Anda di halaman 1dari 8

Analisis Kualitas Kinerja yang Berkarakteristik Good Governance

pada Badan Layanan Umum (BLU) dengan Menggunakan


Pendekatan Quality Cost (Biaya Kualitas)
(Studi Pada Badan Layanan Umum (BLU), Rumah Sakit dr. Sobirin, Kabupaten Musi Rawas)

Oleh:
Padlim Hanif
Pada era globalisasi ini, kualitas prima merupakan syarat mutlak yang
harus melekat pada suatu produk. Hal ini sesuai dengan kenyataan, bahwa
dengan semakin meluasnya akses keterbukaan informasi yang menjadi ciri
khas utama dari era globalisasi pada saat ini, sudah menjadi keniscayaan
yang dapat menyebabkan konsumen memiliki banyak pilihan untuk
melakukan tindakan selektif terhadap produk-produk yang tentunya
berkeunggulan kompetitif. Dan secara tidak langsung, kondisi ini pun
berdampak terhadap semakin tertantangnnya entitas-entitas pencipta suatu
produk, agar menciptakan produk yang tidak hanya mampu memenuhi
kebutuhan ekspektasi konsumennya saja, namun juga tentunya harus
memiliki kualitas prima. Karena dengan kualitas prima yang berkeunggulan
kompetitif tersebut, secara tidak langsung akan berdampak terhadap
kepentingan

utama

para

entitas-entitas

pencipta

produk

untuk

mempertahankan prinsip Going Concern dari aktivitas yang dilakukannya.


Sebuah produk yang dapat dikategorikan berkualitas prima tentunya
harus melewati proses produksi dengan tahap-tahap yang sangat terjaga akan
prosedur kerjanya. Dengan diawali dari perencanaan yang baik, merupakan
dasar utama yang benar-benar harus diperhatikan bagi para entitas-entitas
pencipta produk untuk melakukan mapping strategic dalam hal penciptaan
produk yang berkualitas prima tersebut. Sehingga dengan adanya
perencanaan yang baik tersebut, maka ukuran-ukuran produk yang
terkategorikan memiliki kualitas prima, dapat teridentifikasi dan menjadi
landasan utama yang dapat dicapai para entitas-entitas pencipta produk.
Pemerintah sebagai salah satu entitas yang berperan serta dalam
mengatur kehidupan masyarakat di negara ini, juga tentunya memiliki

produk yang harus selalu terjaga akan kualitasnya. Sebagai salah satu
organisasi sektor publik, tentunya pemerintah harus memiliki produk-produk
yang selaras dengan visi dan misi utama pemerintah dan sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena pada dasarnya produkproduk yang dihasilkan oleh pemerintah, baik itu berupa barang ataupun
layanan jasa, tertuntut harus mampu berdampak signifikan terhadap
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat luas. Dan dengan
didasarkan keadaan tersebut, tentunya terdapat suatu kesinambungan antara
fakta dan realita yang menerangkan bahwasanya secara garis besar produk
yang dihasilkan pemerintah sebagai entitas organisasi sektor publik, dapat
tercerminkan pada kinerja pemerintah yang berkulitas, baik itu kinerja yang
berada pada dimensi finansial maupun non finansial. Hal ini pun sesuai
dengan pandangan Hansen & Mowen (2005), yang menyatakan bahwasanya
kinerja itu mengacu pada konsistensi seberapa baik fungsi-fungsi sebuah
produk. Sehingga berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya melalui produk berupa kinerja yang berkualitas lah, pemerintah
dapat meningatkan kemakmuran dan kesejahteraan yang harus dirasakan
oleh masyarakat luas tersebut.
Selain itu, lebih lanjut lagi, dengan adanya kinerja pemerintah yang
berkualitas, maka tentunya hal tersebut juga dapat menjadi tolak ukur bagi
pemerintah atas karakteristik-karakteristik pelaksanaan good governance
yang melekat dan menjadi tuntutan dunia internasional dewasa ini.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mardiasmo (2009), bahwasanya
berdasarkan pengertiannya, good governance sering diartikan sebagai
kepemerintahan yang baik. Sehingga berdasarkan hal tersebut maka dengan
melalui tata kepemerintahan yang baik, maka proses terciptanya kinerja
yang berkualitas bagi pemerintah dapat berkemungkinan besar untuk selalu
tercapai.

Dan selaras dengan arti ukuran kinerja pemerintah yang berkualitas,


tentunya good governance harus diterjemahkan dalam bentuk suatu
kebijakan strategis yang tepat. Hal ini dikarenakan, menurut Mardiasmo
(2009) menyatakan bahwasanya untuk mewujudkan good governance,
diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi
manajemen

publik

(public

management

reform).

Selain

reformasi

kelembagaan dan reformasi manajemen publik, untuk mendukunng


terciptanya good governance, maka diperlukan serangkaian reformasi
lanjutan terutama yang terkait dengan system pengelolaan keuangan daerah.
Sehingga dengan adanya kebijakan strategis yang tepat, maka pemerintah
dapat mengawal proses reformasi yang terdapat di dalam tubuh good
governance tersebut untuk tetap selalu berada dikoridor yang tepat.
Sebagai salah satu kebijakan strategis, Badan Layanan Umum (BLU)
dinilai merupakan suatu terobosan yang berhasil diciptakan oleh pemerintah
untuk membangun kinerja yang lebih berkualitas lagi. Hal ini pun
diterangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 yang
menyatakan bahwasanya pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum
(BLU) memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan
praktek-praktek bisnis yarg sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat

dalam

rangka

memajukan

kesejahteraan

umum

dan

mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan


Pemerintah ini sebagai pengecualian dan ketentuan pengelolaan keuangan
negara pada umumnya. Sehingga dari pernyataan tersebut, secara tidak
langsung tersirat suatu bentuk ketegasan yang dilakukan oleh pemerintah
terkait komitmen untuk melakukan supremasi terhadap pelaksanaan kinerja
yang berkarakteristik good governance. Dan tentunya juga, melalui
kebijakan pemerintah tentang Badan Layanan Umum (BLU) ini , reformasi
kelembagaan (institutional reform), reformasi manajemen publik (public
management reform) dan reformasi sistem pengelolaan keuangan,

yang

menjadi ruh utama dari pelaksanaan good governance dapat dikawal secara
legal dan konstitutional. Namun, agar Badan Layanan Umum (Badan

Layanan Umum) tersebut tetap selalu berkarakteristik good governance serta


memiliki kinerja yang berkualitas, maka diperlukan suatu bentuk tindakan
untuk menjaga dan mengukur kinerja yang telah dibangun. Hal ini
dipandang perlu, agar tujuan dari dikeluarkannya kebijakan strategis
pemerintah terkait Badan Layanan Umum (BLU) tersebut dapat tercapai.
Seiring dengan berkembangnya disiplin ilmu pengetahuan, instrumeninstrumen berupa tindakan evaluasi terhadap kinerja pemerintah, dalam hal
ini Badan Layanan Umum (BLU), pun juga mengalami kemajuan yang
sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkembangnya
beberapa penelitian-penelitian terkait pengukuran kinerja, yang tidak hanya
diterapkan pada private sectore saja, namun sudah mulai terarah untuk
diterapkan di public sectore juga. Sehingga berdasarkan hal tersebut, bisa
menjadi peluang bagi Badan Layanan Umum (BLU), sebagai bagian dari
pemerintah, untuk selalu menemukan mekanisme-mekanisme pengukuran
kinerja yang ideal dan tepat serta tidak bertentangan dengan visi dan misi
yang melekat erat pada identitas sebagai poros utama untuk terciptanya
masyarakat yang maju, sejahtera, adil dan makmur.
Adapun sebagai bentuk realisasi hal tersebut, tentunya harus diawali
dengan tindakan adopsi yang nyata antara mekanisme-mekanisme
pengukuran kinerja yang pernah diterapkan di private sectore dan yang akan
diterapkan di public sectore. Hal ini dikarenakan, adanya perbedaan visi dan
misi utama yang dimiliki oleh private sectore maupun public sectore dalam
membangun kinerja. Dimana apabila dilihat secara garis besar, bahwasanya
visi dan misi pembangunan kinerja yang dilakukan oleh private sectore
lebih terarah pada bagaimana caranya untuk menghasilkan laba yang
sebesar-besarnya sebagai tujuan utama dari entitas-entitas yang berada di
private sectore, sedangkan bila dilihat dari sudut pandang visi dan misi
utama yang dimiliki oleh Badan Layanan Umum (BLU), sebagai bagian dari
pemerintah, selaku organisasi public sectore, adalah bagiamana kiranya
kinerja yang dihasilkan mampu berdampak secara signifikan pada
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan yang didapat oleh masyarakat

luas dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus


dilakukan secara berkelanjutan. Sehingga dengan adanya proses adopsi ini,
maka pengukuran kinerja yang akan diterapkan, pun akan memiliki kualitas
informasi yang diharapkan dan sesuai sebagai instrumen-instrumen yang
bersifat evaluatif terhadap kinerja yang sudah dibangun.
Sebagai instrumen penjaga dan sekaligus pengukur kualitas produk,
Quality Cost (Biaya Kualitas) dapat menjadi salah satu opsi bagi pemerintah
ataupun Badan Layanan Umum (BLU), untuk selalu mampu bertindak kritis
dan evaluatif terhadap produk-produk yang dihasilkan. Hal ini didasarkan
dari arti yang melekat pada Quality Cost (Biaya Kualitas) itu sendiri, dimana
secara definisional menerangkan biaya yang terjadi untuk mencegah produk
cacat sampai ke tangan konsumen atau yang terjadi sebagai akibat adanya
produk cacat (Garrison., et al:2008). Selain dari pada itu, menurut Hansen &
Mowen (2005), secara teknisnya Quality Cost (Biaya Kualitas) berhubungan
dengan dua subkategori dari kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kualitas:
kegiatan pengendalian dan kegiatan karena kegagalan. Dimana untuk lebih
lanjutnya, untuk kedua subkategori tersebut diterjemahkan kepada empat
kategori Quality Cost (Biaya Kualitas) yang terdiri dari : (1) biaya
pencegahan (prevention cost), (2) biaya penilaian (appraisal costs), (3) biaya
kegagalan internal (internal failure costs), dan biaya kegagalan eksternal
(external failure costs).

Sehingga berdasarkan hal teknis dan teoritis

tersebut, dengan dimensi konservatif dan kritis yang melekat pada elemen
Quality Cost (Biaya Kualitas), pemerintah, dalam hal ini Badan Layanan
Umum (BLU), yang merupakan entitas berproduk berupa kinerja, dapat
menggunakan Quality Cost (Biaya Kualitas) tersebut sebagai salah satu
rujukan untuk selalu menjaga dan mengukur produk-produknya, yang dalam
hal ini adalah kinerja yang telah dibangun, agar tetap berada dalam
kualifikasi yang diharapkan kualitas dan kebermanfaatannya serta
berkemungkinan untuk mengurangi kadar cacat produk atas kinerja tersebut
sesuai dengan karakteristik yang melekat pada dimensi Good Governance.

Gambar: Kerangka Berpikir

Sesuai dengan tujuan utamanya untuk membangun kinerja yang


berkualitas dan berkarakteristik good governance, Rumah Sakit dr. Sobirin
Kabupaten Musi Rawas merupakan salah satu satuan kerja perangkat daerah
dilingkungan Pemerintah Kabupaten Musi Rawas yang menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Hal ini
didasarkan dengan terbitnya Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor
179/KPTS/II/2010, yang menjadi landasan utama sebagai aspek legalitas
pelaksanaan kebijakan strategis tersebut. Dan dalam perkembangannya
terkait kinerja, selama ini Rumah Sakit dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas
sesungguhnya telah memiliki informasi-informasi terkait kinerja yang telah
berhasil dibangun. Tentunya dengan melalui mekanisme terbitnya Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), dapat dijadikan rujukan
utama landasan informasi-informasi terkait kinerja tersebut. Namun
berdasarkan hal tersebut juga, ternyata Rumah Sakit dr. Sobirin Kabupaten
Musi Rawas belum memiliki mekanisme pengukuran kinerja yang baku
serta di akui tahapan-tahapan ilmiahnya. Selain itu kinerja yang diukur pun
cendrung berorientasi pada aspek finansial saja. Sehingga dengan keadaan
tersebut, tentunya terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan untuk

melakukan analisis kualitas kinerja yang berkarakteristik good governance


pada Badan Layanan Umum (BLU) dengan menggunakan pendekatan
quality cost (biaya kualitas)

DAFTAR PUSTAKA
Hansen, Don R., & Mowen, Maryanne M. Mowen, 2009. Akuntansi
Manajemen, Terjemahan Dewi Fitriasari dan Deny Arnor Kwary, 7th
ed. Jakarta: Salemba Empat
Ray H. Garrison, Eric W. Noreen, Peter C. Brewer. 2008. Akuntansi
Manajerial, Terjemahan Nuri Hinduan, 12th ed. Jakarta: Salemba
Empat
Mardiasmo.2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi
Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor 179/KPTS/II/2010. Tentang Status
Badan Layanan Umum (BLU) Rumah Sakit dr. Sobirin Kabupaten
Musi Rawas.

Anda mungkin juga menyukai