Anda di halaman 1dari 14

Nama: Joe Garcia Turnip

Nim: 2101555
Kelas: 3B
MataKuliah: SKNA

Perang Teluk 2 ( 1990 – 1991 )

Sebab-sebab Perang Irak melawan Kuwait


Perang Irak melawan Kuwait atau sering di sebut Perang Teluk II disebabkan oleh faktor- faktor
seperti berikut.
1. Terjadinya pelanggaran kuota minyak oleh kuwait, Arab, dan Uni Emirat Arab sehingga
produksi melimpah, akibatnya harga minyak anjlok. Irak waktu itu sangat mengandalkan
pendapatan negara dari sektor minyak sangat terpukul dengan peristiwa ini. Irak waktu
itu sedang membangun negaranya yang rusak akibat perang dengan Iran.

2. Ambisi Saddam Husein untuk tampil sebagai orang yang dihormati dinegara- negara
Arab.

3. Kuwait dituduh Irak mencuri minyak Irak di Padang Rumeila yang terletak di perbatasan
kedua negara (dipersengketakan).

4. Sebab khsusunya yaitu adanya serangan Irak terhadap Kuwait tanggal 2 agustus 1990
yang berhasil menduduki wilayah Kuwait.

A. PERANG TELUK II

1. Latar Belakang Timbulnya Perang Teluk II (Irak-Kuwait)

a. Kondisi ekonomi Irak yang hancur pasca Perang Teluk I

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya invasi Irak ke Kuwait erat kaitannya dengan
masalah ekonomi yang di alami Irak pasca selama perang delapan tahun dengan Iran. Menurut
Kamran Mofid seperti yang dikutip M.Riza Sihabudi, nilai kehancuran infrastruktur ekonomi
Irak sejak berkobar Perang Teluk sampai Juli 1988 mencapai angka 67 miliar dolar AS. Jumlah
tersebut belum termasuk dana yang harus dikeluarkan Irak untuk membeli peralatan militer.
Berdasarkan data IISS, hutang luar negeri Irak yang sebagian besar digunakan untuk kebutuhan
militer sekitar 75-80 miliar dolar AS. Jika ditotal nilai kerusakan infrastruktur ekonomi, hutang
luar negeri dan kerugian akibat perang (merosotnya GNP dan pendapatan dari ekspor minyak),
maka seluruh biaya ekonomi Perang Teluk I dapat mencapai 452,6 miliar dolar. Padahal
pendapatan tertinggi Irak yang dapat dicapai dari hasil produksi minyaknya tidak lebih dari 12
miliar dolar AS pertahun. Hal ini berarti Irak membutuhkan waktu sekitar 40 tahun hanya untuk
merekonstruksi negaranya yang ahncur akibat perang dan melunasi hutang luar negerinya
(Isawati, 2013:35).

Oleh karena itu dengan menyerbu Kuwait, salah satu negara kaya minyak, Saddam
Hussein berharap dapat menempuh jalan pintas untuk segera dapat memulihkan keadaan
ekonomi yang buruk pasca Perang Teluk I. Apalagi setelah Kuwait dalam perundingan di Arab
Saudi pada 31 Juli 1990, secara tegas menolak tuntutan Saddam Hussein agar membayar ganti
rugi pada Irak sebesar 16,4 miliar dolar AS serta menghapuskan semua utang Irak pada Kuwait
sekitar 10 sampai 15 miliar dolar AS dan memberikan daerah Rumailah serta Pulau Babiyan
yang kaya sumber minyak kepada Irak.

Saddam Hussein kemudian menuduh Kuwait telah mencuri minyak Irak di ladang
Rumailah yang dipersengketakan antara Irak dan Kuwait senilai 2,4 miliar dolar AS dan bahwa
Kuwait dan Uni Emirat Arab telah menohok dengan membanjiri minyak dunia sehingga
menimbulkan kerugian di pihak Irak senilai 14 miliar dolar AS. Akibat pelanggaran kuota OPEC
yang dilakukan Kuwait dan UEA, harga minyak sempat anjlok sampai sekitar 15 dolar AS
perbarel. Irak yang mengandalkan minyak sebagai komoditi utama sangat terpukul dengan
anjloknya harga minyak di pasaran Internasional. Apalagi pendapatan dari sektor minyak sangat
dibutuhkan Irak untuk merekonstruksi kembali kerusakan akibat perang dengan Iran selama
Perang Teluk I (Isawati, 2013:36).

1. Basis kekuatan Saddam Hussein yang rapuh

Sejak menjabat sebagai orang nomor satu di Irak, Saddam Hussein mendapat stereotip
negatif sebagai diktaktor. Stereotip negatif yang melekat pada sosok Saddam Hussein tidak bisa
terlepas dari tindakan dan kebijaksanaan represif yang selama ini dilakukan terutama untuk
membendung pihak oposisi. Ia tidak segan-segan melakukan segala cara untuk meraih dan
memperkuat posisi kekuasaannya.

Tindakan represif Saddam Hussein juga ditunjukkan dengan menghukum mati puluhan
anggota dan pimpinan Partai Bath yang dicurigai akan melakukan kudeta dan tidak menyetujui
kebijakan Saddam Hussein.

Selama memegang kekuasaan, Saddam Hussein selalu dilanda penyakit paranoid,


terutama ketakutan untuk tidak dicintai oleh rakyatnya. Saddam Hussein justru cemas jika situasi
negeri Irak dalam keadaan normal karena tidak ada ‘musuh bersama’. Mencari-cari musuh
bersama merupakan salah satu cara bagi seorang penguasa yang tidak cukup kuat basis
kekuasaannya. Dengan menciptakan musuh bersama, Saddam Hussein berharap dapat
mempertahankan loyalitas dan meraih dukungan seluruh rakyat Irak, terutama bisa meredam
gejolak munculnya pemberontakan dari pihak oposisi (Isawati, 2013:38).

2. Ambisi Saddam Hussein untuk menjadi pemimpin Dunia Arab

Faktor lain yang melatar belakangi Perang Teluk II yang berhubungan dengan pribadi
Saddam Hussein adalah ambisinya untuk menjadi pemimpin di Timur Tengah. Ia selalu ingin
menunjukkan sebagai pemimpin terkuat dan terbesar di Timur Tengah. Hal ini setidaknya
tampak ketika Saddam Hussein memutuskan untuk berperang dengan Iran pada waktu Perang
Teluk I. Keputusan Saddam Hussein untuk membatalkan Perjanjian Algiers tahun 1975 secara
sepihak jelas dilatar belakangi oleh keinginan Saddam Hussein untuk diakui sebagai Polisi di
Teluk Parsi, sebuah jabatan yang tadinya dipegang oleh Syah Iran. Dalam Perang Teluk I,
Saddam Hussein ingin membuktikan dirinya sebagai tokoh pembela bangsa-bangsa Arab
sekitarnya (Isawati, 2013:38-39).

b.Reaksi Terhadap Terjadinya Perang Teluk II

1. Reaksi Negara-negara Arab

Reaksi negara-negara Arab terhadap terjadinya Perang Teluk I hampir 180 derajat apabila
dibandingkan pada waktu Perang Teluk II. Jika pada waktu Perang Teluk I, Irak di dukung oleh
mayoritas negara-negara Arab dan Barat, maka dalam Perang Teluk II, Irak dimusuhi sebagian
besar negara Arab dan Barat. Dalam Perang Teluk I, fundamentalisme Islam Syiahnya Imam
Khomeini dianggap sebagai ancaman menakutkan sehingga kekalahan Irak dalam melawan Iran
harus dicegah sekuat tenaga. Bahkan AS dengan mudah memaafkan Saddam Hussein ketika
kapal perangnya, USS Stark tertembak rudal Exocet yang diluncurkan sebuah Mirage Irak pada
Mei 1987 (Isawati,2013:41).

Dalam Perang Teluk I, Irak didukung oleh Mesir, Yordania, Negara-negara GCC, Yaman
Utara, Maroko, Uni Soviet, Perancis, bahkan Inggris dan Amerika Serikat, sementara Iran hanya
didukung Suriah, Libya, dan Yaman Selatan. Sebaliknya dlaam Perang Teluk II, Irak harus
berhadapan dengan Amerika Serikat termasuk para sekutu Arabnya dalam Perang Teluk I seperti
Mesir dan negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council) yang terdiri atas Bahrain, Kuwait,
Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Dalam hal ini bahkan Arab Saudi mengundang
ratusan ribu personil militer AS untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya dan
menaggulangi ancaman serangan dari Irak (Isawati,2013:41-42).

2. Reaksi Iran

Pasca Perang Teluk II ini, ada tiga hal persamaan kepentingan antara Irak dan Iran, yaitu:

1.Iran dan irak sama-sama terpukul dengan anjloknya harga minyak di pasaran dunia karena
pelanggaran kuota minyak oleh anggota OPEC terutama Kuwait. Padahal kedua negara ini
sangat membutuhkan pemasukan dari sektor minyak dalam membangun merekonstruksi kembali
negaranya akibat Perang Teluk I.

2.Belum membaiknya hubungan AS dengan Iran pasca-Revolusi Islam Iran. Hubungan Iran-AS
belum dapat dipulihkan selama tuntutan Iran bagi pencairan aset mereka yang bernilai sekitar 12
miliar dolar belum dipenuhi pihak AS. Posisi Rafsanjani juga dilematis karena selalu ada
penentangan dari pihak mullah garis keras tidak akan tercapai normalisasi hubungan Iran dan AS
selama kebijakan AS menganakemaskan Israel.

3.Berkaitan dengan masalah konflik yang berdimensi religio-ideologis dan sosio-historis antara
Iran dan Arab Saudi. Secara Religio-Ideologis, bersumber pada perbedaan keyakinan antara Iran
dan Arab Saudi. Iran memegang teguh ajaran Syiah, sedangkan Arab Saudi yang didominasi
kaum wahabi memegang ajaran Sunni.

3. Sikap RRC
Dalam Perang Teluk II ini RRC dihadapkan pada posisi yang dilematis, yang
menyebabkan sikap RCC tampak ambivalen. RCC juga berseberangan pendapat dengan anggota
tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Inggris, Prancis) yaitu dengan tidak menyetujui pemecahan
masalah Irak-Kuwait secara militer. Sikap ambivalen dan posisi dilematis RCC tersebut
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

a.Kepentingan Ekonomi.

Timur Tengah merupakan pasar industri persenjataan RRC yang menggiurkan. Lebih dari
itu, RRC mampu memproduksi berbagai macam senjata yang cukup canggih dengan harga yang
relatif murah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika peralatan militer dari RRC banyak
diminati oleh negara-negara kawasan Timur Tengah yang notabenesering dilanda konflik. Arab
Saudi, Iran, Suriah merupakan negara Timur Tengah yang menjadi pelanggan berbagai jenis
rudal jenis Silkworm yang bernilai 30 miliar dollar AS ke Iran.

b.Mengatasi Isolasi Internasional

Tragedi Tienanmen pada 1989 telah menimbulkan amarah dan kekecewaan negara-
negara Barat yang kemudia menjatuhkan sanksi ekonomi dan politik kepada RRC. Akibatnya
RRC terkucil dari lingkungan internasional secara politik dan ekonomi. Berbeda dengan sikap
negara-negara Barat yang mengancam keras terjadinya tragedi Tienanmen dan bersikap isolatif
terhadap RRC, justru negara-negara Timur Tengah sebagian besar bersikap netral. Bahkan Iran
menuduh bahwa aksi pro demokrasi di Tienanmen didalangi oleh agen-agen Barat. Melihat sikap
netralis negara-negara Timur Tengah, RRC memanfaatkannya untuk mengurangi beban akan
sanksi ekonomi yang dilancarkan blok Barat.

Berdasarkan pertimbangan politik ekonomi tersebut, RRC sangat berkepentingan


terhadap perdamaian di kawasan Timur Tengah. Invasi Irak ke Kuwait dan dilankutkan dengan
hadirnya pasukan multinasional menimbulkan dilema bagi RRC. Disisi lain RRC tidak ingin
merusak hubungan baik dengan negara-negara di Timur Tengah. Oleh karena itu RRC memilih
berada dipihak mayoritas negara-negara Timur Tengah dengan mendukung semua resolusi DK-
PBByang mengecam invasi Irak ke Kuwait. Kecaman RRC juga mengandung maksud lain, yaitu
sebagai salah satu jalan untuk diterima kembali dilingkungan internasional pasca tragedi
Tienanmen.
c. Ambisi RRC sebagai pemimpin Dunia Ketiga

Sikap RRC dalam Perang Teluk II juga mencerminkan ambisi nya untuk diakui sebagai
pemimpin dunia ketiga yang tidak bersedia didikte dengan mudahnya oleh AS dan sekutunya.
Oleh karena itu ketika AS dan sekutunya memutuskan untuk membentuk pasukan multinasional,
RRC justru menawarkan cara damai bagi penyelesaian Perang Teluk II. Sikap RRC secara nyata
juga ditunjukkan dalam PBB. Pada saat Dewan Keamanan PBB memperdebatkan resolusi yang
mengesahkan penggunaan kekuatan militer untuk penyelesaian Perang Teluk II, RRC bersikap
abstain (Isawati, 2013:46-47)

4. Sikap Amerika Serikat

Invasi Irak ke Kuwait merupakan pukulan keras bagi administrasi Bush sebab
merepresentasikan ancaman serius bagi kepentingan Amerika di wilayah Teluk Persia, untuk
menjamin agar minyak terus mengalir dan mencegah munculnya hegemoni musuh di region
Teluk. Sebab jika Saddam berhasil menguasai Kuwait, ia akan menguasai 9% dari produksi
minyak global. Sebagai tambahan, penempatan kekuatan militer Saddam di Kuwait dapat
mengancam Arab Saudi untuk mengalami “Findlandized”-paksaan untuk mengikuti harga
minyak luar negeri yang didiktaktori Baghdad. Dengan kata lain Saddam memiliki kapabilitas
untuk mengatur harga minyak global.

Dalam rangka menjawab tantangan Saddam Hussein untuk emlakukan invasi ke Kuwait,
maka pada 2 Agustus 1990, AS bahkan menempatkan 210.000 tentaranya. Jumlah ini merupakan
yang terbesar sejak terlibat dalam Perang Vietnam. Presiden George Bush dan Menlu AS, James
Baker bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada waktu lagi bagi Saddam Hussein untuk
menarik mundur tentaranya tanpa pertumpahan darah. George Bush dan James Baker bahkan
sudah sibuk mengunjungi Arab Saudi dan negara-negara Eropa untuk membicarakan
kemungkinan terlibat dalam Perang Teluk II (Isawati, 2013:47-48).

3. Proses Jalannya Perang Teluk II (Irak-Kuwait).

Jalur diplomasi antara Irak dengan Kuwait maupun Arab Saudi mengalami kegagalan
sehingga Irak menggelar pasukannya di perbatasan Irak-Kuwait. Pada 2 Agustus 1990 pukul
4.30 waktu setempat, sekitar 300.000 tentara Irak dengan di dukung 3500 tank, puluhan rudal
Scud, Mic-29 dan beberapa pesawat Mirage menyerbu Kuwait. Pasukan Irak hanya
membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk menguasai seluruh Kuwait. Keberhasilan ini karena
pengalaman tempur pasukan Irak selama Perang Teluk I dan perimbangan kekuatan yang
mencolok antara Irak dengan Kuwait (Isawati, 2013:48).

Saddam Hussein menegaskan bahwa Kuwait yang diduduki sejak 2 Agustus 1990
merupakan propinsi ke-19 dari negara Irak. Status ini tidak dapat diubah oleh pihak manapun.
Bahkan Irak tidak akan mundur satu inci pun dari wilayahnya. Saddam Hussein kemudian
mengangkat Ali Hassan Al-Majid sebagai Gubernur Kuwait yang selanjutnya mengumpulkan
para sukarelawan untuk bertempur melawan Kuwait (Isawati, 2013:49).

Pada Januari 1991 waktu Baghdad, operasi pembebasan Kuwait yang diberi nama
“Operation Desert Storm” (Operasi Badai Gurun) dimulai, dengan dilancarkannya serangan
udara oleh pesawat-pesawat tempur F-15 dan pesawat gabungan pasukan multinasional.
Serangan tersebut juga didukung oleh tembakan rudal Tomhawk dari kapal-kapal Multinasional
di Teluk. Pada serangan pertama pasukan multinasional mengerahkan serangannya pada sasaran-
sasarannya sebuah pabrik yang diperkirakan memproduksi gas syaraf dan gas mostar yang
terletak di sekitar 40 km barat daya Kota Samara. Pabrik ini merupakan pabrik kimia terbesar di
Irak (Isawati, 2013:49-50).

Pada serangan pertama, Irak tidak melakukan pembalasan. Baru pada 18 Januari 1991,
Irak melepaskan 8 rudal Scud ke Israel dan Arab Saudi. Serangan balasna Irak ke Israel
dimaksudkan untuk memperluas Perang Teluk II dengan melibatkan Israel sehingga diharapkan
koalisi pasukan multinasional pimpinan AS akan pecah dan negara-negara Arab akan membantu
Irak. Namun karena lobi AS terhadap Israel, maka Israel tidak membalas serangan Irak (Isawati,
2013:50).

Pada 19 Janjari 1991, pasukan multinasional kembali melakukan serangan udara terhadap
Kota Baghdad. Serangan tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan peluncur-peluncur peluru
kendali Scud milik Irak. Serangan rudal Scud ke Tel Avivdan Dahran menewaskan 4 orang sipil
dan melukai beberapa warga Israel. Pada waktu yang sama, pasukan multinasional juga berhasil
melakukan serangan udara sebanyak 10.000 serangan udara (Isawati, 2013:50).
Selama Perang Teluk II, pihak pasukan multinasional pimpinan AS lebih banyak
mengandalkan serangan udara daripada darat. Hal ini didasarkan pada pengalaman pahit AS
selama Perang Vietnam. Serangan udara juga dimaksudkan agar mampu menghancurkan industri
vital Irak serta ekonomi militer yang menghubungkan Irak dengan Kuwait. Dengan demikian,
diharapkan pasukan Irak akan keluar dari bunker-bunker perlindungan dan mental pasukan Irak
akan merosot sehingga akan menyerah dan tertekan. Dengan hancurnya infrastruktur Irak juga
diharapkan akan menimbulkan pemberontakan dalam negeri Irak (Isawati, 2013:49-50-51).

Pada 29 Januari 1991, tanpa diduga sebelumnya, tank-tank Irak berhasil memasuki Kota
Khafji di Arab Saudi dan menduudkinya selama dua hari. Serangan tersebut mengakibatkan
pasukan multinasional semakin gencar dalam membalas serangan dari pasukan Irak. Pada 13
Februari, bom-bom AS menghantam bunker-bunker sipil Irak yang menewaskan 300 orang
penduduk sipil Irak (Isawati, 2013:51).

Sampai pada 23 Februari 1991, pasukan multinasional pimpinan AS melancarkan


ultimatum terhadap Irak, yaitu jika pasukan Irak tidak segera ditarik mundur dari Kuwait, maka
perang darat akan pecah. Sebaliknya justru Irak menyikapi ultimatum tersebut dengan
menyatakan bahwa pasukannya siap berperang. Pada 24 Februari 1991, perang darat pecah. Pada
hari berikutnya, pasukan multinasional berhasil menawan 20.000 tentara Irak serta
menghancurkan ratusan tank. Pada 26 Februari nya, Irak mengumumkan pasukannya siap
mundur dari wilayah Kuwait. Pada 27 Februari, panglima tentara pasukan multinasional,
Jenderal Norman Schwarzkopf mengatakan paling tidak 29 Devisi Irak dan lebih dari 300.000
tentara Irak berhasil dilumpuhkan. Pada 28 Februari pukul 05.00 GMT, George Bush
memerintahkan penghentian serangan yang menandai berakhirnya Perang Teluk II (Isawati,
2013:51)

3. Dampak Perang Teluk II

1. Memanasnya Suhu Politik di Timur Tengah

Invasi Irak ke Kuwait telah menyebabkan suhu politik di Timur Tengah semakin
meningkat. Memanasnya suhu politik dapat dilihat dengan adannya pembantaian 22 warga
Palestina oleh Israel di Yerussalem Timur pada 8 Oktober 1990. Tragedi Yerusalem sangat
berkaitan erat dengan situasi di kawasan Teluk Parsi. Dalam Perang Teluk II, Saddam Hussein
berhasil tampil sebagai motor kubu radikal melawan kubu moderat, yaitu rezim-rezim yang
berkuasa di Mesir, Arab Saudi dan Negara-negara monarki teluk lainnya. Bangsa Palestina yang
selama ini merasa kecewa terhadap tingkah laku politik rezim-rezim tersebut seakan menemukan
sosok idola pada diri Saddam Husein. Apabila dalam Perang Teluk II selanjutnya yang dilihat
Palestina bahwa yang dihadapi Irak tidak hanya Kuwait tetapi pasukan multinasional pimpinan
Amerika Serikat yang selalu menganakemaskan Israel, musuh Palestina.

Dukungan rakyat Palestina terhadap Saddam Hussein tidak terlepas dari sejunlah factor,
yaitu : (1) sekitar 170.000 orang Palestina tinggal di Irak (2) kegagalan proses perdamaian
melalui jalur diplomasi (3) perlakuan tidak simpatik bekas penguasa Kuwait (4) desakan opini
public Palestina di daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk mendukung Saddam. Pada waktu
Perang Teluk II, Saddam juga memanfaatkan momentum yaitu menuntut penarikan mundur
tentara Israel dari Palestina sebagai prasyarat mundurnya tentara Irak dari Kuwait. Semangat
gerakan intifadhah warga Palestina di daerah pendudukan yang sebelum pecah Krisis Teluk II
tampak melemah, kembali bergelora. Perang Teluk II merupakan momentum yang tepat bagi
rakyat Palestina untuk kembali bangkit dan berjuang melawan Israel.

Pada 12 Oktober 1990, juga terjadi pembunuhan terhadap pemimpin milisi manorit,
Jenderal Michel Aoun di Libanon. Di Mesir, Ketua Parlemen Mesir Rifa’at Mahghoubdan tiga
pengawalnya ditembak mati oleh orang-orang tak dikenal. Pemerintah Mesir menduga bahwa
pembunuhan misterius tersebut didalangi oleh unsure-unsur pendukung Saddam Husein, yaitu
bisa terdiri dari para agen Saddam atau para ekstremis Palestina. Jika sangkaan tersebut terbukti,
maka terbunuhnya Mahghoub bisa dianggap sebagai salah satu “getah pahit” yang harus
dirasakan Mesir akibat Perang Teluk II.

Dampak perang Teluk II bagi Mesir juga terasa dibidang ekonomi. Perang Teluk II telah
mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran karena terusirnya ratusan ribu tenaga kerja
Mesir dari Irak dan Kuwait. Pemerintah Mesir menuduh rezim Saddam Hussein telah merampok
lebih dari US$ 12 miliar harta benda tenga kerja Mesir dari Irak dan Kuwait. Kembalinya lebih
sejuta tenaga kerja kerja Mesir dari Irak dan Kuwait tidak hanya berdampak kurangnya anggaran
pendapatan Pemerintah Mesir, tetapi juga menimbulkan masalah sosial ekonominya yang lebih
serius, terutama yang berkaitan dengan sector lapangan kerja, perumahan dan pendidikan. Perang
Teluk II juga mengakibatkan merosotnya pendapatan Mesir dari sector pariwisata. Sebelum
terjadinya Perang Teluk II, sector pariwisata telah menyumbangkan sekitar 10% dari total
pendapatan luar negeri. Akibat perang Teluk II, pendapatan dari sector pariwisata menurun US$
400 juta sampai US$ 1 miliar karena banyak turis yang membatalkan rencana kunjungan ke
Mesir (M.Riza Shihbudi 57:1991).

2. Irak merugi secara ekonomi, dikucilkan dari dunia Internasional dan Krisis Dalam
Negeri

Perang Teluk II membawa dampak yang luar biasa bagi Irak di bidang ekonomi. Dapat
dikatakan bahwa Irak merupakan Negara yang paling parah dan menderita di sector ekonomi
akibat Perang Teluk II. Secara kasar, kerugian Irak di bidang ekonomi akibat Perang Teluk II
ditaksir sekitar 500triliun. Disamping itu Irak harus membayar kerugian perang sebesar 14 miliar
dolarAS. Meskipun demikian Kuwait juga harus menerima kenyataan bahwa 300 dari 500 sumur
minyaknya banyak yang hancur akibat aksi bumi hangus yang dilakukan pasukan Irak.

Perang Teluk II juga mengakibatkkan Saddam Hussein dan Negara Irak semakin terpojok
dan terisolasi dari dunia Internasional Sanksi Ekonomi yang dijatuhkan oleh Dewan Keamanan
PBB yang didukung oleh blockade militer Amerika Serikat dan sekutunya sangat menyulitkan
posisi Saddam Husein dalam pergaulan Intenasional. Dalam bidang olahragapun, Irak tidak
berhak turut serta didalamnya. Irak disingkirkan dari Pesta Olahraga Asia atau Asian Games
tahun 1990 di Beijing dan dari Federasi Sepakbola Internasional (FIFA). Bahkan pada 30
Nopember 1990, Dewan Keamanan PBB atas desakan Amerika Serikat dan sekutunya
mengesahkan Resolusi No.678 yang memberikan legitimasi bagi penggunaan kekuatan militer
untuk menggempur pasukan Irak. Akibat Perang Teluk II, Irak dikucilkan dari hamper semua
sector kehidupan Internasional, baik politik, ekonomi, militer maupun sosial budaya.

Selain dikucilkan dalam pergaulan Internasional, kondisi dalam negeri Irak juga cukup
memperihatinkan, terutama dalam bidang politik. Akibat Perang Teluk II, Saddam Husein harus
menghadapi berbagai kelompok politik yang berusaha menggulingkan kekuasaannya.
Sebaliknya, Amerika Serikat dan negara-negara Barat semakin mencengkram Irak dengan
menguasai Iran bagian Selatan dengan dalih menjaga balance of power di kawasan tersebut dan
melindungi kaum Syiah yang selama ini ditindas oleh Saddam Husein. Larangan bagi Irak untuk
terbang di Irak Selatan yang notabene masih menjadi bagian dari wilayah Irak merupakan
tamparan yang mneyakitkan bagi kedaulatan Negara Irak (Shihbudi 59:1991).
3.Normalisasi hubungan antara Irak dengan Iran

Perang Teluk II selain sebagai bencana ternyata juga berdampak positif bagi perbaikan
hubungan anatar Irak dengan Iran yang bersitegang selama delapan tahun selama Perang Teluk I.
Salah satu factor menarik yang mendorong usaha normalisasi adalah kekecewaan Saddam
terhadap Negara-negara Arab yang selama Perang Teluk I sebagiann besar mendukungnya
kemudian justru secara mengejutkan balik menyerangnya dalam Perang Teluk II. Dalam posisi
yang semakin terjepit, maka tidak ada jalan lain bagi Irak untuk mendekati bekas musunya dalam
perang Teluk I. Sikap tersebutdimabil oleh irak setelah melihat bahwa Iran berusaha bersikap
netral dalam Perang Teluk II. Meskipun Iran mengencam invasi Irak ke Kuwait, tetapi disis lain
Iran juga sangat menentang kehadiran pasukan multinasional dan kekuatan militer untuk
menyelesaikan masalah Perang Teluk II.

Pada Agustus 1990, Saddam Husein membuat kejutan ketika memutuskan untuk
menerima seluruh syarat yang diajukan oleh Iran demi tercapainya perdamaian antara Irak dan
Iran. Di antara syarat tersebut adalah diberlakukannya kembali Perjanjian Aljiers tahun 1975
yang pernah dibatalkan secara sepihak oleh Saddam serta ditaatinya seluruh pasal Resolusi
Dewan Keamanan PBB No.598 tahun 1988. Pada awal September 1990, Menteri Luar Negeri
Irak Tariq Azis berkunjung ke Iran. Pada pertengahan November 1990, Menlu Iran Ali Akbar
Velayati sebagai balasan kunjungan Tariq Azis mengunjungi Irak. Inilah saling kunjung pertama
antara pejabat tinggi kedua Negara sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979. Kunjungan Tariq Azis
ke Iran Velayati ke Irak menandai era baru dalam hubungan kedua Negara yang selama delapan
tahun terlibat perang.

Berbeda dengan upaya normalisasi hubungan Iran-Amerika Serikat yang masih mendapat
tantangan keras dari kaum mullah radikal, normalisasi hubungan Irak-Iran justru mendapat
dukungan penuh dari hamper seluruh elite politik Iran.”New Day for Iran-Iraq, Old Threat From
US”, merupakan salah satu judul tajuk rencana harian Kayhan Internasional yang mencerminkan
aspirasi kaum mullah garis keras. Bahkan pada 10 September 1990, Ayatullah Shadeq Khalkhali,
anggota Majlis Syura Islami dan para tokoh garis keras secara terbuka mendesak pembentukan
aliansi militer Irak-Iran guna menghadapi Israel, Amerika Serikat dan Arab Saudi.

4. Akhir Perang Teluk II


Upaya penyelesaian Perang Teluk II dilakukan baik melalui jalur diplomasi maupun
militer. Pada1 Agustus 1990 di Kota Jeddah, Arab Saudi, delegasi Irak dibawah pimpinan Wakil
Presiden yang juga Wakil Komandan Dewan Revolusi Irak, Jenderal Izzat Ibrahim mengadakan
pertemuan di Meja perundingan dengan perdana Menteri/putra mahkota Kuwait, Sheikh Saad
Al-Abdullah A-Sabah. Yang dibicarakan adalah bagaimana mengatasi konflik Irak-Kuwait yang
timbul beberapa minggu sebelumnya. Raja Fahd bin Abdul Aziz atas kerja sama dengan Presiden
Husni Mubarak dan dibantu beberapa pemimpin Negara Arab lainnya mengadakan kontak-
kontak dengan pemimpin Arab memintakan pendapat mengenai penyelesaian damai Irak-
Kuwait. Presiden Mubarak sebelumnya optimis dengan misi ulang-aliknya antara Cairo,
Baghdad, Kuwait dan Jeddah.Uluran tangan Mubarak ini semula mendapat tanggapan serius dari
Presiden Irak, Saddam Hussein bahwa insiden bersenjata tetap dijauhi.

Atas prakarsa Raja Fahd kota Jeddah dipilih sebagai tempat perundingan. Sehingga lewat televisi
Arab Saudi, Pirsawan masih menyaksikan kedua pemimpin Irak-Kuwait (Izaat dan Saad)
berpelukan mesra sambil berangkulan modelArab,disaksikan Raja Fadh, Putra Mahkota Arab
Saudi,Pangeran Abdullah dan Menlu Saud Al-Faisal serta petinggi kedua Negara. Tampaknya
sama sekali tidak ada kekeruhan dan percekcokan biasa-biasa saja. Akibat tidak ada keterbukaan
dalam perundingan tersebut, tidak banyak yang dapat diketahui apa yang sebenarnya yang terjadi
dalam pertemuan antara kedua pemimpin Irak dan Kuwait.

Tampaknya, Irak sudah memasang perangkap. Persiapan perang sengaja dialihkan ke meja
perundingan untuk mengintimidasi Kuwait. Gerakan Saddam dengan peluru di pinggangnya
memerintahkan 30.000 prajurit mendekati perbatasan Kuwait, mereka semua diperintahkan
untuk mengadakan latihan perang, maneuver di Basra, Irak Selatan 10 km dari perbatasan
Kuwait. Perundingan di Jeddah tidak membawa hasil yang memuaskan Saddam Husein. Kuwait
menolak permintaan Irak untuk membebaskan hutang Irak yang bertumpuk semenjak Perang
Irak-Iran (1980-1988). Semula Irak mengisukan bahwa sejumlah pasukannya di perbatasan
Kuwait telah ditarik mundursecara bertahap dan Kuwait pun cepet bertindak, menarik pula
pasukannya dari perbatasan dengan Irak. Membaca situasi demikian, Saddam kembali
mengusulkan supaya Kuwait mengakui mencuri minyak Irak di lepas pantai Pulai Warba dan
Pulau Babiyan yang sudah lama menjadi ajang sengketa dengan Irak.
Irak menuntut ganti rugi sebesar US$ 2,4 miliar kepada Kuwait dengan alasan Kuwait
menyedotnya dari wilayah Irak selama perang 8 tahun dengan Iran. Lalu, Irak meminta supaya
Kuwait menyewakan kedua pulau Warba dan Bubyan selama 99 tahun, guna memperoleh
fasilitas pelabuhan bebas Irak dan dapat mengendalikan lalu lintas minyak di Teluk Persia dan
tuntutan yang lain adalah pembebasan hutang Irak kepada Kuwait sebesar US$ 10 miliar lebih.
Tampaknya dengan taktik tarik menarik pasukan di perbatasan, Irak melihat peluang baru untuk
dapat memasuki Kuwait tanpa perlawanan.

Pada akhirnya jalur diplomasi mengalami jalan buntu, maka seperti kata Clausewitz, bahwa
perang merupakan alat lain menuju perdamaian. Dewan Keamanan PBB telah mngecam invasi
Irak ke Kuwait dan menuntut penarikan mundur pasukan Irak dari Kuwait dengan segera dan
tanpa syarat. PBB juga akhirnya melakukan Resolusi yang ditandatangani oleh 14 negara dari
sejumlah Negara anggota Dewan Keamanan. Yaman merupakan satu-satunya Negara Arab yang
tidak mengikuti pemungutan suara dengan alasan tidak menerima instruksi.

Pecahnya Perang Teluk II mencerminkan betapa lemahnya PBB dalam mengatasi


masalah Internasional. Hal ini tidak hanya terlihat jelas dari ketidakefektifan sanksi ekonomi dan
resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi juga terlihatdari ketidakmampuan PBB
mengatasai tekanan-tekanan yang dilakukan negera-negara besar, khususnya Amerika Serikat.
Hal ini berarti pecahnya Perang Teluk II kembali membuktikan bahwa PBB pada hakikatnya
memang lebih banyak melayani Negara-negara besar seperti Amerika Serikat daripada
memperhatikan nasib-nasib bangsa-bangsa yang lemah seperti memecahkan dan
memperjuangkan nasib bangsa Palestina (Isawati 55:2013).

5.Kondisi Pasca Perang

Perang Teluk berlangsung relatif singkat karena konflik bersenjata dalam perang tersebut
hanya berlangsung kurang dari 60 hari. Namun perang tersebut membawa kerusakan yang amat
serius bagi infrastruktur Kuwait. Bagi Irak, Perang Teluk merupakan bencana karena mereka
harus kehilangan puluhan ribu tentara & ribuan kendaraan tempur daratnya. Di pihak pasukan
koalisi, keunggulan pengalaman & teknologi persenjataan membuat jumlah korban tewas di
pihak mereka "hanya" 392 jiwa (tidak termasuk pasukan Kuwait yang gugur saat Irak pertama
kali menginvasi).
Sebagai hukuman lebih lanjut atas tindakan Irak menginvasi Kuwait & menggunakan
senjata kimia, PBB menjatuhkan embargo perdagangan total kepada Irak, kecuali untuk
komoditas vital seperti makanan & obat-obatan. PBB juga mengutus tim khusus untuk
melakukan pelecutan dan penghancuran stok persenjataan kimia milik Irak. Masih soal senjata
kimia, banyak tentara AS yang menderita penyakit misterius sepulang dari medan perang
(sindrom Perang Teluk) & senjata kimia Irak diduga menjadi salah satu penyebabnya. Pendapat
lain menyatakan kalau sindrom Perang Teluk mungkin disebabkan oleh peluru tank Irak yang
mengandung uranium, penyakit menular, atau penggunaan vaksin antraks kepada para tentara
yang hendak diberangkatkan ke medan perang.

Melemahnya kekuatan militer Irak seusai Perang Teluk sempat dimanfaatkan oleh rakyat
Irak untuk memberontak. Di Irak utara, pemberontakan dilakukan oleh etnis minoritas Kurdi.
Sementara di selatan, pemberontakan dilakukan oleh ekstrimis Muslim Syiah. Kedua
pemberontakan tersebut sama-sama berakhir dengan kegagalan akibat minimnya persenjataan
yang mereka miliki & brutalnya respon yang ditunjukkan oleh militer Irak. Pasca
pemberontakan, jutaan etnis Kurdi mengungsi meninggalkan Irak utara & pemerintah Irak
merelokasi paksa penduduk Irak selatan.

Anda mungkin juga menyukai