Serat Pepali Karya Ki Ageng Selo
Serat Pepali Karya Ki Ageng Selo
Karya ini ditulis oleh Ki Ageng Selo, seorang mistikus Jawa yang hidup antara abad 15,
di jaman Kerajaan Demak. Ia adalah cucu Raden Lembu Peteng atau Raden Bondan
Gejawan, putra Prabu Brawijaya (Raja Majapahit yang terakhir) dari istrinya yang
termuda. Cicitnya, Sutawijaya, menjadi raja pertama Kerajaan Mataram Kedua (R.M.
Soetardi 1980:8-9). Ia hidup di jaman peralihan budaya, dari Buddha-Hindu ke Islam,
karenanya karyanya mencerminkan sintesa unsur-unsur mistikal Islam dan Hindu.
Serat PEPALI Sunday, September 2nd, 2007 in Tasawuf Jalma luwih medharken
mamanis, Kang cinatur Kitap Tafsir Alam. Tinetepan umpamane:Ingkang segara agung,
Lawan papan kang tanpa tulis, Tunjung tanpa selaga, Sapa gawe iku? Kalawan jenenging
Allah. Lan Muhammad anane ana ing endi? Ywan sirna ana apa?
Artinya: Manusia terpilih membentangkan perihal yang sedap/ Yang dibicarakan dalam
Kitab Tafsir Alam./ Dinyatakan misalnya:/Samudera besar,/ Dan tempat yang tak
bertulis,/ Teratai yang tak berkuncup,/ Siapa yang membuat?/Dan nama Allah/ dan
Muhammad dimana adanya?/ Bila lenyap apa yang masih ada?
Damar murup tanpa sumbu nenggih, Godhong ijo ingkang tanpa wreksa, Modin tan ana
bedhuge, Sentek pisan wus rampung, Tanggal pisan purnama sidi, Panglong grahana
lintang, Iku semunipun, Kang sampun awas ing cipta. Aja sira katungkul maca pribadi,
Takokna kang wus wignya.
Artinya: Pelita menyala tak bersumbu,/ Daun hijau tak berpohon,/ Muazin tak ada
beduknya,/ Sekali tarik sudah tamat,/ Tanggal satu bulan purnama,/ Panglong gerhana
bintang,/ Itulah lambang,/Manusia yang sudah waspada akan ciptanya./ Jangan selalu
membaca sendiri saja./ Tanyakanlah kepada yang sudah tahu.
Lawan sastra adi kang linuwih, Lawan Kuran pira sastra nira, Estri priyadi tunggale,
Lawan ingkang tumuwuh, Sapa njenengaken sireki? Duk sira palakrama, Kang
ngawinken iku? Sira yen bukti punika, Sapandulang yen tan weruha, sayekti. Jalma
durung utama.
Artinya: Dan sastra indah-utama berapa jumlahnya,/ Kitab Al-Quran berapa sastranya,/
Perempuan dan laki-laki utama ada berapa jodohnya?/dan berapa jumlahnya yang
tumbuh?/ Siapa yang memberi nama kepadamu?/Waktu kamu kawin./Siapa yang
mengawinkan?/Kalau makan siapa yang menyuapi?/ Jika belum mengetahuinya,
sebenarnya/Belum menjadi manusia yang utama.
Lawan angangsu pikulan warih, Amek geni pan nganggo dedamar, Kodhok angemuli
lenge, Rangka manjing ing dhuwung, Miwah baita mot ing jladri, Kuda ngrap ing
pandengan. Lan gigiring punglu, Tapake kuntul anglayang, Kakang mbarep miwah
adhine wuragil. Tunjung tanpa selaga.
Artinya: Mencari air membawa sepikul air,/ Mencari api membawa pelita (damar),/ Katak
menyelubungi liangnya,/ Sarung masuk ke dalam keris,/dan sampan berisi samudera,/
Kuda melonjak dimuka pandangan,/ Punggung peluru, dimana?/ Bekas kuntul yang
melayang-layang,/ Kakak si sulung, adik si bungsu,/Teratai tak berselaga.
Lawan siti pinendhem ing bumi, Miwah tirta kinum jroning toya, Lawan srengenge
pinepe, Lawan geni tinunu, Pan walanjar dereng akrami, Prawan adarbe suta, Ndhog bisa
kaluruk, Jejaka rabine papat, Pan wong mangan saben dina-dina ngelih, Lawan mangan
sapisan (pan wus marem).
Artinya: Dan tanah tertanam dalam bumi,/ Atau air terendam dalam laut,/ Matahari
dijemur,/ Dan api terbakar (ditunu),/ Janda belum pernah kawin,/ Dara (gadis) berputera,/
Telur dapat berkokok,/ Bujang beristeri empat,/ Orang makan sehari-hari lapar,/ Dan
makan sekali (sudah puas).
1. Simbolisme Samudera Besar Bait yang berbunyi ingkang segara agung (samudera
besar), dijelaskan maknanya sebagai berikut:
Ingkang samodra agung, Tanpa tepi anerambahi. Endi kang aran Allah? Tan roro tetelu.
Kawulane tanna wikan, Sirna luluh kang aneng datullah jati, Aran sagara Purba.
(Samudera besar yang tak bertepi, meresapi seluruh alam. Manakah yang disebut Allah?
Tak ada lainnya (dua atau tiga). Makhluknya tak ada yang menyadari, Karena musnah
terlarut dalam zat Allah sejati, Yang disebut Lautan Purba.)
2. Simbolisme Tempat tak Bertulisan Bait lawan papan kang tanpa tulis (dan tempat
yang tak bertulis) dijelaskan maknanya dalam pepali berikut ini:
Ana papan ingkang tanpa tulis. Wujud napi artine punika, Sampyuh ing solah semune,
Nir asma kawuleku, Mapan jati rasa sejati. Ing njro pandugeng taya. Marang Ing Hyang
Agung. Pangrasa sajroning rasa, Sayektine kang rasa nunggal lan urip,Urip langgeng
dimulya.
(Ada tempat yang tak bertulisan. Kosong mutlak artinya itu, Dalamnya lenyap terlarut
segala gerak dan semu. Hapus sebutan Aku karena Masuk kedalam inti rasa sejati,
Didalam tiada bangun (sadar) Kediaman Hyang Agung Perasaan masuk kedalam rasa,
Sebenarnya rasa sudah bersatu dengan hidup, Hidup kekal serba nikmat).
3. Simbolisme Teratai Putih tak Berkelopak Bait tunjung tanpa selaga (teratai tak
berkelopak) dijelaskan maknanya sebagai berikut: Sasmitane ingkang tunjung
putih/Tanpa slaga inggih nyatanira/Rokhilafi satuhune/Datullah ananipun/Yeku sabda
ingkang arungsit./Iku pan bangsa cipta,/Hananira iku./Tandha kang darbe pratandha.
(Isyarat teratai putih/Tak berkelopak ialah kenyataan./Ruhilafi sebenarnya./Itu adanya
datullah,/Itu, sabda yang sangat pelik./Itu kan perihal cipta,/Yang disebut itu./Sifat yang
memiliki segala sifat.)
4. Simbolisme Lampu Menyala tanpa Sumbu Bait damar murup tanpa sumbu nenggih
(lampu menyala tanpa sumbu) dijelaskan artinya sebagai berikut: Damar murup tanpa
sumbu nenggih/Semunira urup aneng Karsa./Dat mutlak iku jatine!/Anglir tirta
kamanu,/Kadi pulung sarasa jati./Puniku wujud tunggal,/Aranira iku.
(Lampu menyala tanpa sumbunya/Itu lambang nyala pada Kehendak./Dat Mutlak itu
sebenarnya!/Sebagai air yang bercahaya,/Wahyu kesatuan dengan rasa sejati./Itulah
bentuk tunggal,/Yang disebut itu.)
5. Simbolisme Daun Hijau tak Berpohon Bait Godhong ijo ingkang tanpa wreksa (daun
hijau tak berpohon) dijelaskan Ki Ageng Selo sebagai berikut: Godhong ijo tanpa wreksa
iki,//Semunira ing masalah ing rat,//Lah iya urip jatine.//Dudu napas puniku,//Dudu swara
lan dudu osik,//Dudu paningalira,//Dudu rasa perlu,//Dudu cahya kantha warna,//Urip jati
iku, nampani sakalir,//Langgeng tan kena owah.
(Daun hijau yang tak berpohon,//Itu lambang masalah alam.//Yaitu hidup
sejatinya.//Bukan nafas itu,//Bukan suara dan bukan gerak batin,//Bukan
pemandangan,//Dan bukan rasa syahwat,//Bukan cahaya, bangun atau warna.//Itulah
hidup sejati, yang menerima segala persaksian,//Kekal tak ada ubahnya.)
6. Simbolisme Muazzin tanpa Bedug Bait Modin tan ana bedhuge (muazzin tanpa
bedug) dijelaskan Ki Ageng Selo sebagai berikut:
Pasemone kang modin puniki,//Pan bedhuge muhung aneng cipta,//Iya ciptanira
dhewe.//Pan ingaken sulih Hyang Widi.//Cipta iku Muhammad,//Tinut ing
tumuwuh.//Wali, mukmin datan kocap.//Jroning cipta Gusti Allah ingkang mosik,//Unine:
rasulullah.//Lamun meneng Muhammad puniki,//Ingkang makmum apan
jenengira.//Dene ta genti arane,//Yen imam Allah iku,//Ingkang makmum Muhammad
jati.//Iku rahsaning cipta,//Sampurnaning kawruh.//Imam mukmin pan wus
nunggal,//Allah samar Allah tetep kang sejati,//Wus campuh nunggal rasa.
(Yang dilambangkan oleh muazzin itu,//Karena akal berperanan bedug juga,//Ialah
akalmu sendiri.//Akan tetapi kamu itu//Sebenarnya mewakili Hyang Widi juga.//Akal itu
Muhammad,//Pemimpin hidupmu.//Wali, mukmin tak disebut,//Dalam akal Tuhan Allah
yang bergerak,//Katanya: rasulullah.//Dalam ketenangan Muhammad itu,//Yang makmum
ialah kamu sendiri.//Sebaliknya pada yang disebut,//Allah sebagai imam//Yang makmum
pandengan. Lan gigiring punglu, Tapake kuntul anglayang, Kakang mbarep miwah
adhine wuragil. Tunjung tanpa selaga.
Artinya: Mencari air membawa sepikul air,/Mencari api membawa pelita,/Katak
menyelubungi liangnya,/Sarung masuk ke dalam keris,/dan sampan berisi
samudera,/Kuda melonjak dimuka pandangan,/Punggung peluru, dimana?/Bekas kuntul
yang melayang-layang,/Kakak si sulung, adik si bungsu,/Teratai tak berselaga.
Lawan siti pinendhem ing bumi,Miwah tirta kinum jroning toya, Lawan srengenge
pinepe, Lawan geni tinunu, Pan walanjar dereng akrami, Prawan adarbe suta, Ndhog
bisa kaluruk, Jejaka rabine papat, Pan wong mangan saben dina-dina ngelih, Lawan
mangan sapisan (pan wus marem).
Artinya: Dan tanah tertanam dalam bumi,/Atau air terendam dalam laut,/Matahari
dijemur,/Dan api terbakar (ditunu),/Janda belum pernah kawin,/Dara (gadis)
berputera,/Telur dapat berkokok,/Bujang beristeri empat,/Orang makan sehari-hari
lapar,/Dan makan sekali (sudah puas).
1. Samudera Besar
Bait yang berbunyi ingkang segara agung (samudera besar), dijelaskan maknanya
sebagai berikut:
Ingkang samodra agung, Tanpa tepi anerambahi. Endi kang aran Allah? Tan roro tetelu.
Kawulane tanna wikan, Sirna luluh kang aneng datullah jati, Aran sagara Purba.
(Samudera besar yang tak bertepi, meresapi seluruh alam. Manakah yang disebut Allah?
Tak ada lainnya (dua atau tiga). Makhluknya tak ada yang menyadari, Karena musnah
terlarut dalam zat Allah sejati, Yang disebut Lautan Purba.)
Samudera besar menyimbolkan sesuatu yang tak bertepi, tak berbatas, dan melingkupi
seluruh alam; agama menyebutnya Tuhan atau Allah. Simbolisme samudera besar
dipakai untuk menggambarkan ketunggalan zat Allah. Dalam samudera, misalnya, ada
organisme-organisme yang hidup dengan cara menggantungkan diri sepenuhnya dengan
air samudera. Jika air itu kering, maka organisme-organisme yang di dalamnya akan mati.
Begitu pula dengan Allah. Semua ciptaanNya amat bergantung kepadaNya, sama
tergantungnya dengan ikan terhadap air. Jika Allah tidak ada, sama dengan tidak adanya
air, maka semua ciptaan tidak akan ada (sama dengan tidak adanya ikan tadi). Seluruh
ciptaan, karena amat tergantung pada Allah, maka tentu kekuasaannya terbatas; terbatas
pada usia, umur, dan kematian. Hanya Allah yang tidak terbatas; Ia senantiasa Abadi,
Takterbatas, Luas, Hidup, yang disimbolkan pula dengan Lautan Purba.
Simbol samudera luas atau lautan asal juga menggambarkan asal seluruh keberadaan.
Allah disebut Lautan Asal, karena ialah asal mula dari segala penciptaan. Sebelum
segalanya tercipta, hanya ada Allah, dan sesudah segalanya tiada, hanya ada Allah. Dalam
Al-Quran, kitab Muslim, dikatakan Innaa lillaah wa innaa ilaihi raajiuun (sebenarnya
kita adalah milik Allah dan kita kembali kepadaNya), yang amat sinkron dengan simbol
lautan purba ini.
dengan sifat-sifat formal-fisikal seperti mati, hidup, asal, akhir, bahagia, atau
sengsara. Kehidupan tanpa ajektif, dan karenanya ia kekal, tak berubah-ubah. Sebab,
perubahan adalah tanda fisikal, sedangkan kehidupan ini belum berbadan alias rohaniah.
Dalam tradisi Sufisme, kehidupan itu disebut al-hayyu. Bahkan, kata al-hayyu, dalam
Sufisme, merupakan salah satu representasi Tuhan, sebagaimana terdapat dalam formula
99 Nama-Nama Tuhan yang Indah (Asmul-husn).
Di sini, Ki Ageng memakai simbolisme dari tradisi Islam, yakni shalat. Shalat ialah
cara dan alat manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Sebelum shalat, biasanya
dikumandangkan azan (panggilan untuk bershalat), dan sebelum azan dilakukan,
biasanya menurut tradisi Jawa, dibunyikanlah bedug (alat penanda masuk waktu shalat).
Setelah bedug dibunyikan, maka muazzin (orang yang bertugas melakukan azan)
mulai bekerja memanggil orang untuk shalat di mesjid. Setelah azan dan setelah orang
banyak yang masuk mesjid, maka dimulailah shalat. Shalat dipimpin oleh seorang imam
(pemimpin shalat), dan orang yang mengikuti di belakangnya disebut makmum (orang
yang dipimpin oleh imam). Semua terma-terma khas dalam tradisi shalat Islam ini
digunakan Ki Ageng Selo untuk simbolisme ilmu esoteris.
Kalau seseorang telah berhasil menguasai ilmu esoteris (ilmu tentang rahasia-rahasia
ketuhanan), yang disimbolkan disini sebagai muazzin, maka ia tidak lagi tergantung
pada alat-alat (seperti penalaran logika dan penginderaan fisikal) untuk berhubungan
dengan Tuhan, yang disimbolkan disini dengan bedug. Ia tidak lagi memerlukan
bedug, karena ia sudah masuk ke tingkatan muazzin yang sempurna ilmu esoterisnya.
Dan muazzin ini, jika ia hendak berhubungan dengan Tuhan (shalat dalam tradisi
Islam), maka ia tinggal mempersilahkan Tuhan sebagai imam nya. Ia tidak berimam
dengan akalnya. Ia tidak pula berimam pada panca-inderanya. Walaupun akal dan
inderanya cukup membantu dalam persepsinya akan Tuhan (di sini disebut Allah
Jika Ki Ageng Selo bertanya 'lalu berapa jumlahnya yang tumbuh?', maka lagi-lagi
jawaban yang dimintanya ialah 'satu'. Dari dua realitas yang berbeda itu, makrokosmos
dan mikrokosmos, akan tumbuh dan berkembang apa yang dinamakan 'kesatuan' (union).
Dua menjadi satu. Dualitas menjadi unitas. Dualitas yang saling berkembang, akan
tumbuh menjadi unitas. Makrokosmos (yang disebut 'agama' sebagai 'Allah') dan
mikrokosmos (yang disebut 'agama' sebagai 'manusia'), jika keduanya berkembang dan
tumbuh (dalam artian, saling mendekatkan diri), maka akan berbaur dan menyatu. Kaum
mistikus memiliki cara khusus untuk 'menyatu dengan Allah' itu, yakni dengan olahrohani (mistisisme). 'Kesatuan realitas', yang juga di Jawa sering disebut sebagai
manunggaling kawulo gusti dan yang sering disebut Filsafat Eksistensialisme sebagai
dialog Aku-Engkau (I-Thou), akan tercapai setelah dualitas itu dapat diatasi lewat jalur
rohaniah (jalan mistikal).