjadi pukulan keras bagi Presiden Amerika Serikat yaitu Geroge H.
W. Bush di mana tindakan Irak menjadi ancaman bagi negara Adikuasa tersebut dalam
meletakan kepentingannya di Teluk Persia dan menjamin agar minyak terus mengalir serta
mencegah munculnya hegemoni musuh di region Teluk. Sebab apabila Kuwait berhasil di
kuasai Irak maka negara Bulan Sabit tersebut akan menguasai 9% dari produksi minyak
global yang mampu disaingkan dengan Arab Saudi dengan penguasaan minyak dunia
mencapai hampir 11%. Dan apabila kekuatan militer Irak berhasil ditempatkan di Kuwait
maka akan mengancam kestabilan Arab Saudi sehingga mengalami Finlandized berupa
paksaan untuk mengikuti kebijakan harga minyak luar negeri yang didiktatori Baghdad.
Dengan kata lain Irak memiliki kapabilitas untuk megatur harga minyak global.
Pada pada 2 Agustus 1990 Irak melancarkan invasinya ke Kuwait yang dikenal
dengan sebutan Perang Teluk Persia I atau Gulf War. Invasi Irak ini dibuka dengan
penyerangan oleh dua brigade Pasukan Khusus Republik Irak yang bergerak cepat untuk
menguasai istana Amir dan Bank Sentral Kuwait yang ia percaya akan menemukan tumpukan
emas di sana yang sayangnya kebanyakan dari warga Kuwait lebih banyak menginvestasikan
uang mereka ke luar negeri dibanding melakukan investasi pada Bank Sentral Kuwait oleh
karena itu Saddam hanya mendapatkan 2 trilliun dolar billion emas Kuwait (Cigar, 1992 dan
Friedman, 1991). Pada hari yang sama Irak membombardir ibukota Kuwait City dari udara.
Meskipun Angkatan Bersenjata Kuwait, baik kekuatan darat maupun udara berusaha
mempertahankan negara, namun mereka dengan cepat kewalahan. Selanjutnya Kuwait
berhasil memperlambat gerak Irak dan segera menyelamatkan keluarga kerajaan untuk
meloloskan diri ke Arab Saudi beserta sebagian besar tentara yang masih tersisa. Invasi
membabibuta yang dilakukan Irak membuat Kuwait meminta bantuan kepada Amerika
Serikat tepat tanggal 7 Agustus 1990.
Presiden Saddam Husein begitu percaya diri dengan invasi yang dilakukannya di atas
tanah Kuwait hingga pada musim gugur tanggal 6 Agustus 1990 Dewan Keamanan
PBB menjatuhkan embargo ekonomi Pada Irak Dan dilanjutkan dengan misi diplomatik
antara James Addison Baker III diplomat Amerika Serikat dengan menteri luar negeri
Irak Tareq Aziz tanggal 9 Januari 1991 namun tidak membuahkan hasil, Irak menolak
permintaan PBB agar menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991.

Dengan segera Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush mengambil tindakan


tegas terhadap Irak setelah memperoleh izin untuk menyatakan perang oleh Kongres Amerika

Serikat tanggal 12 Januari 1991. Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab
Saudi

yang

disusul

kecuali Syria, Libya,

negara-negara

lain

Yordania dan Palestina.

baik

negara-negara Arab dan AfrikaUtara

Kemudian

datang

pula

bantuan

militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat ditambah negaranegara Eropa Utara dan Eropa Timur), serta 2 negara Asia yaitu Bangladesh dan Korea
Selatan. Sementara dari Afrika, Niger turut bergabung dalam koalisi. Pasukan Amerika
Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman
Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen
Khalid bin Sultan. Operation Desert Shield (Operasi Badai Gurun) dimulai tanggal 17
Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara masif
atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya.
Target utama koalisi adalah untuk menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Irak dan
pertahanan udara yang diluncurkan dari Arab Saudi dan kekuatan kapal induk koalisi di Laut
Merah dan Teluk Persia. Target berikutnya adalah pusat komando dan komunikasi. Presiden
Saddam Hussein yang merupakan titik sentral komando Irak dan inisiatif di level bawah tidak
diperbolehkan. Koalisi berharap jika pusat komando rusak maka semangat dan koordinasi
tempur Irak akan langsung kacau dan lenyap. Target ketiga dan yang paling utama adalah
instalasi rudal jelajah terutama rudal Scud. Operasi pencarian rudal ini juga didukung oleh
pasukan komando Amerika dan Inggris yang mengadakan operasi rahasia di daratan untuk
mencari dan bila perlu menghancurkan instalasi rudal tersebut serta operasi di daratan yang
mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.
Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani
Israel terutama Tel Aviv, Haifa, dan Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud
B buatan Uni Soviet rakitan Irak yang bernama Al Hussein. Untuk menangkal ancaman Scud,
koalisi memasang rudal penangkis, Patriot serta memaksimalkan sortir udara untuk memburu
rudal-rudal tersebut sebelum diluncurkan. Irak juga melakukan perang lingkungan dengan
membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia.
Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Soviet dengan Irak yang dilakukan atas
diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev namun ditolak
oleh Presiden Amerika Serikat George H. W. Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara
Uni Soviet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB, meskipun
Uni Sovyet pada saat itu dikenal sebagai sekutu Irak terutama dalam hal suplai persenjataan.
Selanjutnya Israel diminta Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak

untuk menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan
akan mengubah jalannya peperangan. Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi
berhasil membebaskan Kuwait dari ivasi Irak dan Presiden Amerika Serikat George H. W.
Bush menyatakan perang telah usai.
2.4 Perang Teluk II (Perang Irak)
Genderang perang bertalu-talu semakin seru pasca melancarkan aksi Perang Teluk
Persia I, selanjutnya di bawah kepemimpinan presiden Amerika Serikat George W. Bush anak
dari George H. W. Bush menyiapkan perang di Teluk untuk kembali menyerang Irak.
Dengan dalil bahwa Irak adalah negara paling berbahaya dengan 5 gelar yaitu negara
diktator, negara teroris, kepemilikan senjata nuklir, kimia dan senjata kuman.
Alasan tersebut dijadikan Amerika Serikat dan Inggris untuk menggulingkan tampuk
kepemimpinan Presiden Irak yakni Saddam Husein. Januari 2003 sebenarnya para pemimpin
Arab telah mendesak Saddam Husein untuk segera meninggalkan negerinya demi
keselamatan Irak namun usulan tersebut tidak digubris oleh pemimpin Irak tersebut dan tetap
bersikukuh untuk tinggal di tanah kepemimpinanya tersebut.
Apabila kita tinjau dari kacamata perpolitikan adapun tujuan terselubung niat
Amerika Serikat melakukan rencana serangan Teluk Persia II yakni apabila Amerika Serikat
berhasil menaklukan Irak maka akan ada kemudahan negara adikuasa tersebut dalam
meletakan kepentingannya di Timur Tengah yakni khususnya memberi pengaruhnya kepada
Iran dengan demikian setidaknya negara adikuasa tersebut sudah mampu melenyapkan dua
negara poros setan yang terdiri dari empat negara yang dituduhkan George W. Bush yaitu
Irak, Iran, Libya dan Korea Utara. Amerika juga akan mampu memberi tekanan militer
terhadap negara-negara Teluk dengan memaksa pemerintah negara-negara Teluk membasmi
kelompok ekstrim yang antiAmerika. Selanjutnya negara adikuasa tersebut dapat
melaksanakan strategis pengendalian harga minyak mentah dunia serta memantapkan posisi
Amerika sebagai Penguasa Dunia .
Posisi Irak sangat lemah karena sudah terisolasi lebih dari 10 tahun pasca Perang
Teluk Persia I. Maka tanpa bantuan dari sekutupun, Amerika mampu menaklukkan Irak
dengan kekuatan militer sendiri. Amerika telah memperhitungkan bahwa dalam aksi perang
kali ini tidak ada negara yang berani membantu Irak.
Selanjutnya tim ekspedisi PBB tidak mampu menemukan senjata pemusnah massal yang
diungkapkan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Sedangkan negara Rusia, China dan

Perancis mendesak agar tim ekspedisi dari PBB memberikan waktu untuk membuktikan
tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal Irak.
Bahkan negara Jerman turut angkat bicara bahwa serangan militer terhadap Irak yang
memang telah lemah karena embargo PBB bukanlah hal yang bijaksana. Meskipun demikian
pihak Amerika tidak menggubris peringatan dari berbagai negara terbukti pada Maret 2003
Amerika mengirimkan sekitar 250.000 tentara ke wilayah Teluk dibantu kerajaan Inggris
yang mengirimkan 45.000 tentara ke Irak.
Presiden negara Irak Saddam Husein memperoleh dukungan dari berbagai kalangan
internasional yang memandang bahwa Irak menjadi korban rezim penguasa global yang
kejam. 15 Februari 2003 terjadi demonstrasi di seluruh penjuru dunia menentang tindakan
Amerika Serikat yang akan melakukan penyerangan ke Irak, para demonstran berasumsi
bahwa Amerika Serikat merupakan negara penegak nilai-nilai demokrasi namun pada
kenyataan Amerika Serikat bersikap kejam dan tidak berprikemanusiaan.
Tanggal 22 Februari 2003 Hans Blix selaku kepala inspeksi senjata PBB
memerintahkan Irak untuk menghancurkan rudal Al-Samoud 2 karena dianggap telah
melebihi jarak tembak yang hanya boleh mencapai 300 km. Menanggapi perintah inspeksi
senjata PBB Irak segera melakukan perintah sesuai yang diamanatkan tanpa melakukan
perlawanan. Tanggal 24 Februari 2003 Amerika bersikukuh mengajukan draft resolusi kepada
PBB untuk mengultimatum negara Irak. Di luar restu PBB, Amerika dan inggris melancarkan
kampanye untuk menggulingkan kepemimpinan Presiden Saddam Husein dari kancah
pemerintahannya di Irak. Hingga pada tanggal 17 Maret 2003 Presiden Amerika Serikat
George W. Bush memberi ultimatum kepada Presiden Saddam Husein untuk segera
meninggalkan negeri yang dipimpinya dalam tempo 48 jam. Peringatan tersebut tidak
diindahkan oleh Presiden Irak tersebut sampai 19 Maret 2003, Amerika Serikat beserta
koalisinya melakukan invasinya ke Irak (dikenal dengan istilah Operasi Pembebasan
Irak ) .
Tujuan utama pelaksanaan Operasi Pembebasan Irak oleh Amerika yaitu melucuti
senjata pemusnah massal Irak, mengakhiri dukungan Presiden Saddam Hussein terhadap aksi
terorisme, serta memerdekakan rakyat Irak. Tanggal 18 Februari 2003 Amerika kembali
mengirimkan 100.000 tentaranya kali ini ke Kuwait serta memaksimalkan dukungan lebih
dari 20 negara dan bantuan suku Kurdi di utara Irak untuk memperkuat pertahanan.
Kepemimpinan Presiden Saddam Husein berakhir pada tanggal 9 April 2003 ditandai dengan

robohnya patung Saddam Husein berada tepat di lapangan Firdaus yang dihancurkan oleh
tank Amerika.
Setelah berhasil menguasai istana kepresidenan dan sebagian pangkalan militer Irak
maka dengan segera tentara Amerika berhasil menguasai Irak secara keseluruhan. Sementara
pasukan Irak yang tergabung dalam Garda Revolusi yang dipimpin oleh anak-anak dari
Saddam Husein tidak mampu membendung kekuatan gabungan militer Amerika.
Terkepungnya wilayah Rafhafah dan Azhamiyah menjadi tempat terakhir bagi kekuatan
militer Irak.
Perang Irak menimbulkan kekacauan dan penjarahan besar-besaran di Baghdad.
Setelah berhasil menjatuhkan Baghdad, misi Amerika selanjutnya ialah menangkap Saddam
Husein beserta pejabat-pejabat negara Irak yang melakukan perlawanan terhadap invasi
Amerika Serikat. Tanggal 13 Januari Desember 2003, Saddam Husein berhasil ditangkap di
sebuah bunker kota Tikrit atas informasi gerilyawan Kurdi.
Tertangkapnya Saddam Husein memberikan kebanggaan tersendiri bagi pihak
Amrika Serikat yang merasa telah mampu menumbangkan kepemimpinan yang diktator.
Tanggal 1 Maret 2003 perang Teluk Persia II/ Perang Irak dinyatakan telah resmi berakhir
dan di atas geladak kapal induk USS, Abraham Lincoln membentangkan spantuk raksasa
yang bertuliskan Mision Accomlished (Misi Selesai) . Meski perang telah usai keadaan
Irak tidak sepenuhnya damai , 30 September 2006 Saddam Husein dihukum gantung dan
dinyatakan bersalah atas kejahatannya terhadap kemanusiaan oleh pengadilan Irak. Tanggal
31 Agustus 2010 Presiden Amerika Serikat pengganti George W. Bush pasca usai masa
jabatan yaitu Presiden Barack Hussein Obama menyatakan bahwa perang telah berakhir serta
memerintahkan penarikan pasukan Amerika dari irak .

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Breuning (2007) menyatakan bahwa kebijakan luar negeri pada dasarnya bersifat
memiliki tujuan atau tindakan yang didasari oleh tujuan-tujuan tertentu. Itu artinya, seburuk
apapun outcome yang dihasilkan oleh sebuah kebijakan sudah dipastikan memiliki alasanalasan di balik proses pembuatan keputusan. Dalam kasus kebijakan luar negeri yang
diputuskan Presiden Irak yanki Saddam Husein dalam menginvasi Irak terdapat beberapa
alasan

di

balik

itu

semua

kendati

dalam

proses

mencapai

tujuannya

justru

memberikan outcome yang sangat buruk bagi kestabilan negara Irak.


Begitu pula kebijakan luar negeri yang dihasilkan Presiden George H. W. Bush dan
anaknya Presiden George W. Bush untuk melakukan invasi sebanyak dua kali di tanah Irak
tentu saja memiliki tujuan-tujuan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negaranya,
meskipun secara umum dipaparkan bahwa dalam Perang Teluk Persia I invasi menggunakan
alasan atas tindakan invasi Irak atas Kuwait dan dalam Perang Teluk Persia II beralasan 5
tuduhan yang dilayangkan kepada negara Irak yakni dikatator, pendukung terorisme,
kepemilikan senjata nuklir, kimia dan kuman. Yang artiannya tujuan invasi Amerika Serikat
secara umum digambarkan demi menjaga kestabilan dunia.
Tetapi kita tidak mengetahui gambaran tersirat bahwa di balik kebijakan luar negeri
terkait dua invasi tersebut memiliki kepentingan tersendiri bagi Amerika Serikat. Seperti yang
telah dipaparkan dalam uraian Perang Teluk Persia II akan memberikan keuntungan tersendiri
bagi Amerika Serikat apabila ia berhasil menaklukan Irak yaitu kemudahan negara adikuasa
tersebut dalam meletakan kepentingannya di Timur Tengah yakni khususnya memberikan
pengaruhnya di Iran dengan demikian setidaknya negara adikuasa tersebut sudah mampu
melenyapkan dua negara poros setan yang terdiri dari empat negara yang dituduhkan George
W. Bush yaitu Irak, Iran, Libya dan Korea Utara. Amerika juga akan mampu memberi
tekanan militer terhadap negara-negara Teluk dengan memaksa pemerintah negara-negara
Teluk membasmi kelompok ekstrim yang antiAmerika. Selanjutnya negara adikuasa tersebut
dapat melaksanakan strategis pengendalian harga minyak mentah dunia serta memantapkan
posisi Amerika sebagai Penguasa Dunia .

DAFTAR PUSTAKA
Al-Radi, Nuha. 1998. Baghdad Diaries. London: Saqi Books, hal. 51.
Astrid (2011) . Sejarah Perang-Perang Besar Di Dunia. Yogyakarta : Familia Pustaka
Keluarga.
Cigar, Norman. 1992. Iraqs Strategic Mindset and the Gulf War, Journal of
StrategicStudies, hal. 9-11
Friedman, Norman. 1991. Desert Victory. Annapolis, Md.: Naval Institute Press, hal. 66, 108111
Pollack, Kenneth. 2002. The Threatening Storm: The Case for Invading Iraq. New York:
Random Haouse, hal. 18, 13-38

Anda mungkin juga menyukai