DMD Referat
DMD Referat
Oleh :
Khatimatun Najwah
I1A008075
Pembimbing
Dr. Steven, M.Si. Med., Sp.S.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. DEFINISI
Duchenne muscular dystrophy adalah penyakit X-linked otot yang
bersifat progresif akibat tidak terbentuknya protein distropin[1]. Penyakit ini
mengenai anak laki-laki dan proses distrofi otot sudah dimulai sejak lahir,
munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan
meninggal pada usia 20 tahun[2]. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang
terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab
terhadap pembentukan protein distrofin.[3]
C. EPIDEMIOLOGI
Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500
kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif,
dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier. [2]
Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk
menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada karier yang
menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada
pria jauh lebih sering menderita penyakit terkait X resesif dibandingkan
wanita. [1]
Secara klinis, gangguan akibat Duchenne muscular dysthropy mulai
tampak pada usia 3-7 tahun, yakni lordosis, gaya berjalan waddling, dan
tanda Gowers. Manifestasi klinis berupa pseudohypertrophy muncul 1-2
tahun kemudian. Kebanyakan pasien harus memakai kursi roda pada usia 12
tahun. [13]
D. ETIOLOGI
Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X,
lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein
distrofin. Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara
primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem
saraf pusat atau saraf perifer. [1]
Duchenne muscular dystrophy disebabkan adanya mutasi pada gen
yang bertanggung jawab dalam mengkodekan distrofin. Mutasi yang terjadi
mengakibatkan hilangnya protein distrofin, baik berupa delesi, duplikasi
maupun mutasi pergeseran yang menimbulkan hilangnya protein otot yang
besar dan dikaitkan dengan fenotif umum yang terlihat pada penderita
Duchenne muscular dystrophy. Analisis lokasi delesi menunjukkan bahwa
daerah
amino-terminal,
cysteine-rich,
dan
daerah
carboxy-terminal
E. PATOGENESIS
DMD merupakan kelainan yang diturunkan, dan masing-masing MD
mengikuti pola pewarisan yang berbeda. Tipe yang paling dikenal, Duchenne
muscular dystrophy (DMD), diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang
berarti bahwa gen yang bermutasi yang menyebabkan penyakit ini terletak
pada kromosom X, dan oleh karenanya terkait seks. Pada pria satu salinan
yang berubah dari gen ini pada masing-masing sel sudah cukup untuk
menyebabkan kelainan ini.
[7]
kedua kopi dari gen untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang
jarang, pada karier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi
dosis/inaktivasi X). Pada pria oleh karenanya terkena penyakit terkait X
resesif jauh lebih sering dibandingkan wanita. [1]
[3]
DAPC menjadi tidak stabil saat tidak ada distrofin, yang menyebabkan
penyusutan jumlah protein. Selanjutnya hal ini akan merusak serat dan
membran otot secara progresif. [7]
F. PATOFISIOLOGI
Suatu ciri khas dari pewarisan terkait X adalah ayah tidak dapat
mewariskan sifat terkait X pada anak laki-laki meraka. Pada sekitar
duapertiga kasus DMD, pria yang terkena penyakit mewarisi mutasinya dari
ibu yang membawa satu salinan gen DMD. Sepertiga yang lain mungkin
diakibatkan karena mutasi baru pada gen ini. Perempuan yang memberi satu
salinan dari satu mutasi DMD mungkin memiliki tanda dan gejala terkait
kondisi ini (seperti kelemahan otot dan kramp), namun biasanya lebih ringan
dari tanda dan gejala pada pria. Duchenne muscular dystrophy dan Becker's
muscular dystrophy disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein
dystrophin dan menyebabkan suatu kelebihan pada enzim creatine kinase. [7]
tahun penderita tidak dapat bergerak lagi dan hidupnya terpaksa di tempat
tidur atau di kursi roda. Pada tahap terminal ini seluruh otot skeletal sudah
atrofik. [5]
Penderita DMD pada umumnya meninggal karena kegagalan dalam
pernapasan, biasanya pada akhir usia belasan tahun atau awal dua puluh.
Banyak anak-anak lelaki mempunyai elektrokardiogram abnormal pada usia
18 tahun. [7]
[]
penjelasan
lain
menyatakan
bahwa
pseudohipertrofi
1. Tahap 1 Presimptomatik
a. Waddling gait, muncul pada anak usia 2-6 tahun; sering pada gejala
klinis pertama pasien Duchenne muscular dystrophy.
b. Kelemahan progresif terjadi pada otot-otot proximal, terutama
ekstremitas bawah, tetapi selanjutnnya naik ke otot flexor leher, bahu
dan lengan.
c. Karena kelemahan otot punggung proximal dan otot ekstremitas,
orangtua sering mengatakan bahwa anak laki-lakinya menekan
lututnya sebagai usaha untuk berdiri; dikenal sebagai tanda Gowers.
3. Tahap 3 Fase akhir berjalan
a.
b.
c.
d.
b.
c.
Perkembangan skoliosis
a.
b.
c.
1. Kelemahan otot yang progresif bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot.
2. Gangguan keseimbangan.
3. Mudah merasa lelah
4. Kesulitan dalam aktivitas motorik
5. Peningkatan lumbal lordosis yang berakibat pada pemendekan otot
panggul
6. Sering jatuh
7. Kesulitan berjalan, cara berjalan yang aneh
8. Waddling Gait
9. Deformitas jaringan ikat otot
10. pseudohipertrophy ( mengalami pembesaran pada lidah dan betis), dimana
terjadi pengisisan oleh jar ikat dan jaringan lemak.
11. Mengalami kesulitan belajar
12. Jangkauan gerak terbatas
13. Kontraktur otot (biasanya pada tendon Achilles dan kerusakan otot
hamstring) karena serat otot memendek dan mengalami fibrosis yang
muncul pada jaringan ikat.
jenis
MD
dapat
menyerang
jantung,
menyebabkan
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Congenital Muscular Dystrophy (CDM)
CMD merupakan penyakit autosomal resesif yang menyebabkan
kelemahan berat pada bagian proksimal tubuh, sejak kelahiran (atau
kurang dari 12 bulan) yang berjalan tidak progresif. Kontraktur merupakan
tanda umum dan CNS abnormal dapat terjadi. [14] Biopsi otot menunjukkan
tanda distrofi, termasuk peningkatan dalam endomysial dan perimysial
jaringan ikat; ukuran serat kecil dan imatur. [6]
2. Congenital Myopathies (CM)
CM bercirikan onset sejak awal kehidupan dengan kondisi
hipotonia, hiporefleksia, kelemahan umum yang lebih sering mengenai
bagian otot proksimal dan curah otot yang buruk. Sering disertai dismorfik
akibat kelemahan. Relatif tidak progressif. [14]
Hipotonia
merupakan
tanda
utama
CM,
dengan
klinis
3. Polymyositis
Polymyositis
merupakan
miopati
inflamasi
idiopati
yang
leher
belakang.
Terjadi
defek
konduksi
kardiak
dan/atau
tetapi pada
beberapa kondisi dapat terjadi pada neonatus dan bahkan dekade ketiga.
Kelemahan yang muncul pada otot peronela dengan gaya berjalan toewalking. [14]
5. Facioscapulohumeral Dystrophy (FD)
Klinis berupa kelemahan bahu. Wing-scapula merupakan tanda
utama FD. Letak skapula lebih lateral dibandingkan normal. Skapula akan
naik saat abduksi. Otot deltoid biasanya normal, dan kelemahan abduksi
bahu terjadi akibat lemahnya fiksasi skapula. Kegagalan gerakan
menyerong naik pada aksila anterior akibat kelemahan otot pektoralis
mayor. [6]
6. Limb-Girdle Muscular Dystrophy
Onset muncul pada usia dewasa, berupa atropi otot yang berjalan
lambat dengan kelemahan pada distribusi limb-girdle, yang disertai
keterlibatan faring dalam memimpin terciptanya pembicaraan nasal. Tidak
I.
DIAGNOSIS
Diagnosis dari DMD didasarkan terutama pada hasil biopsi otot.
Dalam beberapa kasus, suatu tes darah DNA mungkin cukup membantu.
Pemeriksaan lainnya yang dapat membantu antara lain, peningkatan kadar
CK serum dan pemeriksaan elektromyografi, yang konsisten dengan
keterlibatan miogenik. [13]
Seringkali, terdapat kehilangan jaringan otot, yang sulit untuk dilihat
karena pada DMD menyebabkan penumpukan jaringan lemak dan jaringan
ikat yang membuat otot tampak lebih besar. Ini disebut dengan
pseudohipertrofi. [6]
Tanda dan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis DMD adalah
sebagai berikut [3,4] :
1. Positif Gower Sign menunjukkan banyaknya kerusakan yang lebih pada
otot- otot di ekstremitas bawah. Gowers sign adalah suatu gerakan tubuh
saatpasien berusaha berdiri akibat proses degenerasi otot skeletal yang
berjalan secara progresif sehinga menyebabkan kelemahan otot. Pasien
memulai untuk berdiri dengan cara kedua lengan dan kedua lutut
menyangga badan (prone position), kemudian kedua lutut diluruskan (bear
position), selanjutnya tubuh ditegakkan dengan bantuan kedua lengan
yang berpegangan pada ke dua lutut dan paha untuk kemudian berdiri
tegak (upright position).
2. Creatin Kinase ( CPK MM ), dimana kadar keratin kinase pada aliran
darah tinggi. Akibat ketiadaan distropin pada pasien DMD, terjadi
gangguan permeabilitas membran sel otot (sarkolemma), sehingga terjadi
kebocoran enzim kreatinin fosfokinase (CPK) yang menyebabkan kadar
CPK dalam serum menjadi sangat tinggi.
3. EMG (elektromyografi) menunjukkan kelemahan yang disebabkan oleh
kerusakan pada jaringan otot dibandingkan pada sel syarafnya. Hasil EMG
sesuai dengan kelainan miopati, yaitu terlihat peningkatan frekuensi,
penurunan amplitudo dan penurunan aksi potensial motorik, sedangkan
kecepatan hantar saraf adalah normal. DMD merupakan suatu kelainan
miopati.
4. Genetic Testing, dapat menampilkan bahwa kerusakan genetik pada gen
Xp21.
5. Biopsy otot (imunohistokimia atau imunobloting), atau bisa juga
pemeriksaan genetik dengan tes darah untuk mengkonfirmasi keberadaan
distropin. Terjadi degenerasi otot, tampak internal nuclei bertambah dan
jaringan ikat perimisium dan endomisium meningkat. Pada pasien DMD
terjadi proses degenerasi serabut otot yang digantikan oleh jaringan
fibrofatty akibat ketiadaan distrofin.
J.
TERAPI
Pemberian kortikosteroid, seperti prednisolon pada pasien DMD
dapat mempertahankan fungsi dan kekuatan otot, serta memperlambat
proses
degenerasi
penyakit.
Mekanisme
kortikosteroid
dalam
memperlambat proses
degenerasi otot masih belum jelas. Efek samping pemberian kortikosteroid
adalah peningkatan berat badan, retardasi pertumbuhan, hirsutisme dan
osteoporosis. [7]
Latihan fisik berupa fisioterapi dan pemakaian alat bantu dapat
diberikan. Untuk mencegah kontraktur plantar fleksi yang berpengaruh pada
keseimbangan dan cara berjalan, dapat diberikan latihan stretching heel-cord
dan pemakaian ankle foot orthosis (AFO) pada waktu malam. Tetapi
pemakaian alat ortosis atau stretching tidak dapat mencegah terjadinya
kontraktur.
Ketika
kontraktur
tendo
achilles
bertambah
berat
dan
paru akan terus memburuk setelah fusi spinal karena proses distrofi progresif
otot pernafasan, termasuk otot diafragma. Selain itu dapat terjadi gangguan
fungsi jantung. Dalam hal ini latihan respirasi tidak memberikan keuntungan
yang berarti. Bantuan ventilasi dengan menggunakan nasal mask pada malam
hari dengan end-expiratory pressure akan membantu mencegah pneumonia
dan dekompensasi pulmonal. Tanpa dukungan ventilator, pasien biasanya
meninggal dalam usia 20 tahun. [7]
K. PROGNOSIS
Prognosis dari DMD bervariasi tergantung dari progresivitas
penyakitnya.
lambat, dengan kehidupan normal, sedangkan pada kasus yang lain mungkin
memiliki pemburukan kelemahan otot yang bermakna, disabilitas fungsional
dan kehilangan kemampuan berjalan. Harapan hidup dapat tergantung pada
derajat pemburukan dan defisit pernapasan lanjut. Pada DMD, kematian
biasanya terjadi pada usia belasan sampai awal dua puluhan. [2]
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Wedhanto S, U Siregar. Duchenne Muscular Dystrophy. Maj Kedokt
Indon, Volum: 57, Nomor: 9, September 2007.
2. Tachjian MO. Clinical pediatric orthopedic the art of diagnosis and
principles of management. Generalized affection of the muscular skeletal
system. Stamfort, CT, Appleton & Lange; 1997.p.401-3.
3. Muntoni F, Torelli Silvia, Ferlini A. Dystrophin and mutations: one gene,
several proteins, multiple phenotypes. Lancet Neurol 2003;2:731-40.
4. Sussman M. Duchenne Muscular Dystrophy. J Am Acad Orthop Surg
2002;10:138-51.
5. Mardjono M, S. Priguna. Neurologi Klinis Dasar. 2008: Jakarta. Dian
Rakyat.
6. Annonymous.
Muscular
Dystrophy
Types.
(Online)
2008.
(http://www.news-medical.net/health/Muscular-Dystrophy-Types.aspx,
diunduh 10 Agustus 2012).
7. Nowak K. J., K. E.Davies. Duchenne muscular dystrophy and dystrophin:
pathogenesis and opportunities for treatment. Third in Molecular
Medicine Review Series. EMBO reports Vol 5;No 9: 2004.
8. Bradley W. G., R. B. Daroff, G.M. Fenichel. Neurology in Clinical
Practice. Fourth Edition. 2004: Pennsylvania. El Sevier Inc.
9. Guyton A. C., J.E Hall. Fisiologi Kedokteran. 2008: Jakarta. EGC
10. Ervasti JM, Campbell KP. Membrane organization of the dystrophinglycoprotein complex. Cell. Sep 20 1991;66(6):1121-31.
11. Ozawa E, Noguchi S, Mizuno Y, et al. From dystrophinopathy to
sarcoglycanopathy: evolution of a concept of muscular dystrophy. Muscle
Nerve. Apr 1998;21(4):421-38.
12. Darke J, Bushby K, Le Couteur A, McConachie H. Survey of behaviour
problems in children with neuromuscular diseases. Eur J Paediatr Neurol.
May 2006;10(3):129-34.
13. Mendell JR, Shilling C, Leslie ND et al. Evidence based path to newborn
Muscular
Dystrophy.
14. Annonymous.
Duchenne
Muscular
Dystrophy
(http://emedicine.medscape.com/, diunduh 10 Agustus 2012)
Ann
Neurology.
(online)
2012