Anda di halaman 1dari 73

BAB I.

AKTIVITAS GUNUNG API


I.1. Pendahuluan
Lebih dari 80% permukaan bumi, baik di dasar laut hingga daratan tersusun atas
ribuan gunung api. Di Indonesia saja, terdapat 128 gunung api aktif yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke (lihat Gambar VII.9 pada Bab VII), dan sebanyak 84
di antaranya menunjukkan aktivitas eksplosifnya sejak 100 tahun terakhir.
Emisi gas yang dihasilkan oleh aktivitas gunung api, kita sadari maupun tidak,
telah berperan besar dalam kehidupan baik dalam bertahan hidup maupun
berevolusi. Selama era pembentukan bumi, letusan gunung api telah
menghasilkan / membentuk bentang alam indah, berupa pegunungan, paparan,
dataran dan lembah. Bentang alam tersebut makin diperindah oleh proses-proses
eksogen berupa pelapukan dan erosi, serta pembentukan soil yang subur, sehingga
vegetasinya lebat dan terlihat warna biru dari kejauhan.
Gunung api selalu membangun dirinya sendiri dan sekaligus menghancurkan
tubuhnya dan apapun di sekitarnya. Tidak dipungkiri bahwa lahan yang dibentuk
oleh hasil pelapukan aktivitas gunung api serta kandungan unsur-unsur / gasnya
dapat menyuburkan lahan pertanian. Ironisnya, meskipun lahan tersebut sangat
subur, dari waktu ke waktu, tetap saja terancam akan bahaya gunung api, baik
langsung maupun tidak langsung. Ibarat makan buah simalakama, di samping
kesuburan dan sumber daya alam yang melimpah, juga berbahaya.
I.2. Bencana Letusan Gunung api yang Pernah Ada
Bencana alam yang ditimbulkkan oleh aktivitas gunung api meliputi aliran dan
seruakan piroklastika (awan panas), jatuhan bom gunung api, abu dan debu
gunung api, aliran lava dan gas. Bencana ikutannya adalah guguran awan panas,
lava dan lahar. Di dunia, sedikitnya 13 kali letusan sangat besar dengan korban
jiwa yang sangat besar juga sejak 2000 tahun yang lalu (Tabel I.1). Letusanletusan gunung api dengan indeks letusan 4-8 sangat jarang terjadi, karena

letusan-letusan besar tersebut memerlukan energi letusan yang sangat besar,


dengan waktu akumulasi yang sangat lama.
Tabel I.1.

Letusan-letusan besar gunung api di dunia yang banyak memakan


korban jiwa (sumber: Oppenheimer (2003), dan Smithsonian Global
Volcanism Program; ILG: indeks letusan gunung api)
Tinggi kolom
letusan (km)

ILG

N. hemis-phere
(C)

79

Taupo

181

51

Baekdu

969

25

67

Kuwae

1452

0.5

Huaynaputina

1600

46

0.8

1400

Tambora

1815

43

0.5

> 71,000

Krakatau

1883

25

0.3

36,600

Santamara

1902

34

Tanpa anomali

Katmai

1912

32

0.4

Mt. St. Helens

1980

19

Tanpa anomali

57

El Chichn

1982

32

45

> 2,000

Nevado del Ruiz

1985

27

Tanpa anomali

23,000

Pinatubo

1991

34

0.5

Erupsi
Vesuvius

tahun

Korban

7,00013,000

1202

Letusan Gunung Vesuvius (Italia) yang terjadi pada 24 dan 25 Agustus 79 M,


yang melanda daerah Pompeii, Stabei dan Herculaneum. Sekitar 20.000 jiwa dan
ribuan tempat tinggal terkubur oleh material rempah gunung api tersebut (Gambar
I.1). Contoh bencana alam gunung api yang lain adalah guguran awan panas di
desa Turgo, lereng Gunung Merapi pada 22 November 1994, yang menelan
sedikitnya 60 jiwa, harta benda dan tempat tinggal (Gambar I.2). Untuk dapat
bertahan di lingkungan gunung api, diperlukan manajemen bencana, yaitu
perencanaan yang matang dan pemahaman akan aktivitasnya.

Gambar I.1. Sisa reruntuhan dampak bencana letusan Gunung Vesuvius pada
tanggal 24 dan 25 Agustus 79 M yang dilatarbelakangi oleh
gunung api tersebut (sumber: www.volcano.und.nodak.edu).

Gambar I.2. Guguran awan panas 22 November 1994 (atas, foto: Mongin, 1994)
dan korban seruakan di Dusun Turgo (bawah; foto: Bronto, 1994).
Abu dan debu hasil erupsi gunung api dapat merusak pertanian. Kasus ini biasa
terjadi saat aktivitas Gunung Merapi meningkat, seperti pada periode aktif 1994,
3

1997, 2002 dan 2006 (Gambar I.3 kiri). Erupsi Gunung Kilauea (Hawaii) pada
1969-1974 menyebabkan gagal panen di Kona dan Puna (http://pubs.usgs.gov/
gip/hazards; Gambar I.3 kanan). Letusan gunung api juga dapat mengacaukan
navigasi pesawat terbang, abu dan debu gunung api menghalangi jarak pandang
pilot. Dampak lain yang ditimbulkan adalah kebakaran, seperti di Kalapana
(Hawaii) oleh lava Kupainaha pada 1991 (http://pubs.usgs.gov/gip/hazards).
Erupsi gunung api juga dapat membentuk rekahan di permukaan tanah, akibat
tenaga inflasi sebelum erupsi berlangsung. Contoh: rekahan di Kapoho (Hawaii)
oleh erupsi Gunung Kilaeua 1960 (Gambar I.4; http://pubs.usgs.gov/gip/hazards).

a.

b.
Gambar I.3. a. Daun tembakau di Dusun Stabelan (Kab. Boyolali) yang rusak
oleh abu gunung api Merapi pada Juli 2006. b. Kebun tales yang
rusak oleh abu gunung api Galunggung pada 1994
4

Gambar I.4. Aliran lava basalt di Gunung Kilauea (Hawaii) April 1983 yang
mengakibatkan kebakaran dan memotong jalan Royal Garden (foto:
JD. Griggs, USGS).
Letusan gunung api juga dapat memicu tsunami, seperti letusan Gunung Krakatau
pada 26 Agustus 1883. Tsunami tersebut hingga setinggi 40 m dan membunuh
sedikitnya 36.000 orang di sepanjang selat Sunda (Gambar I.5).

a.

b.
Gambar I.5. Krakatau sebelum dan setelah letusan 26 Agustus 1883 (kiri) dan
morfologi tiga dimensi Anak Krakatau, Lang dan Verlaten (kanan)
(Simkin & Fiske, 1983).
5

Menurut Simkin dan Fiske (1983), tsunami tersebut terrekam hingga Samudra
India, Samudra Pasifik, pantai barat Amerika, Amerika Selatan dan
Terusan Inggris. Awan gelap dirasakan hingga New York yang berjarak
4828 km dari Gunung Krakatau. Letusan tersebut dicirikan oleh nilai
Indeks Letusan Gunung api (ILG) 6 dan tenaga yang dilepaskannya
mencapai 200 mega ton TNT (Pararas-Carayannis, 1974). Sebagai
perbandingan, kekuatan bom di Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) pada
tanggal 16 Agustus 1945 adalah 20 ribu ton. Meskipun letusan Krakatau
pada 1883 dikategorikan besar, namun letusan Gunung Santorin (Thera)
di Samudra Aegean pada abad ke 5 SM dengan ILG 6 intensitasnya 1,5x
lebih kuat dari Krakatau 1883.
Bencana gunung api yang lain adalah lahar. Lahar dari Gunung Nevado del Ruiz
(Columbia) pada 13 November 1985 mencapai Desa Armero di sepanjang Sungai
Lagunilas dan Guali sejauh 70 km, menelan 22.000-27.000 korban jiwa, serta
mengendapkan sedimen setebal 4-10 m (Parnell dan Burke, 1990; Gambar I.6).
Lahar letusan Gunung Kelut pada tahun 1990, menewaskan sedikitnya 33 orang,
serta 500 rumah dan 55 sekolahan rusak berat, di sepanjang Kali Bladag. Contoh
lain adalah lahar di Gunung Pinatubo (1991), El Palmar (1989), St. Hellens
(1982), Villarrica (1984), Galunggung (1994) dan lain-lain.

Gambar I.6. Lahar Gunung Nevado del Ruiz yang mencapai Desa Armero
(Columbia) pada 13 November 1985 yang memakan 22.000-27.000
korban jiwa (foto: Janda, Cascade Volcano Observatory, USGS).
LATIHAN TUGAS:
1. Jelaskan mengapa ada gunung api di permukaan bumi!
2. Apa pentingnya vulkanologi bagi manusia dan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan?
3. Apa hubungan gunung api dengan manusia?
4. Apa hubungan gunung api dan komponen fisik bumi?
5. Apa hubungan gunung api dan tektonika?
6. Mengapa dalam perkumpulan / organisasi ahli-ahli vulkanologi sedunia,
terdapat juga di dalamnya para ahli kimia dan interior bumi?

BAB II. PROSES VULKANISME

II.1. Pengertian Vulkanologi


Berasal dari bahasa Italia yaitu kata vulcano yang berarti Dewa Api (penjaga
pada tubuh gunung api). Dalam bahasa Belanda vulkaan yang berarti gunung
api. Dalam bahasa Inggris: volkanologi berasal dari kata volcanology, yaitu
volcano (= gunung api) dan logos (ilmu). Jadi, di Indonesia dapat menyebutnya
ilmu gunung api, vulkanologi atau volkanologi, namun penyebutan harus secara
konsisten.
Kata Volcano (gunung api) pertama kali berasal dari pulau kecil yang bernama
Volcano, terletak di Laut Mediterania, Sicily. Berabad-abad tahun yang lalu,
masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut mempercayai bahwa di atas puncak
Gunung Volcano tinggal seorang dewa yang bernama Volcan. Mereka berpikir
bahwa fragmen-fragmen lava panas dan awan abu letusan yang dierupsikan
Volcano adalah hasil / bagian dari tempaan besi Dewa Volcan hingga
menimbulkan petir, saat sang dewa menempa /memukul besi baja untuk diolah
menjadi senjata. Senjata tersebut diperuntukkan bagi Jupiter (raja dewa) dan Mars
(dewa perang). Di Polinesia, masyarakat percaya bahwa material yang
dierupsikan dari Gunung Pele adalah luapan kemarahan Pele (sebutan untuk
Dewi Gunung api), saat dia marah atau kecewa. Kini, kita telah memahami bahwa
erupsi gunung api adalah sesuatu proses alamiah yang dapat kita pelajari,
diinterpretasi dan diprediksi kapan kejadiannya.
Kata gunung api (volcano) juga mengacu pada bukaan atau kaldera, tempat
magma dan gas muncul ke permukaan. Magma adalah batuan lelehan yang
terletak di bawah permukaan bumi, muncul ke permukaan melalui pipa kepundan,
jika telah dierupsikan ke permukaan disebut lava. Saat magma naik ke
permukaan, biasanya mengandung kristal, fragmen dari batuan dinding (takterlelehkan) dan gas terlarut. Namun, pada dasarnya komposisi magma terdiri dari
oksigen, silikon, aluminium, besi, magnesium, kalsium, kalium, natrium, titanium
8

dan mangan, yang disebut sebagai common elements atau unsur-unsur umum.
Di samping unsur-unsur yang umum dijumpai, dalam magma juga terdapat unsurunsur jarang atau rare elements. Saat mengalami pendinginan, cairan magma
mengalami pengendapan kristal dari berbagai jenis mineral hingga pembatuan
berlangsung sempurna, membentuk batuan beku atau batuan magmatik.
II.2. Lingkup Pembelajaran Vulkanologi
Menurut Tilling (1999), gunung api merupakan pegunungan, namun sangat
berbeda dengan jenis pegunungan yang lain. Gunung api tidak terbentuk dari
proses lipatan dan penghancuran, tapi oleh pengangkatan dan erosi. Tubuh
gunung api terbentuk dari akumulasi material hasil aktivitasnya, yaitu lava, bom
(aliran abu terkerakkan) dan tefra (abu jatuhan dan debu). Suatu gunung api
umumnya berbentuk bukit atau gunung kerucut yang dibangun di seputar kaldera
yang berhubungan dengan reservoir batuan cair. Reservoir tersebut terletak di
bawah permukaan bumi pada kedalaman 1,5-10 km. Jadi, menurutnya lingkup
pembelajaran vulkanologi berawal dari sumber (reservoir), tempat magma
pembentuk gunung api berasal, hingga geomorfologi dan material yang
menyusunnya.
Menurut Alzwar dkk (1988), gunung api adalah suatu timbulan di permukaan
bumi, yang tersusun atas timbunan rempah gunung api, tempat dengan jenis dan
kegiatan magma yang sedang berlangsung, dan tempat keluarnya batuan leleran
dan rempah lepas gunung api dari dalam bumi. Jika gunung api harus berbentuk
timbulan, maka tipe gunung api perisai tidak termasuk di dalamnya. Jika gunung
api tersebut adalah aktivitas magma yang sedang berlangsung, maka gunung api
yang telah mati (tidak aktif) tidak termasuk di dalamnya. Hal itu menimbulkan
suatu kontroversi mengenai morfologi kerucut gunung api seperti Gunung
Ungaran, Merbabu, Muria, Lawu dan lain-lain, yang tidak dapat dimasukkan
sebagai gunung api. Apalagi gunung api-gunung api purba yang kini hanya
menyisakan batuan-batuan gunung api saja, seperti Pegunungan Kulon Progo,
Pegunungan Menoreh, Gunung Lasem dan Gunung Gajah Mungkur di Wonogiri.
Maka, bagian-bagian tersebut tidak termasuk pula sebagai gunung api.
9

Menurut MacDonald (1972), gunung api adalah tempat / bukaan berasalnya atau
keluarnya batuan pijar atau gas dan / umumnya keduanya ke permukaan bumi,
hingga lama-kelamaan terakumulasi dan membentuk bukit atau gunung. Menurut
Bronto (2006), gunung api merupakan tiap-tiap proses alam yang berhubungan
dengan kegiatan kemunculan magma ke permukaan bumi, meliputi asal-usul
pembentukan magma di dalam bumi hingga kemunculannya di permukaan bumi
dalam berbagai bentuk dan kegiatannya (Gambar II.1). Jadi setiap magma yang
muncul ke permukaan bumi adalah gunung api.

Gambar II.1. Ruang lingkup pembelajaran vulkanologi dan ilmu-ilmu turunannya


yang lain (Bronto, 2006).
Dalam proses pembelajarannya, vulkanologi membutuhkan interdisiplinarry
dengan ilmu-ilmu geologi murni, seperti geofisika, vulkanologi fisik, petrologi
dan geokimia; serta ilmu-ilmu terapan yang lain, seperti sosial dan ekonomi
(Gambar II.2)

10

Gambar II.2. Interdisciplinarry proses pembelajaran vulkanologi terhadap ilmuilmu pendukung yang lain.
II.3. Proses Tektonisme Vs. Vulkanisme
Proses vulkanisme yang membentuk gunung api, tidak pernah lepas dari tatanan
tektonik, di mana gunung api tersebut berada. Sedangkan tatanan tektonik dari
suatu daerah berhubungan dengan proses tektonik lempeng secara global. Secara
umum, bumi tersusun atas beberapa lapisan material bumi yang dapat dibagi
dalam tiga lapisan, yaitu inti bumi, selubung (mantle bumi) dan kerak bumi
(Gambar II.3). Inti bumi terletak di bagian paling dalam, memiliki ketebalan 3478
km. Inti bumi dibagi menjadi dua lapisan, yaitu inti dalam bersifat padat, tersusun
atas Ni dan Fe, dan berada pada kedalaman 5100-6378 km; dan inti luar bersifat
plastis-cair, tersusun atas oksida Fe, sulfur dan bijih nikel, serta berada pada
kedalaman 2900-5100 km. Mantel (selubung bumi) dapat dibagi dalam dua
lapisan, yaitu selubung dalam yang bersifat cair dan selubung luar yang bersifat
plastis, keduanya tersusun atas Mg dan SiO2. Lapisan bumi paling luar disebut
kerak bumi, bersifat padat dan kaku (mudah patah). Tabel II.1. adalah sifat dan
komposisi lapisan-lapisan inti, selubung dan kerak bumi.

11

Gambar II.3. Lapisan-lapisan penyusun bumi (Mason & Moore, 1982).


Tabel II.1.

Kerak bumi

Selubung
(mantel atas)

Material penyusun bagian dalam bumi dan sifat-sifatnya (sumber:


Mason & Moore, 1982)
Ketebalan Densitas (gr/cm3)
(km)
Atas (top) Bawah
(bottom)

Tipe batuan

30

720

Selubung
bawah

2.171

Inti luar

2.259

Inti dalam
Ketebalan
keseluruhan

1.221

2,2

Batuan silisik

2,9

Andesit, basalt
bagian dasar

3,4

pada

Peridotit, eklogit, olivin,


spinel, garnet, piroksen
4,4

Peroksit, oksida

4,4

Magnesium dan SiO2

5,6

9,9

12,2

12,8

13,1

Fe+oksigen, sulfur, bijih


nikel
Fe+oksigen, sulfur, bijih
nikel

6.371

12

Pembangunan reservoir magma sering berkaitan dengan proses tektonik lempeng


di bawah permukaan bumi tersebut. Secara tektonik ada dua mekanisme
pembangunan reservoir magma, yaitu akibat pelelehan batuan dan adanya arus
konveksi pada lapisan mantel atas. Proses pelelehan terjadi karena adanya
tumbukan (subduksi) yang selanjutnya menyebabkan terjadinya gesekan yang
sangat kuat pada kedua lempeng. Gesekan tersebut, menghasilkan panas dan
tekanan hancuran yang tinggi. Material hancuran kemudian terlelehkan sebagian,
kemudian naik ke permukaan melalui zona rekahan dan terkumpul dalam suatu
reservoir dapur magma (Gambar II.4). Jika terdapat zona lemah yang mencapai
permukaan tanah, aliran magma akan melaluinya hingga mencapai permukaan
membangun tubuh gunung api.

Gambar II.4. Diagram tatanan tektonik mekanisme pembentukan dapur magma


gunung api (Tatsumi, 1989 dan Tatsumi dan Eggins, 1985).
Dengan dikontrol oleh daya apungan dan tekanan gas dalam massa cair panas
tersebut, magma mengalir ke permukaan melalui zona rekahan / zona yang paling
lemah. Karena sifatnya yang cair dan panas, maka magma tersebut kadang13

kadang juga mengerosi / menghancurkan material atau batuan yang dilaluinya.


Proses itu disebut sebagai erupsi, yaitu proses keluarnya magma ke permukaan
bumi melalui zona rekah / zona lemah. Di permukaan proses erupsi tersebut dapat
berlangsung secara efusif (lelehan) maupun eksplosif (ledakan/letusan). Proses
erupsi dalam satu tubuh gunung api dapat berlangsung secara berulang-ulang
secara periodik atau secara monogenetik (sekali bererupsi kemudian mati).
Proses vulkanisme yang dikontrol oleh tektonik lempeng, kini telah membentuk
beberapa gugusan gunung api di dunia, yaitu gugusan gunung api busur
kepulauan, gugusan gunung api busur magmatik dan gugusan gunung api
punggungan tengah samudra. Gugusan-gugusan gunung api tersebut dikenal
sebagai ring of fire (cincin api; Gambar II.5). Gugusan gunung api tersebut juga
dijumpai di Indonesia (Gambar II.6).

Gambar II.5. Gugusan api (ring of fire) yang terdiri atas zona tunjaman dan
gugusan gunung api yang menghubungkan tunjaman Kormadec di
New Zealand hingga tunjaman Peru di Amerika Selatan, melalui
14

Indonesia,
Filipina,
Jepang,
Aleutia
(pubs.usgs.gov/publications/text/fire.html).

dan

Amerika

Gambar II.6. Busur gunung api di Indonesia akibat penunjaman lempeng Pasifik
di bawah lempeng Eurasia (Simkin & Siebert, 1994).

II.4. Seri Batuan Gunung api Ditinjau dari TatananTektoniknya


Lebih dari ~90% gunung api terbentuk oleh proses tektonik, di awali dari proses
pembentukan magmanya, pembentukan rekahan tempat keluarnya magma hingga
tipe dan seri magmanya. Hanya sedikit sekali gunung api yang proses
pembentukannya tidak berhubungan dengan proses tektonik lempeng, dan hal itu
sangat sulit penjelasannya. Gunung api yang terbentuk akibat proses tektonik,
lebih mudah dijelaskan melalui konsep tektonik lempeng (Fisher and Schmincke,
1984; Wyllie, 1971; Gambar II.6).

15

Gambar II.7. Tatanan tektonik proses vulkanisme yang diinterpretasi berdasarkan


volume batuan intrusi dan ekstrusi di pemrukaan bumi, volume
magma
digambarkan
dalam
satuan
km3
per
tahun
(Fisher dan Schmincke, 1984.)
Berdasarkan tatanan tektonik yang berkembang, yaitu adanya jalur tunjaman dan
jalur pemekaran, muncul gugusan gunung api (vulcanic arch/magmatic arch) dan
gunung api yang dibentuk oleh proses pemekaran di belakang busur (hotspots).
Ke semua bentuk dan tipe gunung-apinya pun bervariasi, sesuai dengan tingkat
kedalaman dan proses pembentukan magma sumbernya. Gunung api yang
terbentuk oleh proses divergen (pemekaran) lantai samudra menghasilkan seri
batuan toleeitik. Gunung api yang terbentuk pada proses konvergen (penunjaman)
sehingga membentuk proses pelelehan batuan yang menunjam, menghasilkan seri
magma Kalk-alkalin, alkalin dan toleeitik. Gunung api yang terbentuk oleh proses
rifting (hotspot) di belakang busur kepulauan, menghasilkan seri batuan alkalin,
yang kaya akan kandungan unsur K. Tabel II.2. menginformasikan beberapa seri
batuan gunung api yang terbentuk berdasarkan tatanan tektoniknya.

16

Tabel II.2. Material penyusun bagian dalam bumi dan sifat-sifatnya (sumber:
Mason & Moore, 1982)
Sifat-sifat Model Tepian Lempeng
magma
Konvergen
Divergen
Seri batuan
Alkalin

Toleeitik

Kalk-alkalin

Jenis lempeng

Samudra

Benua

Batuan-batuan gunung api terbentuk dari proses pembekuan dan fragmentasi


magma dari seri-seri magmatik, sesuai dengan posisi tatanan tektoniknya. Secara
mineralogi, seri-seri magmatik tersebut memiliki komposisi mineral tertentu.
Tabel II.3 menjelaskan sifat mineralogi dan sifat kimia seri-seri magmatik tipe
toleeitik, Kalk-alkalin dan alkalin.

Tabel II.3. Tiga tipe seri magmatik batuan gunung api yang pembentukannya
dikontrol berdasarkan tatanan tektoniknya
NORMS

SERI MAGMATIK
Tipe Toleeitik

Tipe Kalk-alkalin

Tipe Alkalin

Ortopiroksen

Ortopiroksen

Tanpa Ortopiroksen

Piroksen rendah
Ca

Sebagai fenokris dan


massa dasar

Sebagai fenokris

Jarang

Magnetit

Terbentuk di akhir

Terbentuk di awal

Bervariasi

Oksida Fe-Ti

Biasanya ilmenit

Magnetit dan
ilmenit

Bervariasi

Amfibol

Hanya berasal dari


diferensiasi silika

Melimpah, kecuali
Dijumpai di semua
dari magma primitif jenis

Sifat kimia

Mg > Ca (Mg untuk


Ol, OPX dan CPX)

Ca > Mg (Ca pada


augit, amfibol,
titanit)

Ca+Na > Mg
(Ca+Na pd CPX,
amfibol, aegirin, dll)

MOR

Ya

Busur kepulauan

Ya

Tidak
Tidak

Tidak
Tidak

Busur magmatik

Ya

Ya

Ya

17

Didasarkan atas Kandungan SiO2 dalam magma, tipe / kelompok batuan gunung
api dan keterdapatannya terhadap tatanan tektoniknya (Tabel II.4). Beberapa
magma muncul sebagai batuan ultramafik, karbonatan, dan lava yang bersifat
sangat alkalin.
Tabel II.4. Beberapa tipe magma dari batuan gunung api berdasarkan kandungan
silika dan keterdapatannya berdasarkan tatanan tektoniknya
SiO2 (%) Tipe magma

Nama batuan seri


gunung api

Tatanan tektoniknya

~50

Basa / mafik

Basal

Mid oceanic ridge basalt

~60

Intermediet
menengah

/ Andesit

~65

Asam / felsik Dasit


rendah Si

Busur magmatik: lempeng benua


dengan dapur magma tengah (B)

~70

Asam / felsik Riolit


kaya Si

Busur magmatik: segregasi pada


lempeng benua dengan dapur
magma dalam (A)

Busur kepulauan dan busur


magmatik dangkal

LATIHAN TUGAS
1. Bagaimana tatanan tektonik di Indonesia, gambarkan?
2. Tipe gunung api apa yang dapat berkembang di Indonesia? Mengapa
demikian?
3. Tugas dikumpulkan: merangkum jenis-jenis batuan gunung api yang
dihasilkan oleh kegiatan Gunung Merapi, Gunung Kelut, Gunung Semeru,
Gunung Krakatau, Gunung Galunggung, Gunung Muria, Gunung Marapi,
Gunung Lewotobi, Gunung Tambora, Gunung Talang dan Gunung Gamalama;
sumber data: BPPTK Yogyakarta

18

BAB III. ERUPSI GUNUNG API, TIPE ERUPSI DAN INDEKS


LETUSAN GUNUNG API
III.1. Mekanisme Erupsi Gunung Api
Erupsi gunung api terjadi manakala magma yang tersimpan di dalam bumi, baik
dari dapur magma atau magma primer (reservoir magma), lapisan asthenosfer
maupun kantong-kantong magma dangkal, menembus ke permukaan bumi
melalui suatu bukaan / rekahan, yang terbentuk secara tektonik. Keluarnya
magma ke permukaan dapat berlangsung secara lelehan (effusif) maupun letusan
(eksplosif).
Material yang dierupsikan secara efusif adalah lava, yang selanjutnya dapat
tertumpuk di puncak gunung api, mengalir di lereng-lereng sampai kaki gunung
api, atau dapat pula menggantung pada lereng gunung api. Jika lava menggantung
pada lereng gunung api, maka dapat memicu terjadinya longsoran atau guguran
awan panas. Jika hal itu terjadi, maka lava masif tersebut terfragmenkan hingga
berukuran abu-bongkah, dan jika kemudian terjadi hujan lebat dalam waktu yang
singkat dapat longsor menjadi lahar (aliran debris lumpur). Aliran lava (secara
effusif) pada lava basaltik yang sangat encer di tengah samudra, dapat pula
membentuk letusan-letusan lava fountain menghasilkan tuf basaltik atau kerucut
skoria. Aliran lava biasanya terjadi pada gunung api yang memiliki seri magma
encer dengan kandungan silika rendah (basa) hingga sedang (intermediet).
Erupsi eksplosif dapat terjadi manakala kaldera tersumbat material, dapat berupa
kubah lava dan / rempah gunung api terfragmentasi. Material penyumbat kawah
tersebut mengeras (membatu), sehingga aliran magma ke permukaan tidak lancar.
Aliran magma yang tersumbat membentuk tekanan yang tinggi di bawah kawah.
Magma panas juga menguapkan airtanah yang ada di sepanjang pipa kepundan
hingga kawah gunung api. Saat tekanan magma dan gas terakumulasi maksimal,

19

yaitu ketika elastisitas sumbat magma mencapai titik kritis hingga tidak mampu
lagi menahan tekanan letusan, maka terjadilah letusan gunung api.
III.2. Tipe Erupsi Gunung Api
Didasarkan atas mekanisme erupsinya, ada tiga tipe erupsi gunung api, yaitu:
a. Tipe erupsi freatik, yaitu jika tekanan erupsi dibentuk oleh tekanan gas yang
terkandung di dalam pipa kepundan dan / bagian atas dapur magma. Dalam
tubuh gunung api tersusun atas batuan sarang yang banyak mengandung air.
Lapisan sarang tersebut berdekatan dengan sumber magma panas, sehingga
terjadi pendidihan airtanah membentuk uap (gas). Uap air terakumulasi dan
menekan sumbat gunung api ke atas. Ketika sumbat gunung api tidak mampu
menahan tekanan tersebut, terjadilan letusan freatik. Tipe erupsi freatik
menghasilkan material gunung api berupa abu dan debu gunung api, serta gas
bertekanan tinggi. Contoh: letusan Gunung Papandayan (Garut) pada tahun
2003-2004. Pada tipe letusan ini, magma tidak sampai ikut terlontarkan.
b. Tipe erupsi magmatik, terjadi jika tipe magmanya basaltik, encer dan rekahan
(kawah gunung api) tidak tersumbat. Magma mengalir ke permukaan dengan
tekanan rendah. Erupsi magmatik biasa terjadi pada gunung api tipe perisai
pada gugusan punggungan tengah samudra dan tipe strato. Material yang
dierupsikan adalah lava seperti pembentukan kubah lava pada gunung api tipe
strato di Gunung Merapi, aliran lava pahoehoe, banjir (sungai) lava dan lava
Aa seperti Gunung Kilauea di Hawaii.
c. Tipe erupsi freatomagmatik, terjadi pada gunung api yang memiliki tekanan
erupsi sangat besar dan viskositas magma tinggi. Saat letusan berlangsung,
gunung api memuntahkan material fragmental, berasal dari fragmentasi
magmanya sendiri dan material runtuhan batuan dinding saat deflasi letusan.
Campuran material fragmental membentuk awan padat berdensitas tinggi.
Fragmen-fragmen yang lebih besar, seperti blok dan bom gunung api jatuh
kembali ke dalam kawah dan sekitarnya. Kumpulan material jatuhan tersebut
bergerak secara cepat menuruni lereng sebagai aliran debris awan panas di
20

bawah pengaruh gaya gravitasi bumi. Beberapa material yang berukuran lebih
kecil membentuk kolom letusan dan terbawa angin, lalu terendapkan di suatu
tempat sebagai material jatuhan piroklastika. Partikel abu yang paling halus
dilontarkan ke atmosfer (pada lapisan stratosfer) dan untuk beberapa saat
terbawa angin hingga beberapa puluh kilometer, untuk selanjutnya diendapkan
di suatu tempat.

Gambar III.1. Beberapa tipe erupsi gunung api berdasarkan mekanisme


erupsinya, dengan menggunakan model di Gunung Vulcano. (a)
tipe freatik, (b-c) freatomagmatik dan (d) magmatik dari suatu seri
kegiatan
(siklus)
erupsi
Gunung
Vulcano,
Italia
(Frazzetta et al., 1983).
Didasarkan atas tinggi kolom letusan, jangkauan material letusan dan volume
material letusannya, ada 7 tipe letusan yaitu tipe Hawaiian, sumber lava (Lava

21

fountain), Strombolian, Surtseyan, Vulkanian, Phreatoplinian, Plinian (Vesuvian)


dan Peleean (Gambar III.2).

Gambar III.2. Tipe-tipe erupsi gunung api didasarkan atas tingkat eksplosivitas
dan tinggi kolom letusan; Ft % tefra yang dilontarkan dan Ad (km2)
jarak terjauh sebaran material letusannya (Cas et al., 1988 dan
Walker, 1973).
a. Lava fountain, yaitu lava yang dilepaskan secara besar-besaran, seperti
meluahnya gelembung gas ke udara. Dalam hal ini, tingkat eksplosivitas
letusannya ditentukan dari kandungan volatil dalam magma. Magma yang
22

kental memiliki tekanan dalaman 100 atm beberapa meter di bawah


permukaan. Kecepatan erupsi magma ditentukan dari seberapa besar
kandungan gas dalam magma. Pada erupsi plinian, kecepatan erupsi dapat
mencapai 400-600 m/dt. Kecepatan erupsi dapat ditentukan dari ukuran butir
blok yang diendapkan di dekat kawah. Tinggi lava fountain ditentukan dari
jumlah kandungan gas dalam magma yang dierupsikan. Tinggi lava fountain
dapat mencapai 200-800 m dengan kandungan air sebelum erupsi mencapai
0,3% sampai 0,6%.
b. Tipe Hawaian, ditemukan di sepanjang celah atau rekahan yang berfungsi
sebagai kawah linear. Contoh: erupsi Gunung Mauna Loa di Hawaii pada
1950 dan Gunung Kilauea pada tahun 1959. Pada tipe erupsi celah ini,
dicirikan oleh material erupsi adalah lelehan lava melalui zona pengangkatan
dan aliran (banjir) lava yang mengalir menuruni lereng. Pada erupsi pusat,
aliran / luahan lava ini dapat setinggi beberapa ratus kaki atau lebih. Pada
bentukan kawah purba, aliran lava tersebut dapat berbentuk danau lava, atau
kerucut, atau aliran terradiasi.
c. Tipe Strombolian: yaitu tipe erupsi gunung api dengan model erupsi Gunung
Iraz (Costa Rica) pada tahun 1965. Dicirikan oleh luahan lava pijar yang
berasal dari puncak gunung api, membentuk gugusan yang melengkung
sebagaimana langit. Pada lereng kerucut gunung api, lava mengental dan
bergabung dengan aliran (sungai) lava yang menuruni lereng.
d. Tipe Surtseyan, yaitu erupsi eksplosif hidrovulkanik lava basaltik Gunung
Surtsey pada 1963. Tipe erupsi ini hampir sama dengan erupsi tipe
Strombolian, hanya saja sedikit lebih eksplosif, yang dibentuk oleh
mekanisme hidrovulkaniknya. Sebagaimana air mendidih, maka terbentuk uap
dan makin tumbuh secara eksplosif, yang selanjutnya terjadi fragmentasi
magma hingga berukuran lebih kecil seperti abu halus.
e. Tipe Vulknian: didasarkan pada erupsi Gunung Parcutin pada 1947. Material
berdensitas yang terdiri dari campuran abu dan material lain dieksplosikan

23

dari kawah gunung api, menyembur lebih tinggi dari puncak tinggi kolom
erupsinya.
f. Tipe "Pelan" atau "Nue Ardente (guguran awan panas), seperti yang
dijumpai di gunung Mayon (Philipina) pada 1968. Erupsinya dicirikan oleh
kandungan gas, debu, abu dan fragmen hancuran lava yang dilontarkan sevara
vertikal dari kawah gunung api. Beberapa fragmen diendapkan kembali di
seputar kawah, menyerupai bentuk tongue, sebagai guguran avalans yang
menuruni lereng dengan kecepatan lebih dari 100 mile/jam. Tipe letusan ini
dikategorikan besar dan banyak memakan korban jiwa, seperti letusan
Gunung St. Pierre pada 1902, bagian dari Gunung Pele di Martinique, Lesser
Antilles.
g. Tipe Plinian atau Vesuvian adalah tipe letusan gunung api yang ditandai
dengan pembentukan kolom letusan setinggi 45 km atau lebih tinggi dan
melontarkan material dinding dan isi kawah gunung api. Tipe erupsi ini
sering terjadi pada gunung api bertipe komposit. Tipe letusan ini terjadi pada
letusan Gunung Vesuvius di Italia pada 79 M. Erupsi dicirikan oleh letusan
eksplosif yang kaya akan gas laten, membentuk awan yang menyerupai
kelopak bunga di atas gunung api, komposisi material erupsi dasitik sampai
riolitik, kecepatan gaya konveksi letusan beberapa ratus meter per detik, dan
letusan ini menghasilkan tefra yang sangat tebal dan sebarannya luas, tersusun
atas pumis dan abu gunung api. Karena kecepatannya yang tinggi, dan volume
material lontarannya sangat besar, maka dampak yang dihasilkannya pun
besar. Letusan Gunung Krakatau (1883 M), Tambora (1815 M) dan Vesuvius
(79 M) adalah contoh tipe letusan Plinian yang pernah terjadi di dunia.

III.3. Indeks Letusan Gunung api (ILG)


Intensitas letusan gunung api diukur dengan nilai Indeks Letusan Gunung api
(ILG). Nilai ILG ditentukan dari kualitas eksplosivitasnya, dan kuantitas
dari tinggi kolom letusan, volume material yang dilontarkan, klasifikasi
tipe erupsinya dan periode letusan (Newhall and Self, 1982; Tabel III.1).
24

Tabel III.1. Indeks letusan gunung api (ILG), tipe dan periode erupsi dan contoh
letusan gunung apinya (Newhall and Self, 1982)
ILG Pemerian

Tinggi
kolom

Volume
(km3)

Klasf.tipe
erupsi

Periode

Contoh

non-explosif

<100 m

10-6an

Hawaiian

Harian

Kilauea

Lemah

100-1000
10-5an
m

Explosif

1-5 km

Bersifat
merusak

3-15 km

Kataklismik

10-25 km 10-1 an

Vulc/Plinian

Paroxismal

>25 km

Satuan

Plinian

Kolossal

>25 km

Puluhan

Plin/UltraPlinian

Superkolossal

>25 km

Ratusan Ultra-Plinian

Ribuan
tahun

Megakolossal

>25 km

1,000s
km3

Puluhan ribu Yellowstone, 2


tahun
jtl

Haw/Strombo
Harian
lian

Stromboli

10-3an

Strom/Vulkan
Mingguan
ian

Galeras, 1992

10-2an

Vulcanian

Tahunan

Ruiz, 1985

Puluhan
tahun
Ratusan
tahun
Ratusan
tahun

Galunggung,
1982

Ultra-Plinian

St. Helens, 1981


Krakatau, 1883
Tambora, 1815

Menurut Newhall & Self (1982), letusan-letusan dengan VEI 4-5 sangat jarang
terjadi. Didasarkan pada hasil pengamatan letusan-letusan gunung api di dunia,
Simkin & Siebert (1994) menjumpai letusan ber-VEI 4-5 hanya terjadi dalam 20
kali dan VEI 2-3 terjadi dalam 20 kalinya VEI 4-5 (Tabel III.2).
Tabel III.2. Nilai VEI dan total letusan gunung api yang pernah terjadi di dunia
(Simkin & Siebert, 1994)
VEI

Jumlah letusan

487

623

3176

733

119

19

Menurut Sparks, et al. (1978), jarangnya letusan gunung api dengan VEI lebih
besar atau sama dengan empat menandakan faktor-faktor yang mengontrol letusan
tersebut sangat sulit terjadi. Letusan-letusan besar tersebut dibentuk oleh magma
jenuh air atau hampir jenuh air; air berubah menjadi uap sehingga meningkatkan
tekanan magma. Makin tinggi gradien tekanan magma pada reservoir magma,
25

makin tinggi vesikulasi dan fragmentasinya, akibatnya magma bergerak ke


permukaan dengan sangat cepat, menerobos sumbat lava hingga runtuh dan
terjadi letusan yang melontarkan magma terfragmentasi, batuan dinding dapur
magma dan gas dalam volume yang besar. Letusan itu disebut letusan
freatomagmatik, yang di permukaan sering bertipe Volkanian hingga Plinian.
Gambar III.3 menggambarkan beberapa tipe letusan gunung api dengan ciri-ciri
endapannya di lapangan, yang diinterpretasi dari kenampakan umumnya.

Gambar III.3. Gambaran secara umum tipe letusan, ciri dan jenis endapannya
(Sheridan and Wohletz, 1983a)
LATIHAN TUGAS
1. Tipe gunung api apa dengan tipe erupsi yang bagaimana yang sering
berdampak bencana terbesar?
2. Tipe gunung api apa yang dapat berkembang di Indonesia? Mengapa
demikian?
3. Tugas dikumpulkan: merangkum kegiatan Gunung Merapi; sumber data:
BPPTK Yogyakarta
26

BAB IV. TIPE GUNUNG API

Didasarkan pada bentang alam dan jenis batuan yang menyusun tubuh gunung
api, para ahli vulkanologi mengelompokkannya menjadi empat tipe gunung api,
yaitu gunung api komposit atau strato (composite volcanoes), gunung api perisai
(shield volcanoes), dan kubah lava (lava domes). Tipe gunung api lain yaitu maar,
cincin tuf, skoria tuf dan kerucut tuf terbentuk dari letusan tunggal gunung api,
baik secara freatik maupun freatomagmatik.
IV.1. Gunung api Komposit (Composite volcanoes)
Gunung api tipe komposit paling umum dijumpai di dunia, disebut juga gunung
api-strato. Gunung api ini dicirikan oleh bentukan lereng berundak, kerucut
simetri dan tubuh yang besar. Tubuh gunung api tersusun atas perselingan lava,
abu gunung api, endapan sinder, blok dan bom; dapat mencapai tinggi 2,5 km
(8000 kaki), dan merupakan jenis gunung api terindah (Gambar IV.1.a). Contoh:
Gunung Merapi (Gambar IV.1.b), Galunggung, Kelud, Semeru dan Slamet
(Indonesia), Fuji (Jepang), Cotopaxi (Ekuador), Shasta (California), Hood
(Oregon), Pinatubo (Philipina), Rainier (Washington), Ruapehu (Newzealand), del
Ruiz (Colombia), Colima (Meksiko) dan lain-lain.
Kebanyakan tipe gunung api komposit memiliki kawah di puncak, tempat
berpusatnya kepundan atau kelompok kepundan. Lava mengalir melalui zona
rekahan pada dinding kawah atau di sepanjang pipa pada lerengnya. Lava
mengalami pemadatan di dalam celah membentuk gang (dike) yang berperan
sebagai tulang rusuk (rib) yang dapat memperkuat kerucut gunung api.
Ciri utama tipe komposit adalah adanya sistem konduit, yaitu bagian gunung api
yang dilalui magma dari dapur magma (bumi) ke permukaan. Tubuh gunung api
tersusun atas akumulasi material yang dierupsikan melalui konduit tersebut dan
makin lama makin bertambah besar oleh lava, sinder, abu dan lain-lain yang
dihasilkan selama periode aktivitasnya berlangsung. Saat gunung api ini
27

beristirahat, proses erosi menghancurkan kerucut. Setelah kerucutnya terkelupas


oleh erosi tersebut, selanjutnya dikeraskan dengan magma yang mengisi
konduitnya (sumbat gunung api) dan celah (rekahan: gang) hingga tersingkap, hal
itu dapat mengurangi laju erosi. Akhirnya, semua yang tersisa adalah suatu
kompleks sumbat gunung api dan batuan gang (intrusi ke samping) yang terlihat
di permukaan tanah, sebagai petunjuk dari sisa-sisa bekas gunung api.

a.

b.b
Gambar IV.1.

(a) Bentukan tipe gunung api komposit (seketsa: MacDonald,


1972). (b) Gunung Merapi (Indonesia, foto: Mulyaningsih, 2006).

Hampir 90% kepulauan di Indonesia tersusun atas batuan gunung api bertipe
komposit. Beberapa sisa-sisa gunung api komposit ini terdapat di Jawa, yaitu
Pegunungan Kulon Progo, Ponorogo-Pacitan, Jatibarang, Cikotok, Pongkor,
Pangandaran, Cupunagara dan lain-lain. Aktivitas gunung api dari gugusan
Pegunungan Kulon Progo dan Ponorogo-Pacitan barangkali mirip dengan
aktivitas Merbabu-Telomoyo-Ungaran-Tidar-Merapi masa kini. Keduanya
memiliki afinitas magma induk andesitis, yang memproduksi aliran lava, abu
piroklastika dan beberapa lahar pada fasies medialnya.
28

Kebanyakan aktivitas gunung api di Indonesia masa kini dicirikan oleh


pembangunan tubuh gunung api, yang menghasilkan perselingan erupsi efusif dan
freatik. Hingga kini, aktivitas Gunung Merapi masih dicirikan oleh pembangunan
tubuhnya. Aktivitas Gunung Krakatau pada awalnya lebih dicirikan oleh erupsierupsi eksplosif yang menyemburkan materialnya, magmatis dari dapur magma
dan material penyusun puncak gunung api dan dinding dapur magma. Kini
aktivitas Gunung Krakatau dicirikan oleh letusan-letusan eksplosif lemah freatik
dengan pembangunan tubuh gunung api. Gunung Kelud memiliki danau kawah
pada puncaknya. Letusan Gunung Kelud yang sangat besar pada masa lalu,
menyebabkan bagian puncak hilang sehingga terbentuk cekungan yang besar.
Kini cekungan tersebut terisi air (meteorik) membentuk danau kawah yang sangat
indah (Gambar IV.2). Cekungan depresi akibat runtuhnya sebagian puncak
gunung api oleh erupsi eksplosif tersebut biasanya dikenal sebagai kaldera.
Bentuk kaldera umumnya melingkar, berukuran besar (luas) dengan diameter 125 km, dan panjang depresi mencapai 100 km.

Gambar IV.2.

Danau kawah di Gunung Kelut November 2007 (foto: BPPTK).

29

IV.2. Gunung api Perisai (Shield volcanoes)


Tubuh gunung api perisai tersusun atas aliran-aliran lava (cair), yang mengalir
dari pipa kepundannya ke segala arah, atau kelompok kepundan dan bergerak ke
samping. Tipe gunung api ini berbentuk kerucut dengan kemiringan kecil atau
bahkan datar, atau berbentuk kubah datar seperti perisai perang. Tubuh gunung
apinya dibentuk secara perlahan oleh pertumbuhan ribuan aliran lava sangat encer
(basaltik), yang menyebar dalam radius yang cukup jauh. Aliran lava tersebut
kemudian mendingin dan membeku sebagai lapisan lava tipis dengan kemiringan
yang sangat kecil. Lava-lava tersebut umumnya juga keluar dari dalam bumi
melalui rekahan-rekahan (fisures) yang selanjutnya berkembang pada tepian
(lereng) kerucut (Gambar IV.3). Beberapa gunung api perisai besar dijumpai di
Kalifornia bagian utara dan Oregon, dengan diameter 5-6,5 km dan tinggi 500600 m. Tipe gunung api ini juga dijumpai di Kepulauan Hawaii, yaitu Mauna Loa
dan Kilauea, yang dikenal sebagai gunung api perisai teraktif di dunia.

a.

Gambar IV.3.

b.b

(a) Bentukan tipe gunung api perisai, seketsa oleh Tiling (1997).
(b) Gunung api Alcedo (Galapagos), foto: Camp (2000).
30

IV.3. Kubah Lava


Kubah lava gunung api terbentuk dari kumpulan aliran lava yang muncul di
puncak seputar kawah gunung api, membentuk morfologi kubah, yang dibentuk
dalam satu periode erupsi. Kubah lava dapat terbentuk apabila magma yang
keluar bersifat kental, sehingga hanya menumpuk di atas lubang kepundan
membentuk bukit atau kubah batuan beku. Dalam pertumbuhannya, pada bagian
luar tubuh kubah mendingin dan mengeras, yang selanjutnya diterobos oleh aliran
lava berikutnya. Karena pada bagian luar mengeras, maka pada batas antara lava
lama (keras di bawah) dan lava baru (plastis di atas) terbentuk perlapisan terpisah.
Oleh proses pendinginan dan pengerasan yang tidak bersamaan tersebut
menyebabkan, bagian yang plastis mudah runtuh, gugur menuruni lereng
membentuk guguran kubah lava.
Struktur dalam dari kubah lava berupa perlapisan lava koheren yang makin
mendingin dan mengeras secara gradasi ke atas dan ke luarnya. Hal itu
mengindikasikan bahwa pertumbuhannya membesar ke luar dan ke atas.
Kubah lava ini sangat umum menyusun gunung api tipe komposit. Apabila
magma keluar di bidang miring maka bentuk kubah tidak simetri, cenderung
membentuk lidah lava ke arah yang lebih rendah atau bahkan mengakibatkan
longsoran material kubah lava itu sendiri, seperti yang terjadi di G. Merapi.
Kubah lava Merapi yang dihasilkan selama periode erupsinya tahun 2005-2006,
hingga tanggal 13 Mei mencapai volume 5,2 juta m 3, dengan ketinggian 200 m
(Gambar IV.4). Kubah lava tahun 1911-1913 akhirnya runtuh akibat tergerus oleh
aliran lava tahun 2005-2006 pada tanggal 15 Juni 2006, setelah sebelumnya rekah
akibat gempabumi tanggal 27 Mei 2006.
Kubah lava yang muncul di dasar laut, permukaannya tersusun atas endapan
hialoklastik berbutir pasir atau yang lebih kasar. Pada bagian tengah, lava
terbreksiasi karena pembekuan yang sangat cepat, permukaan lava terlapisi
dengan kerak kaca, sedangkan pada bagian dalam tersusun atas batuan beku masif
(Gambar VIII.13). Kubah lava andesitis di dasar laut atau jika menyentuh tubuh
31

air sering terbreksiasi membentuk breksi autoklastik. Breksi ini dicirikan oleh
komposisi fragmen dan matriksnya sama. Lava basaltis di dasar laut tidak mampu
mengalir dalam jarak yang jauh, biasanya membentuk struktur bantal yang
memanjang sesuai dengan arah alirannya.

Gambar IV.4.

Gambar atas: kubah lava Gunung Merapi pada tanggal 13 Mei


2006, hasil aktivitasnya pada 2005-2006 (foto: BPPTK, 2006).
Gambar bawah: kubah lava Gunung Kelud yang mencapai
ketinggian 150 m dari dasar kawah November 2007.

IV.4. Tipe Gunung api Lain


Tipe gunung api yang lain adalah kerucut skoria, maar, cincin tuf dan kerucut tuf
(http://pubs.usgs.gov/gip/volc/structures; Gambar IV.5).

32

Gambar IV.5.

Beberapa tipe gunung api yang dibentuk oleh letusan


hidrovulkanik, yaitu kerucut skoria (scoria cone), maar, cincin tuf
(tuff
ring)
dan
kerucut
tuf
(tuff
cone)
(http://pubs.usgs.gov/gip/volc/structures).

a. Kerucut skoria dan kerucut tuf


Kerucut skoria dan kerucut tuf adalah tipe gunung api terkecil yang tingginya
kurang dari 300 m, diameter 3-5 km, dan gradien lereng lebih dari 35o, beberapa
kerucut sinder yang lebih tua memiliki slope 15-20 o (www.geologi.sdsu.edu/).
Yang membedakan antara kerucut skoria dan kerucut sinder adalah komposisinya.

33

Komposisi tubuh kerucut skoria tersusun atas lapilli-lava basalt, sedangkan


kerucut tuf tersusun atas abu (tuf) gunung api.
Kerucut skoria juga disebut kerucut sinder (cinder cones). Lereng-lereng kerucut
skoria lurus-lurus dan kawah puncak sangat besar, dengan onggokan material di
puncak relatif kecil. Kebanyakan morfologinya simetri, namun beberapa ada yang
tak-simetri, karena (1) pertumbuhan tefra ke atas terhalang arah angin, (2)
pertumbuhan memanjang melalui bukaan eruptif, atau (3) naiknya lava basalt
secara parsial pada sisi tertentu. Ketika material skoria disemburkan, bagian
interiornya teroksidasi sehingga berwarna merah.
Material erupsi kerucut sinder dibentuk oleh peleburan dan penguapan gas secara
cepat dari lava cair, membentuk sinder, menumpuk dan masuk kembali ke dalam
kawah dan membangunnya hingga setinggi 1200 kaki. Material gunung api
tersebut terkumpul di puncak gunung api membentuk lingkaran mengerucut.
Kebanyakan kerucut sinder memiliki kawah yang berbentuk cekungan seperti
panci yang terletak di puncaknya (Gambar IV.6).

Gambar IV.6.

Ilustrasi kerucut skoria (kiri, www.usgs.volcano.gov/science),


dan kawah kerucut skoria di La Porina (kanan;
www.geologi.sdsu.edu/).

Setelah seluruh gas dilepaskan, magma diefusikan sebagai lava encer menuruni
lereng di sekitar kerucut gunung api. Tipe erupsi kerucut sinder Strombolian,
secara monogenetik, dengan kolom letusan yang terdiri atas tefra basalt setinggi
beberapa ratus meter. Kecuali kerucut sinder Cerro Negro, di sisi barat laut

34

Gunung Las Pilas (Nicaragua), meletus sebanyak 20 kali sejak 1850


(www.geologi.sdsu.edu/).
Kerucut sinder biasanya dijumpai sebagai parasit oleh erupsi lereng gunung api
tipe perisai dan strato. Tefra kerucut sinder berukuran lapilli hingga bom (jarang),
kadang-kadang mengandung material hasil semburan lava kaya gas terlarut.
Fragmen tefra berlubang-lubang bekas keluarnya gas (vesicles), membentuk
struktur skoriaan atau sinderan. Tefra tertumpuk sebagai endapan jatuhan
membangun tubuh gunung api di sekitar kepundan (www.geologi.sdsu.edu/).
Lava dengan kandungan gas yang sangat tinggi diledakkan secara hebat ke udara,
sehingga terfragmenkan menjadi material padat lalu jatuh sebagai sinder (bola
api) diatas puncak gunung api di sekitar kepundan.
Gunung api kerucut sinder banyak dijumpai di Amerika Utara, seperti Mauna Kea
di Hawaii dan Paricutin di Meksiko (www.usgs.volcano.gov/science). Kerucut
sinder Paricutin dibangun selama 9 tahun dengan luas wilayah 100 mil 2.
Letusannya

pada

tahun

1946

telah

menghancurkan

kota

San

Juan

(www.usgs.volcano.gov/science).
b. Maar dan cincin tuf
Tipe gunung api tersebut dihasilkan oleh erupsi eksplosif hidrovulkanik, yang
menghasilkan depresi berbentuk melingkar dengan rim rendah akibat lontaran
debris. Letusan itu dipicu oleh naiknya kolom magma karena intrusi diapirik.
Depresi maar dapat menyingkapkan bagian dasar pada dinding lubang bagian
dalam. Cincin tuf (tuff ring) sendiri dibangun di atas batuan dasar. Maar
mengandung material batuan dinding terfragmentasi yang lebih besar. Jadi
endapan maar dihasilkan dari letusan freatik yang dibentuk oleh intrusi diapirik
yang menyinggung airtanah. Cincin tuf mengandung fragmen-fragmen material
magmatik yang lebih banyak (juvenil), contoh: tuf palagonit. Jadi, cincin tuf
dihasilkan dari kombinasi airtanah yang terpanaskan dengan vesikulasi magma
(erupsi freatomagmatik) akibat intrusi yang relatif dangkal.

35

Maar hampir menyerupai kerucut tuf, dibedakan dengan kawah yang dangkal dan
morfologi yang datar. Tipe gunung api ini diinterpretasi oleh banyak ahli
terbentuk di atas diatrema yang dihasilkan oleh letusan yang sangat besar. Letusan
tersebut dihasilkan oleh ekspansi gas atau magmatik. Diameter maar bervariasi
yaitu 200-6.500 ft dengan kedalaman kawah 30-650 ft, yang biasanya kawah
terisi air membentuk danau alam. Kebanyakan maar memiliki rim (lingkaran
kawah) yang tersusun atas campuran material lepas dan fragmen batuan gunung
api dan hancuran batuan dinding dari diatrema.
Maar dan cincin tuf dapat ditemukan di bagian barat Amerika Serikat, di daerah
Eifel (Jerman), Arab Saudi (Gambar IV.7) dan daerah-daerah dengan gunung api
muda di dunia.

Gambar IV.7.

Maar (atas) dan cincin tuf (tuff ring: bawah) di Saudi Arabia
(www.geologi.sdsu.edu/).

36

Fosil maar juga banyak dijumpai di sekitar Gunung Muria, Jawa Tengah, seperti
maar Gembong, maar Gunungrowo dan maar Bambang. Rim kawah maar
tersusun atas batuan piroklastika hasil letusan hidrovulkanik, lava basalt dan
batuan dasar. Contoh ideal letusan maar dijumpai di Zuni Salt Lake di New
Mexico. Danau garam ini berada pada dasar kawah datar yang dangkal dengan
diameter

6.500

kaki

dan

sedalam

400

kaki

(http://pubs.usgs.gov/gip/volc/structures). Rim rendah ini tersusun atas pecahanpecahan lepas lava basaltik dan batuan dinding (dasar) yaitu batupasir, serpih dan
batugamping. Contoh lain adalah erupsi Tarawera yang dapat menimbun tiga desa
dan membunuh sedikitnya 150 orang di Pulau New Zealand Utara pada 1886
(www.geologi.sdsu.edu/).

LATIHAN TUGAS:

FIELD TRIP KE GUNUNG MERAPI DAN MENYIAPKAN PAPER UNTUK


DIPRESENTASIKAN -----

------ MEMPERSIAPKAN UJIAN TENGAH SEMESTER -------

37

BAB V. MATERIAL ERUPSI GUNUNG API

V.1. Identifikasi Material Gunung Api


Untuk dapat merekonstruksi kejadian bencana alam letusan gunung api,
diperlukan pengetahuan yang cukup dalam mengetahui sejarah bencana tersebut
pada masa lalu. Sebaran bencana dapat diprediksi dengan mengetahui sebaran
material gunung api, intensitas bencana diketahui dari sifat fisik endapannya.
Untuk itu diperlukan teknik pemerian secara genesis terhadap material erupsinya.
Langkah-langkah pemerian endapan gunung api adalah:
(1) Mengetahui orientasi masing-masing sekuen dan susunan stratigrafi endapan
gunung api, seperti lava, tefra, aliran dan seruakan piroklastika, yaitu sebaran
lateral dan vertikalnya.
(2) Mengenal bentuk, ukuran dan tipe batuan dalam endapan; bentuk butir,
ukuran butir dan komposisi batuan (monolitik / polilitik).
(3) Mengenal topografi dari permukaan endapan: terjal/landai, pada morfologi
yang tinggi / di lembah
(4) Lingkungan pengendapan material gunung api: dalam lembah fluviatil atau
non-fluviatil
(5) Mengetahui penyirapan dan gradasional diameter butiran dalam endapan
secara lateral dan vertikal
(6) Mengetahui tanda-tanda pemanasan yang ditunjukkan oleh susunan atau
penyirapan pipa-pipa keluarnya gas dalam material endapan, serta mengenali
jika ada indikasi alterasi dan sirapan pecahan fragmen batuan.
Material erupsi gunung api terdiri atas endapan piroklastika atau yang sering
disebut arus piroklastika berdensitas dan jatuhan, lava dan gas (Gambar V.1).

38

Gambar V.1. Skema ruang lingkup material erupsi gunung api, yang terdiri atas
kolom letusan, piroklastika aliran, lava, gas dan lahar (Anonim,
2000).
V.2. Mekanisme Aliran Lava
Aliran lava merupakan material vulkanik yang sangat umum dijumpai di Hawaii.
Karena suhunya yang tinggi, lava tersebut dapat berbahaya bagi yang dilalunya.
Di permukaan, lava basaltik, seperti yang dierupsikan oleh Gunung Mauna Kea,
kohala, Mauna Loa dan Hualalai di komplek gunung api perisai Hawaii (Gambar
V.2), kecepatannya jauh lebih tinggi dibandingkan orang berlari
(pubs.usgs.gov/gip/intro). Lava dierupsikan ke permukaan secara efusif dalam
bentuk material plastis. Pada lereng yang lebih curam, lava mengalir dengan laju
yang lebih cepat dan lebih berbahaya. Pada ujung aliran, lajunya lebih lambat
dibandingkan dengan orang berjalan. Selama erupsi Mauna Loa pada 1950, laju
ujung lava rata-rata mencapai 6 mph selama lebih dari 2 jam.
Laju aliran lava ditentukan oleh kemiringan lereng, gaya gravitasi bumi dan
volume lava yang dierupsikan. Aliran dengan volume yang besar menghasilkan
laju aliran yang lebih tinggi. Jarak yang ditempuh oleh tubuh aliran tergantung

39

dari laju dan durasi erupsi, makin lama maka makin besar dan jangkauannya
makin jauh. Laju aliran lava juga ditentukan dari afinitas dan komposisi lava.

Gambar V.2. Gugusan gunung api perisai di Hawaii yang menghasilkan aliran
lava basaltik (www.pubs.usgs.gov/gip/intro).
Erupsi bertipe Hawaii dicirikan oleh komposisi basaltik, beberapa periode erupsi
berperilaku beda. Erupsi Hualalai pada 1800-1801 menghasilkan aliran lava yang
lebih encer dibandingkan dengan erupsi-erupsi Gunung Kilauea dan Mauna Loa.
Erupsi lava yang menghasilkan lava fountain (hujan lava) dan banjir lava
(Gambar V.3), sungai lava (Gambar V.4) dan genang lava (Gambar V.5).

Gambar V.3. Erupsi lava basaltik melalui kawah Pu'u 'O'o di Gunung Kilauea
(1983), aliran lava ke arah timur hingga 12 mil dari puncak gunung
api (www.pubs.usgs.gov/gip/intro).
40

Gambar V.4. Erupsi lava melalui kawah gunung api yang menghasilkan sungai
atau banjir lava di Gunung .

Gambar V.5. Erupsi Gunung Kupaianaha yang menghasilkan genang lava. Lava
mengalir dari kawah gunung api dan terkumpul dalam suatu pipa
lava, kawah lama gunung api (www.pubs.usgs.gov/gip/intro)
V.3. Mekanisme Aliran Piroklastika
41

Menurut MacDonald (1972) dan Fisher & Schminke (1984), mekanisme aliran
piroklastika dapat berlangsung dalam empat mekanisme (Gambar V.6), yaitu:
a. Runtuhan eksplosif vertikal atau sering disebut pembentukan kolom erupsi
plinian, material erupsi jatuh kembali ke permukaan tanah, tertransportasi
dan terendapkan.
b. Ledakan lateral, seperti yang terjadi di Gunung. St. Helens pada 1980.
c. Luapan berlebih (boiling-over ), yaitu akibat kandungan gas yang sangat
tinggi dalam magma yang dierupsikan melalui pipa kepundan.
d. Runtuhan gravitasional pada kubah lava yang sangat panas.

Gambar V.6. Mekanisme erupsi eksplosif gunung api (MacDonald, 1972).


B. Endapan piroklastika
42

Didasarkan atas komposisi materialnya, endapan piroklastika terdiri dari tefra


(pumis dan abu gunung api, skoria, Pele's tears dan Pele's hair, bom dan blok
gunung api, accretionary lapilli, breksi vulkanik dan fragmen litik), endapan
jatuhan piroklastika, endapan aliran piroklastika, tuf terelaskan dan endapan
seruakan piroklastika (Gambar V.7).

Gambar V.7. Tiga mekanisme pengendapan material piroklastika (jatuhan,


seruakan dan aliran: kiri) dan penampang vertikal endapan seruakan
dasar, aliran piroklastika dan seruakan abu cendawan; fragmen putih
(litik) dan fragmen hitam (skoria dan lapili) (Sparks et al., 1997).
Aliran piroklastika merupakan debris terdispersi dengan komponen utama gas dan
material padat berkonsentrasi partikel tinggi. Mekanisme transportasi dan
pengendapannya dikontrol oleh gaya gravitasi bumi, suhu dan kecepatan
fluidisasinya. Material piroklastika dapat berasal dari guguran kubah lava, kolom
letusan, dan guguran onggokan material dalam kubah (Fisher, 1979). Material
yang berasal dari tubuh kolom letusan terbentuk dari proses fragmentasi magma
dan batuan dinding saat letusan.
Dalam mendiskripsi genetis endapan gunung api, terutama yang berasal dari
letusan langsung (endapan piroklastika), parameter-parameter yang digunakan
adalah struktur (struktur pengendapan dan morfologi fragmen) dan tekstur batuan,
43

meliputi diameter butir material, komposisi dan hubungan antar lapisan batuan
(Tabel V.1). Sebagai contoh jatuhan abu menutupi topografi (di semua
permukaan tanah yang terjangkau), aliran piroklastika mengikuti topografi (di
lembah), aliran piroklastika = nuee ardente = glowing ash cloud dengan campuran
abu pijar dan gas membentuk tubuh fluida/semifluida. Kecepatannya > 200
km/jam; suhu > 600C; tekanan tinggi dan bersifat korosif
Tabel V.1. Beberapa istilah produk lontaran gunung api dan sifat umumnya dari
material yang berkomposisi andesit-basal (dari rangkuman beberapa
buku: McPhie et al., 1993; Fisher and Schmincke, 1984; Cas and
Wright, 1988; dan Gary et al., 1972).
Ukuran Nama
butir
> 6 cm

Bom : fragmen membulat ==> ketika dilontarkan dalam


bentuk larutan atau lentur (plastik):
'bread-crust bombs' = struktur kerak roti,
permukaannya retak / robek <== karena
pendinginan
'cow-dung bombs' = bom yang ketika mencapai
permukaan tanah masih bersifat lentur (plastis)

Blok: fragmen menyudut ==> ketika dilontarkan dalam


bentuk padatan

Endapan
terkonsolidasi
Aglomerat

Breksi
vulkanik

44

2 mm 6 cm

Lapilli :

tuff lapilli
(Lapilli Tuff)

Pumis

Accretionary lapili

45

1/16 - 2
mm

Ash-fall Tuff

<1/16

Abu dan debu:


abu = jangkauannya puluhan hingga ratusan km
(tergantung arah angin)
debu = meninggalkan jejak di atmosfer, keliling bumi,
dapat
mempengaruhi iklim, kondisi awan (berkabut) dan lain-lain
Tefra

istilah
umum
untuk
semua
endapan
piroklastika
takterkonsolidasi
(abu, blok dan
bom)

46

Sinder

Kerucut sinder

parameter umum, partikel berukuran ~1cm


jarak tempuh material :
bom/sinder = biasanya sangat dekat kawah (beberapa km)
dengan kecepatan > 600 m/dt.

Di permukaan, material letusan pada zona batas atas, tersusun atas lontaran
material berdensitas rendah (abu-lapili) membentuk kolom letusan. Pada tubuh
aliran utama, yang terletak pada bagian paling bawah, terdiri atas campuran
padatan-gas dengan konsentrasi partikel tinggi, abu-litik-bom yang berdiameter
abu hingga bongkah. Dinamika pengendapan aliran piroklastika ini dikontrol oleh
gaya gravitasi bumi dan tekanan aliran. Zona batas bawah berupa seruakan
piroklastika yang diendapkan secara turbulen, terdiri atas campuran gas dan abu
gunung api konsentrasi partikel sangat rendah, sebagai efek dari tekanan
turbulensi yang sangat cepat dan panas.
Dalam endapan piroklastika, baik jatuhan, aliran maupun seruakan; material yang
menyusunnya dapat berasal dari batuan dinding, magmanya sendiri, batuan kubah
lava dan material yang ikut terbawa saat transportasinya. Secara megaskopis,
fragmen batuan tersebut dicirikan oleh:
1. Fragmen endapan piroklastika yang berasal dari fragmentasi magma saat
letusan dicirikan oleh bentuk butir menyudut hingga membulat. Fragmen bom
biasanya membulat, permukaannya berstruktur kerak roti dan warnanya abuabu sampai kemerahan. Fragmen blok berbentuk menyudut, masif dan lebih
47

kristalin dibanding bom. Pada fasies proksimal, dijumpai beberapa fragmen


yang berwarna kemerahan akibat teroksidasi saat dilontarkan. Pengamatan
mikroskopis pada inti piroklastika yang berdiameter lebih besar dari satusetengah meter berstruktur porfiritik, sedangkan pada fragmen yang lebih
kecil (~ < 30 cm) berstruktur skoria.
2. Fragmen piroklastika yang berasal dari penghancuran kubah lava, dicirikan
oleh bentuk butir menyudut hingga membulat tanggung, kadang-kadang telah
lapuk / teroksidasi dan pada permukaan fragmen jarang menunjukkan struktur
kerak roti. Secara megaskopis, fragmen ini dicirikan oleh pada bagian luar
sangat berongga dan makin ke dalam makin masif, dari pengamatan
mikroskopis berstruktur porfiritik.
3. Material yang ikut terbawa saat tranportasinya, dicirikan oleh bentuk butir
agak membulat dan permukaannya terabrasi sangat lanjut.
4. Material yang berasal dari hancuran batuan dinding dapur magma; warna
tidak segar, bentuk fragmen blok / menyudut dan teralterasi lanjut.
Dalam satu sekuen piroklastika, ke empat jenis fragmen tersebut kadang-kadang
dijumpai secara bersamaan, secara acak, menyatu dan sulit dibedakan satu sama
lain. Di daerah penelitian, endapan piroklastika dengan ke empat fragmen tersebut
hanya dijumpai di fasies proksimal. Untuk membedakan endapan piroklastika dan
lahar, dilakukan pengukuran arah magnetik fragmen batuan untuk fraksi kasar dan
anisotropi untuk fraksi halus. Aliran piroklastika cenderung dialirkan secara
monomodal sehingga tidak terbentuk arah penjajaran fragmen, sedangkan lahar
dialirkan secara unimodal sehingga lebih dijumpai penjajaran fragmen.
Endapan paling bawah dari bahan letusan gunung api biasanya berupa endapan
jatuhan piroklastika. Endapan ini dicirikan oleh struktur pengendapan laminasi,
sortasi sangat baik, ukuran butir abu hingga granule dan tersusun atas lapili pumis
atau skoria (Gambar V.8). Penyebaran endapan ini sangat luas dan sangat
bergantung pada arah angin. Di Merapi, endapan ini umumnya hanya dijumpai
pada ketinggian lebih dari 300 m dpl dan tersusun atas abu, skoria (sinder), lapili
dan bom. Di atas endapan jatuhan piroklastika adalah endapan seruakan
piroklastika. Cas & Wright (1987) membagi endapan seruakan piroklastika
48

menjadi tiga yaitu seruakan pangkal (base surge), seruakan dasar (ground surge)
dan seruakan abu cendawan (ash cloud surge) (Gambar V.7). Seruakan pangkal
dihasilkan dari letusan freatomagmatik (Moore, 1967), dicirikan oleh material
abu-granule,

kadang-kadang

(kebanyakan)

mengandung

pumis,

struktur

pengendapan slump hingga laminasi silang dan selalu menumpang di atas


endapan jatuhan piroklastika. Endapan seruakan dasar dan seruakan abu
cendawan berasosiasi dengan endapan aliran piroklastika dan masing-masing
sebagai endapan zona batas bawah dan zona batas atas aliran (Fisher, 1979).
Endapan seruakan dasar dicirikan oleh komposisinya abu volkanik, skoria
(berukuran lapili) dan bom, namun di daerah distal bom tersebut sangat jarang
ditemukan.

Gambar V.8. Tefra endapan abu dan debu jatuhan piroklastika dari letusan
Gunung Redoubt pada tahun 1989-1990, yang tersusun atas pumis
berukuran lapili, fragmen arang kayu 8 cm, fragmen litik dan abu
kasar (USGS).
Secara umum, endapan seruakan piroklastika biasanya mengandung arang kayu
(charcoal) yang sangat halus dengan diameter kurang dari 5 cm, tidak sebanyak
dan

sebesar

pada

endapan

aliran

piroklastika,

terebaran

mengikuti

geomorfologinya membentuk bulan sabit (Gambar V.9). Struktur pengendapan


slump-laminasi hingga laminasi silang dengan sortasi sedang-baik, ukuran butir
abu-lapili, pada bagian bawah gradasi terbalik, yang berbatasan dengan aliran
piroklastika berubah menjadi gradasi normal, dan dijumpai pipa-pipa keluarnya
gas. Bagian bawah lapisan menggerus lapisan batuan di bawahnya, sehingga
49

endapannya sering terlihat bercampur dengan paleosol. Beberapa seruakan


piroklastika sering menunjukkan struktur accretionarry lapilli. Hal itu juga dapat
digunakan sebagai petunjuk bahwa letusan tersebut berlangsung pada saat suhu
udara tinggi dan beruap.

Gambar V.9. Endapan seruakan piroklastika Gunung Punalika (Ekuador) yang


berstruktur dune berlapis, tersusun atas lapili, abu dan debu gunung
api (USGS).
Material letusan yang terakhir adalah endapan aliran piroklastika. Endapan ini
dicirikan oleh komposisi abu, bom dan blok yang berukuran mm hingga beberapa
meter, struktur pengendapan masif hingga gradasi, endapan ini terkonsentrasi
hanya pada lembah dan tebalnya dapat mencapai puluhan hingga ratusan meter
(Gambar V.10). Sebarannya terkonsentrasi pada dasar lembah, sehingga dapat
digunakan sebagai penunjuk untuk mengetahui paleogeomorfologi lembah.
Dalam endapan biasanya sangat kaya akan arang kayu yang masih insitu
berdiameter mencapai 20-50 cm dan panjang lebih dari 2 m.

50

Gambar V.10. Endapan aliran piroklastika di daerah Jurang Pengantin (Gunung


Muria) dengan fragmen pecahan litik yang masih menunjukkan
orientasi fragmen pecahan radial.
V.4. Gas
Di udara, 1-5% komponen gas di atmosfer dihasilkan oleh aktivitas gunung api,
meliputi CO2, SO2, dan unsur-unsur jejak yaitu N, H, CO, S, Ar, Cl dan F,
sedangkan penguapan air menempati 70-90%. Gas-gas tersebut selanjutnya
membentuk senyawa yang bersifat toksik, seperti HCl, HF, H 2SO4 dan H2S,
menghasilkan aktivitas gunung api fumarolik (Tabel V.2).
Tabel V.2. Gas vulkanik dan emisinya di udara (sumber: USGS)
Gas Utama
H2O (70-90%)
CO2
SO2

Gas jejak
N, H, S,
F, Ar,
CO, CL

Gas toksik
HCl, HF
H2SO4
H2S

Macam-macam aerosol belerang sering hadir dan kadang-kadang sulfur juga


terakumulasi sebagai kristalin dalam fumarol, yang disebut sulfatara (warna
kuning dasar; Gambar V.117). Di beberapa gunung api, akumulasi kristal sulfur
ini dapat bernilai ekonomi. H2S sering disebut sebagai gas buangan (sewer gas)
karena baunya seperti telur busuk. Gas tersebut dapat mengiritasi mata, hidung
dan tenggorokan. SO2 terasa sangat dingin di kulit, yang baunya seperti bau gas
51

yang tercium sesaat setelah menyalakan korek api. Jika keduanya hadir bersamasama, maka dapat bereaksi dengan cepat membentuk sulfatara dan uap air.

Gambar V.11. Sulfatara yang terakumulasi di kawah Gunung Merapi (foto:


PVMGB, www.vsi.esdm.gov).
a. Bahaya emisi gas
Gas gunung api sangat berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya atau
bagi siapa saja yang menghirupnya. Suhu gas tinggi dan berracun, emisi gas
dalam jumlah yang besar dapat bersifat membunuh. Sebagai contoh adalah gas
atau uap yang diemisikan oleh kolom lava pada gunung api aktif atau dalam
keadaan istirahat dapat sangat berbahaya bagi siapa saja yang berjalan di atasnya
karena dapat berracun. Pada kasus-kasus (jarang terjadi) ribuan orang dapat mati
oleh erupsi gas gunung api tersebut, seperti yang pernah terjadi di Lake Nyos,
Pegunungan Mammoth (California) dan eruspi Puu Oo di Gunung Kilauea
(Hawaii).

52

Dari data pengamatan di HVO (Hawaii Volcano Observatory) diperoleh data


bahwa emisi gas CO2 di Pegunungan Mammoth telah mengakibatkan pepohonan
di empat wilayah hutan mati, salah satu yang terluas mencakup 11,3 hektar. Pada
awal letusan Gunung Kilauea pada 1983, hasil pengukuran emisi gas di dekat
kawah adalah 150 ton SO2 per hari. Namun, pada saat erupsi mencapai
puncaknya, SO2 yang dilepaskan mencapai 30.000 ton per hari, dengan periode
sekali dalam 3-4 minggu selama 24 jam atau kurang per periode, di sepanjang
tahun 1983-1986. Reaksi kimia akibat emisi gas tersebut menghasilkan dua gas
berracun, yaitu vog dan laze yang berbahaya bagi masyarakat dan wisatawan di
Big Island (Hawaii), dan menyebabkan hujan asam (Gambar V.12).

Vog adalah sulfur dioksida yang dilepaskan di puncak gunung api. Sulfur
yang terkandung pada tubuh pipa lava bereaksi dengan oksigen, partikel
debu, sinar matahari dan air, membentuk campuran aerosol sulfat, asam
sulfur, dan jenis oksida sulfat yang lain. Vog tersebut selanjutnya terbawa
angin dan dapat menyebabkan hujan asam.

Laze adalah campuran dari asam hidroklorik dan uap air laut; ketika lava
menyentuh air laut, terjadi reaksi kimia antara lava panas dan air laut,
menghasilkan asap putih. Asap laze juga dapat membentuk hujan asam
dengan pH 1,5-2,5, bersifat sangat korosif pada kulit dan pakaian, serta
dapat menyebabkan iritasi pada tenggorokan, mata, telinga dan hidung.

53

Gambar V.1. Sulfatara yang terakumulasi di kawah Gunung Merapi (foto:


PVMGB, www.vsi.esdm.gov).
V.5. Lahar
Martini (1997) mendefinisikan lahar sebagai aliran lumpur pekat yang terbentuk
dari campuran air, partikel dan lumpur. Komponen air dapat berasal dari air hujan,
danau kawah dan mencairnya es, sedangkan partikelnya berasal dari longsoran
onggokan piroklastika yang telah ada maupun material yang langsung dari
letusan. Komposisi partikel lahar bervariasi dari abu hingga bom dan litik granul
hingga boulder ( >1 m). Densitas dan viskositas lahar tinggi dengan konsentrasi
partikel 20-60% atau 60-90% total berat. Lahar diendapkan secara cepat dalam
arus turbulen di sepanjang lereng gunung api atau lembah-lembah sungai, sama
cepatnya dengan aliran sungai. Pada konsentrasi partikel yang telah berkurang
(rendah), debris lahar berubah menjadi aliran lumpur dalam arus transisi-laminer.
Didasarkan pada suhunya saat pengendapan, lahar dapat berupa lahar yang masih
panas (jika dari letusan langsung) dan lahar dingin (onggokan yang telah lama).
Sedangkan sumber airnya dapat berasal dari air hujan, es atau danau. Lahar
Merapi lebihsering sebagai lahar dingin-hangat dengan sumber air dari air hujan.

54

Karena penamaan kuantitatif lahar sulit dilakukan di lapangan; sebagai lahar


distal, medial dan / proksimal, maka selanjutnya lahar ditentukan sebagai lahar
kohesif (cohesive) dan lahar tak-kohesif (non-cohesive). Lahar kohesif dicirikan
oleh struktur masif-gradasi-laminasi silang, ukuran butir abu pasir hingga boulder
yang tertanam dalam lumpur pekat, terpilah buruk-sedang, bentuk fragmen
menyudut hingga membulat tanggung, konsentrasi fragmen besar berada di
setengah hingga sepertiga bagian bawah aliran dan di permukaan sering
menunjukkan penjajaran fragmen sebagai lahar tak-kohesif. Lahar kohesif ini
dihasilkan dari penggabungan beberapa material dalam satu kesatuan endapan,
sehingga konsentrasi lumpurnya dapat mencapai 30-50% total berat sebagai
matriks. Material lumpur tersebut dapat berasal dari alterasi hidrotermal akibat
pemanasan magma pada tubuh gunung api, fragmentasi material magma dan
dinding, serta batuan dinding lembah yang tererosi saat aliran. Konsentrasi
partikel dalam lahar kohesif sekitar 12-20% atau 40% total berat; di fasies
proksimal diameter fragmen dapat mencapai lebih besar dari empat meter,
struktur masif dan gradasi dan beberapa fragmen masih berstruktur kekar prisma,
sedangkan di daerah distal didominasi oleh partikel berukuran pasir-granul,
struktur silangsiur (mangkuk), sortasi sedang dan kadang-kadang berstruktur
gradasi normal. Lahar tersebut dapat menjadi lebih encer oleh penambahan
komponen air sungai dan berkurangnya material sedimentasi hingga membentuk
lahar tak-kohesif. Lahar tak-kohesif dicirikan oleh sortasi sedang hingga baik,
lepas-lepas, bentuk butir pasir hingga bongkah, tertanam dalam sedikit abu,
umumnya dijumpai penjajaran fragmen yang menunjukkan arah pengendapan dan
diendapkan di atas lahar kohesif.
Bencana yang dapat ditimbulkan oleh lahar, diketahui sangat besar. Sebagai
contoh adalah lahar pada 1883 yang menenggelamkan 2.000 rumah di sepanjang
bantaran Sungai Boyong, dan lahar pada 1969 yang meratakan permukiman di
Sorasan dan Koroulon (seputar Sungai Gendol-Opak). Lahar konsentrasi partikel
rendah di Nevado Del Ruiz pada 13 November 1985 meratakan hulu Sungai
Lagunillas, dalam radius 70 km dari sumbernya, mengubur kampung-kampung di
Armero dan membunuh sedikitnya 23.000 jiwa hanya dalam beberapa menit
(kom. tertulis dengan Marso pada 23 September 2003).

55

LATIHAN TUGAS:

FIELD

TRIP

KE

PEGUNUNGAN

SELATAN

DAN

DATARAN

YOGYAKARTA------- MENYIAPKAN PAPER UNTUK DIPRESENTASIKAN


DI AKHIR KULIAH
TIGAS DIKERJAKAN SECARA BERKELOMPOK, MASING-MASING
KELOMPOK TERDIRI DARI 3-4 ORANG:
1. KELOMPOK I membahas aktivitas gunung api (memilih studi kasus di salah
satu gunung api di Indonesia)
2. KELOMPOK II membahas material gunung api TERSIER (memilih studi
kasus di salah satu wilayah di Indonesia)
3. KELOMPOK III membahas material gunung api KUARTER yang telah
istirahat panjang (memilih studi kasus di salah satu gunung api tidak aktif di
Indonesia, contoh: Gunung Muria, Gunung Lawu, Gunung Sindoro, Gunung
Lasem dan lain-lain)
4. KELOMPOK IV membahas material gunung api AKTIF (memilih studi kasus
di salah satu gunung api aktif di Indonesia)

56

BAB VI. PENGAMATAN DAN PENANGANAN BAHAYA


LETUSAN GUNUNG API

VI. Bahaya Gunung Api


Dalam pengamatan aktivitas gunung api, ada dua pengamatan yang harus
dilakukan yaitu seismologi dan vulkanologi, meliputi geofisika, geokimia dan
lingkungan.
Intensitas dan waktu bahaya tiap-tiap gunung api bervariasi, tergantung pada
tingkat kegiatannya; dalam tahap pembangunan kerucutnya atau tahap
penghancuran (pembentukan kaldera). Gunung api yang mempunyai tingkatan
bahaya beragam tersebut antara lain G. Krakatau di Selat Sunda (e.g. Simkin &
Fiske, 1983; Kusumadinata, 1979), G. Galunggung di Tasikmalaya Jawa Barat
(Bronto, 1986) dan G. Batur di P. Bali (Bronto, 2000b).
Berdasarkan proses kegiatan gunung api maka bahaya gunung api dapat dibagi
menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder (Tabel VIII.6). Bahaya primer
adalah bahaya yang timbul secara langsung pada saat erupsi. Bahaya sekunder
adalah bahaya yang terjadi setelah kegiatan gunung api berlalu (beristirahat).
Tabel VI.3. Beberapa jenis bahaya primer dan sekunder akibat kegiatan erupsi
gunung api dari tahun 1900 sampai 1986 (dimodifikasi dari Anonim,
1997; Blong, 1984; Bronto, 1994, 1995a; Sriwana, 1998 dan Tilling,
1989).
Bahaya Primer

Jumlah
ko
rb
an
36.800

1. Awan panas
2. Lontaran/ hujan batu
(pijar)

3. Longsoran
gunung api

batuan

Bahaya Sekunder

48,4

1. Lahar hujan dan

Jumlah
korb
an
28.400

37,4

banjir bandang
2. Pencemaran air
tanah &
permukaan
3. Kekurangan air
bersih dan sehat

57

4. Lahar letusan
5. Aliran lava
6. Hujan abu (jatuhan)
7. Tsunami/ gelombang
pasang air laut
8. Gas beracun

100

0,1

3.000

4,0

400

0,5

1.900

2,5

4. Kelaparan dan
penyakit menular
Lain-lain

3.200

4,2

2.200

2,5

9. Gempa bumi
10. Hentakan udara &
petir
11. Deformasi
permukaan tanah
12. Anomali geotermal/
letusan freatik
13. Anomali air tanah
14. Lubang letusan baru

VI.2. Manajemen Penanggulangan Bencana


Menurut Carter (1992) manajemen penanggulangan bencana (disaster
management) adalah:
an applied science wich seeks, by the systematic observation and analysis of
disasters, to improve measures relating to prevention, mitigation,
preparedness, emergency response and recovery
Suatu

ilmu

terapan

yang

berupaya

untuk

meningkatkan

usaha

penanggulangan melalui pengamatan secara sistematis dan analisis bencana,


berupa tindakan pencegahan, mitigasi, kesiap-siagaan, tanggap darurat dan
rehabilitasi.
Manajemen penanggulangan bencana bertujuan untuk mengorganisir dengan baik,
rapi, tertib dan lancar jika bencana terjadi.
Penanggulangan bencana dibagi menjadi empat tahap (Bronto, unpublished),
yaitu:

58

1. Pada saat terjadi bencana (disaster impact quick response), oleh petugas
SAR (Search and Resque) dan anggota masyarakat untuk menyelamatkan
jiwa penduduk dan harta benda yang terlanda bencana. Contoh:
a)

mengangkut korban yang luka-luka ke rumah sakit,

b)

mencari korban yang hilang,

c)

menguburkan korban yang meningal dunia dan

d)

menyelamatkan harta benda yang tertinggal.

2. Rehabilitasi

(recovery),

dilakukan

setelah

bencana

berlalu,

yaitu

membangun kembali secara darurat sarana dan prasarana, seperti jalan,


pasar, barak-barak pengungsian, saluran air, tanggul-tanggul pengaman dan
lain-lain, agar kehidupan berangsur kembali normal.
3. Rekonstruksi (development), pembangunan sarana dan prasarana yang
permanen setelah melalui pertimbangan tata guna lahan dan usaha
penanggulangan bencana di masa mendatang.
4. Pencegahan (prevention), mitigasi dan kesiapsiagaan (preparedness)
bertujuan untuk mencegah terulangnya bencana serupa di waktu yang akan
datang. Pengertian mitigasi bencana alam gunung api secara luas yaitu usaha
untuk mengurangi atau meringankan penderitaan yang mungkin dialami
sebagai akibat kegiatan gunung api (safe loss of life and damages caused by
volcanic disaster).
Usaha mitigasi bencana alam letusan gunung api terbagi dalam dua kategori, yaitu
fisik dan non fisik. Usaha secara fisik adalah :
1. Pembangunan dam/tanggul pengendali lahar dan kantong-kantong lahar.
2. Pembuatan terowongan air untuk mengurangi volume air danau kawah,
contoh: di G. Kelut Jawa Timur dan G. Galunggung di Jawa Barat.
3. Pembangunan barak-barak pengungsian, petunjuk arah pengungsian dan
papan-papan informasi tentang kebencanaan di daerah rawan bencana.
4. Pengadaan alat peringatan dini (sirene dan kentongan) di daerah rawan
bencana.
5. Pembuatan rumah beratap seng dengan kemiringan tajam untuk menghindari
menumpuknya endapan jatuhan abu.
59

6. Pembuatan rumah bawah tanah (rumah pendam atau bunker) untuk


menyelamatkan diri dari hujan abu dan lontaran batu.
7. Latihan penanggulangan bencana secara berkala.

Usaha penanggulangan bencana non fisik adalah :


1. Penelitian bencana gunung api untuk menilai potensi bahaya yang akan datang
(volcanic hazard assesment).
2. Pembuatan Peta kawasan rawan bencana.
3. Pemantauan (pengamatan/ monitoring) kegiatan gunung api.
4. Pembakuan dan pemberlakuan prosedur tetap sistem peringatan dini.
5. Penyuluhan terhadap masyarakat di kawasan rawan bencana, secara langsung,
melalui media cetak maupun elektronika.
VI.3. Organisasi Penanggulangan Bencana
Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 106 tahun 1999, pengelola manajemen
bencana

di

tingkat

Penanggulangan

pusat

Bencana

adalah

Ketua

(Bakornas

PB),

Badan

Koordinasi

merangkap

sebagai

Nasional
Menteri

Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan, beranggota para


menteri terkait dan Gubernur Kepala Daerah setempat.
Pada tingkat propinsi organisasi penanggulangan bencana disebut Satuan
Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) yang diketuai
oleh Gubernur, beranggota instansi/ dinas pemerintah propinsi, komando teritorial
dan organisasi sosial kemasyarakatan. Pada tingkat kabupaten atau kota
organisasi

penanggulangan

bencana

dinamakan

Satuan

Pelaksana

Penanggulangan Bencana (Satlak PB) yang diketuai oleh Bupati atau Walikota,
dan beranggota pemerintah daerah, komando teritorial dan organisasi sosialkemasyarakatan di daerah tersebut. Pada tingkat kecamatan dan desa organisasi
penanggulangan bencana dinamakan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana
(Satgas PB).
60

VI.4. Penilaian Potensi Bahaya


Penilaian potensi bahaya gunung api (volcanic hazard assessments) bertujuan
untuk mengetahui berbagai jenis bahaya gunung api, intensitas bahaya, arah,
sebaran dan jangkauan, dan jika mungkin waktu kejadian, serta saran usaha
penanggulangannya.
Untuk menilainya dibutuhkan data vulkanologi, meliputi data geologi, geofisika,
geokimia, klimatologi, monitoring dan sosial-kependudukan. Bentang alam dan
pola aliran dapat membantu dalam memperkirakan arah gerakan gravitasi, seperti
halnya awan panas, lava dan lahar. Data stratigrafi, sedimentologi dan petrologi
berguna untuk mengetahui evolusi dan karakter kegiatan gunung api. Data
struktur geologi berguna untuk mengetahui daerah-daerah yang lemah untuk
deformasi muka tanah, kemunculan gas beracun dan lubang letusan baru. Data
geofisika, geokimia dan pemantauan bermanfaat untuk mengetahui tingkat
kegiatan magma di bawah gunung api dan memperkirakan besarnya letusan. Data
klimatologi

mendukung

analisis

letusan

freatik,

freatomagmatik

dan

penanggulangan banjir lahar hujan. Data sosial-penduduk diperlukan untuk


pemberdayaan masyarakat di daerah bencana untuk bersama-sama dengan
pemerintah dan masyarakat lainnya melakukan usaha penanggulangan bencana.
Studi terpadu untuk menganalisis potensi bahaya gunung api antara lain dilakukan
di G. Muria (Wirakusumah dkk., 2000), G. Batur (Bronto, 2000b), G. Krakatau
(Bronto, 2000c) dan G. Galunggung (Bronto, 2001a). Analisis potensi bahaya ini
akan semakin tajam apabila selalu diperbarui dengan data pemantauan gunung
api.
VI.5. Pemetaan Kawasan Rawan Bencana
Peta kawasan rawan bencana (dulu disebut peta daerah bahaya gunung api) adalah
peta petunjuk tingkat kerawanan bencana pada suatu daerah, bila terjadi erupsi
gunung api. Peta ini menjelaskan jenis dan sifat bahaya gunung api, zonasi daerah
rawan bencana, jalur penyelamatan dan lokasi pengungsian, dan titik-titik pos

61

pengamatan dan penanggulangannya. Peta ini merupakan salah satu hasil tindak
lanjut dari studi penilaian potensi bahaya gunung api.
Peta kawasan rawan bencana gunung api (Gambar VI.1) meliputi:
a. Kawasan rawan bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda
lahar/ banjir dan hujan abu, serta tidak menutup kemungkinan dapat
terkena perluasan awan panas, aliran lava dan lontaran batu (pijar) apabila
letusan membesar. Di kawasan ini masyarakat harus waspada jika terjadi
erupsi/ letusan gunung api dan atau hujan lebat, melaporkan kejadian
bahaya yang mengancam keselamatan jiwa dan kerusakan harta benda
sambil menunggu instruksi dari pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
b. Kawasan rawan bencana II berpotensi terlanda awan panas, lava,
lontaran atau guguran batu (pijar), lahar dan gas beracun. Jika terjadi
peningkatan kegiatan gunung api, masyarakat harus mengungsi. Penduduk
dapat kembali bila daerahnya telah dinyatakan aman kembali.
c. Kawasan rawan bencana III: sering terlanda awan panas, aliran lava,
lontaran atau guguran batu (pijar), dan gas beracun. Kawasan ini hanya
diberlakukan pada gunung api yang sangat giat atau sering meletus, seperti
G. Merapi, G. Semeru dan G. Batur. Kawasan ini tidak direkomendasikan
untuk pemukiman tetap. Jika kegiatan gunung api meningkat, masyarakat
umum dilarang melakukan kegiatan apapun di wilayah ini.
Peta kawasan rawan bencana gunung api hanya berlaku untuk kegiatan kegiatan
gunung api bersekala kecil sampai menengah, yaitu dengan ILG 3 atau lebih
kecil, tipe letusan sebesar-besarnya Vulkanian, dan dengan sejarah erupsi yang
sama. Untuk mengantisipasi penyimpangan kegiatan, perlu disusun skenario yang
lain, contoh: untuk ILG menengah (4-5), dan ILG besar (6; Bronto, 1989).
Keberhasilan penggunaan peta kawasan rawan bencana tergantung dari hasil
pemantauan dan perkiraan besarnya letusan yang akan datang.

62

Gambar VI.1. Contoh peta kawasan rawan bencana


(dimodifikasi dari Pardiyanto dkk, 1977).

Gunung

Merapi

VI.6. Pemantauan Gunung Api


Pemantauan kegiatan gunung api bertujuan untuk memperkirakan besaran letusan
yang akan terjadi melalui model atau skenario erupsi gunung api, mencakup :
1. Mendeteksi adanya peningkatan kegiatan atau precursor.
2. Memperkirakan waktu dan besaran letusan awal.
3. Memperkirakan waktu dan besaran letusan berikutnya, terutama letusan
puncak atau paroksismal.

63

4. Memperkirakan lama letusan dan mengidentifikasi penurunan kegiatan.


5. Memperkirakan luasan daerah yang akan terlanda, jenis ancaman bahaya yang
akan terjadi, apakah awan panas, lontaran batu, hujan abu, aliran lava, aliran
lahar dan sebagainya.
Model erupsi yang diputuskan berdasar data pemantauan akan menjadi acuan
untuk memberlakukan peta kawasan rawan bencana yang sesuai.
Pemantauan gunung api dilaksanakan melalui pos-pos pengamatan yang didirikan
di kawasan gunung api aktif di bawah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, Departemen
Energi dan Sumberdaya Mineral, secara visual dan instrumental.
a. Pemantauan visual dilakukan langsung terhadap perilaku kegiatan gunung api
dari waktu ke waktu, misalnya perubahan fisik gas (warna asap, tinggi kolom
asap, arah sebaran asap atau abu gunung api dan lain-lain). Jika kawah gunung
api berupa danau, perlu diamati perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
danau. Peralatan yang digunakan adalah teropong (binokuler), termometer,
alat penakar curah hujan dan alat komunikasi. Termometer untuk mengukur
temperatur gas (fumarol dan solfatara), air danau kawah, mata air panas dan
suhu udara.
b. Pemantauan secara instrumental menggunakan peralatan berdasarkan disiplin
ilmu geologi, geofisika dan geokimia. Berdasarkan ilmu geologi, obyek yang
diamati adalah perkembangan volume kubah lava, aliran lava, intensitas
rekahan (bukaan) dan komposisi bahan padat. Peralatan yang digunakan
adalah teodolit, ekstensiometer, peralatan kerja lapangan dan laboratorium
geologi.
Pemantauan secara geofisika berupa pemantauan kegempaan, deformasi,
kemagnetan dan gaya berat. Kegiatan magma baik yang masih berada di
bawah permukaan tanah maupun yang telah dierupsikan menimbulkan getaran
atau gempa gunung api (volcanic earthquakes). Kegempaan itu dipantau
dengan alat seismometer dan data direkam di dalam seismograf.
64

Gambar VI.2. Tiltmeter yang dipasang untuk melakukan pemantauan kegiatan


gunung api (BPPTK).
Magma yang sedang naik ke permukaan juga menimbulkan perubahan atau
deformasi terhadap tubuh gunung api. Tekanan magma pada lereng dan puncak
gunung api menyebabkan inflasi, dan saat kegiatannya menurun kembali terjadi
pengkerutan atau deflasi. Pengukuran deformasi menggunakan jaring triaterasi
yang dipasang pada puncak gunung api (Gambar VI.3)

Gambar VI.3. Jaringan triaterasi di puncak Gunung Merapi untuk pemantauan


dan pengukuran deformasi (BPPTK).
65

Saat aktivitas meningkat, terjadi anomali seismik yang ditandai dengan


gempa-gempa tremor, vulkanik dangkal dan vulkanik dalam (contoh hasil
pencatatan pada Gambar VI.4).

Gambar VI.4. Contoh rekaman seismik di Gunung Merapi (BPPTK).


Metode pemantauan kemagnetan dengan menggunakan magnetometer akan
memberikan perilaku magma di bawah permukaan (Gambar VI.5). Sedangkan
pemantauan gravitasi dengan alat gravimeter lebih ditekankan untuk
mengetahui struktur geologi bawah permukaan berupa sesar dan kekar yang
akan menjadi jalan pergerakan magma ke permukaan bumi.
66

Gambar VI.5. Contoh variasi intensitas magnetik antara stasiun IJO dan LEM di
Gunung Merapi (BPPTK).
Pemantauan dengan metoda geokimia bertujuan untuk mengetahui perilaku
magma yang sedang bergerak ke permukaan. Contoh: analisis gas di udara
dan di dalam tanah, air dari danau kawah, mata air panas, mata air dingin, air
sungai berhulu di daerah puncak, dan lain-lain (contoh pada Tabel VI.3).
Analisis kimia dapat meliputi unsur mayor, unsur minor atau jarang tanah
serta isotop. Gambar 10.14 menunjukkan grafik data kandungan HCl dan SO 2
di dalam gas solfatara di kawah Gendol, G. Merapi. Salah satu alat untuk
mendeteksi gas SO2 di udara adalah COSPEC (Correlation Spectrometer).
Tabel VI.3. Contoh hasil pengukuran gas Gunung Merapi pada 2 Februari 1992
Unsur gas dalam
kawah

% mol kondisi normal

Peningkatan pada 2
Februari 1992

Uap air
HCl
SO2
CO2
H2
O2+
Ar

18,95
0,1
0,74
0,03
2,86
0,02
0,00

98,13
10,53
10,86
1,66
35,77
11,6
3,28

67

VI.7. Sistem Peringatan Dini


Untuk memberikan peringatan dini dan usaha penyelamatan diri anggota
masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana gunung api maka dibuat
kriteria tingkat kegiatan gunung api di Indonesia (Tabel VI.4).
Tabel VI.4. Kriteria tingkat kegiatan gunung api dan kewaspadaan masyarakat
(BPPTK dan Bronto, tak-dipublikasikan).
Tingkat kegiatan gunung api
Aktif normal (Tingkat I)
Aktivitas gunung api berlangsung
normal, tidak ada tanda-tanda erupsi

Tingkat kewaspadaan masyarakat


Keadaan aman, masyarakat yang tinggal di
kawasan rawan bencana dapat beraktivitas
sehari-hari dengan tenang.

Waspada (Tingkat II)


Terjadi peningkatan kegiatan berupa
kelainan yang tampak visual atau
hasil
pemeriksaan
kawah,
kegempaan dan gejala vulkanik
lainnya.

Masyarakat
meningkatkan
kewaspadaan
terhadap kemungkinan terjadinya bencana
sambil menunggu perintah lebih lanjut dari
pemerintah daerah setempat, yaitu peningkatan
penjagaan (ronda/ siskamling), perbaikan pos
jaga, perbaikan jalan/ rute pengungsian,
penyediaan
alat
peringatan
(kentongan,
lodspeaker, bedug, sirine) dll. Pemerintah
daerah dan instansi terkait mulai memberikan
penyuluhan, merencanakan pengadaan bahan/
peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan
untuk usaha penyelamatan dan pengungsian.

Siaga (Tingkat III)


Peningkatan kegiatan semakin nyata,
hasil
pengamatan
visual/
pemeriksaan kawah, kegempaan dan
metoda lain saling mendukung.
Berdasarkan analisis, perubahan
kegiatan cenderung diikuti letusan.

Masyarakat mensiagakan diri lebih intensif:


penjagaan diperketat, tidak bekerja dalam
lembah sungai atau puncak gunung yang
berpotensi terlanda bencana,
mensiagakan
barang-barang keperluan pribadi yang mudah
dibawa saat mengungsi. Pemerintah daerah
dan instansi terkait mensiagakan sarana dan
prasarana
untuk
penyelamatan
dan
pengungsian: alat transportasi, sirine/ alarm,
barak
pengungsia, tenda, alat masal dll.
Meningkatkan penyuluhan kebencanaan pada
masyarakat.

Awas (Tingkat IV)


Menjelang letusan utama, letusan
awal berupa abu/asap mulai terjadi.
Berdasarkan analisis data
pengamatan akan diikuti letusan
utama.

Sesuai perintah pimpinan daerah masyarakat di


kawasan rawan bencana harus mengungsi.
Aparat pemerintah daerah dan instansi terkait
membantu memperlancar dan mempercepat
pengungsian
menuju
barak-barak
yang
disediakan sesuai rute yang sudah ditentukan.

------ mempersiapkan ujian akhir semester ------

68

DAFTAR BACAAN
Adams, M. C., Moore, J. N., and Forster, C., 1985. Fluid flow in volcanic terrains
hydrogeochemisty of the Meager Mountain thermal system. Geotherm. Res.
Council Trans. 9: 377382.
Alzwar, M., 1985, G. Kelut, Berita Berkala Volkanologi Edisi Khusus, no. 108, Direkt.
Vulkanologi, 60.
Alzwar, M., H. Samodra and J.J. Tarigan, 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunung api,
Nova, Bandung, 226.
Anderson, E. M., 1936. The dynamics of the formation of cone-sheets, ringdykes, and
cauldron subsidences. Proc. Roy. Soc., Edinburgh 56 : 128163.
Anonim, 1997, Volcanoes and associated topics in relation to nuclear power plant siting,
Provisional Safety Standards Series no. 1, Internat. Atomic Energy Agency, Vienna,
49.
Bakornas PB, 1997a, Pedoman Penyusunan Prosedur Tetap Satuan Koordinasi
Pelaksanaan Penanggulangan Bencana (Protap Satkorlak PB), Sekretariat
Bakornas PB, Kantor Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3F, Jakarta Pusat,
10.
Bakornas PB, 1997b, Pedoman Penyusunan Prosedur Tetap Satuan Pelaksana
Penanggulangan Bencana (Protap Satlak PB), Sekretariat Bakornas PB, Kantor
Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3F, Jakarta Pusat, 10.
Bakornas PB, 1997c, Buku Pedoman Tim Reaksi Cepat, Sekretariat Bakornas PB, Kantor
Menko Kesra, Jl. Medan Merdeka Barat no. 3 F, telp. (021) 3507521 3453283,
Fax.3454383, E-mail : bakornas@dnet.net.id, Jakarta Pusat, 22.
Bronto, S., 1992, Volcanoes and their volcanic hazard map preparations, Prosid.
EMNHD-2, Yogyakarta, Vo.3.1-3.13.
Bronto, S., 1995a, Awan panas, bahaya dan penanggulangannya, Lokakarya strategi
penanganan Kawasan Merapi Pasca Bencana 22 November 1994 di UGM
Yogyakarta, 30 Januari, 28.
Carey, S. N. and Sigurdsson, H., 1982. Influence of particle aggregation on deposition of
distal tephra from the May 18, 1980 eruption of Mount St. Helens volcano. J.
Geophys. Res. 87 : 70617072.
Carey, S. and Sparks, R. S. J., 1986. Quantitative models of the fallout and dispersal of
tephra from volcanic eruption columns. Bull. Volcanol. 48 : 109125
Cas, R. A. F. and Wright, J. V., 1987. Volcanic successions: Modern and ancient. Allen
and Unwin, London, 528 pp.
Crandell, D. R., Miller, C. D., Glicken, H. X., Christiansen, R. L., and Newhall, C. G.,
1984. Catastrophic debris avalanche from ancestral Mount Shasta volcano,
California. Geology 12 : 143146.
Crowe, B. M. and Fisher, R. V., 1973. Sedimentary structures in base-surge deposits with
special reference to cross-bedding, Ubehebe Craters, Death Valley, California.
Geol. Soc. Am. Bull. 84 : 663682
Curtis, G. H., 1954. Mode of origin of pyroclastic debris in the Mehrten Formation of the
Sierra Nevada. Univ. Calif. Publ. Geol. Sci. 29 : 453502

69

Davis, J. C., 1973. Statistics and data analysis in geology . Wiley and Sons, New York,
550 pp.
Decker, R., 1987. Dynamics of Hawaiian volcanoes: an overview. U.S. Geol. Surv. Prof.
Pap. 1350, pp. 9971018.
Druitt, T. H. and Bacon, C. R., 1986. Lithic breccia and ignimbrite erupted during the
collapse of Crater Lake, Oregon. J. Volcanol. Geotherm. Res. 29 : 132.
Druitt, T. H. and Sparks, R. S. J., 1982. A Proximal ignimbrite breccia facies on Santorini,
Greece. J. Volcanol. Geotherm. Res. 13 : 147172.
Druitt, T. H. and Sparks, R. S. J., 1984. On the formation of calderas during ignimbrite
eruptions. Nature 310 : 679681.
Fisher, R. V. and Schmincke, H.-U., 1984. Pyroclastic rocks . Springer-Verlag, Berlin,
472 pp.
Fisher, R. V. and Smith, G. A., 1991. Volcanism, tectonics, and sedimentation. In: R. V.
Fisher and G. A. Smith (Eds.), Sedimentation in volcanic settings . Soc. Econ.
Paleontol. Mineral. Spec. Pub. 45, pp. 18.
Fisher, R. V., Schmincke, H.-U., and Bogaard, P. v. d., 1983. Origin and emplacement of
a pyroclastic flow and surge unit at Laacher See, Germany. J. Volcanol. Geotherm.
Res. 17 : 375392.
Fournier, R. O. and Rowe, J.J., 1966. Estimation of underground temperatures from the
silica content of water from hot springs and wet-steam wells. Am. J. Sci. 264 : 685
697.
Frazzetta, G., La Volpe, L., and Sheridan, M. F., 1983. Evolution of the Fossa cone,
Vulcano. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 329360.
Gill, J., 1981. Orogenic andesites and plate tectonics . Springer-Verlag, New York, 390
pp.
Katsui, Y., 1963. Evolution and magmatic history of some Krakatoan calderas in
Hokkaido, Japan. J. Fac. Sci. Hokkaido Univ. Ser. 4, 11 : 631650.
Keller, J., 1980. The island of Vulcano. Rend. Soc. Ital. Min. Petrol. 36 : 369414.
Kokelaar, P., 1986. Magma-water interactions in subaqueous and emergent basaltic
volcanism. Bull. Volcanol. 48 : 275290.
Kusumadinata, K., 1979, Data Dasar Gunung api Indonesia, Direktorat Vulkanologi,
Bandung, 820.
Lorenz, V., 1986. On the growth of maars and diatremes and its relevance to the
formation of tuff rings. Bull. Volcanol. 48 : 265274.
MacDonald, G. A., 1972. Volcanoes . Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 510 pp.
Marsh, B. D., 1979a. Islandarc volcanism. Am. Sci. 67 : 161172.
Marsh, B. D., 1979b. Island arc development: some observations, experiments, and
speculations. J. Geol. 87 : 687713.
Marsh, B. D. 1984. On the mechanics of caldera resurgence. J. Geophys. Res. 89 : 8245
8252.
Marsh, B. D. and Carmichael, I. S. E., 1974. Benioff zone magmatism. J. Geophys. Res.
79 : 11961206.

70

McPhie, J., M. Doyle & R. Allen, 1993, Volcanic Textures. A guide to the interpretation
of textures in volcanic rocks, Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, Univ.
Tasmania, 196
Miller, C. D., 1985. Holocene eruptions at the Inyo volcanic chain, California:
implication for possible eruptions in Long Valley caldera.Geology 13:1417
Neumann van Padang, M., 1931. Der Ausbruch des Merapi (Mittel Java) im Jahre 1930.
Zeit. Vulkan. 14 : 135148.
Neumann van Padang, M., 1951. Part IIndonesia. In: Catalogue of the active
volcanoes of the world . Int'l. Volcanol. Assoc., Napoli, 271 pp.
Newhall, C. G. and Melson, W. G., 1987. Explosive activity associated with the growth
of volcanic domes. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 111131.
Newhall, C. G. and Dzurisin, D., 1988. Historical unrest at large calderas of the World.
U.S. Geological Survey Bull. 1855, 1108 pp.
Newhall, C.G. & S. Self, 1982, The Volcanic Explosivity Index (VEI): An Estimate of
Explosive Magnitude for Historical Volcanism, J. Geophys. Res., 87, 1231-1238
Schmincke, H.-U., Fisher, R. V., and Waters, A. C., 1973. Antidune and chute and pool
structures in the base surge deposits of the Laacher See area, Germany.
Sedimentology 20 : 553574.
Self, S., 1983. Large-scale phreatomagmatic silicic volcanism: A case study from New
Zealand. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 433469.
Self, S. and Sparks, R. S. J., 1978. Characteristics of widespread pyroclastic deposits
formed by the interaction of silicic magma and water. Bull. Volcanol. 41 : 196212.
Self, S. and Sparks, R. S. J. (Eds.), 1981. Tephra studies . D. Reidel Publ. Co., Dordrecht,
Holland, 481 pp.
Sheridan, M. F., 1971. Particle-size characteristics of pyroclastic tuffs. J. Geophys. Res.
76 : 56275634.
Sheridan, M. F., 1979. Emplacement of pyroclastic flows: a review. Geol. Soc. Am. Spec.
Pap. 180, pp. 125136.
Sheridan, M. F., Barberi, F., Rosi, M., and Santacroce, R., 1981. A model for Plinian
eruptions of Vesuvius. Nature 289 : 282285.
Sheridan, M. F. and Wohletz K. H., 1981. Hydrovolcanic eruptions I. The systematics of
water-pyroclast equilibration. Science 212 : 13871389.
Sheridan, M. F. and Wohletz, K. H., 1983a. Hydrovolcanism: basic considerations and
review. J. Volcanol. Geotherm. Res. 17 : 129.
Sheridan, M. F. and Wohletz, K. H., 1983b. Origin of accretionary lapilli from the
Pompeii and Avellino deposits of Vesuvius. In: R. Gooley (Ed.), Microbeam
analysis 1983. San Francisco Press, San Francisco, pp. 3538.
Sheridan, M. F., Wohletz, K. H., and Dehn, J., 1987. Discrimination of grainsize
subpopulations in pyroclastic deposits. Geology 15 : 367370.
Sheridan, M. F., Moyer, T. C., and Wohletz, K. H., 1981. Preliminary report on the
pyroclastic products of Vulcano. Mem. Soc. Astron. Ital. 52 : 523527
Sigurdsson, H., Carey, S., Cornell, W., and Pescatore, T., 1985. The eruption of Vesuvius
in A.D. 79. Nat'l. Geograph. Res. 1 (3): 332387.

71

Simkin, T. and L. Siebert, 1994, Volcanoes of the world, 2nd ed., Geoscience Press inc.,
Tucson, Arizona,349.
Simkin, T., L. Siebert, L. McClelland, D. Bridge, C.G. Newhall, J.H. Latter, 1981,
Volcanoes of the world, Smithsonian Institution, Hutchinson Ross Publ. Co.,
Stroudsberg, Pennsylvania, 232.Sparks, R. S. J., 1976. Grain size variations in
ignimbrites and implications for the transport of pyroclastic flows. Sedimentology
23 : 147188.
Sparks, R. S. J. and Wilson, L., 1976. A model for the formation of ignimbrite by
gravitational column collapse. J. Geol. Soc. London 132 : 441451.
Sparks, R. S. J., Wilson, L., and Hulme, G., 1978. Theoretical modeling of the
generation, movement, and emplacement of pyroclastic flows by column collapse.
J. Geophys. Res. 83 : 17271739.
Sparks, R. S. J., and Wilson, L., 1982. Explosive volcanic eruptions: V. Observations of
plume dynamics during the 1979 Soufriere eruption, St. Vincent. Geophys. J. Roy.
Astr. Soc. 69 : 551570.
Valentine, G. A. and Wohletz, K. H., 1989. Numerical models of plinian eruption
columns and pyroclastic flows. J. Geophys. Res. 94 : 18671877.
van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia . Gov't. Printing Office, The
Hague, 732 pp.
Verbeek, R. D. M., 1885, Krakatau . Imprimerie de l'Etat, Batavia, Java, 495 pp.
Walker, G. P. L., 1980. The Taupo Pumice: product of the most powerful known
(ultraplinian) eruption? J. Volcanol. Geotherm. Res. 8 : 6994.
Walker, G. P. L., 1971. Grain-size characteristics of pyroclastic deposits. J. Geology 79 :
696714.
Walker, G. P. L., 1973. Explosive volcanic eruptionsa new classification scheme. Geol.
Rundsch. 62 : 431446.
Walker, G. P. L. and Croasdale, R., 1972. Characteristics of some basaltic pyroclastics.
Bull. Volcanol. 35 : 303317.
Walker, G. P. L., Wilson, L., and Bowell, E. L. G., 1971. Explosive volcanic eruptions
I: The rate of fall of pyroclasts. Geophys. J. Roy. Astr. Soc. 22 : 377383.
Walker, G. P. L., Wilson, C. J. N., and Froggatt, P. C., 1980. Fines depleted ignimbrite in
New Zealandthe product of a turbulent pyroclastic flow. Geology 8 : 245249.
Walter, A. W. and Weaver, C. S., 1980. Seismicity of the Coso Range, California. J.
Geophys. Res. 85 : 24412458.
Williams, H. and McBirney, A. R., 1979. Volcanology . Freeman, Cooper, and Co., San
Francisco, 397 pp.
Williams H., Turner, F. J., and Gilbert, C. M., 1982. PetrographyAn introduction to the
study of rocks in thin sections . 2nd ed., W. H. Freeman and Company, San
Francisco, 626 pp.
Williams, R. S., Jr. and Moore, J. G., 1983. Man against volcano: The eruption on
Heimaey, Vestmannaeyjar, Iceland. U.S. Geol. Surv. Circ., 27 pp.
Wohletz, K. H., 1986. Explosive magmawater interactions: thermodynamics, explosion
mechanisms, and field studies. Bull. Volcanol. 48 : 245264.

72

Wohletz, K. H., 1987. Chemical and textural surface features of pyroclasts from
hydrovolcanic eruption sequences. In: J. R. Marshall (Ed.), Clastic particles . Van
Nostrand Reinhold Company Inc., New York, pp. 7997.
Wohletz, K. H. and Crowe, B. M., 1978. Development of lahars during the 1976 activity
of La Soufrire de Guadeloupe. Geol. Soc. Am. Abs. Prog. 10 : 154.
Wohletz, K. H. and Sheridan M. F., 1979. A model of pyroclastic surge. Geol. Soc. Am.
Spec. Pap. 180, pp. 177193.
Wohletz, K. H. and Sheridan, M. F., 1983. Hydrovolcanic explosions II: evolution of
basaltic tuff rings and tuff cones. Am. J. Sci. 283 : 385413.
Wohletz, K. H., McGetchin, T. R., Sandford II, M. T., and Jones, E. M., 1984.
Hydrodynamic aspects of caldera-forming eruptions: numerical models. J.
Geophys. Res. 89 : 82698285.
Wohletz, K. H. and McQueen R. G., 1984, Experimental studies of hydromagmatic
volcanism. In: Explosive volcanism: inception, evolution, and bazards , Studies in
Geophysics, National Academy Press, Washington, pp. 158169.
Wohletz, K., Heiken, G., Ander, M., Goff, F., Vuataz, F.-D., and Wadge, G., 1986. The
Qualibou caldera, St. Lucia, West Indies. J. Volcanol. Geotherm. Res. 27 : 77115.
Wohletz, K. H., Sheridan, M. F., and Brown, W. K., 1989. Particle size distributions and
the sequential fragmentation/transport theory applied to volcanic ash. J. Geophys.
Res. 94 : 15,70315,721.
Wohletz, Kenneth, and Heiken. Grant, 1992. Volcanology
Energy. Berkeley: University of California Press, 432 p.

and

Geothermal

Wright, J. V., Smith, A. L., and Self, S., 1981. A working terminology of pyroclastic
deposits. J. Volcanol. Geotherm. Res. 8 : 315336.
Wright, J. V., Roobol, M. J., Smith, A. L., Sparks, R. S. J., Brazier, S. A., Rose, W. I. Jr.,
and Sigurdsson, H., 1984. Late Quaternary explosive silicic volcanism on St.
Lucia, West Indies, Geol. Mag. 121 : 115.
Wright, P. M. and Ward, S. H., 1985. Application of geophysics to exploration for
concealed hydrothermal systems in volcanic terrains. Geotherm. Res. Council
Trans. 9 : 423428.

www.geologi.sdsu.edu
pubs.usgs.gov/publications/

73

Anda mungkin juga menyukai