Anda di halaman 1dari 180

Dua Biografi Terkait Supersemar

Dua Biografi Terkait Supersemar


Oleh : Asvi Warman Adam Ahli Peneliti LIPI dan Visiting Fellow di KITLV Leiden
Meskipun ada undang-undang yang menyatakan bahwa seseorang yang menyimpan arsip
negara dapat dihukum penjara, naskah asli Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 tak
kunjung bersua. Entah siapa yang menyimpan dokumen yang begitu penting dalam proses
peralihan kekuasaan di Indonesia.
Penelitian sejarah tentu tidak tergantung semata-mata kepada adanya arsip yang otentik, tetapi
juga menyangkut antara lain tentang proses keluarnya surat perintah yang berdampak sangat
besar dalam sejarah negara. Pada buku sejarah yang diajarkan di sekolah terkesan bahwa surat
itu didapatkan secara spontan. Tiga orang jenderal seusai sidang kabinet yang dihentikan
secara mendadak tanggal 11 Maret 1966 berembuk di tangga Istana Negara lalu menemui
Soeharto di rumahnya di Jalan Agus Salim, Menteng. Setelah berunding, mereka bertiga pergi
ke Istana Bogor. Malamnya setelah memperoleh surat perintah dari Presiden Soekarno kepada
Mayor Jenderal Soeharto mereka pulang ke Jakarta.
Seakan-akan semuanya berjalan mulus. Tidak ada tekanan apalagi paksaan. Bahkan dalam
buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA yang disunting oleh Nugroho
Notosusanto dan Yusmar Bari digambarkan bahwa ketiga jenderal itu sengaja berkunjung ke
Bogor agar Presiden Soekarno tidak kesepian.
Bujukan
Betulkah surat itu diberikan oleh Presiden dengan sukarela atas inisiatifnya sendiri? Kesaksian
Wilardjito dari Yogyakarta yang menghebohkan itu --penyerahan surat itu melalui todongan
senjata terhadap Bung Karno-- bisa saja dibantah. Namun tidak pelak lagi bahwa proses
keluarnya Supersemar diwarnai dengan bujukan dan tekanan. Hal ini terlihat pada dua biografi
tokoh yang terlibat dalam proses tersebut sebelum tanggal 11 Maret yaitu Jenderal Alamsjah
Ratuprawiranegara (Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu, 1995) dan pengusaha
Hasjim Ning (Pasang Surut Pengusaha Pejuang, 1986).
Rasanya mustahil keduanya bersekongkol mengarang cerita bohong. Memang pada biografi
itu terdapat perbedaan mengenai terjadinya peristiwa yang melibatkan mereka, yang satu
menyebut tanggal 6 Maret dan satu lagi mengatakan tanggal 9 Maret 1966. Namun mengenai
substansinya mereka sejalan. Jadi pada tanggal 6 Maret malam Hasjim Ning dipanggil oleh
Alamsjah untuk datang ke rumah pengusaha Dasaat di Pegangsaan, Jakarta. Baik Dasaat
maupun Hasjim dikenal dekat dengan Bung Karno. Kedua pengusaha itu diminta oleh

Alamsjah untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaannya kepada

Mayor Jenderal Soeharto.

Terjadi perdebatan mengenai istilah penyerahan kekuasaan atau pemerintahan. Jadi Soekarno

tetap berkuasa (sebagai Presiden) sedangkan yang menjalankan pemerintahan adalah Soeharto.

Apa pun yang disepakati di rumah itu, Soeharto telah menanti hasilnya di tempat lain.

Pada tengah malam dibuat surat keterangan yang ditandatangani Soeharto bahwa kedua

pengusaha diutus untuk menemui Presiden Soekarno. Surat ini memperlihatkan bahwa

Soeharto mengetahui dan mendukung manuver yang dijalankan oleh Alamsjah. Berkat surat

itu pula kedua pengusaha bisa menembus dua lapis penjagaan di sekitar Istana Bogor.

Pada lapis terdalam terdapat pasukan Cakrabirawa yang setia kepada Bung Karno. Di

lingkaran sebelah luar terdapat pasukan Kostrad yang mengepung Istana. Kedua pengusaha itu

sempat bermalam di Istana Bogor dan Hasjim tidak lupa membawakan makanan kesukaan

Bung Karno. Bila saatnya tiba, mereka menyampaikan pesan Soeharto kepada Presiden

Soekarno. Soekarno tidak banyak bicara mengenai hal ini, tetapi pada pokoknya ia menolak

permintaan tersebut.

Akhirnya Dasaat dan Hasjim Ning pulang ke Jakarta tanpa membawa hasil. Meskipun

demikian dari kisah nyata ini dapat diambil kesimpulan bahwa Soeharto telah berupaya

sebelum keluarnya Supersemar untuk membujuk Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan

atau apa pun istilahnya. Karena bujukan itu tidak berhasil maka dilakukan usaha yang lebih

keras yaitu tekanan atau mungkin dapat disebut paksaan. Masyarakat Indonesia yang minus

dokumen sejarah terbantu oleh adanya biografi kedua tokoh tadi. Memang ada kesan bahwa

riwayat hidup seorang besar hanya ''kecap'' tentang kehebatan dirinya, tetapi sesungguhnya

dalam hal tertentu atau menyangkut suatu peristiwa, kisah itu --setelah dicek-silang-- bisa

dijadikan rujukan.

Dengan demikian, ketiga jenderal (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan M Jusuf) yang

datang ke Istana Bogor tanggal 11 Maret 1966 bukanlah untuk menemani Bung Karno agar

beliau tidak kesepian seperti ditulis dalam buku pelajaran sejarah pada era Orde Baru. Missi

mereka itu tercakup dalam konteks situasi yang dibangun sebelumnya, yaitu kekuasaan harus

direbut dengan segala cara, baik dengan bujukan atau, kalau tidak bisa, dengan tekanan dan

paksaan. Semoga suksesi kekuasaan semacam ini tidak terulang lagi dalam sejarah Indonesia.

Rabu, 09 Maret 2005, Republika

Date: 2005/10/11
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=51

Ini Pelajaran Sejarah, Bung!

Ini Pelajaran Sejarah, Bung!


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/22/humaniora/1980569.htm
Senin, 22 Agustus 2005

Melalui berita di TV swsata, kemudian diperkuat oleh tulisan Asvi Warman Adam ( Kompas,
1 Juli 2005), penulis mendengar/membaca bahwa mata pelajaran Sejarah kembali bermasalah.
Dikatakan kembali bermasalah karena pada tahun 1980-an muncul mata pelajaran PSPB (di
samping masih ada PMP dan Sejarah), sehingga terjadi tumpang tindih antara mata pelajaran
PMP dan Sejarah. Kemudian, belum lama ini, tahun 2002, ada berita yang menghebohkan,
yakni mata pelajaran Sejarah akan dihapus dan digabung dengan mata pelajaran PPKN/PKN.
Heboh yang menyangkut mata pelajaran Sejarah kali ini adalah bahwa Departemen
Pendidikan Nasional belum akan menerapkan Kurikulum 2004 untuk bidang studi Sejarah.
Khusus untuk mata pelajaran Sejarah, pemerintah akan menerapkan kembali Kurikulum 1994
beserta Suplemennya (1999). Buku mata pelajaran Sejarah yang sempat beredar akan ditarik
kembali. Tepatkah kebijakan Depdiknas tersebut?
Isi Suplemen 1999
Kurikulum 1994, Suplemen GBPP Mata Pelajaran Sejarah, Pedoman Bahan Ajar Sejarah Bagi
Guru Sekolah Menengah (SMU/MA/SMK), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, 1999, sudah tidak
mencantumkan lagi nama PKI di belakang G30S. Lebih dari itu, suplemen ini juga tidak
menyebut lagi PKI sebagai pelaku G30S, apalagi sebagai dalang G30S.
Di tengah-tengah kecurigaan dan persaingan politik yang semakin tinggi itu, sekelompok
pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung melakukan aksi bersenjata di Jakarta.
Kelompok bersenjata ini bergerak meninggalkan daerah sekitar Bandar Udara Halim
Perdanakusumah pada tengah malam di penghujung hari Kamis tanggal 30 September dan
awal 1 Oktober 1965. Mereka menculik dan membunuh para perwira tinggi Angkatan Darat.
Di dalam operasi itu, para tentara itu berhasil menculik 6 orang perwira tinggi Angkatan
Darat. Jenderal AH Nasution yang menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil
meloloskan diri, dan mereka hanya berhasil menangkap ajudan KSAB.
Penculikan dan pembunuhan terhadap perwira Angkatan Darat juga terjadi di Yogyakarta
(Suplemen, 8). Kutipan di atas ini tidak menyebut PKI sebagai pelaku, namun hanya

menyebutkan nama Letkol Untung.


Mengenai apakah PKI berperan sebagai dalang G30S, Suplemen Sejarah mengatakan
demikian. Tidak mudah menjawab pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya G30S selain Letnan Kolonel Untung, karena sumber-sumber yang tersedia sampai
saat ini hanya menghasilkan interpretasi yang berbeda.
Setiap interpretasi menunjukkan pada orang atau kelompok yang berbeda, sesuai dengan sudut
pandang masing-masing. Satu pendapat menyatakan bahwa peristiwa itu berkaitan erat dengan
strategi blok Barat, khususnya Amerika Serikat dan Inggris dalam rangka perang dingin.
Berkaitan dengan pendapat pertama ini, ada juga yang berpendapat bahwa gerakan ini
dilakukan oleh Angkatan Darat yang berhasil memperalat PKI dengan dukungan dinas
intelijen asing.
Pendapat lain menuju pada keterlibatan Presiden Soekarno yang memanfaatkan
ketergantungan PKI kepadanya untuk melawan kelompok oposisi, khususnya dari Angkatan
Darat. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa PKI yang menjadi dalang gerakan ini dengan
memperalat unsur ABRI, dalam rangka menghancurkan kelompok penentangnya.
Selain itu ada yang berpendapat bahwa gerakan ini merupakan akibat dari konflik di dalam
tubuh Angkatan Darat, yang melibatkan kelompok pendukung dan anti-Presiden Soekarno,
yang berhasil memanfaatkan PKI. Dalam hubungan inilah muncul pendapat bahwa Mayor
Jenderal Soeharto memiliki keterkaitan dengan gerakan tersebut.
Akhirnya, ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada pelaku tunggal dalam tragedi
nasional itu (Suplemen, 9).
Kutipan di atas ingin mengatakan bahwa dalang G30S bisa saja AS/blok Barat, bisa saja PKI,
bisa Soekarno, bisa saja Angkatan Darat/Soeharto. Siapa pelaku yang benar, belum jelas,
karena memang keterbatasan sumber.
Dalam ilmu sejarah, siapa pun tidak boleh menyatakan suatu peristiwa sebagai benar-benar
terjadi kalau sumbernya tidak cukup kuat.
Sejarah tidak boleh ditulis berdasarkan perkiraan. Bahwa indikasi keterlibatan PKI, AS/Blok
Barat, Soekarno, Angkatan Darat/Soeharto ada, bukan serta merta bahwa pihak-pihak (salah
satu pihak, PKI misalnya) adalah dalang dari G30S.
Apakah Letnan Kolonel Untung dkk yang melakukan aksi bersenjata orang PKI atau
digerakkan oleh PKI, harus dibuktikan dulu. Bukan semata-mata karena Harian Rakyat
mendukung G30S, lalu disimpulkan bahwa G30S dilakukan oleh PKI. Tentu tidak semudah
ini bukan?
Dengan uraian di atas, sekali lagi mengatakan bahwa Suplemen Sejarah tahun 1999 sudah
tidak menyebut lagi PKI sebagai dalang G30S. Hal ini juga bukan berarti bahwa PKI pasti
bukan dalangnya. Tentang siapa dalang G30S, masih harus diteliti lebih lanjut.
Penulis belum memiliki buku sejarah yang baru itu, apalagi membacanya. Haya saja, kok agak
aneh, gara-gara buku itu tidak menguraikan pemberontakan PKI tahun 1965, lalu ditarik dari
peredaran. Lalu pelajaran sejarah akan dikembalikan sesuai dengan Kurikulum 1994 dan
Suplemennya 1999. Sedangkan dalam Suplemen 1999, jelas-jelas ditulis bahwa PKI belum
terbukti sebagai pelaku tunggal G30S. Lalu?
Secara kebetulan penulis menemukan buku sejarah untuk SMU kelas III, satu dari terbitan PT

Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2001; satunya lagi dari penerbit Erlangga, Jakarta, 2003; lainnya
terbitan Grafindo Media Prtama, 2003. Baik buku terbitan Grafindo (halaman 40-47), serta
buku terbitan Erlangga (halaman 42-47) tidak mencantumkan lagi nama PKI di belakang nama
G30S. Hanya buku terbitan Galaxy Puspa Mega (halaman 51-63) mencantumkan nama PKI di
belakang nama G30S.
Putusan MK
Kebijakan Mendiknas Nomor 7/2005 yang menghentikan uji coba Kurikulum 2004 untuk

mata pelajaran Sejarah dan larangan penggunaan buku teks mata pelajaran Sejarah yang

disusun berdasarkan standar kompetensi Kurikulum 2004 tersebut bahkan dapat bertentangan

dengan semangat keputusan Mahkamah Konstitusi soal eks PKI.

Seperti diberitakan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 60 (g) Undang-Undang

Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi berlaku. Pasal itu adalah larangan bagi anggota

organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau yang terkait dengan G30S/PKI,

untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Pasal

itu bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak membenarkan diskriminasi terhadap warga

negara (Kompas, 26 Februari 2004).

Semangat keputusan MK ini adalah mengampuni orang-orang eks PKI (yang belum tentu

benar-benar bersalah). Lebih-lebih lagi, pemojokan nama PKI sebagai pelaku G30S (dan

nyatanya belum benar-benar terbukti), membawa akibat buruk bukan saja kepada orang-orang

PKI (karena tidak jelas posisinya pada tahun 1965), namun juga (terlebih) bagi keturunan PKI

yang sepertinya harus menanggung dosa asal.

Kasihan mereka, memperoleh sanksi sosial, sulit mencari sekolah, sulit mencari pekerjaan,

dan sebagainya.

Sebagai catatan penutup, kebijakan Depdiknas untuk menarik buku pelajaran sejarah, hanya

karena buku tersebut tidak mengulas pemberontakan PKI tahun 1965, sebaiknya dikaji ulang

karena keterlibatan PKI secara tunggal pada tahun 1965 belum terbukti.

Beban eks PKI dan keturunannya jangan diperpanjang lagi. Akan lain halnya dengan ulah PKI

pada tahun 1948.

AA PADI, Mengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sanata


Dharma, Yogyakarta

Date: 2005/10/12
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=54

Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka

Konspirasi dan Genosida:

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal


OLEH BONNIE TRIYANA
Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari
berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan
Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati
ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah
dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal
saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen.
S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo
dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri
dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya.
Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui
corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah
gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden
Soekarno dari aksi coup d etat. Menurut mereka, coup d etat ini sejatinya akan dilancarkan
oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang
tahun ABRI yang ke-20.
Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di
sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara
penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh
aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara.
Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto
jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di
luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besarbesaran pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia
sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung
tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4
Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan

sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak
habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan
memotong kemaluannya.5
Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita
tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di
Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang
pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran.
Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan.
Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya
seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring.
Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan
mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira maju itu
kocar-kacir.
Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan
surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan
organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup detat sesungguhnya. Bersamaan ini,
dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia.
Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di
Daerah.
Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan
dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota
organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal
serupa.
Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang
Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan
unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di
beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan
masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam
musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik
tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di
masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam
sekian lama.8
Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri.
Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis
menuduh umat Islam telah mengobarkan Jihad untuk membunuh orang komunis dan
mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan
Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini
merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok.
Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk
menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim
menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang
berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua
kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik
temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot.

Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat
dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di
daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di
belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan
aktif dalam pembunuhan massal.
Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang.
Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis
komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam
Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini.
Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis
kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche
Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita
pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto
yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto
melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang
anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11
Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih
mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya
konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk
melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai
senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungandukungan baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan
PKI.
Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam
dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada
peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang
memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI.
Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi
penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI
atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang
paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak.
Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang
terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari
sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk
kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun.
Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode
ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya
karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia V faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman V
militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap
Soekarno V Sentris atau dikenal sebagai SS.13
Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik
(Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama
Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama
(SS) ditangkap.

Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami
sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang
berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971,
kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya.
Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai
massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi
politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14
namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep
massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo,
Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir
dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde
Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua
orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15
Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida.
Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan sematamata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan
politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para
pembunuh.
Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban.
Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh.
Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.:
saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya
dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di
Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk
mengakui bahwa saya anggota PKI.17
Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan
oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah
sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18
Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam
mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat.
Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap
pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja
sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi
antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer
memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya.
Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717
sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal
sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap
selama tahun 1968.
Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun
1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di
Selatan Purwodadi:
saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang
tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya
saya dan dua teman saya21

di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot
atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki
hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi
menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi.
Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari
uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika
seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang
pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing
pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah
memiliki pengaruh besar.
Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki
pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang
Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan
kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI.
Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi
perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang
karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I
atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwiraperwira mentok ini.23
Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat
Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan
stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah
timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24
Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri.
Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah
Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan.
Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah
momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap
tahunnya.
Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu
jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan
melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya.
Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan
ketakutan masyarakat akan komunisme.25
Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 V 1980-an (dalam
beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru
mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru,
Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk
melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti
Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi
A, B dan C.26
Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan
simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa
pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah
kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka
dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan
berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya,
keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi
istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat
itu di dalam Kamp di Purwodadi.
Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi
mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan.
Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan
pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI.
Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai kampung janda karena suami-suami
mereka diciduk oleh militer.
Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam
peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C
Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 V 1000 orang. Sementara itu
menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban
berkisar 6.000 jiwa.
Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni.
Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa.
Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik
Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di
pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan
pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan
Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau
Buru pada tahun 1979.
Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang
saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan.
Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk
diinterogasi31
Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah
satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk
memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan
tahanan politik.
Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan
memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah
menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri.
Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam
KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah elek terus (Indonesia: Jelek Terus).
Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru
dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun,
sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan

sendirinya.*
h Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for
In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002.
*Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah
(Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis
skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi.
3 Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu,
Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan
Gramedia Populer, 2000) Hal. 8
4 Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap
sebagai skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes
dalam Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138.
5 Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan
Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498.
6 Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah
mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat
Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI,
2000), hal. 129.
7 John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal.
457.
8 Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi
dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001)
9 Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI
dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum
Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang kaum atheis dan
mempertahankan milik mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo
dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party
and Landreform, 1959-1965 (Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash
University, 1972), hal. 48.
10 Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969.
11 A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the massacre
from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense Corp, who
had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The
Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205
12 Memorandum Intelejen CIA, Indonesian Army Attitudes toward Communism
Directorate of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119,
Doc. 119, butir 1.
13 Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA)
Stasiun Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S.,
mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun
1968. Tentara dapat menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali

Sastroamidjojo V Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam lainnya.


14 General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and
unity nescessary for development. Far better to let the population float without party
contact in the five year period during electionsK.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald
dalam Suhartos Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109.
15 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: Think V Tanks dalam
Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore:
ISEAS and KITLV, 1999), hal. 237.
16 Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State
Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam
Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813.
Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246
17 Wawancara dengan Bapak Sp.
18 Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969.
19 Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan
dua hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna
menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik
berada di bawah harus dieksploitasi sedemikian rupaKlebih lanjut periksa Onghokham dalam
Rakyat dan Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103.
20 Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering
berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak. Wawancara dengan
Bapak A
21 Wawancara dengan Bapak Wt
22 Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik,
kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam
TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch
dalam General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76.
23 Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara
politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah
tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga
jabatan politik (Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B
setengah rawan, dapat diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh
militer. Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil
tetapi kenyataannya justru sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M.
Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori
Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma et.al.., dalam Hubungan Sipil V Militer dan Transisi
Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal. 50.
24 Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar
negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat
Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang
hampir-hampir melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh
menteri luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat
negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di

Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 376.


25 Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada
Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut.
Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum
tuntas.
26 Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa
Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu
1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara
langsung atau tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada
wartawan bahwa jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B
menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada
sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam
Indonesia an Amnesty International Report (London: Amnesty International Publication,
1977), hal. 31-44.
27 Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220.
28 Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969.
29 Wawancara dengan Bapak S.
30 Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, Its the Military, Stupid! Dalam Freek
Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV,
2002), hal. 199.
31 Wawancara dengan Bapak Rk.

Date: 2005/9/13
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=28

Sejarah Tahun 1965 Yang Tersembunyi

SEJARAH TAHUN 1965 YANG TERSEMBUNYI


Oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim
Para hadirin yang terhormat!
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebihdahulu
menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya
sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective storyyang cari
pemecahan suatu teka-teki.

Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor.
Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai.
Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain
saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah
pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan
di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa
untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa
keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun
1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar
bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras supaya
golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah,
dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut
kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun
dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain.
Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio
tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas
menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut
saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar
bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan.
De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!"
Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den
Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia
hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban
saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip

kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan
dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di
Canton (Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari
tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell
Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di
Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis,
seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi
untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari
bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari
laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan
Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia
berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat
sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan
tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang
terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah
golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir ku
p 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?.
Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan
menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam
peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi
jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir
tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah
kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam
tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam
karangan di "Groene Amsterdammer" itu:
"Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan".
Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde"
mengumumkan wawancara dengan saya.
Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting
dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya
proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang
terkemuka.
Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang
provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah
wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya
Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan
bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi
bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari
kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar
Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul
berita itu: "Apakah Sjam double agent?"
Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam
semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan
sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu
MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia
selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu
di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu
Aidit tidak dapat membela diri dan membantah

segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu
proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti
Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan.
Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan
kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk
mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret
bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double
agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula
bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik. Pada tanggal 8
April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam
wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah
satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah
yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu:
"Aneh sekal i: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju
kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah
pun ya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri
pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang
bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu
dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main
peranan yang utama dalam komplotan.
Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak
diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka
dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani
tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh
juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan,
sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan
mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan
sukar daripada detective-story".
Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold
Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in
Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto,
agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel
Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30
September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup
panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit.
Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada
di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah
sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu at as keprihatinannya.
Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini
menjadi jelas
bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan
sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan
ia
dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap
di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah".
Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya
pengakuan ini dari oeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira
empat jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' the missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan

hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.


Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam
sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk
menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka V tetapi sukar membuktikan itu selama
Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal
yang kurang terang. Mengapa Soeharto mencerita-kan pada Brackman tentang pertemuan ini?
Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh
karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami:
Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak
mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya
kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29
Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht
van de staatsgreep?" (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?).
Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam
peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke
Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa
itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal
of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The
Missing Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa
dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut
pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang sangat
berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27
Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak t
ermasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11
malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk
membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak
berani melakukannya di tempat umum."
Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam
sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat
seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau
menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia
terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal
Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi,
Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili.
Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' dan tidak dapat menghadiri
sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu
tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di
sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang
dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi
keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan
dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia
mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia
menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari
Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya
pada jam 8 untuk berunding.
Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh
dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap
Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia
yang paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan

lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda,
tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu
serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik
selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri!
Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama
ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando
Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan
Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia
minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan
pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang
tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit.
Dia menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan
Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak
pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami
punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya
tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak
diperhatikan.

Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi
disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau
Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan
Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia
menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya
lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien,
bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa
Soeharto ,menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar
dari rumah sakit, bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderaljenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib
malang, m elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa
Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya di
kurangi.
Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa
memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto
terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib
bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua
orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup
itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan
yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu
seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada
Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1
Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara
atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak
langsung' dalam peristiwa G30S!
Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih
dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto
tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa
Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya
dalam Kodam V Jakarta.

Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira

tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang

saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya

pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih

dahulu.

Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan

Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah

ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu

berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan

menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut

pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari

rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim.

Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu

peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala

kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan, lagi

pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia

dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya

keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas

perintah Aidit.

Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan

DIA yang memberi perintah untuk membunuhi jenderal-jenderal yang masih hidup waktu

dibawa ke Lubang Buaya, tetapi ia tambah seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah

Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu

alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia

yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri

yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya'

kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi

bersama pembantunya Pono dan Bono.

Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit yakin bahwa

Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan

pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin

bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut

menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.

Soeharto Dalang G30S ?

Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA.

Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai

sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu,

kalu peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan

Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri

dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada

Soekarno.

Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam

proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar,

dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung

Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang,

yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri

Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak
Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar
pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung
Akademi Hukum Militer di Jakarta. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu
pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung
Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor
S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober
pagi . Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar
orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah
jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon
perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai
menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman
sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal
Sukendro.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di

sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga

diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta

dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden

Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan

KOTRAR.

Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu

yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan

akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN

DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai

kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan

kabinetnya.

Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan

PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu

pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul

pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan

mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal.

Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam

ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari

jawaban atas pertanyaan yang masih ada.

Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa

Kamaruzzaman-Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat

mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti

BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi

dan

sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling

bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang

memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono.

Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk

membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya,

bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu

nalisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia"

pada tahun 1979.

Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap
PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus
dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence,
dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro.
Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela
diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967
terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2)
kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti
istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme.
Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana
dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan
politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu
ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas
dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan
Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang
dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa
karangan penting tentang campurtangan A.S.
dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific
Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam
bahasa Bel anda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).
Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis
seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan
lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya?
Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S.
maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh
PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf
CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi
bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang
termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang
judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari
ked utaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk
tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan
tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga.
Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia
tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup
dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal
itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat
rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh
Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh
suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk
anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan
supaya arsip itu akan 'de-classified', jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan
dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro
pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk
menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam
(ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barangbarang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat
dari Kedutaan A.S. ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65.
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara

lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno:
misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara
Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang
mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal
2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto
dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat
dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah
peristiwa tahun 1965?
Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk
buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana
Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana
rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas
perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan
dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka
suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak
negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor"
2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu
rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu
agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia.
Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya
sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto
bukanlah suatu rahasia.
Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre
benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah
memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu.
Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini
telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.
Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di
Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada
Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru
bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun
mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu.
Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama
sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup
mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali
tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak
setengah atau satu juta.
Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela
perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5
Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah
membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit
tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan
leluasa dapat menyiar-kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto
dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah
yang bertanggung-jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto
menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para

pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang
pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu
dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI
1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam
peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat
dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965
saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak
semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI.
Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa
semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian
pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan
pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau
Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih.
Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI'. Lalu,
siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang
paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri.
Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1
Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan.
Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka
berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan.
Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat,
sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk
menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula
menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar
mereka itu.
Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan.
Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '.
Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun
lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman
mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk
kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri
dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini
ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika
Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi
dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal
dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi
dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra,
Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan
jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan
seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban
lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1
Oktober 1965.
Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan
tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di

sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk
mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagibagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderaljenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah
bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang
harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.
Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana
dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman
'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka
gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka.
Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia",
memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu
sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun
telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah
dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu
telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati.
Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya
mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun
dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang
tidak adil itu.
Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan
memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa
semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri,
dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada
'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah.
Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah
di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama
orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh
kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu.
Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah,
sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar
orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada
justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika
Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh!
Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!"
Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan
yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan
gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme,
dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.
Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH
yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem
diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang.
Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim
Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak
demokrasi yang semu belaka.
Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak
mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang

ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis
yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan
kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam.
Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis
kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan
bangga diri.
Terima kasih!

Date: 2005/11/2
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=71

Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka

Konspirasi dan Genosida:

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal


OLEH BONNIE TRIYANA
Gestapu 1965: Awal Sebuah Malapetaka
Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari
berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan
Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati
ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah
dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal
saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen.
S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo
dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri
dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya.
Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui
corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah
gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden
Soekarno dari aksi coup d etat. Menurut mereka, coup d etat ini sejatinya akan dilancarkan
oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang
tahun ABRI yang ke-20.
Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di
sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara
penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh
aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara.
Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto
jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di
luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besarbesaran pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia
sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung
tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4
Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan

sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak
habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan
memotong kemaluannya.5
Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita
tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di
Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang
pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran.
Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan.
Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya
seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring.
Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan
mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira maju itu
kocar-kacir.
Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan
surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan
organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup detat sesungguhnya. Bersamaan ini,
dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia.
Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di
Daerah.
Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan
dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota
organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal
serupa.
Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang
Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan
unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di
beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan
masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam
musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik
tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di
masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam
sekian lama.8
Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri.
Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis
menuduh umat Islam telah mengobarkan Jihad untuk membunuh orang komunis dan
mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan
Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini
merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok.
Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk
menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim
menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang
berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua
kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik
temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot.

Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat
dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di
daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di
belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan
aktif dalam pembunuhan massal.
Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang.
Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis
komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam
Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini.
Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis
kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche
Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita
pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto
yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto
melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang
anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11
Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih
mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya
konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk
melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai
senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungandukungan baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan
PKI.
Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam
dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada
peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang
memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI.
Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi
penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI
atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang
paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak.
Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang
terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari
sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk
kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun.
Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode
ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya
karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia V faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman V
militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap
Soekarno V Sentris atau dikenal sebagai SS.13
Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik
(Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama
Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama
(SS) ditangkap.

Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami
sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang
berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971,
kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya.
Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai
massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi
politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14
namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep
massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo,
Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir
dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde
Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua
orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15
Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida.
Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan sematamata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan
politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para
pembunuh.
Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban.
Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh.
Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.:
saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya
dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di
Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk
mengakui bahwa saya anggota PKI.17
Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan
oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah
sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18
Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam
mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat.
Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap
pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja
sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi
antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer
memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya.
Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717
sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal
sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap
selama tahun 1968.
Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun
1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di
Selatan Purwodadi:
saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang
tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya
saya dan dua teman saya21

di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot
atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki
hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi
menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi.
Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari
uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika
seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang
pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing
pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah
memiliki pengaruh besar.
Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki
pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang
Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan
kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI.
Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi
perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang
karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I
atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwiraperwira mentok ini.23
Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat
Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan
stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah
timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24
Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri.
Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah
Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan.
Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah
momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap
tahunnya.
Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu
jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan
melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya.
Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan
ketakutan masyarakat akan komunisme.25
Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 V 1980-an (dalam
beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru
mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru,
Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk
melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti
Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi
A, B dan C.26
Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan
simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa
pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah
kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka
dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan
berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya,
keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi
istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat
itu di dalam Kamp di Purwodadi.
Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi
mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan.
Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan
pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI.
Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai kampung janda karena suami-suami
mereka diciduk oleh militer.
Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam
peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C
Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 V 1000 orang. Sementara itu
menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban
berkisar 6.000 jiwa.
Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni.
Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa.
Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik
Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di
pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan
pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan
Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau
Buru pada tahun 1979.
Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang
saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan.
Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk
diinterogasi31
Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah
satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk
memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan
tahanan politik.
Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan
memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah
menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri.
Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam
KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah elek terus (Indonesia: Jelek Terus).
Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru
dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun,
sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan

sendirinya.*
h Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for
In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002.
*Penulis adalah Koordinator Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah
(Mesiass) dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang menulis
skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi.
3 Bandingkan dengan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu,
Sejarah Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan
Gramedia Populer, 2000) Hal. 8
4 Meskipun mungkin karena pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap
sebagai skandal. Lihat Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8. Mengutip dari John Hughes
dalam Indonesian Upheaval (New York: David McKay, 1967) hal. 137-138.
5 Untuk lebih lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan
Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999) Hal. 498.
6 Dalam pledoinya Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah
mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan Jenderal. Lihat
Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI,
2000), hal. 129.
7 John D. Legge dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) Hal.
457.
8 Untuk diskusi lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin Kasdi
dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2001)
9 Sedari awal semangat agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI
dan BTI telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara kaum
Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang kaum atheis dan
mempertahankan milik mereka atas nama Allah. Untuk lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo
dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer dalam The Indonesian Communist Party
and Landreform, 1959-1965 (Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash
University, 1972), hal. 48.
10 Harian Sinar Harapan, edisi 3 Maret 1969.
11 A Javanese Catholic priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the massacre
from the confession of conscience stricken Catholic members of the Civil Defense Corp, who
had been forced to take for it. Untuk diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The
Indonesian Tragedy (Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal. 205
12 Memorandum Intelejen CIA, Indonesian Army Attitudes toward Communism
Directorate of Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case #88-119,
Doc. 119, butir 1.
13 Wawancara dengan Bapak S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA)
Stasiun Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI. Bapak S.,
mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling besar justru terjadi pada tahun
1968. Tentara dapat menangkap orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali

Sastroamidjojo V Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam lainnya.


14 General Widodo mantained that party activity in the villages disrupted the hard work and
unity nescessary for development. Far better to let the population float without party
contact in the five year period during electionsK.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald
dalam Suhartos Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal. 109.
15 Lihat Dewi Fortuna Anwar, Policy Advisory Institutions: Think V Tanks dalam
Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore:
ISEAS and KITLV, 1999), hal. 237.
16 Helen Fein, Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State
Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In Indonesia. 1965 to 1966, dalam
Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4, October 1993, Hlm. 813.
Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam loc.cit..Hal. 245-246
17 Wawancara dengan Bapak Sp.
18 Harian Sinar Harapan, Selasa 11 Maret 1969.
19 Interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan
dua hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula guna
menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang secara politik dan fisik
berada di bawah harus dieksploitasi sedemikian rupaKlebih lanjut periksa Onghokham dalam
Rakyat dan Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 103.
20 Pak Tedjo itu kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia dulu sering
berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang terkenal galak. Wawancara dengan
Bapak A
21 Wawancara dengan Bapak Wt
22 Dalam banyak hal, sipil tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik,
kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat Indria Samego dalam
TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch
dalam General and Business in Indonesia, Pacifis Affairs, 48, 4, 1975/76.
23 Replika selama masa Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara
politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan mengenai kepala daerah
tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah yang sangat rawan secara politik, sehingga
jabatan politik (Bupati maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B
setengah rawan, dapat diisi oleh sipil maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh
militer. Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep dapat diisi oleh sipil
tetapi kenyataannya justru sering diisi pula oleh militer. Untuk diskusi lebih lanjut lihat M.
Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori
Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma et.al.., dalam Hubungan Sipil V Militer dan Transisi
Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal. 50.
24 Kebangkitan komunis tidak saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar
negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan, beberapa orang diplomat
Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah. Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang
hampir-hampir melarang kunjungan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh
menteri luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah bagi diplomat
negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold Crouch dalam Militer dan Politik di

Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 376.


25 Pada waktu itu, Kasospol ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada
Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik kerusuhan tersebut.
Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum
tuntas.
26 Kategori A diberikan pada mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa
Gestapu 1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan pada Gestapu
1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang mengetauhi peristiwa Gestapu secara
langsung atau tidak. Pada bulan September 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada
wartawan bahwa jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori B
menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470 dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada
sekitar 25.000 orang tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International dalam
Indonesia an Amnesty International Report (London: Amnesty International Publication,
1977), hal. 31-44.
27 Lihat Hamish McDonald dalam Ibid., hal.219-220.
28 Harian Indonesia Raya, Rabu 12 Maret 1969.
29 Wawancara dengan Bapak S.
30 Untuk lebih lengkap periksa Liem Soei Liong, Its the Military, Stupid! Dalam Freek
Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al., Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV,
2002), hal. 199.
31 Wawancara dengan Bapak Rk.

Date: 2005/9/13
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=28

tniad

Page 1 of 7

SOB Dalam Perspektif Sejarah

Oleh: M Amin Zuhri


Di samping untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayahnya terhadap segala macam
ancaman dan gangguan. Setiap negara pasti mempunyai tujuan untuk memberikan rasa aman dan
tenteram kepada warganya. Dalam situasi dimana negara terancam kedaulatan atau keutuhannya
maka pucuk pimpinan pemerintahan akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya atau Staat van
Oorlog en van Beleg (SOB). Keputusan tersebut diambil agar persoalan hidup bangsa dan negara
cepat teratasi. Demikian halnya dengan NKRI yang telah beberapa kali dinyatakan dalam SOB.
Masa perang
Belum genap setahun Indonsia merdeka, Presiden Soekarno menetapkan Indonesia dalam keadaan
bahaya (Staat van Oorlog en van Beleg). Keputusan tersebut diambil oleh Presiden Soekarno sehari
setelah diculiknya PM Sutan Syahrir. Perculikan terjadi pada tanggal 27 Juni 1946 oleh lawan
politiknya pada saat berkunjung ke Solo. Hilangnya simbl kenegaraan tentu membuat pemerintah RI
yang masih muda itu bertekad untuk segera mengatasi. Dengan keputusannya itu presiden memiliki
kekuasaan penuh untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna penyelesaian yang cepat
dan tepat. Wewenang selanjutnya diberikan kepada pucuk pimpinan militer untuk dapat menguasai
keamanan dan ketertiban. Keadaan harus segera dapat dikendalikan agar tidak menjalar menjadi
konflik vertikal maupun horizontal.
Kejadian lain adalah pada waktu Belanda melakukan Agresinya pada tanggal 19 Desember 1948.
Pada wkatu Agresi Milier Belanda II pemerintahan negara RI benar-benar lumpuh, demikian juga
pemerintahan daerah. pucuk pimpinan pemerintahan ditawan oleh Belanda. Sedang aparat
pemerintahan daeah mengungsi menyelamatkan diri. Walaupun ada PDRI (Pemerintahan Darurat RI)
baik di dalam maupun di luar negeri tetapi tidakd apat berjalan sebagai mana mestinya. Situasi negara
Indonesia benar-benar berada dalam jurang kehancuran. Belanda senantiasa terus menyusun
organisasi pemerintahan bonekanya untuk mengisi kekosongan pemerintahan. Dalam kondisi yang
sedang sakit Panglima Besar Jenderal Sudirman tetap bertekad untuk meneruskan perjuangan
bersenjata "met of zonder pemerintah".
Untuk mengantisipasi kevakuman pemerintahan maka PTTD (Panglima Tentara dan Teitorium Djawa)
dipimpinan Kolonel AH Nasution segera melakukan antisipasi. Tiga hari setelah agresi Belanda
segera menyatakan berlakunya pemerintahan militer seluruh Jawa. Pernyaaa tersebut kemudian
dikukuhkan dnegan Instruksi No 1/MBKD/1948 berisi tentang Mulai Bekerjanya Pemerintahan Militer
di Indonesia tiga hari kemudian. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan Indonesia yang sudah
"colaps" serta untuk membangkitnya kembali struktur pemerintahan yang sempat hilang sesuai
dengan tingkat komando kewilayahan. Setelah pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949
secara otomatis Pemerintahan Militer berakhir dan diserahkan kembali kepada pemerintahan sipil
tanpa konsesi apapun.
Masa parlementer
Dalam perjalanan selanjutnya bangsa Indonesia terus mengalami berbagai macam krisis yang
menganca dan membahayakan keutuhan NKRI. Krisis multi dimensional terutama diakibatkan oleh

http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm

9/2/2005

tniad

Page 2 of 7

tarik ulur kepentingan partai-partai politik. Sistem multi partai dan sistem parelementer telah menyeret
seluruh elemen bangsa dalam konflik vertikal maupun horizontal. Negara dijadikan sebagai kuda
beban untuk menarik kepentingan masing-masing partai politik. Sering terjadi bongkar pasang kabinet
karena tidak ada kompromi politik antar partai yang berkuasa. TNI yang pada waktu itu merupakan
organisasi yang otonom terus berusaha ditarik ke dalam lingkaran pengaruh atau kekuatan partai.
Negara betul-betul dalam kondisi instabilitas politik dan keamanan. Konstituante tidak dapat
menjalankan lagi fungsinya.
Bahkan pad atahun 1957 Konstituanter terjadi reses sampai batas waktu yang ti dak ditentukan.
Melihat gelagat yang kurang baik terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara maka presiden
memaklumkan negara dalam keadaan bahaya. Tidak lama kemudian Kasad Jenderal Nasution
sebagai Penguasa Peang Pusat mengeluarkan larangan untuk melakukan kegiatna politik. Untuk
mengatasi kebuntuan poitik maka TNI (AD) mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk segera
kembali ke UUD 1945. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dektit Presiden tanggal 5 Juli 1959
untuk kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.
Waktu G 30 S/PKI
Konstelasi politik di Indonesia awal tahun 1960-an tidak kunjung reda bahkan cenderung meningkat.
PKI (partai komonis Indonesia) semenjak Pemilu pertama tahun 1955 menjelma menjadi partai besar
dan sangat berpengaruh. Partai yang berideologi komunis itu berusaha terus melemahkan lawanlawan politiknya, termasuk TNI/ABRI. Sebagai titik puncak konstelasi politik adalah pemberontakan
PKI tahun 1965 yang kita kenal dengan G 30 S/PKI. Suatu pemberontakan yang mengakibatkan
gugurnya putra-putra terbaik bangsa.
Sekali lagi ABRI tampil ke depan untuk mengatasi kemelut politik dan bersenjata dengan dibantu oleh
berbagai elemen masyarakat yang tetap berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam
perjalanan selanjutnya ABRI/TNI terus berusaha memposisikan dirinya sebagai Tentara Rakyat,
Tentara Pejuang, dan Tentara Nasional.
Ada niat kudeta
Melihat dari awal perkembangan sejarahnya, TNI digariskan untuk tidak melakukan kudeta. Padahal
dalam situasi tertentu sebenarnya jalan untuk ke arah itu sangat memungkinkan dan mendukung.
Namun "merebut kekuasaan" tetap tidak dilakukan karena TNI terikat oleh kewajiban moril dan ikatan
emosional seperti yang telah digariskan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Tekad tersebut
akan terus terpelihara dan tetap dipegang teguh oleh setiap prajurit yang Sapta Margais. Dalam suatu
pidatonya tanggal 5 Juli 1946 di Yogyakarta Panglima Besar Jenderal Sudirman mengatakan antara
lain:
Pertama: "......Kini per satuan telah tergalang antara pemeritnah, tentara, dan rakyat... Meskipun di
sana-sini persatuan ini kadang- kadang terlihat retak tetapi pada umumnya persatuan bathin telah
terasa dan persatuan telah nampak....Pucuk pimpinan negara dan pucuk pimpinan tentara terus
berupaya untuk mencurahkan segala kekuatan guna keselamatan negara dari marabahaya sedang
mengancam...."
Kedua: ".....telah dikabarkan bahwa saya, Panglima Besar Jenderal Sudirman, akan merebut
kekuasaan dan akan menempati singgahsana kepala negara. Berhubung dengan desas desus
semacam ini maka dengan ini saya menyetakan kepada khalayak ramai bahwa saya tidak akan
berusaha ke jurusan itu, bahwa saya akan menolak apabila kursi presiden disodorkan kepada saya...".
Ketiga: "....Tentara tidaka akan ikut campur dalam lapangan politik.... Tentara terikat oleh sumpah
untuk tetap mempetahankan kemerdekaan dengan sebulat-bulatnya....".
Kalau kita jujur, bahwa perjalanan bangsa Indonesia ditaburi dengan kerjasama yang manis antara
sipil dan militer demi cita-cita proklamasi. Kesantunan dan keharmonisan hubungan dalam perjuangan
telah mereka contohkan dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan bangsa. Mereka berbeda
tetapi tidak untuk dibeda-bedakan atau dipisah-pisahkan. Yang berbeda adalah tentang tugas dan

http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm

9/2/2005

tniad

Page 3 of 7

tanggung jawabnya. Di negara manapun tidak ada perjuangan sipil dan militer semanis perjuangan
mereka di Indonesia. Dan tidak selayaknya kita membandingkan hubungan sipil-militer Indonesia
dengan negara lain karena masing-masing memiliki latar belakang sejarah yang berbeda- beda dan
telah mengalami proses/waktu yang panjang. Dikotomi sipil- militer sah-sah saja dilakukan dalam
rangka pendewasaan diri tetapi jangan sampai dipertentangkan. Kalau kiranya boleh diibaratkan
bawha hubungan sipil-militer di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya adalah seperti simbiose
mutualisma.
Berbeda bentuk dan rupa tetapi saling ketergantungan dan saling menguntungkan kedua belah pihak
dalam rangka mempertahankan hidup. Sipil-militer di Indonesia berbeda dalam tugas dan tanggung
jawabnya tetapi tetap memiliki tujuan yang mulia. Yaitu membela kelangsungan hidup bangsa dan
negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Penulis Mayor CAJ Drs M Amin Zuhri adalah, Kasi Sejarah Bintaldam IM

http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm

9/2/2005

tniad

http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm

Page 4 of 7

9/2/2005

tniad

http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm

Page 5 of 7

9/2/2005

tniad

http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm

Page 6 of 7

9/2/2005

tniad

Page 7 of 7

Copyright 2003 Dispenad, Jakarta-Indonesia. All rights reserved.

Webmaster: Dispenad.

Jalan Veteran Nomor 5 Jakarta Pusat

http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pki6.htm

9/2/2005

Soebandrio; Kesaksianku

Soebandrio;

Kesaksianku tentang G30S

BAB I: PROLOG G-30-S


KONFLIK KUBU
Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat pimpinan Amerika
Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin
AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu
pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis
(PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan
menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras: Go to
hell with your aid. Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno
menerapkan kebijakan berani: Berdiri pada kaki sendiri.
Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatera dan Sulawesi,
hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi
kandungannya. Semua itu belum mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini
dilengkapi dengan lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga ada
harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur tanpa bantuan Barat. Ini
pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme &
imperialisme). Bung Karno menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk
menjadi bangsa yang besar.
Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS ini didukung
oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS menghentikan bantuannya, mereka
malah membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan
melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori oleh CIA,
mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha kudeta muncul pada bulan
November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai
Jakarta dan menggulingkan pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera
Utara dan Sumatera Tengah militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga gagal.
Militer dengan pasokan bantuan AS - seperti mendapat angin untuk menganggu Bung
Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai keadaan, karena banyak perwira militer
yang sangat loyal pada Bung Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus
dirancang.

Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga tidak stabil. Bung
Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun kondisi memang sangat rumit. Ada tiga
unsur kekuatan yang mendominasi politik Indonesia, yaitu:

3.

1.
Unsur Kekuatan Presiden RI
2.
Unsur Kekuatan TNI AD
Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan,
Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno
yang akrab dipanggil Bung Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan
ini.
Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani) dan Kubu
Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya termasuk dalam Kubu
Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung oleh sekitar 17 juta
anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan
jumlah itu PKI merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni
Soviet. Dalam Pemilu 1957 PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai
besar, PKI juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua
MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan Landreform.
Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai digoyang. Kubu
Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera Selatan. Yang disebut
dewan ini hanya penggalangan massa oleh kubu Nasution, namun mereka terang-terangan
menyebut diri sebagai pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka
tidak suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI.
Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun juga
mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai petinggi militer, bagi
Nasution, itu adalah hal mudah.
Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk membentuk
Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah awal usaha melibatkan militer ke
dalam kegiatan politik yang kelak dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution
menggalang simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai
politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI AD.
Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat regional (karena
memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga tingkat desa (melibatkan petani).
Maka, lengkaplah suatu gerakan menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik
dan memiliki kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada di
belakang Nasution
Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan menentang pemerintah itu. Soekarno tahu
bahwa pemerintah sedang terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution.
Maka, Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara membatasi peranan
Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan,
tetapi peranannya dibatasi. Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif
pasukan. Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama artinya Nasution
dimasukkan ke dalam kotak.

Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani sebagai Menpangad.
Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat
misi khusus dari Presiden agar membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini
semacam operasi intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk.
Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan elite saja yang
memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat. Tetapi, beberapa waktu kemudian
Yani mengganti beberapa Panglima Daerah Militer (Pangdam). Para Pangdam yang diganti
kemudian diketahui bahwa mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah
peta situasi yang sesungguhnya.
Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil
Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf
Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir tahun 1963. Tentu saja
Nasution harus tunduk pada perintah Presiden. Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di
kalangan tentara sendiri sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan nasution dengan
A. Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan membangkang,
pasti tidak akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah. Dan, kemungkinan ini pasti sudah
dihitung secara cermat oleh Nasution. Itu sebabnya ia tunduk.
Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu
nasution. Antara lain, PARAN (Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik
anti korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai gantinya,
Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KOTRAR) yang
dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr. Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani
ditunjuk oleh Presiden menjadi Kepala Staf KOTRAR.
Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution sudah merupakan
kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari posisi strategis dan dimasukkan ke
dalam kotak. Dengan begitu, politik Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh
Nasution berubah menjadi sangat lemah.
Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir,
konflik antara Nasution dan Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu
terjadi, tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada Presiden.
Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira senior, termasuk Mayjen
Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat, untuk menemui Nasution. Tugasnya,
menyarankan kepada Nasution agar menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan
oleh Presiden Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan.
Dua kubu yag berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani berada di
pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan Bung Karno. Sementara,
Soeharto yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung
berpihak kepada Nasution.
Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan. Suatu hari di awal
tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12 jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya
Nasution dan Yani juga diundang dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak
datang. Mereka diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu
diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil, pertemuan
penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang berkonflik tidak datang
sendiri dan hanya diwakili.

Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali ini pertemuan dihadiri
oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD. Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga
tidak datang. Namun pertemuan itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya
Sakti. Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari jajaran AD. Saya sudah
lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian: TNI berhak memberikan saran dan tugas
politik tak terbatas kepada Presiden RI.
Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan masyarakat intelektual,
karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD mempertahankan politik Negara dalam Negara
yang sudah dirintis oleh Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap
Kubu Yani yang didukung oleh Presiden Soekarno.
POLITIK MUKA DUA
Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dan
Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto memiliki memori buruk dengan
Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi
saat Soeharto masih di Divisi Diponegoro.
Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto menjalin hubungan dengan pengusaha Cina,
Liem Sioe Liong (kelak mendapat perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi
pengusaha terbesar Indonesia). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara lain,
menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa penyelundupan itu untuk
kepentingan Kodam Diponegoro. Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira
saat itu mengetahuinya. Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan
Kodam, tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem.
Saat mengetahui ulah Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan
sampai menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps. AH
Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer dan segera dipecat
dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah, dengan alasan bahwa perwira ini masih
bisa dibina. Gatot lantas mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan
disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.
Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan diterima oleh Dan
Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya mengajarkan pendidikan kemiliteran,
tapi juga bidang ekonomi dan pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru
teori Negara dalam Negara.
Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani dengan Nasution,
ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah menempelengnya, sedangkan Nasution
pernah mengusulkan agar dia dipecat dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh
Soeharto memilih berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto
berada di dalam Kubu Nasution.
Namun akhirnya Soeharto membangun kubu sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika
kepercayaan AS terhadap Nasution mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap
pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia
tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS terhadap Indonesia khususnya dan Asia
Tenggara umumnya, terganggu, sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS
dengan Nasution - dari perspektif AS awalnya perlu untuk mengimbangi kebijakan Bung
Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan AS terhadap Nasution luntur dan
Soeharto sudah menjadi Pangkostrad, Soeharto membangun kubu sendiri.

Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk
surat yang ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak dijadikan
Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad Soeharto. Isinya: Yoga
ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu
menarik bagi Yoga. Karena itu, pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung
menghadap Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah di
sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.
Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga indikasi:
Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal. Seharusnya penarikan Yoga
dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani,
sebab Yoga adalah perwira AD. Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan
Pangkostrad Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah bersamasama Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno. Ketiga, mereka bertujuan
menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh
Ali Moertopo (salah satu anggota trio Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng
aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya seperti orang tidak
berdosa.
Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal biasa. Padahal dia
sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando. Dengan cara yang melanggar aturan
itu dia membentuk kubunya. Pokok-pokok masalah yang menjadi perhatian kubunya sama
sekali tidak menyangkut hal yang berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik
nasional dan internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.
Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya kita sebut Kelompok
Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara tersamar. Mereka bergerak di bawah
permukaan. Awalnya teman lama dan sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama
berada di Kodam Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana
pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di Jakarta.
Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD, ceritanya demikian:
Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro.
Rencana pencalonan Bambang itu kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto
yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun pangkat
Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani merebut posisi Pangdam.
Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor namun terselubung.
Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro bocor, ada
sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa perwira Kodam Diponegoro.
Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi,
Soeharto sendiri tidak hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai
Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang kekuatan untuk
bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu pencalonan Bambang menjadi
Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga Soeharto yang berupaya merebut
jabatan itu harus berpacu dengan waktu.
Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh para perwira
peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya seorang perwira kesehatan Kolonel
dr.Suhardi yang menandatangani, tanda setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang
lain tidak.
Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu kepada Soeharto.
Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat skenario. Ketika dua orang utusan Kodam

Diponegoro hendak ke Jakarta untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan
Bambang Supeno, barulah rapat gelap itu disebarkan.
Berdasarkan memori Yoga yang terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto.
Pengakuan awal Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut dikatakan Yoga
agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang kekuatan,
menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini tidak ada konfirmasi, apakah
benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.
Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo, menyatakan bahwa
pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang diminta membantu Yoga melancarkan
operasi intelijen. Tidak dirinci bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya
adalah mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama sekali
tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto. Atau mungkin kedua-duanya.
Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi
rangkaian pernyataan Yoga dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan
Soeharto. Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang yang
sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu terjun langsung.
Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini berhasil. Bambang
Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang tampil menjadi Pangdam Diponegoro.
Dari proses komplotan itu bekerja, bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi
Pangdam dan skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka pasti
Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah berkhianat sebab ia tidak ikut
rapat gelap itu. Yang paling berat risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.
Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto dan
komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946. Namun kudeta itu
gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati komplotannya sendiri. Soeharto menangkap
komplotannya dan berdalih mengamankan negara.
Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut: Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di
bawah pimpinan Tan Malaka dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa
Tengah, termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir. Awalnya,
20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta. Penculiknya adalah
kelompok militer di bawah komando Divisi III dipimpin oleh Sudarsono. Soeharto selaku
salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu.
2 Juli 1946 kelompok penculik berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon.
Pasukan lantas dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom.
Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran Kabinet Sjahrir dan
menyusun kabinet baru yang sedianya akan ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana
Negara Yogyakarta, esok harinya.
SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam maklumat nomor 1, 2 dan
3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya, maklumat nomor dua berbunyi demikian:
Atas desakan rakyat dan tentara dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag
berjuang untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan seluruh
kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946, tertanda: Presiden RI Soekarno.
Tetapi percobaan kudeta ini ternyata gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada
saat itu Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan penculik, berbalik
menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih, keberadaannya sebagai anggota komplotan

penculik merupakan upaya Soeharto mengamankan penculik.


Itulah karakter Soeharto dan ia bangga dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik
arah dari penjahat menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto
menyebut sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya dia balik
sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah menerapkan politik Bermuka Dua.
EMBRIO DEWAN JENDERAL
Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT. Ini kunjungan
kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya disambut hangat. Bisa jadi
sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak,
Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi.
Kami tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung Karno
dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi Asia-Afrika di Indonesia yag
sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para
pemimpin dunia, termasuk pemimpin RRT.
Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan
militer untuk 40 batalyon tentara. Ini peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis,
tank dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat.
Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi saya belum
bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk menerima atau menolak. Saya harus
melaporkan hal ini kepada Presiden. Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya
laporkan kepada Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan:
Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya begitu. Terlepas apa
kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis kepada kita, asal bantuan itu tidak
mengikat, mengapa tidak diterima?
Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya sampaikan kepada
pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera
menyiapkan barang tersebut. Mereka juga meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang
bisa dikirim. Hal ini saya sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai
di sini. Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak RRT juga
tidak mengirimkan barang tersebut.
Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima.
Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu persenjataan untuk
empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian)
dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara
maksimal, Bung Karno punya ide membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang
dikirim cukup untuk 40 batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab
tujuannya memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT.
Tetapi ini yang sangat penting Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima.
Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang
sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan angkatan
lain. Hal ini perlu saya tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah
para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi
Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Bahkan masuk
di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah

isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan
Soeharto sampai beliau meninggal dunia.
Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir
jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya
pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir,
karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa
Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi
mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik
apalagi membahas sejarah versi Orba bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa
pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada embel-embel buruh dan
petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah
menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima.
Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain. Empat
angkatan dianggap sudah cukup.
Setelah Yani menyampaikan sikapnya kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi
pembicaraan di kalangan elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi berlarut-larut.
Juga muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula berbagai
praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu. Sementara, Bung Karno sendiri
tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang
yang paling dekat dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu.
Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh
Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani
akan ditanya lagi tentang Angkatan Kelima.
Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden,
beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot
dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat
menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang
kedua di AD, yakni Gatot Subroto.
Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno. Jika
diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat jam kemudian mestinya ia
menghadap Presiden.

BAB II: GERAKAN YANG DIPELINTIR


BUNG KARNO MASUK ANGIN
Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga
kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung
Karno pada awal Agustus 1965.
Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah
sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT.
Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis.
Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini
menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI yang saat itu

berhubungan mesra dengan Bung Karno merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke
tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan
dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI
mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut
kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga
ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat
dikonfirmasi, karena pelakunya Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT ketiga-tiganya
tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai
meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak
jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr.
Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga
mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.
Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa
oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari
Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan
sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan didampingi
oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga
mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno hanya
masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya,
sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa
pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan
keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung
Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa
karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional.
Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI.
Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa
kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak
atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk
melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam
adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika
Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia
mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya
kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal.
Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan
mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada
lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya), Leimena dan saya
sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, saya tidak
diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar.

Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia
memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari
logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin
parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab
bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di
saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin
secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu.
Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk
mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika
PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab,
AD akan dengan seolah-olah terpaksa membalas serangan PKI. Dan, serangan AD
terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD
Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat
besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi
sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar,
dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh
mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah
diungkap secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara.
Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
DEWAN JENDERAL
Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan seperti diungkap di
bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan persenjataan gratis
dari RRT. Tiga hal ini berkaitan erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran
bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung Karno. Hanya
tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas punya ide membentuk
Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan Kelima itu.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu.
Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat
angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai adanya sekelompok
perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok perwira
yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya
adalah bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke Istana. Yani rupanya
merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno karena tidak menyetujui Angkatan Kelima.
Yani malah sudah siap kursinya (Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga
beredar isu kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh wakilnya,
Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar Yani menghadap ke Istana
pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik
dan dibunuh.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri.
Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa ia memang harus
tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden. Untung
gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara

menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu
Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan
oleh Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung (lengkapnya
simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakil saya di BPI

(Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada

sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap

Presiden. Segera setelah menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya

lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani

tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas

merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan

kudeta.

Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo

saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan

Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.

Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari

empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus

Herman Simatupang. Dua nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama

belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat

Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan

antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.

Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat.

Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang

membacakan susunan kabinet.

Susunan kabinet versi Dewan Jenderal menurut rekaman itu adalah sebagai berikut:

Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri

Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri Hankam,

Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,

Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,

Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman,

Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.

Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini

sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya

rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat

orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat

provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang

semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa

Dewan Jenderal - yang semula kabar angin - benar-benar ada.

Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist.

Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris

untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris.

Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi

Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah

bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malayia mengirimkan pasukan ke

Borneo.

Saya adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen
itu sudah tergeletak di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin
karena sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim oleh seorang kurir
yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas lain, tanpa alamat. Namun
berdasarkan informasi yang saya terima, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill
Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika.
Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai
golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari
rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada
atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan
Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya
tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang
berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama our local army friends.
Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris dan AS untuk
menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak pernah melontarkan bantahan,
padahal sudah mengetahui bahwa dokumen rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku
kepala BPI mengerahkan intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat
saya yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno.
Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan saya terhadap keaslian
dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para
panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen
Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi
seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas.
Saya menyimpulkan, Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk
memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Saya
mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang
menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan
pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti
itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan
suatu cara provokasi?
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi
pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan
aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk
dipastikan.
Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S
meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman guna menyampaikan
saran agar Parman berhati-hati karena isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal
sudah santer beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.
Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada
Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya menjawab: Belum, pak.
Lantas Parman menyarankan agar Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada
bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti.

Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga adalah anggota Trio
Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa informasi yang disampaikan oleh Yoga
kepada Parman itu bertujuan untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan
Yani. Info tersebut tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus jika
memungkinkan mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu tersebut. Dan
karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan sebagai mewakili
persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal benar-benar ada. Parman
tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan
bahwa Yani juga tidak siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu
Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok Soeharto
mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi kemungkinan
terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana Soeharto melakukan gerakan dengan
memanfaatkan Kolonel Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium
oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman tidak berhasil
dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu bisa berubah menjadi
jasa Soeharto menyelamatkan Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi
tindakan Soeharto ini benar-benar strategis.
PERAN AMERIKA SERIKAT
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal? Sudah jelas AS
takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung kiri, maka proyek
mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan Bung Karno.
Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan ekonomis di Indonesia dan
secara umum di Asia. Sebagai gambaran: Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei
Darussalam hanya kaya minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang
dan hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan Malaysia dan
Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta beberapa perusahaan
lainnya bagi AS harus aman.
Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di Indonesia. Namun
mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS untuk membujuk
Bung Karno agar mengubah sikap politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga
sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak
kalah pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat
dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua isu itu. Soal sakitnya
Presiden, target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan sehingga PKI masuk
ladang pembantaian sebab Aidit tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada gerakan perebutan
kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit
keras, wajar PKI merebut kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan
karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer.

Dewan Jenderal lebih banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu
dengan isu senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan
Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya
disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut menurut saya otentik,
namun mengapa dibocorkan?
Itu semua secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim bantuan
obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut mengherankan saya. Indonesia
tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang ada adalah
bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu
sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda membantai PKI.
Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan simpatisannya
dibantai. Nah, di sinilah pengiriman obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat
aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.
Baru beberapa waktu kemudian saya mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya
kamuflase; hanya sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting.
Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu tentara dan pemuda membantai PKI.
Sayangnya, pengetahuan saya tentang hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah
menjelang ajal politik. Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain
dalam rangkaian G30S.
Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat tinggi nilainya untuk menjamin
dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah
dibuktikan dengan tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di
berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam habis-habisan oleh
rakyat AS sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk Indonesia).
Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di Indonesia ia adalah
Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu
pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin
pemerintahan militer selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones
menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965 itu
adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada
Februari 1965 AS memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya
khusus untuk penghancuran komunis terbagi. Baik di Indonesia maupun Vietnam Utara,
mereka butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan panggilan Sjam
sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di PKI sangat
strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua
PKI DN Aidit. Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi informasi
kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak jelas benar, apakah Sjam
itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI atau orang PKI yang disusupkan ke dalam
AD. Tetapi jelas ia adalah mitra lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang
berdiri di dua kubu yang berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada tanggal 12 Agustus
1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa seriusnya sakit Presiden. Juga
Kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu
dikatakan setelah Aidit dibunuh.

Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal datang dari dia
sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah satu-satunya
pernyataan yang memberatkan Aidit selain keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30
September 1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh
Kolonel Yasir Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari
setelah G30S di Boyolali, Jateng.
Jika Sjam itu seorang tentara, ia ibarat martil. Keterangannya sangat menguntungkan pihak
yang menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam diadili dan
dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya tidak bermanfaat bagi
dirinya sendiri.
MENJALIN SAHABAT LAMA
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia menjalin
hubungan dengan dua sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan Kolonel TNI AD
Abdul Latief beberapa waktu sebelum meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan
pasukan yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat
dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Divisi
Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani. Selama
beberapa bulan berkumpul dengan saya di Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa
Untung tidak menyukai politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya,
sebagaimana umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti dari
fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis
hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat
saya itu hanya sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia percaya
pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para jenderal. Soal ini akan
dibeberkan di bagian lebih lanjut.
Sekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka
berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat
itu Soeharto adalah Panglima Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah
Soeharto yang bertugas di garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak
menonjol: ia memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana.
Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda
menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB
ke pangkuan RI. Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu
Untung dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis komando. Presiden
Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana, Cakra
Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu
membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anakbuahnya, karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata, Presiden sudah
terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal Istana. Soeharto hanya bisa kecewa.
Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD di sisi lain belum
terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan PKI dengan AD itu semakin
memuncak. Konflik itu diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin
meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu
kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang kharismatik yang

didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil
perwira AD. Di sisi lain, PKI seperti sudah saya sebutkan di muka saat itu memiliki massa
dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin
tajam.
Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa Untung menjadi salah
satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung di sana menjadi
titik strategis dipandang dari sisi Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut
kekuasaan negara. Maka hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa
waktu sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya
hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di
Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien) menghadiri resepsinya di
Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang sangat wajar,
memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu sarana transportasi
dan terutama kondisi jalan sangat tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak
mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto
mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat itu, tetapi mereka hanya
sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.
Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel Abdul Latief yang
juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga seorang tentara pemberani.
Ia adalah juga seorang yang saya nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief
mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya.
Dalam serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya dalam waktu
enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di Yogya, yang dalam sejarah
disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang
berjumlah sekitar 2000 personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur
kuning (sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan tanda
khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak salah jika ditembak mati.
Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu atas
keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal ini sudah
diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono
IX. Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu
tinggi. Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia kenal
Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief
tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal teknis pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB, persis saat sirene
berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang begitu besar,
Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka
sudah kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang
jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil direbut tentara kita.
Namun Belanda sempat minta bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan
pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih baik
dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis baja. Pada saat itulah terjadi
pertempuran hebat di seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir digempur serangan
balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief memerintahkan pasukannya mundur
ke Pangkalan Kuncen sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis
belakang, Latief memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat mundur

tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di tempat. Mereka yang luka
terpaksa ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan
pemuda gerilyawan (juga di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah mereka berjumpa
Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat, ujar
Latief. Ketika itu perang sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah
beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief
dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya. Soeharto
ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan anak-buahnya makan.
Sebaliknya Soeharto langsung memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk
menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.
Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam. Secara keseluruhan
dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil pasukan pimpinan
Latief kocar-kacir. Komandan dari seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja
menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh
lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya (yang kini terbukti
tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang komandan
pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di
Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak menyebar
karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi pihak yang menang dan
Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun informasi dari pihak yang kalah sudah pasti
disalahkan oleh pihak yang menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan. Soeharto akhirnya
menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya
Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan
lama dengan Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen, Latief
juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief mengkhitankan anaknya.
Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan, sebab
suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan oleh Soeharto.
Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio bersama Yoga
Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief. Semuanya teman-teman lama
Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi trio kali ini (bersama Untung dan Latief)
memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat
Presiden. Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta.
Targetnya jelas: menuju ke Istana.
Tidak ada orang yang bisa membaca konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini
tidak meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran militer. Namun
saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya feeling bahwa persahabatan mereka bisa
menggoyang Istana. Paling tidak mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh
Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan
AD sudah semakin tajam.
Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi
Siliwangi yang kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II).
Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena hubungan
persahabatan di luar jalur komando Latief menemui Soeharto. Inilah pertemuan pemting
pertama antara Soeharto dan Latief menjelang G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah
menyebar. Begitu mereka bertemu, Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata

Soeharto menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu hal itu
oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya. Tidak jelas siapa Soebagyo.
Namun menurut Latief, Soebagyo adalah tentara teman mereka ketika masih sama-sama di
Divisi Diponegoro.
Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi Soeharto.
Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kup. Berbeda dengan
Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya rencana akan mendahului gerakan Dewan
Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung
memang merupakan pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu
komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar.
Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,
kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada Untung: Kalau perlu
bantuan pasukan, akan saya bantu, katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia
menerima tawaran bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu
secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan pertemuan Soeharto
dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara Latief bertemu Soeharto dengan Untung
bertemu Soeharto. Yang pasti itu terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya
hubungan Soeharto-Untung terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan
Jenderal. Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga
terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto
mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah
Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang, Surabaya dan Bandung.
Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I.
Lantas secara bertahap pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini
didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi pasukan
penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan Soeharto dari daerah dan
Kostrad.
Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan
itu didalangi PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari
Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5
Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26
September 1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika dikaitkan
dengan Hari ABRI. Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima dan dikuatkan
dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara, pasukan bantuan
Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang akan menggempur Dewan Jenderal.
Ini sudah dibahas oleh Untung dan Soeharto.
Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1 Oktober 1965.
Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim. Berdasarkan cerita Latief
kepada saya pada saat kami sama-sama dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan
diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena
saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal
rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30 September 1965 malam hari
pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo

Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini
Latief melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima
jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh Soeharto.
Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni Latief, Brigjen
Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief lebih dulu bertemu
dengan Soepardjo dan Untung. Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30
September 1965) pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung
kurang berani bicara pada Soeharto. Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif
(panggilan Latief), kamu saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada
urusan, kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan Untung yang
menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan kepada temantemannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka.
Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata Latief kepada Soepardjo dan
Untung: Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal.
Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya dengan Latief
pada tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot Subroto itu. Ia bercerita kepada dua
pihak: Pertama kepada wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat
itu ia ditanya oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang
akan diculik.
Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1 Oktober 1965
anak lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto)
ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965
banyak kawan-kawan saya menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara
yang datang adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat terharu
atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief adalah orang penting dalam kup
yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi
untuk mengecek keberadaan saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di
RSPAD Gatot Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto
hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah.
Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman. Der Spiegel juga
mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman: Mengapa Soeharto tidak termasuk
dalam daftar perwira AD yang diculik pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD pukul 23.00
WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya. Tetapi itu tidak dilakukan,
sebab ia khawatir membunuh saya di tempat umum.
MELETUSLAH PERISTIWA ITU
Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas keliling daerah
yang disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September 1965 saya berangkat ke Medan,
Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur.
Saat ke Medan rombongan saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri
Muljono Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian
kami berpisah. Rombongan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang, rombongan saya

ke Medan.
Pada tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung oleh Presiden Soekarno dan diberitahu
kejadian sehari sebelumnya. Dan hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada
pesan Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa ditembak jatuh,
pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta dengan pesawat. Saya tentu saja sempat
was was, sebab yang mengingatkan saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta,
saya langsung menuju Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian
saya mengetahui alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya hati-hati.
Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta, pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet
sehingga pesawat berputar-putar mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara
darurat di dekat Bogor.
Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah dibanding sebelum saya berangkat ke
Medan. Wajah Bung Karno tampak tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang
mendiskusikan berbagai hal. Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah
berada dalam tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan meninggalkan Istana Bogor.
Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD diculik yang
kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari para kolega dan para intel anak
buah saya di BPI. Sampai berhari-hari kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari
para kolega dan anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian
seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian saya catat, sebagian
tidak.
Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua informasi yang saya terima, termasuk berbagai
gejala yang sudah saya ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini. Namun paparan
saya akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak dibandingkan dengan
sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa bagian saya kutip sebagian cerita versi
Soeharto sebagai pembanding.
Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani melaporkan kepada
Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa
waktu sebelumnya, saya melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang
tidak puas terhadap Presiden - yang menamakan diri Dewan Jenderal termasuk bocoran
rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor tentang Dokumen Gilchrist.
Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak Bung Karno. Dengan akumulasi aneka
laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih
bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi.
Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya
di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat
meninggalkan RSPAD itu ia sendirian (tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota.
Dari RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia
mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan Merdeka Timur
berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan
pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan Soeharto di beberapa
kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh
seorang tetangganya dan diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal.
Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:

1. di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal.
Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia selalu dikawal.
2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit berkumpul dan
merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan. Sebagai seorang komandan
pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang
berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3. pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui bahwa baru
saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada berita televisi seperti
sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian
beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00
WIB.
Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas itu akan bergerak
mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan sebagian besar
(kira-kira dua-pertiga) pasukan tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat:
Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung.
Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung dengan Pasukan
Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monas. Selain itu,
beberapa jam sebelumnya Soeharto menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam
keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto
mengendarai jeep sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan
tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi berangkat
membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan kepada publik bahwa ia sempat
melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan saja. Jika ia
memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya
ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya dan di berbagai kesempatan terbuka.
Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa menyeret
dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad membiarkan sekelompok
pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah malam, padahal dia melihatnya sendiri.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti
ditulis dalam buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan
melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di Makostrad ia
memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang
mendukung gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka
seharusnya tidak perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan
mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada di Makostrad. Tapi
prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada
penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam G30S, maka
pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin ada orang
yang tinggal di Jalan H Agus Salim (tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para
jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan

pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya, sekitar pukul 04.00 WIB.
Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965 adalah mengapa para
jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan
Jenderal diisukan akan melakukan kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk
diminta penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi lain jika
para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh sebelum peristiwanya
meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya
melainkan oleh masa kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa
kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief
dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S, tetapi umurnya hanya
beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi
G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal
yang dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan.
Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada pengakuan dari
salah satu pelaku penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton Kompi C
Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di
militer tidak ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah yang saya
terima dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung
adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperbolehkan masuk
rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil Presiden kok dini hari.
Karena itu pintu rumah tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah
Haryono langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal
dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan
karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena pada hari itu ia memang
dijadwalkan untuk menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB.
Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak ide
Presiden tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah beredar
isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot Subroto.
Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan Presiden
Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan masih
mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara penjemputnya menimbulkan kegaduhan di
keluarga Yani yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan
ganti pakaian. Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju,
jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan prajurit seperti itu
terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk
ganti pakaian. Yani diberondong tembakan.
Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang sudah
banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku yang terbit setelah
Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu
sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tetapi jelas substansi peristiwa itu tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta
yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan

provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung dengan baik oleh
imperialisme internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan efektif serta dikelola secara
maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta.
Dialah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi konflik antara
pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik konservatif dengan
aspirasi kapitalisme yang pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di
satu fihak, melawan PKI dengan prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi negara yang
merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif yang mengklaim
sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka berhadapan dengan
kemajuan-kemajuan pesat PKI yang dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari
konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara
mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.
Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS untuk Indonesia
Howard Jones peristiwa itu adalah spontan kekejian rakyat yakni penyembelihan rakyat
yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan
secara seksama di Mabes Kostrad pimpinan Soeharto.
DARI DETIK KE DETIK
Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia menginap di rumah istri
Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi setelah mendapat kabar mengenai
penculikan para jenderal, ia berangkat bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun
menjelang sampai Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut
tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju Istana.
Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan perjalanan ke Istana.
Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden ke Istana. Lantas Parto mengusulkan
Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke
tempat lain, katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden, jika
pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama adalah lapangan
terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke mana saja secara cepat.
Itu asal-muasal presiden berada di Halim. Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu
bahwa para jenderal diculik dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno
belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau
diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima laporan dari Brigjen
Soepardjo.
Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh sangat penting berkumpul
di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu masih wajar karena ia adalah pimpinan
AURI. Tetapi keberadaan Aidit di sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar
Dhani berada di satu tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah
Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih lanjut), Aidit terbang
ke Jawa Tengah.
Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa
Tengah. Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan. Tetapi

menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan. Soeharto memang
memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya. Dengan begitu Aidit tidak dapat
bicara yang sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit kemudian cerita bahwa pada
tanggal 30 September 1965 malam hari ia kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu
itu memaksa Aidit meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu Aidit
tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00 WIB, 1 Oktober 1965,
Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim mengeluarkan instruksi yang disampaikan
melalui radiogram ke markas Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi
bahwa beberapa jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para jenderal,
meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh.
Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua pasukan harap
stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya
selaku Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI. Semua persoalan akan diselesaikan
pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah.
Demikian antara lain isi instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah kalah, karena
gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung oleh Presiden. Instruksi lantas
disambut Soeharto dengan memerintahkan anak-buahnya menangkap Untung dan kawankawan.
Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jenderal yang
akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga mengutarakan niatnya untuk
mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini
didukung oleh Soeharto. Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota
dewan Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap.
Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami sama-sama dipenjara di
Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan dieksekusi meskipun
pengadilan sudah menjatuhkan hukuman mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya
menghantam Dewan Jenderal. Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari
daerah, katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung adalah
anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan benar-benar dieksekusi.
Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden -mungkin hanya selisih beberapa
menit kemudian Soeharto memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang
berada di Halim agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan
waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap. Di Makostrad
Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari
Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah
disiapkan untuk menyerbu Halim.
Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus bingung.
Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing tidak ditaati Soeharto.
Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Bung karno menyingkir dari Halim. Jika
Bung Karno bertahan di Halim, tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno
meninggalkan Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto.

Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan
agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri Panglima Angkatan Udara Oemar
Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana MenteriII Leimena mengatakan Bung Karno harus berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah
jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor.
Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang gawat dan ia
harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan untuk menuju ke istana Bogor
- menuruti nasihat Leimena - dengan jalan darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno
tiba di Istana Bogor.
Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang fajar.
Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku G30S, sebab seperti saya
sebutkan terdahulu sekitar dua-pertiga pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya
Soeharto. Jadi penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno
yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung karno ditekan
tentara seperti saat itu.
Sekitar pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 kepada Kapten Kuntjoro (ajudan
Komandan Cakra bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota
Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah selesai. Nasution yang
lolos dari target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad. Saya berkesimpulan
Soeharto berani mengatakan bahwa dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin
bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten
Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk anggotanya.
Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta.
Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi. Ketika Untung
menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan membantu
pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan
Jenderal. Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3
Juli 1946. Soeharto berdiri di dua sisi.
Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu
kudeta merangkak yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto
memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut kepemimpinan
nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat predikat pahlawan karena
menggempur komplotan penculik Perdana Menteri Sjahrir.
Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar tidak menentu.
Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama tentang penculikan para
jenderal melalui RRI disiarkan oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan
Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah
diculik dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan
dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak
ada nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio. Setelah Untung beberapa kali
menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar
pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah
terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan Untung.
Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden Soekarno. Juga
diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani
diculik.

Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia
tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan
siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran
dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD. Padahal beberapa jam
sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan
tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari
(care-taker) Menpangad.
Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama dan anggota kelompok
bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan
mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan
pengawal presiden yang boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali
karena kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan masuk dengan
bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku
kesaksian pelaku sejarah.
Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju terhadap
pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain protes,
Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan kuasa kepada Soeharto untuk
memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan terhadap pimpinan AU
yang diduga terlibat dalam G30S.
Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan memanggil para
panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah mereka
berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto untuk membahas semua tuntutan Soeharto
itu. Rapat berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa
kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).
Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta merangkak itu. Surat
kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga merupakan surat kuasa pertama. Namun ini
tidak pernah disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh.
Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan para
jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah
mengeluarkan instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang
kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad
Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa untuk memulihkan keamanan, apa
namanya kalau bukan memotong kewenangan Presiden?
Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh Presiden. Menurut memori Yoga, proses
keluarnya surat kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau
kita kembali mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan
mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat
kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD.
Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor, Soeharto
menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu
Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto.
Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi tawanan
Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana Bogor itu datang dari
Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan Bung Karno untuk pergi ke Bali?
Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan
yang paling hati-hati ke Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul

pembicaraan, seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu akan
lain ceritanya.
Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya maksud tertentu, apalagi menjerumuskan
Bung Karno. Beliau adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor
memang langkah hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau Madiun)
istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol negara. Siapa sangka Soeharto
berani mendatangi Bung Karno, bahkan menawan Bung Karno di sana?
Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya Leimena
mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan Soeharto agar jangan bersikap
begitu keras terhadap Presiden. Leimena berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi
apa jawaban Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya sendiri.
Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur.
Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III Chaerul Saleh
mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena. Jawaban Soeharto juga sama
seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang. Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata
Soeharto.
Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat kuasa dari
Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak mungkin ada
dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker
Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap
mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali. Sebaliknya Soeharto
sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban terus bertindak, sehingga pergolakan
di kalangan elite politik pun tidak dapat dicegah.
Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi
memiliki power untuk memimpin negara.
Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi
dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI,
tetapi semua yang berbau PKI dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai
sudut negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan.
Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden Soekarno mengumumkan (3
Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini
kelak menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja orang sudah
ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi Bakorstanas, namun tetap saja
nama yang menakutkan bagi masyarakat. Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai
dengan keinginan Soeharto pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama
menjadi Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata Soeharto
untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya. Perkembangan ini tentu di
luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa.
Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto menjadi Menpangad,
menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri Perguruan Tinggi
dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh
tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan Kostrad.
Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa Presiden Soekarno tidak

mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal berniat melakukan kup, lantas dewan
Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung
Karno langsung mendukung G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa
Bung Karno malah menghentikan gerakan itu?
Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini
sekaligus menjawab pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak tercantum dalam Dewan
Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam setelah pembunuhan para jenderal.
Dewan Revolusi ini adalah buatan Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden.
Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:
1.

Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto merupakan


salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2.
Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh melakukan
kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang sebenarnya
disokong oleh Soeharto).
3.
Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.
4.
Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar
terwujud.
NASIB AH NASUTION

Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September 2000. Dia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan upacara militer. Semoga
arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin.
Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat itu dia sudah
menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang tiga. Di saat TNI AD terpecah
(secara tidak transparan) dalam kubu-kubu di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh
kubu Yani dan Kubu Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI
AH Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal anti-PKI, memiliki
dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya
tewas) sehingga wajar menyandang gelar pahlawan.
Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang berpolitik. Dialah
pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah tentara. Ia berpengalaman melakukan
manuver-manuver politik yang dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar
tentara bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan daerah.
Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira senior yang paling
ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution. Presiden Soekarno menjuluki Nasution
sebagai pencetus gagasan Negara dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan
Bung Karno (lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang adalah
bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu memimpin Indonesia, maka
pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama
besarnya.
Tetapi Nasution dilipat oleh Soeharto. Ia seperti halnya Yani tidak mewaspadai isu Dewan
Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat isu
tersebut. Dia benar-benar tidak tahu bahkan tidak menduga bahwa Soeharto yang
pangkatnya lebih rendah berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan
Jenderal. Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade Irma
Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.

Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan penting AD


tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang menggunakan Nasution sebagai
umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada
di bawah pengaruh Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi
momok bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani menentang
gagasan Bung Karno.
Saya mengatakan Soeharto mengambil tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution,
tentu ada contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima - adalah
sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul 09.00 WIB Nasution bertemu
dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan pagi itu 1 Oktober 1965 Soeharto
memerintahkan para petinggi AD berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta
bantuan Kodam Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk
mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S, sehingga rapat di
Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution.
Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa penculikan
para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI. Soeharto juga berhasil mengajak
Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar menyatukan pasukannya di bawah pasukan
Kostrad untuk menggempur pelaku G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes
ABRI agar semua pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik ke
Detik).
Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya: Nasib para jenderal yang
diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi pengejaran terhadap para penculik sudah
disiapkan di Makostrad. Bila Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang
menggantikan adalah Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian
terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia mengambil-alih
kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain
itu secara otomatis disepakati bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan
menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak perlu
dipatuhi.
Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas memerintahkan anak-buahnya
untuk mengambil Nasution keluar dari persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad.
Nasution tiba di Makostrad dalam kondisi masih stres berat (karena baru saja lolos dari
pembunuhan) dan langsung dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul
lengkap, tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah diambil
beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat sudah berlangsung sejak
pagi dan sudah hampir selesai.
Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari Nasution. Dalam kondisi
biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya, tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting.
Rapat itu menentukan kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah
bahwa dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan dimasukkan ke
Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad Soeharto. Dari cara Nasution
disembunyikan Soeharto, lantas Nasution dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa
seolah-olah menjadi tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari rentetan
tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak tahu apa isinya.
Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto memasukkan Nasution dalam ruang rapat.
Dengan begitu seolah-olah Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil
dalam rapat. Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun

dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan kesan: Soeharto
berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa G30S didalangi PKI karena Nasution
dikenal anti-komunis. Ini sekaligus untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis baik dari
militer maupun sipil ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di Makostrad
saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti Presiden Soekarno.
Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum rapat selesai.
Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya memulihkan keamanan agar
masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar secara spontan saja. Ia menginginkan agar
secepatnya diambil tindakan untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk
menenangkan diri Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk dicinta,
ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa memberi dia kuasa. Saran
Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak
perlu menunggu lama, esoknya dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke
Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno
minta kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib

BAB IIIA: KUASA BERPINDAH


PERAN MAHASISWA
Ada masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965 sampai Maret
1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai presiden, tetapi sudah tidak
punya kuasa lagi. Beliau dilarang meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi
tawanan Soeharto. Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara, namun secara formal dia
adalah Menpangad.
Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau
masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol besar
dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI,
namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya memulihkan wibawa, walaupun
Bung Karno akrab dengan PKI.
Sepintas tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI, di sisi lain
mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya juga
menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung Karno. Sebagaimana umumnya
menghadapi masa transisi, sebagian perwira merasa khawatir tentang posisi mereka. Mereka
tidak tahu apa yang akan terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak.
Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan
tertinggi ada empat tahap:
1. menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi.
2.
Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno
3.
Melumpuhkan para menteri pembantu presiden
4.
Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto bukan perwira
yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat
saat menyelundupkan barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus
melewati proses panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal saingannya
sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung Karno masih juga punya
pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada walaupun sudah tidak berfungsi.

Untuk mengimbangi lebih tepat melumpuhkan sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto
mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di
rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo
mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah
muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
2.

1. bubarkan PKI
bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3.
turunkan harga kebutuhan pokok.

Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden - lantas membubarkan KAMI. Tetapi
setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi
Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden
Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa
berani. Ini yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan 66, kelompok yang
diprakarsai oleh Soeharto.
Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang melambung tinggi. Saya tahu persis
melonjaknya harga itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh dua
pengusaha Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob
Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah).
Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya:
inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara semakin parah sampai
300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras, gula dan minyak orang harus antri. Inilah
operasi intelijen yang sukses melumpuhkan ekonomi negara.
Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di Jateng yang
paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi Diponegoro,
Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis
memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu dibongkar oleh
Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani menempeleng
Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno
menjadi caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan
(dengan cara kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya.
Sementara, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus
diteriakkan hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung.
Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan
rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan
rakyat.
Siapa pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi Presiden
Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin jelas kelicikan Soeharto. Cara
Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak
kelihatan.
Saya menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi tercekik oleh harga
bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam, mereka bukan anak kecil. Sebagian
dari mereka pasti tahu bahwa harga kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto.
Mereka adalah kaum intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan

mereka didukung oleh tentara dan rakyat dua kekuatan utama bangsa ini sehingga sebagian
yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani menentang arus. Semua pasti mencari
selamat bagi diri sendiri. Mereka terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah.
Pada tanggal 10 Januari 1966 ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan RPKAD (kelak
diganti menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah ribuan mahasiswa untuk
mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa
bergerak turun ke jalan menuju kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K
mereka bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa menyampaikan
tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi Chaerul sambil lalu.
Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang dibentuk melalui
surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu murni. Ini jelas menyesatkan
masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain,
mahasiswa bergerak didukung oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan
mereka dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni menurut saya
adalah: bubarkan PKI.
Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto berkuasa dan kepentingan politiknya sudah
tercapai, ia memberangus mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K
mengeluarkan peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa dilarang berdemo.
Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri
dengan bekas salah satu senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain
akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR pertengahan Mei 1998.
Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan
situasi negara saat itu memungkinkan mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di
dunia ini cenderung berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik
oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia sejak 1 Oktober
1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah Menpangad.
Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah masih berdiri, tetapi kondisi
negara tak terkendali, baik oleh penggempuran besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk
membersihkan PKI maupun oleh kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu
susah-susah mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan pemerintah,
sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan Bung Karno dari tampuk
kekuasaannya.
Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam
Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura yang dikobarkan oleh
mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan
cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak
akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat
bicara lain. Ayo.Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu. Pertahankan Soekarno.
Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan pidato Bung Karno
yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno masih punya pendukung, termasuk
dari Angkatan Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI.
Maka semua pihak khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu
dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari G30S.

Maka setelah itu - pada malam hari berikutnya saya selaku Wakil Perdana Menteri-I
membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri. Tujuannya tentu untuk membela
Presiden. Front Nasional yang sudah ada sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka menyatakan sepakat
menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan bagian dari upaya
pendukung Soekarno untuk come back, walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI,
pun secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara.
Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari pidatonya yang
keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap membela. Para
pendukungnya pun tidak bergerak sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain
menyerukan: tunggu komandoSeruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando ternyata
tidak juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak bisa
membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
SUPERSEMAR
Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret 1966 Soeharto mengadakan
pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim. Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya
Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti
pembicaraan: Soeharto selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat
penuh dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan suasana aman dan politik yang stabil.
Tiga jenderal yang menghadap akhirnya sepakat dengan ide Menpangad.
Lantas Soeharto menyampaikan pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi
negara yang tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan persoalan
bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan tindakan kongkrit. Ia
menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk boleh saja berdemo di
saat Sidang Kabinet yang akan diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana
Merdeka.
Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang
berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Pasukan
Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai
terpaksa meletuskan tembakan peringatan ke udara.
Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak
hanya menggerakkan mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan
mengerahkan tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan
Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya. Soeharto juga
sudah setuju.
Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal.
Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri
peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil
digembosi. Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadaphadapan dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.
Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno akan menyerah
tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul korban yang sangat besar. Saya
menilai Soeharto adalah pembunuh berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi

terwujud ambisi politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu bertindak
keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan darah yang luar biasa. Sebab
mahasiswa akan bertahan mati-matian karena merasa mendapat angin dan didukung oleh
tentara. Juga bisa terjadi perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa
identitas.
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan sakit batuk.
Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir Machmud beberapa waktu kemudian.
Menurut pengakuan Amir Machmud - seusai mengikuti Sidang Kabinet ia bersama Basuki
Rachmat dan M Yusuf mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga
tidak dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan piyama
dengan leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen saya melaporkan bahwa
pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa
Soeharto adalah pembohong besar.
Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang bakal dihadapi oleh Soeharto:
1.
dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam sidang Bung
Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang telah kuangkat menjadi Panglima
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka
perintah Presiden itu bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak
dimakan bapak tewas.
2. Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata para
demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi Nasution untuk tampil
sebagai presiden.
3.
Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa berakibat fatal bagi
Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk
menangkap Soeharto seketika itu juga.
Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan buruk itu adalah
nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan bahwa Soeharto licin dan pembunuh
berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan
tentara bisa menimbulkan konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa buku juga
disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian
pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya
singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar
meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas
menyusul keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya copot karena terburu-buru.
Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu - mungkin
karena kegerahan duduk lama bersepatu - tetapi sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh
peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi
genting sehingga Presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburuburu sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang ini yang tidak ada di dalam buku-buku sejarah saya
sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya
mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno
yang keluar ruangan lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik
siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya dan mobil semua
menteri sudah digembosi oleh para demonstran.

Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang
tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda
melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam
kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu menunduk,
tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di Bundaran Air Mancur
(perempatan Bank Indonesia) saya melihat begitu banyak mahasiswa dan tentara. Mereka
tidak hanya berada di sekitar Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini
perasaan saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi bisakah melewati
ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga saya memutuskan untuk
kembali, berbalik arah. Saya kembali ke Istana. Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa
diketahui oleh para demonstran.
Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar dari ruang sidang, saya langsung
memburu Bung Karno naik helikopter.
Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali di Istana, saya lihat ada
helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin
karena saya panik, saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang
melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi oleh
para ajudan berjalan menuju heli.
Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah ketika
berlari menuju heli tanpa sepatu saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran:
Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa
masuk ke dalam heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.
Jadi sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak langsung menuju heli,
tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah menggenjot sepeda dari Istana ke
Bundaran Air Mancur dan kembali lagi. Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung
Karno masih mengadakan pertemuan dengan para ajudan dan penasihat militer untuk
membahas situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu Bung
Karno, entah bagaimana nasib saya.
Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena lolos dari target
penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan
hebat. Bung Karno dan pasukannya yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa
banjir darah. Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik mengkhianati teman-temannya
yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan pasukan mengepung Istana. Percobaan kudeta 3
Juli 1946 yang gagal menjadi dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung
untuk membantai para jenderal menjadi buktinya.
Menjelang petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir
Machmud dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya, Leimena dan Chaerul Saleh) sudah
di sana. Leimena dan Chaerul menyusul kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami
bertiga sempat istirahat di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno menerima mereka
di gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di paviliun.
Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh Bung Karno masuk ke
ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu. Namun saat kami masuk sudah ada
kesepakatan antara mereka dan Bung Karno.
Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat, Amir

Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya disodori surat yang dibaca oleh Bung
Karno, sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi
intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1.

mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan
unsur-unsur kekuatan lainnya.
2.
Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan
dilaksanakan
3. Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4.
Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.
Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu.

Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung
Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju, padahal dalam hati saya
tidak setuju. Bukankah Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali
keamanan negara berada di tangan Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan.
Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan
Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan. Tetapi kalimat
unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar
yang membuat Soeharto ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa
melalui proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan surat yang
begitu penting.
Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi.
Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami jawab saya.
Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau setuju?
Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik, tiga jenderal itu
melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang
terakhir itu. Tetapi saya tahu mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang.
Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak..
Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya
terlihat ragu-ragu, tetapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju.
Akhirnya saya setuju. Chaerul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken
(tanda tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang
mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam
bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah
berseri mereka membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar.
Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI. Uniknya,
pembubaran PKI itu menggunakan surat keputusan Presiden nomor 113 tahun 1966. Saat
diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15
menteri yang masih aktif ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada
Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan Soeharto tengah malam
dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan itu. Untuk penangkapan 15 menteri,
alasannya adalah agar para menteri itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan
rakyat yang tidak terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni:
para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif pemerintahan. Jadi bisa saja
ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang:

terlibat G30S/PKI tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto
berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya sebagai: Bung
Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan perintah memulihkan keamanan
Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto
membubarkan PKI dan menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak
kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap:
-habisi para jenderal saingan
-hancurkan PKI
-copoti para menteri
-jatuhkan Bung Karno.
Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir.
Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau memerintahkan
Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana ini? Surat perintah hanya untuk
mengamankan Jakarta, bukan untuk pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena
kepada Soeharto.
Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober 1965 - saat Leimena
protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di Istana Bogor - Soeharto menyatakan: Pak
Leimena jangan ikut campur. Sekarang saya yang kuasa.
Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam,
tetapi dari wajahnya kelihatan jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami
tahu bahwa saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja bersiaga di
setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana. Mereka dikenali sebagai pasukan Kostrad dan
Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya
masih sangat besar saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis
terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak menghalang-halangi
pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk kedua-duanya.
15 menteri yang ditangkapi adalah:
1.

Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)


2.
Waperdam-II Chaerul Saleh
3.
Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4.
Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
5.
Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6.
Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7.
Menteri Pertambangan Armunanto
8.
Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9.
Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10. Menteri Kehakiman Andjarwinata
11. Menteri Penerangan Asmuadi
12. Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafii
13. Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
15. Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas, namun Soeharto
tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya diperoleh secara konstitusional.

Padahal ketika menangkap kami (para menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang
melaksanakan berbunyi demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian.
Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada
tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok bayangan
Soeharto langsung mengumumkan: G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan:
Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional seperti yang
sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah?
MELENGGANG KE ISTANA
Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir: jatuhkan Bung Karno.
Setelah Supersemar ketika Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri setia
Bung Karno sebenarnya sudah setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para
menterinya yang masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu.
Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI yaitu DN Aidit, Njoto dan Lukman
ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya menolak
memerintahkan mengadili mereka (entah mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh
Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan
tentara menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses hukum
yang berlaku.
Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak
ingin kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu
diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto
terlibat G30S.
Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan
bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI
dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh
MPRS (yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah
mengukuhkan Supersemar secara konstitusional.
Bersamaan dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan.
Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga dan teman
mereka halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Tidak ada yang tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan
800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhi
Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS tahun 1963 yang
mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Juga menyatakan pemberian gelar
Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung Karno tidak memiliki kekuatan hukum. Asal
diketahui, pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung
Karno. Juga bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas usulan
perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman.
Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS. Beberapa hari
kemudian 5 Juli 1966 MPRS mengeluarkan ketetapan: Soeharto selaku Pengemban
Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Maka dibentuklah Kabinet Ampera
menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan

Presiden Soekarno, namun sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak
itu secara formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu gubahan
Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution tampil, yang meminta
Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban kepada MPRS tentang sebab-sebab
G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar
Dhani ditangkap, menyusul kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka
semua dihukum bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun pasti Soeharto
melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang katanya akan dikudeta oleh PKI)
secara politis sama sekali sudah tidak berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan
MPRS meminta pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi itu
Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945 yang harus
dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN.
Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai
pertanggung-jawaban.
Sejak itu Bung Karno (secara formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau
peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor sejak 2 Oktober
1965. AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh Nasution menyokong keputusan
Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Saat itu pula Soeharto
memerintahkan Ketua MPRS untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat
antara tahun 1960 hingga 1963.
Dalam Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno masih boleh hadir dalam kapasitas
tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto
agar bicara yang intinya mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di
dalamnya. Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di luar
dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi judul Nawaksara. Inti
pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung
Karno itu intinya juga tidak mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan
kekuasaan. Tetapi pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama.
Pada tanggal 17 maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan
Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan
kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai terpilih presiden
oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu Soeharto sudah benar-benar
menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto menegaskan bahwa tentara memiliki peran
sosial politik yang tidak terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI)
DALAM NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal negara.
Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada di satu tangan: tangan dia
sendiri.
Sebaliknya, terhadap Presiden Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
- Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab konstitusionalnya
- Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan Haluan Negara. Karena itu MPRS
memutuskan melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai
dengan Pemilu yang akan datang
- Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945 dan
mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Presiden Soeharto
hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu.

- Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS.


- Persoalan hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang

berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.

Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai pembubaran kabinet
bentukan Bung Karno disebut pegamat asing sebagai creeping coup (kudeta merangkak).
Proses kudetanya tidak langsung menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang
dilakukan secara mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja, setelah
kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden RI.
Saat itu bahkan sampai sekarang saya melihat proses peralihan kekuasaan tersebut sangat
unik. Selain unik, juga sangat membahayakan Soeharto sendiri seandainya perkembangan
situasi mengalami pembalikan. Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua
dengan sangat matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu Soeharto
memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua keputusan MPRS yang dirasa memberi
kewibawaan kepada Bung Karno.
Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya bergerak secara
merangkak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa begitu saja tampil ke puncak pimpinan
nasional. Ia harus melewati para jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat
itu begitu kuat.
AKHIR HAYAT UNTUNG
Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa
dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati. Jalur hukum di atas vonis pengadilan
seperti naik banding dan kasasi sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus
menerima vonis hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi orang
nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati.
Saya menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi Bandung. Di sana berkumpul orang-orang
yang senasib dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah
Letkol Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami berkumpul di
penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah sama-sama divonis hukuman
mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak untuk menempuh jalur hukum yang lebih
tinggi yakni naik banding, apalagi kasasi.
Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh beberapa sipir.
Diberitahukan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani
hidupnya. Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar
terhanyut dalam suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung, sedih, bahkan
panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang mengadili saya) saat itu memberitahukan
bahwa saya akan mendapat giliran (dieksekusi) empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari
Selasa. Berarti saya akan dieksekusi pada hari Sabtu.
Sebelum Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui Untung. Saat
itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti lazimnya orang yang akan dieksekusi.
Mungkin karena Untung sedang panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa
saya akan dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung benar-benar luar biasa.
Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati
kami tidak karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari lagi.
Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang. Bahkan saya ingat
suasana hening saat Untung menyampaikan kata perpisahannya pada saya. Para sipir dan

tentara berwajah angker yang selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak
jauh. Mereka seperti maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung untuk berpesan
kepada saya.
Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita
ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke atas. Untung mengucapkan kata perpisahan
dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak
menangis, tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka
bakal dikhianati oleh Soeharto.
Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa
tidak mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat Soeharto dan ia
mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S, bahkan memberi bantuan pasukan.
Karena itu dia sangat yakin bahwa dia tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh
kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apaapa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami menyaksikan
semua adegan singkat tapi mengharukan ini.
Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju pintu gerbang
untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati keberangkatan Untung dari penjara. Ia
berjalan tegap. Mungkin ia segera bisa menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi
mungkin pula ia sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah
perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di sebuah desa di
luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih lagi memikirkan nasib Untung, hidup saya
sendiri akan berakhir sebentar lagi. Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung
kecele (salah duga) dengan kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggalkan
penjara karena ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana.
Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak
takut jika hari kematiannya sudah ditentukan. Tetapi inilah keajaiban Presiden Amerika
Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya,
mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa
hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu ini juga ajaib hampir sama.
Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak
terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing atau bukan, bagi saya tidak perlu
dipikirkan lagi. Sejak dulu pun Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting
bagi saya, mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata kawat
singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak mati.
Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh tidak saya
ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak pernah meminta bantuan mereka.
Logikanya, tidak ada waktu bagi saya untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi
pimpinan negara lain. Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima hari
sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya berada di dalam
penjara dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada hari-hari menjelang eksekusi.
Namun jangan lupa, saya dulu adalah Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua.
Ketika perundingan tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua
negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang lain.
Tetapi bagaimana pun saya juga tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya
tidak terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar biasa berani

mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya diubah dari hukuman
mati menjadi hukuman seumur hidup.
KARIR SAYA
Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S? Maka saya akan
balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G30S atas inisiatif Aidit,
maka Indonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah
terjadi. Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3 juta anggota didukung 17 juta anggota
organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang hanya ratusan ribu. Bila genderang
perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat pertempuran yang terjadi.
Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saat dibantai. Itu
karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari dan lantas ditembak mati. Bung Karno yang juga bisa menjadi panutan PKI tidak memerintahkan apa-apa.
Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima
sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan politis,
agar kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi. Saya tidak hanya
dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki Durno.
Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara.
Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya sebut, skenario
Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap:
1.

menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan

Nasution (ini terwujud di G30S)

2.
melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (ini terlaksana

setelah PKI dituduh mendalangi G30S).

3.
memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat menangkapi 15 menteri

- termasuk saya sekitar sepekan setelah keluar surat


perintah 11 Maret 1966).
4.
Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolaholah konstitusionil melalui ketetapan MPRS.
Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri ditangkap tanpa
alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan oleh tentara: Maaf, pak, kami
diperintahkan agar mengamankan Bapak dari kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang
menangkap saya. Lantas, kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan.
Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi ditangkap.
Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami dipenjarakan. Untuk menghancurkan
nama baik kami, Soeharto menuduh kami teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan
julukan Durno. Kami dihinakan dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto
meraih kekuasaan.
Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI (Partai Sosialis Indonesia).
Kalau di PKI, saya sama sekali bukan anggota atau simpatisan, walaupun pada saat saya
masih di puncak kekuasaan dengan merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI
banyak mendekati saya. PKI juga mendekati Bung Karno. Malah, anggota dan pimpinan PKI
ada yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.

BAB IIIB: BIO-DATA & KUASA BERPINDAH

Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatan Malang),
Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen. Ibu saya, Sapirah,
adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara.
Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desa kecil
Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak saya habiskan di
Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) di sana.
Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjen belum
ada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Saya masuk sekolah
terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.
Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Tempatnya di Jalan
Salemba yang kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Saat itu saya memang ingin
menjadi dokter sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat Indonesia
saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi hanya sekolah SR. Saya bisa ke sekolah
lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi, walaupun hanya petinggi desa.
Tetapi, dari lima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehingga bisa
melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokteran, saya banyak kenal
dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka.
Dari sana saya juga dikenal para pemuda pejuang itu. Saya sendiri menjadi tertarik bergaul
dengan mereka.
Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan
saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasi bedah perut. Saya
selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, pada tahun 1938 saya sudah
mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah dokter umum masih sangat jarang,
apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari
Jakarta, termasuk saya, dua dari Surabaya (Universitas Airlangga).
Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapi beda
fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanya berbeda
beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua.
Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang (sekarang
RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan ke Jakarta (sekarang RS
Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah di sana saat itu hanya dua orang, termasuk saya.
Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu
beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi wakil ketua PSI.
Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjang hidup
saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesai sampai di situ,
sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik
berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Bung Karno.
Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintah Indonesia
di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu tiba-tiba saja. Tidak melalui proses,
misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak
sebanyak sekarang. Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya terima. Istri saya juga
setuju.
Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui PBB. Sehingga
saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris. Bung Karno hanya

menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris.


Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaan saya
ternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saat saya datang.
Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membuka kantor di London.
Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah awal saya meniti karir di
pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan Dubes sebagai pos buangan, saya malah
memulai karir dari pos itu.
Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi
saya sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah. Namun,
kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya di sana secara bertahap berubah
ke arah positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan, sebagaimana diperlakukan
terhadap para duta besar dari negara-negara merdeka lainnya.
Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan dengan Ratu
Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth
kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu
hari (soal ini sudah diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam
menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara seremonial tersebut.
Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan saya ke
Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni Soviet di Moskow.
Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk
oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri, menggantikan Roeslan
Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik
adalah bahwa Ali turun jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington.
Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karno berkata
demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya kaget. Itu merupakan
suatu loncatan jabatan yang luar biasa dari Sekjen Deplu menjadi Perdana Menteri.
Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu berpikir.
Sesungguhnya saya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para senior saya.
Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnya adalah bahwa
Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, pada suatu hari
Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno meminta saya
membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya laksanakan.
Walaupun saya jarang bertatap muka dengan Bung Karno, terasa sekali dia bersimpati pada
saya. Tapi, saya merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama
pulang ke tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi terakhir.
Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwa saya
bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap Bung Karno, untuk
menyampaikan keberatan saya. Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda.
Ternyata Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untuk menjalankan tugasnya
dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada dua
Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi. Selanjutnya saya
menjadi Menlu menggantikan Roeslan.
Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno saya sendiri,
Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya adalah untuk
mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya unik sekali, sehingga
tidak saya lupakan.

Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. Bung
Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis. Masing-masing diberi
sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan (karena sudah dipatahkan oleh Bung
Karno), dan setengah batang dengan pentolan (juga sudah dipatahkan sebelumnya). Bung
Karno meletakkan sebuah kantong di meja.
Cara permainannya, batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa
pentolan menjadi simbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul.
Bung Karno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong.
Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidak diketahui yang
lain. Pemilihan pun dimulai.
Saya memasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena.
Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat sederhana, tetapi inilah
pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karno memandang masingmasing menteri yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampai semuanya menggunakan
hak pilihnya.
Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak-blakan.
Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan setengah batang
dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk
tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling memandang satu sama lain. Lantas kami saling
terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih dirinya sendiri.
Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya,
Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama menyangkut Irian Barat yang
statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah
Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur
untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan.
Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet.
Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi oleh para
Waperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena
main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya,
tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat.
Tidak lama kemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya
merangkap tiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukup
berat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat melaksanakan
ibadah haji.
Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16,
Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah. Di rumah
itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa
Orde baru.
Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya itu
anak saya, sebab dia tidak punya adik lagi.
Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitan beberapa
anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu
sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya untuk
mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya khitan. Saya hanya

menolong mereka dengan ikhlas.


Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman
menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih sedikit.
Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya tinggalkan
bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus
memilih, dan saya sudah menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak
pejabat.
Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrab
dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit. Juga dengan
beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya
juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat negara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka
tentu memiliki ambisi politik tertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi
juga pejabat tinggi negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk
ke dalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besar dan
legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI.
Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebut namanya)
menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke jajaran ABRI.
Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itu mendekati pimpinan
puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar. Kondisinya berubah menjadi tidak
wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Itulah PKI.
Saat G30S meletus - seperti sudah saya sebutkan di muka - saya sedang bertugas di Medan.
Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah. Begitu saya
diberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istana Bogor bergabung
dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itu kondisi negara tidak menentu.
Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.
Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30S didalangi
oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun muncul pengakuan
tertulis Aidit yang sangat mungkin merupakan rekayasa bahwa ia yang mendalangi G30S.
beberapa tokoh PKI lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah
cara untuk membungkam PKI, agar tidak bicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada
di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa
pada tanggal 30 September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit
terbang ke Yogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim.
Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-sama
menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung Karno ternyata hanya
masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa
lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk konsumsi publik di luar
PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno.
Propaganda itu bertujuan untuk memberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu
akan membangun opini publik bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului
oleh pihak lain, mengingat sakit kerasnya Bung Karno.
Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkan oleh
Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri. Tanpa berniat
membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI, sebab saya tahu persis.
Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal, memang ya. Dalam suatu
kesempatan, saya dengar Aidit mendukung gerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang
dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling

oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar
mendukung dalam bentuk ucapan saja.
Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKI
mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan cerita pembantaian para
jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yang menari-nari sambil menyiksa para
jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya
disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga suatu nama yang
sangat kontras dengan kekejiannya. Sungguh suatu cerita yang mengerikan.
Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan
yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu. Tetapi cerita ini
dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalam sekejap kemarahan rakyat
terhadap PKI tersulut.
Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah Soeharto
tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara di televisi: mayat para
jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan. Memang kulit mayat
terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayat tersebut terendam di dalam air
(sumur) selama beberapa hari.
Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap
pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu saat-saat awal PKI
dibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidak menghendaki
pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang kendali. Beberapa jam setelah
G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukan bersiap di tempatnya. Jangan ada yang
bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, pada dasarnya Bung Karno tidak menghendaki
pertumpahan darah. Namun perintah Presiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak
dihiraukan. Pambantaian PKI terus berlangsung.
Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di Moskow.
Saya juga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing, RRC dan diberi tawaran
bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskow dan Beijing adalah poros
utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap pro-PKI.
Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat berbuat banyak menanggapi cap
tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya menjalankan tugas negara?
Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan. Pada
Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran pembunuhan tentara,
meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika Istana Negara dikepung oleh
pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukan RPKAD (kelak berubah menjadi
Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas saya diincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu
bahwa Kemal Idris bersama pasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan
Soeharto. Tetapi akhirnya saya lolos.
Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cap proPKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap itu semakin menyebar secara
luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu
saya sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan.
Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang
tahu tentu hanya Soeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai
pengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya ditahan,
setelah Bung karno mendekati ajal politiknya.

Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental, sudah
jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental. Sebagai mantan
pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Dari pemegang kekuasaan negara
berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya mengalami depresi. Istri saya tentu mengalami
hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih kecil.
Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat saya bukan
sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal pokok itu. Padahal,
saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno.
Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata: Kalau ada
teror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, para pemuda yang
dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka didukung oleh AD untuk
melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno serta para pendukungnya.
Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror (dari para pemuda) maka bakal muncul kontra-teror
(entah dari mana).
Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan subversi.
Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-benar pengadilan
sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret
1966, toh mereka bisa membunuh saya secara konstitusional di pengadilan sandiwara ini.
Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun
upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.
Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinan
Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak itu sampai sekarang,
pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S
merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi serentetan amat panjang pengadilan
sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai kasus disubversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung, demonstrasi mahasiswa yang kritis
terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan
juga kasus-kasus korupsi. Salah menjadi benar, benar menjadi salah.
Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KH
Abdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkan pernyataan
bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor.
Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya adalah
menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut
setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, ini merupakan risiko bagi semua
orang yang berkecimpung di bidang politik.
Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik, namun
direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa. Kondisi penjara yang
sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya tahu, itu
obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak menyediakan. Luka saya dibiarkan
membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi
obat. Rupanya pemberian obat yang terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka
memang sembuh. Namun sampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa.
Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (baru
beberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suci Al-Quran.
Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis.
Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi

pejabat tinggi negara.


Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, AS
dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi saya tetap ditempatkan di
sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan Salemba), LP Cimahi, sampai LP Cipinang.
Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunya benarbenar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yang membuat ibunya
tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari
seorang istri pejabat tinggi negara, mendadak berubah menjadi istri Durno, disusul anak
satu-satunya pun meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul
Budojo, berpulang ke rahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak
ada lagi yang menjenguk.
Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantan isteri
Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikut mendukung G30S
atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang
dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya, Sri Koesdijantinah, janda dengan dua anak,
lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya
sangat kagum pada Sri yang rela menikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita
setulus dia.
Kini hidup saya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapi setiap
pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong. Sri muncul di saat
semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawakan saya nasi rawon kesukaan
saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian. kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto,
kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman
Soeharto. Ada banyak korban lain yang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar
membuat hidup saya bersinar kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak.
Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya tinggalkan. Saya
seperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan
di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang cerah. Saya bersujud syukur
alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.
Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangat mahal.
Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidak seberapa. Apalagi
saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangat penting saya di zaman Presiden
Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang pensiun. Akhirnya kami menjual
rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan.
Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat
memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang, juga
tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah
menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut Durno, PKI, dan
sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya sudah senja.
Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagai bekal menghadap Sang Khalik, suatu
saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya
bisa larut dalam emosi. Maka, anjuran itu tidak saya turuti.
Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus menghubungi saya,
baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka mengatakan, sejarah G30S sudah
dibengkokkan. Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan

sejarah. Ini bukan untuk anda, tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh sejarah
yang dimanipulir, kata salah seorang dari mereka.
Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel Abdul
Latief juga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa Latief tidak
mengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong, Far Eastern Economic
Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar Latief yang lengkap disimpan di
sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, boleh dipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu
berarti G30S masih misteri.
Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat.
Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoar saya. Dalam
kebimbangan itu saya ingat pada seorang wartawan muda yang paling sering mewawancarai
saya, Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya
percaya padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia yang
menyusun potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya ingat.
Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum, G30S adalah
masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah pelaku sejarah G30S yang
mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin,
inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak.
Semoga ada manfaatnya. Amin.
KOMENTAR
Teror, teror, dan teror. Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiada yang
mampu menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965, dilanjutkan pada
Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI terus didengung-dengungkan, untuk
memperkuat rezim Soeharto. Teorinya, penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu
bagi rakyat. Rakyat diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental.
Sedangkan bagi mereka yang kritis, seperti para mahasiswa, dikenakan teror mental dan fisik.
Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan kekuasaannya malah
meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan suka berdemo, dilakukan penangkapan,
interogasi, bahkan disiksa. Pada pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik
keserakahan keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri
Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu Tien Persen. Artinya
Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan mereka, ibu Tien sering minta komisi
10% jika ada investor asing masuk ke Indonesia.
Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk kekuatan setelah
membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan simpatisannya. Seolah diumumkan, jangan
macam-macam dengan penguasa. Jangan coba-coba melawan penguasa. Dan, kritik dari
generasi muda juga diartikan sebagai melawan penguasa. Maka, harus dihabisi.
Bukti dari kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan rezim Orde baru
membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972, dilanjutkan dengan teror,
penangkapan serta penyiksaan terhadap mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 (yang
dikenal dengan Malari, yang merupakan singkatan dari Lima Januari).
Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang berdemo pada tahun
1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984 menghasilkan pembantaian Tanjung Priok.
Kekerasan demi kekerasan dialami rakyat. Setelah saya bebas, kemudian Soeharto jatuh dari

kursi kekuasaannya, kekerasan menjadi warisan buruk kepada masyarakat. Perkelahian massal
di Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media massa, memamerkan pembantaian yang
mengerikan.
Di koran dipasang foto kepala manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun santet di Jatim
malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal, ditusuk dengan bambu runcing
dan diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh dari kota kelahiran saya, kepala manusia yang
sudah terpenggal diikat lantas diseret dengan sepeda motor yang melaju keliling kota.
Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini sudah bukan dilakukan oleh tentara
lagi, tetapi oleh rakyat terhadap rakyat. Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian
kaum komunis yang sangat brutal di masa lalu pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi
berikutnya.
Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal yang dibantai pada
tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan Soepardjo yang dimanipulasi. Ketiga,
darah Sjam Kamaruzzaman yang dikhianati. Keempat darah jutaan kaum komunis, keluarga,
simpatisan komunis, keluarga mereka, kaum buruh, dan para petani.
Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah
merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di mana tempat Soeharto yang luput dari
hukum hingga buku ini ditulis? Saya berada di rumah sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai
menjelang tengah malam, lantas pulang ke rumah, kata Soeharto.
Sekali pun kita mencoba melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta, namun pulang
ke rumah dan tidur pulas setelah mengetahui pasti bahwa beberapa jam lagi rekan-rekan
jenderal akan bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan. Kualifikasi yang bagaimana yang
semestinya diberikan terhadap kejahatan Soeharto yang telah membunuh jutaan manusia dan
membuat sebagian lain merana di penjara? Ya, kualifikasi apa?
Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia mendapat dukungan
kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika Serikat yang mengklaim diri sebagai
negara demokrasi. Ini bentuk penghancuran struktur di suatu negara (Indonesia) yang sangat
besar sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya tidak pernah dibayangkan sebelumnya, oleh siapa
pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang menyaksikan langsung semua
peristiwa di tingkat elite politik Indonesia saat itu.
Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia. Ini
merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara mahakuasa imperialisme
internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia
hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifat dunia. Ini sebuah tragedi yang
secara moral merupakan kejahatan peradaban umat manusia. Sebagai konsekuensi logis dari
peristiwa ini adalah memfasiskan kehidupan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli
teori modernisasi.
Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke Indonesia. Tetapi di
Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti dengan lahirnya negara borjuis demokrasi
liberal, seperti di AS atau Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagai gantinya, ternyata,
perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasi militer. Pada perkembangan
berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa yang sulit diatasi oleh generasi penerus.
Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harus segera
diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama semua anak
bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua mereka, atas nama anak-anak
yang selama bertahun-tahun ikut ibu di penjara, atas nama golongan mana pun yang sudah

dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri kebungkaman ini. Kepada
mereka yang merasa sebagai demokrat, baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan
kebungkaman ini. Hari sudah tidak lagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun.
Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para jenderal
fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang kemudian terbukti
serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalisme abad ke-18 yang tak
manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya bangga, karena titik awal ini
dimulai oleh generasi muda Indonesia yang tidak ragu menghadapi kekuatan kriminal dan
uang hasil korupsi rezim Orde baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan
selama tiga dekade ini. Pecahkan kebungkaman!
Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S, KOMENTAR (18-9-2000)

Date: 2005/7/16
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=5

Betulkah PKI Terlibat G30S?

Betulkah PKI Terlibat G30S?


Asvi Warman Adam *)
SEJARAH, menurut E.H. Carr dalam buku teksnya What is History, adalah dialog yang tak
pernah selesai antara masa sekarang dan lampau, suatu proses interaksi yang
berkesinambungan antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya. Jadi, tidak ada tulisan
atau buku sejarah yang final. Bila ditemukan sumber atau fakta baru, buku sejarah yang lama
bisa direvisi. Demikian pula halnya dengan kasus Gerakan Tiga Puluh September 1965
(G30S).
Setelah Soeharto berhenti menjadi presiden pada 1998 lalu, sudah terbit beberapa buku baru
yang mengungkapkan hal yang selama ini kurang diketahui masyarakat. Misalnya buku Saskia
Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999), dan pleidoi
Kolonel A. Latief, Soeharto Terlibat G30S (2000). Di samping itu, telah terbuka pula berbagai
arsip mengenai Indonesia tahun 1965/1966 di AS dan Inggris. Kedua jenis sumber di atas
dapat dijadikan landasan untuk mempertanyakan kebenaran sejarah tentang peristiwa tersebut
versi pemerintah Indonesia, yang menyebut pelaku utamanya adalah PKI dan Biro Chususnya.
Dalam bukunya, Latief mengungkapkan bahwa ia ditangkap tanggal 11 Oktober 1965. Ketika
itu paha kanannya ditusuk bayonet dan lutut kirinya ditembak. Selama 10 tahun ia berada
dalam sel isolasi yang dikunci dan baru diadili pada 1978. Dari rangkaian tekanan di dalam
penjara atau ketika diperiksa dalam sidang Mahmilub, dapat dipertanyakan apakah pengakuan
sebelum dan dalam sidang itu dapat dijadikan sumber sejarah yang layak dipercaya.
Hal serupa dialami oleh Sulami, Wakil II Sekjen Gerwani, seperti dituturkan dalam buku
Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999). Wanita ini ditangkap pada 1967 dan baru diadili
pada 1975. Antara lain ia dituduh memberikan barang berharga kepada keluarga Bung Karno
di Istana Bogor. "Karena menolak tuduhan itu, interogator baju loreng marah dan
memerintahkan algojo agar kedua jari kaki saya diinjak dengan sepatu tentara.... Dengan
geram interogator bertanya, Bagaimana? Ngaku tidak? Saya diamkan saja. Ia teriak,
Cambuk sepuluh kali. Algojo penginjak kaki mundur dan tukang cambuk maju dengan rotan
belahan. Tiga malam saya mengalami keadaan itu...."
Kedua pengalaman di atas rasanya sudah cukup untuk meragukan validitas sumber yang
dipergunakan dalam menyusun sejarah versi pemerintah Orde Baru. Selain itu, dapat

dikatakan bahwa alasan utama untuk menyimpulkan bahwa PKI--sebagai organisasi-mendalangi G30S tidak kuat. Yang dipakai alat bukti adalah pengakuan Aidit sebanyak 50
halaman folio sebelum ditembak di Jawa Tengah, yang konon berbunyi, "Saya adalah orang
yang mempunyai tanggung jawab tertinggi pada peristiwa 30 September 1965 dan disokong
oleh penjabat PKI lainnya serta penjabat organisasi rakyat di bawah PKI" (Soegiarso Soerojo,
1988: 265). Apakah betul Aidit yang menulis surat pengakuan itu? Kalau benar ia mengaku,
mengapa ia ditembak mati?
Selain itu, selama ini bukti utama lainnya adalah penerbitan Harian Rakyat tanggal 2 Oktober
1965. Dalam buku putih yang disunting oleh Alex Dinuth itu (1997), dicantumkan isi Harian
Rakyat yang terdiri dari Pojok ("Gerakan 30 September sudah menindak Dewan Djenderal.
Simpati dan dukungan rakjat di pihak Gerakan 30 September.") Tajuk surat kabar itu antara
lain menyatakan, "Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD.
Tetapi kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini akan benarnja
tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk menjelamatkan revolusi dan
rakjat". Dimuat juga keterangan dari Anwar Sanusi (anggota Politbiro CC PKI) bahwa
"Situasi ibu pertiwi dalam keadaan hamil tua" dan karikatur H.R. dengan kata-kata "Letkol
Untung Komandan Bataljon Tjakrabirawa menjelamatkan Presiden dan RI dari coup Dewan
Djenderal".
Pada tanggal 1 Oktober 1965 malam, Pepelrada Jaya melarang terbit semua harian yang terbit
di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan
pihak militer. Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen
Umar Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpangsiur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30
September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap mediamedia pemberitaan".
Menjadi tanda tanya mengapa Harian Rakyat yang jelas menjadi terompet PKI selama ini bisa
terbit. Salah satu dokumen yang berasal dari Kedutaan Inggris di Jakarta (South-East Asia
Department, Indonesia, D H 1015/218 10 Oct 1965) menyingkap keraguan tentang isi koran
tersebut, apakah betul mewakili PKI. "My guess is that the editor took an unauthorised
initiative." Apakah koran kiri sengaja dibiarkan terbit untuk menjebaknya? Atau sebaliknya,
apakah tidak mungkin, bila isi Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965 dipersiapkan oleh pihak
lain.
Larangan terbit semua koran itu--meskipun hanya lima hari--sangat menentukan, karena
informasi dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. Ketakutan akan dibredel kembali
menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip pemberitaan sesuai dengan
keinginan pemerintah/pihak keamanan.
Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian militer
tersebut. Berita Yudha Minggu, 11 Oktober 1965, memberitakan bahwa tubuh para jenderal
itu telah dirusak, "Mata dicungkil dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka."
Sedangkan sukarelawan-sukarelawan Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan
mayat para jenderal itu. Padahal, menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu
meninggal dengan luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya.
Saskia Wieringa mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyiarkan
kampanye sadistis sejenis ini secara teratur sampai bulan Desember 1965.
Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut kemarahan rakyat
dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka yang dicurigai sebagai
anggota PKI. Kampanye untuk menghantam komunis ini mendapat dukungan penuh dari
dunia Barat.

Dalam dokumen dari pihak Inggris yang dialamatkan ke Singapura mengenai "Indonesian
Disturbances" (D 1835, 6 Oct 1965) ditulis "Meanwhile we certainly do not exclude any
unattributable propaganda or psywar activities which would contribute to weakening the
P.K.I. permanently. We therefore agree with the recommendation in last sentence your
paragraph 2. Suitable propaganda themes might be: P.K.I. brutally in murdering Generals
and Nasution's daughter; Chinese interference in particular arms shipments; P.K.I. subverting
Indonesia as agents of foreign Communists; fact that Aidit and other prominent Communists
went to ground; the virtual kidnapping of Sukarno by Untung and P.K.I.; etc., etc. We want to
act quickly while the Indonesian are still off balance, but treatment will need to be subtle."
Sebetulnya, kalau Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI tahun 1994 dibaca
dengan seksama, bisa diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan oleh pembuat buku
tersebut.
Dalam buku Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia itu terdapat
indeks nama sebanyak 306 orang tokoh (pada 10 halaman). Kalau kita melihat daftar indeks itu
terlihat bahwa kasus tersebut pada intinya menyangkut Presiden Sukarno (disebut 128 kali),
dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI (107 kali). Dalam
"indeks kata penting", tiga kata yang paling sering muncul adalah 1)Gerakan Tiga Puluh
September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal. Sedangkan kata "PKI" hanya disebut dua
kali.
Jadi, buku ini berbicara lebih tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum),
yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik.
Aidit memang Ketua PKI, tetapi dalam suratnya kepada Sukarno ia mengatakan bahwa
"Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang berpakaian Cakrabirawa
(tidak saya kenal), dengan keterangan: dipanggil ke Istana untuk sidang darurat kabinet,
tetapi kendaraan tersebut menuju ke jurusan Jatinegara. Kemudian pindah mobil terus
menuju ke sebuah kampung dan ditempatkan di sebuah rumah kecil. Di situ saya diberi
tahu bahwa akan diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan
Jenderal." (Soegiarso Soerojo, hlm. 262). Sedangkan Sjam sendiri dalam berbagai buku
masih diragukan identitas aslinya, apakah ia agen PKI yang disusupkan ke kalangan
Angkatan Darat atau sebaliknya, intel tentara yang menyamar di tubuh PKI, atau bisa
juga ia merupakan agen ganda.
Mengenai G30S, penulis sendiri berpendapat bahwa mustahil peristiwa berdarah itu dirancang
oleh pelaku tunggal, dan peristiwa tragis itu disebabkan oleh unsur internal (dalam negeri),
didukung faktor eksternal (unsur asing).
Tuduhan bahwa PKI menjadi dalang G30S sebagaimana dimuat dalam buku putih versi
pemerintah Orde Baru dan diajarkan di sekolah-sekolah patut dipertanyakan kembali.
Tanggal 1 Oktober 1965 malam, selain sebagai tanggal pembredelan pers yang pertama dalam
sejarah Orde Baru, bisa pula dianggap sebagai awal upaya perekayasaan sejarah di Indonesia.
Saya tidak membantah perihal tindakan brutal oleh PKI dan ormasnya sebelum tahun 1965.
Aksi sepihak yang dilancarkan oleh orang-orang komunis dalam mengampanyekan ketentuan
land reform telah menimbulkan konflik sosial, terutama di pedesaan. Di bidang seni dan
budaya terjadi pengekangan kebebasan bagi kelompok yang tidak mendukung Manipol, seperti
yang dialami oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan. Aktivis organisasi Islam PII dipermalukan
(seperti dalam insiden Kanigoro), HMI dituntut agar dibubarkan.

Namun, semua tindakan yang kasar itu telah dibalas dengan pembantaian terhadap paling
sedikit 0,5 juta orang yang dicurigai sebagai penganut paham komunis di Indonesia. Rasanya,
pembalasan itu sudah jauh dari setimpal.
Seyogianya rekonsiliasi antara umat Islam dan orang-orang kiri dilakukan pada 1966. Tapi itu
tidak dilakukan oleh rezim Orde Baru, yang malah sengaja mengawetkan masalah ini dan
menjadikannya sebagai alat legitimasi sekaligus alat represi.
*) Sejarawan LIPI
Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 2-8 Oktober 2000,pi
http://www.tempo.co.id/harian/kolom/02102000-1.html

Date: 2005/12/6
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=118

Catatan Harian Seorang Mantan Presiden

Catatan Harian Seorang Mantan Presiden


(Membongkar Dokumen Soeharto)
Oleh : Hafis Azhari
1
_____________
Sudah lama aku menunggu kesempatan seperti ini.
Sudah lama aku mempelajari buku-buku filsafat politik tentang cara-cara memimpin negeri.
Aku hafal betul tentang apa yang ditulis oleh Machiavelli tentang teori-teori kepemimpinan
serta cara-cara mengambil-alih kekuasaan. Aku sudah paham tentang tokoh-tokoh dalam
filsafat Jawa, khususnya mengenai trik-trik Raja Kresna untuk menyelesaikan berbagai
persoalan di muka bumi. Ya, dialah satu-satunya ahli strategi para Pandawa yang paling jitu.
Figur reinkarnasi dari Wisnu yang identik dengan kebijaksanaan sejati.
Bagaimanapun aku harus mengarungi dunia dan tradisi Jawa yang sudah berjalan selama
berabad-abad. Dunia pewayangan Jawa yang sangat kaya, dan begitu melekat dalam
pandangan hidup rakyat Nusantara, juga berpengaruh kuat dalam gerak-langkah hidup mereka.
Tentu tidak lupa aku mempelajari buku-buku dari Negeri Cina juga, khususnya mengenai
soal-soal kepemimpinan. Ada sebuah buku menarik berjudul Ping Fa yang dikarang oleh
Sun Tzu sejak 510 BC. Buku itu diterjemahkan dalam bahasa Prancis oleh Joseph Amiot sejak
1782 M, kemudian diinggriskan dengan judul Principles of War. Selama berminggu-minggu
aku merenungi isi yang terkandung di dalamnya, hingga sampailah pada kesimpulan bahwa
buku itu harus menjadi guru suciku, dan tidak boleh ada orang lain yang ikut membacanya.
Buku itu aku peroleh dari seorang petinggi militer, pada tahun-tahun ketika aku mengadakan
studi kemiliteran di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Sudah diterjemahkan
pula ke dalam bahasa Indonesia , entah oleh siapa. Namun bagaimanapun buku itu akan
kujadikan pegangan hidupku, dan sampai sekarang pun akan tetap menjadi rahasia dalam
hidupku.
2
_____________
Dulu waktu pangkat militerku masih rendah, bersama teman-teman tentara dan kerabatku,
sering kami selundupkan barang-barang milik perusahaan Negara, bahkan memanipulasi

dump kendaraan bermotor milik Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Kami pun sudah terbiasa
mengadakan pungutan-pungutan liar untuk barang-barang kebutuhan rakyat. Namun semua itu
tidak berjalan mulus. Suatu ketika kami terpergok dan tertangkap basah. Kemudian oleh
seorang jenderal diusulkan kepada Presiden Soekarno bahwa aku mesti dipecat dari dunia
kemiliteran. Seketika itu aku manfaatkan Jenderal TNI Gatot Soebroto bapak angkatnya Bob
Hasan agar menghadap Soekarno secara langsung, supaya dia memberi maaf dan
mengampuni segala perbuatan kami. Saat itu Soekarno pun mengusulkan agar kami dididik
dan disekolahkan saja, karena menurutnya, Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang
kita masih rendah, karena itu kita semua harus bertanggungjawab untuk mendidiknya dengan
baik, begitulah kata Soekarno, meskipun aku tidak paham apa yang diomongkannya itu.
Segeralah Pak Gatot Soebroto mengontak Soewarto, seorang komandan Seskoad sekaligus
agen aktif CIA, yang kemudian berhasil menatar dan membekaliku dalam suatu kursus regular
sebagai staf komando angkatan darat.
Mulai sejak itulah karir militerku cukup lancar dan terarah, meski semuanya tak terlepas dari
gagasan dan kebijakan Soekarno sendiri selaku Presiden RI . Oleh karena itu aku berusaha
merahasiakan periode ini dalam sejarah hidupku kelak. Aku tidak akan menyebut-nyebut soal
jasa-jasa Soekarno. Dia memang bukan sembarang orang dalam sejarah berdirinya republik
yang besar dan kaya-raya ini.
3
_____________
Peristiwa 30 September 1965 berkobar.
Keributan dan huru-hara di Jakarta membuat aku merasa tenang dan puas, seakan-akan
masadepan sudah bersinar dalam hatiku. Separah apapun kerusakan dan kerugian, bahkan
sebanyak apapun korban yang ditimbulkan, aku berusaha bersikap diam dan tak ambil peduli.
Biar sajalah kekacauan itu terjadi. Tiapkali ada krisis kepercayaan pada pemerintah, biasanya
kekerasan dan kekacauan timbul di mana-mana. Kalau perlu pembunuhan dan pembantaian
sekalipun.
Waktu itu pangkatku sudah Mayor Jenderal, dan posisiku sudah menjabat sebagai Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Sampai kapanpun aku tetap akan merahasiakan,
bahwa karena jiwa pemaaf dan kearifan Soekarno-lah yang membuatku berhasil dalam meniti
karir setinggi itu di dunia kemiliteran.
4
_____________
Sekali lagi, biar sajalah kerusuhan dan huru-hara itu terjadi.
Yang penting, sebelum tanggal 30 September 1965 posisiku harus berada di rumah sakit. Kini
sudah kubawa seorang anakku ke rumah sakit, karena kakinya kesiram sayur sop. Aku akan
menemaninya di rumah sakit, meskipun bisa diwakili oleh istriku atau anak sulungku, tetapi
akulah yang harus menunggunya di sana .
Soalnya, sebelum kejadian itu telah datang seorang Komandan Brigif bernama Latif ke
rumahku, untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal serta rencana sekelompok perwira
untuk mencegah percobaan kup oleh para jenderal, serta rencana untuk merebut
kepemimpinan Soekarno.
Pelapor itu aku catat sebagai orang berbahaya, dan kelak akan kuasingkan di suatu tempat
tersembunyi, serta tidak akan kubiarkan dia bicara di depan publik sampai kapanpun.
Orang bernama Latif itu sebetulnya tentara kepercayaanku sejak dulu. Waktu kehidupan
keluarga kami masih sulit, dialah yang carikan beras untuk kami, juga dia yang carikan uang
tambahan untuk keperluan keluarga kami.
Tapi bagaimanapun tetap aku catat sebagai orang berbahaya, supaya jangan membongkar
persoalan-persoalan penting di masa lalu.
Dalam pledoinya di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) orang ini memberi

pernyataan tegas:
Kenapa harus saya yang berdiri di sini, Pak Hakim? Kenapa bukan Soeharto? Padahal dia
sudah tahu akan adanya Gerakan di pagi hari.
Orang brengsek ini memang telah dua kali melapor sebelum peristiwa itu meletus. Pada
malam 30 September dia menghadap lagi ke rumah sakit, katanya akan dilancarkan Gerakan
pada pagi hari, guna mencegah terjadinya kudeta yang akan dilakukan oleh Dewan Jenderal.
Laporan itu tidak kutanggapi dan aku diam saja. Walaupun aku paham, mestinya tugas
pengamanan ada di tanganku. Ya, sebagai Panglima Kostrad sekaligus orang kedua di
Angkatan Darat, pada malam itu mestinya kuberitahu semuanya agar bersiap-siaga untuk
pengamanan, karena pagi harinya akan ada Gerakan.
Tapi apapun yang akan terjadi, biar sajalah. Toh sejak dulu aku jarang diperhitungkan di
Angkatan Darat. Kalau ada rapat-rapat petinggi militer, sepertinya mereka tidak pernah
mengundangku. Boleh jadi mereka berpendapat bahwa aku ini bukan siapa-siapa, dan tidak
mengerti apa-apa.
Dan sekarang, buktikan, siapa di antara kami yang menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Cara apapun harus ditempuh, dan aku akan memperjuangkannya sesuai pendirian dan
keyakinanku.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar jam 06.00 pagi aku akan mengenakan seragam tempur,
untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa aku sudah menghadap Presiden. Kalau Jenderal
Ahmad Yani sudah mati, bukankah aku sebagai orang kedua yang mestinya memberi
laporan pada Presiden Soekarno?
Tapi aku hanya berpura-pura di hadapan mereka semua aku tidak perlu
bertanggungjawab apapun yang terjadi, biar sajalah.
5
_____________
Sekarang impian dan ambisiku sudah tercapai. Aku adalah Presiden kedua Republik
Indonesia . Jalan apapun harus ditempuh. Aku manfaatkan segala pengetahuan dan
pengalaman hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakan semuanya itu.
Kini Presiden Soekarno sudah jatuh. Menyusul pembantu-pembantu dan para pendukungnya
harus dijatuhkan pula. (Lebih baik kupergunakan istilah diganti daripada dijatuhkan).
Jadi, aku mengganti kepemimpinan Soekarno sekan-akan akulah yang dipercayakan
menduduki tampuknya. Kini mereka semua harus diamankan (aku sengaja tidak memakai
istilah ditangkap). Ya, mereka adalah the founding fathers, para perintis dan pendiri republik
yang berupaya keras untuk berkorban memerdekakan bangsa ini. Dan siapa pula yang tidak
mengenal Soekarno, satu-satunya pahlawan yang sanggup mempersatukan wilayah Nusantara,
menciptakan persatuan di antara banyak suku, agama dan ideologi. Dia berhasil merumuskan
dasar negara serta diproklamasikannya Republik Indonesia . Daya pukaunya dalam berpidato,
telah sanggup membuat rakyat bergerak penuh semangat, bahkan rela berkorban dan mati
demi kemerdekaannya.
Tentang itu semua, sejarah kita belum mencatatnya secara utuh dan bulat. Para sejarawan
masih takut. Karena itu istilah revolusi kelak akan kami batasi sebagai perang kemerdekaan.
Adapun lahirnya Pancasila, kelak kami rahasiakan pada angkatan muda.
Kini sejarah baru harus diciptakan. Aku kerahkan para penulis dan budayawan yang
memihakku, serta kuberikan sarana dan fasilitas agar mereka menulis tentang seluk-beluk
sejarah Indonesia . Kemudian kusensor karya-karya mereka secara ketat, agar terjadi
keseragaman pandangan bahwa sejarah bangsa dan negeri ini identik dengan peristiwa 30
September 1965, yang di kemudian hari kuberi nama G30S/PKI.
Maka apapun yang terjadi sebelum itu, sebesar apapun, tak perlu dikategorikan sebagai sejarah
Indonesia .
6
_____________

Belakangan muncul beberapa penulis dan budayawan yang menaruh perhatian khusus pada
pledoi dan kesaksian Latif di pengadilan Mahmillub. Kemudian muncul pula sebuah penerbit
buku independen yang menamakan diri Hasta Mitra, dan dimotori oleh Joesoef Isak,
Pramoedya Ananta Toer dan Hasjim Rachman.
Segeralah kukerahkan para penulis dari kalangan sejarawan, budayawan dan seniman agar
mereka kompak mendukung pernyataanku tentang seluk-beluk peristiwa 30 September 1965
itu. Telah kubentuk tim khusus untuk menciptakan sejarah baru tentang peristiwa itu; telah
kukumpulkan sekelompok masyarakat untuk membikin kesaksian palsu; telah kubentuk tim
dokter khusus untuk menyampaikan pembuktian yang dimanipulasi; juga telah kubangun tugu
besar dan museum khusus untuk menciptakan kenangan dan ketakutan rakyat; bahkan aku
namai museum itu dengan sebutan Museum Lubang Buaya.
Aku ciptakan kreasi itu dengan detil-detil cerita fiktif yang menakutkan. Dan beginilah kisah
kejadian itu:
Pada pagi hari suatu Gerakan dari Partai Komunis Indonesia telah membantai dan membunuh
jenderal-jenderal yang merupakan tulang-punggung bagi berjalannya revolusi negeri ini.
Jenderal-jenderal itu telah diinterogasi dan dilukai sekujur tubuhnya. Kemaluannya dipotongi,
dibiarkan mereka merintih bergelimpangan. Sedangkan para wanita yang tergabung dalam
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) berlenggak-lenggok mengelilingi para korban, sambil
mengadakan tarian-tarian cabul.
Yang jelas, aku harus membuat kreasi ini sebagus mungkin, agar seluruh masyarakat
merinding ketakutan. Bahkan kuciptakan kreasi khusus, bersama bukti-bukti palsu bahwa
Soekarno telah terlibat aktif dalam peristiwa tragis itu. Aku jadikan peristiwa itu patokan
untuk memancing rasa kebencian. Untuk mengungkap gambaran-gambaran sang musuh
sebagai penitisan kebejatan, sebagai lambang penderitaan manusia Indonesia sejak 1965
sampai kapanpun di masa yang akan datang.
Ya, sudah kupelajari teknik-teknik seperti ini dari buku-buku tentang angkatan perang. Suatu
teknik yang terbilang ampuh, dan sepanjang sejarah banyak dimanfaatkan angkatan perang di
seluruh dunia. Dan kini, begitu banyak sarana teknologi untuk memberitakan kabar, sebagai
pengungkap lambang dan simbol-simbol, yang kelak dapat membuat bulu kuduk siapapun
akan merinding ketakutan.
7
_____________
Bicara tentang angakatan muda dan mahasiswa, yang kelak disebut sebagai Angkatan 66,
mereka punya andil tersendiri yang dapat kumanfaatkan bantuannya pada peristiwa 30
September 1965 itu.
Ya, dari merekalah gerakan dimulai, dari mulut merekalah sumpah-serapah dilontarkan, di
kampus-kampus, di lapangan hingga sampai ke jalan-jalan raya. Dari fasilitas militer juga
disediakan truk-truk hingga panser untuk mengangkuti mereka agar berteriak-teriak
menentang Soekarno. Spanduk-spanduk, yel-yel bertebaran di mana-mana. Belum lagi
bantuan dana dari CIA, ditambah lagi bantuan jaket-jaket kuning agar dikenakan oleh para
demonstran.
Lantas kukerahkan utusan khusus untuk memaksa orang-orang Telkom agar memutus aliran
telpon pada saluran-saluran yang telah kutentukan.
Bersamaan dengan itu Mayjen Pranoto Reksosamodra telah ditunjuk oleh Presiden Soekarno
selaku Care-Taker MENPANGAD. Aku harus mengupayakan agar dia tak bisa dihubungi,
kalau perlu mencegahnya agar tidak datang memenuhi panggilan Presiden di Halim.
Sebelum itu, pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar jam 06.30 pagi, telah kuutus Brigjen dr.
Amino agar memberitahu Pranoto perihal penculikan Letjen Ahmad Yani beserta jenderaljenderal lainnya. Pranoto kontan berangkat menuju Markas Besar Angkatan Darat (MBAD)
serta mengadakan rapat darurat. Setelah ditampung hasil laporan dari sumber-sumber yang
telah diatur sedemikian rupa, maka rapat MBAD menyimpulkan begini:

Letjen Ahmad Yani beserta lima jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang
belum dikenal. Dengan ini rapat memutuskan bahwa Mayor Jenderal Soeharto, panglima
Kostrad, agar mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat yang sedang fakum.
Pagi itu melalui kurir khusus, keputusan rapat segera disampaikan kepadaku, yang waktu itu
sudah menunggu di Makostrad.
Dan sewaktu muncul siaran RRI tentang penunjukan Pranoto sebagai Care-Taker, maka
berturut-turut utusan Presiden memanggilnya agar segera menghadap ke Halim. Para utusan
itu ialah Letkol Infantri Ali Ebram, Brigjen Sutardio, Brigjen Sunario dan Kolonel Bambang
Wijanarko.
Tapi apapun yang mereka lakukan, kini Pranoto sudah masuk jebakan dalam hubungan
komando-taktis di bawah kewenanganku. Dia tidak akan bisa menghadap Presiden tanpa
mendapat izin dan restu dariku. Dan sewaktu dia meminta izin, jelas aku larang mentahmentah dengan suatu ancaman:
Kalau kau memaksakan diri menghadap Presiden, kami tidak bertanggungjawab akan
kemungkinan adanya korban lagi.
8
_____________
Tibalah waktunya pada tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses
kejadian, ketika secara resmi aku telah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), maka
segeralah dibentuk susunan staf-staf baru, dan kini Pranoto hanya kami tempatkan sebagai
perwira tinggi yang diperbantukan pada KSAD.
Kemudian pada tanggal 16 Februari 1966 kuperintahkan pasukan khusus untuk menahan
Pranoto dengan tuduhan: terlibat dalam G30S/PKI. Pada tahun itu kuperintahkan agar ia
segera dikenakan tahanan rumah, hingga kemudian dipindahkan ke Inrehab Nirbaya pada
tahun 1969, juga dengan tuduhan yang sama. Dan untuk memperketat pengucilan dirinya
sebaiknya ia dikenakan skorsing sebagai anggota angkatan darat, dengan tidak diberi gaji
skorsing, juga tidak perlu diberi tunjangan apapun.
Lantas memasuki tahun 1981 ketika posisiku sebagai Presiden semakin diakui masyarakat,
dan setelah keberhasilanku menciptakan mitos Bapak Pembangunan, maka kuperintahkan
Panglima Kopkamtib untuk membuat surat pembebasan resmi. Hingga terhitung sejak tanggal
16 Februari 1981 Pranoto kubiarkan bebas dari tahanan, yang berarti bahwa selama 15 tahun
ia mendekam dalam tahanan, tanpa pemberhentian dan pemecatan resmi dari keanggotaan
Angkatan Darat. Juga tanpa pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara resmi.
Kini kubiarkan ia bebas dan kalau perlu silakan berbaur dengan masyarakat luas. Lagipula
siapa yang akan mengakui keberadaan dia, dan siapa pula yang akan mendengarkan
omongannya. Kini kepercayaan publik telah terpusat kepadaku sebagai Bapak Pembangunan,
terutama jasa-jasaku dalam membangun negeri bersama dengan segala keamanan dan
ketertiban nasional.
Orang-orang semacam dia tidak perlu direhabilitasi, serta tidak usah diberi uang pensiun
sampai kapanpun. Dan pada suatu hari aku pun menerima laporan bahwa ia telah wafat di
suatu rumah kumuh di wilayah Kramatjati, Jakarta .
Pranoto adalah satu dari sekian banyak pembantu dan pendukung Soekarno, yang kubiarkan
mengalami nasib hidup seperti itu. Sekarang buktikan, siapa yang menang dan berjaya di
antara kita.
9
_____________
Sudah lama di kalangan masyarakat terjadi polemik yang dapat kusimpulkan menjadi dua
golongan, yakni mereka yang berpendapat bahwa revolusi sudah selesai, sedangkan yang lain
mengatakan bahwa revolusi belum selesai.
Soekarno pernah menegaskan bahwa revolusi Indonesia harus melingkupi segala bidang

sosial-politik, budaya dan ekonomi sekaligus. Bahwa revolusi kemerdekaan 1945 hanyalah
jembatan emas, dan kita harus memperjuangkan kemerdekaan dalam arti yang sebenarsebenarnya.
Entahlah, apa lagi yang diomongkan oleh Soekarno. Aku tidak paham.
Sekarang aku hanya membagi menjadi dua kekuatan saja, yakni siapa-siapa yang berpihak dan
mendukung pemerintahanku, sedangkan yang lain dapat digolongkan sebagai kelompok yang
membahayakan, dan karenanya harus disingkirkan.
Dari kalangan seniman sudah jelas siapa mendukung siapa. Siapa kubu bagi siapa. Maka
segeralah dikerahkan kesatuan-kesatuan tentara guna membakar rumah-rumah tokoh seniman
yang membangkang. Dan kami tinggal menunggu kabar-berita dari para utusan, apakah
tugasnya berhasil, tanpa peduli berapa korban yang ditimbulkan dari aksi-aksi pembakaran
rumah itu. Lagipula, mereka toh akan mengira bahwa tindakan itu akibat dari ulah-ulah lawan
polemik mereka sendiri sesama seniman.
Ada seorang seniman yang karena keberaniannya membuat kami kesulitan untuk
menangkapnya, hingga sesudah berkali-kali utusan dikerahkan, selalu saja membawa laporan
yang sangat menjengkelkan. Maka kubuatkan saja skenario khusus untuk proses
penangkapannya.
Seniman satu itu pernah menulis novel tentang taktik perang gerilya sejak masa kemerdekaan.
Dari catatan sejarah dapat dilihat bahwa ia pernah malang-melintang di dunia revolusi, bahkan
pejuang keras dalam menyelesaikan persoalan sejarah sastra Indonesia . Pada awal revolusi
1945 dipimpinnya sebuah majalah yang kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah
pendudukan Belanda. Dia aktif menyebarkan selebaran-selebaran gelap untuk usaha-usaha
revolusioner, yang membuatnya pernah tertangkap dan dikucilkan di Pulau Edam pada tahun
1949.
Waktu penangkapannya, militer Belanda menyita empat novel karyanya mengenai peristiwaperistiwa pada awal-awal revolusi 1945.
Ya, tentulah dia adalah orang yang patut diperhitungkan dengan serius. Yang jelas, dari
beberapa tulisannya dapat dipahami bahwa dia adalah pendukung setia dari kebijakankebijakan politik Soekarno.
Dan untuk menghadapi seorang ahli perang gerilya, tentulah dibutuhkan siasat-siasat khusus
untuk dapat meringkusnya
10
_____________
Setelah berhasil ditangkap, aku mengutus seorang mayor dan dua letnan untuk menginterogasi

seniman itu. Aku tinggal menerima laporan dari mereka, dengan menyediakan sebuah tape

recorder dari hasil rekaman selama interogasi itu:

Ditanyakan oleh seorang letnan, bagaimana pendapatnya tentang Gerakan Untung, kemudian

seniman itu menjawab:

Aku tidak tahu apa-apa tentang Gerakan itu

Apakah Anda membenarkan Gerakan itu?

Seniman itu diam, kemudian jawabnya:

Kalau dapat kesempatan mempelajari peristiwa Gerakan 30 September, mungkin dalam

beberapa tahun akan bisa saya jawab.

Anda percaya negara Indonesia ini akan menjadi negara komunis?

Mungkin tidak.

Kenapa?

Karena faktor geografi dan konservatifitas rakyat kita.

Rupanya memang sulit untuk mencari-cari kesalahan dari pernyataan-pernyataan seniman itu.

Namun karena dia termasuk pendukung setia dari pemikiran-pemikiran Soekarno, aku

berkesimpulan bahwa orang ini akan membawa masalah di kemudian hari. Aku tetap

menggolongkan dia sebagai orang berbahaya yang harus dijadikan korban.

Dan bukankah Raja Kresna dalam filsafat Jawa tidak mengkhawatirkan berapapun jumlah

korban, demi kelancaran pembangunan dan stabilitas negeri?


11
_____________
Untuk menangani para pembantu dan pendukung Soekarno rupanya tidak bisa seperti
membalikkan telapak tangan. Aku harus mengerahkan ahli-ahli strategi dari kalangan militer,
serta harus diperbantukan oleh pihak intelijen internasional seperti CIA. Dukungan dan
bantuan Amerika memang sangat menggiurkan bagi kepentingan Angkatan Darat Indonesia,
yang sejak tahun 1955 telah terang-terangan menampakkan kecurigaanya pada Soekarno,
terlebih-lebih ketika ia diakui sebagai pemimpin besar Asia-Afrika.
Maka segeralah di bulan-bulan awal tahun 1966, harus dikerahkan aksi-aksi profokasi untuk
membuat keributan dan kekacauan di sekitar ibukota Jakarta, untuk menunjukkan bahwa
pemerintahan Soekarno sudah tidak berdaya lagi untuk mengatasi aksi-aksi kerusuhan itu.
Selain itu, aku akan mengusahakan agar Soekarno membuatkan surat-resmi yang berisi
pelimpahan kekuasaan, dengan ancaman bahwa aku tidak mau bertanggungjawab mengenai
korban-korban, sekiranya kekuasaan negeri tidak dilimpahkan kepadaku.
Saat itu di Istana Merdeka akan dilangsungkan Sidang Kabinet untuk membahas persoalan
tiga tuntutan rakyat (tritura), maka dikerahkanlah sekelompok pasukan tentara berpakaian
preman untuk membikin keributan di sekitar Istana Merdeka, serta untuk mengacaukan
berlangsungnya Sidang Kabinet yang akan segera dilangsungkan. Kemudian ketika sidang
dialihkan ke Istana Bogor, kuciptakan aksi-aksi teror hingga acara pun gagal lagi untuk ke
sekian kalinya.
Sementara itu di Jakarta sedang hiruk-pikuk oleh kerusuhan dan bentrokan keras antara
mahasiswa dan aparat, maka korban-korban pun berjatuhan di sana-sini, antara lain dua
korban yang kami tampilkan untuk menunjukkan ke publik bahwa pemerintahan Soekarno
telah layak disebut sebagai diktator. Dua korban itu adalah Arif Rahman Hakim dan Zainal
Sakse, yang kelak akan kuberi gelar Pahlawan Ampera atau Amanat Penderitaan Rakyat,
yang di kemudian hari berhasil memuluskan harapanku untuk membentuk Kabinet Pertama
Orde Baru, dengan sebutan Kabinet Ampera.
12
_____________
Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga orang Jenderal bawahanku telah kuutus untuk membawa
surat pada Presiden Soekarno, yang isinya telah diatur sedemikian rupa, bahwa aku, Soeharto,
tidak akan bertanggungjawab mengenai keamanan negeri, seandainya tidak diberikan
kekuasaan penuh untuk menumpas G30S/PKI di seluruh Indonesia.
Aku mintakan tiga Jenderal itu agar mendesak Presiden, supaya ia bersedia membuatkan surat
perintah khusus kepadaku, yang kelak surat itu disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah
Sebelas Maret), meskipun redaksinya telah kurubah dari perintah pengamanan Jakarta,
menjadi pelimpahan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Seketika itu kami umumkan
mengenai surat itu, dan kami nyatakan pada masyarakat bahwa surat itu adalah mukjizat dari
Tuhan yang dianugerahkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia .
Sebagai gebrakan awal, meskipun dengan cara-cara teror dan kekerasan, kami pun berhasil
membubarkan Partai Komunis di seluruh Indonesia . Dalam beberapa hari, limabelas menteri
pendukung Soekarno berhasil kami tangkap. Aku berpura-pura tidak tahu ketika Soekarno
menyatakan kaget mendengar gebrakanku ini. Kabarnya dia bertanya-tanya, kenapa Soeharto
melakukan tindakan-tindakan yang tidak dikonsultasikan lebih dahulu? Maka dalam hati aku
menjawab, mengapa harus dikonsultasikan? Ini adalah politik, dan politik adalah siasat, dan
siasat yang jitu harus diraih dengan sekuat-mungkin tanpa perlu konsultasi dari pihak
manapun.
Kemudian langkah-langkah selanjutnya, sebaiknya dipercepat sajalah
Pada tanggal 25 Juli 1966 harus diadakan Sidang Umum IV MPRS. Kabinet pemerintahan

Soekarno (Dwikora) yang 15 menterinya telah ditahan, segara kami bubarkan. Sebagai
gantinya kami bentuk kabinet baru AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat), yang tentunya
akulah yang harus tampil sebagai Ketua Presidiumnya. Dan puncaknya segeralah
diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 hingga 12 Maret 1967 yang membuat
aku diangkat menjadi Pejabat Presiden, dan kontan disambut hangat oleh Jenderal Besar A.H.
Nasution, yang kemudian menandatangani Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.
Sejak saat itu, dicabutlah semua kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno.
Lantas diperintahkan agar dia dilarang keras melakukan kegiatan politik. Dan jalan terbaik
sebaiknya dijebloskan sajalah ke dalam tahanan, menyusul para pembantu dan pendukungpendukungnya di seluruh tanah air.
Kini sejarah tentang mereka akan kami gelapkan. Pemahaman angkatan muda tentang mereka,
akan kami alihkan. Keluarga-keluarga dan anak-cucu mereka, biarlah mengais-ngais rezeki
berkalang tanah. Semua jasa-jasa dan jejak-langkah perjuangan mereka, akan kubuat kabur
dan suram.
Biar sajalah angkatan muda tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri.
Ya, semuanya itu bermula dari Supersemar. Bukankah itu suatu siasat jitu untuk menciptakan
iklim perebutan kekuasaan berdasarkan cara-cara konstitusional?
13
_____________
Kini kekuatan dari kalangan pers tengah dipersiapkan. Pers-pers pendukung Soekarno, serta
pers-pers berhaluan kiri sudah dibredel semuanya. Para wartawannya sudah kami tahan. Kami
mengutus beberapa tentara untuk menculik seniman nasional Trubus, Japoq Lampong serta
pengarang lagu Genjer-genjer, namun kemudian para penculik mengabarkan adanya
kecelakaan di tengah jalan. Aku memaklumi mereka, dan aku paham apa yang mereka
maksudkan.
Pada suatu hari aku juga menerima berita dari Solo tentang tertangkapnya seorang tokoh dari
Partai Komunis. Secepat kilat aku harus mengatur strategi agar dia jangan sampai diperiksa,
atau memberi pernyataan apapun di muka pengadilan.
Mula-mula Kolonel Yasir dan pasukannya kuperintahkan melakukan penggrebekan di wilayah
perkampungan Sambeng. Tokoh partai itu rupanya bersembunyi di rumah seorang pensiunan
pegawai bea-cukai, yang kabarnya hidup bersama seorang cucunya yang masih gadis remaja.
Ketika gadis itu diancam mau digagahi beramai-ramai, maka kakek tua itu terpaksa
memberitahu tempat persembunyian sang tokoh partai, yakni di belakang lemari yang tersekat
tembok dinding. Seketika itu aku mengontak Kolonel Yasir agar segera menghabisi orang itu
di tengah jalan, sebelum tiba di ibukota Jakarta . Setelah itu kami pun mengatur siasat untuk
penggelapan mayatnya, agar orang-orang tidak dapat menemukan di mana rimbanya.
Di kemudian hari, persoalan ini memang dipertanyakan oleh sejarawan-sejarawan angkatan
muda yang berani mengungkap teka-teki ini: Mengapa seorang tokoh penting yang menjabat
Sekjen PKI serta menjabat resmi selaku Menko, telah dibunuh begitu saja, tanpa proses
pengadilan?
Pernyataan ini senada dengan para penulis sejarah yang berani menggugat: Mengapa
Soekarno yang sudah siap diperiksa untuk menyampaikan yang sejujurnya perihal seluk-beluk
G30S, lantas dikenakan tahanan rumah hingga wafatnya?
Untuk menangani persoalan pertama, aku mengarang jawaban seperti ini: Dikarenakan tokoh
partai itu melawan dan hendak melarikan diri, terpaksa kami tembak di tengah jalan.
Kemudian untuk menangani persoalan kedua, aku sudah mengatur jawaban seperti ini:
Dikarenakan Soekarno adalah bapak bangsa, maka kita harus mengamankan beliau. Tidak
boleh ia dibawa ke pengadilan, karena kita harus menghormatinya, mikul duwur, mendem
jero.
Dua jawaban itu kukira sudah cukup menjadi alasan kuat untuk mengibuli para sejarawan,
budayawan atau kalangan pers di negeri ini.

14
_____________
Ada seorang cendikiawan muslim dalam suatu wawancara di suratkabar, mengutip sebuah
ayat Al-Quran yang berbunyi: Barangsiapa memulai kezaliman maka ia akan berada dalam
pertentangan yang tak berkesudahan.
Aku tidak paham apa yang diomongkan si cendikiawan itu.
Pada kesempatan lain dia mengutip dua buah ayat Al-Quran: Barangsiapa membunuh
manusia bukan karena kejahatannya maka ia telah membunuh seluruh manusia, barangsiapa
memelihara hidup seorang manusia maka ia telah menghidupkan seluruh manusia. Mereka
yang beriman, dan tidak mengaburkan imannya dengan kejahatan, mereka itulah yang
memperoleh kedamaian dan bimbingan yang benar.
Bahkan pernah pada suatu acara dialog di televisi, tokoh satu itu mengupas dua buah hadits
Nabi yang berbunyi: Seorang mukmin senantiasa mendapat kelonggaran dari agamanya
selama ia tidak melakukan pembunuhan tanpa hak. Dan jika seorang penguasa mati dalam
keadaan masih menipu rakyatnya, maka Tuhan akan mengharamkan sorga baginya.
Aku tidak mengerti apa maksudnya mengutip-ngutip ayat dan hadits semacam itu. Tapi dalam
komentarnya tentang sosial-politik, tokoh satu itu kelihatan gegabah dan sembarangan.
Dikiranya siapa dia. Punya kekuatan apa.
Dari sindiran-sindirannya sering diungkap mengenai keluargaku atau keluarga cendana,
bahkan disinggungnya perihal bisnis anak-cucu serta kerabat-kerabatku dengan gaya
bahasanya yang mengandung teka-teki. Dikiranya aku tidak paham sama sekali, ke mana arah
pembicaraannya itu.
Mau apa dia. Apa mau menggulingkan dan mengambil-alih kepemimpinan yang susah-payah
sudah kuraih mati-matian.
Akhirnya tokoh satu ini pun patut diperhitungkan kelak demi berjalannya stabilitas dan
keamanan negara.
15
_____________
Pembangunan sarana dan infrastruktur sebaiknya dipacu secepat-mungkin. Kucetuskan istilah
Ideologi Pembangunan agar merasuki pikiran masyarakat. Investor-investor datang
membanjiri negeriku. Bantuan-bantuan ekonomi kami manfaatkan untuk pembangunan
gedung-gedung megah di sana-sini. Kekayaan alam kami keruk dan jalur-jalur perekonomian
dibentangkan, dan keuntungannya dimanfaatkan. Pengusaha-pengusaha asing kami undang
demi kelestarian dan jaminan keamanan kapitalnya.
Tentulah tawaran jutaan dollar yang dipromotori IMF sebagai modal pembangunan sungguh
menggiurkan. World Bank, IGGI dan sekian lembaga internasional menawarkan programprogramnya. Dan tanpa perlu pikir panjang, kami sambut semuanya dengan senang hati.
Seorang pakar ekonomi Profesor Kurt Biedenkopf pernah menyatakan: Ternyata bangsabangsa kaya hanya dapat bertahan dengan melakukan ekspansi untuk mengorbankan bangsabangsa yang lemah.
Pernyataan macam itu searah dengan pidato-pidato Soekarno selama Konferensi Asia-Afrika
di Bandung. Meskipun aku tidak banyak menyimak apa yang diomongkan mereka-mereka itu.
Aku tak ambil pusing.
Biar sajalah tatanan ekonomi berjalan. Segalanya mungkin bagi manusia dan boleh dikerjakan
oleh siapapun. Karena itu para anak-cucu dan kerabat terdekatku kupercayakan untuk
menangani bisnis-bisnis penting berskala besar. Segala sarana dan fasilitas buat mereka segera
kupermudah. Maka kebutuhan pun segera diproduksi, agar produsen memproduksi
pemenuhan kebutuhan yang terus-menerus disiasati. Tidak usah dipikirkan mana kebutuhan
yang sebenarnya, dan mana yang harus direkayasa sedemikian rupa. Sampai produksi menjadi
tuan dari kebutuhan dan dari manusia. Produksi mengabdi pada manusia ataupun manusia
mengabdi demi produksi.

Untuk kelancaran semuanya mau tidak mau harus diperjelas siapa yang harus dibantu dan
dilindungi, dan siapa-siapa yang pantas untuk dikorbankan.
Campur-tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menegakkan Ideologi Pembangunan yang
sudah kucetuskan. Sistem ekonomi koperasi yang digagas oleh Mohammad Hatta sengaja
kami abaikan. Soalnya dia termasuk dari sekian banyak pembantu Soekarno yang paling
dekat.
Segala sistem aparatur sampai wilayah agama sekalipun harus ditangani dan dikendalikan oleh
negara. Para tokoh agama, budayawan hingga cendikiawan harus ditundukkan untuk
mengabdi pada kebijakan dan ketetapan pemerintah, karena yang boleh berlaku hanyalah
ideologi dan tafsiran negara. Maka kami putuskan untuk membentuk tim propaganda khusus
bersama departemen penerangan, untuk menyeragamkan segala informasi pada seluruh lapisan
masyarakat, hingga kalangan ulama dan kiai-kiai pesantren di seluruh pelosok negeri.
16
_____________
Ada lagi seorang tokoh publik dari kalangan penyanyi yang menjadi idola kaum muda selama
beberapa dasawarsa. Kini dia semakin berani mengungkap beberapa peristiwa sengit yang
sengaja sudah dirahasiakan. Namun dengan lantang dia membongkar tentang peristiwa Malari,
Tanjung Priok, Timor-Timur hingga Aceh. Belum lagi masalah konflik Kedungombo, Nipah
dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan pada kesempatan lain dia pernah menyindir-nyindir
soal korban-korban Orde Baru, pembangunan semu, kekayaan anak-cucu presiden dan para
elite politik Indonesia . Kontan saja kalangan pers selalu mengikuti gerak-gerik dan jejaklangkahnya.
Karena itu, penyanyi satu ini harus menjadi perhitungan tersendiri, dan aku harus merancang
siasat khusus untuk dapat melumpuhkannya.
Kini aku makin tekun merumuskan tentang siapa-siapa yang layak menduduki pemerintahan
daerah, dari tingkat pusat hingga bawah, bahkan rektor-rektor universitas pun harus ditentukan
oleh kekuatan Orde Baru. Sistem untuk menyaring dan memilih mereka sederhana saja, yakni
seberapa jauh pemahamannya tentang peristiwa 30 September 1965, serta seberapa besar
kewibawaannya di tengah masyarakat. Kalau sudah memenuhi kriteria, maka gulingkan saja
mereka yang sudah duduk memimpin, atau sebaiknya digeser secara halus dan pasti, supaya
masyarakat maklum bahwa cara-cara konstitusional telah ditempuh oleh si calon pemimpin
baru itu.
Untuk menangani wilayah-wilayah tertentu yang sulit diatasi, seperti Timor-Timur, Aceh dan
lain-lain, maka operasi militer besar-besaran akan kami kerahkan. Beberapa petinggi-militer
kupercayakan untuk menjadi komandan penuh, khususnya mereka yang pernah kuutus
mengikuti program Terrorism in Low Intensity Conflict, yakni suatu pelatihan training
bagaimana membuat aksi-aksi profokasi dan teror, yang diselenggarakan oleh Pentagon
melalui program kerjasama militer IMET.
17
_____________
Rupanya makin lama makin memerlukan penanganan serius. Aku mencoba menenangkan
masyarakat, seakan-akan keadaan aman dan tidak terjadi apa-apa.
Tiga majalah dan tabloid dibredel sekaligus, agar tak ada lagi yang mencoba menghasut dan
memprofokasi masyarakat, serta agar menjadi pelajaran berharga bagi yang lainnya.
Namun reaksi yang terjadi malah sebaliknya. Seketika itu muncul gelombang protes untuk
membela majalah dan para wartawan yang bertugas. Dan setelah kami terbitkan majalah baru
sebagai tandingannya, rupanya gelombang protes semakin marak dan meluas di mana-mana.
Mereka menyerukan pembelaan terhadap Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Udin
Syafrudin, Xanana Gusmao, Budiman Sujatmiko, Wiji Thukul dan banyak lagi yang lainnya.
Belum lagi penghargaan Hak Asasi Manusia kepada pahlawan buruh yang bernama Marsinah.

Bahkan penganugerahan Nobel Perdamaian kepada politikus Ramos Horta dan rohaniwan
Ximenes Belo untuk perjuangan Timor-Timur. Ditambah lagi kasus-kasus baru karena
maraknya teknologi komunikasi dan media informasi: di Indonesia bagian timur diberitakan
tentang ratusan ribu korban rakyat Timor-Timur, di bagian barat dikabarkan ribuan korban
rakyat Aceh. Belum lagi Ambon, Maluku, Poso, Lampung, Makassar dan seterusnya.
Mau tidak mau semuanya harus ditangani secara serius. Mau tidak mau harus terjadi
bentrokan di sana-sini. Mau tidak mau harus ada korban-korban baru yang menjadi tumbal,
agar dijadikan pelajaran berharga bagi yang lainnya.
Ya, mengapa tidak. Bukankah stabilitas nasional dan roda-roda pembangunan harus berjalan
terus.
Kini aku pun tinggal memantau dan menerima hasil laporannya:
Kematian wartawan bertambah lagi; bentrokan mahasiswa dan aparat semakin menelan
banyak korban; para aktifis LSM sudah diamankan; para penulis buku tentang Soekarno sudah
ditangkapi; ratusan orang telah diciduk dan dikurung secara rahasia; puluhan orang yang
tertembak di lapangan sengaja dirahasiakan jejak-jejaknya, dan banyak lagi yang lainnya.
18
_____________
Namun angkatan muda negeri ini semakin berani dan berani saja. Ada apa ini. Dari mana asal

muasalnya, dan watak siapa yang mereka warisi.

Ada lagi laporan mengenai ulah seorang sastrawan yang baru dibebaskan dari Pulau Buru,

tiba-tiba dia menulis buku yang berjudul Arus Balik. Coba bayangkan, judulnya saja Arus

Balik. Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini?

Sebelum itu pun sudah diluncurkan oleh Penerbit Hasta Mitra, sebuah buku yang berjudul,

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, menyusul sebuah buku lagi: Era Baru Pemimpin Baru: Badio

Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru.

Tak berapa lama mulai bermunculan penerbit-penerbit independen yang mengikuti jejak Hasta

Mitra, lantas menerbitkan buku-buku yang berjudul seperti ini: Kehormatan bagi Yang

Berhak, Bayang-bayang PKI, kemudian seorang etnis Cina berani-beraninya meluncurkan

otobiografinya dengan judul: Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno.

Tentu saja aku harus membuat gebrakan untuk melarang semua buku-buku semacam itu.

19
_____________
Tapi makin lama keadaan makin parah saja. Gelombang demonstrasi makin marak di manamana. Negeri ini seperti dikepung oleh gurita raksasa yang membuat aku merinding ketakutan.
Bantuan-bantuan ekonomi dicabut dari negara-negara asing. Timor-Timur menuntut
kemerdekaan mutlak. Aceh dan Irian Jaya ikut-ikutan bergolak. Sedangkan di Jakarta sendiri,
kerusuhan terjadi di mana-mana. Gedung-gedung megah terbakar, pusat-pusat pertokoan
dijarahi massa , bahkan dalam satu hari dikabarkan telah terjadi pemerkosaan massal yang
mengorbankan 150 lebih para wanita dari etnis Cina.
Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini?
Para investor dan pengusaha asing pada kabur ke negerinya masing-masing. Mereka menuntut
kejelasan tatanan ekonomi serta penyelenggaraan hak asasi manusia yang baik di Indonesia .
Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini?
Bukankah lebih dari 30 tahun aku memimpin negeri ini, dan selama itu tak pernah kuhadapi
hal-hal aneh yang mengherankan macam ini? Aku tidak paham aku tidak ngerti semua
kejadian ini ampun, aku sudah tidak sanggup lagi.
Namun tiba-tiba mereka yang ikut-serta mendirikan pemerintahan Orde Baru pada hengkang
dan berlarian ke sana kemari. Mereka telah berpaling dari komitmen semula mereka saling
berpencar dan kocar-kacir tak keruan.
Lantas siapa yang akan menanggung semuanya ini di mana kawan-kawan dan mitra-mitra

bisnisku di mana tanggungjawab mereka kenapa mereka diam saja kenapa mereka tak
ambil peduli apakah aku harus segera melarikan anak-cucu dan semua kerabatku ke luar
negeri.
20
_____________
Bagaimanapun aku harus berusaha bersikap tenang. Akan kurancang siasat jitu untuk mundur
dari kursi pemerintahan. Akan kurekayasa bahasa yang tepat untuk dapat menenangkan
masyarakat. Sebab ada seorang seniman memakai istilah terjengkang dari kursi kekuasaan.
Aku harus memasyarakatkan istilah Jawa, yakni lengser keprabon (yang berarti mundur
secara baik-baik).
Aku harus manfaatkan siasat-siasat lamaku, serta mengatur situasi dan kondisi untuk
menyelesaikan kepemimpinanku secara sah dan konstitusional. Bukankah cara-cara semacam
ini pernah dipercayai masyarakat, hingga berhasil mengangkatku menjadi orang nomor satu di
negeri ini?
Akan kuciptakan suasana seakan-akan aku dengan sukarela meletakkan jabatan serta
memberikan mandat kepada Wakil Presiden. Aku yakin masyarakat tidak banyak komentar.
Mereka tidak mengerti apakah cara-cara ini legal atau tidak, karena aku telah berhasil
mengelabui mereka agar tidak paham dan buta politik. Aku yakin bahwa mereka akan tetap
menghormatiku dan tunduk kepadaku. Juga akan kusebarkan berita dan informasi di seluruh
jaringan televisi dan radio, bahwa saat ini aku tidak memiliki kekayaan sesen pun yang
tersimpan di bank. Kini sudah kuatur siasat jitu bersama anak-cucu dan kerabatku, agar aku
jangan sampai dipersalahkan di muka pengadilan, supaya segala kekayaan yang tersimpan di
bank-bank luar negeri menjadi aman dan terlindungi. Aku akan manfaatkan semuanya itu
untuk keperluan anak-cucu dan keturunanku, dan jangan sampai jatuh di tangan negara.
Sampai kapanpun akan kurancang siasat ampuh, seperti yang sudah-sudah, agar masyarakat
tetap bisa dibodohi dan dininabobokan.
21
_____________
Terhitung mulai tanggal 21 Mei 1998 aku lengser kepabon atau mundur secara baik-baik.
Secara konstitusional murni aku menyerahkan mandat kepada wakilku, seorang teknolog lugu
dari kalangan sipil yang selama ini terang-terangan menganggapku sebagai guru. Akan
kubiarkan dia memimpin negeri ini dengan segala kepolosan dan keluguannya.
Dan seperti dugaanku, hari-hari pemerintahannya kemudian dihiasi dengan keributan dan
kekerasan brutal yang memuncak di sana-sini. Para pembantu dan bekas-bekas pendukungku,
bahkan kesatuan militer hingga organisasi agama, yang dulu memanfaatkan sarana-fasilitas
dari Orde Baru, yang dulu kami berikan bantuan moril dan materil, kini semakin adu otot,
saling tuding dan saling menyalahkan.
Sudah kuduga sebelumnya, mereka kemudian menjadi petualang-petualang politik di tiap-tiap
kota dan propinsi, berebut kursi dan kekuasaan, menjadi raja-raja kecil, seakan-akan akulah
yang menjadi guru dan teladan bagi mereka semua. Sementara itu, para koruptor kakap yang
selama ini menjadi kaki-tanganku, dengan lihainya menyembunyikan diri untuk mundur
selangkah, serta membiarkan hutang negara menumpuk, hingga menimbulkan krisis ekonomi
yang berkepanjangan, yang mengakibatkan kerusuhan dan keributan terus merebak di seluruh
penjuru negeri.
Biar sajalah semuanya itu terjadi. Toh aku sudah menjadi masyarakat biasa, dan aku tak perlu
tanggungjawab mengenai semua huru-hara dan kekacauan di negeri ini. Aku perintahkan
seorang anakku untuk merawatku dengan baik-baik, seakan-akan aku menderita sakit
permanen, atau kalau perlu pura-pura sakit jiwa, agar aku terselamatkan dari tuntutan
pengadilan.

22
_____________
Partai-partai baru berdiri di sana-sini. Kekacauan semakin merebak di mana-mana. Angkatan
muda menuntut agar aku beserta keluarga dan kroni-kroniku segera diadili atas pelanggaran
HAM selama 32 tahun, juga tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mahkamah
agung sesuai lobi dan rancanganku hanya memusatkan perhatian pada soal KKN, dan
masyarakat pun sepertinya maklum.
Sebelum itu, tentu saja sudah kuatur siasat dan strategi untuk menggelapkan, memalsukan
serta memindah-tangankan semua nomor-nomor rekening atas namaku baik di dalam dan
luar negeri hingga pembuktian materil tidak lengkap, dan karenanya tuntutan hukum bisa
dimentahkan. Dan ketika saatnya diadakan pemeriksaan, orang-orang kejaksaan rupanya
cukup lihai untuk menghimpun pertanyaan yang membuatku bisa berkelit ke sana kemari,
hingga suasana tetap mengambang dan menemui jalan buntu.
Ketika angkatan muda semakin berduyun-duyun memadati halaman kejaksaan agung,
pemeriksaan pun dipindahkan ke tempat lain, tanpa sepengetahuan publik. Seketika itu para
mahasiswa dan pemuda nampaknya sudah tidak bisa dikelabui lagi. Ada apa ini? Watak dan
keberanian siapa yang mereka warisi? Perjuangan mereka sepertinya tanpa pamrih, dan atas
dasar kemauan dan semangat mereka sendiri.
Padahal pemuda angkatan 66 masih bisa diperalat dan dikelabui untuk menjatuhkan
Soekarno, dengan berbagai sarana dan fasilitas yang disediakan buat mereka.
Tapi kali ini, coba bayangkan, mereka secara serentak meneriakkan yel-yel dan spandukspanduk bertuliskan:
Bersihkan Kabinet dari Orang-orang Orde Baru
Soeharto Dalang Semua Bencana
Hentikan Penjajahan Gaya Orde Baru
Rombak Badan Yudikatif Indonesia
Bersihkan Aparat-aparat Hukum yang Tersangkut dengan Orde Baru
Bung Karno dan Pendukungnya Harus Direhabilitasi
Pada aksi-aksi demonstrasi di kampus-kampus dan jalanan, nampak pula spanduk-spanduk
berbunyi:
Usut Tuntas Surat Perintah Sebelas Maret
Bubarkan 3 Partai Bentukan Orde Baru
Jadikan Museum Lubang Buaya Sebagai Museum Rekayasa Orde Baru
Tindak Tegas Para Perampok Hutan
Perkuat Sistem Pertahanan Maritim Kita
Revolusi Belum Selesai
Kembalilah pada Bung Karno dan Semangat 45
23
_____________
Kini aku tidak mau lagi mengikuti berita-berita yang terjadi di negeri ini. Aku harus mengisi
masa-masa tuaku dengan istirahat penuh di rumah, meskipun aku masih kuat untuk berziarah
ke makam istriku di Solo, atau menengok anakku di Nusakambangan. Entah karena kesalahan
apa dia bisa mendekam di sana (tak seorang pun memberitahu aku).
Sekarang aku tidak peduli bagaimana nasib anak-anakku di kemudian hari, bahkan nasib
bangsa ini pun, aku tak mau ambil pusing. Ya, aku hanya senang mengikuti acara-acara
televisi yang menyiarkan perjudian dan kuis-kuis, seperti Who Want to be a Millioners, baik
dari dalam dan luar negeri. Selain itu, aku tidak peduli dan tidak mau ambil pusing perihal
demonstrasi, spanduk-spanduk dan yel-yel yang bertebaran di sana-sini. Biar sajalah pemuda

dan mahasiswa itu berteriak-teriak menggugat kami, toh mereka tidak paham tentang dunia
hukum dan pengadilan Indonesia yang masih bisa disetting untuk bersikeras membelaku
beserta kerabat dan saudara terdekatku.
Kini aku sudah mempersiapkan pengacara-pengacara handal dan termahal di negeri ini, sambil
kupancing daya tarik mereka agar bersimpati kepadaku. Mereka sudah kukerahkan untuk
serentak tampil di depan publik, agar menyampaikan kesan-kesan baik tentang aku dan
keluargaku. Aku berusaha bersikap sopan dan lembut di hadapan mereka, supaya mereka
makin gigih dalam pembelaanya terhadap kami.
Sampai kapanpun aku berusaha dengan cara apapun agar masyarakat Indonesia tetap
menjadi bangsa-bangsa budak dan kuli, yang mudah diperalat dan dikelabui oleh segalamacam alasan dan perkataanku.
***
(Ditulis untuk menggugat buku Sukarno File karya Antonie CA Dake,
dari hasil penelitian penulis selama 9 tahun, sekaligus sebagai korban
langsung dari kejahatan rejim Soeharto dan Orde Baru).
Hafis Azhari
Ketua K2PSI (Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia )

Sumber:
http://www.geocities.com/k2psi_lsm/artikel1.htmtarget="_blank">

Date: 2005/12/8
Section: Kesaksian
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=124

Remembering 30th September 1965: Introduction [01-04]

Remembering 30th September 1965: Introduction


September 07, 2004
The last day of September marks the anniversary of the most infamous date in Indonesian
history. Events on the evening of 30th September 1965 set off a chain of events that left up to
1 million Indonesians dead, slaughtered, their bodies buried, burnt or cast into the sea.
President Sukarno survived the violence but was a political victim, deposed by a military
general by the name of Suharto. Suharto, with Western patronage, would rule Indonesia for
the next 22 years.
Suhartos iron grip on power ensured that the truth of the events on that fateful night would
never be discussed. But since his departure in 1998 and the dawn of Reformasi, there have
been murmurings. Mass graves have been uncovered. Survivors have raised their voices and
fingers pointed at Suharto, blaming him for the coup and violence that followed. Even talk of
an official government inquiry to uncover the truth.
Many Indonesians wish never to speak of the horrific days and months that followed 30th
September 1965; others are just plain ignorant, victims of institutional brain-washing; yet
others seek to exhume the skeletons, grieve and let justice be done. Only then can Indonesia as
a nation move on. The families of those who died deserve nothing less.
So as we count down to the 39th anniversary of that infamous night over the coming weeks,
Macam-Macam will bring a series of posts that seeks to retell the mystery-shrouded events of
that night and the days that followed as well as touching on the alternate theories that have
been put forward over the years to explain what happened and who was pulling the strings.
Update: It seems that the DPR has passed a bill to establish a Truth and Reconciliation
Commission with the aim of uncovering the truth behind the murderous excesses of the
Suharto era, all the way back to the bloody war for independence, 1945-49.
Source: Macam-Macam
Australian excursions in South-East Asia
http://www.theswanker.com/

Date: 2005/12/11

Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=136

Orde Baru Sebagai Boneka International Gangster

Capitalism

Orde Baru Sebagai Boneka International Gangster Capitalism


Apakah orde baru adalah pemerintahan boneka buatan Amerika? Inilah pertanyaan yang
muncul di benak saya ketika membaca buku yang ditulis oleh Geoff Simons berjudul
Indonesia: The Long Oppression. (London: MacMillan/N.Y.: St. Martin, July 2000).
Sebagian besar dari uraian Simon tentang kekejaman regim militer dalam masa pemerintahan
otoriter orde baru dalam buku setebal 304 halaman itu, bukanlah hal baru bagi masyarakat
kita, yang secara dekat mengamati dan mengalami kekejaman system pemerintahan orde baru.
Sebagaimana terungkap dengan sangat jelas pada judul buku itu, uraian Simons
membangkitkan kesadaran dunia internasional pada umumnya dan warga Indonesia pada
khusunya akan sebuah bangsa yang membangun sejarahnya lewat suatu opresi yang sangat
panjang. Sejarah nasional mencatat bahwa sejak Portugis mendarat di bumi pertiwi pada abad
ke 16 hingga kejatuhan Soeharto pada akhir abad ke 20 ini, masyarakat kita hidup dalam
situasi terjajah dari kekuatan opresif yang satu ke kekuatan opresif yang lain, dari kesadisan
kolonialisme asing ke kesadisan kediktatoran penguasa bangsa sendiri (orde baru).
Orde baru memulai kekuasaannya dengan darah, menerapkan system kediktatorannya dengan
darah, dan mengakhiri kekuasaannya juga dengan darah. Sampai pada akhirnya, orde baru
menghantar kita pada babak baru sejarah yang Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) sebut
sebagai sejarah korban (Suara Pembaharuan, 3/11/2000).
Dibentengi oleh kekuatan penguasa asing, khususnya Amerika, Inggris, Australia dan Jepang,
kelompok negara yang Simons sebut sebagai international gangster capitalism, penguasa orde
baru terus menerapkan system opresi yang tak berperikemanusiaan atas rakyat bangsanya
sendiri, demi interest imperialisme kooperatif gaya baru, yang beraksi atas nama agung
globalization.
Menghadapi berbagai aksi opresi tak berperikemanusiaan selama masa pemerintahan orde
baru, kelompok negara yang tergabung dalam international gangster capitalism itu berusaha
untuk menghadirkan diri sebagai pahlawan yang ingin menyelamatkan bangsa Indonesia
melalui kritikan serta berbagai ancaman embargo dan lain sebagainya. Tapi siapa harus
mengeritik siapa?
Simons melukiskan bahwa Amerika, Inggris, Australia dan Jepang memainkan peran sentral
dalam melahirkan figure yang tampil sebagai penguasa yang kejam selama masa pemerintahan

orde baru. Lewat coup detat, Amerika telah menghantar Soeharto ke pucuk pimpinan orde
baru. Amerika juga telah membesarkan ABRI yang setelah kejatuhan Soeharto dituduh
sebagai kambing hitam atas semua aksi pemerkosaan nilai kemanusiaan di negara ini.
Simons menampilkan perspektif baru penemuan sejarah hasil penelitiannya sendiri untuk
melengkapi sekaligus mempertegas kemiripan berbagai warna sejarah yang muncul sebelum
dan sesudah kejatuhan orde baru. Sebelum kejatuhan Soeharto, transparansi sejarah orde baru
sudah diungkapkan oleh beberapa ilmuwan asing.
Dalan artikel berjudul Lessons of the 1965 Indonesian Coup (1991), Terry Cavanagh
melukiskan penemuan historis serupa. Cavanagh menulis, Kudeta berdarah di Indonesia
merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan
alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata
Asia' (jewel of Asia). Amerika yang sejak awal abad ke 20 telah menguasai eksploitasi minyak
bumi (Caltex di Sumatera) dan karet di negeri ini, pasti tidak mau kehilangan interest
ekonominya ketika PKI berhasil menguasai massa dan kaum buruh untuk berjuang melawan
eksploitasi kaum borjuis asing (termasuk Amerika) yang pada waktu itu menguasai sebagian
besar kekayaan alam di negari ini.
Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya
di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan pemeritahan
dictator yang dipimpin oleh kaum militer. Untuk itu bantuan finansial, penyediaan
perlengkapan perang dan latihan bagi kaum militer Indonesia merupakan langkah konkrit
Amerika untuk mempersiapkan apa yang kita kenal sebagai peristiwa penganyangan PKI.
Cavanagh menulis, Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah
operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan
militer TNI yang dilatih oleh AS.
Tentu saja keberhasilan Soeharto dan pasukannya menjalankan amanat CIA untuk
melaksanakan holocaust pada tahun 1965, serta memulai babak baru pemerintahan dictator
orde baru merupakan kemenangan bagi Amerika untuk menguasai eksploitasi kekayaan alam
di negari ini. Cavanagh membenarkan kenyataan ini dengan melukiskan bahwa setelah kudeta
1965, kegunaan kediktatoran Soeharto bagi kepentingan imperialisme AS telah tergaris
bawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke Konggres AS pada tahun 1975.
Sementara itu, berdasarkan dokumen CIA dan wawancara langsung dengan para diplomat
Amerika, khususnya Marshal Green, duta besar Amerika yang sangat berpengaruh selama
masa penganyangan PKI, Mike Head, dalam artikelnya berjudul US Orchestrated Suharto
1965-66 Slaughter in Indonesia , - artikel yang dibagi atas tiga bagian dan dipublikasikan oleh
World Socialist Web Site (WSWS edisi 19, 20 da 21 July 1999), - secara tranparant
melukiskan keterlibatan diplomat Amerika dan CIA (agen rahasia Amerika), dalam
keseluruhan proses penganyangan PKI and perencanaan pembentukan pemerintahan militer
dibawah komando Soeharto.
Warna baru penulisan sejarah dari para ilmuwan sejarah asing ini tentu saja bukanlah sesuatu
yang begitu mudah untuk segera dipercaya oleh nurani polos anak bangsa yang selama 32
tahun diindroktinasikan oleh kebenaran sejarah ala orde baru. Selama 32 tahun, kita telah
diyakinkan bahwa penguasa orde baru adalah pahlawan yang telah menyelamatkan bangsa ini
dari pengaruh komunis.
Tapi situasi politik setelah kejatuhan orde baru menunjukkan indikasi yang sangat kontras.
Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa fugur-figur yang sekian lama dianggap sebagai
pahlawan dan penyelamat bangsa, kini tidak lebih dari cuma seorang pengkianat bangsa.
Penyembahan atas kesakralannya berubah menjadi caci-maki atas pengkianatannya.

Dengan meragukan sejarah nasional versi orde baru dan mengungkapkan transparansi sejarah
versi baru, Simons, Mike dan Cavanangh menantang kita untuk secara kritis meninjau kembali
kebenaran sejarah nasional dan melihat siapa melakukan apa kepada siapa dalam sejarah
bangsa kita. Karena sebuah bangsa yang kuat dan reformasi yang sesungguhnya tidak akan
bertahan kalau dibangun di atas kepalsuan sejarah.
Karena itu, kebenaran sejarah nasional harus ditulis kembali oleh anak-anak negeri ini. Karena
mengungkapkan kebenaran sejarah adalah bagian utama dari proses reformasi itu sendiri.
Kalau kebenaran sejarah tidak diungkapkan, maka selalu ada kemungkinan bahwa kita akan
kembali ke tapak sejarah yang sama. Berpedoman pada sejarah nasional yang kabur, seorang
pengkianatpun bisa dimitoskan sebagai seorang pahlawan.
Tentu saja, usaha untuk mengungkapkan kebenaran sejarah yang sesungguhnya bukan hal
yang sangat mudah. Tapi harus disadari bahwa pemalsuan sejarah oleh penguasa yang otoriter
bukanlah pengalaman historis yang secara eksklusif hanya terjadi dalam sejarah bangsa kita.
Kalau kita mau memberikan sebuah contoh, sejarah Jepang di bawah Kaisar Showa bisa
diangkat sebagai suatu perbandingan.
Di bawah kaisar Showa Jepang juga mengalami situasi represif yang mirip dengan situasi
opresif seperti yang kita alami di bawah pemerintah orde baru. Selama Kaiser Showa masih
menduduki kursi kekaiseran di Jepang, tidak ada orang yang berani mengungkapkan
kebenaran sejarah sekitar tragedy perang yang diprakarsai oleh kaisar Showa selama perang
dunia II di Asia dari tahun 1931 sampai tahun 1945. Malah setelah kematian kaisar Showa,
Jepang membutuhkan 11 tahun lamanya untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya
dari aksi kesadisan sejarah dan mental kolonial Kaisar Showa terhadap bangsa-bangsa di Asia.
Di tengah krisis masa transisi, dimana bangsa berjalan di atas hukum yang borok dan
dikomando oleh pemimpin yang membingungkan dan lemah kredibilitasnya, agak sulit bagi
kita untuk menentukan secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis
kembali kebenaran sejarah bangsa ini. Tapi kesadaran bahwa sejarah ala orde baru adalah
sejarah yang rapuh, palsu dan eksploitatif, harus menjadi awal yang memotivasi kita untuk
segera menulis kembali sejarah bangsa dan membangun konstruksi sejarah yang benar dan
kukuh bagi generasi mendatang.
Karena itu, warna baru dari transparansi sejarah orde baru yang kini ramai diungkapkan baik
oleh sejarahwan dalam negeri maupun luar negeri, sebenarnya harus ditanggapi sebagai suarasuara kritis yang mengundang setiap manusia di negeri ini untuk membebaskan diri dari sikap
terpaku pada kebanggaan hampa dan kekaguman murah atas kesadisan drama politik yang
diperagakan oleh international gangster capitalism,yang telah mengunakan kediktatoran orde
baru untuk mengembangkan imperialisme kooperatif gaya baru dan mengeksploitasi kekayaan
alam di bumi berlabel Jewel of Asia ini. Suara ingin merdeka yang terus diperdengarkan
hingga saat ini di Aceh and Irian jaya mungkin harus dipahami sebagai reaksi ingin merdeka
dari penerapan sistem imperialisme kooperatif yang memeras rakyat dan mengeksloitasi
kekayaan alam di daerah itu.
Dalam konteks kedasadaran ini, reformasi, khususnya reformasi historis, harus menjadi awal
dari usaha kita untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa bangsa kita bukan cuma
boneka berlabel permata Asia (jewel of Asia). Inilah PR yang harus kita jinjing bersama untuk
mengarungi arus dasyat globalisasi abad ke 21.
(Steven Mere, Mahasiswa Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang) 1

Date: 2005/7/17
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=15

Penjara LOWOKWARU 1965/1966

Catatan Seorang Eks Tapol


Oleh : Harsutejo
Pada pagi hari 1 Oktober 1965 aku tidak mendengarkan siaran apa pun, kami tidak memiliki
pesawat radio. Aku baru mendengarnya pada sore hari di rumah teman, ketika Jendral Suharto
bicara di radio. Maka hari-hari berikutnya diwarnai dengan berbagai perdebatan di kalangan
kami beserta kebingungan dan ketakutan akan tindak kekerasan yang terjadi di banyak tempat.
Perdebatan kian sengit ketika ada seruan kabur tak jelas yang bisa ditafsirkan macam-macam
untuk menyelamatkan diri, seperti kata-kata defensif aktif.
Apanya yang defensif, dan apanya yang aktif. Kemudian tiap hari orang digerebek, ditangkap,
ditahan, dicomot. Selanjutnya berita lebih seram, orang dibantai baik yang digelandang dari
tempat tinggalnya maupun dari tempat kerjanya, juga di jalanan, di tempat persembunyian,
bahkan juga dari tempat tahanan dan penjara. Menyelamatkan diri dan menghindar dari
penangkapan, bersembunyi? Menghadapi peristiwa lokal, tiap orang mampu melakukannya.
Tapi ini peristiwa politik nasional dengan mobilisasi massa luar biasa. Hanya para profesional
yang bisa lari dan bersembunyi dengan rapi, itu pun belum tentu berhasil terus menerus dalam
jangka panjang. Kian ke pelosok, makin runyam keadaannya, di sana terjadi pembantaian di
tempat.
Sanak keluarga, teman, atau orang yang kau kenal baik, mungkin sedang diincar untuk diciduk
nanti malam atau esok. Atau di antara orang itu justru ada yang akan menyeretmu ke mulut
macan atau buaya.
Akhir bulan Oktober 1965 isteriku sedang hamil tua anak kami pertama. Jam 3.00 pagi buta
pintu rumah kami diketuk agak keras dan tidak sabaran. Setelah bangun aku bersiap untuk
menghadapi apa yang akan terjadi. Seperti telah terlatih beberapa minggu, isteriku yang
membukakan pintu. Aku segera keluar kamar menemui mereka, seorang polisi dan tentara.
Dengan sopan mereka mengemukakan maksudnya untuk mengamankan diriku, meski tidak
ada ancaman orang, binatang, api, atau banjir yang membahayakan. Ini sekedar istilah konyol
untuk kata menangkap, bagian dari setumpuk kosa kata ciptaan orde baru yang menyesatkan
dan membodohi dan menipu. Kami baru beberapa hari pindah ke tempat baru itu, rumah tante
isteriku yang hidup sendiri setelah ditinggal ibunya di Jl. Kenanga.
Kami mendapatkan sebuah kamar. Kekayaan kami terdiri dari sebuah tempat tidur, sebuah
almari pakaian dan dua rak buku kecil yang penuh. Terutama rak buku menjadi sasaran
penggeledahan.
Beberapa minggu sebelum G30S, di Jakarta telah terjadi demonstrasi besar anti India karena

sikap Sondhi, seorang India pengurus suatu badan olah raga Asia yang dipandang menghina
Indonesia. Notabene demo itu dilakukan oleh golongan kiri. Rupanya sang polisi masih
disegarkan ingatannya terhadap kejadian tersebut. Maka dikumpulkanlah semua buku saya
yang berbau India untuk disitanya termasuk semua text books sejarah kebudayaan dan
kesenian India, buku karya Rabindranath Tagore, riwayat hidup Jawaharlal Nehru dan
Mahatma Gandhi. Tentu saja buku yang berbau Rusia, apalagi terbitan Moskow, The Road To
Life sebanyak tiga jilid karya Makarenko, seorang pedagog Rusia tersohor, juga diboyongnya.
Percobaanku untuk menjelaskan bahwa itu semua buku-buku sejarah dan pendidikan sesuai
dengan sekolah dan pekerjaanku, mendapatkan jawaban klasik, "Hanya untuk diperiksa, nanti
dikembalikan."
Barangkali jawaban demikian mengacu pada text books polisi. Bagaimana akan dikembalikan
kalau tidak pernah dibuat berita acara penyitaan sementara. Tapi soal buku ini begitu remeh
temeh terbanding urusan kejahatan kemanusiaan yang terjadi.
Di luar rumah ternyata berkumpul segerombolan orang yang mengawasi dengan berbagai alat
kekerasan yang tajam maupun tumpul. Rupanya mereka menjadi kurang bernafsu setelah
menyaksikan sang pesakitan cumalah seorang berbadan ceking yang sekali tepuk akan
mampus. Buru-buru isteriku memberikan jaket untuk kukenakan beserta cucuran air mata.
Mencinta itu saling mendidik. Ini bagian panjang dari proses percintaan kami dalam rumah
tangga baru, ibarat pemahkotaan dan penyaliban sekaligus seperti yang digambarkan pujangga
Khalil Gibran, tentu dalam skala mini saja.
Pagi itu jalan-jalan kota Malang mulai menggeliat. Kami sampai ke Polresta Malang di pojok
jalan Oro-oro Dowo dan Kayutangan. Setelah didata, aku diantar ke sebuah bangunan seperti
los pasar. Di sana sudah ada barang 150 orang, ada yang tidur, duduk-duduk, rebahan, ada
yang sedang salat. Beberapa orang telah kukenal, seorang dosen, pegawai penerangan,
wartawan, mahasiswa. Ada juga seorang lurah yang telah kukenal ketika sebagai mahasiswa
melakukan acara turun ke desa, di suatu pelosok Malang Selatan. Ia menceritakan kisah
pelariannya setelah seluruh perangkat desanya dibantai habis di depan keluarganya masingmasing. Hanya secara kebetulan saja ia bisa selamat dan lari ke kota Malang, kemudian
menyerahkan diri ke kantor polisi setelah menggelandang beberapa waktu. Ia tak tahu nasib
anak isterinya. Tentunya cerita itu ulangan yang ke sekian kalinya meski masih dengan getar
emosi. Ia menerima solidaritas teman-teman lain berupa ganti pakaian lengkap dengan sarung.
Ia hanya berbekal naluri dan pikiran mnyelamatkan diri serta baju yang menempel.
Banyak dari kami masih lebih beruntung daripada banyak orang lain yang langsung dibantai di
tempat seperti Pak Marsidik, seorang Digulis, Heruliman yang langsung diantar ke kuburan
untuk disembelih setelah dijemput dari tahanan. Betapa ironis, Heru pun disebut diamankan.
Masih banyak kisah lain, satu keluarga dibantai di tempat sampai cindil abange, sampai
bayinya yang masih merah di bawah pengawasan aparat. Itulah salah satu aspek kekenyalan
budaya Jawa, masih merasa beruntung dalam keadaan sulit, mendorong optimisme, mengacu
berpikir positif. Agaknya disebut juga rasa bersyukur. Meski begitu aku tak tahu bagaimana
caranya seorang isteri dan ibu bersyukur, sedang ia menyaksikan sendiri pembantaian suami
dan anak remajanya, anak satu-satunya. Dengan gampangan dan dingin bisa dijawab, ia patut
bersyukur karena ia masih hidup dengan segala kemungkinan yang terbuka. Manusia bukan
sekedar badan fisik apalagi angka, ia sekaligus pikiran, perasaan, pengalaman, intelektualita,
juga emosi sedih marah sakit hati takut, dengan segala naluri dan keterikatannya.
Pada hari ke lima penahananku, suatu malam beberapa puluh di antara kami disuruh bersiap
dengan barang milik kami untuk dipindahkan ke suatu tempat tanpa disebutkan.
Pemindahan itu pun tak diberitahukan kepada para keluarga. Ini juga suatu metode teror
massal yang dilakukan penguasa kepada para keluarga tahanan. Beberapa orang benar-benar
panik karena teringat Pak Lurah beserta beberapa orang lain yang dijemput polisi beserta
sejumlah pemuda, selanjutnya raib untuk selamanya. Seorang polisi tanpa maksud menakuti-

nakuti menceritakan hal itu, mayat mereka dibuang ke Kali Brantas. Sementara itu isteriku
termasuk sebarisan isteri para tahanan yang kebingungan mencari suaminya.
Sampai di situ teror tersebut telah mencapai sasarannya. Kemudian hari isteriku menceritakan,
ia datang tiap hari selama seminggu ke kantor polisi dengan perut buncitnya. Para petugas
tetap tidak memberikan keterangan tentang keberadaanku, juga tak mengijinkannya bertemu
Kapolres. Isteriku pun pergi ke Kodim dan Korem. Kedua instansi itu menyarankannya untuk
ke kantor polisi.
Dalam kekhawatiran dan ketakutan semacam itu bakat intelijen isteriku timbul. Ia bisa
mendapatkan alamat rumah kepala polisi lengkap dengan nomor teleponnya. Beberapa teman
dekatnya sangat mengkhawatirkan, bahkan mengecam langkah yang diambilnya sebagai
membahayakan diri sendiri. Isteriku cukup gigih, orang lain menamainya keras kepala.
Akhirnya ia mendapat kepastian akan keberadaanku. Sejumlah keluarga lain ikut mendapatkan
manfaat. Meski ia tak dapat menemuiku, kirimannya berupa satu bungkus abon, satu bungkus
sambal pecel, dan satu setel pakaian kusambut dengan sukacita. Beberapa hari kemudian aku
mendapatkan berita, sebenarnyalah isteriku mengirimkan lebih banyak dari yang kuterima. Itu
bukan cerita baru, jeruji besi dan tembok tebal itu tidak cuma menyekap dan memisahkan
orang dari dunia ramai, ia juga menggerogoti dan menyunat milik pesakitan yang sekarat
sekali pun.
Dalam keadaan sulit dan kritis, tanpa sadar orang membuka topengnya masing-masing. Dalam
keadaan semacam itu, dengan mudah tanpa belajar psikologi, orang bisa mengamati dan
mendapatkan potret kepribadian sebenarnya dari seseorang. Pada hari-hari pertama di penjara
aku mendapatkan seseorang yang dikenal sebagai jago pidato berkelahi dengan seorang buta
huruf untuk memperebutkan puntung rokok sipir penjara. Berdasar sejumlah pengalaman
dapat kutarik kesimpulan sementara, dalam keadaan kritis darurat semacam itu perokok berat
dengan cepat jatuh moralnya. Maaf perokok berat!
Agaknya kebiasaan merokok dapat memberikan kontribusi negatif dalam kepribadian
seseorang. Dan topeng-topeng lain pun pada tanggal. Seseorang menyembunyikan sebungkus
permen, gula, dendeng kering, dan barang berharga lain untuk ukuran penjara, bagi diri
sendiri, dan dijaganya dari jamahan orang lain. Di penjara orang bisa menyembunyikan
sesuatu dari petugas, tapi tidak dari temannya sendiri. Untuk mengerti perilaku manusia,
berbagai ilmu menganalisis tentang dorongan alamiah dan manusiawi untuk bertahan hidup.
Dalam situasi penjara semacam itu, solidaritas dipandang sangat berharga, taruhan nilai-nilai
bersama. Sementara para egois dipandang seperti nyamuk yang dalam tahap tertentu bisa
berbahaya. Kalau seseorang begitu sayang terhadap sebungkus permennya tanpa
menghiraukan orang lain yang sedang memerlukan energi, pada saat lain ia pun dapat menjual
kepala temannya untuk sebungkus gula.
Pada suatu hari seorang polisi yang tak kukenal masuk blok kami dan mencariku. Dengan
berpura-pura omong keras ia menyelipkan sepucuk surat. Ia mengabarkan, isteriku telah
melahirkan bayi laki-laki dan menunggu nama dariku. Aku menuliskan nama pada sepotong
kertas yang disodorkannya untuk diteruskan pada isteriku. Di Lowokwaru aku sempat bertemu
Goei Poo An, pemimpin redaksi dan pemilik koran Trompet Masjarakat Surabaya yang berada
di sel berseberangan. Koran itu dikenal sebagai penyokong Bung Karno, pembela rakyat kecil
serta dikelompokkan sebagai kiri. Koran tersebut beredar luas di Jawa Timur, aku telah
mengenalnya sejak di SMP ketika menjadi loper koran. Pada hari-hari itu sel-sel di blok kami
masih cukup mendapat pasokan makanan dari luar. Pada hari-hari pertama orang biasanya tak
bisa makan jatah penjara, nasi yang keras dan bulukan di ompreng dekil.
Aku sendiri pernah masuk dapur penjara ketika perploncoan, melihat sendiri bagaimana
kondisi makanan dan kebersihannya. Tak aneh kalau di dalamnya tersimpan bekicot, kecoak
dan yang lain. Setelah pasokan makanan dari luar surut, tak ada cara lain kecuali harus belajar
bertahan hidup. Pada minggu ketiga kedatangan rombonganku, banyak di antara kami yang
sulit tidur. Gelombang pemangggilan pada jam 2.00 3.00 pagi mulai lagi. Seorang dosen

FKIP, teman baikku, Drs.Adinegoro, seorang yang lembut dan santun serta penuh semangat,

beserta 60-an yang lain telah terpanggil ketika ditahan di belakang stasiun. Mereka semua tak

ada kabar beritanya, lenyap ditelan bumi.

Di kemudian hari kuketahui sebagian dari mereka dibantai di muara Kali Lesti, Gladakperak,

pantai selatan Malang.

Malam itu sebagian besar penghuni sel kami berjaga-jaga, beberapa orang tidur nyenyak. Hal

itu terjadi juga dengan sel-sel blok lain. Pada hari-hari berikutnya aku biasa tidur nyenyak

tanpa mendengar panggilan tersebut.

Ketika pagi kulihat sel-sel yang berhadapan dengan sel kami telah hampir kosong termasuk

Pak Goei. Orang-orang baru pun datang dan sel-sel itu penuh kembali. Tiap kali rombongan

baru datang, koleksi kisah-kisah seram pembantaian pun selalu bertambah. Pada suatu hari

seorang pelarian dari daerah Blitar mengisahkan kejadian di suatu rumah sakit. Pada suatu kali

rumah sakit didatangi gerombolan yang dijaga tentara dan menggelandang siapa saja yang

dikehendakinya. Di antara yang dicomot terdapat sejumlah pasien luka parah yang selamat

dari pembantaian beserta sejumlah pegawai rumah sakit. Semuanya dimusnahkan. Rumah

sakit dituduh melindungi pelarian PKI, tuduhan maut. Kami mendengar teman kami Drs.

Mulyakno, seorang guru yang isterinya baru saja melahirkan, telah lenyap dari penjara Blitar

beserta banyak orang lain termasuk dua orang guru saudara sepupuku, Mas Hardi dan Mas

Harlan.

Seorang teman karena kekeliruan nama di kembalikan lagi ke sel setelah ia sempat melihat

teman-teman lain diikat kedua tangannya, kemudian dimasukkan ke truk-truk yang siaga di

dekat gerbang bagian dalam, jauh dari sel kami.

Kebusukan merebak ke hidung kami melalui berbagai sumber, nara pidana, sipir, polisi,

tentara. Mereka manusia biasa lengkap dengan emosi dan perasaannya, yang suatu kali tak

bisa menahan untuk tidak bicara. Truk-truk itu dilarikan ke beberapa tujuan yang telah

ditetapkan ke luar kota yang terpencil. Lubang-lubang besar telah disiapkan beserta

segerombolan pembantai dengan segala macam senjata tajamnya. Pemusnahan demi

pemusnahan di pagi buta, ketika ayam jantan berkokok di balik kebun dan sawah di kejauhan.

Ketakutan merupakan sesuatu yang amat manusiawi. Berhari-hari Mas Karno, seorang sarjana

ekonomi, ketika di luar kami anggap pemimpin. Ia selalu dalam keadaan panik, gemetar, susah

makan, tapi sering ke belakang. Ia mondar-mandir menyebarkan kepanikan dan ketakutannya.

Ia sebal ketika kubilang bahwa segala kekhawatiran dan keluhan tidak membuat keadaan lebih

baik, tidak membuat kita dibebaskan. Yang bisa dilakukan adalah pasrah, menjaga kesehatan

fisik dan mental dalam solidaritas. Betapa mudah diucapkan. Kalau anda mengalaminya,

terpulang pada diri sendiri. Mampukah kamu mendidik diri sendiri setelah menerima sejumlah

pendidikan yang benar maupun yang salah. Dalam kenyataannya yang disebut pasrah dan

solidaritas itu tidak gampang dilaksanakan, juga dalam kesulitan bersama. Ego sejumlah

manusia tidak surut. Topeng-topeng berguguran tanpa rencana, menelanjangi sejumlah egois

yang tak mampu meningkatkan diri. Ini semua tak ada hubungan sejajar dengan kedudukan

seseorang ketika masa damai, kursus politik yang telah ditempuhnya, ilmu yang telah

ditimbanya. Tentu saja hal-hal itu bisa berdampak pada kepribadian orang, positif maupun

negatif. Agaknya kemampuan mendidik diri sendiri adalah salah satu kuncinya.

Di penjara itu Bung Amir Syarifudin pernah disekap dan disiksa oleh penguasa Jepang dengan

digantung. Yang dialami ratusan teman kami lebih ringkas, langsung digelandang dan

dibunuh. Selama di Lowokwaru aku sempat merenungkan kembali tentang berbagai kejadian

yang telah lewat. Terngiang kembali kata-kata dokter Sudarsono, tokoh PSI, mantan menteri

dan duta besar, kebetulan adik ibu mertuaku, ketika itu pejabat tinggi di Deplu. Sepulang dari

kongres HSI bulan Agustus 1965 aku mampir ke rumahnya di Jl. Utankayu.

Ia nyeletuk, "Hati-hati kamu, PKI mau brontak lagi!" Aku menganggapnya sebagai bercanda

seperti sering terjadi. Dengan perkembangan kejadian adakah ini berarti datangnya peristiwa

tersebut bukan rahasia bagi mereka? Lalu retorika Aidit tentang revolusi dan merelakan
cangkir piring pecah berantakan. Hal itu disampaikannya dalam pertemuannya dengan
beberapa peserta kongres HSI. Perdebatan terjadi di kalangan utusan kongres, kemudian
diredam oleh pemegang otoritas. Pemberontakan? Siapa terhadap siapa?
Revolusi? Sebuah kosa kata dengan batas-batas amat luas. Apa revolusi bisa dirancang dan
dibikin? Perdebatan politik dan ideologi sejak abad lampau, sampai juga ke penjara
Lowokwaru. Apa revolusi hanya urusan beberapa gelintir pemimpin dan komandan tentara?
Kudeta militer, nah ini yang jejaknya mudah dilihat dalam rentetan kejadian. Sebagian dari
kami menamainya sebagai petualangan militer, itu terlepas dari segala yang kemudian
menimpa kami secara kelompok dan pribadi.
Pagi itu tiba-tiba Drs Amim dan Drs Harsomo menerima panggilan. Selama ini interogasi
yang kualami biasanya bersifat agak massal, beberapa orang sekaligus berderet-deret. Aku
giliran pertama dipanggil. Ketika menghadap, pejabat itu memperkenalkan diri sebagai Letkol
Sutrasno SH, Komandan Korem 83, Malang. Ia sebagai ketua tim pemeriksa langsung
menembakku dengan pernyataan, "Jadi saudara yang membacakan pernyataan HSI
menyokong Dewan Revolusi di RRI Malang pada 1 Oktober malam itu?" Aku pura-pura tak
menangkap pertanyaannya dan meminta diulangi. Secara kebetulan pada malam hari tanggal
tersebut aku mengisi acara di RRI Malang seperti telah dijadwalkan jauh sebelumnya.
Topiknya tiada lain dari urusan revolusi berdasar ajaran Bung Karno. Untuk pertama kalinya
keberadaanku pada hari genting itu di RRI dipertanyakan. Selanjutnya kami berbincang
tentang keluarga, pendidikan, pekerjaan. Akhirnya ia mengabarkan bahwa isteri dan anakku
yang baru lahir dalam keadaan baik. Tak terbayang bagiku bahwa isteriku pun rupanya
menghubungi pejabat ini.
Seminggu setelah interogasi yang aneh itu, bulan Januari 1966 kami berdua dipanggil
kembali. Kali ini dibawa dengan mobil pesakitan menuju Polres. Kami berdua tak tahu apa
yang akan kami hadapi, petugas yang membawa kami hanya memberitahukan tempat tujuan.
Kami dikawal memasuki ruang di samping kantor Kapolres Letkol Drs Suhartono. Ternyata di
sana telah menanti isteri
dan anak kami masing-masing yang baru berumur empat minggu. Para isteri segera
mencucurkan air mata dan sesenggukan dalam pelukan suami masing-masing. Dengan ukuran
jaman itu, kenyataan ini sesuatu yang langka.
Segala sesuatu hampir tanpa aturan, kecuali kekuasaan di bawah clurit dan laras senjata. Aku
merasa dimanja benar oleh hidup ini, menatap wajah isteriku, bersama mencium bayi kami,
sementara banyak teman lain kemarin atau esok, dirampas seluruh hak hidup mereka, dikubur
massal entah di mana, atau mayatnya dilempar ke kali. Kemewahan yang kualami itu hanya
berlangsung selama setengah jam.
Dalam keterbatasan penjara akal sejumlah orang amat berguna bagi orang banyak. Tidak
boleh ada pisau atau silet atau benda tajam apa pun yang lain?
Sekeping pecahan botol bisa menjadi pisau cukur memadai. Sepotong paku atau besi apa saja
bisa dijadikan pisau tajam. Sebuah kaleng bekas susu dengan mudah menjadi kompor minyak.
Sekerat tulang tebal dan sepotong kayu keras, itu barang berharga yang bisa disulap jadi
benda-benda seni. Hal-hal semacam itu sudah pernah aku dengar dan baca, bagaimana para
tahanan kamp Nazi dapat membuat radio, bahkan pemancar sendiri. Manusia dikaruniai nalar
dan kreativitas, tapi manusia juga mampu memasung dan menghancurkan keduanya.
Ada berbagai cara orang menyusun kalender. Ada yang menyusunnya pada potonganpotongan kecil kertas sampai akhir tahun berikutnya. Yang banyak dilakukan coretan di
tembok sel. Sementara orang menghitung sebulan, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya
dengan harapan dalam hitungan bulan akan dibebaskan, sedang ia melihat sendiri di depan
hidungnya serombongan orang dibawa pergi dan lenyap. Adakah ia merasa memiliki
keistimewaan untuk terpilih dibebaskan, atau harapan biasa saja untuk bertahan hidup. Dengan
memahami perkembangan kekuasaan Jendral Suharto, kami tak ingin memiliki mimpi yang

menyesatkan. Aku meledek Mas Karno dengan mengatakan bahwa kita akan tinggal di
penjara bukan enam atau tujuh bulan, tapi enam atau tujuh tahun atau bahkan lebih. Ia marah
dan menuduhku sebagai pesimis dan menyebarkan pesimisme.
Pada bulan ke empat beberapa orang di blok kami dipindah ke blok lain yang hanya terdiri
dari dua sel kecil, masing-masing dengan lima penghuni. Aku berkumpul dengan Pak Jarwo,
seorang pengusaha kota Malang yang cukup beken. Terdapat peralatan memadai seperti
kompor kaleng susu yang dibarter dari blok lain. Terdapat pasokan makanan dengan tetap dari
luar lewat jalur sang penguasaha kaya. Di jaman itu kami belum mengenal peralatan
elektronik kecil dengan kapasitas besar. Kelak Pak Jarwo dan beberapa teman lain dicomot
dan lenyap tanpa jejak. Maka kekayaannya yang berupa beberapa rumah tinggal, toko buku,
percetakan, pabrik rokok, kendaraan, dan yang lain diambil alih oleh para penguasa baju hijau
menjadi bancaan seperti warisan moyangnya.
Kelak aku juga mengetahui sebenarnyalah namaku bersama Drs Amim tercantum dalam daftar
mereka yang harus dilenyapkan. Penguasa ketika itu menggolongkan sarjana dan kaum
cendekiawan kiri sebagai kelompok amat berbahaya. Kelak aku juga mendengar samar-samar
pencoretan nama kami dari daftar berkat campur tangan Letkol Sutrasno SH atau dan Letkol
Polisi Drs Suhartono. Aku baru mengenal keduanya ketika ditahan. Beberapa tahun kemudian
baru kudengar bahwa Letkol Sutrasno diberhentikan dari jabatannya.
Setelah enam bulan ditahan, pagi itu aku dan Drs Amim lagi-lagi dipangggil untuk segera
berkemas. Seorang sipir berbisik bahwa kami berdua dibebaskan. Meski kami sempat gembira
tapi kami tak bisa mempercayainya. Kami pun membenahi barang kami lengkap termasuk
bantal dan tikar sesuai dengan saran teman-teman. Pemindahan tahanan termasuk pemindahan
ke alam baka tidak pernah diberitahukan dengan jelas. Berjam-jam kami berdua berada di
sebuah ruangan tertutup Kodim Malang di Jl. Kahuripan. Sekitar jam dua siang seseorang
memasukkan dua nasi bungkus. Menjelang sore kami berdua sudah kehabisan gairah dan
bahan percakapan, juga persediaan air putih. Jam enam, jam tujuh, jam delapan, jam sembilan
baru kami berdua dipanggil menghadap seorang mayor. Kami dibebaskan dengan wajib lapor.
Kami harus menandatangani setumpuk kertas yang hampir-hampir tak sempat kami baca. Aku
dijemput Nyak Alan, adik iparku. Dengan becak kami menuju Jl. Muria 6, rumah mertuaku,
tempat isteri dan anakku tinggal setelah penangkapanku. Adik ipar ini pernah ditahan sebentar
dan wajib lapor. Ia tidak takut menjemputku. Harap maklum, rezim berkuasa telah membuat
stigma, mengkondisikan masyarakat untuk jeri berhu bungan dengan tapol atau bekas tapol
karena akan dikucilkan, dipecat, ditangkap, ditahan, bahkan dibunuh.
Ketika berada di penjara aku dipecat sebagai dosen, tanpa surat pemecatan.
Pak Dwidjo, Rektor IKIP ketika itu datang menemui isteriku, menyatakan ikut prihatin. Tak
lama kemudian kedudukannya diganti oleh orang lain. Aku mencatat nama beliau sebagai
seorang yang jujur dan penuh rasa kemanusiaan, pengabdi pendidikan. Kelak aku mendengar
sampai beberapa tahun kemudian namaku masih tercantum dalam daftar gaji. Tiap bulan
seseorang telah menandatanganinya. Emploken!
Beberapa minggu setelah dibebaskan aku diijinkan oleh pejabat tempat aku wajib lapor untuk
pindah ke Surabaya dengan alamat yang kukarang sendiri.
Selanjutnya dengan bantuan saudara dan teman aku lari ke hutan rimba Jakarta. Dengan
berdebar dapat kuikuti berita ditangkapnya kembali bahkan dibunuhnya teman-teman yang
telah dibebaskan bersamaku, di antaranya mas Nuryono, kemenakan Pak Jarwo.
[Jakapermai2000].Subject: PENJARA LOWOKWARU 1965/1966 Catatan Seorang Eks Tapol
PENJARA LOWOKWARU

1965/1966

(MALANG)

Date: 2005/9/14
Section: Kesaksian
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=35

G30S, Terlibatkah Soeharto?

G30S, Terlibatkah Soeharto?


Tulisan oleh James Luhulima ini, dimuat di Kompas,
pada tanggal 27 Oktober, 2004,
Kompas, 27 Oktober 2004 - SETIAP kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan
selalu menerawang jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S)
tahun 1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan misteri.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai
dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang terjadi pada Panglima
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto sewaktu
Peristiwa G30S terjadi.
Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari itu. Data yang telah
dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto
telah diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I
Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal
pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani,
untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief
kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia terlibat atau ia
hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan dari gerakan yang dilakukan
orang lain.
Dalam pledoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30
September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua hari menjelang tanggal
1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965-Red), ia juga menghadiri acara kekeluargaan di
kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu
adanya isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno.
Menanggapi pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari
seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari
sebelumnya (28 September 1965-Red).
Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno (Kabinet Dwikora),

dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra,

menyebutkan, ia bertemu dengan Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia

telah memberi tahu Soeharto mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30

September 1965 itu.

Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan

menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada

Presiden Soekarno.

Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang

peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris, yang sebagai

Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin pasukan tanpa identitas yang

ditempatkan di sekitar Monumen Nasional.

Ditemui wartawan ketika melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6

September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak Nas makin sulit pula

upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S yang hingga kini masih menjadi tanda

tanya bagi banyak orang. "Apa yang kita kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangi

oleh Kolonel Abdul Latief dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu

pada tanggal 30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak

mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu, seolah-olah

biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa," ujar Kemal Idris.

Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998,

muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan Batalyon 530/Para Brigade

3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan

tabloit berita Detak, yang dimuat dalam edisi 29 September-5 Oktober 1998, Soekarbi

mengatakan, dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21

September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar

Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5

Oktober 1965 di Jakarta dengan "perlengkapan tempur garis pertama".

Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan dengan

"perlengkapan tempur garis pertama"? Apalagi kemudian yang terjadi adalah sebagian dari

anggota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah

serupa diberikan pula kepada Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggota

pasukannya juga terlibat dalam peristiwa G30S.

Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu mengenai

akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21 September 1965, atau sembilan

hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan Batalyon 530 itu "perlengkapan tempur

garis pertama", Soeharto telah memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan

"gerakannya".

Belum lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat dengan Soeharto,

mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief, sampai Sjam

Karuzzaman.

Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan

pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan, di saat

orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-

tanya apa yang sesungguhnya terjadi.

Karena mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang melakukannya,

maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya,

termasuk dengan mudah membasmi pelaku-pelaku G30S dan mencari kambing hitam untuk

dituduh sebagai penanggung jawab atas peristiwa G30S.

Sebagai orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa memberlakukan
keadaan darurat. Kemudian menelepon Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya
RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto
Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada
mereka, Soeharto memberi tahu untuk sementara Angkatan Darat dipegang olehnya, serta
meminta agar mereka tidak mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya (dalam
hal itu, Panglima Kostrad).
Sebagai kambing hitam, ia menuduh Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya
Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma
disebutkan sebagai markas pelaksana G30S. Dengan demikian, kehadiran Presiden Soekarno
di Pangkalan Angkatan Udara Halim dicitrakan sebagai keberpihakan Soekarno pada G30S.
Itu belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa nasional, Soeharto
berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S sebagai satu-satunya kebenaran. Dan, bagi
orang-orang yang dianggap "berseberangan" diberi label terlibat G30S, dan dijadikan tahanan
politik.
Sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat buku
Menyibak Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang digunakan sebagai
Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru berada di wilayah
Angkatan Darat.
PADA tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan
seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan Batalyon 530 Mayor
Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di sekitar Monumen Nasional dan Istana
Kepresidenan. Karena Mayor Bambang Soepeno tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan
Batalyon 530 Kapten Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa
mewakili. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira Kostrad itu kembali
lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan menggantikan Mayor Bambang
Soepeno. Tidak lama kemudian datang menghadap pula Wakil Komandan Batalyon 454
Kapten Koencoro.
Pasukan yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan adalah
anggota dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto ke Jakarta
untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Sebab itu,
Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin kedua batalyon itu, dan memerintahkan agar
menarik kembali pasukan mereka ke Markas Kostrad.
Soekarbi membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu kehadiran
pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak buahnya bolak-balik ke
Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil (toilet).
Berbeda dengan Soeharto, yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas pasukan yang
berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan, Presiden Soekarno dan regu
pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu mengenai apa yang terjadi.
Pada tanggal 30 September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana Merdeka.
Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke kediaman
istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto (kini, Museum Satria
Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Soekarno singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput
Ny Dewi, yang tengah menghadiri resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room.
Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno keluar rumah,
memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi itu, Soekarno
dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena dan Menteri/Panglima Angkatan
Darat Jenderal Ahmad Yani.

Di dalam mobil, Suparto, staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi tahu informasi
yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Komisaris Polisi Mangil
Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penembakan di rumah Menteri Koordinator
Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah
Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan.
Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil yang baru
bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan meminta penjelasan tentang
penembakan tersebut.
Kemudian Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu atau langsung
kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak tinggal di sini dulu, karena saya
masih harus menunggu laporan dari Inspektur I Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi
saya perintahkan untuk mengecek kebenaran berita tersebut."
Mendengar jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras, "Bagaimana
mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum diketahui dengan
jelas"Soekarno dan regu pengawalnya kemudian meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana
Merdeka. Rencananya mereka akan melalui Jembatan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman,
Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan Jalan Merdeka Utara.
Sewaktu rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang
Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan membenarkan ada tembakan di
rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia juga menginformasikan tentang adanya
pasukan Angkatan Darat "yang terasa sangat mencurigakan" di sekitar Istana dan kawasan
Monumen Nasional. Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan
Soekarno dari pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen
Tjakrabirawa Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan
memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah istrinya yang lain, Ny Harjati, di
kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid (sekarang).
Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah Abang
Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati.
Saelan menunggu Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00, Soekarno segera
masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera memerintahkan Saelan mengontak
semua panglima angkatan. Namun, sejak malam hingga pagi itu, jaringan telepon lumpuh
sehingga Saelan meminta Suparto untuk menghubungi secara langsung.
Saelan kemudian mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat yang
aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi setelah Suparto kembali pada
pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia berhasil mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima
Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka
diputuskan untuk membawa Soekarno ke sana.
Soekarno menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP)
Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan Presiden terjadi sesuatu hal yang
mengancam keamanan dan keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke
Markas Angkatan Bersenjata terdekat. Alternatif lain adalah menuju ke Pangkalan Angkatan
Udara Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar.
Atau, pelabuhan Angkatan Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa
juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V.
Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan Udara Halim.
Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang karena ketidaktahuannya
atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu Soeharto siang harinya.
Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan G30S, berangkat ke
Istana untuk melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden Soekarno. Karena Soekarno tidak
berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu selama dua jam di sana. Setelah mendapatkan

informasi bahwa Soekarno berada di Halim, maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00,
ia bertemu dengan Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno
menolak untuk mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya untuk
menghindari pertumpahan darah.
Namun, penguasaan atas pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto bisa melakukan
tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya. Bahkan, Soekarno, lewat
kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat Penerangan Hankam, dan ajudan Presiden
Soekarno sendiri, Kolonel Marinir Bambang Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas
G30S.
Uniknya, Bambang Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno terlibat dalam
peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai jabatannya sebagai Presiden
Indonesia resmi dicabut oleh MPRS.
Kesaksian Sugandhi dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam minum kopi pagi
(koffie uurtje) pada tanggal 30 September 1965.
Cerita Sugandhi tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat, mengada-ada.
Seperti Sugandhi, kesaksian Bambang Widjanarko pun dibantah oleh Kolonel (CPM) Maulwi
Saelan dan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Sogol Djauhari Abdul Muchid, bertugas di bagian
Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol disebut Bambang Widjanarko sebagai orang
yang menyerahkan surat Untung tentang penjemputan paksa para jenderal kepada Soekarno
tanggal 30 September 1965 malam.
Pertanyaan besar yang mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang
mempersoalkan, mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk menjemput paksa
para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal Ahmad Yani, yang tewas dalam aksi
penjemputan paksa itu? (Kutipan dari tulisan James Luhulima, selesai)

Date: 2005/9/19
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=38

US And British Complicity In Indonesia 1965

US And British Complicity In Indonesia 1965


by Mark Curtis
October 21, 2002
US officials at the time called a reign of terror and British officials ruthless terror.
However, unlike the terrorists responsible for the outrage of September 11, precisely nothing
has ever been done to bring those responsible in Indonesia and their supporters in
Washington and London - to account.
The killings in Indonesia started when a group of army officers loyal to President Sukarno
assassinated several generals on 30 September 1965. They believed the generals were about to
stage a coup to overthrow Sukarno. The instability, however, provided other anti-Sukarno
generals, led by General Suharto, with an excuse for the army to move against a powerful and
popular political faction with mass support, the Indonesian Communist Party (PKI). It did so
brutally: in a few months hundreds of thousands of PKI members and ordinary people were
killed and the PKI destroyed. Suharto emerged as leader and instituted a repressive regime that
lasted until 1998.
The declassified documents show five ways in which the US and Britain were complicit in this
slaughter. First, both the US and Britain wanted the army to act and encouraged them to do it.
US officials expressed their hope of army at long last to act effectively against
Communists [sic]. We are, as always, sympathetic to armys desire to eliminate communist
influence and it is important to assure the army of our full support of its efforts to crush the
PKI, other officials noted.
The British were equally enthusiastic. I have never concealed from you my belief that a little
shooting in Indonesia would be an essential preliminary to effective change, the ambassador
in Jakarta, Sir Andrew Gilchrist, informed the Foreign Office on 5 October.
The following day the Foreign Office in London stated that the crucial question still remains
whether the Generals will pluck up enough courage to take decisive action against the PKI.
Later it noted that we must surely prefer an Army to a Communist regime and declared: It
seems pretty clear that the Generals are going to need all the help they can get and accept
without being tagged as hopelessly pro-Western, if they are going to be able to gain
ascendancy over the Communists. In the short run, and while the present confusion continues,
we can hardly go wrong by tacitly backing the Generals. British policy was to encourage the
emergence of a Generals regime, one intelligence official explained.

Support for army actions continued throughout the period of the worst killings; there is no
question that US and British officials knew exactly what they were supporting. US
Ambassador Marshall Green noted three weeks after the attempted coup and with the killings
having begun, that Army has been working hard at destroying PKI and I, for one, have
increasing respect for its determination and organisation in carrying out this crucial
assignment. Green noted in the same despatch the execution of PKI cadres, putting the
figure at several hundred of them in Djakarta area alone [sic]. To date, army has
performed far better than anticipated in attacking PKI and regrouping.
On 1 November, Green informed the State Department of the armys moving relentlessly to
exterminate the PKI as far as that is possible to do. Three days later he noted that Embassy
and USG generally sympathetic with and admiring of what army doing [sic]. Four days after
this the US Embassy reported that the Army and allied elements has continued systematic
drive to destroy PKI in northern Sumatra with wholesale killings reported.
By 16 November, the US Consulate in Medan was reporting that much indiscriminate killing
is taking place. Something like a reign of terror against PKI is taking place. This terror is not
discriminating very carefully between PKI leaders and ordinary PKI members with no
ideological bond to the party. A British official reported on 25 November that PKI men and
women are being executed in very large numbers.
By mid December the State Department noted approvingly that Indonesian military leaders
campaign to destroy PKI is moving fairly swiftly and smoothly. By 14 February 1966
Ambassador Green could note that the PKI has been destroyed as an effective political force
for some time to come and that the Communistshave been decimated by wholesale
massacre.
The British files reveal that by January the US estimated the number of dead at 150,000,
although one Indonesian armed forces liaison officer told US attaches of a figure of 500,000.
By March one British official wondered how much of it [the PKI] is left, after six months of
killing and believed that over 200,000 had been killed in Sumatra alone. By April, the US
Embassy stated that we frankly do not know whether the real figure is closer to 100,000 or
1,000,000 but believe it wiser to err on the side of the lower estimates, especially when
questioned by the press.
Summarising the events of 1965 the British Consul in Medan referred to the army by noting
that: Posing as saviours of the nation from a communist terror, they unleashed a ruthless
terror of their own, the scare of which will take many years to heal. Another British memo
referred to the an operation carried out on a very large scale and often with appalling
savagery. Another simply referred to the bloodbath.
The US and British files reveal total support for these massacres. I could find no reference to
any concern about the extent of killing at all - other than constant encouragement for the army
to continue. And it was not only PKI activists who were the targets of this terror. As the
British files show, many of the victims were the merest rank and file of the PKI who were
often no more than bewildered peasants who give the wrong answer on a dark night to
bloodthirsty hooligans bent on violence, with the connivance of the army.
The second way in the US and Britain supported the slaughter concerned the Confrontation
between Malaya and Indonesia. Here, Britain had deployed tens of thousands troops, mainly
in Borneo, to defend Malaya against possible Indonesian encroachments following territorial
claims. British policy did not want to distract the Indonesian army by getting them engaged
in fighting in Borneo and so discourage them from the attempts which they now seem to be
making to deal with the PKI. British Ambassador Gilchrist proposed that we should get

word to the Generals that we shall not attack them whilst they are chasing the PKI, described
as a necessary task. In October the British passed to the Generals, through a US contact a
carefully phrased oral message about not biting the Generals in the back for the present.
The US files confirm that the message from the US, conveyed on 14 October, read: First, we
wish to assure you that we have no intention of interfering Indonesian internal affairs directly
or indirectly. Second, we have good reason to believe that none of our allies intend to initiate
any offensive action against Indonesia [sic]. The message was greatly welcomed by the army:
One of the Indonesian Defence Ministers aides noted that this was just what was needed by
way of assurances that we (the army) werent going to be hit from all angles as we moved to
straighten things out here.
Third is the hit list of targets supplied by the US to the Indonesian army. As the journalist
Kathy Kadane has revealed, as many as 5,000 names of provincial, city and other local PKI
committee members and leaders of the mass organisations of the PKI, such as the national
labour federation, womens and youth groups, were passed on the Generals, many of whom
were subsequently killed. It really was a big help to the army noted Robert Martens, a
former member of the US embassy. They probably killed a lot of people and I probably have
a lot of blood on my hands, but thats not all bad. Theres a time when you have to strike hard
at a decisive moment.
The declassified US files do not provide many further details about the provision of this hit
list, although they do confirm it. One list of names, for example, was passed to the
Indonesians in December 1965 and is apparently being used by Indonesian security
authorities who seem to lack even the simplest overt information on PKI leadership at the
time. It also notes that lists of other officials in the PKI affiliates, Partindo and Baperki were
also provided to GOI [Government of Indonesia] officials at their request.
The fourth means of support was propaganda operations. On 5 October a political adviser at
the British intelligence base in Singapore reported to the Foreign Office in London that: we
should not miss the present opportunity to use the situation to our advantage I recommend
that we should have no hesitation in doing what we can surreptitiously to blacken the PKI in
the eyes of the army and the people of Indonesia. The Foreign Office replied: We certainly
do not exclude any unattributable propaganda or psywar [psychological warfare] activities
which would contribute to weakening the PKI permanently. We therefore agree with the
[above] recommendation Suitable propaganda themes might be Chinese interference in
particular arms shipments; PKI subverting Indonesia as agents of foreign communists.
On 9 October the political adviser confirmed that we have made arrangements for
distribution of certain unattributable material based on the general guidance in the Foreign
Office memo. This involved promoting and coordinating publicity critical of the Sukarno
government to news agencies, newspapers and radio. The impact has been considerable,
one file notes.
The fifth means of support was provision of equipment - although this remains the murkiest
area to uncover. Past US support to the military should have established clearly in minds
Army leaders that US stands behind them if they should need help, the State Department
noted. US strategy was to avoid overt involvement in the power struggle but indicate,
clearly but covertly, to key Army officers our desire to assist where we can.
The first US supplies to the Indonesian army were radio equipment to help in internal
security and to help the Generals in their task of overcoming the Communists, as British
Ambassador Gilchrist out it. The US historian Gabriel Kolko has shown that in early
November 1965 the US received a request from the Generals to arm Moslem and nationalist

youthsfor use against the PKI. The recently published files confirm this approach from the
Indonesians. On 1 November Ambassador Green cabled Washington that as to the provision
of small arms I would be leery about telling army we are in position to provide same, although
we should act, not close our minds to this possibility We could explore availability of small
arms stocks, preferable of non-US origin, which could be obtained without any overt US
government involvement. We might also examine channels through which we could, if
necessary, provide covert assistance to army for purchase of weapons.
A CIA memo of 9 November stated that the US should avoid being too hesitant about the
propriety of extending such assistance provided we can do so covertly, in a manner which will
not embarrass them or embarrass our government. It then noted that mechanisms exist or can
be created to deliver any of the types of the materiel requested to date in reasonable
quantities. One line of text is then not declassified before the memo notes: The same can be
said of purchasers and transfer agents for such items as small arms, medicine and other items
requested. The memo goes on to note that we do not propose that the Indonesian army be
furnished such equipment at this time. However, if the Army leaders justify their needs in
detailit is likely that at least will help ensure their success and provide the basis for future
collaboration with the US. The means for covert implementation for the delivery of arms
are within our capabilities.
In response to the Indonesia request for arms, Kolko has shown that the US promised to
provide such covert aid, and dubbed them medicines. The declassified files state that the
Army really needed the medicines and that the US was keen to indicate approval in a
practical way of the actions of the Indonesian army. The extent of arms provided is not
revealed in the files but the amount the medicines would cost was a mere pittance compared
with the advantages that might accrue to the US as a result of getting in on the ground floor,
one file reads. A meeting in Washington of 4 December approved the provision of such
medicines.
The British knew of these arms supplies and it is likely they also approved them. Britain was
initially reluctant to see US equipment go to the Generals lest it be used in the
Confrontation. Thus the British files show that the US State Department had undertaken to
consult with us before they do anything to support the Generals. It is possible that the US
reneged on this commitment; however, in earlier discussions about this possibility, a British
official at the embassy in Washington noted that I do not think that is very likely.
The British files in particular show very close relations between the US and British embassies
in Jakarta. They point to a somewhat coordinated joint US-UK operation to help install a
Generals regime and bring about a government more favourable to Western economic and
political interests. The Indonesia campaign is one of the most bloody in the postwar history of
US-UK collaboration that includes the joint overthrow of the Musaddiq regime in Iran in
1953, the removal of the population of the British island of Diego Garcia to make way for a
US military base in 1965, UK support for US aggression in Vietnam, Central America,
Grenada, Panama and Libya and covert operations in Cambodia and Afghanistan. The current
phase of the special relationship is witnessed in joint military operations in Iraq and
Afghanistan.
Basic US and British concerns and priorities regarding mid-1960s Indonesia are laid out in the
files. For the British the importance of Southeast Asia was partly explained by the fact that
Southeast Asia is a major producer of some essential commodities such as rubber, copra and
chromuim ore. Economically, Southeast Asia is a major producer of raw materials and the
defence of the sources of these products and their denial to a possible enemy are major
interests to the Western powers. Indonesia also occupies a key position in world
communications, straddling important sea and air routes. And Britain wanted, of course, to

see a change in regime in Jakarta to bring an end to the Confrontation with Malaya.
British Foreign Secretary Michel Stewart wrote at the time that it is only the economic chaos
of Indonesia which prevents that country from offering great potential opportunities to British
exporters. If there is going to be a deal in Indonesia I think we ought to take an act and try
to secure a slice of the cake ourselves. The British feared the resurgence of Communist and
radical nationalism.
For the US, Under Secretary of State George Ball had noted that Indonesia may be more
important to us than South V-N [Vietnam] (251). At stake, one US memo read, are 100
million people, vast potential resources and a strategically important chain of islands. Basic
US priorities were virtually identical in Vietnam and Indonesia: to prevent the consolidation of
an independent nationalist regime, with communist components and sympathies, that
threatened Western economic and political interests and that could act as a successful
development model.
The US Ambassador in Malaysia cabled Washington a year before the October 1965 events in
Indonesia saying that our difficulties with Indonesia stem basically from deliberate, positive
GOI [Government of Indonesia] strategy of seeking to push Britain and the US out of
Southeast Asia. Ball noted in March 1965 that our relations with Indonesia are on the verge
of falling apart. Not only has the management of the American rubber plants been taken
over, but there are dangers of an imminent seizure of the American oil companies.
The Sukarno regime clearly had the wrong priorities. According to one US report: the
government occupies a dominant position in basic industry, public utilities, internal
transportation and communication. It is probable that private ownership will disappear and
may be succeeded by some form of production-profit-sharing contract arrangements to be
applied to all foreign in vestment. Overall, the avowed Indonesian objective is to stand on
their own feet in developing their economy, free from foreign, especially Western, influence
clearly all heretical priorities to basic US-UK strategy that as today - needed to be
defeated.
The problem with the PKI was not so much its communism but its nationalism: it is likely
that PKI foreign policy decisions, like those of Sukarno, would stress Indonesian national
interests above those of Peking, Moscow or international communism in general, one memo
reads. The real danger of a Communist Indonesia was outlined in a Special National
Intelligence Estimate of 1 September 1965. This referred to the PKIs moving to energize and
unite the Indonesia nation and stated that if these efforts succeeded, Indonesia would
provide a powerful example for the underdeveloped world and hence a credit to communism
and a setback for Western prestige. The problem was that Indonesia would be too successful,
a fear in the minds of US planners well documented by Kolko and Noam Chomsky in policy
towards numerous other countries.
The Army was by no means the perfect ally of the US in Indonesia as the files note, it was
strongly nationalist in orientation and strongly favours the takeover of Western economic
interests. Nevertheless in the choice between Sukarno and the PKI on the one hand and the
army on the other, the army deserves our support. And over time a combination of Western
advice, aid and investment did transform the Indonesian economy into one that, although
retaining an important nationalist element, provided substantial opportunities and profits for
Western investors, aided by an increasingly corrupt President Suharto. The West supported
Suharto throughout the three-decade long rule of repression, including in the regimes
murderous policies in East Timor after the invasion of 1975. The hundreds of thousands of
deaths then were as irrelevant to US and British officials as those in 1965.

For notes and sources, see the forthcoming book, The Web of Deceit: Britains Real Role in
the World, Vintage, 2003. Mark Curtis can be contacted at mcurtis30@hotmail.com.. He is the
author of The Great Deception: Anglo-American Power and World Order, Pluto, London
(www.plutobooks.com)
Note: The US files referred to were published last year in the Foreign Relations of the United
States series by the US Government Printing Office. British files are in Public Record Office,
London.
source:
Znet
http://www.zmag.org/content/showarticle.cfm?ItemID=2521

Date: 2005/9/29
Section: Politik
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=42

Flashback: Tragedi Nasional 30 September '65

Para pembaca yang terhormat,


Siapa saja yang ingin mencari "kebersihan Tragedi Nasional 30 September'65" harus berusaha
menjelujuri seluruh sejarah perkembangan Republik Indonesia, dari hari Proklamasi
Kemerdekaan R.I. s/d terjadinya Tragedi Nasional tersebut dan sampai hari ini. Dibawah ini
sedikit flashback:
Tragedi Nasional 30 September '65 adalah satu bagian matarantai dari aktivitas kaum
Kolonial, terutama kaum Kolonial Belanda, dalam usaha untuk mempertahankan dan
merehabilitasi kembali kekuasaan Kolonialisme diatas wilayah Republik Indonesia.
Semenjak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak henti-hentinya serangan dan
subversi kaum Kolonial Belanda, menyerang dan melakukan subversi untuk menghancurkan
Republik Indonesia. Agresi Belanda I dan ke-II.
Pengkhianatan kekuatan politik yang pro kaum Kolonial Belanda didalam RI, seperti "joint
venture" Pemerintahan Hatta-Sukiman dengan kaum Kolonial Belanda yang diwakili oleh van
Mook yang melahirkan Red drive proposal, dan kemudian dikenal dengan apa yang
dinamakan Peristiwa Madiun, dimana Pemerintahan Hatta-Sukiman dan bersama dengan
Perwira TNI AD di Kementerian Pertahanan menterror/membunuh pada Pejuang, Pendiri dan
Pembela RI, karena mereka adalah aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia. Republik
Indonesia dengan aksi yang demikian dilemahkan, baiknya Presiden RI. Soekarno masih
berada dalam kekuasaan Negara, sebagai Presiden RI., karena Presiden Soekarno mendapat
kepercayaan Rakyat Indonesia yang tanpa batas.
Selanjutnya, Col.TNI AD Zulkifli Lubis membawa Meriam ke Istana Negara, menodong
Presiden Soekarno untuk meletakkan jabatan sebagai Presiden R.I. Usaha coup d'etat
Col.Zulkifli Lubis gagal. Justru itu, kaum Kolonial Belanda dengan bantuan antek-antek
mereka dalam kekuasaan RI, selanjutnya mengorganisasi DII & TII Kartosuwiryo di JawaBarat dan DII & TII Daud Bereuh di Aceh yang berfungsi menterror/membunuh PimpinanPimpinan Serikat Buruh dan Tani di Perkebunan-Perkebunan Teh, Karet,etc., karena kaum
Kolonial Belanda masih beranggaban bahwa Perkebunan-Perkebunan tsb. adalah hakmilik
mereka. Anehnya, Kementerian Pertahanan dibawah Jendral Nasution dan para Perwira TNI
AD takpernah berhasil menangkap Kartosuwiryo atau Daud Bereuh.
Selanjutnya, diorganisasi Gerakan Separatisme hampir diseluruh wilayah RI, seperti apa yang
dinamakan PRRI, PERMESTA, RMS, dan lain-lain seperti itu, untuk menghancurkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibawah Pimpinan Presiden Soekarno. Fungsi utama dari
Perwira-Perwira TNI AD pada Gerakan Separatisme tsb. yalah menterror/membunuh
Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota PKI, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota

Serikat Buruh, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota Barisan Tani Indonesia, Pimpinan-Pimpinan


dan Anggota-Anggota Pemuda Rakyat,CGMI, etc. Kita kenal pembunuhan massal terhadap
Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Partai dan Organisasi-Organisasi tersebut diatas
seperti di Situjuh-Payakumbuh Sumatra-Barat atas perintah Perwira TNI AD Col.Ahmad
Husen, dan yang seperti itu, ratusan banyaknya disepanjang wilayah RI.
Mereka tidak memberontak, mereka tidak melakukan Gerakan Separatisme melawan RI., tapi
mereka di terror, dibunuh tanpa prozes apapun. Hak Azasi Manusia? Convention Geneva yang
mengatur Hak-Hak Asasi? Atau "Bill of Right" dari PBB yang menyatakan, bahwa "dignity of
the people is inviolable?". Jendral A.H.Nasution sebagai Perwira TNI didikan kaum Kolonial
Belanda di Breda dan para Jendral TNI AD lainnya, tidak pernah mengenal/mendengar
mengenai Hak Azasi Manusia.
Komando Militer didaerah KODAM menentukan hidup atau mati seseorang warganegara RI,
terutama kalau person tsb. angota PKI, maka Hak-Kewarganegaraannya dirampas, diperkosa,
ditahan tanpa prozes apapun, atau ditembak mati dan hilang taktentu rimbanya.
Col.TNI AD Ahmad Husen, Col.TNI AD Simbolon dan yang lain-lainnya seperti itu, yang
memberontak, mengadakan Gerakan Separatisme melawan RI. dianugrahi "Bintang Jasa" kehidupan mewah dibawah Kementrian Pertahan di Jakarta.
Para Gubernur di Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Komando Militer-KODAMsetempat. Bupati diangkat dan diberhentikan oleh Perwira KODIM, pun Camat dan Lurah
ditentukan Komando Distrik Militer setempat. Status ini dinamakan Jendral A.H.Nasution
sebagai SOB. Jendral A.H.Nasution harus mempergunakan istilah bahasa Breda ( bahasa
VOC).
Penunjang kekuatan politik Presiden Soekarno, terutama PKI menjadi lemah, kendatipun
demikian Presiden Soekarno, sebagai jawaban RI terhadap subversi asing, terutama subversi
Belanda, men-Dekrit-kan penasionalisasian asset asing, terutama Modal Monopol Belanda di
Indonesia dan dijadikan hakmilik RI, guna memperkuat Perekonomian Sektor Negara.
Dengan mempergunakan SOB (istilah VOC) Jendral A.H.Nasution menempatkan para Jendral
TNI AD untuk mengambil Management disemua Perusahaan-Perusahaan, PerkebunanPerkebunan dan system per-Bank-an, yang telah dijadikan PN-PN Negara RI.
Dimulai Business Militer dalam sejarah RI, dan Jendral A.H.Nasution mengeluarkan Doctrin
apa yang dinamakan "Dwi Fungsi ABRI", untuk melegalisasi kekuasaan Militer tersebut.
Militer bukan lagi Aparat Negara, melainkan Badan Exekutive dalam Tatanegara RI, hanya
masih "Dualisme" dengan Presiden Soekarno, dengan Manipol dan USDEK yang ditunjang
oleh kekuatan politik NASAKOM, terutama oleh Partai Nasional Indonesia dan Partai
Komunis Indonesia.
Untuk merebut seluruh kekuasaan Negara RI, Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD
lainnya harus menghancurkan NASAKOM, terutama menghancurkan PKI dan kemudian
membunuh Presiden Soekarno. Bantuan untuk itu bukan hanya dari Amsterdam-Balanda,
tetapi dan terutama dari CIA akan diperoleh oleh Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI
AD lainnya, karena Pentagon yang sedang bankrupts/bankrott di Perang Vietnam,
membutuhkan "orang Asia untuk membunuh orang Asia di Vietnam" untuk Petagon-USA
(Doctrin Nixon).
Provokasi dan Provokasi - apakah dikalangan Partai-Partai Politik dalam NASAKOM,
ataukah dikalangan ABRI, pun dikalangan Mahasiswa/Pemuda di organisasi oleh CIA
bersama dengan para Jendral TNI AD dan puncaknya yang mentukan adalah 30 September'65,
ketika konflikt terbuka didalam intern TNI AD, diantara Perwira Tinggi TNI AD/para Jendral

dengan Perwira Menengah TNI AD. Para Perwira Menengah seperti nama-nama yang sering
disebut, seperti Col.Sabur, Col.Untung, Col.Latief, yang menolak permainan CIA dengan
Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya, untuk menjatuhkan Presiden
Soekarno-artinya untuk menghancurkan RI-. Para Perwira Menengah tsb. - Col.TNI AD
Sabur, Col.TNI AD Untung, Col.TNI AD Latief tidak ada hubungan organik dengan PKI,
karena mereka itu bukanlah anggota atau Pimpinan PKI.
Kesempatan tsb.diatas diambil oleh Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya
untuk melaksanakan Program Red drive Proposal seperti di Madiun, seperti yang dijalankan
oleh DII & TII, seperti yang dilakukan oleh para Perwira TNI AD yang melakukan Gerakan
Separatisme PRRI, PERMESTA, etc. Dalam tempo tigabulan pertama para Jendral TNI AD
menjagal manusia Warganegara RI. dari Mentri s/d orang awam hampir 750.000 manusia; dan
selanjutnya, Pemerintahan Jendral TNI AD Suharto-Golkar dengan nama ORDE-BARU
hampir 1,7 juta WarganegaraRepublik Indonesia yang dijagal/dibunuh oleh TNI AD. Presiden
Soekarno dibunuh a la Hamlet atau a la Singosari.
Dengan demikian Militer (TNI AD)-Jendral Suharto menguasai sepenuhnya Exekutive;
KOPKAMTIB sebuah Aparat yang Non-Konstitusionil, menguasai bukan hanya Exekutive
untuk memperkuat kekuasaan Militer, tetapi juga menguasai Yudikative - menjatuhkan dan
melaksanakan Hukuman atas Warganegara RI yang dituduh PKI atau Soekarnois dan
diantaranya Tahanan Politik-Legislative -Para Jendral TNI AD meletakkan seratus orang para
Perwira TNI AD dalam MPR.
Mereka inilah sesungguhnya yang menguasai kekuasaan Negara RI - Coup d 'etat para Jendral
TNI AD berhasil. Dan GOLKAR diperlukan untuk applauds.
Amsterdam puas, karena Jendral TNI AD Suharto mengembalikan kepada "Pemiliknya"
Perusahaan-Perusahaan dan Perkebunan-Perkebunan, etc. yang dinasionalisasi oleh
Pemerintah NASAKOM.
Modal Asing bisa beroperasi di Indonesia tanpa pajak, dan Prof.Sadli bangga dengan Konsep
Ekonomi-nya. IMF menganugrahi Jendral TNI AD Suharto jutaan US-Dollar. Pentagon
gembira, karena Jendral Suharto-Golkar(Orde-Baru) tidak menentang Perang USA di
Vietnam.
Tetapi Rakyat Indonesia kembali mengalami GLOBALISASI sebelum terminology ini
populer di Media seperti sekarang. Dan Globalisasi Ekonomi ini dialami Rakyat
Indonesia/Nusantara hampir 350 Tahun, yang dimulai oleh J.P.Coon, disempurnakan oleh
Jendral van den Bosch (VOC), dijaga keras oleh Jendral Daendels, dan diteruskan oleh Jendral
TNI AD Suharto-Golkar dengan nama ORDE-BARU. Pemerintahan sekarang? ORDE-BARU
dalam bentuk yang diselubungi oleh tabir sutra yang tipis.
Para Tehnokrat sekarang ini yang berada di Institut-Institut Ilmu Pengetahuan, seperti LIPI
atau CSIS, etc. sibuk mengobrol "Apakah Jendral Suharto terlibat dalam melakukan Genoside
30 September'65". Terang-terangan Exekutiv, Yudikative dan Legislative dikuasai oleh para
Jendral TNI AD dan masih ingin mengajukan pertanyaan seperti itu, Sebagai Sarjana Tinggi
adalah sangat menyedihkan atau usaha untuk mengelabui mata 200 juta Rakyat
Indonesia.Penarik Beca dari Tanjungperiok, di Manggarai, s/d Bukitduri,etc. dengan
pengalaman pengamatan mereka, mereka mengerti sangat, bahwa Militer, dibawah Komando
para Jendral TNI AD melakukan coup d'etat dan untuk itu membunuh ribuan manusia,
tetangga dan anggota keluarga mereka.
Dalam waktu yang sama, sekarang ini para Sarjana CSIS sibuk mengobrol/Seminar mengenai
"Pertahanan Nasional" atau "Keamanan Nasional" atau terminology apalagy, yang seperti itu.

Hanya para Tehnokrat tsb. dalam Paper mereka tak pernah menyebut, bahwa masalah
Pertahanan Nasional menyangkut erat masalah Perekonomian Nasional/Sektor Negara yang
kuat.
Doctrin Pertahanan Nasional yang bagaimana yang akan bisa dirumuskan oleh CSIS, kalau
Perekonomian Sektor Negara berada ditangan global corporation of multinational company?
Kalau TNI AD hanya berfungsi untuk menjagal/membunuh para Patriot, Pendiri, Pembela
Republik Indonesia, semenjak RI diproklamasikan? Kalau para Jendral TNI sudah tidak
mempunyai harga diri sebagai Bangsa Merdeka,bahwa disaat Senat USA meng-Undang-kan
EMBARGO penjualan alat-alat tehnik Militer dan Persenjataan ke Republik Indonesia,Mentri
Pertahanan RI memerintahlan untuk melakukan latihan Bersama antara Angkatan Laut RI
dengan Angkatan Laut USA beberapa bulan yang lalu di wilayah perairan RI?. Kalau Rakyat
Indonesia lapar,sakit,penganggur,etc?
Delegasi Kementrian Pertahan RI hari ini membicarakan di Moskow dengan Pemerintahan
R.F.Russia mengenai pembelian senjata (kemungkinan utang jangka panjang) seperti beberapa
biji Pesawat Tempur SU 27, beberapa biji Helicopter, beberapa biji Peluru-Kendali, beberapa
buah Kapal Selam, etc. Andaikan Delegasi tsb. berhasil mencapai persetujuan dengan Utang
Jangka Panjang pembelian persenjataan tsb. dengan Pemerintah R.F.Russia, bagaimana
Pesawat-Pesawat tsb. bisa terbang tanpa BBM?, karena Minyak telah diberikan oleh Yusuf
Kala/Aburizal Bakrie pada "Majikan mereka" Exxon dan Texaco.
Justru itu, kalau para Sarjana di CSIS ingin merumuskan Doctrin Pertahan Nasional, pertamatama harus menasionalisasi Asset Asing/Kapitalmonopol Asing di Indonesia, terutama yang
mempromosi dan membantu Gerakan Separatisme melawan RI dan re-nasionalisasi BUMNBUMN yang di-divertasi dan membantu perkembangan Industri Nasional untuk memperkuat
Perekonomian Sektor Negara, seperti yang diajukan oleh Program Tuntutan ALIANSI
PERJUANGAN RAKYAT.
60 Tahun Sejarah Kemerdekaan RI, tapi Rakyat Indonesia belum mengenal apa itu Hak Azasi
Manusia dan Yusril Ihza Mahendra yang memegang Mentri Kehakiman dan Hak-Hak
Manusia dalam dua pemerintahan berusaha menutupi kejahatan genoside Jendral TNI AD
Suharto-Golkar. Rakyat Indonesia belum pernah menghirup udara Demokrasi, karena Rakyat
Indonesia hanya mengenal SOB dan sepertinya. Rakyat Indonesia tidak mengenal apa itu
Kesejahteraan Sosial, hanya mengenal miskin, lapar, sakit busunglapar, ditindas dan dihina
oleh penguasa.
Justru itu, pemutarbalikkan sejarah Rakyat Indonesia, takkan membawa akhir yang baik,
karena lambat atau cepat Rakyat Indonesia akan meluruskan sejarahnya sendiri. = Perdura lo
que un pueblo defiende = Segala perkembangan ditentu oleh Rakyat, seruan Angkatan
Bersenjata Venezuela.
Dr.rer.pol.A.Tchaniago
Alamat Penulis:
Dr.rer.pol.A.Tchaniago
Joseph-Oertgen-Weg 37
45327 Essen - Germany
Phone : 0201/46 90 486
Mobil : 0177/62 45 486
E-Mail : sallysalido@hotmail.de.

Date: 2005/10/11
Section: Politik
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=49

Apa Sebab Bung Karno Bisa Digulingkan

Diterbitkan oleh Jurnal Solidaritas (SKP HAM )

Dipresentasikan dalam Seminar SKP-HAM


di Balairung Universitas Negeri Manado (UNISMA) Tondano
Kata Pengantar :
Apa yang diuraikan dalam brosur ini hasil investigasi penulisnya sebagai wartawan,
anggota DPA & anggota MPRS, pada saat saat G30S sedang direncanakan, yang
kemudian diuji kebenarannya dengan pertemuannya dengan pihak pihak yang
terlibat dalam gerakan itu, mulai dari Letnan Kolonel Untung Samsuri , komandan
Batalyon I Tjakrabirawa yang menjadi komandan gerakan , serta perwira perwira
pendukungnya seperti Kolonel A. Latief., Komandan Brigade Infanteri I Kodam V
Jaya , Mayor Bambang Soepeno. Komadan Batalion 450 / Brawijaya dari Madiun dan
Kapten Kuncoro ,Kepala Staf Batalion 454/Diponegoro dari Semarang, yang
didatangkan oleh Panglima Kostradi Mayjen Soeharto ke Jakarta untuk mendukung
gerakan. Demikian pula pembicaraannya dengan Nyono orang pertama PKI untuk
DKI Jakarta dan Sekitarnya yang menjadi komandan kekuatan PKI mendukung
gerakan. Juga pembicaraannya dengan Ketua Umum PKI D.N. Aidit menjelang
meletusnya G-30-S.
Masih dilengkapi lagi pembicaraannya dengan semua Komandan Regu yang ditugasi
menculik para Jendral ketika bertahun tahun kumpul bersama dalam tahanan.
Pembicaraan penulisnya dengan DR. Soebandrio setelah dia bebas dari tahanan, yang
mengakui menjadi bagian dari G-30-S , memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai gerakan yang akhirnya menggulingkan Bung Karno dari posisinya sebagai
Kepala Negara dan dari semua jabatan kenegaraan yang melekat pada dirinya.
Dan semuanya menjadi lebih gamblang setelah terbitnya "The Foreign Relation of
The United States" yang menjelaskan bagaimana CIA (AS.) dan MI 6 (Inggris)
menggulingkan Bung Karno.
Mudah- mudahan kehadiran brosur ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca.
AMIN..!
Pemimpin Umum

Jurnal Solidaritas
Freddy Sutedi
Jakarta , 21 Mei 2003.

APA SEBAB BUNG KARNO BISA DIGULINGKAN ?

Oleh : A. Karim DP
Ada sebuah pertanyaan yang pernah ditujukan kepada saya, sebuah pertanyaan yang amat
berat, tapi sekaligus juga pertanyaan yang cerdas : "Apa sebab Bung Karno bisa di gulingkan",
maksudnya setelah meletus G30S.
Belanda yang berpengalaman 350 tahun menjajah Indonesia dan menindas rakyat Indonesia
habis-habisan, tidak mampu menundukkan Bung Karno yang menuntut Indonesia merdeka
sekarang juga. Lima tahun perang kemerdekaan, dimana Belanda sudah berhasil menangkap
Bung Karno, perlawanannya tidak dapat dipatahkan.
Akhirnya dunia menjadi saksi, pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana DE DAM
Amsterdam, Ratu Belanda Juliana harus menyerahkan kedaulatannya atas Hindia Belanda
kepada Indonesia di depan mata dunia, sambil meneteskan air mata.
Tapi mengapa pada tahun 1967 Bung Karno melepaskan kekuasaannya direbut Jendral
Soeharto ? Ini bertentangan dengan ajaran Bung Karno sendiri untuk jangan sekali-kali
menyerahkan kekuasaan yang ada di tangan dengan sukarela kepada musuh.
Apakah Bung Karno sudah sangat lemah semangat juangnya, sehingga tidak ada alternatif lain
kecuali menyerah ?
Orang awam bisa menjawab, Bung karno bisa digulingkan karena memang dia mau di
gulingkan tapi tentunya tidak sesederhana itu. Roeslan Abdulgani mengatakan bahwa Bung
Karno menyatakan kepadanya begini :
"Cak Roes ! saya sadar bahwa saya mau tenggelam. Biarkanlah saya tenggelam asal rakyat
Indonesia tetap bersatu".
Saya tidak mendengar langsung Bung Karno berkata begitu, karena saya sudah ditahan. Tapi
kalau Bung Karno bersikap seperti apa yang di katakan oleh Pak Roeslan, perlu diteliti apa
sebabnya. Karena hati kecil kita akan mengatakan bahwa sikap itu tidak sesuai dengan
karakter Bung Karno yang kita kenal, yaitu tidak mudah menyerah. Apa lagi kepada Jendral
Soeharto hanya orang bawahannya.
Namun itulah yang terjadi
Mengapa ?
Pada hari Maritim 1967, Bung Karno diundang oleh Markas Besar Angkatan Laut untuk
memberikan amanat langsung pada peringatan itu di Surabaya. Yang datang menghadap Bung
Karno menyampaikan undangan dua orang Laksamana Madya yaitu Jatidjan waktu itu
menjabat Mentri Maritim dan Mursalim D.M. Menko Wakil Ketua DPR-GR. Bung Karno
menolak. Alasannya, kalau ia ke Surabaya, kemungkinan besar akan timbul kesulitan dengan

kemungkinan tidak bisa kembali ke Jakarta, karena rakyat Jawa Timur memang menghendaki
komando perlawanan. Saya pernah membaca salah satu tulisan Jenderal A.H. Nasution,
katanya di malang sudah disediakan 6 perumahan untuk ditempati Bung Karno dan
keluarganya.
Agaknya Bung Karno memperhitungkan, kalau ia berada di Surabaya, kemungkinan besar
perang saudara tidak dapat di hindari. Jawa Timur dengan bantuan Jawa Tengah akan
menyerang kekuatan Soeharto. Ini tidak di inginkan oleh Bung Karno. "Biarkan saya
tenggelam asal rakyat Indonesia tidak pecah, tetap bersatu" demikian Bung Karno. Siapa yang
menang jika pecah perang saudara, tidak ada kalkulator yang bisa menghitungnya.
Sungguh malang nasib Bung Karno, karena Jenderal Soeharto kemudian memerintahkan
kepadanya supaya meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung
Karno beserta semua anak-anaknya pergi dari Istana dengan pakaian kaos oblong dan celana
piyama beralaskan kaki dengan sendal, menumpang mobil volkswagen kodok satu-satunya
mobil milik pribadinya yang dihadiahkan oleh piola kepadanya, pergi kewisma yaso, dimana
kemudian menjadi tempat tahanannya sampai wafat. Semua kekayaannya, di tinggalkan di
Istana, tidak sepotongpun yang di bawa pergi kecuali bendera pusaka Merah Putih yang di
bungkusnya dengan kertas koran. Anak-anaknya pun tidak boleh membawa apa-apa, kecuali
pakaian sendiri, buku buku pelajaran sekolah dan perhiasannya sendiri. Selebihnya
ditinggalkan semua di Istana dan sampai sekarang tidak kedengaran bagaimana nasib barangbarang itu.
Megawati yang sekarang Presiden kita, sepertinya melupakan begitu saja TAP MPRS No.
XXXIII/1967yang menggulingkan Bung Karno, yang juga menugaskan kepada Jenderal
Soeharto waktu itu Pejabat Presiden, untuk menyelesaikan persoalan hukum menyangkut
Dr.Ir.Soekarno, yang tidak pernah di laksanakan sampai Bung Karno wafat sebagai Tahanan
G30S.
Selama Bung Karno di tahan di Wisma Yaso, diperlakukan sangat tidak manusiawi. Bung
Hatta menceritakan bagaimana permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekedar
mengizinkan mendatangkan seorang dukun pijet ahli langganan Bung Karno dan juga
langganan Bung Hatta, di tolaknya. Bung Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan dukun
ahli itu, penderitaannya akan berkurang.
Itulah kemudian yang mendorong Bung Hatta menulis surat kepada Bung Soeharto yang
mengecam tidak manusiawinya sikap itu, pada tanggal 15 Juli 1970.
Bahkan sebelumnya, Bung Hatta sudah minta kepada Soeharto lewat Durmawel, SH, penuntut
umum perkara Dr. Soebandrio, supaya Soeharto sesudah 3 tahun lebih mengusut perkara Bung
Karno, segera mengajukannya kepengadilan untuk memastikan apakah Bung Karno bersalah
atau tidak. Sebab jika Bung Karno meninggal dalam statusnya sebagai tahanan politik karena
tidak di adili, maka rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang percaya bahwa Bung Karno
tidak bersalah, akan menuduh pemerintahan Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung
Hatta. (Baca : Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik).
Dan memang itulah yang terjadi, Soeharto tentu di tuduh sengaja membunuh Bung Karno.
Bung Karno menderita penyakit gagal ginjal, dimana kedua ginjalnya tidak berfungsi lagi
dengan baik, tapi saya kira tidak di berikan pengobatan cuci darah, sehingga nampak
wajahnya bengkak-bengkak, menyebabkan jiwanya tidak tertolong lagi.
Seumpama penyiksaan Soeharto terhadap Bung Karno yang begitu tidak manusiawinya di
lupakan oleh Mega dan memaafkannya seperti yang di tuntut oleh pendukung Soeharto,
dengan alasan bahwa Soeharto sekarang menurut pengakuan para dokternya sudah menderita

sakit di otak yang tidak bisa di sembuhkan lagi, betul-betul sangat mulia budi Mega yang tidak
bisa dicarikan bandingannya. Karena Tuhan sendiripun tidak bisa mengampuni dosa seorang
hambanya, sebelum yang bersangkutan bertobat dan meminta maaf kepada pihak yang di
cederai, dan memaafkannya.
MAHA KARYA PARA PENDONGKEL
Apa yang saya uraikan di atas merupakan maha karya dan prestasi agung dari para pendongkel
Bung Karno, yang di pelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), Kesatuan Aksi
Pemuda/Pelajar (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan berbagai kesatuan
aksi lainnya lengkap dengan laskar-laskarnya dan backing ABRI, yang terus-menerus lakukan
demonstrasi sambil menghujat Bung Karno, dengan mendapat ransum tiap hari 5000 (lima
ribu) nasi bungkus lengkap dengan lauk-pauknya, dari Kedutaan Besar Amerika yang
mengalokasikan dana satu juta US $, di tukar dengan rupiah di pasar gelap. Demikian di
sinyalir oleh Bung Karno.
Disamping itu juga DPR-GR dan MPRS yang susunan keanggotaanya sudah direvisi oleh
Soeharto, serta berbagai partai politik yang cepat berbalik menjadi anti Soekarno, semuanya
serentak bergerak mensukseskan maha karya dan program agung
untuk menggulingkan Soekarno, serta menghujatnya habis-habisan, untuk menaikkan
Soeharto yang mereka nilai sebagai "Pahlawan dan Pemimpin Besar" yang baru muncul.
Partai Nasional Indonesia (PNI)partai yang didirikan oleh Bung Karno pada tahun 1927 dan
terus menerus mendukungnya, tiba-tiba dalam kongresnya di Bandung 28 April 1966, seperti
Yudas mengkhianati Yesus, menyatakan mengingkari kepemimpinan Bung Karno .Bahkan
dalam pernyataan Kebulatan Tekad , partai itu menyatakan tidak menghendaki lagi
kembalinya Bung Karno dalam kepemimpinan Nasional dan Negara.
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tadinya berdiri paling depan mendukung Bung Karno ,
kini jangankan membela, menyelamatkan dirinya saja tidak mampu karena garisnya yang
mempertahankan legalitas dan kader kadernya disuruh mendaftarkan diri di Front Nasional,
langsung ditangkap atau dibunuh.
PKI sendiri yang karena sejak awal sudah terlibat dalam gerakan, untuk menutupi
keterlibatannya , partai ini menempuh jalan mempertahankan legalitas yang berakibat fatal.
Banyak kader PKI yang tidak tahan uji, menerima "jabatan" menjadi interrogator dari
penguasa dan membuka isi perut partainya kepada musuhnya
Sesudah Soeharto berhasil didudukkan di singgasana kekuasaan, ia segera ditopang bukan saja
oleh ABRI, tetapi secara politik oleh GOLKAR yang tidak lain dari partai politiknya Soeharto,
yang selama 30 tahun di desain terus menerus menang mutlak dalam Pemilihan Umum dan
terus menerus juga memilih kembali Soeharto sebagai presiden. Soeharto duduk disinggasana
kepresidenan selama 30 tahun, sedang Bung Karno yang memproklamasikan kemerdekaan
hanya sempat berkuasa 20 tahun.
G30S yang disebut oleh Bung Karno sebagai GESTOK (Gerakan 1 Oktober)yang langsung
dipimpin oleh Soeharto , memang dialah arsiteknya, Dr Soebandrio yang waktu itu Wakil
Perdana Menteri 1 , Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Intelijen (BPI) menambahkan
bahwa prestasi gemilang Soeharto tidak terlepas dari dukungan Amerika Serikat , yang
memang sudah lama berusaha menggulingkan Bung Karno dan sekaligus menghancurkan
PKI , seperti yang terungkap dalam buku "Foreign Relations of the United States" yang
diterbitkan dan dicetak oleh percetakan Negara AS, tapi yang ditarik kembali oleh
Departemen Luar Negeri dari peredaran , karena isinya masih harus dirahasiakan . Tetapi
sudah banyak yang lolos ke luar negeri , dan saya menerima copynya dari sahabat saya di

Australia, Prof. Dr. Angus Mc Intyre.


Pembuktian lain bahwa Soeharto adalah sang arsitek , menurut pengakuan Untung , 3 minggu
sebelum M meletusnya G30S , ia dan Kol. Latief , masing masing sebagai Komandan Batalion
1 Tjakrabirawa dan Komandan Brigade Infanteri 1 Kodam V Jaya , sudah merundingkan
dengan Soeharto langkah-langkah yang perlu diambil.
Untung dan Latief kedua-duanya bekas anak buah Soeharto , dan persahabatan mereka terus
berkelanjutan . Kunjungan Latief ke RSPAD "Gatot Subroto" pada malam gerakan akan
dilancarkan 4 jam kemudian, menemui Soeharto sedang menemani isterinya menunggui anak
bungsu mereka Tommy yang sedang dirawat di sana karena kena guyur sup mendidih , anak
kesayangannya yang diyakini membawa rezeki , adalah kontak terakhir pelaksana gerakan,
untuk melaporkan bahwa gerakan segera dilaksanakan (4 jam kemudian) , yang diterimanya
dengan penuh keseriusan.
Belakangan Kolonel Latief mengakui dalam bukunya edisi ke II bahwa laporan yang sama
disampaikan juga kepada Panglima Kodam V Jaya, Umar Wirahadikusuma.
Jadi, kedatangan Latief ke RSPAD "Gatot Subroto" pada tanggal 30 September 1965 pukul
11.00 malam , samasekali bukan untuk membunuh Soeharto seperti yang pernah dikatakannya
kepada seorang wartawan Jerman , tapi untuk menerima laporan akhir mengenai gerakan.
Menurut seorang saksi, segera sesudah itu, Soeharto berangkat ke KOSTRAD untuk
konsolidasi pasukan dan keliling kota melihat-lihat keadaan , lewat di depan RRI, kantor
Telkom dan TVRI.
Rencana ini diperhitungkan dengan cermat untuk menjamin kesuksesannya, dengan seminggu
sebelum pelaksanaan, Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD mendatangkan 3 (tiga) Batalion
pasukan tempur berpengalaman , masing masing dari Semarang , Madiun dan Bandung yang
berada dibawah komando KOSTRAD . Kapten Kuncoro, kepala staf Batalion 454/Diponegoro
yang ditahan satu sel dengan saya di blok isolasi Blok N penjara Salemba (Jakarta),
menceritakan bahwa ketika batalyonnya tiba di Jakarta menumpang serentetan kereta api
panjang memuat prajurit, kendaraan, senjata ringan dan berat serta peluru yang cukup untuk
pertempuran 10 hari sebagaimana diinstruksikan, Soeharto datang mengucapkan "selamat
datang" dan meng-inspeksi pasukan serta perlengkapan-perlengkapannya. Kendaraan yang
sudah tua diganti dengan yang baru, begitu juga senjata-senjatanya.
Semua tidak ada yang dilaporkan oleh Soeharto kepada atasannya, padahal persiapan gerakan
ini beresiko tinggi, sehingga tidak ada secuilpun tindakan untuk mencegah di bunuhnya 6
Jenderal teras Angkatan Darat yang diculik oleh gerakan militer yang sudah dipersiapkan
dengan baik. Ternyata Jenderalyang diculik lalu dibunuh itu, adalah musuh-musuhnya
Soeharto, demikian diterangkan oleh Dr. Soebandrio.
Banyak keterangan yang bisa saya gali dari kapten Koencoro, Kepal Staf Batalyon
454/Diponegoro, Mayor Bambang Soepeno, Komandan Batalyon 530/Brawijaya dan Kapten
Soeradi, Kepala Seksi I-nya Kol. Latief,ketika saya berkumpul dengan mereka satu sel dalam
tahanan isolasi di Blok N penjara Salemba, yang tidak mungkin saya ceritakan semua disini
karena memerlukan waktu panjang, namun semuanya memperjelas keterlibatan Soeharto
dalam G30S.
Di penjara Salemba saya pernah bertanya kepada M. Naibaho, staf Agitprop PKI dan
pemimpin redaksi "Harian Rakyat" organ resmi PKI : "Mengapa PKI mendukung G30S ?",
padahal gerakan itu kalah ? jawabnya : Karena waktu itu PKI berpendapat, minimal dengan
kehadiran 2 Batalyon tentara dari Semarang dan Madiun yang katanya progressif atas perintah
Soeharto, adalah kesempatan yang tidak akan berulang lagi. Oleh karenanya, gerakan di
dukung untuk menghacurkan kekuatan di AD yang anti PKI dan anti Kabinet NASAKOM.

Tapi ada alasan lain yang layak dipertimbangkan, karena bersumber dari orang pertama PKI,
yaitu DN. Aidit.
Kebetulan Aidit yang ikut dalam delegasi Indonesia ke Konperensi Asia-Afrika II di Aljazair
dibawah pimpinan Presiden Soekarno (yang gagal), berangkat dari Jakarta 23 Juni 1965 dan
berhenti sampai Kairo, tidak melanjutkan ke Aljir.
Hari itu gedung Konperensi di ledakan dengan bom, yang tidak di ketahui siapa pelakunya.
Aljazair sendiri sendiri sedang dalam kondisi politik yang tidak stabil, karena tiba-tiba saja
menjelang penyelenggaraann KAA-II, Presiden Ben Bella di-coup oleh Kolonel Houari
Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair pada tgl. 19 April 1965. Ben Bella
dituduh bertindak sewenang-wenang selama masa kekuasaannya yang 641 hari, mau kuasa
sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah.
Saya sendiri ikut dalam rombongan ini sebagai wartawan.
Dari Kairo, Bung Karno pergi ke Paris dan mengumpulkan para Duta Besar kita yang ada di
AS dan Eropa, untuk mendapatkan briefing mengenai kegagalan KAA-II dan sekaligus
menguraikan persiapan Conference of the New Emerging Forces (CENEFO) yang akan
diselenggarakan di Jakarta.
Di Paris Aidit berjumpa dengan6 tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri dari
negrinya, karena takut di tangkap oleh Boumedienne. Kata Aidit kepada saya, justru dia minta
kepada mereka supaya segera kembalike Aljazair dan memobilisasi massa rakyat untuk
mendukung Boumedienne ,karena di nilainya, berbeda dengan coup d'etat yang bisa dikenal,
coup Boumedienne ini berwatak progressif. Aidit yang saya interview sesudah pertemuannya
dengan kamerad kameradnya dari Aljazair dan tokoh-tokoh Partai Komunis Perancis,
mengatakan pendapatnya bahwa coup seperti yang di lancarkan oleh Boumedienne, apabila di
dukung 30 Pct rakyat, bisa bermutasi menjadi revolusi. Ia berjanji akan menjelaskan kepada
saya teorinya itu di tanah air. Waktu itu ia tergesa-gesa mengejar pesawat terbang yang
hendak berangkat ke Moskowdan memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, dengan
membawa teorinya itu, mungkin hendak di terapkan di Indonesia. Sayangnya sejak itu, saya
tidak pernah lagi bertemu dia sampai ia dieksekusi atas perintah Soeharto.
Mungkin teori inilah yang diterapkannya di Indonesia, karena dalam sidang Dewan Harian
Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, di putuskan mendukung gerakan perwira muda
yang tergabung dalam G30S yang bertujuan hendak mematahkan gerakan para Jenderal yang
beroposisi terhadap Bung Karno dan hendak merevisi ajaran-ajarannya, dan sekaligus
menghendaki terbentuknya Kabinet baru dengan intinya para Jenderal.
Tpi ketika saya berjumpa dengan Ismail Bakri, Sekretaris CDB PKI Jawa Barat di Bandung,
ketika kami sudah sama-sama bebas, ia mengaku ikut hadir dalam sidang Dewan Harian
Politbiro yang dimaksud, dan menyatakan tidak mendukung putusan itu. Ia mengeluarkan
statement yang menolak ke-ikut sertaan PKI mendukung G30S.
NASIB SIAL UNTUNG.
Nasib sial menimpa Let. Kol.Untung, meski pun ia sudah membantu Soeharto. Dr. Soebandrio
mengatakan kepada saya, Soeharto memutuskan Untung harus di bunuh sesuai petunjuk
dukunnya, karena inilah syarat untuk kejayaan Soeharto. Sebetulnya, kata Soebandrio, ia
sendiri juga akan di eksekusi 4 hari sesudah untung, tapi oleh suatu keajaiban mendadak
DIBATALKAN. Untung sempat mengucapkan "selamat tinggal sampai bertemu di sana",
sambil menunjuk kelangit, kepada Dr. Soebandrio.
Soebandrio menceritakan dalam bukunya "Kesaksianku tentang G30S", ini saya mengulangi

saja karena mungkin saudara-saudara sudah membaca bukunya -, suatu hari diakhir 1966,
Untung di jemput dari selnya di penjara Cimahi oleh beberapa sipir penjara. Diberitahukan
bahwa ia akan di eksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya.
Kata Dr. Soebandrio lagi :
Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara di Cimahi, benar-benar
hanyut dalam suasana haru. Saya bukan saja terharu, tapi juga panik, sebab Ahmad Durmawel,
SH, oditur militer yang mengadili saya, saat itu memberitahukan bahwa saya akan
mendapatkan giliran 4 hari kemudian. Saya ingat saat itu hari selasa, berarti saya akan di
eksekusi pada hari sabtu.
Sebelum Untung di jemput untuk dibawa ke luar penjara, saya sempat menemuinya. Saat itu ia
sudah ditanya tentang permintaan terakhir seperti lazimnya bagi orang yang akan di eksekusi.
Mungkin karena Untung panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya
akan dieksekusi hari sabtu. Maka pertemuan saya dengan Untung benar-benar luar biasa.
Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati
kami tidak keruan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya saya 4 hari lagi.
Saat itu ada kalimat perpisahan dari Untung yang saya ingat sampai sekarang.
Bahkan saya ingat suasana hening saat itu, ketika Untung menyampaikan kata-kata
perpisahannya kepada saya. Para sipir dan tentara berwajah angker lengkap dengan senjata
mautnya, dalam sikap siaga mengawal Untung dan mengawasi saya dari jarak yang agak jauh.
Mereka seperti maklum dan memberikan kesempatan terakhir kepada Untung untuk berpesan
kepada saya, kata Soebandrio.
Untung mangatakan demikian : "Pak Ban , selamat tinggal, jangan sedih, empat hari lagi kita
bertemu di sana", sambil menunjuk kelangit. Untung mengucapkan kata perpisahannya
dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Perwira yang gagah berani itu,
pahlawan pembebasan Irian Barat yang di terjunkan dari udara, tidak menangis, tapi saya lihat
dia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka akan di khianati oleh
Soeharto.
Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya, bahwa
tidak mungkin Soeharto akan mengkhianatinya. Sebab ia adalah sahabat Soeharto dan ia
mengulangi lagi bahwa Soeharto sangat mengetahui rencana G30S, bahkan memberikan
bantuan pasukan. Karena itu ia sangat yakin tidak akan di khianati oleh Soeharto. Tapi toch
kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi keyakinan Untung, saya tidak bisa bicara apaapa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang mengawal kami,
menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini.
Menjelang senja, dengan pengawasan ekstra ketat, Untung berjalan menuju pintu gerbang
untuk meninggalkan penjara Cimahi. Saya mengamatinya dari penjara dan ia tampak berjalan
tegap. Mungkin ia sudah bisa menguasai perasaannya. Saya kemudian mendengar bahwa
Untung di eksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung.
Saya tidak sempat lagi sedih memikirkan nasib Untung. Hidup saya sendiri akan berakhir
sebentar lagi. Terus terang, setelah Untung di eksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia
mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah di tentukan.
Tapi - inilah keajaiban -, Presiden AS, Lyndon B. Johnson dan Ratu Kerajaan Inggris
Elizabeth, diluar pengetahuan saya mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya
mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat kawat dari kedua
Kepala Negara itu ini juga ajaib -, hampir sama intinya berbunyi demikian : "Soebandrio
jangan di tembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat".

Itulah pengakuan Dr.Soebandrio sendiri.


Tentu saja pernyataan Presiden Jhonson dan Ratu Elizabet yang sama itu kembali menjadi
keajaiban besar, karena Soebandrio sendiri mengatakan dalam bukunya "Kesaksianku tentang
G30S" bahwa ia bukan sekedar bagian dari sejarah G30S, melainkan pelaku sejarah itu
sendiri.
Biarlah sejarah mencatat siapa yang jujur dan siapa yang bohong.
Saya hanya ingin menambahkan nasib Bung Karno, yang juga sangat berjasa kepada Soeharto,
karena mengangkatnya menjadi Jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer
karena perbuatan korupsinya sewaktu menjabat Panglima Diponegoro, dengan mengganjarnya
dengan hanya di suruh belajar di Seskoad, yang justru ijazahnya di jadikan modal untuk
menggulingkan Bung Karno dan menyiksanya .
Saya mendengar sepenggal cerita dari orang yang mengakui ikut memperhatikan dan
mendengar dialog saat-saat Bung Karno COMA. Sebentar-bentar telepon berdering, kira kira
menanyakan bagaimana kondisi Bung Karno. "Belum", di jawab dari telepon jaga di RSPAD
Gatot Subroto. Akhirnya cairan dari tabung infuse tidak menetes lagi, tanda jantung tidak lagi
berfungsi, telepon yang terus berdering di jawab .." sudah selesai !".
Inna lillahi wa-inna ilaihi rojiun !
Bung Karno pergi dengan meninggalkan warisan besar kepada Soeharto berupa pangkat
Jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena korupsinya, kemudian
Soeharto mengkhianatinya.
Soedisman, Sekjen CC PKI, telah mengeluarkan buku KRITIK DAN OTOKRITIK saya kira
saudara saudara sudah membacanya yang secara tidak langsung mengakui keterlibatan PKI
dalam G30S.
Pada awal tadi sudah saya katakan bahwa Panitia Seminar minta kepada saya untuk menjawab
pertanyaan yang amat berat : "Apa sebab Bung Karno bisa di gulingkan ?".
Kalau saudara-saudara sudah membaca buku "Foreign Relations of the United States" yang
mengenai Indonesia saja 800 halaman, menunjukkan betapa pentingnya Indonesia di mata
Amerika akan menemukan jawaban pertanyaan diatas .Dokumen itu mengungkapkan upaya
Smerika hendak menjatuhkan Bung Karno dan menghancurkan PKI, upaya mana berhasil.
Katakanlah upaya itu adalah faktor external, yang seharusnya tidak menentukan jika tidak
mendapat dukungan dari faktor internal yang kuat.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa tergulingnya Bung Karno yang berawal dari
terjadinya malapetaka G30S, sesuai dengan kesimpulan Bung Karno sendiri, ialah karena
adanya 3 faktor sebagai berikut :
1. Lihaynya Nekolim.
2. Keblingernya pemimpin pemimpin PKI.
3. Adanya ke-tidak-beresan dalam tubuh aparat kita sendiri.
Sesungguhnya rumusan Bung Karno itu diperluas olehnya. Rumusan yang pas dan sesuai
dengan kenyataannya, ketiga faktor yang menyebabkan terjadinya G30S ialah :
1. Adanya intervensi Nekolim di Indonesia (AS dan Inggris) yang diikuti dengan persiapan
melakukan invasi (menyerbu) ke Indonesia meskipun dikatakan secara terbatas.

2. Keblinger-keblingernya pemimpin PKI yang tadinya merupakan kekuatan besar pendukung


Bung Karno, karena mengharapkan kekepentingan politik yang lebih besar dari kemungkinan
menangnya gerakan tersebut. Ini di buktikan dengan di bentuknya Dewan militer oleh PKI
menjelang gerakan di mulai, dan semua rapat persiapan G30S dari perwira perwira muda, di
pimpin oleh Syam (Kamaruzzaman), Ketua Biro Ketentaraan (Biro khusus menurut istilah
Orde Baru).
3. Adanya oposisi yang kuat dalam jajaran kekuasaan Bung Karno sendiri, terutama dari
Angkatan Darat dan partai-partai politik yang tadinya pura-pura mendukung Bung Karno
sebelum G30S. Sebagai ganti Nasakom, mereka memperkenalkan istilah baru :
"Soekarnoisme" yang di tolak oleh Bung Karno, karena tafsirannya sesuai selera mereka
sendiri, yang di populerkan oleh "Badan Pendukung Soekarnoisme" (BPS) dan mendapat
dukungan dari Angkatan Darat dan CIA.
Uraiannya ada dalam buku "Foreign Relatio of the United States". Partai Nasional Indonesia
(PNI) yang didirikan oleh Bung Karno dan teman-temannya pada tahun 1927, dan terus
menerus mendukung politik Bung Karno, dalam kongresnya di Bandung 28 April 1966, Sudah
mengingkari kepemimpinan Bung Karno. Bahkan dalam "Pernyataan Kebulatan Tekad" 21
Desmber 1967, PNI mengatakan tidak menghendaki lagi kembalinya Bung Karno dalam
kepemimpinan Negara dan Pemerintahan. Juga PKI yang tadinya mendukung Bung Karno,
jangankan membela, untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja sudah kerepotan.
Walhasil Bung Karno sudah dikepung dari segala penjuru, sehingga tidak mungkin lagi
meloloskan diri, apalagi ia sendiri menolak memberikan komando perlawanan, meskipun
pendukungnya sampai 1966 masih sangat optimis menang, jika Bung Karno mau saja
memberikan komando perlawanan.
Soeharto sejak awal sudah mengatakan bahwa yang mendalangi G30S ialah PKI. Dr.
Soebandrio yang memegang jabatan strategis pada saat itu, yaitu sebagai Wakil Perdana
Menteri I Menteri luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Inteligent (BPI), mengatakan justru
G30S di siapkan oleh Soeharto sejak awal sampai pelaksanaan dan selesainya. Dr. Soebandrio
tidak percaya kalau PKI di sebut dalangnya, sebab kalau PKI yng mempunyai anggota 3 juta
dan pendukung aktif 17 juta yang mendalanginya, akan terjadi banjir darah yang luar biasa
hebatnya.
PKI dalam kesibukannya membantah ke-tidak terlibatan, di mentahkan oleh pengakuan
pengakuan yang di berikan oleh Nyono, anggota politbiro dimuka sidang MAHMILLUB,
dengan mengakui keterlibatan PKI setelah di giring oleh ketua Mahkamah dan Oditur dengan
pertanyaan pertanyaan yang diajukan dimuka sidang.
Pengakuan-pengakuan yang lebih jelas, bisa dibaca dalam buku tentang hasil-hasil
persidangan MAHMILLUB dalam penyelesaian perkara G30S, yang diterbitkan oleh Pusat
Pendidikan Kehakiman Angakatan Darat.
Disamping itu, masih ada lagi surat DN Aidit selaku Ketua Central Comite PKI tertanggal 10
November 1965 (sebelum ia di tangkap), di tujukan kepada seluruh CDB PKI se-Indonesia
terdiri 11 point (di sita dari seorang kader PKI di Jawa Tengah), beberapa yang pokok saya
kutipkan di bawah ini :
1. Akibat gerakan 30 September yang seharusnya adalah 100 pct. Soal Angkatan Darat, telah
mendatangkan malapetaka besar pada PKI, walaupun semua soal ini dalam diskusi dan
instruksi-instruksi yang lalu, telah kami perhitungkan, namun jelas semua tindakan kaum
reaksioner khususnya Dewan Jendral, dapat mengecilkan anggota partai yang masih belum
berpengalaman.

2. Dalam menanggulangi hal-hal ini memang dalam praktek tidak semua persiapan perkiraan
yang lalu, sesuai dengan kenyataanyang telah kita pikirkan, baik dari partai-partai sekawan,
mau pun dari Sosro (maksudnya:Bung Karno)dan Tjeweng (maksudnya: Dr. Soebandrio),
jelas tidak membuktikan kesetia-kawanan, apa lagi memenuhi janji yang telah di ucapkan.
3. Karena itu sekali lagi CC partai perlu menandaskan, semua ini walau tinggal satu orang
partai duduk, akan tetap berjuang; apa yang sekarang terjadi adalah sebagai jenderal repetisi,
tapi bila ucapan politik Sosro dapat di terima Dewan Jenderal, bahwa gerakan 30 September
adalah "een rimpel in't grote oceaan", atau soal kecil, ini untuk kita sagat menolong, berarti
dor-doran dan jor-joran yang sekrang di hadapkan Dewan Jenderal terhadap partai dan oknumoknum kita dapat terhenti,sehingga kita dapat berkonsolidasi kembali.
4. Sebagai Instruksi yang lalu dan salinan surat kami pada Sosro yang kami sampaikan kepada
CDB di Jawa, walaupun sekaligus belum tercapai, CC partai yakin usaha-usaha Sosro dan
Tjeweng sedang mengarahkan kepada soal-soal yang kami usulkan pada tanggal 6 Oktober
yang lalu, tapi kami lebih yakin bahwa bila Sosro hingga kini belum secara tegas berbuat, tak
lain karena dia tidak begitu saja dapat melangkahi Dewan Jenderal yang ada di depan
hidungnya.
5. Sosro telah menyetujui untuk sementara saya menyingkir ke tetangga, sebenarnya aslkan
saya bertemu ombak, berarti tercapailah penyingkiran itu, juga pihak Gatotkotjo (AURI) telah
menyanggupi mengirim belalang (pesawat terbang) untuk membawa kalau melangkahi daerah
Dewan Jenderal. Bila ini berhasil, berarti jaminan bagi perjuangan jangka panjang telah ada,
sebab dari san semua persetujuan Sosro dengan tetangga akan di gugat terus. Jelasnya dalam
memperjuangkan konsep Partai kita, tidak perduli akan korban, bila perlu Sosro jadi korban,
bila dia tidak memenuhi semua perjanjian.
Point-point selanjutnya lebih memberikan semangat supaya meneruskan perjuangan , sambil
mengingatkan (point 9) bahwa Sosro dan Tjeweng tidak akan berkhianat, maka dari negara
tetangga perjanjian perjanjian yang telah kami sampaikan secara / R (rahasia) pada bulan
Agustus yang lalu terpaksa di umumkan dan ini berarti lonceng kematian dan kehancuran bagi
Sosro/Tjeweng. Tapi pengumuman janji ini tidak pernah ada.
Aidit juga minta disiapkan semua fakta dan dokumen penulisan Buku Putih Pengkhianatan
Dewan Jendral.
Tentang Dewan Jendral yang terus disebut sebut Aidit , cukup menarik keterangan Prof Dr
Wertheim dari Belanda yang terkenal membela PKI , menulis dalam makalahnya "Missing
Link" (mata rantai yang hilang), bahwa tadinya ia memang percaya adanya Dewan Jendral.
Tapi setelah menelusuri keterangan keterangan yang ada .ia berubah pikiran menjadi tidak
ada. Bahkan pengakuan Mayor Rudhito (dari SUAD I). di muka Sidang MAHMILLUB
tentang adanya rekaman rapat Dewan Jendral , dianggap isi rekaman itu sebagai rekayasa,
sedangkan mata rantai yang putus akhirnya dia temukan , yaitu "Soeharto". Jadi , Soehartolah
dalang G30S, kata Wertheim.
PESANAN 5000 KEPALA ORANG PKI
Sekarang bagaimana pengakuan Amerika?
Mati matian Amerika membantah keterlibatannya , kecuali mantan Duta Besar Amerika di
Jakarta Marshall Green mengakui bahwa AS mendapat keuntungan dari kejadian itu. Menurut
seorang wartawan Amerika Nona Kathy Kadane dari States News Service , Marshall Green
adalah salah satu expert pada biro intelijen dan penelitian State Department .Dialah yang
mengatur segala bantuan AS untuk Soeharto. Dia pula menurut Bung Karno yang

memerintahkan menukar satu juta dollar AS di pasar gelap dengan rupiah, yang digunakan
untuk membeli nasi bungkus dengan lauk pauknya, untuk makan 5000 demonstran yang tiap
hari berdemonstrasi menghujat Bung Karno dan menuntut supaya diturunkan dari jabatan
Presiden.
Keterlibatan AS memang sudah sangat jelas, apalagi setelah terbitnya buku "Foreign Relations
of the United States" , yang tebalnya 800 halaman khusus mengenai Indonesia, memuat
dokumen dokumen tentang keterlibatan AS.
Memang mula mula pejabat pejabat resmi AS membantah keterlibatannya tapi dilain pihak ,
adajuga orang Amerika seperti Kathy Kadane yang membocorkan rahasia dan lebih jelas lagi
apa yang dimuat dalam buku "Foreign Relations of the United States".
Kathy Kadane melaporkan bahwa pada tahun 1965 1966 CIA memesan 5000 kepala orang
orang PKI yang harus dibantai atau dipenjarakan. Nama nama mereka diserahkan kepada
Angkatan Darat dan selalu dikontrol apakah sudah dilaksanakan atau belum. Ternyata yang
dibantai lebih banyak dari yang dipesan. Tentu menyenangkan sekali bagi AS.
Ada laporan yang menarik dimut dalam "Foreign Relations of the United States ", bahwa di
Jawa Tengah dan Jawa Timur sepanjang tahun 1966 adalah hal-hal yang biasa bahwa setiap
malam dibantai 50 sampai 100 oang di banyak tempat. Laporan dari konsulat AS di Surabaya
menyebutkan ada 3500 warga PKI yang dibunuh di Kediri dalam periode 4 sampai 9
November 1965 dan 300 orang didaerah sekitar 30 km dari Kediri. Di Bali, 8000, kata laporan
itu.
Seorang diplomat AS yang bertugas di Jakarta pada tahun 1970 , Richard Howland,
membantah seolah olah jumlah korban PKI yang dibunuh dalam peristiwa G30S 1,5 juta.
Katanya dia pernah mencari keterangan dari seorang Let.Kol.AD, mengatakan bahwa bahwa
total korban di Jawa 50.000 , di Bali 6000 dan di Sumatera Utara 3000. Diplomat itu
mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan metode yang digunakan sang Letnan Kolonel
menghitung jumlah itu, namun jika dikombinasikan dengan data yang dimilikinya, jumlah
yang mendekati kebenaran 150.000 saja, kata Richard Howland.
Kedutaan Besar AS di Jakarta mengakui bahwa di Indonesia memang terjadi pembasmian
orang orang komunis, tapi katanya lagi , banyak ceritera yang dilebih lebihkan. Jumlah korban
100.000 atau mendekati 1 juta orang, sebenarnya tidak pernah diketahui dengan
pasti.Karenanya sulit untuk mereka reka berapa jumlah yang sesungguhnya .Oleh karenanya
lebih bijaksana jika mengakui yang lebih kecil. Orang Indonesia, kata laporan itu, memang
suka melebih lebihkan fakta.
Bahwa jumlah yang dibantai di Indonesia, tidak ada angkanya yang pasti, karena memang
belum pernah diadakan penelitian oleh siapapun. Panitia Amnesti Internasional yang berpusat
di London menaksir 1 juta. Sk Washington Post memperkirakan 500.000 sedang CIA
memperkirakan hanya 250.000, tapi menyebutnya itupun sebagai salah satu pembunuhan
masssal terburuk dalam abad XX. Apalagi jika seperti yang dikatakan oleh Jendral Sarwo
Edhie, panglima penumpasan G30S, sebelum beliau meninggal , kepada Bapak Permadi, SH
yang datang menjenguknya mengatakan jumlah yang sebenarnya 3 juta. Bapak Permadi
tekejut mendengar angka itu, tapi Sarwo Edhie mengatakan : jangan kaget memang itu yang
sebetulnya.
Mudah menunjuk siapa yang memprovokasi sehingga terjadi pembunuhan pembunuhan yang
kejam itu. Amerika ! Sejak 1957 1958 pada peristiwa pembrontakan PRRI/PERMESTA,
rencana hendak membunuh Bung Karno sudah dipertimbangkan dengan matang.
Pembrontakan PRRI/PERMESTA ini sepenuhnya didukung oleh AS. Untung mereka kalah.

Menurut buku "Foreign Relations of the United States", Duta Besar AS di Jakarta Howard
Jones yang pandai ngibulin Bung Karno, melapor ke Washington bahwa coup d'etat Angkatan
Darat hendak menggulingkan Presiden Soekarno, semula di rencanakan akan di langsungkan
pada bulan Mei atau Juni 1965, mengambil kesempatan ketika Bung Karno berada di luar
negeri. Tapi rencana ini gagal karena orang-orang yang terlibat di dalamnya lambat bertindak.
Akhirnya Let. Kol. Untung yang mendahului rencana AD yang akan diadakan pada 5 Oktober,
bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata dengan melancarkan Gerakan 30 September.
Tapi banyak laporan yang mengatakan bahwa Untung hanyalah sekedar boneka yang di
korbankan oleh Soeharto, yang ambisinya sudah sampai di ubun-ubun. Begitu laporan CIA
tanggal 6 Oktober 1965. Laporan itu cocok dengan apa yang diketahui bahwa Untung adalah
kaki tangan Soeharto. Semua rencana persiapan G30S di laporkan dan dikoordinasikan dengan
Soeharto, baik oleh Untung maupun Latief.
Begitu kesaksian Dr. Soebandrio yang mengakui dirinya adalah bagian dari sejarah G30S.
Ketika Latief melapor kepada Soeharto di RSPAD "Gatot Subroto" 4 jam sebelum Gerakan di
laksanakan, Soeharto membiarkan semua itu berjalan.
Masalahnya menjadi krusial dan kritis, ketika harus menjawab pertanyaan: Siapa sebenarnya
sponsor G30S itu ? CIA selalu dituding sebgai sponsor. CIA mempunyai agen yang bernama
Kamaruzzaman alias Syam, dia juga menjadi Intel AD di PKI.
Kedudukannya sangat penting yaitu apa yang dikenal dengan Kepala Biro Khusus. Sebetulnya
istilah Biro di ciptakan oleh Orde Baru, karena istilahnya yang sebenarnya menurut Cugito
(anggota Politbiro) yang pernah saya wawancarai sebelum meninggal, katanya :"Biro
Ketentaraan". Peran Syam sebagai double agent sempat memusingkan kepala Prof. Dr.
Wertheim, karena katanya istilah double agent hanya di publiksikan sekli oleh "Sinar
Harapan", sesudah itu tidak pernah muncul lagi. Menurut Wertheim, tentu di larang oleh Orde
Baru. Oknum Syam ini sangat di percayai oleh Aidit dan seolah-olah dialah yang menjadi
orang kedua di PKI sesudah Aidit.
Kamaruzzaman-lah yang memimpin semua pertemuan perwira-perwira maju yang
mempersiapkan gerakan. Semuanya di laporkan Syam kepada Aidit dan tentu Aidit senang
sekali mendengarkan laporan Syam itu karena yang di gambarkan adalah kemenangan dan
kemenangan.
Keterlibatan tokoh-tokoh PKI sulit dibantah, karena Soedisman sendiri secara samar-samar
mengakuinya dalam "Kritik dan Otokritik".
Nyono angota politbiro dan Peris Pardede calon anggota politbiro juga mengakui di sidang
MAHMILLUB adanya tiga kali rapat yang penting, yang di hadiri oleh DN Aidit, MH
Lukman, Nyoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Anwar Sanusi, Nyono, Peris Pardede,Rewang dan
Suwandi. Dalam rapat-rapat itu Aidit menginformasikan adanya Dewan Jenderal yang hendak
mengadakan kup. Ketika Ketua Mahkamah menanyakan, apakah ada bukti tertulis yang di
perlihatkan oleh Aidit, dijawab oleh Nyono "tidak ada". Informasi secara lisan yang di
sampaikan oleh Ketua Aidit, selalu di nilai sudah benar.
Nyono dan Peris Pardede juga mengakui di bicarakannya imbangan kekuatan antara Dewan
Jenderal dan kelompok perwira perwira maju. Hasil penilaian imbangan itu positif bagi
perwira-perwira maju yang didukung PKI. Tidak disadari sama sekli bahwa gerakan perwira
maju sebetulnya bukan di kendalikan oleh PKI, melinkan oleh Jenderal Soeharto, karena
tokoh-tokohnya adlah orang-orangnya Soeharto. Sehingga timbul pertanyaan usil : Apakah
juga Soeharto seorang PKI, meskipun dia munafik.

Namun seorang Komandan Batalyon dari Tanggerang, Mayor Agus Sigit , yang selalu ikut
dalam rapat-rapat persiapan, karena Batalyonnya disiapkan untuk mendukung, mengatakan
kepada saya waktu bertemu di Salemba (ia juga di tahan), pada waktu rapat membicarakan
imbangan kekuatan , ia sudah menyatakan bahwa imbangan kekuatan yang dilaporkan, belum
bisa menjamin kemenangan. Tapi pendapatnya tidak di terima. Oleh karena itu ia tidak hadirhadir lagi dalam rapat rapat berikutnya dan juga tidak hadir serta menggerakkan pasukannya
ke Lubang Buaya pada saat Gerakan ini dimulai.
Tapi PKI sangat percaya diri.
MH Lukman pernah menulis buku yang menilai bahwa PKI telah berdominasi di bidang
politik, satu penilaian yang sama sekali tidak terbukti kebenarannya.
Anggota Politbiro Anwar Sanusi menjelang 30 September 1965 mengatakan di hadapan
sukarelawan di hadapan BNI, bahwa kita sekarang sedang berada dalam situasi dimana ibu
pertiwi sedang hamil tua. Sang bidan siap dengan alat-alat peraji yang di perlukan untuk
menyelamatkan sang bayi yang adalah kekuatan politik yang sudah di tentukan dalam
MANIPOL (itulah G30S).
Sebenarnya apakah yang di-disain dengan mencetuskan G30S ?. Apakah memang di maksud
unutk mencari pemimpin baru unutk memimpin revolusi ?
Ya, memang hendak mendudukan Jenderal Soeharto di atas singgasana ke-Presidenan yang
bersepuh darah.
Oleh karena itu, sesungguhnya semua kekuatan yang pernah aktif bergerak di sekitar
terjadinya G30S, ikut menyumbang pada krisis politik yang kita alami sampai sekarang. Dan
sekarang pun akibatnya kelihatan masih terus hidup Nostalgia yang hendak memaksakan
stabilitas keamanan melalui pola militer yang mungkin akn menciptakan kembali hal-hal yang
mengerikan.
Saya hanya ingin bertanya, tidaklah pantas kita belajar dari Bung Karno, yang selma masa
kepemimpinannya berhasil menjadikan Indonesia survive sebagai nasion yang bersatu,
sekalipun begitu beragam budaya yang ada di masyarakat kita, yang tidak ada bandingannya
di planit kita ini. Bung Karno berhasil sebagai pembangun dan pemersatu Indonesia dengan
sistem Pancasila sebgai hasil pemikirannya yang mengilhami dan menjadi sumber terbaik bagi
menata kembali mesyarakat kita.
Wawasan Soekarno berhasil menguasai masa depan politikdean ekonomi Indonesia, meskipun
belum sempurna.
Kata seorang Diplomat Kanada Prof. Peter Dale Scott yang terkenal di Indonesia karena
kajiannya tentang hasil konspirasi CIA bersama Kliek militer Soeharto menggulingkan
Presiden Soekarno, menyampaikan sepucuk surat kepada editor "Hasta Mitra" yang
menerbitkan buku 100 tahun Bung Karno dalm liber Amicorum (kumpulan tulisan para
sahabat Bung Karno) mengatakan bahwa dengan membaca pidato-pidato Bung Karno, betulbetul memberikan inspirasi yang sangat kaya dengan muatan Intelektual. Justru sekarang
wawasan Bung Karno mempunyai peluang lebih besar direalisasi, terutama ajaran Pancasilanya yang bukan saja cocok untuk Indonesia tapi juga cocok bagi dunia. Peter Dale Scott juga
menulis sebuah karangan dalam buku itu.
Apa yang saya uraikan mudah mudahan sudah menjawab pertanyaan Panitia Seminar. Namun
saya minta difahami bahwa saya tidak memberikan jawaban dengan harga mati. Artinya, saya

serahkan kepada saudara-saudara untuk mengambil kesimpulan setelah mempertimbangkan


bahan bahan yang saya kemukakan. Bahan-bahan itu tentu tidak lengkap, mungkin lebih
banyak yang belum saya ketahui.
Oleh karena itu, saya harap Seminar ini sendiri dapat mendiskusikannya, setidak-tidaknya oleh
satu team yang dipilih.
Namun menurut pendapat saya, apapun kesimpulan kita, semua yang kita bicarakan disini,
sudah menjadi catatan sejarah. Kita tidak bisa lagi mengingkarinya artinya yang salah tetaplah
salah, sebaliknya yang benar tetap saja benar.
Apakah dengan demikian kita akan terus frustasi dan mencaci maki mereka yang mau kita caci
maki ?
Jika ini yang menjadi sikap kita, maka pastilah kita akan ditinggalkan dinamikanya
perkembangan zaman yang tidak bisa di stop. Saya setuju jalan keluar yang di tunjukan oleh
Bung Karno. Dalam menyikapi kondisi yang semacam ini, kita jangan membiarkan diri kita
terperangkap oleh gelapnya masa silam, karena dengan demikian kita tidak bisa membuat
kemajuan-kemajuan baru. Ini artinya kepada masa depanlah kita harus berorientasi dan bukan
menengok kebelakang sambil menangisi manisnya masa silam kita yang hilang dan
membiarkan diri kita merana, meskipun kita juga tidak boleh meninggalkan sejarah. Mari kita
berusaha sekuat tanaga melepaskan diri dari belenggu masa silam yang menyesakkan nafas.
Hiruplah udara segar masa depan, dimana harapan kita bisa di letakkan. Tentunya kita harus
mampu menarik pelajaran dari kegagalan masa silam, dengan menelusuri makna adagium
klasik,bahwa kegagalan hanyalah sukses yang tertunda.
Sikap seperti ini, rasanya lebih dialektis.
Jangan pelihara sikap pessimisme dan seperti yang pernah dikatakan Presiden Megawati
dalam pidato Tahun Baru-nya 2000 : Dunia ini akan belum kiamat.
Mari bulatkan tenaga, samakan visi dan misi dalam mendayung bahtera perjuangan, untuk
melawan bahaya disintegrasi bangsa dan penginjak-injakan hukum, serta bahaya korupsi yang
di wariskan oleh Soeharto kepada kita, menuju reformasi sejati, karena seperti yang di katakan
Presiden Mega, kepadanya hanya diwariskan pemerintahan keranjang sampah. Mungkin
Soeharto memang mewariskan orang-orangnya kepada Mega.
Mari kita teriakkan tekad yang sekuat-kuatnya di tegakkannya hukum untuk membasmi
korupsi politik dan ekonomi, kolusi dan nepotisme warisan Soeharto dan Orde Barunya, yang
sekeranjang sampah.
Mari kita memasuki milenium baru dengan penuh optimisme, namun di sertai tekad yang kuat
tanpa henti-hentinya melakukan instropeksi dari saat ke saat.
Saya akhiri uraian saya sampai disini, dengan kesadaran bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu marilah kita sempurnakan.
Saya mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyajian yang mungkin tidak memenuhi
harapan.
Sekian.
Terima kasih.

Merdeka !
12 April 2003
http://www.geocities.com/arsip_nasional/politik/politik12.htm

Date: 2005/10/12
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=56

Sang Orator di Senja Masa

Sang Orator di Senja Masa


HARI terasa sangat panjang di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Sebelum saya benar-benar
terbangun pada Rabu pagi itu, Hardono, satu di antara staf keamanan Menteri Negara Nyoto,
mengetuk pintu kamar kos saya di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, yang hanya terpisah satu
rumah dari Mess Perwira Tjakrabirawa, tempat tinggal Letnan Kolonel Untung, "pemimpin"
Gerakan 30 September.
"Bung diajak Bung Nyoto ke Istana Bogor," kata Hardono dengan wajah serius. "Ngapain?"
saya bertanya. "Kayaknya diminta motret," katanya. "Tapi ndak usah bawa toestel, pakai Bung
Nyoto punya," ia melanjutkan. Saya maklum: Nyoto tentu tahu alat-alat potret saya tak lebih
dari sekelas Kiev, buatan Rusia, yang sebentar-sebentar engkol filmnya macet.
Tak sampai lima menit kami sudah berada di ruang tamu rumah Nyoto di Jalan Malang,
Menteng, Jakarta Pusat. Pada hari-hari tertentu saya biasa datang ke rumah itu, meminjam
buku atau menonton Nyoto bermain musik dengan teman-teman masa mudanya, antara lain
Jack Lesmana. Dalam sekejap Nyoto muncul, menyalami saya, lalu menyerahkan dua kamera
dan segepok film. "Buatlah foto sebanyak-banyaknya," katanya. "Foto apa?" saya bertanya.
"Apa saja."
Dalam hitungan menit pula sebuah mobil resmi menteriDodge Dartberhenti di depan
rumah. Penumpangnya, Menteri Negara dan Wakil Ketua I CC PKI, M.H. Lukman, memasuki
ruang tamu. Lukman tak mengenal saya, dan inilah pertemuan saya yang pertama dengan dia.
Lukman dan Nyoto mengenakan setelan putih-putih, "pakaian resmi" anggota Kabinet
Dwikora.
Di depan saya kedua orang itu bersalaman, berpelukan, kemudian saya dengar Nyoto
bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman menjawab, "Saya juga tak tahu!" Mampus,
pikir saya. Kalau betul kedua orang ini tak tahu apa yang terjadi pada 30 September 1965, lalu
siapa yang berada di balik peristiwa yang, konon, digerakkan oleh PKI itu? Nyoto, pada akhir
September itu, memang sedang berada di Medan dalam rombongan Wakil Perdana Menteri I
Subandrio.
Dalam kendaraan terpisah, kami berangkat ke Bogor, langsung menuju Istana. Pengawalan di
sana terasa lebih ketat dari biasanya. Beberapa menteri datang dengan pengawalan panser, di
antaranya Menteri Negara Boegi Sumpeno, kolonel polisi. D.N. Aidit tak tampak di antara
para menteri. Selama beberapa hari beredar kabar, Ketua CC PKI itu minggat ke Jawa Tengah.

Tak banyak yang dihasilkan sidang kabinet itu. Nyoto membacakan pernyataan ringkas
ketidakterlibatan PKI dengan Gerakan 30 September. Kemudian Bung Karno berpidato,
singkat juga, yang pada dasarnya mengulangi pidatonya yang kemarin-kemarin, bahwa
kejadian tersebut adalah "...een rimpeltje in de oceaan...."sebuah riak di tengah samudra.
Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan pidato Bung Karno seperti tidak terstruktur, dan
tidak terlalu fokus. Ia, misalnya, di samping menyatakan PKI cukup banyak berjasa dalam
revolusi Indonesia dan sebagai partai tidak bersalah, juga "menyenggol" Gerakan 30
September sebagai "penyakit kekanak-kanakan" yang dipersamakan dengan Peristiwa Madiun
1948. Di dalam kepustakaan Leninisme, "penyakit kekanak-kanakan" adalah nama lain untuk
"penyakit kekiri-kirian", yang biasanya dirujukkan kepada partai komunis yang ingin cepat
menang dan melupakan penggalangan kekuatan front nasional.
Bung Karno terkesan lelah, walau tampak masih berwibawa. Seusai sidang, semua menteri
bergegas pulang. Ia saya lihat berbincang-bincang sebentar dengan Nyoto, sebelum masuk ke
ruangan dalam Istana. Itulah pula untuk terakhir kalinya saya menyaksikan kedua orang itu.
Untuk seorang wartawan muda pada masa itu, mendengarkan pidato Bung Karno merupakan
keasyikan tersendiri. Artikulasinya bagus, intonasinya dinamis, dan ia sering mengulang
kalimat tertentu sehingga memudahkan pencatatan. Saya dengar beberapa pidatonya ditulis
oleh orang lain, termasuk Nyoto. Tapi, dalam pidato tanpa teks pun, Sukarno tetap memikat.
Bung Karno selalu seperti punya "skenario" yang matang untuk membangkitkan dan
"mempermainkan" emosi massa. Dia tahu persis kapan waktu yang tepat untuk menggunakan
frasa "ganyang," "holopis kuntul baris," "bercancut taliwondo," atau "ini dadaku, mana
dadamu," yang sebelumnya tak dikenal dalam khazanah pidato di Indonesia. Begitu meluncur
dari Bung Karno, frasa itu segera menemukan "rumah"-nya di hati jutaan rakyat Indonesia.
Dengan kefasihannya dalam beberapa bahasa asing, ia bisa "seenaknya" mengutip kalimat
orang besar mana saja dalam bahasa aslinya. Bahkan Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia
pada masa itu, Howard P. Jones, mampu terkekeh ketika dituding Bung Karno dalam sebuah
pidatonya di Senayan: "Go to hell with your 'Indonesia going to collapse'!" Biasanya, setelah
dituding begitu, besoknya Duta Besar Jones dan Nyonya diundang ke Istana Bogor untuk
sarapan nasi goreng....
Tapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya tak lagi bagus. Pada awal
September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di
beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul, dan madu arab
bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung Karno.
Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu,
dan tampaklah kakinya yang membengkak.
Setelah 6 Oktober 1965, saya hanya mengikuti pidato Bung Karno dari radio dan televisi.
Jelas sekali terasa, kesempatannya berpidato di depan massa yang besar mulai dibatasi.
Kehilangan kontak langsung dengan lautan massa itu membawa perubahan tersendiri dalam
pidato-pidato Bung Karno. Ia tak lagi sebergelora dulu, tapi sebaliknya, di lingkungan yang
lebih kecil ia seperti lebih bebas dan spontan, termasuk dalam menggunakan kata-kata yang
rada "saru". Atau itu hanya bagian dari kemarahan dan kejengkelannya yang terpendam?
Apalagi setelah pidato kenegaraan (dan "pertanggungjawaban")-nya bolak-balik ditolak oleh
MPR(S) pasca-G30S, semangat berpidato Bung Karno menyusut drastis.
Keahlian Bung Karno berpidato sangat tidak sebanding dengan kemampuannya menyanyi. Ia

hampir tak pernah menampik kesempatan tarik suara, tapi orkes yang mengiringi selalu
mengalami kesulitan untuk mencari tangga nada yang pas dengan suara si Bung. Pilihan
lagunya tak banyak. Kalau bukan Di Timur Matahari, tentulah Siapa Bilang Bapak dari Blitar,
Burung Kakaktua dengan lirik improvisasi, atau paling jauh Aryati. Ia suka lagu keroncong,
dan hafal sejumlah gubahan komponis klasik Barat.
Ketika malam-malam yang menyenangkan itu pun mulai "dibredel", makin lengkaplah
persiapan menuju babak penutup sang Orator. Ia sudah dipisahkan dari massanya, dari
sahabat-sahabatnya, bahkan dari keluarganya. Yang tersisa hanyalah sejumlah penyakit dan
sebuah era yang siap ditelan senja masa, menuju malam sangat panjang.
Amarzan Loebis
Sumber: PI, Iqra, TEMPO, No. 34/XXXII/20 - 26 Oktober 2003

Date: 2005/12/6
Section: Kesaksian
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=111

Analisis G. 30. S. 1965 Ditinjau dari Sudut Filsafat

ANALISIS GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DITINJAU


DARI SUDUT FILSAFAT
Oleh : Dr. Darsono Prawironegoro
Sarjana Filsafat dari Universitas Indonesia
1. Pendahuluan
Filsafat adalah berpikir mendalam mencari sebab-sebab yang paling dalam atas suatu kejadian,

peristiwa, atau suatu keberadaan. Ia selalu mencari saling hubungan, mempertanyakan, dan

meragukan setiap kejadian, peristiwa, dan suatu keberadaan, sehingga ia selalu berusaha

memberi jawaban dan menjelaskannya secara rasional.

Filsafat menjelaskan tentang:

(1) hubungan sebab dengan akibat,


(2) hubungan bentuk dengan isi,
(3) hubungan gejala dengan hakikat,
(4) hubungan kebetulan dengan keharusan, dan
(5) hubungan kekhususan dengan keumuman, atau logika induktif dengan logika deduktif.
Di dunia ini yang memiliki kebebasan adalah hanya berpikir, karena berpikir tidak memiliki
dampak apa-apa dalam kehidupan praktis, asal pikiran itu tidak dipublikasikan dan tidak
ditindaklanjuti dengan perbuatan. Hanya perbuatan saja yang bisa mengubah dunia ini; pikiran
tanpa perbuatan tidak ada artinya apa-apa, atau ide tanpa aksi hanyalah suatu utopia.
Dalam filsafat otak adalah "dewa" karena otak mampu berpikir membimbing dan
mengarahkan manusia untuk bertindak rasional untuk mencapai tujuannya.
Dalam hidup ini, manusia mempunyai tujuan hidup berdasar status sosialnya:
(1) jika ia berstatus sosial rakyat jelata, maka tujuan hidupnya adalah mencari atau
menciptakan kerja untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan
pendidikan;
(2) jika ia berstatus sosial pengusaha atau pedagang, maka tujuan hidupnya adalah mencari
laba,
(3) jika ia berstatus sosial rohaniawan, maka tujuan hidupnya adalah mencari kebaikan di
dunia dan di akhirat,
(4) jika ia berstatus sosial ilmuwan, maka tujuan hidupnya adalah mencari kebenaran ilmu,
dan

(5) jika ia berstatus sosial politikus, maka tujuan hidupnya adalah mencari kemenangan dan
kekuasaan.
Peristiwa 30 September 1965 (G/30S) adalah peristiwanya orang-orang yang berstatus sosial

politik, jadi tujuannya adalah kemenangan dan kekuasaan.

Ada pihak yang kalah, ada pihak yang menang, dan ada pihak yang dikorbankan. Yang

menang dan kalah adalah pihak yang berstatus sosial politik, dan pihak yang dikorbankan

adalah rakyat jelata, karena rakyat jelata adalah pihak yang dikuasi oleh penguasa politik.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G/30S/1965) merupakan peristiwa yang memakan

korban ribuan orang, terutama adalah rakyat jelata, orang-orang desa-kota yang tidak berdosa,

artinya tidak mengerti tentang gerakan pada tanggal 30 September 1965.

Rezim Soeharto (orde baru) menuduh bahwa gerakan tersebut dilakukan oleh Partai Komunis

Indonesia (PKI), maka orang-orang yang dituduh anggota PKI atau simpatisannya ditangkap

untuk dipenjara dan dibunuh. Banyak orang-orang desa-kota rakyat jelata yang menjadi

korban, bukan karena mereka itu anggota PKI atau simpatisan PKI melainkan karena

"dendam" pribadi atau "dendam sosial" yang diakibatkan oleh konflik pribadi atau konflik

sosial.

Setelah Soeharto turun tahta pada tahun 23 Maret 1998, banyak kaum cendekiawan yang

mengadakan analisis tentang peristiwa tersebut di atas.

Saya Darsono Prawironegoro yang pada waktu kejadian berumur 17 tahun, ingin memberi

sumbangan pemikiran tentang kejadian tersebut berdasarkan analisis kritis secara filsafat,

melalui penelitian kepustakaan.

2. Hubungan Soeharto dan Latief


Soeharto pada waktu itu adalah seorang Mayor Jenderal, komandan KOSTRAD (Komando
Strategi Angkatan Darat), di bawah Menteri Panglima Angkatan Darat yang dijabat Letnan
Jenderal Achmad Yani. Latief pada waktu itu adalah seorang Kolonel Angkatan Darat
pimpinan gerakan 30 September 1965. Hubungan Soeharto dengan Latief dapat diklasifikan
dua macam yaitu:
(1) hubungan pribadi, yaitu bahwa Latief adalah teman akrab Soeharto karena sejak tahun
1945 bersama-sama berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia; pada Serangan Umum tanggal
satu Maret 1947, Latief adalah anak buah Soeharto; pada waktu Soeharto pindah ke Jakarta,
Latief menyediakan perumahan bagi beliau; hubungan sahabat ini terjalin erat sampai
peristiwa tersebut,
(2) hubungan kedinasan militer, yaitu bahwa Latief seorang Kolonel Angkatan Darat dan
Soeharto seorang Mayor Jenderal Angkatan Darat; sama-sama perwira Angkatan Darat.
Pada tangal 28 September 1965, Latief datang ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim Jakarta,
dengan maksud menanyakan informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang akan
mengadakan kup terhadap Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1965. Soeharto
mengatakan bahwa ia telah menerima informasi dari Soebagio Yogyakarta tentang hal itu
sehari sebelumnya. Soeharto menanggapi bahwa akan diadakan penyelidikan.
Hubungan pribadi yang sangat baik itu, Latif berkesimpulan bahwa Soeharta adalah orang
yang loyal terhadap Bung Karno dan Bung Karno mempercayai Soeharto, yaitu dengan
mengangkat sebagai Panglima Mandala dan Panglima Kostrad.
Pada tanggal 30 September 1965, jam 21.00 WIB, atau jam 9 malam, Latief datang ke Rumah
Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta, memberitahu kepada Soeharto bahwa pada dini
hari tanggal 1 Oktober 1965 akan diadakan operasi atau gerakan menggagalkan rencana
kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno. Pada waktu itu Soeharta sedang
menunggu anaknya (Tomy Soeharta) yang sedang sakit di rumah sakit tersebut. Alasan Latief

datang menemui Soeharto adalah meminta bantuan militer, dan tindakan ini sudah disetujui
oleh Brigadir Jenderal Soepardjo dan Letnan Kolonel Untung (keduanya adalah anggota
pimpinan Gerakan 30 September 1965). Menurut Latief, jika G/30S/1965 berhasil, Soeharto
diharapkan menjadi pembantu setia Bung Karno, tetapi situasi berubah cepat, Soeharto tidak
setia kepada Bung Karno dan tidak mendukung G/30S, melainkan melawan dan
menghancurkannya. Tindakan Latief ini didasarkan pada instuisi persahabatan, bahwa ia
dipercaya oleh Soeharto sahabat karibnya. Secara politik, sebagai pimpinan gerakan, tindakan
Latief tersebut adalah merupakan "pengkianatan", karena ia mencampuradukkan urusan
pribadi dengan urusan politik. Sebagai pimpinan gerakan, seharusnya Latief tidak melakukan
hal itu; itu menunjukkan bahwa mental politik Latief tidak mewakili kepentingan kelasnya.
Menurut Soengkowo, mantan Perwira Polisi Militer, salah seorang pelaku G/30S/1965,
menjelaskan bahwa pada waktu Latief diadili di Mahmilub selalu melibatkan Soeharto, bahwa
Soeharto mengetahui gerakan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung Soeharto
terlibat di dalamnya. Apa yang disampaikan Latief itu adalah suatu siasat bahwa ia adalah
bukan orangnya Soeharto dan supaya tidak dinilai negatif (atau supaya tidak dikutuk) oleh
kawan-kawannya di G/30S/1965. Pada waktu Soengkowo dan Untung di tahan di Rumah
Tahanan Salemba Blok N, Soekowo bertanya kepada Untung, mengapa Soeharto tidak ikut
ditangkap?. Untung menjelaskan bahwa dalam Sentral Komando atau Senko terjadi perbedaan
pendapat tentang Soeharto; ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah pro-G/30S/1965 dan
loyal kepada Bung Karno, dan ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra gerakan
G/30S/1965. Yang berpendapat bahwa Soeharto adalah loyal terhadap Bung Karno dan pro
dengan G/30S/1965 adalah Latief dan Syam Kamaruzaman (pimpinan Biro Khusus PKI),
sedangkan yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra G/30S/1965 adalah saya sendiri
(Untung) dan Mayor Udara Soeyono; agar supaya gerakan sukses, menurut Untung, ia dan
Soeyono mengalah tidak menangkap Soeharto, walaupun Soeharto juga anggota Dewan
Jenderal.
Ternyata Soeharto adalah Jenderal yang melawan Bung Karno, ia merebut kekuasaan Bung
Karno melaui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Berdasarkan kenyataan yang
demikian ini, Latief harus bertanggungjawab kepada kawan-kawannya korban rezim Soeharto,
karena seandainya Latief tidak memberitahu Soeharto pada tanggal 30 September 1965 jam 9
malam di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, kemungkinan kondisi Republik
Indonesia tidak seperti sekarang ini, yaitu :
(1) rakyat tidak berdosa yang berjumlah kira-kira 2 juta orang dibunuh oleh rezim Soeharto,
(2) terjadi kebrobokan moral sebagian birokrat dan rakyat,
(3) Indonesia terperangkap utang luar negeri US$ 140 milyar atau Rp 1.400 trilyun jika kurs
Rp 10.000 per US$1 saat ini, tergantung pada Internationale Monetary Fund atau IMF dan
negara-negara G-7 Kanada, AS, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggri, dan
(4) Indonesia dijajah kembali oleh bangsa-bangsa asing, kita menjadi kulinya bangsa-bangsa..
3. Ketrampilan Soeharto.
Kita harus mengakui bahwa Soeharto adalah Jenderal yang memiliki luar biasa dalam
mengatur strategi militer dan politik. Pada tahun 1948 ia pernah diperintahkan oleh Bapak
Jenderal Besar Soedirman untuk meneliti dan menyelesaikan Peristiwa Madiun dan berhasil
dengan baik, PKI dapat dihancurkan. Pada Peristiwa 3 Juli 1946, ia mampu menyerahkan
pelaku-pelaku kup kepada pemerintah, ia tampil sebagai pahlawan. Dan dalam peristiwa 30
September 1965, ia keluar sebagai pemenang dan sekaligus bekuasa sampai dengan 1998. Itu
menunjukkan bahwa Soeharto memiliki keberanian dan ketrampilan yang luar biasa.
Pada tanggal 30 September 1965, Soeharto menerima informasi dari Latief bahwa Latief dan
kawan-kawanya akan menangkap Achmad Yani dan kawan-kawannya (Dewan Jenderal).
Seharusnya Soeharto bertindak untuk menyelamatkan Yani dan kawan-kawannya, karena

Yani adalah Panglima Angkatan Darat, dan kawan-kawannya adalah satu kesatuan Angkatan
Darat. Latief dan kawan-kawannya pada malam itu juga bisa ditangkap dan praktis malam itu
juga gerakan 30 September 1965 dapat digagalkan, mengingat bahwa saat itu Soeharto sebagai
Panglima Kostrad yang memiliki pasukan siap tempur. Soeharto nampaknya menghendaki
Yani dan kawan-kawannya terbunuh, mungkin ini disebabkan oleh persaingan dikalangan
Jenderal Angkatan Darat, mungkin "dendam", mungkin menghendaki jabatan Panglima
Angkatan Darat, karena ada konsesus bahwa jika Panglima Angkatan Darat berhalangan,
maka langsung diganti oleh Panglima Kostrad. Soeharto membiarkan G/30S/1965 beraksi
pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 dengan membunuh Yani dan kawan-kawannya, atau
mungkin ia merestui gerakan tersebut, karena itu merupakan jalan untuk menjadikan dirinya
orang nomor satu di Angkatan Darat.
Dalam situasi yang gawat itu, Soeharto berdiri di atas "dua perahu", kaki kiri berdiri pada
barisan G/30S, sehingga G/30S tidak memusuhinya, dan kaki kanan berdiri di barisan Dewan
Jenderal, jika Yani dkk tidak bisa dibunuh oleh G/30S, maka ia bersama Yani dkk akan
menghancurkan G/30S.. Melihat G/30S telah membunuh Yani dan kawan-kawannya (Dewan
Jenderal), Soeharto cepat mengambil langkah yaitu menumpas G/30S. Hal itu dilakukan
karena basis kekuatan Bung Karno adalah Yani dkk, G/30S, dan PKI. Agar dapat membunuh
PKI maka G/30S dikaitkan dengan PKI menjadi G/30S/PKI. Setelah G/30S dihancurkan,
Soeharto menghancurkan PKI. Dengan demikian kekuatan Bung Karno sudah punah. Jalan
menuju ke RI Satu sudah terbuka lebar. Proses selanjutnya adalah merekayasa secara hukum
agar bisa menjadi presiden secara konstitusional.
Pada tanggal satu Oktober 1965, jam 6 pagi, Soeharto pergi ke Kostrad setelah menerima
informasi dari tetangganya Mashuri (yang kemudian diangkat menjadi Menteri Penerangan
dalam kabinetnya). Ia mengendarai sendiri mobil Toyotanya tanpa pengawal. Ini menunjukkan
bahwa ia memang Jenderal yang gagah berani, atau mungkin ia sudah bekerja sama dengan
G/30S/1965, sehingga ia tidak takut dengan pasukan G/30S/1965 yang telah mengepung
daerah itu.
4. Keputusan Yang "Hebat"
Pagi hari tanggal satu Oktober 1965, Presiden Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Pranoto
Reksosamudro sebagai pejabat sementara (caretaker) Panglima Angkatan Darat. Namun pada
pagi hari itu juga, tanggal satu Oktober 1965 Soeharto mengambil keputusan yang "Maha
Hebat" yaitu mengangkat dirinya sebagai Panglima Angkatan Darat tanpa persetujuan
Bung Karno Presiden Republik Indonesia. Jabatan panglima suatu angkatan perang adalah hak
prerogatif presiden, karena jabatan tersebut adalah jabatan politik.
Pada siang hari tanggal satu Oktober 1965, Bambang Widjanarko ajudan presiden
diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk menemui Pranoto Reksosamudro di Kostrad, agar
Pranoto menghadap Presiden di Halim Perdanakusumah. Widjanarko tidak berhasil bertemu
Pranoto, ia bertemu Soeharto, dan Soeharto memberi petunjuk kepada Presiden Soekarno
sebagai berikut:
(1) Mayjen Pranoto Reksosamudro dan Mayjen Umar Wirahadikusumah tidak dapat
menghadap Presiden Soekarno di Halim agar tidak menambah korban; artinya Soeharto tidak
rela kedua Jenderal itu dibunuh di Halim oleh G/30S/1965 seperti Yani dan kawan-kawannya;
petunjuk tersebut mengandung arti bahwa dibunuhnya Yani dan kawan-kawan subuh dinihari
satu Oktober 1965 adalah atas perintah Soekarno,
(2) Mayjen Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat berdasar perintah harian
Panglima Angkatan Darat yang menyebutkan bahwa jika Panglima Angkatan Darat
berhalangan, maka Panglima Kostrad akan menggantinya; ini menunjukkan bahwa Soeharto
menempatkan perintah harian Panglima Angkatan Darat lebih tinggi daripada Hak Prerogatif
Presiden,

(3) Perintah harian Presiden Soekarno diharapkan disampaikan kepada Mayjen Soeharto, ini
berarti Soeharto mendikte Presiden Soekarno,
(4) Presiden Soekarno harus meninggalkan Halim, karena pasukan Kostrad akan
membersihkan G/30S/1965 di Halim.
Berdasarkan petunjuk Soeharto kepada Presiden Soekarno di atas, menunjukkan bahwa pada

tanggal Satu Oktober 1965, Soeharto secara nyata telah menguasai Republik Indonesia. Secara

hukum akan diproses lebih lanjut. Inilah tesis sulit disangkal secara ilmiah bahwa "keadaan

menentukan kesadaran", artinya kuasai dulu keadaan sosial, baru kemudian dibentuk

kesadaran sosial.

Mengubah keadaan sosial harus menggunakan tindakan dan keberanian.

Di sini "kehebatan" Soeharto, berani bertindak mengubah keadaan atau berani mengambil alih

kekuasaan politik Soekarno.

5. Teknik Soeharto Berkuasa


Frans Seda mantan anggota kabinet Bung Karno (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa
teknik Soeharto berkuasa adalah membuat panik sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 di
Istana Merdeka yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Soeharto menggerakkan
mahasiwa untuk berdemontrasi ke Istana Merdeka yang dikawal oleh pasukan khusus tanpa
seragam. Soeharto sendiri tidak hadir dalam sidang tersebut dengan alasan sakit. Sidang
kacau, Bung Karno meninggalkan sidang untuk menuju ke Istana Bogor, kemudian sidang
bubar dengan penuh kepanikan.
Sarwo Eddie (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa pasukan RPKAD tanpa tanda
pengenal kesatuan dan membawa senjata mengawal mahasiswa berdemontrasi.
Kemal Idris (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa pasukan "liar" itu berada di sekitar
Istana Merdeka beberapa hari sebelum tanggal 11 Maret 1966.
Itu menunjukkan bahwa Soeharto adalah seorang ahli strategi yang baik, ia menggunakan
mahasiswa dan tentara untuk merebut kekuasaan politik; ia memahami bahwa hanya kekuatan
tentara saja tidak cukup kuat untuk merebut kekuasaan.
Setelah Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke Istana Bogor, Soeharto
memerintahkan tiga Jenderal yaitu Jenderal Andi Yusuf, Jenderal Basuki Rachmad, dan
Jenderal Amir Mahmud ke Istana Bogor untuk menghadap Bung Karno, tujuannya adalah agar
Bung Karno memberi surat perintah untuk pengamanan.
Bung karno memberikan surat perintah pengamanan pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikenal
dengan sebutan "Supersemar". Dengan surat pengamanan tersebut,
Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966.
Surat perintah pengamanan itu ditafsirkan oleh Soeharto sebagi "Pelimpahan Kekuasaan".
Dengan dibubarkannya PKI maka kekuatan politik pendukung Bung Karno relatif sudah
habis. Setelah tanggal 12 Maret 1966, hakikatnya Bung Karno adalah "Sebatang Kara" dalam
kehidupan politik, hal ini adalah akibat kurang tepatnya Bung Karno mengambil keputusan
pada tanggal Satu Oktober 1965.
Jika pada tanggal tersebut Bung Karno mengambil keputusan menghadapkan G/30S dengan
pasukan Soeharto, keadaannya mungkin tidak seperti sekarang ini. Secara hukum, Bung
Karno setelah 11 Maret 1966 masih menjabat presiden, tetapi tanpa pasukan, karena sebagian
besar angkatan perang telah dikuasai Soeharto.
Pada tanggal 17 Agustus 1966, dalam pidato kenegaraan, Bung Karno mengatakan bahwa
surat perintah 11 Maret 1966 itu bukan pelimpahan kekuasaan. Surat perintah itu hanyalah

suatu perintah pengamanan, yaitu perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan

keselamatan Bung Karno, dan pengamanan ajaran Bung Karno. Hanafi menjelaskan bahwa

Bung Karno tidak mengakui pembubaran PKI dengan menggunakan "Supersemar".

Bung Karno pada tanggal 13 Maret 1966 memerintahkan Leimena Wakil Perdana Menteri dan

Brigadir Jenderal KKO Hartono mendatangi Soeharto ke rumahnya dengan membawa surat

yang isisnya mengkoreksi tindakan Soeharto membubarkan PKI. Setelah membaca surat Bung

Karno, Soeharto mengatakan bahwa: "Sampaikan Kepada Bapak Presiden, semua yang saya

lakukan atas tanggung jawab saya sendiri".

Ucapan Soeharto yang demikian itu dapat ditafsirkan sebagai kudeta, artinya ia telah melawan

Bung Karno yang pada waktu itu secara hukum masih sebagai Presiden Republik Indonesia.

Seharusnya Bung Karno setelah mendapat laporan dari Leimena dan Hartono harus

mengambil sikap yaitu menonaktifkan Soeharto sebagi Panglima Angkatan Darat. Dalam hal

ini nampaknya Bung Karno bimbang ragu mengambil sikap, sehingga mengorbankan dirinya

sendiri. Sikap bimbang ragu adalah awal dari kehancuran diri.

Wiratmo Sukito menjelaskan bahwa setelah Bung Karno mendengar jawaban Soeharto, pada

tanggal 16 Maret 1966 melalui Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh dan Wakil Perdana

Menteri J.Leimena mengeluarkan pengumuman bahwa pembubaran PKI adalah tidak syah.

Berdasarkan penjelasan tersebut secara hukum pembubaran PKI yang dilakukan oleh Soeharto

adalah batal demi hukum, karena keputusan Presiden lebih tinggi daripada keputusan

pemegang Supersemar.

Namun perlu diingat bahwa dalam kondisi sosial yang gawat, hukum relatif tidak berlaku,

yang berlaku adalah kekuatan senjata. Saat itu kekuatan senjata berada di tangan Soeharto.

Dalam hal ini Soeharto lebih berani mengambil risiko daripada Bung Karno. Barang siapa

yang berani mengambil risiko tinggi, akan memperoleh hasil tinggi pula.

Keberanian Soeharto itu diwujudkan lebih lanjut dalam tindakannya yaitu menangkap dan

memenjarakan 15 menteri termasuk Soebandrio Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yang

sangat termasyur itu. Kemudian menangkap dan memenjarakan 136 anggota DPRGR/MPRS,

diganti oleh orang-orang dari Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda

Pelajar Indonesia (KAPPI).

Soeharto dengan kekuatan senjata dapat melakukan hal itu semuanya, walaupun ia bukan

seorang presiden; ia mampu mendirikan DPRGR/MPRS baru yang diisi oleh orang-orangnya

dan diketuai oleh Nasution, yang nantinya akan mengesahkan dia secara hukum sebagai

Presiden Republik Indonesia Kedua. Dengan demikian proses kekuasaan harus dimulai dari

proses kekuatan senjata baru kemudian proses kekuatan hukum.

Kekuatan senjata merupakan materi dan hukum merupakan ide, materi menentukan ide, atau

keadaan menentukan kesadaran.

Nampaknya Soeharto memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai bahwa kekuasaan

politik harus dibangun dari kekuatan senjata. Pengalaman dan pengetahuan itu diperoleh dari

ketika Soeharto menjadi Tentara Belanda, Tentara Jepang, dan Tentara Republik Indonesia, di

mana Belanda dan Jepang dapat menguasai Nusantara dengan kekuatan senjata, dan Indonesia

Merdeka juga dengan kekuatan senjata (Revoulsi 17 Agustus 1945). Sekali senjata diangkat

jangan dilepaskan agar tujuan politik dapat tercapai, pemikiran ini diyakini Soeharto sebagai

kebenaran universal dalam merebut kekuasaan, tetapi tidak diyakini oleh G/30S/1965

sehingga mereka mudah dikalahkan oleh Soeharto.

Di samping itu sejarah membuktikan bahwa ketrampilan berpikir (kepandaian) Soekarno yang

tinggi dikalahkan oleh keberanian bertindak Soeharto. Pandai tidak berani tidak menghasilkan

sesuatu, tetapi berani walaupun kurang pandai bisa menghasilkan sesuatu. Orang yang pandai

dan berani pada umumnya sukses mencapai sesuatu yang direncanakan.

Pengalaman Soeharto merebut kekuasaan Soekarno dapat dijadikan diskusi filsafat dan diskusi
keilmuan lebih lanjut.
5. Peranan Nasution.
Sumbangan besar Nasution terhadap Soeharto ialah membawa Supersemar ke dalam Sidang
Umum MPRS pada tangal 21 Juni 1966 tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno.
Dalam sidang itu dikeluarkan Ketetapan MPRS No. IX 1966 tentang Supersemar. Dengan
demikian sulit bagi Presiden Soekarno untuk mencabut kembali Supersemar. Kemudian
MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan
Ketetapan MPRS No XXV 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang PKI sebagai partai terlarang dan
melarang menyebarkan Marxisme-Leninisme atau Komunisme di Indonesia.
Ketetapan MPRS No. XXV 1966 itu hakikatnya adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan
Panca Sila. Dalam UUD 1945 pasal 27 dan 28 menyebutkan bahwa semua warga negara hak
sama di depan hukum (pasal 27), semua warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, bebas mengeluarkan pikiran secara tertulis dan lesan tanpa mempersoalkan
paham politik atau ideologi yang dianutnya (pasal 28). Dalam Panca Sila, seperti yang
diucapkan oleh Bung Karno dalam lahirnya Panca Sila bahwa Negara Republik Indonesia ini
didirikan bukan buat satu golongan, tetapi semua buat semua. Undang-undang, hukum,
ketetapan, peraturan, dan sejenisnya sebagai ide atau bangunan atas suatu masyarakat sangat
tergantung pada alat pelaksana ide yaitu kekuasaan politik. Berlakunya Undang-undang dan
sejenisnya sangat tergantung pada kekuasaan politik. Penguasa politik hanya peduli pada
undang-undang dan sejenisnya yang menguntungkan dirinya. Soeharto nampaknya
mengetahui dan memahami benar pemikiran tersebut, maka ia membuat undang-undang,
hukum, dan sejenisnya untuk melindungi kepentingan politiknya.
Tap MPRS No. IX/1966 dan Tap MPRS No.XXV/1966 adalah langkah awal secara hukum
untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno. Untuk mempercepat dalam mengambil alih kekuasaan
Soekarno, Soeharto-Nasution mendesak DPRGR mengusulkan Sidang Umum Istimewa
MPRS dengan alasan bahwa Presiden Soekarno melanggar GBHN karena tidak bersedia
membubarkan PKI. GBHN yang berlaku pada waktu itu adalah GBHN Manipol yang berbasis
pada NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), membubarkan PKI berarti bertentangan
dengan GBHN Manipol.
Usul DPRGR untuk mengelar Sidang Istimewa tersebut disetujui oleh MPRS SoehartoNasution, dan diselenggarakan SI MPRS pada tanggal 7 Maret 1967 sampai dengan 12 Maret
1967. Soeharto-Nasution menyadari bahwa MPRS hasil Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959
tidak dapat mengganti presiden. Menurut pidato kenegaraan Presiden Soekarno 10 November
1960, MPRS tidak berwenang merubah UUD 1945, dan memililh presiden dan wakil presiden.
Tetapi Nasution kurang menaruh perhatian tentang hal itu, ia mengatakan bahwa MPRS
sekarang ini adalah hasil pemilihan umum masa lalu, jadi syah untuk merubah UUD 1945, dan
mengangkat presiden dan wakil presiden, dan merupakan satu-satunya kekuasaan negara yang
tidak terbatas. Berdasarkan pemikiran yang demikian ini MPRS Soeharto-Nasution
mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan
pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, dan Ketetapan MPRS No. XXXVI/1967 tentang
melarang Ajaran Soekarno.
Dengan dua Tap MPRS Soeharto-Nasution tersebut, Bung Karno menghakhiri kekuasaannya.
Soeharto berhasil merebut kekuasaan secara hukum berdasar Supersemar dan Tap MPRS.
Soeharto berhutang budi besar kepada Nasution, sebab peranan Nasution sebagai ketua MPRS
sangat besar dalam melahirkan Tap MPRS No. XXXIII dan XXXVI/1967.
6. PKI Tidak Terlibat Gerakan 30 September 1965

Latief adalah pelaku kunci G/30S menjelaskan di depan wartawan Tempo tanggal 16 April
2000 bahwa ide menghadapkan para Jenderal (Yani dkk) adalah dari inisiatif kami (Latief,
Untung, Soepardjo, dan Soeyono), bukan ide dari PKI; tidak benar kami diperintah PKI; jika
ada informasi bahwa kami diperintah PKI itu adalah informasi yang dibuat Soeharto untuk
menutupi tindakannya. Pendapat Latief itu dapat diterima oleh akal sehat, karena program
Partai Komunis untuk berkuasa pada umumnya adalah revolusi seperti yang dilakukan di
Rusia, China, Cuba, dll., bukan melalui kup. Khusus di Indonesia, program PKI adalah
mencapai demokrasi rakyat melalui jalan demokratis dan parlementer seperti yang ditetapkan
pada Kongres Nasionak Ke V tahun 1954. Di samping itu kecil sekali kemungkinannya PKI
kup terhadap Presiden Soekarno, karena Presiden Soekarno menjamin hak hidup PKI dengan
konsep NASAKOM.
Di sisi lain, Brigjen Soepardjo pada tanggal Satu Oktober siang 1965 setelah melakukan
gerakan melapor kepada Presiden Soekarno, dan pada waktu itu juga Presiden Soekarno
memerintahkan Soepardjo untuk menghentikan G/30S. Itu menunjukkan bahwa PKI sebagai
organisasi tidak terlibat G/30S.
Jika PKI secara organisasi terlibat, maka:
(1) Soepardjo seharusnya melapor kepada Aidit sebagai Ketua Comite Central PKI,
(2) Nyoto dan Lukman sebagai anggota politbiro CC PKI tentu ditangkap sejak menghadiri
sidang kabinet 6 Oktober 1965,
(3) PKI mengerahkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno.
Kenyataannya pada waktu itu justru Soepardjo melapor kepada Presiden Soekarno, Nyoto dan
Lukman tidak ditangkap pada waktu menghadiri sidang kabinet tanggal 6 Oktober 1965, dan
PKI tidak menggerakkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno.
Aidit dan Syam Kamaruzaman secara pribadi mungkin terlibat G/30S, karena kedua orang itu
mempunyai hubungan erat dengan para militer yang terlibat dalam G/30S. Syam sebagai biro
khusus yang mempunyai tugas membina tentara hanya bertanggung jawab kepada Aidit
pimpinan polit biro CC PKI. Mungkin di antara tentara yang terlibat G/30S itu ada yang
dibina oleh Syam. Tetapi itu tidak berarti bahwa PKI sebagai organisasi terlibat G/30S.
Soeharto melibatkan PKI sebagai organisasi dengan G/30S hakikatnya adalah untuk
menghancurkan PKI karena PKI merupakan kekuatan politik pendukung Bung Karno.
Seperti dijelaskan di atas kekuatan Bung Karno adalah Jenderal Achmad Yani dkk dari
Angkatan Darat, para pelaku Gerakan 30 September 1965, dan PKI. Presiden Soekarno tidak
pernah berpikir dan merasa dikhianati PKI. Itu dapat dilihat dari pernyataan beliau pada
tanggal 21 Oktober 1965 bahwa Gestoknya (Gerakan Satu Oktober 1965) harus kita hantam,
tetapi komunismenya tidak, karena ajaran komunis itu adalah hasil obyektif dalam masyarakat
Indonesia, seperti halnya nasionalisme, dan agama.
Itu menunjukkan bahwa Bung Karno menempatkan dirinya sebagai negarawan besar,
berpandangan obyektif, berpikir jernih, dan mengutamakan persatuan bangsa. Beliau
mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh bahwa paham atau isme itu tidak bisa
dibunuh, walaupun orangnya dibunuh.
7. Ketakutan Soeharto
Salah satu ketakutan Soeharto dalam hidupnya adalah kalau rakyat Indonesia mengetahui apa
yang dibicarakan dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 pada jam 9 malam di rumah
sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta. Sampai sekarang ini pembicaraan kedua insan
tersebut masih diliputi kabut rahasia. Seperti dijelaskan di atas bahwa dalam pertemuan itu,
Latief memberi tahu Soeharto bahwa nanti subuh dini hari akan dilakukan gerakan militer
terhadap Jenderal Achmad Yani dkk. Soeharto sebagai bawahan Yani seharusnya menangkap

Latief pada waktu itu, tetapi tidak dilakukan. Itu menunjukkan bahwa kemungkinan Soeharto
menghendaki Yani dkk mengakhiri hidupnya.
Untuk menutupi kabut rahasia pertemuan di atas, Soeharto membuat berbagai pernyataan
antara lain sebagai berikut:
1. Kepada Arnold Brackman, Soeharto mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965
malam hari banyak kawan-kawannya yang menjenguk anaknya yang sedang dirawat di rumah
sakit Gatot Soebroto Jakarta, termasuk Kolonel Latief.
2. Kepada majalah Der Spegel dari Jerman Barat, Juni 1970, Soeharto menjawab pertanyaan
wartawan mengapa Jenderal Soeharto tidak termasuk sasaran G/30S?. Soeharto menjawab
bahwa bahwa Latief datang ke rumah sakti Gatot Soebroto kira-kira jam 11 malam untuk
membunuh saya, tetapi niatnya dibatalkan karena di tempat umum.
3. Dalam otobiografinya sendiri, Soeharto mengatakan bahwa ia hanya melihat Latief di
koridor rumah sakit Gatot Soebroto; ia melihat dari tempat ia menjaga anaknya yang sedang
dirawat di rumah sakit itu.
Dari tiga pernyataan tersebut, jelas terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu yang pertama,

Latief datang ke rumah sakit Gatot Soebroto untuk menjenguk anaknya, kedua, Latief datang

ke rumah sakit Gatot Soebroto untuk membunuhnya, dan yang ketiga, ia hanya melihat Latief

di koridor rumah sakit Gatot Soebroto.

Ketiga pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Soeharto ketakutan terhadap dirinya sendiri

tentang pertemuan "penting" dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 jam 9 malam.

Dalam pertemuan Soeharto-Latief tersebut dapat diduga:

1. Latief adalah anak buah Soeharto dalam G/30S/1965; jika benar, maka Soeharto adalah
"Pimpinan Tertinggi" G/30S/1965, kemudian untuk menghilangkan jejaknya, Soeharto
menyapu bersih gerakan tersebut dengan pasukan khususnya.
2. Latief adalah sahabat sehidup-semati Soeharto; ia datang ke rumah sakit Gatot Soebroto jam
9 malam tanggal 30 September 1965, lima jam sebelum gerakan dimulai untuk memberitahu
bahwa akan ada gerakan membersihkan Jenderal Achmad Yani dkk, harap hati-hati, dan
bantulah kami; jika ini benar, maka Latief secara sadar atau tidak sadar ia adalah "pengkianat"
gerakan tersebut, karena memberitahukan gerakan yang akan dilakukan kepada orang yang
bukan pimpinannya.
Diduga yang mendekati kebenaran adalah pendugaan yang kedua (Latief memberi tahu
Soeharto tentang G/30S).
Dengan demikian hakikatnya tidak ada persahabatan yang sejati, yang ada adalah
persahabatan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama kita bersahabat, jika
kepentingannya berbeda, kita mengambil jalan yang berbeda; atau tidak ada front persatuan
universal, yang ada adalah front persatuan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama
maka kita berada dalam satu front persatuan, jika kepentingannya berbeda maka kita berjalan
sendiri-sendiri.
8. Peranan Imperalisme
Pada tanggal 12 Agustus 1941 terjadilah suatu perjajian yang maha penting karena dilakukan
oleh dua tokoh terkenal di dunia yaitu F.D. Roosevelt Presiden Amerika Serikat dan Winston
Churchill Perdana Menteri Inggris. Perjanjian itu dinamakan Perjanjian Atlantic atau Atlantic
Charter.

Isi pokoknya ialah Sebuah Hari Depan Yang Lebih Baik Bagi Dunia. Isi selengkapnya adalah:
1. Mereka tidak berupaya melakukan perluasan wilayah
2. Mereka tidak ingin melihat adanya perubahan wilayah yang tidak diinginkan oleh bangsabangsa yang bersangkutan
3. Mereka menghormati hak setiap bangsa untuk berdaulat
4. Semua negara bebas berdagang dan memperoleh bahan mentah
5. Kerjasama ekonom bagi semua bangsa
6. Hidup damai, bebas ketakutan
7. Bebas mengarungi samudera tanpa rintangan
8. Tidak diperkenankan memaksakan kehendak dengan kekuatan senjata
Yang terpenting dalam perjanjian itu adalah bebas berlayar tanpa rintangan, bebas berdagang,
bebas memperoleh bahan mentah. Amerika Serikat dan Inggris memiliki armada laut yang
hebat, mereka mudah menguasai dunia secara ekonomi, sosial, dan politik. Hakikatnya
perjanjian Atantik itu adalah membagi dunia menjadi "milik" Amerika Serikat dan Inggris, itu
diisyaratkan pada perjanjian nomor 7.
Bangsa-bangsa lain harus "tunduk" (harus bersedia bekerja sama) kepada kedua negara
tersebut, khususnya di bidang ekonomi. Nampaknya mereka sadar bahwa bentuk penjajahan
dengan kekuatan militer yaitu kolonialisme harus diganti dengan kekuatan ekonomi yaitu
imperalisme (neo-kolonialisme), itu diisyaratkan pada perjanjian nomor 4, 5, dan 8.
Dalam perjanjian nomor 6, bangsa-bangsa di dunia harus membuat pakta pertahanan terutama
dengan Amerika Serikat dan Inggris, agar mereka bebas dari ketakutan perang dan dapat hidup
damai. Dapat dipastikan bahwa dalam pakta pertahanan itu akan dihegemoni (dipimpin) dan
didominasi (dikuasai atau didekte) oleh pihak yang memiliki peralatan senjata yang kuat;
dalam hal ini adalah Inggris dan Amerika Serikat.
Perjanjian nomor 1,2, dan 3 mengisyaratkan bahwa tidak layak lagi melakukan kolonialisme
dengan kekuatan militer, mereka sadar bahwa itu hanya akan mengakibatkan perang antar
mereka seperti Perang Dunia Pertama dan Kedua.
Sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Amerika Serikat dan Inggris bersekutu untuk
membuat badan keuangan dunia yang disebut IMF (International Monetary Fund). Lembaga
Keuangan Internasional yang dibentuk itu antara lain:
IMF, dibentuk di Bretton Woods, New Hampshire, Juli 1944 oleh kaum kapitalis
internasional tujuannya: kerjasama moneter internasional, stabilisasis kurs, menyediakan dana
pinjaman untuk memperbaiki neraca pembayaran, meningkatkan mobilitas dana antar negara,
mewujudkan perdaganan bebas.
Bank Dunia (International Bank for Recontruction and Development), 1944, tujuan:
memberi pinjaman untuk pembangunan ekonomi negara-negara anggota
IFC (International Finance Corporation), tujuannya membantu perusahaan swasta , terutama
kaum Multi National Corporation atau Trans National Corporation yaitu perusahaanperusahaan raksasa yang beroperasi di luar batas negaranya atau beroperasi di negara orang
lain
IDA (International Development Association), tujuannya membantu pembangunan ekonomi
negara-negara yang kalah perang dan negara-negara yang baru merdeka

BIS (Bank for International Settlement), tujuannya membantu negara tau perusahaan yang
dilanda krisis keuangan
RDA (Regional Development Agencies), tujuannya membantu pembangunan ekonomi
regional (Asia, Afrika, Amerika Latin).
Hakikatnya semua lembaga keuangan internatioanl yang dibentuk oleh Amerika dan Inggris
itu adalah sebagai alat negara kapitalis dan MNC untuk menguasai ekonomi, sosial, politik,
dan budaya Negara Sedang Berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia.
Bung Karno pernah mengatakan bahwa menolak bantuan asing jika dikaitkan dengan
kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian Indonesia. Nampaknya Bung
Karno memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tinggi tentang taktik dan strategi negaranegara bekas kolonialis untuk menguasai kembali negara-negara bekas jajahannya dengan
model bantuan keuangan dan ekonomi. Inilah yang lazim disebut Imperalisme, yaitu suatu
penjajahan bentuk baru dengan kekuatan modal, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, lahirlah bangsa-bangsa merdeka, termasuk bangsa
Indonesia. Dalam kehidupan yang merdeka, Presiden Soekarno ingin hidup ekonomi secara
mandiri, artinya tidak mau bergantung kepada modal asing, berdaullat dalam bidang politik,
dan berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia. Kebijakan Bung Karno dalam bidang
ekonomi khususnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan asing adalah bahwa
perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia dijadikan milik negara yaitu menjadi
Badan Usaha Miliki Negara Republik Indonesia (BUMN RI). Itu artinya Bung Karno
melawan Atlantic Charter atau melawan Inggris dan Amerika atau melawan imperalisme.
Karena BUMN itu pada umumnya adalah bekas milik Inggris dan Amerika. Berdasarkan tesis
ini, maka Inggris dan Amerika harus menyingkirkan Soekarno dari kekuasaannya.
Inggris dan Amerika mengetahui dan memahami bahwa kekuatan Bung Karno adalah Jenderal
Achmad Yani dkk dan PKI. Oleh sebab itu untuk menggulingkan Bung Karno harus terlebih
dahulu menghancurkan Jenderal Yani dkk dan PKI. Metode yang digunakan ialah
menciptakan konflik di tubuh Angkatan Darat antara Jenderal Yani dan Jenderal yang lainnya
dan melibatkan pimpinan PKI dalam konflik tersebut.
Marshall Green duta besar AS di Jakarta beberapa bulan sebelum G/30S telah datang di
Jakarta. Ia adalah arsitek penjatuhan Syngman Rhee di Korea Selatan. Diduga pengangkatan
Green sebagai duta besar AS di Indonesia adalah untuk maksud menjatuhkan Soekarno dan
menghancurkan PKI yang anti feodalisme, kolonialime, dan imperalisme.
Rencana Barat Menghancurkan PKI sejak PKI berdiri tahun 1920-an karena ciri utama
perjuangan PKI adalah anti kolonialisme. Sejak pemberontakan PKI melawan Belanda tahun
1926 sampai menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tokoh-tokoh PKI
dikejar-kejar oleh pemerintah Belanda kemudian oleh pemerintah Jepang. Kemudian berturutturut dilanjutkan dengan:
(1) instruksi rahasia Amerika pada waktu pemerintah Hatta dengan menggunakan divisi
Siliwangi untuk menghancurkan pelaku peristiwa Madiun 1948,
(2) rasionalisasi tentara yang lahir dari laskar rakyat yang banyak didominasi oleh orang-orang
yang bersimpati dengan PKI,
(3) larangan mogok dan razzia Agustus yang dilakukan oleh pemerintah Natsir dan Sukiman
tahun 1950-1951,
(4) penindasan berdarah kaum tani di Tanjung Morawa dan tempat-tempat lainnya sekitar
tahun 1952-1953,
(5) pemberontakan bersenjata PRRI dan Permesta sejak tahun 1956-1961 yang sepenuhnya
dibantu senjata oleh Amerika,
(6) pemeriksaaan Aidit, Nyoto, dan Sakirman sehubungan dengan pemikiran kritisnya tentang

Demokrasi Terpimpin; semuanya itu gagal sampai dengan tahun 1965.


Pada tahun 1965 bagi kaum imperalis melihat gejala di Indonesia dari tiga dimensi yaitu:
(1) PKI makin besar, hal ini makin membahayakan pengaruh kaum imperalis terhadap
Indonesia dan menyulitkan mereka menanam modal di Indonesia, berarti kaum imperalis
makin sulit melakukan dominasi ekonomi dan politik di Indonesia,
(2) kekuasaan Angkatan Darat makin kuat, merupakan kekuatan bagi kaum imperalis untuk
menguasai kembali Indonesia secara ekonomi dan politik, karena sebagaian jenderal Angkatan
Darat menjadi sahabat baik Amerika dan Inggris, dan
(3) seriusnya sakitnya Bung Karno, menjadi perhatian utama kaum imperalis untuk dijadikan
langkah awal menguasai Indonesia kembali pada saat Bung Karno meninggal dunia.
Ketiga gejala tersebut, diduga kaum imperalis menyiapkan strategi untuk menempatkan
Angkatan Darat menjadi penguasa politik di Indonesia, dengan menyingkirkan jenderaljenderal pendukung Soekarno dan menghancurkan PKI, karena garis politik PKI sejalan
dengan garis politik Bung Karno yang anti feodalisme, kolonialisme, dan imperalisme.
Hal yang menguntungkan kaum imperalis adalah bahwa pada tahun 1960-1963, PKI telah
dijinakkan oleh Bung Karno. Itu berarti garis politik komunis dengan aksi dan revolusi
bersenjatanya untuk membangun pemerintahan demokrasi rakyat telah hilang. PKI tidak lagi
menjadi partai yang revolusioner, tetapi menjadi partai yang evolusioner berbasis pada
program parlementer; PKI yakin bahwa ia dapat berkuasa melalui jalan parlementer. Hal itu
dapat dilihat sejak 1963, PKI tidak mempunyai program revolusi bersenjata seperti di China,
Kuba, Vietnam, Laos, dan Kamboja.
Pada tahun 1964, aksi sepihak PKI makin meluas di pedesaan, menuntut diberlakukan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang intinya tanah untuk petani, bukan untuk tuan
tanah, dan menuntuk diberlakukannya Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH), yang
intinya petani penggarap harus diuntungkan. Aksi ini hanya merupakan aksi ekonomi, bukan
aksi politik bersenjata. Aksi ini melahirkan konflik sosial antar pengikut PKI dengan pengikut
Partai lainnya, karena sebagian pemilik tanah luas adalah menjadi anggota partai lain seperti
PNI, NU, dsb. Aksi sepihak itu merupakan tindakan PKI membuka front pertentangan dengan
rakyat pengikut partai lain.
Setelah pemilu 1955, Soekarno menemukan jatidirinya yaitu anti kolonialisme baru
(imperlasime) dan bekerja sama dengan PKI untuk mengganyang (menghancrukan) Malaysia.
Oleh Soekarno, Malaysia adalah boneka Inggris dan Amerika untuk mengepung Indonesia.
Pendapat ini didukung oleh PKI. Dalam hal ini PKI kurang tepat sasarannya. Mestinya sasaran
PKI adalah anti imperalisme di Indonesia, bukan anti Malaysia. Malaysia sebagai boneka
Inggris dan Amerika adalah masalah yang abtrak, yang kongkrit adalah penghisapan dan
penindasan kaum imperalis di Indonesia melalui penanaman modal asing. Keadaan yang
demikian, Inggris dan Amerika makin marah terhadap PKI. Konflik Bung Karno dengan
Angkatan Darat adalah masalah "Angkatan Kelima" yaitu buruh dan tani harus dipersenjatai;
ini mungkin gagasan PKI yang ingin meniru Revolusi Tiongkok, di mana kaum tani bersenjata
dibantu kaum buruh bersenjata melawan tuan tanah. Di samping itu konflik Soekarno dengan
Angkatan Darat adalah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 di mana Nasution dan Gatot
Subroto ingin merebut kekuasaan. Konflik Soekarno dengan Angkatan Darat yang paling
gawat adalah bahwa sebagian Jenderal-Jenderal Angkatan Darat (Dewan Djenderal) tidak
setuju dengan program revolusi Indonesia yang belum selesai dan adanya berita bahwa Dewan
Jenderal akan mengadakan kup tanggal 5 Oktober 1965.
Berita kup Dewan Jenderal itu diperoleh dari dokumen Sir Andrew Gilchrist Duta Besar
Inggris di Indonesia; ia mengatakan kepada temannya Amerika, bahwa operasi militer telah
dispersiapkan dengan our local army friends. Soekarno marah dan PKI terjebak dengan berita
tersebut. Dokumen Gilchrist itu sengaja disebarluaskan. Dokumen kup Dewan Jenderal

sengaja dibocorkan, yang terdiri dari Nasution, Yani, Harjono, Suparpto, S. Parman, Sutojo,
Sukendro, Sumarno Ibu Sutowo, Rusli. Anggotanya 40 orang di mana Soeharto masuk di
dalamnya, aktif 25 orang, 7 orang diantaranya adalah pimpinan puncak.
Mungkin dokumen itu sengaja dibuat oleh Gilchrist untuk memancing Bung Karno marah dan
mengadakan tindakan pembersihan di tubuh Angkatan Darat yaitu Jenderal Yani dkk., di mana
sebenarnya mereka itu adalah pendukung setia Bung Karno. Bung Karno memerintahkan
Letnan Kolonel Untung dari kesatuan Cakarabirawa pengawal presiden, untuk
membereskannya.
Perintah Bung Karno kepada Untung tersebut disambut baik oleh sebagian pimpinan PKI
yaitu Aidit dan Syam Kamaruzaman. Kedua tokok PKI itu yakin bahwa Bung Karno dengan
kekuatan pasukan Cakrabirawa dapat menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, maka
Untung bergerak mendahuluinya dengan mengadakan gerakan penangkapan para Jenderal
pada tanggal 30 September 1965, yang dikenal peristiwa G/30S.
Konflik intern Angkatan Darat sebenarnya dimulai dari Nasution kontra Yani. Yani
menggantikan Nasution sebagai Panglima Angkatan Darat; Yani setuju Soekarno bahwa
Nasution sebagai Panglima Angkatan Bersenjata hanya tugas administratif saja, Yani
mengganti orang-orang Nasution di Kodam-Kodam. Yani setuju pembubaran panitia Rituling
Apratur Negara yang dipimpin oleh Nasution. Soeharto dan Basuki Rachmad, dkk menjadi
mediator konflik Nasution-Yani. Diduga, Soeharto memanfaatkan konflik Nasution lawan
Yani, Yani lawan Soekarno, dan konflik Yani lawan PKI. Pada trahun 1965 Yani dan
Nasution bersatu melawan Soekarno dan PKI, karena merasa bahwa Soekarno selalu
mengikuti politik PKI, atau mungkin karena Bung Karno memberi ruang gerak yang leluasa
bagi PKI untuk mengadakan propaganda anti feodalisme, kolonialisme dan imperlisme.
Hakikatnya dalam kubu Angkatan Darat terdapat empat kelompok, yaitu: Kubu Nasution dkk,
Yani dkk, Soeharto dkk.(terutama trio Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo), dan kubu
Jenderal Mursjid dkk calon pengganti Yani tanggal 1Oktober 1965. Dari empat kelompok
tersebut, Inggris dan Amerika diduga bersekutu dengan kubu Soeharto, karena Soeharto tidak
anti Amerika. Amerika kurang percaya kepada Nasution, karena Nasution gagal kup 17
Oktober 1952. Amerika kurang percaya kepada Yani, karena Yani telah menghancurkan PRRI
dan Permesta yang didukung senjata Amerika. Amerika tidak percaya kepada Mursyid, karena
Mursyin pengikut Bung Karno yang sangat loyal, patriot, dan nasionalis anti imperalisme.
Berdasarkan informasi di atas, diduga Inggris dan Amerika dengan CIA nya membantu
Soeharto untuk naik ke panggung kekuasaannya. Tujuannya adalah penguasaan sumbersumber daya alam Indonesia yang sangat kaya raya. Jadi tujuannya adalah penguasaan
ekonomi, yaitu masuknya modal asing atau Multi National Corporation mendominasi ekonomi
Indonesia.
Kenyataanya, sejak Soeharto berkuasa sampai saat ini, modal asing menguasai ekonomi
Indonesia.
9. Strategi Soeharto Untuk Berkuasa.
Soeharto berpura-pura menjadi anggota Dewan Jenderal untuk memantau persiapan yang
sedang dilakukan; Yoga (Trio Soeharto) memberi info kepada S. Parman (atasannya Yoga)
bahwa akan ada penculikan-penculikan. Tentu saja tindakan Yoga itu diketahui oleh Soeharto.
S. Parman tidak percaya atas kebenaran info Yoga tersebut. Tujuan info info itu adalah untuk
mengetahui apakah Yani tahu atau tidak tentang akan adanya gerakan 30 September. Ternyata
Yani belum tahu, berdasar ketidakpercayaan S. Parman tentang info tersebut. Diduga Soeharto
menyimpulkan bahwa rencana Untung dkk melakukan penculikan 30 September belum
diketahui oleh lawan Yani dkk).
Keadaan sekitar peristiwa 30 September menguntungkan Soerharto; kalau Untung gagal

membunuh Yani dkk, Soeharto menjadi pahlawan, karena ia dengan kawan-kawannya telah
memberitahu S. Parman sebelumnya; dan jika Untung berhasil menangkap Yani dkk, Untung
dkk harus dilenyapkan. Ternyata yang menjadi kenyataan adalah Untung dkk berhasil
menangkap dan membunuh Yani dkk, kemudian Untung dilenyapkan oleh Soeharto dkk.
Soeharto dkk naik ke panggung kekuasaan Republik Indonesia.
Peristiwa G/30S yang hampir mirip pernah dilakukan sebelumnya oleh Soeharto pada
peristiwa penolakan pengangkatan Panglima Kodam Diponegoro, dan pada tahun 1946, yang
dikenal dengan peristiwa 3 Juli 1946. Soeharto mampu menggusur Kolonel Bambang Supeno
yang akan dilantik menjadi Panglima Kodam Diponegoro, dengan cara menyuruh Yoga dkk
mengadakan rapat gelap di Kopeng Salatiga Jawa Tengah yang hasilnya adalah menolak
Bambang Supeno menjadi Panglima Kodam Diponegoro. Akhirnya Soekarno membatalkan
pengangkatan tersebut dan menggantinya dengan Letkol Soeharto.
Soeharto mampu menggagalkan kup 3 Juli 1946, yang dilakukan oleh Tan Malaka dari Partai
Murba bersama militer di Jawa Tengah termasuk Soeharto. Pada tanggal 27 Juni 1946 Perdana
Menteri Syahrir dkk diculik oleh Soedarsono komandan Divisi III, Sutarto Komandan Militer,
dan Abdul Kadir Yusuf Komandan Batalyon di Surakarta. Tanggal 1 Juli 14 orang sipil
pendukung komplotan penculik ditangkap dan dijebloskan di penjara Wirogunan Yogya.
Sudarsono, Abdul Kadir Yusuf, Sucipto Kepala Intelejen AD, berkumpul di markas Soeharto
Komandan Resimen III di Wijoro. Pada tanggal 2 Juli 1946 mereka menggerakkan dua
batalyon dari Resimen I dan Resimen III untuk membebaskan kawan-kawannya yang
dipenjara di Wirogunan dan berhasil, dan berhasil menguasasi stasion radio, kantor telpon.
Dari Wirogunan, kawan-kawan yang dipenjara dibawa ke markas Soeharto untuk dilindungi.
Malamnya mereka mempersiapkan kup untuk membubarkan pemerintah Syahrir dan Amir
Syarifudin, tetapi dapat digagalkan. Pelaku-pelakunya diadili, dan Soeharto berbalik arah
bahwa keberadaan kawan-kawan di markasnya itu adalah dalam rangka mengamankannya
atau menawannya. Soeharto tampil sebagai pahlawan.
Untung dan Latief yang gagah berani adalah bekas anak buah Soeharto. Supardjo dan
Soeharto adalah sama-sama menjadi anggota dewan jenderal, Soeharto Panglima Kostrad,
Supardjo wakil Panglima Kostrad dan merangkap Panglima KOLAGA (Komando Mandala
Siaga). Untung, Latief, Supardjo, adalah pimpinan kolektif G/30S yang mempunyai hubungan
baik secara pribadi dengan Soeharto.
Dalam kondisi yang demikian itu, Soeharto memiliki empat jalur yaitu :
(1) jalur Dewan Jenderal di mana ia sebagai salah satu anggotanya; dalam jalur ini Soeharto
dapat memantau rencana Dewan Jenderal mengadakan kup,
(2) jalur Sujono, dan Dul Arief sebagai pelaksana G/30S,
(3) jalur Latief, Untung dan Soeparjo, yaitu pimpinan kolektif G/3S, dan
(4) jalur luar negeri dukungan Inggris dan Amerika yang ingin melenyapkan Bung Karno.
Keempat jalur tersebut berhasil dikelola oleh Soeharto dkk untuk memenangkan pertandingan
merebut kekuasaan politik dari Bung Karno. Kemudian Soeharto melaksanakan kekuasaan
politik yang didukung oleh Angkatan Darat, Inggris, dan Amerika. Modal asing mengalir
masuk ke Indonesia dengan dilindungi oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU
PMA). Politik Ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri) Soekarno runtuh diganti oleh
politik ekonomi liberal kapitalisme; berdaulat di bidang politik hancur, diganti oleh politik
yang dihegemoni oleh imperlisme; kepribadian dalam kebudayaan hancur, diganti oleh
kebudayaan Barat individualistik dan liberalistik.
10. Renungan Filsafat
Tidak ada kata terlambat dalam kamus politik. Yang ada adalah bahwa kegagalan adalah awal

dari kemenangan. Bangsa Indonesia telah gagal membangun dirinya yaitu gagal berdikari
dalam bidang ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan gagal berkepribadian dalam bidang
kebudayaan. Kegagalan itu harus menjadi bahan pelajaran untuk menuju sukses dengan cara
melakukan pendidikan politik bagi rakyat melalui kegiatan partai politik, kegiatan mahasiswa,
dan kegiatan kaum cendekiawan. Ketiga elemen masyarakat itu harus bersatu padu mendidik
rakyat agar rakyat sadar politik, kemudian mampu membebaskan diri dari belenggu
kemiskinan dan ketidakadilan, dan mampu membebaskan diri dari cengkeraman imperalisme
(penjajahan dalam bentuk baru).
Bagi PKI, kehancurannya itu disebabkan karena salahnya sendiri, karena penyakit
subyektivisme dalam bidang ideologi, avonturisme dalam bidang politik, dan legalismeliberalisme dalam bidang organisasi. Ketiga jenis kesalahan itu yang membawa kehancuran
PKI. Semua organisasi politik yang menderita tiga penyakit itu pasti akan hancur. Organisasi
politik yang mampu bertahan hidup adalah organisasi yang obyektif (memihak kepada
kepentingan mayoritas rakyat) di bidang ideologi, garis perjuangan jelas dan konsisten
membela kepentingan sebagian besar rakyat di bidang politik, dan harus ada kristalisasi kader
dan disiplin tinggi di bidang organisasi.
Sumber: PI, Indonesia - L Jakarta, 28 Februari 2001

Date: 2005/12/6
Section: Politik
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=116

Bertarung Melawan Pembodohan

HASTA MITRA: Bertarung Melawan Pembodohan


Razif*
Menulis di bawah rezim represif adalah pekerjaan berat. Tidak semua orang melakukannya.
Tapi menerbitkan buah pikiran yang direpresi dan menghadirkannya kepada publik di bawah
represi adalah pekerjaan luar biasa. Apalagi jika yang melakukannya adalah kumpulan orang
yang lebih dulu dianiaya dalam tahanan dan harus hidup sebagai warga kelas dua di negeri
sendiri. Kami hadir saat Soeharto sedang kuasa-kuasanya, kenang Joesoef Isak dengan
bangga.
Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah editor Hasta Mitra, yang didirikan bersama Hasjim
Rachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April 1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan
penerbit itu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedya yang ditulis di Pulau Buru dan
mencetak ulang sebagian karyanya sebelum ditahan, seperti Perburuan dan Panggil Aku
Kartini Saja.
Usaha itu tentu bukan tanpa masalah. Di tahun 1980-an Orde Baru tengah mencapai puncak
kejayaannya. Segala bentuk perlawanan, mulai dari PKI, kaum nasionalis, ulama sampai
mahasiswa berhasil diredam dan kontrol militer berlaku di segala bidang. Kehidupan sosialbudaya dirasuki semangat penertiban dan penyeragaman, di mana pikiran berbeda adalah
ancaman, dan mereka yang melakukannya bisa dianggap berkhianat terhadap bangsa dan
negara.
Sekeping Pernyataan Demokrasi
Awalnya sederhana. Tahun 1973 Pramoedya yang ditahan di Pulau Buru diberi sedikit
keleluasaan untuk melanjutkan kerja kreatif. Hasrat lama untuk menyusun siklus sejarah
Indonesia dalam bentuk cerita pun kembali ditekuninya. Dengan bahan yang serba terbatas ia
mulai menceritakan jilid pertama Bumi Manusia kepada tahanan yang lain di sawah-ladang
maupun barak penampungan. Baru dua tahun kemudian ia mulai menulis atas jasa beberapa
tahanan yang memperbaiki dan menyerahkan mesin tik tua Royal 440 untuknya.
Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, yang ikut menikmati kisah-kisah
Pramoedya suatu saat mendatanginya dan meminta izin untuk menerbitkannya setelah bebas.
Pramoedya pun setuju. Suatu persetujuan lisan, tanpa bukti, tanpa saksi. Tetapi di balik itu
kami berdua menyadari: penerbitan adalah sekeping pernyataan demokrasi, tulis Pramoedya

beberapa tahun kemudian. Di tengah ketidakpastian nasib sebagai tahanan Orde Baru
pembicaraan berlanjut membahas rencana-rencana mewujudkan niat itu.
Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan
wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Diskusi berkembang,
dan kesepakatan dicapai untuk menyiarkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat
sambutan dari penerbit lain. Awalnya mereka berniat tidak hanya menerbitkan karya tulis, tapi
juga menyiarkan rekaman musik, lukisan dan hasil kerja kreatif lainnya. Kami mau
membuktikan kepada dunia bahwa dari Pulau Buru juga bisa lahir hal-hal yang positif, bukan
hanya cerita sedih dan penderitaan saja, kata Hasjim ketika itu.
Pembagian kerja dimulai. Pramoedya terus menulis dan memperbaiki naskah-naskah yang
disusunnya selama di tahanan. Dua di antaranya, Mata Pusaran dan Oroh Ratusanagara,
sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Setelah keluar dari tahanan, naskah Ensiklopedi Citrawi
Indonesia yang disusunnya bertahun-tahun jadi sasaran. Bulan September 1979 seorang
kapten TNI-AL datang mengambil semua naskahnya dan setelah itu tak pernah kedengaran
kabarnya lagi. Joesoef bertindak sebagai editor berbekal pengalaman belasan tahun menjadi
wartawan sekian suratkabar sebelum 1965, sementara Hasjim menangani segi usaha dan
keuangan. Bulan Mei mereka sepakat menggunakan nama yang dicipta Pramoedya saat masih
mendekam di tahanan, Hasta Mitra (Tangan Sahabat).
Tidak banyak milik mereka sekeluar dari penjara. Rumah keluarga Joesoef di kawasan Duren
Tiga disulap jadi kantor dengan peralatan serba terbatas. Hanya ada satu mesin tik listrik
Olivetti yang dipakai bergantian oleh Pramoedya dan Hasjim untuk menggarap pekerjaan
mereka. Modal awal kami ambil dari dapurnya Hasjim, kenang Joesoef. Beberapa kerabat
dan sahabat yang simpati kemudian memberi tambahan modal sehingga Hasta Mitra bisa
mulai berjalan.
Tetralogi Buru: Demokrasi Hasil Keringat Sendiri
Naskah pertama yang mereka pilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia, jilid pertama dari
kisah pergerakan nasional Indonesia antara 1898-1918. Pramoedya kembali bekerja keras
memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir
semua naskah aslinya ditahan oleh penguasa kamp dan sampai hari ini belum dikembalikan.
Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menyalin kembali dan merajut tumpukan kertas lusuh yang
dimakan cuaca menjadi naskah buku. Hasjim dan Joesoef sementara itu berkeliling menemui
beberapa pejabat pemerintah, termasuk wakil presiden Adam Malik, yang ternyata
memberikan sambutan baik.
Awal Juli 1980 naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dengan harapan terbit
menjelang peringatan Proklamasi. Cetakan pertama keluar tanggal 25 Agustus, agak meleset
dari harapan semula karena alasan teknis. Hari-hari yang sungguh berarti karena setelah sekian
tahun kerja paksa dan setelah lepas dilarang bekerja, kini mereka menikmati hasil kerja sendiri
yang pertama. Bagi Pramoedya penerbitan Bumi Manusia, seperti yang dicatatnya, berarti
suatu kebulatan tekad, keikhlasan, dan sekaligus ketabahan untuk memberikan saham pada
perkembangan demokrasi di Indonesia dan bukan demokrasi warisan sah kolonial,
demokrasi hasil keringat sendiri.
Bumi Manusia memang pilihan yang tepat. Dalam waktu 12 hari sekitar 5.000 eksemplar
habis terjual. Hasjim sampai kewalahan melayani permintaan dari segala penjuru, termasuk
dari Malaysia, Belanda dan Australia. Iklan kecil yang dipasangnya di harian Kompas ditelan
oleh berita dan tinjauan panjang-lebar dari sejumlah penulis. Walau mendapat pembayaran
penuh dari agen dan toko buku, cetakan kedua langsung dipesan.

Dalam bulan November Hasta Mitra sudah membuat cetakan ketiga, dan berhasil menjual
sekurangnya 10.000 eksemplar. Dan sambutan pun semakin ramai, mulai dari kritikus Jakob
Soemardjo dan Parakitri Simbolon sampai artis remaja Yessy Gusman yang menyebutnya
karya sastra yang terbagus saat ini. Harian Angkatan Bersenjata yang dikelola Mabes ABRI
pun menyebutnya sebagai sumbangan baru untuk khasanah sastra Indonesia.
Pemasukan awal cukup lumayan sehingga Hasta Mitra bisa membenahi ruang kantornya dan
mempekerjakan 20 pegawai, yang hampir semuanya adalah eks-tapol. Hasta Mitra memang
tidak untuk cari untung, tapi juga menampung teman-teman yang kesulitan. Waktu itu banyak
kantor yang tutup pintu kalau pelamarnya pernah mendekam di tahanan, kata Joesoef.
Seorang kerabat yang simpati memberi sumbangan mesin typeset CR-Tronics yang sangat
canggih untuk zamannya dan melengkapi beberapa perabot yang diperlukan.
Keberhasilan pertama membuahkan bayangan indah di benak ketiganya. Niat untuk ikut
menyumbang pada perkembangan ilmu dan seni semakin membesar. Mimpi saya sudah
macam-macam, bahkan kalau bisa punya koran lagi, kata Joesoef. Tidak semua mimpinya
terwujud, terutama karena rezim Orde Baru mulai menganggapnya sebagai ancaman yang
harus ditindak.
Pelarangan: Bukan Hanya Membelenggu Pikiran
Keberhasilan Bumi Manusia sudah tentu membuat penguasa gerah. Dua hari sebelum cetakan
pertama keluar, kantor Hasta Mitra ditelepon oleh Kadit Polkam Kejaksaan Agung. Petugas
itu meminta agar buku itu tidak diedarkan sebelum ada clearance dari pihaknya. Permintaan
yang aneh tentunya, karena menurut aturan Kejaksaan Agung hanya berwenang melarang
buku yang sudah diterbitkan. Pada pertengahan September Hasjim dipanggil oleh Kejaksaan
Agung. Tiga hari ia harus melayani pertanyaan para jaksa pemeriksa yang mengatakan bahwa
Bumi Manusia mengandung teori Marxisme terselubung, tanpa menjelaskan maksudnya
tentu saja.
Tidak ada kata putus. Sementara itu sejumlah tokoh masyarakat, sastrawan dan pejabat
pemerintah mulai menyambut tuduhan kejaksaan. Dengan caranya sendiri-sendiri mereka
membenarkan bahwa karya itu memang mengandung ajaran Marxis walau selalu gagal
menunjukkannya dengan jelas. Saya heran kenapa banyak intelektual yang sebenarnya sadar,
justru bungkam, kenang Joesoef. Ia berulangkali bertemu dengan ilmuwan, sastrawan dan
tokoh kebudayaan yang mengaku penggemar berat Pramoedya, tapi tidak memberi pendapat
apa pun ketika karyanya dilarang.
Kejaksaan pun merangsak maju. Tidak puas dengan tuduhannya sendiri mereka mulai beralih
mempersoalan status Pramoedya sebagai eks-tapol. Percetakan Ampat Lima yang
memproduksi Bumi Manusia pun jadi sasaran. Pemiliknya berulangkali dipanggil dan diminta
agar tidak mencetak terbitan Hasta Mitra. Redaktur media massa pun ditelepon agar tidak
memuat resensi apalagi pujian bagi karya Pramoedya.
Tetap tidak ada keputusan resmi dan Hasta Mitra bergerak lagi mengeluarkan buku Anak
Semua Bangsa. Sambutan pun makin meluas sampai ke daerah-daerah, dan beberapa penerbit
di luar negeri mulai menghubungi Hasjim dan Pramoedya, meminta izin menerbitkan edisi
bahasa asingnya.
Reaksi pun semakin besar. Pertengahan April 1981 beberapa organisasi pemuda ciptaan Orde
Baru menggelar diskusi yang isinya mengecam karya Pramoedya. Hasil diskusi ini kemudian
disiarkan melalui media massa sebagai bukti keresahan masyarakat, modal penting bagi
Kejaksaan Agung untuk menetapkan larangan. Suratkabar pendukung Orde Baru seperti Suara
Karya, Pelita dan Karya Dharma mulai menerbitkan kecaman terhadap Bumi Manusia dan

pengarangnya.
Sambutan yang semula baik mulai melemah. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang akan
menyelenggarakan pameran buku tahunan, tiba-tiba mengirim surat pembatalan ke alamat
Hasta Mitra. Padahal sebelumnya panitia kelihatan sangat bergairah mengajak penerbit itu
menjadi anggota dan turut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Suratkabar yang semula simpati
semakin jarang memberi tempat dan bahkan beberapa tulisan yang siap naik cetak tiba-tiba
dibatalkan, hanya karena penulisnya memuji kedua karya Pramoedya.
Masalah semakin jelas ketika tanggal 29 Mei 1981 Jaksa Agung mengeluarkan SK052/JA/5/1981 tentang pelarangan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dalam surat itu
antara lain disebutkan sepucuk surat dari Kopkamtib yang keluar seminggu sebelumnya, dan
Rakor Polkam tanggal 18 Mei 1981. Pelarangan itu sepenuhnya adalah keputusan politik dan
tidak ada kaitannya dengan nilai sastra, argumentasi ilmiah serta alasan-alasan yang
dikemukakan sebelumnya.
Surat keputusan itu memperkuat persekutuan Orde Baru untuk menghantam Hasta Mitra. Para
perwira tinggi militer, termasuk Pangkopkamtib Soedomo, selalu menyempatkan diri untuk
berkomentar tentang karya Pramoedya. Sebelumnya di markas Kodam Jaya ada pertemuan
khusus antara sastrawan dan intelektual yang memberi landasan ilmiah dan kultural kepada
pejabat militer untuk mengomentari karya-karya Pramoedya. Menariknya, ada juga di antara
mereka yang di masa reformasi malah ikut-ikutan menyambut Pramoedya sebagai penulis
besar, kata Joesoef sambil tersenyum.
Gempuran itu bukan hanya dirasakan Hasta Mitra. Bulan September 1981, penerjemah Bumi
Manusia ke dalam bahasa Inggris, Maxwell Lane, yang juga staf kedutaan besar Australia di
Jakarta, dipulangkan oleh pemerintahnya. Perusahaan Ampat Lima yang mencetak kedua
karya pertama juga akhirnya mundur karena tekanan dari Kejaksaan dan aparat keamanan.
Akibatnya saat hendak menerbitkan Sang Pemula dan Jejak Langkah tahun 1985, Hasjim
terpaksa mencari percetakan kecil di kawasan Kramat yang dikelola seorang ibu tua dan anakanaknya.
Bagi Hasta Mitra yang bermodal dengkul, pelarangan itu adalah masalah serius. Semua agen
dan toko buku didatangi oleh Kejaksaan Agung yang menyita semua eksemplar Bumi
Manusia dan Anak Semua Bangsa. Beberapa di antaranya malah mengambil inisiatif
menyerahkannya secara sukarela. Tapi anehnya sampai Agustus 1981, hanya ada 972
eksemplar yang diterima oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar.
Rupanya banyak agen dan toko buku yang malah memilih menjual eksemplar yang tersisa di
bawah tangan. Masalahnya tak satu pun agen dan toko itu membayarnya kembali kepada
Hasta Mitra, sehingga pendapatan mereka terus merosot. Pada pertengahan tahun 1980-an
toko buku Hasta Mitra di Senen praktis menjadi satu-satunya tempat menjual terbitan mereka
secara terbuka. Tapi karena hutang bertumpuk, akhirnya toko itu terpaksa ditutup. Niat
menerbitkan karya eks-tapol yang lain pun diurungkan. Itulah esensi pelarangan buku-buku
kami: untuk menghancurkan kegiatan Hasta Mitra secara politik maupun ekonomi, kata
Joesoef.
Ekspansi di Tengah Represi
Pelarangan demi pelarangan boleh jadi meredam sambutan di negeri sendiri, tapi tidak
demikian halnya di luar negeri. Hanya beberapa bulan setelah Bumi Manusia keluar, sejumlah
penerbit di Hongkong, Belanda dan Australia mendekati Hasta Mitra untuk mendapat hak
terjemahan. Kesepakatan pun dibuat. Pramoedya sebagai penulis tetap mendapat royalti
sementara Hasta Mitra hanya bertindak sebagai perantara. Penerbit Wira Karya di Malaysia

adalah yang pertama menerbitkan ulang Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan
membayar royalti sebesar 12% langsung kepada Pramoedya.
Setelah kedua buku itu dilarang, Hasjim mulai berusaha menjual eksemplar yang masih tersisa
di gudang ke luar negeri. Ia menghubungi sejumlah perpustakaan, pusat penelitian dan toko
buku, tapi tidak selalu mendapat tanggapan positif.
Di tengah kesulitan lagi-lagi ada pertolongan dari beberapa sahabat yang mengumpulkan
modal 50.000 gulden untuk mendirikan cabang perusahaan di Amsterdam dengan nama
terjemahan dalam bahasa Latin, Manus Amici. Penerbit dan toko buku itu terletak di pusat
kota Amsterdam dan dikelola oleh Edi Tahsin, eksil Indonesia dari Tiongkok yang sejak 1977
bermukim di Belanda. Bulan September 1981 ia menerbitkan terjemahan Bumi Manusia
dalam bahasa Belanda, disusul oleh Anak Semua Bangsa.
Tapi tidak semua kegiatannya berjalan mulus. Di Belanda, Manus Amici tidak hanya
menerbitkan buku. Banyak dana yang dikirim dari Jakarta ternyata habis untuk membantu
para eksil, mulai dari menyeberangkan mereka di perbatasan negara Eropa Barat sampai
mengurus paspor dan izin tinggal.
Hasil penjualan buku dalam bahasa asing pun banyak disalurkan untuk kegiatan seperti itu
sehingga modalnya tidak pernah berkembang. Memang sejak awal Hasta Mitra punya misi
membantu teman-teman yang kesulitan. Untung itu perkara nomer dua, kata Joesoef. Modal
awal sebesar 50.000 gulden pun amblas dalam waktu beberapa tahun, dan Manus Amici pun
gulung tikar. Dan selanjutnya penerbitan dalam bahasa asing saat ini karya Pramoedya sudah
diterbitkan sekurangnya dalam 12 bahasa ditangani langsung dari kantor di Jakarta.
Di samping itu ada juga penerbit yang menerbitkan karya Pramoedya tanpa membayar royalti
sesen pun. Di Malaysia misalnya penerbit Abbas Bandung mengeruk untung cukup besar dari
penjualan karya Pramoedya, termasuk Keluarga Gerilya yang sejak tahun 1970-an menjadi
bacaan wajib di sekolah menengah. Pertengahan 1987 karena jengkel Pramoedya pernah
menuntut penerbit Pustaka Antara pimpinan Datuk Aziz Ahmad karena dianggap tidak
membayar royalti seperti seharusnya.
Sekalipun harus menanggung rugi, para pendiri Hasta Mitra merasakan banyak keuntungan
lain. Konsep tangan sahabat berkembang karena banyak aktivis yang membantu
menyalurkan buku-buku terbitannya, mengadakan diskusi dan bahkan menggunakan hasil
penjualan untuk membiayai penerbitan mereka sendiri. Di samping itu juga ada keluarga ekstapol yang bisa mereka bantu seadanya menghadapi tekanan yang hebat secara ekonomi,
sosial maupun politik.
Tanpa direncanakan sebelumnya, dalam waktu beberapa tahun jaringan distribusi dan
pembaca buku terbitan Hasta Mitra terbentuk. Bagi aktivis mahasiswa di zaman itu membaca
terbitan Hasta Mitra menjadi semacam syarat pergaulan dan bahkan bacaan wajib untuk
mereka yang tertarik pada nasib negerinya. Itulah sumbangan Hasta Mitra bagi gerakan
demokrasi. Di samping menyumbang gagasan tentang sejarah bangsa ini, terbitan kami juga
bisa digunakan oleh orang lain untuk mengembangkan kegiatannya sendiri, kata Joesoef.
Hasta Mitra mungkin satu-satunya penerbit yang bisa bertahan 21 tahun tanpa melakukan
akumulasi modal. Dan memang karena bukan itu kehendak kami.
Menjadi Penerbit Gerakan
Sejak awal para pendiri tidak terlalu peduli masalah administrasi. Dunia penerbitan bagi
mereka adalah bagian dari perjuangan. Di tahun pertama-tama pernah juga seorang pejabat
BNI menawarkan kredit ringan karena melihat prospek usaha yang cerah. Ada juga yayasan

besar yang tertarik untuk memberikan dana. Tapi semuanya mundur teratur setelah larangan
pertama dijatuhkan oleh Jaksa Agung.
Uluran tangan sahabat ternyata lebih banyak disambut oleh komunitas aktivis pro-demokrasi
dan kalangan intelektual dan pekerja kreatif yang terlibat maupun bersimpati pada perjuangan
itu. Dari segi bisnis, menurut Hasjim, yang paling berjasa menyebarkan terbitan Hasta Mitra
adalah agen dan toko buku kecil. Perusahaan mapan lainnya baru mulai nimbrung setelah
Soeharto turun tahun 1998. Sebuah penerbit besar yang terkenal di Jakarta dalam tahun
pertama reformasi bahkan ingin membeli hak cipta karya Pramoedya dari Hasta Mitra.
Tapi setelah keadaan mulai berbalik, dan serangan-serangan terhadap buku kiri mulai terjadi,
mereka mundur teratur, ujar Joesoef sambil tertawa.
Banyak juga kalangan yang menganggap Hasta Mitra bisa mengeruk untung besar setelah
pembatasan terhadap terbitan mereka dilonggarkan. Itu tidak betul, kata Joesoef. Buktinya
dalam tahun pertama setelah Soeharto jatuh, kami tidak menerbitkan satu eksemplar pun.
Karena uangnya tidak ada. Baru akhir 1999 mereka mulai bangkit dengan menerbitkan Arok
Dedes, bekerjasama dengan sebuah perusahaan percetakan di Yogyakarta. Dengan kerjasama
ini untuk pertama kalinya Hasta Mitra bisa membayar royalti Pramoedya sebesar 17,5% di
muka.
Bulan Oktober 1999 Hasjim Rachman meninggal dunia setelah bertarung melawan kanker di
tenggorokannya selama beberapa tahun. Setelah itu semua kegiatan penerbitan, mulai dari
penyuntingan naskah, lay-out, mengurus percetakan dan distribusi ditangani sendiri oleh
Joesoef Isak. Padahal urusan duit, aku lebih ceroboh dari Hasjim, katanya. Ditambah lagi
kebiasaannya memberi bantuan ke sana-sini sehingga kadang uang dapurnya sendiri terbawabawa.
Beberapa kerjasama pun dijajaki, antara lain dengan QB Books dan Equinox Publishing,
walau masih tersendat-sendat. Perjalanan keliling ke Amerika Serikat dan beberapa negara
Eropa juga membuahkan hasil, antara lain bantuan modal. Di usia 73 tahun ia masih
bersemangat dan terus memikirkan cara mengembangkan Hasta Mitra sebagai penerbit
gerakan untuk menegakkan demokrasi dengan keringat sendiri.
* RAZIF, aktif di Jaringan Kerja Budaya
Sumber, ip: Jaringan kerja Budaya
http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-062001/mkb-rubrik-062001/profil-062001.htm

Date: 2005/12/12
Section: Sejarah
The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=137

Anda mungkin juga menyukai