ILG
N. hemis-phere
(C)
79
Taupo
181
51
Baekdu
969
25
67
Kuwae
1452
0.5
Huaynaputina
1600
46
0.8
1400
Tambora
1815
43
0.5
> 71,000
Krakatau
1883
25
0.3
36,600
Santamara
1902
34
Tanpa anomali
Katmai
1912
32
0.4
1980
19
Tanpa anomali
57
El Chichn
1982
32
45
> 2,000
1985
27
Tanpa anomali
23,000
Pinatubo
1991
34
0.5
Erupsi
Vesuvius
tahun
Korban
7,00013,000
1202
Gambar I.1. Sisa reruntuhan dampak bencana letusan Gunung Vesuvius pada
tanggal 24 dan 25 Agustus 79 M yang dilatarbelakangi oleh
gunung api tersebut (sumber: www.volcano.und.nodak.edu).
Gambar I.2. Guguran awan panas 22 November 1994 (atas, foto: Mongin, 1994)
dan korban seruakan di Dusun Turgo (bawah; foto: Bronto, 1994).
Abu dan debu hasil erupsi gunung api dapat merusak pertanian. Kasus ini biasa
terjadi saat aktivitas Gunung Merapi meningkat, seperti pada periode aktif 1994,
3
1997, 2002 dan 2006 (Gambar I.3 kiri). Erupsi Gunung Kilauea (Hawaii) pada
1969-1974 menyebabkan gagal panen di Kona dan Puna (http://pubs.usgs.gov/
gip/hazards; Gambar I.3 kanan). Letusan gunung api juga dapat mengacaukan
navigasi pesawat terbang, abu dan debu gunung api menghalangi jarak pandang
pilot. Dampak lain yang ditimbulkan adalah kebakaran, seperti di Kalapana
(Hawaii) oleh lava Kupainaha pada 1991 (http://pubs.usgs.gov/gip/hazards).
Erupsi gunung api juga dapat membentuk rekahan di permukaan tanah, akibat
tenaga inflasi sebelum erupsi berlangsung. Contoh: rekahan di Kapoho (Hawaii)
oleh erupsi Gunung Kilaeua 1960 (Gambar I.4; http://pubs.usgs.gov/gip/hazards).
a.
b.
Gambar I.3. a. Daun tembakau di Dusun Stabelan (Kab. Boyolali) yang rusak
oleh abu gunung api Merapi pada Juli 2006. b. Kebun tales yang
rusak oleh abu gunung api Galunggung pada 1994
4
Gambar I.4. Aliran lava basalt di Gunung Kilauea (Hawaii) April 1983 yang
mengakibatkan kebakaran dan memotong jalan Royal Garden (foto:
JD. Griggs, USGS).
Letusan gunung api juga dapat memicu tsunami, seperti letusan Gunung Krakatau
pada 26 Agustus 1883. Tsunami tersebut hingga setinggi 40 m dan membunuh
sedikitnya 36.000 orang di sepanjang selat Sunda (Gambar I.5).
a.
b.
Gambar I.5. Krakatau sebelum dan setelah letusan 26 Agustus 1883 (kiri) dan
morfologi tiga dimensi Anak Krakatau, Lang dan Verlaten (kanan)
(Simkin & Fiske, 1983).
5
Menurut Simkin dan Fiske (1983), tsunami tersebut terrekam hingga Samudra
India, Samudra Pasifik, pantai barat Amerika, Amerika Selatan dan
Terusan Inggris. Awan gelap dirasakan hingga New York yang berjarak
4828 km dari Gunung Krakatau. Letusan tersebut dicirikan oleh nilai
Indeks Letusan Gunung api (ILG) 6 dan tenaga yang dilepaskannya
mencapai 200 mega ton TNT (Pararas-Carayannis, 1974). Sebagai
perbandingan, kekuatan bom di Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) pada
tanggal 16 Agustus 1945 adalah 20 ribu ton. Meskipun letusan Krakatau
pada 1883 dikategorikan besar, namun letusan Gunung Santorin (Thera)
di Samudra Aegean pada abad ke 5 SM dengan ILG 6 intensitasnya 1,5x
lebih kuat dari Krakatau 1883.
Bencana gunung api yang lain adalah lahar. Lahar dari Gunung Nevado del Ruiz
(Columbia) pada 13 November 1985 mencapai Desa Armero di sepanjang Sungai
Lagunilas dan Guali sejauh 70 km, menelan 22.000-27.000 korban jiwa, serta
mengendapkan sedimen setebal 4-10 m (Parnell dan Burke, 1990; Gambar I.6).
Lahar letusan Gunung Kelut pada tahun 1990, menewaskan sedikitnya 33 orang,
serta 500 rumah dan 55 sekolahan rusak berat, di sepanjang Kali Bladag. Contoh
lain adalah lahar di Gunung Pinatubo (1991), El Palmar (1989), St. Hellens
(1982), Villarrica (1984), Galunggung (1994) dan lain-lain.
Gambar I.6. Lahar Gunung Nevado del Ruiz yang mencapai Desa Armero
(Columbia) pada 13 November 1985 yang memakan 22.000-27.000
korban jiwa (foto: Janda, Cascade Volcano Observatory, USGS).
LATIHAN TUGAS:
1. Jelaskan mengapa ada gunung api di permukaan bumi!
2. Apa pentingnya vulkanologi bagi manusia dan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan?
3. Apa hubungan gunung api dengan manusia?
4. Apa hubungan gunung api dan komponen fisik bumi?
5. Apa hubungan gunung api dan tektonika?
6. Mengapa dalam perkumpulan / organisasi ahli-ahli vulkanologi sedunia,
terdapat juga di dalamnya para ahli kimia dan interior bumi?
dan mangan, yang disebut sebagai common elements atau unsur-unsur umum.
Di samping unsur-unsur yang umum dijumpai, dalam magma juga terdapat unsurunsur jarang atau rare elements. Saat mengalami pendinginan, cairan magma
mengalami pengendapan kristal dari berbagai jenis mineral hingga pembatuan
berlangsung sempurna, membentuk batuan beku atau batuan magmatik.
II.2. Lingkup Pembelajaran Vulkanologi
Menurut Tilling (1999), gunung api merupakan pegunungan, namun sangat
berbeda dengan jenis pegunungan yang lain. Gunung api tidak terbentuk dari
proses lipatan dan penghancuran, tapi oleh pengangkatan dan erosi. Tubuh
gunung api terbentuk dari akumulasi material hasil aktivitasnya, yaitu lava, bom
(aliran abu terkerakkan) dan tefra (abu jatuhan dan debu). Suatu gunung api
umumnya berbentuk bukit atau gunung kerucut yang dibangun di seputar kaldera
yang berhubungan dengan reservoir batuan cair. Reservoir tersebut terletak di
bawah permukaan bumi pada kedalaman 1,5-10 km. Jadi, menurutnya lingkup
pembelajaran vulkanologi berawal dari sumber (reservoir), tempat magma
pembentuk gunung api berasal, hingga geomorfologi dan material yang
menyusunnya.
Menurut Alzwar dkk (1988), gunung api adalah suatu timbulan di permukaan
bumi, yang tersusun atas timbunan rempah gunung api, tempat dengan jenis dan
kegiatan magma yang sedang berlangsung, dan tempat keluarnya batuan leleran
dan rempah lepas gunung api dari dalam bumi. Jika gunung api harus berbentuk
timbulan, maka tipe gunung api perisai tidak termasuk di dalamnya. Jika gunung
api tersebut adalah aktivitas magma yang sedang berlangsung, maka gunung api
yang telah mati (tidak aktif) tidak termasuk di dalamnya. Hal itu menimbulkan
suatu kontroversi mengenai morfologi kerucut gunung api seperti Gunung
Ungaran, Merbabu, Muria, Lawu dan lain-lain, yang tidak dapat dimasukkan
sebagai gunung api. Apalagi gunung api-gunung api purba yang kini hanya
menyisakan batuan-batuan gunung api saja, seperti Pegunungan Kulon Progo,
Pegunungan Menoreh, Gunung Lasem dan Gunung Gajah Mungkur di Wonogiri.
Maka, bagian-bagian tersebut tidak termasuk pula sebagai gunung api.
9
Menurut MacDonald (1972), gunung api adalah tempat / bukaan berasalnya atau
keluarnya batuan pijar atau gas dan / umumnya keduanya ke permukaan bumi,
hingga lama-kelamaan terakumulasi dan membentuk bukit atau gunung. Menurut
Bronto (2006), gunung api merupakan tiap-tiap proses alam yang berhubungan
dengan kegiatan kemunculan magma ke permukaan bumi, meliputi asal-usul
pembentukan magma di dalam bumi hingga kemunculannya di permukaan bumi
dalam berbagai bentuk dan kegiatannya (Gambar II.1). Jadi setiap magma yang
muncul ke permukaan bumi adalah gunung api.
10
Gambar II.2. Interdisciplinarry proses pembelajaran vulkanologi terhadap ilmuilmu pendukung yang lain.
II.3. Proses Tektonisme Vs. Vulkanisme
Proses vulkanisme yang membentuk gunung api, tidak pernah lepas dari tatanan
tektonik, di mana gunung api tersebut berada. Sedangkan tatanan tektonik dari
suatu daerah berhubungan dengan proses tektonik lempeng secara global. Secara
umum, bumi tersusun atas beberapa lapisan material bumi yang dapat dibagi
dalam tiga lapisan, yaitu inti bumi, selubung (mantle bumi) dan kerak bumi
(Gambar II.3). Inti bumi terletak di bagian paling dalam, memiliki ketebalan 3478
km. Inti bumi dibagi menjadi dua lapisan, yaitu inti dalam bersifat padat, tersusun
atas Ni dan Fe, dan berada pada kedalaman 5100-6378 km; dan inti luar bersifat
plastis-cair, tersusun atas oksida Fe, sulfur dan bijih nikel, serta berada pada
kedalaman 2900-5100 km. Mantel (selubung bumi) dapat dibagi dalam dua
lapisan, yaitu selubung dalam yang bersifat cair dan selubung luar yang bersifat
plastis, keduanya tersusun atas Mg dan SiO2. Lapisan bumi paling luar disebut
kerak bumi, bersifat padat dan kaku (mudah patah). Tabel II.1. adalah sifat dan
komposisi lapisan-lapisan inti, selubung dan kerak bumi.
11
Kerak bumi
Selubung
(mantel atas)
Tipe batuan
30
720
Selubung
bawah
2.171
Inti luar
2.259
Inti dalam
Ketebalan
keseluruhan
1.221
2,2
Batuan silisik
2,9
Andesit, basalt
bagian dasar
3,4
pada
Peroksit, oksida
4,4
5,6
9,9
12,2
12,8
13,1
6.371
12
Gambar II.5. Gugusan api (ring of fire) yang terdiri atas zona tunjaman dan
gugusan gunung api yang menghubungkan tunjaman Kormadec di
New Zealand hingga tunjaman Peru di Amerika Selatan, melalui
14
Indonesia,
Filipina,
Jepang,
Aleutia
(pubs.usgs.gov/publications/text/fire.html).
dan
Amerika
Gambar II.6. Busur gunung api di Indonesia akibat penunjaman lempeng Pasifik
di bawah lempeng Eurasia (Simkin & Siebert, 1994).
15
16
Tabel II.2. Material penyusun bagian dalam bumi dan sifat-sifatnya (sumber:
Mason & Moore, 1982)
Sifat-sifat Model Tepian Lempeng
magma
Konvergen
Divergen
Seri batuan
Alkalin
Toleeitik
Kalk-alkalin
Jenis lempeng
Samudra
Benua
Tabel II.3. Tiga tipe seri magmatik batuan gunung api yang pembentukannya
dikontrol berdasarkan tatanan tektoniknya
NORMS
SERI MAGMATIK
Tipe Toleeitik
Tipe Kalk-alkalin
Tipe Alkalin
Ortopiroksen
Ortopiroksen
Tanpa Ortopiroksen
Piroksen rendah
Ca
Sebagai fenokris
Jarang
Magnetit
Terbentuk di akhir
Terbentuk di awal
Bervariasi
Oksida Fe-Ti
Biasanya ilmenit
Magnetit dan
ilmenit
Bervariasi
Amfibol
Melimpah, kecuali
Dijumpai di semua
dari magma primitif jenis
Sifat kimia
Ca+Na > Mg
(Ca+Na pd CPX,
amfibol, aegirin, dll)
MOR
Ya
Busur kepulauan
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Busur magmatik
Ya
Ya
Ya
17
Didasarkan atas Kandungan SiO2 dalam magma, tipe / kelompok batuan gunung
api dan keterdapatannya terhadap tatanan tektoniknya (Tabel II.4). Beberapa
magma muncul sebagai batuan ultramafik, karbonatan, dan lava yang bersifat
sangat alkalin.
Tabel II.4. Beberapa tipe magma dari batuan gunung api berdasarkan kandungan
silika dan keterdapatannya berdasarkan tatanan tektoniknya
SiO2 (%) Tipe magma
Tatanan tektoniknya
~50
Basa / mafik
Basal
~60
Intermediet
menengah
/ Andesit
~65
~70
LATIHAN TUGAS
1. Bagaimana tatanan tektonik di Indonesia, gambarkan?
2. Tipe gunung api apa yang dapat berkembang di Indonesia? Mengapa
demikian?
3. Tugas dikumpulkan: merangkum jenis-jenis batuan gunung api yang
dihasilkan oleh kegiatan Gunung Merapi, Gunung Kelut, Gunung Semeru,
Gunung Krakatau, Gunung Galunggung, Gunung Muria, Gunung Marapi,
Gunung Lewotobi, Gunung Tambora, Gunung Talang dan Gunung Gamalama;
sumber data: BPPTK Yogyakarta
18
19
yaitu ketika elastisitas sumbat magma mencapai titik kritis hingga tidak mampu
lagi menahan tekanan letusan, maka terjadilah letusan gunung api.
III.2. Tipe Erupsi Gunung Api
Didasarkan atas mekanisme erupsinya, ada tiga tipe erupsi gunung api, yaitu:
a. Tipe erupsi freatik, yaitu jika tekanan erupsi dibentuk oleh tekanan gas yang
terkandung di dalam pipa kepundan dan / bagian atas dapur magma. Dalam
tubuh gunung api tersusun atas batuan sarang yang banyak mengandung air.
Lapisan sarang tersebut berdekatan dengan sumber magma panas, sehingga
terjadi pendidihan airtanah membentuk uap (gas). Uap air terakumulasi dan
menekan sumbat gunung api ke atas. Ketika sumbat gunung api tidak mampu
menahan tekanan tersebut, terjadilan letusan freatik. Tipe erupsi freatik
menghasilkan material gunung api berupa abu dan debu gunung api, serta gas
bertekanan tinggi. Contoh: letusan Gunung Papandayan (Garut) pada tahun
2003-2004. Pada tipe letusan ini, magma tidak sampai ikut terlontarkan.
b. Tipe erupsi magmatik, terjadi jika tipe magmanya basaltik, encer dan rekahan
(kawah gunung api) tidak tersumbat. Magma mengalir ke permukaan dengan
tekanan rendah. Erupsi magmatik biasa terjadi pada gunung api tipe perisai
pada gugusan punggungan tengah samudra dan tipe strato. Material yang
dierupsikan adalah lava seperti pembentukan kubah lava pada gunung api tipe
strato di Gunung Merapi, aliran lava pahoehoe, banjir (sungai) lava dan lava
Aa seperti Gunung Kilauea di Hawaii.
c. Tipe erupsi freatomagmatik, terjadi pada gunung api yang memiliki tekanan
erupsi sangat besar dan viskositas magma tinggi. Saat letusan berlangsung,
gunung api memuntahkan material fragmental, berasal dari fragmentasi
magmanya sendiri dan material runtuhan batuan dinding saat deflasi letusan.
Campuran material fragmental membentuk awan padat berdensitas tinggi.
Fragmen-fragmen yang lebih besar, seperti blok dan bom gunung api jatuh
kembali ke dalam kawah dan sekitarnya. Kumpulan material jatuhan tersebut
bergerak secara cepat menuruni lereng sebagai aliran debris awan panas di
20
bawah pengaruh gaya gravitasi bumi. Beberapa material yang berukuran lebih
kecil membentuk kolom letusan dan terbawa angin, lalu terendapkan di suatu
tempat sebagai material jatuhan piroklastika. Partikel abu yang paling halus
dilontarkan ke atmosfer (pada lapisan stratosfer) dan untuk beberapa saat
terbawa angin hingga beberapa puluh kilometer, untuk selanjutnya diendapkan
di suatu tempat.
21
Gambar III.2. Tipe-tipe erupsi gunung api didasarkan atas tingkat eksplosivitas
dan tinggi kolom letusan; Ft % tefra yang dilontarkan dan Ad (km2)
jarak terjauh sebaran material letusannya (Cas et al., 1988 dan
Walker, 1973).
a. Lava fountain, yaitu lava yang dilepaskan secara besar-besaran, seperti
meluahnya gelembung gas ke udara. Dalam hal ini, tingkat eksplosivitas
letusannya ditentukan dari kandungan volatil dalam magma. Magma yang
22
23
dari kawah gunung api, menyembur lebih tinggi dari puncak tinggi kolom
erupsinya.
f. Tipe "Pelan" atau "Nue Ardente (guguran awan panas), seperti yang
dijumpai di gunung Mayon (Philipina) pada 1968. Erupsinya dicirikan oleh
kandungan gas, debu, abu dan fragmen hancuran lava yang dilontarkan sevara
vertikal dari kawah gunung api. Beberapa fragmen diendapkan kembali di
seputar kawah, menyerupai bentuk tongue, sebagai guguran avalans yang
menuruni lereng dengan kecepatan lebih dari 100 mile/jam. Tipe letusan ini
dikategorikan besar dan banyak memakan korban jiwa, seperti letusan
Gunung St. Pierre pada 1902, bagian dari Gunung Pele di Martinique, Lesser
Antilles.
g. Tipe Plinian atau Vesuvian adalah tipe letusan gunung api yang ditandai
dengan pembentukan kolom letusan setinggi 45 km atau lebih tinggi dan
melontarkan material dinding dan isi kawah gunung api. Tipe erupsi ini
sering terjadi pada gunung api bertipe komposit. Tipe letusan ini terjadi pada
letusan Gunung Vesuvius di Italia pada 79 M. Erupsi dicirikan oleh letusan
eksplosif yang kaya akan gas laten, membentuk awan yang menyerupai
kelopak bunga di atas gunung api, komposisi material erupsi dasitik sampai
riolitik, kecepatan gaya konveksi letusan beberapa ratus meter per detik, dan
letusan ini menghasilkan tefra yang sangat tebal dan sebarannya luas, tersusun
atas pumis dan abu gunung api. Karena kecepatannya yang tinggi, dan volume
material lontarannya sangat besar, maka dampak yang dihasilkannya pun
besar. Letusan Gunung Krakatau (1883 M), Tambora (1815 M) dan Vesuvius
(79 M) adalah contoh tipe letusan Plinian yang pernah terjadi di dunia.
Tabel III.1. Indeks letusan gunung api (ILG), tipe dan periode erupsi dan contoh
letusan gunung apinya (Newhall and Self, 1982)
ILG Pemerian
Tinggi
kolom
Volume
(km3)
Klasf.tipe
erupsi
Periode
Contoh
non-explosif
<100 m
10-6an
Hawaiian
Harian
Kilauea
Lemah
100-1000
10-5an
m
Explosif
1-5 km
Bersifat
merusak
3-15 km
Kataklismik
10-25 km 10-1 an
Vulc/Plinian
Paroxismal
>25 km
Satuan
Plinian
Kolossal
>25 km
Puluhan
Plin/UltraPlinian
Superkolossal
>25 km
Ratusan Ultra-Plinian
Ribuan
tahun
Megakolossal
>25 km
1,000s
km3
Haw/Strombo
Harian
lian
Stromboli
10-3an
Strom/Vulkan
Mingguan
ian
Galeras, 1992
10-2an
Vulcanian
Tahunan
Ruiz, 1985
Puluhan
tahun
Ratusan
tahun
Ratusan
tahun
Galunggung,
1982
Ultra-Plinian
Menurut Newhall & Self (1982), letusan-letusan dengan VEI 4-5 sangat jarang
terjadi. Didasarkan pada hasil pengamatan letusan-letusan gunung api di dunia,
Simkin & Siebert (1994) menjumpai letusan ber-VEI 4-5 hanya terjadi dalam 20
kali dan VEI 2-3 terjadi dalam 20 kalinya VEI 4-5 (Tabel III.2).
Tabel III.2. Nilai VEI dan total letusan gunung api yang pernah terjadi di dunia
(Simkin & Siebert, 1994)
VEI
Jumlah letusan
487
623
3176
733
119
19
Menurut Sparks, et al. (1978), jarangnya letusan gunung api dengan VEI lebih
besar atau sama dengan empat menandakan faktor-faktor yang mengontrol letusan
tersebut sangat sulit terjadi. Letusan-letusan besar tersebut dibentuk oleh magma
jenuh air atau hampir jenuh air; air berubah menjadi uap sehingga meningkatkan
tekanan magma. Makin tinggi gradien tekanan magma pada reservoir magma,
25
Gambar III.3. Gambaran secara umum tipe letusan, ciri dan jenis endapannya
(Sheridan and Wohletz, 1983a)
LATIHAN TUGAS
1. Tipe gunung api apa dengan tipe erupsi yang bagaimana yang sering
berdampak bencana terbesar?
2. Tipe gunung api apa yang dapat berkembang di Indonesia? Mengapa
demikian?
3. Tugas dikumpulkan: merangkum kegiatan Gunung Merapi; sumber data:
BPPTK Yogyakarta
26
Didasarkan pada bentang alam dan jenis batuan yang menyusun tubuh gunung
api, para ahli vulkanologi mengelompokkannya menjadi empat tipe gunung api,
yaitu gunung api komposit atau strato (composite volcanoes), gunung api perisai
(shield volcanoes), dan kubah lava (lava domes). Tipe gunung api lain yaitu maar,
cincin tuf, skoria tuf dan kerucut tuf terbentuk dari letusan tunggal gunung api,
baik secara freatik maupun freatomagmatik.
IV.1. Gunung api Komposit (Composite volcanoes)
Gunung api tipe komposit paling umum dijumpai di dunia, disebut juga gunung
api-strato. Gunung api ini dicirikan oleh bentukan lereng berundak, kerucut
simetri dan tubuh yang besar. Tubuh gunung api tersusun atas perselingan lava,
abu gunung api, endapan sinder, blok dan bom; dapat mencapai tinggi 2,5 km
(8000 kaki), dan merupakan jenis gunung api terindah (Gambar IV.1.a). Contoh:
Gunung Merapi (Gambar IV.1.b), Galunggung, Kelud, Semeru dan Slamet
(Indonesia), Fuji (Jepang), Cotopaxi (Ekuador), Shasta (California), Hood
(Oregon), Pinatubo (Philipina), Rainier (Washington), Ruapehu (Newzealand), del
Ruiz (Colombia), Colima (Meksiko) dan lain-lain.
Kebanyakan tipe gunung api komposit memiliki kawah di puncak, tempat
berpusatnya kepundan atau kelompok kepundan. Lava mengalir melalui zona
rekahan pada dinding kawah atau di sepanjang pipa pada lerengnya. Lava
mengalami pemadatan di dalam celah membentuk gang (dike) yang berperan
sebagai tulang rusuk (rib) yang dapat memperkuat kerucut gunung api.
Ciri utama tipe komposit adalah adanya sistem konduit, yaitu bagian gunung api
yang dilalui magma dari dapur magma (bumi) ke permukaan. Tubuh gunung api
tersusun atas akumulasi material yang dierupsikan melalui konduit tersebut dan
makin lama makin bertambah besar oleh lava, sinder, abu dan lain-lain yang
dihasilkan selama periode aktivitasnya berlangsung. Saat gunung api ini
27
a.
b.b
Gambar IV.1.
Hampir 90% kepulauan di Indonesia tersusun atas batuan gunung api bertipe
komposit. Beberapa sisa-sisa gunung api komposit ini terdapat di Jawa, yaitu
Pegunungan Kulon Progo, Ponorogo-Pacitan, Jatibarang, Cikotok, Pongkor,
Pangandaran, Cupunagara dan lain-lain. Aktivitas gunung api dari gugusan
Pegunungan Kulon Progo dan Ponorogo-Pacitan barangkali mirip dengan
aktivitas Merbabu-Telomoyo-Ungaran-Tidar-Merapi masa kini. Keduanya
memiliki afinitas magma induk andesitis, yang memproduksi aliran lava, abu
piroklastika dan beberapa lahar pada fasies medialnya.
28
Gambar IV.2.
29
a.
Gambar IV.3.
b.b
(a) Bentukan tipe gunung api perisai, seketsa oleh Tiling (1997).
(b) Gunung api Alcedo (Galapagos), foto: Camp (2000).
30
air sering terbreksiasi membentuk breksi autoklastik. Breksi ini dicirikan oleh
komposisi fragmen dan matriksnya sama. Lava basaltis di dasar laut tidak mampu
mengalir dalam jarak yang jauh, biasanya membentuk struktur bantal yang
memanjang sesuai dengan arah alirannya.
Gambar IV.4.
32
Gambar IV.5.
33
Gambar IV.6.
Setelah seluruh gas dilepaskan, magma diefusikan sebagai lava encer menuruni
lereng di sekitar kerucut gunung api. Tipe erupsi kerucut sinder Strombolian,
secara monogenetik, dengan kolom letusan yang terdiri atas tefra basalt setinggi
beberapa ratus meter. Kecuali kerucut sinder Cerro Negro, di sisi barat laut
34
pada
tahun
1946
telah
menghancurkan
kota
San
Juan
(www.usgs.volcano.gov/science).
b. Maar dan cincin tuf
Tipe gunung api tersebut dihasilkan oleh erupsi eksplosif hidrovulkanik, yang
menghasilkan depresi berbentuk melingkar dengan rim rendah akibat lontaran
debris. Letusan itu dipicu oleh naiknya kolom magma karena intrusi diapirik.
Depresi maar dapat menyingkapkan bagian dasar pada dinding lubang bagian
dalam. Cincin tuf (tuff ring) sendiri dibangun di atas batuan dasar. Maar
mengandung material batuan dinding terfragmentasi yang lebih besar. Jadi
endapan maar dihasilkan dari letusan freatik yang dibentuk oleh intrusi diapirik
yang menyinggung airtanah. Cincin tuf mengandung fragmen-fragmen material
magmatik yang lebih banyak (juvenil), contoh: tuf palagonit. Jadi, cincin tuf
dihasilkan dari kombinasi airtanah yang terpanaskan dengan vesikulasi magma
(erupsi freatomagmatik) akibat intrusi yang relatif dangkal.
35
Maar hampir menyerupai kerucut tuf, dibedakan dengan kawah yang dangkal dan
morfologi yang datar. Tipe gunung api ini diinterpretasi oleh banyak ahli
terbentuk di atas diatrema yang dihasilkan oleh letusan yang sangat besar. Letusan
tersebut dihasilkan oleh ekspansi gas atau magmatik. Diameter maar bervariasi
yaitu 200-6.500 ft dengan kedalaman kawah 30-650 ft, yang biasanya kawah
terisi air membentuk danau alam. Kebanyakan maar memiliki rim (lingkaran
kawah) yang tersusun atas campuran material lepas dan fragmen batuan gunung
api dan hancuran batuan dinding dari diatrema.
Maar dan cincin tuf dapat ditemukan di bagian barat Amerika Serikat, di daerah
Eifel (Jerman), Arab Saudi (Gambar IV.7) dan daerah-daerah dengan gunung api
muda di dunia.
Gambar IV.7.
Maar (atas) dan cincin tuf (tuff ring: bawah) di Saudi Arabia
(www.geologi.sdsu.edu/).
36
Fosil maar juga banyak dijumpai di sekitar Gunung Muria, Jawa Tengah, seperti
maar Gembong, maar Gunungrowo dan maar Bambang. Rim kawah maar
tersusun atas batuan piroklastika hasil letusan hidrovulkanik, lava basalt dan
batuan dasar. Contoh ideal letusan maar dijumpai di Zuni Salt Lake di New
Mexico. Danau garam ini berada pada dasar kawah datar yang dangkal dengan
diameter
6.500
kaki
dan
sedalam
400
kaki
(http://pubs.usgs.gov/gip/volc/structures). Rim rendah ini tersusun atas pecahanpecahan lepas lava basaltik dan batuan dinding (dasar) yaitu batupasir, serpih dan
batugamping. Contoh lain adalah erupsi Tarawera yang dapat menimbun tiga desa
dan membunuh sedikitnya 150 orang di Pulau New Zealand Utara pada 1886
(www.geologi.sdsu.edu/).
LATIHAN TUGAS:
37
38
Gambar V.1. Skema ruang lingkup material erupsi gunung api, yang terdiri atas
kolom letusan, piroklastika aliran, lava, gas dan lahar (Anonim,
2000).
V.2. Mekanisme Aliran Lava
Aliran lava merupakan material vulkanik yang sangat umum dijumpai di Hawaii.
Karena suhunya yang tinggi, lava tersebut dapat berbahaya bagi yang dilalunya.
Di permukaan, lava basaltik, seperti yang dierupsikan oleh Gunung Mauna Kea,
kohala, Mauna Loa dan Hualalai di komplek gunung api perisai Hawaii (Gambar
V.2), kecepatannya jauh lebih tinggi dibandingkan orang berlari
(pubs.usgs.gov/gip/intro). Lava dierupsikan ke permukaan secara efusif dalam
bentuk material plastis. Pada lereng yang lebih curam, lava mengalir dengan laju
yang lebih cepat dan lebih berbahaya. Pada ujung aliran, lajunya lebih lambat
dibandingkan dengan orang berjalan. Selama erupsi Mauna Loa pada 1950, laju
ujung lava rata-rata mencapai 6 mph selama lebih dari 2 jam.
Laju aliran lava ditentukan oleh kemiringan lereng, gaya gravitasi bumi dan
volume lava yang dierupsikan. Aliran dengan volume yang besar menghasilkan
laju aliran yang lebih tinggi. Jarak yang ditempuh oleh tubuh aliran tergantung
39
dari laju dan durasi erupsi, makin lama maka makin besar dan jangkauannya
makin jauh. Laju aliran lava juga ditentukan dari afinitas dan komposisi lava.
Gambar V.2. Gugusan gunung api perisai di Hawaii yang menghasilkan aliran
lava basaltik (www.pubs.usgs.gov/gip/intro).
Erupsi bertipe Hawaii dicirikan oleh komposisi basaltik, beberapa periode erupsi
berperilaku beda. Erupsi Hualalai pada 1800-1801 menghasilkan aliran lava yang
lebih encer dibandingkan dengan erupsi-erupsi Gunung Kilauea dan Mauna Loa.
Erupsi lava yang menghasilkan lava fountain (hujan lava) dan banjir lava
(Gambar V.3), sungai lava (Gambar V.4) dan genang lava (Gambar V.5).
Gambar V.3. Erupsi lava basaltik melalui kawah Pu'u 'O'o di Gunung Kilauea
(1983), aliran lava ke arah timur hingga 12 mil dari puncak gunung
api (www.pubs.usgs.gov/gip/intro).
40
Gambar V.4. Erupsi lava melalui kawah gunung api yang menghasilkan sungai
atau banjir lava di Gunung .
Gambar V.5. Erupsi Gunung Kupaianaha yang menghasilkan genang lava. Lava
mengalir dari kawah gunung api dan terkumpul dalam suatu pipa
lava, kawah lama gunung api (www.pubs.usgs.gov/gip/intro)
V.3. Mekanisme Aliran Piroklastika
41
Menurut MacDonald (1972) dan Fisher & Schminke (1984), mekanisme aliran
piroklastika dapat berlangsung dalam empat mekanisme (Gambar V.6), yaitu:
a. Runtuhan eksplosif vertikal atau sering disebut pembentukan kolom erupsi
plinian, material erupsi jatuh kembali ke permukaan tanah, tertransportasi
dan terendapkan.
b. Ledakan lateral, seperti yang terjadi di Gunung. St. Helens pada 1980.
c. Luapan berlebih (boiling-over ), yaitu akibat kandungan gas yang sangat
tinggi dalam magma yang dierupsikan melalui pipa kepundan.
d. Runtuhan gravitasional pada kubah lava yang sangat panas.
meliputi diameter butir material, komposisi dan hubungan antar lapisan batuan
(Tabel V.1). Sebagai contoh jatuhan abu menutupi topografi (di semua
permukaan tanah yang terjangkau), aliran piroklastika mengikuti topografi (di
lembah), aliran piroklastika = nuee ardente = glowing ash cloud dengan campuran
abu pijar dan gas membentuk tubuh fluida/semifluida. Kecepatannya > 200
km/jam; suhu > 600C; tekanan tinggi dan bersifat korosif
Tabel V.1. Beberapa istilah produk lontaran gunung api dan sifat umumnya dari
material yang berkomposisi andesit-basal (dari rangkuman beberapa
buku: McPhie et al., 1993; Fisher and Schmincke, 1984; Cas and
Wright, 1988; dan Gary et al., 1972).
Ukuran Nama
butir
> 6 cm
Endapan
terkonsolidasi
Aglomerat
Breksi
vulkanik
44
2 mm 6 cm
Lapilli :
tuff lapilli
(Lapilli Tuff)
Pumis
Accretionary lapili
45
1/16 - 2
mm
Ash-fall Tuff
<1/16
istilah
umum
untuk
semua
endapan
piroklastika
takterkonsolidasi
(abu, blok dan
bom)
46
Sinder
Kerucut sinder
Di permukaan, material letusan pada zona batas atas, tersusun atas lontaran
material berdensitas rendah (abu-lapili) membentuk kolom letusan. Pada tubuh
aliran utama, yang terletak pada bagian paling bawah, terdiri atas campuran
padatan-gas dengan konsentrasi partikel tinggi, abu-litik-bom yang berdiameter
abu hingga bongkah. Dinamika pengendapan aliran piroklastika ini dikontrol oleh
gaya gravitasi bumi dan tekanan aliran. Zona batas bawah berupa seruakan
piroklastika yang diendapkan secara turbulen, terdiri atas campuran gas dan abu
gunung api konsentrasi partikel sangat rendah, sebagai efek dari tekanan
turbulensi yang sangat cepat dan panas.
Dalam endapan piroklastika, baik jatuhan, aliran maupun seruakan; material yang
menyusunnya dapat berasal dari batuan dinding, magmanya sendiri, batuan kubah
lava dan material yang ikut terbawa saat transportasinya. Secara megaskopis,
fragmen batuan tersebut dicirikan oleh:
1. Fragmen endapan piroklastika yang berasal dari fragmentasi magma saat
letusan dicirikan oleh bentuk butir menyudut hingga membulat. Fragmen bom
biasanya membulat, permukaannya berstruktur kerak roti dan warnanya abuabu sampai kemerahan. Fragmen blok berbentuk menyudut, masif dan lebih
47
menjadi tiga yaitu seruakan pangkal (base surge), seruakan dasar (ground surge)
dan seruakan abu cendawan (ash cloud surge) (Gambar V.7). Seruakan pangkal
dihasilkan dari letusan freatomagmatik (Moore, 1967), dicirikan oleh material
abu-granule,
kadang-kadang
(kebanyakan)
mengandung
pumis,
struktur
Gambar V.8. Tefra endapan abu dan debu jatuhan piroklastika dari letusan
Gunung Redoubt pada tahun 1989-1990, yang tersusun atas pumis
berukuran lapili, fragmen arang kayu 8 cm, fragmen litik dan abu
kasar (USGS).
Secara umum, endapan seruakan piroklastika biasanya mengandung arang kayu
(charcoal) yang sangat halus dengan diameter kurang dari 5 cm, tidak sebanyak
dan
sebesar
pada
endapan
aliran
piroklastika,
terebaran
mengikuti
50
Gas jejak
N, H, S,
F, Ar,
CO, CL
Gas toksik
HCl, HF
H2SO4
H2S
yang tercium sesaat setelah menyalakan korek api. Jika keduanya hadir bersamasama, maka dapat bereaksi dengan cepat membentuk sulfatara dan uap air.
52
Vog adalah sulfur dioksida yang dilepaskan di puncak gunung api. Sulfur
yang terkandung pada tubuh pipa lava bereaksi dengan oksigen, partikel
debu, sinar matahari dan air, membentuk campuran aerosol sulfat, asam
sulfur, dan jenis oksida sulfat yang lain. Vog tersebut selanjutnya terbawa
angin dan dapat menyebabkan hujan asam.
Laze adalah campuran dari asam hidroklorik dan uap air laut; ketika lava
menyentuh air laut, terjadi reaksi kimia antara lava panas dan air laut,
menghasilkan asap putih. Asap laze juga dapat membentuk hujan asam
dengan pH 1,5-2,5, bersifat sangat korosif pada kulit dan pakaian, serta
dapat menyebabkan iritasi pada tenggorokan, mata, telinga dan hidung.
53
54
55
LATIHAN TUGAS:
FIELD
TRIP
KE
PEGUNUNGAN
SELATAN
DAN
DATARAN
56
Jumlah
ko
rb
an
36.800
1. Awan panas
2. Lontaran/ hujan batu
(pijar)
3. Longsoran
gunung api
batuan
Bahaya Sekunder
48,4
Jumlah
korb
an
28.400
37,4
banjir bandang
2. Pencemaran air
tanah &
permukaan
3. Kekurangan air
bersih dan sehat
57
4. Lahar letusan
5. Aliran lava
6. Hujan abu (jatuhan)
7. Tsunami/ gelombang
pasang air laut
8. Gas beracun
100
0,1
3.000
4,0
400
0,5
1.900
2,5
4. Kelaparan dan
penyakit menular
Lain-lain
3.200
4,2
2.200
2,5
9. Gempa bumi
10. Hentakan udara &
petir
11. Deformasi
permukaan tanah
12. Anomali geotermal/
letusan freatik
13. Anomali air tanah
14. Lubang letusan baru
ilmu
terapan
yang
berupaya
untuk
meningkatkan
usaha
58
1. Pada saat terjadi bencana (disaster impact quick response), oleh petugas
SAR (Search and Resque) dan anggota masyarakat untuk menyelamatkan
jiwa penduduk dan harta benda yang terlanda bencana. Contoh:
a)
b)
c)
d)
2. Rehabilitasi
(recovery),
dilakukan
setelah
bencana
berlalu,
yaitu
di
tingkat
Penanggulangan
pusat
Bencana
adalah
Ketua
(Bakornas
PB),
Badan
Koordinasi
merangkap
sebagai
Nasional
Menteri
penanggulangan
bencana
dinamakan
Satuan
Pelaksana
Penanggulangan Bencana (Satlak PB) yang diketuai oleh Bupati atau Walikota,
dan beranggota pemerintah daerah, komando teritorial dan organisasi sosialkemasyarakatan di daerah tersebut. Pada tingkat kecamatan dan desa organisasi
penanggulangan bencana dinamakan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana
(Satgas PB).
60
mendukung
analisis
letusan
freatik,
freatomagmatik
dan
61
pengamatan dan penanggulangannya. Peta ini merupakan salah satu hasil tindak
lanjut dari studi penilaian potensi bahaya gunung api.
Peta kawasan rawan bencana gunung api (Gambar VI.1) meliputi:
a. Kawasan rawan bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda
lahar/ banjir dan hujan abu, serta tidak menutup kemungkinan dapat
terkena perluasan awan panas, aliran lava dan lontaran batu (pijar) apabila
letusan membesar. Di kawasan ini masyarakat harus waspada jika terjadi
erupsi/ letusan gunung api dan atau hujan lebat, melaporkan kejadian
bahaya yang mengancam keselamatan jiwa dan kerusakan harta benda
sambil menunggu instruksi dari pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
b. Kawasan rawan bencana II berpotensi terlanda awan panas, lava,
lontaran atau guguran batu (pijar), lahar dan gas beracun. Jika terjadi
peningkatan kegiatan gunung api, masyarakat harus mengungsi. Penduduk
dapat kembali bila daerahnya telah dinyatakan aman kembali.
c. Kawasan rawan bencana III: sering terlanda awan panas, aliran lava,
lontaran atau guguran batu (pijar), dan gas beracun. Kawasan ini hanya
diberlakukan pada gunung api yang sangat giat atau sering meletus, seperti
G. Merapi, G. Semeru dan G. Batur. Kawasan ini tidak direkomendasikan
untuk pemukiman tetap. Jika kegiatan gunung api meningkat, masyarakat
umum dilarang melakukan kegiatan apapun di wilayah ini.
Peta kawasan rawan bencana gunung api hanya berlaku untuk kegiatan kegiatan
gunung api bersekala kecil sampai menengah, yaitu dengan ILG 3 atau lebih
kecil, tipe letusan sebesar-besarnya Vulkanian, dan dengan sejarah erupsi yang
sama. Untuk mengantisipasi penyimpangan kegiatan, perlu disusun skenario yang
lain, contoh: untuk ILG menengah (4-5), dan ILG besar (6; Bronto, 1989).
Keberhasilan penggunaan peta kawasan rawan bencana tergantung dari hasil
pemantauan dan perkiraan besarnya letusan yang akan datang.
62
Gunung
Merapi
63
Gambar VI.5. Contoh variasi intensitas magnetik antara stasiun IJO dan LEM di
Gunung Merapi (BPPTK).
Pemantauan dengan metoda geokimia bertujuan untuk mengetahui perilaku
magma yang sedang bergerak ke permukaan. Contoh: analisis gas di udara
dan di dalam tanah, air dari danau kawah, mata air panas, mata air dingin, air
sungai berhulu di daerah puncak, dan lain-lain (contoh pada Tabel VI.3).
Analisis kimia dapat meliputi unsur mayor, unsur minor atau jarang tanah
serta isotop. Gambar 10.14 menunjukkan grafik data kandungan HCl dan SO 2
di dalam gas solfatara di kawah Gendol, G. Merapi. Salah satu alat untuk
mendeteksi gas SO2 di udara adalah COSPEC (Correlation Spectrometer).
Tabel VI.3. Contoh hasil pengukuran gas Gunung Merapi pada 2 Februari 1992
Unsur gas dalam
kawah
Peningkatan pada 2
Februari 1992
Uap air
HCl
SO2
CO2
H2
O2+
Ar
18,95
0,1
0,74
0,03
2,86
0,02
0,00
98,13
10,53
10,86
1,66
35,77
11,6
3,28
67
Masyarakat
meningkatkan
kewaspadaan
terhadap kemungkinan terjadinya bencana
sambil menunggu perintah lebih lanjut dari
pemerintah daerah setempat, yaitu peningkatan
penjagaan (ronda/ siskamling), perbaikan pos
jaga, perbaikan jalan/ rute pengungsian,
penyediaan
alat
peringatan
(kentongan,
lodspeaker, bedug, sirine) dll. Pemerintah
daerah dan instansi terkait mulai memberikan
penyuluhan, merencanakan pengadaan bahan/
peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan
untuk usaha penyelamatan dan pengungsian.
68
DAFTAR BACAAN
Adams, M. C., Moore, J. N., and Forster, C., 1985. Fluid flow in volcanic terrains
hydrogeochemisty of the Meager Mountain thermal system. Geotherm. Res.
Council Trans. 9: 377382.
Alzwar, M., 1985, G. Kelut, Berita Berkala Volkanologi Edisi Khusus, no. 108, Direkt.
Vulkanologi, 60.
Alzwar, M., H. Samodra and J.J. Tarigan, 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunung api,
Nova, Bandung, 226.
Anderson, E. M., 1936. The dynamics of the formation of cone-sheets, ringdykes, and
cauldron subsidences. Proc. Roy. Soc., Edinburgh 56 : 128163.
Anonim, 1997, Volcanoes and associated topics in relation to nuclear power plant siting,
Provisional Safety Standards Series no. 1, Internat. Atomic Energy Agency, Vienna,
49.
Bakornas PB, 1997a, Pedoman Penyusunan Prosedur Tetap Satuan Koordinasi
Pelaksanaan Penanggulangan Bencana (Protap Satkorlak PB), Sekretariat
Bakornas PB, Kantor Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3F, Jakarta Pusat,
10.
Bakornas PB, 1997b, Pedoman Penyusunan Prosedur Tetap Satuan Pelaksana
Penanggulangan Bencana (Protap Satlak PB), Sekretariat Bakornas PB, Kantor
Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3F, Jakarta Pusat, 10.
Bakornas PB, 1997c, Buku Pedoman Tim Reaksi Cepat, Sekretariat Bakornas PB, Kantor
Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3 F, telp. (021) 3507521 3453283,
Fax.3454383, E-mail : bakornas@dnet.net.id, Jakarta Pusat, 22.
Bronto, S., 1992, Volcanoes and their volcanic hazard map preparations, Prosid.
EMNHD-2, Yogyakarta, Vo.3.1-3.13.
Bronto, S., 1995a, Awan panas, bahaya dan penanggulangannya, Lokakarya strategi
penanganan Kawasan Merapi Pasca Bencana 22 November 1994 di UGM
Yogyakarta, 30 Januari, 28.
Carey, S. N. and Sigurdsson, H., 1982. Influence of particle aggregation on deposition of
distal tephra from the May 18, 1980 eruption of Mount St. Helens volcano. J.
Geophys. Res. 87 : 70617072.
Carey, S. and Sparks, R. S. J., 1986. Quantitative models of the fallout and dispersal of
tephra from volcanic eruption columns. Bull. Volcanol. 48 : 109125
Cas, R. A. F. and Wright, J. V., 1987. Volcanic successions: Modern and ancient. Allen
and Unwin, London, 528 pp.
Crandell, D. R., Miller, C. D., Glicken, H. X., Christiansen, R. L., and Newhall, C. G.,
1984. Catastrophic debris avalanche from ancestral Mount Shasta volcano,
California. Geology 12 : 143146.
Crowe, B. M. and Fisher, R. V., 1973. Sedimentary structures in base-surge deposits with
special reference to cross-bedding, Ubehebe Craters, Death Valley, California.
Geol. Soc. Am. Bull. 84 : 663682
Curtis, G. H., 1954. Mode of origin of pyroclastic debris in the Mehrten Formation of the
Sierra Nevada. Univ. Calif. Publ. Geol. Sci. 29 : 453502
69
Davis, J. C., 1973. Statistics and data analysis in geology . Wiley and Sons, New York,
550 pp.
Decker, R., 1987. Dynamics of Hawaiian volcanoes: an overview. U.S. Geol. Surv. Prof.
Pap. 1350, pp. 9971018.
Druitt, T. H. and Bacon, C. R., 1986. Lithic breccia and ignimbrite erupted during the
collapse of Crater Lake, Oregon. J. Volcanol. Geotherm. Res. 29 : 132.
Druitt, T. H. and Sparks, R. S. J., 1982. A Proximal ignimbrite breccia facies on Santorini,
Greece. J. Volcanol. Geotherm. Res. 13 : 147172.
Druitt, T. H. and Sparks, R. S. J., 1984. On the formation of calderas during ignimbrite
eruptions. Nature 310 : 679681.
Fisher, R. V. and Schmincke, H.-U., 1984. Pyroclastic rocks . Springer-Verlag, Berlin,
472 pp.
Fisher, R. V. and Smith, G. A., 1991. Volcanism, tectonics, and sedimentation. In: R. V.
Fisher and G. A. Smith (Eds.), Sedimentation in volcanic settings . Soc. Econ.
Paleontol. Mineral. Spec. Pub. 45, pp. 18.
Fisher, R. V., Schmincke, H.-U., and Bogaard, P. v. d., 1983. Origin and emplacement of
a pyroclastic flow and surge unit at Laacher See, Germany. J. Volcanol. Geotherm.
Res. 17 : 375392.
Fournier, R. O. and Rowe, J.J., 1966. Estimation of underground temperatures from the
silica content of water from hot springs and wet-steam wells. Am. J. Sci. 264 : 685
697.
Frazzetta, G., La Volpe, L., and Sheridan, M. F., 1983. Evolution of the Fossa cone,
Vulcano. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 329360.
Gill, J., 1981. Orogenic andesites and plate tectonics . Springer-Verlag, New York, 390
pp.
Katsui, Y., 1963. Evolution and magmatic history of some Krakatoan calderas in
Hokkaido, Japan. J. Fac. Sci. Hokkaido Univ. Ser. 4, 11 : 631650.
Keller, J., 1980. The island of Vulcano. Rend. Soc. Ital. Min. Petrol. 36 : 369414.
Kokelaar, P., 1986. Magma-water interactions in subaqueous and emergent basaltic
volcanism. Bull. Volcanol. 48 : 275290.
Kusumadinata, K., 1979, Data Dasar Gunung api Indonesia, Direktorat Vulkanologi,
Bandung, 820.
Lorenz, V., 1986. On the growth of maars and diatremes and its relevance to the
formation of tuff rings. Bull. Volcanol. 48 : 265274.
MacDonald, G. A., 1972. Volcanoes . Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 510 pp.
Marsh, B. D., 1979a. Islandarc volcanism. Am. Sci. 67 : 161172.
Marsh, B. D., 1979b. Island arc development: some observations, experiments, and
speculations. J. Geol. 87 : 687713.
Marsh, B. D. 1984. On the mechanics of caldera resurgence. J. Geophys. Res. 89 : 8245
8252.
Marsh, B. D. and Carmichael, I. S. E., 1974. Benioff zone magmatism. J. Geophys. Res.
79 : 11961206.
70
McPhie, J., M. Doyle & R. Allen, 1993, Volcanic Textures. A guide to the interpretation
of textures in volcanic rocks, Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, Univ.
Tasmania, 196
Miller, C. D., 1985. Holocene eruptions at the Inyo volcanic chain, California:
implication for possible eruptions in Long Valley caldera.Geology 13:1417
Neumann van Padang, M., 1931. Der Ausbruch des Merapi (Mittel Java) im Jahre 1930.
Zeit. Vulkan. 14 : 135148.
Neumann van Padang, M., 1951. Part IIndonesia. In: Catalogue of the active
volcanoes of the world . Int'l. Volcanol. Assoc., Napoli, 271 pp.
Newhall, C. G. and Melson, W. G., 1987. Explosive activity associated with the growth
of volcanic domes. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 111131.
Newhall, C. G. and Dzurisin, D., 1988. Historical unrest at large calderas of the World.
U.S. Geological Survey Bull. 1855, 1108 pp.
Newhall, C.G. & S. Self, 1982, The Volcanic Explosivity Index (VEI): An Estimate of
Explosive Magnitude for Historical Volcanism, J. Geophys. Res., 87, 1231-1238
Schmincke, H.-U., Fisher, R. V., and Waters, A. C., 1973. Antidune and chute and pool
structures in the base surge deposits of the Laacher See area, Germany.
Sedimentology 20 : 553574.
Self, S., 1983. Large-scale phreatomagmatic silicic volcanism: A case study from New
Zealand. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 433469.
Self, S. and Sparks, R. S. J., 1978. Characteristics of widespread pyroclastic deposits
formed by the interaction of silicic magma and water. Bull. Volcanol. 41 : 196212.
Self, S. and Sparks, R. S. J. (Eds.), 1981. Tephra studies . D. Reidel Publ. Co., Dordrecht,
Holland, 481 pp.
Sheridan, M. F., 1971. Particle-size characteristics of pyroclastic tuffs. J. Geophys. Res.
76 : 56275634.
Sheridan, M. F., 1979. Emplacement of pyroclastic flows: a review. Geol. Soc. Am. Spec.
Pap. 180, pp. 125136.
Sheridan, M. F., Barberi, F., Rosi, M., and Santacroce, R., 1981. A model for Plinian
eruptions of Vesuvius. Nature 289 : 282285.
Sheridan, M. F. and Wohletz K. H., 1981. Hydrovolcanic eruptions I. The systematics of
water-pyroclast equilibration. Science 212 : 13871389.
Sheridan, M. F. and Wohletz, K. H., 1983a. Hydrovolcanism: basic considerations and
review. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 129.
Sheridan, M. F. and Wohletz, K. H., 1983b. Origin of accretionary lapilli from the
Pompeii and Avellino deposits of Vesuvius. In: R. Gooley (Ed.), Microbeam
analysis 1983. San Francisco Press, San Francisco, pp. 3538.
Sheridan, M. F., Wohletz, K. H., and Dehn, J., 1987. Discrimination of grainsize
subpopulations in pyroclastic deposits. Geology 15 : 367370.
Sheridan, M. F., Moyer, T. C., and Wohletz, K. H., 1981. Preliminary report on the
pyroclastic products of Vulcano. Mem. Soc. Astron. Ital. 52 : 523527
Sigurdsson, H., Carey, S., Cornell, W., and Pescatore, T., 1985. The eruption of Vesuvius
in A.D. 79. Nat'l. Geograph. Res. 1 (3): 332387.
71
Simkin, T. and L. Siebert, 1994, Volcanoes of the world, 2nd ed., Geoscience Press inc.,
Tucson, Arizona,349.
Simkin, T., L. Siebert, L. McClelland, D. Bridge, C.G. Newhall, J.H. Latter, 1981,
Volcanoes of the world, Smithsonian Institution, Hutchinson Ross Publ. Co.,
Stroudsberg, Pennsylvania, 232.Sparks, R. S. J., 1976. Grain size variations in
ignimbrites and implications for the transport of pyroclastic flows. Sedimentology
23 : 147188.
Sparks, R. S. J. and Wilson, L., 1976. A model for the formation of ignimbrite by
gravitational column collapse. J. Geol. Soc. London 132 : 441451.
Sparks, R. S. J., Wilson, L., and Hulme, G., 1978. Theoretical modeling of the
generation, movement, and emplacement of pyroclastic flows by column collapse.
J. Geophys. Res. 83 : 17271739.
Sparks, R. S. J., and Wilson, L., 1982. Explosive volcanic eruptions: V. Observations of
plume dynamics during the 1979 Soufriere eruption, St. Vincent. Geophys. J. Roy.
Astr. Soc. 69 : 551570.
Valentine, G. A. and Wohletz, K. H., 1989. Numerical models of plinian eruption
columns and pyroclastic flows. J. Geophys. Res. 94 : 18671877.
van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia . Gov't. Printing Office, The
Hague, 732 pp.
Verbeek, R. D. M., 1885, Krakatau . Imprimerie de l'Etat, Batavia, Java, 495 pp.
Walker, G. P. L., 1980. The Taupo Pumice: product of the most powerful known
(ultraplinian) eruption? J. Volcanol. Geotherm. Res. 8 : 6994.
Walker, G. P. L., 1971. Grain-size characteristics of pyroclastic deposits. J. Geology 79 :
696714.
Walker, G. P. L., 1973. Explosive volcanic eruptionsa new classification scheme. Geol.
Rundsch. 62 : 431446.
Walker, G. P. L. and Croasdale, R., 1972. Characteristics of some basaltic pyroclastics.
Bull. Volcanol. 35 : 303317.
Walker, G. P. L., Wilson, L., and Bowell, E. L. G., 1971. Explosive volcanic eruptions
I: The rate of fall of pyroclasts. Geophys. J. Roy. Astr. Soc. 22 : 377383.
Walker, G. P. L., Wilson, C. J. N., and Froggatt, P. C., 1980. Fines depleted ignimbrite in
New Zealandthe product of a turbulent pyroclastic flow. Geology 8 : 245249.
Walter, A. W. and Weaver, C. S., 1980. Seismicity of the Coso Range, California. J.
Geophys. Res. 85 : 24412458.
Williams, H. and McBirney, A. R., 1979. Volcanology . Freeman, Cooper, and Co., San
Francisco, 397 pp.
Williams H., Turner, F. J., and Gilbert, C. M., 1982. PetrographyAn introduction to the
study of rocks in thin sections . 2nd ed., W. H. Freeman and Company, San
Francisco, 626 pp.
Williams, R. S., Jr. and Moore, J. G., 1983. Man against volcano: The eruption on
Heimaey, Vestmannaeyjar, Iceland. U.S. Geol. Surv. Circ., 27 pp.
Wohletz, K. H., 1986. Explosive magmawater interactions: thermodynamics, explosion
mechanisms, and field studies. Bull. Volcanol. 48 : 245264.
72
Wohletz, K. H., 1987. Chemical and textural surface features of pyroclasts from
hydrovolcanic eruption sequences. In: J. R. Marshall (Ed.), Clastic particles . Van
Nostrand Reinhold Company Inc., New York, pp. 7997.
Wohletz, K. H. and Crowe, B. M., 1978. Development of lahars during the 1976 activity
of La Soufrire de Guadeloupe. Geol. Soc. Am. Abs. Prog. 10 : 154.
Wohletz, K. H. and Sheridan M. F., 1979. A model of pyroclastic surge. Geol. Soc. Am.
Spec. Pap. 180, pp. 177193.
Wohletz, K. H. and Sheridan, M. F., 1983. Hydrovolcanic explosions II: evolution of
basaltic tuff rings and tuff cones. Am. J. Sci. 283 : 385413.
Wohletz, K. H., McGetchin, T. R., Sandford II, M. T., and Jones, E. M., 1984.
Hydrodynamic aspects of caldera-forming eruptions: numerical models. J.
Geophys. Res. 89 : 82698285.
Wohletz, K. H. and McQueen R. G., 1984, Experimental studies of hydromagmatic
volcanism. In: Explosive volcanism: inception, evolution, and bazards , Studies in
Geophysics, National Academy Press, Washington, pp. 158169.
Wohletz, K., Heiken, G., Ander, M., Goff, F., Vuataz, F.-D., and Wadge, G., 1986. The
Qualibou caldera, St. Lucia, West Indies. J. Volcanol. Geotherm. Res. 27 : 77115.
Wohletz, K. H., Sheridan, M. F., and Brown, W. K., 1989. Particle size distributions and
the sequential fragmentation/transport theory applied to volcanic ash. J. Geophys.
Res. 94 : 15,70315,721.
Wohletz, Kenneth, and Heiken. Grant, 1992. Volcanology
Energy. Berkeley: University of California Press, 432 p.
and
Geothermal
Wright, J. V., Smith, A. L., and Self, S., 1981. A working terminology of pyroclastic
deposits. J. Volcanol. Geotherm. Res. 8 : 315336.
Wright, J. V., Roobol, M. J., Smith, A. L., Sparks, R. S. J., Brazier, S. A., Rose, W. I. Jr.,
and Sigurdsson, H., 1984. Late Quaternary explosive silicic volcanism on St.
Lucia, West Indies, Geol. Mag. 121 : 115.
Wright, P. M. and Ward, S. H., 1985. Application of geophysics to exploration for
concealed hydrothermal systems in volcanic terrains. Geotherm. Res. Council
Trans. 9 : 423428.
www.geologi.sdsu.edu
pubs.usgs.gov/publications/
73