Anda di halaman 1dari 9

1

KONSEPSI RESTORASI EKOLOGI KAWASAN


PENYANGGA SEMPADAN SUNGAI DI DKI JAKARTA*)
Oleh: Tarsoen Waryono **)

Abstrak
Urgensi pengelolaan kawasan konservasi bantaran sungai di DKI Jakarta ditinjau dari segi
penataan ruang wilayah perkotaan, nampaknya tidak mungkin ditunda bahkan di kesampingkan;
karena berbagai alasan yang kurang mendasar bahkan kurangnya pengetahuan atas peranan
fungsi jasa vegetasi riparian. Bagi para perencana tata ruang bukan saatnya lagi membahas perlu
tidaknya tindakan konservasi, akan tetapi bagaimana mengimplementasikan tindakan pengelolaan
dalam memulihkan peranan fungsi ekosistem bantaran sungai, agar fungsi lindungnya berperan
optimal secara berkelanjutan.

Pendahuluan
Secara fisik daratan DKI Jakarta 65.500 ha, dilintasi oleh 13 aliran sungai ( 295,0
kilometer), dengan luas bantaran sungai efektif 1.384,21 ha, dan merupakan bagian hilir dari
beberapa DAS di bagian hulunya ( 780.000 ha).
Fenomena genangan dan atau banjir di wilayah DKI Jakarta, semakin diperburuk
dengan meningkatnya luas bangunan beton dan aspal 18.798,5 ha: hingga menyebabkan
tingginya laju limpasan air hujan (84,12%), dan besaran laju erosi pada wilayah kikisan 82,7
ton/ha/tahun. Akumulai hasil sedimentasi, serta meningkatnya peman-faatan air tanah
dangkal, dan penerapan teknologi pancang bangunan tinggi, secara alamiah menyebabkan
terganggunya sirkulasi dan sistem tata air tanah (hidrologis), hingga menyusupnya (intrusi) air
laut yang kini telah mencapai 11,3% dari luas daratan DKI Jakarta.
Kesadaran Pemerintah DKI Jakarta, dalam upaya pengendalian terhadap lingkungan
fisik kritis perkotaan dan kecenderungannya, telah dilakukan sejak tahun 1981. Dibentuknya
susunan organisasi Dinas-dinas teknis pengelola kawasan hijau, pada dasarnya merupakan
langkah awal yang ditempuhnya; seperti tertuang dalam Perda No. 8 tahun 1981. Dalam
Perda tersebut, salah satu embanan tugas pokoknya adalah melaksanakan pemangkuan
hutan yang ada, dan membangun serta mengelola kawasan hijau penyangga lingkungan
hidup wilayah perkotaan sebagai penopang kenyamanan lingkungan hidup.
Adapun alasan yang cukup mendasar, atas keyakinan bahwa peranan fungsi dan
jasa bio-eko-hidrologis komunitas pepohonan, terbukti dan dinilai mampu melerai serta
mengendalikan berbagai bentuk cemaran.
*). Seminar Nasional Evaluasi Pasca dan Rancang Tindak Penanggulangan Banjir Wilayah Perkotaan.
Kedutaan Belanda (Kuningan Jakarta), 12 Juni 2002, Kerjasama Dept. Kimpraswil, Masyarakat Air
Indonesia, dan Kedutaan Belanda.
**). Staf Pengajar Jurusan Geografi dan Program Pasca sarjana Biologi Universitas Indonesia (Depok)

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

2
Selain berfungsi sebagai paru-paru kota dan kenyamanan lingkungan, pereda unsurunsur iklim, penghalau angin dan pelerai silau cahaya, pengatur tata air tanah dan pengendali
laju erosi, habitat satwa liar, pelestarian plasma nutfah dan sumber genetik, wahana dunia
ilmu pengetahuan alam, penunjang keindahan kota, juga sebagai pusat kesegaran jasmani,
rekreasi alam dan sumber produksi terbatas.
Kondisi eksis Ruang Terbuka Hijau (RTH) DKI Jakarta tahun 2001, tercatat 7.426, 83
ha, sedangkan target RTH berdasarkan RTRW-2010 (Perda DKI No. 6 Tahun 1999)
ditetapkan 9.544,79 ha; atas dasar pertimbangan prediksi jumlah penduduk sebesar 12,5 juta
jiwa pada tahun 2010. Dengan demikian, permasalahan kekurangan areal, menjadi lebih
dominan sebagai salah satu di antara faktor-faktor penyebab belum berhasilnya upaya
pengendalian terhadap lingkungan fisik kritis perkotaan secara kongkrit.
Terbitnya Kepres 32 Tahun 1990, tentang pengelolaan kawasan lindung, bagi Pemda
DKI Jakarta nampaknya merupakan jalan keluar untuk memecahkan fenomena
permasalahan kebutuan RTH, dimana bantaran sungai merupakan salah satu di antaranya
yang ditetapkan sebagai kawasan lindung sempadan sungai.
Mencermati akan kondisi lingkungan fisik kritis perkotaan, serta semakin terdegradasinya kawasan sempadan sungai, untuk itu upaya pemulihan peranan fungsi ekosistem
restorasi ekologi kawasan sempadan sungai dinilai strategis, sebagai salah satu bentuk
tindakan konservasi biologis daerah dilindungi. Hal ini mengingat bahwa restorasi ekologi
pada dasarnya merupakan bentuk dari manajemen konservasi, sebagai upaya untuk
mengembalian habitat tertentu atau ekosistem, ke suatu kondisi semirip mungkin dengan
keadaan sebelum terjadi degradasi.

Kondisi Bantaran Sungai di Wilayah DKI Jakarta


Bantaran sungai merupakan kawasan (buffer) penyangga daerah pengelolaan air;
berfungsi sebagai tanggul sungai, berada pada kanan dan kiri badan sungai. Kawasan ini
dicirikan oleh batuan dasar yang keras yang secara alami air tidak mampu lagi untuk
menerobosnya, hingga kadang kala bentuknya berkelok-kelok. Penutupan vegetasinya
spesifik (riparian), membentuk satuan ekologik terkecil, dan dipengaruhi oleh ketinggian
tempat dan jenis batuannya; bantaran sungai merupakan jalur koridor hijau alur badan sungai
yang memberikan jasa ekologi sebagai penyaring air limpasan, penahan nutrien dan sedimen,
juga merupakan habitat bagi kehidupan satwa liar seperti mamalia terbang, binatang melata,
reptil, burung, dan beberapa jenis satwa lainnya.
Kerusakan ekositem bantaran sungai menyebabkan peranan fungsinya menjadi
terganggu. Pada hal seperti halnya hutan, komunitas vegetasi riparian secara teoritis
berfungsi sebagai pusat terjadinya keanekaragaman genetik, dan tempat berlangsungnya
evolusi secara alamiah.
Berdasarkan hasil pemantapan data kawasan lindung yang dilakukan tahun 1997
oleh Dinas Kehutanan; kondisi bantaran sungai di DKI Jakarta 57,23% (792,18 ha) dikuasai
oleh penduduk untuk kepentingan pemukiman, dan sisanya 42,77% (592,03 ha) dalam kondisi
yang mulai terganggu.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

3
Terdesak dan hilangnya kawasan hijau bantaran sungai menyebabkan peranan
fungsinya terganggu baik untuk perlindungan daerah pengaliran sungai maupun sebagai
habitat dan sangtuari satwa liar. Hasil pemantauan kehidupan satwa liar yang dilakukan oleh
Tim Pengelola Hutan Kota Universitas Indonesia (1998) di bantaran sungai Ciliwung
(Kampung Srengseng - Cijantung), pada tahun 1986 masih dijumpai kera ekor panjang 4-5
group (32-50 ekor), sedangkan pada tahun 1997 tidak jenis tersebut tidak dijumpai lagi;
demikian halnya dengan beberapa Jenis terbang (kalong, kelelawar dan sejenisnya),
termasuk binatang melata (ular, biawak dan kadal). Di Bantaran sungai Pesanggrahan pada
tahun 1986 masih dijumpai beberapa jenis burung (sirgunting, kuntul, dan gagak) yang
bertengger di rumpun bambu; serta masih ditemukan puluhan ekor buaya, namun sejak tahun
1993, nampaknya hampir tidak terdengar lagi walaupun sebenarnya masih sering dijumpai
oleh masyarakat.

Kedudukan Bantaran Sungai Dalam RTH DKI Jakarta


Mencermati realisasi hasil pembangunan kawasan hijau selama jangka waktu 30
tahun (1965-1995) tercatat 29,7% dari rencana RTH DKI Jakarta. Rendahnya hasil
pembangunan kawasan hijau ini, disebabkan keterbatasan pemerintah daerah dalam aset
kepemilikan lahan, karena semakin meningkatnya harga tanah.
Kepres 32 tahun 1990, tentang pengelolaan kawasan lindung, nampaknya memacu
pemerintah daerah DKI Jakarta untuk meningkatkan penanganan pembangunan kawasan
hijau, karena terbukanya peluang bantaran sungai (sempadan sungai) dan sempadan pantai
sebagai kawasan konservasi untuk memenuhi kebutuhan RTH.
Bantaran sungai dan sepandan pantai, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan
ekosistem dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), berfungsi sebagai penyangga
pengaliran air. Kawasan sepandan pantai merupakan ekoton antara ekosistem laut dan
daratan yang dicirikan oleh penutupan vegetasi mangrove; berbeda halnya dengan kawasan
sepandan sungai, di samping merupakan ekoton antara ekosistem daratan dengan perairan,
sekaligus juga merupakan ekoton antara ekosistem riparian dengan vegetasi binaan dalam
wilayah perkotaan (urban), vegetasi budidaya wilayah pedesaan (rural), dan vegetasi alami
(natural).
Penelitian tentang karakteristik, dinamika dan peranan fungsi ekologis daerah riparian
belum banyak dilakukan di Indonesia; namun berbagai penelitian mengenai pentingnya
ekosistem riparian telah banyak dipublikasikan. Bukti-bukti penelitian tersebut menunjukan
bahwa daerah riparian sangat bervariasi dalam hal ukuran dan jenis vegetasi, karena
kombinasi yang mungkin terjadi antara sumberdaya air dan karakteristik fisik wilayahnya.
Daerah riparian umumnya mempunyai ciri spesifik dalam hal struktur vegetasi, dan sifat-sifat
tanah yang dapat dikembangkan sebagai penciri dalam penetapan kawasan lindung
sempadan sungai di wilayah perkotaan.
Pengembangan wilayah perkotaan umumnya bertujuan untuk meningkatkan mutu
lingkungan hidup dan kenyamanan, keindahan dan kebersihan, serta menciptakan keserasian
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

4
antara lingkungan alam dengan lingkungan binaan yang secara langsung maupun tidak
langsung bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas.
Penataan ruang untuk tujuan keseimbangan dan keserasian wilayah perkotaan,
secara jelas (a) menempatkan lingkungan kawasan hijau dalam struktur ruang wilayah
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 24 tahun 1992; (b) memberikan pandangan
bahwa kawasan hijau perkotaan merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur bentang alam
secara regional, dapat dirancang hingga memberikan peranan fungsi dan manfaat sebagai
penyangga dan perlindungan lingkungan hidup perkotaan, serta pelestarian nilai-nilai
keragaman hayati secara berkelanjutan; seperti yang ditekankan dalam Kepres No. 32 tahun
1990.
Penyerasian sistem penataan ruang perkotaan secara terpadu, untuk tujuan
pemulihan peranan fungsi ekosistem bantaran sungai perlu dikembangkan dengan
pertimbangan berbagai kepentingan pengembangan wilayah, hal ini mengingat bahwa
bantaran sungai dipandang sebagai kawasan lindung penyangga pengaliran air yang harus
diolahdayakan (ditata), sehingga mampu berfungsi sebagai zona penyangga yang
mendukung keberadaan keragaman hayati, dan atau sebagai koridor yang mampu
menghubungkan pusat-pusat pemencaran berbagai kehidupan satwa liar.

Konsepsi Dasar Pemulihan Ekosistem Bantaran Sungai


Pengembangan Wilayah Kota
Dampak penting pengembangan wilayah terhadap kondisi fisik bantaran sungai
menyebabkan perubahan-perubahan terhadap habitat dan fenomena bio-hidro-ekologisnya.
Aktivitas manusia telah banyak menciptakan penghalang buatan (artificial barrier), dalam
kasus ini cenderung menghilangkan penghalang alamiah (natural barrier) bagi pemencaran
organisme. Terciptanya penghalang buatan menyebabkan terbentuknya populasi-populasi
yang terisolasi, perubahan dan degradasi habitat, hingga tumbulnya pulau-pulau habitat
dengan beberapa jenis yang masih mampu beradaptasi, bahkan tidak sesuai untuk dihuni
oleh berbagai biota kehidupan seperti sebelumnya.
Pemanfaatan setiap jengkal tanah untuk bangunan aspal, betonan, plesteran, dan
pancang bangunan menyebabkan terganggunya sistem tata air tanah. Meningkatnya aktivitas
perkotaan, memacu terhadap tumbuh berkembangnya bangunan gedung berdiding kaca,
penggunaan sistem pendingin ruangan, dan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, yang
menyebabkan fenomena lingkungan fisik kritis perkotaan. Upaya dan pemberdayaan melalui
penanaman pepohonan dan rerumputan, telah banyak dilakukan, akan tetapi hasil-hasil yang
dicapai belum dapat menjamin atas terciptanya kenyamanan lingkungan perkotaan,
keberadaan tersebut nampaknya kurang seimbangnya antara sumber-sumber penyebab
lingkungan fisik kritis dengan upaya pengendaliannya.
Kota-kota di Indonesia, proses pertumbuhannya berawal dari pemukiman kecil
tumbuh dan berkembang menjadi pedesaan, kotadesasi (peralihan kota dan desa), dan
akhirnya menjadi kota. Ditinjau dari letak strategisnya berada di wilayah pantai (pesisir), dan
pedalaman baik tepian sungai dan atau dataran tinggi. Tumbuh berkembangnya wilayah
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

5
perkotaan, cenderung mendesak sebidang penutupan vegetasi baik dalam bentuk
pesawahan, pekarangan maupun kebun yang akhirnya dikorbankan untuk dibangun dan
dirombak guna memenuhi kepentingan bangunan fasilitas perkotaan. Ket-duhan-keteduhan
yang semula dari kerindangan naungan pepohonan, tiba-tiba dibuka sehingga permukaan
tanah langsung dipengaruhi oleh sinar matahari, butir-butir air hujan dan kekuatan-kekuatan
angin. Bentuk medan dimanipulasi, arah-arah drainase alam yang berkelak-kelok diluruskan,
tanah dirombak dengan cara pemadatan, bahkan diganti dengan tanah urugan yang berasal
dari luar lokasi. Keberadaan ini menyebabkan terganggunya arah-arah sirkulasi air tanah
dangkal, dan pola drainase baik di dalam tanah itu sendiri maupun di atas permukaan.
Hambatan lebih jauh, bahwa perubahan penutupan vegetasi untuk kepentingan
pengembangan wilayah perkotaan, menyebabkan terganggunya habitat dan ekosistem
kehidupan satwa liar. Walaupun kawasan hijau baik dalam bentuk taman dan atau hutan kota
merupakan kebutuhan esensial bagi masyarakat dan penopang wajah perkotaan, akan tetapi
sekala prioritasnya selalu dika-lahkan; Padahal sejak awal sejarah kebudayaan umat manusia
yang tercatat, bahwa pepohonan sesungguhnya telah senantiasa merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan lingkungan hidupnya, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Aspek Pengelolaan Bantaran Sungai
Program pembangunan kawasan hijau di lingkungan bertolak dari dua pengertian
kunci, yaitu pohon (vegetasi berkayu) dan penduduk kota. Strategi konsepsinya selalu
dihubungkan dengan upaya pengendalian lingkungan fisik kritis; kehidupan flora dan
faunanya, mewujudkan kenyamanan lingkungan, sebagai penopang pusat-pusat kegiatan
kota. Aplikasi programnya, lebih diarahkan untuk memberikan peranan fungsi jasa biologis
pepohonan, yang erat kaitannya dengan pelindungan dan penyangga sepanjang jalan (road
site), kanan dan kiri bantaran sungai, di sekitar ekosistem (situ-situ, dan pantai), serta di
beberapa lokasi yang memerlukan dukungan lingkungan hijau, seperti tempat-tempat rekreasi
dan wisata.
Penanganan dan pengendalian degradasi lingkungan perkotaan, telah banyak
dilakukan dan kini populer melalui pendekatan teori ambang batas dalam perencanaan kota,
wilayah dan lingkungannya. Dalam pendekatannya lebih meningkatkan rasio-nalitas strategi
pembangunan alternatif dalam perencanaan kota atas dasar evaluasi unsur-unsur perkotaan
baik fisik wilayah, fasilitas kota, maupun pendukung lingkungan yang erat kaitannya dengan
tanah dan ruang. Tanah memberikan pengertian kecenderungan yang erat dengan kehidupan
(biologis) dan air, sedangkan ruang bagi peren-cana memberikan arti untuk pengalokasian
bentuk-bentuk bangunan yang dipaduserasikan sebagai penyangga kehidupan lingkungan
hidup perkotaan.
Penilaian kekurang seimbangan dari salah satu dan atau ketiga unsur di atas,
dianalisis untuk kemudian diaplikasikan sebagai dasar pemberdayaan pembangunannya,
untuk tujuan terciptanya kenyaman lingkungan. Konsepsi ambang batas yang dipraktekan
pada hakekatnya menekankan gejala perubahan sebagai penyebab yang ditimbulkannya, dan
disebut sebagai perencanaan lingkungan rasional berdasar konsep IUCN tahun 1982 yang
pada hakekatnya merupakan satu proses bagaimana konservasi sumberdaya regional dan
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

6
nasional atau rencana pembangunan dibuat dalam satu cara secara sadar guna meminimalkan efek negatif jangka panjang pada tingkat kualitas lingkungannya.
Dalam prosesnya, terlihat ada dua komponen penting yaitu (a) satu rencana
institusional yang dirancang bersama-sama dengan masyarakat, lembaga-lembaga dan
pembiayaan lebih diarahkan terhadap masalah konservasi yang spesifik; (b) rencana fisik
yang dirancang untuk menunjukkan hubungan fisik yang tepat antara aktivitas lingkungan dan
pembangunan untuk mencapai tujuan melalui tindakan konservasi.
Tentunya bagi para perencana fisik menyadari atas masalah-masalah degradasi
lingkungan akibat pengembangan wilayah perkotaan, karena penyelewengan terbesar yang
terjadi di seluruh dunia, adanya pemanfaatan yang berlebihan bahkan menjamah kawasankawasan lindung wilayah perkotaan seperti vegetasi riparian dan vegetasi penyangga situsitu, serta vegetasi pantai yang secara alami merupakan penyeimbangan lingkungan
perkotaan.
Hilangnya kawasan penyangga strategis bantaran sungai dan sempadan pantai, di
kota-kota pantai, menjadi salah satu faktor penyebab terganggunya tata air tanah dan
terdesaknya habitat beberapa satwa burung di wilayah perkotaan, serta meningkatnya
pencemaran udara dari pusat-pusat industri yang dekat dengan pusat kota. Untuk itu, bahwa
pengelolaan ideal kawasan sempadan sungai seyogianya dipertahankan selebar 1,5 kali
badan sungai yang berada pada kanan dan kiri sungai, sedangkan penyangga pantai minimal
dipertahankan 100 meter dari tepian pantai kearah daratan.
Restorasi Ekologi Bantaran Sungai
Mencermati atas uraian di atas, untuk itu penanganan bantaran sungai di DKI Jakarta,
pada hakekatnya telah didukung oleh Kepres 32 tahun 1990 dan Undang-undang No. 22
tahun 1998, tentang Penataan Ruang Wilayah. Pengalokasian setiap bidang tanah dalam
penataan ruang wilayah perkotaan didasarkan atas penetapan Perda No. 6 DKI Jakarta tahun
1999, tentang RTRW tahun 2010. Implementasi pena-taan ruang ini pada hakekatnya
merupakan langkah awal penanganan, sebagai pemacu program pembenahan dan perbaikan
lingkungan hidup perkotaan.
Pembangunan kawasan hijau di DKI Jakarta, secara tegas ditekankan sebagai upaya
dasar implementasi pemulihan suatu kawasan berdasarkan peranan fungsinya, seperti
tertuang Renstrada 2002; dimana bantaran sungai di seluruh wilayah DKI Jakarta, merupakan
sasaran utamanya. Dengan demikian jelas bahwa pengembalian peranan fungsi atas
keberadaan bantaran sungai seperti kondisi sediakala, pelaksanaan programnya telah
dirancang sebelumnya.
Konsepsi pendekatan pemulihan peranan fungsi ekosistem bantaran sungai,
setidaknya ada empat pilihan pendekatan berdasarkan penerapan teknik silvikultur atas dasar
pertimbangan kondisi fisik wilayahnya. Pendekatan tersebut meliputi: (a) tanpa tindakan, dan
pemulihannya diserahkan kepada alam, atau melalui proses suksesi hingga dapat pulih
secara alamiah, (b) enrichment planting (perkayaan jenis asli yang ada), (c) rehabilitasi dan

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

7
reklamasi habitat, dengan penambahan top soil dan inokulasi biota tanah  penanaman jenis
pioner legum  erichment planting.
Mencermati atas uraian di atas, langkah awal yang harus ditempuh dalam merumuskan implementasi pengelolaan kawasan konservasi bantaran sungai, menetapkan unitunit perencanaan yang rasional dan mampu mengakomodasikan pemulihan peranan fungsi
jasa ekosistemnya melalui: (a) pemberdayaan habitat vegetasi riparian, (b) kajian dasar atas
peranan fungsi jasa biologis, hidrologis dan ekologisnya; (c) serta mengkaji secara mendalam
terhadap nilai kualitas kawasan konservasi, termasuk kajian potensi baku habitat dan
kesesuaian jenisnya; sebagai dasar acuan dalam penyusunan rancangan model restorasi
ekologi bantaran sungai.

Uraian Penutup
Nampaknya sangat sederhana tidak terlalu rumit untuk merancang, menyusun model,
dan atau menyusun anggaran pemulihan kawasan bantaran sungai; Namun demikian tidaklah
sederhana dalam implementasinya apabila okupasi penduduk yang tinggal di bantaran
sungai tidak diperhitungkan sebagai fenomena pemabatas yang sangat rumit dipecahkan. Hal
ini mengingat bahwa jumlah penduduk yang tinggal di kawasan konservasi bantaran sungai
DKI Jakarta tercatat >71.000 jiwa, dan > 14.000 unit bangunan ilegal di bantaran sungai.
Untuk itu prioritas pemulihan bantaran sungai harus diawali dengan: (a) pengukuhan
kawasan sempadan sungai, (b) resetlement penduduk, (c) inventarisasi pula-pulau habitat
guna menetapkan tindakan yang hendak dilakukan, dan (d) pentingnya keterlibatan stake
holder, baik masyarakat maupun pihak yang berkepentingan lainnya.
Atas dasar itulah konsepsi pemulihan peranan fungsi bantaran sungai tampaknya
perlu mengacu terhadap hasil konvensi dan ratifikasi Biodiversitas seperti tertuang dalam
Undang-undang No. 5 tahun 1990; yang pada prisipsinya bahwa reboisasi dan penghijauan
merupakan bagian dari kegiatan konservasi.
Penilaian hasil-hasil pembangunan kawasan hijau bukan saja dinilai secara fisik, akan
tetapi peranan dan kepedulian masyarakat memiliki proporsi yang tidak kalah pentingnya. Hal
ini mengingat bahwa tanpa keiikutsertaan masyarakat program pembangunan kawasan hijau
di mana dan kapan saja akan membuahkan hasil yang kurang memenuhi harapan baik bagi
pemerintah maupun masyarakat secara luas.

Daftar Pustaka
Brandy., N.C and Warner., R.E, 1994. Managing Farmland for Wildlife. T.A. Bookhout (Ed.). Research
and Management Technique for Wildlife and Habitats. The Wildlife Society. Bethesda,
Maryland.
Dinas Kehutanan DKI Jakarta, 1997. Pemantapan Data Kawasan Lindung Wilayah DKI Jakarta. Dinas
Kehutanan DKI Jakarta. 134 hal.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

8
Forman and Gordon; 1986. Landscape Ecology. John Wiley & Son. New York-Chichester-BrisbaneToronto-Singapore. pp 114-320.
Hough., J. W,. 1993. Urban Ecosystem. Chapman & Hall; London. Wein-heim.New York.Tokyo.
Jordan,. W.R, et all, (Eds.), 1992. Restoration Ecology; A synthetic approach to ecological
research. Cambridge University Press. (pp 1-29).
Jordan,. W.R, et all, (Eds.), 1992. Restoration Ecology; A synthetic approach to ecological research.
Cambridge University Press. (pp 1-29).
Koziowski., J.K, 1997. Perencanaan Kota (Penanganan dan Pengendalian Degradasi Lingkungan)
dengan Teori Ambang Batas (Terjemahan) LP3S Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
(234 hal).
Krugman., Stanley, L. 1878. Wind breaks and Shelterbelts for improved Urban enviroment. Special
paper in World Forestry Congress VIII. Jakarta (pp-16)
Manan., Safei, 1975. Manajemen Hutan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Fakultas
Kehu-tanan Institut Pertanian Bogor. pp 123-131.
Manan., Safei, 1976. Manajemen Pengelolaan Daerah Riparian Dalam Pengelolaan DAS. Fakultas
Kehu-tanan Institut Pertanian Bogor. (pp-23).
___________, 1990. Manajemen Pengelolaan Kawasan Penyangga Sempadan Sungai dan Pantai.
Seminar Pengelolaan Kawasan Lindung Pemda DKI Jakarta.
Pusat Penelitian Sain dan Teknologi-UI, 1998. Kajian Spatial Daerah Kumuh DKI Jakarta. Kerjasama
Bapedalda dan PPST-UI. Laporan Penelitian Tahun Anggaran 1997/1998. Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan DKI Jakarta. 142 hal. (Tidak diterbitkan).
Sandy. I.M, 1976. Struktur Kota Pantai di Indonesia. Direktorat Tata Guna Tanah Departemen Dalam
Negeri. Publikasi TGT No. 346; 12 hal
_________, 1978. DAS-Ekosistem-Penggunaan Tanah. Publikasi Direktorat Taguna Tanah
Departemen Dalam Negeri (Publikasi 437).
________., 1995. Penataan Ruang Dalam Pembangunan Wilayah. Jurusan Geografi FMIPA
Universitas Indonesia (pp-9)
Smith., H. W and L.S., Dochinger 1976. Capability Metropolitan trees to reduce atmospheric
contaminants. Forest Service General Techical Report NE-22. USDA.
Wirakusumah,. Sambas. 1987. Hutan Kota DKI Jakarta; Aspek dan Urgensinya; (suatu kajian
akademis). Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia. 98 hal (tidak diterbitkan).

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

Anda mungkin juga menyukai