Anda di halaman 1dari 40

AKUNTANSI PERPAJAKAN

PT Jamu Gendong adalah perusahaan yang mulai berdiri di awal tahun 2006 dan bergerak di
bidang produksi jamu.
Berikut adalah rincian ringkas laporan keuangan PT Jamu Gendong:
a. Laba komersial sebelum pajak tahun 2011 adalah Rp 233.930.012 dan tahun 2012
adalah Rp 2.192.399.201; Omzet perusahaan rata-rata selama tahun 2011 dan 2012
adalah Rp75milyar.
b. Biaya-biaya yang berkaitan dengan laporan keuangan 2011 adalah:
1. Sumbangan untuk bencana alam Rp15.000.000
2. Beban perjalanan pribadi Direksi Rp40.000.000
3. Membukukan tambahan cadangan piutang tak tertagih, dengan mutasi sebagai
berikut:
Saldo awal AFDA 1 Januari 2011 Rp125.000.000
Penghapusan AFDA dan piutang tak tertagih selama tahun 2011 Rp30.000.000
(sudah memenuhi syarat penghapusan menurut pajak)
Saldo akhir AFDA 31 Januari 2011 Rp145.000.00
4. Melakukan penjurnalan atas estimasi biaya pesangon sesuai dengan PSAK 24
sebesar Rp 140.000.000,- dengan mendebit biaya pesangon dan mengkredit
Provision for Employee Retirement. Selama tahun 2011 diketahui bahwa terjadi
pembayaran uang pesangon kepada karyawan sebesar Rp70.000.000. Saldo awal
Provision for Employee Retirement pada tanggal 1 Januari 2011 adalah sebesar
Rp250.000.000
c. Biaya yang berkaitan dengan laporan keuangan tahun 2012 adalah:
1. Biaya rekreasi seluruh pegawai ke Ancol Rp50.000.000
2. Biaya entertainment yang tidak ada daftar nominatifnya sebesar Rp85.000.000
3. Membukukan tambahan cadangan piutang tak tertagih, dengan mutasi sebagai
berikut:
Penghapusan AFDA dan piutang tak tertagih selama tahun 2012 Rp90.000.000
(sudah memenuhi syarat penghapusan menurut pajak)
Saldo akhir AFDA 31 Januari 2012 Rp95.000.000
4. Melakukan penjurnalan atas estimasi biaya pesangon sesuai dengan PSAK 24
sebesar Rp 180.000.000,- dengan mendebit biaya pesangon dan mengkredit
Provision for Employee Retirement. Selama tahun 2012 diketahui bahwa terjadi
pembayaran uang pesangon kepada karyawan sebesar Rp30.000.000.
d. Semua aktiva diperoleh di awal bulan Januari 2010. Biaya penyusutan aktiva sudah
sesuai dengan ketentuan fiskal kecuali aktiva berikut:
1. Mesin
Harga Perolehan
Rp500.000.000
Masa manfaat (komersial)
5 tahun
Masa manfaat (fiskal)
8 tahun
Metode penyusutan
Garis lurus
2. Peralatan
Harga Perolehan

Rp100.000.000

Masa manfaat (komersial)


Masa manfaat (fiskal)
Metode penyusutan

5 tahun
4 tahun
Garis lurus

e. Kredit pajak selama tahun 2010 (Dibukukan sebagai Pajak dibayar di muka)
PPh Pasal 23 Rp3.000.000
PPh Pasal 4(2) Rp15.000.000
Kredit pajak selama tahun 2011 (Dibukukan sebagai Pajak dibayar di muka)
PPh Pasal 23 Rp20.000.000
PPh Pasal 4(2) Rp10.000.000
PPh Pasal 21 Rp5.000.000
f. Rugi fiskal sejak awal pendirian:
2006
Rp300.000.000
2007
Rp150.000.000
2008
Rp45.000.000
2009
Rp20.000.000
2010
Rp2.500.000
Pertanyaan:
1. Hitunglah PPh Badan Perusahaan tahun pajak 2010 dan 2011 beserta jurnalnya!
2. Hitunglah aset dan kewajiban pajak tangguhan per 1 Januari 2010, 31 Desember 2010 dan
31 Desember 2011 beserta jurnal pada tanggal 31 Desember 2010 dan 2011
No 1 : Hitunglah PPh Badan Perusahaan tahun pajak 2011 dan 2012 beserta jurnalnya!
1. Rekonsiliasi biaya-biaya yang berkaitan dengan laporan keuangan 2011
a. Sumbangan untuk bencana alam Rp15.000.000
Menurut UU PPh pasal 6 ayat 1 huruf i, sumbangan yang boleh dikurangkan adalah
sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional.
Karena tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa sumbangan tersebut ditujukkan
untuk bencana nasional, kami berpendapat bahwa biaya tersebut tidak dapat
dikurangkan dalam menghitung laba fiskal.
b. Beban perjalanan pribadi Direksi Rp 40.000.000
Dalam UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf i, dinyatakan bahwa biaya yang dibebankan atau
dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya tidak boleh dikurangkan dalam menghitung laba fiskal.
Kemudian, dalam penjelasan UU tersebut, dinyatakan bahwa biaya untuk keperluan
pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya
merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh
karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan.
Karena itu, biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dalam menghitung laba fiskal.
c. Membukukan tambahan cadangan piutang tak tertagih
Dalam UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf c, dinyatakan bahwa biaya yang tidak boleh
dikurangkan termasuk pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali untuk
usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha
dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.

Dalam UU PPh pasal 6 ayat 1 huruf h, dinyatakan bahwa biaya yang boleh
dikurangkan termasuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
i.telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
ii. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak;
iii. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan
debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
PMK nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat
Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto pasal 2 ayat 1 menyatakan
bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha
bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan
sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait penghapusan piutang tak tertagih
selama tahun 2011 adalah

Dengan demikian, kita dapat menemukan jumlah pencadangan :

Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait pencadangan piutang tak tertagih pada
akhir tahun 2011 adalah

Berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya, jumlah biaya piutang tak
tertagih yang telah memenuhi syarat untuk dapat dibebankan dalam menghitung laba
fiskal adalah 30juta. Sedangkan, pencadangan yang dibuat PT JG sebesar 50juta
tidak dapat dibebankan.
Dengan melihat kepada jurnal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa beban yang
muncul di laporan keuangan perusahaan saat menghitung laba komersil adalah
sebesar 50juta, yakni sebesar pencadangan. Namun, untuk menghitung laba fiskal,
jumlah Bad Debt Expense yang boleh dibebankan hanya sebesar 30juta, yakni
sebesar piutang yang nyata tidak tertagih. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi
positif terhadap Bad Debt Expense sebesar 20juta (50juta - 30juta).
d. Melakukan penjurnalan atas estimasi biaya pesangon sesuai dengan PSAK 24 sebesar
Rp 140.000.000
Estimasi pada hakikatnya sama dengan cadangan. Sehingga, sama seperti cadangan
piutang tak tertagih, estimasi biaya pesangon juga tidak boleh dibebankan dalam
perhitungan laba fiskal. Dasar hukum yang mengatur estimasi ini sama dengan
cadangan piutang tak tertagih, yakni UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf c terkait
pembentukan dana cadangan.

Kemudian, berdasarkan surat direktur jenderal pajak nomor s - 290/pj.42/2003 tentang


perlakuan pajak penghasilan atas dana pensiun dan dana pesangon, dinyatakan
bahwa pemberi kerja tidak dapat membebankan pembentukan dana cadangan
program pesangon dalam perusahaan sebagai biaya dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait pembayaran uang pesangon selama
tahun 2011 adalah

Dari uraian kasus, diketahui bahwa estimasi yang dibuat pada tahun itu adalah 140juta.
Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait estimasi biaya pesangon pada akhir
tahun 2011 adalah

Dengan demikian, kita dapat menemukan saldo jumlah estimasi pada akhir tahun
2011 :

Sesuai dengan ketentuan, jumlah biaya pesangon yang dapat dibebankan dalam
menghitung laba fiskal adalah 70juta, yakni sejumlah yang dibayarkan kepada
karyawan pada tahun 2011. Sedangkan, estimasi yang dibuat PT JG sebesar 140juta
tidak dapat dibebankan.
Dengan melihat kepada jurnal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa beban yang
muncul dalam laporan keuangan perusahaan saat menghitung laba komersil adalah
sebesar 140juta, yakni sebesar estimasi. Namun, untuk menghitung laba fiskal,
jumlah biaya pesangon yang boleh dibebankan hanya sebesar 70juta, yakni sejumlah
yang dibayarkan kepada karyawan pada tahun 2011. Oleh karena itu, perlu
dilakukan koreksi positif terhadap biaya pesangon sebesar 70juta (140juta - 70juta).
2. Rekonsiliasi biaya-biaya yang berkaitan dengan laporan keuangan 2012
a. Biaya rekreasi seluruh pegawai ke Ancol Rp 50.000.000
Biaya Rekreasi termasuk Natura yang tidak bisa dibebankan (Non Deductible) dan
harus dikoreksi fiskal positif.
Karena Natura termasuk Penghasilan bukan objek pajak sesuai peraturan UU PPh
Pasal 4 Ayat 3 huruf e, dan diatur juga dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e mengenai
Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan.
Selain itu, menurut UU PPh pasal 6 ayat (1), dinyatakan bahwa biaya yang
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan (kegiatan 3M). Biaya rekreasi tidak berhubungan dengan
3M dan oleh karenanya tidak dapat dibebankan dalam perhitungan laba fiskal dan
harus dilakukan koreksi positif.
b. Biaya entertainment yang tidak ada daftar nominatifnya sebesar Rp 85.000.000
Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya
Entertainment dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18), dinyatakan bahwa biaya

"entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih


dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh. Oleh karena
itu, Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan
brutonya wajib melampirkan daftar nominatif pada SPT.
Oleh karena itu, biaya entertainment ini tidak dapat dibebankan atau nondeductible
karena perusahaan tidak mencantumkan daftar nominatifnya.
c. Membukukan tambahan cadangan piutang tak tertagih
Dalam UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf c, dinyatakan bahwa biaya yang tidak boleh
dikurangkan termasuk pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali untuk
usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha
dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
Dalam UU PPh pasal 6 ayat 1 huruf h, dinyatakan bahwa biaya yang boleh
dikurangkan termasuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
i.telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
ii. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak;
iii. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan
debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
PMK nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat
Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto pasal 2 ayat 1 menyatakan
bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha
bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan
sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait penghapusan piutang tak tertagih
selama tahun 2012 adalah

Dengan demikian, kita dapat menemukan jumlah pencadangan :

Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait pencadangan piutang tak tertagih pada
akhir tahun 2012 adalah

Berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya, jumlah biaya piutang tak
tertagih yang telah memenuhi syarat untuk dapat dibebankan dalam menghitung laba
fiskal adalah 90juta. Sedangkan, pencadangan yang dibuat PT JG sebesar 40juta
tidak dapat dibebankan.

Dengan melihat kepada jurnal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa beban yang
muncul di laporan keuangan perusahaan saat menghitung laba komersil adalah
sebesar 40juta, yakni sebesar pencadangan. Namun, untuk menghitung laba fiskal,
jumlah Bad Debt Expense yang seharusnya dibebankan adalah sebesar 90juta, yakni
sebesar piutang yang nyata tidak tertagih. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi
negatif terhadap Bad Debt Expense sebesar 50juta (90juta - 40juta).
d. Melakukan penjurnalan atas estimasi biaya pesangon sesuai dengan PSAK 24 sebesar
Rp 180.000.000
Estimasi pada hakikatnya sama dengan cadangan. Sehingga, sama seperti cadangan
piutang tak tertagih, estimasi biaya pesangon juga tidak boleh dibebankan dalam
perhitungan laba fiskal. Dasar hukum yang mengatur estimasi ini sama dengan
cadangan piutang tak tertagih, yakni UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf c terkait
pembentukan dana cadangan.
Kemudian, berdasarkan surat direktur jenderal pajak nomor s - 290/pj.42/2003 tentang
perlakuan pajak penghasilan atas dana pensiun dan dana pesangon, dinyatakan
bahwa pemberi kerja tidak dapat membebankan pembentukan dana cadangan
program pesangon dalam perusahaan sebagai biaya dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait pembayaran uang pesangon selama
tahun 2012 adalah

Dari uraian kasus, diketahui bahwa estimasi yang dibuat pada tahun itu adalah 180juta.
Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait estimasi biaya pesangon pada akhir
tahun 2012 adalah

Dengan demikian, kita dapat menemukan saldo jumlah estimasi pada akhir tahun
2012 :

Sesuai dengan ketentuan, jumlah biaya pesangon yang dapat dibebankan dalam
menghitung laba fiskal adalah 30juta, yakni sejumlah yang dibayarkan kepada
karyawan pada tahun 2012. Sedangkan, estimasi yang dibuat PT JG sebesar 180juta
tidak dapat dibebankan.
Dengan melihat kepada jurnal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa beban yang
muncul di laporan keuangan perusahaan saat menghitung laba komersil adalah
sebesar 180juta, yakni sebesar estimasi. Namun, untuk menghitung laba fiskal,
jumlah biaya pesangon yang boleh dibebankan hanya sebesar 30juta, yakni sejumlah
yang dibayarkan kepada karyawan pada tahun 2012. Oleh karena itu, perlu
dilakukan koreksi positif terhadap biaya pesangon sebesar 150juta (180juta - 30juta).
3. Rekonsiliasi biaya penyusutan aktiva
a. Mesin
6

Biaya penyusutan yang dibebankan dalam laporan keuangan komersil (100juta)


lebih besar daripada yang seharusnya menurut fiskal (62,5juta). Oleh karena itu,
perlu dilakukan koreksi positif terhadap beban penyusutan mesin sebesar 37,5juta
(100juta - 62,5juta).
b. Peralatan

Biaya penyusutan yang dibebankan dalam laporan keuangan komersil (20juta)


lebih kecil daripada yang seharusnya menurut fiskal (25juta). Oleh karena itu,
perlu dilakukan koreksi negatif terhadap beban penyusutan mesin sebesar 5juta
(25juta - 20juta).
4. PPh Badan tahun 2011
laba komersial

233.930.012

sumbangan bencana alam

15.000.000

perjalanan pribadi direksi

40.000.000

pembebanan piutang tak tertagih

20.000.000

estimasi biaya pesangon

70.000.000

biaya penyusutan mesin

37.500.000

biaya penyusutan peralatan

(5.000.000)
411.430.012

kompensasi fiskal
2006
7

(300.000.000
)
(111.430.012
2007 )
laba fiskal 2011
PPh 2011

Ternyata, jawaban di atas salah. Harusnya, dikurangi lagi dengan kredit pajak PPh Pasal
23, sehingga terdapat kondisi lebih bayar seperti perhitungan di bawah ini :
Laba komersial

233.930.012

Sumbangan bencana alam

15.000.000

Perjalanan pribadi direksi


Pembebanan piutang tak
tertagih

40.000.000

Estimasi biaya pesangon

70.000.000

Biaya penyusutan mesin

37.500.000

Biaya penyusutan peralatan

(5.000.000)

20.000.000

411.430.012
Kompensasi fiskal
(300.000.00
2006 0)

Laba fiskal 2011


Kredit pajak

(111.430.01
2007 2)
0

PPh Pasal 23
Pajak lebih bayar 2011

3.000.000
(3.000.000)

Kemudian, jurnal terkait kewajiban PPh Badan tahun 2011 adalah :


Piutang PPh Pasal 28A
PPh 23 Dibayar Di Muka

3.000.000

Beban PPh
Final
PPh 4(2) Dibayar Di
Muka

15.000.00
0

3.000.000

15.000.00
0

5. Perhitungan PPh Badan 2012


laba komersial

2.192.399.20
1

biaya rekreasi

50.000.000

biaya entertainment tanpa daftar nominatif

85.000.000

pembebanan piutang tak tertagih

(50.000.000)

estimasi biaya pesangon

150.000.000

biaya penyusutan mesin

37.500.000

biaya penyusutan peralatan

(5.000.000)
2.459.899.20
1

kompensasi fiskal
2007 (38.569.988)
2008 (45.000.000)
2009 (20.000.000)
2010 (2.500.000)
laba fiskal 2012
rate PPh badan
pajak terutang
kredit pajak :

2.353.829.21
3
25%
588.457.303

PPh Pasal 23

20.000.000

PPh Pasal 21

5.000.000

pajak yang masih harus dibayar 2012

563.457.303

Ternyata, perhitungan di atas juga salah karena memasukkan kredit pajak PPh Pasal 21.
Ini seharusnya tidak dimasukkan karena kredit pajak PPh 21 adalah pajak yang kita potong
atas penghasilan karyawan kita, sehingga kredit pajak ini merupakan milik karyawan,
bukan milik kita. Atau, dengan kata lain, kredit pajak ini merupakan pengurang dalam
perhitungan pajak penghasilan karyawan, bukan pajak penghasilan perusahaan kita.
Perhitungan yang benar adalah sebagai berikut :
laba komersial
9

2.192.399.20
1
biaya rekreasi
biaya entertainment tanpa daftar
nominatif

50.000.000

pembebanan piutang tak tertagih

(50.000.000)

estimasi biaya pesangon

150.000.000

biaya penyusutan mesin

37.500.000

biaya penyusutan peralatan

(5.000.000)

85.000.000

2.459.899.20
1
kompensasi fiskal
(150.000.000
2007 )
2008 (45.000.000)
2009 (20.000.000)
2010 (2.500.000)
2.242.399.20
1
25%

laba fiskal 2012


rate PPh badan
pajak terutang
kredit pajak :

560.599.800

PPh Pasal 23

20.000.000

Pajak kurang bayar 2012

540.599.800

Dengan demikian, jurnal berikut ini sudah pasti salah :


Beban pajak kini

588.457.30
3

Pajak dibayar di muka PPh 23

20.000.000

Pajak dibayar di muka PPh 21

5.000.000

Utang PPh 29

563.457.30
3
10

Jurnal yang seharusnya adalah :


Beban pajak
PPh 23 Dibayar Di
Muka

560.599.80
0
20.000.000
540.599.80
0

Utang PPh 29
Beban PPh Final
PPh 4(2) Dibayar Di
Muka

10.000.000
10.000.000

No 2 : Hitunglah aset dan kewajiban pajak tangguhan per 1 Januari 2011, 31 Desember
2011, dan 31 Desember 2012 beserta jurnal pada tanggal 31 Desember 2011 dan 2012!
1. Teori [http://aryantobn.blogspot.com/2010/04/pajak-tangguhan-deferred-taxes.html]
Aset atau kewajiban pajak tangguhan muncul akibat perbedaan temporer yang dapat
dikurangkan, berdasarkan perspektif perpajakan.
Apabila Penghasilan Sebelum Pajak (PSP- Pretax Accounting Income) lebih besar dari
Penghasilan Kena Pajak (PKP- Taxable Income) maka Beban Pajak (BP- Tax Expense)
pun akan lebih besar dari Pajak Terutang (PT- Tax Payable) sehingga akan
menghasilkan Kewajiban Pajak Tangguhan (KPT- deferred tax liability). Kewajiban
Pajak Tangguhan dapat dihitung dengan mengalikan perbedaan temporer dengan tarif
pajak yang sesuai.
Sebaliknya apabila Penghasilan Sebelum Pajak (PSP) lebih kecil dari Penghasilan Kena
Pajak (PKP) maka Beban Pajaknya (BP) akan juga lebih kecil dari Pajak Terutang (PT)
sehingga akan menghasilkan Aktiva Pajak Tangguhan (APT- deferred tax assets).
Aktiva Pajak Tangguhan adalah sama dengan perbedaan temporer dengan tarif pajak
pada saat perbedaan tersebut terpulihkan.
Dan, yang paling penting, jangan lupa bahwa jumlah yang dijurnal harus sudah
dikalikan dengan 25%, yaitu tax rate untuk badan.
2. Perhitungan aset dan kewajiban pajak tangguhan per 1 Januari 2011 dan jurnal
Untuk rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi di masa datang (tax loss carry
forward) diakui sebagai Aktiva Pajak Tangguhan (DTA) apabila besar kemungkinan
bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Atau
dengan kata lain, bahwa akumulasi rugi fiskal yang terjadi baru boleh diakui sebagai
aktiva pajak tangguhan jika besar kemungkinan bisa dikompensasi seluruhnya dengan
laba fiskal dalam 5 tahun ke depan.

Jurnal untuk mengakui DTA atas rugi fiskal adalah :

Jurnal untuk mengakui DTA atas rugi fiskal tahun 2010 adalah :

11

Jurnal di atas salah jumlah karena lupa dikalikan tax rate. Pada tahun 2010, terjadi rugi
fiskal sebesar 2,5juta. Atas rugi fiskal ini, PT JG mengakui DTA sebesar 625.000
(2.500.000 x 25%) :

Untuk penyusutan mesin, diketahui bahwa beban penyusutan menurut


komersil lebih besar 37,5 juta daripada menurut fiskal (100juta > 62,5 juta). Untuk
penyusutan peralatan, diketahui bahwa beban penyusutan menurut komersil lebih kecil
5 juta daripada menurut fiskal (20juta < 25 juta). Oleh karena itu, PT JG membuat
jurnal untuk mengakui DTA atas perbedaan tersebut sebesar 8.125.000 (37.500.000 5.000.000 x 25%) :

Jumlah DTA per 1 Januari 2011 adalah total rugi fiskal sejak tahun 2006
hingga 2010, ditambah DTA atas penyusutan mesin, dikurangi dengan DTL atas
penyusutan peralatan, dikalikan tarif PPh badan :
= (300juta + 150juta + 45juta + 20juta + 2,5juta + 8,125juta) x 25%
= 525.625.000 x 25%
= 131.406.250
Ini juga salah hitung karena ada angka yang salah dimasukkin. Seharusnya :
= (300juta + 150juta + 45juta + 20juta + 2,5juta + 37,5juta - 5juta) x 25%
= 550.000.000 x 25%
= 137.500.000
3. Perhitungan aset dan kewajiban pajak tangguhan per 31 Desember 2011 dan jurnal
Dalam tahun 2011, PT JG mengkompensasikan rugi fiskal sebesar 411.430.012
(300.000.000 + 111.430.012). Atas hal tersebut, PT JG membuat jurnal untuk
mereverse DTA yang telah diakuinya sejak tahun 2006 hingga 2010 dengan jumlah
sebesar rugi fiskal yang dikompensasi (411.430.012) dikalikan dengan tarif PPh badan
25% :
Kemudian, untuk penyusutan mesin dan peralatan, PT JG membuat jurnal yang sama
dengan tahun 2010 dengan jumlah yang sama karena besar selisih depresiasi setiap
tahunnya selalu sama untuk kedua aset tersebut, sehingga jurnalnya adalah :
Jumlah DTA pada akhir tahun 2011 adalah
= 131.406.250 - 102.857.503 + 8.125.000
= 36.673.747
Ini juga harusnya :
= 137.500.000 - 102.857.503 + 8.125.000
= 42.767.497
4. Perhitungan aset dan kewajiban pajak tangguhan per 31 Desember 2012 dan jurnal
Dalam tahun 2012, PT JG mengkompensasikan rugi fiskal sebesar 106.069.988
(38.569.988 + 45.000.000 + 20.000.000 + 2.500.000). Atas hal tersebut, PT JG
membuat jurnal untuk mereverse DTA yang telah diakuinya sejak tahun 2006 hingga
2010 dengan jumlah sebesar rugi fiskal yang dikompensasi (106.069.988) dikalikan
dengan tarif PPh badan 25% :

12

Kemudian, untuk penyusutan mesin dan peralatan, PT JG membuat jurnal yang sama
dengan tahun 2010 dan 2011 dengan jumlah yang sama karena besar selisih depresiasi
setiap tahunnya selalu sama untuk kedua aset tersebut, sehingga jurnalnya adalah :
Jumlah DTA pada akhir tahun 2012 adalah
= 36.673.747 - 26.517.497 + 8.125.000
= 18.281.250
Ini juga harusnya :
= 42.767.497 - 26.517.497 + 8.125.000
= 24.375.000

13

PPN KASUS KOMPREHENSIF


PT ARTA GEDUNG
1. Gambaran Umum Perusahaan
PT ARTA GEDUNG didirikan pada tahun 2001 dan telah memiliki baik NPWP serta NPPKP
untuk kewajiban pajak pusatnya maupun NPWPD untuk kewajiban pajak daerahnya. PT
ARTA GEDUNG memiliki gedung 16 lantai dengan luas bangunan 8.400 m2 di atas tanah
seluas 1 hektar termasuk area parkir. Gedung tersebut dikelola PT ARTA GEDUNG dengan
membuka usaha sewa ruang perkantoran dan pertokoan serta hotel. Luas bangunan yang
disewakan sebagai ruang perkantoran dan pertokoan adalah 4.000 m2 dan terletak pada 8
lantai pertama, sementara sisanya sebagai hotel. Bangunan gedung yang diperuntukkan
sebagai hotel juga memiliki ruang untuk disewakan (ball room), tempat parkir, fasilitas
kolam renang, tempat untuk olahraga (gym), futsal, dan restoran. Sebagai tambahan, PT
ARTA GEDUNG memberikan jasa katering dan jasa dekorasi untuk pesta yang
menggunakan ruang ball room-nya.
Sebagai langkah diversifikasi usaha, PT ARTA GEDUNG juga menjual cindera mata dan
busana dari berbagai daerah, sebagai salah satu divisinya, dengan membuka gerai seluas 400
m2 di lantai 2 gedungnya. Saat ini, seluruh area ruang perkantoran dan pertokoan yang
disewakan oleh PT ARTA GEDUNG sudah tersewa seluruhnya dengan harga sewa rata-rata
Rp150.000 / m2. Untuk kebersihan, PT ARTA GEDUNG menggunakan jasa cleaning
services PT TETAP BERSIH yang sudah mengikat kontrak untuk dua tahun, dengan
perhitungan yang sederhana yaitu sebulan akan menagih sebesar Rp15.000 per m2 baik untuk
yang disewakan sebagai perkantoran dan pertokoan seluas 4.000 m2 maupun seluas 4.400 m2
yang disewakan untuk perhotelan.
Untuk perparkiran, PT A tidak mengelola sendiri, melainkan diserahkan kepada PT
SEKURAN, dengan kebijakan setiap malam hari hasil uang parkir disetor ke rekening bank
PT ARTA GEDUNG. Perhitungan uang parkir harian disaksikan dan ditandatangani baik
oleh petugas parkir maupun staf PT ARTA GEDUNG. Usaha parkir tersebut pajaknya
dibayar dengan NPWPD PT ARTA GEDUNG. Tiap akhir bulan PT SEKURAN akan
menagih biaya yang dikeluarkan beserta bagian labanya yang telah ditentukan secara prorata
sebesar 2% dari pendapatan kotor parkir. Pada kenyataannya karcis parkir memakai nama
dan logo PT SEKURAN. Untuk usaha katering dan restoran, PT ARTA GEDUNG mengelola
sendiri.
I.

Dari gambaran umum usaha PT ARTA GEDUNG, Anda diminta memberikan


penjelasan tentang perpajakannya, yaitu hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pelaporan dan perhitungan: PPN dan pajak daerah.

II.

Pertanyaan masalah pajak dalam transaksi yang dilakukan PT A.


Atas beberapa transaki berikut, staf akuntansi dan pajak PT A menanyakan
bagaimana penanganan pajaknya.

1. Pada tanggal 05 Januari, PT ARTA GEDUNG menjual alat cindera mata sebanyak 1.000
unit @ Rp5.000.000 kepada Tuan BODONG, barang tersebut terkena PPnBM 20%.
Kemudian pada tanggal 05 Maret, Tuan BODONG menyatakan dia hanya mau
membayar 80% dari pembelian tersebut, karena saat itu ada masalah keuangan dan PT
ARTA GEDUNG menyetujui karena Tuan BODONG merupakan langganan lama.

14

Staf akuntansi PT ARTA GEDUNG tidak paham bagaimana perlakuan faktur


pajaknya? Diperbaiki atau tidak? Mereka menanyakan kepada Anda dan
peraturan mana yang mengaturnya ?
2. Pada 10 Januari, Pabrik BATIK TOP (PKP) menjual produk batik (400 unit @
Rp5.000.000) ke PT ARTA GEDUNG secara konsinyasi.
Tanggal 20 April, Pabrik BATIK TOP mengumumkan bahwa atas produk batik yang
masih tersisa (belum terjual) dimana di PT ARTA GEDUNG masih terdapat sebanyak
200 unit, harga satuannya diturunkan menjadi Rp2.000.000 / unit. Namun untuk produk
batik yang sudah terjual harus dilunasi dan komisi 20% untuk PT ARTA GEDUNG
langsung diperhitungkan.
Atas hal ini staf akuntansi PT A tidak paham bagaimana dengan perlakuan faktur
pajaknya? Diperbaiki atau tidak? Mereka menanyakan kepada Anda dan
peraturan mana yang mengaturnya ?
3. Untuk memindahkan barang-barang antik yang diimpor dari Jepang ke hotel di Jakarta,
PT ARTA GEDUNG menunjuk PT FORT TRANSFORT, perusahaan yang bergerak di
bidang freight forwarding, untuk mengurus perpindahan barang-barang tersebut dari
Tokyo. Untuk pengurusan pengepakan barang di Tokyo dan pengiriman sampai di
Pelabuhan Tanjung Priok, PT FORT TRANSFORT meminta bantuan pada FUJI Inc.
yang berkedudukan di Jepang. Atas pekerjaan tersebut, FUJI Inc. akan menagih kepada
PT FORT TRANSFORT sebesar Rp200.000.000. Sesuai kesepakatan dengan PT ARTA
GEDUNG, PT FORT TRANSFORT akan meminta penggantian kepada PT ARTA
GEDUNG ditambah supervision fee sebesar 15% dari fee FUI Inc. Sedangkan fee PT
FORT TRANSFORT atas pekerjaan pengurusan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok
sampai ke lokasi hotel PT ARTA GEDUNG, nilainya sebesar Rp250.000.000, termasuk
biaya penempatan tapi belum termasuk pajak. Nilai barang tersebut seluruhnya ada 100
unit dengan harga pembelian rata-rata Rp15.000.000 / unit.
Anda diminta untuk menjelaskan bagaimana perlakuan PPN atas transaksi tersebut,
termasuk transaksi dengan FUJI Inc. (pertimbangkan jika ada tax treaty antara
Indonesia dengan Jepang).
4. PT ARTA GEDUNG membayar biaya pemasangan iklan kepada PT ASLAN
MASKHADOV sebuah perusahaan periklanan sebesar Rp210.000.000. PT ASLAN
MASKHADOV memasang iklan PT ARTA GEDUNG di stasiun televisi SIARAN
MELAYU yang berkedudukan di Malaysia. Iklan tersebut dipasang di Malaysia oleh
karena PT ARTA GEDUNG ingin meningkatkan jumlah wisatawan Malaysia yang
menginap di hotelnya ketika datang ke Jakarta. PT ASLAN MASKHADOV kemudian
akan membayar kepada SIARAN MELAYU yang berkedudukan di Kuala Lumpur dan
atas pekerjaan mengoordinasikan iklan ini supervision fee 5% akan ditagihkan ke PT
ARTA GEDUNG oleh PT ASLAN MASKHADOV.
Sama halnya dengan yang di atas, anda diminta pendapat bagaimana perlakuan
PPN atas kegiatan ini.
---o0o---

15

Kasus PPN Komprehensif PT Arta Gedung


I.
Perlakuan PPN dan Pajak Daerah
Arta gedung memiliki gedung 16 lantai yang terbagi atas jasa sewa untuk
perkantoran-pertokoan (4000 meter persegi) dan hotel (ballroom yang memberikan
jasa katering dan dekorasi, parkir, kolam renang, gym, futsal, restoran)
Maka Arta Gedung harus memperhatikan perlakuan PPN dan Pajak Daerah untuk jasa
yang diberikannya.
PPN
Jasa persewaan untuk perkantoran dan persewaan merupakan jasa kena pajak
(JKP) JKP adalah kegiatan pelayanan yang menyebabkan suatu fasilitas,
kemudahan atau hak menjadi tersedia untuk dipakai sehingga JKP tersebut
dikenai PPN, sesuai dengan pasal 4 ayat 1
Sedangkan jasa untuk hotel dan jasa yang diberikan (ballroom yang
memberikan jasa katering dan dekorasi, jasa parkir, kolam renang, gym, futsal,
restoran), tidak dikenai PPN, sesuai dengan pasal 4A ayat 3 yaitu jasa
perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, jasa katering. Begitu pula makanan
dan minuman yang disajikan di restoran hotel, yang merupakan jenis barang
tertentu menurut pasal 4A ayat 2 (c). Jasa perhotelan yang tidak dikenai PPN
meliputi jasa penyewaan kamar dan segala fasilitas pendukung untuk tamu
yang menginap. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menghindari pajak
berganda karena jasa-jasa tersebut diatur dalam objek pajak daerah
Perhitungan: PPN terutang dihitung dengan mengalikan tarif PPN 10%
dengan DPP (harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor) sesuai dengan
Pasal 8A ayat 1
Pelaporan: PPN yang telah dibayarkan oleh PT Arta Gedung, dilaporkan
dalam SPT Massa PPN dan PPnBM maksimal akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan
Terkait dengan diversifikasi usaha PT Arta Gedung yaitu penjualan cindera
mata dan menggunakan ruangan (yang seharusnya disewakan) untuk usahanya
sendiri di lantai 2 gedungnya, seluas 400 m2 atas dasar peraturan dari Surat
Direktur Jenderal Pajak No. S 795/PJ.53/1994 mengenai PPN atas pemakaian
sendiri Jasa Kena Pajak, maka apabila PT Arta Gedung memiliki usaha
persewaan ruangan yang meliputi disewakan kepada pihak lain, dasar
pengenaan pajak (DPP) yang dikenakan atas PPN sewa ruangan tersebut
adalah nilai sewa terendah PT Arta Gedung terhadap penyewa lainnya.
Perhitungan: DPP atas sewa ruangan adalah sejumlah penggantian yang
diminta pihak yang menyewakan (harga sewa dan tidak termasuk service
charge). Tarif 10% x nilai sewa.
Untuk jasa cleaning service merupakan jenis jasa yang tidak dikenai PPN
karena termasuk jasa tenaga kerja (pasal 4A ayat 3)
Pajak Daerah
Arta gedung perlu memperhatikan juga jasa-jasa yang kena pajak daerah,
seperti:
- jasa parkir akan dikenakan pajak daerah atas penyelenggaraan tempat
parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang
disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor
dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Perhitungannya
dengan tarif sebesar maksimal 30% dikalikan DPP yang merupakan nilai
pembayaran atau iuran parkir.

16

jasa hotel dikenakan tarif sebesar maksimal 10% (ditetapkan oleh


peraturan daerah) dikalikan dengan DPP yaitu jumlah pembayaran yang
seharusnya dibayar kepada hotel.
jasa restoran dikenakan pajak daerah atas pelayanan makanan dan
minuman yang dijual kepada pembeli baik yang dikonsumsi ditempat atau
di rumah. Perhitungan pajak restoran dengan tarif maksimal 10% dikalikan
dengan Dasar Penerimaan Pajak restoran, yakni jumlah pembayaran atau
jumlah yang seharusnya diterima
fasilitas berupa gym dan futsal dikenakan pajak hiburan sebesar maksimal
75%.

II. Perlakuan PPN atas transaksi berikut:


1. Pada tanggal 05 Januari, PT ARTA GEDUNG menjual alat cindera mata
sebanyak 1.000 unit @ Rp5.000.000 kepada Tuan BODONG, barang tersebut
terkena PPnBM 20%. Kemudian pada tanggal 05 Maret, Tuan BODONG
menyatakan dia hanya mau membayar 80% dari pembelian tersebut, karena
saat itu ada masalah keuangan dan PT ARTA GEDUNG menyetujui karena
Tuan BODONG merupakan langganan lama. Staf akuntansi PT ARTA
GEDUNG tidak paham bagaimana perlakuan faktur pajaknya?
Diperbaiki atau tidak? Mereka menanyakan kepada Anda dan peraturan
mana yang mengaturnya ?
PT ARTHA GEDUNG wajib memperbaiki faktur pajak tekait perubahan
nominal pembayaran transaksi penjualan alat cindera mata tersebut. Perbaikan
terkait faktur pajak diatur dalam UU PPN pasal 5A. Menurut pasal 5A UU
PPN ayat satu berisikan mengenai PPnBM terkait barang kena pajak, yang
berisikan :
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan
dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak
terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut
Pada UU Pasal 5A ayat pasal 1 diatur bahwa PPN dan PPnBM dapat
dikurangkan jika dikembalikan. Pada kasus tuan BODONG, tuan BODONG
tidak melakukan pengembalian atau retur, sehingga nilai dari PPN dan PPnBM
terkait transaksi ini tidak dapat dikurangkan. Hal ini juga berdampak pada
tidak adanya perubahan pada pajak keluaran PT ARTHA GEDUNG.
Selain itu, permohonan pengurangan pembayaran sebesar 80%. Jika
diasumsikan telah memenuhi persyaratandari Undang Undang Pajak
Penghasilan pasal 6 ayat 1 huruf h, bahwa piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih, yaitu :
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktur Jenderal Pajak
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

17

Jika diasumsikan bahwa transaksi ini telah memenuhi syarat untuk dikatakn
sebagai piutang tidak tertagih maka kita juga harus melihat pada Peraturan
Pemerintah No. 143 tahun 2000 Pasal 7 ayat 1 yang menjelaskan bahwa :
Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang
telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena
Pajak pemberi jasa, dan tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak
yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya oleh
Pengusaha Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak penerima jasa.
Berdasarkan pada peraturan tersebut, maka jika telah terjadi piutang yang tidak
tertagih sebesar 20% yang diajukan oleh tuan BODONG, maka tidak
mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang
telah dibebankan, serta tidak mempengaruhi pajak keluaran dari PT ARTHA
GEDUNG.
Pada Peraturan nomor PER - 24/PJ/2012 pasal 15 juga memperlihatkan contoh
penyebab timbulnya faktur pajak yang dilakukan pembetulan atau penggantian
Atas Faktur Pajak yang rusak, salah dalam pengisian, atau salah dalam
penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas, dan benar.
Pada kasus tidak terdapat kejadian yang dimaksudkan pada peraturan ini,
sehinggan tidak diperlukannya penerbitan faktur pajak pengganti.
Jika memang transaksi yang dilakukan tuan BODONG telah memenuhi semua
syarat akan pembetulan faktur pajak, maka harus mengikuti tata cara
pembetulannya. Tata Cara Pembetulan SPT Masa PPN Terkait Dengan
Penggantian Faktur Pajak Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-24/PJ/2012 diatur bahwa dalam hal terdapat penggantian Faktur
Pajak, maka:
1. Faktur Pajak Pengganti tetap menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang
sama dengan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti, sedangkan tanggal
Faktur Pajak Pengganti diisi dengan tanggal pada saat Faktur Pajak
Pengganti dibuat.
2. Faktur Pajak Pengganti dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Masa
Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang
dilakukan penggantian dengan mencantumkan nilai dan/atau keterangan
yang sebenarnya atau sesungguhnya setelah penggantian.
3. Pelaporan Faktur Pajak Pengganti pada SPT Masa PPN harus
mencantumkan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti pada
kolom yang telah ditentukan
2. Pada 10 Januari, Pabrik BATIK TOP (PKP) menjual produk batik (400 unit @
Rp5.000.000) ke PT ARTA GEDUNG secara konsinyasi. Tanggal 20 April,
Pabrik BATIK TOP mengumumkan bahwa atas produk batik yang masih
tersisa (belum terjual) dimana di PT ARTA GEDUNG masih terdapat
sebanyak 200 unit, harga satuannya diturunkan menjadi Rp2.000.000 / unit.
Namun untuk produk batik yang sudah terjual harus dilunasi dan komisi 20%
untuk PT ARTA GEDUNG langsung diperhitungkan. Atas hal ini staf
akuntansi PT A tidak paham bagaimana dengan perlakuan faktur
pajaknya? Diperbaiki atau tidak? Mereka menanyakan kepada Anda dan
peraturan mana yang mengaturnya ?
Pasal 1A ayat 1 poin g UU PPN menyebutkan bahwa penyerahan barang kena
pajak dengan proses konsinyasi, pihak yang menitipkan BKP tersebut boleh
mengkreditkan Pajak Keluaran atas BKP yang diserahkan tersebut. Hal ini

18

berarti faktur pajak dibuat pada saat terjadi penyerahan BKP. Disebutkan juga
bahwa PT Arta Gedung memperoleh komisi 20% dari penjualan barang
tersebut. Disini kami mengambil asumsi bahwa komisi PT Arta Gedung
sudah termasuk kedalam harga jual barang tersebut sehingga nilai
penyerahannya adalah:
Dalam kasus diatas PT A membuat faktur pajak pada tanggal 10 Januari
dengan nominal PPN sebesar:
Pada tanggal 20 April dikarenakan adanya perubahan harga maka PT A
seharusnya memperbaiki faktur pajaknya dengan cara menerbitkan faktur
pajak pengganti sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan DJP PER
24/PJ/2012 yang diubah menjadi PER 8/PJ/2013 tentang bentuk, ukuran, tata
cara pengisian keterangan, prosedur pemberitahuan dalam rangka pembuatan,
tata cara pembetulan atau penggantian, dan tata cara pembatalan faktur
pajak. Pembetulan faktur pajak ini dapat dilakukan oleh PT A karena adanya
kesalahan dalam harga barang sehingga menyebabkan perhitungan PK
perusahaan salah. Penerbitan faktur yang baru dimungkinkan karena BKP
tersebut belum dijual.
Perubahan harga jual barang mengakibatkan nilai penyerahan BKP tersebut
lebih rendah dari yang sebenarnya. Nilai penyerahan setelah perubahan harga:
Pajak Keluaran atas penyerahan tersebut seharusnya adalah
Oleh karena itu perusahaan harus mengurangi PK nya sebesar
3. Untuk memindahkan barang-barang antik yang diimpor dari Jepang ke hotel di
Jakarta, PT ARTA GEDUNG menunjuk PT FORT TRANSFORT, perusahaan
yang bergerak di bidang freight forwarding, untuk mengurus perpindahan
barang-barang tersebut dari Tokyo. Untuk pengurusan pengepakan barang di
Tokyo dan pengiriman sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, PT FORT
TRANSFORT meminta bantuan pada FUJI Inc. yang berkedudukan di Jepang.
Atas pekerjaan tersebut, FUJI Inc. akan menagih kepada PT FORT
TRANSFORT sebesar Rp200.000.000. Sesuai kesepakatan dengan PT ARTA
GEDUNG, PT FORT TRANSFORT akan meminta penggantian kepada PT
ARTA GEDUNG ditambah supervision fee sebesar 15% dari fee FUI Inc.
Sedangkan fee PT FORT TRANSFORT atas pekerjaan pengurusan barang dari
Pelabuhan Tanjung Priok sampai ke lokasi hotel PT ARTA GEDUNG,
nilainya sebesar Rp250.000.000, termasuk biaya penempatan tapi belum
termasuk pajak. Nilai barang tersebut seluruhnya ada 100 unit dengan harga
pembelian rata-rata Rp15.000.000 / unit. Anda diminta untuk menjelaskan
bagaimana perlakuan PPN atas transaksi tersebut, termasuk transaksi
dengan FUJI Inc. (pertimbangkan jika ada tax treaty antara Indonesia
dengan Jepang).
Pertama, kita harus mengetahui peraturan-peraturan pajak yang dimaksud
dalam kasus. Pajak yang berkaitan dengan kasus adalah PPN dan tax treaty
yang berlaku antara Indonesia- Jepang.
Berikut ini pasal tax treaty yang sesuai dengan topik kasus:

19

Pasal 8
1. Keuntungan yang diperoleh dari pengoperasian kapal laut atau pesawat
udara dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari suatu
Negara, hanya dikenakan pajak di Negara itu.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 juga berlaku bagi keuntungan yang diperoleh
karena ikut serta dalam suatu gabungan perusahaan-perusahaan, suatu
usaha kerjasama atau suatu keagenan usaha internasional, tetapi hanya
sebesar keuntungan yang seimbang dengan penyertaan dalam usaha
kerjasama itu
Pasal 23
1. Tunduk kepada perundang-undangan Jepang mengenai kelonggaran
sebagai suatu pengurangan terhadap pajak di Jepang, yaitu pajak yang
dibayar di Negara lain di luar Jepang
a. Jika penduduk Jepang memperoleh pendapatan dari Indonesia dan
pendapatan itu dikenakan pajak di Indonesia sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Persetujuan ini, maka jumlah pajak yang
dibayar atas pendapatan itu akan diperhitungkan dengan pajak
terhutang yang dikenakan di Jepang terhadap penduduk itu.
Bagaimanapun jumlah pajak yang diperhitungkan itu tidak akan
melebihi jumlah pajak yang dikenakan di Jepang atas bagian
pendapatan itu.
b. Jika pendapatan itu berupa dividen yang dibayarkan oleh suatu
badan yang berkedudukan di Indonesia kepada suatu badan yang
berkedudukan di Jepang dan yang memiliki tidak kurang dari 25
persen dari hak suara dari badan yang membayar dividen atau dari
seluruh saham yang dikeluarkan oleh badan itu, maka pajak yang
dibayar di Indonesia oleh badan yang memberikan dividen itu akan
diperhitungkan.
Tahapan berikutnya kita akan melihat transaksi apa saja yang terjadi serta
bagaimana pengenaan PPNnya:
*Transfer Uang kepada PT Arta Gedung kepada PT FORT
Service PT FUJI
Rp 200.000.000
Supervision Fee PT FUJI
Rp 30.000.000
PPN Masukan
Rp 23.000.000
Cash
Rp 253.000.000

20

Service Expense PT FORT


PPN Masukan

Rp 250.000.000
Rp 25.000.000
Cash
Rp 275.000.000

*Transfer Uang kepada PT FORT kepada PT FUJI


Service PT FJ
Rp124.000.000
Japanese Tax (38%)
Rp 76.000.000
Cash
Rp 200.000.000
4. PT ARTA GEDUNG membayar biaya pemasangan iklan kepada PT ASLAN
MASKHADOV sebuah perusahaan periklanan sebesar Rp210.000.000. PT
ASLAN MASKHADOV memasang iklan PT ARTA GEDUNG di stasiun
televisi SIARAN MELAYU yang berkedudukan di Malaysia. Iklan tersebut
dipasang di Malaysia oleh karena PT ARTA GEDUNG ingin meningkatkan
jumlah wisatawan Malaysia yang menginap di hotelnya ketika datang ke
Jakarta.PT ASLAN MASKHADOV kemudian akan membayar kepada
SIARAN MELAYU yang berkedudukan di Kuala Lumpur dan atas pekerjaan
mengoordinasikan iklan ini supervision fee 5% akan ditagihkan ke PT ARTA
GEDUNG oleh PT ASLAN MASKHADOV. Sama halnya dengan yang di
atas, anda diminta pendapat bagaimana perlakuan PPN atas kegiatan ini.
Berdasarkan Pasal 4 UU PPN

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :


a. penyerahan Barang kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
f.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena
Pajak;
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas
ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam kasus ini, PT Arta Gedung dianggap memanfaatkan Jasa Kena
Pajak, yaitu jasa iklan, dari luar Daerah Pabean, karena diberikan oleh
perusahaan Malaysia. Pemanfaatan jasa di dalam daerah Pabean karena
PT Arta Gedung berkedudukan di Indonesia, sehingga bentuk manfaat
dari iklan tersebut didapatkan di Indonesia.
Dengan pertimbangan tersebut, maka transaksi ini dikenai PPN 10%.
Supervision fee sebesar 5% termasuk bagian dari biaya keseluruhan jasa
iklan, sehingga juga diperhitungkan dalam PPN.
PPN yang harus dibayar PT Arta Gedung adalah :
10% x (105% x Rp 210.000.000,00) = Rp 22.050.000,00

21

KASUS PPN
PT. INDOPRINT
Profil Perusahaan
PT Indoprint merupakan pengusaha di bidang penerbitan, percetakan, dan toko buku. PT
Indoprint didirikan pada tahun 2000, dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada
tanggal 1 Juni 2002. Sejak saat itu, PT Indoprint berkewajiban untuk mematuhi segala
peraturan perpajakan yang berlaku bagi PKP, sehingga dalam kegiatannya PT Indoprint wajib
melakukan pemotongan, pemungutan, penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak ke
Kantor Pelayanan Pajak.
PT Indoprint mencetak berbagai macam jenis buku, dan kemudian dijual di toko buku yang
dimilikinya serta dijual juga di beberapa toko buku lain di Jakarta serta beberapa kota lain
yaitu Bandung, Batam, dan Bali.
Buku yang diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan meliputi buku pelajaran, buku popular,
novel, dan buku cerita anak. Selain menjual buku hasil terbitannya, perusahaan juga menjual
buku hasil terbitan penerbit lain. Jenis buku yang dijual di tokonya yang merupakan terbitan
penerbit lain meliputi lebih banyak jenis buku termasuk kitab suci dan buku agama. Selain
buku, perusahaan juga menjual barang-barang lain di toko bukunya, misalnya peralatan tulis
dan perlengkapan sekolah.
Sentralisasi Kewajiban PPN
Walaupun PT Indoprint terdiri dari Divisi, Cabang, dan Unit Usaha yang bertempat di lokasi
berbeda, namun dalam hal pelaporan pajak, selain toko bukunya perusahaan memilih untuk
melakukan pemusatan, yaitu di Kantor Pusat.
Sistem penjualan kepada toko buku lain
Sistem penjualan yang diterapkan perusahaan kepada toko buku lain adalah sistem konsinyasi.
Perusahaan menerapkan sistem diskon dalam menjual bukunya kepada toko buku lain. diskon
yang diberikan berbeda-beda tergantung banyaknya buku yang dapat dijual oleh toko buku
tersebut.
Pada saat toko buku lain mengambil buku dari perusahaan, perusahaan akan memberikan
bukti serah terima buku beserta daftar harga dan perincian diskon yang akan didapatkan oleh
toko buku untuk setiap level penjualan yang bisa dicapai.
Selanjutnya pada waktu yang sudah ditentukan, toko buku tersebut akan mengembalikan
buku yang tidak terjual, dan membayar kepada perusahaan sebesar harga buku dikurangi
diskon sesuai dengan level penjualannya. Jika toko buku yang bersangkutan masih ingin
menjual buku tersebut untuk periode yang lebih lama, maka perusahaan akan meminta toko
buku tersebut untuk membayar terlebih dahulu harga buku yang telah terjual, dikurangi
dengan level diskon sesuai dengan jumlah buku yang sudah terjual pada saat itu.
Jika ternyata buku yang diperpanjang masa konsinyasinya dapat terjual lagi, maka
perusahaan akan menambah diskon yang diberikan, bukan hanya untuk buku yang dijual di
masa perpanjangan, tapi juga buku yang sudah terjual sebelumnya. Diskon atas buku yang
sudah terjual sebelumnya itu akan diperhitungkan di pembayaran selanjutnya.
Kinerja tahun 2010

22

Selama tahun 2010, penjualan buku terbitan PT Indoprint sebesar 4,5 Miliar Rupiah yang
komposisinya adalah sebagai berikut :
Kota
Total
Buku
Buku popular Novel
Buku cerita
(Rupiah)
pelajaran
anak
Jakarta
2 Miliar
40%
30%
20%
10%
Bandung
1 Miliar
45%
30%
20%
5%
Bali
1 Miliar
50%
25%
20%
5%
Batam
0,5 Miliar
65%
15%
15%
5%
Penjualan tersebut belum termasuk penjualan konsinyasi kepada toko buku lain sebesar 1
miliar rupiah, yang mana komposisinya adalah 50% buku pelajaran, 25% buku popular, 15%
novel, dan 10% buku cerita anak.
Sementara penjualan buku hasil terbitan penerbit lain di toko buku PT Indoprint adalah
sebesar 2 miliar rupiah dengan komposisi sebagai berikut :
Kota
Total
Buku Agama Kitab Suci
Lain-lain
(Rupiah)
Jakarta
700 juta
50%
30%
20%
Bandung
500 juta
45%
35%
20%
Bali
500 juta
50%
25%
25%
Batam
300 juta
50%
30%
20%
Mesin Cetak PT Indoprint
Pada awal tahun 2010 PT Indoprint memiliki 10 mesin cetak yang dibelinya secara bertahap.
Dua mesin cetak dibeli pada tahun 2000, 3 mesin dibeli pada tahun 2003, dan 5 mesin dibeli
pada tahun 2007. Semua mesin cetak digunakan secara proporsional dan tidak ada
pembedaan mesin untuk tiap jenis buku yang dicetak.
Pada bulan Agustus 2010 salah satu mesin yang dibeli pada tahun 2000 mengalami kerusakan.
Setelah dievaluasi, biaya untuk memperbaiki mesin tersebut ternyata lebih mahal daripada
harga jual mesin tersebut jika mesin itu dijual di pasaran. Karena hal tersebut, maka
perusahaan memutuskan untuk menjual mesin tersebut daripada memperbaikinya.
Pembangunan kantor baru PT Indoprint
Pada tahun 2010 ini perusahaan membangun sebuah gudang untuk menempatkan buku-buku
yang sudah lama tidak terjual karena gudang yang lama sudah tidak mencukupi.
Pembangunan ini dilakukan oleh tukang batu dan tukang kayu yang dibayar harian dan
diawasi sendiri karena menurut pihak manajemen pembangunan gudang tidak memerlukan
design khusus dan dapat dilakukan sendiri.
Buku yang tidak laku terjual
Untuk buku-buku yang dianggap sudah tidak mungkin terjual, perusahaan secara berkala
menyumbangkannya untuk kegiatan amal. Selain itu terkadang perusahaan menjual bukubuku lama tersebut dengan harga murah baik di toko bukunya sendiri atau pada saat ada
penyelenggaraan pameran buku.
Penyewaan ruangan
Di salah satu toko bukunya di Jakarta, perusahaan menyewakan beberapa ruangan yang tidak
terpakai kepada penjual makanan. Ruangan-ruangan tersebut disewakan selama satu tahun.
Jika penyewa ingin memperpanjang sewanya, penyewa harus memberitahukan kepada
perusahaan dua bulan sebelum masa sewanya berakhir, dan penyewa harus memberikan uang
muka sebesar 20% kepada perusahaan. Sementara sisa pembayarannya akan dilakukan pada
awal masa sewa periode berikutnya. Kebijakan tersebut diterapkan oleh perusahaan untuk
23

menghindari adanya ruangan yang tidak terpakai karena penyewa tidak memperpanjang
sewanya, sementara belum ada penyewa baru.
Pertanyaan diskusi
1. Bagaimana pengenaan PPN terhadap penyerahan dari percetakan ke toko bukunya
sendiri, toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam?
2. Bagaimana pengenaan PPN terhadap penyerahan kepada konsumen akhir di toko
bukunya sendiri, toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam?
3. Bagaimana jika ternyata ada buku yang tidak terjual kemudian dikembalikan oleh
toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam?
4. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN atas diskon yang diberikan perusahaan
kepada toko buku yang menjual buku terbitannya?
5. Apakah perusahaan harus memungut PPN atas penjualan buku terbitan penerbit
lain di toko bukunya?
6. Apakah perusahaan dapat mengkreditkan PPN masukan atas pembelian semua
mesinnya? Kapankah PPN masukan tersebut dapat dikreditkan?
7. Apakah perusahaan harus memungut PPN atas penjualan mesin cetak bekas?
8. Adakah kewajiban terkait PPN atas pembangunan gudang yang dilakukan
perusahaan?
9. Apakah ada kewajiban PPN terkait dengan pemberian buku untuk kegiatan amal
dan pameran?
10. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN atas penyewaan ruangan yang dilakukan
perusahaan?
11. Bagaimana pengenaan PPN terhadap penyerahan dari percetakan ke toko bukunya
sendiri, toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam?
Menurut Pasal 1A ayat 2 huruf c UU PPN, penyerahan BKP oleh PKP yang melakukan
pemusatan tempat pajak terutang bukanlah merupakan penyerahan BKP. Namun dalam
hal ini, pemusatan tempat pajak tidak dilakukan untuk toko bukunya, sehingga
penyerahan bukut dari percetakan ke toko bukunya sendiri merupakan penyerahan BKP
dan dikenakan PPN, meskipun toko bukunya sendiri ini merupakan cabang dari
perusahaan. Hal ini tercantum dalam Pasal 1A ayat 1 huruf f UU PPN, yaitu bahwa
penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar
Cabang merupakan penyerahan BKP sehingga dikenakan PPN.
Namun, PT Indoprint menjual berbagai macam buku dan ada beberapa jenis buku yang
dikecualikan dari pengenaan PPN. Menurut PMK No. 122/PMK.011/2013 Pasal 1 ayat 1,
atas impor dan/atau penyerahan buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku
pelajaran agama, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Keterangan
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan di atas mengenai buku-buku tersebut
adalah:
a. Buku Pelajaran Umum
Yang dimaksud sebagai buku pelajaran umum adalah buku-buku fiksi dan nonfiksi
untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa, yang merupakan buku-buku
pelajaran pokok, penunjang dan kepustakaan. (Pasal 1 ayat 2).
Untuk memperoleh pembebasan dari PPN untuk buku pelajaran umum jenis ini, PKP
tidak diwajibkan memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Direktur Jenderal
Pajak (DJP).
Tidak termasuk dalam pengertian buku-buku pelajaran umum antara lain:
i. buku hiburan;

24

ii. buku musik;


iii. buku roman populer;
iv. buku sulap;
v. buku iklan;
vi. buku promosi suatu usaha;
vii. buku katalog di luar keperluan pendidikan;
viii. buku karikatur;
ix. buku horoskop;
x. buku horor;
xi. buku komik;
xii. buku reproduksi lukisan.
Buku-buku di atas dapat dikategorikan sebagai buku-buku pelajaran umum dalam hal
buku-buku tersebut telah disahkan sebagai buku pelajaran umum oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh menteri dimaksud. Untuk memperoleh pembebasan pengenaan PPN
untuk buku-buku jenis ini, diwajibkan memiliki SKB dari DJP.
b. Kitab Suci
Menurut pasal 1 ayat 3, yang termasuk sebagai kitab suci adalah:
i. Kitab suci agama Islam meliputi kitab suci Alquran, termasuk tafsir dan
terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan Jus Amma;
ii. Kitab suci agama Kristen Protestan meliputi kitab suci Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan
maupun sebagian;
iii. Kitab suci agama Katolik meliputi kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun
sebagian;
iv.
Kitab suci agama Hindu meliputi kitab suci Weda, Smerti, dan Sruti, Upanisad,
Itihasa, Purnama, termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan
maupun sebagian;
v. Kitab suci agama Budha meliputi kitab suci Tripitaka termasuk tafsir dan
terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian; dan
vi.
Kitab lainnya yang telah ditetapkan sebagai kitab suci oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh menteri dimaksud.
Untuk mendapatkan pembebasan dari pengenaan PPN, tidak diwajibkan memiliki
SKB.
c. Buku Pelajaran Agama
Yang termasuk sebagai buku pelajaran agama adalah buku-buku fiksi dan nonfiksi
untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa, yang merupakan buku-buku
pelajaran pokok, penunjang dan kepustakaan di bidang agama. Untuk mendapatkan
pembebasan pengenaan PPN, tidak diperlukan SKB.
Karena PT Indoprint menerapkan sistem konsinyasi untuk penjualan di toko buku lain,
maka atas penyerahan buku-buku tersebut (kecuali jenis buku yang disebut sebelumnya)
meruupakan penyerahan BKP dan dikenakan PPN, sesuai dengan Pasal 1A ayat 1 huruf
g UU PPN. Menurut penjelasan ayat ini, dalam hal penyerahan secara konsinyasi, PPN
yang sudah dibayar pada waktu BKP yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan BKP
yang dititipkan tersebut.
Namun, ada pengecualian untuk toko buku di Batam. Batam termasuk sebagai kawasan
perdagangan bebas atau biasa disebut sebagai Kawasan Bebas. Menurut PMK No.

25

62/PMK.03/2012 Pasal 10 ayat 1, Pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain
dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang
ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu penyerahan ke toko buku di
Batam tidak dipungut PPN.
12. Bagaimana pengenaan PPN terhadap penyerahan kepada konsumen akhir di toko
bukunya sendiri, toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam?
Atas penyerahan BKP kepada konsumen akhir dikenakan PPN dengan tarif normal yaitu
10%. Kecuali untuk penyerahan yang bukan merupakan penyerahan BKP atau yang tidak
dipungut BKP, yaitu atas buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama, serta
penyerahan di Batam. Hal ini sesuai dengan PP No. 10 Tahun 2012 Pasal 4 ayat 2 yang
menyatakan Penyerahan barang di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan
PPN. Hal ini berlaku untuk buku-buku baik yang diterbitkan sendiri oleh PT Indoprint
maupun dari penerbit lain.
13. Bagaimana jika ternyata ada buku yang tidak terjual kemudian dikembalikan oleh
toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam?
Menurut penjelasan dari Pasal 1A ayat 1 huruf g UU PPN, jika BKP titipan tersebut
tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik BKP, pengusaha
yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian
BKP (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A. Pasal 5A ayat 1 UU PPN
menyatakan bahwa PPN atas penyerahan BKP yang dikembalikan dapat dikurangkan
dari PPN terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut. Menurut
penjelasan ayat ini, pengembalian tersebut akan mengurangi Pajak Keluaran yang
terutang oleh penjual, dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari PKP pembeli, bila PM tersebut telah dikreditkan
b. biaya atau harta PKP pembeli, bila PM tidak dikreditkan dan telah dibebankan
sebagai biaya atau telah dikapitalisasi dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan PKP dalam hal pajak atas BKP yang
dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah dikapitalisasi dalam
harga perolehan harta tersebut.
Untuk dapat mengurangkan dari PPN terutang, pembeli diharuskan membuat dan
menyampaikan "Nota Retur" kepada Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur
Pajak tersebut, sebagaimana tertulis di KMK No. 987/KMK.04/1984 yang juga berlaku
dalam hal penyerahan barang secara konsinyasi, sebagaimana tercantum dalam SE28/PJ.3/1985.
Nota Retur sebagaimana dimaksud dibuat oleh pembeli yang sudah mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), sepanjang NPWP tersebut tercantum dalam Faktur Pajak
dari pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Barang Mewah. Nota Retur sekurangkurangnya mencantumkan :
a. Nomor urut;
b. Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak dan/atau Barang Mewah
yang dikembalikan;
c. Nama, alamat dan NPWP pembeli;
d. Nama, alamat dan NPWP Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak ;
e. Nama, Kuantum, harga dan harga jual Barang Kena Pajak dan/atau Barang Mewah
yang dikembalikan;
f. Pajak Pertambahan Nilai yang dikurangkan;
g. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikurangkan;

26

h. Tanggal pembuatan Nota Retur;


i. Tanda tangan dan nama terang pembeli;
Nota Retur dibuat sekurang-kurangnya 2 (dua) lembar:
- Lembar ke-1 : Untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak;
- Lembar ke-2 : untuk arsip pembeli.
14. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN atas diskon yang diberikan perusahaan
kepada toko buku yang menjual buku terbitannya?
Menurut Pasal 1 ayat 17 UU PPN, salah satu Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah
Harga Jual, yang kemudian dijelaskan di dalam ayat 18 sebagai nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena
penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Oleh karena itu, perhitungan PPN yang
dikenakan harus berdasarkan atas harga jual penuh, bukan harga setelah pengenaan
potongan harga meskipun potongan harga tersebut tercantum di Faktur Pajak.
15. Apakah perusahaan harus memungut PPN atas penjualan buku terbitan penerbit
lain di toko bukunya?
Selain atas buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama, serta atas
penjualan buku di toko buku di Batam, PT Indoprint tetap memungut PPN atas penjualan
buku dari penerbit lain di toko bukunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1A
ayat 1 huruf a UU PPN dan penjelasannya yang menyatakan bahwa yang termasuk
dalam pengertian penyerahan BKP adalah penyerahan hak atas BKP karena suatu
perjanjian yang meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran, atau
perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. Oleh karena itu, atas
penjualan buku terbitan penerbit lain di toko bukunya kepada konsumen dikenakan PPN
karena merupakan penyerahan BKP, sesuai ketentuan Pasal 4 ayat 1 huruf a, dan PT
Indoprint harus memungut PPN tersebut sesuai ketentuan Pasal 3A ayat 1.
16. Apakah perusahaan dapat mengkreditkan PPN masukan atas pembelian semua
mesinnya? Kapankah PPN masukan tersebut dapat dikreditkan?
Tidak semua PPN Masukan atas pembelian mesin oleh perusahaan dapat dikreditkan. PT
Indoprint dikukuhkan sebagai PKP pada tahun 2002. Menurut Pasal 9 ayat 8 huruf a,
pengkreditan PPN Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan
BKP atau JKP sebelum pengusahan dikukuhkan sebagai PKP. Oleh karena itu, atas
pembelian 2 mesin cetak pada tahun 2000, PPN Masukan-nya tidak dapat dikreditkan.
Atas pembelian 3 mesin cetak pada tahun 2003 dan 5 mesin cetak pada tahun 2007, PPN
Masukan-nya dapat dikreditkan. Sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat 2b UU PPN, PPN
Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 5 dan ayat 9 UU PPN, yaitu persyaratan
formal dan material.
PPN Masukan dalam suatu Masa Pajak tersebut dapat dikreditkan dengan PPN Keluaran
dalam Masa Pajak yang sama (Pasal 9 ayat 2 UU PPN). Namun, bila belum dikreditkan,
PPN Masukan tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan
sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan (Pasal 9 ayat 9 UU PPN).
17. Apakah perusahaan harus memungut PPN atas penjualan mesin cetak bekas?

27

Pada umumnya, perusahaan tetap harus memungut PPN atas penjualan mesin cetak
bekas, karena termasuk sebagai penyerahan BKP sesuai dengan Pasal 1A ayat 1 huruf e
(BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.) Pasal 16D
UU PPN kemudian menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas
penyerahan aktiva yang PPN Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat 8 huruf b dan huruf c, yaitu apabila perolehan BKP tersebut
tidak punya hubungan langsung dengan kegiatan usaha (huruf b) atau dalam perolehan
atau pemeliharaan kendaraan bermotor atau station wagon kecuali merupakan barang
dagangan atau disewakan.
Mesin yang dijual adalah mesin yang dibeli sebelum pengukuhan PT Indoprint menjadi
PKP, sehingga PPN Masukannya tidak dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat 8 huruf a). Namun,
meskipun PPN Masukannya tidak dikreditkan, PT Indoprint tetap harus memungut PPN
atas penjualan mesin bekas tersebut, karena hal ini masih berada di luar pengecualian
dalam Pasal 16D yang hanya mengecualikan kondisi dalam Pasal 9 ayat 8 huruf b dan
huruf c saja, bukan seluruh penyerahan BKP yang PPN Masukan-nya tidak dapat
dikreditkan.
18. Adakah kewajiban terkait PPN atas pembangunan gudang yang dilakukan
perusahaan?
Atas kegiatan pembangunan gudang tersebut akan dikenakan PPN. Kegiatan ini
dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri. Dalam Pasal 16C UU PPN
disebutkan bahwa PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Hal serupa juga tercantum dalam PMK No.
163/PMK.03/2012.
Peraturan ini juga kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai batasan dan tata cara
pengenaan PPN untuk kegiatan ini. Bangunan yang dimaksud berupa satu atau lebih
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah
dan/atau perairan dengan kriteria:
a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,
dan/atau baja;
b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).
Tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 10% atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP
adalah sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Sehingga PPN terutang
setiap bulannya adalah sebesar 10% dikalikan dengan 20% dikalikan dengan jumlah
biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.
Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai
pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai. Kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan
kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2
(dua) tahun. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri
adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
Selain itu, PPN Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri
ini tidak dapat dikreditkan.

28

19. Apakah ada kewajiban PPN terkait dengan pemberian buku untuk kegiatan amal
dan pameran?
Pemberian buku untuk kegiatan amal dapat dikategorikan sebagai penyerahan BKP
sesuai dengan Pasal 1A ayat 1 huruf d, yaitu pemakaian sendiri dan/atau pemberian
cuma-cuma atas BKP. Oleh karena itu, PT Indoprint wajib memungut PPN atas
penyerahan buku tersebut, kecuali atas penyerahan buku-buku pelajaran umum, kitab
suci, dan buku pelajaran agama. Tarif yang dikenakan adalah 10% atas DPP berupa Nilai
Lain, dalam hal ini untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor (PMK No.
75/PMK.03/2010)
Untuk penjualan buku dengan harga murah pada saat pameran, penjualan tersebut tetap
dikenakan PPN dan PT Indoprint wajib memungutnya, kecuali untuk buku pelajaran
umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama. Namun dalam hal ini, karena buku dijual
dengan lebih murah, maka harga jual yang dipakai sebagai DPP PPN adalah sebesar
harga jual baru yang tercantum dalam Faktur Pajak yang dibuat saat terjadinya penjualan
tersebut.
20. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN atas penyewaan ruangan yang dilakukan
perusahaan?
Penyewaan ruangan yang dilakukan PT Indoprint termasuk dalam pengertian penyerahan
Jasa Kena Pajak (JKP), sehingga atas transaksi tersebut dikenakan PPN sesuai Pasal 4
ayat 1 huruf c UU PPN. Tarif PPN yang dikenakan adalah 10% atas DPP PPN yaitu nilai
sewa ruangan tersebut.
Sesuai PMK No. 84/PMK.03/2012, penyerahan JKP terjadi pada saat:
a. harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau
pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
b. kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada
huruf a tidak diketahui; atau
c. mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian
atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena
Pajak.
Faktur Pajak harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
Untuk penyewaaan pertama kali, PPN dipungut pada saat Faktur Pajak dibuat sesuai
ketentuan di atas. Dalam hal penyewa ingin menyewa kembali di periode berikutnya dan
harus membayar sebesar 20% pada 2 bulan sebelum akhir periode berjalan, maka Faktur
Pajak harus dibuat pada saat pembayaran sebesar 20% dari nilai sewa tersebut dibuat.
Namun, besar DPP PPN tetaplah sebesar 100% atau nilai penuh dari nilai sewa ruangan
tersebut karena hal ini tidak termasuk dalam penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

29

KASUS PPh KOMPREHENSIF PT TANI MAJU


PT. TANI MAJU (Perusahaan) adalah perusahaan manufaktur sekaligus perdagangan alat
dan produk pertanian yang didirikan pada tanggal 20 April 2003 dan berkedudukan di daerah
Cikarang, Jawa barat. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak (NPPKP) perusahaan: 01.490.056.9.021.000. Pembukuan Perusahaan menggunakan Bahasa
Indonesia dan mata uang rupiah dengan metode akrual.
Struktur kepemilikan Perusahaan adalah sebagai berikut:
Nama

Alamat

Persentase
Kepemilikan

PT. Makmur Jaya

Jl. Kalimantan No. 102, Jakarta 10340

40%

Harahap

Jl. Antasari No. 220, Jakarta

28%

PT. Jaya Utama

Jln. Thamrin No. 3, Jakarta

20%

Ani Kusuma

Jln. Aceh No. 180, Jakarta

12%

PERMASALAHAN PERPAJAKAN PERUSAHAAN


Doni merupakan Manajer Pajak baru di PT TANI MAJU. Sebelum memutuskan untuk
menerima tawaran menjadi manajer pajak di PT TANI MAJU, DONI mendapatkan informasi awal dari
Direktur Keuangan bahwa Perusahaan dalam 5 tahun terakhir secara rutin diperiksa oleh Kantor
Pelayanan Pajak. Hasil dari setiap pemeriksaan pajak tersebut adalah adanya SKPKB PPh Badan yang
menunjukkan bahwa Perusahaan selalu mengalami kurang bayar yang material untuk perhitungan
PPh Badannya. Direktur Keuangan merasa bahwa adanya SKPKB PPh Badan selama 5 tahun berturutturut tersebut menunjukkan bahwa terdapat permasalahan penanganan perpajakan di Perusahaan.
Oleh karena itu, Direktur Keuangan berharap manajer pajak yang baru dapat mengindikasi
permasalahan yang ada dan mencari solusi pemecahannya sehingga Perusahaan tidak lagi menerima
SKPKB PPh Badan yang jumlahnya signifikan. Doni merasa tertantang dengan hal ini dan bersedia
menerima pekerjaan sebagai Manajer Pajak di PT. TANI MAJU.
Sebagai manajer yang baru, salah satu hal yang Doni coba pelajari adalah tentang
pembagian tugas yang ada di Divisi Perpajakan. Terdapat 3 staf perpajakan yang membantu tugas
Manajer Pajak, dimana pembagian tugasnya adalah satu orang bertugas mengurus pajak
potong/pungut (withholding taxes) dan PPh Pasal 25, satu orang mengurusi PPN dan satu orang
bertanggungjawab atas perhitungan PPh badan dan pajak yang lain. Tugas staf pajak mulai dari
membuat dokumen pajak terkait dengan transaksi sampai dengan membuat laporan pajak dan
menyimpannya sesuai dengan jenis pajak. Dokumen perpajakan disimpan oleh masing-masing staf
pajak sesuai dengan pembagian tugasnya. Penyimpanan dokumen dilakukan masing-masing staf
dengan cara yang menurut mereka masing-masing paling memudahkan dalam bekerja.

30

DATA PERPAJAKAN PERUSAHAAN TAHUN 2010


Terkait dengan perhitungan PPh badan tahun pajak 2010, Doni juga mulai mengumpulkan
data-data yang dia rasa perlu dengan dibantu oleh staf yang bertugas untuk melakukan perhitungan
PPh badan. Berikut adalah data-data yang berhasil dikumpulkan oleh stafnya tersebut:
OMSET USAHA
Besarnya penghasilan usaha yang dilaporkan dalam laporan laba rugi komersial Perusahaan
tahun 2010 adalah Rp 4,4 Milyar. Berdasarkan SPT Masa PPN yang dilaporkan Perusahaan selama
tahun 2010 terlihat:
1. Omset Penjualan Dalam Negeri

Rp 5 Milyar

Omset Penjualan Ekspor

Rp 0 Milyar

2. Penjualan Dalam Negeri yang menggunakan Faktur Pajak Standar

Rp 4,5 M

Penjualan Dalam Negeri yang menggunakan Faktur Pajak Sederhana Rp 0,5 M


3. Penjualan Dalam Negeri yang PPNnya dipungut sendiri
Penjualan Dalam Negeri yang PPNnya dibebaskan

Rp 3,5 M
Rp 1 M

Berikut adalah beberapa informasi lain terkait dengan omzet perusahaan tahun 2010:

Pada bulan Desember 2009 Perusahaan melakukan penjualan alat pertanian senilai Rp 450
juta yang sampai dengan akhir Desember 2009 belum diterima pembayarannya. Faktur
pajak dibuat Perusahaan pada bulan Januari 2010.
Pada bulan Desember 2010 Perusahaan melakukan penjualan produk pertanian yang
PPNnya dibebaskan senilai Rp 200 juta yang sampai dengan akhir Desember 2010 belum
diterima pembayarannya.
Pada bulan Juli 2010 Perusahaan menggunakan sebagian persediaan produk pertanian yang
dimilikinya senilai Rp 50 juta untuk ditanam di area kantor dan gudang Perusahaan.
Pada tahun 2010 Perusahaan berperan serta mensukseskan Hari Lingkungan Hidup dengan
menyumbangkan produk pertanian senilai Rp 100 juta kepada Pemerintah Daerah.

BEBAN KARYAWAN
Rincian dari beban karyawan berdasarkan General Ledger adalah sebagai berikut:
Karyawan Tetap
Gaji

Rp 875 juta

Lembur

Rp 87,5 juta

Tunjangan Transportasi

Rp 50 juta

31

Bonus dan THR

Rp175 juta

PPh 21 Karyawan

Rp 235 juta

Makan Siang

Rp 70 juta

Biaya pengobatan

Rp 120 juta

Pakaian Seragam

Rp 30 juta

Dalam penghitungan PPh Badan, staf bagian pajak melakukan koreksi atas makan siang dan
pakaian seragam. Menurut staf pajak tersebut, koreksi atas akun-akun ini sudah dilakukan
Perusahaan sejak dahulu sehingga dia tetap melanjutkannya. Doni kemudian meminta informasi dari
bagian akuntansi dan mendapatkan informasi bahwa makan siang hanya diberikan kepada karyawan
bagian gudang sedangkan pakaian seragam diberikan kepada satpam yang menjaga gudang dan
gedung kantor Perusahaan.
Informasi mengenai remunerasi karyawan juga diperoleh dari perhitungan PPh 21 yang
terdapat dalam SPT 1721. Berikut adalah daftar penghasilan yang dimasukkan dalam perhitungan
PPh 21 perusahaan:
Karyawan Tetap
Gaji

Rp 875 juta

Lembur

Rp 87,5 juta

Tunjangan Transportasi

Rp 50 juta

Bonus dan THR

Rp175 juta

PPh 21 Karyawan tidak dimasukkan dalam perhitungan karena pajak ini dibayarkan langsung
oleh Perusahaan ke kas negara. Biaya pengobatan juga tidak dimasukkan dalam perhitungan karena
dibayarkan langsung oleh Perusahaan ke rumah sakit. Sedangkan alasan tidak memasukkan makan
siang dan pakaian seragam dalam perhitungan PPh 21 karena merupakan natura bagi karyawan.
BEBAN BUNGA
Perusahaan mendapatkan pinjaman dari Bank ABC senilai Rp 2 Milyar. Tingkat bunga 10%
selama 4 tahun. Jumlah yang dibayar pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 700 juta dimana Rp 500
juta merupakan pembayaran pokok pinjaman dan sisanya adalah bunga. Perusahaan mengakui
keseluruhan beban bunga tersebut dalam perhitungan laba fiskalnya.
Berdasarkan rekapitulasi SPT PPh Pasal 23 tahun 2010, tidak ditemukan pemotongan PPh
pasal 23 atas pembayaran bunga kepada Bank ABC.
BEBAN JASA KONSULTASI MANAJEMEN
Pada tahun 2010 Perusahaan membayar beban jasa konsultasi manajemen kepada PT. Jaya
Utama (pemegang saham) sebesar Rp 100 juta. Besarnya nilai konsultasi manajemen yang sama dari
perusahaan lain adalah Rp 75 juta.

32

INFORMASI LAIN-LAIN
1. Perusahaan memiliki rata-rata deposito selama tahun 2010 sebesar Rp 2 Milyar sedangkan ratarata pinjaman yang dimiliki Perusahaan (pinjaman dari Bank ABC) senilai Rp 1,75 Milyar.
2. Perusahaan tidak membagikan deviden pada tahun 2010 ini.
3. Terdapat beberapa jenis biaya yang selalu dikoreksi oleh pemeriksa pajak yaitu:

Beban perjalanan dinas, beban ini diberikan untuk pimpinan dan staf karyawan yang
melakukan perjalanan dinas secara lump sum.
Beban
sumbangan,
dimana
Perusahaan
memberikan
sumbangan
kepada
perorangan/institusi yang memberikan proposal /meminta langsung ke perusahaan maupun
sumbangan kepada korban-konban bencana nasional di Indonesia.

4. Perusahaan seharusnya memiliki kredit pajak PPh Pasal 25. Namun, dokumen terkait dengan
pajak ini belum berhasil ditemukan karena staf pajak yang mengurusi pajak ini cuti melahirkan
selama 3 bulan.

BAHAN DISKUSI :
1. Menyangkut staf karyawan pajak, menurut Anda apakah ada yang perlu diperbaiki terkait
dengan pembagian tugas dan pekerjaan mereka?
2. Menyangkut omset perusahaan:
a. Apakah diperlukan koreksi fiskal atas penghasilan usaha yang dilaporkan dalam
laporan laba rugi perusahaan? Jelaskan jawaban Anda!
b. Jelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan omset usaha perusahaan
dalam laporan laba rugi dengan yang terdapat di dalam SPT PPN!
c. Terkait pertanyaan (b), apakah tindakan yang harus dilakukan PT TANI MAJU?
3. Terkait beban karyawan:
a. Apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban karyawan untuk
menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda!
b. Berikan masukan Anda kepada perusahaan mengenai kewajiban perpajakan yang
terkait dengan beban karyawan!
4. Terkait beban bunga, apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban
bunga untuk menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda!
5. Sehubungan dengan beban konsultasi manajemen, jelaskan apakah diperlukan koreksi atas
beban konsultasi manajemen yang diakui perusahaan? Jelaskan jawaban Anda!

33

6. Sehubungan dengan beban-beban yang sering dikoreksi:


a. Menurut pendapat Anda, apakah yang menyebabkan beban-beban tersebut dikoreksi
oleh pemeriksa pajak selama ini?
b. Jelaskan tindakan dan kebijakan apa yang harus diubah/dilakukan PT TANI MAJU
untuk menjamin koreksi semacam itu tidak terjadi lagi?

Soal 2
Apakah diperlukan koreksi fiskal atas penghasilan usaha yang dilaporkan dalam laporan laba rugi
perusahaan? Jelaskan jawaban Anda!
Ya, memang perlu dilakukan koreksi fiskal atas penghasilan usaha yang dilaporkan
perusahaan dalam laporan keuangan komersil. Seperti yang kita tahu bahwasanya laba menurut
pajak dan laba fiskal sesuai laporan keuangan komersil memiliki perbedaan. Terdapat berbagai jenis
beban yang pengakuannya berbeda. Hal ini didasarkan pada UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. Selain itu, terkait dengan soal yang dibahas, perbedaan pengakuan nilai pendapatan
terjadi antara menurut UU No.42 Tahun 2009 mengenai Pajak Pertambahan Nilai.
Omset 2010

5.000.000.000

Sales

(450.000.000)
4.550.000.000

PPN yg dibebaskan (200.000.000)


4.350.000.000
Pemkaian sendiri

(50.000.000)
4.300.000.000

Sumbangan

100.000.000

Revenue 2010

4.400.000.000

Jelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan omset usaha perusahaan dalam laporan
laba rugi dengan yang terdapat di dalam SPT PPN!
Perbedaan nilai omset usaha menurut laporan keuangan dan SPT PPN dikarenakan ada
perbedaan waktu dan kategori pengakuan pendapatan (kategori Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak) sesuai dengan Pasal 4A UU No.42 Tahun 2009. Terkait dengan transaksi yang terjadi pada
tahun 2012, terdapat beberapa di antaranya yang menyebabkan perbedaan nilai, yakni:
a.

Transaksi pertama senilai 450 juta rupiah terjadi pada Desember 2011 namun faktur pajak
baru dibuat perusahaan saat Januari 2012. Sesuai dengan Pasal 13, faktur pajak dibuat saat
penerimaan pembayaran apabila terjadi sebelum penyerahan BKP/JKP. Faktur pajak inilah

34

yang menjadi dasar bukti pengakuan pendapatan perusahaan menurut pajak. Sehingga yang
terjadi adalah pendapatan atas transaksi tersebut diakui saat Januari 2012 bukan Desember
2011.
b. Transaksi kedua senilai 200 juta rupiah tidak mempengaruhi perbedaan nilai karena PPNnya dibebaskan.
c. Transaksi ketiga Senilai 50 juta rupiah membuat omset pada SPT PPN lebih tinggi. Pada
Pasal 1A yang termasuk ke dalam BKP terdapat juga pemakaian sendiri dan/atau pemberian
cuma-Cuma atas Barang Kena Pajak.
d. Transaksi keempat senilai 100 juta rupiah juga membuat perbedaaan omset perusahaan
karena di SPT PPN termasuk di dalamnya pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumaCuma atas Barang Kena Pajak.
Daftar selengkapnya mengenai pendapatan seperti apa yang tergolongkan sebagai penyerahan
BKP/JKP terdapat pada Pasal 1A UU No.42 Tahun 2009 mengenai Pajak Pertambahan Nilai.
Terkait pertanyaan (b), apakah tindakan yang harus dilakukan PT TANI MAJU?
Sebenarnya PT Tani Maju sudah mengakui pendapatan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku mengenai PPN. Sehingga PT Tani Maju tidak perlu lagi melakukan koreksi
atas hasil perhitungannya. Terkait dengan SKPKB yang diterima, apabila jumlah kurang bayar
tersebut berkaitan dengan PPN, perusahaan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Pajak.
Hal ini karena sudah terbukti selisih antara omset usaha di laporan keuangan dan SPT PPN sebesar
600 juta rupiah terjadi karena pengakuan tiga transaksi (450 + 100 + 50 juta) sesuai dengan SPT PPN
yang berlaku.
Perusahaan dapat melakukan tindak preventif terkait dengan pernyataan kurang bayar
terhadapnya, yakni dengan melakukan rekonsilisai nilai PPN sehingga manajemen dapat dengan
lebih baik melihat kesesuaian nilai yang tertera pada SPT dengan yang sehrarusnya.

Soal 3
Apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban karyawan untuk menghitung
laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda!

PPh 21 Karyawan seharusnya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan


karena termasuk non-deductible expense, seperti yang dinyatakan dalam Undang-undang No.
36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf h bahwa:
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan Pajak Penghasilan
Biaya makan siang karyawan seharusnya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan karena
biaya makan siang tersebut hanya diberikan kepada karyawan bagian gudang saja, bukan
semua karyawan, sehingga termasuk ke dalam non-deductible expense. Hal ini dinyatakan
dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf e
bahwa:

35

Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Biaya pengobatan merupakan biaya yang langsung dibayarkan perusahaan kepada rumah
sakit, sehingga menambah penghasilan karyawan (objek pajak PPh 21), maka seharusnya
tidak dimasukkan ke dalam perhitungan karena termasuk non-deductible expense. Hal ini
dinyatakan dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat
(1) huruf d bahwa:
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan premi asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh
Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan

Menurut Pasal 6 Ayat 1 dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, disebutkan


bahwa beban biaya yang boleh dikurangkan dalam perhitungan pajak penghasilan antara lain ialah
beban yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha. Salah satu
rinciannya ialah biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang. Dalam kasus PT Tani Maju
tersebut, komponen biaya karyawan yang telah sesuai dengan ketentuan ialah gaji, lembur,
tunjangan transportasi, bonus dan THR yang memang diberikan dalam bentuk uang.
Adapun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, biaya makan siang tidak dapat dijadikan
sebagai beban karena hanya diberikan kepada sebagian karyawan (karyawan bagian gudang). Biaya
makan siang dapat dibebankan ketika memang diberikan untuk seluruh karyawan, sesuai dengan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 83/PM.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan
Minuman bagi Seluruh Pegawai serta Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan
kenikmatan di Daerah tertentu dan yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.
Pasal 2:
Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja
dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah:
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai saran keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya.

36

Sesuai dengan pasal di atas, maka biaya makan yang tidak diberikan kepada seluruh pegawai
boleh dikoreksi. Perusahaan tidak memasukkan beban pakaian seragam dalam perhitungan pajak
penghasilan. Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 83/PM.03/2009,
disebutkan bahwa pakaian dan peralatan bagi pegawai pemadam kebakaran, proyek, pakaian
seragam pabrik, hansip/satpam, penginapan untuk awak kapal atau pesawat, dan antar-jemput
pegawai, merupakan beban biaya yang dapat dikurangkan. Dalam kasus ini, PT Tani Maju
memberikan seragam untuk satpam, sehingga seharusnya beban tersebut dapat dijadikan sebagai
pengurang pajak sehingga tidak perlu dikoreksi.
Berikan masukan Anda kepada perusahaan mengenai kewajiban perpajakan yang terkait dengan
beban karyawan!
Terkait beban karyawan, sebaiknya perusahaan lebih cermat lagi dalam melakukan
penghitungan dan klasifikasi beban karyawan yang boleh dan tidak boleh dijadikan pengurang dalam
perhitungan laba fiskal. Perusahaan harus memperhatikan segala ketentuan tidak hanya dalam UU
PPh, tetapi juga ketentuan dalam KMK atau PMK. Khusus untuk beban pakaian seragam, sebaiknya
ada penjelasan lebih rinci mengenai peruntukan seragam sehingga memudahkan dalam identifikasi
beban. Saran kami adalah perusahaan lebih baik mengeluarkan biaya natura yang dapat
dikategorikan sebagai deductible expenses sehingga dapat menjadi pengurang pajak.

Soal 4
Terkait beban bunga, apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban bunga
untuk menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda!
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE - 46/PJ.4/1995 tentang
Perlakuan Biaya Bunga yang Dibayar atau Terutang dalam Hal Wajib Pajak Menerima atau
Memperoleh Penghasilan Berupa Bunga Deposito atau Tabungan Lainnya (Seri PPh Umum No. 20)
ayat (4) huruf a, disebutkan bahwa:
Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah rata-rata
dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka bunga yang
dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
Berdasarkan SE DJP di atas, perusahaan telah salah dalam melakukan pengakuan atas
beban bunga untuk menghitung laba fiskal, karena beban bunga atas pinjaman dengan Bank ABC
tidak dapat dibebankan sebagai biaya (termasuk non deductible expense). Untuk itu, beban bunga
atas pinjaman dengan Bank ABC harus dikoreksi positif (menambah penghasilan kena pajak).
Apabila rata-rata deposito selama tahun berjalan lebih besar dari pada rata-rata pinjaman, maka
beban bunga pinjaman yang dibayarkan tidak boleh diakui sebagai deductible expenses. Terkait
kebijakan PT Tani Maju, koreksi harus dilakukan untuk mengeluarkan biaya bunga sebagai beban
dalam perhitunga laba fiskal.

37

Kemudian, terkait dengan tidak adanya pemotongan PPh 23 atas pembayaran bunga kepada
Bak ABC hal ini sejalan dengan Pasal 23 ayat (4) huruf A UU No.36 Tahun 2008 tentang bunga yang
dikecualikan dari PPh 23.

Soal 5
Sehubungan dengan beban konsultasi manajemen, jelaskan apakah diperlukan koreksi atas beban
konsultasi manajemen yang diakui perusahaan? Jelaskan jawaban Anda!
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c UU No.36 Tahun 2008 imbalan sehubungan dengan
jasa manajemen akan dipotong PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto. Namun nilai jumlah bruto yang
diakui oleh pajak sebagai jasa manajemen adalah jumlah yang berada pada nilai wajar pasar.
Sehingga yang akan dipotong PPh 23 atas jasa manajemen adalah senilai 75 juta Rupiah. Sementara
itu selisihnya sebesar 25 juta Rupiah diakui sebagai transer kekayaan kepada pemegang saham
berupa dividen dan tidak boleh dimasukkan ke dalam komponen deductible expenses. Sehingga nilai
yang diakui sebagai beban jasa manajemen hanya sebesar 75 juta Rupiah.

Soal 6
Menurut pendapat Anda, apakah yang menyebabkan beban-beban tersebut dikoreksi oleh
pemeriksa pajak selama ini?
Pada keterangan informasi lain-lain terdapat beberapa jenis biaya yang selalu dikoreksi oleh
pemeriksa pajak yakni:
a. Beban perjalanan dinas, beban ini diberikan untuk pimpinan dan staf karyawan yang
melakukan perjalanan dinas secara lump sum.
Berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6
ayat (1) huruf a poin 4 yang menyatakan bahwa:
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan, termasuk biaya yang secara langsung dan tidak langsung
berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain biaya perjalanan.
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa biaya perjalanan dinas dapat
dibebankan dalam menghitung laba fiskal. Akan tetapi, pemberian secara lump sum, dimana
perusahaan memberikan sejumlah uang dengan besaran tertentu yang bersifat tetap dan
diberikan kepada pegawai sebelum melakukan perjalanan dinas, akan cenderung membuat
pegawai yang melakukan perjalanan dinas dapat mengatur sendiri penggunaan uangnya
(kemungkinan pemakaian uang sesuka hati), sehingga tidak ada pertanggungjawaban lebih
lanjut atas penggunaan uang tersebut, apalagi jika tidak didukung oleh bukti-bukti atas
penggunaan biaya perjalanan dinas tersebut. Karena itulah beban perjalanan dinas ini

38

dikoreksi oleh pemeriksa pajak selama ini karena dianggap sebagai bentuk natura kepada
pimpinan dan staf karyawan yang melakukan perjalanan dinas, seperti yang tercantum pada
Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf e yang
menyatakan bahwa:
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
b. Beban
sumbangan,
dimana
Perusahaan
memberikan
sumbangan
kepada
perorangan/institusi yang memberikan proposal /meminta langsung ke perusahaan maupun
sumbangan kepada korban-konban bencana nasional di Indonesia.
Biaya ini dikoreksi sesuai dengan Pasal 6 UU No.36 tahun 2008 mengenai biaya yang boleh
dan tidak boleh dikurangkan oleh pajak. Untuk beban perjalanan dinas pada dasarnya diperbolehkan
untuk dikurangi atau dikategorikan sebagai deductilble expenses apabila dibayarkan secara lumpsum
atau dijadikan sebagai tunjangan. Sementara untuk beban sumbangan sesuai dengan Pasal 6
diperbolehkan asalkan dalam rangka penanggulanan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 6 ayat [i]).

Jelaskan tindakan dan kebijakan apa yang harus diubah/dilakukan PT TANI MAJU untuk menjamin
koreksi semacam itu tidak terjadi lagi?
Perusahaan seharusnya mengeluarkan beban atau biaya-biaya yang seharusnya
diperbolehkan untuk dibebankan sesuai dengan UU tentang Pajak Penghasilan sehingga tidak akan
tejadi koreksi-koreksi pada perhitungan laba fiskal perusahaan. Contohnya sumbangan yang
dilakukan untuk penanggulangan bencana nasional boleh dijadikan beban sehingga saat dijadikan
pengurang pendapatan pajak tidak perlu lagi dikoreksi dan transaksi-transaksi lainnya.
Hal ini juga dapat ditempuh dengan perbaikan dari sisi manajerial. Contohnya divisi
manajemen pajak lebih detail memperhatikan setiap peraturan perpajakan karena sering kali
berubah dalam periode tertentu sehingga diperlukan pengetahuan dan akses terhadap informasi
terbaru mengenai pajak yang teranyar dan akurat. Kemudian manajemen pajak dapat melakukan
pelatihan pada staff yang dimiliki agar clerical error dapat diminimalisir.

Mengenai pembiayaan perjalanan dinas


Jika PT TANI MAJU ingin tetap mempertahankan pemberian dengan metode lump sum,
perusahaan harus meminta bukti perjalanan dinas kepada pimpinan dan staf karyawan
yang bersangkutan, sehingga perusahaan dapat mengakui pengeluaran ini sebagai beban
sesuai dengan bukti transaksi pengeluaran selama perjalanan dinas tersebut dan
mencegah adanya pengeluaran biaya perjalanan dinas yang tidak semestinya.
Perusahaan dapat mengganti metode menjadi reimburse. Sehingga seluruh uang yang
telah di keluarkan oleh karyawana selama perjalanan berdasarkan bukti pengeluaran
yang ada, diberikan kepada perusahaan dan perusahaan akan mengganti seluruh

39

pengeluaran perjalanan dinas berdasarkan bukti transaksi yang ada, dan perusahaan
dapat mengakui pengeluaran ini sebagai beban.
Mengenai pemberian sumbangan

Untuk menjamin agar tidak terjadi koreksi lagi, maka dalam memberikan
sumbangan perusahaan harus memberikannya berdasarkan ketentuan PMK No.
76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan,
Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya
Pembangunan Infrastruktur Sosial yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
PT TANI MAJU juga harus mematuhi tata cara penyampaian dan pelaporan
berdasarkan PMK tersebut.

KESIMPULAN
Terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan demi perbaikan manajemen pajak PT Tani
Maju agar SKPKB tidak lagi diterbitkan oleh Dirjen Pajak kepada mereka. Mulai dari perbaikan
pembagian kerja antara staf pajak perusahaan hingga berbagai kesalahan perhitungan dan koreksi
terhadap perhitungan laba fiskal.
PT Tani Maju harus membagi tugas staff berdasarkan jenis pajak agar perhitungan pajak
lebih mudah. Selain itu diperlukan perbaikan metode penyimpanan dokumen, solusinya adalah
dengan membuat sistem dokumentasi terintegras berbasi IT. Sistem ini dapat menyimpan dokumen
dengan baik dan mempermudah akses staff dan pihak yang memerlukan dengan cepat. Kemudian
terdapat beberapa kesalahan perhitungan dan pengategorian koreksi laba fiskal, karena itu
perusahaan diharapkan berhati-hati dalam menghitungnya.
PT Tani Maju direkomendasikan untuk memperhatikan peraturan perundang-undangan
pajak yang terus berkembang. Selain itu juga PT Tani Maju dapat melakukan pengeluaran sesuai
dengan pengeluaran yang dapat dibebankan oleh pajak sehingga menghindari koreksi atas
perhitunga laba fiskal perusahaan.

40

Anda mungkin juga menyukai