Jaundice
Jaundice
:
Batu
Ginjal
Mengembangkan
kompetensi
Sesi
didalam
kelas
Sesi
dengan
fasilitas
pembimbing
Sesi
praktek
dan
pencapaian
kompetensi
Waktu
..
x
2
jam
(classroom
session)
..
minggu
(coaching
session)
12
minggu
(facilitation
and
assessment)
Tujuan
Umum
Setelah
mengikuti
modul
ini
peserta
didik
mampu
menguraikan
latar
belakang,
melakukan
diagnosis,
melakukan
penatalaksanaan
dan
menangani
komplikasi
batu
ginjal.
Tujuan
Khusus
/
Pembelajaran
Setelah
mengikuti
sesi
ini,
setiap
peserta
didik
diharapkan
mampu
untuk
:
1. Menjelaskan
patofisiologi
dan
epidemiologi
singkat
tentang
batu
ginjal
2. Mengenali
gejala,
tanda
dan
komplikasi
penderita
batu
ginjal
3. Melakukan
langkah
langkah
diagnosis
penderita
batu
ginjal
4. Melakukan
penanganan
komplikasi
penderita
batu
ginjal
5. Melakukan
pilihan
terapi
pada
batu
ginjal
6. Melakukan
ESWL,
operasi
terbuka
dan
endourologi
pada
penderita
batu
ginjal
7. Melakukan
langkah
follow
up
penderita
batu
ginjal
Proses
Pembelajaran
Menguatkan
proses
pembelajaran
Kenalkan
diri
anda,
jabatan
dan
tanggung
jawab
anda
dalam
proses
pembelajaran
serta
bagaimana
anda
berupaya
untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran
dengan
partisipasi
penuh
dari
peserta
didik.
Tujuan
1
:
Menjelaskan
patofisiologi
dan
epidemiologi
singkat
tentang
batu
ginjal
Metode
pembelajaran
:
Kuliah
singkat
dan
diskusi
tentang
patofisiologi
batu
ginjal
yang
mencakup
proses
terjadinya
pembentukan
batu
ginjal
secara
singkat
(must
to
know
pointers)
Tujuan
2
:
Mengenali
gejala,
tanda
dan
komplikasi
penderita
batu
ginjal
Metode
pembelajaran
:
Curah
pendapat
dan
diskusi
tentang
gejala,
tanda
dan
komplikasi
penderita
dengan
batu
ginjal
(must
to
know
pointers)
Tujuan
6
:
Melakukan
ESWL,
operasi
terbuka
dan
endourologi
pada
penderita
batu
ginjal
Metode
pembelajaran
:
Persiapan
sesi
Peralatan audiovisual
Alat
bantu
latih
:
model
anatomi
gambar
anatomi
dari
buku
teks
model
alat
peraga
Referensi :
Kompetensi
Mengenali
dan
memahami
penatalaksanaan
tentang
batu
ginjal.
Kompetensi
yang
diharapkan
adalah
K3,
P4,
A4
dengan
tingkat
kerja
skill
competency.
Keterampilan
Setelah
menyelesaikan
modul
ini,
peserta
didik
diharapkan
terampil
1. Menjelaskan
patofisiologi
dan
epidemiologi
singkat
tentang
batu
ginjal
2. Mengenali
gejala,
tanda
dan
komplikasi
penderita
batu
ginjal
akhir
sesi
praktek
peserta
didik
kompeten
untuk
melakukan
operasi
endourologi
maupun
terbuka.
Contoh
Kasus
Penderita
pria
40
tahun
dengan
gangguan
nyeri
pinggang,
kemeng
kemeng
dan
demam
disertai
menggigil
selama
1
minggu.
Riwayat
kencing
batu
2
tahun
lalu.
Pemeriksaan
fisik
didapatkan
massa
dipinggang
kanan
ukuran
10
x
10
cm,
nyeri
ketok
pinggang
kanan
dan
temperature
38
oC.
Pada
pemeriksaan
laboratorium
didapatkan
leukosit
23.
000
dan
leukosit
urin
yang
penuh
serta
kreatinin
3,2.
Pemeriksaan
radiologis
didapatkan
foto
polos
abdomen
menunjukkan
gambaran
batu
pyelum
kanan,
gambaran
USG
menunjukkan
hidronefrosis
ginjal
kanan
disertai
kecurigaan
pyenefrosis.
Diskusi
:
Dari gejala yang ada, dapat diduga bahwa penderita mengalami batu ginjal
Diagnosis
:
a. Anamnese
:
nyeri
pinggang
b. Pemeriksaan
fisik
:
nyeri
di
pinggang
kanan,
massa
di
pinggang
kanan
c. Pemeriksaan
penunjang
:
foto
polos
abdomen
menunjukkan
gambaran
batu
pyelum
kanan,
gambaran
USG
menunjukkan
hidronefrosis
ginjal
kanan
disertai
kecurigaan
pyenefrosis
prosedur operatif
Tujuan
Pembelajaran
Setelah
mengikuti
sesi
ini,
setiap
peserta
didik
diharapkanmampu
untuk
:
(K4)
1. Menjelaskan
patofisiologi
dan
epidemiologi
singkat
tentang
batu
ginjal
2. Mengenali
gejala,
tanda
dan
komplikasi
penderita
batu
ginjal
3. Melakukan
langkah
langkah
diagnosis
penderita
batu
ginjal
4. Melakukan
penanganan
komplikasi
penderita
batu
ginjal
5. Melakukan
pilihan
terapi
pada
batu
ginjal
6. Melakukan
ESWL,
operasi
terbuka
dan
endourologi
pada
penderita
batu
ginjal
7. Melakukan
langkah
follow
up
penderita
batu
ginjal
Proses
Pembelajaran
Menguatkan
proses
pembelajaran
Kenalkan
diri
anda,
jabatan
dan
tanggung
jawab
anda
dalam
proses
pembelajaran
serta
bagaimana
anda
berupaya
untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran
dengan
partisipasi
penuh
dari
peserta
didik.
Tujuan
1
:
Menjelaskan
patofisiologi
dan
epidemiologi
singkat
tentang
batu
ginjal
Metode
pembelajaran
:
Kuliah
singkat
dan
diskusi
tentang
patofisiologi
batu
ginjal
yang
mencakup
proses
terjadinya
pembentukan
batu
ginjal
secara
singkat
Bedsite teaching
Praktek klinik
Tujuan
4
:
Melakukan
penanganan
komplikasi
penderita
batu
ginjal
Metode
pembelajaran
:
Coaching
dan
praktek
pada
pasien
sungguhan,
yang
berupa
:
Tujuan
6
:
Melakukan
ESWL,
operasi
terbuka
dan
endourologi
pada
penderita
batu
ginjal
Metode
pembelajaran
:
Kasus
untuk
Proses
Pembelajaran
Penderita
pria
40
tahun
dengan
gangguan
nyeri
pinggang
tembus
ke
depan
perut
sampai
di
ulu
hati,
kemeng
kemeng
dan
demam
disertai
menggigil
selama
1
minggu.
Riwayat
kencing
batu
2
tahun
lalu.
Riwayat
keluarga,
Ibu
pasien
pernah
menjalani
operasi
pyelolitotomi
sekitar
15
tahun
yang
lalu.
Pemeriksaan
fisik
didapatkan
masa
dipinggang
kanan
ukuran
10
x
10
cm,
nyeri
ketok
pinggang
kanan
dan
temperature
38,4
oC.
Pada
pemeriksaan
laboratorium
didapatkan
leukosit
23.
000
dan
leukosit
urin
yang
penuh.
Kreatinin
3,2,
dengan
hasil
BGA,
pH
=
7,23,
pCO2
=
40,
HCO3-
=
-
8.
Pemeriksaan
radiologis
didapatkan
foto
polos
abdomen
menunjukkan
gambaran
batu
pyelum
kanan,
gambaran
USG
menunjukkan
hidronefrosis
ginjal
kanan
disertai
kecurigaan
pyenefrosis
dan
di
ginjal
kiri
menunjukkan
gambaran
nefritis.
Diskusi
:
Tindakan
terpilih
untuk
mengatasi
gangguan
ini
adalah
Pada
modul
ini
peserta
didik
diharapkan
menguasai
pengetahuan
tentang
patofisiologi,
gejala,
komplikasi
dan
tanda,
penanganan
komplikasi
serta
penatalaksanaan
diagnosis
dan
terapi
menyeluruh
penderita
batu
ginjal.
Modul
batu
ginjal
ini
mempunyai
link
ke
3
Modul
Keterampilan
(pembedahan
endourologi,
pyelolitotomi,
nefrolitotomi,
percutan
nefrolitotomi,
ESWL).
Penilaian
Kompetensi
Hasil
observasi
sela
proses
alih
pengetahuan
dan
ketrampilan
Hasil
kuesioner
Hasil
penilaian
peragaaan
keterampilan
11
BAB I
Patofisiologi
1. Sistine
dan
asam
urat
merupakan
tipe
batu
yang
sama
prevalensinya
baik
pada
wanita
maupun
pria
S/B
S/B
S/B
BAB I
Patofisiologi
1. Seseorang
menderita
batu
saluran
kemih
umumnya
terjadi
pada
usia
:
a. 10
25
tahun
b. 15
30
tahun
c. 25
40
tahun
d. 35
50
tahun
2. Resiko
terbentuknya
batu
saluran
kemih
kembali
setelah
seseorang
menderita
batu
untuk
pertama
kali,
adalah
:
a. Sekitar
50
%
setelah
5
tahun
b. Sekitar
50
%
setelah
10
tahun
c. Sekitar
75
%
setelah
5
tahun
d. Sekitar
75
%
setelah
10
tahun
12
13
Batu Ginjal
Batasan
Batu
ginjal
dapat
terbentuk
di
kaliks
ginjal,
infundibulum
dan
pelvis
ginjal.
Bahkan
batu
ginjal
ini
dapat
mengisi
pelvis
serta
seluruh
kaliks
ginjal.
Pembentukan
batu
ginjal
ini
dapat
dipengaruhi
banyak
faktor,
yaitu
genetik,
faktor
lingkungan,
infeksi,
gaya
hidup
maupun
pola
makan.
Faktor
minuman
juga
dapat
memicu
pembentukan
batu,
misalnya
kurang
minum
,
banyak
mengkonsumsi
coca
cola.
Makanan
yang
dapat
memperbesar
kemungkinan
terbentuknya
batu
misalnya
terlalu
banyak
mengkonsumsi
protein
hewan,
lemak
kurang
buah,
kurang
serat
dan
banyak
makan
junk
food.
Seringnya
menahan
buang
air
kecil
dan
juga
kegemukan
dapat
meningkatkan
resiko
terkena
batu.
Gejala
dan
Tanda
Gejala
pada
batu
ginjal
dapat
berupa
nyeri,
hematuria
dan
juga
infeksi.
Nyeri
bisa
berupa
nyeri
kolik
atau
bukan
kolik.
Nyeri
kolik
terjadi
karena
aktivitas
peristaltik
otot
polos
sistem
kalises
dan
nyeri
non
kolik
dapat
terjadi
karena
peregangan
kapsul
ginjal
karena
terjadi
hidronefrosis
atau
infeksi
pada
ginjal.
Hematuria
ini
disebabkan
akibat
trauma
pada
mukosa
saluran
kemih
yang
disebabkan
oleh
batu.
Hematuria
bisa
berupa
makroskopik
maupun
mikroskopik
Bila
terjadi
infeksi,
gejala
yang
dijumpai
berupa
demam,
bila
hal
ini
terjadi
dapat
dicurigai
terjadinya
urosepsis
dan
ini
merupakan
kedaruratan
di
bidang
urologi.
Tanda
yang
dapat
terjadi
berupa
nyeri
ketok
pada
daerah
kosto
vertebra,
dapat
diraba
terjadinya
pembesaran
di
daerah
flank
pada
daerah
yang
sakit
akibat
hidronefrosis
dan
terlihat
tanda
tanda
gagal
ginjal.
Diagnosis
Diagnosis
dari
batu
ginjal
dapat
ditegakkan
berdasarkan
anamnese,
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan
penunjang
lainnya.
14
Pada
anamnese,
keluhan
yang
disampaikan
tergantung
pada
posisi
atau
letak
batu,
besar
batu
dan
penyulit
yang
terjadi.
Keluhan
yang
paling
dirasakan
oleh
pasien
adalah
nyeri
pada
pinggang,
hematuria
dan
juga
demam.
Pada
pemeriksaan
laboratorium
dapat
dilakukan
pemeriksaan
sedimen
urin,
fungsi
ginjal
dan
juga
kultur
urin.
Pada
sedimen
urin
menunjukkan
adanya
leukosituria,
hematuria
dan
juga
kristal
kristal
pembentuk
batu.
Pemeriksaan
kultur
urin
mungkin
menunjukkan
adanya
pertumbuhan
kuman
pemecah
urea.
Pemeriksaan
faal
ginjal
bertujuan
untuk
mencari
kemungkinan
terjadinya
penurunan
fungsi
ginjal
dan
untukmempersiapkan
pasien
menjalani
pemeriksaan
IVP
(Intra
Venous
Pyelography).
Perlu
juga
diperiksa
kadar
elektrolit
yang
diduga
sebagai
faktor
penyebab
timbulnya
batu
saluran
kemih
(antara
lain
:
kalsium,
oksalat,
fosfat
maupun
urat
di
dalam
darah
maupun
di
dalam
urine).
Pemeriksaan
yang
lain
dapat
berupa
foto
polos
abdomen,
IVP
(Intra
Venous
Pyelography)
dan
juga
USG.
Pembuatan
foto
polos
abdomen
bertujuan
untuk
melihat
kemungkinan
adanya
batu
radio
-
opak
di
saluran
kemih.
Batu
batu
jenis
kalsium
oksalat
dan
kalsium
fosfat
bersifat
radio
opak
dan
paling
sering
dijumpai
diantara
batu
jenis
lain
sedangkan
batu
asam
urat
bersifat
non
opak
(radiolusen).
Pemeriksaan
IVP
bertujuan
menilai
keadan
anatomi
dan
fungsi
ginjal.
Selain
itu
IVP
dapat
mendeteksi
adanya
batu
semi
opak
ataupun
batu
non
opak
yang
tidak
dapat
terlihat
oleh
foto
polos
perut.
Jika
IVP
belum
dapat
menjelaskan
keadaan
sistem
saluran
kemih
akibat
adanya
fungsi
penurunan
ginjal,
sebagai
gantinya
dapat
dilakukan
Retrograde
Pyelography
(RPG).
USG
dikerjakan
bila
pasien
tidak
mungkin
menjalani
pemeriksaan
IVP,
yaitu
pada
keadaan
keadaan
:
alergi
terhadap
bahan
kontras,
faal
ginjal
yang
menurun
dan
pada
wanita
yangs
edang
hamil.
Pemeriksaan
USG
dapat
menilai
adanya
batu
di
ginjal
(yang
ditunjukkan
dengan
gambaran
echoic
shadow),
hidronefrosis,
pionefrosis
ataupun
pengkerutan
ginjal.
Terapi
/Tindakan
Indikasi
untukmelakukan
tindakan
aktif
ditentukan
berdasarkan
ukuran,
letak
dan
bentuk
dari
batu.
Kemungkinan
batu
dapat
keluar
spontan
juga
merupakan
bahan
pertimbangan.
Batu
berukuran
kurang
dari
5
mm
mempunyai
kemungkinan
keluar
spontan
80
%.
Tindakan
aktif
umumnya
dianjurkan
pada
batu
berukuran
lebih
dari
5
mm
terutama
bila
disertai
:
a. nyeri
yang
persisten
meski
dengan
pemberian
medikasi
yang
adekuat
b. obstruksi
yang
persisten
dengan
resiko
kerusakan
ginjal
15
Operasi terbuka
Kemolisis oral
2. Analisis
keluaran
a. Stone
free
rate
Secara
umum,
yang
dimaksud
dengan
stone
free
rate
adalah
persentase
pasien
tanpa
sisa
batu
paska
prosedur.
Khusus
untuk
ESWL,
pengertian
stone
free
rate
ini
bisa
berupa
tidak
adanya
sisa
batu
ataupun
adanya
sisa/fragmen
batu
yang
tidak
signifikan
secara
klinis
(clinically
insignificant
fragment
=
CIRF).
Belum
ada
keseragaman
dalam
menentukan
CIRF
sampai
saat
ini,
secara
umum
literatur
menggunakan
pada
sisa/fragmen
berukuran
kurang
2
5
mm,
tidak
ada
infeksi
saluran
kemih
dan
tidak
ada
keluhan
pada
psien
yang
dievaluasi
tiga
bulan
setelah
penembakan.
16
17
b. Jumlah
prosedur
Jumlah
prosedur
harus
dipisahkan
antara
prosedur
sekunder
dan
prosedur
tambahan.
Prosedur
sekunder
merupakan
prosedur
yang
merupakan
bagian
dari
prosedur
untuk
pengangkatan
batu,
sedangkan
prosedur
tambahan
adalah
prosedur
untuk
mengatasi
komplikasi
dan
prosedur
insidental
untuk
pengangkatan
batu
(seperti
insersi
atau
pengangkatan
stent).
Sayangnya,
pada
sebagian
besar
penelitian
tidak
disebutkan/dibedakan
antara
prosedur
sekunder
dan
prosedur
tambahan
ini.
Prosedur
sekunder
pada
ESWL
untuk
batu
ukuran
<
20
mm
terjadi
pada
7,4
%
kasus
sedangkan
pada
PNL
pada
6,9
%
kasus.
Prosedur
tambahan
pada
ESWL
dijumpai
11,3
%
kasus
dibandingkan
1,2
%
pada
PNL.
Jenis
batu
berkaitan
dengan
jumlah
ESWL
yang
diperlukan.
Pada
batu
kalsium
oksalat
monohidrat,
perlunya
penembakan
tambahan
terjadi
pada
10,
3
%
kasus,
pada
batu
struvit
6,4
%
sedangkan
batu
kalsium
oksalat
dihidrat
2,8
%.
Banyaknya
ESWL
sebaiknya
tidak
lebih
dari
3
5
kali
(tergantung
dari
jenis
lithotriptornya).
Jika
perlu
dilakukan
pengulangan,
tidak
ada
standar
baku
lamanya
interval
antar
penembakan.
Namun
biasanya
hal
ini
disesuaikan
dengan
jenis
lithotriptornya,
pada
mesin
ESWL
elektrohidrolik,
interval
waktu
minimal
4
5
hari
sedangkan
pada
piezoelektrik
bisa
lebih
singkat
(2
hari).
Maksimal
gelombang
kejut
yang
diberikan
setiap
penembakan
juga
disesuaikan
dengan
jenis
mesin
ESWL,
pada
jenis
elektrohidrolik
sebaiknya
tidak
melebihi
3500,
sedangkan
pada
piezoelektrik
sebaiknya
tidak
melebihi
5000.
3. Pedoman
pilihan
terapi
Jika
alat,
prasarana
dan
sarana
lengkap
dan
kemampuan
operator
memungkinkan
untuk
melaksanakan
seluruh
modalitas
terapi
yang
ada,
maka
berikut
adalah
prosedur
yang
dianjurkan
:
1. ESWL
monoterapi
2. PNL
untuk
kaliks
inferior
ukuran
10
20
mm
18
3. Operasi
terbuka
4. Kemolisis
oral
untuk
batu
asam
urat
murni
A.2.
Ukuran
Batu
>
20
mm
1. Latar
belakang
Beberapa
modalitas
terapi
dapat
digunakan
untuk
penatalaksanaan
batu
ginjal
>
20
mm,
yaitu
:
-
PNL
Operasi terbuka
Kemolisis oral
2. Analisis
keluaran
a.
Stone
free
rate
Secara
keseluruhan,
stone
free
rate
untuk
batu
20
30
mm
dengan
ESWL
lebih
rendah
dibandingkan
pada
batu
<
20
mm
(rentang
33
%
-
65
%).
Stone
free
rate
PNL
pada
batu
berukuran
20
30
mm
mencapai
90
%.
Beberapa
faktor
menjadi
pertimbangan
dalam
pemilihan
ESWL
untuk
batu
berukuran
>
20
mm
:
-
Lokasi
batu
Batu
yang
terletak
di
kaliks
inferior
mempunyai
stone
free
rate
yang
rendah
dibanding
batu
yang
terdapat
di
lokasi
lain,
stone
free
rate
paling
tinggi
dijumpai
pada
batu
di
pyelum.
PNL
merupakan
pilihan
pada
batu
di
kaliks
inferior
yang
berukuran
>
15
mm.
19
b. Jumlah
prosedur
Prosedur
sekunder
pada
ESWL
untuk
batu
ukuran
>
20
mm
terjadi
pada
33,1
%
kasus
sedangkan
pada
PNL
26,1
%
kasus.
Prosedur
tambahan
pada
ESWL
dijumpai
pada
28,7
%
kasus
dibandingkan
4,3
%
pada
PNL.
Pada
batu
kaliks
inferior
berukuran
>
10
mm,
angka
terapi
ulang
dan
20
prosedur
tambahan
pada
ESWL
(16
%
dan
14
%)
lebih
tinggi
dibanding
PNL
(9
%
dan
2
%).
3. Pedoman
pilihan
terapi
Jika
alat,
prasarana
dan
sarana
lengkap
dan
kemampuan
operator
memungkinkan
untuk
melaksanakan
seluruh
modalitas
terapi
yang
ada,
maka
berikut
adalah
prosedur
yang
dianjurkan
:
1. PNL
atau
ESWL
(dengan
atau
tanpa
pemasangan
DJ
Stent)
2. Operasi
terbuka
Komplikasi
Pada
batu
ginjal
nonstaghorn,
komplikasi
berupa
kehilangan
darah,
demam
dan
terapi
nyeri
yang
diperlukan
selama
dan
sesudah
prosedur
lebih
sedikit
dan
berbeda
secara
bermakna
pada
ESWL.
Demikian
pula
ESWL
dapat
dilakukan
dengan
rawat
jalan
atau
perawatan
yang
lebih
singkat
dibandingkan
PNL.
B.
Pedoman
penatalaksanaan
batu
cetak
ginjal/staghorn
1. Latar
Belakang
Belum
ada
kesepakatan
mengenai
defenisi
batu
cetak/staghorn
ginjal.
Defenisi
yang
sering
dipakai
adalah
batu
ginjal
yang
menempati
lebih
dari
satu
collecting
system,
yaitu
batu
batu
pyelum
yang
berekstensi
ke
satu
atau
lebih
kaliks.
Istilah
batu
cerak/staghorn
parsial
digunakan
jika
batu
menempati
sebagian
cabang
collecting
system,
sedangkan
istilah
batu
cetak/staghorn
komplit
digunakan
batu
jika
menempati
seluruh
collecting
system.
Komposisi
tersering
batu
cetak
ginjal
dalah
kombinasi
magnesium
amonium
fosfat
(struvit)
dan/atau
kalsium
karbonat
apatit.
Komposisi
lain
dapat
berupa
sistin
dan
asam
urat,
sedangkan
kalsium
oksalat
dan
batu
fosfat
jarang
dijumpai.
Komposisi
struvite/kalsium
karbonat
apatit
erat
berkaitan
dengan
infeksi
traktus
urinarius
yang
disebabkan
oleh
organisme
spesifik
yang
memproduksi
enzim
urease
yang
menghasilkan
amonia
dan
hidroksida
dari
urea.
Akibatnya,
lingkungan
urin
menjadi
alkali
dan
mengandung
konsentrasi
amonia
yang
tinggi,
menyebabkan
kristalisasi
magnesium
amonium
fosfat
(struvite)
sehingga
menyebabkan
batu
besar
21
dan
bercabang.
Faktor
faktor
lain
turut
berperan,
termasuk
pembentukan
biofilm,
eksopolisakarida
dan
penggabungan
mukoprotein
dan
senyawa
organik
menjadi
matriks.
Kultur
dari
fragmen
di
permukaan
dan
didalam
batu
menunjukkan
bakteri
tinggal
di
dalam
batu,
sesuatu
yang
tidak
dijumpai
pada
jenis
batu
lainnya.
Terjadi
infeksi
saluran
kemih
berulang
oleh
organisme
pemecah
urea
selama
batu
masih
ada.
Batu
cetak
ginjal
yang
tidak
ditangani
akan
mengakibatkan
kerusakan
ginjal
dan
atau
sepsis
yang
dapat
mengancam
jiwa.
Karena
itu,
pengangkatan
seluruh
batu
merupakan
tujuan
utama
untuk
mengeradikasi
organisme
penyebab,
mengatasi
obstruksi,
mencegah
pertumbuhan
batu
lebih
lanjut
dan
infeksi
yang
menyertainya
serta
preservasi
fungsi
ginjal.
Meski
beberapa
penelitian
menunjukkan
kemungkinan
untuk
mensterilkan
fragmen
struvite
sisa
dan
membatasi
aktivitas
pertumbuhan
batu,
sebagian
besar
penelitian
mengindikasikan
fragmen
batu
sisa
dapat
tumbuh
dan
menjadi
sumber
infeksi
traktus
urinarius
yang
berulang.
Modalitas
terapi
untuk
batu
cetak
ginjal
adalah
:
1. PNL
monoterapi
2. Kombinasi
PNL
dan
ESWL
3. ESWL
monoterapi
4. Operasi
terbuka
5. Kombinasi
operasi
terbuka
dan
ESWL
2. Analisis
Keluaran
Jika
tidak
diterapi,
batu
cetak
ginjal
terbukti
akan
menyebabkan
kerusakan
ginjal.
Pasien
dapat
mengalami
infeksi
saluran
kemih
berulang,
sepsis
dan
nyeri.
Selain
itu,
batu
akan
mengakibatkan
kematian.
Terapi
nonbedah,
seperti
terapi
antibiotik,
inhibitor
urease
dan
terapi
suportif
lainnya
bukan
merupakan
alternatif
terapi
kecuali
pada
pasien
yang
tidak
dapat
menjalani
prosedur
tindakan
pengangkatan
batu.
Pada
analisis
retrospektif
200
pasien
dengan
batu
cetak
ginjal
yang
menjalani
terapi
konservatif,
28
%
mengalami
gangguan
fungsi
ginjal.
a. Stone
free
rate
Secara
keseluruhan,
stone
free
rate
setelah
terapi
paling
tinggi
pada
PNL
(78%)
dan
paling
rendah
pada
ESWL
(54
%).
Pada
terapi
kombinasi
(PNL
dan
ESWL),
stone
free
rate
lebih
rendah
jika
ESWL
dilakukan
terakhir
(66
%)
22
dan
dapat
menajdi
88
%
jika
dilakukan
PNL
ESWL
PNL.
Pada
operasi
terbuka,
stone
free
rate
berkisar
antara
71
82
%.
Angka
ini
lebih
rendah
jika
batunya
lebih
kompleks.
Stone
free
rate
juga
dihubungkan
dengan
klassifikasi
batu
cetak
(parsial
atau
komplit).
Pada
batu
cetak
parsial,
angka
stone
free
rate
lebih
tinggi
dibandingkan
batu
cetak
komplit.
Pada
PNL,
stone
free
rate
batu
cetak
parsial
74
%
dibandingkan
65
%
batu
cetak
komplit.
b. Jumlah
prosedur
Pada
pedoman
American
Urological
Association
(AUA)
tahun
2004,
PNL
membutuhkan
total
rata
rata
1,9
prosedur,
ESWL
3,6
prosedur
dan
terapi
kombinasi
membutuhkan
3,3
prosedur
untuk
penatalaksanaan
batu
cetak
ginjal.
Operasi
terbuka
membutuhkan
total
1,4
prosedur.
Jumlah
prosedur
juga
berkaitan
dengan
klassifikasi
batu
cetak
(parsial
atau
total).
Pasien
batu
cetak
parsial
menjalani
2,1
prosedur
dibandingkan
3,7
prosedur
pada
pasien
cetak
batu
komplit.
c. Komplikasi
Komplikasi
akut
meliputi
transfusi,
kematian
dan
komplikasi
keseluruhan.
Dari
meta
analisis,
kebutuhan
transfusi
pada
PNL
dan
kombinasi
terapi
sama
(<
20
%).
Kebutuhan
transfusi
pada
ESWL
sangat
rendah
kecuali
pada
hematom
perirenal
yang
besar.
Kebutuhan
transfusi
pada
operasi
terbuka
mencapai
25
50
%.
Mortalitas
akibat
tindakan
jarang,
namun
dapat
dijumpai,
khususnya
pada
pasien
dengan
komorbiditas
atau
mengalami
sepsis
dan
komplikasi
akut
lainnya.
Dari
data
yang
ada
di
pusat
Urology
di
Indonesia,
resiko
kematian
pada
operasi
terbuka
kurang
dari
1
%.
Pedoman
AUA
menyebutkan
adanya
kesulitan
dalam
menarik
kesimpulan
dari
laboran
komplikasi
akibat
ketiadaan
keseragaman
laporan.
Misalnya,
pasien
dengan
demam
dikelompokkan
sebagai
sepsis
oleh
sejumlah
peneliti
lainnya.
23
mengenai
penggunaan
berbagai
modalitas
24
25