Anda di halaman 1dari 200

ANTENA PANEL 2,4 GHZ DENGAN MICROSTRIP LINE

BERSTRUKTUR 5 LARIK DIPOLE


Erna Risfaula K., Yono Hadi Pramono
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Keputih, Surabaya, 61111
Telp : (031) 594 7302, Fax : (031) 593 1237
E-mail : risfaula@gmail.com

Abstract
Desain, fabrikasi, dan karakterisasi antena panel dengan microstrip line berstruktur 5 larik dipole
telah dilakukan di laboratorium optik dan microwave jurusan Fisika FMIPA ITS. Antena difabrikasi
untuk bisa bekerja pada frekuensi WiFi 2,4 GHz. Substrat PCB yang digunakan untuk fabrikasi adalah
fiber double side. Fabrikasi dilakukan dengan metode etching dengan larutan Fe(ClO2)3 (Ferric
Chloride). Struktur antena terdiri dari 5 larik dipole. Parameter-parameter yang dikarakterisasi meliputi
VSWR (Voltage Standing Wave Ratio), Return Loss (RL), gain, dan pola radiasi. Hasil karakterisasi
menunjukkan bahwa antena ini dapat diaplikasikan sebagai directional antenna (antena pengarah)
dengan nilai VSWR 1,2, nilai return loss -20,39 dB, pola radiasi horizontal memiliki gain 20 dB dengan
HPBW (Half Power Beamwidth) bernilai 87,50. Kelebihan dari antena ini adalah strukturnya sederhana,
efisiensi yang besar, mudah difabrikasi, relatif ringan, dan biayanya lebih murah.
Keywords: antena, panel, dipole, microstrip line, larik

1. PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan
teknologi komunikasi pada saat ini tumbuh
dan berkembang dengan sangat cepat. Salah
satunya adalah sistem komunikasi wireless.
Perkembangan sistem yang bekerja pada
frekuensi 2,4 GHz ini, tidak terlepas dari
perangkat/device yang mampu mengubah
energi atau sinyal dalam medium pemandu
ke ruang bebas (udara). Device tersebut
dinamakan antena. Antena bekerja sebagai
alat untuk mengirim atau menerima energi
dan digunakan untuk mengoptimalkan
energi radiasi pada beberapa arah tertentu
[1].
Pengembangan
antena
dengan
berbagai variasi dan desain dilakukan untuk
mendukung teknologi komunikasi wireless.
Bentuk dan desain antena yang diharapkan
adalah antena yang mempunyai gain yang
tinggi, efisiensi yang besar, bandwith yang
lebar, Return Loss (RL) kecil, Voltage
Standing Wave Ratio (VSWR) bernilai
rendah, berat yang relatif ringan, dan biaya
yang murah. Salah satu jenis antena yang
memenuhi kriteria semacam itu adalah
antena mikrostrip. Tiap desain antena
mikrostrip mempunyai kemampuan berbeda
dalam merespon gelombang elektromagnetik

SEMNAS MIPA 2010

yang berlanjut pada range frekuensi yang


diterima.
Desain antena
mikrostrip dua
larik/double array merupakan pioner dalam
pendesainan antena mikrostrip. Desain
antena tersebut dipelopori oleh Faton Tefiku
tahun 1996 [2]. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Faton Tefiku, ketiga
parameter antena mikrostrip dua larik yaitu
bandwith, return loss, dan VSWR pada
dasarnya sudah memenuhi kriteria aplikasi,
namun bahan substrat yang digunakannya
(teflon) masih terlampau mahal harganya.
Oleh karena itu, pada penelitian ini,
dilakukan inovasi dengan menambahkan
larik (array) menjadi 5 larik serta
memvariasikan substrat untuk membuat
antena tersebut.
2. TEORI
2.1 Antena Mikrostrip
Antena mikrostrip adalah antena yang
terbuat dari strip logam (patch) yang sangat
tipis dengan ketebalan strip dan ketebalan
substrat (h) yang jauh lebih kecil dibanding
dengan panjang gelombang di ruang hampa
(0). Ketebalan substrat h pada umumnya
terletak pada rentang 0,003 0 h 0,005 0
di atas ground plane [6-16]. Strip (patch)
logam dipisahkan dari ground planenya oleh
FIS - 1

substrat dari bahan dielektrik dengan


konstanta dielektrik pada rentang 2,2 r
12 [1].

Gambar 1. Bagian-bagian Antena


Mikrostrip
Dimana L adalah panjang larik (mm), W
adalah lebar larik (mm), t adalah lebar patch
(mm), dan h adalah lebar substrat (mm).
2.2 Deskripsi Umum Antena Mikrostrip 2
Larik Dipole

2.2 Desain
Antena
Panel
dengan
Microstrip Line Berstruktur 5 Larik
Dipole
Antena dengan struktur patch double
side memiliki 5 larik dipole pada tiap side.
Semua larik memiliki ukuran lebar
(w1=w2=w3=w4=w5) yang sama yaitu 4 mm.
Sedangkan panjang larik 1 (l1) sama dengan
panjang larik 5 (l5) yaitu 20 mm (0,16 0),
panjang larik 2 sama dengan larik 4 (l4) yaitu
25 mm (0,2 0), dan panjang larik 3 (l3) sama
dengan 30 mm (0,24 0). Untuk jarak antar
larik 1 dengan larik 2 (d1) besarnya sama
dengan jarak larik 4 dengan larik 5 (d4) yaitu
25 mm, jarak antar larik 2 dengan jarak larik
3 (d2) sama dengan jarak larik 3 dengan 4
(d3) yaitu 25 mm. Struktur antena ini juga
memiliki lebar transmission line (w6=w7)
yang sama yaitu 2 mm. Hasil desain antena
dapat dilihat pada Gambar 3.

Desain antena mikrostrip 2 larik


dipole seperti pada Gambar 2 pertama kali
diperkenalkan oleh Faton Tefiku. Antena 2
larik dipole terdiri dari 2 larik dipole dengan
panjang antar larik yang berbeda. Panjang
larik pertama (l1)=0,24 0, panjang larik
kedua (l2)=0,2 0, dan jarak antara larik
(d)=0,2 0. Lebar setiap larik (w1=w2) adalah
4 mm. Nilai impedansi karakteristik Z0 =
120 , konstanta permitivitas r=2,2 dan
tebal substrat h=0,8 mm [2].
Gambar 3. Desain Antena 5 Larik Dipole
2.3 Parameter-parameter Karakterisasi
pada Antena Mikrostrip
2.3.1 VSWR

Gambar 2. Desain Antena 2 Larik Dipole


Berdasarkan desain dan fabrikasi
antena yang dilakukan oleh Faton, diperoleh
hasil pengukuran nilai return loss < -30 pada
frekuensi 2 GHz dan frekuensi kerja antena
sekitar 2 GHz [3].

SEMNAS MIPA 2010

Voltage Standing Wave Ratio


(VSWR) adalah kemampuan suatu antena
untuk bekerja pada frekuensi yang
diinginkan.
Pengukuran
VSWR
berhubungan dengan pengukuran koefisien
refleksi dari antena tersebut ( ). Nilai
VSWR merupakan representasi dari
peristiwa standing wave. Peristiwa standing
wave terjadi jika terdapat dua gelombang
yang merambat pada arah berlawanan dalam
media yang sama dan frekuensi antara
gelombang datang dengan gelombang yang
dipantulkan besarnya sama [7]. Nilai VSWR
antara 1 sampai tak hingga, apabila VSWR
bernilai 1 berarti tidak ada pantulan di dalam
FIS - 2

mikrostrip [5]. Suatu antena dikatakan


bekerja baik jika VSWR bernilai antara 1
sampai dengan 2.

V
VSWR max
Vmin
VSWR

1
1

...................... (1)
....................... (2)

2.3.2 Return Loss (RL)


Return loss adalah besaran yang
menunjukkan nilai loss (rugi) dari power
input terhadap power refleksi dari suatu
antena. Nilai return loss diperoleh dari hasil
pengukuran pada Network Analyzer. Nilai
return loss dinyatakan dalam satuan dB
berkisar antara - sampai 0 dB. Suatu
antena dikatakan bekerja baik jika RL 9,54 dB [17].

RL (dB) 20log10

3. METODOLOGI
Peralatan yang digunakan pada
fabrikasi dan pengujian antena adalah PCB
(Printed Circuit Board) tebal 1,6 mm
dengan substrat fiber tebal 1 mm dan
Network Analyzer Anritzu MS 8604A. PCB
yang dipilih double side karena memiliki
keuntungan yang lebih praktis.
Fabrikasi dilakukan dengan metode
etching dengan larutan Fe(ClO2)3 (Ferric
Chloride). Setelah gambar antena dicetak
pada PCB, antena diletakkan di atas plane
reflektor dengan jarak 1,8 cm. Antena juga
dihubungkan dengan konektor 50 . Bentuk
fisik antena microstrip line berstruktur 5
larik dipole yang sudah difabrikasi dapat
dilihat pada Gambar 4 sebagai berikut:

...............(3)

2.3.3 Pola Radiasi


Pola radiasi suatu antena adalah
pernyataan grafis yang menggambarkan sifat
suatu antena pada medan jauh sebagai fungsi
arah. Pola radiasi terjadi karena arus listrik
dalam suatu antena selalu dikelilingi oleh
medan magnetis. Arus listrik bolak balik
(alternating current) menyebabkan muatanmuatan listrik bebas dalam antena akan
mendapat percepatan, sehingga timbul suatu
medan
elektromagnetik.
Medan
elektromagnetik tersebut bolak-balik akan
berjalan menjauhi antena dalam bentuk
gelombang
elektromagnetik
sehingga
terbentuklah medan elektromagnetik [18].

(a)

2.3.4 Gain
Gain (power gain) didefinisikan
sebagai 4 kali perbandingan antara
intensitas radiasi pada suatu arah dengan
daya yang diterima oleh antena penerima
dari pemancar. Gain antena dapat
dinyatakan dengan persamaan

G ,

4 U ,
...................(4)
Pin

Dimana G , adalah gain dan U ,


adalah intensitas radiasi antena pada arah
, termasuk efek dari kerugian antena
dan daya input yang diterima antena.
SEMNAS MIPA 2010

(b)
Gambar 4. (a) Hasil fabrikasi antena
dilihat dari sisi atas
(b) Hasil fabrikasi antena
dilihat dari sisi samping
4. PEMBAHASAN
4.1 Nilai VSWR dan Return Loss
Berdasarkan hasil fabrikasi antena
mikrostrip 5 larik dipole, setelah dilakukan

FIS - 3

pengukuran dengan menggunakan Network


Analyzer , diperoleh data hubungan antara
frekuensi dengan VSWR seperti pada
Gambar 5. Dapat dilihat dari grafik Gambar
5 diketahui bahwa antena bekerja baik pada
frekuensi 2,45 GHz dengan nilai VSWR 1,2.
Nilai VSWR yang baik antara 1-2. Semakin
mendekati angka 1 menunjukkan kinerja
antena semakin baik.
1.8
1.6

Gambar 7. Pola Radiasi Horizontal


Ternormalisasi

1.4

VSWR

1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
2000

2100

2200

2300

2400

2500

2600

2700

2800

2900

3000

Frek ue ns i (MHz)

Gambar 5. Grafik Hubungan antara


Frekuensi dengan Nilai
VSWR
Sedangkan data hubungan antara
frekuensi dengan return loss dapat dilihat
pada Gambar 6. Berdasarkan grafik pada
Gambar 6, nilai return loss antena yang
sudah difabrikasi adalah sebesar -20,39 dB.
0

Return Lo ss

-5
-10
-15
-20
-25
-30
2000

2100

2200

2300

2400

2500

2600

2700

2800

2900

3000

Frekuensi (MHz)

Gambar 6. Grafik Hubungan antara


Frekuensi dengan Nilai
Return Loss
Nilai return loss yang semakin kecil,
menunjukkan sinyal yang direfleksikan
semakin
kecil
dan
sinyal
yang
ditransmisikan semakin besar. Nilai return
loss antena yang sudah difabrikasi -20,39 dB
yang relatif kecil menandakan bahwa antena
tersebut sudah memiliki kinerja yang bagus,
karena suatu antena dikatakan bekerja baik
jika RL -9,54 dB.

Pengolahan data dilakukan dengan


menormalisasi nilai sinyal, dengan cara
mengurangi semua nilai sinyal dengan nilai
sinyal yang terkecil. Nilai sinyal maksimum
pada pengukuran pola radiasi horizontal
adalah 83 dB dan nilai terkecil adalah 36 dB.
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa
sinyal yang diterima paling maksimal pada
sudut 3500, 3550, dan 3600 dan sinyal
terkecil berada pada sudut 2650.
Berdasarkan hasil pengukuran pola
radiasi horizontal, diperoleh nilai gain
antena sebesar 20 dB. Nilai ini sebanding
dengan nilai return loss antena seperti pada
Gambar 6. Gain antena diperoleh dengan
menghitung terlebih dahulu nilai total power
dan gain antena pemancar dan antena
penerima (antena omni) yang digunakan
sebagai standar pengukuran.
Pada saat pengukuran diperoleh total
nilai power dengan gain antena pemancar
dan antena penerima sebesar 63 dB. Nilai
tersebut digunakan untuk menghitung gain
antena 5 larik dipole hasil fabrikasi.
Penghitungan gain antena 5 larik dipole
diperoleh dengan cara mengurangkan nilai
sinyal maksimum hasil pengukuran pola
radiasi horizontal dengan 63 dB. Untuk nilai
HPBW (Half Power Beamwidth) diperoleh
87,50.

4.2 Pola Radiasi

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 4

dB dengan HPBW (Half Power Beamwidth)


bernilai 87,50 pada pola radiasi horizontal.
Antena ini memiliki kelebihan yaitu
strukturnya sederhana, efisiensi yang besar,
mudah difabrikasi, relatif ringan, biayanya
lebih murah, dan
dapat diaplikasikan
sebagai directional
antenna
(antena
pengarah).
6. DAFTAR PUSTAKA
[1]

Balanis, C.A., 1997. Antenna Theory and


Design. Second edition. New York: John
Wiley & Sons.

[2]

Tefiku, F., 1996. A Broadband Antenna Of


Double-Sided Printed Strip Dipoles. Japan:
Denki Kogyo Co., Ltd.

[3]

Tefiku, F., 2000. Design of Broad-Band


and Dual-Band Antennas Comprised of
Series-fed Printed-Strip Dipole Pairs. IEEE
Transactions
on
Antennas
and
Propagation, 48 (6), pp.895-900.

[4]

Hund,
E.,
1989.
Microwave
Communications. Component and Circuits.
New York: McGraw-Hill.

[5]

Edwards, T., 1992. Foundations For


Microstrip Circuit Design. Second edition.
Canada: John Wiley & Sons, Inc.

[6]

Susiloningsih, E., Pramono, Y.H., 2009.


Pembuatan dan Karakterisasi Antena
Mikrostrip dengan Struktur Satu feed Line
Dipole Co-Planar Waveguide dan Dua
Patch untuk Repeater WIFI Dua Arah.
Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 5 (2)

[7]

Rahayu, E.M., Pramono, Y.H., 2009.


Fabrikasi dan Karakterisasi Antena
mikrostrip Loop Co-Planar Waveguide dua
Lapis Substrat untuk Komunikasi C-Band
dan Ku-Band. Jurnal Fisika dan
Aplikasinya, 5 (2)

[8]

Uboyo, A., Pramono, Y.H., 2009. desain


dan Fabrikasi Antena Mikrostrip loop
dengan Feed Line Mikrostrip Feed Line
Dua Lapis Substrat untuk Komunikasi CBand. Jurnal Fisika dan Aplikasinya, 5 (2)

[9]

Suherman, N., Pramono, Y.H., Analisis


Dan Fabrikasi Antena Mikrostrip Horn
Dilengkapi Reflektor Parabola Dengan
Metoda Fdtd, Program Pascasarjana Fisika,
FMIPA-Institut
Teknologi
Sepuluh
Nopember, Surabaya, 2009

Gambar 8. Pola Radiasi Vertikal


Ternormalisasi
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat
bahwa sinyal yang diterima paling maksimal
pada sudut 00 dan sinyal terkecil berada pada
sudut 2900 dan 1300. Nilai sinyal maksimum
pada pengukuran pola radiasi vertikal adalah
78 dB dan nilai terkecil adalah 36 dB.
Apabila dibandingkan antara pola radiasi
horizontal dengan vertikal seperti pada
Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai sinyal
dengan pengukuran pola radiasi horizontal
secara umum lebih besar dibandingkan hasil
pengukuran pola radiasi vertikal. Hal ini
memberikan
rekomendasi
bahwa
pemasangan antena akan mendapatkan
sinyal yang terbaik adalah pada posisi
horizontal.

Gambar 9. Perbandingan Pola Radiasi


Horizontal dengan Vertikal
yang Ternormalisasi
5. KESIMPULAN
Hasil pengukuran dan fabrikasi antena
panel dengan microstrip line berstruktur 5
larik dipole mempunyai unjuk kerja terbaik
pada frekuensi WiFi 2,45 GHz dengan nilai
VSWR 1,2, nilai return loss -20,39, gain 20

SEMNAS MIPA 2010

[10] Riduwan, M., Pramono, Y.H., Analisis


Gelombang Elektromagnetik Pada Antena
Mikrostrip Dipole dengan Metode
Fdtd, Program Pascasarjana Fisika,

FIS - 5

FMIPA-Institut
Teknologi
Nopember, Surabaya, 2009

Sepuluh

[11] Anwar, E.D., Pramono, Y.H., Desain Dan


Karakterisasi Antena Mikrostrip Yagi Tiga
Array Double Side, Program Pascasarjana
Fisika, FMIPA-Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya, 2010
[12] Muhtadi, D., Pramono, Y.H., Desain
Fabrikasi Dan Karakterisasi Antena
Wideband Mikrostrip Slot Bowtie Dengan
CPW Untuk Komunikasi Wireless, Program
Pascasarjana
Fisika,
FMIPA-Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
2010
[13] Qomariyah, N., Pramono, Y.H., Fabrikasi
Dan Karakterisasi Antena Mikrostrip
Dipol,
Program Pascasarjana Fisika,
FMIPA-Institut
Teknologi
Sepuluh
Nopember, Surabaya, 2010
[14] Naqiyyah, H., Pramono, Y.H., Fabrikasi
dan Karakterisasi Antena Mikrostrip
Loopline Untuk Komunikasi Wireless Local
Area
Network
(WLAN),
Program
Pascasarjana
Fisika,
FMIPA-Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
2010
[15] Khasanah, U., Pramono, Y.H., Fabrikasi
dan Karakterisasi Dipole Biquad Antenna
Untuk
Komunikasi
Wifi,
Program
Pascasarjana
Fisika,
FMIPA-Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
2009
[16] Sari, N., Pramono, Y.H., Pembuatan
Antena Mikrostrip 2,4 Ghz Untuk
Komunikasi Aironet Komputer, Program
Pascasarjana
Fisika,
FMIPA-Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
2009
[17] Balemurli. 2010. Perancangan Antena
Mikrostrip Patch Sirkular Untuk Aplikasi
Wlan Menggunakan Simulator Ansoft Hfss
V10, Medan: Fakultas Teknik, Universitas
Sumatera Utara.
[18] Fadlillah, U. 2004. Simulasi Pola Radiasi
Antena Dipole Tunggal. Surakarta: Teknik
Elektro,
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 6

PEMROGRAMAN PARALEL MENGGUNAKAN OPENMP DAN


PENERAPANNYA PADA MASALAH N-BENDA
N.A. Pramono1), F. Yusiyanti1) , M.F.Rosyid.2)
1
Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang
Jl. Gombong No 1 Malang Jawa Timur Indonesia
2
Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada
Telp : 085655558827
E-mail : nugnux@gmail.com1)

Abstract
Masalah N-Benda telah dikaji secara luas di bidang Astrofisika, Fisika Plasma dan Ekonofisika.
Perangkat lunak untuk mendapatkan jawaban secara numerik telah dibuat dan dijalankan baik di
komputer tunggal maupun cluster. Saat ini telah banyak arsitektur komputer multi-processor dan atau
multi-core namun kode perangkat lunak
kebanyakan berjalan secara serial sehingga tidak
memanfaatkan sumber daya yang ada.
Dalam penelitian ini dikaji pemrograman paralel menggunakan OpenMP. Akan dicari kemungkinan
paralelisasi pada masalah n-benda. Akan ditunjukkan kode program hasil paralelisasi memiliki waktu
eksekusi lebih cepat daripada kode serial.
Keywords: pemrograman parallel, OpenMP, masalah n-benda

1. PENDAHULUAN
OpenMP adalah sebuah sharedmemory application programming interface
(API) yang berdasarkan pada usaha awal
untuk memfasilitasi pemrograman paralel
yang berbagi memori. Alih-alih disahkan
sebagai standart, OpenMP merupakan
sebuah persetujuan yang diraih antara
anggota ARB yang berbagi ketertarikan
dalam pendekatan yang portabel, userfriendly dan efisien terhadap pemrograman
paralel yang berbagi memori. OpenMP
dimaksudkan
agar
sesuai
untuk
implementasi dalam ragam arsitekturarsitektur SMP yang sangat luas (Chapman
dkk., 2008).
OpenMP bukan bahasa pemrograman
yang baru melainkan notasi yang dapat
ditambahkan ke sebuah sekuens program di
Fortran, C, atau C++ untuk menjelaskan cara
pekerjaan dibagi di antara threads yang akan
mengeksekusinya pada prosesor yang
berbeda atau core. Penyisipan yang tepat
fitur OpenMP ke dalam baris program akan
memungkinkan
sebuah
aplikasi
mendapatkan keuntungan dari arsitektur
paralel yang berbagi memorikadangkadang dengan modifikasi minimal pada
kode. Pada prakteknya, banyak aplikasi-

SEMNAS MIPA 2010

aplikasi yang memiliki potensi paralel yang


dapat dieksploitasi (Chapman dkk., 2008).
OpenMP memungkinkan pembuatan
program parallel yang berbagi memori
(Hermanns, 2008). OpenMP relatif mudah
digunakan karena rincian program paralel
diserahkan kepada compiler. Hal ini
merupakan keuntungan utama sehingga
Open- MP diadopsi secara luas dan dapat
dijalankan di banyak platform berbeda
(Chapman dkk., 2008).
Menurut Landman (2007), kelebihan
OpenMP adalah bahwa OpenMP merupakan
sistem yang sangat mudah digunakan dan
secara luas tersedia dalam berbagai compiler
untuk kebayakan platform besar. Pada
sistem multi-core, sebuah alamat bersama
adalah basis untuk model pemrograman
yang berbagi memori. OpenMP membuat
pekerjaan programmer menjadi mudah
dalam lingkungan seperti ini.
1.1 Masalah N-Benda
Menurut Aarseth (2008), masalah nbenda adalah masalah memprediksi gerak
sekelompok benda langit yang berinteraksi
satu dengan yang lain melalui interaksi
gravitasi. Penyelesaian masalah ini didorong
oleh tuntutan untuk mengerti gerak ma-

FIS - 7

tahari, planet dan bintang yang terlihat.


Rumus matematika lengkap pertama muncul
di Principia-nya Isaac Newton. Karena
gravitasi bertanggung jawab atas gerak
planet dan bintang, Newton harus
menyatakan interaksi gravitasi dalam bentuk
Persamaan Diferrensial. Sebuah kenyataan
penting yang dibuktikan Newton di Principia
adalah bahwa benda-benda angkasa dapat
dimodelkan sebagai titik-titik massa.
Masalah fisisnya secara informal
dapat dinyatakan sebagai berikut: Diberikan
posisi dan kecepatan awal sebuah kelompok
benda langit, ramalkan gerak mereka untuk
waktu yang akan datang dan disimpulkan
pergerakannya di waktu lampau.
Lebih tepatnya, ditinjau n buah titik
massa m1, , mn di ruang tiga dimensi.
Anggap bahwa gaya tarik yang dialami antar
pasangan adalah Newtonan. Lalu, jika posisi
awal di ruang dan kecepatan di tentukan saat
t0, tentukan posisi tiap partikel di masa
depan (atau lampau).
Dalam kerangka matematika, hal ini
berarti mencari jawaban umum dari masalah nilai awal untuk persamaan diferensial
yang memerikan masalah n-benda.
Persamaan gerak benda ke-i untuk sistem
dengan n partikel berbentuk

(1)
Untuk mudahnya, digunakan suatu sistem
satuan dengan G = 1 dan ruas kanan dari (1)
didefinisikan sebagai gaya persatuan massa,
Fi. Diberikan syarat awal ri, vi untuk posisi
dan kecepatan masing-masing partikel di
sebarang t0, perangkat persamaan diferensial
orde dua (1) memberikan jawaban ri(t) pada
interval (, ). Alternatif lain, jawaban
lengkap juga diberikan oleh 6N buah
persamaan diferensial orde satu yang
diselesaikan secara simultan dan prosedur
ini, pada kenyataannya, biasanya dipilih di
dalam praktek (Aarseth, 2003).
Telah diketahui sejak era Newton
bahwa masalah n-benda yang didefinisikan
oleh (1) hanya memiliki jawaban eksak
untuk kasus interaksi dua benda (Aarseth,
2003).
Untuk
lebih
lengkapnya,
diperkenalkan hubungan mendasar yang
biasanya digunakan untuk pemeriksa

SEMNAS MIPA 2010

keakuratan. Tenaga total dan momentum


sudut (E dan J) sistem diberikan oleh

(2)

(3)
Dua suku pada (2) mewakili tenaga
kinetik dan potensial total. Dengan
mengalikan (1) dengan mi dan melakukan
penjumlahan, berdasarkan sifat simetri akan
didapatkan

(4)
Dengan mengintegralkan (4) akan
didapatkan enam besaran yang lestari.
Selanjutnya didefinisikan T , U , W berturutturut sebagai energi kinetik, potensial dan
eksternal total, dengan U < 0. Hubungan
energi akan mengambil bentuk
E=T+U+W
Dari persamaan-persamaan di atas,
adalah sebuah keharusan untuk sebuah
skema numerik bagi sistem yang lestari
untuk menjaga nilai-nilai sepuluh buah
konstanta
gerak
saat
penghitungan
(Rathinavelu, 2008). Karena tenaga total
adalah selisih antara dua bilangan besar, T
dan |U |, pengalaman menunjukkan bahwa
ini adalah kuantitas paling sensitif terkait
keakuratan penghitungan (Aarseth, 2003).
Dalam prakteknya , persamaan (1)
kurang layak untuk diterapkan langsung ke
dalam algoritma. Hal ini disebabkan karena
ada kemungkinan penyebut bernilai nol atau
mendekati nol sehingga terjadi galat
pembagian dengan bilangan kecil. Untuk itu
perlu ditambahkan sebuah suku pada
penyebut sehingga persamaan (1) menjadi

(5)

FIS - 8

dengan adalah suku pelunakan. Dengan


adanya , penyebut tidak mungkin bernilai
nol. Nilai harus dipilih sedemikian
sehingga pada |ri rj| besar nilai dapat
diabaikan.
2 METODE PENELITIAN
2.1 Membuat Program dengan OpenMP
Directive
OpenMP
mengijinkan
pengguna untuk mengatakan pada compiler
dengan perintah yang dieksekusi secara
paralel dan cara mendistribusikannya pada
thread-thread yang akan menjalankan kode.
Sebuah directive OpenMP adalah
perintah dalam format khusus yang hanya
dimengerti
oleh compiler
OpenMP.
Directives tersebut terlihat seperti komentar
bagi compiler fortran biasa sehingga
program akan berjalan separti biasa jika
compiler tidak mendukung OpenMP.
Salah satu tujuan dari standard
OpenMP adalah menawarkan kemungkinan
baris-baris kode sumber yang sama agar
dapat digunakan oleh compiler normal dan
compiler yang mendukung OpenMP. Ini
hanya
dapat
dicapai
dengan cara
menyembunyikan directives dan perintah
OpenMP sedemikian sehingga compiler
normal tidak dapat melihat mereka. Untuk
tujuan itu diperkenalkan sentinel:
!$OMP
!$
Karena karakter pertama adalah tanda
seru !, compiler normal akan mengartikan
baris
sebagai
komentar
dan
mengabaikannya, tetapi compiler yang
mendukung
OpenMP
akan
mengidentifikasinya dan memproses sebagai
berikut:
!$OMP :compiler yang mendukung
OpenMP tahu bahwa informasi di
baris ini adalah sebuah OpenMP
directive
!$ :baris ini terpengaruh oleh
conditional compilation. Ini berarti
bahwa baris ini hanya terbaca oleh
compiler yang mendukung OpenMP
Kedua sentinel dapat muncul di
sebarang
kolom
sepanjang
mereka
dipisahkan hanya oleh spasi; jika sebaliknya,
mereka diartikan sebagai komentar normal.

SEMNAS MIPA 2010

2.2 Pemrograman Paralel pada Masalah


N-Benda Menggunakan OpenMP
Program simulasi n-benda terdiri dari
bagian: pemberian nilai awal, penghitungan
percepatan, penghitungan kecepatan dan
posisi serta penghitungan energi.
Bagian pemberian nilai awal, berupa
penentuan jumlah benda yang terlibat dalam
simulasi (n) dan pemberian posisi dan
kecepatan awal masing-masing benda.
Proses untuk sebuah benda tidak terkait
dengan benda yang lain sehingga bagian ini
dapat diproses secara paralel.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut adalah hasil program masalah
n-benda. Jumlah iterasi pada semua program
berikut adalah 100 iterasi. Arsitektur yang
digunakan adalah komputer SMP dengan
sistem operasi Mac OS X 10.6.4 (64 bit).
Gambar 1 menunjukkan galat tenaga
total terhadap waktu pada n=1000. Gambar
2 menunjukkan perbandingan antara
program serial dan paralel menggunakan
OpenMP. Paralelisasi pada OpenMP
mencakup
pemberian
nilai
awal,
penghitungan percepatan dan penghitungan
posisi dan kecepatan menggunakan RungeKutta. Pada nilai n kecil, tidak terlihat
adanya keuntungan paralelisasi program,
namun pada nilai n besar, terlihat perbedaan
durasi yang signifikan.

Gambar 1. Galat tenaga total terhadap


waktu

FIS - 9

Gambar 2. Perbandingan antara program


serial dan parallel.
4 KESIMPULAN
OpenMP dapat digunakan untuk
mempercepat sebuah program dengan
memanfaatkan semua core pada sebuah
computer.
Signifikansi durasi program
paralel
terhadap
program
serialnya
tergantung pada berapa banyak bagian
program yang dapat diparalelkan.
5 DAFTAR PUSTAKA
Aarseth, S.J., 2003, Gravitational N -Body
Simulations, Cambridge University Press
Aarseth, S.J., 2008, Lecture Notes in Physics:
Direct N-Body Codes, Springer-Verlag Berlin,
Heidelberg
Chapman, B., Jost, G., van der Pass, R., 2008,
Using OpenMP, MIT Press, England
Hermanns, M., 2002, Parallel Programming in
Fortran 95 using OpenMP, Universidad
Politecnica de Madrid Spain
Landman, J., 2007, OpenMP in 30 Minutes,
Linux
Magazine,
http://www.linuxmag.com/id/4609

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 10

FABRIKASI DAN KARAKTERISASI


ANTENA PANEL 4 MICROSTRIP PATCH HORN
UNTUK KOMUNIKASI WI-FI PADA FREKUENSI 2,4 GHZ
Putu Artawan 1,2) dan Yono Hadi Pramono 1)
1) Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya
Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya 60111 Telp : +6231-5947188 Fax : +6231-5923626
2) Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNDIKSHA
Kampus FMIPA Jalan Udayana Singaraja Bali 81117 Telp : +62362-25072
E-mail : Scientya@yahoo.com(1,2), yhp@gmail.com(1)

ABSTRAK
Antena adalah komponen penting dalam proses transfer komunikasi sehingga menjadi satu
kesatuan teknologi yang terintegrasi dengan baik. Syarat spesifikasi Antena yang baik adalah dengan
kapasitas, frekuensi kerja dan VSWR yang kompatibel serta return loss yang kecil. Telah dilakukan
fabrikasi dan karakterisasi antena microstrip patch horn dengan bahan FR4 untuk komunikasi Wi-fi pada
frekuensi 2,4 GHz. Fabrikasi dilakukan dengan metoda UV photoresist laminate. Struktur Antena terdiri
dari 4 array microstrip patch. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa antena ini dapat diaplikasikan
untuk komunikasi Wi-fi dengan nilai VSWR 1,222 dengan return loss -20,01 dB. Pola radiasinya radial
baik secara vertikal maupun horisontal, dengan penguatan 19 dB.
Kata kunci : Antena Horn, VSWR, return loss, penguatan.

1. PENDAHULUAN
Perkembangan
teknologi
dalam
bidang komunikasi begitu pesatnya dengan
terciptanya
komunikasi
jaringan.
Perkembangan tersebut tidak terlepas
dengan peran salah satu perangkat yang
menentukan performansi jaringan yaitu
antena. Sebagai bagian utama dari proses
transmisi, Antena yang dirancang haruslah
memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan
seperti frekuensi kerja, koofesien refleksi
dan VSWR yang kompatibel serta return
loss yang sangat kecil. Desain antena Horn
yang sederhana dengan menggunakan bahan
Fiber dengan proses etching menggunakan
larutan FeCl3 (Ferric Chloride) sudah
pernah difabrikasi dan dianalisa dengan
penguatan ... dB. [1,2]. Pada penelitian ini
diupayakan difabrikasi Antena microstrip
patch horn dalam bentuk antena panel,
dengan menggunakan bahan FR4 dengan
metoda UV photoresist laminate yang hasil
analisa datanya diharapkan mencapai hasil
yang lebih optimal. Diharapkan hasilnya
bisa mendapatkan penguatan yang lebih
tinggi dengan VSWR yang lebih rendah
serta return loss yang sekecil mungkin. Hasil
dari fabrikasi ini nantinya diharapkan bisa
menjangkau jarak yang lebih jauh dengan

SEMNAS MIPA 2010

menghasilkan kualitas penerimaan yang


bagus yang akan diterapkan pada sistem
komunikasi Wi-fi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rangkaian Microstrip
Keunggulan jenis antena Mikrostrip
terutama terletak pada rancangan antenanya
yang tipis, kecil, ringan dan dapat diterapkan
ke dalam Microwave Integrated Circuit
(MICs) [3].
Pada prinsipnya antena
mikrostrip memiliki karakteristik dengan
frekuensi kerja (bandwidth) yang sempit.
Salah satu teknik untuk memperlebar
bandwidth yaitu dengan menggunakan
teknik panel array. Dengan teknik ini selain
dapat
memperlebar
frekuensi
kerja
(bandwidth) juga dapat meningkatkan
penguatan (gain) antena.
2.2 Antena Horn
Antena horn secara umum dipakai
sebagai elemen aktif dalam antena parabola.
Horn tersebut mengarah pada pusat reflektor
parabola. Penggunaan horn daripada antena
dipole atau antena manapun, di fokus
parabola meminimalisir kehilangan energi di
sekitar pinggiran reflektor parabola. Pada
frekuensi 2,4GHz antena horn sederhana
FIS - 11

yang terbuat dari kaleng mempunyai gain


sebesar 10-15dBi [4]. Antena jenis antena
kawat dimensi fisiknya disesuaikan dengan
panjang gelombang dimana sistem bekerja.
Semakin tinggi frekuensi kerja, maka
semakin pendek panjang gelombangnya,
sehingga semakin pendek panjang fisik
suatu antena. Untuk antena gelombang
mikro,
menggunakan
antena
luasan
(aperture antena) karena mempunyai sifat
pengarahan yang baik untuk memancarkan
gelombang elektromagnetik. Karakter yang
penting dari suatu antena adalah seberapa
besar antena mampu mengkonsentrasikan
energi pada suatu arah yang diinginkan,
dibandingkan dengan radiasi pada arah yang
lain
[4].
Untuk
memaksimumkan
perpindahan daya dari antena ke penerima,
maka impedansi antena haruslah conjugate
match (besarnya resistansi dan reaktansi
sama tetapi berlawanan tanda).
2.3. Karakteristik Dan Parameter Antena
1. Impedansi Antena
Impedansi input akan dipengaruhi
oleh antena-antena lain atau obyek-obyek
yang dekat dengannya. Impedansi antena
terdiri dari bagain riil dan imajiner, yang
dapat dinyatakan dengan :
Zin = Rin + j Xin
(1)
Resistansi input (Rin) menyatakan tahanan
disipasi. Daya dapat terdisipasi melalui dua
cara, yaitu karena panas pada struktur antena
yang berkaitan dengan perangkat keras dan
daya yang meninggalkan antena dan tidak
kembali (teradiasi). Reaktansi input (Xin)
menyatakan daya yang tersimpan pada
medan dekat dari antena. Disipasi daya ratarata pada antena dapat dinyatakan sebagai
berikut :
Pin = R | Iin |2
(2)
Dimana : Iin = arus pada terminal input
Faktor muncul karena arus didefinisikan
sebagai harga puncak. Daya disipasi dapat
diuraikan menjadi daya rugi ohmic dan daya
rugi radiasi, yang dapat ditulis dengan :
Pin = Pohmic + Pr
(3)
Dimana : Pr
= Rin | Iin |2
Pohmic = Rohmic | Iin |2
[5]
Sehingga definisi resistansi radiasi dan
resistansi ohmic suatu antena pada terminal
input adalah :
SEMNAS MIPA 2010

Rin

2 Pr
Pin

Rohmic

(4)

2( Pin Pr)
Pin

(5)

Resistansi radiasi adalah relatif


terhadap arus pada setiap titik antena.
Biasanya digunakan arus maksimum. Untuk
memaksimumkan perpindahan daya dari
antena ke penerima, maka impedansi antena
haruslah conjugate match (besarnya
resistansi dan reaktansi sama tetapi
berlawanan tanda). Jika hal ini tidak
terpenuhi maka akan terjadi pemantulan
energi yang dipancarkan atau diterima,
sesuai dengan persamaan sebagai berikut :

GL

e L Z L Z in

e L Z L Z in

Dengan : e-L
ZL
e+L
Zin

=
=
=
=

tegangan pantul
impedansi beban
tegangan datang
impedansi input

(6)

[6]

2. VSWR
VSWR (Voltage Standing Wave
Ratio) dapat terjadi jika terdapat dua
gelombang yang merambat pada arah
berlawanan dalam media yang sama.
Standing wave dapat terjadi hanya jika
frekuensi gelombang datang dan pantul
sama, yang dipresentasikan dalam besaran
VSWR. Rentang nilai VSWR yang diterima
adalah 1 s/d ~ [7], nilai VSWR yang
mendekati 1 mengindikasikan bahwa kinerja
antena semakin baik.
Secara matematis dapat dinyatakan dengan :

VSWR

1
1

(7) [7]

3. Frekuensi Kerja
Daerah frekuensi kerja dimana antena
dapat bekerja dengan baik dinamakan
bandwidth antenna. Bandwidth pada sistem
antena umumnya didefinisikan sebagai jarak
antara frekuensi rendah (f1) dan frekuensi
tinggi (f2) yang diformulasikan sebagai BW
= f2f1.
Bandwidth yang dinyatakan dalam prosen
digunakan untuk menyatakan bandwidth
antena dengan band sempit (narrow band).
Persamaannya adalah :

FIS - 12

BW

f 2 f1
x 100%
fc

(8)

Untuk band yang lebar (broad band)


digunakan definisi rasio antara batas
frekuensi atas dengan frekuensi bawah.
Persamaannya adalah :

BW

f2
f1

(9)

Bandwidth antena dipengaruhi oleh luas


penampang
konduktor
dan
bentuk
geometrinya [7]. Misalnya pada antena
dipole akan mempunyai bandwidth yang
semakin lebar apabila penampang konduktor
yang
digunakannya
semakin
besar.
Demikian pula pada antena
yang
mempunyai susunan fisik yang berubah
secara smoth akan menghasilkan pola radiasi
dan impedansi input yang berubah secara
smoth terhadap perubahan frekuensi. Pada
jenis antena gelombang berjalan (tavelling
wave) ternyata ditemukan lebih lebar range
frekuensi kerjanya daripada antena resonan.
4. Koofesien Refleksi
Koefesien refleksi mengindikasikan
seberapa besar daya pantul yang dimiliki
oleh sebuah antena. Semakin besar nilai
koofesien refleksinya maka semakin besar
daya pantul dari antena tersebut, begitu
sebaliknya.
Koofesien refleksi
persamaan berikut :

ditentukan

= VSWR 1 / VSWR +

dengan

(10)

Atau :
= 10 (-RL/20)

(11) [7]

5. Return Loss
Nilai Return Loss yang semakin kecil,
mengindikasikan sinyal yang direfleksikan
semakin kecil sehingga sinyal yang
diteruskan semakin besar. Secara sederhana
dapat disimpulkan dengan nilai return loss
yang semakin kecil kinerja antena semakin
bagus. Nilai return loss yang dapat diterima
dilapangan adalah < -15 dB [7], sehingga
pada penelitian ini diharapkan memiliki nilai
return loss yang sekecil mungkin atau paling
tidak < -15 dB.
SEMNAS MIPA 2010

6. Direktivitas dan Gain


Karakteristik
terpenting
dalam
merancang suatu antena adalah direktivitas
(directivity) dan power gain. Direktivitas
yang dimaksud adalah seberapa besar antena
mampu mengkonsentrasikan energi pada
suatu arah yang diinginkan, dibandingkan
dengan radiasi pada arah yang lain.
Sedangkan power gain dinyatakan relatif
terhadap suatu referensi tertentu, seperti
sumber isotropis atau dipole .
6.a Direktivitas Antena
Directive gain adalah perbandingan
intensitas radiasi pada suatu arah dengan
intensitas radiasi rata-rata, yang dinyatakan
sebagai berikut :

D(q, f )

I ( , )
I ave

(12)

Dimana : I(q,f) = intensitas radiasi


I ave = intensitas radiasi rata-rata
[7]
Sedangkan direktivitas merupakan harga
maksimum dari directive gain, yang dapat
dinyatakan dengan :

I in 4

I ave

(13)

6.b. Gain Antena


Penggunaan antena biasanya lebih
memperhatikan
efisiensi
dalam
memindahkan daya yang terdapat pada
terminal input menjadi daya radiasi. Untuk
menyatakan ini, power gain didefinisikan
sebagai 4p kali rasio dari intensitas pada
suatu arah dengan daya yang diterima
antena, dinyatakan dengan :

G ( q, f ) 4 p

I ( , )
Pin

(14)

Definisi ini tidak termasuk losses yang


disebabkan oleh ketidaksesuaian impedansi
(impedance missmatch) atau polarisasi.
Harga maksimum dari gain adalah harga
maksimum dari intensitas radiasi yang dapat
dinyatakan dengan :

G4p

I in
P in

(15)

Perbedaan
gain
maksimum
dengan
direktivitas hanya terletak pada jumlah daya
yang digunakan [8].

FIS - 13

Direktivitas dapat menyatakan gain


suatu antena jika seluruh daya input menjadi
daya radiasi. Dan hal ini tidak mungkin
terjadi karena adanya losses pada daya input.
Bagian daya input (Pin) yang tidak muncul
sebagai daya radiasi diserap oleh antena dan
struktur yang dekat dengannya. Hal tersebut
menimbulkan efisiensi radiasi, yang dapat
dinyatakan dalam persamaan sebagai
berikut:

Pr
P in

(16)

dengan harga e diantara nol dan satu ( 0 < e


< 1). Sehingga gain maksimum suatu antena
sama dengan direktivitas dikalikan dengan
efisiensi dari antena, yang dapat dinyatakan
sebagai berikut :
G=eD
(17)
Namun dalam prakteknya jarang gain antena
dihitung berdasarkan directivity dan efisiensi
yang dimilikinya. Gain antena dihitung
dengan analisa hasil dari pola radiasi yang
dihasilkan.
7. Pola Radiasi
Dengan mengetahui pola radiasi
antena maka dapat ditentukan ke arah mana
antena dihadapkan agar mendapatkan
Intensitas sinyal yang baik.
Umunya untuk antena jenis Horn
menghasilkan pola radiasi yang radial baik
secara vertikal maupun secara horisontal
[8,9].

penerima dan pemancar akan dapat


mengurangi intensitas sinyal yang diterima.
Sebuah antena dapat memancarkan energi
dengan polarisasi yang tidak diinginkan
(polarisasi silang /cross polarized) dan
berakibati mengurangi gain.
I. METODOLOGI
3.1 Peralatan dan Bahan
Peralatan dan Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah antara lain :
1. PCB (substrat FR4 dengan konstanta
dielektrik 4,3).
2. Konektor tipe N female untuk inputan.
3. Kabel koaksial.
4. Baut dan mur.
5. Reflektor dengan bahan Al (Aluminium).
6. Network Analyzer.
7. Busur derajat.
8. Antena pancar.
9. Laptop
3.2 Diagram Alir Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan
dalam
penelitian
Fabrikasi
Dan
Karakterisasi Antena Panel 4 Microstrip
Patch Horn Untuk Komunikasi Wi-Fi Pada
Frekuensi 2,4 Ghz ini adalah :
Analisa Antena
(Microstrip Line, Antena Patch, Microstrip
Horn, Array Horn)

8. Polarisasi Antena
Polarisasi
antena
didefinisikan
sebagai arah vektor medan listrik yang
diradiasikan oleh antena pada arah
propagasi. Jika jalur dari vektor medan
listrik maju dan kembali pada suatu garis
lurus dikatakan berpolarisasi linier. Jika
vektor medan listik konstan dalam panjang
tetapi berputar disekitar jalur lingkaran,
dikatakan berpolarisasi lingkaran. Jika
vektornya berputar berlawanan arah jarum
jam dinamakan polarisasi tangan kanan
(right hand polarize) dan yang searah jarum
jam dinamakan polarisasi tangan kiri (left
hand
polarize)
[10].
Untuk
memaksimumkan sinyal yang diterima,
maka polarisasi antena penerima harus sama
dengan polarisasi antena pemancar. Jika
terjadi polarisasi yang berbeda antara antena
SEMNAS MIPA 2010

Desain Fabrikasi Antena

Fabrikasi Antena

Pengukuran

Analisa Data Pengukuran


3.2.1 Desain dan Proses Fabrikasi Antena.

FIS - 14

Adapun
langkah-langkah
dalam
proses desain dan fabrikasinya sebagai
berikut :
1. Membuat desain antena dengan analisa
ukuran yang tepat (data perhitungan).
2. Fabrikasi sesuai desain antena yang
dirancang dengan UV Photoresist
laminate.
3. Pemasangan konektor dan reflektor.
3.2.2 Pengukuran dan Analisa.
Antena yang sudah difabrikasi
selanjutnya diukur dan dianalisa dengan
menggunakan
Network
Analyzer.
Pengukuran dilakukan di Laboratorium
Optik Fisika MIPA ITS dan di Laboratorium
Elektronika ITS dengan menggunakan alat
Network Analyzer tipe 8714C. Data hasil
pengukuran yang diperoleh meliputi nilai
frekuensi dan SWR
Selanjutnya dilakukan pengukuran pola
radiasi di tempat yang lapang.
Antena yang telah difabrikasi dan
diukur dengan network analyzer, datanya
dianalisa untuk mendapatkan nilai VSWR,
return loss dan koofesien refleksi dengan
persamaan berikut:
RL
= -20 log10 ()

= 10-RL/20
VSWR = 1 + II / 1- II
SWR = 20 log 10 VSWR
[11]
Kemudian untuk data pola radiasi dianalisa
dengan menggunakan program Microsoft
Excel atau Matlab. Yang selanjutnya dicari
penguatannya (Gain).

Gambar 2 : Foto Hasil Fabrikasi


Hal yang perlu diperhatikan dari
penelitian ini adalah optimalisasi dari hasil
fabrikasi sebelumnya. Tujuannya untuk
memberikan batasan geometri kepada para
perancang antena horn untuk mendapatkan
faktor refleksi dan gain yang optimal,
sehingga jarak yang lebih jauh bisa
didapatkan.
Selanjutnya fabrikasi dikembangkan
dengan jumlah array mikrostrip yang
bervariasi dan juga variasi dari lebar patch
line nya.
Pelebaran bandwidth diperoleh seiring
dengan bertambahnya
jumlah array
mikrostrip [12]. Artinya bahwa pelebaran
bandwidth antena mikrostrip slot dapat
dilakukan dengan menambah jumlah slot
dan sekaligus dapat memperkecil ukuran
antena. Dengan penggunaan slot yang
semakin kecil akan menggeser frekuensi
operasi ke yang lebih tinggi.
Parameter-parameter yang terukur meliputi,
frekuensi dan SWR.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Desain fabrikasi antena yang dibuat

adalah sebagai berikut :


9 cm

3cm, 1mm

8,6 cm

Gambar 3 : Set Up Pengukuran


Data yang diperoleh dari hasil pengukuran
adalah sebagai berikut:

3cm, 2mm

3 cm

Gambar 1 : Desain Antena

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 15

Pengukuran Pola Radiasi dilakukan dengan


set up sebagai berikut :
antena pancar

laptop

antena microstrip

laptop

Gambar 7 : Set Up Pengukuran Pola


Radiasi

Gambar 4 : Grafik SWR dan Frekuensi


Selanjutnya dari hasil pengukuran yang
diperoleh, data dianalisa dengan persamaanpersamaan yang relefan untuk menemukan
karakteristik yang lain. Hasilnya diperoleh
sesuai dengan tabel berikut :

Hasilnya diperoleh :

Tabel 1. Data dan Analisa Hasil


Pengukuran
Bw (GHz)

SWR

VSWR

RL
(dB)

2,23 2,41

1,743

1,222

-20,01

Keterangan :

Gambar 8a : Foto Pengukuran Pola


Radiasi

0,0
9

= koofesien refleksi

(8.b)
(8.c)
Gambar 8b : Pengukuran Secara Vertikal
Gambar 8c : Pengukuran Secara
Horisontal

Gambar 5 : Grafik VSWR dan Frekuensi

Pola radiasinya berupa Radial baik secara


vertikal maupun horisontal. Hasil analisa
datanya menunjukkan bahwa Antena yang
difabrikasi mempunyai penguatan sebesar
19 dB.
5. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan

Gambar 6 : Grafik S11 () dan Frekuensi

SEMNAS MIPA 2010

Dari hasil dan analisa data yang


diperoleh dapat disimpulkan bahwa:
1. Fabrikasi dan karakterisasi Antena panel
4 Microstrip Patch Horn untuk
komunikasi Wi-Fi pada frekuensi 2,4
Ghz sudah dilakukan.
2. Dari fabrikasi tersebut diperoleh nilai
VSWR 1,222 dengan penguatan 19 dB.

FIS - 16

5.2 Saran
1. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya
untuk mencoba memfabrikasi dengan
array microstrip yang lebih banyak
dengan ukuran yang lebih kecil, sehingga
diharapkan dapat diperoleh hasil yang
lebih optimal.
2. Saat pengukuran pola radiasi diupayakan

dilakukan pada kondisi yang lebih ideal,


ditempat yang jauh dari faktor-faktor
yang menyebabkan noise sehingga
didapatkan hasil yang lebih optimal.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1] Aswoyo,
Budi,
2000.
Perancangan
Optimasi dan Implementasi Antena Horn
Sektoral Bidang E pada Frekuensi Band X,
Surabaya: Politeknik Elektronika Negeri
Surabaya, ITS.

Fisika FLUX. Institut Teknologi Sepuluh


Nopember. Surabaya.
[11] Pramono, Yono Hadi dkk, 2002. Analisa
Respon Frekuensi Antena Mikrostrip.
Prosiding Seminar Nasional Fisika dan
Aplikasinya. ITS, Surabaya
[12] Pramono, Yono Hadi dkk, 2002. Analisa
Karakteristik Antena CPW Slot dan Patch
dengan FDTD. Prosiding Seminar Nasional
Fisika dan Aplikasinya. ITS, Surabaya.

Putu
Artawan,
menyelesaikan
S1
pendidikan Fisika FMIPA di STKIP N
Singaraja Bali tahun 2002. Kemudian tahun
2006 diterima sebagai PNS Dosen di
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Bali. Tahun 2009 sampai saat ini sedang
menempuh pendidikan Magister (S2) di
Jurusan Fisika MIPA, ITS Surabaya bidang
Fisika OptoElektronika.

[2] Ohri, V, Amin, O, Gebremariam, H Dubois,


B, 2003. Microwave Horn Antena Design
and Test System. San Jose State University.
[3] Shafai, 2001. Microstrip Antena Design
Handbook. Canada: Profesor University Of
Manitoba, Winnipeg.
[4] Balanis, C.A. 1997. Antena Theory Analysis
and Design, Second Edition. New York:
John Wiley and Sons.
[5] Kraus, John, D., 1984. Electromagnetics,
Third Edition. New York: McGraw-Hill.
[6] Suherman, Nanang, 2008. Analisis dan
Fabrikasi
Antena
Mikrostrip
Horn
dilengkapi Reflektor Parabola dengan
Metode FDTD. Surabaya: Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, ITS.
[7] Terry Edward, Knaresborough England,
1991. Foundation For Microstrip Circuit
Design.
[8] Hund,
E.,
1989.
Microwave
Communications, Component and Circuit.
New York: McGraw Hill.
[9] Pramono, Yono Hadi dkk. 2009. Prototipe
Antenna Bi-Horn Dengan Dua Arah Pola
Radiasi Dan Satu Feeding Monopole
Beroperasi Pada Freq.2,4 Ghz. Prosiding
T.Informatika, UPN. Yogyakarta
[10] Pramono,
Yono Hadi
dkk.
2005.
Karakterisasi Antena Mikrostip Patch 3 Ghz
Secara Simulasi FDTD (Finite Difference
Time Domain) Dan Eksperimen. Jurnal

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 17

ANTENA MIKROSTRIP 5 LARIK SIMETRI DOUBLE DIPOLE


UNTUK OMNI DIRECTIONAL
DENGAN FREKUENSI KERJA 2,4 GHZ
Qomaruddin1), Yulia Dyah R2), Yono Hadi P3)
Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
Telp: (031)-5943351, Fax: (031)-594331
E-mail: qomaruddin@mhs.physics.its.ac.id1), yulia_dr@physics.its.ac.id2), fisiyon@physics.its.ac.id3)

Abstract
Telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi antena microstrip omnidirectional berstruktur array
double dipole dengan substrat fiber untuk komunikasi WiFi 2,4 GHz. Fabrikasi dilakukan dengan metode
etching dengan larutan feritklorit (FeClO3), struktur antenna terdiri dari lima larik double dipole yang
simetri dengan pola pertama menggunakan strip feed line polos dan yang kedua dengan strip feed line
tangga. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa antenna ini dapat diaplikasikan sebagai omnidirectional
dengan nilai VSWR 1,4 dan pola radiasinya adalah radial untuk vertikal maupun horizontal dengan gain
24 dB.
Kata kunci: mikrostrip, omnidirectional, double dipole, substrat fiber.

1. PENDAHULAN
Komunikasi
sudah
merupakan
kebutuhan
primer
bagi
masyarakat
perkotaan terutama bagi mereka yang
mempunyai mobilitas tinggi. Sudah menjadi
hal yang lumrah bagi mereka menggunakan
komunikasi secara nirkabel (wireless), hal
ini terbukti dengan memanfaatkan fasilitas
yang disediakan para provider kartu
berlangganan prabayar GSM. Akan tetapi
untuk komunikasi pada jaringan WiFi
dibutuhkan beberapa komponen. Antena
adalah alat yang dapat mengakomodasi
kebutuhan jaringan WiFi pada frekuensi
2,42,5 GHz[10]. Oleh karena itu riset ini
membuat
Antena
Mikrostrip
untuk
omnidirectional yang mempunyai pola
radiasi menglingkar, sehingga diharapkan
sinyal yang dipancarkan oleh antena
transmiter lebih kuat dan jangkauannya lebih
luas. Riset ini menunjukkan bahwa antena
mikrostrip
dipole
ganda
untuk
omnidirectional yang bekerja pada frekuensi
2,4 GHz sudah memenuhi kebutuhan
tersebut[10]-[13].
2. LANDASAN TEORI
Antena
menurut
Websters
directionary adalah suatu alat untuk
meradiasikan atau menerima gelombang

SEMNAS MIPA 2010

radio. Sedangkan berdasarkan IEEE


standaret definition of term for antennas,
antena di definisikan sebagai suatu alat
untuk
meradiasikan
atau
menerima
gelombang radio. Dengan kata lain antenna
adalah suatu bentuk peralihan antara ruang
bebas dan insrtumen pemandu. Selain
sebagai alat untuk mengirim atau menerima
energi radiasi gelombang elektromagnetik,
antenna
juga
digunakan
untuk
mengoptimalkan energi radiasi pada arah
tertentu dan menekannya kearah yang lain
[8]. Hal ini kemudian menyebabkan antenna
memiliki berbagai bentuk dan desain untuk
memenuhi kebutuhan khusus. System yang
memanfaatkan gelombang elektromagnetik
(microwave) adalah kominikasi nirkabel
(wireless), dengan propagasi gelombang
radio
sebagai
media
transmisinya.
Bertambahnya popularitas system nirkabel,
pengembangan antenna untuk system ini
menjadi lebih penting. Antenna dapat
diangap sebagai tulang punggung system
nirkabel[10]-[13].
2.1. VSWR
Voltage
Standing
wave
ratio
merupakan ukuran ketidakcocokan antara
impedansi beban antena dan impedansi pada
saluran transmisi. Standing wave dapat
terjadi jika ada dua gelombang yang erlawan

FIS - 18

menjalar pada medium yang sama. Hal ini


direpresentasikan dangan besaran VSWR
antara 1 sampai tak berhingga.
SWR

Vmax I max

Vmin I min

(1)

Hubungan VSWR dengan koefisien pantul


(), dapat dinyatakan sebagai berikut:
1
(2)
VSWR
1

Dengan : koefisien refleksi [7].

j R

J r r '

Je
Je
dv'
dv'
4 r r '
4 R
v

(5)

(persamaan potensial vektor pada titik p


dengan jarak R dari sumber) menjadi:

2.2. Pola Radiasi


Pola radiasi adalah plot tiga dimensi
disrtibusi sinyal yang dipancarkan oleh
sebuah antena, atau plot tiga dimensi tingkat
penerimaan sinyal yang diterima oleh
sebuah antena. Pola radiasi antena dibentuk
oleh dua buah radiasi berdasar bidang irisan,
yaitu pola radiasi pada bidang irisan arah
elevasi (pola elevasi) dan pola radiasi pada
bidang irisan arah azimuth (pola azimuth)
[8]. Pola radiasi juga dapat didefinisikan
sebagai representasi grafik dari radiasi suatu
antena sebagai fungsi dari arah. Jika radiasi
di ungkapkan sebagai kuat medan E , pola
radiasinya adalah pola kuat medan. Jika
radiasi dinyatakan dalam daya per satuan
sudut , pola radiasinya adalah pola daya.
Pada umumnya pola radiasi menggunakan
kuat medan gelombang, bidang seragam
membawa energi elektromagnetik, rapat
energy di dapat dari vektor pointing[10][13]. Untuk gelombang bidang seragam
dalam ruang hampa dengan medan
elektromagnetik dinyatakan :
(3)
E xEo e jkz

E
H y o e jkz

Untuk menggambarkan pola radiasi


ini terlebih dahulu harus ditemukan
potensial vektor A pada medan jauh. Pada
medan jauh vektor dari sumber dan vektor
dari titik asal seola-olah
sejajar atau
mendekati parallel [8]. Sehingga pada
kondisi medan jauh R = (R R)

e jr
4r

J e

j r.r '

dv

(6)

Untuk sumber garis pada sumbu z

z e j r
J e'e j z ' cos dz'

4r

(7)

Setelah pernyataan distribusi arus dari


sumber telah diketahui akan diperoleh harga
medan magnet H dan harga medan magnet
H tersebut dimasukkan pada persamaan

1
j H J

(8)

(medan listrik E untuk daerah di dalam


konduktor sumber), Maka diperoleh medan
listrik E. dalam koordinat bola, medan listrik
E dan medan magnet H diperoleh dalam
komponen vektor dan . Sedangkan
poynting vektornya hanya mempunyai
komponen radial saja. Besarnya komponen
radial dari poynting vektor dapat dinyatakan
sebagai berikut :

1 E
Pr
2

(9)

Dengan:
(4)

E E2 E2

(10)

magnitude resultan medan listrik


Eo = komponen medan listrik
E = komponen medan listrik
= Impendansi intrinsik ruang bebas
Khusus untuk sumber yang arusnya hanya
berada di sumbu-z saja diperoleh persamaan
medan jauh :
E j sin Az
(11)

E j sin
Gambar 1. Pola radiasi antena dipole

SEMNAS MIPA 2010

jz ' cos
e jr
J z'e
dz (12)

4r

Sedangkan komponen radial dari poynting


vektor adalah :
FIS - 19

1 J sin Az
Pr
2

(13)

Untuk menyatakan pola radiasi medan


secara grafis, pola radiasi tersebut dapat
digambarkan dalam bentuk absolute atau
dalam bentuk relatif. Maksud bentuk relatif
adalah
pola
radiasi
yang
sudah
dinormalisasikan, yaitu setiap harga dari
pola radiasi tersebut telah dibandingkan
dengan harga maksimumnya. Sehingga pola
radiasi medan apabila dinyatakan dalam pola
radiasi yang ternormalisasi akan mempunyai
bentuk :

F ,

E ,
E , max

2D 2
, untuk

dan

[7]

Gambar 2. Pola pancaran radiasi pada


antena, (a) mode pemancar, (b)
mode penerima [4]

(15)

Pola radiasi medan suatu antena


sering juga dinyatakan dengan satuan
desibel [8]. Untuk hal ini intensitas medan
dalam satuan desibel didefinisikan sebagai:
(16)
F , db 20 log F ,
Sedangkan untuk pola dayanya dalam
decibel
(17)
P , db 10 log P , 20 log F ,
Jadi dalam satuan decibel pola daya
sama dengan pola medannya. Semua pola
radiasi yang dibicarakan diatas adalah pola
radiasi untuk kondisi medan jauh. Pada
pengukuran pola radiasi, factor jarak adalah
factor yang amat penting agar diperoleh
hasil pengukuran yang baik dan teliti.
Semakin jauh jarak pengukuran pola radiasi
yang digunakan tentu akan semakin baik
hasil yang akan diperoleh. Namun untuk
melakukan pola radiasi pada jarak yang
benarbenar tidak terhingga adalah suatu hal
yang tidak mungkin. Untuk pengukuran ini,
ada suatu daerah dimana medan yang
diradiasikan oleh antena sudah dianggap
SEMNAS MIPA 2010

(14)

Karena poynting vektor hanya


mempunyai
komponen
radial
yang
sebenarnya berbanding lurus dengan kuadrat
magnitude medannya, maka untuk pola
radiasi daya apabila dinyatakan dalam pola
radiasi medan ternormalisasi tidak lain sama
dengan kuadrat dari pola medan yang sudah
dinormalisasikan, yaitu :

P , F ,

sebagai tempat medan jauh, yaitu apabila


jarak antara sumber radiasi dengan antena
yang diukur memenuhi ketentuan berikut:

(a)

(b)
(c)
Gambar 3. Contoh pola radiasi, (a)
komponen pola radiasi, (b)
untuk antena omnidiretional
2D, (c) 3D [4]
2.3. Return Power Loss
Pada saat gelombang elektromagnetik
melewati sebuah saluran transmisi dan
mengalami
ketidaksesuaian beban atau
mengalami diskontinuitas dalam saluran,
beberapa bagian dari daya masukan yang
dipantulkan kembali ke saluran transmisi.
Return power loss didefinisikan sebagai
sepuluh kali dari logaritma perbandingan

FIS - 20

antara daya
terpantulkan

masukan

terhadap

daya

Pi
Pr

Preturn 10 log

(18)

Dengan:
Preturn = Power Return Loss (dB)
Pi = daya masukan
Pr = daya terpantul
Karena P V

dengan R = Z0 = impedansi

intrinsik, maka,
Preturn 10 log

Dimana

Vi 2
Vr2

Preturn 20 log

(19)

sehingga

Vi
Vr

(20)

4U m
Pr

(23)

Perbedaan maksimum power gain


dengan direktivitas hanya terletak pada
jumlah daya yang digunakan. Direktivitas
dapat dikatakan sebagai power gain suatu
antena jika seluruh daya input menjadi daya
radiasi sehingga Pin=Pr. Power gain
menunujukkan bahwa antena nyata tidak
memenuhi pernyataan diatas karena terdapat
kerugian pada daya input. Bagian daya input
yang tidak muncul sebagai daya radiasi
diserap oleh antena dan struktur yang dekat
dengannya. Hal diatas menimbulkan definisi
baru yang disebut dengan efisiensi radiasi,
yaitu

Pr
, dengan e 1
Pi

Dengan : koefisien refleksi [7]

2.4. Gain

Sehingga power gain dapat dinyatakan


dengan G eD [7]. Gain juga dapat
didefinisikan sebagai kemampuan antena
memfokuskan gelombang EM untuk
dipancarkan atau diterima pada semua arah
atau arah tertentu saja. Pengukuran gain
berdasarkan atas data yang diperoleh dari
pengukuran pola radiasi antena, nilai yang
terbaca pada saat pengukuran di kurangi
dengan nilai antena pemancar [4].

Ketika sebuah antena digunakan


dalam sebuah sistem, efisiensi antena
digunakan untuk memindahkan daya yang
terdapat pada terminal input menjadi daya
radiasi [7]. Untuk menyatakan ini power
gain (Gain) didefinisikan sebagai 4 kali
hasil bagi antara intensitas radiasi pada suatu
arah dengan daya yang diterima oleh antena
penerima
dengan
pemancar,
yang
dinyatakan :

G ,

4U ,
Pin

(21)

4U m
Pin

(22)

Power gain dapat dinyatakan sebagai


fungsi dari dan , dan dapat juga
dinyatakan sebagai suatu harga pada suatu
arah tertentu. Jika tidak ada arah yang
ditentukan dan harga power gain tidak
dinyatakan sebagai suatu fungsi dari dan
, diasumsikan sebagai power gain.
Direktivitas dapat ditulis sebagai [7] :

SEMNAS MIPA 2010

3. METODOLOGI
3.1. Desain

Dengan G , adalah gain, dan U ,


adalah intensitas radiasi antena berturutturut dalam arah lintang () dan bujur
termasuk efek dari kerugian antena dan daya
input yang diterima antena. Definisi ini tidak
termasuk kerugian yang disebabkan oleh
ketidaksesuaian impendansi atau polarisasi.
Nilai maksimum power gain adalah :

(24)

Pada penelitian ini hal pertama yang


dilakukan adalah mendesain antena omni
directional dengan pengukuran yang telah
dilakukan.
Bentuk geomerti dari antena omni
directional tampak seperti Gambar 4 dengan
dimensi l1: 8,6 mm, l2: 19,4 mm, l3: 8,8 mm,
l4: 5,7 mm, w1: 3,5 mm, w2: 0,5 mm, w3: 1,5
mm, w4: 2 mm, w5: 1 mm , J1: 8,5 mm, J2:
8,5 mm, J3: 26,5 mm, fu : 2,3 mm, fg: 1,5 mm,
fw: 0,87 mm, t: 0,5 mm, d: 24,1 mm, wg: 5
mm, (WxL) : 15 x 70 mm2 [9].

FIS - 21

fabrikasinya yaitu dengan membuat 5 (lima )


larik.

Gambar 6. Hasil fabrikasi 5 larik. (atas)


tampak depan, (bawah)
tampak belakang
3.3. Pengukuran VSWR

Gambar 4. Desain antenna


Omnidirectional [9]

Pengukuran antenna yang telah di


fabrikasi dilalakukan dengan menggunakan
spectro analyzer di laboratorium jurusan
elektro ITS.
3.4. Pengukuran Pola Radiasi

Langkah
selanjutnya
adalah
pengikuran pola radiasi dari antenna omni
directional ini dengan memutar antenna
sebesar 360o dengan melakukan variasi
sudut 5o, antenna di putar dengan arah
horizontal dan vertikal agar di dapatkan pola
radiasi yang sesuai untuk mendapatkan
sinyal terkuat.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Fabrikasi dan pengukuran yang telah
dilakukan memberikan hasil bahwa untuk
antena mikrostrip dipol ganda untuk
omnidirectional yang bekerja pada frekuensi
2.4 GHz mempunyai pola radiasi sebagai
berikut:

Gambar 5. Desain untuk 5 larik double


layer, dimensi (W x L=217,5 x
70 mm2)
3.2. Fabrikasi antena
Langkah
selanjutnya
setelah
pembuatan
desain
antenna
adalah
memfabrikasi antenna. Alat dan bahan yang
digunakan pada fabrikasi antenna ini adalah
PCB jenis Fiber dengan nilai r sebesar 4.2
[2], feriklorit (FeClO3) [7], N-connector
female, dan kabel RG8. Dengan desain
antena yang telah dibuat maka proses
SEMNAS MIPA 2010

(a)
(b)
Gambar 7. Pola radiasi untuk kedua
antenna, (a) untuk antenna
strip feed line bertingkat (b)
untuk antena strip feed line
polos

FIS - 22

Kedua antena memiliki VSWR yang kurang


lebih sama yaitu 1,4

[5] Kraus, John Daniel.


McGraw Hill.

1988.

Anntenas,

[6] Balanis. 1997. Antenna Theory and Design.


Wiley.
[7] Susiloningsih, Esti, Yono Hadi P. 2009.
Pembuatan dan Karakterisasi antena
Microstrip dengan struktur satu feed line
dipole CPW dan dua patch untuk Repeater
dua arah. Jurnal Fisika dan aplikasinya:
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Gambar 8. Hasil pengukuran VSWR


antena5 array bertingkat

[8] Mimin, Fatiatur R, Yono Hadi P., 2005.


Karakterisasi Filter Microstrip Low Pass
dengan Metode FDTD dan Eksperimen.
seminar nasional pasca sarjana V:Institut
Teknologi Sepuluh Nopember .
[9] Y.-J.Wu, B.-H.Sun, J.-F.Li, and Q.-Z Liu,
2007.
Progres
In
Elecrtomagnetic
Research. Triple Band Omni-Directional
Antenna for WLAN Application, PIER
76,477-488.
[10] Pramono, Yono Hadi dkk. 2009. Prototipe
Antenna Bi-Horn Dengan Dua Arah Pola
Radiasi Dan Satu Feeding Monopole
Beroperasi Pada Freq.2,4 Ghz. Prosiding
T. Informatika, UPN. Yogyakarta.

Gambar 9. Hasil pengukuran VSWR


antena 5 array polos
5. KESIMPULAN
Dari data yang diperoleh tampak
bahwa untuk antena mikrostrip pada strip
feed line bertingkat dipol ganda 5 larik
dengan VSWR 1,4 dapat meradiasikan daya
maksimum 55 dB sehingga antena tersebut
bekerja pada gain 32 dB, pola radiasinya
adalah radial untuk vertikal maupun
horizontal dengan gain 24 dB. Hal ini layak
untuk digunakan untuk aplikasi yang lebih
nyata.

[11] Pramono, Yono Hadi dkk. 2005.


Karakterisasi Antena Mikrostip Patch 3
Ghz Secara Simulasi FDTD (Finite
Difference Time Domain) Dan Eksperimen.
Jurnal Fisika FLUX. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Surabaya.
[12] Pramono, Yono Hadi dkk. 2002. Analisa
Respon Frekuensi Antena Mikrostrip.
Prosiding Seminar Nasional Fisika dan
Aplikasinya. ITS, Surabaya.
[13] Pramono, Yono Hadi dkk. 2002. Analisa
Karakteristik Antena CPW Slot dan Patch
dengan FDTD. Prosiding Seminar Nasional
Fisika dan Aplikasinya. ITS, Surabaya.

6. DAFTAR PUSTAKA
[1] Hund,
Edgar.
1989.
Microwave
Comunications: Componenet and Circuit.
International Edition.
[2] Edwards, Terry. 1992. Foundations for
Microstrip Circuit Design, second Edition.
John Wiley & Sons Ltd.
[3] Program Teknisi Jardiknas, Antena dan
Propagasi Gelombang Radio, praktikum
Jaringan Nirkabel.
[4] Diktat Mata Kuliah, Dasar Teknik Antena

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 23

PENGARUH VARIASI FILLER Fe3O4 DALAM KOMPOSIT


FEROGEL BERBASIS PASIR BESI KEDIRI TERHADAP
MAGNETO-ELASTISITASNYA
Bayu Sasono Agung Nugroho dan Sunaryono.
Jurusan Fisika FMIPA UM, Jl. Surabaya 6 Malang 65145 Tlp. (0341) 552125
E-mail : bay_zash@yahoo.com

Abstrak
Fabrikasi Ferogel didapatkan dari komposit hidrogel (campuran polivinil alkohol dan air) dengan filler
partikel magnetit Fe3O4 dalam ukuran mikro dan nano. Filler partikel magnetit Fe3O4 dalam ukuran
mikro dan nano difabrikasi dari pasir besi alam dari sungai Brantas Kediri. Bahan dasar yang
digunakan dalam fabrikasi partikel nano Fe3O4 adalah pasir besi, HCl (PA 99.9%), dan NH4OH (PA
99.9%). Setelah partikel Fe3O4 dalam ukuran mikro dan nano selesai difabrikasi, dilakukan karakterisasi
menggunakan alat XRD, SEM, dan VSM, masing-masing dilakukan untuk mengetahui fasa-fasa partikel,
ukuran partikel dan sifat kemagnetannya. Hasil penelitian menghasilkan partikel mikro Fe3O4 dengan
ukuran 0,5 5,0 m, sedangkan partikel nano Fe3O4 dari karakterisasi XRD dan dihitung dengan
persamaan Scherrer didapatkan ukuran partikel 9,8 nm, sedangkan dari hasil SEM didapatkan ukuran
partikel nano Fe3O4 127,3 nm, perbedaan ukuran partikel nano hasil XRD dan SEM dimungkinkan
karena adanya aglomerasi partikel nano Fe3O4 sehingga sulit difoto menggunakan SEM. Hasil VSM
menunjukkan bahwa partikel mikro Fe3O4 memiliki nilai magnetisasi remanen (Mr) lebih besar
dibandingkan partikel nano Fe3O4 begitu juga untuk medan koersivitas (Hc) pada partikel mikro memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan partikel nano. Karakterisai magneto-elastisitas ferogel menunjukkan
bahwa batas ambang medan magnet mengalami penurunan seiring bertambahnya konsentrasi Fe3O4
terhadap simpangan dan pemuluran ferogel, dan ferogel dengan filler partikel mikro Fe3O4 lebih sensitif
terhadap pengaruh perubahan medan magnet dibandingkan filler partikel nano Fe3O4.
Kata kunci: pasir besi, partikel nano Fe3O4, kopresipitasi, ferogel, magneto-elastisitas.

1. PENDAHULUAN
Dewasa ini penelitian sains dan teknologi
berbasis
kemagnetan
mengalami
perkembangan yang cukup pesat, salah
satunya adalah kajian tentang partikel
magnetik. Partikel magnetik merupakan
bahan dasar fabrikasi hidrogel magnetik
(ferogel) dan fluida magnetik (ferofluida).
Kajian sains (ilmiah) dan kemungkinan
pemanfaatan dari
partikel
magnetik
sangatlah diharapkan dalam dunia industri
maupun penelitian. Dari partikel magnetik
ini dapat dimanfaatkan sebagai otot buatan
(artificial muscles), magnetic fluid/hydrogel
hyperthermia, separasi immunomagnetic
dari sel, penentuan dan pelacakan campuran
(compound) aktif secara biologis, dan agen
kontras untuk investigasi MRI [9].
Penelitian yang telah dilakukan oleh
Li dkk [6] telah membuat gel dengan bahan
dasar polimer yaitu poly n-isopropyl
acrylamide (PNIPA) dan polyacrylamide.
Zrinyi dan Szabo [15] mengembangkan gel
yang sensitif terhadap medan magnet, dalam
SEMNAS MIPA 2010

gel tersebut terdapat partikel magnet


berbentuk koloid yang terdispersi di
dalamnya. Kemudian Ramanujan R.V. dan
L.L.Lao telah membuat komposit dengan
bahan
polivinil
alkohol
(polyvinyl
alcohol/PVA) dan Fe3O4 (ferit), mereka
memadukan sifat elastik dari PVA gel dan
sifat magnetik dari partikel Fe3O4 berukuran
mikrometer [11].
Partikel oksida besi (Fe3O4) dalam
ukuran nano dapat dihasilkan dengan cara
mencampurkan larutan garam besi II (FeCl2)
dan garam besi III (FeCl3) ke dalam larutan
amonium hidroksida sehingga dihasilkan
reaksi
pengendapan.
Banyak
kajian
penelitian yang telah berhasil mensintesis
oksida besi dalam ukuran nano dari bahan
dasar pasir besi. Bahan dasar pasir besi
apabila dilarutkan ke dalam asam klorida
akan mendapatkan larutan garam besi II
(FeCl2) dan garam besi III (FeCl3) [13].
Untuk memperoleh partikel nano Fe3O4
digunakan beberapa metode, metode-metode
yang digunakan selama ini adalah metode

FIS - 24

sol
gel,
hidrolisis
terkontrol,
dan
kopresipitasi dalam air. Dari ketiga metode
sintesis tersebut, metode kopresipitasi yang
paling sederhana untuk dilakukan. Hal ini
dikarenakan prosedur kerjanya lebih mudah
dilakukan dan memerlukan suhu reaksi yang
cukup rendah (< 100 0C).
Polivinil alkohol pertama kali
ditemukan oleh Hermann dan Haehnel pada
tahun 1924 dengan cara hidrolisis polivinil
asetat dalam etanol dengan potassium
hidroksida. Polivinil alkohol merupakan
polimer yang berwarna putih dan berbentuk
granula, dapat larut dalam air panas, dan
tidak dapat larut dalam air dingin. Dalam
banyak aplikasi biasanya polivinil alkohol
dilarutkan dalam air [12]. Polivinil alkohol
merupakan polimer yang telah dipelajari
secara
intensif,
karena
banyaknya
karakteristik yang menarik daripadanya,
khususnya dalam kemampuan membentuk
film dan gel, serta sifat fisisnya yaitu high
hidrophilicity,
processability,
biocompatibility dan resistan kimia yang
baik [4].
Ferogel
merupakan
penemuan
terbaru yang sangat penting dari bidang
fisika berbasis partikel magnetik. Suatu gel
merupakan hasil ikat silang (cross-linked)
polimer yang disebarkan pada suatu fluida.
Jika gel ini diberi filler ferofluida atau
partikel magnetik, maka gel akan sensitif
terhadap medan magnet luar dan ini disebut
sebagai ferogel. Dalam ferogel, partikel
magnetik terdistribusi secara merata di
dalam cairan yang dapat mengembang dan
menempel dalam rantai-rantai jaringan yang
fleksibel oleh pengaruh gaya adhesi. Dari
kondisi ini bahan-bahan penyusun ferogel
yaitu filler oksida besi yang bersifat
magnetik, dan PVA yang bersifat elastik
akan membawa sifat asalnya masingmasing. Sehingga dari kombinasi ini, jika
ferogel didekatkan pada medan magnet akan
tertarik dan bersifat elastik [11]. aplikasi
yang sudah dikembangkan dari ferogel
sekarang ini. Dalam bidang biosains dan
bioteknologi, ferogel digunakan untuk
penentuan
dan pelacakan campuran
(compound) aktif secara biologis, imobilisasi
dan modifikasi campuran aktif secara
biologi, dan sebagai agen kontras untuk
investigasi MRI. Dalam bidang kesehatan
ferogel telah dimanfaatkan untuk terapi
kanker (hyperthermia) [10]. Sementara
SEMNAS MIPA 2010

aplikasi yang lain adalah untuk pembuatan


otot tiruan (artificial muscles) dan aktuator
[9].
2. METODE PENELITIAN
Sintesis Fe3O4 dalam ukuran mikro
diperoleh dengan mengekstrak pasir besi
menggunakan magnet permanen. Pasir besi
hasil
ekstrakan
digerus
dengan
menggunakan mortal hingga terbentuk
partikel berukuran mikro dan sintesis Fe3O4
dalam ukuran nano dilakukan dengan cara
mengekstrak pasir besi menggunakan
magnet permanen. Pasir besi hasil ekstrakan
dilarutkan dalam HCl dan diendapkan di
dalam larutan NH4OH dengan metode
kopresipitasi. Partikel hasil penggerusan dan
pengendapan dikarakterisasi XRD, SEM,
dan VSM untuk mengetahui berapa jumlah
fasa,
ukuran
partikel
dan
sifat
kemagnetannya.
Ferogel
disintesis
dengan
mencampur PVA dan aquades dengan
perbandingan massa 23:100. Campuran
kemudian diaduk dan dipanaskan dalam
magnetic stirrer pada suhu antara 70-90 C
untuk meningkatkan kelarutan PVA dalam
aquades. Setelah PVA benar-benar larut
dalam
aquades,
kemudian
Fe3O4
dimasukkan
dalam
larutan
dengan
konsentrasi Fe3O4 5%; 10%; 15%; 20%;
25% dari massa hidrogel (PVA + aquades)
selanjutnya diaduk hingga merata, dan
larutan didinginkan dan dipanaskan secara
berulang-ulang hingga terbentuk gel yang
diinginkan. Ferogel yang telah terbentuk
kemudian dibuat silinder dengan panjang 10
cm dan diameter 6 mm untuk karakterisasi
magneto-elastisitas.
Karakterisasi
magneto-elastisitas
ferogel dapat diketahui dari proses
penyimpangan dan pemuluran ferogel
setelah mendapat pengaruh medan magnet
luar. Karakterisasi simpangan ferogel di
dalam pengaruh kekuatan medan magnet, set
alat eksperimennya ditunjukkan oleh
Gambar 1, Gambar 1(a) menunjukkan
ferogel dalam kondisi awal sebelum di beri
medan
magnet
dan Gambar
1(b)
menunjukkan adanya penyimpangan ferogel
karena adanya medan magnet. Bagian atas
ferogel dibuat tetap sedangkan ferogel
bagian bawah bebas menyimpang sesuai

FIS - 25

dengan kekuatan medan magnet


digunakan.

yang

magnet

Ferogel
simpangan
(a)

(b)

Gambar 1. Set Alat Eksperimen


Karakterisasi Simpangan
Ferogel: (a) Tanpa Medan
Magnet; (b) dengan Medan
Magnet
Sedangkan karakterisasi pemuluran
ferogel, ditunjukkan oleh set alat ekperimen
Gambar 2. Gambar 2(a) menunjukkan
ferogel dalam kondisi sebelum di beri
medan
magnet
dan Gambar
2(b)
menunjukkan adanya pemuluran ferogel
karena kekuatan medan magnet. Dari set alat
eksperimen ini kebergantungan pemuluran
terhadap konsentrasi Fe3O4 di dalam
pengaruh kekuatan medan magnet dapat
diamati.

Pemuluran
(b) magnet

Gambar 2. Set alat Eksperimen


Karakterisasi Pemuluran
Ferogel: (a) Tanpa Medan
Magnet; (b) dengan Medan
Magnet
3. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Analisis Data Partikel Magnetit (Fe3O4)
Karakterisai XRD
Hasil search-match
menunjukkan
bahwa partikel ukuran mikro hasil difraksi
sinar-X memiliki pola difraksi yang sama
dengan pola difraksi Fe3O4 yang memiliki
no PDF 11-0614 seperti ditunjukkan pada
gambar 3.

SEMNAS MIPA 2010

Hasil karakterisasi partikel mikro Fe3O4


setelah dianalisis dengan program Rietica

didapatkan fasa-fasa partikel mikro


Fe3O4 hasil XRD sesuai dengan model
dan hasil analisis fasanya seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Pola Difraksi Sinar-X Partikel


Mikro Fe3O4 dengan Program
Rietica

Ferogel

(a)

Gambar 3. Pola Difraksi Sinar-X Partikel


Mikro Fe3O4

Sedangkan pada partikel nano Fe3O4


dengan pengujian difraksi sinar-X hasilnya
menunjukkan bahwa puncak yang terdeteksi
pada pola difraksi didominasi fasa Fe3O4.
Analisis search match untuk sampel nano
Fe3O4 menghasilkan pola difraksi yang sama
dengan pola difraksi Fe3O4 yang memiliki
no PDF 03-0863 seperti ditunjukkan pada
gambar 5.
Hasil karakterisasi partikel nano
Fe3O4 setelah dianalisis dengan program
Rietica didapatkan fasa-fasa partikel nano
Fe3O4 hasil XRD sesuai dengan model dan
hasil analisisnya seperti ditunjukkan pada
Gambar 6. Melalui persamaan Scherrer
ukuran kristal partikel nano adalah 9,8 nm

FIS - 26

Gambar 5. Pola Difraksi Sinar-X Partikel


Nano Fe3O4

perbesaran
50.000
kali,
hasilnya
menunjukkan bahwa ukuran partikel sekitar
127,3 nm. Hasil pengujian ini berbeda
dengan ukuran kristal hasil difraksi sinar-X
yaitu sekitar 9,8 nm. Karakterisasi ukuran
partikel menggunakan SEM didapatkan data
partikel yang tidak dalam orde nano, hal ini
dimungkinkan karena adanya aglomerasi
antara partikel nano Fe3O4 sehingga sulit
untuk difoto dengan SEM. Aglomerasi
antara partikel bisa disebabkan oleh
preparasi sampel yang kurang sempurna atau
penggerusan sampel setelah di oven tidak
merata. Hasil foto SEM partikel nano Fe3O4
ditunjukkan oleh Gambar 8.

Gambar 6. Pola Difraksi Sinar-X Partikel


Nano Fe3O4 dengan Program
Rietica
Karakterisasi SEM
Hasil pengujian SEM dimaksudkan
untuk mendapatkan data yang lebih akurat
sebagai data pendukung untuk akurasi
ukuran kristal yang diperoleh dari hasil
difraksi sinar-X. Hasil pengujian SEM
dengan perbesaran 10.000 kali menunjukkan
bahwa ukuran Fe3O4 untuk partikel mikro
sekitar 0,5 - 5,0 m, seperti ditunjukkan
pada Gambar 7.

Gambar 8. Foto Pengujian SEM Partikel


Nano Fe3O4
Karakterisasi VSM
Data keluaran hasil pengujian VSM
dari partikel Fe3O4 berupa kurva histerisis
magnetisasi (M) dengan medan magnet (T),
seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Kurva
histerisis hasil pengujian menentukan nilai
magnetisasi saturasi (Ms), magnetisasi
remanen (Mr), dan medan koersivitas (Hc)
dari partikel mikro dan nano, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Besaran-Besaran Magnetisasi
dan Medan Magnet Partikel
Fe3O4
Ukuran
Mr
Ms
Partikel
(emu/gram) (emu/gram)
0,5 5,0 m
10,27
54,48
9,8 nm

Gambar 7. Foto Pengujian SEM Partikel


Mikro Fe3O4
Pengukuran partikel nano Fe3O4
dilakukan
pengujian
SEM
dengan
SEMNAS MIPA 2010

4,05

17,74

Hc
(Tesla)
0,019
0,017

Pada Tabel 1. dapat dilihat nilai magnetisasi


remanen (Mr) partikel mikro Fe3O4 10,27
emu/gram lebih besar dibandingkan partikel
nano Fe3O4 4,05 emu/gram, begitu juga

FIS - 27

untuk medan koersivitas (Hc) pada partikel


mikro Fe3O4 memiliki nilai yang lebih besar
yaitu 0,019 T dibandingkan dengan partikel
nano Fe3O4 yang besarnya 0,017 T. Maka
dapat disimpulkan bahwa partikel mikro
Fe3O4 memiliki sifat kemagnetan yang lebih
besar dibandingkan dengan partikel nano
Fe3O4.
Gambar 10. Grafik Simpangan Ferogel
dan Konsentrasi Filler Fe3O4
Partikel Mikro dan Partikel
Nano

Gambar 9. Kurva Histerisis Partikel


Fe3O4
Hasil pengujian VSM menunjukkan
bahwa partikel mikro mempunyai nilai
magnetisasi dan medan magnet yang lebih
tinggi dari pada partikel nano. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan ukuran
diameter partikel. Ukuran diameter partikel
terkait dengan domain yang dimiliki oleh
kedua sampel yaitu berupa domain tunggal
atau domain jamak. Partikel nano termasuk
dalam domain tunggal, hal ini dapat
dibuktikan dengan ukuran kristal hasil XRD
sekitar 9,8 nm, dengan demikian partikel
nano Fe3O4 hasil sintesis memiliki nilai
magnetisasi dan medan koersivitas lebih
rendah daripada partikel mikro Fe3O4 yang
termasuk daerah domain jamak.
Analisis Data Magneto-Elastisitas
Karakterisasi Simpangan Ferogel dalam
Pengaruh Medan Magnet
Analisis magneto-elastisitas pada
penelitian ini
menggunakan magnet
permanen dengan kekuatan medan magnet
sebesar 300 mT. Data hasil pengamatan
simpangan ferogel dalam pengaruh medan
magnet dapat ditunjukkan pada Gambar 10.
dan foto simpangan ferogel ditunjukkan oleh
Gambar 11.

SEMNAS MIPA 2010

(a)

(b)

Gambar 11. Foto Simpangan Ferogel


dengan Filler Partikel Mikro
Fe3O4; (a) Sebelum ada Medan
Magnet, (b) Setelah ada Medan
Magnet
Dari Gambar 10. terlihat bahwa dengan
bertambahnya konsentrasi filler Fe3O4,
simpangan ferogel semakin meningkat pula,
baik pada partikel mikro maupun nano
Fe3O4 dan setelah pengaruh medan magnet
dihilangkan ferogel kembali ke posisi
semula secara tiba-tiba. Simpangan yang
teramati dalam eksperimen ini adalah
simpangan maksimum yang dimiliki oleh
masing-masing ferogel dengan konsentrasi
Fe3O4 yang berbeda-beda
Nilai ambang yang tercatat pada
kedua partikel seperti terlihat pada Gambar
12, merupakan kekuatan medan magnetik
minimum
yang
diperlukan
untuk
menggerakkan simpangan pada posisi
maksimum dan setelah posisi ini terlampaui
simpangan naik secara tiba-tiba. Semakin
besar konsentrasi Fe3O4 maka nilai ambang
medan magnetnya semakin menurun.
Dengan demikian semakin besar konsentrasi
Fe3O4 maka perilaku ferogel semakin
sensitif terhadap perubahan medan magnet

FIS - 28

Gambar 12. Grafik Batas Ambang


Medan Magnet dan
Konsentrasi Filler Fe3O4
Partikel Mikro dan Partikel
Nano untuk Karakterisasi
Simpangan Ferogel
Karakterisasi Pemuluran Ferogel dalam
Pengaruh Medan Magnet
Seperti
pada
karakterisasi
penyimpangan ferogel, medan magnet
permanen
yang
digunakan
dalam
eksperimen sebesar 300 mT. Pengamatan
dilakukan dengan posisi vertikal dan data
diambil ketika ferogel dalam keadaan
setimbang. Pada saat pengambilan data tidak
ada perubahan pemuluran ferogel sebagai
akibat adanya gaya grafitasi. Hasil
pengamatan pemuluran ferogel dalam
pengaruh medan magnet ditunjukkan pada
Gambar 13, dan foto simpangan maksimum
ferogel ditunjukkan oleh Gambar 14.
Gambar 13. menunjukkan bahwa
semakin besar konsentrasi filler Fe3O4 baik
dalam ukuran mikro maupun nano maka
pemuluran ferogel semakin meningkat pula.
Pemuluran yang teramati dalam eksperimen
ini adalah pemuluran maksimum yang
dimiliki oleh kedua jenis ferogel dengan
konsentrasi Fe3O4 yang berbeda-beda. Batas
ambang medan magnet ferogel untuk
pemuluran ditunjukkan oleh Gambar 15.

(b)
Gambar 14. Foto Pemuluran Ferogel
dengan Filler Partikel Mikro
Fe3O4; (a) Sebelum ada Medan
Magnet, (b) Setelah ada Medan
Magnet
(a)

Gambar 15. Grafik Batas Ambang Medan


Magnet dan Konsentrasi Filler
Fe3O4 Partikel Mikro dan Partikel
Nano untuk Karakterisasi
Pemuluran Ferogel

Dari keseluruhan pengamatan, secara


umum dapat disimpulkan bahwa partikel
mikro
Fe3O4
lebih
efektif
untuk
menghasilkan penyimpangan dan pemuluran
di dalam pengaruh medan magnet permanen.
Partikel mikro Fe3O4 lebih sensitif dibanding
dengan partikel nano Fe3O4, hal ini terlihat
dari batas ambang medan magnet untuk
partikel mikro Fe3O4 lebih rendah dari pada
partikel nano Fe3O4. Hal ini tentunya tidak
terlepas dari pengaruh besarnya kandungan
magnetisasi
partikel
mikro
Fe3O4
dibandingkan dengan partikel nano Fe3O4
seperti pada data hasil VSM.
KESIMPULAN

1. Partikel mikro dan nano Fe3O4 telah


Gambar 13. Grafik Pemuluran Ferogel
dan Konsentrasi Filler Fe3O4
Partikel Mikro dan Partikel
Nano
SEMNAS MIPA 2010

berhasil difabrikasi dengan ukuran


partikel mikro 0,5 5,0 m, sedangkan
ukuran partikel nano dengan metode
kopresipitasi dari karakterisasi XRD

FIS - 29

didapatkan ukuran partikel 9,8 nm. Hasil


VSM menunjukkan bahwa partikel mikro
memiliki nilai magnetisasi remanen (Mr)
lebih besar dibandingkan partikel nano,
begitu juga untuk medan koersivitas (Hc)
pada partikel mikro memiliki nilai yang
lebih besar dibandingkan partikel nano,
maka dapat disimpulkan bahwa partikel
mikro Fe3O4 memiliki sifat kemagnetan
yang lebih besar dibandingkan dengan
partikel nano Fe3O4.
2. Batas
ambang
medan
magnet
menunjukkan
penurunan
dengan
bertambahnya konsentrasi Fe3O4 terhadap
simpangan dan pemuluran ferogel dan
ferogel dengan filler partikel mikro Fe3O4
lebih
sensitif
terhadap
pengaruh
perubahan medan magnet dibandingkan
filler partikel nano Fe3O4.
PUSTAKA
[1.]

A. H. Pudjaatmaka. 1989. Analisis Kimia


Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.

[2.]

Cullity B.D. 1972.


Magnetic Material.
Wesley.

[3.]

E. Goiti, M.M. Salinas, G. Arias, D.


Puglia, J.M. Kenny, C. Mijangos. 2007.
Effect of Magnetic NanoParticles on the
Thermal Properties of Some Hydrogels.
Polymers Degradation and Stability 92
(2007) 2198-2205.

[4.]

Hernandez,
Rebeca
dkk.
2004.
Viscoelastic Properties of Polyvinyl
alcohol Hydrogels and Ferrogels
Obtained through Freezing-Thawing
Cycles. Polymer 46 sciencedirect.

[5.]

L.L. Lao dan Ramanujan, R.V. 2004.


Magnetik and hydrogel composite
materials for hyperthermia applications.
Journal of materials science: Materials in
medicine 15 (2004) 1061-1064.

[6.]

Li Y, Hu Z and Chen Y. 1997. Shape


memorygels made by the modulated gel
technology. J.Appl. Polym.Sci. 63 1173-8.

[7.]

Liong, Sylvia. 2005. A Multifunctional


Approach to Development, Fabrication,
and
Characterization
of
Fe3O4
Composites. Disertasi, Georgia Institut of
Technology.

[8.]

Pratapa. S. 2004. Analisis Rietveld.


Jurusan Fisika ITS. Surabaya.

[9.]

Ramanujan,
R.V.
2004.
Clinical
application of magnetic nanomaterials.

SEMNAS MIPA 2010

Introduction to
USA. Addison

Proceeding
First
International
Bioengineering Conference, Singapore.
[10.] Ramanujan, R.V dan L.L. Lao (2004).
Magnetic Particles for Hyperthermia
Treatment of Cancer. Proceeding First
International Bioengineering Conference,
Singapore.
[11.] Ramanujan, R.V dan L.L. Lao. 2006. The
mechanical behaviour of smart magnethydrogel composites. Institute of Physics
Publishing : Smart Materials and
Structures 15.
[12.] S.K. Saxena. 2004. Polivinil alkohol
(PVA).
Chemicial
and
Technical
Assessment (CTA).
[13.] Sunaryono.
2008.
Fabrikasi
dan
Karakterisasi
Magneto-elastisitas
Hidrogel Magnetik berbasis Partikel
Nano Fe3O4. Tesis. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
[14.] Wilfried and H. Nowak.
Magnetism in Medicine. Wiley.

1998.

[15.] Zrinyi M and Szabo D. 2000. Muscular


contraction mimicked by magnetic gels
Proc. 7th Int. Conf. on ElektroRheological Fluids and MagnetoRheological Suspensions. (Honolulu, July
1999) ed R Tao (Singapore: World
Scientific) pp 11-7.

FIS - 30

FABRIKASI DAN KARAKTERISASI PROTOTIPE


SENSOR GAS NO2 BERBASIS LAPISAN TIPIS COPPER
PHTHALOCYANINE SEBAGAI SENSOR GAS YANG DAPAT
BEKERJA PADA SUHU RUANG
Fabrication and Characterisation of prototipe NO2 gas sensor
based Copper Phthalocyanine Thin Film as gas sensor
which operating in room temperature
Nasikhudin 1), Kuwat Triyana 2)
1) Universitas Negeri Malang , Jl. Semarang 5, Malang
2) Universitas Gadjah Mada , Jl. Sekip Utara Yogyakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan fabrikasi lapisan tipis Copper Phthalocyanine (CuPc) dengan menggunakan
elektroda emas (Au) yang dideposisikan di atas substrat kaca. Deposisi lapisan tipis CuPc dan elektroda
emas dilakukan dengan teknik lithography dengan metode vakum evaporasi pada tekanan vakum
(~6 x 10-4 Pa). Karakterisasi lapisan tipis CuPc dilakukan pada suhu kamar. Dari hasil karakterisasi
lapisan tipis CuPc merespon adanya gas uji yang ditunjukkan dengan peningkatan konduktivitasnya.
Lapisan tipis CuPc juga merespon variasi konsentrasi gas yang diberikan. Waktu respon dan waktu pemulihan lapisan tipis CuPc masing-masing sebeasr 55 detik dan 60 detik dan untuk konsentrasi yang
lebih tinggi diperlukan waktu yang lebih lama. Variasi ketebalan mempengaruhi respon sensor, lapisan
yang lebih tebal akan mempunyai sensitivitas yang lebih besar tetapi waktu respon dan pemulihannnya
akan lebih lama. Fungsi transfer dari respon CuPc terhadap perubahan konsentrasi gas uji berbentuk
fungsi polynomial, sehingga sensitivitas CuPc tidak konstan tetapi tergantung pada inputnya. Lapisan
tipis CuPc memiliki stabilitas yang rendah dalam merespon gas uji, oleh karena itu perlu optimasi untuk
meningkatkan stabilitas lapisan tipis CuPc agar dapat dimanfaatkan sebagai sensor gas yang memadai.
Kata kunci: Lapisan tipis CuPc, Sensor gas, lithography, vakum evaporasi, koduktivitas, waktu respon,
waktu pemulihan, sensitivitas, stabilitas

1. PENDAHULUAN
Selama ini teknologi lapisan tipis sebagai elemen dasar sensor gas mengarah
kepada bentuk Metal Oxide Semiconductor
(MOS). Penelitian tentang sifat MOS sebagai sensor gas, yaitu menggunakan lapisan
tipis dari bahan-bahan anorganik seperti
ZnO, CeO, SnO, maupun TeO2. Temperatur
dimana sensor MOS dapat bekerja secara
efisien tergantung pada atmosfer gas dan
sifat bahan, dalam kasus ini suhunya sekitar
2000C8000C (Peter, 2004), karena jauh dari
suhu kamar maka harus ditambahkan sistem
pemanas pada pemakaian sensor ini. Selain
itu, sensor gas dengan bahan anorganik juga
membutuhkan biaya fabrikasi yang relatif
mahal.
Selain menggunakan bahan anorganik, sensor gas dapat dibuat dengan memanfaatkan bahan organik. Salah satunya bahan

SEMNAS MIPA 2010

organik yang dapat dimanfaatkan sebagai


sensor gas yaitu Metal Phthalocyanine
(MPc). Satu hal yang istimewa dari sensor
gas MPc dibandingkan dengan Inorganic
Metal Oxide, yaitu dapat dioperasikan pada
temperatur yang jauh lebih rendah. Untuk
inorganic metal oxide sensing gas hanya
bisa dilakukan pada suhu tinggi (diatas
3000C), sedangkan sensor gas MPc selalu
dapat dioperasikan pada suhu operasi di
bawah 2000C, bahkan pada suhu kamar (Lee
dkk, 2004).
Salah satu MPc yang menunjukkan
respon terhadap gas khususnya gas NO2
yaitu Copper Phthalocyanine (CuPc), sehingga mempunyai prospek sebagai sensor
gas NO2. CuPc dapat dibuat dalam bentuk
lapisan tipis dengan kemurnian yang tinggi
dan konduktivitas lapisan tipis CuPc dipengaruhi oleh gas yang berada di sekitarnya,
karena terjadi adsorbsi molekul-molekul gas
FIS - 31

pada permukaan lapisan tipis CuPc. CuPc


dapat digunakan sebagai sensor gas dalam
bentuk lapisan tipis semikonduktif untuk
mendeteksi NO2 dan Cl2 (Guilaud dkk,
1998).
CuPc merupakan semikonduktor
organik tipe-p yang menunjukkan sensitivitas yang sangat tinggi untuk mendeteksi gas
seperti NO2 dan Cl2. Sensitivitas yang tinggi
tersebut diakibatkan adanya interaksi gas
dengan lapisan tipis CuPc dengan jumlah
pembawa muatan yang besar dalam konduktivitas lapisan tersebut.
Sensor gas berbahan MPc dapat diproduksi dengan desain dan optimasi lapisan
tipis dengan sensitivitas, selektivitas dan
stabilitas (sss) dengan tingkat yang berbeda.
Interaksi antara lapisan phtalocyanine dan
gas mungkin diklasifikasikan dalam beberapa bagian, diantaranya irreversible chemical
affinity, reversible chenical reaction or bulk
sorption. Interaksi ini menghasilkan perubahan deteksi dalam sifat fisis lapisan termasuk konduktivitas, massa, dan sifat-sifat
optik lainnya.
Dalam penelitian ini, akan dibuat lapisan tipis CuPc dalam bentuk thin film
untuk diteliti karakteristik responnya terhadap gas uji. Penelitian ini meliputi pembuatan lapisan tipis CuPc dengan menggunakan
vacuum evaporator dan karakterisasi lapisan
tipis CuPc sebagai sensor gas.
2. METODE EKSPERIMEN
Penumbuhan lapisan tipis dilakukan
dengan teknik evaporasi menggunakan
vacuum evaporator system seri JEE 4 x
EM300023 144 RA. Mula-mula substrat
kaca dibersihkan dengan acetone, detergen,
acetone dan alcohol 96% secara berturutturut masing-masing selama 1 jam menggunakan ultrasonic cleaner. Setelah itu substrat kaca dikeringkan dan selanjutnya dilakukan pendeposisian bahan menggunakan
vacuum evaporator pada tekanan 6 10-4 Pa.
Deposisi elektroda emas (60 mg) dilakukan
dengan teknik lithografi dengan arus 40 A
selama 15 menit. Sedangkan deposisi
CuPc (140 mg) dilakukan dengan arus 30 A
selama 30 menit. Susunan piranti hasil
deposisi seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1.

SEMNAS MIPA 2010

Au

CuPc

Au

Substrat Kaca
(a)
S

le b a r 7 5 m

(b)

Gambar 1. (a). Susunan piranti lapisan


tipis CuPc, (b) Pola interdigital
(panjang dan lebar kanal
masing-masing 75m dan
5mm).
Karakterisasi piranti dilakukan di dalam tabung karakterisasi yang di dalamnya
diletakkan sensor gas dan tabung dilengkapi
dengan kran sebagai tempat pemberian gas
dan pengeluarannya. Pengukuran dilakukan
pada suhu kamar dengan menggunakan alat
ukur UNI-T UT50A untuk pengukuran arustegangan dan Escort EDM508 untuk pengukuran resistansi. Pengukuran yang dilakukan terdiri dari pengukuran arus-tegangan,
pengukuran resistansi terhadap waktu, dan
pengukuran resistansi terhadap konsentrasi
gas.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon sensor terhadap perbedaan
konsentrasi gas uji
Pada gambar 4 dapat diamati bahwa
pada pemberian gas uji dengan konsentrasi
yang berbeda yaitu C1, C2, dan C3 memberikan perubahan nilai resistansi yang
berbeda. Semakin besar konsentrasi gas uji
yang diberikan semakin besar perubahan
nilai resistansi dari CuPc. Hal ini karena semakin besar konsentrasi gas yang diberikan,
maka semakin banyak molekul gas yang
diadsorpsi sehingga transver pembawa
muatan yang terjadi juga semakin banyak
dan pembawa muatan hole juga akan semakin banyak.

FIS - 32

45
C1
C2
C3

40

35

30

25

20
0

20

40

60
Waktu (detik)

80

100

120

Gambar 4. Grafik Pengaruh konsentrasi


pada respon CuPc
Semakin besar konsentrasi gas uji
yang diberikan semakin besar kenaikan konduktivitasnya. Hal ini berarti dengan adanya
gas uji yang diberikan, konduktivitas dari
lapisan tipis CuPc semakin meningkat. Persamaan reaksi yang diberikan oleh Zhivkov
dkk (2004) sehubungan dengan interaksi
antara molekul gas dan molekul material
adalah sebagai berikut:
CuPc + jA
+ (j-m)A
+ (j-m)A

adsoption
Charge
transver

CuPc + (m)A(ads)

CuPc+ + A- +(m-1)A(ads)
(2)

delocalization

CuPc + h++ A+(m-1)A(ads) + (j-m)A

Setelah adanya absorpsi gas, maka


elektron dialirkan dari rantai CuPc terhadap
akseptor molekul gas (A2) dan lubang yang
berada pada lapisan dalam keadaan tidak terlokalisasi (bergerak bebas). j adalah jumlah
dari akseptor molekul gas yang berada di sekeliling rantai Pc, m adalah jumlah molekul
gas yang diadsorpsi oleh molekul Pc, dan h+
adalah lubang yang bebas, sehingga semakin
banyak lubang yang bebas maka arus yang
mengalir akan semakin tinggi karena konduktivitasnya bertambah.
Pada kasus adsorpsi molekul NO2
pada permukaan CuPc, molekul gas NO2
menggantikan tempat adsorpsi molekul O2
pada permukaan CuPc, dan ini akan membutuhkan waktu respon yang lama. Penggantian molekul O2 oleh NO2 tetap akan
meningkatkan konduktivitas CuPc, karena
O2 meningkatkan konduktivitas yang lebih
kecil daripada NO2, sehingga NO2 dapat
SEMNAS MIPA 2010

dideteksi dalam kehadiran O2 (Dogo dkk,


1992).
Dari ketiga grafik tersebut dapat diamati bahwa piranti menunjukan waktu
respon yang berbeda untuk konsentrasi gas
yang berbeda. Pada konsentrasi C1 waktu
responnya sekitar 55 detik, untuk C2 waktu
responnya sekitar 60 detik, dan untuk
konsentrasi C3 waktu responnya sekitar 65
detik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zhou dkk (1996) yang mengatakan
bahwa waktu respon juga tergantung pada
konsentrasi NO2 yang diujikan dan juga
temperaturnya.
Dari ketiga konsentrasi gas yang diujikan, menunjukkan bahwa semakin besar
konsentrasi gas uji yang diberikan waktu
respon dari lapisan tipis CuPc semakin lama.
Hal ini disebabkan karena lapisan tipis CuPc
membutuhkan waktu tertentu untuk mengadsorpsi molekul gas yang berada di sekitarnya, sehingga semakin besar konsentrasi gas
uji (semakin banyak jumlah molekul gas),
waktu yang diperlukan untuk mengadsorpsi
gas tersebut juga semakin lama. Dalam
kasus molekul NO2 yang mengganti molekul
O2 pada permukaan CuPc akan membutuhkan waktu respon tertentu (Dogo dkk,1992).
Pengaruh ketebalan lapisan terhadap
respon CuPc.
Untuk mengetahui pengaruh ketebalan lapisan terhadap respon CuPc, dibuat dua
lapisan tipis CuPc dengan ketebalan yang
berbeda. Kedua Lapisan CuPc dideposisikan
pada tekanan yang sama (6x10-4 torr) dengan
arus yang sama (35A), tapi lapisan pertama
dideposisikan selama 60 menit, sedang
lapisan kedua dideposisikan selama 30
menit. Pada kedua lapisan tersebut
dilakukan pengukuran resistansi terhadap
waktu, sehingga diperoleh hasil seperti pada
Gambar 5.
45
60 menit
30 menit

40

35

30

25

20

15
0

40

80

120
Waktu (detik)

160

200

240

FIS - 33

Gambar 5. Grafik respon CuPc dengan


waktu deposisi yang berbeda
Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa lapisan yang lebih tipis (waktu deposisi 30
menit) menunjukkan waktu respon dan
waktu pemulihan yang lebih cepat terhadap
gas uji dibandingkan lapisan yang lebih
tebal (waktu deposisi 60 menit). Hal ini
mungkin disebabkan karena pada lapisan
yang lebih tebal adsorpsi molekul gas dapat
masuk lebih dalam sampai pada bulk kristal,
sehingga proses desorpsi juga menjadi lebih
sulit, oleh karena itu diperlukan waktu yang
lebih lama.
Pada suhu kamar proses pemulihan
akan lebih cepat pada ketebalan lapisan yang
kecil, semakin tebal lapisan maka proses
pemulihan semakin lama. Peningkatan ketebalan menyebabkan proses pemulihan menjadi lebih lambat karena adanya penetrasi
molekul NO2 ke dalam bulk kristal (Lee dkk,
2004). Dengan penetrasi molekul NO2 ke
dalam bulk kristal, maka proses desorpsi
akan menjadi lebih sulit, karena molekul
NO2 terperangkap di dalam lapisan tersebut.
Pada penelitian ini lapisan CuPc yang lebih
tebal tidak dapat merespon gas dengan baik
pada pengukuran berikutnya, hal ini mungkin disebabkan karena adanya molekul NO2
yang terperangkap dalam lapisan tersebut.
Pada gambar 5 juga dapat dilihat bahwa dengan pemberian konsentrasi gas uji
yang sama (C1), lapisan yang lebih tebal
mengalami perubahan resistansi yang lebih
besar. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan
yang lebih tebal mempunyai sensitivitas
yang lebih besar. Dengan meningkatnya ketebalan, ukuran butir kristal juga meningkat,
sehingga jarak antar butir semakin longgar
(Lee dkk, 2004). Dengan longgarnya jarak
antar butir kristal ini memungkinkan
adsorpsi molekul NO2 akan lebih banyak karena ada sebagian molekul NO2 yang masuk
sampai ke dalam bulk kristal.
Sensitivitas
Menurut Fowler dan Schmalzel
(2003), sensitivitas menyatakan seberapa
efisien konversi sensor mengubah input
yang ada menjadi output sensor, dan parameter ini akan mempengaruhi pengolahan
sinyal berikutnya. Untuk mengetahui sensitivitas lapisan tipis CuPc, dilakukan pengujian piranti dengan memberikan variasi
SEMNAS MIPA 2010

konsentrasi gas uji. Pada penelitian ini


variasi konsentrasi yang diberikan antara C1
sampai C10, seiring dengan variasi konsentrasi gas yang diberikan dilakukan juga
pengukuran resistansinya. Dari data pengukuran, dapat diperoleh grafik seperti pada
Gambar 6.
40
8

Y = M0 + M1*x + ... M8*x

35

30

25

+ M9*x

M0

39.731

M1

-9.0204

M2

2.028

M3

-0.4257

M4

0.063891

M5

-0.0050832

M6

0.00015614

0.99995

20

15

10
0

4
6
Konsentrasi gas uji (C)

10

Gambar 6. Grafik respon CuPc terhadap


perubahan konsentrasi gas uji.
Pada Gambar 6 dapat dilihat hubungan resistansi terhadap konsentrasi gas uji
menghasilkan grafik yang tidak linier tetapi
cenderung berbentuk polynomial, sehingga
fungsi transfer juga berbentuk polynomial.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada pemberian gas dengan konsentrasi kecil, respon
CuPc yang berupa perubahan resistansi yang
terjadi cukup besar. Hal ini dimungkinkan
karena pada permukaan lapisan tipis CuPc
masih banyak tempat adsorpsi yang masih
kosong yang dapat ditempati oleh molekulmolekul gas. Sedangkan untuk pemberian
gas dengan konsentrasi yang lebih besar dan
lebih besar lagi, respon CuPc tidak akan
linier karena perubahan resistansi yang
terjadi tidak akan sebesar yang terjadi pada
perubahan konsentrasi sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena tempat adsorpsi yang semakin berkurang seiring dengan semakin banyaknya molekul gas yang telah diadsorpsi.
Dari hasil perhitungan dari grafik di
atas didapatkan bahwa nilai sensitivitas yang
diperoleh tidaklah konstan, tetapi tergantung
pada nilai inputnya karena respon sensor
yang tidak linier. Menurut Fraden (2003),
untuk fungsi transfer yang tidak linier, maka
sensitivitas (kemiringan grafik) tidak akan
memiliki nilai yang konstan, tetapi akan

FIS - 34

tergantung pada nilai inputnya (konsentrasi


gas).
4. KESIMPULAN
Dari hasil karakterisasi I-V diketahui
bahwa kontak yang terjadi antara CuPc dan
Au bersifat ohmik, dan lapisan tipis CuPc
merespon adanya gas uji yang ditunjukkan
dengan
peningkatan
konduktivitasnya.
Waktu respon dan waktu pemulihan lapisan
tipis CuPc masing-masing sebeasr 55 detik
dan 60 detik dan untuk konsentrasi yang
lebih tinggi diperlukan waktu yang lebih
lama. Variasi ketebalan mempengaruhi
respon sensor, lapisan yang lebih tebal akan
mempunyai sensitivitas yang lebih besar
tetapi waktu respon dan pemulihannnya
akan lebih lama. Fungsi transfer dari respon
CuPc terhadap perubahan konsentrasi gas uji
berbentuk fungsi polynomial, sehingga sensitivitas CuPc tidak konstan tetapi tergantung pada inputnya. Lapisan tipis CuPc
memiliki stabilitas yang rendah dalam merespon gas uji, oleh karena itu perlu optimasi
untuk meningkatkan stabilitas lapisan tipis
CuPc agar dapat dimanfaatkan sebagai
sensor gas yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA

and Field Effect Transistors, Elsevier, p 14331484.


Lee, Y.L., Sheu, C.Y., Hsiao, R.H., 2004, Gas
sensing characteristics of copper phthalocyanine
films: effects of film thickness and sensing
temperature,
Department
of
Chemical
Engineering, National Cheng Kung University,
Tainan 70101, Taiwan.
Peter, T.I., 2004, Design, Fabrication and
Characterization of Thick Film Gas Sensor,
Doctoral Thesis, Universitas Rovira ivirgili,
Department
dEnginyeria
Electrovica,
Tarragona, Spain.
Szuber, J., Dziel, L.G., 2001, Photoemission
study of the electronic properties of in situ.
prepared copper phthalocyanine CuPc thin films
exposed to oxygen and hydrogen, Department of
Microelectronics, Institute of Physics, Silesian
Uni_ersity of Technology, Gliwice 44-100,
Poland.
Zhivkov, I., Spassova, E., Dimov, D., Danev, G.,
2004, Oxygen Influence on the Conductivity of
Copper Phthalocyanine Vacuum-Deposited Thin
Films, Elsevier, vacuum 76, p 237-40
Zhou, R., Jose. F., Gopel. W., Ozturk, Z.,
Bekaroglus, O., 1996, Phthalocyanine as
Sensitive Material For Chemical Sensors,
Applied Organometallic Chemistry, vol.10, page
557 577.

Brutting, W., 2005, Physics of Organic


Semiconductors, WILEY-VHC Verlag Gmbh
and Co. KGaA, Weinheim.
Dogo, S., Germain, J.P., 1992, Interaction of
NO2 with copper phthalocyanine thin films II"
Application to gas sensing, Laboratoire
d'Electronique (URA 830 CNRS), UniversitO
Blaise Pascal Clermont H, 63177 AubiOre
Cedex (France).
El-Nahass, M. M., Bahabri, F. S., Al Ghamdhi,
A. A., Al-Harbi S. R., 2002, Structural and
Transport Properties of Copper Phthalocyanine
(CuPc) Thin Films, Egypt. J. Sol, vol (25) no 2, p
307-320.
Fowler, K.R., Schmalzel., 2004, The First Stage
in the Measurement Chain, part 2 in series of
tutorial in instrumentation and measurement,
IEEE Instrumentation and Measurument
Magazine.
Fraden, J., 2003, Handbook of Modern Sensor,
Physics, Designs, and Applications, third edition,
Advance Monitors Corporation, San Diego,
California.
Guillaud, G., Simon J., Germain J. P., 1998,
Metallophthalocyanines Gas Sensors, Resistors

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 35

FABRIKASI DAN KARAKTERISASI ANTENA PANEL 2,4 GHZ


BERISI 4 LARIK MIKROSTRIP DOUBLE BI-QUAD
Ummi Puji Astutik, Yono Hadi Pramono
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Keputih, Surabaya, 61111
Telp : (031) 594 7302, Fax : (031) 593 1237
Email: ummi_why@yahoo.co.id

Abstrak
Telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi antena panel 2,4 GHz berisi 4 larik mikrostrip double biquad untuk komunikasi wifi.Struktur antena terdiri dari 4 larik mikrostrip double bi-quad yang simetri
dan terintegrasi dalam satu reflektor. Substrat yang digunakan untuk fabrikasi antena ini adalah FR4
single side dengan konstanta dielektrik 4,4. Fabrikasi dilakukan dengan metoda etching menggunakan
larutan Ferric Chloride[Fe(ClO2)3 ] Pengukuran karakteristik antena menggunakan Network Analyzer
Anritzu MS 8604A untuk melihat kinerja dari antena yang telah difabrikasi. Hasil karakterisasi
menunjukkan bahwa antena ini memiliki nilai VSWR 1,3 dan return loss sebesar -17,5 dB. Pola radiasi
antena adalah radial baik horisontal maupun vertikal. Pola radiasi horizontal memiliki nilai daya
maksimum 81 dB dengan HPBW 72,5 dan gain sebesar 18 dB. Antena ini dapat diaplikasikan sebagai
antena pengarah dan diharapkan dapat digunakan dengan baik untuk komunikasi wifi.
Kata Kunci : antena, mikrostrip, double bi-quad, larik

.
1. PENDAHULUAN
Meningkatnya
kebutuhan
akan
komunikasi dan informasi mendorong
perkembangan tekhnologi di bidang
telekomunikasi
khususnya
sistem
komunikasi nirkabel (wireless). Sistem
komunikasi nirkabel (wireless) adalah
sistem komunikasi dengan media transmisi
berupa
propagasi
gelombang
elektromagnetik tanpa harus terkoneksi
langsung dengan media kabel. Salah satu
komponen yang sangat mendukung dalam
sistem komunikasi nirkabel (wireless) ini
adalah antena, sebagai perangkat untuk
mengirim dan menerima energi serta
mengoptimalkan energi radiasi pada arah
tertentu. Jadi, antena adalah pendukung
utama
dalam
sistem
komunikasi
wireless[11].
Perkembangan istem komunikasi saat
ini, memerlukan antena dengan karakteristik
yang kecil, ringan, biaya produksi rendah,
proses fabrikasi yang mudah dan
konformal(dapat menyesuaikan dengan
tempat
di
mana
antena
tersebut
diletakkan).Oleh
karena
itu,diperlukan
disain dan bentuk antena yang mempunyai
gain tinggi, efisiensi tinggi serta bandwidth
lebar. Salah satu jenis antena yang cocok
dengan karakteristik tersebut adalah jenis

SEMNAS MIPA 2010

antena mikrostrip . Antena mikrostrip


mempunyai kelebihan di antaranya adalah
mempunyai penampang yang tipis, massa
yang ringan, mudah dalam pembuatannya,
dapat dengan mudah diintegrasikan dengan
microwave integrated circuits (MICs) serta
dapat dibuat untuk dual atau triple frekuensi
(multi frekuensi). Berbagai penelitian telah
dilakukan terhadap jenis antena mikrostrip
untuk mengurangi kelemahan-kelemahan
tersebut, di antaranya adalah dengan
melakukan berbagai variasi disain dan
bentuk, dengan memberikan slot pada patch
dari antenna mikrostrip, dan penambahan
jumlah array (larik). Dari fabrikasi dan
karakterisasi antenna yang diperoleh dalam
penelitian tersebut, ternyata masih ada
beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai
upaya untuk megoptimalkan hasil dari
penelitian. Bertolak dari pemikiran tersebut,
maka dalam penelitian ini dilakukan
fabrikasi dan karakterisasi antenna panel
mikrostrip double bi-quad 4 larik yang
bekerja pada frekuensi 2,4 GHz.
2.KAJIAN PUSTAKA
2.1 Antena Mikrostrip
Antena mikrostrip dapat didefinisikan
sebagai salah satu jenis antena yang
berbentuk seperti bilah/ potongan yang
FIS - 36

ukurannya sangat tipis /kecil terletak pada


papan (board) tipis berupa substrat. Secara
umum , struktur dari antena mikrostrip
terdiri atas tiga lapisan yaitu trace (patch),
dielektrik dan ground plane. Trace (Patch)
adalah lapisan teratas dari substrat dan
biasanya terbuat dari konduktor. Pada
lapisan trace(patch), akan dibuat suatu
bentuk tertentu misalkan lingkaran, persegi
panjang, segitiga atau bentuk lain untuk
mendapatkan suatu pola radiasi seperti yang
diinginkan. Lapisan yang disebut dielektrik,
merupakan bagian tengah dari substrat,
sedang groundplane adalah lapisan paling
bawah dari substrat yang berfungsi sebagai
reflektor untuk memantulkan sinyal yang
tidak diinginkan. Tebal patch dibuat sangat
tipis yaitu s<< 0 (s= tebal patch). Papan
tipis yang disebut substrat mempunyai
ketebalan antara 0,003 0 - 0,05 0 [11].

(substrat)

yang

digunakan.

dapat

dihitung dengan persamaan :

c
f r

(1)

Dengan c adalah kecepatan cahaya (3x10 8


m/s ), f adalah frekuensi kerja antenna
mikrostrip dan r adalah konstanta
dielektrik bahan. Disain antenna mikrostrip
double bi-quad dapat dilihat pada gambar
berikut :

Gambar 2.Disain antenna double bi-quad


2.3 Parameter Antena Microstrip
2.3.1 VSWR (Voltage Standing Wave ratio)

Gambar1. Struktur antena mikrostrip


[5]

VSWR
adalah
perbandingan
amplitudo gelombang berdiri (standing
wave) maximum (Vmax) dengan minimum
(Vmin) yang dinyatakan dalam persamaan :

2.2 Antena Double Bi-Quad

VSWR

Antena
bi-quad
merupakan
pengembangan dari antenna bentuk patch
segiempat (square) yang dipasangkan
sehingga berbentuk seperti bangun 2
belahketupat. Dari bentuk antenna bi quad
ini kemudian dikembangkan lagi bentuk
double bi-quad, dengan konstruk sama
dengan bi-quad tetapi elemennya di
gandakan, dengan kata lain bahwa antenna
double bi-quad adalah gabungan antara dua
bi-quad yang sisi-sisinya sama. . Antena
mikrostrip double bi-quad ini memiliki
ukuran panjang sisi

1
dari frekuensi
4

yang diinginkan.Ukuran panjang sisi sebesar

1
ini dimaksudkan untuk memenuhi
4
kondisi matching. dalam panjang sisi
1
tersebut adalah g , a g dengan g
4
merupakan dari bahan dielektrik
SEMNAS MIPA 2010

Vmax
Vmin

(2)

Pada saluran transmisi ada dua


komponen gelombang tegangan yaitu
tegangan yang dikirimkan dan tegangan
yang direfleksikan. Perbandingan antara
tegangan yang direfleksikan dengan
tegangan yang dikirimkan disebut sebagai
koefisien refleksi tegangan ( ), yaitu :

Vr L 0

Vi L 0

(3)

di mana Z L adalah impedansi beban (load)


dan Z 0 adalah impedansi karakteristik
saluran. Hubungan antara koefisien refleksi
tegangan dengan VSWR dapat dilihat dari
persamaan:

VSWR

1
SWR(dB) 20 log VSWR

(4)

(5)
Kondisi yang paling baik adalah ketika
VSWR bernilai 1, yang berarti tidak ada

FIS - 37

refleksi ketika saluran dalam keadaan


matching sempurna. Namun kondisi ini pada
praktiknya sulit untuk didapatkan. Oleh
karena itu, nilai standar VSWR yang
diijinkan untuk fabrikasi antena adalah
VSWR2.
2.3.2 Return Loss (RL)
Return loss adalah perbandingan
antara amplitudo dari gelombang yang
direfleksikan terhadap amplitudo gelombang
yang dikirimkan. Return loss dapat terjadi
karena adanya diskontinuitas di antara
saluran transmisi dengan impedansi
masukan beban (antena). Pada rangkaian
gelombang
mikro
yang
memiliki
diskontinuitas
(mismatched),
besarnya
return loss bervariasi tergantung pada
frekuensi dan merupakan nilai parameter
refleksi yang dinyatakan dalam desibel,
dengan nilai sampai 0 (dB).persamaan
yang digunakan untuk menentukan nilai
return loss :
Re turnLoss (dB ) 20 log
(6)
Nilai dari return loss yang baik adalah di
bawah -9,54 dB. Nilai ini diperoleh untuk
nilai VSWR 2 sehingga dapat dikatakan
nilai gelombang yang direfleksikan tidak
terlalu
besar
dibandingkan
dengan
gelombang yang dikirimkan atau dengan
kata lain, saluran transmisi sudah matching.
Nilai parameter ini menjadi salah satu acuan
untuk melihat apakah antena sudah dapat
bekerja pada frekuensi yang diharapkan atau
tidak.
2.3.3. Penguatan (gain)
Penguatan
(gain) didefinisikan
sebagai 4 kali perbandingan intensitas
radiasi pada suatu arah dengan daya yang
diterima oleh antena penerima dari
pemancar yang dinyatakan :

G ,

4U ,
Pin

4U m
Pin

(8)

Jadi power gain dapat dinyatakan sebagai


fungsi dari dan dan dapat juga
dinyatakan sebagai suatu harga pada suatu
arah tertentu.
2.3.4 Pola radiasi
Pola radiasi pada sebuah antena
didefenisikan sebagai sebuah fungsi
matematis atau sebuah gambaran grafis dari
komponen-komponen radiasi sebuah antena.
Pola radiasi biasanya digambarkan dalam
daerah medan jauh dan ditunjukkan sebuah
fungsi koordinat direksional.
3.METODOLOGI
Dimensi dari antena ini dibagi dalam
dua bagian yaitu sisi depan dan sisi belakang
yang terdiri dari 4 larik antena mikrostrip
double bi-quad. Bahan yang digunakan
pada fabrikasi antena ini adalah substrat
PCB (Printed Circuit Board) FR4 dengan
nilai konstanta dielektrik 4,4 single side dan
double side.Untuk menentukan ukuran atau
dimensi dari antena terlebih dahulu dihitung

dan

g ,

yaitu

c
f

dan

c
sehingga diperoleh :
f r

c
3.1010
g
=
5,958cm
f r 2,4 4,4
Panjang

sisi

bi_quad

sebesar

1
1
g = .5,958=1,49 cm dan jarak
4
4
1
antar larik adalah l = .5,958 = 2,98 cm.
2

(7)

Dimana G , adalah gain dan U ,


adalah intensitas radiasi antena pada arah
, termasuk efek dari kerugian antena
daya input yang diterima antena. Definisi ini
tidak termasuk kerugian yang disebabkan
oleh ketidaksesuaian impedansi atau
polarisasi. Harga maksimum power gain

SEMNAS MIPA 2010

adalah harga maksimum dari persamaan (7)


yaitu :

Disain dari antena kemudian dicetak pada


PCB untuk selanjutnya dipasang diatas
papan reflektor dengan jarak 1,8 cm. Hasil
dari fabrikasi antena mikrostrip double biquad dapat dilihat pada gambar berikut :

FIS - 38

100
80
60
40
20
0

Gambar 3. Hasil fabrikasi antenna


mikrostrip double bi-quad
Gambar 6. Pola radiasi horisontal
4.HASIL PENGUKURAN
Hasil fabrikasi antena kemudian
diukur menggunakan network analyzer
untuk mengetahui karakteristik dari antena.
Setelah dilakukan pengukuran dengan
menggunakan Network Analyzer , diperoleh
data sebagai berikut :

80
60
40
20

VSW R

0
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
B
0.6
VSWR
0.4
0.2
0
2000 2100 2200 2300 2400 2500 2600 2700 2800 2900 3000

Gambar 7. Pola radiasi vertikal


60
50
40
30
20
10
0

FREKUENSI (MHz)

Gambar 4. Grafik hubungan antara


frekuensi dengan VSWR
0
2000
-3

2100

2200

2300

2400

2500

2600

2700

2800

2900

3000

R ETU RN LO SS

-6
-9
-12
-15
RL

-18
-21

Gambar

-24
-27

8.

Pola radiasi horizontal


ternormalisasi

FREKUENSI (MHz)

Gambar 5. Grafik hubungan antara


frekuensi dengan return loss

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 39

50
40
30
20
10
0

dilakukan. Pada frekuensi 2,4 GHz, antena


ini mempunyai karakteristik nilai VSWR 1,3
dan nilai return loss -17,5 dB. Pola radiasi
antena adalah radial baik horisontal maupun
vertical. Pola radiasi horizontal memiliki
nilai daya maksimum 81 dB dengan HPBW
72,5 dan gain sebesar 18 dB.Antena ini
dapat diaplikasikan sebagai antena pengarah
dan diharapkan dapat diterapkan dengan
baik dalam komunikasi wifi
DAFTAR PUSTAKA

Gambar 9. Pola radiasi vertical


ternormalisasi
Dari gambar 4 diketahui bahwa pada
frekuensi 2,4GHz , nilai VSWR dari antena
adalah 1,3. Nilai VSWR yang baik adalah
antara 1-2. Semakin mendekati angka 1
menunjukkan kinerja antena semakin baik.
Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai return
loss antena yang sudah difabrikasi adalah
sebesar -17,5 dB.
Berdasarkan hasil pengukuran pola
radiasi horizontal, diperoleh nilai gain
antena sebesar 18 dB nilai ini sebanding
dengan nilai return loss antena seperti pada
Gambar 5. Gain antena diperoleh dengan
menghitung terlebih dahulu nilai total power
dari gain antena pemancar dan antena
penerima (antena omni) yang digunakan
sebagai standar pengukuran. Pola radiasi
ternormalisasi diperoleh dengan cara
mengurangi semua nilai signal maksimum
dengan nilai signal minimum.. Nilai signal
maksimum pada pengukuran pola radiasi
horizontal adalah 81 dB dan nilai terkecil
adalah 24 dB.
Dari hasil pengukuran diperoleh total
nilai power dan gain antena pemancar dan
antena penerima sebesar 63 dB. Nilai
tersebut digunakan untuk mengukur gain
antena panel double bi-quad sehingga
diperoleh nilai gain sebesar 18 dB.
Penghitungan nilai tersebut diperoleh
dengan cara mengurangkan nilai signal
maksimum hasil pengukuran pola radiasi
horizontal dengan 63 dB. Untuk nilai HPBW
(Half Power Beam Wave) untuk pola radiasi
horisontal diperoleh 72,5 0 .
5. KESIMPULAN
Fabrikasi antena panel 2,4 GHz berisi
4 larik mikrostrip double bi-quad telah

SEMNAS MIPA 2010

[1] Balanis, C. A, 1977. Antenna Theory


Analysis and Design, Second edition. New
York: John Wiley & Sons.
[2] Budiningrum,US dan Pramono,YH. 2009.
prototipe Antena panel 2,4 GHz Berisi 10
Larik Mikrostrip Double Bi-Quad Dengan
Dua Arah Pola Radiasi Maksimum.
.Surabaya : FMIPA ITS
[3] Edward, Terry. 1995. Foundation for
Microstrip Circuit Design, Second edition.
New York: John Wiley & Sons.
[4] Hidayah,
Ifa
dan
Pramono
Y.H,
PrototipAntena Bi-Horn dengan dua arah
radiasi dan satu Feeding Monopole
Beroperasi pada Frekuensi 2,4 GHz,
Seminar Nasional Informatika hal 47-52,
Mei 2009
[5] Riyanto. 2009 . Pemanfaatan Antena
mikrostrip untuk teknologi Wireless Ultra
Wideband (UWB). Bandung: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
ITB
[6] Sari, N. 2007. Pembuatan Antena Mikrostrip
Patch dengan sebuah Slot dalam Subtrat
FR4 untuk frekwensi kerja 2,4 GHz.
Surabaya :FMIPA ITS
[7] Pramono, Yono Hadi, dkk. 2006.
Pembuatan Filter Microstrip Band Pass 2,4
GHz dengan Struktur Satu Lapis,
Surabaya:Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Teknologi
Sepuluh Nopember .
[8] Pramono,
Yono Hadi
dkk. 2005.
Karakterisasi Antena Mikrostip Patch 3 Ghz
Secara Simulasi FDTD (Finite Difference
Time Domain) Dan Eksperimen. Jurnal
Fisika FLUX. Surabaya:Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
[9] Pramono, Yono Hadi dkk. 2002. Analisa
Respon Frekuensi Antena Mikrostrip.
Prosiding Seminar Nasional Fisika dan
Aplikasinya. Surabaya :ITS.

FIS - 40

[9] Pramono, Yono Hadi dkk. 2002. Analisa


Karakteristik Antena CPW Slot dan Patch
dengan FDTD. Prosiding Seminar Nasional
Fisika dan Aplikasinya. Surabaya:ITS
[10] Young, L., Haider, S., Neve, M., Dr.. 2003.
Microstrip Patch Antennas for Broadband
Indoor Wireless System, Part 4 Project
Report, Departemen of Electrical &
Elektronics Engineering, The University of
Aucland Faculty of Engineering.
[11] Pramono, Yono Hadi dkk. 2009. Prototipe
Antenna Bi-Horn Dengan Dua Arah Pola
Radiasi Dan Satu Feeding Monopole
Beroperasi Pada Freq.2,4 Ghz.
Yogyakarta.:Prosiding T.Informatika, UPN.
[12] Pramono, Yono Hadi. Karakterisasi Antena
Mikrostrip Patch 3 GHz Secara Simulasi
FDTD (Finite Difference Time Domain) dan
Eksperimen, Jurnal Fisika FLUX Vol 2, No
3, hal 601061-601066, Agustus 2005.
[13] Pramono, Yono Hadi, dkk. 2009. Fabrikasi
dan karakterisasi Antena Mikrostrip Loop
CPW Dua Lapis substrat Untuk Komunikasi
C-band dan Ku-Band. Surabaya: Jurusan
Fisika FMIPA ITS
[14] Zaki,
Mahmud.
2000.
Medan
Elektromagnetik. Surabaya:Jurusan Fisika
FMIPA ITS

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 41

ANTENA PANEL DENGAN STRUKTUR 4 MICROSTRIP PATCH


PADA FREKUENSI KERJA 2,4 GHz
Rohim Aminullah Firdaus, Yono Hadi Pramono
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Keputih, Surabaya, 61111
Telp : (031) 594 7302, Fax : (031) 593 1237
E-mail : rohim_valent@yahoo.com

Abstract
Fabrikasi dan karakterisasi antena microstrip directional antena berstruktur 4 array dengan
subtrat fiber untuk komunikasi wi-fi 2,4 GHz. Fabrikasi dilakukan dengan metode etching ferrichloride (
Fe(ClO2)3 ). Struktur antenna terdiri dari 4 array yang simetri. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa
antena ini dapat diaplikasikan sebagai directional antena dengan nilai VSWR 1,16. Sedangkan besar
bandwidth antena dari antena yang di desain peneliti sebesar 1,05 dalam rentang 120 MHz. Kemudian
besar gain dari antena adalah sebesar 18 dB. Besar HPBW(Half Power Beanwidth) dari antena tersebut
adalah 67,50. Antena ini memiliki kelebihan yaitu strukturnya sederhana, efisiensi yang besar, mudah
difabrikasi, ringan, biayanya relatif murah.
Keywords: microstrip, directional antenna, array, patch

1. PENDAHULUAN
Antena merupakan komponen yang
sangat penting pada sistem komunikasi.
Karena
antena
dapat
berfungsi
mentransformasikan suatu sinyal RF (Radio
Frequency) yang merambat pada konduktor
menjadi gelombang elektromagnetik ke
ruang bebas. Sistem komunikasi yang
memanfaatkan gelombang elektromagnetik
(microwave) adalah nirkabel (wireles).
Aplikasi nirkabel seperti bluetooth, koneksi
Wi-Fi yang dipasang pada notebook, telepon
seluler dan lain-lain. Teknologi komunikasi
tersebut memerlukan antena yang berukuran
kecil, ringan, murah, unjuk kerja yang baik
dan mudah pemasangannya. Antena
merupakan alat yang mampu mengubah
energi atau signal dalam ruang bebas untuk
meradiasikan dan menerima gelombang
[12].
Penelitian sebelumnya, desain antenna
mikostrip yang bekerja pada daerah berbagai
frekuensi dan sudah banyak dilakukan mulai
dari variasi bentuk dan jenis [111].
Antena mikrostrip struktur ringan ,
biaya
relatif
murah
dan
mampu
memancarkan dan menerima range frekuensi
tertentu. Selain itu antenna mikrostrip juga
memiliki beberapa kekurangan yaitu:
bandwidth yang sempit, gain dan directivity
yang kecil, serta efisiensi rendah. Untuk
mengatasi permaslahan tersebut, maka perlu

SEMNAS MIPA 2010

dibuat antena array (panel). Antena panel


disini diharapkan dapat menghasilkan
direktifitas yang tinggi, side lobe yang
rendah, beam yang mudah di atur dengan
pola yang tajam[12].
Penelitian lebih lanjaut sangat
diperlukan disini, untuk itu peneliti
membuat desain dan fabrikasi antena
directional 4 panel mekrostrip patch antena
yang bekerja pada frekuensi 2,4 GHz. Hal
ini diharapkan dapat meningkatkan gain dan
direktifitas antena, memungkinkan antena
bekerja pada band yang lebar.
2. TEORI
2.1 Antena Mikrostrip dan Antena Array
Antena mikrostrip adalah suatu
konduktor metal yang menempel di atas
ground plane yang diantaranya terdapat
bahan dielektrik.
Antena
mikrostrip
merupakan antena yang memiliki massa
ringan, mudah untuk difabrikasi, dengan
sifatnya yang konformal sehingga dapat
ditempatkan pada hampir semua jenis
permukaan
dan
ukurannya
kecil
dibandingkan dengan antena jenis lain,
karena sifat yang dimilikinya, antena
mikrostrip sangat sesuai dengan kebutuhan
saat ini sehingga dapat di-integrasikan
dengan peralatan telekomunikasi lain yang
berukuran kecil, akan tetapi antena

FIS - 42

mikrostrip
juga
memiliki
beberapa
kekurangan yaitu: bandwidth yang sempit,
gain dan directivity yang kecil, serta
efisiensi rendah.
Antena patch mikrostrip adalah antena
resonan dicetak populer untuk microwave
band
wireless-link
sempit
yang
memerlukan-hemispherical jangkauan semi.
Karena konfigurasi planar dan kemudahan
integrasi dengan teknologi mikrostrip,
antena patch mikrostrip telah banyak
dipelajari dan sering digunakan sebagai
elemen untuk array. Strip (patch) logam
dipisahkan dari ground planenya oleh
substrat dari bahan dielektrik dengan
konstanta dielektrik pada rentang 2,2 r
12 [12].

Gambar 1. Bagian-bagian
Mikrostrip

Antena

Antena array adalah antena yang


dibentuk dari beberapa elemen yang
tersusun secara array dengan tujuan tertentu.
Jenis antena ini ada bermacam-macam,
tergantung bagaimana
mengkonstruksi
susunan antena arraynya sehingga diperoleh
bentuk pola radiasi yang diinginkan.
Umumnya antena yang tersusun secara array
merupakan antena yang identik. Beberapa
tujuan pembentukan antena array adalah
:meningkatkan daya radiasi, meningkatkan
gain
dan
direktifitas
antenna,
memungkinkan antena bekerja pada band
yang lebar, memungkinkan diterapkannya
diversity, misalnya space diversity.
Beberapa faktor terpenting dari antena
ini adalah : Konfigurasi geometris dari
seluruh antena (linear, circular, dan
rectangular), jarak individual antena
terhadap lainnya, amplitudo dari masingmasing elemen, fase dari masing-masing
elemen dan Pola radiasi relatif dari masingmasing elemen.
Konfigurasi elemen dari antena array
dapat disusun dalam berbagai bentuk. Untuk

SEMNAS MIPA 2010

konfigurasi yang berbentuk suatu garis lurus


disebut array linier (linear array),
konfigurasi yang berbentuk bidang datar
disebut array planar, dan konfigurasi yang
berbentuk lingkaran disebut array lingkaran
(circular array). Sedangkan jenis array yang
lain adalah array konformal (conformal
array), dimana elemen-elemennya terletak
pada bidang tak datar[6].
Faktor array merupakan pola array
yang diperoleh dengan mengabaikan pola
radiasi dari tiap-tiap elemen array. Jika kita
mengganti tiap elemen dari array dengan
suatu sumber titik isotropik, pola radiasi
yang dihasilkan adalah faktor array.
Sumber titik isotropik merupakan suatu
antena hipotesis yang menempati suatu titik
pada ruang dan memiliki pola radiasi yang
seragam pada semua arah. Antena array
dengan N elemen dimana tiap elemen
dipisahkan dengan jarak dan memiliki
amplitudo yang sama memiliki faktor array
ternormalisasi.
Prinsip dasar teori array untuk
medesain pembentukan pola antenna dan
mengatur pancaran utama (main beam) yang
dihasilkan.
Adapun
factor
yang
mempengaruhi adalah kerapatan daya
energy radiasi yang dihasilkan oleh elemen
indifidu dan factor array yang merupakan
fungsi dari posisi pada masing-masing
elemen array dan koefisien pencatuannya.
Persamaan kerapatan daya array
adalah sebagai berikut:

..
1
dari persamaan diatas terlihat bahwa
kerapatan daya S secara spheris merupakan
bentuk kuadrat medan E.
Sedangkan factor array N-eleman dapat
dinyatakan dengan :

.2
Dalam hal ini
merupakan factor array
dan d merupakan feed line dari antenna.[7]
dalam penelitian ini fabrikasi antenna
directional 4 panel mekrostrip patch antenna
menggunakan feed line d = .

FIS - 43

2.2 Parameter
Antena
antenna Array

Microstrip

Voltage Standing Waves Ratio


(VSWR) adalah perbandingan gelombang
berdiri (standing wave)dari interverensi
maksimum dan interferensi minimumdari
gelombang imput dan gelombang refleksi
pada sebuah antenna. Peristiwa gelombang
berdiri dapat terjadi jika terdapat dua
gelombang yang merambat pada arah
berlawanan dalam media yang sama serta
frekuensi gelombang dating dan gelombang
pantul berharga sama.
Perbandingan
antara
tegangan
maksimum dan tegangan minimum disebut
dengan Voltage Standing Waves Ratio
(VSWR) yang dirumuskan:

VSWR

Vmaks
I
dan ISWR maks
Vmin
I min

..........3
ISWR merupakan perbandingan antara arus
maksimum dan arus minimum.
Hubungan SWR dan VSWR
SWR (dB) = 20 log10 (VSWR)
Nilai Standing Waves Ratio (SWR)
adalah 1<SWR<2. Nilai terbaik SWR adalah
1, artinya sudah sempurna dalam arti tidak
ada gelombang yang dipantulkan semua
gelombang elektromagnetik diserap. [14]
Return loss atau power loss adalah cara lain
untuk mengekspresikan terjadinya miss
match (impedansi tidak sesuai). Return loss
merupakan rasio perhitungan dengan satuan
dB (Decible) ditambah dengan perhitungan
reflected power dari antena ke power energi
yang dipancarkan ke antena melalui
transmission line (coax kabel). Nilai return
loss berkisar antara negatif tak hingga
sampai nol (dB). Dari besaran return loss
dapat dihitung nilai parameter refleksi yang
lain. Hubungan perhitungan antara SWR dan
Return Loss adalah:

input dipancarkan semua, maka besar nilai


koefisien refleksi adalah nol. Sebaliknya,
jika semua daya dari tegangan input
direfleksikan (dipantulkan), maka besar nilai
koefisien refleksi adalah 1.

S11

V pantul
Vinput

....5

(2.22)
Koefisien transmisi (St = S21) adalah
perbandingan antara tegangan sinyal yang
ditransmisikan terhadap tegangan input.

S 21

Vtransmisi
Vinput

...6
Frekuensi kerja dimana antena masih dapat
bekerja dinamakan bandwidth antenna
(BW). bandwidth antena untuk band lebar
biasanya
digunakan
definisi
ratio
perbandingan antara frekuensi atas dan
bawah.
7
(2.17)
Dimana
manyatakan frekuensi atas
dan menyatakan frekuensi bawah.
2.3 Pola Radiasi dan Gain
Pola radiasi didefinisikan sebagai variasi
daya yang dipancarkan oleh antena
mikrostrip sebagai fungsi dari jarak dari
antenna, seperti persamaan 1 dan 2. Variasi
daya yang dihasilkan berasal dari sudut
tangkap dari sinyal yang dipancaran, dapat
ditunjukkan seperti gambar dibawah ini:

Return loss (dB) = -20 log 10 4


(2.21)
Gambar 2. Pola Radiasi Antena
Return loss dapat juga terjadi karena
matching section (penyelaras impedansi
antena), transmition line (coax) dan dimensi
antena yang tidak sesuai..
Koefisien Refleksi (Sr = S11) adalah
perbandingan antara tegangan sinyal yang
dipantulkan (sinyal refleksi) terhadap
tegangan input. Jika daya dari tegangan

SEMNAS MIPA 2010

Pada gambar 2 diatas dapat dilihat


bahwa arah sumbu z dideskripsikan sebagai
bentuk
pola
radiasi
daya
yang
ditransmisikan, sedangkan bidang x-y
menentukan nilai maksimum daya yang
ditransmisikan.

FIS - 44

Pengukuran pola radiasi di lapangan


dilakukan baik secara vertikal maupun
horizontal, dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah dalam pengukuran
radiasi jauh dari hal-hal yang sifatnya
memantulkan sinyal yang ditransmisikan.
Pengukuran pola radiasi di lapangan baik
vertical dan horizontal dilakukan setiap
perubahan sudut dari 00-3600 dengan acuan
00 antena menghadap sumber sinyal yang
ditransmisikan.
Bila sebuah antena digunakan dalam
sebuah sistem tentu saja efisiensi antena
digunakan untuk memindahkan daya yang
terdapat pada terminal input menjadi daya
radiasi yang sangat penting. Power gain
(gain) didefinisikan sebagai 4 kali
perbandingan intensitas radiasi pada suatu
arah dengan daya yang diterima oleh antena
penerima dari pemancar yang dinyatakan :

karena terdapat kerugian pada daya input.


Bagian daya input yang tidak muncul
sebagai daya radiasi diserap oleh antena dan
struktur yang dekat dengannya. Hal di atas
menimbulkan definisi baru yang disebut
dengan efisiensi radiasi, yaitu :

4U ,
Pin
..........8

Dalam pembuatan mikrostrip antenna,


(2.24)
peneliti menggunakan bahan PCB dengan
subtract fiber dengan konstantan dielektrik
5,4 yang kemudian diecthing menggunakan
larutan ferrichloride ( Fe(ClO2)3 ). Struktur
antenna yang digunakan adalah antenna
model patch antenna directional dengan
menggunakan 4 panel. Pada bagian bawah
antenna diberi reflrktor. Adapun bentuk
desain dapat dilihat dalam gambar dibawah
ini :

G ,

dimana G , adalah gain dan U ,


adalah intensitas radiasi antena pada arah
, termasuk efek dari kerugian antena
daya input yang diterima antena. Definisi ini
tidak termasuk kerugian yang disebabkan
oleh ketidaksesuaian impedansi atau
polarisasi.
Harga maksimum power gain adalah
harga maksimum dari persamaan 8 yaitu :

4U m
Pin ........9

Pr
dengan catatan e 1 ....11
Pin

(2.27)
Sehingga power gain dapat dinyatakan
dengan
G = eD...........12
(2.28)
Jadi power gain maksimum suatu antena
sama dengan direktivitas dikalikan dengan
efisiensi.
3. METODOLOGI
3.1 Fabrikasi Antena

(2.25)

Jadi power gain dapat dinyatakan sebagai


fungsi dari dan dan dapat juga
dinyatakan sebagai suatu harga pada suatu
arah tertentu.
Direktivitas dapat ditulis sebagai

4U m
Pr ..........10

Gambar 3. Desain antenna 4 panel


mekrostrip patch antena
(2.26)

Jika dibandingkan dengan persamaan


9 dapat dilihat bahwa perbedaan maksimum
power gain dan direktivitasnya hanya
terletak pada jumlah daya yang digunakan.
Direktivitas dapat dikatakan sebagai power
gain suatu antena jika seluruh daya input
menjadi daya radiasi sehingga Pin = Pr.
Power gain menunjukkan bahwa antena
nyata tidak memenuhi pernyataan di atas

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 45

Gambar 4. Bentuk fabrikasi antenna 4


panel mekrostrip patch antena
3.2. Karakterisasi Antena
Karakteristik antenna menggunakan
Network Analyzer
Anritzu MS 8604A,
dengan alat ini diharapkan dapat diketahui
fungsi kerja atau frekuensi, return loss,
VSWR, Beanwith, HPBW(Half Power
Beanwidth).

(Array)
semakin
memperkecil
nilai
Impedansi sehingga daya yang dihasilkan
semakin besar[17]. Sedangakan mengenai
bandwidth antenna dari antenna yang di
desain peneliti sebesar 1,05 dalam rentang
120 MHz, hal ini menunjukkan daerah
frekuensi kerja dari antenna peneliti.

3.3. Pengukuran Pola Radiasi


Pengukuran pola radiasi dilakukan di
lapangan dilakukan baik secara vertical
maupun horizontal, dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah dalam pengukuran
radiasi jauh dari hal-hal yang sifatnya
memantulkan sinyal yang ditransmisikan.
Sebelum dilakukan pengukuran terlebih
dahulu diset peralatan pengukuran dengan
antenna monopol.Antena ini sebagai
pembanding,senjutnya posisi antenna baik
vertical maupun horizontal diputar setiap 50.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil fabrikasi antenna
directional 4 panel mekrostrip patch antena,
setelah dilakukan pengukuran dengan
menggunakan Network Analyzer , diperoleh
data hubungan antara frekuensi dengan
VSWR seperti pada Gambar 4. Dapat dilihat
dari grafik gambar 4 diketahui bahwa antena
bekerja baik pada frekuensi 2,397 GHz
dengan nilai VSWR 1,16. Penelitian
sebelumnya menunjukkan frekuensi kerja
2,310 GHz dan 2,885 GHz dan VSWR
masing-masing 1,62 dan 1,46[4,5].Hal ini
menunjukkan bahwa bentuk desain antenna
sangat berpengaruh, sehingga agar mampu
bekerja seperti antenna Wi-Fi maka
pembuatan panel antena sangat diperlukan
untuk menghasilkan fungsi kerja yang
diinginkan [17].
Adapun mengenai VSWR yang
menyatakan
perbandingan
tegangan
maksimum dan minimum dari sinyal yang
ditransmisikan.[15]. Semakin kecil nilai
VSWR maka semakin sedikit gelombang
yang dipantulkan[14]. Antenna directional 4
panel mekrostrip patch disini mampu
menunjukkan VSWR 1,16 artinya sedikit
gelombang yang dipantulkan hal ini
disebabkan bahwa pembuatan antenna panel

SEMNAS MIPA 2010

Gambar 5. Grafik hubungan antara


frekuensi dengan nilai VSWR
Sedangkan data hubungan antara frekuensi
dengan Return Loss dapat dilihat pada
Gambar 6.

Gambar 6. Grafik hubungan antara


frekuensi dengan nilai return
loss
Nilai return loss(RL) antena yang
sudah difabrikasi -22,67 dB yang relatif
kecil menandakan bahwa antena tersebut
sudah memiliki kinerja yang bagus, karena
suatu antena dikatakan bekerja baik jika RL
-9,54 dB. Penelitian sebelumnya
menujukkan -22,048 untuk model antenna
yagi dengan 3 array[4]. Hal ini menunjukkan
semakin kecil nilai dari RL semakin kecil
dari power imput terhadap power refleksi
dari suatu antena. Sedangkan semakin kecil
kerugian maka daya yang dihasilkan juga
semakin besar.

FIS - 46

Penentuan gain antenna didapatkan


dari perbandingan pengambilan data antena
monopol. Peneliti disini menggunakan
antena pemancar dengan gain 18 dB dan
power 25 dBm sedangkan antena monopol
yang digunakan memiliki power 100mW
atau 20 dBm. Hasil data yang didapatkan
dari antena monopol 75 dB sedangkan daya
antena pemancar dan antenna monopol
adalah 63 dB. Gain antenna monopol adalah
12 dB. Daya dari antena yang di buat
peneliti disini adalah 81 dB, sehingga gain
antenna 18 dB. Penelitian sebelumnya untuk
model slot bowti menunjukkan gain 12 dB
[5]. Semakin besar gain disini menunjukkan
semakin besar daya yang dipancarkan dan
semakin besar pula jangkauan dari sebuah
antenna[14].Semakin besarnya daya sangat
dekat sekali dengan semakin kecilnya
impedansi dari sebuah antenna, dimana
semakin banyak array semakin kicil dari
impedansinya[15].
Adapun mengenai pola radiasi baik
secara vertical maupun horizontal dapat
dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 7.b Pola radiasi horizontal dan


vertikal
Perhitungan HPBW(Half
Power
Beanwidth) dapat dilakukan dengan
mengambil nilai tengah dari intensitas
maksimum yang dipancarkan yaitu dari nilai
41 dB menjadi 20,5 dB dan diputar disisi
kanan dan kiri nilai maksimum yang
memotong intensitas dititik tersebut. Pada
grafik 7.a tampak bahwa besar HPBW dari
antena yang di uji adalah 67,50. HPBW
menunjukkan daerah kerja dari antena
dimana sinyal masih dapat ditransmisikan
dan diterima.
Pada gambar 7.b menunjukkan
perbandingan pola radiasi vertikal dan
horizontal ternormalisasi. Dalam hal ini nilai
maksimum dari pola horisontal memiliki
intensitas lebih tinggi dari pola vertikal. Hal
ini menunjukkan pola penempatan antena.

Gambar 7.a Pola radiasi horizontal


Pola radiasi pada gambar 7.a di atas
menggambarkan pola radiasi medan listrik E
yang ternormalisasi. Adapun besarnya SNR
(Sinyal to Noise Ratio) adalah nilai terkecil
dari daya yang dipancarkan .Besar
maksimum intensitas sinyal adalah 81dB
dikurangi nilai yang terkecil 40 dB.
Intensitas radiasi maksimum ketia berada
pada sudut 00, artinya posisi antena persis
menghadap pada antena pemancar.Ini
menandakan bahwa antena directional
(pengarah) dapat mendeteksi intensitas
maksimum pada arah tertentu.

SEMNAS MIPA 2010

5. KESIMPULAN
Hasil pengukuran dan fabrikasi
Berdasarkan
hasil
fabrikasi
antena
directional 4 panel mekrostrip patch antena
mempunyai unjuk kerja terbaik pada
frekuensi 2,397 GHz dengan nilai VSWR
1,16 dan nilai return loss -22,67. Sedangkan
besar bandwidth antena dari antena yang di
desain peneliti sebesar 1,05 dalam rentang
120 MHz. Kemudian besar gain dari antena
adalah sebesar 18 dB. Besar HPBW dari
antena tersebut adalah 67,50. Antena ini
memiliki kelebihan yaitu strukturnya
sederhana, efisiensi yang besar, mudah
FIS - 47

difabrikasi, ringan, dan biayanya lebih


murah.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1] Suherman, Nanang. 2008. Analysis And
Fabrication Of Horn Microstrip Antenna
Equiped With Parabola Reflector By Fdtd
Method. Proseding Seminar Fisika ITS.
[2]

Riduwan, M. 2008. Electromagnetic Wave


Analysis At Microstrip Dipole Antenna
With FDTD Method. Proseding Seminar
Fisika ITS.

[3]

Uboyo, Ambyah. 2009. Desain Dan


Fabrikasi Antena Mikrostrip Loop Dengan
Feed Line Mikrostrip Feed Line Dua Lapis
Substrat Untuk Komunikasi C-Band.
Proseding Seminar Fisika ITS.

[4]

Anwar, Edi Dainuri. 2009. Desain Dan


Karakterisasi Antena Mikrostrip Yagi Tiga
Array Double Side. Master Theses,
Physiscs, RSFi 621.382 4 Anw d.

[5]

Muhtadi, Didi. 2009. Desain Fabrikasi


Dan Karakterisasi Antena Wideband
Mikrostrip Slot Bowtie Dengan Cpw Untuk
Komunikasi Wireless. Master thesis,
Physics Magister, RTFi 621.382 4 Muh d.

[6]

Qomariyah, Nurul. 2007. Fabrikasi Dan


Karakterisasi Antena Mikrostrip Dipol.
Undergraduate
Theses
of
Physic
Department, RSFi 621.382 4 Qom f.

[7]

Naqiyyah, Hawaun. 2009. Fabrikasi Dan


Karakterisasi Antena Mikrostrip Loopline
Untuk Komunikasi Wireless Local Area
Network (Wlan). Master Theses, Physic,
RTFi 621.382 4 Naq f.

[8]

Khasanah, Uswatun. 2009. Fabrikasi Dan


Karakterisasi Dipole Biquad Antenna
Untuk Komunikasi Wifi. Undergraduate
Theses, Physical Departemen, RSFi
621.382 4 Kha f.

[9]

Sari, Nurma. 2007. Pembuatan Antena


Mikrostrip 2,4 Ghz Untuk Komunikasi
Aironet Komputer. Master Thesis, Physical
Engineering Department, RTFi 621.382 4
Sar p.

Masther Thesis, Physics, RTFi621.382 4


Bud p.
[12] Balanis, C.A. 1997. Antenna Theory and
Design Second edition. New York: John
Wiley & Sons.
[13] Kraus, John,. 1999. Electromagnetics With
Applications, Fifth edition. New York:
McGraw-Hill.
[14] Hund,
E.,
1989.
Microwave
communications. Component and Circuit,
New York: McGraw-Hill.
[15] Jossefson, L dan Person, P. 2006.
Conformal Array Antenna Theory and
Design, The IEEE Press series on
Elektromagnetik Wave theory.
[16] Edwards, T. 1992. Foundations For
Microstrip Circuit Design Second Edition,
Canada: John Wiley & Sons, Inc.

[17] Rahayu, Erni M. 2009. Fabrikasi dan


Karakterisasi Microstrip loop Co-Planar
waveguide dua Lapis Subtrat untuk
Komunikasi C-Band dan Ku Band. Masther
Thesis, Physics

[10] Bahri, Syamsul. 2007. Pembuatan Dan


Analisis Antena Helical Dengan Frekuensi
2,4 Ghz Untuk Komunikasi Data.
Undergraduate Theses, Physics, RSFi
621.382 4 Bah p.
[11] Budiningrum, Umi Syafiqoh. 2009.
Prototipe Antena Panel 2,4 Ghz Berisi 10
Larik Mikrostrip Double Bi-Quad Dengan
Dua Arah Pola Radiasi Maksimum.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 48

FORMULASI ANALITIK TEORI MODA TERKOPEL


PANDU GELOMBANG OPTIK STRUKTUR PLANAR
Sujito1), A. Rubiyanto2) , A.Y. Rohedi3)
1

Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang


Jl. Semarang No. 5 Malang 65145
Telp : 0341-552125
2,3
Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya
Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
E-mail : soejito@yahoo.com1

Abstract
Communication technology base on making Integrated Optics component which capable to function as
guided, coupled, and power divider. Peripheral of Integrated Optics capable to this function is
directional coupler. Simplest structure is two wave guide with certain gap. At this hand out, specified by
development of analytical formulation moda coupling for the directional coupler consisted of two wave
guide. Analysis to propagation wave done moda couple theory. Expression of electrics field which creep
in wave guide obtained by applying continues condition at boundary. Beside that, applying of boundary
condition is also obtained relationship disperse equation which representing optics non-linier equation.
Solving of this equation done numerical use Secant methode, then, its used to calculate the effective
refractive index value of elementary moda. The finally, visualizing to field pattern done constructively
Program Computing.
Keywords : propagation, directional coupler, couple mode, field pattern

1. PENDAHULUAN
Pengembangan
teknologi
komunikasi
membutuhkan sirkit-sirkit yang mampu
menjalankan fungsi sebagai pemandu,
penggandeng, sensor, atau sebagai pembagi
daya. Salah satu jenis perangkat optik
terpadu yang mampu menjalankan fungsifungsi tersebut adalah directional coupler
berstruktur planar. Struktur directional
coupler paling sederhana tersusun dari dua
pandu gelombang dengan jarak pisah (lebar)
tertentu. Kanal-kanal dalam sirkit optika
terpadu umumnya dibuat berstruktur pandu
gelombang single mode khususnya dalam
moda dasar.
Beberapa keunggulan transmisi sinyal optika
adalah 1) ukuran kecil dan ringan, 2) isyarat
cahaya tidak terpengaruh oleh derau medan
elektris maupun medan magnetis, 3) isyarat
serat optis terjamin keamanannya, 4) lebar
pita atau kapasitas transmisinya besar [1].
Sebagai langkah awal untuk mewujudkan
piranti
tersebut,
dilakukan
simulasi
pengembangan Directional Coupler.

SEMNAS MIPA 2010

2. LANDASAN TEORI
2.1. Struktur Directional Coupler
Kanal-kanal penyusun Directional Coupler
dibuat berstruktur pandu gelombang tiga
dimensi, dimana penampang masukan
terletak pada koordinat transversal (x,y),
sedangkan proses pemanduan berlangsung
sepanjang sumbu longitudional (z). Struktur
directional coupler sederhana ditunjukkan
dalam Gambar 1 [2,8]

II
nc

nf1

nf2

ns

Gambar 1. Struktur Directional Coupler


Jika pada kanal pertama dimasukkan
gelombang optik, maka pada jarak
perambatan (kopling) tertentu terjadi
perpindahan energi. Pada gap yang kecil,

FIS - 49

gelombang evanescent dari gelombang optik


moda dasar kedua kanal sepanjang daerah
gap
akan
saling
berinteraksi
dan
menghasilkan kopling [2,7].
Proses perpindahan daya optik terjadi sebagi
konsekuensi over lapping antar gelombang
evanescent yang saling berinterferensi.
Ketika interferensi saling menguatkan maka
terbentuk gelombang optik simetri dengan
tetapan propagasi (s), dan sebaliknya,
ketika interferensi saling melemahkan
terbentuk gelombang optik asimetri dengan
tetapan propagasi (a). Kedua moda ini di
sepanjang
perambatan
akan
saling
bersuperposisi, dan pada jarak panjang
kopling (Lc) semua dayanya dipindahkan ke
kanal dua. Pada jarak dua kali panjang
kopling (z=2Lc) semua daya dipindahkan
kembali ke kanal pertama.
Besaran untuk menganalisa directional
coupler adalah tetapan propagasi efektif ()
medan yang ditransmisikan. Nilai eigen
persamaan Helmholtz ini diperlukan untuk
menentukan jarak pemindahan daya antar
pandu gelombang (panjang kopling). Pada
pandu gelombang slab simetri, harga
ditentukan dengan persamaan relasi dispersi,
yaitu
V 1 b tan 1

b
ba
tan 1
m
1 b
1 b

(1)

dimana V adalah frekuensi ternormalisasi, b


adalah indeks bias efektif ternormalisasi,
dan a adalah ketidaksimetrian antara substrat
dan cover.
Formulasi medan listrik dan tetapan
propagasi efektif gelombang optik terpandu
dalam pandu gelombang slab step indeks
yang masing-masing merupakan fungsi
eigen dan nilai eigen persamaan Helmholtz
dapat diturunkan secara analitis [6].
Implementasi
metode
analitis
pada
perumusan nilai eigen persamaan directional
coupler linier diawali dengan mereduksi
penampang transversal dari dimensi dua ke
dimensi satu dengan metode indeks bias
efektif. Melalui pendekatan ini, struktur
directional coupler dipandang membentuk
lima buah lapisan. Pandu gelombang dan
gap berfungsi sebagai stack pandu
gelombang, sedangkan kedua lapisan lain
SEMNAS MIPA 2010

berfungsi sebagai
(Gambar 2).

substrat

h1

Ef1

Eg

Es

dan

kover

h2
Ef2

Ec

h + s 2h + s

Gambar 2. Struktur Pandu Gelombang 5


Lapis
2.2 Teori Moda Terkopel Pada Pandu
Gelombang Optik
Persamaan
umum
medan
diturunkan dalam bentuk

terkopel

dA
jA A j B 0
dz
dB
jB B j A 0
dz

(2)
(3)

dengan melakukan penurunan persamaan (1)


dan mensubstitusikan ke persamaan (2)
diperoleh persamaan differensial orde dua
sebagai berikut.
2 A( z )
z

2 B(z )
z

2 j

A(z )

2 A( z ) 0

(4)

2 B(z ) 0

(5)

z
2 j

B(z)
z

A
B

adalah

besaran

yang

mengukur ketaksinkronan fase antar kanal,


sedangkan A dan B adalah tetapan
propagasi efektif gelombang optik moda
dasar sepanjang kanal A dan B. adalah
koefisien kopling
yang menyatakan
kekuatan kopling pandu gelombang dan
dihitung dari overlapping kedua medan
optik pada pandu gelombang pertama atau
kedua. Jika dilakukan penghitungan pada
pandu gelombang kedua, dapat dinyatakan
sebagai berikut [1,2,6]
AB

2 2 0 0 x

h eff x k fx

k .h
cos 2 fx e x s (6)
2

selanjutnnya digunakan untuk menghitung


panjang kopling gelombang optik yang
merambat dalam directional coupler.

FIS - 50

Sedangkan tetapan propagasi efektif s dan


a bernilai

s A B 1 X 2
2


a A B 1 X 2
2

(7)
(8)

dimana
e0(x,y) =D.eA(x,y) + F.eB (x,y)
e1(x,y) =E. eA(x,y) + G.eB (x,y)

2h s

(9)

(15)

2h s

2 cos 2 ( s1 )
A f1

2 s

A 2f1

1
sin 2k f1h - 2s1 sin 2s1

h
2 2k f1

yang artinya bila lebar gap kedua kanalnya


kecil, maka efek kopling menyebabkan
medan listrik gelombang optik dalam
directional-coupler terbagai atas medan
listrik moda simetri dan moda asimetri yang
masing-masing merambat dengan tetapan
propagasi efektif s dan a. Daya optis yang
merambat pada kanal 1 dan kanal 2 adalah:
PA(z) = A(z) *A(z)
(12)
PB(z) = B(z) *B (z)
(13)

A2
f2

(14)

dengan melakukan integrasi menurut syarat


batas dan menerapkan syarat kontinuitas
pada bidang batas, diperoleh

A 2g

dengan tanda asterisk menyatakan amplitudo


efektif gelombang sekawan. A dan B
adalah amplitudo efektif. Untuk directionalcoupler simetri, kedua kanalnya memiliki
dimensi yang sama sehingga faktor
ketaksefasaannya bernilai X = 0. Sehingga
didapatkan bahwa daya gelombang optis
yang masuk melalui kanal 1 akan
dipindahkan seluruhnya ke kanal B
(PB(z=Lc)=1) setelah menempuh jarak
propagasi sepanjang

h s

E f2 dx E c dx 1

(10)
(11)

z = Lc =
atau Lc =

E s dx E f1 dx E g dx

h s

Medan listrik total yang merambat dalam


directional
coupler
didekati dengan
superposisi dari EA(x,y,z) dan EB(x,y,z)
sehingga dinyatakan sebagai
E(x,y,z) = e0 (x,y)e j sz +e1(x,y) ej az

kaidah couple, bentuk pengintegralan


distribusi medan sebagai berikut [6],

sin 2k gs 2g2 sin 2g2


s
2k g

sin 2k f2 .h f2 sin 2f2


h

2k f2

(16)

2
Af2

cos 2 k f2 .h f2 1

2 c

dengan menguraikan masing-masing suku,


sistem directional coupler dianggap simetri
(kf1 = kf2) maka persamaan (16) ditulis
dalam bentuk
2

2
Ag
Af1
A2
2 f1 2h
s 1 atau
2 s
2
2
2
Af1
A2
A 2 s.cos 2 k f1.h s1
2 f1 2h 10
1
2s
2
2
cos 2 g2

(17)

sehingga didapatkan
A f1

2
dimana
h eff

h eff 2 h

s. cos 2 k f1 .h s1
2

cos g2

2
s

(18)

Lc disebut sebagai panjang kopling, dengan


= 0 1. Dimana dari persamaan 9
didapatkan bahwa X = 0, nilai = 0 1
dapat dinyatakan dalam bentuk kuat kopling
, yaitu = 2.

hubungan ini menyebabkan terbentuknya


relasi dispersi untuk moda genap terpandu
[7]

2.3 Perambatan Moda dalam Directional


Coupler

sedangkan untuk moda ganjil didapatkan

Pola medan gelombang optik yang terpandu


dalam tiap lapisan kanal directional coupler
ternormalisasi, sehingga dengan menerapkan

SEMNAS MIPA 2010

k g tan k g . k f 1. tan k f1 .h s1
2

k g cot k g . k f 1. tan k f1 .h s1
2

(19)

(20)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

FIS - 51

Untuk menentukan nilai indeks bias efektif


(N), langkah yang ditempuh adalah
menentukan nilai indeks bias efektif
ternormalisasi (b) dengan persamaan relasi
dispersi. Metode numeric yang digunakan
memecahkan nilai b adalah metode Secant
[3].
Besaran yang penting untuk menganalisa
directional coupler adalah tetapan propagasi
efektif () moda medan gelombang. Nilai
konstanta propagasi efektif digunakan untuk
memperkirakan panjang kopling (Lc).
Untuk melakukan penghitungan parameter
konstanta propagasi baik moda simetri (s)
maupun asimetri (a), parameter masukan
utama yang digunakan adalah indeks bias
cover, gap dan substrat sama 2,14, indeks
bias film adalah 2,15 dan parameter panjang
gelombang 1,33 m ( = 1,33 m). Untuk
memudahkan pemberian dua nilai tebakan
awal yang diperlukan pada penerapan
metode secant, maka diganti dengan nilai
indeks
bias
efektif
(N)
dengan
persamaan N

s=0

s = 0,75 m

s = 0,5 m

s = 1 m

Gambar 3. Plot Pola Medan 2 dimensi

.Dimana
k0

N b n 2f n 2s ns2 , b

N2 n 2s
n 2f n2s

Hasil perhitungan dengan metode secant


seperti pada Tabel 1.

s=0

s = 0,5 m

Tabel 1. Perhitungan (s), (a) dan Lc


untuk h= 2
s
0
0,25
0,5
0,75
1
1,25
1,5
1,75
2

simetri
10,1476
10,1442
10,1417
10,1398
10,1383
10,1370
10,1360
10,1352
10,1381

asimetri
10,1212
10,1222
10,1231
10,1239
10,1246
10,1253
10,1259
10,1265
10,1322

0,01321
0,01099
0,00931
0,00794
0,00681
0,00586
0,00505
0,00434
0,00295

Lc
118,3454
142,7965
168,5772
197.7251
230,5026
267,9195
311,2224
361,8708
532,2034

Untuk keperluan penggambaran pola


medan dan perpindahan daya optik dalam
directional coupler dilakukan dengan
bantuan Bahasa Pemrograman Matlab versi
6.5 [2,4]. Hasil plotting adalah seperti pada
Gambar 3 dan 4.

SEMNAS MIPA 2010

s = 0,75 m

s = 1 m

Gambar 4. Plot Pola Medan 3 dimensi


Pada Gambar 3 dan 4, nampak bahwa modamoda tersebut adalah moda normal yang
terdiri dari moda simetri dan moda asimetri.
Plotting ini menunjukkan terjadinya proses
perambatan
dan
perpindahan
daya
gelombang optik dalam kanal directional
coupler. Efek couple atau gandengan
menunjukkan pola medan listrik terdistribusi
dalam moda-moda normal (moda simetri

FIS - 52

dan asimetri) yang merupakan moda 0 dan


moda 1.
Pada Gambar 3, terlihat bahwa untuk kasus
zero gap (s=0), semua medan mampu
ditransmisikan dari pandu 1 ke pandu 2
dalam directional coupler 1. Seiring dengan
makin bertambahnya lebar gap antar pandu
gelombang, maka makin kecil gelombang
cahaya yang bisa ditransmisikan ke pandu
gelombang dua. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan makin bertambahnya lebar gap (s),
maka semakin besar panjang kopling (Lc).
Dengan demikian, nilai tetapan propagasi
efektif moda asimetri (a) makin mendekati
nilai tetapan propagasi efektif moda simetri
(s).
Kasus di atas dapat dijelaskan dengan teori
moda kopel (Couple Mode Theory).
Berdasarkan teori ini, jika lebar gap antar
pandu gelombang sangat kecil, maka
gelombang evanescent moda dasar yang
berada di sepanjang daerah gap saling
memberi gangguan (perturbation). Kopling
yang
terjadi
diantara
keduanya
menyebabkan amplitudo gelombang optik
yang merambat pada tiap pandu gelombang
berubah sepanjang jarak rambat. Sebaliknya,
untuk lebar gap yang besar, maka
gelombang
evanescent
moda
dasar
sepanjang gap tidak menyebabkan kopling.
Hal ini dikarenakan tidak ada berkas
evanescent dari gelombang optik yang
ditransmisikan dari kanal 1 mampu
mencapai kanal 2, sehingga masing-masing
kanal gelombang optik pada moda dasar
merambat secara individu.

1. Dehmubed., R., S. 1998. Coupling of a


Planar Waveguide and dielectric Disk. IEEE
Vol. 46.
2. Flores,E., R., dan Vazquez., G., V. 2004.
Planar Waveguide Laser by Proton
Implantation in Nd:YAG Crystals. Optics
Express Vol. 12.
3. Hanseman, D. 1997. The Student Edition of
Matlab. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
4. Pruessner, M., W., Siwak, N., Amarnath, K.,
S Kanakaraju, S., Chuang, W., and Ghodssi,
R. 2006. End-coupled optical waveguide
MEMS devices in the indium phosphide
material system. Institute of Physics
Publishing Journal of Micromechanics And
Microengineering
5. Rohedi, dkk. 2003. Analitical Formulation
of Normal Mode in Symetri Directional
Coupler. Simposium Optical Application,
edition Poster.

6. Sujito. 2006. Analisis Couple Mode Sistem


Directional
Coupler
Tiga
Pandu
Gelombang. Tesis S-2. ITS Surabaya.

7. Tamir, T. 1985. Topics in Applied Physics:


Integrated Optics. Springer-Verlag.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat
disimpulkan bahwa pada directional coupler
moda TE, untuk lebar gap yang makin besar
maka nilai tetapan propagasi efektif moda
asimetri makin mendekati nilai tetapan
propagasi efektif moda simetri, sehingga
jarak terjadinya perpindahan daya antar
kanal (Lc) makin besar. Semakin besar lebar
gap maka panjang kopling juga makin besar.
Sehingga makin lemah kekuatan kopling
antar moda gelombang optik.
5. PUSTAKA

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 53

PENGARUH LAMA STIRRING TERHADAP SIFAT KRISTAL


DAN MIKROSTRUKTUR HA YANG DISINTESIS DENGAN
METODE WET-CHEMICAL
I Made Paramita W D 1), Dra.Hartatiek 2)
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang,
Indonesia
Jalan Semarang No. 5, Malang, 65144
E-mail : dhana_made@yahoo.com

Abstrak
Hydroxyapatite berukuran nano telah dikembangkan dengan kemurnian serta kristalinitas tinggi untuk
meningkatkan kerapatan, kekuatan dan sifat bioaktifnya. (HA) secara klinis merupakan material yang
menarik untuk diteliti serta dikembangkan sebagai biomaterial dalam fabrikasi implant jaringan juga
sebagai bahan biokeramik yang dapat menggantikan beberapa organ dalam tubuh. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama stirring terhadap sifat kristal dan mikrostruktur HA yang
disintesis dengan metode wet-chemical. Penelitian ini memvariasi lama stirring yaitu 4 jam, 6 jam dan 8
jam, masing- masing disintering pada suhu 1100C dengan lama penahanan 6 jam. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa : (1) Dari ketiga pola XRD hasil sintesis, yang mendekekati sesuai dengan pola
XRD tulang asli sapi adalah sampel dengan lama strirring 6 jam. (2) Morfologi hasil sintesis wetchemical berbentuk bongkahan dengan ukuran diatas 20 m dan hampir homogen, hal ini mungkin
disebabkan air membantu dalam pembentukan grain yang homogen. Pori-pori/rongga juga muncul
diantara grain, hal ini disebabkan proses densifikasi yang belum sempurna selama sintering.
Kata kunci: HA (Hydroxyapatite), Lama stirring, Sifat kristal, Mikrostruktur.

1. PENDAHULUAN
Lebih dari beberapa dekade terakhir,
biokeramik telah membantu meningkatkan

kualitas hidup berjuta orang. Hal ini berkat


adanya rancangan khusus bahan biokeramik
yang telah berhasil digunakan untuk
memperbaiki,
merekonstruksi,
dan
mengganti bagian yang sakit atau bagian
tubuh yang rusak, terutama tulang.
Hydroxyapatite (HA) adalah salah
satu biomaterial
yang
merupakan
komponen utama jaringan tulang dan gigi.
HA atau Ca10(PO4)6 (OH)2 merupakan
mineral golongan apatite yang mengkristal
dalam sistem heksagonal (El . Kholy,
M.B.,dkk., 1998). Secara umum, 60-70%
HA terkandung dalam tulang vertebrata,
98% dalam enamel gigi, 75% dalam dentine
dan 35-45% dalam cementum (Ravaglioli,
A. dan Krajewski, A., 1992, Park,J., 2008).
Jaringan tulang dan gigi mengandung
komponen anorganik, organik dan air
dengan perbandingan yang bervariasi. Di
dalam tulang HA mengkristal di dalam atau
di
permukaan
serat-serat
organik.
Hydroxyapatite melekat dalam jaringan
kolagen.
Serbuk
hydroxyapatite

SEMNAS MIPA 2010

[Ca10(PO4)6(OH)2] atau (HA) pada


umumnya telah banyak diaplikasikan dalam
bidang biomedis sebagai bahan pembuatan
gigi, tulang maupun material implant yang
terdapat didalam tubuh manusia seperti
cardiovaskular
(pembuluh
jantung).
Hydroxyapatite yang digunakan sebagai
implant jaringan tubuh manusia umumnya
telah berbentuk material komposit yang
lebih kuat dibandingkan dengan (HA)
murni. Material komposit (HA) diperkuat
dengan bahan polyethylene atau lebih
dikenal dengan HAPEXTM sehingga
memiliki kekuatan dan daya tahan yang
besar didalam tubuh makluk hidup. Ada
beberapa teknik preparasi HA, antara lain
solid-state
reaction,
wet
chemical,
hidrotermal dan metode penumbuhan gel
(Park, J., 2008). Proses kristalisasi dapat
ditingkatkan dengan menaikkan aktivitas ion
yang bersangkutan, misalnya dengan
meningkatkan laju pengadukkan, menaikkan
pH, dan menaikkan suhu. Pada penelitian ini
pembentukkan kristal apatit berasal dari
presipitasi antara larutan ion Ca(OH)2 dan
ion H3PO4. Pada penelitian ini akan dikaji
hasil sintesa HA menggunakan metode wetchemical. Pada metode wet-chemical
FIS - 54

memerlukan kondisi sintesis yang tidak


tinggi yakni pada suhu ruang 100oC tetapi
dengan pengaturan pH antara 7 12 (kondisi
basah). Hasil sintesa metode ini yaitu untuk
mengetahui
struktur
kristal
dan
mikrostrukturnya (ukuran grain, bentuk dan
homogenitasnya).
2. KAJIAN PUSTAKA
Hydroxyapatite (HA) merupakan
salah satu anggota golongan apatite keramik.
HA telah teruji sebagai tulang buatan karena
memiliki kemiripan dengan tulang alami
dengan unsur pokok collagen dan
polysaccharide, dengan formula kimia
Ca10(PO4)6 (OH)2. Terdapat dua sumber
apatite yakni dari biologis (organik) dan dari
mineral deposit, seperti batuan phosphate
atau phosphorite yaitu batuan sedimen
dengan
komponen
mineral
esensial
carbonate fluoroapatite. Tulang dan gigi
mengandung komponen mineral HA yang
menyangga mayoritas beban in vivo (dalam
tubuh).
Jaringan
otot
keras
juga
mengandung fasa mineral yang mirip
dengan keramik hydroxyapatite.

Gambar 1. Pola XRD tulang sapi yang


disintering pada suhu 1000oC
(Frank E. dkk. , 2005)
Padatan kristalin ada dalam keadaan
kristal tunggal atau polikristalin. Kristal
tunggal adalah suatu padatan yang susunan
atom-atomnya berulang dan periodik
sempurna, sampai seluruh spesimen
semuanya tanpa gangguan. Suatu padatan
polikristalin tersusun dari kumpulan banyak
kristal-kristal tunggal yang disebut grain,
dipisahkan grain satu dengan yang lain
dengan luasan yang tidak teratur yang
disebut grain boundearies (batas grain).
Secara khusus, dalam keramik ukuran grain
dalam jangkaun 1 sampai dengan 50 m dan
hanya nampak dibawah mikroskop. Bentuk
dan ukuran grain, bersama dengan adanya
porositas, fase-fase kedua dan lainnya serta
distribusinya menggambarkan apa yang

SEMNAS MIPA 2010

disebut mikrostruktur. Kebanyakkan sifatsifat keramik bergantung-mikrostruktur


(Barsoum,M.W., 2005).
3. METODE PENELITIAN
Bahan mentah yang dipakai pada
metode ini adalah kapur tohor yang
disuspensikan dalam aquades sehingga
membentuk milk lime (endapan Ca(OH)2).
Dalam penelitian ini sampel hidroksiapatit
dibuat dari larutan kalsium hidroksida
Ca(OH)2 dan
asam phosphate H3PO4.
Penelitian dilakukan dengan menambahkan
0,995 ml larutan asam phospate tetes demi
tetes kedalam larutan Ca(OH)2 (endapan
milk lime ). Selama penelitian dilakukan
pula pengadukan untuk mempercepat proses
presipitasi. Penelitian pertama dilakukan
pada suhu kamar sekitar 250C, dan
penelitian yang kedua dilakukan pemanasan
dengan suhu 700C. Setelah proses titrasi
selesai, pengadukkan dilanjutkan sesuai
dengan variasi yang digunakan yaitu : 4 jam,
6 jam dan 8 jam dan kondisi beaker glass
dalam keadaan tertutup dengan aluminium
foil. Hasil presipitasi dicuci dengan aquadest
dan dikeringkan dengan dipanaskan pada
suhu 1100C selama 6 jam, selanjutnya
disintering pada suhu 11000C dengan lama
penahanan 6 jam.
Analisis presipitan dilakukan dengan
diuji struktur kristalnya dengan alat X-ray
Diffraction. Hasil pola difraksi dengan
menggunakan metode wet chemical
dibandingkan dengan pola difraksi tulang
(asli) sapi yang sudah dikalsinasi pada suhu
1000oC. Apabila pola XRD hasil sintesa
memiliki kemiripan dengan hasil pola XRD
tulang sapi, maka sintesa yang dilakukan
berhasil dan keramik Hydroxyapatite yang
dihasilkan layak untuk membuat tulang
buatan. Kemudian dilihat morfologinya
(homogenitasnya), ukuran grain, dan poripori mikro dengan menggunakan alat uji
SEM.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN SIFAT
KRISTAL
Hasil sintesa Hydroxyapatite dengan
variasi lama stirring (pengadukan) : 4 jam, 6
jam dan 8 jam .Fasa HA yang terbentuk dari
hasil sintesa dan sifat kristallinitas dapat
diketahui dari pola XRD. Pola XRD dengan

FIS - 55

lama strirring 4 jam ditunjukkan pada


Gambar 2.

Gambar 2. Pola XRD lama stirring 4 jam


Apabila pola XRD dengan metode
wet-chemical dibandingkan dengan pola
XRD tulang sapi tampak bahwa fasa HA
telah tebentuk, tetapi masih ada fasa lain,
disekitar sudut (2) 31,5, dengan intensitas
yang tinggi, artinya kristalinitasnya juga
besar. Fasa lain ini adalah Ca(OH)2, karena
masih dalam fasa kristal, yang belum
bereaksi secara sempurna dengan H3PO4.

Gambar 3. Pola XRD lama stirring 6 jam


Apabila pola XRD dengan metode
wet-chemical dibandingkan dengan pola
XRD tulang sapi tampak bahwa fasa HA
telah tebentuk, tetapi masih ada fasa lain,
disekitar sudut (2) 30, dengan intensitas
yang tinggi, artinya kristalinitasnya juga
besar. Tetapi pada sekitar sudut (2) 33 dan
34 fasa HA telah terbentuk akan tetapi
intensitasnya masih rendah. Fasa lain ini
adalah Ca(OH)2, karena masih dalam fasa
kristal, yang belum bereaksi secara
sempurna dengan H3PO4.

Gambar 4. Pola XRD lama stirring 8 jam

SEMNAS MIPA 2010

Apabila pola XRD dengan metode


wet-chemical dibandingkan dengan pola
XRD tulang sapi tampak bahwa fasa HA
telah tebentuk, tetapi masih ada fasa lain,
disekitar sudut (2) 31,5, dengan intensitas
yang tinggi, artinya kristalinitasnya juga
besar. Tetapi pada sekitar sudut (2) 33 dan
34 fasa HA telah terbentuk akan tetapi
intensitasnya masih rendah. Fasa lain ini
adalah Ca(OH)2, karena masih dalam fasa
kristal, yang belum bereaksi secara
sempurna dengan H3PO4.
Dari ketiga pola XRD diatas, setelah
dibandingkan dengan pola XRD tulang sapi
yang disintering dengan suhu 100C yang
mendekati pola tersebut yaitu hasil XRD
yang distirring selama 6 jam. Namun
demikian dari ketiga pola tersebut masih
menunjukkan adanya fasa lain yang
terbentuk. Untuk lama stirring 6 jam
memungkinkan atom-atom saling mendekat
dan bereaksi membentuk senyawa HA.
Kristallinitasnya dapat diketahui dari
intensitas dan lebar puncak. Intesitas tinggi
dan lebar puncak sempit menunjukkan
kristallinitas yang baik (Bera,dkk. 2009).
Hasil sintesa Hydroxyapatite yang
diuji mikrostrukturnya dengan memvariasi
lama stirring (pengadukan) yaitu : 4 jam, 6
jam dan 8 jam.

Gambar 5. Foto SEM mikrostruktur HA,


lama stirring 4 jam
Dari hasil foto SEM diatas dapat
dijelaskan bahwa morfologi hasil sintesis
wet-chemical dengan ukuran diatas 20 m
hampir homogen, hal ini mungkin
disebabkan
air
membantu
dalam
pembentukan grain yang homogen. Ukuran
grain yang lebih kecil menunjukkan bahwa
orientasi partikel-partikelnya semakin acak
dan
membentuk polikristalin. Poripori/rongga juga muncul diantara grain,

FIS - 56

disebabkan proses densifikasi yang belum


sempurna.

Gambar 6. Foto SEM mikrostruktur HA,


lama stirring 6 jam
Dari hasil foto SEM diatas dapat
dijelaskan bahwa morfologi hasil sintesis
wet-chemical berbentuk bongkahan dengan
ukuran diatas 20 m dan hampir homogen,
hal ini mungkin disebabkan air membantu
dalam pembentukan grain yang homogen.
Pori-pori/rongga juga muncul diantara grain,
hal ini disebabkan proses densifikasi yang
belum sempurna selama sintering.

yang diperlihatkan dengan jumlah yang


lebih banyak. Kristallinitas HA yang
terbentuk juga menunjukkan intensitas
tinggi
dan
lebar
puncak
sempit.
Mikrostruktur
HA
yang
disintesis
menggunakan
metode
wet-chemical
menunjukkan ukuran grain yang lebih
besar, pori-pori/rongga juga muncul diantara
grain, Ukuran grain rata-rata diatas 20 m,
dengan bentuk bongkahan, dengan distribusi
hampir homogen.
Berdasarkan hasil penelitian ini
disarankan untuk penelitian selanjutnya
mencari lama stirring yang optimum
sehingga diperoleh fasa HA yang baik dan
kristallinitas yang tinggi. Untuk mengurangi
pori-pori pada mikrostruktur, diperlukan
perlakuan sintering yang lebih lama, agar
proses densifikasi berjalan optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Barsoum,M.W., 2005, Fundamentals Ceramics.
John Wiley. New York
El-Kholy, M.B., Khalil, A.A., Hashem, A.M.,
1998, Thermochemistry of Bovine Teeth and
Synthesis of Hydroxyapatite, interceram 47 vol.1,
p. 29-32
Frank, E., Eneng, M., Yoyo,P., 2005. Pengaruh
Alumina terhadap Bodi Phosphat untuk Tulang
Buatan., Prosiding Seminar nasional Keramik
IV. Balai Besar Keramik Bandung.
Liu, D.M., 1996, Porous Hydroxyapatite
Biocheramics, Key Enginering Material vol.115,
p.209-232

Gambar 7. Foto SEM mikrostruktur HA,


lama stirring 8 jam

Park, J. 2008. Bioceramics : Proprties,


Characterizations, and Applications, Springer.
New York.

Dari hasil foto SEM diatas dapat


dijelaskan bahwa morfologi hasil sintesis
wet-chemical berbentuk bongkahan yang
tersebar secara acak dengan ukuran diatas 20
m dan hampir homogen, hal ini mungkin
disebabkan
air
membantu
dalam
pembentukan grain yang homogen. Poripori/rongga juga muncul diantara grain, hal
ini disebabkan proses densifikasi yang
belum sempurna selama sintering.

Ravaglioli, A. and Krajewski, A., 1992,


Bioceramics, Material, Properties, Applications,
Chapman and hal, London.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Budidoyo,. 2009. Karakterisasi Scanning


Electron Microscope (SEM) Hydroxyapatite dari
gypsum alam cikalong. Tugas akhir. Surakarta.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Berdasarkan analisis dan pembahasan


maka dapat diambil kesimpulan yaitu: Fasa
Hydroxyapatite (HA) yang disintesis
menggunakan metode wet-chemical telah
terbentuk, meskipun masih ada fasa lain
SEMNAS MIPA 2010

Shackelford, J.F., 2005. Advanced Ceramics :


Bioceramics. Gordon and Breach Publisers, New
Jessey, NewYork.
Zarina Omar,. 2007. Synthesis Of
Hydroxyapatite Powders VIA Mechanical
Activation Technique . Thesis submitted in
fulfilment of the requirements for the degree of
Master of Science.

P. Dasgupta, A. Singh, S. Adak dan K. M.


Purohit. Synthesis and Characterization Of

FIS - 57

Hydroxyapatite Produced From Eggshell.


International Symposium of Research Students
on Materials Science and Engineering December
20-22, 2004, Chennai, India.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 58

PARSIAL MELTING SENYAWA SUPERKONDUKTOR


(EUGD)-123 DAN KARAKTERISTIK
SUPERKONDUKTIVITASNYA
1

Markus Diantoro1, Tjia May On2


Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl Semarang 5 Malang
2
Departemen Fisika ITB, Jl Ganesha 10 Bandung

Abstrak
Pencarian senyawa superkonduktor suhu tinggi yang berpotensi untuk aplikasi teknologi terus
berkembang. Salah satu senyawa yang menjadi primadona adalah sistem tanah jarang (rare earth, RE)
dengan komposisi RE1Ba2Cu3O7-d yang dikenal dengan RE-123. Senyawa induk yang pertama ditemukan
berbasis Yttrium Y-123 dengan temperatur kritis sekitar 93 K. Dalam tulisan ini dilaporkan sintesis
menggunakan teknik parsial melting digabung dengan aniling argon / oksigen untuk rekristalisasi. Selain
itu, telah diinduksikan senyawa turunan RE-211 untuk meningkatkan kekuatan pinning vorteks bahan ini.
Telah disintesis satu seri senyawa (Eu,Gd)-123 yang dilanjutkan dengan karakterisasi fase dan
superkonduktivitasnya. Karakterisasi fase digunakan X-RD pelet as-annealed dengan analisis fase
mengunakan bantuan program PCW. Untuk karakterisasi superkonduktivitas digunakan pengukuran
resistivitas metode 4-titik probe sebagai fungsi temperatur. Hasil analisis menunjukkan terbentuknya fase
(Eu,Gd)-123 dan peningkatan temperatur kritis akibat lama aniling.
Kata kunci: parsial melting, EuGd-123, fase, temperatur kritis.

PENDAHULUAN
Baru-baru ini ditemukan senyawa
baru kelas Pnectide basis Fe yang sangat
berbeda dengan kelas senyawa tembaga
oksida (Cuprates) dan senyawa lain maupun
elemental lain yang memenuhi BCS maupun
yang tidak. Dalam aplikasi kita mengenal
dua kelompok besar yaitu aplikasi skala
besar dan aplikasi skala kecil. Dalam aplikasi skala besar senyawa superkonduktifmagnetik maupun senyawa superkonduktiflistrik telah diaplikasikan. Kendala utama
untuk aplikasi adalah rendahnya rapat arus
kritis, medan kritis dan temperatur kritis.
Telah banyak dikaji senyawa superkonduktor untuk kepentingan magnetk.
Seperti yang telah dijelaskan dalam berbagai
artikel dengan berbagai fraksi volumenya
fase dan sebagian kurang dari memadai.
Secara teoretis usaha peningkatan gaya magnetik atau gaya levitasi dapat ditempuh melalui peningkatan interaksi pinning vorteks
melalui inklusi, doping eksternal maupun
intrinsik serta cacat fisik (Diantoro2001,
2002). Kandidat yang menunjukkan
perbaikan adalah sistem Light Rare Earth
oksida LRE-123. Disamping itu hasil
pengukuran resistivitas fungsi temperatur
(T) juga baru menunjukkan tanda Tcon
sedikit diatas suhu nitrogen cair.

SEMNAS MIPA 2010

Dalam tulisan ini dilaporkan uspaya


parsial melting dan aniling sistem Eu-Gd1Ba2Cu3O7-d dengan berbagai modifikasi.
Karakteristik temeratur kritis dan analisis
fase senyawa juga dilaporkan. Secara umum
sampel berbasis LRE-123 yang diinklusi
LRE-211 membentuk komposit. Sampel
komposit LRE-123 + LRE-211 dengan LRE
= Nd, (Eu,Gd), yang dihasilkan dengan
proses Melt pwder Melt Growth (MPMG)
dengan Tc ~ 90K, yang dilengkapi dengan
karakterisasi X-RD dan (T).
EKSPERIMENTAL

Metode eksperimen sintesis yang


digunakan dalam penelitian ini adalah proses
(melt powder melt growth (MPMG) dilaksanakan di laboratorium FISMOTS divisi
Superkonduktor Departemen Fisika ITB.
Riset pada tahun kedua ini merupakan kelanjutan dan perluasan dari riset yang telah
dilakukan pada tahap sebelumnya. Eksperimen sintesis ini ditekankan pada variasi
debit gas (Ar, dan / O2), serta variasi suhu
dan lama aniling dengan tujuan menentukan
parameter efektif yang menghasilkan sampel
superkonduktor. Berkaitan dengan perluasan
eksperimen ini telah dilakukan perbaikan
desain krusibe; untuk mengatasi masalah
dalam proses pelelehan yang terjadi pada

FIS - 59

suhu tinggi. Selanjutnya kajian komposisi


dan parameter proses untuk meningkatkan
homogenitas sampel dan sifat superkonduktifitasnya diuraikan berikut ini.
Eu0,5Gd0,5Ba2Cu3O7- (EG-123),
Untuk senyawa EG-123 digunakan
proses MTG dan proses MPMG dengan
waktu pelelehan berbeda dan anil oksigen
berbeda. Gas oksigen murni digunakan
dalam tahap ini setelah mengetahui dari
eksperimen terdahulu bahwa gas argon
memberikan efek perusakan struktur mikro
dan tentunya superkonduktivitas.
Bahan dasar yang digunakan dalam
sintesis bahan superkonduktor ini adalah:
Nd2O3 (99.99%), Eu2O3 (99.99%), Gd2O3
(99.99%), Sm2O3 (99.99%), BaO (99.95%) ,
BaCO3 (99.99%), CuO (99.999%) dari
Johnson-Mathey dan Sigma-Aldrich.
Peralatan penting yang digunakan untuk
proses terdiri dari; Tungku chamber
Nabertherm 1100oC (2 buah) untuk kalsinasi
dan sintering, Tungku tabung horisontal
1200oC (1 buah) sampai dan tungku tabung
SIC horisontal 1600oC (1 buah). Untuk
kalsinasi, sintering digunakan krusibel
coorse dan untuk proses pelelehan digunakan krusibel Al2O3 (99.8%) combustion
boat. Perangkat untuk proses pelelehan yang
pada tahap sebelumnya digunakan lembaran
Al2O3 sebagai lapisan pelindung lelehan
(bufer) dalam proses MTG dan MPMG,
diganti dengan Alumina silinder seperti ditunjukkan oleh Gambar 10 dalam Lampiran
2. Dengan susunan baru ini, sampel hasil
lelehan sangat mudah dipisahkan dari
krusibel ataupun penyangganya (buffer).
Data
struktur
diperoleh
dari
pengukuran X-RD, sedangkan untuk
pengukuran superkonduktivitas digunakan
rangkaian 4-probe dealam sistem kriogenik
sistem 10 K.

Gambar 1 Pola difraksi sinar X (X-RD)


senyawa berbasis Eu,Gd123+211 dengan berbagai lama
waktu anil dalam oksigen
Analisis Fase
Untuk mengetahui kehadiran fase
sudah terbentuk, data X-RD bersangkutan
diolah menggunakan perangkat program
CelReff [Bochu dan Luegier 2000], dengan
menggunakan basis data struktur dari PDF
WIN [JCPDF 1985]. Puncak-puncak intensitas dari data pengamatan (garis vertikal
diatas kurva difraksi) yang tidak cocok
dengan puncak perhitungan (garis vertikal di
bawah pola difraksi) merupaka fase lain
(impuritas). Dari hasil cara ini dapat
diketahui dengan teliti puncak mana yang
merupakan fase inti dan puncak mana yang
merupakan impuritas. Dengan demikian
fraksi volume fase yang bersangkutan dapat
dihitung.
Sebagai contoh langkah analisis fase
ditampilkan dalam Gambar 5. Puncakpuncak yang ditandai dengan angka merupakan puncak yang menunjukkan keseuain
antara data eksperimen dengan model perhitungan. Dengan kata lain, puncak puncak
yang tidak tertandai merupakan fase lain
atau impuritas dalam toleransi yang ditentukan.

HASIL DAN DISKUSI

Data utama dalam riset ini adalah XRD, SEM dan (T). Masing-masing data
ditampilkan secara berkelompok sesuai
dengan senyawa yang dihasilkan dalam
tahun kedua ini.

SEMNAS MIPA 2010

Gambar 2. Hasil analisis pola difraksi


dengan menggunakan Celref
Analisis Superkonduktivitas
Hasil karakterisasi superkonduktivitas
dengan pengukuran suhu-tegangan pada arus
konstan telah dikonversi kedalam data suhu
-resistivitas. Data masing masing kelompok
sampel ditampilkan sebagai berikut. Angka

FIS - 60

yang tercantum dalam setiap kurva menyatakan lama waktu sintering dalam jam.

Yamashita, Tanabe (Eds), Springer Verlag,


Tokyo, 2000, p. 285.
T. Higuchi,S.I. Yoo, M. Murakami, Phys. Rev.
B 59 (1999)1514.
M. R. Koblischka, M. Muralidhar,M. Murakami,
Physica C 337 (2000) 31-38.
N. H. Babu, D.A. Cadwell, W. Lo, A.M.
Campbel, Phys. Rev. B 61 (2000) 735.

Gambar 3. Pola resistivitas suhu senyawa


EG-123 dari berbagai lama
waktu anil dengan suhu
pelelehan Tm = 1100oC
Diskusi dan Kesimpulan

Dari hasil karakterisasi yang diuraikan


diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
waktu aniling dalam lingkungan oksigen
berperan penting dalam menentukan kualitas
sampel yang tercermin oleh Tc bersangkutan.
Lebih jauh tersimak pula bahwa doping
oksigen lebih banyak berkaitan dengan
waktu aniling lebih panjang menghasilkan
butiran lebih kecil dan tekstur butir yang
lebih homogen, sebagaimana dicerminkan
oleh pola difraksi yang melebar dan puncak
lebih rendah.
Berdasarkan sumber terbaru [Hu,
2002], sampel MPMG dapat pula dibentuk
melalui cara langsung. Yaitu pemrosesan
bahan tanpa melalui pembentukan fasa
LRE123 dan LRE211 terlebih dahulu. Cara
ini tentunya akan lebih efektif jika dapat
menghasilkan bahan berkualitas setara. Cara
ini telah diterapkan pada senyawa EG123+211, NSGx-123+211, NSGy123+211
dan akan diterapkan untuk sintesis bahan
MPMG berbasis Sm, yakni (Sm1-xyEuxGdy)Ba2Cu3O7-.
Daftar Pustaka
E.S. Otabe, T. Matsushita, Advances in
Superconductivity XII, Yamashita, Tanabe
(Eds), Springer Verlag, Tokyo, 2000, p. 506
S. jin, T. H. Tiefel, R.C. Sherwood, R.B., van
Dover, M. E. Davis, G. W.,Kammlott, and R.A.
Fastnacht, Phys. Rev. B 37 (1998) 7850.
K. Salama, V. Selvamanichan, L. Gao, and K.
Sun, Appl. Phys. Lett. 54, 2352 (1989)
M. Murakami, M. Moria, S. Gotoh, N.
Koshizuka, T. Oyama, Y. Shiohara, and S.
Tanaka, Advances in Superconductivity XII,

SEMNAS MIPA 2010

N. Chikumoto, J. Yoshioka, M. Otsuka, N.


Hayashi, and M. Murakami, Physica C 281, 253
(1997).
T. Saitoh, K. Kamada, K. Iida, N. Sakai, M.
Murakami, Advances in Superconductivity XII,
Yamashita, Tanabe (Eds), Springer Verlag,
Tokyo, (2000) p. 461.
M. Murakami, Melt Processed High-Tc
Superconductors, World Scientific (1992).
M. Muralidhar, M. R. Koblischka, T. Saitoh, M.
Murakami, Superconduct. Sci. Technol. 11
(1998)1349.
S. Haseyama, S. Kohayashi, J. Ishiai, S. Nagaya,
and
S.
Yoshizawa,
Advances
in
Superconductivity XI, Yamashita, Tanabe (Eds),
Springer-Verlag, Tokyo, (1999) p. 701.
H. G. Lee, I. H. Kook, G. W. Lee, Y. I. Kim, C.
S. Kim, J. J. Kim, and M. Y. Song, Physica C
246 (1995) 73-77.
N. Sakai, S. I. Yoo, S. Goshima, M. Murakami,
Advances in Superconductivity, Proc. ISS96
(1997) 709.
N. Dragoe, Powder manual v 2.0, University of
Bucharest, Romania (1999)
B. R. Lehndorff, High-Tc Superconductors for
Magnet and Energy Technology, SpringerVerlag, Berlin (2001).
S. Nariki, N. Sakai, M. Murakami, ISTECJournal 13,2 (2000) 27.
M. Tomita, ISTEC-Journal 13, 2 (2000) 35.
M. Murakami, ISTEC-Journal 10, 3 (1997) 51.
S. Tanaka, ISTEC-Journal 13,4 (2000)9.
M. Diantoro, I.M. Sutjahja, Abdurrahman, W.
Loeksmanto, dan M. O. Tjia, Proc. Pertemuan
Sains Materi III, Serpong, (1998)
M.O. Tjia, I.M. Sutjahja, Darminto, A.A.
Nugroho, Advances in Superconductivity 11, N.
Koshizuka, S. Tajima (eds), Springer-Verlag,
Tokyo (1999)943-946.
M. Diantoro, A. Fuad, dan Parno. Peningkatan
orientasi
butiran
pada
pembentukan
superkonduktor BPSCCO-2223 dengan metode

FIS - 61

Melt Textured Growth. Laporan Penelitian Dosen


Muda, Malang (2000).
S. Krohns, P. Lunkenheimer, Ch. Kant, A. V.
Pronin, H. B. Brom, A. A. Nugroho, M.
Diantoro, and A. Loidl, Colossal dielectric
constant up to GHz at room temperature ,
Applied Physics Letter 94 122903 (2009).
I.M. Sutjahja, M. Diantoro, A. A. Nugroho, M.
O. Tjia, D. Tomuta, G.J.C. van Baarle, J. Aarts,
A. A. Menovsky, J. J. M. Franse, Temperature
and field induced structural transition La2-xyNd~0.4xCuO4 single crystal, Phys. J. IPS A6
(2002) 0537 ISSN 1410-8860.
M. Diantoro, M. O. Tjia, T. Melisek, I. Husek, P.
Kovac, Effect of Field Ampliotude and Field
Orientation on Critical Current Density in Bi2223 Tapes with Reinforced Ag-sheath and
oxide additives in the core, Phys. J. IPS A6
(2002) 0536 ISSN 1410-8860.
A. Bada1 and C. Lpez2, Critical State Theory
for Nonparallel Flux Line Lattices in Type-II
Superconductors, Phys. Rev. Lett 87 (2001)
170041-4
A. Bada1 and C. Lopez2, Vector magnetic
hysteresis of hard superconductors, Phys. Rev.
B, 65 (2002) 104514
A. Bada Comment on Magnetic levitation
force and penetration depth in type-II
superconductors Phys. Rev. B 55 (1997) 11875
In-Gann Chen, Jen-Chou Hsul, Gwo Janm.,
Chin-Chen Kuo., Haw-Jer Liu., and M. K. Wu,
Magnetic Levitation Force of Single Grained
YBCO Materials, CHINESE J.
Phys.
36,(1998) 2-11
A. Hu, N. Sakai, M. Murakami, Physica C 371
(2002) 19 26.
M. Muralidhar, M. Jirsa, S. Nariki, M.
Murakami, Superconduct. Sci. Technol 14
(2002) 832
Shinji Kitao, Yasuhiro Kobayashi, Satoshi
Higashitaniguchi,
Makina
Saito,Yoichi
Kamihara, Masahiro Hirano, Takaya Mitsui,
Hideo Hosono, And Makoto Seto, Journal Of
The Physical Society Of Japan Vol. 77, No. 10,
October, 2008, 103706

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 62

Mn2+ IONS INJECTION ON FABRICATION OF Fe3O4


NANOMATERIALS MAGNETICS FLUIDS
Ahmad Taufiq1, Dyah Rahmawati1, Renik Wulansari1, Sunaryono1,
Abdulloh Fuad1, Markus Diantoro1, N. Mufti1,2, Suminar Pratapa3, Darminto3
1

Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No 5, Malang 65145
E-mail: a_taufiq_physics@yahoo.com

thnitzer Srae 40, 01187


Max Planck Institute for Chemical Physics of Solids, N o
Dresden, Germany
3
Jurusan Fisika, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)Jl. Arief Rahman
Hakim, Surabaya 60111
2

Abstract
Mn2+ ions have been injected into Fe3O4 nanomaterials magnetics fluids (ferrofluids). The coprecipitation
method was employed in this experiment. In this method, iron-sand which was taken from Tulungagung
were dissolved in HCl and precipitated in NH4OH. Ferrofluids were fabricated by adding surfactant Tetra
Methyl Ammonium Hydroxides (TMAH) and Oleic Acid. Rietveld analysis of XRD data shows that
Fe3O4 and (Fe,Mn)3O4 are formed in single phase of cubic-spinel. The adding of Mn2+ ions increase lattice
parameter caused Fe and Mn has different ionic radii. Characterization by using TEM show that, samples
are formed in nanometer range. Fe3O4 has particles sized 6,9 nm which is also confirmed by Rietveld
analysis. Further more, calculation from VSM data shows that the adding of Mn2+ ions increase saturated
manetization because Mn ion has higher magnetic moment.
Keywords: Mn2+ ions, Nanomaterials, magnetics fluids, saturated magnetization.

1. INTRODUCTION
In recent years, magnetite (Fe3O4)
nanoparticles have been actracted much
interest in industrial application such as;
ceramics, cathalys, energy storage, magnetics
data storage, absorbent, passivation coating,
ferrogel and ferrofluids. Fe3O4 nanoparticles
are quite different from those of their bulk
counterparts, and thus, wide range of
potential advanced applications.
To date, many approaches have been
developed for the preparation of Fe3O4
nanoparticles. They usually lead to
complicated process or require relatively
high temperatures. Herein, we presented a
simple coprecipation methods by using ironsands wich are taken from nature in
Tulungagung.
For advanced application, Fe3O4 is
needed to increase its magnetization and also
. Such as doping with others elements as like
Mn in Fe3-xMnxO4. Replacing Fe by Mn in
Fe3O4 usually increases the magnetization
because Mn ion has higher magnetic
moment. Furthermore, one way to increase
its application is by fabricating ferrofluids
Fe3-xMnxO4of nanoparticles.

SEMNAS MIPA 2010

There are many applications of


ferrofluids. The most applications are based
on these properties: (1) The ferrorfluids will
go to where the strongest magnetic field is
and stay there (this is called localizability),
(2)
Ferrofluids absorb electromagnetic
energy at convenient frequencies and heat up
and (3) The physical properties of ferrofluids
change when a magnetic field is applied.
2. THEORITICAL
2.1 Ferrofluids
Ferrofluids are colloidal suspensions of
magnetic nanoparticles. Ferrofluids respond
to an external magnetic field enabling the
solution's location to be controlled through
the application of a magnetic field. Fe3O4
magnetite nanoparticles can be produced by
mixing Fe(II) and Fe(III) salts together in a
basic solution. The particles must remain
small and separated from one another in
order to remain suspended in the liquid
medium. Surfactants are used to prevent the
nanoparticles from approaching one another
too closely and its resurfasing the magnetic
particle with the result that arousing steric
repulsion force or electrostatic repulsion

FIS - 63

force. Once prepared, ferrofluids have the


captivating property of exhibiting spikes
when placed in the proximity of a strong
magnet.
There are two basic steps in fabricating
ferrofluids: synthesis of the magnetic solid,
magnetite (Fe3O4), and suspension in water
with the aid of a surfactant. The magnetic
particles must be very small on the order of
10 nm (100 ) in diameter, so that the
thermal energy of the particles is large
enough to overcome the magnetic
interactions between particles. If the particles
are too large, magnetic interactions will
dominate and the particles will agglomerate.
The magnetite will be synthesized by a
precipitation reaction that occurs upon
mixing FeCl2 and FeCl3 with ammonium
hydroxide (an aqueous solution of ammonia,
NH3). The surfactant used in this synthesis is
tetramethylammonium
hydroxide
(N(CH3)4OH ). The hydroxide (OH) ions
formed in solution tend to bind to the iron
sites on the magnetite particles, creating a net
negative charge on each particle. The
positively-charged tetramethyl ammonium
ions will then associate with the negativelycharged magnetite particles, forming a kind
of shell around each magnetite particle. This
charged shell raises the energy required for
the particles to agglomerate, stabilizing the
suspension.
Nanoparticles will remain suspended in
a solution as long as they do not aggregate.
A technique to prevent aggregation is to
stabilize the particles by encapsulating
them with an outer shell. The general
method to achieve this is to use a surfactant.
Surfactants are molecules with two
contrasting properties. They can be a linear
molecule with a hydrophilic region and a
hydrophobic region, or a cation anion pair.
The
former works
by
having the
hydrophilic end of the molecules attach to
the magnetite nanoparticles positioning the
hydrophobic end to form a greasy layer
around the particle. This greasy layer
prevents nanoparticles from getting close
enough to each other to aggregate. The
later is the method used in this experiment.
The ion pair keeps particles separated
through
Coulombic
repulsion
by
encapsulating the particles with a cationic
outter shell.
The anions adhere to the
surface of the magnetite nanoparticles, and

SEMNAS MIPA 2010

they attract its counter cations to form the


positively charged outer shell. Since like
charges repel, the positively charged outer
shell prevent magnetite nanoparticles from
aggregating.
Other surfactants like cis oleic acid
(AOc) can be used for oil-based ferrofluids.
AOc
is
acid
that
contain
fat
monounsaturated omega-9 in which
detectable a yariety of the animals and the
vegetables. It has molecule formula C18H34O2
(or CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH). Name
of IUPAC from AOc is acid cis-9octadecenoic and its abbreviation name is
18:1 cis-9.
AOc can be used as surfactants because
producing steric repulsion. Surfactants AOc
are molecules with two contrasting
properties. They can be a linear molecule
with a inter hydrocarbon chain. The former
works by having the hydrocarbon end of
the molecules
attach to the magnetite
nanoparticles
positioning
the
other
hydrocarbon end to form a greasy layer
around the particle. This greasy layer
prevents nanoparticles from getting close
enough to each other to aggregate.
2.2 Iron-Mangan Oxcide (Fe3-XMnxO4)
Fe3O4 can be written in FeO.Fe2O3
and formed in inverse cubic spinel. Based
on ICSD with code 30860 given Fe3O4 have
space group F d -3 m Z (227) and lattice
parameters a = b = c = 8,396 , where as
angle of inter lattice is formed of 900
respectively. Symbol of Fe1 is the Fe atoms
in the section of A, whereas symbol of Fe2 is
the Fe atoms in the section of B. Fe in the
section of A atom-reviting with 4 atom O,
whereas Fe in the section of octahedral atomreviting with 6 atom O. Fe3O4 consists of
from FeO with Fe charged of 2+ and Fe2O3
with Fe charged of 3+. In this system, of all
tetrahedral section is filled the Fe3+ ions,
whereas a half of its octahedral section filled
by Fe2+ ions and the other one-half section is
filled by Fe3+ ions (Regina, 2006). Based on
XRD characterization, in those research is
obtained Fe3O4 as phase of pure crystal with
lattice parameter a = 8,396 .
Based on experiment which is done
by Wichkam (1969), the composition and the
distribution of charge of Fe3-xMnxO4 can be
formulated as follows.

FIS - 64

Mn x2 Fe13x Fe12x Fe13x O4

(2.1)

For x in the range from to 0 and 1.

Mn 2 Fe33x Mn 3x1 O4

diketahui bahwa the model of its x-ray


diffraction is given in figure 2.

(2.2)

For x in the range from to 1 and 3.


3. EXSPERIMENTAL
Ferrofluids Fe3-xMnxO4 (0 x 1)
Nanoparticles were synthesized using natural
Fe3O4 which was extracted from iron-sand.
The co precipitation method was employed in
this experiment. In this method, iron-sands
which was taken from Tulungagung were
dissolved in HCl and precipitated in NH4OH.
Ferrofluids were fabricated by adding the
surfactant
Tetra
methyl
Ammonium
Hydroxides (TMAH) and Oleic Acid.
The Characterizations have been done
by means of X-ray fluorescence (XRF), Xray diffraction (XRD), Transmission electron
microscopy (TEM) and vibrating sample
magnetometer (VSM).

Figure2. X-ray diffraction model of Fe3O4


X-ray diffraction data has been analyzed
by using Rietveld by menas of Rietica
sofware. Its result is shown in table 1.
Table 1. Structures and lattice parameters of
Fe3-xMnxO4

4. RESULTS and DISCUSSION


Diffraction Pattern of Measurement

Based on table 1, shown that the higher


the composition of x the higher the lattice
parameters. The increment of lattice
parameter because Mn and Fe have different
ionic radii.
Particles size are measured by means of
TEM shown in figure 3.
Figure 1.Diffraction pattern of Fe3-xMnxO4
powder synthesized by
oprecipitation method
According to figure 1, the higher the
pattern the higher the composition of Mn,
meanwhile the composition of Fe is
decreased. All diffraction patterns diffraction
show the same trend. After analyzing by
search match, all samples tend to follow
structural model of Fe3O4 with PDF no 110614, Setelah dilakukan search match

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 65

Figure 5.1 Magnetic Fluids without External


Field

50 nm
Figure 3. TEM image of Fe3O4
TEM image shows the particles sized
are formed in nanometer scale (much lower
than 50 nm). Its result is confirmed by
calculation using Reitica software. From its
calculation, the particles size is 6,9 nm.
Magnetic properties are investigated by
means of VSM. The result is shown in figure
4.

Figure 5.2 Magnetic Fluids with External


Field
From figure 5.1 and 5.2, it can be
known that magnetic fluids have been formed
as liquid phase of magnetite. Magnetic fluids
can also respons to external field depent on
the value of its field.
5. CONCLUSION

Figure 4. hysteresis loops of Fe3-xMnxO4


The shapes of the hysteresis loop is very
interesting and quite satised with the
theoretical prediction.. The saturated
magnetization and retentivity increase by
increasing of x. the higher the composition of
x, the higher the composition of Mn. So that,
it make the number of replacing Fe2+ (4B)
by Mn2+ (5 B) is higher. The magnetization
supposed to increase by about 25%.
The product of this experiment can be
shown in Figure 5.

SEMNAS MIPA 2010

FeO4 nanoparticles which are injected


by Mn2+ ions have been synthesized using
natural Fe3O4 which was extracted from ironsand. Ferrofluids have also fabricated
successfully by adding TMAH and AOc. All
samples are formed in cubic spinel with
particles size is in nanometer scale. In
particular sample, Fe3O4 has particles sized
6,9 nm which is also confirmed by Rietveld
analysis. The increment of composition of x
(Mn2+) are also followed by increment of
magnetic properties (Saturated manetization
and Retentivity) because Mn ion has higher
magnetic moment..

FIS - 66

6. REFERENCES
Regina C.C. Costa, M.F.F. lelis, L.C.A. Oliveira,
J.D. Fabris, J.D. Ardisson, R.R.V.A. Rios, C.N.
Silva, R.M.Lago. Journal of Hazardous Materials
B129 (2006) 171-178.
Wickham. D.G.. J.Inorg.nucl.Chem. 1969. Vol
31.pp.313 to 320.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 67

APLIKASI KAVITASI AKUSTIK UNTUK SINTESIS


NANOMATERIAL HETAEROLITE (ZnMn2O4) SERTA
KARAKTERISTIK GEOMETRI KRISTALNYA
Nurul Hidayat, Ahmad Taufiq, Markus Diantoro, Nasikhudin, Abdulloh Fuad, Arif Hidayat
Jurusan Fisika FMIPA UM, Jl. Semarang 5, Malang 65145 Telp. (0341) 552125 email:
en_hidayat@yahoo.co.id

Abstrak
Nanomaterial hetaerolite (ZnMn2O4) telah berhasil disintesis melalui aplikasi kavitasi akustik untuk
waktu yang berbeda-beda. Di samping itu, aplikasi sintesis ini hanya membutuhkan suhu rendah, kurang
dari 100 oC. Pencampuran ZnCl2 (PA 99,9%), MnCl24H2O (PA 99,9%), NH4OH (PA 99,9%), etanol (PA
99,9%), dan aquades di bawah pengaruh gelombang ultrasonik dilakukan untuk mendapatkan aktivasi
kavitasi akustik, sehingga dengan mudah didapatkan nanomaterial. Karakteristik geometri kristal
diketahui dari hasil uji X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Analisis
pembentukan fasa menggunakan program XPert High Score Plus menunjukkan bahwa semua sampel
berhasil terbentuk dalam fasa tunggal mengikuti pola difraksi ZnMn2O4 yang memiliki no PDF 01-0770470 tanpa ada fasa lain. Dari hasil analisis Rietveld dengan software Rietica, hetaerolite (ZnMn2O4)
mengkristal dalam struktur spinel normal dengan distorsi tetragonal yang memanjang pada kisi c.
Distorsi tetragonal ini adalah konsekuensi fisis dari efek Jahn-Teller yang menyebabkan instabilitas ion
Mn3+ dalam menempati posisi oktehedral membentuk close packed arrangement. Sedangkan seluruh ion
Zn2+ memiliki kecenderungan yang kuat untuk menempati posisi tetrahedral. Sementara ukuran kristal
hasil uji XRD yang sudah dikonfirmasi dengan uji SEM menunjukkan ukuran kristal dan partikel dalam
orde nanometer yang relatif kecil yaitu berkisar antara 40 47 nm.
Kata kunci: kavitasi akustik, nanomaterial, hetaerolite, geometri kristal

1. PENDAHULUAN
Dalam
dekade
terakhir,
hetaerolite
(ZnMn2O4) menjadi bahan kajian yang
menarik perhatian para ahli karena memiliki
peluang aplikasi yang luas, diantaranya
sebagai rechargeable batteries berbasis
litium (Malavasi dkk, 2004), katalis dan
teknologi dekontaminasi air (Bessekhaud
dkk,
2005),
serta
semikonduktor
feromagnetik pada suhu ruang (Fernandes
dkk, 2006). Bahkan kajian mutakhir dalam
rangka menyongsong teknologi nano,
teknologi yang lebih dari sekedar high-tech
dan sejak tahun 2000 memasuki babak yang
paling progresif (Abdullah, 2008), telah
membuktikan bahwa ZnMn2O4 berpeluang
besar
untuk
diaplikasikan
sebagai
nonvolatile resistive random access memory
devices (Peng dkk, 2009), novel lithiumstorage material (Yang dkk, 2008), dan
Xiao
dkk
(2009)
pun
telah
mengembangkannya
menjadi
electrochemical storage material.
Berkaitan dengan karakteristik struktur
kristal
hetaerolite
(ZnMn2O4),
riset
nanomaterial terbaru oleh Menaka dkk

SEMNAS MIPA 2010

(2009) melaporkan bahwa ZnMn2O4


mengkristal dengan struktur spinel normal
dengan distorsi tetragonal ke arah sumbu c
sebesar c/a = 1,618 dalam grup ruang I 41/
a m d no 141, memiliki nilai parameter kisi
a = b = 5,709(1) dan c = 9,238(4) .
Distorsi tetragonal ini adalah konsekuensi fisis
dari efek Jahn-Teller yang menyebabkan
instabilitas ion Mn3+ (d4) dalam menempati
posisi oktehedral membentuk close packed
arrangement (Malavasi dkk, 2004; Choi
dkk, 2006; Menaka dkk, 2009).
Sampai saat ini, telah banyak hasil penelitian
yang sukses mensintesis material ZnMn2O4
dengan berbagai metode, seperti, metode
solid-state reaction (Malavasi dkk, 2004;
Peiteado dkk, 2007; Stojic dkk, 2009;
Shoemaker dkk, 2009), namun ukuran
partikel masih dalam orde mikrometer.
Mengimbangi
pesatnya
perkembangan
teknologi nano, Praserthdam dkk (2004) telah
berhasil menggunakan reaksi glycothermal
yang harus menggunakan suhu cukup tinggi,
yaitu 300 oC untuk fabrikasi ZnMn2O4
berukuran nanometer. Zhang dkk (2007)
telah mensintesis nanomaterial ZnMn2O4
berukuran 2050 nm dengan metode

FIS - 68

hidrotermal dan harus menghabiskan waktu


sintesis selama 118 jam. Menaka dkk (2009)
pun
melaporkan
keberhasilannya
mempreparasi partikel nano ZnMn2O4 dengan
metode reverse micellar dan kopresipitasi,
tetapi perlu pengulangan pemanasan secara
berulang-ulang. Metode polimer pirolisis
oleh Yang dkk (2008) dan metode
solvotermal suhu rendah oleh Xiao dkk
(2009) juga telah dilakukan, namun
sayangnya metode-metode tersebut harus
didukung oleh peralatan yang super
canggih dan tentunya memerlukan biaya
yang tidak sedikit.
Keseluruhan fakta tersebut di atas
menuntut adanya metode sintesis baru yang
bukan hanya jauh lebih sederhana, tetapi
juga dapat mereduksi ukuran, mengkontrol
morfologi, dan tentu membentuk kristal
dengan kemurnian fasa serta kristalinitas
yang baik. Salah satu alternatif untuk
mendapatkan material berukuran nanometer
dengan karakteristik high surface area
adalah dengan menggunakan aplikasi kavitasi
akustik (Suslick dan Price, 1999; Mason dan
Lorimer, 2002; Gedanken, 2004). Dalam
tulisan ini, dilaporkan pendekatan sintesis
nanomaterial hetaerolite (ZnMn2O4) dengan
menggunakan aplikasi kavitasi akustik seta
karakteristik geometri kristalnya.

(a)

(b)

(c)
Gambar 1 (a) Struktur Kristal Spinel
Hetaerolite,
(b)
Bagian
Oktahedral Hetaerolite,
(c)
Bagian Tetrahedral Hetaerolite
Tabel 1 Data Kristalografi
Model ICSD 15305
Atom
Zn
Mn
O

Posisi
Wyck
4a
8d
16h

x y

ZnMn2O4
SOF B

0 0
0
1
0 0,25
0,625 1
0 0,2273 0,3862 1

0,65
0,65
0,65

2.2 MEKANISME KAVITASI AKUSTIK


2. LANDASAN TEORI
2.1 HETAEROLITE (ZnMn2O4)
Hetaerolite (ZnMn2O4) memiliki struktur
spinel dengan rumus umum AB2O4
(ekuivalen
dengan
A2+(B3+)2O4 atau
AOB2O3), di dalam sistem ini terdapat 8
bagian tetrahedral dan 16 bagian oktahedral
dalam satu sel satuan, bagian tetrahedral
ditempati oleh kation divalen A dan bagian
oktahedral ditempati oleh kation trivalen B
(Barsoum, 2003). Berdasarkan ICSD kode
koleksi 15305, ZnMn2O4 mengkristal
dengan struktur spinel normal dalam grup
ruang I 41/amd no 141 dengan parameter kisi
a = b = 5,7220 dan c = 9,240 ( = =
= 90), volume V = 382,4 (3), densitas D =
5,18 g/cm3, dan Z = 4. Data kristalografi
ZnMn2O4 model ICSD 15305 diditunjukkan
dalam Tabel 1. Struktur kristal ZnMn2O4
dapat divisualisasikan (Gambar 1 (a - c)).

SEMNAS MIPA 2010

Sebuah entitas kavitasi akustik dapat


terjadi melalui gelombang ultrasonik. Dalam
fenomena ini, paling tidak terdapat tiga
tahap yang menghasilkan kondisi yang
memungkinkan terjadinya reaksi kimia,
khususnya pembentukan nanomaterial.
Tahap-tahap tersebut adalah pembentukan
gelembung dalam cairan, pertambahan
ukuran gelembung sampai dicapai ukuran
maksimum, dan pecahnya gelembung yang
menyebabkan menurunnya ukuran partikel.
Serangkaian kondisi ini menghasilkan
pemanasan lokal yang intensif, membentuk
titik panas pada cairan dingin dengan suhu
5000 K, dan tekanan 1000 atm yang hanya
memiliki lifetime sepersemilyar detik
(Suslick, 1999).
Sebuah
gelembung
memberikan
respon pada medan sonik dalam cairan
dengan jalan mengembang dan mengempis.
Artinya, gelembung ini tereksitasi dengan
berubahnya waktu tekanan. Dua bentuk
kavitasi yang dikenal adalah kavitasi stabil

FIS - 69

dan kavitasi transien. Kavitasi stabil berarti


gelembung-gelembung
dapt
berosilasi
mengelilingi posisi setimbangnya sampai
pada beberapa siklus refraksi/kompresi.
Sedangkan pada kavitasi transien, gelembung
tumbuh menjadi dua kali ukuran semula
setelah satu (kadang-kadang dua atau tiga)
siklus akustik dan akhirnya pecah/rusak
secara drastis. Metode sonokimia tidak
hanya mampu menurunkan ukuran partikel
sampai pada skala nanometer, tetapi juga
optimasi parameter dapat dicapai.
Untuk memahami bagaimana cara
tumbukan kavitasi dapat mempegaruhi
perubahan kimia, harus dipertimbangkan
berbagai kemungkinan akibat dari tumbukan
ini di dalam sistem yang berbeda. Pertama,
rongga yang dibentuk tidak mungkin berupa
suatu ruang hampa (dalam wujud rongga)
pasti berisi uap air dari media cair atau
bahan reaktan atau gas-gas yang mudah
menguap. Selama tumbukan, uap ini akan
diperlukan dalam kondisi yang ekstrim,
yaitu pada suhu dan tekanan yang tinggi,
menyebabkan molekul-molekul pecah dan
menghasilkan jenis radikal yang reaktif.
Bagian radikal ini kemudian bereaksi di
manapun di dalam gelembung yang pecah
atau setelah migrasi ke dalam cairan luarnya.
Kedua, tumbukan yang mendadak dari
gelembung juga mengakibatkan satu aliran
masuk dan tiba-tiba cairan itu mengisi
kekosongan yang menghasilkan gaya geser
di dalam melingkupi cairan ruah yang dapat
memecahkan ikatan kimia dalam material
dan akhirnya larut dalam cairan atau
mengganggu cairan batas. Kondisi reaksi
untuk suatu proses kavitasi harus
mempertimbangkan pemilihan suhu operasi
dari bahan pelarut karena setiap peningkatan
tekanan uap pelarut akan menurunkan suhu
dan tekanan maksimum untuk tumbukan
gelembung.
Pegaktifan kavitasi di dalam sistem
heterogen merupakan suatu konsekuensi dari
efek mekanis pembentukan rongga. Dalam
sistem heterogen, tumbukan dari gelembung
berongga mengakibatkan cacat mekanis dan
struktur. Tumbukan di daerah dekat
permukaan akan menghailkan aliran masuk
secara drastis dan asimetris dari cairan itu
untuk mengisi kekosongan di daerah
permukaan gelembung. Pengaruh setara
dengan pancaran cairan bertekanan tinggi.
Tumbukan pada permukaan, terutama sekali

SEMNAS MIPA 2010

dari material serbuk akan menghasilkan


energi yang cukup untuk menyebabkan
material pecah menjadi kepingan yang
sangat kecil, bahkan untuk penghalusan
logam. Dengan demikian, kavitasi akustik
dapat meningkatkan luas permukaan untuk
suatu reaksi dan menyediakan energi
pengaktifan tambahan melalui pencampuran
yang efektif serta peningkatan transfer
massa
(Gogate,
2008).
Akhirnya,
nanomaterial yang harus memiliki karakter
high surface area sangat mungkin
dipreparasi melalui aplikasi kavitasi akustik.
3. METODE PENELITIAN
Bahan dasar ZnCl2 (PA 99,9%), dan
MnCl24H2O (PA 99,9%) dilarutkan dengan
etanol (PA 99,9%), dan ditambahkan
aquades. Total volume etanol dan aquades
adalah 60 ml. Kemudian campuran tersebut
disonikasi pada
frekuensi
40
kHz
menggunakan ultrasonic cleaner tipe Power
Sonic 405 pada suhu 30 oC. Kemudian
NH4OH (PA 99,9%) ditambahkan ke dalam
larutan pada suhu 70 oC sampai terbentuk
endapan. Tahap selanjutnya mencuci endapan
dengan aquades dan difiltrasi menggunakan
kertas saring Whatmann ukuran 40. Bahan
yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam
tungku listrik pada suhu 100 oC selama 1 jam.
Setelah ZnMn2O4 berhasil disentisis, sampel
digerus sampai terbentuk serbuk halus.
Karakterisasi
struktur
kristal
menggunakan XRD dan pembentukan fasa
diidentifikasi menggunakan program XPert
High score Plus serta struktur kristal
dianalisis
dengan
metode
Rietveld
menggunakan program Rietica. Ukuran butir
kristal dihitung menggunakan persamaan
Scherrer dan juga dikonfirmasi dengan foto
SEM.
Untuk menghitung ukuran kristal,
digunakan metode Scherrer sebagai alternatif
untuk mengkalkulasi ukuran kristal (partikel).
Persamaan Scherrer diberikan dalam
persamaan:
k
D
(1)
B0 cos
D merupakan ukuran (diameter) kristal, k
merupakan konstanta material yang nilainya
kurang dari 1, merupakan panjang
gelombang sinar-X yang digunakan, Bo

FIS - 70

merupakan lebar puncak pada setengah


maksimum (Full Width Half Maximum,
FWHM) dan merupakan sudut Bragg.
Pada umumnya k 0,9.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 POLA DIFRAKSI ZnMn2O4 HASIL
KARAKTERISASI XRD

224

14 5

127

143
044

035

134

015
132
033
231

220

112
020

004

011

Intensity (arb.u.)

013

021

Pola difraksi sampel ZnMn2O4 hasil


sintesis dengan aplikasi kavitasi akustik untuk
variasi lama sonikasi 0,5 3 jam
ditunjukkan dalam Gambar 2.

t = 3 hours
t = 2 hours
t = 0.5 hours
10

20

30

40

50

60

70

80

90

2 Theta

Gambar 2.
Pola Difraksi ZnMn2 O4
Hasil Sintesis dengan Aplikasi
Kavitasi Akustik
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa
pola difraksi masing-masing sampel semakin
ke atas (t membesar) merupakan pola difraksi
dengan lama sonikasi semakin besar. Secara
sepintas, hasil uji XRD menujukkan pola
difraksi yang sama untuk semua sampel.
Puncak difraksi yang dihasilkan dalam
penelitian ini memiliki pola pelebaran yang
cukup besar, yang mengindikasikan ukuran
kristalnya kecil. Karena pada dasarnya kristal
yang berukuran besar dengan satu orientasi
menghasilkan puncak difraksi yang mendekati
sumbu vertikal. Sedangkan kristal yang sangat
kecil menghasilkan puncak difraksi yang
sangat lebar. Artinya, lebar puncak
difraksi tersebut memberikan informasi
tentang ukuran kristal.
Alasan mengapa kristal yang kecil
menghasilkan puncak yang lebar adalah
karena kristal yang kecil memiliki bidang
pantul sinar-X yang terbatas. Puncak
difraksi dihasilkan oleh interferensi secara
konstruktif sinar yang dipantulkan oleh
bidang-bidang kristal (Abdullah, 2008).
Dalam teori tentang interferensi gelombang,

SEMNAS MIPA 2010

dijelaskan bahwa semakin banyak jumlah


celah interferensi semakin sempit ukuran
frinji pada layar. Interferensi celah banyak
dengan jumlah celah tak berhingga
menghasilkan jumlah frinji yang sangat
sedikit, tetapi sangat terang (Crowell, 2008).
Jumlah celah yang sangat banyak dan
seragam identik dengan kristal yang
berukuran besar. Karena difraksi sinar-X
pada dasarnya adalah interferensi oleh
sejumlah sumber, maka dapat diprediksi
hubungan antara lebar puncak difraksi
dengan ukuran kristal melalui pendekatan
interferensi celah banyak. Adapun puncak
difraksi ZnMn2O4 yang dihasilkan dalam
penelitian ini memiliki kecenderungan yang
lebar. Dari sini, dapat diprediksi bahwa
ukuran kristal adalah kecil. Hasil analisis
yang lebih memadai diberikan pada bagian
selanjutnya.
Analisis fasa untuk semua sampel
menggunakan program XPert High Score
Plus menghasilkan pola difraksi semua sampel
sama dengan pola difraksi ZnMn2O4 yang
memiliki no PDF 01-077-0470 tanpa ada
fasa yang lain. Dengan kata lain, penelitian
ini telah berhasil mensintesis hetaerolite
ZnMn2O4 berfasa tunggal dengan kristalinitas
yang baik. Informasi tersebut memberikan
indikasi bahwa lama sonikasi tidak
mengubah fasa kristal yang terbentuk.
Artinya, dengan lama sonikasi 30 menit sudah
dapat terbentuk kristal ZnMn2O4 dengan fasa
spinel tetragonal. Sementara di pihak lain,
background dan kualitas puncak juga
dimiliki oleh pola XRD untuk lama sonikasi
30 menit, dimana noise paling sedikit dan
semua puncak sesuai dengan pola difraksi
ZnMn2O4 yang memiliki no PDF 01-0770470 muncul. Setelah analisis fasa, analisis
selanjutnya adalah penentuan parameter kisi
dan ukuran kristal.
4.2. STRUKTUR KRISTAL ZnMn2O4
Berdasarkan hasil karakterisasi
XRD, pola difraksi ZnMn2O 4 dianalisis
dengan menggunakan sofware Rietica dan
Microcal Origin. Hasil analisis data
ditunjukkan dalam Tabel 2. Sedangkan
ukuran kristal dihitung menggunakan
persamaan Scherrer. Gambar 3 menunjukkan
grafik hubungan antara lama sonikasi dan
parameter kisi serta volume sel kristal
secara serempak.

FIS - 71

Tabel 2 Hasil Analisis Struktur Kristal


Sampel ZnMn2O4 pada Beberapa
Lama Sonikasi yang Berbeda
t (jam)
a = b ()
c ()
c/a
c-a/a
V (3)
ukuran
(nm)

0,5
5,770
9,430
1,63
0,63
313,63

2,0
5,770
9,380
1,63
0,63
312,68

3,0
5,782
9,440
1,63
0,63
315,66

46

40

47

10.0

400

9.5
9.0
350
8.0
7.5

300

6.5

Konstanta Kisi a = b
Konstanta Kisi c
Volume Kisi

7.0

Volume Sel ( )

Parameter Kisi ()

8.5

250
6.0
5.5
5.0

200
1

t (jam)

Gambar 3

Parameter
Kisi
dan
Volume Kisi Sel nanomatereial
ZnMn2O4

Berdasarkan hasil analisis struktur


kristal dalam Tabel 2 dan gambar 3, teramati
bahwa nilai parameter kisi (yang meliputi
konstanta kisi a, b, dan c) serta volume
kristal tidak mengalami perbedaan yang
cukup signifikan. Bahkan rasio c/a untuk
ketiganya tepat sama, yaitu sebesar 1,63.
Sementara hasil penelitian serupa oleh
Menaka dkk (2009) untuk hetaerolite
ZnMn2O4 berukuran 20-30 nm hasil sintesis
dengan metode reverse micellar dan
kopresipitasi memperoleh c/a sebesar 1,62.
Menaka dkk juga mengklaim bahwa hasil
rasio c/a yang mereka peroleh sangat dekat
dengan nilai c/a kristal tunggal ZnMn2O4
yang dihitung oleh Sorita dan Kawano
(1996). Ukuran kristal yang diperoleh dalam
penelitian ini berkisar antara 40 nm dan 47
nm. Hasil tersebut merupakan hasil empiris
yang sangat mendukung prediksi awal
bahwa ukuran kristal yang dilihat sepintas
dari pelebaran puncak pola difraksi sinar-X
adalah kecil (orde nano meter).
Berdasarkan hasil analisis Rietveld
didapat bahwa semua sampel mengkristal
dengan struktur spinel tetragonal, dengan
parameter kisi a = b c dan = = = 90.

SEMNAS MIPA 2010

Nilai parameter kisi rata-rata a = b = 5,774


dan c = 9,417 . Dari data parameter kisi
tersebut,
struktur
spinel
ZnMn2O4
mengalami distorsi secara tetragonal yang
memanjang ke arah sumbu c. Distorsi
tetragonal ini adalah konsekuensi fisis dari
efek Jahn-Teller aktif yang menyebabkan
instabilitas ion Mn3+ (d4) dalam menempati
posisi oktehedral membentuk close packed
arrangement. Sedangkan ion Zn2+ (d10)
memiliki kecenderungan sangat kuat untuk
menempati posisi tetrahedral (Malavasi dkk,
2004; Choi dkk, 2006 dan Menaka dkk,
2009).
Ukuran kristal juga dikonfirmasi
dengan fotografi SEM untuk sampel
ZnCoMn2O4
(t = 30 menit) dengan
perbesaran 50.000 kali yang ditunjukkan
dalam Gambar 4. Hasil uji SEM yang
menggambarkan morfologi partikel dengan
menunjukkan bahwa ukuran butiran
senyawa ZnMn2O4 di bawah orde mikron.
Tentu ini memang menjadi tujuan dalam
penelitian ini yaitu membentuk partikel
dalam ukuran nano meter. Visualisasi
fotografi untuk sampel menggambarkan
bahwa semua sampel mengalami aglomerasi
atau penggumpalan. Sama seperti hasil
penelitian ini, Menaka dkk (2009) pun
melalui uji TEM (Transmission Electron
Microscopy) sekaligus HRTEM (High
Resolution
Transmission
Electron
Microscopy)
mengamati
terjadinya
penggumpalan partikel nano ZnMn2O4 yang
disintesis dengan metode reverse micellar
dan
kopresipitasi.
Aglomerasi
pada
ZnMn2O4 disebabkan oleh karakteristik Mn
yang cenderung untuk menggumpal.
Terlepas dari kondisi semacam ini,
sekali lagi dapat diyakini bahwa ukuran
partikel sudah berada pada orde nano meter.
Dengan kata lain, nanomaterial hetaerolite
(ZnMn2O4) sejatinya sudah terbentuk.
Adapun grafik hubungan antara
pengaruh variasi lama sonikasi dan rasio c/a
sekaligus derajat distorsi (c-a)/a diberikan
dalam Gambar 5. Derajat distorsi tetragonal
yang dihasilkan dalam penelitian ini
memiliki kesamaan yang cukup dekat
dengan yang dilaporkan oleh Peiteado
(2010), yaitu sebesar 1,615.

FIS - 72

Gambar 4 Hasil Foto SEM Serbuk


ZnMn2O4 (t = 30 menit)
1.90

0.70

1.85

0.65

1.80
1.75

0.60
0.55

Rasio c/a

1.65
1.60

0.50

1.55

0.45

1.50

Derajat Distorsi (c-a)/a


Rasio c/a

1.45

0.40

1.40

Derajat Distorsi (c-a)/a

1.70

0.35

1.35
1.30

0.30
1

t (jam)

Gambar 5
Rasio c/a dan Derajat
Distorsi (c-a)/a Nanomaterial ZnMn2 O4
Secara konseptual, distorsi tetragonal
yang disebabkan oleh efek Jahn-Teller dapat
dijabarkan melalui teori medan kristal
(Crystal Field Theory). Effendi (2007)
menjelaskan bahwa dalam teori medan
kristal dijelaskan interaksi yang terjadi
antara logam dengan ligan adalah murni
interaksi elektrostatik. Logam yang menjadi
pusat dari kompleks dianggap sebagai
suatu ion positif yang muatannya sama
dengan tingkat oksidasi dari logam tersebut.
Orbital d yang dimiliki oleh garamgaram logam transisi memiliki lima orbital,
yaitu dxy, dxz, dyz, dx2-dy2, dan dz2. Kelima
orbital d tidak identik, dan dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu orbital t2g dan
eg. Orbital-orbital t2g, yang terdiri dari dxy,
dxz, dyz, memiliki bentuk yang sama dan
memiliki orientasi arah di antara sumbu x, y,
dan z. Orbital-orbital eg, yang terdiri dari
dx2-dy2, dan dz2, memiliki bentuk yang
berbeda dan terletak di sepanjang sumbu. Di

SEMNAS MIPA 2010

sisi lain, kompleks oktahedral adalah salah


satu bagian dari struktur spinel.
Pada kompleks oktahedral, logam
berada di pusat oktahedron dengan ligan di
setiap sudutnya. Tolakan oleh elektron dari
keenam ligan dalam suatu kompleks
oktahedral memecah orbital d menjadi orbital
t2g dan eg. Arah mendekatnya ligan adalah
sepanjang sumbu x, y, dan z, dan searah
dengan orientasi orbital dx2-dy2, dan dz2.
Kedua orbital tersebut juga menghadap
langsung ke arah mendekatnya ligan, maka
keduanya mengami tolakan yang lebih besar
dari ligan dibandingkan orbital dxy, dxz, dan
dyz yang berada di antara sumbu-sumbu x,
y, dan z. Dengan demikian orbital d pada
kompleks oktahedral mengalami pemecahan
(splitting) tingkat energi dimana orbitalorbital eg memiliki tingkat energi yang lebih
besar dibandingkan orbital t2g.
Orbital-orbital
eg
berhadapan
langsung dengan ligan, sehingga penataan
elektron yang asimetris dalam orbital eg akan
menyebabkan ligan mengalami tolakan yang
lebih besar dibandingkan ligan lainnya dan
menghasilkan distorsi yang signifikan.
Sebaliknya orbital-orbital t2g tidak berhadapan
langsung dengan ligan, sehingga penataan
elektron yang asimetris dalam orbital t2g tidak
memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap struktur kompleks, distorsi yang
terjadi biasanya sangat lemah sehingga tidak
terukur. Dengan demikian, bagian oktahedral
spinel merupakan efek Jahn-Teleer aktif
sedangkan bagian tetrahedralnya bukan
merupakan efek Jahn-Teller aktif.

Mn3+ (d4)
O

Mn3+

Gambar 5 Konfigurasi Elektron Mn3+


(d4) dan Distorsi Tetragonal
dalam Kompleks Oktahedral
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
panjang parameter kisi c lebih besar dari

FIS - 73

pada a dan b. Sejalan dengan hal tersebut,


sumbu z bagian oktahedral dari struktur
spinel hetaerolite searah dengan kisi c.
Perpanjangan parameter kisi c tentunya
diawali oleh perpanjangan sumbu z
kompleks oktahedral, sering dikenal distorsi
ke luar (z-out). Artinya, kompleks
oktahedral dengan atom pusat diisi oleh ion
Mn3+ (d4) harus memiliki konfigurasi
elektron t2g3 eg1 pada kondisi medan lemah
(Gambar 5), bukan t2g4 eg0 yang
menyebabkan hadirnya medan kuat. Karena
distorsi ke luar kompleks oktahedral hanya
dibolehkan pada kondisi medan lemah untuk
atom pusat dengan konfigurasi elektron d4,
dalam hal ini ion Mn3+. Akhirnya, hasil
penelitian ini sekaligus membuktikan
kebenaran teorema Jahn-Teller, yaitu untuk
molekul non linear pada keadaan
elektrostatis yang degenerat (energinya
sama), suatu distorsi harus timbul untuk
menghasilkan sistem dengan energi yang
lebih rendah.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis


data yang telah dilakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Nanomaterial ZnMn2O4 telah berhasil
disintesis melalui aplikasi kavitasi
akustik suhu rendah ( 100 oC).
2. Lama sonikasi 0,5 jam sudah dapat
membentuk nanomaterial ZnMn2O4.
3. Ukuran kristal partikel ZnMn2O4 berkisar
antara 40 nm dan 47 nm.
4. Berdasarkan hasil uji SEM, nanomaterial
ZnMn2O4 mengalami aglomerasi.
6. PUSTAKA
Abdullah M. (2008),
FMIPA ITB, Bandung.

Pengantar Nanosains,

Barsoum M (2003), Fundamentals of Ceramics,


Institute of Physics Publishing Ltd, London.
Bessekhaud Y, Robert D and Weber J.V (2005),
Photocatalytic activity of Cu2O/TiO2, Bi2O3/TiO2 and
ZnMn2O4/TiO2 heterojunctions, Catalis Today,
Volume 101, 315-321.

Choi H.C, Shim J.H, and Min B.I (2006),


Electronic structures and magnetic properties of
spinel ZnMn2O4 under high pressure, Phys. Rev. B
74, 172103.
Crowell B (2008), Vibration and Waves.
Fullerton, Calivornia.
Diantoro, M., Subakti, Nasikhudin (2009), Phase
Formation of Nano Sized Material of ZnCo2O4
Using Sonochemie Route for Supercapacitor
Cell, International Meeting on Microscopy, BaliIndonesia.
Effendi (2007), Perspektif Baru Kimia
Koordinasi Jilid 1, Bayumedia Publishing.
Malang Jawa Timur-Indonesia.
Gedanken A (2004), Using sonochemistry for the
fabrication of nanomaterials, Ultrasonics
Sonochemistry, Volume 11, 4755.
Malavasi L, Tealdi C, Amboage M, Mozzat M.C,
and Flor G (2005), High pressure X-ray Diffraction
Study of MgMn2O4 Tetragonal Spinel, Journal,
Universit di Pavia, Italy.
Mason T.J and Lorimer J.P (2002), Applied
Sonochemistry; The Uses of Power Ultrasound in
Chemistry and Processing, Weinheim, Wiley
VCH Verlag GmbH & Co.KgaA.
Menaka,
Qamar M,
Lofland S.E,
Ramanujachary K.V, and Ganguli A.K (2009),
Magnetic and photocatalytic properties of
nanocrystalline ZnMn2O4, Bull. Mater. Sci.,
Volume 32, 231237.
Peiteado M (2010), Doping of ZnO with Mn or
Co: Two different behaviours for the same
synthesis approach, Bol. Soc. Esp. Ceram,
Volume 49, 53-60.
Peiteado M, Caballero A C and Makovec D
(2007), Diffusion and reactivity of ZnO MnOx
system, J. Solid State Chem. Volume180, 24592464.
Peng, Haiyang Wu, and Tom (2009), Nonvolatile
resistive switching in spinel ZnMn2O4 and
ilmenite ZnMnO3, Applied Physics Letters,
Volume 95, 152106-152106-3.
Praserthdam P, Silveston P.L, Mekasuwandumrong
O, Pavarajarn V, Phungphadung J, and Somrang P
(2004), A New Correlation for the Effects of the
Crystallite Size and Calcination Temperature on
the Single Metal Oxides and Spinel Oxides
Nanocrystal, Crystal Growth & Design, Volume 4,
No. 1, 39-43.
Shoemaker D.P, Rodriguez E.E, and Seshadri R
(2009), Intrinsic exchange bias in ZnxMn3-xO4,
Cond-mat.matrl-sci, arXiv:0906.3534v2.
Sivakumar M, Gedanken A, Zhong W, Jiang Y.H,
Du Y.H,Brukental I, Bhattacharya D, Yeshurunc Y,

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 74

and Nowikd I (2004), Sonochemical synthesis of


nanocrystalline LaFeO3, Journal of Mater
Chemistry, Volume 14, 764-769.
Sorita R and Kawano T (1996), Sensor and
Actuators, B 274, 3536.
Stojic, B.B, Milivojevic D, and Blanusa J (2009),
Ferromagnetic behaviour of the ZnMnO
system, Journal of the Serbian Chemical Society,
Volume 74 (1), 7184.
Suslick, K. S., Price, G. J (1999), Application of
ultrasound to material chemistry, Annu. Rev.
Mater. Sci, 295-326.
Xiao L, Yang Y, Yin J, Qiao L, and Zhang L
(2009), Low temperature synthesis of flower-like
ZnMn2O4 superstructures with enhanced
electrochemical lithium storage, Journal of
Power Sources, Volume 194, 1089-1093.
Yang Y, Zhao Y, Xiao L and Zhang L (2008),
Nanocrystalline ZnMn2O4 as a novel lithium
storage material, Electrochemistry Communications, Volume 10, 1117-1120.
Zhang X.D, Wu Z.S, Zang J, Li D and Zhang Z.D
(2007),
Hydrothermal
synthesis
and
characterization of nanocrystalline ZnMn spinel,
J. Phys. Chem Solids, Volume 68, 1583-1590.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 75

NORMALISASI PERSAMAAN TDGL SEBAGAI PARAMETER


DAN FUNGSI TEMPERATUR
Hari Wisodo, Pekik Nurwantoro, Agung Bambang Setio Utomo
1
Jurusan Fisika FMIPA UGM, Yogyakarta, Indonesia
2
Jurusan Fisika FMIPA UM, Malang, Indonesia, Email: wisodo_fisikaum@yahoo.com

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 76

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 77

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 78

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 79

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 80

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 81

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 82

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 83

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 84

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 85

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 86

PEMBUATAN ALAT TERPADU EKSPERIMEN GETARAN


SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN PRAKTIKUM FISIKA DI
SMA
Herwinarso
Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Unika Widya Mandala Surabaya 60114
Telp: (031) 3891265, Fax: (031) 3891267
E-mail: herwinarso@yahoo.com

Abstrak
Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang terkait erat dengan pengukuran, karenanya
pembelajaran Fisika tidak dapat dipisahkan dari kegiatan praktikum untuk meningkatkan pemahaman
konsep fisika. Berdasarkan pengamatan penulis pada berbagai SMA di Surabaya, kegiatan praktikum
umumnya kurang mendapat penekanan atau bahkan tidak dilakukan karena tidak tersedianya alat-alat
praktikum yang memadai. Di beberapa SMA, eksperimen-eksperimen yang terkait dengan getaran yang
mestinya mudah dilakukan umumnya tidak tersedia, dan jika tersedia umumnya disampaikan secara
terpisah. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu membuat alat terpadu
eksperimen getaran (percobaan pegas, ayunan tunggal maupun ayunan fisis) sebagai media
pembelajaran praktikum fisika di SMA.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, telah dilakukan suatu penelitian untuk membuat alat
terpadu eksperimen getaran yang dilengkapi dengan program simulasi eksperimennya berbasis
komputer. Uji coba penggunaan alat dilakukan kepada siswa-siswi SMAK Stella Maris Surabaya.
Pengujian dilakukan melalui eksperimen Ayunan Fisis dengan menggunakan alat terpadu dan
dilanjutkan dengan pengisian angket. Hasil uji coba tersebut menunjukkan bahwa siswa umumnya dapat
melakukan eksperimen secara mandiri dengan mengikuti modul petunjuk praktikum. Dari pengisian
angket diperoleh 100% menyatakan percobaan menarik karena mereka dengan mudah dapat melakukan
percobaan, 93,75% menyatakan media yang telah dibuat mempunyai tampilan yang cukup menarik dan
tepat sebagai sarana percobaan, 87,5% menyatakan percobaan dapat meningkatkan pemahaman.
Sedangkan untuk eksperimen Getaran Pegas, ujicoba dilakukan ke siswa SMA Kartika Wijaya Surabaya,
dan hasilnya cukup bagus tentang alat terpadu tersebut. Dengan demikian, alat terpadu eksperimen
getaran untuk siswa di SMA yang telah dibuat dapat dikatakan baik. Melalui alat ini diharapkan siswa
akan lebih memahami konsep Fisika dan termotivasi untuk cinta akan Fisika melalui kegiatan
eksperimen, baik di laboratorium Fisika.
Kata kunci: Media pembelajaran, getaran, pegas, ayunan fisis.
1. PENDAHULUAN

Fisika merupakan ilmu pengetahuan


yang terkait erat dengan pengukuran,
karenanya pembelajaran Fisika tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan praktikum untuk
meningkatkan pemahaman konsep fisika.
Berdasarkan pengamatan penulis pada
berbagai SMA di Surabaya, kegiatan
praktikum umumnya kurang mendapat
penekanan atau bahkan tidak dilakukan
karena tidak tersedianya alat-alat praktikum
yang memadai. Di beberapa SMA,
eksperimen-eksperimen yang terkait dengan
getaran yang mestinya mudah dilakukan
umumnya tidak tersedia, dan jika tersedia
umumnya disampaikan secara terpisah.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab
permasalahan tersebut, yaitu membuat alat

SEMNAS MIPA 2010

terpadu eksperimen getaran (percobaan


pegas, ayunan tunggal maupun ayunan fisis)
sebagai media pembelajaran praktikum
fisika di SMA.
2. LANDASAN TEORI

Topik materi getaran pada pelajaran


fisika di SMA yang dapat dieksperimenkan
adalah tentang getaran pegas dan ayunan
tunggal.
Namun
demikian
masih
dimungkinkan dapat dilakukan eksperimen
untuk ayunan fisis. Materi eksperimen
inlilah yang melandasi dibuatnya alat
terpadu sederhana untuk eksperimen getaran
di SMA.
2.1. Ekperimen Getaran Pegas

FIS - 87

Pada eksperimen getaran dengan


menggunakan
pegas,
diantaranya
mempunyai tujuan untuk menentukan
konstanta pegas. Untuk menentukan
konstanta pegas dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu dengan menggunakan hukum
Hooke dan dengan menggunakan sistem
getaran.
Hukum Hooke menyatakan bahwa
perubahan panjang pegas ini sebanding
dengan gaya yang diberikan. Secara
matematis dapat dituliskan :
(1)
F k .x
F : gaya yang diberikan pada pegas (N).
k : konstanta gaya pegas (N/m).
x : perubahan panjang pegas (m).

hasil eksperimen
Persamaan (2).

dengan

menggunakan

2.2 Ayunan Tunggal


Pada Gambar 2, sebuah benda
bermassa m digantung pada seutas tali yang
panjangnya L. Jika benda tersebut
disimpangkan sebesar sudut dari
kedudukan setimbang kemudian dilepas,
maka benda akan melakukan getaran selaras
sederhana apabila sudut kecil ( 10o).
Karena kecil maka s x, maka diperoleh
persamaan:

T 2

L
g

atau

4 2 L
T2

(3)

L adalah jarak antara ujung tali dan pusat


massa benda.

Gambar 1. Pegas diberi benda pada


ujungnya
Secara eksperimen gaya F merupakan
berat beban dan dapat ditentukan dengan
menimbang massa beban (F = m.g) dan
pertambahan panjang x dapat diukur dengan
menggunakan mistar, dengan demikian
konstanta pegas dapat ditentukan melalui
Persamaan (1). Untuk pegas yang disusun
seri maupun paralel, konstanta pegas
penggantinya dapat ditentukan dengan
menggunakan eksperimen di atas.
Namun demikian, konstanta pegas
(tunggal, susunan seri dan paralel) dapat
ditentukan melalui massa beban dan periode
getaran dengan menggunakan persamaan:

T 2

m
k

(2)

T : periode getaran (s).


m : massa beban yang bergetar (kg).
k : konstanta gaya pegas (N/m).
Dengan demikian, konstanta pegas dari hasil
eksperimen
dengan
menggunakan
Persamaan (1) dapat dibandingkan dengan

SEMNAS MIPA 2010

Gambar 2. Ayunan Tunggal


Secara eksperimen dapat ditentukan
percepatan gravitasi bumi dengan mengukur
periode getaran T dan jarak antara sumbu
ayun terhadap pusat massa bola ayun L.
2.3 Ayunan Fisis
Materi
tentang
ayunan
fisis
sebenarnya belum termaksud dalam materi
fisika
di SMA. Namun demikian
eksperimennya
relatif
mudah untuk
dilakukan bagi siswa SMA (hampir sama
dengan eksperimen ayunan tunggal), dan
didalamnya dapat lebih meningkatkan
pemahaman siswa SMA tentang cara
menentukan titik berat dan momen inersia
benda melalui eksperimen.
Sebuah benda yang digantungkan
pada suatu titik sembarang dapat mengalami
gerak selaras sederhana anguler jika pada
benda itu bekerja momen gaya pemulih ().
Untuk sudut kecil ( 10o), periode gerak

FIS - 88

selaras sederhana anguler dapat dinyatakan


persamaan:

T 2

I
m.g.l

(3)

I : momen inersia benda terhadap sumbu


ayun.
m : massa benda.
g : percepatan gravitasi Bumi.
l : jarak sumbu ayun ke pusat titik berat
benda.

merekomendasikan eksperimen getaran


(ayunan tunggal, pegas dan ayunan fisis)
secara terpadu dan menarik yang masingmasing dilengkapi dengan CD yang merisi
simulasi eksperimennya, sehingga siswa
SMA dapat melakukan eksperimen dengan
mudah dan menyenangkan.
3. DISAIN ALAT TERPADU
EKSPERIMEN GETARAN
Berdasarkan uraian materi eksperimen
di atas, telah di desain alat yang akan
digunakan untuk kegiatan eksperimen
ayunan tunggal, pegas dan ayunan fisis,
seperti pada Gambar 5.

Gambar 3. Ayunan Fisis


Dengan menghitung periode, massa
benda dan mengukur jarak sumbu ayun ke
pusat titik berat, dapat ditentukan momen
inersia untuk benda sebarang melalui ayunan
fisis.
Letak titik berat suatu benda dapat
dilakukan melalui eksperimen, yaitu dengan
menggantungkan benda melalui tepi benda
tersebut, minimum 2 tempat.

Gambar 5. Disain alat eksperimen


Getaran
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan dari penelitian,
telah dihasilkan seperangkat alat terpadu
sederhana untuk eksperimen getaran pada
pegas, ayunan tunggal dan ayunan fisis
untuk siswa di SMA, seperti pada Gambar 6.

(a)
(b)
Gambar 4. Menentukan titik berat
Dimisalkan sebuah banda berbentuk
segi tiga yang akan ditentukan letak titik
beratnya. Mula-mula benda di gantungkan
pada titik A, lalu digambarkan tali yang
tergantung vertikal ke bawah (Gambar 4a),
lalu pada titik B benda digantungkan dan
digambarkan tali yang tergantung vertikal ke
bawah.
Perpotongan
garis
tersebut
merupakan letak titik berat benda (Gambar
4b).
Berdasarkan uraian singkat diatas,
telah dirancang suatu alat yang dapat
SEMNAS MIPA 2010

Gambar 6. Sperangkat alat eksperimen


getaran

FIS - 89

Untuk uji coba alat terpadu ini, dipilih


percobaan ayunan fisi dan percobaan getaran
pegas, karena percobaan ini memiliki taraf
kesulitan cukup besar dibandingkan
percobaan ayunan tunggal. Hal ini dapat
dilihat dari cara melakukan percobaan.
Ujicoba penggunaan alat untuk
percobaan ayunan fisis dilakukan kepada
siswa-siswi SMAK Stella Maris Surabaya.
Cara
pengujian
dilakukan
dengan
menggunakan angket dengan melakukan
salah satu percobaan getaran ayunan fisis.
Data yang diperoleh dirangkum , kemudian
diolah menjadi bentuk persentase (%) dan
dirangkum menjadi dua kolom pilihan (SS +
S dan TS + STS). Data yang diperoleh dari
angket dirangkum, kemudian diolah menjadi
bentuk persentase (%) dan dirangkum
menjadi dua kolom pilihan (SS + S dan TS +
STS).
Tabel 1. Data Angket dari 16 Siswa dalam
persen setelah dirangkum
menjadi dua kolom pilihan
(SS+S dan TS+STS)
No

Pernyataan

Tidak ada kesulitan


1 melakukan
percobaan
Mengasyikkan
2 dengan adanya
percobaan
Mudah memahami
3
petunjuk percobaan
Nilai momen
inersia benda lebih
4
mudah diperoleh
melalui percobaan
Materi fisika lebih
5 mudah diingat
melalui percobaan
Tampilan alat
6
cukup menarik
Menarik karena
dapat dengan
7
mudah melakukan
percobaan
Dapat melakukan
8
percobaan sendiri
Tepat sebagai
9
sarana percobaan
Percobaan ini
10 menambah
kebingungan

SS

Pilihan (%)
S
TS

6,25

93,75

75

25

6,25

81,25

12,5

6,25

56,25

37,5

25

62,5

12,5

12,5

81,25

6,25

12,5

87,5

6,25

50

31,2
5

12,5

12,5

81,25

6,25

18,75

68,7
5

12,5

STS

Berdasarkan data yang diperoleh dari


siswa SMAK Stella Maris Surabaya, 100%
menyatakan percobaan menarik karena
SEMNAS MIPA 2010

dapat dengan mudah dapat melakukan


percobaan Butir 7), 93,75% menyatakan
media yang telah dibuat mempunyai
tampilan yang cukup menarik dan tepat
sebagai sarana percobaan (butir 6). 87,5%
menyatakan percobaan dapat mempercepat
pemahaman materi fisika (butir 5).
Dari tabel pilihan sangat setuju (SS)
atau setuju (S) pada pernyataan no.1-9
berjumlah 125, sedangkan pada pernyataan
no.10 yang memilih sangat setuju (SS) atau
setuju (S) berjumlah 3. Pilihan tidak setuju
(TS) atau sangat tidak setuju (STS) pada
pernyataan no.1-9 berjumlah 19, sedangkan
pada pernyataan no.10 berjumlah 13. Secara
matematis dituliskan :
Untuk pernyataan no.1-9:
SS + S
= 125
TS + STS = 19
Untuk pernyataan no.10:
SS + S
= 3
TS + STS = 13 +
Jumlah

= 160

Yang mengidentifikasikan media ini


baik atau tidak adalah peserta quisoner
memilih SS atau S pada pernyataan no.1-9
dan memilih TS atau STS pada no.10 dalam
angket. Dari data yang diperoleh presentase
yang mengidentifikasikan program baik =
((125+13)/160) 100% = 86,25%. Dengan
demikian, media yang telah dibuat untuk
melakukan ekeperimen getaran melalui
percobaan ayunan fisis di SMA dapat
dikatakan baik.
Hal yang sama juga telah dilakukan
untuk percobaan pegas di SMA Kartika
Wijaya Surabaya dengan jumlah siswa 33,
dimana 96,97% menyatakan percobaan
menarik karena dapat dengan mudah dapat
melakukan percobaan Butir 7), 87,88%
menyatakan media yang telah dibuat
mempunyai tampilan yang cukup menarik
dan tepat sebagai sarana percobaan (butir
6)., dan 87,88% menyatakan percobaan
dapat mempercepat pemahaman materi
fisika (butir 5).
Yang
menyatakan
media
pembelajaran ini baik atau tidak adalah
peserta kuesioner berdasarkan angket yang
memilih SS atau S pada pernyataan no. 1 9
dan yang memilih TS atau STS pada no. 10.
Dari data yang diperoleh presentase yang
menyatakan program baik = {(277 +
FIS - 90

3)/330}x 100% = 84,84%. Dengan demikian


media
pembelajaran
fisika
untuk
menentukan konstanta pegas pokok bahasan
getaran di SMA yang telah dibuat dapat
dikatakan baik.

Soedarjana, 1982. Fisika Untuk Universitas I.


Mekanika, Panas dan Bunyi. Bandung:
Binacipta.
Umar, Efrizon. 2005. Fisika dan Kecakapan
Hidup. Jakarta: Ganeca Exact.

4. KESIMPULAN
Alat terpadu eksperimen getaran
sebagai media pembelajaran praktikum
fisika di SMA telah dibuat dan diujicobakan.
Dari hasil ujicoba secara umum mengatakan
bahwa alat ini dapat diterima dengan baik
oleh siswa SMA. Melalui alat ini diharapkan
siswa akan lebih memahami konsep Fisika
dan termotivasi untuk cinta akan Fisika
melalui kegiatan eksperimen di laboratorium
Fisika.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada
I-MHERE UKWMS yang telah membiayai
penelitian ini melalui kegiatan Research
grant di Program Studi Pendidikan Fisika.
5. PUSTAKA
Cahyani. 2005. Pengukuran Momen Kelembaman Sistem Dua Batang Secara Dinamika dan
Secara Statika. Skripsi.
Foster, Bob. 2000. Fisika SMU Kelas 1B.
Jakarta: Erlangga.
Giancoli, Douglas C. 2001. Fisika (jilid 1) edisi
kelima. Alih Bahasa Yuhliza Hanum. Jakarta:
Erlangga.
Halliday, David & Resnick, Robert.1985. Fisika
(jilid 1). Jakarta: Erlangga.
Hamalik, Oemar. 1985. Media Pendidikan.
Bandung: Penerbit Alumni.
Herwinarso.
2010.
Pembuatan
simulasi
eksperimen getaran berbasis komputer sebagai
media pembelajaran praktikum fisika di SMA.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA.
Uness Semarang
Kanginan, Marthen. 1999. SeribuPena Fisika
SMU Kelas 3 (jilild 3). Jakarta: Erlangga.
Laboratorium Fisika, 2004. Petunjuk Praktikum
Fisika Dasar I. Unika Widya Mandala,
Surabaya.
Paul A. Tipler, 1998. Physics for Scientists and
Engineer, Terjemahan : Lea Prasetio & Rahmad,
Erlangga, Jakarta.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 91

PENERAPAN TEKNIK DIGITAL PADA PROSES PENILAIAN


KEMAMPUAN PSIKOMOTORIK PESERTA DIDIK YANG
SEDANG MELAKUKAN KEGIATAN PRAKTIKUM BERBASIS
MIKROPROSESOR
Heriyanto
Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No 5 Malang, 65141
Telp : (0341) 587966, Fax : (0341) 566936
E-mail : heriyanto_um@yahoo.com3)

Abstract
Kurikulum berbasis Kompetensi menyatakan bahwa penilaian tidak hanya pada hasil belajar
tetapi juga harus dilaksanakan pada proses kegiatan belajar, termasuk kegiatan praktikum. Penilaian
Kegiatan praktikum sangat cocok dilakukan dengan cara pengamatan. Akan tetapi penilaian dengan cara
pengamatan relatif sulit. Kesulitan itu antara lain pengamat harus menghafal indikator yang ingin
diketahui. Pengamat harus dengan jelas mengamati tiap-tiap peserta didik. Kesulitan ini bertambah
karena tugas ganda yaitu selain mengamati juga harus melakukan pembimbingan.
Kesulitan ini bisa dikurangai jika dalam proses pengamatan tersebut digunakan teknik tertentu
yang dalam makalah ini diperkenalkan dengan nama teknik digital.
Telah dikembangkan alat penilaian yang menggunakan teknik digital. Alat ini diuji-cobakan
untuk menilai kegiatan praktikum Elektronika Dasar I. Indikator belajar yang digunakan telah diubah
menjadi butir butir pertanyaan elementer. Butir-butir pertanyaan elementer ini telah dimasukan pada
alat berbasis mikroprosesor. Begitu juga nama peserta didik juga telah dimasukan ke dalam memori
mikroprosesor. Jumlah soal elementer yang telah dimuat adalah 120 butir. Jumlah peserta didik yang
telah dimuat adalah sebanyak 27 peserta.
Dengan menekan tombol 1 atau 3 maka nama perserta didik bisa berganti. Sedangkan tombol 4
atau 6 digunakan untuk mengganti butir soal. Tombol 7 digunakan untuk menjawab "Tidak". Tombol 8
digunakan untuk menjawab "Ya". Selesai kegiatan pengamatan skor sudah dapat dilihat. Dengan alat
penilaian yang menggunakan konsep Digital ini maka kegiatan penilaian menjadi lebih mudah
dilaksanakan.
Keywords: penilaian, digital
1.pPENDAHULUAN

Kurikulum
berbasis
kompetensi
menya-takan bahwa penilaian tidak hanya
pada hasil belajar tetapi juga harus
dilaksanakan pada proses kegiatan belajar.
Hal ini termasuk kegiatan belajar dalam
bentuk kegiatan praktikum. Penilaian
kegiatan praktikum sangat cocok dilakukan
dengan cara pengamatan. Akan tetapi
penilaian dengan cara pengamatan relatif
sulit.
Kesulitan itu antara lain pengamat
harus menghafal indikator yang ingin
diketahui. Pengamat harus dengan jelas
mengamati tiap-tiap peserta didik. Kesulitan
ini bertam-bah karena tugas ganda, yaitu
selain meng-amati juga harus melakukan
pembimbingan.

SEMNAS MIPA 2010

Kesulitan ini bisa dikurangai jika


dalam
proses
pengamatan
tersebut
digunakan teknik tertentu yang dalam
makalah ini diperkenalkan dengan nama
teknik digital.
Ada dua penerapan teknik digital
dalam penilaian model ini; yaitu pertama
penerapan teknik digital pada saat penyusunan soal, kedua penerapan digital pada
alat / perangkat keras.
Soal-soal penilaian dikembangkan
dari kisi-kisi yang telah ditentukan.
Selanjutnya soal-soal tersebut harus diubah
sedemikian rupa sehingga jawaban dari soalsoal tersebut hanya ada du pilihan. Soal
yang sudah memiliki jawaban dua status ini
selanjutnya dalam tulisan ini disebut soal
elementer. Contoh jawaban dari soal
elementer antara lain; ya atau tidak,
sudah atau belum, benar atau salah,
FIS - 92

ada atau tidak ada. Jawaban dari soalsoal elementer yang telah diperoleh
selanjutnya diproses secara digital, misalnya
menggunakan gerbang OR atau AND
atau kombinasinya.
Jawaban soal elementer ini bisa
diproses secara digital jika alat pemrosesnya
juga berbasis digital. Salah satu alat yang
paling sederhana yang mampu memproses
secara digital adalah mikroprosesor.
Permasalahan
yang
muncul
selanjutnya adalah bagaimana rangkaian
mikroprosesor yang dapat digunakan untuk
melakukan
penilaian
secara
digital.
Bagaimana pula perangkat lunak yang harus
diisikan kedalam mikroprosesor tersebut.
2. PENILAIAN
Penilaian
(assessment)
adalah
penerapan berbagai cara dan penggunaan
beragam alat penilaian untuk memperoleh
informasi tentang sejauh mana hasil belajar
peserta didik atau ketercapaian kompetensi
(rangkaian kemampuan) peserta didik.
Penilaian menjawab pertanyaan tentang
sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang
peserta didik. [akhmadsudrajat]
Hasil penilaian dapat memberikan
gambaran sejauh mana pencapaian hasil
belajar mengajar, memberi masukan dalam
meningkatkan kemampuan peserta didik
secara optimal. Hasil penilaian juga
merupakan bahan perbaikan pada proses
pembelajaran (Depdiknas 2004). Penilaian
hasil belajar dapat mencerminkan tingkat
kualitas dari keseluruhan proses kegiatan
belajar yang dilakukan peserta didik.
Penilaian juga dapat memberi informasi
untuk bahan masukan dalam rangka
pembinaan dan mutu pendidikan serta
sebagai dasar dalam pembuatan keptutsankeputusan penting dalam peningkatan
kualitas pendidikan
Berdasarkan taksonomi Bloom, aspek
belajar yang harus diukur keberhasilannya
adalah aspek kognitif, aspek afektif dan
aspek psikomotorik. Penilaian harus bersifat
menyeluruh meliputi ketiga aspek tersebut.
Hasil belajar harus menggambarkan proses
dan hasil pembelajaran (Subiyanto, 1988:43)
Penilaian yang berkaitan dengan
aspek psikomotorik adalah penilaian
terhadap penampilan (performance) peserta
didik. Seperti jenis penilaian yang lain,

SEMNAS MIPA 2010

hakekat penilaian penampilan, terutama


ditentukan oleh karakteristik hasil belajar
yang akan diukur. Hal ini harus mengacu
pada prosedur melakukan suatu kegiatan
yang
telah
ditentukan
kreterianya.
Penampilan atau ketrampilan dapat diukur
dari tingat kemahiran, ketepatan waktu
penyelesaian dan atau kualitas produk yang
dihasilkan.
Penilaian
aspek
psikomotorik
merupakan penilaian yang dilakukan dengan
mengamati kegiatan peserta didik dalam
melakukan susatu. Penilaian ini cocok
digunakan untuk menilai ketercapain
kompetensi yang menuntut peserta didik
melakukan tugas/ tindakan tertentu. Cara
penilaian ini dianggap lebih otentik dari
pada tes tertulis. Apa yang dinilai lebih
mencerminkan kemampuan peserta didik
yang sebenarnya.
Kesulitan yang timbul pada saat
melakukan penilaian pengamatan adalah
pengamat harus menghafal indikator yang
ingin diketahui. Pengamat harus dengan
jelas mengamati tiap-tiap peserta didik.
Kesulitan ini bertambah karena tugas ganda
yaitu selain mengamati juga harus melakukan pembimbingan
3. DIGITAL
Digital adalah suatu sistem yang
mendasarkan pada bilangan biner, yaitu nol
dan satu. Segala proses, baik proses logika
maupun proses aritmatika, bisa bekerja jika
semua masukan sudah dalam bentuk biner
(nol dan satu). Segala persoalan yang akan
diselesaikan dengan teknik digital harus
diubah dalam bentuk bilangan biner. Setelah
diubah kedalam bentuk biner maka proses
logika maupun aritmatika dapat dijalankan.
Oleh kerena itu soal soal penilaian
yang memiliki lebih dari dua jawaban tidak
dapat diproses secara digital. Agar soal soal
penilaian psikomotorik dapat diproses
dengan teknik digital, maka soal soal
tersebut harus diubah sedemikian rupa
sehingga soal tersebut hanya memiliki dua
jawaban.
Contoh
sebuah
indikator
pembelajaran berbunyi Peserta didik dapat
mengukur
tegangan
menggunakan
voltmeter.
Perta-nyaan
yang
dapat
digunakan untuk menge-tahui ketercapaian
inidkator ini adalah Berapa tegangan dari

FIS - 93

generator Audio di depan anda?.


Pertanyaan ini tidak dapat diproses secara
digital karena pertanyaan ini memiliki
jawaban lebih dari dua.
Indikator tersebut harus dirubah
menjadi beberapa pertanyaan elementer,
antara lain; (1) apakah peserta didik dapat
memasang colok pada voltmeter? (2) apakah
peserta
didik
dapat
mengaktifkan
(menghidupkan) voltmeter?
(3) apakah
peserta didik dapat mengarahkan selector
voltmeter sesuai dengan tagangan yang mau
diukur?
(4)
apakah peserta
didik
menghubungkan colok-colok voltmeter pada
dua titik yang diukur tegangannya? (5)
apakah peserta didik dapat membaca nilai
tegangan yang ditunjukkan oleh voltmeter?
Setelah soal sudah diubah dalam
bentuk soal elementer yang hanya memiliki
dua jawaban, selanjutnya jawaban-jawaban
tersebut bisa diproses dengan teknik digital.
Dalam teknik digital dikenal tujuh
gerbang dasar. Tujuh gerbang dasar tersebut
adalah gerbang NOT, OR, AND, NOR,
NAND, EXOR dan EXNOR. Sifat gerbanggerbang tersebut dapat dipahami melalui
tabel kebenaran untuk masing-masing
gerbang seperti terlihat pada tabel nomor 1
sampai tabel nomor 7 berikut.
Tabel 1.
No
1
2

Tabel Kebenaran Gerbang


NOT
A
Y
0
1
1
0

Tabel 2. Tabel Kebenaran Gerbang OR


No
A
B
Y
1
0
0
0
2
0
1
1
3
1
0
1
4
1
1
1
Tabel 3.
No
1
2
3
4

Tabel Kebenaran Gerbang


AND
A
B
Y
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
1
1

Tabel 4.
No
1
2
3
4

Tabel 5.
No
1
2
3
4
Tabel 6.
No
1
2
3
4
Tabel 7.
No
1
2
3
4

Tabel Kebenaran Gerbang


NOR
A
B
Y
0
0
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0

Tabel Kebenaran Gerbang


NAND
A
B
Y
0
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
0
Tabel Kebenaran Gerbang
EXOR
A
B
Y
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
1
0
Tabel Kebenaran Gerbang
EXNOR
A
B
Y
0
0
1
0
1
0
1
0
0
1
1
0

Masing masing gerbang disimbulkan


seperti terlihat pada gambar 1 sampai
dengan gambar 7 berikut.

Gambar 1. Simbul Gerbang NOT

Gambar 2. Simbul Gerbang OR

Gambar 3. Simbul Gerbang AND

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 94

Gambar 4. Simbul Gerbang NOR

Gambar 5. Simbul Gerbang NAND

Gambar 6. Simbul Gerbang EXOR

Gambar 7. Simbul Gerbang EXNOR

Contoh indikator yang telah


disebut-kan
memiliki
lima
soal
elementer. Dalam hal ini kelima jawaban
memiliki hubungan logika AND. Artinya
seorang peserta didik dikatakan dapat
mengukur tegangan menggunakan voltmeter
jika ke-lima jawaban soal elementer dijawab
dengan nilai logika satu. Tidak mungkin
peserta didik dikatakan dapat mengukur
tegangan jika dia tidak menghubungkan
colok volt-meter. Tidak mungkin peserta
didik dikata-kan dapat mengukur tegangan
jika dia tidak dapat mengaktifkan voltmeter.
Tidak mungkin peserta didik dikatakan
dapat mengukur tegangan jika dia tidak
dapat mengarahkan selektor voltmeter.
Tidak mungkin peserta didik dikatakan
dapat mengukur tegangan jika dia tidak
dapat membaca nilai tegangan yang
ditunjukkkan oleh voltmeter. Kelima
jawaban harus bernilai satu baru dapat
dikatakan bahwa peserta didik dapat
mengukur
tegangan
menggunakan
voltmeter. Maka hubungan jawaban lima
soal elementer tersebut adalah hubungan
logika AND.
Bisa jadi hubungan antar jawaban soal
elementer itu berupa hubungan OR. Artinya
SEMNAS MIPA 2010

jika salah satu jawaban bernilai satu maka


jawaban yang lain tidak diperhatikan.
Suatu
contoh
dalam
suatu
pembelajaran siswa diharapkan mengenal
bentuk-bentuk sumber energi. Kemudian
soal dirumuskan sebagai berikut:Sebutkan
satu bentuk sumber energi. Soal ini harus
dirubah menjadi beberapa soal elementer
sebagai berikut: (1) Apakan air merupakan
sumber energi? (2) apakah matahari
merupakan sumber energi? (3) apakan api
merupakan sumber energi?
Jika salah satu jawaban dari soal
elementer tersebut bernilai satu maka berarti
siswa sudah menyebutkan satu bentuk
sumber energi.
Gerbang dasar yang lain juga
terkadang
perlu
digunakan
untuk
mengaitkan antar jawaban dari soal
elementer. Bahkan tidak jarang gerbang
dasar tersebut perlu dikombinasikan.
Jawaban-jawaban dari soal soal elementer ini bisa diolah dengan teknik digital.
Pengolahan jawaban ini dapat menggunakan
alat yang barbasis digital pula. Salah satu
alat paling sederhana berbasis digital yang
yang mampu mengolah jawaban soal
elementer adalah mikroprosesor.
4. MIKROPROSESOR
Jenis mikroprosesor yang digunakan
dalam hal ini adalah ATMega16. Mikroprosesor ini memiliki memori program
sebesar 16 kilobyte, 512 byte memori
eeprom, dan 1 kilobyte memori SRAM
[atmel]
Dengan jumlah memori sebesar itu
maka mikroprosesor ini dapat menyimpan
nama peserta didik sebanyak 30 nama. Bila
diasumsikan panjang nama maksimum 16
huruf maka jumlah memori yang dibutuhkan
adalah 16 kali 30 yang nilainya sama dengan
480 byte. Bila diasumsikan panjang pertanyaan tiap soal elementer adalah 40 huruf,
dan jumlah soal elementer adalah 120 item,
maka memori yang dibutuhkan adalah 40
kali 120 yang besarnya sama dengan 4.800
byte. Total memori yang dibutuhkan untuk
menyimpan semua nama dan semua butir
soal elementer adalah 5.280 byte atau setara
dengan 5 kilo byte. Semua nama peserta
didik dan semua butir soal elementer
disimpan pada memori program yang
besarnya 16 kilobyte.

FIS - 95

Sedangkan jawaban tiap peserta didik


terhadap setiap butir soal elementer
membutuhkan memori sebesar 30 siswa kali
120 butir soal yang nilainya sebesar 450
byte. Angka 450 diperoleh dari perkalian
jumlah siswa dengan jumlah butir soal
dibagi delapan, karena jawaban disimpan
dalam satu bit. Jawaban disimpan dalam
memori eeprom yang besarnya 512 byte.
Mikroprosesor Atmega 16 memiliki
32 jalur masukan/luaran. Tujuh jalur
digunakan untuk membaca keypad dan 12
jalur digunakan untuk mengendalikan LCD.
4.1. KEYPAD
Keypad berfungsi untuk masukan
perin-tah. Tombol 1 dan tombol 3 digunakan
untuk mengganti nama peserta didik yang
diamati. Tombol 1 ke nama sebelumnya,
tombol 3 ke nama berikutnya. Tombol 4 dan
tombol 6 digunakan untuk mengganti butir
soal elementer yang ditampilkan. Tombol 4
ke soal sebelumnya, tombol 6 ke soal
berikutnya. Tombol 7 dan tombol 8
digunakan untuk memberikan penilaian.
Tombol 7 untuk memberikan jawaban
tidak, tombol 8 untuk memberikan
jawaban ya. Tentu saja penekanan tombol
7 dan tombol 8 harus berdasarkan kondisi
pengamatan. Tombol 9 untuk mengakhiri
penggunaan alat penilai digital ini.
Reaksi penekanan tombol harus dapat
ditampilkan dalam sebual layar. Dengan
demikian pengguna alat ini mengetahui
bahwa alat bekerja dengan baik.

Gambar 8. Bagan Alur Program


5.2. Bagan Alur Program
Urutan program yang dilakukan oleh
mikroprosesor adalah sebagai berikut. (1)
Menampilkan tulisan identitas. (2) Menampilkan nomor peserta, nama peserta didik,
nomor soal, soal elementer, skor yang
dicapai. (3) mendeteksi penekanan tombol.
Jika yang ditekan tombol 1 maka mikroprosesor akan mengganti nama peserta didik
sebelumnya. Jika tombol 3 ditekan maka
mikroprosesor akan mengganti nama peserta
didik berikutnya. Jika tombol 4 ditekan
maka mikroprosesor akan mengganti soal
sebelumnya. Jika tombol 6 ditekan maka
mikroprosesor
akan mengganti soal
selanjutnya. Jika tombol 7 ditekan maka
berarti pengamat menjawab tidak. Jika
tombol delapan ditekan berarti pengamat
menjawab ya. Jika tombol 9 ditekan maka
mikro akan menyimpan semua skor. Semua
urutan program ini dapat dilihat pada bagan
alur gambar 9.

4.2. LCD
Kali ini digunakan layar kristal cair
(LCD) yang mampu menampilkan huruf
sebanyak 8 baris. Masing masing baris
mampu menampilkan 40 huruf. Pada layar
LCD ini akan ditampilkan informasi tentang
nama peserta didik, soal elementer dan skor
pengamatan.
5. RANCANGAN
5.1. Rancangan Perangkat keras
Komponen utama dalam rancangan
perangkat keras ini adalah (1) mikroprosesor, (2) keypad (3) Layar LCD. Masing
masing komponen ini dirangkai seperti
terlihat pada gambar 8.

SEMNAS MIPA 2010

Gambar 9. Bagan Alur Program

FIS - 96

6. PENUTUP
Telah dibuat perangkat penilaian yang
telah menggunakan teknik digital, baik
dalam penyusunan soal maupun aplikasinya
dalam perangkat keras. Alat penilaian digital
ini mampu menyimpan 30 nama peserta
didik dan mampu menyimpan 120 soal
elementer. Alat penilaian digital ini juga
mampu menyimpan jawaban tiap anak tiap
butir soal elementer.
7. DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sudrajat, 2008. Konsep Penilaian Hasil
Belajar Siswa (dimuat 1 Mei 2008) dalam web
site http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/
05/01/penilaian-hasil-belajar/
(di-akses
20
Januari 2009)
Atmel.,2005. AVR Solutions ,Data
sheet
ATMega
16.
Dari
web
site
http://www.atmel.com/dyn/products/datasheets.a
sp?family_id=607 (di-akses 16 Maret 2009)
Pusat Kurikulim.,2006. Model Penilaian Kelas,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, Badan
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang)
Subiyanto., 1988. Evaluasi Pendidikan IPA,
Jakarta:
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 97

MENGEMBANGKAN TEKNIK MENGGAMBAR OBYEK KERJA


DALAM REKAYASA ANIMASI SAINS DENGAN BANTUAN
VIDEO
Oleh: H. Winarto
Jurusan Fisika FMIPA UM

Abstrak
Penggunaan komputer dalam pembelajaran sains pada umumnya, belum optimal. Padahal teknologi
komputer sudah berkembang sangat pesat, tidak saja perangkat keras (hardware), tetapi`perkembangan
perangkat lunak (software) di berbagai bidang banyak memberikan pelu-ang terobosan baru dalam
inovasi pembelajaran sains. Hal ini terutama sekali disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sumber
daya manusia (SDM) dalam menguasai dan mengoperasikan komputer, serta fasilitas pendukung yang
masih minim. Berbagai teknik penguasaan pengoperasian komputer dikembangkan terutama melalui
mata kuliah Pembelajaran Berbantuan Komputer (FIB 446) di Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UM,
dengan harapan para mahasiswa calon guru dapat mudah dan senang menggunakan komputer bila
mengajar nantinya. Mata kuliah ini memberikan dasar-dasar teknik pembuatan media pembelajaran
berbantuan komputer, dengan target dapat memproduksi media pembelajaran fisika sekolah berbasis
animasi. Salah satu kendala dalam perkuliahan ini adalah mahasiswa merasa sulit untuk menggambar
obyek kerja secara tepat/akurat. Padahal untuk membuat animasi yang baik diperlukan gambar obyek
kerja yang semirip mungkin dengan bentuk obyek aslinya. Dengan demikian diharapkan animasi tersebut
dapat menjelaskan secara detil dan rinci peristiwa yang terjadi pada suatu gejala alam, bahkan hal-hal
yang tidak kasat mata, dari kajian teoritis dapat dimunculkan dalam animasi ini. Langkah pertama yang
pernah dilakukan adalah dengan menghadirkan obyek kerja di depan kelas, kemudian mahasiswa
membuat sketsanya dari berbagai posisi dan sudut pandang. Pada langkah ini akan muncul satu kendala
tersendiri, manakala obyek kerjanya berukuran kecil. Untuk mengatasi masalah pada langkah pertama,
dilakukan langkah kedua, yaitu dengan menghadirkan alat bantu berupa set perangkat video kamera
yang dapat memvisualisasikan gambar obyek kerja secara refresentatif. Perangkat ini dilengkapi dengan
LCD proyektor yang dapat menayangkan gambar video ke layar lebar di depan kelas. Dengan cara ini
setiap mahasiswa dapat menggambar obyek kerja dengan orientasi pandang sama dengan orientasi pandang kamera secara tepat dan akurat. Sebagai topik uji coba, langkah pertama dicobakan pada topik
Hukum Archimedes, dan langkah kedua dilaksanakan pada topiK Hukum Faraday dan Hukum Lenz.
Kedua topik ini di-anggap mempunyai tingkat kesulitan yang sama dalam menggambar obyek kerjanya.
Uji coba dilakukan pada Semester Genap 2010, mahasiswa angkatan tahun 2007 sebanyak 2 offering,
dengan jumlah mahasiswa 52 orang. Hasil pada langkah pertama: 6 orang (11,5%) menggambar sangat
baik, 21 orang (40,4%) menggambar dengan baik dan 25 orang (48,1%) menggambar kurang baik.
Sedangkan pada langkah kedua diperoleh hasil: 32 orang (61,5%) menggambar sangat baik, 18 orang
(34,6%) menggambar baik, dan 2 orang (3,9%) menggambar kurang baik. Disimpulkan bahwa
keberadaan set video kamera sangat membantu mahasiswa dalam menggambar obyek kerja secara
cermat dan akurat, untuk selanjutnya dipergunakan dalam rekayasa proyek animasinya. Teknik
pembuatan animasi dan detil obyek kerjanya dibahas secara rinci menggu-nakan program aplikasi
SWiSHmax.
Kata kunci: Obyek kerja, video kamera, SWiSHmax.

A. PENDAHULUAN
Memasuki era globalisasi dan era
komunikasi saat ini, perkembangan ilmu
penge-tahuan dan teknologi menjadi
semakin
pesat.
Fenomena
tersebut
mengakibatkan adanya dinamika dan
persaingan
dalam
berbagai
bidang
kehidupan, salah satunya dalam bidang
pendidikan.

SEMNAS MIPA 2010

Pada dasarnya pendidikan merupakan


suatu proses komunikasi dan informasi dari
pendidik kepada peserta didik yang
melibatkan berbagai unsur: pendidik
sebagai sumber informasi, media sebagai
sarana penyampaian ide dan materi
pembelajaran, serta siswa sebagai penerima
informasi.
Ketercapaian
program
pendidikan dalam meningkatkan sum-ber

FIS - 98

daya manusia (SDM) sangat bergantung


ketiga unsur di atas.
Proses pengajaran merupakan suatu
kegiatan melaksanakan kurikulum lembaga
pendidikan, agar dapat mempengaruhi
siswa untuk mencapai tujuan pendidikan
yang dite-tapkan, menyangkut perubahan
tingkah laku baik intelektual, moral,
maupun sosial agar dapat hidup mandiri
sebagai individu dan mahluk social.
Ilmu fisika merupakan suatu ilmu
yang bersifat empiris, dimana pernyataanpernya-taan fisika harus didukung oleh
hasil eksperimen. Hasil eksperimen juga
digunakan untuk eksplorasi informasi yang
diperlukan untuk membantu teori lebih
lanjut (Sutrisno:1993). Pada dasarnya fisika
merupakan abstraksi terhadap berbagai sifat
alam dalam wujud kon-sep-konsep yang
merupakan hamparan realita. Kekhususan
fisika dibandingkan dengan ilmu lain
adalah sifatnya yang kuantitatif yaitu
penggunaan konsep-konsep dan hubungan
antar konsep yang banyak menggunakan
perhitungan
matematis.
Untuk
itu
diperlukan
stra-tegi
terpadu
yang
melibatkan metode dan media pembelajaran
yang efektif agar konsep- konsep fisika
dapat dipahami secara utuh beserta
prosesnya.
Perkembangan kurikulum nasional
hingga saat ini cukup menggembirakan. Hal
itu ditandai dengan dicapainya kesepakatan
tentang
standar
kompetensi
yang
merupakan target kecakapan hidup (life
skill) yang hendak dicapai dalam setiap
proses pembelajaran.
Kurikulum 2004 Bidang Studi Sains
memberikan penekanan pada pentingnya
penguasaan proses sains di samping
pemahaman konsep sains dan penerapannya
(DEPDIKNAS, 2003).
Salah satu cara untuk memenuhi
tuntutan
di
atas
adalah
dengan
menghadirkan media pembelajaran yang
memadai di dalam kelas sehingga tercipta
proses pembelajaran yang kondusif, aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
(PAIKEM).
Alat-alat
laboratorium
mutlak
diperlukan
sebagai media dalam
pembelajaran sains, namun terkadang tidak
dapat mengungkap kondisi yang lebih detil
dari suatu peristiwa alam. Sebagai contoh;
pada peristiwa konduksi kalor, alat-alat
SEMNAS MIPA 2010

laboratorium hanya dapat menunjukkan dan


mengukur gejala fisis yang diakibatkan oleh
peristiwa konduksi tersebut. Sementara
proses sesungguhnya tentang getarangetaran molekul yang merambat dan
mengakibatkan peristiwa konduksi tersebut
tidak dapat ditunjukkan. Untuk itu
dibutuhkan program komputer yang dapat
menggambarkan proses di atas secara
animatif bahkan dengan gerak lambat (slow
motion) agar mudah dicermati dan
dipahami.
Media
pembelajaran
yang
berkompeten untuk pelajaran merupakan
media
yang
mampu
menjelaskan
keabstrakan suatu konsep dan dapat
diterapkan sesuai dengan per-kembangan
teknologi. Jika media yang digunakan
untuk memfasilitasi pembelajaran dapat
mengefektifkan komunikasi dan interaksi
antara guru dan siswa, maka media itu
harus dipi-lih dan digunakan karena media
itu berpotensi untuk mempermudah belajar.
Melalui
media
pembelajaran
berbantuan komputer dapat menjelaskan
konsep-konsep rumit menjadi lebih
kongkret dengan visualisasi statis maupun
visualisasi dinamis (ani-masi/simulasi).
Keberadaan gambar dan animasi dapat
memperjelas uraian konsep, mem-buatnya
lebih menarik sehingga pemahaman konsep
lebih mudah untuk diterapkan dalam
penguasaan proses sebagai bagian dari life
skill.
Berpijak dari pengalaman mengampu
mata kuliah Pembelajaran Berbantuan
Kom-puter (FIB 446) di Jurusan Fisika
FMIPA UM, terdapat kendala yang
menghambat proses rekayasa animasi
peristiwa sains ke dalam komputer, yaitu
mahasiswa
kurang
trampil
da-lam
menggambar obyek kerja sebagai unsur
animasi. Dalam animasi sains diperlukan
gam-bar obyek kerja yang semirip mungkin
dengan bentuk aslinya sehingga dapat
menggambar-kan peristiwa dengan jelas
dan detil. Langkah pertama yang pernah
dilakukan adalah dengan menghadirkan
benda kerja aslinya di depan kelas,
kemudian mahasiswa membuat sket-sanya
dari berbagai posisi dan sudut pandang.
Pada langkah ini akan muncul satu kendala
tersendiri, manakala obyek kerjanya
berukuran kecil. Untuk mengatasi masalah
pada lang-kah pertama, dilakukan langkah
FIS - 99

kedua, yaitu dengan menghadirkan alat


bantu berupa set perangkat video kamera
yang dapat memvisualisasikan gambar
obyek kerja secara repre-sentatif. Perangkat
ini dilengkapi dengan LCD proyektor yang
dapat menayangkan gambar video ke layar
lebar di depan kelas. Dengan cara ini setiap
mahasiswa dapat menggambar obyek kerja
dengan orientasi pandang sama dengan
orientasi pandang kamera secara tepat dan
akurat.
B. MEDIA PEMBELAJARAN
BERBANTUAN KOMPUTER
Dalam
sistem
Pembelajaran
Berbantuan
Komputer,
pemanfaatan
komputer sebagai tool (alat bantu) dan tutor
(pengajar). Sebagai tool, komputer dapat
merekam/
menyimpan
data
untuk
selanjutnya diapresiasikan sesuai dengan
program yang telah dirancang. Hasilnya
dapat
dinformasikan
dalam bentuk
informasi kata, angka, maupun grafis.
Sebagai tutor untuk suatu subyek, komputer
harus diprogram. Siswa belajar dengan
bantuan komputer atau bahkan diajar oleh
komputer dengan menjalankan program
yang telah dirancang sebelum-nya.
Pemakaian komputer dalam kegiatan
pembelajaran mempunyai beberapa tujuan,
antara lain: (a) tujuan kognitif, (b) tujuan
psikomotor, dan (c) tujuan afektif.
Pemakaian komputer untuk tujuan kognitif
artinya komputer dapat mengajarkan
konsep-konsep, aturan, prinsip, algoritma,
proses, dan kalkulasi yang kompleks.
Komputer juga dapat menjelaskan konsep
yang sederhana dengan menggabung visual
dan audio yang dianimasikan sehingga
cocok untuk kegiatan pembelajaran
mandiri. Pemakaian komputer untuk tujuan
psikomotor melalui pembelajaran yang
dikemas dalam bentuk games dan simulasi
sangat
bagus
diguna-kan
untuk
menciptakan
kondisi
dunia
kerja.
Sedangkan penggunaan komputer untuk
tujuan afektif, bila program didesain secara
tepat dengan memberikan potongan klip
suara atau video yang isinya menggugah
perasaan,
pembelajaran
sikap/afektif
(Arsyad, 2002).
Lebih lanjut dikemukakan keuntungan
menggunakan komputer pada proses
pembe-lajaran, antara lain: (a) pembelajaran

SEMNAS MIPA 2010

dengan komputer merupakan sesuatu yang


dipandang siswa sebagai hal baru sehingga
memotivasi siswa untuk mewujudkan rasa
ingin tahu dengan mencoba mengkaji
materi pembelajaran, (b) kemampuan
memori memungkinkan penampilan siswa
yang telah lampau direkam dan dipakai
dalam merencanakan langkah-langkah
selanjut-nya, (c) warna, musik, dan grafik
yang divisualkan memberikan nilai tambah
terhadap realis-me konsep sehingga siswa
lebih cepat memberi respon, (d) belajar
dengan komputer membe-rikan motivasi
kuat terhadap pencapaian pengalaman
belajar, karena bentuk penyajian materi
pembelajaran seperti ini membutuhkan
konsentrasi, koordinasi antara tangan otak
dan mata. (e) daya rekam komputer
memungkinkan pengajaran individual dapat
dilak-sanakan, pemberi-an perintah secara
individual dapat dipersiapkan bagi semua
siswa, terutama bagi siswa yang
kemampuan belajarnya mendapat perhatian
khusus, (f) perolehan motivasi juga
didapatkan siswa
melalui
prosedur
interaktif dari sajian materi pembelajaran
berbantuan komputer.
Untuk merancang bangun sebuah
media pembelajaran berbantuan komputer
dibutuh-kan
ketrampilan
dalam
mengoperasikan
komputer,
terutama
pengoperasian program aplikasi praktis
perakit animasi dan kreativitas dalam
mendesain proyek animasi yang merupakan
perwujudan dari peristiwa sains yang
menjadi topik bahasannya.
C. PROGRAM APLIKASI PRAKTIS
SWiSHmax
Komputer bukan merupakan barang
baru dalam masyarakat kita, bahkan sudah
jauh merambah ke dalam seluk kehidupan.
Namun secara jujur diakui hingga saat ini
keberadaan kita sebagian besar masih
sebatas sebagai pengguna (operator) belum
banyak yang mencapai tahap rancang
bangun (programmer). Hal ini disebabkan
oleh masih sulitnya memahami bahasa dan
prosedur pemrograman yang tersedia dalam
berbagai perangkat lunak (software) yang
ada.
Untuk keperluan animasi dan
rancang bangun media pembelajaran
berbantuan kom-puter tersedia sebuah

FIS - 100

program
aplikasi
praktis
bernama
SWiSHmax. Program aplikasi ini berbasis
Windows, resolusinya sangat tinggi,
sehingga dapat menggambarkan obyekobyek animasi dengan sempurna dan
menggerakkannya
secara
akurat/detil.
Aplikasi ini dilengkapi dengan efek dan
skrip yang memadai sehingga dapat
meningkatkan kreasi dalam membuat media
interaktif.
Program
aplikasi
SWiSHmax
merupakan aplikasi alternatif dan program
bantu Macromedia Flash dalam merancang
bangun animasi dua dimensi yang praktis
dan mudah. Apabila dengan Macromedia
Flash dibutuhkan waktu dan langkah
panjang untuk sebuah animasi kompleks,
dengan SWiSHmax hal itu dapat dilakukan
secara cepat dan ringkas.
Hal lain yang menonjol dalam
SWiSHmax adalah produk akhir program
dapat di-eksport dalam berbagai bentuk file
aplikasi yaitu:
File
.swf,
dapat
diekskusi
SAFlashPlayer, Macromedia Flash, dan
Power Point.
File .HTML, dapat ditampilkan dalam
jendela browser dalam sistem Internet.
File .EXE, dapat diekskusi langsung
oleh sistem komputer tanpa player
khusus.
File .AVI, dapat diekskusi oleh
VideoPlayer maupun program lainnya.
File .AVI berupa file video dan dapat
digabung dengan file video produk
kamera digital.
Secara garis besar berbagai hal praktis
dan mudah dari program aplikasi
SWiSHmax dapat dipaparkan sebagai
berikut:
1. Dukungan Perangkat Keras (Hardware)
dan Perangkat Lunak (Software)
Untuk mengoperasikan aplikasi ini
diperlukan set Personal Komputer (PC)
dengan spesifikasi pendukung minimal:
Sistem Operasi Windows
95/98/ME/NT4/2000/XP/Windows7
Prosesor Pentium 2.
Internal Memori 64 MB.
Resolusi monitor 800 x 600, dengan
warna tampilan 256.
Hard Disk 20 GB.
Software Aplikasi SWiSHmax.
SEMNAS MIPA 2010

2. Jendela Kerja SWiSHmax


Jendela kerja SWiSHmax dirancang
secara terbuka sehingga setiap langkah
yang diwakili tool dapat dioperasikan
dengan tepat dan cepat tanpa harus mencari
dalam kap-sul menu. Bagian penting dari
jendela kerja ini adalah Baris Menu (Title
Bar) terletak di bagi-an paling atas,
menampilkan informasi nama movie (file)
yang sedang diedit. Komponen di bawah
baris judul adalah Baris Menu (Menu Bar),
berisikan perintah-perintah atau opsi pengeditan movie.Sebagai contoh, menu File
New untuk membuat movie baru.
Selanjutnya adalah Baris Tool (Tool Bar),
berisi tool-tool yang dapat digunakan
sebagai alternatif perintah dalam baris
menu. Sebagai contoh, tool New
merupakan alternatif penggunaan perintah
File
New.
Untuk
memudahkan
penggunaan, baris tool dibagi dalam
beberapa ma-cam yaitu: Standart Tool,
Insert Tool, Control Tool, Grouping Tool,
dan Export Tool.
Bagian penting lainnya adalah Kotak
Tool (Tool Box), terdiri dari tiga kolom,
yaitu:

Kolom Tool yang berisi tool-tool


untuk menggambar dan mengedit
obyek-obyek movie.
Kolom Options yang berisi opsi untuk
mengatur tool yang terseleksi, antara
lain
opsi skala, pengaturan ulang
ukuran obyek, rotasi, kecondongan,
perspektif, dan kepepatan.
Kolom View yang berisi opsi untuk
mengatur presentase tampilan area
kerja.
Terdapat berbagai macam papan panel
yang dapat digunakan untuk mengatur opsi
di dalam membuat movie, antara lain: panel
Layout, untuk mengatur dan mengedit
obyek di dalam movie, panel Timeline
untuk mengontrol waktu obyek ditampilkan
dan animasi di dalam scene yang sedang
diedit, panel Shape untuk mengatur
properti obyek, panel Script untuk melihat
atau mengedit skrip event atau action yang
diterapkan pada scene atau obyek, panel
Transform
untuk
mengatur
opsi
transformasi obyek, panel Tint untuk
mengatur trans-formasi warna obyek, panel
Content untuk menampilkan isi (obyek) di
dalam movie, panel Align untuk mengatur
FIS - 101

perataan posisi obyek, panel Guides untuk


mengatur opsi garis bantu (grid, guide, dan
ruler), panel Export untuk mengatur opsi
pengeksporan movie, dan panel Debug
untuk mengetahui jalannya skrip.

dimungkinkan untuk membuat efek sendiri.


Dengan adanya efek pada obyek dapat
mengontrol posisi dan gerak-an obyek
sehinnga tercipta animasi peristiwa alam
yang sesuai dengan skenario movie.

3. Menggambar Obyek Shape


Unsur utama dalam animasi adalah
gambar yang dapat mencerminkan kondisi
obyek yang sebenarnya. SWiSHmax
menyediakan tool-tool untuk menggambar
berbagai obyek shape, seperti garis,
lingkaran, kurva, dan lainnya. Komponenkomponen shape ini selanjut-nya dapat
dirangkai untuk membangun obyek kerja
yang diinginkan. Bahkan SWiSHmax
mendukung penggunaan grafik vector di
dalam movie. Sebagai catatan, grafik vector
adalah obyek yang akan tetap terlihat tajam
meskipun ukuran maupun tampilannya
diatur ulang.
SWiSHmax juga menyediakan koleksi
berbagai bentuk obyek shape yang unik
yang dapat disisipkan ke dalam area kerja,
obyek ini tersimpan di dalam tool
AutoShape.
Agar perspektif obyek lebih tampak
seperti obyek tiga dimensi, tersedia
pengaturan property line dan fill objek
shape. Dimaksudkan untuk mengatur warna
gradasi dan transpa-ransi area fill sehingga
dapat ditampilkan sebuah obyek berefek
tiga dimensi dari gambar dua dimensi..

6. Menggunakan Sprite
Sprite adalah obyek yang mempunyai
timeline sendiri. Di dalam sprite bisa
terdapat lebih dari satu obyek dan setiap
obyek dapat dianimasi. Oleh karena itu
sprite bisa di sebut movie di dalam movie.
Sebagaimana movie, sprite juga
bisa disisipi berbagai tipe objek seperti
grafik, image, dan teks. Bahkan untuk
membangun animasi kompleks dapat
disisipkan sprite ke dalam sprite.

4. Menyisipkan Obyek Movie


Untuk mendukung tampilan movie,
dapat disisipkan obyek-obyek seperti teks,
image bitmap, grafik vector, video dan
yang lainnya. Obyek yang disisipkan
selanjutnya dapat diedit dalam berbagai
transformasi seperti transformasi skala,
transformasi resize, transformasi rotasi,
transformasi
kecondongan,
dan
transformasi distorsi. Bila diperlukan dapat
dilakukan pengaturan sumbu transformasi
terlebih dahulu.
5. Menggunakan Efek
SWiSHmax menyediakan 230 efek
animasi yang dapat diterapkan pada obyek
movie, serta dapat dimodifikasi opsi
animasinya. Selain itu dapat juga

SEMNAS MIPA 2010

7. Mengatur Navigasi dan Interaksi Movie


dengan Skrip
Fasilitas
ini
memungkinkan
membangun program animasi bersifat
interaktif, karena dapat mengatur interaksi
didalam movie atau interaksi dengan movie
lainnya. Dengan skrip, sebuah obyek dapat
difungsikan sebagai tombol kendali untuk
mengontrol jalan movie secara keseluruhan.
Melalui skrip dapat pula disisipkan file
sound sekaligus mengatur opsinya.
Sejumlah fasilitas di atas merupakan
jaminan
bahwa
program
aplikasi
SWiSHmax merupakan pilihan tepat dalam
rancang bangun media pembelajaran
berbantuan komputer.
D. RANCANG BANGUN MEDIA
PEMBELAJARAN BERBANTUAN
KOMPUTER
Secara umum ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam merancang
bangun media pembelajaran, yaitu:
karakteristik
sasaran,
tujuan
yang
diharapkan,
pengembangan
materi,
pengembangan alat evaluasi, dan uji coba
produk. Langkah awal pengembangan
media adalah membuat rancangan terpadu
sesuai dengan skenario pembelajaran yang
akan dilaksanakan. Sadiman (2002:98)
menggambarkan langkah-langkah tersebut
dalam bentuk bagan sebagai berikut:

FIS - 102

Perumusan butir
materi
Identifikasi
kebutuhan

Perumusan alat
evaluasi

Ya
Revisi?

Perumusan
tujuan

Tidak

Penulisan naskah
media

Tes uji coba

Naskah siap
produksi

Gambar 1. Bagan Model Pengembangan Media Pembelajaran


Pengembangan media harus mengacu
pada naskah program yang telah dirancang
secara terpadu. Untuk itu diperlukan data
sesuai dengan rancangan yang ada seperti
gambar obyek, musik pengiring, narasi,
gambar latar belakang, dan teks keterangan.
Selanjutnya data tersebut diintegrasikan
menggunakan program aplikasi SWiSHmax
sesuai dengan skenario yang telah disusun
sebelumnya.
Landasan utama dalam pembuatan
media pembelajaran adalah mengacu pada
upaya maksimalisasi pemanfaatan seluruh
alat indera siswa. Guru berupaya untuk
menampilkan rangsangan (stimulus) yang
dapat diproses dengan berbagai alat indera.
Semakin banyak alat indera yang digunakan
untuk menerima dan mengolah informasi
semakin
besar
pula
kemung-kinan
informasi
tersebut
dimengerti
dan
dipertahankan dalam ingatan (Latuheru,
1988).
Dari landasan di atas, agar produk
media pembelajaran komunikatif dan
mencapai sasaran, diperlukan ketrampilan
tambahan (Skill dan Brainware) dalam
pembuatannya di samping dukungan
perangkat keras (Hardware) yang memadai.
Ketrampilan tersebut meli-puti: imaginasi;
membuat jalan cerita dan konsep animasi,
kreativitas; menuangkan imajinasi ke dalam
stage, sketsa/perspektif; membuat obyek
animasi sesuai aturan perspektif ruang,
sense of music; menguasai ilustrasi

SEMNAS MIPA 2010

musik/bunyi untuk menghidupkan proyek


animasi.
E. MEMPERSIAPKAN OBYEK
KERJA
Obyek kerja adalah gambar-gambar
yang akan berperan/digerakkan dalam
proyek animasi. Agar animasi berjalan
sempurna diperlukan gambar obyek kerja
yang akurat semirip mungkin dengan obyek
aslinya. Kendala utama dalam tahap ini
adalah
minimnya
kemampu-an
menggambar obyek dengan orientasi
perspektif ruang. Untuk mengatasi hal
tersebut dilakukan dengan menghadirkan
set perangkat obyek aslinya di depan kelas
kemudian
mahasis-wa
menggambar
langsung dari berbagai sisi pandang sesuai
dengan posisi duduknya. Untuk uji coba
dihadirkan perangkat untuk menerangkan
Hukum Archimedes yang terdiri dari
tabung air, timbangan duduk, dan beban.
Hasil gambar obyek kerja yang
diperoleh sangat bervariasi sesuai dengan
orientasi pandang masing-masing dan
terkendala pada
obyek-obyek yang
bentuknya kecil.Untuk mengatasi hal di
atas, diperlukan set video kamera yang
dapat menayangkan gambar obyek kerja
dari satu sisi pandang dalam ukuran besar
pada layar lebar di depan kelas. Pada tahap
berikutnya dihadirkan set perangkat untuk
menerangkan Hukum Faraday dan Hukum
Lenz

FIS - 103

Gambar 2. Obyek asli dilihat dari (a) sisi kiri, (b) sisi tengah, dan (c) sisi kanan
.

Gambar 3. Set Video Kamera

Gambar 4. Obyek kerja asli

Gambar 5. Hasil tayangan pada layer lebar.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 104

Semua mahasiswa akan melihat


tayangan obyek kerja dalam bentuk sama
dan kamera dapat melakukan perbesaran
(zoom in) untuk melihat detil dari obyekobyek kecil.
F. HASIL UJI COBA DAN RANCANG
BANGUN ANIMASI
Dari hasil uji coba, langkah pertama
dicobakan pada topik Hukum Archimedes,
dan langkah kedua dilaksanakan pada topik
Hukum Faraday dan Hukum Lenz. Kedua
topik ini dianggap mempunyai tingkat
kesulitan yang sama dalam menggambar
obyek kerjanya. Uji coba dilakukan pada
Semester Genap 2010, mahasiswa angkatan

Gambar 6.

tahun 2007 sebanyak 2 offering, dengan


jumlah mahasiswa 52 orang.
Hasil pada langkah pertama: 6 orang
(11,5%) menggambar sangat baik, 21 orang
(40,4%) menggambar dengan baik dan 25
orang (48,1%) menggambar kurang baik.
Sedangkan pada langkah kedua diperoleh
hasil: 32 orang (61,5%) menggambar
sangat baik, 18 orang (34,6%) menggambar
baik, dan 2 orang (3,9%) menggambar
kurang baik.
Hasil rancang bangun animasi Hukum
Faraday dan Hukum Lenz dipaparkan
dalam rangkaian gambar berikut:
1. Gambar 6. menunjukkan kondisi ketika
kutub utara magnet akan masuk ke
dalam kumpar-an..

Gambar 7.

2. Gambar 7. menunjukkan arah arus induksi ketika kutub utara magnet bergerak masuk ke
dalam kumparan.
3. Gambar 8. menunjukkan arah arus induksi ketika magnet tepat berada di tengah panjang
kumparan.

Gambar 8.

Gambar 9.

4. Gambar 9. menunjukkan arah arus induksi ketika kutub selatan magnet meninggalkan
kumparan.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 105

Gambar 10.

Gambar 11.

5. Gambar10. menunjukkan arah arus induksi ketika kutub selatan magnet bergerak memasuki
kumparan.
6. Gambar 11. menunjukkan arah arus induksi ketika kutub utara magnet meninggalkan
kumparan
G.KESIMPULAN DAN SARAN
Dari serangkaian kegiatan yang
telah dilakukan dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
Untuk membangun sebuah animasi
sains diperlukan komponen gambar obyek
kerja yang akurat, sehingga semirip
mungkin dapat merepresentasikan peristiwa
yang sebe-narnya ke layar komputer.
Menggambar obyek kerja dengan
melihat benda aslinya secara langsung
terkendala pada orientasi pandang dan
ukuran benda yang terkadang berbentuk
kecil,
sehingga
hasilnya
kurang
memuaskan..
Diperlukan alat bantu berupa set
kamera video dan proyektor LCD untuk
menayang-kan gambar benda aslinya ke
layar lebar di depan kelas. Dengan
demikian benda da-pat dilihat dalam bentuk
yang lebih besar dan orientasi pandang
sama dari segala arah mengikuti orientasi
pandang kamera.
Dapat dirakit sebuah animasi sains
representatif dari komponen-komponen
obyek kerja yang secara akurat mewakili
benda aslinya.
Untuk pengembangan kegiatan ini
dapat disampaikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Agar kegiatan semacam ini dapat
terlaksana
diperlukan
dukungan
peralatan multime-dia yang memadai.
Untuk itu diperlukan dukungan semua
SEMNAS MIPA 2010

pihak baik dari guru/dosen yang


bersangkutan maupun instansi terkait.
2. Pengalaman di lapangan menunjukkan
bahwa kemampuan SDM dalam
penguasaan komputer belum optimal,
sehingga perlu dilakukan upaya serius
dan kontinyu untuk peningkatan
ketrampilan komputer dan rekayasa
animasi dan
media pembelajaran
berbantuan komputer bagi guru/dosen
dalam seluruh lini pendidikan.
H. DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar. 2002. Media Pembelajaran .
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
Latuheru, John. 1988. Media Pembelajaran
dalam Proses Belajar Mengajar Masa
Kini. Jakarta: DEPDIKBUD Dirjen
Dikti.
Sadiman, Arief, S, dkk. 2002. Media Pendidikan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sutrisno. 1993. Fisika komputasi dan Kurikulum
Inti Pendidikan Sarjana Fisika dan
Sarjana Pendidikan Fisika. Bandung:
Jurusan Fisika ITB.
Syarif, Arry Maulana. 2005. Animasi Flash
dengan SWiSHmax. Yogyakarta: Andi
-------2003. Pengembangan Silabus berbasis
Kompetensi Berorientasi Kecakapan
Hidup. Jakarta: DEPDIKNAS.
--------2002.Hand Out Pelatihan Pembuatan
Media
Pembelajaran
berbasis
Multimedia. Yogykarta: MMTC

FIS - 106

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MODEL ATOM


BERBASIS HANDPHONE SEBAGAI PENUNJANG
PEMBELAJARAN MATAKULIAH FISIKA MODERN
Drs. Choirul Huda, M.Si
Pendidikan Fisika FKIP Universitas Kanjuruhan Malang

Abstrak
Telah dikembangkan media pembelajaran Model Atom yang dapat dioperasikan pada Handphone
(HP). Melalui HP materi pembelajaran Model Atom dapat disebarluaskan ke seluruh mahasiswa untuk
dipelajari secara mandiri.
Media pembelajaran yang dikembangkan menggunakan program Flashlite sehingga mampu
menampilkan materi secara menarik dan dapat menyajikan animasi dari fenomena Fisika secara baik.
Selain itu juga dapat melakukan operasi matematis untuk menyelesaikan persoalan Fisika berdasarkan
masukan.
Untuk mengetahui kelayakan dan kehandalan media tersebut, telah dilakukan uji coba oleh
beberapa dosen dan 20 mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Kanjuruhan Malang
yang menempuh matakuliah Fisika Modern Semester Genap tahun 2009/2010. Berdasarkan uji coba dan
angket tersebut disimpulkan bahwa media pembelajaran Model Atom berbasis HP cukup layak dan
handal untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran Fisika Modern.
Keyword: media belajar, berbasis HP, Model Atom

1. PENDAHULUAN
Konsep-konsep Fisika bersumber dari
abstraksi fenomena alam yang seringkali
dalam
bentuk
persamaan
dapat
memunculkan konsep yang bersifat abstrak.
Apalagi bila menyangkut materi Fisika
Modern yang menggunakan matematika
tingkat tinggi, benda berlaju mendekati
cahaya, dan partikel-partikel sub atomik
yang belum bisa diamati secara langsung
seperti model atom.
Agar konsep Fisika mudah difahami
dan
menarik,
diperlukan
media
pembelajaran yang sesuai, bersifat animatif
agar menarik, dan interaktif agar bisa
diujicobakan berbagai nilai variabel untuk
memudahkan
pemahamannya.
Media
pembelajaran seperti itu adalah media
pembelajaran yang berbasis komputer.
Karena umumnya rasio jumlah
komputer terhadap jumlah siswa/mahasiswa
relatif kecil, maka Lab Komputer tidak bisa
digunakan untuk pembelajaran Fisika secara
maksimal. Kesempatan mahasiswa untuk
memanfaatkan komputer sangat terbatas.
Apalagi tidak semua mahasiswa memiliki
komputer.
Pesatnya perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) menjadikan
pembelajaran tidak harus selalu di dalam

SEMNAS MIPA 2010

ruang atau bertatap muka, tetapi dapat


dilakukan setiap saat dan dimana saja.
Apalagi dengan perkembangan mobile
technology memungkinkan pembelajaran
secara mobile yang dikenal dengan mobile
learning
(M-Learning).
M-Learning
merupakan model pembelajaran yang
memanfaatkan perangkat IT genggam dan
bergerak, seperti PDA, HP, laptop dan tablet
PC(Agus Triarso, 2009).
M-Learning memungkinkan pebelajar
mengakses materi pembelajaran, arahan, dan
aplikasi yang berkaitan dengan materi
pembelajaran kapan-pun dan dimana-pun.
Ke depan M-Learning akan menjadi cukup
pesat dan viable dalam jangka waktu dekat
(Wiwik Akhirul Aeni, 2009).
Saat
ini
hampir
semua
mahasiswa/siswa memiliki HP. Fasilitas
yang terdapat dalam HP mendukung
multimedia. Materi dan animasi Fisika yang
dirancang menggunakan program Flashlite
bisa diaplikasikan pada HP dengan kualitas
tampilan sangat bagus, ukuran file sangat
kecil, relatif mudah pembuatannya, dan
kontennya sangat mudah disebarluaskan
melalui infrared, bluetooth, atau kabel data.
Sampai Juni 2010, baru sepuluh
prototipe rintisan telah dilakukan untuk
materi Fisika SMP (3 konten), Biologi SMP
(4 konten), dan Matematika SMP (4 konten)
FIS - 107

oleh Balai Pengembangan Multimedia


Semarang. Sayang tampilannya kurang
optimal. Demikian juga pengembangan yang
dilakukan Wisnu Ardlian Sugiyarto (2009)
menggunakan bahasa Java (J2ME) masih
relatif sederhana dan belum ada animasinya.
Padahal Fisika sangat membutuhkan animasi
agar jelas dan mudah dipelajari..
Berdasarkan paparan di atas maka
dilakukan
Pengembangan
Media
Pembelajaran Model Atom berbasis
Handphone sebagai penunjang pembelajaran
matakuliah
Fisika
Modern.
Pengembangannya menggunakan program
Flashlite, karena fasilitasnya lengkap,
mudah dioperasikan, memorinya kecil, dan
kompatibel untuk hampir semua HP.
Permasalahannya adalah bagaimana
mengembangkan media pembelajaran Model
Atom berbasis handphone dan apakah media
pembelajaran tersebut layak dan handal
digunakan sebagai media pembelajaran
Model Atom pada matakuliah Fisika
Modern?
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Mobile Learning
Pesatnya perkembangan TIK telah
mempengaruhi model pembelajaran, seperti
e-Learning. Salah satu model e-Learning
yang layak dikembangkan adalah MLearning yang berbasis HP. Hal ini karena
sebagian besar maha/siswa memiliki HP,
penggunaannya mudah, murah, layanan
akses yang semakin cepat karena
perkembangan fitur yang semakin canggih
(http://m-edukasi.net/artikel-mobilelearning-isi.php?).
Menurut Clark Quinn, M-Learning
memiliki karakteristik: dapat diakses dimana
pun dan kapan pun, menyediakan fasilitas
knowledge sharing, visualisasi konsep yang
atraktif dan interaktif, dan ukuran file yang
kecil (Agus Triarso, 2009). M-Learning
menjadi sebuah kecenderungan baru yang
membentuk paradigma pembelajaran yang
dapat dilakukan dimana pun dan kapan pun.
Berdasar penelitian Jill Attewell
dalam A technology update and m-learning
project summary 2005, keuntungan dari MLearning diantaranya:
a. M-Learning
membantu
siswa
meningkatkan kemampuan literasi dan
numerasi,
SEMNAS MIPA 2010

b. M-learning
dapat
mendorong
pembelajaran
independen
maupun
kolaborasi,
c. M-learning
membantu
melawan
hambatan dalam menggunakan ICT,
d. M-learning membantu menghilangkan
bentuk formal dari pembelajaran,
e. M-learning membantu siswa tetap fokus
dalam waktu yang lama,
f. M-learning membantu mendapatkan rasa
percaya diri (Wisnu A. S., 2009).
Ganjalisadeh menjelaskan pentingnya
M-learning dan W-learning (Wisnu A. S.,
2009).
Tabel 1 Pentingnya M-learning dan Wlearning
No
M-Leaning
1 Mobility &
Portability, inside
pocket
2 Instant
Communication
3 Anytime/
anywhere
connectivity
4 Emergency Calls
5

GPS Tracking

W-Learning
Mobility on campus
area
Instant when online
Communication,
Anytime/anywhere
connectivity on
campus area
Research
Queistionaire
Assessment Need

M-learning di Indonesia masih baru


muncul dan dikenal sejak tahun 2009.
Padahal di Amerika Serikat sejak tahun
2003 telah menyediakan pengajaran lengkap
melalui handheald Pocket PC devices. MLearning ini digunakan bagi siswa-siswa
militer
di
Amerika
(http://military.coastline.edu/pocket_ed.htm)
Beberapa
universitas
di
Amerika,
memberikan mahasiswanya iPods yang telah
diisi oleh kampus form registrasi, kebijakan
kampus, peta, organisasi kampus, jadwal
kelas, dan informasi perpustakaan.
2.2. Flashlite
Flashlite
merupakan
platform
pengembangan
aplikasi
mobile
menggunakan Macromedia Flash. Flashlite
membangun aplikasinya dengan content
bukan dengan coding. Script yang ada hanya
sekedar
pelengkap
bukan
dasar
pembangunan
aplikasinya.
Untuk
membangun aplikasi mobile dengan
Flashlite tidak dibutuhkan banyak kode
FIS - 108

program seperti halnya pengembangan di


JME, namun bisa berbasis grafis. Scripting
yang digunakan adalah actionscript, sama
seperti Flash namun memiliki keterbatasan
fitur.
Aplikasi Flashlite membuat gambar
interaktif
dan
animasi
berdasar
pengorganisasian keyframe dalam timeline.
Flashlite dapat digunakan untuk membuat
game, mengkoneksi aplikasi dan fungsi
utility mobile phone untuk mengirin SMS
atau melakukan pangggilan, melakukan
akses properti device seperti leveling baterai
atau informasi koneksi jaringan dan lain
sebagainya.
Flashlite merupakan program animasi
grafis
standar
profesioanal
untuk
menghasilkan game, animasi kartun, dan
media pembelajaran yang menarik untuk
diaplikasikan pada HP. Movie pada Flashlite
terdiri atas grafik, teks, animasi dan aplikasi
yang mengutamakan grafik berbasis vektor.
Flashlite memiliki akses lebih dan terlihat
halus pada skala resolusi layar besar atau
kecil,
selain itu juga
mempunyai
kemampuan untuk mengimpor video,
gambar, dan suara aplikasi.
Flashlite juga memasukkan unsur
interaktif dalam videonya menggunakan
Actionscript, dimana users bisa berinteraksi
dengan movie menggukan tombol HP. Hasil
animasi
Flashlite
bisa
langsung
diaplikasikan ke HP yang memiliki
operating system Symbian 60. File yang
dihasilkan
sangat
kecil
kapasitas
memorinya. Sehingga tidak membebani
memori HP.
Distribusi file yang sudah disimpan di
HP bisa dilakuakan dengan mudah dan cepat
melalui fasilitas infrared, bluetooth, atau
kabel data. Bahkan bisa didownload melalui
internet dengan cepat karena kecilnya file.
2.3. Media Pembelajaran Fisika berbasis
Handphone
Dalam belajar Fisika hendaknya fakta,
konsep, dan prinsip-prinsip tidak diterima
secara prosedural tanpa pemahaman dan
penalaran.
Pengetahuan
tidak
dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seorang
dosen/guru ke kepala siswa. Siswa
sendirilah yang harus mengartikan apa yang
telah diajarkan dengan menyesuaikan
terhadap pengalaman-pengalaman mereka.
Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh
SEMNAS MIPA 2010

mahasiswa secara aktif, bukan hanya


diterima secara pasif dari dosen mereka.
Sesuai
dengan
paradigma
pembelajaran yang konstruktivistik, maka
tugas seorang dosen adalah memberikan
kegiatan
yang
dapat
merangsang
keingintahuan
mahasiswa,
membantu
mengekspresikan
gagasan,
dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Jadi
dosen/guru lebih berperan sebagai mediator
dan
fasilitator
dalam
pembentukan
pengetahuan dan pemahaman siswa
(Suparno, 1997:65).
Untuk itu, para pakar pendidikan telah
mengembangkan
berbagai
model
pembelajaran yang lebih memperhatikan
aspek peserta didik. Berdasarkan aspek yang
dikemukakan Bloom, sangatlah diperlukan
sebuah media pembelajaran yang interaktif
yang dapat menarik perhatian mahasiswa
dalam belajar, sehingga mereka merasa
enjoy dalam menerima sebuah materi
pelajaran dan yang terpenting bisa
memahaminya.
Berdasarkan definisi Briggs (1997,
dikutip
dari
http://akhmadsudrajat.
wordpers.com/bahanajar/mediapembelajaran/) dan National Education
Association
(1969,
dikutip
dalam
http://akhmadsudrajat.wordpers.com/
bahanajar/media-pembelajaran/)
media
belajar adalah segala sesuatu yang dapat
menyalurkan pesan yang dapat merangsang
pikiran, perasaan dan kemauan peserta didik
sehingga dapat mendorong terciptanya
proses belajar pada diri peserta didik itu
sendiri.
Seiring
dengan
pesatnya
perkembangan
TIK,
maka
media
pembelajaran bergeser ke arah multimedia
berbasis komputer. Beberapa kemampuan
komputer yang dapat dimanfaatkan dalam
pendidikan
diantaranya
adalah
memvisualisasikan
gagasan
dan
menyimulasikan fenomena alam yang sulit
diamati (Darlian, 1992) menjadikan
fenomena yang unobservable menjadi
observable.
Pesatnya
perkembangan
TIK
mempengaruhi perkembangan e-Learning ke
arah M-Learning yang berbasis HP.
Paradigma pembelajaran ini memungkinkan
belajar dapat dilakukan dimana pun dan
kapan pun.

FIS - 109

Melalui program Flashlite bisa


dikembangkan program animasi dan
presentasi yang menarik, bisa dimuati audio
dan video, untuk diaplikasikan pada HP.
Dengan demikian media pembelajaran
Fisika yang animatif dan interaktif dapat
dilakukan dengan HP. Media pembelajaran
yang dihasilkan sama bagusnya dengan di
komputer.
Melalui HP bisa dibangun media
pembelajaran seperti Program Simulasi
Fisika, Program Tutorial, dan Evaluasi
Pembelajaran Fisika. Penyebaran isi media
melalui HP sangat mudah, cepat, dan
kapasitas memorinya sangat kecil. Dengan
demikian materi pembelajaran bisa diakses
siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Sehingga
proses
pembelajaran
bisa
dilakukan lebih intensif, efektif, dan efisien.

angket untuk menyatakan pendapatnya


tentang kelayakan dan kehandalan media
pembelajaran
berbasis
HP
dalam
pembelajaran Fisika Modern. Selain itu
digunakan metode Chek List untuk
mengukur kelengkapannya berdasarkan
indikator yang ditetapkan. Analisis data
menggunakan metode deskriptif persentase.
4. METODE PENGEMBANGAN
Pengembangan
media
ini
menggunakan pendekatan An Evolutionary
(Spiral) Mode yang menurut Diah
(http://blog.its.ac.id/dyah03tc/2007/10/25/da
ur-hidup-perangkat-lunak-software-lifecycle/), model ini secara umum meliputi
Proyek pengembangan konsep, Proyek
pengembangan produk baru, Proyek
perbaikan produk, dan Proyek pemeliharaan
produk.
Secara terinci model pengambangan
media pembelajaran berbasis HP ini
diuraikan berikut ini.
a. Analisis Kebutuhan Software
Analisis kebutuhan dalam pengembangan
mengacu kepada HP, ukuran memori,
materi yang sesuai dengan standar
kompetensi, dan user yaitu mahasiswa
Program Studi Pendidikan Fisika
Universitas Kanjuruhan Malang.
b. Desain
Pengembangan
media
pembelajaran berbasis HP.

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
pengembangan
yang
berupaya
mengembangkan atau menyempurnakan
media pembelajaran yang sudah ada secara
bertanggungjawab.
Untuk mengetahui kelayakan dan
kehandalan media pembelajaran yang
dihasilkan dilakukan uji coba oleh beberapa
dosen Fisika dan 20 mahasiswa Program
Studi Fisika Universitas Kanjuruhan Malang
yang menempuh matakuliah Fisika Modern
pada semester Genap tahun 2009/2010.
Setelah mencoba, mereka diminta mengisi

Mulai

Opening

Menu Utama

Materi

Info

Petunjuk

Keluar

Tidak
Ya
Model Atom
J.J. Thomson

Model Atom
Rutherford

Model Atom
RutherfordBohr

Selesai

Latihan
Keluar

Gambar 1 Diagram desain software pembelajaran


SEMNAS MIPA 2010

FIS - 110

Opening berupa Splash Screen dengan


logo Universitas Kanjuruhan Malang.
c. Coding
Penulisan kode program dilakukan
dengan menggunakan software Flash
Lite 1.1.
d. Tes
Pada tahap tes ini media dicek logika
internal dan fungsinya dengan mencobacoba dan menberikan input untuk
mengetahui
kesesuaiannya
dengan
outputnya.
Dalam
penelitian
ini
kriteria
kelayakannya sesuai dengan ketentuan
dalam indikator software menurut Romi
Satria Wahono (2006) yang meliputi berikut
ini.
a. Aspek Rekayasa Perangkat Lunak
(efektif dan efisien dalam pengembangan
dan
penggunaannya,
handal,
maintainable,
usabilitas,
ketepatan
pemilihan
software
untuk
pengembangan,
kompatibilitas,
pemaketan program terpadu dan mudah
dalam eksekusi, dokumentasi program
media pembelajaran lengkap, reusable).
b. Aspek Desain Pembelajaran (kejelasan
tujuan pembelajaran; relevansi tujuan
pembelajaran dengan SK/KD/Kurikulum;
cakupan
dan
kedalaman
tujuan
pembelajaran; ketepatan penggunaan
strategi pembelajaran; interaktivitas;
pemberian
motivasi
belajar;
kontekstualitas
dan
aktualitas;
kelengkapan dan kualitas bahan bantuan
belajar; kesesuaian materi dengan tujuan
pembelajaran;
kedalaman
materi;
kemudahan untuk dipahami; sistematis,
kejelasan uraian, pembahasan, contoh,
simulasi, latihan; konsistensi evaluasi
dengan tujuan pembelajaran; ketepatan
dan ketetapan alat evaluasi; pemberian
umpan balik terhadap hasil evaluasi).
c. Aspek Komunikasi Visual (komunikatif;
kreatif dalam ide; sederhana dan
memikat;
audio;
visual;
media
bergerak:animasi,
movie;
layout
interactive:ikon navigasi).
5. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN

SEMNAS MIPA 2010

Setelah media pembelajaran Model


Atom berbasis HP berhasil dirancang, maka
dilakukan pengecekan berdasarkan check
list. Diperoleh bahwa media tersebut layak
digunakan karena 78,6% sesuai dengan
kriteria software. Dari 14 indikator yang
ditetapkan, 3 indikator tidak terdapat pada
media pembelajaran. Indikator tersebut
adalah adanya Evaluasi Pembelajaran,
Umpan Balik Eevaluasi, dan Suara.
Berdasarkan angket yang telah
disebarkan kepada para pengguna diperoleh
data sebagai berikut.
1. Aspek Desain Pembelajaran media yang
dihasilkan
dinilai
Bagus.
Media
pembelajaran yang dihasilkan dinilai
dapat digunakan sebagai referensi belajar
tambahan oleh 70,8 % responden dan
75% responden menilai media belajar ini
bermanfaat sebagai sumber belajar
tambahan.
2. Ditinjau dari aspek Materi/Isi, materi
media pembelajaran yang dihasilkan
sudah sangat sesuai dengan Tujuan
Pembelajaran oleh 83,3% responden.
Hanya saja cakupan isinya dianggap
kurang lengkap, karena 54,2% responden
menyatakan materinya sudah lengkap
dan hanya 29,2% responden yang
menyatakan materinya sangat lengkap.
Hal ini karena pembuatan media
pembelajaran
ini
memang
tidak
dirancang sebagai sumber belajar utama,
tetapi hanya sebagai penunjang proses
pembelajaran. Sehingga isinya relatif
singkat,
hanya
mencakup
pokok
materidan animasi sebagai penjelasnya.
Meskipun materinya dianggap kurang
lengkap, tetapi materinya sangat mudah
difahami (87,5%). Hal ini disebabkan
antara lain karena adanya animasi yang
sangat membantu memahami materi
sebagaimana dinyatakan oleh 79,2%
responden.
3. Ditinjau dari aspek Interaksi, 62,5%
responden menyatakan media ini bersifat
interaktif.
Sehingga
media
ini
dikategorikan interaktif. Memang aspek
interaksi dalam media ini hanya sebagian
kecil saja yaitu yang menyangkut
perhitungan suatu rumus atau persamaan.
Animasi yang ada tidak bersifat
interaktif, hanya memvisualisasikan

FIS - 111

fenomena Fisika pada variabel tertentu


saja.
4. Aspek Evaluasi dan Balikan dari media
perlu ditingkatkan lagi. Hanya 54,2%
responden yang menyatakan bahwa
evaluasi yang ada sudah sangat sesuai
dengan
tujuan
pembelajaran.
Sebagaimana tujuan awal dari pembuatan
media ini adalah sebagai media
penunjang pembelajaran bukan sebagai
sumber utama pembelajaran. Oleh karena
itu, evaluasi yang ada hanya sebatas halhal yang bersifat pokok sesuai dengan
materi yang disajikan. Oleh karena itu
yang menganggap evaluasi sudah sangat
sesuai dengan materi pembelajaran
sebesar 70,8%. Berarti evaluasi pada
media ini sudah sangat sesuai materi
meskipun kurang sesuai dengan Tujuan
Pembelajaran.
5. Hal yang berkaitan dengan Komunikasi
Visual dinilai responden Bagus. Hal ini
tercermin dari penggunaan bahasa yang
mudah dipahami (91,7%), pemilihan
warna yang baik (91,7%), tampilan yang
simpel dan menarik (79,2%) dan animasi
materi yang menarik (83,3%). Demikian
juga dalam pengoperasiannya dinilai
mudah karena pengguna tidak harus
menyelesaikan suatu menu jika ingin
pindah ke menu lain (87,5%) dan tomboltombol perintah yang disediakan mudah
digunakan (79,2%). Dengan fasilitas
tersebut maka tidak mengherankan jika
para pengguna merasa mudah untuk
mengoperasikannya (79,2%). Hanya
sedikit (8,3%) pengguna yang merasa
agak susah menggunakannya. Mungkin
hal tersebut karena belum tersbiasa
mengoperasikan dan baru pertama kali
menggunakan media belajar berbasis HP.
6. Mudahnya mengoperasikan dan hampir
tidak pernah terjadi error (95,8%),
tampilan dan animasi yang menarik
menyebabkan pengguna merasa sangat
senang (66,7%) dan akan betah
menggunakannya dan tidak cepat bosan.
Oleh karena itu 87% responden
manyatakan perlu media seperti ini untuk
materi kuliah yang lain (87,5%). Dengan
media seperti ini akan dapat memberikan
tambahan semangat dan pengalaman, dan
membangkitkan minat untuk mendalami
materi Fisika (75%).

SEMNAS MIPA 2010

7. Setelah mencoba memanfaatkan media


belajar ini, sebagian besar mahasiswa
menyatakan proses belajar tentang Model
Atom menjadi lebih mudah (75%) dan
hanya 4,2% yang merasa belum terbantu
dalam pembelajaran. Bahkan 83,3%
menyatakan pemanfaatan media belajar
ini menjadikan proses belajar lebih
efisien. Mereka bisa membuka HP kapan
saja dan dimana saja. Dengan demikian
bisa diharapkan media belajar ini bisa
dimanfaatkan sebagai media belajar yang
bisa dimanfaatkan kapan saja dan di
mana saja.
Berdasarkan data tersebut, Isi/materi
media pembelajaran perlu ditingkatkan
sesuai dengan tujuan pembelajaran sehingga
para pengguna merasa pengetahuannya
bertambah. Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, tujuan awal pembuatan media
ini adalah sebagai sarana penunjang proses
pembelajaran bukan sebagai sumber utama
pembelajaran. Oleh karena itu isinya relatif
singkat dan mencakup pokok-pokok materi
saja. Proses pembelajaran selengkapnya
tentunya dilakukan pada saat tatap muka.
F. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis data dapat
disimpulkan bahwa media pembelajaran
Model Atom berbasis HP ini layak
digunakan sebagai media pembelajaran.
Sebagian
besar
responden
(68,3%)
menyatakan media ini Sangat Bagus, 15,4%
menyatakan Bagus, dan hanya 4,5% yang
menyatakan Tidak Bagus. Berdasarkan
fasilitas program yang disediakan, media ini
handal untuk digunakan, karena 78,6% telah
memenuhi kriteria software yang baik.
Agar media pembelajaran berbasis HP
ini bisa lebih efektif dalam pemanfaatannya,
maka beberapa kekurangan yang ada
hendaknya diatasi semaksimal mungkin.
Beberapa hal yang menurut responden masih
kurang, seperti kelengkapan materi, suara,
dan balikan dari evaluasi, hendaknya
diperhatikan
dalam
pengembangan
selanjutnya. Demikian juga pengembangan
untuk materi Fisika yang lain perlu
dilakukan.
Sehingga
nantinya
bisa
diharapkan media jenis ini bisa menjadi
Teman Setia para peminat Fisika.

FIS - 112

DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah,
Lutfi,
http://staff.blog.ui.ac.id/
harrybs/tag/mobile-learning/ diakses 29 Mei
2010.
Darlian, 1992, Pemanfaatan Komputer dalam
Pengajaran Fisika, Makalah disajikan dalam
Seminar Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA
IKIP Bandung tanggal 4 Januari 1992.
Dyah, 2007, Daur Hidup Perangkat Lunak
(Software
Life
Cycle).
http://blog.its.ac.id/dyah03tc/2007/10/25/daurhidup-perangkat-lunaksoftware-life-cycle/
diakses pada tanggal 25 Mei 2010.
http://akhmadsudrajat.wordpers.com/bahan
ajar/media-pembelajaran/ diakses pada tanggal
26 April 2009.
http://visipramudia.wordpress.com/mobileLearni
ng diakses tanggal 28 Mei 2010.
Setyawan, Toni, 2010, Cara Mengunakan
Aplikasi Mobile dari m-edukasi.net untuk
BelajarMmandiri, http://m-edukasi.net/artikelmobile-learning-isi.php? diakses pada tanggal 29
Mei 2010.
Suparno, Paul, 2007, Metodologi Pembelajaran
Fisika Konstruktivistik dan Menyenangkan,
Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma.
Triarso, Agus, 2009, Belajar Kapanpun dan
Dimanapun, http://m-edukasi.net/artikel-mobilelearning-isi.php? diakses pada tanggal 29 Mei
2010.
Wahono, Romi.S., 2006, Aspek Rekayasa
Perangkat Lunak Dalam Media Pembelajaraan,
http://romisatriawahono.net/2006/06/23/mediapembelajaran-dalam-aspekrekayasa-perangkatlunak/, diakses pada tanggal 26 Mei 2010.
Wisnu Ardlian Sugiyarto, 2009, Pengembangan
Software Pembelajaran Fisika Mandiri Berbasis
J2ME untuk Siswa SMP Kelas VIII Pokok
Bahasan Gaya, Skripsi, Jurusan Fisika FMIPA
Universitas Negeri Semarang.
Wiwik Akhirul Aeni, 2009, Flashlite, Alternatif
Platform
Aplikasi
Mobile,
http://medukasi.net/artikel-mobile-learning-isi.php?
diakses pada tanggal 29 Mei 2010.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 113

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN DALAM


KEGIATAN PRAKTIKUM FISIKA MODERN
Sugiyanto, Chusnana

Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang

Abstrak
Belum adanya instrument penilaian yang menjadi acuan bersama dalam kegiatan praktikum
pada matakuliah Fisika Modern menimbulkan berbagai masalah antara lain: penilaian oleh para
pendamping tidak seragam, penilaian dilakukan hanya dengan memperkirakan, untuk kualitas kinerja
yang sama boleh jadi diskor berbeda oleh pendamping yang berbeda atau sebaliknya skor yang sama
tidak dapat diartikan kinerjanya sama. Kurangnya koordinasi antar pendamping praktikum menambah
besar dampak negativ tersebut.
Abstract
The absence of an assessment instrument which is used together in practical activities in Modern
Physics course lead to various problems including: assessment by the companion is not uniform, the
assessment carried out only by estimating, for the same quality of performance may be scored differently
by different companion or otherwise score The same can not be interpreted the same performance.
Development of assessment instruments of Modern Physics lab. activities are very necessary to be
conducted.
The study begins with the development of preliminary studies, design draft instrument, the
development of the draft instrument, followed by validation by a team of experts and users of instruments.
The results showed that the instrument has been developed is quite feasible: the content and construct
valid, objectivity and feasibility is very high, the items were written very clear and simple.
Keywords: research development, assessment instrument, practical activities

1. LATAR BELAKANG
Matakuliah
Praktikum
Fisika
Modern (FBU416) termasuk kelompok
matakuliah kuliah praktikum menengah
yang lebih menekankan Mahasiswa Jurusan
Fisika untuk memiliki kemampun kerja
laboratorium berkaitan dengan rekonstruksi
eksperimen bersejarah bidang fisika modern
(MIPA, 2007, 39). Selama ini matakuliah ini
masih terasa kental kaitannya dengan
perkuliahan teori dari Matakuliah Fisika
Modern. Kegiatan praktikum mahasiswa
masih berorientasi pada hasil, belum pada
kemampuan kerja laboratorium fisika
modern.
Sebelum
praktikum
dimulai
mahasiswa diharuskan menjawab beberapa
pertanyaan dari dosen atau asisten tentang
pengetahuan
prasyarat
secara
lisan.
Selanjutnya mahasiswa melakukan kegiatan
praktikum secara berkelompok didampingi
oleh satu dosen atau asisten untuk setiap
kelompoknnya. Setelah kegiatan praktikum
selesai, mahasiswa menunjukkan data hasil
pelaksanaan praktikum untuk mendapatkan

SEMNAS MIPA 2010

tanda tangan dosen atau asisten. Pada saat


seperti ini sebagian dosen melakukan
konfirmasi data dan pelaksanaan praktikum,
tetapi hanya dilakukan oleh beberapa dosen
saja. Mahasiswa harus mengumpulkan
laporan hasil praktikum pada saat akan
melakukan kegiatan praktikum pada dua
minggu berikutnya. Pada akhir semester
dilakukan ujian akhir yang pelaksanaannya
diserahkan pada dosen pembina masingmasing.
Koordinasi antara satu dosen
pembina matakuliah Praktikum Fisika
Modern dengan dosen pembina yang lain
belum terlaksana dengan baik. Bahkan
keadaan serupa terjadi juga antara
dosen/asisten
pendamping
kelompok
praktikum yang sama. Hal ini menyebabkan
perbedaan tuntutan kepada mahasiswa
praktikan, sehingga sering terjadi beda
perlakuan terhadap kesalahan yang sama
oleh kelompok dengan pendamping beda.
Koordinasi juga kurang dirasakan antara
dosen pembina kuliah teori Fisika Modern
dengan matakuliah Praktikum Fisika
Modern. Upaya yang dilakukan oleh Jurusan
FIS - 114

Fisika dan Ketua Sublaboratorium Fisika


Modern memberikan pelatihan pada
asisten/dosen pendamping di awal semester
belum mampu menyeragamkan pemahan
dan persepsi dosen/asisten pendamping.
Jurusan Fisika perlu mengambil langkah
nyata untuk mengatasi hal tersebut.
Fakta lain yang juga harus segera
mendapat perhatian Jurusan Fisika, para
dosen Pembina Matakuliah Praktikum Fisika
Modern adalah belum adanya instrument
penilaian yang layak dan disepakati untuk
menilai mahasiswa peserta. Walaupun telah
ada sistem penilaian yang dipakai (Lampiran
1) dalam matakuliah ini, tetapi itu hasil
adobsi
dari
matakuliah-matakuliah
praktikum lain yang belum tuntas. System
atau formula penilaian itu tidak operasional
sehingga masih menyebabkan beragam tafsir
dan interpretasi serta implementasi dalam
pelaksanaannya.
Ada kecenderungan pelaksanaan
penilaian
kemampuan
prasyarat,
pelaksanaan praktikum, dan ujian akhir yang
dilakukan
oleh
asisten
pendamping
praktikum menghasilkan skor yang sama
untuk semua mahasiswa praktikan, dan
berkisar antara 75 sampai dengan 95. Hasil
wawancara dengan beberapa asisten
pendamping praktikum diperoleh informasi
bahwa para asisten tidak menggunakan
rubric
penskoran
dalam
melakukan
penilaian.
Hasil
pengamatan
juga
menunjukkan bahwa belum ada instrument
penilaian yang menjadi acuan bersama para
asisten/dosen pendamping yang dilengkapi
dengan rubric penskoran. Secara praktis
belum ada instrumen penilaian untuk
menilai kemampuan prasyarat, pelaksanaan
kerja praktikum, produk laporan mahasiswa,
dan untuk ujian akhir semester. Keadaan ini
harus segera mendapatkan perhatian dan
komitmen dari Jurusan Fisika untuk
mengembangkan instrument penilaian dalam
Matakuliah Praktikum Fisika Modern.
2. RUMUSAN MASALAH
Belum adanya instrument penilaian
yang layak dalam Matakuliah Praktikum
Fisika Modern merupakan masalah yang
sangat penting untuk segera diatasi oleh
Jurusan Fisika dan dosen pembinanya
dengan
mengadakan
penelitian
pengembangan dengan komitmen yang

SEMNAS MIPA 2010

tinggi. Permasalahan dalam penelitian


pengembangan ini dirumuskan sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah
prosedur
pengujian
kelayakan instrumen penilaian dalam
perkuliahan Praktikum Fisika Modern
Semester
Genap
Tahun
Ajaran
2009/2010?
2. Bagaimanakah perkembangan kelayakan
instrumen penilaian dalam perkuliahan
Praktikum Fisika Modern
Semester
Genap Tahun Ajaran 2009/2010?
3. Bagaimana wujud instrumen yang telah
dikembangkan dan dinilai layak untuk
digunakan dalam perkuliahan Matakuliah
Praktikum Fisika Modern?
3. KAJIAN PUSTAKA
3.1. Kegiatan Praktikum
Praktikum adalah istilah yang biasa
digunakan di Indonesia untuk menunjuk
kegiatan yang dikerjakan di laboratorium.
Untuk menunjuk hal yang sama, literatur US
biasa
menggunakan
istilah
kerja
laboratorium (laboratory work), sedangkan
litera-ture UK dan negara-negara yang
berafiliasi dengannya menggunakan istilah
kerja praktik (practical work). Definisi kerja
laboratorium,
menurut
Hegarty-Hazel
seperti dikutip Lazarowitz & Tamir (1994),
adalah suatu bentuk kerja praktik yang
bertempat
dalam
lingkungan
yang
disesuaikan
dengan
tujuan
dimana
siswa/mahasiswa terlibat dalam pengalaman
belajar yang terencana, berinteraksi dengan
peralatan
untuk
mengobservasi
dan
memahami fenomena. Jadi laboratorium
merupakan tempat belajar.
Praktikum atau kegiatan belajar di
dalam laboratorium dapat didikotomikan
menjadi kegiatan praktikum yang bersifat
verifikasi dan praktikum berbasis inquiry.
Praktikum verifikatif adalah rangkaian
kegiatan
pengamatan/pengukuran,
pengolahan data, dan penarikan kesimpulan
yang bertujuan untuk membuktikan konsep
atau hukum yang sudah diajarkan di kelas
(atau sudah dimiliki siswa/mahasiswa).
Sedangkan praktikum berbasis inquiry
adalah
kegiatan
laboratorium
yang
memungkinkan siswa/mahasiswa untuk: (1)
mengeksplorasi gejala dan menyatakan
permasalahan, (2) mengusulkan hipotesis,
(3) mendesain dan melaksanakan cara
FIS - 115

pengujian hipotesis, (4) mengorganisasikan


dan menganalisis data yang diperoleh, (5)
merumuskan kesimpulan (Lawson, 1995).
Dalam kurikulum Jurusan Fisika
tahun 2007 dinyatakan bahwa salah satu
kompetensi utama (dari 12) yang harus
dikuasai oleh MPF adalah memiliki
kemampuan mengelola dan ketrampilan
kerja laboratorium sebagai dasar berkarya
dalam bidang pendidikan (MIPA, 2007, 39).
Dalam rangka membantu MPF mencapai
kompetensi
utama
tersebut,
mereka
diwajibkan mengikuti tujuh sampai sembilan
matakuliah yaitu FBU401 (Praktikum Fisika
Dasar I), FBU403 (Praktikum Fisika Dasar
II), FBU407 (Praktikum Kimia), FBU410
(Praktikum Biologi), FBU416 (Praktikum
Fisika Modern), FBU418 (Praktikum
Elektronika Dasar I), FBU420 (Praktikum
Elektronika Dasar II), FBU426 (Praktikum
Elektromagnet),
FBU431
(Praktikum
Gelombang dan Optik) dan Managemen
Laboratorium. Melihat nama dan deskribsi
matakuliah praktikum di atas terlihat bahwa
matakuliah-matakuliah tersebut sangat lekat
dan sangat mendukung perkuliahan teori,
sehingga dapat digolongkan ke dalam
kegiatan praktikum yang bersifat verifikasi.
Dengan demikian dapat diprediksikan
bahwa penyelenggaraan kegiatan matakuliah
tersebut kurang bisa menjamin tercapainya
kompetensi utama yang diharapkan.
Ada
beberapa
keterbatasan
pembelajaran dengan praktek laboratorium
yang selama ini dilakukan di sekolah.
Sebagai contoh, ketika pengajaran sains
yang dilakukan dengan metoda praktek
laboratorium dibandingkan dengan metoda
lainnya seperti sistem klasikal (ceramah)
atau demonstrasi (oleh guru ataupun siswa)
ternyata tidak menunjukkan peningkatan
prestasi
siswa
kecuali
dalam
hal
keterampilan siswa dalam penggunaan alatalat laboratorium. Guru yang pernah
melakukan praktek laboratorium juga
mengalami, bahwa praktek laboratorium
membutuhkan waktu yang lebih banyak
untuk persiapan alat dan bahan, kesulitan
dalam mengatur dan mengawasi siswa
dalam berpraktek, prosedur percobaan yang
sulit dipahami siswa dan kemungkinan siswa
membuat kesalahan di setiap saat, dan hasil
yang diinginkan dan pemahaman yang
diharapkan dari siswa pun biasanya jauh dari
yang direncanakan dari kegiatan praktek ini.
SEMNAS MIPA 2010

Pada umumnya kegiatan praktek


laboratium diarahkan pada upaya supaya
siswa
menguji,
memverifikasi
atau
membuktikan hukum atau prinsip ilmiah
yang sudah dijelaskan oleh guru/dosen atau
buku teks. Ada juga percobaan yang
dirancang oleh guru adalah para siswa
disuruh melakukan percobaan dengan
prosedur yang sudah terstruktur yang
membawa siswa kepada prinsip atau hukum
yang tidak diketahui sebelumnya dari data
empiris yang mereka kumpulkan hasil dari
percobaan tersebut. Namun terdapat
berbagai kelemahan dasar dari cara seperti
ini, secara logis prinsip ilmiah dan hukum
alam tidak dapat dibuktikan secara langsung;
prinsip ilmiah dan hukum alam juga tidak
dapat diuji hanya dengan jumlah percobaan
yang terbatas yang dilakukan oleh siswa.
Keterbatasan
alat
yang
digunakan,
keterampilan yang dipunyai, waktu yang
singkat dan kompleksitas generalisasi,
merupakan keterbatasan percobaan siswa
yang menunjukkan hal yang hebat kalau
siswa bisa menghasilkan prinsip teoritis
yang penting dari sekumpulan data mentah
hasil percobaan.
Van den berg and Giddings (1992)
misalnya mencatat bahwa terdapat lima
kelemahan
yang
terdapat
praktik
laboratorium dalam pengajaran sains di
sekolah, yaitu: a). kurangnya pembedaan
antara prioritas dan sasaran kegiatan, b).
kelemahan dalam pilihan eksperimen yang
biasanya dilakukan, sepertri percobaan
untuk menguji prinsip ilmiah, c).
ketidaksesuaian antara tujuan praktek
laboratium dengan prosedur percobaan yang
tertulis, d). ketidaksesuaian antara tujuan
praktek laboratorium dengan strategi
pengajaran, e). ketidaksesuaian antara tujuan
praktek laboratorium dengan penilaian yang
dilakukan (Bambang Sumintono, 2008).
Aspek-aspek kemampuan kerja
laboratorium yang dikembangkan dalam
kegiatan
praktikum:
mengidentifikasi
masalah dan tujuan, mengenali kebutuhan
peralatan (equipment), membuat perkiraan
atau prediksi (prediction), merancang
metode
pembuktian,
eksplorasi
(exploration),
melakukan
pengukuran
(measurement),
analisis
(analysis)
(S.Feranie, et al., 2005). Kemampuan proses
ilmiah juga menjadi pokok-pokok yang
harus dapat berkembang melalui kegiatan
FIS - 116

laboratorium yaitu: pegamatan (observing),


mengklasifikasi
(classifying),
mengkomunikasikan
(communicating),
pengukuran (measuring), penginferensian
(inferring),
perkiraan
(predicting),
merancang
eksperimen
pembuktian
(experimental design), pengumpulan dan
pengorganisasian data (Gathering and
Organizing Data), pengontrolan peubah
(Controlling Variables), pengembangan
hipotesis (Developing a Hypothesis), dan
kerja kelompok (Team Work).
Kemampuan kerja laboratorium
yang direncanakan untuk dikembangkan
melalui kegiatan praktikum di laboratorium
harus
disesuaikan
dengan
peralatan
laboratorium yang ada. Rencana ini
dinyatakan dalam tujuan pelaksanaan
praktikum yang terdapat dalam petunjuk
praktikum. Kemampuan kerja laboratorium
ini juga melintasi tiga ranah yaitu kognitif,
psikomotor dan afektif. Tujuan praktikum
inilah yang selanjutnya menjadi sasaran
kegiatan penilaian dalam kegiatan praktikum
3.2. Penilaian Kegiatan Praktikum
Pelaksanaan kegiatan praktikum
yang telah direncanakan dan sedang
dilakukan oleh praktikan sebagai kegiatan
pembelajaran yang harus dinilai. Ada tiga

tahap yang harus menjadi focus penilaian


yaitu keadaan awal sesaat sebelum
pelaksanaan praktikum, keadaan selama
pelaksanaan kegiatan dan keadaan akhir
setelah kegiatan praktikum. Kegiatan
penilaian ini pada prinsipnya mengikuti pola
kegiatan praktikum yang direncanakan.
Sasaran kegiatan penilaian adalah tujuan
yang termaktub dalam petunjuk praktikum.
Informasi yang dihasilkan dari kegiatan
penilaian ini dapat digunakan untuk
memberikan gambaran keadaan awal,
keterlaksanaan kegiatan praktikum dan
hasil-hasilnya. Secara umum nilai akhir
kegiatan praktikum dan informasi yang
dihasilkannya meliputi: nilai pemibicaraan
awal, nilai unjuk kerja praktikum, nilai
laporan, dan nilai pembicaraan akhir
(UNTIRTA, 2008, 1).
Dalam perkuliahan Praktikum Fisika
Modern terdapat enam buah mata raktikum
yaitu: efek fotolistrik, interferometer
Michelson, Frank Hertz, e/m electron, efek
Hall, dan radiasi nuklir (MIPA, 2007).
Pelaksanaan penilaian kegiatan praktikum
Fisika Modern menggunakan system
penilaian yang juga diacu oleh seluruh
kegiatan praktikum di Jurusan Fisika seperti
ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1 Sistem Penilaian Kegiatan Praktikum Fisika Modern


Sistem Penilaian menunjukkan
bahwa nilai akhir mahasiswa praktikan
ditentukan oleh nilai persiapan, nilai
pelaksanaan, nilai pelaporan, dan nilai ujian
akhir. Persiapan praktikum yang menjadi
sasaran penilaian meliputi model dan set-up.
Penilaian pelaksanaan praktikum meliputi
tiga hal yaitu: operasi alat, koleksi data, dan
kerjasama.

SEMNAS MIPA 2010

3.3. Instrumen
Praktikum

Penilaian

Kegiatan

Penilaian (asesmen) dan keputusankeputusan evaluatif yang dihasilkannya


haruslah akurat sehingga mampu mencegah
pemahaman dan komunikasi yang keliru
oleh pihak-pihak terkait. Oleh karenanya
diperlukan berbagai jenis asesmen yang
secara bersama-sama akan menghasilkan

FIS - 117

informasi evaluatif yang lengkap dan akurat.


Metode asesmen formal direncanakan lebih
bagus
dalam
pengadministrasiannya.
Metode ini kurang spontanitasnya dan
biasanya dilaksanakan pada akhir proses
pembelajaran. Para siswa menyadari atau
mengetahui tentang penggunaan metode
asesmen formal ini. Contoh metode ini
diantaranya adalah tes meliputi beberapa
bab, ujian final, PR terstruktur dan
sebagainya. Metode asesmen informal
dilaksanakan lebih spontan dan kurang
kentara/terlihat. Biasanya terjadi selama
proses pembelajaran . Contoh metode ini
seperti: observasi dan pertanyaan-pertanyaan
yang dilakukan oleh guru selama proses
pembelajaran (Sugiyanto, 2005, 35).
Asesmen formal memiliki kelebihan lebih
dapat
dipertanggungjawabkan
kepada
berbagai pihak daripada asesmen informl,
karena ada reka jejaknya. Penilaian formal
yang
baik
membutuhkan
instrumen
penilaian yang kriteria validitas dan
kelayakan.
Pengembangan instrumen penilaian
diawali oleh kegiatan penetapan sasaran
penilaian. Dalam kegiatan praktikum sasaran
penilaian itu adalah tujan pelaksanaan
praktikum yang biasanya termaktub dalam
petunjuk pelaksanaan praktikum. Dalam
praktikum jenis verifikatif sasaran penilian
kegiatan praktikum meliputi: persiapan,
pelaksanaan, pelaporan, dan ujian akhir.
Pencermatan terhadap tujan praktikum akan
membimbing kita pada penemuan indikatorindikator proses pelaksanaan praktikum
maupun indikator-indikator hasil belajar.
Selanjutnya dapat dilakukan pemilihan dan
penetapan indikator-indikator yang yang
esensial untuk dapat dikembangkan menjadi
butir-butir instrumen. Jenis dan karakter
indikator-indikator penilaian ini membawa
konsekuensi pada bentuk instrumen metode
dan teknik-teknik penilaian.
Instrumen
untuk
menilai
kemampuan awal mahasiswa praktikan
dapat berupa tes tulis, maupun lembar
panduan wawancara. Sedangkan untuk
kegiatan pelaksanaan praktikum bentuk
instrumen yang paling cocok adalah lembar
panduan observasi. Produk atau laporan
kegiatan praktikum dapat dinilai dengan
baik menggunakan instrumen panduan
penilaian produk. Sedangkan instrumen
penilaian hasil akhir praktikum dapat berupa
SEMNAS MIPA 2010

instrumen tes perbuatan, atau tes tulis,


maupun tes wawancara.
Instrumen penilaian yang baik harus
memenuhi kriteria validitas dan kelayakan.
Dalam terminologi penilaian klasik atau
baku ada beberapa ukuran kelayakan
instrumen yaitu: validitas, reliabilitas, taraf
kesukaran, dan daya pembeda. Ukuran
kelayakan instrumen untuk penilaian yang
modern dan autentik lebih menekankan
validitas konstruk dan validitas isi, serta
keserhanaan kalimat.
Pengembangan instrumen tes awal
atau panduan wawancara kemampuan awal
mahasiswa praktikan dengan mencermati
pengetahuan dan ketrampilan prasyarat
sebelum kegiatan paktikum dilaksanakan.
Pada kegiatan Praktikum Fisika Modern
telah disebutkan dalam lembar sistem
penilaian pengetahuan dan ketrampilan awal
mahasiswa praktikan, walaupun masih
terlalu umum (Lampiran 1). Sumber utama
sebagai dasar pengembangan adalah tujan
pelaksanaan
praktikum.
Berdasarkan
petunjuk pelaksanaan praktikum Praktikum
Fisika Modern dapat ditunjukkan tujuan
kegiatan praktikum untuk enam judul
kegiatan seperti ditunjukkan oleh Tabel 1.
Persiapan praktikum Fisika Modern
yang menjadi sasaran penilaian meliputi
model dan set-up. Model praktikum yang
menjadi sasaran penilaian antara lain
mahasiswa mampu menyebutkan: besaranbesaran yang diukur, sifat hubungan antar
besaran, gejala fisika yang diamati, besaran
yang dihitung, dan teknik analisa data.
Sedangkan sasaran penilaian set-up antara
lain mahasiswa mampu menyebutkan:
bagian-bagian penting komponen, fungsi
komponen, cara kerja set-up, dan prosedur
pengambilan data.
Tabel 1. Tujuan Praktikum
Modern (MIPA, 2007)

Fisika

Judul
Praktikum

Tujuan Kegiatan
Praktikum
Mengukur energi kinetik
elektronfoto untuk beberapa
nilai intensitas dari satu
warna cahaya yang menimpa
katoda.
Efek Fotolistrik
Mengukur energi kinetik
maksimum elektronfoto yang
terpancar untuk beberapa
warna cahaya yang menimpa
logam.

FIS - 118

Interferometer
Michelson

Frank-Hertz

e/m Elektron

Efek Hall

Radiasi Nuklir

Menentukan hubungan antara


energi kinetik elektronfoto
dengan frekwensi cahaya
yang menimpa katoda.
Menentukan konstanta alam
Planck.
Menentukan fungsi kerja
bahan lempeng katoda
Memahami cara kerja
interferometer Michelson.
Mengukur panjang
gelombang sinar LASER HeNe
Mempelajari tingkat energi
diskrit dalam atom.
Menunjukkan tingkat energi
eksitasi pada atom.
Mengamati gerakan
melingkar elektron dalam
medan magnet
Menenetukan besarnya
muatan spesifik (e/m)
elektron
Menentukan konstanta Hall
pada logam
Menenetukan jenis pembawa
muatan pada logam
Menentukan konduktivitas
bahan logam.
Menentukan mobilitas bahan
logam.
Menentukan counting rate (
cacah radiasi ) dari bahan
radioaktif
Menentukan penyerapan
radioaktif dari bahan
pelindung

4. HASIL PENELITIAN DAN


PEMBAHASAN
4.1. Pengembangan Draft Instrumen
Lokakarya
pengembangan
instrumen praktikum sebagai langkah awal
identifiksi sasaran penilaian tentang
kemampuan
prosedural
setiap
mata
parktikum. Lokakarya direncanakan dihadiri
oleh seluruh dosen pembimbing praktikum
dan seluruh asisten pendamping praktikum,
yang seluruhnya berjumlah 39 orang.
Peserta yang hadir dalam kegiatan lokakarya
hanya 8 orang. Secara kebetulan kedelapan
peserta ini merupakan pendamping dari lima
praktikum yang sedang dikaji. Hasil
lokakarya ini berupa deskripsi sasaran

SEMNAS MIPA 2010

penilaian untuk setiap tahap praktikum dari


kelima mata praktikum yang sedang dikaji.
Selain itu juga diperoleh gambaran rentang
skor dari setiap sasaran penilaian yang
berhasil diidentifikasi. Informasi awal ini
sangat berguna bagi peneliti sebagai rujukan
pendamping
untuk
pengembangan
instrumen. Namun demikian lokakarya ini
belum menghasilkan informasi yang cukup
baik. Para peserta lokakarya kurang berhasil
mengidentifikasi
sasaran
kemampuan
prosedural dalam Matakuliah Fisika Modern
dikarenakan tidak jelasnya tuntutan/ tagihan
yang ada dalam petunjuk praktikum.
Selanjutnya
peneliti
mengembangkan
variabel
kemampuan
prosedural pelaksanaan praktikum menjadi
tiga sub konsep yaitu kemampuan persiapan,
pelaksanaan dan pelaporan. Definisi
konseptual tentang sub-sub konsep ini
seperti yang tampak pada Gambar 2,
mengacu pada sistem penilaian yang telah
ada sebelumnya.
Hasil diskusi validasi dengan
kelompok ahli bidang pengembangan
instrumen dan pengujian diperoleh bahwa
ketidakjelasan deskribsi kompetensi dalam
Matakuliah Fisika Modern menyebabkan
tidak mungkin dikembangkan konstruk
maupun
konsep
kemampuan
kerja
laboratorium berkaitan dengan rekonstruksi
eksperimen bersejarah bidang fisika modern.
Dari
enam
mata
praktikum
yang
terselenggara, tidak ada kebersamaan
tuntutan kepada mahasiswa praktikan, baik
dalam
ranah
kognitif,
psikomotor/ketrampilan maupun ranah
afektif. Keenamnya tidak secara bersamasama membentuk satu kompetensi tertentu
dalam ranah pengetahuan, ketrampilan,
maupun sikap. Sangat jelas terlihat bahwa
seluruh matapraktikum yang terselenggara
tidak diprogramkan secara bersama,
melainkan disusun sendiri-sendiri oleh
beberapa dosen, kemudian dikemas menjadi
satu petunjuk praktikum. Tidak tampak
bangunan kompetensi yang terjadi, yang
dapat menggambarkan pengalaman belajar
secara spesifik dari mahasiswa peserta
matakuliah ini dan membedakannya dengan
matakuliah praktikum yang lain.

FIS - 119

Gambar 2. Peta Konsep Kemampuan Melakukan Kegiatan Praktikum Fisika


Modern
Selain itu juga diperolah bahwa
untuk
mata
praktikum Efek Hall
direkomendasikan untuk tidak disertakan
dalam matakuliah ini tidak selaras dengan
matakuliah teori Fisika Modern. Hal ini
diprediksikan akan menyebabkan mahasiswa
praktikan mengalami banyak kendala dalam
menyelesaikan kegiatan praktikum baik
pada tahap persiapan, pelaksanaan, maupun
pelaporan.
Tentang tatacara penskoran juga
disarankan untuk menggunakan cara yang
lebih sederhana sehingga penilai tidak perlu
menafsirkan skor dari sasaran penilaian,
misalnya dengan membuat/mengembangkan
kriteria dan skor yang digital yaitu 0 dan 1.
Hal ini untuk meningkatkan obyektivitas
saat pelaksanaan penilaian. Artinya penilai
tidak perlu menafsirkan respon dari
praktikan sehingga penilai tidak terlibat
secara emosional, yang akan mempengaruhi
skor akhir praktikan.
Saat
pelaksanaan
penilaian
disarankan untuk dikelola sedemikian rupa
agar setiap praktikan memperoleh skor
SEMNAS MIPA 2010

secara
individual,
walaupun
proses
pelaksanaan praktikum secara berkelompok.
Sehingga untuk tahap persiapan dan
pelaporan seyogyanya dilaksanakan secara
indiviual.
Hasil diskusi validasi dengan
kelompok ahli bidang / kegiatan praktikum
diperoleh informasi evaluatif tentang
perlunnya pembatasan butir untuk kegiatan
persiapan. Hal ini dengan pertimbangan
bahwa waktu penilian persiapan agar tidak
lebih dari 15 menit. Berdasarkan informasi
evaluatif dari hasil diskusi dengan kelompok
ahli kegiatan praktikum dilakukanlah revisi
perbaikan terhadap insrumen, yaitu dengan
memangkas jumlah butir untuk tahap
persiapan praktikum menjadi hanya dua
butir pernyataan (perintah). Untuk kelompok
instrumen pelaksanaan dan pelaporan sudah
cocok dengan proses dan capaian yang
diinginkan selama dan setah pelaksanaan
praktikum.

FIS - 120

4.2. Validasi Instrumen oleh Ahli


Validasi draft instrumen dilakukan
dengan memintakan penilaian pada dua
kelompok ahli, yaitu kelompok pertama
terdiri dari dua ahli dalam bidang
pengembangan instrumen dan pengujian,
dan kelompok kedua terdiri dari tiga ahli
dalam bidang praktikum. Penilaian oleh tim
ahli terhaap 5 set instrumen yang masingmasing terdiri dari tiga buah instrumen yaitu

instrumen penilaian persiapan, lembar


observasi pelaksanaan praktikum, dan
instrumen penilaian produk pelaporan.
Ukuran-ukuran kelayakan yang dinilai
meliputi validitas isi, validitas konstruk, non
ambiguitas, obyektivitas, dan fisibilitas.
Hasil penilaian tim ahli terhadap kelayakan
instrumen dapat disederhanakan dalam
bentuk tabel sebagai berikut.

Tabel 4.1 Hasil Penilaian Kelayakan Instrumen oleh Tim Ahli


Instrumen

Efek Fotolistrik
Interferometer
Michelson
Frank-Hertz

e/m Elektron

Radiasi Nuklir

Persiapan
Pelaksanaan
Pelaporan
Persiapan
Pelaksanaan
Pelaporan
Persiapan
Pelaksanaan
Pelaporan
Persiapan
Pelaksanaan
Pelaporan
Persiapan
Pelaksanaan
Pelaporan

Validitas
konstruk
80
100
100
80
100
80
80
100
80
80
100
80
100
100
80

Hasil Penilaian (%)


Validitas
non
Obyektivitas Fisibilitas
isi
Ambiguitas
80
100
100
100
100
80
80
100
100
100
100
100
80
100
100
100
100
100
80
100
80
100
100
100
80
80
80
100
100
100
80
100
80
100
100
100
80
100
100
100
100
100
80
100
80
100
100
100
100
100
100
100
100
100
80
100
80
100
100
100

4.3. Penilaian oleh Pengguna

5. SIMPULAN

Walaupun belum teruji secara


empiris dilapangan, akan tetapi dari hasil
diskusi dengan 8 orang asisten pendamping
praktikum Praktikum Fisika Modern
diperoleh bahwa butir-butir instrumen ini
sangat jelas dan sederhana (non ambigu) dan
diprediksi meiliki taraf kelayak-laksanaan
(fisibilitas) yang tinggi. Demikian pula
dengan tingkat obyektivitasnya yang tinggi,
karena dirancang agar tidak terpengaruh
oleh faktor pertimbangan subyektif penilai.
Dengan menekan serendah mungkin
pengaruh pertimbangan subyektif dari
penilai, maka instrumen penilaian akan
dapat menilai obyek ukur dengan apa
adanya. Hal ini juga berarti jika instrumen
ini digunakan dengan benar maka akan
dapat dibedakan dengan jelas praktikan yang
mampu secara prosedural dan kurang
mampu secara prosedural.

Berdasarkan
paparan
dan
pembahasan di atas dapat disimpulkan
beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Prosedur
pengembangan
instrumen
penilaian dalam perkuliahan Praktikum
Fisika Modern dimulai dari uji
pendahuluan,
perancangan,
pengembangan draft instrumen, revisi,
penilaian oleh tim ahli, penilaian oleh
pengguna, dan revisi akhir
2. Pengujian Kelayakan meliputi dua tahap
yaitu Tahap I: penilaian oleh tim ahli
bidang pengembangan instrumen /
pengujian dan tim ahli kegiatan
praktikum meliputi validitas isi, validitas
konstruk, non ambiguitas, obyektivitas,
dan fisibilitas; dan Tahap II: penilaian
oleh para asisten pendamping praktikum
untuk mendapatkan tanggapan tentang
kelayakan instrumen meliputi non
ambiguitas, obyektivitas, dan fisibilitas
dari produk instrumen.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 121

3. Instrumen penilaian yang dikembangkan


telah
memiliki
kelayakan
untuk
mengukur
kemampuan
prosedural
mahasiswa praktikan dalam perkuliahan
Praktikum Fisika Modern, setelah
mengalami beberapa kali revisi
4. Instrumen yang dikembangkan terdiri
dari 5 set sesuai dengan jumlah judul
praktikum, dimana setiap set terdiri dari
tiga instrumen yaitu untuk instrumen
penilaian persiapan, lembar observasi
pelaksanaan, dan instrumen penilaian
pelaporan.
DAFTAR RUJUKAN
Bambang
Sumintono.
2008.
Pelatihan
Pengajaran Sains di Laboratorium.
Tersedia
pada
http://www.engineeringtown.com/home/
teachers/index.php?option=com_content&view=
article&id=165:pelatihan-pengajaran-sains-dilaboratorium&catid=36:artikel&Itemid=54
Diakses pada tanggal 3-02-2010.
MIPA. (2007). Katalog FMIPA UM Jurusan
Fisika. FMIPA Universitas Negeri Malang Edisi
2007.
MIPA. (2007). Petunjuk Praktikum Fisika
Modern. FMIPA Universitas Negeri Malang.
Lawson, A.E. 1995. Science Teaching and the
Development of Thinking. California: Wadsworth
Publishing Company.
Lazarowitz, R. & P. Tamir. 1994. Research on
Using Laboratory Instruction in Science.
Handbook of Research on Science Teaching and
Learning. Edited by: D. L. Gabel. New York:
Macmillan Publishing Company.
S. Feranie, Setiawan,A., & A Suhandi, Problem
Solving Laboratory: Suatu Model Alternatif
Inovasi
Pembelajaran
Dalam
Kegiatan
Praktikum Fisika Dasar, Seminar Nasional
Pendididkan MIPA, Universitas Pendidikan
Indonesia, 2005
Sugiharto dkk .2006 Psikologi Pendidikan. FIP
UNY.
Sugiyanto. 2007. Penilaian Pendidikan Fisika.
Buku Ajar FMIPA UM
UNTIRTA.
2008.
Petunjuk
Praktikum
Laboratorium Operasi Teknik Kimia Tersedia
pada
http://www.che.itb.ac.id/labtek/files/Tata%20Ter
tib.pdf Diakses pada tanggal 3-02-2010.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 122

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR FISIKA DASAR I


MAHASISWA MELALUI TUGAS PETA KONSEP DAN
PEMBELAJARAN MODEL STAD
Drs. Parno, M.Si
Dosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang e-mail: parno@fisika.um.ac.id

Abstrak
Fisika Dasar I adalah matakuliah wajib di jurusan Fisika, baik bagi mahasiswa prodi Pendidikan Fisika
maupun Fisika. Fisika dasar I merupakan matakuliah strategis karena menjadi dasar bagi hampir semua
matakuliah program sarjana. Prestasi belajar mahasiswa harus terus diupayakan menjadi lebih baik
dengan cara menyelenggarakan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Perkuliahan semester
pendek hanya boleh diikuti oleh mahasiswa yang belum lulus atau memperoleh nilai maksimum C.
Pembelajaran Fisika Dasar I semester Pendek 2008/2009 ini dilakukan dengan tugas membuat peta
konsep dan model Student Teams Achievements Divisions (STAD). Desain penelitian ini adalah preeksperimental rancangan pra-post tes dalam satu kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pembelajaran dengan tugas membuat peta konsep dan model STAD dalam matakuliah Fisika Dasar I (1)
mampu meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, yang ditandai oleh gain score ternormalisasi rata-rata
0,38 (kategori medium) untuk materi bagian pertama dan 0,35 (kategori medium) untuk materi bagian
kedua, dan (2) menghasilkan respon positip mahasiswa terhadap proses pembelajaran. Dosen dapat
menggunakan model ini sebagai salah satu alternatif pembelajaran Fisika Dasar I pada perkuliahan
semester pendek mendatang.
Kata-kata kunci: STAD, peta konsep, fisika dasar

Matakuliah Fisika Dasar I dengan bobot 3


sks/3 js adalah matakuliah wajib di jurusan
Fisika, baik bagi mahasiswa prodi Fisika
maupun Pendidikan Fisika (Katalog
FMIPA UM, 2009). Matakuliah tersebut
disajikan pada semester pertama dan
menjadi dasar bagi hampir semua
matakuliah program sarjana. Tujuan
matakuliah Fisika Dasar I adalah agar
mahasiswa dapat memahami konsep dasar
besaran, satuan dan pengukuran; konsep
dasar mekanika klasik; dan konsep dasar
termodinamika.
Sedangkan
cakupan
materinya adalah (1) Besaran dan satuan,
analisis dimensional, aljabar vektor,
kinematika dan dinamika partikel (hukum
gerak Newton, gerak linier, gerak
parabola); (2) Usaha-energi: tumbukan,
impuls dan momentum, hukum kekekalan
energi; (3) Kinematika
dan dinamika
rotasi: hukum kekekalan momentum sudut,
momen gaya dan momentum sudut, keseimbangan benda tegar, hukum gravitasi
Newton, Osilasi; (4) Elastisitas; (5) Fluida:
statika dan dinamika fluida; dan (6)
Thermodinamika: teori kinetik gas, sifat gas
ideal, hukum termodinamika.
Nilai minimal mahasiswa pada suatu
perkuliahan matakuliah yang dinyatakan
SEMNAS MIPA 2010

lulus adalah C. Mahasiswa yang belum


lulus
boleh mengulangnya manakala
matakuliah yang bersangkutan sedang
disajikan, baik pada semester regular
maupun pendek. Khusus untuk semester
pendek,
mahasiswa
yang
boleh
memprogram matakuliah adalah jika ia
belum lulus dengan tujuan agar lulus, atau
maksimal memiliki nilai C dengan tujuan
memperbaiki nilai pada matakuliah yang
dimaksud (Pedoman Pendidikan UM,
2009).
Perkuliahan
semester
pendek
diselenggarakan dengan jumlah materi dan
pertemuan yang sama dengan regular, tetapi
disajikan dalam rentang waktu separoh
perkuliahan regular. Di Universitas Negeri
Malang (UM), masa perkuliahan semester pendek adalah jeda waktu antara semester
genap dan ganjil. Suatu matakuliah tertentu
dapat disajikan pada perkuliahan semester
pendek jika kuota minimal pesertanya
terpenuhi.
Salah satu yang disajikan pada
perkuliahan semester pendek 2008/2009
adalah matakuliah Fisika Dasar I. Peserta
matakuliah ini terdiri dari mahasiswa dari
prodi Pendidikan Fisika dan Fisika, yang
belum lulus atau maksimal memiliki nilai C
FIS - 123

pada sajian semester sebelumnya. Dengan


demikian
input
mahasiswa
peserta
matakuliah Fisika Dasar I pada semester
pendek ini dapat dikatakan kualitas
akademiknya kurang.
Upaya agar prestasi belajar mahasiswa
selalu lebih baik terus dilakukan. Salah satu
upaya tersebut adalah menyelenggarakan
pembelajaran perkuliahan yang berpusat
pada mahasiswa. Oleh karena itu
perkuliahan Fisika Dasar I pada semester
pendek 2008/2009 ini diselenggarakan
melalui pembelajaran dengan memberi
tugas membuat peta konsep dan model
Student Teams Achievements Divisions
(STAD).
Membuat peta konsep memerlukan
enam langkah, yaitu (1) menentukan bahan
bacaan, (2) membaca sedikitnya sekali,
menentukan konsep utama, dan konsepkonsep
yang
relevan,
(3)
mengklasifikasikan hirarki konsep, mulai
dari yang paling abstrak/umum sampai
yang paling konkrit/khusus, (4) menyusun
klasifikasi konsep-konsep tadi menjadi
susunan dua dimensi, yang umum di
puncak peta, yang analog dengan peta
jalanan (setiap konsep berfungsi sebagai
kota tujuan yang hendak dicapai) dengan
rute yang ditentukan oleh konsep-konsep
lain di sekitarnya, (5) menghubungkan
konsep yang berkaitan dengan garis-garis
penghubung dan memberi kata penghubung
pada setiap garis penghubung itu, dan (6)
mengembangkan peta konsep tersebut,
misalnya dengan menambahkan dua atau
lebih konsep yang baru ke setiap konsep
yang sudah ada dalam peta (Novak, 1980
dalam Susilo, 1988). Konsep yang paling
umum terletak di puncak dan memberikan
identitas peta konsep yang bersangkutan.
Makin ke bawah konsep-konsep menjadi
lebih khusus. Peta konsep akan baik jika
terdiri dari banyak konsep, memiliki
banyak tingkat abstraksi dalam hirarkinya,
dan banyak garis bersilang yang merupakan
garis penghubungnya. Tidak ada peta
konsep yang sama persis. Setiap peta
konsep yang dibuat oleh seseorang
menunjukkan pengertiannya yang unik
dalam bidang pengetahuan tertentu. Dengan
membuat peta konsep berarti mahasiswa
telah melakukan belajar bermakna. Konsep
baru hasil belajar bermakna relatif bertahan

SEMNAS MIPA 2010

lebih lama dalam ingatan mahasiswa


sehingga hasil belajarnya akan meningkat.
Sebagai alat pembelajaran, peta
konsep membantu mahasiswa aktif berpikir
untuk memusatkan pada sejumlah ide
pokok (berupa konsep-konsep) dari suatu
pokok bahasan. Secara rinci penggunaan
peta konsep bagi mahasiswa untuk (1)
mengeksplorasi apa yang telah diketahui
oleh mahasiswa, (2) memberikan arah
pembelajaran (seperti peta jalanan), (3)
membantu mengekstraksi arti kerja lab atau
studi lapang, (4) membantu membaca
materi dari diktat kuliah, (5) membantu
mahasiswa mencapai hasil pembelajaran
yang berkualitas tinggi serta bermakna,
karena membantu mahasiswa mengingat
informasi dan melihat keterkaitan antar
konsep, dan (6) membantu mahasiswa
menggabungkan ide yang satu dengan
lainnya (Novak, 1985 dalam Susilo, 1999).
Dalam penelitian ini peta konsep yang
dibuat oleh mahasiswa bersumber pada
pengetahuannya tentang materi Fisika
Dasar I dari perkuliahan semester
sebelumnya, meskipun belum lulus atau
maksimal memperoleh nilai C. Dari peta
konsep tersebut diharapkan mahasiswa
dapat mengenali sejumlah miskonsepsi
tentang materi Fisika Dasar I, yang
selanjutnya dapat menjadi bahan fase studi
kelompok dalam pembelajaran STAD. Peta
konsep dikumpulkan sebagai syarat
mengikuti pretes dalam pembelajaran
model STAD. Penelitian di SLTP Lab UM
menunjukkan bahwa kelas yang siswanya
membuat peta konsep memiliki skor tes
prestasi yang lebih tinggi daripada kelas
kontrol (Zubaidah, 2000).
Pembelajaran kooperatif model STAD
dapat meningkatkan perasaan positif satu
dengan lainnya, mengurangi keterasingan
dan kesendirian, membangun hubungan dan
menyediakan pandangan positif terhadap
orang lain. Terdapat lima unsur asas dalam
pembelajaran kooperatif, yaitu (1) saling
bergantung antara satu sama lain secara
positif, (2) saling berinteraksi secara
bertatap muka, (3) akuntabilitas individu
atas pembelajaran diri sendiri, (4)
kemahiran kerja sama, dan (5) pemrosesan
kelompok (Suyanto, 2008). Dengan
demikian model STAD didasarkan pada
prinsip bahwa para siswa bekerja bersamasama dalam belajar dan bertanggung jawab
FIS - 124

terhadap belajar teman-temannya dalam tim


dan juga dirinya sendiri.
Dalam model STAD kelompok terdiri
atas empat siswa yang mewakili
keseimbangan kelas dalam kemampuan
akademik, jenis kelamin, dan ras.
Kelompok merupakan tampilan yang
penting dari STAD, dan penting pula bagi
guru dalam rangka mengarahkan anggota
masing-masing kelompok (Slavin, 1995).
Dalam model STAD terdapat aturan
kelompok yang perlu dijelaskan dan
dipasang di papan pengumuman, yaitu (1)
para siswa memiliki tanggungjawab bahwa
semua anggota kelompoknya telah belajar
materi dengan sungguh-sungguh, (2) tak

seorangpun selesai belajar sampai semua


anggota
kelompoknya
telah
tuntas
mempelajari materi, (3) bertanyalah kepada
temanmu dalam kelompok sebelum
bertanya pada guru, dan (4) anggota
kelompok mendiskusikan materi dengan
teman satu kelompok dengan suara yang
tidak keras. Aturan kelompok di atas
dimaksudkan
untuk
membangun
kebersamaan dan saling kebergantungan
positif di antara mereka.
Model STAD memiliki empat fase
yang harus dilakukan dalam pembelajaran
seperti disajikan dalam tabel berikut
(Slavin, 1995).

Tabel 1 Empat Fase dalam Model STAD


Fase
1. Presenasi Kelas

2. Studi Kelompok

3. Pengetesan

4. Penghargaan

Aktivitas
Dosen menyajikan secara langsung tentang materi (konsep, keterampilan,
dan kerja ilmiah) perkuliahan dengan metode ceramah, ceramah dan
demonstrasi, atau presentasi menggunakan audiovisual
Anggota kelompok bekerja bersama untuk menyelesaikan lembar kerja yang
telah disiapkan dan dosen perlu memeriksa bahwa setiap anggota kelompok
dapat menjawab semua pertanyaan dalam lembar kerja
Para siswa harus mengatur kursinya sehingga mereka dapat saling
berhadapan dalam kelompoknya
Dosen menyelenggarakan tes secara individu untuk mengukur pengetahuan
yang diperoleh siswa
Skor peningkatan individu akan digunakan untuk menentukan skor
peningkatan kelompok
Tahap yang mampu mendorong para siswa untuk lebih kompak, dan
penghargaan diberikan kepada kelompok-kelompok berdasarkan rata-rata
peningkatan kelompok, misalnya dengan sebutan Bintang Sains, Kelompok
Enstein, atau sebutan lainnya

Dari tabel di atas tampak bahwa


dalam pembelajaran STAD kelompok
berkompetisi dengan kelompok-kelompok
lain, siswa dalam satu kelompok bekerja
sama untuk menyelesaikan tugas yang telah
disiapkan oleh guru, hasil kerja dan atau
penghargaan adalah untuk kelompok bukan
untuk
perorangan,
siswa
merasa
keberhasilan mereka bergantung pada
perilaku dan kinerja siswa lainnya dalam
kelompok, efektif dalam mengurangi
dominansi siswa yang pintar dalam belajar
kelompok, dan guru memberi umpan balik
untuk kelompok. Dengan demikian
interaksi dalam kelompok dan antar
kelompok lebih efektif dan efisien karena
adanya bahan diskusi yang telah dirancang
sedemikian rupa oleh guru dan adanya
bimbingan dan arahan guru secara intensif.

SEMNAS MIPA 2010

Hal yang demikian diharapkan dapat lebih


meningkatkan prestasi belajar mahasiswa.
Berikut adalah beberapa penelitian
tentang model pembelajaran STAD. Skor
fisika siswa atau mahasiswa kelas yang
diajar dengan model STAD lebih tinggi
daripada kelas konvensional (Lamba, 2006;
Parno, 2009). Penggunaan model STAD
dapat meningkatkan kualitas proses dan
hasil belajar kimia siswa (Parlan, 2006).
Penggunaan pembelajaran model STAD
dapat meningkatkan kualitas proses dan
hasil belajar kimia organik mahasiswa
(Parlan, 2003). Dalam penelitian ini
diharapkan pembelajaran dengan tugas
membuat peta konsep dan model STAD
dapat meningkatkan prestasi belajar
mahasiswa pada matakuliah Fisika Dasar I.
Prestasi belajar Fisika Dasar I mahasiswa
yang baik akan membekalinya saat
FIS - 125

menempuh hampir semua matakuliah


lanjutannya dalam mendapatkan gelar
sarjananya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian
eksperimen. Sedangkan jenis desain
eksperimennya adalah pre-eksperimental
(tanpa kelompok kontrol) rancangan prapost tes dalam satu kelompok (the one
group-pre test post test design) (Tuckman,
1987). Subyek penelitian adalah 36
mahasiswa angkatan 2007/2008 yang
sedang menempuh matakuliah Fisika Dasar
I pada semester pendek 2008/2009 dengan
rincian 19 mahasiswa prodi Pendidikan
Fisika dan 17 mahasiswa prodi Fisika. Pada
subyek dikenakan tes awal sebelum
perlakuan, dan tes akhir setelah perlakuan.
Bentuk
perlakuannya
adalah
tugas
membuat peta konsep dan pembelajaran
model STAD.
Pertemuan pertama diisi dengan tes
awal, memaparkan tujuan matakuliah Fisika
Dasar I, kuliah singkat tentang cara
membuat peta konsep dan pembelajaran
model STAD, serta pembentukan 9
kelompok diskusi heterogen berdasarkan IP
semester sebelumnya dengan 4 mahasiswa
perkelompok. Pertemuan kedua dan
seterusnya adalah mengumpulkan tugas
peta konsep di awal perkuliahan dan
menyelenggarakan pembelajaran model
STAD: pretes individual 10 butir soal B-S,
presentasi materi secara ringkas, diskusi
kelompok berpasangan dan dilanjutkan
berempat dengan bahan permasalahan
diskusi 1 lembar per 2 mahasiswa yang
telah disiapkan oleh dosen, presentasi
kelompok dalam diskusi kelas yang
dipimpin oleh dosen, postes individual 10
butir soal B-S, dan pemberian penghargaan
kelompok sesuai dengan besar peningkatan
skor pretes-postes yang dicapai. Pada
pertemuan terakhirdiadakan tes akhir dan
penyebaran angket respon mahasiswa.
Sebagai syarat mengerjakan tes akhir,
mahasiswa diwajibkan mengumpulkan
tugas penyelesaian 3 permasalahan tersulit
dari setiap pertemuan diskusi kelompok.
Materi Fisika Dasar I dibagi menjadi
dua bagian. Materi bagian pertama meliputi
(1) Kinematika dan Gerak Melingkar, (2)
Hukum-hukum Newton, Gaya Gesek, dan

SEMNAS MIPA 2010

Sifat Elastik Bahan, (3) Usaha dan


Momentum, dan Review Materi 1, 2, dan 3.
Materi bagian dua meliputi (4) Gerak
Rotasi dan Kesetimbangan Benda Tegar,
(5) Fluida dan Getaran, dan (6) Kalor.
Tampak bahwa materi bagian dua tidak ada
review karena keterbatasan waktu. Karena
materi matakuliah Fisika Dasar I terdiri dari
dua bagian, maka tes awal dan tes akhir
juga dilakukan dua kali sesuai dengan
cakupan bagian materi tersebut.
Instrumen Tes Prestasi Belajar Fisika
Dasar I terdiri dua tes dengan cakupan
materi bagian seperti di atas. Masingmasing tes terdiri dari 40 butir soal
berbentuk soal obyektif dengan lima
alternatif jawaban A, B, C, D dan E.
Intrumen penelitian yang lain adalah
Angket Respon Mahasiswa terhadap proses
pembelajaran. Angket ini meliputi tiga
kategori, dan setiap kategori mengandung
sejumlah aspek. Rinciannya adalah kategori
A: penilaian terhadap kinerja dosen (aspek
penguasaan materi, cara menyampaikan
materi,
model
pembelajaran
yang
digunakan, sikap di kelas, dan pengelolaan
kelas); kategori B: pemahaman mahasiswa
terhadap materi (aspek materi lebih mudah
dipahami, materi lebih menyenangkan
untuk dipelajari, soal-soal tes lebih mudah
dikerjakan, dan mahasiswa termotivasi
untuk belajar mandiri); dan kategori C:
tanggapan siswa terhadap alat belajar
(aspek alat belajar membantu pemahaman
materi, dan tersedia untuk semua bab yang
dipelajari). Setiap aspek dinyatakan dalam
beberapa pernyataan yang menuntut
mahasiswa untuk memberikan respon STS
(sangat tidak setuju), TS (tidak setuju), S
(setuju), atau SS (sangat setuju).
Peningkatan
prestasi
belajar
mahasiswa
dapat
dilihat
dengan
membandingkan antara skor tes awal dan
akhir prestasi belajar mahasiswa. Pengujian
perbedaan
kedua
skor
tersebut
menggunakan gain score ternormalisasi
rata-rata, yaitu gain rata-rata aktual dibagi
dengan gain rata-rata aktual maksimum
yang mungkin, dengan rumusan berikut
% gain
% post tes % pre tes
g

% gain max
100 % pre tes
(Hake, 1998)

FIS - 126

Klasifikasi peningkatan prestasi belajar


ditandai oleh besarnya <g>, yakni
<g> tinggi jika terdapat <g> lebih besar
daripada 0,7
<g> medium jika terdapat <g> antara 0,3
sampai dengan 0,7
<g> rendah jika terdapat <g> lebih kecil
daripada 0,3
Gain score ternormalisasi rata-rata juga
merupakan indikator yang lebih baik dalam
menunjukkan tingkat efektivitas perlakuan
daripada perolehan skor atau post-test
(Hake, 2002). Gain score ternormalisasi
rata-rata bernilai minimal 0 terjadi jika skor
rata-rata tes akhir sama dengan tes awal,
dan maksimum 1 terjadi jika skor rata-rata
tes akhir adalah 100.
Terhadap data hasil angket respon
mahasiswa
terhadap
pembelajaran
dilakukan analisis kuantitatif, yaitu mencari
rata-rata dari seluruh nilai butir pernyataan
angket, dengan kriteria pembelajaran
dengan tugas membuat peta konsep dan
model STAD mendapatkan respon positip
dari mahasiswa jika pilihan jawaban sangat
setuju dan setuju oleh mahasiswa melebihi
50% (Ubaya, 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut
dideskripsikan
proses
pembelajaran dengan tugas membuat peta
konsep dan model STAD yang dapat
meningkatkan prestasi belajar mahasiswa.
Perkuliahan Fisika Dasar I semester Pendek
2008/2009 berlangsung setiap hari Selasa
jam ke-5 s/d 7, dan Kamis jam ke-5 s/d 7.
Berikut disajikan deskripsi agak rinci
tentang pembelajaran tersebut di atas.
Pertemuan 1: Tes awal materi bagian
pertama, memaparkan tujuan matakuliah
Fisika Dasar I, kuliah singkat tentang
cara membuat peta konsep dan
pembelajaran model STAD, serta
pembentukan 9 kelompok diskusi
heterogen berdasarkan IP semester
sebelumnya dengan 4 mahasiswa
perkelompok.
Pertemuan 2 s/d 4: Pembelajaran model
STAD. Pretes individu mengawali

SEMNAS MIPA 2010

pembelajaran ini. Sebagai syarat


mengikuti
pretes,
mahasiswa
mengumpulkan peta konsep tentang
materi yang dibahas pada hari
perkuliahan
tersebut.
Kegiatan
selanjutnya adalah presentasi singkat
materi, diskusi kelompok dengan bahan
yang telah disiapkan dosen dengan pola
diskusi berpasangan dilanjutkan dengan
diskusi berempat, postes individu, dan
penghargaan kelompok.
Pertemuan 5: Sama seperti pertemuan
sebelumnya, tetapi membahas Review
Materi 1, 2, dan 3 sebelumnya. Pada
akhir pertemuan 5 ini, mahasiswa diberi
tugas mandiri untuk memilih dan
mengerjakan kembali 3 permasalahan
diskusi yang paling sulit dari 4 bahan
diskusi
yang
telah
dilakukan
sebelumnya. Tugas mandiri tersebut
harus ditulis tangan.
Pertemuan 6: Tes akhir materi bagian
pertama, dan dilanjutkan dengan
pengisian angket respon mahasiswa.
Sebagai syarat mengerjakan tes akhir
tersebut,
mahasiswa
diwajibkan
mengumpulkan tugas mandiri tersebut di
atas.
Pertemuan 7: Tes awal materi bagian
kedua.
Pertemuan 8 s/d 10: Pembelajaran model
STAD seperti pertemuan 2 s/d 4 di atas
untuk materi bagian kedua. Pada akhir
pertemuan 10 ini, mahasiswa diberi
tugas mandiri seperti di atas.
Pertemuan 11: Tes akhir materi bagian
kedua
dengan syarat mahasiswa
mengumpulkan
tugas
mandirinya.
Setelah
mengerjakan
tes
akhir,
mahasiswa mengisi angket respon
mahasiswa.
Tampak bahwa pada perkuliahan materi
bagian kedua tidak dilakukan Review
Materi yang membahas materi 4, 5, dan 6
sebelumnya. Hal ini terjadi karena
keterbatasan
waktu.Berikut
disajikan
ringkasan hasil tes awal dan akhir prestasi
belajar yang dicapai mahasiswa pada
matakuliah Fisika Dasar I pada semester
pendek 2008/2009.

FIS - 127

Tabel 2 Ringkasan Hasil Statistik Tes Awal dan Akhir Prestasi Belajar Mahasiswa
No

Materi

Bagian
I
Bagian
II

Skor Tes Awal


RataMin Max
rata
5
47,5 25,20
5

47,5

19,93

Skor Tes Akhir


RataMin Max
rata
22,5 85 53,40

Peningkatan Skor (%)


RataMin
Max
rata
17,5
37,5
28,20

17,5

12,5

90

Tampak bahwa pembelajaran dengan tugas


membuat peta konsep dan model STAD
secara kelompok dapat meningkatkan
prestasi belajar mahasiswa, baik skor
minimum, skor maksimum, maupun skor
rata-ratanya. Tampak pula bahwa skor pada
materi bagian pertama lebih tinggi daripada
materi bagian kedua, baik pada skor tes
awal, tes akhir maupun peningkatannya.
Dengan demikian pembelajaran model ini
dapat digunakan sebagai alternatif untuk
meningkatkan prestasi belajar mahasiswa
terhadap materi Fisika Dasar I, yang pada
gilirannya diharapkan akan menjadi bekal
dalam menempuh matakuliah-matakuliah
berikutnya yang diprasyaratinya.
Skor rata-rata tes akhir di atas, yang
hanya 53,40 untuk materi bagian pertama
dan 47,76 untuk materi bagian kedua,
sesungguhnya belum memuaskan karena
masih tergolong prestasi belajar sedang. Hal
ini terjadi mungkin karena kualitas
akademik mahasiswa peserta matakuliah
Fisika Dasar I ini memang tergolong sedang.
Semua mahasiswa peserta matakuliah ini
berkategori mengulang atau memiliki nilai
setinggi tingginya C pada matakuliah Fisika
Dasar I yang ditempuh sebelumnya. Saat
dibentuk kelompok diskusi heterogen di
awal perkulaiahan, didapati rata-rata indek
prestasi (IP) mahasiswa pada semester
sebelumnya hanya 2,88. Disamping itu,
penyebab lain yang mungkin adalah hampir
separoh mahasiswa peserta matakuliah ini
berasal dari prodi Fisika. Jika dicermati IP
semester sebelumnya tersebut, mahasiswa
prodi Fisika memiliki rata-rata IP 2,85 yang
sedikit lebih rendah dari mahasiswa prodi

47,76

42,5

27,83

Pendidikan Fisika 2,90. Hal ini senada


dengan hasil penelitian bahwa prestasi
belajar kelas yang didominansi oleh
mahasiswa prodi Fisika tidak sebaik yang
didominansi
oleh
mahasiswa
prodi
Pendidikan Fisika (Parno, 2008). Hal ini
terjadi karena kualitas masukan mahasiswa
prodi Pendidikan Fisika jauh lebih baik
daripada prodi Fisika.
Perolehan gain ternormalisasi rata-rata
<g> untuk materi bagian pertama dan kedua
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3 Perolehan gain score Rata-Rata
<g> Prestasi Belajar Mahasiswa
No
Materi
1
Bagian I
2

Bagian II

Gain score Rata-Rata <g>


0,38
Berkategori
medium
0,35
Berkategori
medium

Tampak bahwa gain score ternormalisasi


rata-rata untuk materi bagian pertama lebih
tinggi sedikit daripada untuk materi bagian
kedua. Tetapi, keduanya berharga positip
dan termasuk dalam kategori medium. Hal
ini berarti pembelajaran dengan tugas
membuat peta konsep dan model STAD
dapat meningkatkan prestasi belajar
mahasiswa dalam kategori medium.
Hasil gain score ternormalisasi ratarata dari skor rata-rata tes awal dan akhir di
atas, ternyata berbeda dengan yang
diperoleh dari pretes dan postes mahasiswa
dari setiap pertemuan. Berikut disajikan gain
score ternormalisasi rata-rata dari pretes dan
postes setiap pertemuan.

Tabel 4 Perolehan gain score Rata-Rata <g> Pretes Postes Tiap Pertemuan
No
1

Materi
Bagian I

Bagian II

SEMNAS MIPA 2010

Materi 1
0,41
Materi 4
0,72

Gain score Rata-Rata <g>


Materi 2
Materi 3
Review
0,57
0,59
0,09
Materi 5
Materi 6
0,360
0,48

Rata-rata
0,414
Rata-rata
0,516

FIS - 128

Tampak bahwa gain score ternormalisasi


rata-rata untuk materi bagian pertama lebih
rendah daripada untuk materi bagian kedua.
Hal ini berbeda dengan gain score
ternormalisasi rata-rata dari skor rata-rata tes
awal dan akhir. Penyebabnya karena gain
score ternormalisasi rata-rata yang sangat
rendah pada materi bagian pertama untuk
Materi Review, yang hanya berharga 0,09.
Jika harga ini tidak diperhitungkan, maka
diperoleh gain score ternormalisasi rata-rata
untuk materi bagian pertama berharga 0,523
yang sedikit lebih tinggi daripada 0,516
untuk materi bagian kedua.
Keberadaan Materi Review pada materi
bagian pertama mungkin dapat dipikirkan
analogi dengan materi tes akhir, baik untuk
materi bagian pertama maupun kedua.
Materi 1 s/d 6 memiliki lingkup lebih sempit
dan langsung dapat diselesaikan serta
dipahami dalam pertemuan perkuliahan saat
itu. Tetapi, lingkup Materi Review lebih
luas, yaitu meliputi materi 1 s/d 3 yang telah
dibahas pada pertemuan sebelumnya.
Lingkup materi yang lebih luas menuntut
mahasiswa belajar lebih keras. Tetapi,
tampaknya mahasiswa belum berhasil
mengatasi hal ini. Hal yang sama terjadi saat
mahasiswa menghadapi tes akhir, yang
memuat lingkup materi yang lebih luas lagi.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa skor
rata-rata tes akhir mahasiswa, yang hanya
53,40 untuk materi bagian pertama dan
47,76 untuk materi bagian kedua, tergolong
belum memuaskan.

Peningkatan prestasi belajar mahasiswa


pada matakuliah Fisika Dasar I di atas
diduga disebabkan oleh hal-hal berikut.
Mahasiswa memiliki motivasi belajar yang
cukup tinggi karena belajarnya dipandu oleh
adanya lembar permasalahan diskusi yang
telah disiapkan oleh dosen. Disamping itu
adanya penghargaan terhadap kelompok
yang mampu menghasilkan peningkatan
total dari skor pretes-postes menyebabkan
setiap anggota kelompok bekerja keras
dalam kelompoknya agar bisa memperoleh
peningkatan skor yang lebih tinggi lagi.
Adanya pretes di awal pembelajaran dan
postes di akhir pembelajaran juga diduga
dapat menyebabkan konsentrasi setiap
anggota
kelompok
dalam
langkah
studi/diskusi kelompok dapat dipertahankan.
Pembelajaran dengan tugas membuat
peta konsep dan model STAD dapat
meningkatkan prestasi belajar mahasiswa.
Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian serupa sebelumnya, yaitu skor
fisika siswa kelas yang diajar dengan model
STAD lebih tinggi darpada kelas
konvensional (Lamba, 2006; Parno, 2009);
penggunaan
model
STAD
dapat
meningkatkan kualitas proses dan hasil
belajar kimia siswa (Parlan, 2006) dan kimia
organik mahasiswa (Parlan, 2003).
Respon
mahasiswa
terhadap
pembelajaran dengan tugas membuat peta
konsep dan model STAD disajikan dalam
tabel berikut.

Tabel 5 Distribusi Respon Mahasiswa terhadap Proses Pembelajaran


% Pendapat
Aspek yang dinilai

Materi Bagian I
TS
S

STS
A. Penilaian terhadap kinerja dosen
1. Penguasaan materi
0.00 3.85
2. Cara menyampaikan materi 0.64 9.29
3. Model pembelajaran yang
digunakan
0.00 3.85
4. Sikap di kelas
0.00 1.92
5. Pengelolaan kelas
0.00 4.10
Rata-rata aspek A
0.13 4.99
B. Pemahaman mahasiswa terhadap materi
1. Materi lebih mudah
dipahami
0.00 5.77
2. Materi lebih menyenangkan
untuk dipelajari
0.00 7.69
3. Soal-soal tes lebih mudah
dikerjakan
0.00 10.77
4. Mahasiswa termotivasi
0.00 5.13

SEMNAS MIPA 2010

SS

STS

Materi Bagian II
TS
S

65.38
60.26

30.77
29.81

0.00
0.30

6.10
9.15

73.78
70.43

20.12
19.82

57.05
65.38
66.15
65.67

39.10
32.69
29.74
29.22

0.00
0.00
0.00
0.06

7.32
3.05
4.88
6.46

70.12
68.29
74.63
66.70

22.56
28.66
20.00
26.01

79.49

14.74

0.00

7.93

50.00

39.02

60.90

30.77

0.00

10.98

64.02

25.00

45.13
52.56

44.10
42.31

0.98
0.00

13.66
4.88

53.66
68.29

31.71
26.83

SS

FIS - 129

untuk belajar mandiri


Rata-rata aspek B
0.00 7.34
59.52
32.98
0.24 9.36
58.99
C. Tanggapan siswa terhadap alat belajar (peta konsep, bahan diskusi, atau yang lain)
1. Alat belajar membantu
pemahaman materi
0.00 10.26
65.38
24.36
0.00 9.76
75.61
2. Tersedia untuk semua bab
yang dipelajari
0.00 12.82
66.67
20.51
0.00 13.41
75.61
Rata-rata aspek C
0.00 11.54
66.03
22.44
0.00 11.59
75.61
Rata-rata total
0.06 6.86
62.21
30.81
0.12 8.28
67.68

30.64

14.63
10.98
12.80
23.58

Dari tabel di atas tampak bahwa respon


mahasiswa untuk materi bagian pertama
maupun kedua adalah positip. Hal ini
ditandai oleh lebih dari 50% mahasiswa
menyatakan sangat setuju dan setuju, yaitu
sebesar 93,02% untuk materi bagian pertama
dan 91,26% untuk materi bagian kedua.
Pada masing-masing aspek yang dinilai,
respon tersebut juga positip. Hal ini berarti
respon mahasiswa adalah positip, baik
terhadap aspek A (penilaian terhadap kinerja
dosen), aspek B (pemahaman mahasiswa
terhadap materi), maupun aspek C
(tanggapan siswa terhadap alat belajar).
Respon mahasiswa pada materi bagian
pertama sedikit lebih tinggi daripada materi
bagian kedua. Hal ini mungkin yang
menyebabkan terjadinya perbedaan sedikit
lebih tinggi, baik skor rata-rata maupun gain
score ternormalisasi rata-rata, dari materi
bagian pertama atas materi bagian kedua.
Respon mahasiswa menyatakan bahwa
materi bagian pertama lebih mudah
dipahami daripada yang kedua pada seluruh
aspek kategori B (pemahaman mahasiswa
terhadap materi). Menurut mahasiswa,
materi bagian pertama lebih mudah untuk
dipahami dan lebih menyenangkan sehingga
tes akhirnya juga dirasakan lebih mudah
dikerjakan
dan
lebih
termotivasi
mempelajarinya daripada materi bagian
kedua.

dan pembentukan kelompok heterogen; (b)


pembelajaran model STAD; dan (c)
pertemuan akhir: tes akhir dan pengisian
angket respon mahasiswa. (2) Pembelajaran
dengan tugas membuat peta konsep dan
model STAD dapat meningkatkan prestasi
belajar mahasiswa dalam matakuliah Fisika
Dasar I, yang ditandai oleh gain score
ternormalisasi rata-rata 0,38 (kategori
medium) untuk materi bagian pertama dan
0,35 (kategori medium) untuk materi bagian
kedua. (3) Dalam pembelajaran matakuliah
Fisika Dasar I, mahasiswa memberikan
respon positip terhadap proses pembelajaran.
Hasil penelitian ini, setidaknya, dapat
dimanfaatkan oleh beberapa pihak, yaitu
dosen dan mahasiswa. Mahasiswa dapat
menggunakan strategi tugas membuat peta
konsep dan model STAD sebagai salah satu
alternatif solusi dalam rangka meningkatkan
prestasi belajar Fisika Dasar I saat
menempuhnya pada semester pendek. Hal
ini diharapkan pada gilirannya dapat
menjadi
bekal
dalam
menempuh
matakuliah-matakuliah berikutnya yang
diprasyaratinya. Dosen pembina matakuliah
Fisika Dasar I dapat menggunakan strategi
pembelajaran ini sebagai salah satu pijakan
dalam memilih pendekatan dan model
pembelajaran matakuliah Fisika Dasar I
pada perkuliahan semester pendek di masa
mendatang.

KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR RUJUKAN

Berdasarkan hasil penelitian dan


pembahasan
di
atas,
maka
dapat
disimpulkan berikut. (1) Deskripsi proses
pembelajaran dengan tugas membuat peta
konsep dan model STAD dalam matakuliah
Fisika Dasar I pada semester Pendek
2008/2009 dengan alokasi waktu 3x2
js/minggu adalah (a) pertemuan awal: tes
awal, memaparkan tujuan matakuliah Fisika
dasar I, kuliah singkat tentang cara membuat
peta konsep dan pembelajaran model STAD
SEMNAS MIPA 2010

Hake, R.R. 1998. Interactive-engagement vs


traditional methods: a six-thousand-student
survey of mechamics test data for introductory
physics courses. Am. J, Phys. 66: 64-74
Hake, R.R. 2002. Assesment of Physics Teaching
Methods. Procedding of The UNESCO-ASPEN
Worshop on Active Learning in Physics,
Univesity of Peradineya, Sri Lanka, 2-4
December 2002

FIS - 130

Katalog FMIPA UM: Jurusan Fisika (Edisi


2009). Malang: FMIPA Universitas Negeri
Malang.

Tuckman, B.W. 1987. Conducting Educational


Research (second edition). New York: Harcourt
Brace Jovanovich, Inc

Lamba, H.A. 2006. Pengaruh Pembelajaran


Kooperatif Model STAD dan Gaya Kognitif
Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMA.
Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 13, Nomor 2, Juni
2006

Zubaidah, S, Nuraini, I, Rosilawati, A. 2000.


Peningkatan Motivasi Belajar Siswa SLTP Lab
UM melalui Peta Konsep. Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional Pendidikan Sains di
FMIPA UM pada 23 Pebruari 2000

Parlan. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran


Kooperatif (Cooperative Learning) Tipe STAD
untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil
Belajar Kimia Organik III Mahasiswa Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang.
Malang. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan
Parlan. 2006. Penggunaan Model Pembelajaran
Kooperatif STAD untuk Meningkatkan Kualitas
Proses dan Hasil Belajar Kimia Kelas X SMAN 9
Malang. Malang. Laporan Penelitian. Tidak
diterbitkan
Parno.
2008.
Pengaruh
Pembelajaran
Menggunakan Peta Konsep dan Model
Pemecahan Masalah terhadap Peningkatan
Prestasi Belajar Fisika Zat Padat Mahasiswa.
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Kecenderungan Baru Fisika dan Pendidikannya,
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri
Malang, Malang, 5 Agustus 2008.
Parno. 2009. Pengaruh STAD terhadap
Peningkatan Kemampuan Mahasiswa Menguasai
Materi Fisika Sekolah. Jurnal Pendidikan
Matematika dan Sains (JPMS) FMIPA
Universitas Negeri Yogyakarta. Volume 14,
Nomor 2, November 2009
Pedoman Pendidikan UM (Edisi 2009). Malang:
Universitas Negeri Malang.
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning:
Theory, Research, and Practice second edition.
Boston: Allyn and Bacon
Susilo, H. 1988. Penggunaan Peta Konsep dalam
Pengajaran Biologi. Jurnal MIPA Universitas
Negeri Malang: 9-16
Susilo, H. 1999. Peta Konsep: Alat
Pembelajaran yang Penting untuk Pembelajaran
Sains dengan Filosofi Konstruktivisme. Makalah
disampaikan dalam pelatihan Guru Sains dengan
Pendekatan STM. Malang, 12-15 Juli 1999
Suyanto, K.K.E. 2008. Model Pembelajaran.
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di
PSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang
Ubaya. 2006. Panduan Pelaksanaan kegiatan
dan Sistem Evaluasi HPKP SMA 2006.
Surabaya: Ubaya

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 131

MODEL ANALISIS ASESMEN FORMATIF FISIKA SMA


BERBANTUAN KOMPUTER
Sentot Kusairi,
Universitas Negeri Malang

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengembangkan model analisis asesmen


formatif Fisika berbantuan komputer, (2) menemukan prosedur pengembangan model
analisis asesmen formatif Fisika berbantuan komputer, (3) menemukan bentuk akhir
model analisis asesmen formatif Fisika berbantuan komputer.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian pengembangan (research and
development). Mengingat model yang dikembangkan dalam penelitian ini menjadi
bagian tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran fisika, penelitian pengembangan
ini mengikuti salah satu model pengembangan desain pembelajaran (instructional
design) yang dikemukakan oleh Dick dan Carey. Dalam model desain pembelajaran
ini, siklus pengembangan terdiri atas 5 (lima) fase yakni: (1) fase analisis kebutuhan
(need analysis), (2) fase analysis front-end (front-end analysis) (3) fase desain (design),
(4) fase pengembangan (development), dan (5) fase implementasi (implementation), dan
(5) fase evaluasi (evaluation). Penelitian melibatkan beberapa Sekolah Menengah Atas
di Kota Malang mulai Maret 2010 sampai dengan September 2010. Sebagai validator
dalam pengembangan adalah kelompok diskusi guru fisika yang terdiri dari 6-8 orang
guru fisika dari beberapa sekolah menengah yang berbeda, beberapa pakar
pengembangan instrumen, pakar penilaian pendidikan, dan pakar pembelajaran fisika.
Guru SMA yang tergabung dalam MGMP Fisika juga dilibatkan untuk memberikan
masukan pada produk yang telah dikembangkan.
Hasil pengembangan merupakan model analisis asesmen formatif fisika
berbantuan komputer. Karakteristik model analisis AAFF adalah sebagai berikut. (1)
Model AAFF dapat menggali kelemahan dan kesulitan belajar siswa berkaitan dengan
materi pembelajaran baik klasikal maupun individual. (2) Model analisis dapat
memberikan umpan balik pada siswa tentang hasil tes. (3) Model AAFF hanya cocok
digunakan untuk tes pilihan ganda dengan persyaratan tertentu diantaranya terdapat
empat pilihan jawaban, satu jawaban benar dan tiga pilihan pengecoh yang rasional
dan dapat dijabarkan deskriptornya, dan tes terdiri atas beberapa kelompok butir
dengan indikator tertentu. (4) Jumlah butir dengan indikator yang sama yang
dipergunakan sebagai masukan model AAFF sebaiknya ganjil. (5) Model AAFF dapat
menghasilkan pengelompokan siswa berdasarkan kesulitan belajar atau siswa yang
menderita miskonsepsi tertentu. (6) Penggunaan model ini tepat digunakan pada
pelajaran di mana kelompok siswa mengalami kesalahan-kesalahan dengan pola
tertentu misalnya pada pelajaran fisika. Model juga dapat dimanfaatkan untuk mata
pelajaran lain yang memiliki karakteristik yang serupa. (7) Model AAFF ditujukan
untuk mengidentifikasi kelemahan belajar dan bukan untuk menentukan prestasi belajar
siswa. (8) Model AAFF menghasilkan keluaran yang spesifik untuk kelas tertentu.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 132

Abstract
The Purposes of this research are: (1) to develop model of computer aided analysis of physics
formative assessment, (2) to find development procedure of model of computer aided analysis of physics
formative assessment, (3) to find final product of computer aided analysis of physics formative
assessment.
This study is research and development. Because he model that developed is whole part of
physics learning process, this developmental research using model of instructional design proposed by
Dick and Carey. In this model of instructional design development, development cycle consist of 5 phase:
(1) need analysis phase, (2) front-end analysis phase, (3) design phase, (4) development phase, (5)
implementation phase, and (5) evaluation phase. This development research involve several Malang
public and private senior high school teacher and student during march 2010 until September 2010. As a
validate member of this research is discussion group including of 6-8 physics teachers from different
senior high school. Physics teacher from MGMP Fisika also give their idea to improve product.
Research also using assessment and teaching learning expert to evaluate product.
The product of this developmental research is model of computer aided analysis of physics
formative assessment. Characteristic of this model is (1) model of computer aided analysis of physics
formative assessment can help teacher to find strong and weaknesses of student in learning physics
classically and also individually. (2) model of computer aided analysis of physics formative assessment
can produce feedback for every student. (3) model of computer aided analysis of physics formative
assessment only matching with special multiple choice item test, that have four option, one option answer
and the other is rational distracter, every answer and distracter have description, and test including
several item with one indicator of competence. (4) Number of item per indicator must odd and more
than two. (5) model of computer aided analysis of physics formative assessment can build group of
student with similar problem of learning or similar misconception. (6) This model can done properly for
subject matter in which student potentially have similar problem. (7) This model better to identify student
weaknesses not student achievement. (8) This model producing specific outcome for specific student
group.

Pendahuluan
Kualitas
pembelajaran
Fisika
ditentukan salah satunya oleh
kualitas
kegiatan asesmen yang dilakukan oleh guru
dalam proses pembelajaran. Kegiatan
asesmen dapat membantu guru memahami
kekuatan dan kelemahan yang dialami oleh
siswa dalam belajar. Semakin berkualitas
kegiatan asesmen pembelajaran, pemahaman
guru akan kelemahan dan kekuatan siswa
dalam mempelajari materi tertentu semakin
baik. Dengan melaksanakan asesmen yang
berkualitas dan menganalisisnya untuk
mendapatkan informasi tentang kelemahan
belajar siswa, guru memiliki acuan untuk
mengambil keputusan yang efektif dalam
proses pembelajarannya.
Pentingnya peranan asesmen dalam
pembelajaran telah ditekankan secara
eksplisit
dalam
Peraturan
Menteri
Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2007
tentang Standar Penilaian Pendidikan. Pada
bagian E tentang penilaian oleh pendidik,
disebutkan bahwa penilaian hasil belajar
oleh pendidik harus dilakukan secara
berkesinambungan,
bertujuan
untuk
memantau proses dan kemajuan belajar
peserta didik, serta untuk meningkatkan
SEMNAS MIPA 2010

efektivitas kegiatan pembelajaran. Beberapa


langkah kegiatan penilaian diantaranya
adalah sebagai berikut. (1) mengembangkan
indikator pencapaian KD dan memilih
teknik penilaian yang sesuai pada saat
menyusun silabus pembelajaran, (2)
mengembangkan instrumen dan pedoman
penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik
yang dipilih, (3) melaksanakan tes,
pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk
lain yang diperlukan, (4) mengolah hasil
penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil
belajar dan kesulitan peserta didik, (5)
mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan
peserta didik disertai balikan/komentar yang
mendidik, (6) memanfaatkan hasil penilaian
untuk
perbaikan
pembelajaran
(PERMENDIKNAS No 20, 2007).
Dalam pembelajaran Fisika di SMA,
asesmen formatif dan analisis untuk untuk
mendapatkan informasi kekuatan dan
kelemahan belajar siswa sangat diperlukan
mengingat karakteristik materi pelajaran
Fisika yang berjenjang. Materi pelajaran
pada bagian awal merupakan prasyarat
untuk
mempelajari
materi
pelajaran
berikutnya. Jika seorang siswa mengalami
kesulitan pada materi awal dan tidak
FIS - 133

mendapatkan bantuan, besar kemungkinan


siswa akan mengalami kesulitan pada saat
mempelajari materi berikutnya. Hal inilah
yang menyebabkan siswa berpersepsi bahwa
Fisika hanyalah kumpulan rumus yang harus
dihapalkan dan dimanfaatkan ketika
berhadapan dengan soal ujian. Siswa tidak
memahami esensi konsep Fisika sehingga
belajar Fisika tidak bermakna dalam
kehidupannya.
Jika
kesulitan
tidak
mendapatkan penanganan, prestasi belajar
siswa menjadi rendah.
Asesmen
formatif
dalam
pembelajaran Fisika pada saat ini belum
terlaksana dengan optimal. Beberapa hal
yang menyebabkan kurang optimalnya
pelaksanaan asesmen formatif adalah
sebagai berikut. (1). Perencanaan dan
pelaksanaan asesmen formatif membutuhkan
ketrampilan, sementara belum semua guru
mendapatkan pelatihan profesional untuk
melaksanakan
teknik-teknik
asesmen
formatif. (2). Pengembangan instrumen,
implementasi, dan analisis data-data tes
formatif memerlukan waktu, sementara
beban tugas guru terutama guru yang telah
tersertifikasi sangat tinggi. (3). Jumlah kelas
dan jumlah siswa setiap kelas yang cukup
besar. Jumlah siswa per kelas berkisar antara
30-40 siswa. Diperlukan waktu ekstra untuk
memberikan perhatian kepada siswa secara
individual dalam pelaksanaan asesmen. (4).
Belum tersedia instrumen baku untuk
melaksanakan asesmen formatif. (5). Belum
tersedianya perangkat untuk menganalisis
data-data asesmen.
Dengan
adanya
keterbatasan
instrumen dan perangkat analisis yang
dihadapi guru dalam melaksanakan asesmen
formatif, pelaksanaan asesmen formatif
tidak memberikan dampak yang signifikan
dalam proses pembelajaran. Guru tidak
dapat memperoleh informasi tentang
kekuatan dan kelemahan belajar siswa,
sebagai akibatnya guru belum memperoleh
pedoman yang jelas dalam menindak lanjuti
hasil pembelajaran. Demikian juga dengan
siswa, siswa tiak mendapatkan umpan balik
yang memadai tentang hasil belajarnya.
Siswa tidak memiliki acuan untuk
memperbaiki proses dan hasil belajarnya.
Salah satu inovasi yang dapat
diajukan untuk meningkatkan kualitas
pelaksanaan asesmen formatif adalah
dengan mengembangkan model analisis
SEMNAS MIPA 2010

asesmen formatif fisika. Pengembangan


model analisis asesmen formatif ini meliputi
pengembangan model instrumen dan model
analisis yang secara efektif menghasilkan
informasi tentang kekuatan dan kelemahan
siswa dalam belajar fisika. Bagi guru, hasil
analisis dan informasi kekuatan dan
kelemahan belajar fisika siswa dapat
dimanfaatkan
untuk
menindaklanjuti
pembelajaran sedang bagi siswa untuk
memperbaiki strategi belajarnya.
Asesmen Formatif dan Analisisnya
Asesmen
merupakan
kegiatan
pengumpulan informasi dalam rangka
pengambilan
keputusan-keputusan
berdasarkan informasi. Dalam konteks
pembelajaran, asesmen berarti pengumpulan
berbagai informasi tentang proses dan hasil
belajar siswa dalam rangka menentukan
keputusan-keputusan yang perlu dilakukan
dalam pembelajaran (Anderson, 2003: 4).
Asesmen juga dapat didefinisikan sebagai
semua kegiatan yang dilakukan oleh guru
atau juga oleh siswa yang dapat memberikan
balikan guna mempertajam dan membangun
pembelajaran di mana guru dan siswa
terlibat.
Beberapa karakteristik asesmen
dalam pembelajaran antara lain adalah
sebagai berikut. (1) Asesmen dimulai
dengan pengumpulan berbagai informasi
tentang siswa dalam pembelajaran. (2)
Dalam kegiatan asesmen dilakukan analisis
dan interpretasi terhadap data dan informasi
yang berhasil dikumpulkan. (3) Interpretasi
menghasilkan keputusan-keputusan tentang
pembelajaran. (4) Terdapat tindak lanjut
terhadap keputusan yang dihasilkan. (5)
Asesmen dilakukan secara berkelanjutan.
Asesmen merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari proses pembelajaran.
Popham (1995: 7) menyatakan beberapa
alasan tentang pentingnya pemahaman dan
pelaksanaan asesmen diantaranya adalah
sebagai berikut. (1) Asesmen merupakan
piranti untuk mendiagnosis kekuatan dan
kelemahan
siswa
dalam
proses
pembelajaran. (2) Asesmen berguna untuk
memonitor kemajuan siswa. (3) Asesmen
membantu menentukan tingkatan siswa. (4)
Asesmen juga dapat menentukan efektivitas
pembelajaran yang telah dirancang. Selain
beberapa alasan klasik tersebut, alasan
peningkatan
kualitas
pembelajaran
FIS - 134

merupakan salah satu alasan melaksanakan


asesmen.
Berkaitan dengan ragam kegiatan
asesmen
yang
dilakukan
dalam
pembelajaran, asesmen dapat dipilah
menjadi dua bagian besar yakni asesmen
sumatif dan asesmen formatif. Asesmen
sumatif
merupakan
kegiatan
yang
menghasilkan angka dan tingkatan yang
dimanfaatkan untuk menentukan penampilan
siswa. Pada akhirnya keputusan-keputusan
pada asesmen sumatif digunakan untuk
menentukan penghargaan pada siswa di
akhir masa pembelajaran. Di lain pihak,
asesmen formatif merupakan kegiatan yang
memberikan
umpan
balik
terhadap
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa.
William
(Boyle&Fisher,
2007:
23)
menyebut asesmen untuk tujuan formatif
sebagai assessment for learning sedangkan
asesmen sumatif disebut sebagai assessment
of learning.
Cowie&Bell (Cowie&Bell, 2002: 6)
mendefinisikan asesmen formatif sebagai
proses yang digunakan oleh guru dan siswa
dalam mengenali dan merespon belajar
siswa
dalam
rangka
meningkatkan
belajarannya dalam proses pembelajaran.
Asesmen formatif membantu guru dalam
menggambarkan kemajuan belajar siswa dan
menginformasikan
keputusan
tentang
langkah selanjutnya dalam pembelajaran.
Jadi informasi asesmen formatif dapat
digunakan oleh guru dan siswa untuk
memodifikasi cara belajar atau cara
mengajarnya dengan harapan mendapatkan
hasil yang lebih efektif. Popham (Popham,
2008: 5) mendefinisikan asesmen formatif
sebagai berikut. Formative assessment is a
planned process in which assessmentelicited evidence of students status is used
by teachers to adjust their ongoing
instructional procedures or by students to
adjust their current learning tactics.
Asesmen
formatif
merupakan
sebuah proses yang terencana dan
melibatkan berbagai kegiatan yang berbeda.
Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam
proses
asesmen
formatif
adalah
mengumpulkan berbagai kejadian tentang
status siswa, baik secara formal maupun
informal, untuk menentukan derajad
penguasaan siswa terhadap indikator
kurikulum dan ketrampilan-ketrampilan.
Berdasarkan
kejadian-kejadian
dan
SEMNAS MIPA 2010

informasi inilah seorang guru akan


melakukan
penyesuaian
terhadap
pembelajaran yang dilakukan dan siswa
akan melakukan pengaturan cara-cara
mempelajari materi pelajaran.
Beberapa
pengertian
tentang
asesmen formatif yang telah dikemukakan
memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan itu
antara lain sebagai berikut. (1) Asesmen
formatif merupakan proses yang dilakukan
dalam pembelajaran. (2) Hasil asesmen
formatif tidak saja digunakan oleh guru
tetapi juga dilakukan oleh siswa. (3)
Asesmen formatif memberikan umpan balik
terhadap proses belajar siswa dan proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru. (4)
Umpan balik yang diberikan oleh asesmen
formatif akan berguna bagi siswa dan guru
untuk melakukan pengaturan-pengaturan
sehingga belajar dan pembelajaran dapat
mencapai tujuan kurikulum.
Implementasi asesmen formatif
dalam pembelajaran dapat dipilah menjadi
asesmen formatif yang bersifat informal dan
asesmen formatif yang bersifat formal.
Asesmen formatif yang bersifat formal
dilakukan misalnya dengan meminta siswa
untuk
mengerjakan
tes,
kuis,
mengembangkan tulisan atau karya yang
lain. Asesmen informal merupakan kegiatankegiatan dalam pembelajaran yang dipilih
oleh guru untuk menguak informasi dari
siswa. Kegiatan tanya jawab di kelas,
meminta siswa mengkomentari pendapat
guru, wawancara, rekaman pembelajaran
merupakan beberapa contoh asesmen
formatif yang bersifat informal.
Asesmen formatif formal dan
informal masing-masing memiliki kelebihan
dan kekurangan. Beberapa kelebihan
asesmen formatif formal adalah lebih fair
bagi siswa. Dalam asesmen formatif formal
siswa merasakan langsung bahwa mereka
sedang diases, asesmen formal juga
memiliki kriteria skoring yang jelas, dan
akan memotivasi siswa jika mereka berhasil.
Namun seringkali asesmen formatif formal
juga dapat menyebabkan stres jika siswa
mengalam kegagalan. Asesmen formal juga
membutuhkan persiapan yang lebih panjang
dan memerlukan waktu untuk menganalisis
hasil-hasilnya..
Kelebihan
asesmen
formatif
informal adalah dapat dilaksanakan dalam
proses pembelajaran dan dalam suasana
FIS - 135

santai sehingga siswa tidak mengalami stres,


mudah dipersiapkan,
dan seringkali
menghasilkan data-data yang lebih valid
langsung dari siswa. Kegiatan asesmen
formatif formal melalui komunikasi gurusiswa di kelas dapat langsung dianalisis dan
diberikan umpan balik oleh guru serta
memberikan gagasan untuk memperbaiki
jalannya
pembelajaran.
Beberapa
kelemahannya adalah tentang validitas hasil
asesmen yang dilakukan. Pelaksanaan
asesmen formatif informal tergantung pada
ketrampilan komunkasi guru di kelas. Siswa
seringkali juga tidak merasakan kegiatan
asesmen. Asesmen formatif informal juga
dipengaruhi oleh prasangka tersembunyi
guru dan juga stereotipi utamanya stereotipi
gender.
Asesmen diagnostik merupakan
bagian dari asesmen formatif yang diarahkan
pada tipe keputusan diagnostik. Nitko
(Nitko, 1989: 50) menjelaskan bahwa
keputusan diagnostik menunjuk pada
penentuan luaran pembelajaran yang mana
siswa belum mencapai dan kemungkinankemungkinan penyebab kegagalan mencapai
luaran pembelajaran tersebut. Keputusan
diagnostik ini selanjutnya dapat digunakan
untuk melakukan remediasi, mengoreksi
pengetahuan yang tidak lengkap, dan
memperbaiki pembelajaran sebelumnya.
Asesmen
diagnostik
dapat
didefinisikan sebagai asesmen formatif yang
digunakan untuk mengetahui kelemahankelemahan siswa dalam mempelajari suatu
materi.
Asesmen
diagnostik
juga
memfokuskan pada kesulitan yang dialami
oleh siswa dalam mempelajari suatu konsep.
Hasil-hasil asesmen diagnostik dapat
dimanfaatkan
sebagai
dasar
untuk
menentukan tindakan-tindakan yang tepat
berikutnya dalam pembelajaran. Dalam
pembelajaran sains dan fisika, asesmen
diagnostik juga banyak digunakan untuk
mengungkap miskonsepsi yang dialami oleh
siswa.
Beberapa karakteristik asesmen
diagnostik yang berbeda dengan asesmen
formatif yang lain adalah sebagai berikut.
(1) Asesmen diagnostik difokuskan untuk
mengidentifikasi kesulitan belajar siswa
pada topik tertentu dan
menemukan
penyebab
mengapa
kesulitan-kesulitan
belajar ini terjadi. (2) Asesmen diagnostik
dikembangkan berdasarkan analisis sumberSEMNAS MIPA 2010

sumber kesalahan dan kesulitan yang


mungkin timbul. (3) Jika dilakukan secara
formal, biasanya digunakan format jawaban
singkat agar dapat menjangkau jumlah siswa
yang besar dan mudah di analisis. Jika
menggunakan
format
pilihan
ganda
digunakan distraktor dan alasan untuk dapat
memetakan kesulitan belajar dan penyebabpenyebabnya. (4) Hasil-hasil asesmen
diagnostik memberikan umpan balik yang
jelas bagi guru untuk mengatasi kelemahankelemahan siswa dalam pembelajaran.
Penelitian pengembangan model
AAFF ini merupakan pengembangan dan
pengayaan penelitian yang dilakukan
sebelumnya. Pengembangan butir pilihan
ganda dengan mengoptimumkan pengecoh
banyak mendapatkan perhatian berkaitan
dengan upaya untuk mendeteksi kelemahan
dan kekuatan siswa. Butir pilihan ganda ini
sering disebut dengan pilihan ganda dengan
pengecoh yang tersusun secara bermakna
(distractor
rationale
taxonomy).
Pengembangan butir pilihan ganda dengan
pengecoh yang bermakna dimaksudkan
untuk membantu guru mendiagnosis
konsepsi siswa. Teknik yang digunakan
adalah dengan memilih pengecoh yang
mewakili kesalahan umum yang sering
dilakukan oleh siswa. Penggunaan tes
pilihan ganda dengan pengecoh yang
bermakna untuk mendapatkan laporan
tentang tingkat pemahaman siswa telah
dilaksanakan
untuk
matapelajaran
matematika dan bahasa (King et al, 2004).
Penggunaan item pilihan ganda tersusun
(ordered multiple choice) juga telah
diterapkan pada matapelajaran bahasa (Lin
et al, 2010).
Pengembangan butir pilihan ganda
dengan pengecoh yang bermakna memiliki
potens besar untuk membantu guru
mendapatkan informasi kelemahan dan
kekuatan siswa dalam mempelajari konsep.
Namun demikian, pengembangan ini belum
banyak
didukung
oleh
laporan
pengembangan perangkat analisis yang
secara praktis dapat dimanfaatkan oleh guru.
Upaya pemanfaatan teori respon butir untuk
menganalisis butir pilihan ganda diantaranya
dilakukan untuk menentukan kemajuan
pemahaman konsep dan perubahan konsep
(Sadler,
1998).
Namun
demikian
pemanfaatan
hasil
analisis
untuk

FIS - 136

memberikan informasi pada guru dan umpan


balik bagi siswa belum banyak dilaporkan.
Beberapa
laporan
penelitian
menunjukkan adanya upaya melakukan
analisis
asesmen
diagnostik
dan
mendapatkan informasi diagnostik untuk
keperluan
pembelajaran.
Proyek
DIAGNOSER
implementasi
asesmen
berbasis internet yang adalah melaporkan
tentang pengembangan instrumen dan
perangkat analisis asesmen berbantuan
komputer untuk membangkitkan informasi
diagnostik dan umpan balik (ThissenRoe&Hunt, 2004). Dalam DIAGNOSER ini
digunakan
teknik
facet
untuk
mengidentifikasi
tingkat
pemahaman
konsepsi siswa. Salah satu kekurangan
DIAGSOSER
adalah
kesulitan
pengembangan instrumen dengan teknik
facet. Pemanfaatan hasil asesmen untuk
mempengaruhi
proses
pembelajaran
Akuntansi yang dikenal dengan An Analysis
of Diagnostic Exam Driven Teaching and
Learning (ADEPT learning cycle) juga telah
dilaporkan (Shoulder&Hicks, 2008). Dalam
laopran
penelitian
ini
pembelajaran
mengimplementasikan tes diagnostik dan
menerapkannya untuk menentukan langkah
yang diambil dalam proses pembelajaran
akuntansi. Penelitian menunjukkan bahwa
pembelajaran yang dikembangkan terbukti
efektif dan memuaskan mahasiswa.
Penelitian tentang penggunaan butir
pilihan ganda untuk mendapatkan tingkat
kelemahan pemahaman konsep Fisika Dasar
telah dilakukan (Obaidat&Malkawi, 2009).
Disebutkan bahwa analisis tradisional butir
pilihan ganda dengan fokus pada skor dan
korelasi jawaban benar tidak dapat secara
optimal memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh guru. Peneliti menggunakan
persamaan faktor konsentrasi (concentration
factor) dan menggabungkannya dengan skor
untuk mendapatkan analisis pada setiap
pertanyaan. Penelitian ini menunjukkan
bahwa pemahaman siswa pada materi
kinematika dan Hukum Newton tentang
gerak siswa lemah. Penelitian tidak
melaporkan adanya umpan balik yang
disampaikan pada siswa.
Beberapa penelitian dan kajian lain
tentang upaya untuk meningkatkan kualitas
asesmen formatif dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut.

SEMNAS MIPA 2010

1. Perangkat lunak IMMEX, didesain


sebagai alat untuk memahami strategi
pemecahan masalah oleh siswa. Dalam
menggunakan
IMMEX,
siswa
dikenalkan dengan masalah dan tujuan
pemecahan masalah. Selanjutnya siswa
memilih penyataan-pernyataan berkaitan
dengan upaya mereka memecahkan
masalah. Umpan balik langsung akan
diberikan berkaitan dengan pilihan
siswa. Guru akan memperoleh peta dan
jalur
pemikiran
siswa
dalam
memecahkan
masalah.
Pengunaan
IMMEX telah dilaporkan dalam
perkuliahan laboratorium organik dan
terbukti
dapat
meningkatkan
kemampuan
pemecahan
masalah
mahasiswa (Cox jr. et al, 2008).
2. Dufresne&Gerace (Dufresne&Gerace,
2004) melaporkan inovasi A2L yang
menggunakan bahan asesmen formatif
dengan
menggunakan
sistem
komunikasi kelas. Sistem ini merupakan
aplikasi asesmen formatif informal yang
dapat mempresentasikan permasalahan,
mengumpulkan
dan
menyimpan
jawaban setiap siswa, menampilkan
histogram respon siswa, dan menyimpan
secara permanen kemajuan masingmasing siswa. Pemanfaatan A2L dapat
menggeser
pelaksanaan
asesmen
formatif menjadi lebih berpusat pada
siswa. Asesmen ini juga memungkinkan
guru mengetahui proses mental siswasiswanya.
3. The Online Assessment Desain and
Delivery System (ADDS) adalah sebuah
sistem desain dan
implementasi
asesmen berbasis internet (Vendlinski et
al, 2008).
Pengembangan sistem
berbasis internet ini dimaksudkan untuk
secara berkesinambungan meningkatkan
kualitas pelaksanaan asesmen formatif.
Instrumen
dalam
sistem
ini
memanfaatkan
prekonsepsi
dan
miskonsepsi siswa. Pemanfaatan sistem
ini menunjukkan kelebihan yaitu
kemampuan mendeteksi kemampuan
siswa dalam tingkatan yang mendalam.
Sistem ini meningkatkan waktu yang
dibutuhkan guru dalam menyusun
instrumen.
4. Penggunaan
Computer
Aided
Assessment (CAA) disimpulkan dapat
menimbulkan dampak positif pada
FIS - 137

pengalaman belajar siswa (Lowry,


2005). Data menunjukkan bahwa
penggunaan CAA sebagai asesmen
mandiri berdampak positif pada siswa.
Bagi guru, CAA sangat berperan dalam
menghemat waktu. Sementara bagi
siswa,
sistem CAA ini
dapat
memberikan beberapa keuntungan. (1)
memberikan umpan balik pada siswa,
(2) membimbing usaha-usaha siswa, (3)
mendiagnosa
permasalahan
dalam
pembelajaran, dan (4) memberikan
pengalaman pada siswa dalam kegiatan
asesmen mandiri. Penelitian lain tentang
implementasi CAA untuk meningkatkan
regulasi diri juga telah diterapkan untuk
penulisan esay di perguruan tinggi
(Bose&Rengel, 2009).
5. Spesific Mathematic Assessment that
Reveal Thinking (SMART) adalah
proyek pengembangan dan penelitian
sistem asesmen formatif matapelajaran
matematika (Stancey at al, 2009).
Tujuan dari proyek ini adalah untuk (1)
mempermudah pengembangan tes yang
mampu mendianosa pemahaman konsep
siswa, (2) mengembangkan informasi
untuk guru tentang kinerja kelas dan

individu,
(3)
memberikan saran
pembelajaran, dan (4) memberikan
dukungan riset terhadap hasil diagnosis
dan saran yang diberikan. Proyek sedang
mengujicobakan tes dan melakukan
evaluasi terhadap pembelajaran yang
dilakukan oleh siswa
Metode Penelitian
Penelitian tentang analisis asesmen
formatif fisika (AAFF) SMA berbantuan
komputer
ini
menggunakan
metode
penelitian penembangan (research and
development). Mengingat model yang
dikembangkan
dalam
penelitian
ini
mendukung kegiatan asesmen yang menjadi
bagian tidak terpisahkan dalam proses
pembelajaran fisika, oleh karena itu
penelitian pengembangan ini mengikuti
salah satu model pengembangan desain
pembelajaran (instructional design). Dalam
hal ini model desain pembelajaran yang
akan dirunut adalah model pengembangan
desain pembelajaran yang dikemukakan oleh
Dick dan Carey.
Model desain
pembelajaran menurut Dick dan Carey
berbentuk siklus kegiatan yang dapat
digambarkan sebagaimana Gambar berikut.

Asesmen/analisa

Asesmen
Kebutuhan

Analisa
Front-end

Evaluasi

Implementasi

Disain

Pengembangan

Gambar 1. Model Desain Pembelajaran menurut Dick&Carey

Dalam model desain pembelajaran


ini, siklus pengembangan terdiri atas 5
(lima) fase yakni: (1) fase analisis kebutuhan
(need analysis), (2) fase analysis front-end
(front-end analysis) (3) fase desain (design),

SEMNAS MIPA 2010

(4) fase pengembangan (development), dan


(5) fase implementasi (implementation), dan
(5) fase evaluasi (evaluation). Lingkup
kegiatan dan produk dari tiap-tiap fase
pengembangan dengan pendekatan Dick dan

FIS - 138

Carey secara garis besar dapat diuraikan


sebagai berikut.
1. Fase analisis kebutuhan (need analysis),
pada fase ini peneliti memulai dengan
mengidentifikasi kondisi-kondisi yang
terjadi pada saat ini dan kondisi-kondisi
yang diinginkan pada mendatang.
Analisis juga mengarah pada hal-hal
yang harus dilakukan untuk mencapai
kondisi yang diinginkan. Pada tahapan
kegiatan ini didapatkan spesifikasi
tujuan, identifikasi kebutuhan, indikator
keberhasilan, produk akhir yang
diinginkan,
dan
strategi-strategi
pengujan produk.
2. Fase analisis front-end (front-end
analysis), pada tahapan ini dilakukan
analisis tujuan, analisis peserta didik,
analisis situasi, analisis teknologi,
analisis media, dan analisis biaya.
Analisis
ini
ditujukan
untuk
mengidentifikasi berbagai persyaratan
dan batasan produk yang dikembangkan
dengan memperhatikan karakteristik
peserta didik, kondisi dan situasi
pembelajaran yang ada, lingkungan
pembelajaran, dan termasuk didalamnya
biaya yang dapat ditanggung jika
inovasi-inovasi
akan
dilakukan.
Berbagai analisis ini dilakukan dengan
harapan produk yang dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
3. Fase perancangan (design), meliputi
tindak
lanjut
pengembangan
berdasarkan hasil analisis sebelumnya
untuk mendapatkan
garis besar
perencanaan
produk-produk
yang
dihasilkan. Fase ini diharapkan dapat
pola dasar instrumen, pola dasar struktur
AAFF, pola dasar perangkat lunak
pendukung AAFF berbantuan komputer.
4. Fase pengembangan (develop), adalah
fase lanjutan untuk mengembangkan
desain yang telah dihasilkan menjadi
prototipe atau model awal produk.
Prototipe yang dihasilkan dalam fase ini
diantaranya adalah model instrumen,
model AAFF, dan model perangkat
lunak pendukung AAFF.
5. Fase implementasi (implementation),
adalah fase penerapan model-model
yang telah dikembangkan kepada para
pengguna. Pada fase ini model-model
yang dikembangkan akan mendapatkan
masukan baik dari pengguna maupun
SEMNAS MIPA 2010

dari review yang dilakukan para ahli.


Revisi dan perbaikan juga didasarkan
pada ujicoba penerapan produk pada
kelompok kecil pengguna.
6. Fase evaluasi (evaluation), adalah fase
untuk menyimpulkan sukses tidaknya
produk-produk
yang
telah
dikembangkan. Pada fase ini akan
dilakukan uji validitas dan uji akurasi
produk melalui penerapan produk di
lapangan. Langkah ini diharapkan akan
menghasilkan masukan-masukan untuk
evaluatif
untuk
menyempurnakan
produk yang dihasilkan sehingga dapat
didiseminasikan.
Penelitian dilaksanakan di Beberapa
Sekolah Menengah Atas di Kota Malang
mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus
2010.
Sebagai
validator
dalam
pengembangan adalah kelompok diskusi
guru fisika yang terdiri dari 6-8 orang guru
fisika dari beberapa sekolah menengah yang
berbeda. Sebagai tim validasi produk
dilibatkan beberapa pakar pengembangan
instrumen, pakar penilaian pendidikan, dan
pakar pembelajaran fisika. Guru SMA yang
tergabung dalam MGMP Fisika juga
dilibatkan untuk memberikan masukan pada
produk
yang
telah
dikembangkan.
Implementasi lapangan dilakukan dengan
melibatkan tujuh kelas fiska dari tujuh
sekolah yang berbeda. Untuk mengetahui
efektivitas balikan yang dihasilkan oleh
perangkat lunak yang dikembangkan,
balikan diimplementasikan pada 3 kelas dari
3 sekolah yang berbeda. Data-data yang
didapatkan sebagian besar dianalisis dengan
analisis deskriptif kuantitatif.
Hasil Pembahasan
Berdasarkan
berbagai
hasil
kuesioner pada tahap analisis kebutuhan
dapat diambil beberapa kesimpulan. (1)
Secara umum guru fisika meyakini
pentingnya peranan asesmen, analisis hasil
asesmen, diagnosis kesulitan belajar dalam
pembelajaran fisika. (2) Meskipun guru
memiliki keyakinan akan pentingnya
asesmen dalam pembelajaran fisika, banyak
kendala yang dialami mengakibatkan
pelaksanaan asesmen tidak berlangsung
sebagaimana yang diharapkan. Salah satu
kendala adalah terbatasnya waktu dan
besarnya jumlah siswa. (3) Tes merupakan
metode yang banyak dipilih dalam
FIS - 139

melakukan asesmen. (4) Analisis hasil tes


jarang dilakukan oleh guru salah satu
penyebabnya adalah kurangnya sarana untuk
membantu analisis. (5) Kurang efektifnya
pelaksanaan analisis hasil tes dalam kegiatan
asesmen
menyebabkan
guru
tidak
mendapatkan informasi yang memadai
tentang kemajuan belajar siswa.
Beberapa hal lain terkait dengan
pelaksanaan asesmen dalam pembelajaran
yang terungkap dalam FGD diantaranya
adalah sebagai berikut. (1) Melaksanakan
asesmen dalam pembelajaran, melakukan
analisis hasil asesmen, dan menindaklanjuti
hasil asesmen pembelajaran merupakan
tugas pokok dan fungsi guru termasuk guru
fisika. Guru mestinya melaksanakan hal ini
dan
manajemen sekolah
melakukan
monitoring. Namun analisis hasil asesmen
masih jarang dilakukan. Banyak guru yang
melakukan analisis hanya untuk memenuhi
persyaratan kenaikan pangkat. (2) Guru
kurang
pengetahuan
tentang
cara
mengungkap kesulitan belajar siswa,
pelaksanaan tes lebih banyak digunakan
untuk menguji keberhasilan kelas.
(3)
Waktu merupakan hambatan utama guru
dalam melaksanakan asesmen, menganalisis
data, dan melaksanakan pembelajaran
remedial. (4) Pembelajaran remedial tidak
dilakukan dengan pembelajaran ulang
melainkan melakukan dan membahas soal
yang diujikan saja. Pada umumnya siswa
yang mengalami kesulitan tetap mengalami
kesulitan. (5) Sebagian besar guru telah
memiliki ketrampilan dasar komputer,
namun guru masih memerlukan pelatihan
dan pendampingan dalam memanfaatkan
alat analisis hasil tes.
Beberapa kesimpulan dari analisis
front-end adalah sebagai berikut. (1) Model
analisis asesmen yang dihasilkan harus dapat
memberikan informasi tentang kelemahan
dan kekuatan siswa serta informasi
pengelompokan siswa. Perangkat lunak ini
harus sesuai dengan karakteristik materi
dalam pembelajaran fisika. (2) Guru
memiliki kemampuan mengembangkan tes
pilihan ganda, namun guru memiliki waktu

SEMNAS MIPA 2010

yang terbatas dalam menganalisis hasil-hasil


asesmen. Guru memerlukan program
aplikasi untuk menganalisis hasil tes. Guru
juga memiliki kemampuan mengoperasikan
program aplikasi komputer. (3) Siswa
memerlukan umpan balik terhadap hasil
belajar yang mereka lakukan. Keluaran
perangkat lunak berupa hasil cetakan tentang
penampilan
mereka
dalam
proses
pembelajaran.
(4) Perangkat teknologi,
media, dan situasi sekolah memungkinkan
untuk menerapkan model analisis asesmen
formatif
berbantuan komputer
yang
dikembangkan. (5) Dari segi biaya, hal yang
perlu diperhatikan adalah luaran model
analisis berbantuan komputer berupa
cetakan untuk tiap-tiap siswa. Hal ini
mengingat jumlah siswa yang besar,
sehingga biaya cetak dapat menjadi besar.
Cetakan
umpan balik untuk siswa
diharapkan tidak terlalu panjang sehingga
biaya cetak tinggi dapat dihindari.
Hasil pengembangan produk akhir
AAFF sebagai model analisis hasil tes
pilihan ganda menghasilkan keluaran berupa
profil kelas, profil siswa, dan analisis
indikator. Profil kelas memberikan informasi
tentang pencapaian keseluruhan siswa pada
semua hasil tes. Profil siswa memberikan
informasi penampilan masing-masing siswa
pada tes. Analisis indikator menunjukkan
penampilan siswa pada masing-masing
indikator. Semua hal ini memberikan
informasi tentang kelemahan dan kekuatan
siswa berkaitan dengan materi tes, informasi
yang diperlukan guru dalam pembelajaran.
Hasil cetakan keluaran AAFF berupa lembar
umpan balik hasil tes juga dapat
memberikan masukan kepada siswa tentang
kelemahan
dan
kekuatannya
dalam
pembelajaran.
Gambar 2 adalah halaman depan
AAFF dan bentuk umpan balik pada siswa.
Terkait dengan kemanfaatan hasil analisis
AAFF dalam pembelajaran, sebagian
responden guru menyatakan bahwa hasil
analisis sangat bermanfaaf sebagaimana
grafik pada Gambar 3.

FIS - 140

Gambar 2. Tampilan Jendela Muka AAFF

Gambar 3. Respon Guru Terhadap Kemanfaatan AAFF untuk Remediasi


Siswa merupakan salah satu pihak
yang
mendapatkan
manfaat
dari
pengembangan model AAFF ini. Berkaitan
dengan umpan balik hasil belajar yang
dibagikan kepada siswa (gambar dibawah)
sebagian besar siswa menyatakan bahwa

umpan balik sangat bermanfaat untuk


mengetahui hasil belajar dan merencanakan
belajar berikutnya. Komentar siswa sebagian
besar menyatakan bahwa model AAFF dapat
membantu mereka mengetahui kekuatan dan
kelemahan belajar fisikanya

Gambar 4. Contoh Umpan Balik Hasil Belajar Siswa

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 141

Gambar 5. Respon Siswa tentang Kemanfaatan Umpan Balik


Kesimpulan dan Saran
Model analisis asesmen formatif
fisika yang dikembangkan dalam penelitian
ini memiliki ciri-ciri khas yang berbeda
dengan perangkat lunak yang lain. Beberapa
karakteristik model analisis AAFF adalah
sebagai berikut. (1) Model AAFF ditujukan
untuk menggali kelemahan dan kesulitan
belajar siswa berkaitan dengan materi
pembelajaran dan memberikan umpan balik
pada siswa tentang hasil tes. (2) Model
AAFF hanya cocok digunakan untuk tes
pilihan ganda dengan persyaratan tertentu
diantaranya pengecoh memiliki makna dan
dapat dijabarkan deskriptornya dan tes
terdiri atas beberapa kelompok butir dengan
indikator tertentu. (3) Jumlah butir dengan
indikator yang sama yang dipergunakan
sebagai masukan model AAFF sebaiknya
ganjil. (4) Model AAFF dapat menghasilkan
pengelompokan siswa berdasarkan kesulitan
belajar atau siswa yang menderita
miskonsepsi tertentu. (5) Penggunaan model
ini tepat digunakan pada pelajaran di mana
kelompok siswa mungkin mengalami
kesalahan-kesalahan dengan pola tertentu
misalnya pada pelajaran fisika. Model juga
dapat dimanfaatkan untuk mata pelajaran
lain yang memiliki karakteristik yang
serupa. (6) Model AAFF ditujukan untuk
mengidentifikasi kelemahan belajar dan
bukan untuk menentukan prestasi belajar
siswa. (7) Model AAFF menghasilkan
keluaran yang spesifik untuk kelas tertentu.
Model AAFF memiliki beberapa
keunggulan,
keunggulan-keunggulan
tersebuat antara lain adalah sebagai beikut.
(1)Model AAFF menghasilkan keluaran
berupa profil kelas dan profil siswa yang
SEMNAS MIPA 2010

menunjukkan kelemahan dan kekuatan


siswa
dalam
penguasaan
materi
pembelajaran baik secara klasikal maupun
individual. (2)Model AAFF menghasilkan
keluaran dalam bentuk umpan balik hasil
belajar siswa untuk masing-masing siswa.
(3) Model AAFF menghasilkan keluaran
pengelompokan
siswa
berdasarkan
penampilan pada suatu butir dan pada suatu
indikator. (4) Pemanfaatan AAFF dalam
pembelajaran fisika akan membantu guru
mengambil keputusan tentang perencanaan
pembelajaran yang efektif dan remediasi
yang lebih terarah. (5) Implementasi umpan
balik dapat memberikan gambaran pada
siswa tentang kelemahan dan kekuatannya
dalam penguasaan materi pembelajaran ,
memotivasi belajar siswa, dan memberikan
arahan belajar yang lebih efektif. (6)
Pengelompokan
siswa
berdasarkan
kelemahan
dan
kekuatannya
dapat
dimanfaatkan untuk mengelola tugas-tugas
belajar yang lebih efektif. (7) Keterlibatan
guru dalam penyusunan tes pilihan ganda
dengan pengecoh yang tersusun secara
bermakna dapat meningkatkan kesadaran
dan pengetahuan guru tentang kesulitan dan
miskonsepsi yang dialami oleh siswa.
Keterlibatan guru dalam penyusunan tes
pilihan ganda juga mendorong diskusi aktif
antar guru-guru fisika. (8) Model AAFF
menghasilkan keluaran berupa skor siswa
,statistik skor siswa, dan parameter butir. (8)
Model AAFF melibatkan peran data base
sehingga
dapat
memudahkan
dan
meringankan tugas guru.
Beberapa kelemahan produk yang
dihasilkan diantaranya adalah (1) Model
AAFF tidak dapat digunakan secara optimal
FIS - 142

dengan memanfaatkan hasil tes pilihan


ganda yang telah tersedia di sekolah. (2)
Kualitas hasil analisis model AAFF
bergantung pada kualitas tes pilihan ganda
yang digunakan. (3) Model AAFF
mensyaratkan agar semua butir soal dijawab
oleh siswa dan tidak memungkinkan siswa
mengosongi jawaban. (4) Penyusunan tes
pilihan ganda dengan persyaratan khusus
model AAFF menyulitkan guru, membebani
tugas guru, dan menyita banyak waktu. (5)
Penyusunan
data
tes
memerlukan
kecermatan dan memerlukan waktu.
(6)Penggunaan model AAFF membutuhkan
kemampuan ketrampilan dasar komputer.
Kepada guru-guru SMA khususnya
guru-guru
fisika,
disarankan
untuk
memanfaatkan AAFF sebagai perangkat
untuk menganalisis hasil tes pilihan ganda.
Pelaksanaan tes dan analisa dapat dilakukan
setelah selesainya pembelajaran dalam satu
unit, namun dianjurkan juga untuk
melakukan tes sebelum pembelajaran
dimulai. Hasil analisa terhadap tes yang
dilakukan sebelum pembelajaran dimulai
dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai
informasi untuk merencanakan pembelajaran
yang lebih efekif. Umpan balik hasil tes
awal ini sebaiknya tidak dibagikan pada
siswa.

Bahan Pustaka
Anderson, L. W., (2003). Clasroom Assessment:
enhancing the quality of teacher decision
making, New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc
Bose, J. ,& Rengel Z. (2009) A model formative
assessment strategy to promote student-centered
self-regulated learning in higher education[versi
elektronik]. US-China Education Review, 6 (12).
Boyle, J. & Fisher, S. (2007). Educational
Testing A Competence Based Approach.
Victoria: British Psycological Society.
Cowie, B. & Bell, B. (1999). A model of
formative education in science education.
Assessment in education, Maret 1999, 6, 1.
Cox Jr. C. T, Cooper M. M., Pease R, Buchanan
K, Hernandez-Cruz L., Stevens R, Picione
Thomas Holme T., (2008). Advancements in
curriculum and assessment by the use of
IMMEX technology in the organic laboratory[
versi elektronik]. Chem. Educ. Res. Pract., 2008,
9, 2534

SEMNAS MIPA 2010

Dufresne, R. J. & GeraceW. J., (oktober 2004).


Assessing-To-Learn: Formative Assessment in
Physics Instruction. THE PHYSICS TEACHER
Vol. 42, October 2004, 428-433
King, K. V., Gardner, D. A., Zucker, S.,
Jorgansen, M. A. July 2004, The Distractor
Rationale Taxonomy: Enhancing MultipleChoice Items in Reading and Mathematics
Pearson Education
Lin, J., Chu, K., Meng, Y., April 30, 2010
Distractor Rationale axonomy: Diagnostic
Assessment of Reading with Ordered MultipleChoice
Items.
Error!
Hyperlink

reference not valid.


Lowry, R. (2005). Computer aided self
assessment: An effective tool. Chemistry
Education Research and Practice, 2005, 6 (4),
198-203
Nitko, A. J. (1989). Designing test that are
integrated with instruction: Educational
measurement, London: Collier Macmillan
Publisher,
Obaidat I.& Malkawi E. (2009). The Grasp of
physics concepts of motion: Identifying
particular patterns in students' thinking.
International Journal for the Scholarship of
Teaching and Learning. 3(1), 1-16
Popham, W. J. (1995). Classroom Assessment:
What Teachers Need to Know, Boston: Allyn and
Bacon.
Popham, W. J. (2008). Transformative
Assessment, Virginia: Ascociation of supervision
and curricullum development (ASCD).
Shoulders, C. D., Hicks, S. A. (2008). ADEPT
learning cycles enhance intermediate accounting
student learning success [versi electronik]. Issues
in Acounting Education, 23, 2, 161-182.
Stacey, K., Price, B., Steinle,V.,Chick, H.,
Gvozdenko, E. (2010) SMART Assessment for
Learning
ISDDE
conference
2009
http://www.edfac.unimelb.edu.au/sme/research/I
SDDE_Smart_tests.pdf
Thissen-Roe, A., Hunt E, Minstrell, J. (2004).
The
DIAGNOSER
project:
Combining
assessment and learning [versi elektronik],
Behavior Research Methods, Instruments, &
Computers 2004, 36 (2), 234-240
Vendlinski, T. P., Niemi, D. M. Wang, J.,
Monempour, S., Juli 2008., Improving Formative
Assessment
Practice
with
Educational
Information
Technology
http://www.cse.ucla.edu/products/reports/R739.p
df

FIS - 143

PENGEMBANGAN ASESMEN KINERJA UNTUK


MENINGKATKAN KUALITAS PENILAIAN PRAKTIKUM
ELEKTROMAGNETIK MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN
FISIKA FMIPA UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Yudyanto1), Sirwadji1)
Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang
2
Jl Semarang 5, Malang, 65141
Telp : (0341) 552125, Fax : (0341) 559577
E-mail : yudyanto_fisum@yahoo.co.id1)

Abstract
Penelitian ini bertujuan mengembangkan asesmen kinerja untuk mengukur kinerja
melaksanakan praktikum elektromagnetik di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Pada
penelitian ini dikembangkan asesmen kinerja yang diharapkan dapat membantu pembimbing matakuliah
praktikum elektromagnetik dalam meningkatkan kualitas penilaian pelaksanaan praktikum. Pengembangan asesmen dilakukan dengan rancangan penelitian dan pengembangan (Research and Development, R & D) yang terdiri empat tahap yakni: penyusunan draf awal, judgment, uji coba awal dan uji
coba akhir (validasi produk). Metode penelitian yang digunakan adalah metode evaluatif. Penelitian
dilaksanakan di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
asesmen yang dikembangkan telah memenuhi validitas isi dan reliabilitas. Asesmen yang dihasilkan
berupa asesmen kinerja melaksanakan praktikum yang berisi indikator-indikator kinerja dalam
melaksanakan praktikum, indikator akan diberi nilai 1 (satu) jika praktikan melaksanakan dengan benar
sesuai dengan indikator, dan akan diberi nilai 0 (nol) jika praktikan tidak melaksanakan atau
melaksanakan namun salah.
Keywords: penelitian pengembangan, asesmen kinerja, praktikum
1. PENDAHULUAN

Fisika sebagai salah satu disiplin ilmu


merupakan bagian dari sains yang sela-lu
berkembang berdasarkan fakta dan hasil
eksperimen (Druxes, 1986). Oleh karena itu,
dalam mengajarkan fisika harus memperhatikan hakekat fisika sebagai ilmu eksperimentasi. Pembelajaran fisika yang hanya
melalui metode ceramah atau informasi
tidak akan memberikan pemahaman secara
utuh, tetapi dapat menyebabkan terjadinya
miskonsepsi. Sesuai hakekat fisika, salah
satu strategi pembelajaran yang sesuai
adalah berciri hands on activities (berbasis
aktivitas) yaitu berupa kegiatan praktikum di
laboratorium.
Di Jurusan Fisika FMIPA UM,
matakuliah elektromagnetik sebagai matakuliah teori selalu diikuti oleh matakuliah
Praktikum Elektromagnetik sebagai satu
kesatuan yang utuh. Dalam pelaksanaannya
Praktikum Elektromagnetik dilakukan secara
terpisah dari perkuliahan teori, memiliki
bobot 1 sks/2 js dimaksudkan agar mahasiswa memiliki keterampilan laboratorium
SEMNAS MIPA 2010

dalam bidang elektromagnet (katalog FMIPA UM, 2007).


Untuk menunjang kegiatan praktikum di laboratorium telah disusun buku
panduan praktikum dalam bentuk modul dan
format penilaian kegiatan praktikum. Penilaian kegiatan praktikum elektromagnetik
didasarkan pada nilai yang terdiri dari: (1)
tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan, (3)
tahap pelaporan, dan (4) nilai tahap akhir
praktikum (tes final).
Penilaian praktikum seyogyanya tidak
dilakukan dengan tes tulis, karena sa-lah
satu aspek yang dikembangkan pada
matakuliah praktikum adalah keterampilan
laboratorium. Untuk menilai kemampuan
yang melibatkan suatu keterampilan/unjuk
kerja dilakukan penilaian alternatif. Penilaian alternatif ini bisa berupa asesmen portofolio (portfolio assesment), dan asesmen
kinerja (performance assesment).
Penilaian tahap akhir praktikum sebagai
bagian dari nilai akhir (NA) untuk
menentukan kelulusan matakuliah praktikum
elektromagnetik belum memiliki model

FIS - 144

yang jelas, sehingga dimungkinkan antar


pembimbing memberikan tes dengan cara
dan bobot (tingkat kesukaran) yang berbedabeda. Berdasarkan hasil pengamatan selama
membimbing praktikum elektromagnetik,
penilaian kegiatan tahap akhir praktikum ada
yang dilakukan dengan tes tulis, tanya-jawab
langsung diikuti tes praktek dan ada yang tes
praktek murni hal ini disebabkan salah satunya adalah tidak adanya instrumen standar
yang digunakan untuk memberikan tes
praktikum. Untuk mengatasi hal ini, dilakukan penelitian untuk mengembangkan suatu
model asesmen kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik. Hal ini dilakukan
atas pertimbangan bahwa kegiatan praktikum elektromagnetik diberi-kan kepada
mahasiswa dengan tujuan agar mahasiswa
memiliki keterampilan laboratorium. Oleh
karena itu penilaian tahap akhir kegiatan
praktikum semesti-nya lebih ditekankan
pada hasil kinerja mahasiswa (tes perbuatan)
yang memiliki standar yang jelas sehingga
penilaian dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan latar belakang yang
diuraikan, yang menjadi masalah dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
Bagaimanakah model asesmen kinerja untuk
menilai kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum elektromagnetik?
2. ASESMEN KINERJA (PERBUATAN)
Asesmen kinerja didefinisikan sebagai penilaian terhadap proses peroleh-an,
penerapan pengetahuan dan keterampilan
melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan siswa dalam proses dan
produk. Asesmen kinerja mengharuskan
siswa mendemonstrasikan kinerja, bukan
menjawab atau memilih jawaban dari
sederetan kemungkinan jawaban yang sudah
tersedia. Asesmen ini berlaku bagi siswa
yang bekerja secara individual maupun
secara kelompok (Rahayu, 2002).
Asesmen kinerja dikembangkan berdasarkan adanya kebutuhan untuk memperbaiki sistem evaluasi yang selama ini dilakukan. Asesmen kinerja berkaitan dengan
berbagai tugas dan situasi dimana mahasiswa diberi kesempatan untuk menunjukkan
pemahaman dan untuk menerapkan pengetahuan, keterampilan dan proses berpikirnya
dalam berbagai konteks. Asesmen kinerja ini
diperlukan dalam penilaian yang didasarkan

SEMNAS MIPA 2010

pada observasi kegiatan. Asesmen kinerja


mendorong terjadinya evaluasi diri dan
introspeksi atas kesalahan yang diberbuat.
Dalam mendesain asesmen kinerja,
ada enam komponen yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (1) konteks asesmen dan
tujuan; (2) tugas asesmen; (3) ases-men
kinerja; (4) interpretasi kinerja dan evaluasi;
(5) gambaran dan laporan hasil, dan (6)
keputusan dan tindak lanjut (Vos, 2001).
Pengembangan
asesmen
kinerja
dimulai dari mengidentifikasi bukti-bukti
bela-jar atau indikator pencapaian hasil
belajar. Indikator ini merupakan dasar untuk
mem-buat pedoman yang dimulai dengan
meng-gambarkan bagaimana kualitas kerja
maha-siswa akan nampak. Deskriptor
kualitas kinerja harus spesifik terhadap tugas
dan ditunjukkan dengan tingkat-tingkat
kualitas kinerja.
Asesmen kinerja terdiri dari dua
bagian, yaitu tugas kinerja (performance
taks) dan kriteria penskoran atau rubrik
(rubric). Tugas-tugas kinerja dapat berupa
proyek, pameran, portofolio, atau tugastugas yang mengharuskan siswa memperlihatkan kemampuan menangani hal-hal
yang kompleks melalui penerapan pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu
bentuk yang nyata. Kriteria (rubric) merupakan panduan untuk memberi skor (pedoman
penilaian).
Dasar asesmen kinerja ditunjukkan
melalui tugas-tugas kinerja. Tugas-tugas
kinerja dipresentasikan mahasiswa sebagai
bagian dari tujuan pembelajaran. Penggunaan tugas kinerja didasarkan pada model
tugas kinerja. Model ini merupakan langkahlangkah dalam membuat tugas kinerja.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam mengembangkan tugas-tugas dan
rubrik asesmen kinerja adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi
pengetahuan
dan
ketrampilan yang diharapkan dapat
dimiliki
oleh
mahasiswa
setelah
mengerjakan atau menyelesaikan tugas.
2. Merancang tugas-tugas untuk ases-men
kinerja yang memungkinkan maha-siswa
dapat menunjukkan kemampuan ber-pikir
dan bertindak.
3. Menetapkan kriteria keberhasilan yang
dijadikan tolok ukur untuk menya-takan
seorang mahasiswa telah mencapai
tingkat ketuntasan pengetahuan atau
FIS - 145

kete-rampilan yang diharapkan (Glencoe,


1999).
Tugas-tugas kinerja tidak memilki
satu jawaban yang benar. Pada tugas-tugas
kinerja terdapat suatu rentangan asesmen
untuk memperoleh keberhasilan suatu tugas.
Oleh karena itu asesmen kinerja tidak menggunakan kunci jawaban yang menentukan
suatu kinerja benar atau salah. Untuk
menjamin reliabilitas keadilan dan kebenaran penilaian, dikembangkan kriteria atau
rubrik yang digunakan sebagai alat atau
pedoman penilaian kinerja mahasiswa.
Rubrik
menggambarkan
tingkat
kinerja yang menunjukkan apa yang
diketahui mahasiswa dan apa yang dapat
dilakukan mahasiswa. Pemberian skor dalam
rubrik terdiri atas skala-skala tertentu yang
men-deskripsikan kinerja tiap aspek dalam
skala, yang bergradasi mutu mulai dari
tingkat sempurna sampai pada tingkat tidak
sempurna (buruk).
Ada dua jenis pedoman penilaian
yaitu rubrik analitik dan rubrik holistik.
Rubrik analitik memfokuskan pada kemampuan mahasiswa untuk menunjukkan
kecakapannya dalam kompetensi tertentu
atau materi pokok khusus, sedangkan rubrik
holistik memberikan skor tunggal dan
menyeluruh untuk kinerja atau produk yang
dihasilkan mahasiswa.
3.
MATAKULIAH
ELEKTROMAGNETIK

PRAKTIKUM

Matakuliah Praktikum Elektromagnetik merupakan matakuliah yang ber-diri


sendiri memiliki bobot 1sks/2js, biasanya
disajikan secara bersamaan dengan matakuliah elektromagnetik pada semester IV.
Matakuliah ini dimaksudkan agar mahasiswa memiliki keterampilan laboratorium
dalam bidang elektromagnetik.
Pada matakuliah Praktikum Elektromagnetik terdapat lima topik utama praktikum yang harus diselesaikan oleh mahasiswa dalam satu semester yang meliputi: (1)
penentuan medan magnet bumi, (2) transformator, (3) kapasitor plat sejajar, (4) kumparan induksi, dan (5) menentukan garis
ekuipotensial dan medan elektrostatik. Dengan melakukan kelima kegiatan praktikum
ini diharapkan mahasiswa memiliki keterampilan laboratorium yang memadai.

SEMNAS MIPA 2010

Setiap topik praktikum memiliki


tujuan masing-masing sesuai keterampilan
yang ingin dilatihkan. Setelah dicermati dari
tujuan yang tercantum dalam modul
praktikum elektromagnetik terdapat 3 aspek
pokok yaitu: (1) mahasiswa memperoleh
penguatan konsep, (2) mahasiswa memperoleh keterampilan laboratorium (mampu
menggunakan set percobaan), dan (3) mahasiswa mampu menyajikan hasil pengukuran
beserta ralatnya secara benar. Kaitannya
dengan penelitian ini, maka aspek kedua
yang akan mendapat perhatian khusus, yakni
aspek keterampilan laboratorium karena
secara langsung dapat diamati menggunakan
asesmen kinerja (perbuatan). Asesmen
kinerja ini dirancang untuk mengukur
keterampilan laboratorium mahasiswa secara
individual dan menggunakan rubrik analitik
kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik sehingga dihipotesiskan bahwa
instrumen asesmen kinerja yang dikembangkan dapat digunakan untuk mengukur
kinerja mahasiswa dalam melaksanakan
praktikum elektromagnetik.
4. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk
mengukur kinerja melaksanakan praktikum
elektromagnetik bagi mahasiswa Jurusan
Fisika FMIPA UM. Selain itu, penelitian ini
juga mengembangkan model asesmen
kinerja sebagai produk penelitian.
Untuk
mengembangkan produk,
rancangan penelitian yang digunakan adalah
desain penelitian dan pengembangan
(Research and Development, R & D).
Penelitian dan pengembangan dalam bidang
pendi-dikan
diarahkan
untuk
mengembangkan dan memvalidasi produkproduk pendidikan (Sukmadinata, 2005).
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode evaluatif, yang digunakan
dalam ujicoba pengembangan produk. Secara garis besar penelitian dan pengembangan
terdiri dari tiga langkah (Borg & Gall, 2001)
yaitu: (1) studi pendahuluan meliputi studi
pustaka dan survei lapangan untuk mengamati produk atau kegiatan yang ada, (2)
melakukan pengembangan produk meliputi
penyusunan draf produk, judgment, dan
ujicoba produk, dan (3) validasi produk.
Berikut model rancangan R & D yang
digunakan dalam penelitian ini.

FIS - 146

5. PROSEDUR PENELITIAN
Secara rinci penelitian ini dilakukan dalam 5
tahap yaitu:
Tahap 1 Studi pendahuluan
Pada tahap ini dilakukan kegiatan berupa
pemilihan materi praktikum.
Materi
praktikum yang dipilih adalah materi
praktikum elektromagnetik yang meliputi
lima topik praktikum: (1) penentuan medan
magnet bumi, (2) transformator, (3) kapasitor plat sejajar, (4) kumparan induksi, dan
(5) menentukan garis ekuipotensial dan
medan elektrostatik. Pemilihan materi diperlukan sebagai acuan untuk penyusunan
asesmen kinerja dan pedoman asesmen.
Tahap 2 Penyusunan draft produk
Pada tahap ini disusun draft asesmen kinerja
melaksanakan praktikum elektromagnetik
yang dilaksanakan dalam tiga kegiatan,
yaitu: penyusunan rumusan tujuan asesmen,
penyusunan
pedoman
asesmen
dan
penyusunan kriteria asesmen. Rumusan
tujuan asesmen didasarkan pada tujuan
praktikum elektromagnetik. Untuk masingmasing topik tercantum dalam setiap modul
praktikum elektromagnetik. Pedoman dan
kriteria asesmen disusun berdasarkan indikator yang muncul sesuai dengan tujuan
asesmen. Pedoman asesmen menggunakan
kriteria tertentu dengan skala 0 dan 1. Skala
0 menunjukkan bahwa indikator tidak
muncul/muncul salah dan skala 1 menunjukkan bahwa indikator muncul benar. Seti
ap indikator yang muncul akan dijumlahkan
dan diwujudkan dalam bentuk skor. Kriteria
SEMNAS MIPA 2010

skor didasarkan pada buku pedoman penilaian di UM.


Tahap 3 Judgment
Pada tahap ini dilakukan judgment terhadap
produk yang telah disusun. Judgment ini
merupakan kegiatan asesmen terhadap
produk yang telah disusun (Instru-men
penilaian ada di Lampiran 2). Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan validitas
instrumen. Judgment dilakukan oleh dosen
pengampu matakuliah praktikum elektromagnet. Dosen tersebut dipilih karena
memiliki kompetensi dan pengalaman membimbing praktikum khususnya praktikum
elektromagnetik yang sangat memadai.
Judgment ini dilakukan sebelum ujicoba
produk. Berdasarkan hasil judgment dilakukan revisi untuk menyempurnakan asesmen
kinerja yang dikembangkan.
Tahap 4 Ujicoba Produk (awal)
Pada tahap ini dilakukan ujicoba asesmen
kinerja. Ujicoba produk dilakukan pada
mahasiswa jurusan fisika FMIPA UM yang
mengikuti
perkuliahan
praktikum
elektromagnetik. Ujicoba dimaksudkan untuk memperoleh validitas isi. Dari hasil ujicoba dilakukan revisi untuk menyempurnakan produk. Uji coba dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Setiap pembimbing membawa asesmen
kinerja untuk topik yang sesuai dengan
bimbingannya (termasuk tim peneliti).
2. Setiap pembimbing melakukan bimbingan kepada mahasiswa dengan benar.

FIS - 147

3. Mahasiswa secara berkelompok bekerja


bersama untuk memperoleh data.
4. Mahasiswa secara mandiri bekerja untuk
memperoleh data, pada saat ini dilakukan
asesmen kinerja oleh pembimbing menggunakan asesmen yang telah disusun.
Selanjutnya untuk anggota kelompok
yang lain.
5. Pada akhir praktikum dilakukan diskusi
dengan semua pembimbing untuk memperoleh masukan terhadap instrumen
asesmen kinerja.
6. Melakukan diskusi dengan anggota peneliti terhadap masukan yang diper-oleh.
Tahap 5
Produk)

Ujicoba Akhir (Validasi

Pada tahap ini dilakukan ujicoba akhir


terhadap produk yang telah diva-lidasi.
Pengujian produk bisa dilakukan pada
mahasiswa yang sama pada tahap ujicoba.
Pada penelitian ini pengujian produk
dilakukan pada tengah semester praktikum
(tes tengah semester). Secara teknis praktek
asesmen dilakukan sebagai berikut.
1. Pada setiap topik praktikum ada 2
pengamat yang akan melaksanakan
asesmen kinerja pada setiap mahasiswa
(individual).
2. Pada awalnya mahasiswa dibimbing
terlebih dahulu, setelah itu akan diberitahu pada masing-masing mahasiswa
untuk melaksanakan praktikum secara
mandiri.
3. Secara bersamaan setiap pengamat mengamati kinerja melaksanakan prakti-kum
dan berpedoman pada asesmen kinerja
yang telah disusun.
4. Setiap pengamat memberikan skor pada
lembar asesmen sebagai wujud kinerja
yang dicapai mahasiswa. Selanjutnya
skor dari 2 pengamat diban-dingkan untuk mengetahui kesesuaian hasil pengamatan.
Subjek Penelitian
Sebagai subjek penelitian adalah mahasiswa
Jurusan Fisika FMIPA UM yang menempuh
matakuliah praktikum elektro-magnetik
sebanyak 2 offering, pada semes-ter genap
tahun 2009/2010.
Data dan Cara Pengambilannya
Data dalam penelitian ini berupa skor
kemampuan mahasiswa melaksana-kan
SEMNAS MIPA 2010

praktikum. Data ini dapat diperoleh melalui


asesmen kinerja yang telah dibuat. Data
diperoleh dengan cara tes melalui langkahlangkah:
1. Menyebarkan asesmen kinerja yang telah
divalidasi kepada pembimbing praktikum
elektromagnetik sebanyak 2 orang.
2. Pembimbing melakukan tes kinerja
menggunakan asesmen kinerja berdasarkan pedoman dan kriteria asesmen
kepada semua mahasiswa yang mengikuti praktikum elektromagnetik.
3. Pembimbing
melakukan
penskoran
berdasarkan kriteria asesmen dengan
menggunakan rumus: (skor yang diperoleh/skor maksimum) x 100
Data pada tahap awal ini digunakan untuk
tujuan pengembangan model asesmen.
Pengambilan data dilakukan pada kegiatan
praktikum ke 6 sampai dengan ke 8. Selanjutnya model asesmen yang telah direvisi
dan disempurnakan digunakan untuk mengukur kemampuan mahasiswa melaksanakan
praktikum elektromagnetik. Data kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum
diukur dengan memberikan tes secara
individual, dilaksanakan pada kegiatan
praktikum ke 9-10.
Analisis Data
Untuk mengetahui kesesuaian skor
dari dua pengamat digunakan persama-an
yang direkomendasikan oleh Posner,
Sampson, Ward, dan Cheney (Selsuk, 2008),
yaitu:
R

jumlah cocok
100
jumlah cocok jumlah tidak cocok

Data hasil uji coba dianalisis secara


evaluatif dengan cara menghitung kesamaan
skor antara pengamat 1dan pengamat 2
untuk sampel yang sama. Terdapat ketidaksesuaian skor jika nilai R < 80. Jika
terjadi ketidaksesuaian maka perlu diperhalus lagi indikator-indikator yang dimunculkan.
6. HASIL PENELITIAN
Rumusan Tujuan Asesmen
Sebelum disusun draft model asesmen
dilakukan kajian yang mendalam tentang
materi yang digunakan dalam penelitian.
Hasil kajian menetapkan lima topik yaitu:
FIS - 149

(1) penentuan medan magnet bumi, (2)


transformator, (3) kapasitor plat sejajar, (4)
kumparan induksi, dan (5) menentukan garis
ekuipotensial dan medan elektrostatik.
Pemilihan dan identifikasi materi diperlukan
sebagai acuan dalam penyusunan rumusan
tujuan asesmen dan pedoman asesmen.
Asesmen harus sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Tujuan pem-belajaran untuk
matakuliah praktikum elektromagnetik
terdapat
pada
modul
prakti-kum
elektromagnetik.
Berdasarkan tujuan pembelajaran
praktikum elektromagnetik disusun rumusan
tujuan asesmen dan rumusan indikator yang
telah direvisi.

terhadap Instrumen asesmen ditampilkan


dalam Tabel 2.
Tabel

Tabel 1. Pedoman dan kriteria asesmen


kinerja melaksanakan praktikum elektromagnetik
No.
1
2
3
4
5
6
7
8

Skor
85-100
80-84.99
75-79.99
70-74.99
65-69.99
60-64.99
55-59.99
<55

Sebutan
A
AB+
B
BC+
C
D

Tahap Judgment
Pada tahap ini dilakukan judgment
terhadap model asesmen yang telah disusun. Judgment ini merupakan kegiatan
asesmen terhadap model yang telah disu-sun
dan dilakukan untuk meningkatkan validitas
instrumen. Judgment dilakukan poleh tiga
orang dosen pengampu matakuliah praktikum elektromagnetik. Data hasil judgment

SEMNAS MIPA 2010

Hasil judgment
instrumen asesment

No. Penilaian
1
2
3

Pedoman dan Kriteria Asesmen


Pedoman asesmen rubrik, yaitu pedoman
pelaksanaan
asesmen
menggu-nakan
sejumlah kriteria tertentu. Pada penelitian ini
menggunakan skala 0 dan 1. Skala 0
menunjukkan indikator tidak muncul/
muncul salah. Skala 1 menunjukkan
indikator muncul benar. Setiap indikator
yang muncul akan dijumlahkan kemudian
dibagi dengan jumlah indikator yang ada,
kemudian dikalikan dengan 100. Selanjutkan
ditetapkan kriteria perolehan skor untuk
menunjukkan tingkat kemampuan yang
dicapai. Berikut rincian pedoman dan
kriteria asesmen yang disusun.

Kesesuaian
indikator
Urutan
indikator
Kemudahan bahasa
yang digunakan
Kemudahan penggunaan
instrumen
Kelayakan
dikembangkan

terhadap

Jumlah yang menjawab


tidak kurang cukup baik
1
2
3
1

Dari Tabel 2 terlihat bahwa secara umum


penilaian terhadap instrumen asesmen sudah
menunjukkan nilai cukup dan baik. Hasil
judgment yang berupa penilaian terhadap
indikator, urutan indikator, kejelasan bahasa,
mudah digunakan, dan kelayakan asesmen,
selanjutnya digunkan untuk bahan pertimbangan dalam melakukan revisi terhadap
asesmen kinerja. Dari indikator kinerja tersebut dibuat Instrumen Asesmen Kinerja
yang digunakan bagi pembimbing praktikum
untuk menilai kinerja praktikum elektromagnetik yang dilakukan oleh mahasiswa.
Tahap Ujicoba Awal
Instrumen Asesmen Kinerja diujicobakan
pada
peserta
matakuliah
praktikum
elektromagnetik sebanyak 1 ofering. Ujicoba
dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap kinerja mahasiswa saat
melaksanakan
praktikum.
Pengamatan
dilakukan oleh dua orang pengamat, satu
pengamat dari pembimbing praktikum dari
asisten dan satunya dari peneliti. Hasil
ujicoba menunjukkan bahwa masih ada
kalimat-kalimat yang tidak tidak jelas yang
masih menimbulkan pengertian ganda, misal
memasang jarum magnetometer dengan
benar. Kalimat ini kurang jelas mestinya
memasang magnetometer di tengah-tengah
kumparan helmholt dengan posisi horisontal
dan jarum menunjuk angka nol. Hasil
ujicoba awal ini digunakan untuk memperFIS - 150

baiki indikator dan instrumen asesmen


kinerja.

disempurnakan secara lengkap disajikan


pada Lampiran 2.

Tahap Ujicoba Akhir

7. PEMBAHASAN

Ujicoba akhir instrumen kinerja praktikum


elektromagnetik dilakukan pada saat ujian
akhir praktikum elektromagnetik yang
diujicobakan pada peserta matakuliah
praktikum elektromagnetik sebanyak 2
offering. Pengujian perangkat dilakukan dua
kali yaitu satu kali pada offering-A dan satu
kali pada offering-B. Setiap pengjian instrumen dilakukan oleh dua orang pengamat,
yaitu satu pengamat dari pembimbing praktikum dari asisten dan satunya dari peneliti.
Hasil pengolahan data disajikan dalam
Tabel 3.

Berdasarkan hasil judgment dan


ujicoba, instrumen asesmen kinerja yang
dikembangkan mengalami beberapa kali
revisi dan penyempurnaan, terutama dalam
hal bahasa, tulisan, kejelasan maksud dan
tujuan setiap indikator yang dikembangkan.
Revisi dan penyempurnaan diperlukan untuk
memperjelas maksud dan tujuan setiap kata
dan kalimat pada setiap indikator. Selain itu,
agar tidak terjadi interpretasi ganda atau
kesalahan interpretasi dari pihak pengamat.
Revisi dan penyempurnaan dilakukan secara
berkesinambungan dan bertahap sesuai
setiap kondisi dan masukan yang diperoleh
selama model diujicobakan.
Berdasarkan hasil analisis data dan
masukan-masukan, revisi dan penyempurnaan model asesmen terjadi pada hampir
semua mata praktikum khususnya pada
tujuan, pedoman dan kriteria asesmen dan
rumusan indikator .
Kemajuan model yang dikembangkan diperoleh selama pengamatan ter-hadap
pelaksanaan praktikum pada ujicoba akhir.
Berbagai masukan diperoleh dari tim
peneliti maupun mahasiswa pembimbing
praktikum. Berdasarkan masukan-masukan
tersebut, model mengalami beberapa kali
revisi dan penyempurnaan untuk memperbaiki setiap kemungkinan kekeliruan yang
terjadi.
Kejelian setiap pengamat terhadap
kinerja mahasiswa pada setiap kegiatan
praktikum akan sangat menentukan ketepatan penilaian. Dengan skala 2 (0 dan 1)
ternyata sangat memudahkan bagi pengamat
untuk menilai kinerja mahasiswa sehingga
diharapkan model asesmen yang disusun
dapat digunakan bagi semua pembimbing
sebagai standar untuk menilai kinerja mahasiswa melaksanakan praktikum elektromagnetik.

Tabel 3. Data Hasil Pengolahan Skor


Ujicoba Instrumen Asesmen
Kinerja
Hasil Pengamat

Mata praktikum

Skor

Pasangan Pasangan kecocokan


(R)
ke- 1
ke-2

JC JTC JC JTC R1 R2
Percobaan Medan 22 2 21 3
92 88
Magnet Bumi
Percobaan
41 5 42 4
89 91
Transformator
Percobaan
36 4 35 5
90 88
Kapasitor Plat
Sejajar
Percobaan
24 1 22 3
96 88
Kumparan Induksi
Percobaan Garis
Ekuipotensial dan 11 1 10 2
92 83
Medan
Elektrostatik
Keterangan: JC :jumlah yang cocok ; JTC
:jumlah yang tidak cocok ; Nilai R dihitung
dengan persamaan di Bab 3, R1 hasil kecocokan
pasangan-1, dan R2 hasil kecocokan pasangan-2.

Dari data hasil ujicoba pada Tabel 3 dapat


dilihat bahwa skor kecocokan untuk semua
mata praktikum, baik untuk pengu-jian
pertama dan pengujian kedua semuanya
bernilai > 80 sehingga dapat dikatakan
bahwa instrumen asesmen kinerja yang
disusun dapat memberikan penilaian yang
sama dari dua pengamat, dan penilaian
masih memberikan nilai sama pula saat
digunakan pada situasi lain (di offering yang
berbeda dan pengamat yang berbeda pula).
Instrumen Asesmen Kinerja yang telah
SEMNAS MIPA 2010

8. KESIMPULAN
Setelah melalui proses penelitian dan
pengembangan, akhirnya dapat dikembangkan instrumen asesmen kinerja kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum
elektromagnetik untuk mahasiswa Jurusan
Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang.
FIS - 151

Instrumen asesmen kinerja melaksanakan


praktikum ini berisi rumusan tujuan asesmen, pedoman dan kriteria asesmen untuk
mengases kemampuan mahasiswa melaksanakan praktikum elektromagnetik.
Instrumen asesmen kinerja ini berisi
indikator-indikator kinerja dalam melaksanakan kegiatan praktikum. Indikatorindikator tersebut digunakan untuk menilai
kinerja praktikan dalam melaksanakan
kegiatan praktikum, yaitu dengan cara
membandingkan kegiatan-kegiatan praktikan dalam melaksanakan praktikum dengan
indikator kinerja yang ada di dalam
intrumen asesmen. Jika kegiatan praktikan
benar sesuai dengan indikator yang ada
maka pada indikator diberi nilai satu, namun
jika kegiatan praktikan salah atau tidak
melakukan kegiatan yang sesuai dengan
indikator yang ada maka pada indikator
diberi nilai nol. Dengan pemberian nilai satu
dan nol tersebut maka diharapkan tidak
muncul lagi faktor subyektivitas dari penilai
terhadap praktikan.
9. SARAN
Penelitian dan pengembangan ini masih
terbatas pada penelitian dan pengembangan
instrumen asesmen kinerja praktikum saja
dan masih diterapkan pada pelaksanaan tes
(pengamatan hanya pada satu mahasiswa)
belum digunakan untuk penilaian yang
melibatkan mahasiswa beker-ja secara
kelompok sehingga perlu diuji-cobakan
untuk menilai mahasiswa yang bekerja
didalam kelompok. Selain itu asesmen yang
dibuat belum mencakup
asesmen

SEMNAS MIPA 2010

pemahaman materi yang diprakti-kumkan,


dan asesmen laporan praktikum sehingga
perlu
dikembangkan
penelitian
pengembangan untuk hal tersebut.
10. DAFTAR RUJUKAN
Borg, W.R. & Gall, M.D. 2001 Educational
Research. Boston: Pearson Education, Inc.
Druxes, Herbert. Et. Al. 1986. Kompendium
Didaktik Fisika, Bandung: CV Remaja Karya.
Glencoe. 1999.Alternate Assessment in The
Classrom. New York: Mc. Graw-Hill
Katalog FMIPA UM Jurusan Fisika, Edisi 2007.
Rahayu, S. 2002. Assmen Performansi Seba-gai
Kebutuhan Nyata Dalam Pembela-jaran Kimia,
Makalah Natinal Science Education Seminar,
FMIPA UM, 5 Agustus 2002.
Selcuk, G.S., Cahskan, S. , dan Erol, M. 2008.
The Effect of Problem Solving on Physics
Achievement, Problem Solving Performance and
Strategy Use.Lat. Am.J Phys.Educ. Vol 2. No. 3.
Sept 2008.
Sukmadinata, N. Y., 2005. Metode Peneli-tian
Pendidikan. Program. Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia dan PT Remaja
Rosdakarya
Vos, B.E. 2001. Alternative Assessment in K-12
Science Education
(http://www.enc.org/professional/research/journa
l/science/documents, diakses 12 Januari 2008.

FIS - 152

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP KALOR MELALUI


PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH BALI SISWA
KELAS VIII SMP DUA MALANG
Chusnana I.Y
Jurusan Fisika UM, Jl. Surabaya 6 Malang Email: Chusnana @yahoo.com

Abstrak
Pemahaman konsep kalor yang rendah bagi siswa kelas VIII SMP Darul Ulum Agung Malang (SMP
D'UA Malang) disebabkan banyak siswa masih dalam taraf hafalan terhadap materi fisika. Berdasarkan
kenyataan ini, ingin dilakukan perbaikan agar persoalan ini bisa diatasi melalui pembelajaran berdasarkan
masalah. Strategi pembelajaran ini mernberikan kaitan antara konsep yang abstrak dengan dunia nyata,
sehingga siswa diharapkan dapat memperoleh pemahaman konsep yang bermakna. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui adanya peningkatan pemahaman konsep kalor melalui Pembelajaran
Berdasarkan Masalah bagi siswa kelas VIII SMP DU'A Malang. Penelitian ini dilakukan pada bulan
September 2006 di SMP DU'A Malang. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII SMP DU'A Malang
yang terdiri dari 43 orang. Rancaangan penelitian menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas
(PTK) yang terdiri dari 2 siklus. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan
pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan pemahaman konsep kalor bagi siswa kelas VIII
SMP DU' A Malang.
Kata kunci : Pemahaman Konsep Kalor, pembelajaran berdasarkan masalah.

PENDAHULUAN
Kalor merupakan salah satu materi
yang dirasa sulit oleh siswa kelas VIII SMP
D'UA Malang. Hal ini dapat dilihat dari
hasil tes formatif. Mempelajari materi kalor
membutuhkan pemahaman konsep yang
kuat. Apabila konsep kalor yang diperoleh
dari bangku SMP adalah rendah, maka akan
menyulitkan siswa dalam mempelajari
materi kalor yang akan, (dipelajari dari
bangku SMA/jenjang yang lebih tinggi).
Di sisi lain kalor merupakan salah
satu materi Fisika yang menarik, karena
banyak gejala alam yang berhubungan
dengan konsep kalor.
Berdasarkan gejala/peristiwa alam
yang dapat diamati siswa dalam kehidupan
sehari-hari, maka siswa akan membangun,
dan membentuk konsep kalor.
Dengan demikian konsep-konsep
kalor yang bersifat abstrak, akan menjadi
mudah dipahami siswa, apabila guru
mengaitkan antara materi kalor dengan
dunia nyats/peristiwa alam, disekitar siswa.
Pembelajaran yang seperti itu dinamakan
dengan pembelajaran berdasarkan masalah
(Problem Based Learning), yaitu suatu
pendekatan pengajaran yang menggunakan
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks

SEMNAS MIPA 2010

bagi siswa untuk belajar tentang cara


berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah ( Nurhadi dkk, 2004).
Berdasarkan penjelasan di atas
disusun suatu rumusan masalah yaitu apakah
pembelajaran berdasarkan masalah dapat
meningkatkan pemahaman konsep kalor
siswa kelas VIII SMP D'UA Malang?
Tujuan
penelitian
ini
ingin
mengetahui
apakah
pembelajaran
berdasarkan masalah dapat meningkatkan
pemahaman konsep kalor siswa kelas VIII
SMP D'UA Malang.
LANDASAN TEORI
Pembelajaran berdasarkan masalah
merupakan salah-satu bentuk pembelajaran
yang
memberikan penekanan untuk
membantu siswa menjadi siswa yang
mandiri. Melalui bimbingan yang diberikan
secara berulang akan mendorong siswa
mengajukan
pertanyaan
mencari
penyelesaian terhadap masalah konkrit oleh
siswa sendiri atau menyelesaikan tugastugas tersebut secara mandiri (Ibrahim dan
Nur, 2000).
Peranan gura dalam pembelajaran
berdasarkan masalah adalah menyajikan

FIS - 153

masalah, mengajukan pertanyaan dan


memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Pembelajaran berdasarkan masalah biasanya
terdiri
dari
lima
tahapan
yaitu
memperkenalkan siswa dengan situasi
masalah, mengorganisasi siswa untuk
belajar, membimbing penyelidikan individu
maupun kelompok, mengembangkan dan
menyajikan hasil kerja, menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah
(Nurhadi dkk, 2004).
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
rancangan penelitian tindakan kelas yang
terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdiri
dari empat tahap yaitu perencanaan,
pelaksanaan, tindakan , observasi dan
refleksi.
Penelitian ini dilakukan di SMP D'UA
Malang Jl. Mayjen Sungkono No. 9 Malang.
Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII A
tahun pelajaran 2006/2007 dengan jumah
siswa sebanyak 43 orang.
Kegiatan penelitian dilakukan selama bulan
September 2006. Setiap siklus memerlukan
2 kali tatap muka ( 2x(2x50) menit).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum pelaksanaan kegiatan
penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan
lancar. Siswa kelihatan bersemangat dalam
mengerjakan LKS. Setiap kelompok siswa
melaksanakan percobaan sesuai prosedur.
Siswa berdiskusi secara kelompok dengan
serius. Setiap anggota kelompok aktif dan
berani
mengemukakan
pendapat.
Koordinasi antar anggota klompok cukup
bagus. Mereka bertanggungjawab terhadap
tugas yang diberikan. Guru berperan sebagai
fasilitator. Kendala yang diternukan adalah
siswa tidak berani tampil hal ini diatasi
dengan cara menunjuk salah satu kelompok
dan diberi bimbingan. Siswa diberi tugas
merangkum agar siswa lebih siap mengikuti
proses belajar mengajar yang sedang
berlangsung. Prosentase ketuntasan belajar
siswa pada setiap siklus tertera pada tatel
berikut.

SEMNAS MIPA 2010

Tabel 1. Prosetase Ketuntasan Belajar Siswa


Model
Pembelajaran

Ketuntasan Belajar
Ya

Pembelajaran 35,1% (15 siswa)


ceramah
Siklus I 67,4% (29 siswa)
Siklus II

1% (31 siswa)

Tidak
64,9% (28
siswa)
32,6% (14
siswa)
27,9% (12
siswa)

Berdasarkan tabel di atas dapat


dijelaskan bahwa prosentase ketuntasan
belajar siswa mengalami peningkatan
setelah diberi tindakan berupa penerapan
pembelajaran berdasarkan masalah dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa pemahaman
konsep kalor siswa VIII SMP D'UA Malang
dapat ditingkatkan melaluai penerapan
pembelajaran berdasarkan masalah.
Terjadinya peningkatan pemahaman
konsep kalor tersebut di atas disebabkan
oleh adanya keterlibatan siswa secara penuh
dalam belajarnya. Siswa secara kelompok
melaksanakan
kegiatan
percobaan,
mengerjakan tugas dan diskusi kelas.
Keterlibatan
siswa
tersebut
menggairahkan semangat belajar kemauan
siswa untuk belajar yang lebih baik adalah
sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam usaha
untuk memperoleh pemahaman konsep yang
lebih baik pada setiap belajarnya (Hernowo,
2007).
Hasil pemelitian ini didukung oleh
pendapat Arends (1991) yaitu bahwa
pembelajaran berdasarkan masalah sangat
efektif untuk mengembangkan berfikir ke
tingkat yang lebih tinggi dalam situasi yang
berorientasi pada masalah. Penelitian lain
yang mendukung hasil penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Tinurini
(2000) dalam Supramono (2002) yaitu
mengemukakan
bahwa
pembelajaran
berdasarkan masalah dapat meningkatkan
penguasaan siswa pada materi Kimia di
SMUN 2 Surabaya.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
penelitian ini adalah pemahaman konsep
kalor kalor siswa kelas VIII SMP D'UA
Malang
dapat
ditingkatkan
melalui
penerapan
pembelajaran
berdasarkan
masalah.

FIS - 154

DAFTAR PUSTAKA
Arends, R.I, 1997. Classroom Instruction and
Management. New York : Mc. Grow Hill
Companies. INC
Hernowo. 2007. Menjadi Guru Yang Mau Dan
Mampu Mengajar Secara Menyenangkan.
Bandung. Penerbit MLC.
Ibrahim, M dan Nur M, 2010. Pengajaran
Berdasarkan. Surabaya: Pusat Sains dan
Matematika Sekolah, Program Pasca Sarjana
UNESA, University Press.
Nurhadi Yasin, Burhan, Gerrad S. Agus 2004.
Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya
dalam KBK. Malang Penerbit UM.
Supramono,
2002.
Penerapan
Model
Perangkat Pembelajaran Berdasarkan Masalah
untuk
Meningkatkan
Konsepsi
dan
Keterampilan Berpikir SD. Makalah disajikan
dalamseminar kualifikasi desertasi program
S3 di PPS UM

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 155

PEMBELAJARAN DENGAN MEDIA LENSA CAIRAN


SEDERHANA UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL
BELAJAR FISIKA SISWA KELAS VIII DI SMPN 1 BEJI
Endrawati, S.Pd
Guru MIPA di SMP Negeri 1 Beji Pasuruan
Jl. Wicaksana Gunung gangsir kec. Beji Telp. (0343) 656140 Pasuruan
Email: endrawati_1963@yahoo.com

Abstract
One way to optimize the students result of motivation to learn physics is the use of instructional media.
Learning to use the media to provide a more meaningful experience for students because it can take
students on a more concrete experience. Instructional media used in this research is fluid lens media
made of light bulbs and wood. The purpose of this research is to describe the learning by using simple
fluid lens media to enhance motivation and the students result of learning physics.
Keywords: Learning, Media Lens Fluids Simple, Motivation, and Learning Outcomes

1. PENDAHULUAN
Proses belajar mengajar merupakan
suatu kegiatan melaksanakan kurikulum dari
suatu lembaga pendidikan agar dapat
mempengaruhi siswa mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan (Sudjana,
2009). Dalam mencapai tujuan pendidikan,
siswa berinteraksi dengan lingkungan
belajar yang telah diatur oleh guru yang
berupa tujuan pembelajaran, bahan ajar,
metode
pembelajaran
dan
asesmen
pembelajaran.
Proses
pembelajaran merupakan
proses komunikasi dan berlangsung dalam
suatu sistem, maka media pembelajaran
menempati posisi yang cukup penting
sebagai salah satu komponen sistem
pembelajaran. Tanpa media, komunikasi
tidak akan terjadi dan proses pembelajaran
sebagai proses komunikasi juga tidak akan
bisa berlangsung secara optimal (Santyasa,
2007).
Media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat menyalurkan pesan dari
pengirim ke penerima pesan sehingga dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian,
dan minat siswa sehingga terjadi proses
belajar. Menurut Sudjana (2009: 2) manfaat
media pembelajaran antara lain: 1)
pembelajaran akan lebih menarik perhatian
siswa sehingga dapat menumbuhkan
motivasi belajar, 2) Bahan pembelajaran
akan lebih jelas maknanya sehingga dapat
lebih
dipahami
oleh
siswa
dan
memungkinkan siswa menguasi tujuan
SEMNAS MIPA 2010

pembelajaran dengan lebih baik, 3) Metode


pembelajaran lebih bervariasi, tidak sematamata komunikasi verbal melalui penuturan
kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak
bosan, 4) Siswa lebih banyak melakukan
kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan
uraikan guru tetapi juga beraktifitas yang
lain seperti mengamati, melakukan dan
mendemonstrasikan dll.
Beberapa pendapat para ahli yang
menyatakan bahwa siswa akan lebih mudah
mempelajari hal yang kongkrit daripada
yang abstrak antara lain Bruner (1964),
mengemukakan bahwa dalam proses
pembelajaran hendaknya menggunakan
urutan dari belajar dengan gambaran atau
film (iconic representation of experiment)
Kemudian ke belajar dengan simbul,
yaitu menggunakan kata-kata (symbolic
representation). Dale membuat jenjang
konkrit-abstrak dengan dimulai dari siswa
yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata,
kemudian menuju siswa sebagai pengamat
kejadian nyata, dilanjutkan ke siwa sebagai
pengamat terhadap kejadian yang disajikan
dengan media, dan terakhir siswa sebagai
pengamat kejadian yang disajikan dengan
simbol.
Cahaya merupakan materi fisika yang
terdapat dalam kurikulum KTSP 2006. Akan
tetapi banyak siswa yang mengalami
kesulitan dalam memahami mengenai
pembiasan cahaya. Hal ini ditunjukkan
dengan ulangan harian fisika siswa di SMP
Negeri 1 Beji pada dua tahun untuk materi
FIS - 156

cahaya yang masih tergolong rendah. Hanya


36,6% dan 43% siswa yang mendapatkan
skor diatas KKM.
Pembelajaran kontekstual merupakan
salah satu pendekatan pembelajaran yang
bertujuan
memotivasi
siswa
untuk
memahami makna materi pelajaran yang
dipelajarinya dengan mengaitkan materi
tersebut dengan konteks kehidupan mereka
sehari-hari (Depdiknas,2002). Terdapat
tujuh komponen dalam pembelajaran
kontekstual yang dikemukakan oleh Nurhadi
dkk (2003:20) antara lain: 1) Merencanakan
pembelajaran sesuai dengan kewajaran
perkembangan mental (Developmentally
appropriate)
siswa,
2)
Membentuk
kelompok belajar yang saling tergantung
(Independent
learning
groups),
3)
Menyediakan lingkungan yang mendukung
pembelajaran mandiri (Self regulated
learning),
4)
Mempertimbangkan
keragaman siswa (Disversity of students), 5)
Memperhatikan multi-intelegensi (Multiple
intelligences) siswa, 6) Menggunakan
teknik-teknik bertanya (Questioning), 7)
Menggunakan penilaian autentik (Authentic
assessment).
Berdasarkan uraian diatas, rumusan
masalah dari penelitian
ini adalah
Bagaimana pembelajaran media lensa
cairan sederhana yang meningkatkan
motivasi dan hasil belajar siswa?.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendiskripsikan pembelajaran media lensa
cairan sederhana untuk meningkatkan
motivasi dan hasil belajar fisika.
2. METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan
kelas merupakan suatu pencermatan
terhadap kegiatan belajar berupa sebuah
tindakan, yang sengaja dimunculkan dan
terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.
Namun demikian, ada hal yang sangat perlu
dipahami bahwa penelitian tindakan kelas
bukan sekadar mengajar seperti biasanya,
tetapi harus mengandung suatu pengertian,
bahwa tindakan yang dilakukan didasarkan
atas upaya meningkatkan hasil, yaitu lebih
baik dari sebelumnya (Arikunto, 2008:2-3).
Penelitian ini dilakukan pada siswa
kelas VIII-C SMP Negeri 1 Beji. Materi
pada penelitian ini terbatas pada kompetensi

SEMNAS MIPA 2010

dasar 6.3 yaitu menyelidiki sifat-sifat cahaya


dan hubungannya dengan berbagai bentuk
lensa dan cermin.
Pada penelitian ini peneliti merupakan
instrumen utama. Peneliti berperan sebagai
perencana, pengamat, pengumpul data,
penganalisis data, penafsir data, dan pelapor
hasil penelitian. Oleh karena itu, kehadiran
peneliti di lapangan mutlak diperlukan
Selain itu, peneliti juga dibantu oleh
instrumen lain yaitu :
1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) ,
RPP yang digunakan dalam tindakan ini
dilakukan dalam 2 kali pertemuan, yaitu
pada
pertemuan
pertama
siswa
merangkai media lensa cairan sederhana,
sedangkan pada pertemuan kedua siswa
bereksperimen dengan menggunakan
media yang telah dibuatnya.
2. Lembar Kegiatan Siswa (LKS),
LKS yang digunakan oleh siswa hanya
pada pertemuan kedua yaitu saat siswa
melakukan eksperimen dengan media
lensa cairan.
3. Media Lensa Cairan Sederhana
Alat dan bahan yang digunakan untuk
membuat media lensa cairan antara lain:
3 bola lampu 5 watt, 2 potong kayu vasi
berukuran 15 cm dan 30 cm, laser,
macam-macam zat cair, mistar, lem dan
gunting.
Pada
penelitian
ini
diasumsikan
ketebalan bola lampu yang digunakan
untuk membuat media lensa cairan
sederhana diabaikan.
4. Soal Tes Siklus I,
Soal tes siklus I terdiri dari 15 soal
mengenai materi yang diajarkan yaitu
tentang
sifat-sifat
cahaya
dan
hubungannya dengan berbagai bentuk
lensa dan cermin.
5. Angket Motivasi Belajar Siswa.
Angket motivasi belajar siswa berisi dua
belas pernyataan yang harus diisi oleh
siswa.
6. Catatan Lapangan
Catatan lapangan berfungsi untuk
merekam seluruh kegiatan siswa mulai
dari tingkah laku, interaksi antar anggota
dan hal-hal yang berhubungan dengan
penelitian semua dicatat oleh peneliti.
Ada
beberapa
ahli
yang
mengemukakan model penelitian tindakan
FIS - 157

dengan bagan yang berbeda, namun secara


garis besar, terdapat empat tahapan yang
lazim dilalui, yaitu: (1) perencanaan; (2)
pelaksanaan; (3) pengamatan (observasi);
(4) refleksi (Arikunto, 2008:16).
Siklus tindakan dalam penelitian ini
meliputi:
1. Perencanaan
Pada tahap perencanaan, peneliti
menyusun RPP, LKS, Uji coba media
lensa cairan sederhan, dan membuat tes
siklus I.
2. Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal
20 dan 21 Mei 2010 dengan subjek
penelitian 30 siswa kelas VIII-C SMP
Negeri 1 Beji.
3. Pengamatan (observasi)
Pengamatan dilakukan selama proses
pembelajaran berlangsung. Pengamat
terdiri dari dua oarang teman sejawat
yang bertindak sebagai observer lain
selain peneliti, yang bertugas mengamati
dan mengisi lembar observasi motivasi
belajar
siswa,
selama
proses
pembelajaran
4. Refleksi.
Dari hasil pengamatan terhadap proses
pembelajaran dan hasil belajar siswa,
peneliti mencari kekurangan dan
kelebihan selama proses pembelajaran
siklus I berlangsung.
Tahap-tahap
dalam
penelitian
tindakan kelas ini, dapat dilihat pada Bagan
1 berikut
Perencanaan
SIKLUS I

Refleksi

Batasan
(rata-rata skor yang
diperoleh)
0 Skor < 1
1 Skor < 2

Kriteria

Kurang
Sedang

Skor < 3

Baik

Skor < 4

Baik Sekali

3. HASIL
Pelaksanaan RPP pada pertemuan I
pada tanggal 20 mei 2010 tergolong cukup
lancar. Diluar perkiraan peneliti, ternyata
para siswa cekatan dalam membuat media
lensa cairan sederhana. Berbagai macam
temuan pada pelaksanaan RPP di pertemuan
pertama antara lain:
1. Sebagian
besar
siswa
membawa
alat/bahan yang digunakan untuk
membuat media lensa cairan sederhana.
2. Terdapat beberapa kelompok yang
mengalami masalah dengan media yang
dibuat, karena kurang berhati-hati dalam
proses pembuatan.
3. Kerjasama siswa dalam membuat media
bagus, siswa putra bertugas merakit
media sedangkan siswa putri menyiapkan
peralatan yang dibutuhkan untuk merakit
media tersebut.

4. Pada umumnya kelompok yang lebih


dahulu telah selesai membuat media
lensa cairan akan berkeliling untuk
Pelaksanaan menggangu proses pembuatan media.

Pengamatan

Bagan 1. Siklus Penelitian Tindakan


Kelas
Indikator
keberhasilan
dalam
penelitian ini didasarkan pada hasil dari skor
tes siklus I sekurang-kurangnya 75% siswa
memperoleh hasil diatas KKM yaitu 75 dan
angket motivasi belajar siswa menunjukkan
SEMNAS MIPA 2010

respon yang positif. Berikut ini adalah


Kriteria batasan penilaian angket motivasi
siswa:
Tabel 1 Kriteria batasan penilaian angket
motivasi siswa

5. Pelaksanaan RPP I sudah sesuai dengan


yang direncanakan.
Pelaksanaan RPP pertemuan kedua
dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 2010.
Pada pertemuan kedua terdapat beberapa
temuan diantaranya:
1. Pada saat Introduction ( Guru melakukan
demonstrasi yaitu memperiihatkan gelas
berisi air, kemudian memasukkan pensil.
Kemudian meminta siswa mengamati
pensil tersebut. Selanjutnya menanyakan
kepada siswa mengapa hal tersebut bisa
FIS - 158

terjadi?) terdapat respon siswa yang


mengungkapkan hal lain yaitu Bu, hal
tersebut juga terjadi ketika saya
memasukkan tangan saya ke air
2. Pada saat siswa bereksperimen dengan
media lensa cairan sederhana, mereka
terlihat antusias dan bersemangat.
3. Saat pengisian cairan pada bola lampu,
beberapa bola lampu dari kelompok
pecah. Padahal bola lampu yang tersedia
terbatas, sehingga eksperimen tidak
terselesaikan.
Berdasarkan
hasil
pengamatan
peneliti selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, peneliti menyimpulkan bahwa
untuk pelaksanaan siklus I secara
keseluruhan sudah cukup baik.Hal ini
didasarkan hasil refleksi siswa
yaitu
sebagian besar
siswa
senang dan
berpendapat bahwa dengan menggunakan
media lensa cairan sederhana belajar
mengenai pembiasan cahaya menjadi lebih
mudah. Observasi lain dilakukan oleh 2
orang observer, yaitu didapatkan skor 3,1
dan 3,3 dengan kata lain tergolong kategori
Baik sekali.
Skor
hasil tes
yang telah
dilaksanakan menunjukkan bahwa 23 siswa
memperoleh skor diatas 75. Ini berarti
76,6% siswa
mendapatkan skor diatas
KKM. Berdasarkan analisis data yang
diuraikan di atas, disimpulkan bahwa
tindakan I telah mencapai kriteria
keberhasilan, baik dari segi proses maupun
hasil.
4. PEMBAHASAN
Pembelajaran fisika materi Cahaya
akan lebih mudah untuk dipelajari oleh
siswa apabila guru menggunakan media
lensa cairan sederhana dalam pembelajaran.
Hal ini sejalan dengan pendapat Brown
dalam Sudrajat (2008) yang menyatakan
bahwa media pembelajaran yang digunakan
dalam
kegiatan
pembelajaran
dapat
mempengaruhi
terhadap
efektivitas
pembelajaran.
Penerapan pembelajaran dengan
media lensa cairan sederhana dilakukan
dengan tiga tahap kegiatan pada setiap
pertemuannya, yaitu kegiatan awal, kegiatan
inti dan kegiatan akhir dengan menggunakan
SEMNAS MIPA 2010

langkah-langkah ICARE (Introduction,


Connection,Aplication,
Reflektion,
Extention).
Terdapat beberapa hambatan dalam
pelaksanaan pembelajaran dengan media
lensa cairan sederhana yaitu:
1. Bola lampu yang digunakan banyak yang
rusak saat digunakan eksperimen, karena
siswa kurang berhati-hati dalam mengisi
cairan ke dalam bola lampu.
2. Pada saat pembuatan media beberapa
kelompok mengalami kesulitan dalam
mengeluarkan isi dari bola lampu.
Berdasarkan
hambatan-hambatan
yang terjadi dalam proses pembelajaran,
peneliti memberikan solusi dari hambatan
tersebut yaitu:
1. Memberikan peringatan kepada siswa
untuk berhati-hati pada saat pengisian
cairan ke dalam bola lampu.
2. Memberikan tips-tips kepada siswa
mengenai cara mengeluarkan isi dari bola
lampu agar bola lampu tetap utuh.
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan
pembahasan yang telah diuraikan, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Penggunaan
media
lensa
cairan
sederhana dalam pembelajaran dapat
meningkatkan motivasi dan hasil belajar
siswa.
2. Media lensa cairan sederhana dapat
dijadikan alternatif media pembelajaran
untuk materi Cahaya.
5.2. Saran
Dari temuan hasil penelitian ini, dapat
disarankan sebagai berikut:
1. Guru perlu memperingatkan siswa untuk
berhati-hati
dalam
membuat
dan
menggunakan media lensa cairan
sederhana.
2. Tiap kelompok perlu untuk menyediakan
1 bola lampu cadangan.
3. Guru mengontrol kondisi kelas secara
intensif selama proses pembelajaran
berlangsung.

FIS - 159

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi,
Suhardjono
dan
Supardi.2008.Penelitian
Tindakan
Kelas.Jakarta:Bumi Aksara
Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual
dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM
Press
Santyasa, I Wayan. 2007. Landasan Konseptual
Media Pembelajaran. Makalah Disajikan
dalamWorkshop Media Pembelajaran bagi GuruGuru SMA Negeri Banjar Angkan.
Sudjana.Nana, Rivai .2009. Media Pengajaran.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sudrajat, Akhmad. 2008. Media Pembelajaran.
(Online)
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/1
2/media-pembelajaran/) diakses 20 juni 2010.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 160

PENERAPAN BEBERAPA TEKNIK PEMBELAJARAN AKTIF


TERMODIFIKASI PADA PERKULIAHAAN TERMODINAMIKA
UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN
KETERAMPILAN BERBAHASA INGGRIS MAHASISWA
1

Hartatiek1
Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang
2
J. Semarang 5 Malang 65141
Telp : (0341)552125, Fax : (0341) 559577
E-mail : hartatiek.phys@um.ac.id

Abstract
Pembelajaran pasif satu arah kurang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
berperan aktif dalam pembelajaran. Selain itu, keterampilan (softskills) seperti kerjasama, kemandirian,
komunikasi, berpikir kritis dan problem-solving kurang mendapat porsi untuk dilatihkan, pada hal
keterampilan tersebut juga sangat diperlukan mahasiswa kelak dalam dunia kerja. Tujuan penelitian ini
adalah mengkaji dampak penerapan pembelajaran aktif termodifikasi terhadap peningkatan hasil belajar
dan keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa, sebagai softskills yang dilatihkan.
Penelitian ini dilakukan dengan rancangan the one group pretest-posttest design. Subyek
penelitian adalah mahasiswa prodi Pendidikan Fisika kelas SBI yang sedang menempuh matakuliah
Termodinamika pada semester ganjil 2010/2011 sebanyak 24 orang. Pada subjek diberikan pretest
sebelum perlakuan dan posttest setelah perlakuan. Bentuk perlakuannya adalah penerapan beberapa
teknik pembelajaran aktif termodifikasi yang meliputi Collaborative Learning Groups, Studentled
Review Session, Writing Activities. Hasil pretest memperoleh skor rata-rata 42,5 dengan ketuntasan 4,2%
sedangkan posttest memperoleh skor rata-rata 64,58 dengan ketuntasan 45,83%. Hasil belajar
menunjukan peningkatan 22,08% dan gain ternomalisasi rata-rata 0,4, artinya meningkat pada
klasifikasi medium. Ketuntasan belajar meningkat sebesar 41,63%, artinya secara keseluruhan
mahasiswa belum mengalami ketuntasan belajar. Pembelajaran aktif direspon positif oleh mahasiswa
dengan dukungan 86,67% dapat melatih keterampilan komunikasi dengan bahasa Inggris; 93,33% dapat
melatih keterampilan menulis dalam bahasa Inggris dan 80% dapat melatih keterampilan memahami teks
berbahasa Inggris.
Penelitian ini memberikan kesimpulan: (1) Penerapan pembelajaran aktif termodifikasi
berdampak positif terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa, dengan peningkatan pada klasifikasi
medium; (2) Penerapan pembelajaran aktif termodifikasi berdampak positif terhadap peningkatan
keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa. Hasil belajar mahasiswa dapat meningkat lebih optimal,
apabila buku teks berbahasa Inggris menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Selain itu latihan
berbahasa Inggris sesogyanya dilakukan berkesinambungan dalam perkuliahan.
Keywords: pembelajaran aktif, hasil belajar, keterampilan berbahasa Inggris

1. PENDAHULUAN
Matakuliah termodinamika
merupakan
matakuliah wajib yang ada di Jurusan Fisika
FMIPA UM. Matakuliah ini di-berikan pada
semester ke-4 dengan bobot 3 sks,
dimaksudkan agar mahasis-wa memahami
konsep,
kaidah
dan
hukum-hukum
termodinamika dan mampu menerapkan
serta menganalisis masalah-masalah yang
terkait yang ditemui dalam kehidupan
sehari-hari (katalog MIPA,2009).
Kenyataan di lapangan menun-jukkan,
dalam perkuliahan banyak mahasiswa yang
SEMNAS MIPA 2010

pasif dalam arti mahasiswa lebih banyak


mendengarkan, mencatat dan hanya sedikit
(10%) yang mau bertanya. Sementara dalam
dunia kerja, selain kemampuan kognitif
dibutuhkan keterampilan lain (sofskills)
yang dapat menunjang keberhasilan
seseorang
seperti
keprofesionalan,
kepemimpinan, kemandirian, kreativitas,
kerjasama, inisiatif, komunikasi, berpikir
kritis dan problem-solving. Sementara
pembelajaran tradisional yang lebih banyak
dilakukan dengan satu arah, kurang
memfasilitasi berkembangnya soft skills ini.
Mengingat pentingnya softskill ini, maka
kemampuan ini perlu dilatihkan kepada
FIS - 161

mahasiswa dalam pembelajaran tanpa


mengurangi kemam-puan fisikanya. Untuk
mahasiswa kelas SBI, softskills yang
dilatihkan difokus-kan pada keterampilan
berbahasa inggris, mengingat mahasiswa
kelas ini kelak dipersiapkan untuk mengajar
sekolah RSBI. Keterampilan ini hanya bisa
dilatihkan, apabila mahasiswa diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk berperan
aktif dalam pembelajaran.
Hasil-hasil
penelitian
terdahulu
menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan
pembelajaran tradisional (kuliah satu arah),
pembelajaran aktif ini memberikan peluang
bagi mahasiswa untuk dapat menyerap lebih
banyak materi pelajaran, mengingat dan
memahami lebih lama, dan yang terpenting
adalah menyukai aktivitas belajar itu sendiri
(Ramdhani, 2008). Meyer & Jones (1993)
mengemukakan bahwa pada pembelajaran
aktif terjadi aktivitas berbicara dan
mendengar, menulis, membaca, dan refleksi
yang menggiring ke arah pemaknaan
mengenai isi pelajaran, ide-ide, dan berbagai
hal yang berkaitan dengan satu topik yang
sedang dipelajari. Selain itu telah banyak
ditemukan bahwa kualitas pembelajaran
akan meningkat jika para mahasiswa peserta
proses pembelajaran memperoleh kesempatan yang luas untuk bertanya, diskusi, dan
menggunakan secara aktif pengetahuan baru
yang diperoleh (Samadhi, 2008).
Berdasarkan uraian tersebut dirumuskan
masalah:(1) Seberapa besar dampak
penerapan beberapa teknik pembelajaran
aktif termodifikasi terhadap peningkatkan
hasil belajar mahasiswa pada matakuliah
termodinamika ? (2) Apakah penerapan
beberapa
teknik
pembelajaran
aktif
termodifikasi
dapat
meningkatkan
keterampilan berbahasa Inggris mahasiswa?
2. KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran aktif adalah segala bentuk
pembelajaran
yang
memungkinkan
mahasiswa berperan secara aktif dalam
proses pembelajaran itu sendiri baik dalam
bentuk interaksi antar mahasiswa maupun
mahasiswa dengan pengajar.
Bonwell (1995) mengemukakan, bahwa
pembelajaran aktif memiliki karakteristik

SEMNAS MIPA 2010

antara lain: (1) Penekanan proses


pembelajaran bukan pada penyam-paian
informasi oleh pengajar, melainkan pada
pengembangan keterampilan pemikiran
analitis dan kritis terhadap topik atau
permasalahan yang dibahas; (2) Mahasiswa
tidak hanya mendengarkan kuliah secara
pasif tetapi mengerjakan sesuatau yang
dibekaitan dengan materi kuliah; (3)
Penekanan pada ekplorasi nilai-nilai dan
sikap-sikap berkenaan dengan materi kuliah;
(4) Mahasiswa lebih banyak dituntut untuk
berpikir kritis, menganalisis dan melakukan
evaluasi; dan (5) Umpan balik yang lebih
cepat akan terjadi pada proses pembelajaran.
Disamping karakteristik tersebut, secara
umum suatu proses pembelajaran aktif
memungkinkan diperolehnya beberapa hal
yaitu: (1) interaksi yang timbul selama
proses pembelajaran akan menimbulkan
positive interdepedence dimana konsolidasi
pengetahuan yang dipelajari hanya dapat
diperoleh secara bersama-sama melalui
eksplorasi aktif; (2) Setiap individu harus
terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan
pengajar harus bisa mendapatkan penilaian
untuk setiap mahasiswa sehingga terdapat
individual accountability; (3) Proses
pembelajaran aktif dapat berjalan dengan
efektif diperlukan kerjasama yang tinggi
sehingga akan memupuk social skills.
Dengan demikian kualitas pembelajaran
dapat ditingkatkan sehingga penguasaan
materi juga meningkat.
Beberapa teknik pembelajaran aktif antara
lain: (1) Collaborative Learning Groups.
Pada cara ini dibentuk kelompok yang
terdiri dari 4-5 mahasiswa yang dapat
bersifat tetap sepanjang semester atau
bersifat jangka pendek untuk satu pertemuan
kuliah. Untuk setiap kelompok dibentuk
ketua kelompok dan penulis. Kelompok
diberikan tugas untuk membahas bersama
dimana seringkali tugas ini berupa pekerjaan
rumah yang diberikan sebelum kuliah
dimulai. Tugas ini yang kemudian harus
diselesaikan bisa dalam bentuk makalah atau
catatan singkat. (2) Studentled Review
Session. Dengan cara ini pada bagian
pertama kuliah kelompok-kelompok kecil
mahasiswa diminta untuk mendiskusikan
hal-hal yang dianggap belum dipahami dari
materi tersebut
dengan
mengajukan
FIS - 162

pertanyaan-pertanyaan dan mahasiswa yang


lain menjawabnya. Jika teknik ini
digunakan, peran pengajar diberikan kepada
mahasiswa. Pengajar hanya bertindak
sebagai nara sumber dan fasilitator. (3)
Exam
Questions
Writing.
Untuk
mengetahui apakah mahasiswa sudah
menguasai materi kuliah tidak hanya
diperoleh dengan memberikan ujian atau tes.
Meminta setiap mahasiswa untuk membuat
soal ujian atau tes yang baik dapat
meningkatkan
kemampuan
mahasiswa
mencerna materi kuliah yang telah diberikan
sebelumnya. Pengajar secara langsung bisa
membahas dan memberi komentar atas
beberapa soal yang dibuat oleh mahasiswa
di depan kelas dan/atau memberikan umpan
balik.
Dengan mengacu pada materi/bahan ajar
termodinamika, kondisi mahasiswa dan
waktu yang tersedia untuk perkuliahan (150
menit), dipilih beberapa teknik pembelajaran
aktif yang dipadukan dalam satu perkuliahan
dengan sedikit modifikasi. Beberapa teknik
yang dipilih adalah Collaborative Learning
Groups, Studentled Review Session, Exam
Questions Writing.
Pada awal perkuliahan kepada mahasiswa
dijelaskan tentang metode pembelajaran
aktif yang dipilih, apa peran mahasiswa
selama proses pembelajaran dan cara
evaluasi yang dilakukan.
Collaborative Learning Groups, mahasiswa
dibagi dalam kelompok-kelompok yang
terdiri dari 4-5 orang. Setiap kelompok
diberi materi perkuliahan yang telah
ditetapkan oleh pengajar (sebagai tugas
kelompok).
Tugas
setiap
kelompok
membahas secara kelompok dan hasilnya
berupa makalah/rangkuman tentang materi
sebagai
pekerjaan
rumah
sebelum
perkuliahan dimulai.
Studentled Review Session, pada bagian ini
setiap kelompok telah siap dengan makalah
masing-masing sebagai tugas kelompok
untuk materi yang sama. Salah satu
kelompok
yang
telah
ditetapkan
sebelumnya, diberi kesempatan untuk
memberikan review/presentasi
tentang
materi yang telah didiskusikan dalam
kelompok kecil. Dari proses presentasi ini
SEMNAS MIPA 2010

akan muncul sejumlah permasalahan tentang


konsep-konsep yang kurang dipahami. Hal
inilah modifikasi yang dimaksudkan. Jadi
bukan masalah dimunculkan dulu, tetapi
berdasarkan presentasi yang dilakukan
kelompok yang telah ditetapkan akan
memunculkan
pertanyaan-pertanyaan.
Kelompok penyaji diberi kesempatan
menjawab pertanyaan lebih dulu, apabila
tidak bisa menjawab, mahasiswa lain diberi
kesempatan
untuk
menjawab/mengemukakan
pendapatnya.
Presentasi dilakukan dengan bahasa Inggris,
demikian juga pertanyaan disampaikan
dalam bahasa Inggris. Hal ini dimaksudkan
untuk melatih ketrampilan berbahasa
Inggris.
Pengajar
bertindak
sebagai
fasilitator/narasumber
bertugas:
mengarahkan jalannya diskusi, memberikan
penilaian individual kepada yang presentasi,
mengamati mahasiswa yang aktif dan
memberikan penilain, memberikan review
pada akhir perkuliahan sebagai penguatan
konsep-konsep
yang
benar
kepada
mahasiswa.
Exam Questions Writing, untuk mengetahui
apakah mahasiswa telah menguasai matari
kuliah, sekitar 20-30 menit sebelum
perkuliahan berakhir kepada mahasiswa
diberikan 2-3 pertanyaan tentang materi
yang didiskusikan dalam bahasa inggris.
Jawaban ditulis secara individu bisa dalam
bahasa Indonesia maupun dalam bahasa
Inggris dan dikumpulkan untuk dinilai.
Pada pertemuan berikutnya hasilnya
dibagikan dan diberikan umpan balik.
Modifikasi yang dilakukan adalah bukan
menulis pertanyaan tentang materi yang
didiskusikan tetapi menjawab pertanyaan
tentang konsep-konsep penting yang
didiskusikan untuk mengetahui sejauh mana
konsep-konsep penting telah dipahami oleh
mahasiswa. aktivitas ini dimodifikasi dengan
istilah writing activities, karena melatih
mahasiswa untuk menulis jawaban dalam
bahasa Inggris.
Melalui tiga teknik pembelajaran aktif yang
dipadukan dalam satu kesatuan perkuliahan
tatap muka secara berurutan ini (dengan
sedikit revisi),
diharapkan aktivitas
pembelajaran lebih dinamis, mahasiswa
tidak pasif mendengarkan dan mencatat
tetapi berperan aktif dalam menggali semua
FIS - 163

materi/konsep.
Mahasiswa
menjadi
bertanggung jawab atas hasil belajar yang
ingin dicapai. Melalui teknik pembelajaran
aktif ini mahasiswa memperoleh penilaian
dari: (1) membuat makalah/rangkuman
kelompok, (2) presentasi individual dengan
bahas inggris , (3) aktivitas dalam diskusi,
(4) writing activities dengan soal berbahasa
inggris. Sedangkan posttest dilaksanakan
pada tengah semester. Dengan cara evaluasi
seperti ini, mahasiswa juga mendapat porsi
penilaian di proses, sehingga diharapkan
mahasiswa dapat menggunakan keadaan ini
untuk memperoleh hasil belajar yang lebih
baik.

rentang dari 0 100. Data dianalisis dengan


menghitung skor minimal, skor maksimal,
skor rata-rata dan ketuntasan belajar.

Selain itu melalui teknik pembelajaran aktif


ini
keterampilan
berbahasa
Inggris
mahasiswa dapat dilatihkan yakni: (1)
melatih memahami teks berbahasa Inggris
dalam
aktivitas
membuat
rangkuman/makalah kelom-pok, writting
test, dan writting activities; (2) melatih
komunikasi dalam bahasa Inggris dalam
aktivitas presentasi individual, bertanya
dalam diskusi; (3) melatih menulis dalam
bahasa Inggris dalam aktivitas menjawab
writting activities dalam bahasa Inggris.

Klasifikasi

3. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
dilaksanakan
dengan
rancangan the one group pretest-posttest
design
(Tuckman,
1987). Penelitian
eksperimen tanpa kelompok kontrol dan
pretest-posttest dilakukan dalam satu
kelompok . Subyek penelitian adalah
mahasiswa prodi Pendidikan Fisika kelas
SBI yang sedang menempuh matakuliah
Termodinamika pada semester ganjil
2010/2011 sebanyak 24 orang. Pada subjek
diberikan pretest sebelum perlakuan dan
posttest
setelah
perlakuan.
Bentuk
perlakuannya adalah penerapan beberapa
teknik pembelajaran aktif termodifikasi
yang meliputi: Collaborative Learning
Groups, Studentled Review Session, Writing
Activities.
Data hasil belajar berupa skor hasil belajar
diperoleh dengan memberikan tes meliputi :
pretest, tes harian dan posttest. Soal tes
berbentuk
essay,
dimaksudkan agar
mahasiswa dapat memberikan penjelasan
yang lebih rinci. Skor hasil belajar memiliki

SEMNAS MIPA 2010

Peningkatan hasil belajar mahasiswa dapat


diketahui dengan membandingkan skor
rata-rata pretest dan postest. Untuk
mengetahui
seberapa
besar
tingkat
peningkatan skor tersebut ditentukan gain
ternormalisasi rata-rata, yaitu gain rata-rata
aktual dibagi dengan gain rata-rata aktual
maksimum yang mungkin, dengan rumus
berikut (Hake, R. 1988).

% gain
% gain max

% posttest % pretest
100 % pretest

peningkatan

hasil

belajar

ditandai oleh besarnya g , yakni:


g tinggi jika terdapat g lebih besar
daripada 0,7
g medium jika terdapat g antara 0,3
sampai dengan 0,7
g rendah jika terdapat g lebih kecil
daripada 0,3
Penerapan pembelajaran aktif dapat
meningkatkan
keterampilan
berbahasa
Inggris direspon secara positif oleh
mahasiswa apabila pilihan jawaban sangat
setuju dan setuju melebihi 50% (Ubaya,
2005). Angket respon pembelajaran aktif
meliputi aspek: 1) pembelajaran aktif
melatih keterampilan komunikasi dengan
bahasa Inggris; 2) pembelajaran aktif
melatih keterampilan menulis dalam bahasa
Inggris; 3) pembelajaran aktif melatih
keterampilan memahami teks berbahasa
Inggris.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Belajar Mahasiswa
Hasil belajar mahasiswa setelah mengikuti
pembelajaran aktif selama 4 pertemuan
dengan pokok bahasan : Konsep-konsep
Dasar
Termodinamika,
Sistem
Termodinamika Sederhana, Kerja dan Kalor,
Hukum I Termodinamika, disajikan pada
Tabel 1 berikut.

FIS - 164

Tabel 1 Hasil Belajar Mahasiswa Prodi


Pendidikan
Fisika
pada
Matakuliah Termodinamika
Statistik

Pretest Posttest

Skor
minimal
Skor
maksimal
Skor
rata-rata
Ketuntasan

Peningk Gain
atan
Score
2%

10

12

70

96

26 %

42.5

64,58

22,08 %

4,2%

0,4

45,83% 41,63%

Dari Tabel 1 tampak bahwa hasil belajar


mahasiswa pada matakuliah termodinamika
secara kelompok mengalami peningkatan.
Skor maksimal mengalami peningkatan
26%; skor minimal 2%, skor rata-rata
22,08%, dan ketuntasan belajar 41,63%.
gain score ternormalisasi rata-rata diperoleh
sebesar 0,4 yang termasuk pada kategori
medium. Hal ini dapat diartikan bahwa
pembelajaran aktif dapat meningkatkan hasil
belajar
mahasiswa
pada
matakuliah
termodinamika dengan besar peningkatan
pada klasifikasi medium.
Berdasarkan
penilaian
pada
proses
pembelajaran (sotfskills) yang meliputi:
membuat makalah/rangkuman kelompok
(kerjasama),
presentasi
individual
(komunikasi), dan partisipasi aktif dalam
diskusi hasilnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Data Softskills Mahasiswa pada
Perkuliahan Termodinamika
Softskills

Kerjasama
Komunikasi
Partisipasi
aktif

Skor
Minim
al
79,6
70
50

Skor
Maksi
mal
90,5
85
85

Skor
Ratarata
83,4
78
60,8

Nilai
Huruf
AB+
C

Dari Tabel 2 tampak bahwa secara


kelompok
keterampilan
kerjasama
mahasiswa memperoleh skor rata-rata 83,4
atau memperoleh nilai A-. Ketrampilan
komunikasi dengan skor rata-rata 78 atau
memperoleh nilai B+. Partisipasi aktif dalam
diskusi memperoleh skor rata-rata 60,8
atau memperoleh nilai C. Dari tiga
keterampilan
(softskills)
yang
dilatihkan/dinilai
selama pembelajaran
aktif, keterampilan kerjasama memperoleh
nilai tertinggi, hal ini mungkin disebabkan
SEMNAS MIPA 2010

karena
mahasiswa
telah
terbiasa
mengerjakan tugas secara kelompok. Skor
terendah diperoleh pada partisipasi aktif
dalam diskusi dengan nilai C, hal ini
mungkin disebabkan mahasiswa kurang siap
dengan pembelajaran aktif.
Meskipun
semua mahasiswa diberi kesempatan yang
sama unuk bertanya, mengemukakan
pendapat atau menjawab pertanyaan, tetapi
hanya
sebagian
kecil
yang
mau
menggunakan kesempatan ini. Kebanyakkan
mahasiswa mungkin masih terbiasa belajar
dengan mendengarkan, mencatat dan
kemudian tes. Untuk mengubah kebiasaan
belajar pasif ke pembelajaran aktif mungkin
perlu waktu yang memadai.
Peningkatan hasil belajar mahasiswa pada
matakuliah termodinamika secara kelompok
berada pada klasifikasi medium, artinya
meskipun meningkat tetapi belum tinggi
hanya sebesar 22,08% dengan skor rata-rata
64,58 yang berada pada nilai B-. Apabila
dilihat
secara
individual
terdapat
peningkatan skor minimal dari 10 menjadi
12 meningkat 2%, artinya mahasiswa pada
kelas
bawah
belum
memperoleh
peningkatan nilai yang signifikan. Untuk
skor maksimal mengalami peningkatan dari
70 menjadi 96 meningkat
26%.
Skor
maksimal mengalami peningkatan yang
signifikan artinya dari nilai B menjadi A.
Hasil belajar yang belum optimal mungkin
disebabkan mahasiswa masih kesulitan
memahami materi dari buku
acuan
berbahasa Inggris, meskipun mereka kelas
SBI. Oleh karena itu pemilihan buku teks
dengan bahasa yang mudah dipahami
mahasiswa juga menentukan keberhasilan
belajarnya.
Peningkatan hasil belajar mahasiswa pada
matakuliah termodinamika ini diikuti oleh
keterampilan (softskills) mahasiswa dalam
kerjasama, komunikasi dan partisipasi aktif
dalam pembelajaran. Hasil penilaian pada
ranah softskills ini dapat melengkapi hasil
belajar pada ranah kognitif. Oleh karena itu
nilai akhir (NA) untuk menentukan
kelulusan mahasiswa adalah gabungan dari
nilai pada ranah kognitif dan ranah softskills
ini. Dengan menerapkan beberapa teknik
pembelajaran aktif seperti Collaborative
Learning Groups, Studentled Review
Session, dan Writing Activites memberikan
FIS - 165

peluang kepada mahasiswa untuk berperan


secara aktif dalam proses pembelajaran dan
bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
4.2 Keterampilan
Mahasiswa

Berbahasa

Inggris

Selain bertujuan meningkatkan hasil belajar,


pembelajaran aktif juga bertujuan untuk
melatih keterampilan berbahasa Inggris
mahasiswa. Untuk mengetahui dampak
pembelajaran aktif terhadap peningkatan
keterampilan berbahasa Inggris, disebarkan
angket kepada mahasiswa. Hasil respon
mahasiswa terhadap pembelajaran aktif
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Respon Mahasiswa pada
Pembelajaran Aktif
Aspek
dinilai

yang Skala (%)


1
2
3

Respon
Positif
(%)
86,67

Pembelajara 0 13,33 40 46,67


n aktif
melatih
keterampilan
komunikasi
dengan
bahasa
Inggris
Pembelajara 6,67 0 73,33 20 93,33
n aktif
melatih
keterampilan
menulis
dalam bahasa
Inggris
Pembelajara 0 20 33,33 46,67 80
n aktif
melatih
keterampilan
memahami
teks
berbahasa
Inggris

Keterangan: Skala 1 kurang setuju; 2 cukup


setuju; 3 setuju; 4 sangat setuju
Dari Tabel 3 tampak bahwa pembelajaran
aktif direspon positif oleh mahasiswa,
karena
dapat
melatih
keterampilan
komunikasi
dengan
bahasa
Inggris
memperoleh dukungan sebesar 86,67%;
melatih keterampilan menulis dalam bahasa
Inggris memperoleh dukungan sebesar
93,33%, melatih keterampilan memahami
teks berbahasa memperoleh dukungan
sebesar 80%. Dengan demikian dapat
SEMNAS MIPA 2010

dikatakan bahwa pembelajaran aktif dapat


meningkatkan
keterampilan
berbahasa
Inggris mahasiswa karena dari ketiga
komponen keterampilan berbahasa Inggris
memperoleh dukungan lebih dari 50%
mahasiswa. Respon positif ini akan
berdampak pada peningkatan keterampilan
berbahasa Inggris mahasiswa. Keterampilan
berbahasa inggris akan meningkat apabila
mahasiswa diberi kesempatan sebanyakbanyak untuk berlatih. Pemilihan metode
pembelajaran aktif ini ternyata sesuai untuk
melatih keterampilan bahasa Inggris
mahasiswa.
5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penilitian
disimpulkan hal-hal berikut:

ini

dapat

(1)Penerapan
beberapa
teknik
pembelajaran aktif
termodifikasi
berdampak
positif
terhadap
peningkatan hasil belajar mahasiswa
pada matakuliah termodinamika.
Hasil belajar mahasiswa mengalami
peningkatan sebesar 22,08% , atau
gain ternormalisasi rata-rata 0,4
artinya meningkat pada klasifikasi
medium.
(2)Penerapan
beberapa
teknik
pembelajaran aktif termodifikasi
dapat
melatih
keterampilan
komunikasi dengan bahasa Inggris
mendapat respon positif
sebesar
86,67%
mahasiswa;
melatih
keterampilan menulis dalam bahasa
Inggris mendapat respon positif
sebesar 93,33% mahasiswa dan
melatih keterampilan memahami teks
berbahasa Inggris mendapat respon
positif sebesar 80% mahasiswa.
(3)Penerapan
beberapa
teknik
pembelajaran aktif termodifikasi
dapat meningkatkan keterampilan
berbahasa Inggris mahasiswa.
5.2 Saran
(1) Agar
peningkatan
hasil
belajar
mahasiswa lebih optimal disarankan
dalam pemilihan buku teks lebih
FIS - 166

menekankan pada buku dengan bahasa


yang mudah dipahami.
(2) Untuk melatih keterampilan berbahasa
Inggris
seyogyanya
menerapkan
pembelajaran
aktif
ini
secara
berkesinambungan.
6 DAFTAR RUJUKAN
Bonwell, C.C. 1995. Active Learning: Creating
Exitement in Classroom. Washington, DC:
George Washington University.
Fink, L.D. 2003. Creating Significant Learning
Experinces; An Integrated Approach
to
Designing College Courses. San fransisco:
Jossey Bass, A Wiley Imprint.
Hake, R. 1988. Interactive-engagement vs
traditional methods: a six-thousand-student
survey of mechanics tes data for introductory
physics courses. Am. J, phys. 64-74.
Samadhi, A. 2008. Pembelajaran Aktif. Makalah
dalam Teaching improvement Workshop.
Sukmadinata, N. S., 2005. Metode Penelitian
Pendidikan. Program. Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Tuckman, Bruce W. 1987. Conducting
Educational Research (second edition). New
York: harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Ubaya, 2006. Panduan Pelaksanaan kegiatan dan
sistem Evaluasi HPKP SMA 2006.
. 2009. Katalog FMIPA UM:
Jurusan Fisika edisi 2009 . Malang: FMIPA
Universitas Negeri Malang.
Zemansky, M.W. dan Dittman, R.H. ,1982. Heat
and Thermodynamics. McGraw-Hill New York
.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 167

UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PRODUK MEDIA


RANCANGAN MELALUI PEMBELAJARAN KOLABORATIF
BERBASIS PROYEK BAGI MAHASISWA KELAS DG JURUSAN
FISIKA FMIPA UM
Oleh : Sutarman

Jurusan Fisika UM, Jl. Surabaya 6 Malang


Abstrak
Penelitian ini dilakukan atas dasar temuan permasalahan pembelajaran pada matakuliah Pengembangan
Media Pembelajaran Fisika di Jurusan Fisika FMIPA UM. Permasalahan yang muncul selama ini
adalah rendahnya kualitas produk media yang dibuat mahasiswa. Penyebab dari masalah tersebut
adalah strategi yang digunakan dalam perkuliahan selama ini mahasiswa belajar secara individual.
Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas
produk media yang dibuat melalui pembelajaran kolaboratif berbasis proyek. Jenis penelitian yang
digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan dua siklus tindakan. Subyek penelitian
adalah kelas DG angkatan tahun 2008 sebanyak 30 orang mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat kenaikan kualitas produk media dari siklus I sebesar 79,5 menjadi 85,4 pada siklus II
dalam rentangan nilai 0-100. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pembelajaran kolaboratif
berbasis proyek dapat meningkatkan kualitas pembuatan produk media fisika.
Kata kunci : kolaboratif, berbasis proyek, media

Pengembangan media pembelajaran


merupakan
matakuliah
wajib
bagi
mahasiswa prodi Pendidikan Fisika. Tujuan
umum perkuliahan ini adalah Agar
mahasiswa memahami fungsi media,
mengidentifikasi dan memilih jenisnya dan
membuat dan memanfaatkannya dalam
pembelajaran sains/fisika (Katalog FMIPA
UM Jurusan Fisika, 2004:56). Berdasarkan
tujuan tersebut ranah hasil belajar yang ingin
dicapai mahasiswa adalah meliputi ranah
kognitif dan psikomotor. Ranah kognitif
yang
dimaksud
adalah
mahasiswa
memahami fungsi media, mengidentifikasi
dan memilih jenis media. Sedangkan ranah
psikomotor adalah mahasiswa mampu
membuat dan memanfaatkan media dalam
pembelajaran sains/fisika. Media yang
dimaksud dalam hal ini adalah media
rancangan yang disebut media by design dan
bukan media jadi (media by utilization) dan
juga bukan media animasi. Permasalahan
yang selalu dijumpai pada setiap akhir
semester pada perkuliahan ini adalah
rendahnya hasil belajar pada ranah
psikomotor yaitu membuat media by design.
Dalam hal membuat media, terlebih dahulu
mahasiswa dituntut untuk dapat merancang
dan berinovasi untuk menciptakan media
yang tepat untuk suatu konsep fisika

SEMNAS MIPA 2010

tertentu. Setelah rancangan dibuat kemudian


kerja bengkel untuk membuat media hasil
rancangannya.
Dalam mengembangkan
media perlunya mahasiswa menguasai
konsep fisikanya yang terkait dengan media
yang akan dibuat, kreatif dan terampil kerja
bengkel.
Berdasarkan penilaian hasil akhir dari
produk media yang dibuat terdapat variasi
nilai diantara mahasiswa yang cukup tinggi.
Artinya sebagian mahasiswa berhasil dapat
merancang dan membuat media yang baik
bahkan layak untuk dijual. Tetapi, sebagian
besar mahasiswa yang lain produk yang
dihasilkan masih belum baik. Berdasarkan
analisis terhadap karakteristik mahasiswa
dalam hal mengembangkan media ada
mahasiswa yang memang pandai yaitu
terampil dalam kerja bengkel, kreatif dan
inovatif serta menguasai konsepnya.
Sebagian mahasiswa yang lain kurang
pandai yaitu kurang terampil, tidak kreatif
dan tidak menguasai konsep. Karakteristik
kemampuan mahasiswa dalam membuat
media bervariasi, ada mahasiswa yang
menguasai konsep fisika tetapi tidak kreatif
dan tidak dapat kerja bengkel membuat
media. Pada sisi lain, ada mahasiswa yang
terampil dan kreatif dalam kerja bengkel
tetapi pemahaman konsepnya rendah.

FIS - 168

Penyebab
dari
permasalahan
sebagaimana telah dikemukakan di muka
adalah cara pembelajaran yang selama
dilakukan dosen pembina matakuliah belum
tepat.
Pembelajaran yang selama ini
dilakukan untuk pembuatan media masih
individual.
Pembelajaran
individual
mengakibatkan adanya perbedaan nilai yang
sangat bervariasi diantara peserta didik
(Gokhale, 1995). Cara belajar dan mengajar
selama ini cenderung tidak memberi
kesempatan kepada mahasiswa untuk saling
belajar antar mahasiswa.
Cara belajar
individual cenderung bersifat komptitif yang
pada akhirnya hanya mahasiswa yang pandai
saja yang mampu mencapai tujuan,
sedangkan mahasiswa yang kurang pandai
tetap tertinggal. Hal ini relevan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Gokhale
(1995) yang menyatakan bahwa pencapaian
prestasi belajar melalui pembelajaran
individual tidak lebih baik dari pada
pembelajaran kelompok secara kolaboratif.
Dalam pembelajaran kompetitif mahasiswa
lebih didorong oleh keinginnan bersaing.
Dalam pembelajaran individual dan
kompetitif siswa dapat mencapai tujuan jika
siswa yang lain tidak dapat mencapai tujuan
itu (Arends, 1998; Bennett et al., 1991; Qin
& Johnson, 1995 dalam Wayan Santosa,
2006:5).
Pernah dicoba untuk dilakukan
pembelajaran secara kelompok, namun ada
beberapa kekurangan dalam penerapannya.
Kekurangan yang dimaksud antara lain : 1)
Tidak semua anggota kelompok aktif, tetapi
hanya mahasiswa
yang pandai yang
mengerjakan tugas, sedangkan mahasiswa
yang kurang pandai menyerahkan semua
tugas kepada mahasiswa pandai. Hal ini
berarti pembelajaran kurang memberi
peluang bagi setiap mahasiswa
untuk
belajar. Sedangkan tujuan mengajar adalah
membelajarkan setiap mahasiswa
tidak
hanya mahasiswa yang pandai saja tetapi
juga mahasiswa yang kurang pandaipun
harus diberi kesempatan belajar (Syamsuri,
2008). 2) Hasil kerja kelompok cenderung
tunggal, artinya hanya ada satu jenis produk
yang dibuat yang sering disebut hasil kerja
kelompok. Hal ini berarti pembelajaran
kurang memberi kebebasan individu untuk
berkarya sendiri. 3) Interaksi belajar antar
mahasiswa
dalam kelompok kurang
maksimal. Hal ini disebabkan setiap anggota
SEMNAS MIPA 2010

kelompok tidak memiliki tanggung jawab


untuk menyelesaikan tugas.
Berdasarkan
permasalahan
sebagaimana telah dikemukakan di muka
maka
perlu
dilakukan
perbaikan
pembelajaran. Perbaikan pembelajaran yang
dimaksud adalah pembelajaran yang
memberi kesempatan kepada setiap individu
belajar, berkreasi dan membuat produk
media. Melakukan kegiatan kerja secara
kelompok dan tetap memperhatikan
pemerataan
keaktifan
mahasiswa,
memunculkan gagasan individu yang
mungkin berbeda dengan individu yang lain
sehingga kreativitas mereka terakomodasi.
Melalui kerja kelompok, para mahasiswa
diberi tugas membuat media yang lebih baik
dan sifatnya menantang (challenging),
sehingga
mereka
termotivasi
untuk
menyelesaikan tugasnya (Ridwan. J,
2005:28). Melalui tugas yang menantang
mahasiswa yang kurang pandai diberi
kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya
dan bila mengalami kesulitan diminta untuk
bertanya dan berdiskusi dengan teman dalam
kelompoknya. Sedangkan anak yang pandai
dan terampil diminta untuk menjadi tutor
bagi temannya yang kurang mampu. Dengan
cara demikian,
maka mahasiswa yang
kurang pandai maupun yang pandai akan
memperoleh
lompatan
kompetensi.
Pembelajaran yang menekankan dilakukan
belajar kelompok dengan karakeristik
sebagaimana disebut di muka disebut
pembelajaran
kolaboratif.
Menurut
Anuradha pengertian belajar kolaboratif
didefinisikan sebagai berikut. Collaborative
Learning: An instruction method in which
students work in groups toward a common
academic
goal
(Gokhale,
1995).
Berdasarkan definisi ini maka pembelajaran
kolaboratif menekankan dilakukan belajar
secara kelompok untuk mencapai tujuan.
Oleh karena itu, solusi yang diduga dan
diyakini dapat mengatasi permasalahan
rendahnya kualitas produk media adalah
melalui
optimalisasi
pembelajaran
kolaboratif. Tujuan dilakukan pembelajaran
kelompok adalah agar mahasiswa yang
kurang pandai dapat belajar dan berinteraksi,
bertanya kepada teman sejawat dalam
kelompoknya (Syamsuri, 2008). Oleh karena
itu,
dalam
pembentukan
kelompok
diperhatikan heteroginitas
kemampuan
kelompok. Tujuan lain dari belajar
FIS - 169

kelompok adalah agar terjadi lompatan


(jumping) kompetensi (Sato. 2006). Hal ini
senada dengan pendapat Vygotsky yang
menyatakan bahwa siswa akan mampu
berfikir tingkat tinggi (higher intellectual
levels) bila dalam belajar dalam situasi
kolaboratif dibanding dengan bekerja secara
individual (Vygotsky 1978 dalam Gokhale,
1995).
Berbagai
penelitian
tentang
pembelajaran kolaboratif dan dampaknya
terhadap perbaikan prestasi belajar antara
lain dilakukan Anuradha A Gokhale yang
menyatakan bahwa pembelajaran kolaboratif
dapat meningkatkan kemampuan berfikir
kritis (critical thingking) termasuk analysis,
synthesis, and evaluation of the concepts (
Gokhale, 1995). Penelitian senada dilakukan
oleh Hikmat dan Mauly Halwat (2003)
menyimpulkan
bahwa
pembelajaran
kolaboratif dapat meningkatkan kemampuan
belajar
mahasiswa.
Pendekatan
pembelajaran kolaboratif yang dimaksud
dalam penelitian ini diterapkan dalam model
pembelajaran berbasis proyek (project base
learning). Pembelajaran berbasis proyek
memiliki ciri antara lain adanya kerja
kolaboartif
untuk
mencapai
tujuan.
Pembelajaran ini memberikan penekanan
kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu
usaha kolaboratif, yang dilakukan dalam
proses pembelajaran dalam periode tertentu
(Hung & Wong, 2000 dalam Waras, 2008: 3
). Pembelajaran berbasis proyek menekakan
adanya kerja kelompok yang anggotanya
mahasiswa yang bervariasi kemampuannya,
ada yang pamahaman konsep fisika baik
tetapi tidak kreatif dan tidak terampil, ada
mahasiswa yang terampil dan kreatif, tetapi
kurang
mengusai
konsep
fisika.
Berdasarkan temuan penelitian yang telah
dilakukan peneliti sebelumnya mengenai
pembelajaran kelompok secara kolaboratif,
sangat mungkin solusi yang dirancang untuk
mengatasi rendahnya kualitas produk media
tersebut tepat sekali dan diyakini berhasil
menyelesaikan masalah.
Berdasarkan masalah dan analisis
masalah serta solusi yang ditawarkan
sebagaimana
disebutkan
di
muka
selanjutnya permasalah penelitian ini
dirumuskan
sebagai
berikut
(1)
Bagaimanakah proses perbaikan tindakan
melalui optimalisasi kerja kolaboratif dalam
model pembelajaran berbasis proyek dapat
SEMNAS MIPA 2010

meningkatkan kualitas produk media


pembelajaran yang dihasilkan mahasiswa
pada perkuliahan Pengembangan Media
Pembelajaran ? Lebih rinci permasalahan
penelitian dirumuskan sebagai berikut.
Bagaimana membentuk kelompok hiterogen
agar secara kolaboratif dapat menghasilkan
produk media yang berkualitas baik?
Bagaimanakah merealisasikan tanggung
jawab personal dalam kerja kelompok yang
kolaboratif agar setiap individu aktif
bekerja dan tidak didominasi oleh
mahasiswa tertentu saja? Apakah diawali
dari belajar individual terlebih dahulu,
kemudian kelompok dan diakhiri individual
? Bagaimana memperbaiki cara pemberian
tugas produk media yang
membuat
mahasiswa berfikir, kreatif, inovatif
mengembangkan media? Bagaimana cara
mengelola kerja kelompok agar interaksi
antar mahasiswa lebih optimal dan potensi
masing-masing anggota kelompok hiterogin
berkontribusi untuk menghasilkan produk
media yang berkualitas baik? Bagaimanakah
perkembangan kualitas produk media yang
dihasilkan
selama dilakukan perbaikan
pembelajaran kolaboratif dalam model
pembelajaran berbasis proyek?
Metode Penelitian

Oleh karena penelitian ini bertujuan


meningkatkan kualitas produk media fisika
yang dibuat mahasiswa melalui perbaikan
tindakan pembelajaran secara terus-menerus,
maka rancangan penelitian yang digunakan
adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Penelitian ini direncanakan ada dua siklus
tindakan. Masing-masing siklus melalui
tahapan plan yaitu penyusunan perencanaan
pembelajaran dan penyiapan perangkat
pembelajaran lainnya, action/observation
yaitu menerapkan perbaikan tindakan dan
melakukan pengamatan, reflection yaitu
merefleksikan berdasarkan data observasi,
mengidentifikasi
permasalahan
pembelajaran, mencari penyebabnya dan
menentukan
solusi
perbaikannnya.
Mahasiswa yang menjadi subyek penelitian
adalah mahasiswa offering D-B yang
menempuh
matakuliah Pengembangan
Media Pembelajaran di Jurusan Fisika
MFIPA UM pada semester II tahun kuliah
2010.
Hasil Penelitian
Proses pembelajaran siklus I

FIS - 170

Sebagaimana yang telah di muka,


bahwa awal dari prosedur PTK adalah
menyusun perencananan. Perencanaan yang
dimaksud meliputi 2 komponen yaitu
perangkat pembelajaran dan instrumen
penelitian. Perangkat pembelajaran meliputi
penyusunan SAP, menyiapkan bahan
praktek, media, lembar kerja, alat evaluasi.
Instrumen penelitian meliputi instrumen
untuk
mengobservasi
pembelajaran,
instrumen untuk mengukur kemampuan
membuat desain dan kemampuan untuk
membuat produk media. SAP dan lembar
kerja mahasiswa disajikan dalam Siklus I
dilaksakan selama dua kali pertemuan dan
masing-masing pertemuan 2 x 50 menit.
Siklus pertama direncanakan pembelajaran
mencapai target
mahasiswa
mampu
membuat desain produk media fisika.
Sedangkan pertemuan kedua dirancang
mencapai target bahwa mahasiswa dapat
membuat media pembelajaran fisika. Jenis
media yang dibuat adalah motor listrik
sederhana.
Pertemuan I

Implementasi pembelajaran pada siklus


I terlaksana sebagaimana yang direncanakan
yaitu dua kali petermuan, masing-masing 2 x
50 menit. Pertemuan pertama dihasilkan
sebuah desain model produk media.
Kemampuan membuat desain media
disajikan dalam tabel 1. Implementasi
pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis proyek melalui
sintaks pembelajaran dengan urutan langkah
sebagai berikut.
Tahap I : Menetapkan tema proyek

Pada
tahap
ini
diinformasikan
pentingnya seorang mahasiswa calon guru
fisika
untuk
dapat
membuat
dan
menggunakan media pembelajaran fisika.
Jenis media yang akan dibuat adalah motor
listrik sederhana. Tujuan yang ingin dicapai
pada petemuan pertama ini adalah
mahasiswa dapat membuat desain model
motor sederhana berdasarkan bahan dan alat
yang tersedia. Model motor listrik sederhana
ini dipilih dengan pertimbangan dapat dibuat
dengan menggunakan bahan yang murah
dan
mudah
didapat,
pembuatannya
memerlukan
ketelitian,
keterampilan,
keuletan,
memunculkan
kreatifitas
mahasiswa dan dapat dibuat dalam waktu
yang relatif singkat yaitu 2 x 50 menit.
SEMNAS MIPA 2010

Tahap II : Menetapkan konteks belajar

Pada
tahap
ini
dimunculkan
permasalahan yaitu:
(1) bagaimana
membuat desain motor listrik sederhana? (2)
bahan apa yang diperlukan untuk membuat
motor listrik sederhana? (3) bagaimana
prosedur membuatnya? (4) bagaimana
membuat motor listrik sederhana?. Dalam
hal membuat desain, mahasiswa diberi
kebebasan untuk memunculkan gagasan,
kreatifitasnya. Mahasiswa menemukan
model desain yang tepat untuk membuat
motor listrik sederhana. Mahasiswa mampu
mengalokasikan waktu yang tersedia untuk
menyelesiakan tugasnya. Dalam waktu yang
tersedia yaitu 2 x 50 menit mahasiswa
mampu membuat desain media.
Tahap III: Merencanakan aktivitas

Pada tahap ini mahasiswa diminta


berkelompok. Jumlah anggota kelompok
maksimal 4 orang, heteroginitas kemampuan
dan keterampilan diperhatikan. Ketika
membuat desain mereka mencari informasi
melalui buku sumber dan berdiskusi dengan
teman. Kerja kelompok diawali dari kerja
individu. Artinya masing-masing individu
memikirkan bagaimana desain motor yang
akan dibuat. Kemudian mereka berdiskusi
dalam kelompoknya. Setiap mahasiswa
ditargetkan menghasilkan sebuah desain
motor listrik.
Tahap IV: Memperoses aktivitas

Setelah mereka membentuk kelompok,


maka selanjutnya membuat desain model
motor litsrik. Model yang dimaksud adalah
gambar rancang bangun tiga demensi yang
dilengkapi dengan ukuran, jenis bahan.
Kemudian, setelah desain berhasil dibuat
selanjutnya ada 2 mahasiswa yang diminta
mempresentasilkan rancangannya. Kedua
mahasiswa yang diminta ntuk presentasi
adalah yang pertama desainnya kurang
baik yang kedua desain yang baik.
Kemudian dibahas melalui diskusi kelas di
mana
letak kesalahan desain dan
kebaikannya. Melalui diskusi kelas mereka
mengetahui bagaimana desain motor listrik
yang baik. Gambar.1 menunjukkan seorang
mahasiswa presentasi desian didepan kelas.

FIS - 171

sekelompok mahasiswa secara kolaboratif


sedang mengerjakan tugasnya.

Gambar 1 Seorang mahasiswa


mempresentasikan karya
desain
Setelah presentasi desain dan mendapat
balikan, selanjutnya mereka merevisi desain
atau redesain bila diperlukan. Hasil desain
yang mereka buat selanjutnya dievaluasi.
Pertemuan II
Tahap V: Penerapan aktivitas

Pada tahap ini tujuan utamanya adalah


mahasiswa mampu membuat motor listrik
sesuai dengan desain yang mereka buat.
Mahasiswa bekerja individual namun dalam
kelompok. Pada saat bekerja mereka
berdiskusi, bertanya, sehingga terjadi
interaksi antar mahasiswa. Mereka saling
membantu untuk menyelesaikan tugasnya
masing-masing. Nampak sekali bahwa
masing-masing
mahasiswa
memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan
tugasnya, mereka terlihat ada rasa saling
membutuhkan dan ada ketergantungan
diantara mereka. Ketika mahasiswa putri
tidak dapat memotong steroform dengan
menggunakan cutter, mahasiswa laki-laki
membantunya. Gambar.2 menunjukkan

Gambar 2. Kerja secara kolaboratif


dalam kelompok
Ketika ada mahasiswa yang tidak
paham mengenai konsep yang terkait dengan
motor listrik, mereka berdiskusi sehingga
terjadi interaksi dan tukar pengalaman. Data
mentah mengenai kemampuan mahasiswa
dalam membuat produk media motor listrik
disajikan dalam lampiran. Setelah motor
listrik dapat dibuat selanjutnya mereka
menguji coba. Mengevaluasi produk
berdasarkan uji coba dan memperbaikinya
sehingga
dihasilkan
produk
baik.
Kemampuan membuat produk siklus
Ditinjau dari rerata kemampuan membuat
produk pada siklus I mencapai 79,5 dari
rentangan nilai 0-100. Ditinjau dari
persentase keberhasilan kelas, hanya 1
mahasiswa dinyatakan belum berhasil dan
99% dinyatakan telah berhasil. Nilai dari
masing-masing aspek pembuatan produk
disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 1 Nilai rerata kelas masing-masing aspek kemampuan membuat produk media
pada siklus I
Aspek
Desain media
Pemahaman konsep
Pemilihan alat
Penggunaan alat
Penggunaan waktu
Kejelasan pesan
Pemilihan bahan
Penampilan media
Cara kerja media
Pemunculan masalah
Rerata

Nilai
67
33
100
75
73
75
100
65
85
100
79,5

Keterangan
cukup
sangat kurang
Sangat baik
baik
Baik
baik
Sangat baik
cukup
Sangat baik
Sangat baik
baik

Rentangan nilai 0 100

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 172

Berdasarkan data tabel.1 di atas ada


3 aspek yang belum berhasil baik aitu
kemampuan membuat desain produk,
pemahaman materi terkait dengan media
yang dibuat, dan penampilan produk.
Mahasiswa belum
memahami konsep
fisika yang terkait dengan media yang akan
dibuat. Hal ini merupakan gejala yang patut
direnungkan mengapa mahasiswa kurang
memahami konsep fisika yang terkait
dengan media yang dibuat. Penampilan
produk media yang dibuat baru sekedar
jadi, tetapi dinilai dari segi penampilam dan
finishing masih belum layak. Pemilihan alat
untuk kerja bengkel cukup memadai. Pada
umumnya produk yang dibuat dapat
menunjukkan gejala fisis yang cukup baik.
Pemilihan bahan untuk membuat media
sangat baik sekali. Mahasiswa memahami
cara kerja media yang dibuat dan media
dibuat
dapat
digunakan
untuk
memunculkan
masalah
dalam
pembelajaran.
Temuan dalam siklus I
Keberhasilan tindakan
Ditinjau
dari
segi
proses
pembelajaran, keberhasilan yang telah
dicapai dalam implementasi siklus I adalah
sebagai berikut.

a. Interaksi antar mahasiswa dalam


kerja kelompok aktif. Mahasiswa
yang merasa kesulitan bertanya dan
berdiskusi dengan teman dalam
kelompoknya. Ketika melakukan
kerja bengkel pada umumnya
mahasiswi kurang terampil dalam
menggunakan alat, mereka dibantu
dan belajar dari mahasiswa.
b. Meskipun pembelajaran dikemas
dalam kerja kelompok secara
kooperatif namun setiap mahasiswa
berhasil membuat media secara
individual.
c. Mahasiswa dapat memilih dan dapat
menggunakan alat bengkel untuk
mengerjakan kerja bengkel.
d. Pemilihan bahan untuk membuat
media tepat dan dinilai baik.
e. Media yang dibuat telah dapat
menunjukkan gejala fisis yang
teramati.

SEMNAS MIPA 2010

f. Kemampuan
membuat
produk
sudah baik, rata-rata mencapai 79,5
dari rentang nilai 0-100.
g. Ditinjau dari keberhasilan kelas
99% mahasiswa berhasil dengan
baik dalam membuat media.
Kekurangan tindakan

Kekurangan yang terjadi selama


proses pembelajaran pada siklus I adalah
sebagai berikut. Meskipun secara klasikal
nilai reratanya baik yaitu 79,5 dan 99%
mahasiswa baik, tetapi ada 3 aspek yang
masih belum mencapai kriteria keberhasilan
yaitu kemampuan membuat desain,
pemahaman konsep dan penampilan media.
Ini merupakan alasan mengapa perlu
dilakukan siklus II.
Analisis penyebab kurang berhasilan
tindakan
Penyebab munculnya kekurangan
dalam siklus I adalah hal-hal berikut.
Ditinjau dari segi kekurang berhasilnya
mahasiswa dalam membuat produk lebih
disebabkan
oleh
faktor
lemahnya
kemampuan mahasiswa dalam membuat
desain media, pemahaman konsep dan
penampilan media. Dalam membuat desian
media memerlukan imajinasi yang kuat,
kemampuan teknis yang cukup dan
mengetahui
karakteristik
bahan,
pemahaman konsep terkait dengan media
yang baik. Karena hampir 80% mahasiswa
adalah perempuan dan mereka ada
kecenderungan untuk lemah dalam kerja
bengkel, maka hal ini merupakan penyebab
dari rendahnya kualitas produk yang dibuat.
Meskipun dilihat dari nilai rerata
menggunakan alat bengkel 75 tetapi itu
masih didominasi mahasiswa laki-laki.
Penyebab munculnya masalah tentang
mahasiswa belum dapat menggunakan alat
bengkel adalah pada awal pembelajaran
karena mereka tidak memperoleh informasi
dan
contoh
kegunaan
dan
cara
menggunakan alat.
Solusi untuk mengatasi lemahnya
pemahaman konsep adalah (1) memberi
tugas rumah kepada mahasiswa untuk
mempelajari konsep fisika yang terkait
dengan
media
yang
dibuat,
(2)
mendiskusikan konsep fisika yang terkait
dengan media yang dibuat sebelum mereka

FIS - 173

membuat desain. Upaya untuk mengatasi


kurangnya waktu yang disebabkan oleh
lemahnya
keterampilan
dan
teknik
pembuatan
media
adalah
meminta
mahasiswa
untuk
terus
berlatih
keterampilan mereka. Alternatif solusi ini
akan dipakai sebagai perbaikan tindakan
pada siklus II.
Proses pembelajaran siklus II
Dalam
menyusun
rencana
pembelajaran dan implementasinya pada
siklus II memperhatikan dan melakukan
perbaikan
tindakan
pembelajaran
berdasarkan temuan siklus I. Pada siklus II,
sebelum
dilakukan
implementasi
pembelajaran disusun rencana pelaksanaan
pembelajaran
(RPP),
lembar
kerja
mahasiswa, format penilaian dan bahan
pembuat media. RPP, lembar kerja
mahasiswa dan instrumen penelitian
disajikan dalam lampiran. Siklus II
dilaksakan selama dua kali pertemuan dan
masing-masing pertemuan 2 x 50 menit.
Dalam
pertemuan
I
direncanakan
pembelajaran mencapai target mahasiswa
mampu membuat desain produk media
fisika. Sedangkan pertemuan kedua
dirancang
mencapai
target
bahwa
mahasiswa dapat membuat produk media
pembelajaran fisika. Jenis media yang
dibuat adalah cermin datar, cermin cekung
dan cermin cembung yang disusun dalam
satu kesatuan model.
Pertemuan I
Implementasi pembelajaran pada siklus
II
terlaksana
sebagaimana
yang
direncanakan yaitu dua kali petermuan,
masing-masing 2 x 50 menit. Pertemuan
pertama dihasilkan sebuah desain model
produk pemantulan oleh cermin datar,
cermin cekung dan cermin cembung.
Implementasi
pembelajaran
dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis
proyek melalui sintaks pembelajaran
dengan urutan langkah sebagai berikut.
Tahap I : Menetapkan tema proyek
Pembelajaran yang ingin dicapai pada
petemuan pertama ini adalah mahasiswa
dapat membuat desain model cermin datar,
cermin cekung dan cermin cembung yang
disusun dalam satu kesatuan model
berdasarkan bahan dan alat yang tersedia..
Model ini dipilih dengan pertimbangan
dapat dibuat dengan menggunakan bahan
yang murah dan mudah didapat,
SEMNAS MIPA 2010

pembuatannya memerlukan ketelitian,


keterampilan, keuletan, memunculkan
kreatifitas
mahasiswa
dan
dapat
diselesaikan dalam waktu yang relatif
singkat.
Tahap II : Menetapkan konteks belajar
Pada tahap selanjutnya dimunculkan
permasalahan yaitu:
(1) bagaimana
membuat desain cermin datar, cermin
cekung dan cermin cembung yang disusun
dalam satu kesatuan model sederhana? (2)
bahan apa yang diperlukan untuk membuat
cermin datar, cermin cekung dan cermin
cembung yang disusun dalam satu kesatuan
model?
(3)
bagiamana
prosedur
membuatnya? (4) bagaimana membuat
cermin datar, cermin cekung dan cermin
cembung yang disusun dalam satu kesatuan
model sederhana?. Dalam hal membuat
desain, mahasiswa diberi kebebasan untuk
memunculkan gagasan, kreatifitasnya.
Mahasiswa diharapkan menemukan model
desain yang tepat. Mahasiswa diharapkan
mampu mengalokasikan waktu yang
tersedia untuk menyelesiakan tugasnya.
Dalam waktu yang tersedia yaitu 2 x 50
menit mahasiswa diharapkan mampu
membuat desain media.
Tahap III: Merencanakan aktivitas
Pada tahap ini mahasiswa diminta
berkelompok. Jumlah anggota kelompok
maksimal
4
orang,
heterogenitas
kemampuan dan keterampilan diperhatikan.
Masing-masing
anggota
kelompok
kemampuannya bervariasi. Satu orang
terampil, satu orang pemahaman konsepnya
baik dua orang yang lain pemahaman dan
keterampilannya konsepnya kurang. Ketika
membuat desain mereka mencari informasi
melalui buku sumber dan berdiskusi dengan
teman. Kerja kelompok diawali dari kerja
individu. Artinya masing-masing individu
memikirkan bagaimana desain yang akan
dibuat. Kemudian mereka berdiskusi dalam
kelompoknya.
Setiap
mahasiswa
ditargetkan menghasilkan sebuah desain
cermin datar, cermin cekung dan cermin
cembung yang disusun dalam satu kesatuan
model.
Tahap IV: Memperoses aktivitas
Pada tahap ini sebelum mahasiswa
membuat desain, mereka berikan wawasan
untuk berkreasi membuat model dengan
bahan dan alat yang tersedia. Diharapkan
ditemukan berbagai desain yang bervariasi
FIS - 174

namun memiliki kegunaan yang sama.


Model yang dimaksud adalah gambar
rancang bangun tiga demensi yang
dilengkapi dengan ukuran, jenis bahan.
Kemudian, setelah desain berhasil dibuat
selanjutnya ada 2 mahasiswa yang diminta
mempresentasilkan rancangannya. Kedua
mahasiswa yang diminta untuk presentasi
adalah yang membuat desian yang berbeda.
Gambar 4.3 menunjukkan dua desain yang
berbeda.

Gambar 3 Mahasiswa presentasi desain


Kemudian dibahas melalui diskusi
kelas kelebihan dan kekurangan masingmasing desain. Melalui diskusi kelas
mereka mengetahui bagaimana desain yang
baik.
Setelah presentasi desain dan
mendapat balikan selanjutnya mereka
merevisi. Hasil desain yang mereka buat
selanjutnya dievaluasi.
Pertemuan II
Tahap V: Penerapan aktivitas
Berdasarkan temuan pada siklus I,
sebelum mereka melakukan kerja bengkel,
terlebih dahulu diberikan informasi dan
demontrasi
penggunanan
dan
cara
menggunakan alat bengkel. Pada tahap ini
tujuan utamanya adalah mahasiswa mampu
membuat cermin datar, cermin cekung dan
cermin cembung yang disusun dalam satu
kesatuan model sesuai dengan desain yang
mereka buat. Mahasiswa bekerja individual
namun dalam kelompok. Pada saat bekerja
mereka berdiskusi, bertanya, sehingga
terjadi interaksi antar mahasiswa. Mereka
saling membantu untuk menyelesaikan
tugasnya masing-masing. Sebagimana yang
terjadi pada siklus I, nampak sekali bahwa
masing-masing
mahasiswa
memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan
tugasnya, mereka terlihat ada rasa saling
membutuhkan dan ada ketergantungan
diantara mereka. Ketika mahasiswa putri
SEMNAS MIPA 2010

tidak dapat menggunakan alat, mahasiswa


laki-laki membantunya. Ketika ada
mahasiswa yang tidak paham mengenai
konsep yang terkait dengan pemantulan,
mereka berdiskusi sehingga terjadi interaksi
dan tukar pengalaman. Data mentah
mengenai kemampuan mahasiswa dalam
membuat produk disajikan dalam lampiran.
Setelah produk dapat dibuat selanjutnya
mereka menguji coba. Gambar 4
menunjukkan uji coba produk yang mereka
hasilkan.

Gambar 4 Uji coba media


Mengevaluasi produk berdasarkan uji
coba dan memperbaikinya sehingga
dihasilkan produk baik.
Kemampuan membuat produk siklus II
Rerata kelas kemampuan membuat
produk mencapai 85,4 dari rentangan nilai
0-100. Ditinjau dari keberhasilan kelas, ada
100% mahasiswa yang telah mencapai
kriteria berhasil. Nilai dari masing-masing
aspek pembuatan produk disajikan dalam
tabel berikut.
Tabel 2. Nilai rerata kelas masingmasing aspek kemampuan
membuat
produk media pada siklus II

FIS - 175

Berdasarkan data dalam tabel 2 pada


umumnya para mahasiswa dinyatakan telah
berhasil dalam pemilihan dan penggunanan
alat bengkel, pemilihan bahan, kejelasan
pesan yang disampaikan media, penampilan
media, menjelaskan cara kerja media, dan
media dapat menunculkan masalah yang
menarik untuk dikaji. Mahasiswa telah
berhasil membuat produk media yang dapat
menampilkan gejala fisis. Produk yang
mereka buat tidak lagi masih sebatas
sekedar asal jadi. Ditinjau dari segi
penampilan (performman) sudah ada
kemajuan. Hal ini didukung oleh data pada
tabel 2 mengenai tampilan media nilai ratarata 71 dalam kategori baik. Pada bagian
lain yang masih perlu ditingkatkan bagi
mahasiswa adalah dalam membuat desain.
Berdasarkan data
dalam
tabel
2
menunjukkan bahwa nilai membuat desain
masih rendah yaitu 55. Pemahaman konsep
terkait dengan media yang dibuat ada
kenaikan yaitu 74.
Temuan dalam siklus II
Keberhasilan tindakan
Ditinjau
dari
segi
proses
pembelajaran, keberhasilan yang telah
dicapai dalam implementasi siklus II adalah
sebagai berikut.
a. Ditinjau
dari
segi
keberhasilan
membuat produk, pada siklus II ini
telah terjadi peningkatan. Pada siklus I
ada 99% mahasiswa yang mencapaii.
kriteria baik atau lebih dan termasuk
kategori berhasil, sedangkan pada
siklus II ada 100 % mahasiswa
diketegorikan
berhasil.
Hal
ini
menunjukkan
ada
peningkatan
keberhasilan membuat produk dari
siklus I ke siklus II.
b. Interaksi antar mahasiswa dalam kerja
kelompok aktif sebagaimana
yang
terjadi pada siklus I. Situasi dimana
mahasiswa yang merasa kesulitan
bertanya dan berdiskusi dengan teman
dalam kelompoknya tetap muncul pada
silus II. Gejala yang masih saja muncul
seperti pada siklus I mahasiswa
perempuan kurang terampil dalam
melakukan kerja bengkel. Melalui kerja
kolabotaif dengan teman laki-laki
mereka memperoleh bantuan dan saling
belajar
terutama
dalam
hal
menggunakan alat.

SEMNAS MIPA 2010

Aspek
Desain media

Nilai
55

Keterangan
kurang

Pemahaman
konsep terkait
dengan media

74

baik

Pemilihan alat

88

Sangat baik

Penggunaan alat

68

Cukup

Penggunaan
waktu
Kejelasan pesan
yang ditampilkan
media
Pemilihan bahan

86

Sangat baik

100

sangat baik

100

sangat baik

Penampilan
media
Menjelaskan cara
kerja media

71

baik

88

Sangat baik

Pemunculan
masalah
Rerata

88

Sangat baik

85,4

baik

h. Sebagaimana yang terjadi pada siklus I


pembelajaran yang dikemas dalam
kerja kelompok secara kooperatif,
setiap mahasiswa berhasil membuat
media secara individual. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun kerja
kelompok tetapi kebebasan individu
untuk memiliki tanggung jawab dan
keberhasilan belajar tetap dijamin.
Interaksi antara mahasiswa dengan
dosen terjadi yaitu ketika kerja
kelompok, dosen senantiasa selalu
mengunjungi
kelompok.
Melalui
kunjungan kelompok dapat ditemukan
kesalahan dan kesulitan yang dihadapi
mahasiswa. Mereka bertanya dan
terjadi dialog antar mahasiswa dan
dosen.
Kekurangan keberhasilan tindakan
Ditinjau dari segi proses pembelajaran,
kekurangan yang terjadi selama proses
pembelajaran pada siklus II adalah sebagai
berikut.
a. Dalam hal merancang sebuah desain
media,
ternyata
mereka
belum
menunjukkan kemajuan yang berarti
dan cenderung menurun.
b. Penggunaan alat bengkel menjadi
menurun yaitu 68.
Analisis penyebab kurang berhasilan
tindakan

FIS - 176

Penyebab munculnya kekurangan


dalam siklus II adalah hal-hal berikut.
Meskipun dalam tabel menunjukkan bahwa
pemahaman konsep mencapai 74 (baik)
ternyata masih belum maksimal dapat
menjelaskan konsep fisika dari media yang
mereka buat. Lemahnya wawasan konsep
fisika para mahasiswa menjadi penyebab
lemahnya
kemampuan
untuk
mengembangkan desaian media. Dalam
tugas membuat desain, tidak ada petunjuk
dan mahasiswa harus merancang sendiri
berdasarkan bahan dan alat yang tersedia.
Oleh karena, itu bekal pengetahuan dan
pemahaman materi yang terkait dengan
media yang akan dibuat menjadi penting.
Penyebab
dari
kurangnya
waktu
mengerjakan tugas adalah lemahnya
keterampilan dan teknik pembuatan media
sehingga dalam menyelesaikan tugas
memerlukan waktu yang lebih dari yang
direncanakan.
Sebagaimana pada siklus I gejala
rendahnya pemhaman konsep fisika yang
terkait dengan media masih rendah. Solusi
untuk mengatasi lemahnya pemahaman
konsep adalah (1) memberi tugas rumah
kepada mahasiswa untuk mempelajari
konsep fisika yang terkait dengan media
yang dibuat, (2) mendiskusikan konsep
fisika yang terkait dengan media yang
dibuat sebelum mereka membuat desain.
Upaya untuk mengatasi kurangnya waktu
yang
disebabkan
oleh
lemahnya
keterampilan dan teknik pembuatan media
adalah meminta mahasiswa untuk terus
berlatih keterampilan mereka.
Pembahasan
Kembali pada permasalah semula
bahwa penelitian ini dilakukan sebagai
upaya perbaikan pembelajaran untuk
meningkatkan kualitas produk media
melalui penerapan pembelajaran berbasis
proyek. Kenyataan menunjukkan bahwa
dengan cara kolaborasi teman sejawat
melalui kerja kelompok menghasilkan
produk yang lebih baik dari pada
pembelajaran
sebelumnya
yang
menggunakan cara individual. Pada kondisi
awal hanya 99% mahasiswa yang
dikategorikan berhasil, pada akhir siklus II
ada 100 % mahasiswa diketegorikan
berhasil. Hal ini relevan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Gokhale
SEMNAS MIPA 2010

(1995)
yang menyatakan bahwa
pencapaian prestasi belajar melalui
pembelajaran individual tidak lebih baik
dari pada pembelajaran kelompok secara
kolaboratif.
Meskipun dalam bekerja
mereka berkelompok setiap mahasiswa
dituntut untuk berhasil membuat produk
media. Kenyataannya, pada umumnya
mereka berhasil dalam membuat media
meskipun beberapa mahasiswa dalam aspek
tertentu
masih
dibawah
kriteria
keberhasilan yaitu membuat desain,
pemahaman konsep serta penggunaan alat
bengkel.. Adanya beberapa mahasiswa
yang masih belum memenuhi kreteria
keberhasilan hal ini disebabkan oleh faktor
keterampilannya yang memang mahasiswi
yang secara alami tidak seterampil
mahasiswa dalam kerja bengkel. Penyebab
lain adalah jumlah mahasiswa jauh lebih
sedikit dari pada mahasiswi sehingga ketika
mereka berkelompok untuk menempatkan
satu kelompok terdiri dari satu mahasiswa
dan tiga mahasiswi tidak tercapai.
Diharapkan bila dalam satu kelompok
terdapat satu mahasiswa dan tiga mahasiswi
maka mereka mendapat bantuan dan diajari
oleh mahasiswa dalam kerja bengkel.
Ditinjau proses pembelajaran dengan
menerapkan pembelajaran berbasis proyek
bahwa semua anggota kelompok aktif, tidak
saja
mahasiswa
yang pandai yang
mengerjakan tugas, tetapi mahasiswa yang
kurang pandaipun mendapat kesempatan
untuk belajar. Pembelajaran berbasis
proyek memberi peluang bagi setiap
mahasiswa untuk belajar. Hal ini relevan
dengan pendapat Syamsuri (2008) bahwa
tujuan mengajar adalah membelajarkan
setiap mahasiswa tidak hanya mahasiswa
yang pandai saja tetapi juga mahasiswa
yang kurang pandaipun harus diberi
kesempatan belajar. Interaksi belajar antar
mahasiswa
dalam kelompok menjadi
maksimal. Hal ini disebabkan setiap
anggota kelompok memiliki tanggung
jawab
untuk
menyelesaikan
tugas.
Perbaikan pembelajaran yang telah
dilakukan memberi kesempatan kepada
setiap individu belajar, berkreasi dan
membuat produk media. Melalui kerja
kelompok, para mahasiswa diberi tugas
membuat media yang lebih baik dan
sifatnya menantang dan mereka termotivasi
untuk menyelesaikan tugasnya sebagaimana
FIS - 177

yang disarankan Ridwan. J, 2005. Melalui


tugas yang menantang mahasiswa yang
kurang pandai diberi kesempatan untuk
menyelesaikan
tugasnya
dan
bila
mengalami kesulitan diminta untuk
bertanya dan berdiskusi dengan teman
dalam kelompoknya. Mahasiswa pandai
dan terampil menjadi tutor bagi temannya
yang kurang mampu. Dengan cara
demikian, maka mahasiswa yang kurang
pandai maupun yang pandai akan
memperoleh lompatan kompetensi. Oleh
karena itu, solusi perbaikan pembelajaran
yang semula masih dugaan dan diyakini
dapat mengatasi permasalahan rendahnya
kualitas produk media adalah melalui
optimalisasi pembelajaran kolaboratif dapat
menjadi kenyataan.
Mengenai
masih
rendahnya
kemampuan mahasiswa dalam membuat
desain dimana pada sikus I mencapai nilai
rerata 67 tetapi pada siklus II menurun
menjadi 55. Penuruan nilai ini disebabkan
oleh materi tugas siklus II lebih menantang
dan sulit dari pada siklus I. Pada siklus I
materi tugasnya adalah membuat desain
motor listrik, sedangkan siklus II cermin
datar, cermin cekung dan cermin cembung
yang dibuat dalam satu sistem alat. Ini perlu
pemikiran dan imajinasi yang cukup agar
diperoleh desain yang baik. Disamping itu,
membuat desain merupakan langkah
pengembangan media yang termasuk sulit.
Hal ini disebabkan seseorang ketika akan
merancang media, maka ia perlu paham
karakteristik bahan, teknik pembuatan,
teknik
finishing,
kreatifitas
dan
kesederhanaan model dan memahami
konsep fisikanya. Dalam pembuatan desain
perlu renungan dan emajinasi untuk dapat
mewujudkan ide-ide kreatifnya. Kelemahan
mahasiswa terletak pada kemampuan teknik
pembuatan, pemahaman karakterstik bahan
dan kreatifitas kurang. Hal-hal inilah yang
menjadi penyebab rendahnya kualitas
desain. Upaya peningkatannya diperlukan
latihan secara
terus-menetus
untuk
membuat rancangan, studi literatur terkait
dengan rancangan dan mempelajari produkproduk yang ada.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
bahwa sebagai upaya untuk memperbaiki

SEMNAS MIPA 2010

kualitas produk media yang dihasilkan


mahasiswa melalui pembelajaran berbasis
proyek merupakan startegi yang tepat. Ada
kecenderugan peningkatan kualitas produk
yang dihasilkan yaitu rerata nilai 79,5 pada
siklus I dan 85,4 pada siklus II. Ditinjau
dari keberhasilan kelas ada peningkatan
keberhasilan belajar yaitu pada siklus I ada
99% mahasiswa yang dikategorikan
berhasil dan , pada sikklus II meningkat
menjadi 100% mahasiswa berhasil.
Peningkatan ini dicapai disebabkan oleh
proses belajar mahasiswa melalui kerja
kelompok
secara
kolaboratif
yang
disamping menekan kerja sama dalam
kelompok tetapi juga keberhasilan individu
menjadi tujuannya.
Pembentukan kelompok terdiri dari 4
mahasiswa tiap kelompoknya dengan
mempertimbangkan variasi kemampuan
yaitu satu mahasiswa terampil kerja
bengkel, satu orang menguasai konsep
fisika, satu orang tidak mengusai konsep
dan kurang dalam kerja bengkel dan satu
orang memiliki kemampuan mendesain
model baik. Agar tanggung jawab individu
muncul dalam pola belajar kelompok yang
dilakukan adalah sebelum kerja kelompok
dimulai, setiap mahasiswa diberi tugas
memunculkan idenya, kreatifitasnya, dan
daya ciptannya untuk membuat desain
media, kemudian mereka diminta untuk
mengelompok untuk tukar ide (exhange
idea) saling memberikan temuannya untuk
menyempurnakan desain yang mereka buat,
setiap mahasiswa diberi tagihan sebuah
produk media, setelah desain berhasil
mereka dibuat, diminta kepada beberapa
individu
mahasiswa
(bukan
wakil
kelomlok) untuk mempresntasikan hasilnya
dan mahasiswa yang lain sebagai individu
(bukan wakil kelompok) menanggapinya.
Model tugas (lembar kerja) yang dapat
merangsang mahasiswa berfikir, kreatif dan
inovatif adalah lembar kerja tidak
merupakan prosedur kegiatan yang rinci
(seperti layaknya resep membuat kue) tetapi
cukup memberikan kalimat perintah
pendek. Tugas dalam lembar kerja
memberi
ruang
agar
mahasiswa
berkesempatan untuk berkreasi kreatif,
misalnya buatlah desain media sesuai
dengan yang kamu inginkan, tulislah
prosedur pembuatan media sesuai dengan
desain yang Sdr. buat. Cara mengelola
FIS - 178

kerja kelompok agar interaksi antar


mahasiswa lebih optimal dan potensi
masing-masing
anggota
kelompok
hiterogen berkontribusi untuk menghasilkan
produk media yang berkualitas baik adalah
meminta kepada mahasiswa yang kurang
paham atau yang mengalami kesulitan
untuk bertanya kepada teman yang lebih
paham dan bukan sebaliknya, meminta
mahasiswa yang tidak dapat menggunakan
alat bengkel untuk dibantu teman lain yang
lebih mampu menggunakan alat, dan bukan
sebaliknya.

FMIPA-MGMP MIPA SMP dan SMA Kota


Malang pada 21 Juni 2005, FMIPA UM

DAFTAR PUSTAKA
Arief.S, Rahardjo, Haryono.A, Rahardjito, 1986
Media Pendidikan (Pengertian, Pengembangan
dan Pemanfaatannya), PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
BSNP, 2007 Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2007 tentang Standar Proses, Jakarta
Gokhale. Anuradha, 1995 Collaborative
Learning Enhances Critical Thinking, JTE,
Vol.7 Number-1
Hikmat, Halwat.H, 2003 Metode Pembelajaran
Kolaboratif Berhasil meningkatkan
Kemandirian dan Kemampuan belajar
mahasiswa, QAC UMS
Jurusan Fisika, 2004 Katalog FMIPA UM
Kamdi Waras, 2008 Project-Based Learning:
Pendekatan Pembelajaran Inovatif, UM, Malang
Kemmis, S & Taggart R. 1988. The Action
Research Planer. Victoria: Deakin University
Santyasa,W. 2006 Pembelajaran Inovatif
Model Kolaboratif Berbasis Proyek dan
Orientasi NOS, Universitas Pendidikan Ganesha
Sato, Masaaki 2006. Perlunya Pembelajaran
Kolaboratif (Makalah, Terjemahan).
SISTTEMS JICA
Sutrisno, 1977. Statistik, Jilid II. Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Yogyakarta.
Syamsuri, Istamar. 2008. Reformasi Sekolah
dalam Membangun Komunitas Belajar,
Makalah disajikan dalam pelatihan Kepala
Sekolah SMA di Kabupaten Pasuruan pada 8
Agustus 2008, FMIPA UM
Ridwan J. 2005. Reformasi Sekolah melalui
Kegiatan Lesson Study, Makalah disajikan
dalam seminar dan workshop lesson study
dalam rangka persiapan workshop kolaborasi

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 179

PENGEMBANGAN TRANSPARANSI BERBAHASA INGGRIS DAN


PERANGKAT EVALUASI BERBASIS KOMPETENSI
MATAKULIAH FISIKA DASAR II SBI
Oleh: Purbo Suwasono

Jurusan Fisika UM, Jl. Surabaya 6 Malang Email: purbosuwasono@gmail.com


Abstrak: Sekolah menengah dan atas di indonesia sudah banyak yang berstatus Rintisan
sekolah bertaraf Internasional (RSBI). Perguruan Tinggi harus menjawab dengan
menghasilkan guru-guru yang mampu mengajar dengan menggunakan Bahasa Inggris.
Media yang digunakan dosen harus berbahasa ingris.Salah satu media adalah Media
tampilan berupa PowerPoint. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan media
PowerPoint yang memenuhi kriteria kelayakan isi, pembahasaan, dan penyajian, serta
menyusun perangkat evaluasi Midle Test I, Midle Test II, dan Final Test berbahasa inggris.
Penelitian ini adalah penelitian pengembangan media pembelajatran. Media yang dibuat
berupa PowerPoint Pembelajaran Fisika Dasar II. Expert yang diminta sebagai validator
adalah dua orang dosen dan satu asisten. Subyek yang digunakan sebagai responden dalam
uji coba terbatas dalam penelitian ini berjumlah 25 siswa, yang terdiri dari 8 siswa putra
dan 17 siswa putri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, media pembelajaran PowerPoint memenuhi kriteria
kelayakan isi (92,05%), kelayakan Kebahasaan (98,21%), dan kelayakan Penyampaian
(93,33%). Skor Kelayakan total dari media PowerPoint pembelajaran Fisika Dasar II adalah
sebesar 94,12% dengan kriteria layak untuk digunakan. Perangkat Midle Test I, Midle Test
II, dan Final Test berbahasa inggris sudah dibuat dalam bentuk esay. Dengan demikian
perangkat media pembelajaran berupa PowerPoint yang telah dikembangkan memenuhi
kelayakan isi, pembahasaan, dan penyajian. PowerPoint yang telah dibuat disarankan
dilengkapi dengan link video, sehingga lebih menarik.

Kata Kunci: Transparansi, Kelayakan, Perangkat Evaluasi.

PENDAHULUAN
Matakuliah Fisika Dasar dipandang
sebagai tempat yang paling strategis untuk
meluruskan kesalahan konsepsi terhadap
konsep-konsep dasar Fisika. Pemikiran di
atas setidaknya didukung oleh tiga alasan
pokok. Pertama sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya
hampir
bisa
dipastikan
bahwa
mahasiswa
yang
mengikuti matakuliah Fisika Dasar IIni
masih membawa sisa-sisa kesalahan
konsepsi dalam memahami konsep-konsep
Fisika Dasar di SMA. Kedua, matakuliah
Fisika Dasar IIni antara lain bertujuan
untuk menanamkan konsep-konsep dasar
fisika yang nantinya harus diajarkan di
sekolah menengah. Oleh karena itu
kesalahan pemahaman yang terjadi harus
diluruskan kembali.

SEMNAS MIPA 2010

Didasari oleh beberapa pertimbangan


di atas, maka penelitian ini berupaya
mengembangkan media
pembelajaran
Fisika yang diharapkan efektif untuk
meluruskan kesalahan konsepsi dalam
memahami konsep-konsep dasar Fisika
bagi mahasiswa peserta Matakuliah Fisika
Dasar.
Pengembangan Media Pembelajaran
tersebut harus memenuhi kriteria efektivitas
dan efisien. Efektif berarti mampu
menyelesaikan seluruh materi matakuliah
tersebut, sedangkan efisien berarti mampu
semaksimal
mungkin
meningkatkan
pemahaman mahasiswa. Kriteria efektif dan
efisien bisa ditunjukkan dengan kriteria
kelayakan sebuah Media Pembelajaran.

FIS - 180

Media pembelajaran harus memenuhi


kelayakan Isi, Kebahasaan, dan Penyajian.
Di samping itu mahasiswa juga
dituntut untuk mampu berbahasa inggris
dengan baik. Paling tidak mahasiswa harus
mampu memahami isi dari buku Fisika
yang berbahasa inggris. Hal ini sejalan
dengan tuntutan Jurusan Pendidikan Fisika,
FMIPA UM dalam hal meningkatkan
kemampuan berbahasa inggris mahasiswa.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1)
mengetahui kelayakan media pembelajaran
Fisika Dasar II berupa PowerPoint
berbahasa inggris, dan 2) mengetahui
validitas isi dari perangkat tes Fisika Dasar
II berbahasa inggris.
Matakuliah Fisika Dasar secara
umum dibagi menjadi 2 bagian. Pertama
matakuliah teori Fisika Dasar I, dan kedua
matakuliah praktikum Fisika Dasar II.
Matakuliah teori Fisika Dasar II berbobot 3
sks dan 3 js. Matakuliah Praktikum Fisika
Dasar II berbobot 1 sks dan 2 js (silabus
Jurusan Fisika FMIPA UM, 2008:26)
Materi Teori Fisika Dasar II
dideskripsikan sebagai berikut.
Bab I.
Gelombang
A. Gelombang Mekanik
B. Gelombang Elektromagnetik
C. Optika Geometri
Bab II
Kelistrikan
A. Listrik Statis
B. Listrik Dinamis
Bab III
Kemagnetan
A. Medan Magnet
B. Induksi Magnetik
C. Induktansi Diri
Untuk menindaklanjuti KBK SMU
yang sudah diterapkan tahun 2004/2005,
maka Jurusan Fisika Universitas Negeri
Malang, yang merupakan salah satu
perguruan tinggi yang mencetak guru sudah
berusaha
untuk
mempersiapkannya.
Persiapan itu dalam kentuk kurikulum
matakuliah berbasis kompetensi.
Fisika Dasar I & II masuk dalam
rumpun Mata Kuliah Keilmuan dan
Keterampilan (MKK). Sedangkan deskripsi
kompetensi untuk matakuliah Fisika Dasar
adalah Menguasai bahan ajar fisika (Silabus
Jurusan Fisika, 2008).
Menurut Subiyanto (2000:17), fungsi
evaluasi yaitu untuk memberikan umpan
balik,
menentukan
hasil
belajar,

SEMNAS MIPA 2010

menempatkan siswa pada situasi belajar


yang tepat, dan untuk mengenali latar
belakang
kesulitan
belajar
siswa.
Mengingat kurikulum yang berbasis
kompetensi ini menekankan kompetensikompetensi yang ada, maka evaluasi yang
bisa dilakukan adalah dengan mengacu
pada kompetensi-kompetensi yang menjadi
tujuan dari pembelajaran.
Brown (1973) mengungkapkan bahwa
media pembelajaran yang digunakan dalam
kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi
terhadap efektivitas pembelajaran. Pada
mulanya, media pembelajaran hanya
berfungsi sebagai alat bantu guru untuk
mengajar yang digunakan adalah alat bantu
visual. Sekitar pertengahan abad Ke 20
usaha pemanfaatan visual dilengkapi
dengan digunakannya alat audio, sehingga
lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam
bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat
bantu atau media pembelajaran menjadi
semakin luas dan interaktif, seperti adanya
komputer dan internet.
1. Media pembelajaran dapat mengatasi
keterbatasan pengalaman yang dimiliki
oleh para peserta didik. Pengalaman
tiap peserta didik berbeda-beda,
tergantung dari faktor-faktor yang
menentukan kekayaan pengalaman
anak, seperti ketersediaan buku,
kesempatan
melancong,
dan
sebagainya. Media pembelajaran dapat
mengatasi perbedaan tersebut. Jika
peserta didik tidak mungkin dibawa ke
obyek langsung yang dipelajari, maka
obyeknyalah yang dibawa ke peserta
didik. Obyek dimaksud bisa dalam
bentuk nyata, miniatur, model,
maupun bentuk gambar gambar yang
dapat disajikan secara audio visual dan
audial.
2. Media pembelajaran dapat melampaui
batasan ruang kelas. Banyak hal yang
tidak mungkin dialami secara langsung
di dalam kelas oleh para peserta didik
tentang suatu obyek, yang disebabkan,
karena : (a) obyek terlalu besar; (b)
obyek terlalu kecil; (c) obyek yang
bergerak terlalu lambat; (d) obyek
yang bergerak terlalu cepat; (e) obyek
yang terlalu kompleks; (f) obyek yang

FIS - 181

3.

4.
5.

6.
7.
8.

bunyinya terlalu halus; (f) obyek


mengandung berbahaya dan resiko
tinggi. Melalui penggunaan media
yang tepat, maka semua obyek itu
dapat disajikan kepada peserta didik.
Media pembelajaran memungkinkan
adanya interaksi langsung antara
peserta didik dengan lingkungannya.
Media menghasilkan keseragaman
pengamatan
Media dapat menanamkan konsep
dasar yang benar, konkrit, dan
realistis.
Media membangkitkan keinginan dan
minat baru.
Media membangkitkan motivasi dan
merangsang anak untuk belajar.
Media memberikan pengalaman yang
integral/menyeluruh dari yang konkrit
sampai dengan abstrak.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian


pengembangan. Langkah pertama adalah
menyusun Kompetensi dengan merujuk
kepada silabus dan profil kompetensi
lulusan. Langkah kedua adalah perumusan
judul-judul media dengan mengacu kepada
rambu-rambu pemilihan judul. Penyusunan
draft media dilakukan dengan mengacu
kepada format penulisan media, identifikasi
kompetensi, aspek materi pembelajaran,
kegiatan
pembelajaran,
identifikasi
indikator dan penilaian, dan bukubuku&sumber bahan.
Prosedur
pengembangan
dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mengadakan transparansi
b.Merancang instrumen observasi dan
perekaman
selama
berlangsungnya
perkuliahan
Pada tahap ini pelaksanaan tindakan
ini berupa pelaksanaan kuliah Fisika sesuai
dengan yang telah direncanakan pada tahap
sebelumnya. Pada tahap ini pula dilakukan
umpan balik terhadap media PowerPoint
yang digunakan dengan menggunakan
angket kelayakan media.
Hasil angket pada akhir pembelajaran
sekaligus dimanfaatkan untuk menarik
kesimpulan dan memberikan rekomendasi
apakah transparansi yang dikembangkan
ini,
dinyatakan
memenuhi
kriteria
kelayakan, atau bahkan harus segera
ditinggalkan karena ternyata tidak layak,

SEMNAS MIPA 2010

sehingga perlu segera dicari alternatip


transparansi yang lain.
Bertindak sebagai informan pada
penelitian ini adalah mahasiswa SBI
jurusan fisika FMIPA UM angkatan tahun
2009/2010 berjumlah 25 orang terdiri dari 8
orang laki-laki dan 17 orang perempuan.
Data dijaring dengan menggunakan angket
dan wawancara langsung dengan informan.
Bapak ibu dosen pengampu fisika dasar
dipilih dua orang yang akan digunakan
sebagai expert atau validator.
Sedangkan
langkah-langkah
pengembangan adalah sebagai berikut.
1) Melakukan
pembuatan
media
PowerPoint berbahasa inggris.
2) Melakukan validasi isi terhadap
kurikulum SBI.
3) Merevisi Media Pembelajaran.
4) Melakukan
pembelajaran
dengan
menggunakan Media Pembelajaran.
5) Membuat angket untuk menilai
kelayakan media pembelajaran.
6) Memvalidasi angket kepada expert.
7) Menyebarkan angket kelayakan kepada
mahasiswa.
8) Melakukan analisis hasil angket dengan
statistik prosentase.
Karena datanya bersifat kualitatif,
maka analisis yang digunakan adalah
analisis prosentase dengan persamaan
sebagai berikut.

Pr osentase

B
x 100%
N

keterangan:
B
: Total Nilai dari
mahasiswa
N
: Nilai maksimum
Kriteria:
Prosentase > 50% : Kriteria layak
Prosentase 50%: Kriteria tidak
layak
HASIL
Berikut disajikan hasil observasi
awal terhadap kompetensi awal mahasiswa
Angkatan
Tahun
2009/2010
yang
menempuh matakuliah Fisika Dasar II.

Pada BAB Gelombang, konsep


yang belum dipahami oleh mahasiswa
adalah sebagai berikut.

FIS - 182

a.

b.

c.

d.

e.

f.

Siswa belum memahami bahwa


panjang gelombang merupakan
jarak terdekat dari dua tempat yang
mempunyai fase yang sama.
Siswa belum memahami bahwa
gelombang itu merupakan energi
yang bergerak, sehingga kalau ada
tali yang digetarkan itu bukan
gelombang.
Siswa belum memahami bahwa
persamaan
untuk
gelombang
transversal sama dengan persamaan
untuk gelombang longitudinal.
Siswa belum memahami bahwa
sinar istimewa pada pemantulan
maupun pembiasan tetap memenuhi
Hukum Snellius.
Siswa belum memahami bahwa
sifat gelombang bisa muncul
bersamaan manakala kondisinya
memungkinkan.
Siswa belum memahami bahwa
gelombang itu disusun dari getaran
ke segala arah untuk gelombang
transversal.

Pada BAB Kelistrikan, konsep yang


belum dipahami oleh mahasiswa adalah
sebagai berikut.

a.

b.

c.

d.

Siswa belum memahami bahwa


karakteristik muatan itu sama untuk
listrik statis dan dinamis.
Siswa belum memahami bahwa
setiap muatan itu bisa bergerak,
tidak hanya muatan yang negatip
saja.
Siswa belum memahami bahwa
susunan seri hambatan mempunyai
kuat arus yang sama walaupun
besarnya hambatan berbeda.
Siswa belum memahami bahwa
rangkaian paralel hambatan selalu
mempunyai beda potensial yang
sama
walaupun
hambatannya
berbeda.

Pada BAB Kemagnetan konsep


yang belum dipahami oleh mahasiswa
adalah sebagai berikut.

a.

Siswa belum memahami bahwa


setiap benda bermuatan jika
bergerak dalam medan magnet pasti

SEMNAS MIPA 2010

b.
c.

mengalami Gaya Lorentz meskipun


medan magnetnya tidak homogen.
Siswa belum memahami pengertian
fluks magnet.
Siswa belum memahami bahwa
perubahan medan magnet bisa
menimbulkan
listrik
dan
sebaliknya.

Setelah dilakukan penghitungan hasil


angket dari validator terhadapTransparansi
Berbahasa
Inggris
Sebagai
Media
Pembelajaran Fisika Dasar II, didapatkan
hasil sebagai berikut.
Kriteria
Kelayakan
isi
(92,05%).Kriteria kelayakan isi dinilai dari
unsur: a. Cakupan Materi. Materi yang
disajikan mencerminkan jabaran substansi
materi yang terkandung dalam Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar
(KD), penambahan materi juga tidak terlalu
luas atau mengambang. Materi mencakup
mulai dari pengenalan konsep sampai
dengan interaksi antar konsep sesuai
dengan yang diamanatkan oleh standar
kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar
(KD), b. Keakuratan Materi. Keakuratan
Materi yang disajikan sesuai dengan fakta,
konsep,
prinsip/hukum,
teori,
prosedur/metode yang berlaku dalam
bidang atau ilmu fisika, c. Kemutahiran.
Kemutahiran yang disajikan dalam media
ini relevan, menarik, serta mencerminkan
peristiwa, kejadian, kondisi termasa (up to
date), d. Merangsang Keingintahuan
(curiosity). Dalam media ini peserta didik
dapat memperoleh infprmasi yang lebih
sehingga
dapat
merangsang
keingintahuannya untuk berfikir lebih jauh,
e. Mengandung wawasan Produktifitas.
Dalam media ini terdapat latihan atau
contoh-contoh soal yang memotifasi peserta
didik
dan
mengandung
wawasan
produktifitas,
f.
Mengembangkan
kecakapan Hidup (life skills). Uraian,
latihan, contoh-contoh yang diberikan
memotifasi
peserta
didik
untuk
mengembangkan kecakapan hidup (life
skills), g. Mengembangkan Wawasan
Kebhinekaan
(sense
of
deversity).
Uraian,latihan,
contoh-contoh
yang
diberikan
dalam
buku
ini
dapat
menampilkan keanekaragaman wawasan

FIS - 183

kebhinekaan berdasarkan pengalaman


sehari-hari.
Kriteria
Kebahasaan
(98,21%).
Kriteria kebahasaan meliputi indkator
sebagai berikut. a. Sesuai Dengan
Perkembangan Peserta Didik. Bahasa yang
digunakan
sesuai
dengan
tingkat
perkembangan
berfikir
dan
sosial
emosional peserta didik. b. komunikatif.
Dalam media ini ini bahasa yang digunakan
sangat komunikatif sehingga memudahkan
peserta didik untuk memahaminya. c.
Dialogis Dan Interaktif. Bahasa yang
digunakan
dalam
media
dapat
menumbuhkan motivasi dan dorongan
kepada peserta didik karena bersifat
dialogis dan interaktif. d. Lugas.
Penggunaan bahasa yang digunakan sesuai
dengan ejaan bahasa Indonesia yang baku.
e. Koherensi dan keruntutan Alur Pikir.
penyampaian antar bab/subbab memiliki
keruntutan dan keterkaitan alur pikiran. f.
Kesesuaian Dengan kaedah Bahasa Inggris.
Ketepatan tata bahasa dan ejaan yang
digunakan sesuai dengan kaidah bahasa
inggris. g. Penggunaan Istilah Dan
Simbol/Lambang. Penggunaan istilah,
symbol dan lambang yang konsisten antar
bagian memudahkan pemahaman peserta
didik.
Kriteria
Penyampaian
(93,33%).
Kriteria Penyampaian meliputi sebagai
berikut. Teknik Penyajian. Penyajian
konsep dibuat secara runtut, konsisten
setiap bab, dan memiliki hubungan yang
logis antara fakta, konsep dan teori.
Penyajian Pembelajaran. Dalam penyajian
pembelajarannya peran peserta didik sangat
diperhatikan, mulai dari materi dan bab
yang dibuat secara komuniatif interaktif
sehingga peserta didik dapat terlibat dalam
proses pembelajaran. Pendukung Penyajian
Materi. Dalam penyajian materi media ini
juga didukung dengan beberapa petunjuk
media sehingga peserta didik dapat dengan
mudah menggunakannya.
Secara keseluruhan, kelayakan media
mencapai skor 94,12%. Dengan demikian
media pembelajaran berupa PowerPoint
pembelajaran Fisika Dasar II memenuhi
kriteria layak untuk digunakan.

Waktu kuliah yang disediakan harus


mencukupi. Satu bab terdiri dari 10 15
lembar transparansi yang disajikan
SEMNAS MIPA 2010

dalam 3 jam pelajaran atau satu kali


tatap muka. Ada 10 bab dan ada 16 kali
pertemuan. Dengan demikian waktunya
cukup untuk membahas seluruh materi
Fisika Dasar II melalui transparannya
tersebut.
Perangkat evaluasi Midle Test 1 Fisika
Dasar
II
telah
disusun
dengan
memperhatikan validitas isi. Perangkat
Midle Test 1 Fisika Dasar II disajikan pada
lampiran 1. Perangkat ini mencakup BAB
Gelombang yang terdiri dari, 1) Mechanical
Waves, 2) Geometric Optics, dan 3)
Electromagnetical Waves. Bentuk soal
adalah uraian.
Perangkat evaluasi Midle I1 Fisika
Dasar
II
telah
disusun
dengan
memperhatikan validitas isi. Perangkat
Midle II Fisika Dasar II disajikan pada
lampiran 2. Perangkat ini mencakup 2 bab
terakhir yaitu, 1) Electricity, dan 2)
Magnetism. Bentuk soal adalah uraian.
Perangkat evaluasi Final Test Fisika
Dasar
II
telah
disusun
dengan
memperhatikan validitas isi. Perangkat
Final Test Fisika Dasar II disajikan pada
lampiran 3. Perangkat ini mencakup seluruh
bab yang diajarkan. Bentuk soal adalah
uraian.
Berdasarkan angket yang diberikan
kepada validator, semua perangkat evaluasi
telah memenuhi validitas isi dengan kriteria
baik (75,56%).
Upload
dilakukan
dengan
memasukkan perangkat pembelajaran yang
berupa powerPoint pembelajaran pada Web
Universitas Negeri Malang.
PEMBAHASAN

Dari sudut isi, perangkat pembelajaran


berupa media PowerPoint berbahasa inggris
tersebut, memperoleh skor rerata sebesar
92,05%, yang berarti memenuhi kriteria
sangat baik. Sumbangan terbesar diperoleh
dari subkomponen cakupan materi (100%),
keakuratan materi (100%), merangsang
keingintahuan (100%), dan pengembangan
kecakapan hidup (100%). Sumbangan
terkecil diperoleh dari subkomponen
kemutahiran
(75%).
Subkomponen
kemutahiran memperoleh skor rerata hanya
75% disebabkan materi yang disajikan
diambil dari satu reference. Contoh-contoh
yang disajikan dirasa kurang relevan dan

FIS - 184

kurang menarik, serta belum mencerminkan


peristiwa, kejadian, atau kondisi termasa
(up to date). Contoh dari buku reference itu
adalah peristiwa-peristiwa sehari-hari tetapi
di luar negeri (Inggris), sehingga dirasa
kurang relevan dengan kondisi di sekeliling
mahasiswa. Subkomponen cakupan materi
mencapai skor rerata 100% karena 1) dari
sisi keluasan materi, materi yang disajikan
mencerminkan jabaran substansi materi
yang
terkandung
dalam
Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar
(KD), serta penambahan materi juga tidak
terlalu luas atau mengambang, 2) dari sisi
kedalaman materi, materi mencakup mulai
dari pengenalan konsep sampai dengan
interaksi antar konsep sesuai dengan yang
diamanatkan oleh standar kompetensi (SK)
dan
Kompetensi
Dasar
(KD).
Subkomponen keakuratan materi mencapai
skor rerata 100% karena 1) fakta yang
disajikan dengan kenyataan dan efisien
untuk meningkatkan pemahaman peserta
didik, 2) konsep yang disajikan tidak
menimbulkan banyak tafsir dan sesuai
dengan definisi yang berlaku dalam bidang
atau ilmu Fisika, 3) prinsip atau hukum
yang disajikan sesuai dengan peraturan
yang berlaku dalam bidang/ilmu fisika
secara benar atau akurat, 4) Teori yang
disajikan sesuai dengan yang belaku dalam
bidang atau ilmu Fisika, dan 5)
Prosedur/Metode yang disajikan dapat
diterapkan dengan runtut dan benar.
Subkomponen merangsang keingintahuan
mencapai skor rerata 100% karena uraian,
latihan dan contoh-contoh (soal, kasus,
fenomena alam) yang disajikan merangsang
peserta didik untuk berpikir lebih jauh.
Subkomponen pengembangan kecakapan
hidup mencapai skor rerata 100% karena 1)
Uraian, latihan, contoh-contoh yang
diberikan memotifasi peserta didik untuk
mengenal kelebihan dan kekurangan,serta
mengembangkan diri sendiri sebagai
pribadi
mandiri,makhluk
sosial,dan
makhluk ciptaan Tuhan, 2) Uraian, latihan,
contoh-contoh yang diberikan memotifasi
peserta didik untuk berkomunikasi,
berintreraksi, dan berkerja sama dengan
orang lain, 3) Uraian, latihan, contohcontoh yang diberikan memotifasi peserta
didik untuk memggali dan memanfaatkan
informasi, menyelesaikan masalah dan

SEMNAS MIPA 2010

membuat keputusan dalam kerja ilmiah,


dan 4) Uraian, latihan, contoh-contoh yang
diberikan memotifasi peserta didik untuk
melakukan pekerjaan atau profesi tertentu.
Dari sudut pembahasaan, perangkat
pembelajaran berupa media PowerPoint
berbahasa inggris tersebut, memperoleh
skor rerata sebesar 98,21%, yang berarti
memenuhi kriteria sangat baik. Sumbangan
terbesar diperoleh dari subkomponen
komunikatif (100%), Dialogis dan interaktif
(100%), lugas (100%), koherensi dan
keruntutan alur pikir (100%), serta
penggunaan istilah dan simbol/lambing
(100%). Sumbangan terkecil diperoleh dari
subkomponen
kesesuaian
dengan
perkembangan peserta didik (87,5%).
Walaupun sumbangan dari subkomponen
kesesuaian dengan perkembangan peserta
didik paling kecil tetapi skor reratanya
87,5%. Skor ini masuk kriteria sangat baik.
Subkomponen
kesesuaian
dengan
perkembangan peserta didik tidak 100%
disebabkan karena bahasa yang digunakan,
kurang sesuai dengan kematangan emosi
peserta didik dengan ilustrasi yang kurang
menggambarkan
konsep-konsep dari
lingkungan terdekat sampai dengan
lingkungan yang lebih luas. Salah satu
subkomponen yang yang menyumbang
besar adalah koherensi dan keruntutan alur
pikir. Subkomponen ini mencapai skor
rerata 100% karena 1) Penyampaian pesan
antara satu bab dengan bab lain/ subbab
dengan subbbab/ antar alinea dalam subbab
yang berdekatan mencerminkan keruntutan
dan keterkaitan isi, dan 2) Pesan atau materi
yang disajikan dalam satu bab/subbab/alinia
mencerminkan kesatuan tema. olah
berdiskusi dengan penulis slide PowerPoint
Dari sudut penyampaian, perangkat
pembelajaran berupa media PowerPoint
berbahasa inggris tersebut, memperoleh
skor rerata sebesar 93,33%, yang berarti
memenuhi kriteria sangat baik. Sumbangan
terbesar diperoleh dari subkomponen
penyajian pembelajaran (95%). Sumbangan
terkecil diperoleh dari subkomponen teknik
penyajian
(62,5%).
Subkomponen
penyajian pembelajaran mencapai skor
rerata 95% karena 1) penyajian materi
materi menempatkan peserta didik sebagai
subjek pembelajaran, 2) penyajian materi
bersifat interaktif dan partisipatif yang
memotifasi peserta didik terlibat secara

FIS - 185

mental dan emosional dalam pencapaian


Standart Kompetensi (SK) dan Kompetensi
Dasar (KD), 3) penyajian materi bersifat
dialogis yang memungkinkan peserta didik
seolah, dan 4) metode dan pendekatan
penyajian diarahkan
ke metode
inkuiri/eksperimen, meskipun tidak setiap
bab
menyajikan
slide
rangkuman/kesimpulan dan atau soal
latihan untuk mengukur keberhasilan
belajar peserta didik. subkomponen teknik
penyajian menyumbang terkecil sebesar
62,5% karena 1) penyajian konsep kurang
menunjukkan hirarki dari yang mudah ke
sukar, atau dari yang konkret ke abstrak,
dan dari yang sederhana ke kompleks, dari
yang dikenal sampai yang belum dikenal,
dan 2) penyajian kurang sesuai dengan alur
berpikir deduktif (umum ke khusus ) atau
induktif (khusus ke umum).

Purnamawati dan Eldarni, 2001. Media


Pembelajaran IPA, Jakarta: Bina
Aksara.
Subiyanto. 2000. SBM IPA. Malang:
IKIP Malang.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

1)
Media
pembelajaran
berupa
PowerPoint Fisika Dasar II memenuhi
kriteria kelayanan dengan skor total
94,12%, dengan kriteria sangat baik, 2)
Perangkat Midle Test I, Midle Test II,
dan Final Test berbahasa inggris
memenuhi kriteria valid dan soal tes
berbentuk esay.
Saran

1) Hiharapkan dilakukan penelitian


sejenis untuk matakuliah satu dengan
metode yang sama. 2) Sebaiknya
melibatkan teman sejawat dalam bentuk
Lesson Study, dan 3) PowerPoint yang
telah dibuat disarankan dilengkapi
dengan link video, sehingga lebih
menarik.
DAFTAR RUJUKAN

Brown. (1973). An of current problems


facing the science teachers development
and training centre in Indonesia.
Unpublished doctoral thesis, Curtin
Univesity of technology, perth, Western
Australia.
Harjanto, 1997, Penggunaan Media
Pembelajaran IPA, Jakarta: Bina
Aksara.
Jurusan Fisika FMIPA UM, 2008.
Silabus. Malang, Penerbit UM

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 186

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEDAGOGIK CALON GURU


FISIKA DENGAN PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI
Lia Yuliati
Jurusan Fisika FMIPA UM
E-mail: liayuliati_um@yahoo.com

Abstrak
Penelitian untuk meningkatkan kemampuan pedagogik calon guru, khususnya kemampuan menerapkan
model pembelajaran fisika sekolah. Penelitian dilakukan pada calon guru di Program Studi Pendidikan
Fisika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Penelitian dilaksanakan untuk
mendeskripsikan kemampuan pedagogik calon guru fisika setelah memperoleh pembelajaran berbasis
inkuisi. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi, tes, portofolio, angket dan catatan
lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif-kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan pedagogik calon guru dapat dibangun dan ditingkatkan dengan pembelajaran berbasis
inkuiri. Kemampuan pedagogik yang merujuk pada kemampuan melaksanakan pembelajaran merupakan
keterampilan yang dapat dilatihkan dan dapat berkembang lebih baik jika calon guru diberi contoh.
Kata kunci : calon guru fisika, kemampuan pedagogik, pembelajaran berbasis inkuiri

1. PENDAHULUAN
Guru merupakan komponen utama
dalam sistem pendidikan selain siswa dan
tujuan. Guru menjadi ujung tombak dalam
keberhasilan pendidikan. Dalam situasi
tertentu, tugas guru dapat dibantu oleh unsur
lain misalnya dengan penggunaan media,
tetapi peran guru tidak dapat digantikan.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas guru
menjadi fondasi peningkatan kualitas
pendidikan.
Kualitas
guru
pertama-tama
ditentukan oleh pendidikan calon guru di
LPTK (Jalal & Supriadi, 2001:245).
Semakin baik kualitas lulusan LPTK,
semakin besar peluang untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Modal kemampuan dan
sikap-sikap keguruan calon guru yang
terbina secara mantap sejak awal akan
mempermudah usaha-usaha lanjutan untuk
meningkatkan kualitas
guru dengan
pembinaan yang berkelanjutan.
Calon guru IPA hendaknya memiliki
pengetahuan dan kemampuan tentang IPA,
belajar IPA dan mengajar IPA (National
Research
Council/NRC,
1996:28).
Pengembangan kemampuan calon guru IPA
tersebut juga hendaknya mengintegrasikan
kemampuan profesional dan kemampuan
pedagogik (Adair & Chiaverina, 2000).
Kemampuan pedagogik calon guru
dibangun melalui proses pembelajaran di
LPTK. Proses pembelajaran bagi calon guru
SEMNAS MIPA 2010

hendaknya
dapat
mengembangkan
kemampuan calon guru. Wahana yang dapat
menumbuhkan
dan
mengembangkan
kemampuan calon guru adalah pembelajaran
berbasis
inkuiri
(McDermott,
1990;
McDermott, dkk., 2000). Pembelajaran
berbasis inkuiri merupakan pembelajaran
yang melibatkan calon guru (peserta didik)
secara fisik dan mental untuk memecahkan
masalah (Hinduan, 2003; Rustaman, 2005).
Pembelajaran
berbasis
inkuiri
mempertanyakan fenomena yang terjadi dan
menemukan jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan tersebut.
Undang-undang No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen menyebutkan
pengertian tentang kompetensi pedagogik
adalah
kemampuan
mengelola
pembelajaran peserta didik. Sementara itu,
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14
Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan menyebutkan bahwa kompetensi
pedagogik merupakan kemampuan dalam
pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a)
pemahaman wawasan atau landasan
kependidikan; (b) pemahaman terhadap
peserta
didik;
(c)
pengembangan
kurikulum/silabus;
(d)
perancangan
pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran
yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi
hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta
didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya.
FIS - 187

Secara garis besar, kompetensi


pedagogik
meliputi
kemampuan
merencanakan pembelajaran, kemampuan
melaksanakan dan mengelola pembelajaran,
dan kemampuan melakukan penilaian.
Kemampuan merencanakan pembelajaran
mencakup kemampuan: (1) merencanakan
pengorganisasian
bahan
ajar,
(2)
merencanakan pengelolaan pembelajaran
dan pengelolaan kelas, (4) merencanakan
penggunaan media dan sumber belajar; dan
(5) merencanakan penilaian hasil belajar
siswa.
Kemampuan
melaksanakan
pembelajaran merupakan tahap pelaksanaan
rencana pembelajaran yang telah disusun.
Dalam kegiatan ini, guru d tuntut untuk aktif
menciptakan dan menumbuhkan kegiatan
belajar siswa sesuai dengan rencana yang
telah disusun. Secara garis besar,
kemampuan melaksanakan pembelajaran
merupakan
kemampuan
mengimplementasikan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran
(RPP).
Pelaksanaan
pembelajaran tersebut meliputi kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan
penutup. Kemampuan melakukan penilaian
merupakan kemampuan mengukur tingkat
pencapaian kompetensi peserta didik, serta
digunakan sebagai bahan penyusunan
laporan kemajuan hasil belajar, dan
memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian
dilakukan secara konsisten, sistematik, dan
terprogram dengan menggunakan tes dan
nontes dalam bentuk tertulis atau lisan,
pengamatan kinerja, pengukuran sikap,
penilaian hasil karya berupa tugas, proyek
dan/atau produk, portofoiio, dan penilaian
diri.
Penilaian
hasil
pembelajaran
menggunakan Standar Penilaian Pendidikan
dan Panduan Penilaian Kelompok Mata
Pelajaran.
Pembelajaran berbasis inkuiri (an
inquiry-based teaching and learning)
didasarkan pada filosofi konstruktivisme
(Christie,
2002).
Pada
filosofi
konstrutivisme ini, peserta didik berperan
aktif dalam proses belajar. Penganut
konstruktivis berkeyakinan bahwa peserta
didik secara aktif membangun (construct)
pemahamannya dari pengalaman belajarnya.
Pembelajaran
berbasis
inkuiri
melibatkan peserta didik dalam penyelidikan
IPA melalui pengalaman nyata. Dalam
pembelajaran berbasis inkuiri, peserta didik
diikutsertakan dalam pertanyaan-pertanyaan
SEMNAS MIPA 2010

berorientasi ilmiah (scientifically oriented


questions), peserta didik mengutamakan
fakta dalam merespon pertanyaan, peserta
didik menyusun penjelasan dari fakta,
peserta didik menghubungkan penjelasan
terhadap pengetahuan ilmiah, dan peserta
didik
mengkomunikasikan
dan
mempertimbangkan
penjelasan
yang
dikemukakannya (NRC, 2000:39).
Aspek terpenting dalam pembelajaran
berbasis inkuiri adalah pertanyaan. Menurut
Hebrank
(Rustaman,
2005),
inkuiri
merupakan seni bertanya IPA tentang gejala
alam dan menemukan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Kemampuan bertanya ini sangat penting
bagi calon guru karena melalui pertanyaan
calon
guru
dapat
melaksanakan
pembelajaran inkuiri dan menerapkannya
dalam pembelajaran di sekolah.
Upaya
peningkatan
kemampuan
mengajar calon guru fisika tersebut perlu
dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, dalam
upaya peningkatan kemampuan calon guru
lebih optimal dan membangun kemampuan
mengajar calon guru fisika lebih dini
khususnya di Jurusan Fisika FMIPA
Universitas Negeri Malang, maka perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
untuk
meningkatkan kemampuan menerapkan
model
pembelajaran
fisika
sekolah.
Penelitian
tersebut
bertujuan
untuk
menemukan pola dan bentuk perkuliahan
yang sebaiknya dibekalkan kepada calon
guru dalam upaya membangun kemampuan
mengajar calon guru fisika, khususnya
kemampuan
menerapkan
model
pembelajaran fisika sekolah.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Jurusan
Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang.
Subyek penelitian adalah mahasiswa calon
guru semester 7 peserta mata kuliah
Pengembangan Program Pengajaran Fisika
(PPPF). Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif
yang
bertujuan
untuk
mengumpulkan informasi mengenai status
suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala
menurut apa adanya pada saat penelitian
dilakukan. Jadi tujuan penelitian ini adalah
untuk membuat penjelasan secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta

FIS - 188

tentang upaya pengembangan kemampuan


pedagogik calon guru fisika. Penelitian
difokuskan pada komptetensi pedagogik
yaitu kemampuan calon guru merencanakan,
melaksanakan
dan
mengevaluasi
pembelajaran,
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian meliputi data kualitatif dan data
kuantitatif. Data kualitatif terdiri dari hasil
pengamatan proses perkuliahan dan respon
mahasiswa. Data kuantitatif terdiri dari skor
kemampuan
mengajar
calon
guru
Pengumpulan data dilakukan dengan
perekaman terhadap semua aspek yang
terjadi
selama
proses
pelaksanaan
pembelajaran
dengan
menggunakan
pedoman observasi, portofolio, catatan
lapangan dan tes. Analisis data dilakukan
secara kualiatif dan kuantitatif.
3. HASIL PENELITIAN
Penguasaan Calon Guru terhadap Teori
Pembelajaran
Data penguasaan teori pembelajaran
dikelompokkan pada kategori kelompok

atas, tengah dan bawah. Data tersebut


diperoleh dari pre-post
test
yang
dilaksanakan pada saat perkuliahan. Hasil
analisis data penguasaan teori pembelajaran
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1

Analisis Skor Penguasaan


Teori Pembelajaran Calon
Guru

Kategori Rerata dan SD Rerata dan SD Rerata dan SD


Skor Pre-test Skor Post-test Gain Score
Atas
Tengah
Bawah

53.6
8.47
59.6
10.41
53.6
9.08

74.8
7.55
72.4
7.65
67.2
7.00

0,44
0,20
0,31
0,15
0,28
0,18

Menerapkan
Pembelajaran Fisika Sekolah

Model

Kemampuan

Kemampuan menerapkan model


pembelajaran fisika sekolah tergali pada
saat calon guru melaksanakan praktek
mengajar. Data kemampuan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rekapitulasi Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran Calon Guru Fisika


Kemampuan
Mengajar
Penguasaan
Bahan Ajar

Melaksanakan
Pembelajaran

Komponen
Kemampuan
Indikator
Mengajar
Menyajikan Menunjukkan penguasaan struktur ilmu dari materi
bahan ajar
yang disajikan
Menunjukkan penguasaan konsep dari materi yang
disajikan
Mengkaitkan bahan ajar dengan pengetahuan lain
Mendorong siswa memecahkan masalah kehidupan
sehari-hari
Membuka
Menggali pengetahuan awal siswa
pembelajaran Memotivasi siswa dengan peristiwa/alat/data
Mengemukakan masalah
Mengemukakan tujuan pembelajaran
Mengguna- Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
kan model
rancangan pembelajaran
pembelajaran Menunjukkan
kemampuan
menerapkan
metode/pendekatan pembelajaran
Menggunakan multi metode pembelajaran untuk
menyampaikan bahan ajar
Mengguna- Menggunakan media/alat laboratorium sesuai
kan
media karakteristik bahan ajar
pembelajaran Menunjukkan
keterampilan
menggunakan
media/alat laboratorium
Memberi kesempatan pada siswa untuk belajar
dengan menggunakan alat laboratorium

SEMNAS MIPA 2010

Persentase
Kemajuan
80
95
80
70
100
90
85
100
80
70
100
100
90
100

FIS - 189

Kemampuan
Mengajar

Komponen
Kemampuan
Indikator
Mengajar
Mengelola
Menunjukan sikap tanggap dan perhatian terhadap
kelas
perilaku siswa
Memberi
kesempatan
pada
siswa
untuk
mengemukakan dan mempertahankan pendapatnya
Menunjukkan kemampuan dalam mengatur
interaksi antara guru dan siswa, siswa dan siswa.
Menutup
Membimbing siswa membuat rangkuman/ringkasan
pelajaran
belajar
Memberikan balikan terhadap belajar siswa
Memberikan tugas/pekerjaan rumah sesuai tujuan
pembelajaran

4. PEMBAHASAN
Kemampuan pedagogik mencakup
kemampuan merencanakan pembelajaran,
melaksanakan
pembelajaran,
dan
mengevaluasi pembelajaran. Kemampuan
pedagogik hanya dapat diperoleh melalui
latihan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa calon guru yang memperoleh
kesempatan
berlatih
lebih
banyak
menunjukkan kemampuan pedagogik yang
lebih baik. Kesempatan berlatih ini
dilakukan secara terintegrasi pada praktek
mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan
pedagogik,
terutama
menerapkan
model
pembelajaran,
merupakan keterampilan yang harus
dilatihkan. Hasil penelitian terdahulu
diungkapkan
bahwa
kemampuan
melaksanakan
pembelajaran,
yang
memadukan teori dan praktek mengajar,
merupakan salah satu jenis kemampuan
pedagogik yang hanya dapat dikembangkan
dan dikuasai calon guru melalui latihan
(Cooper, 1990:8; NRC, 1996).
Praktek mengajar merupakan salah
satu tugas perkuliahan yang diwajibkan pada
setiap calon guru. Melalui kegiatan praktek
mengajar diharapkan calon guru dapat
berlatih dan menguji kemampuannya dalam
melaksanakan pembelajaran fisika sekolah
dengan materi tertentu sesuai dengan
kurikulum sekolah. Melalui praktek
mengajar juga diharapkan calon guru dapat
melakukan evaluasi diri (self-evaluation)
dan dapat melakukan penilaian pada
pembelajaran yang dilakukan calon guru
lainnya (peer-evaluation)
Kemampuan membuka pembelajaran
pada calon guru masih perlu peningkatan.
Hal ini terkait dengan kemampuan
SEMNAS MIPA 2010

Persentase
Kemajuan
100
100

100
90
90
100

menerapkan model pembelajaran fisika


sekolah dengan pencapaian kemajuan
terendah. Kemampuan menerapkan model
pembelajaran
merupakan
kemampuan
esensial yang harus dikuasai calon guru dan
guru. Kemampuan ini bersifat praktis, dalam
arti bahwa kemampuan ini hanya dapat
dikembangkan dan dikuasai calon guru bila
perolehannya dilakukan dengan pengalaman
langsung melalui contoh ((McDermott,
1990; McDermott, et al., 2000), dan latihan
(Cooper, 1990:8). Latihan kemampuan
menerapkan model pembelajaran dilakukan
dengan praktek mengajar yang memberikan
kesempatan pada calon guru untuk berlatih
dan
menguji
kemampuannya
dalam
melaksanakan
pembelajaran.
Praktek
mengajar dirancang untuk menjembatani
pemahaman bahwa mengajar bukan hanya
merupakan pengetahuan teori tetapi
merupakan pengetahuan praktis yang harus
sering dilatih.
Calon guru pada umumnya memiliki
kemampuan untuk menggunakan media/alat
laboratorium yang digunakan dalam
pembelajaran. Namun kemampuan tersebut
masih
terbatas
pada
kemampuan
menggunakan media/alat sebagai alat
eksperimen di laboratorium. Calon guru
cenderung mengajak siswa untuk melakukan
eksperimen dan memberitahukan cara
menggunakan alat tersebut pada siswa. Hal
terpenting dari media pembelajaran yang
hendaknya dikuasai calon guru adalah cara
menggunakan
media/alat
laboratorium
sebagai alat bantu pembelajaran yang dapat
mempermudah siswa menguasai konsep
yang
diberikan
(Hasibuan
&
Moedjiono,1995:64).
Kemampuan yang tergali pada
praktek menerapkan model pembelajaran
FIS - 190

adalah kemampuan bertanya calon guru.


Secara keseluruhan, kemampuan bertanya
calon guru dapat dikembangkan melalui
pembelajaran inkuiri. Contoh yang diberikan
dosen mempermudah calon guru dalam
mengembangkan kemampuannya. Contoh
tersebut menjadi acuan cara merumuskan
pertanyaan, mengajukan pertanyaan, dan
cara menggunakan teknik bertanya dalam
suatu pembelajaran. Diskusi yang dilakukan
setelah contoh, memberi kesempatan pada
calon
guru
untuk
mengembangkan
kemampuan berkomunikasi, mengemukakan
dan mempertahankan pendapat. Tugas yang
diberikan melatih calon guru untuk
mempraktekkan kemampuan bertanya secara
langsung dan sistematis. Penilaian diri yang
diterapkan dalam penelitian mengajak calon
guru untuk selalu melakukan introspeksi dan
perbaikan secara terus menerus.
Berdasarkan kategori pertanyaan yang
mencakup pertanyaan divergen, pertanyaan
konvergen, dan pertanyaan produktif, calon
guru dapat merumuskan pertanyaan (75%)
dan
mengajukan pertanyaan (83%).
Kesulitan terjadi pada saat merumuskan
pertanyaan
produktif.
Berdasarkan
taksonomi Bloom, calon guru lebih banyak
merumuskan dan mengajukan pertanyaan
dalam ranah pengetahuan (C1) dan
pemahaman (C2). Calon guru perlu
bimbingan yang lebih intensif dalam
merumuskan dan mengajukan pertanyaan
produktif karena pertanyaan produktif
diperlukan dalam pembelajaran sains
(Harlen, 1993:84).
Kemampuan bertanya memegang
peranan penting jika calon guru hendak
menerapkan pembelajaran inkuiri dan
konstruktivis (NRC, 2000:46 ; Rustaman,
2005).
Pembelajaran
inkuiri
dan
konstruktivis ini merupakan hal yang harus
diperhatikan dan harus dilakukan guru
dalam mengimplementasikan kurikulum
berbasis kompetensi. Kemampuan bertanya
juga merupakan keterampilan mengajar
yang esensial dalam pembelajaran.
Respons calon guru merupakan
tanggapan dan reaksi calon guru terhadap
model perkuliahan yang diterapkan. Hasil
analisis data menunjukkan bahwa respons
calon guru beragam. Sebagian calon guru
menyatakan sangat setuju dan sebagian yang
lain menyatakan sangat tidak setuju pada
komponen pembelajaran dari model
SEMNAS MIPA 2010

perkuliahan yang diterapkan. Informasi lain


hasil wawancara menyatakan
bahwa
keberhasilan
mahasiswa
disebabkan
berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut
diantaranya
adalah
bahwa
model
perkuliahan yang diterapkan dosen menuntut
calon guru untuk selalu mempresentasikan
dan mempraktekkan materi yang dibahas
pada setiap pertemuan, dan setiap calon guru
diharuskan membuat tugas mingguan yang
dikaitkan dengan tugas berikutnya. Adanya
keharusan bagi setiap calon guru untuk
membuat rancangan pembelajaran sebelum
praktek mengajar, dan adanya pandangan
bahwa menjadi guru tidak perlu persiapan
secara tertulis, menguasai konsep fisikanya
saja sudah cukup untuk bisa berdiri di
depan kelas menjadi beban dan belum
menjadi suatu kebiasaan.
5. KESIMPULAN
Kemampuan pedagogik calon guru
dapat dibangun dan ditingkatkan dengan
pembelajaran berbasis inkuiri. Pembelajaran
ini memberi kesempatan bagi calon guru
untuk melatih kemampuan bertanya dan
mengajukan
pertanyaan,
kemampuan
menggunakan media pembelajaran, dan
melaksanakan
pembelajarannya
sesuai
perencanaan. Kemampuan pedagogik calon
guru dapat berkembang jika calon guru
diberi kesempatan berlatih lebih banyak.
Kemampuan pedagogik yang merujuk pada
kemampuan melaksanakan pembelajaran
merupakan keterampilan yang dapat
dilatihkan dan dapat berkembang lebih baik
jika calon guru diberi contoh. Respons calon
guru terhadap pembelajaran berbasis inkuiri
beragam mulai dari calon guru yang
menyatakan tidak setuju sampai ke sangat
setuju. Sebagian besar (78,36%) calon guru
menyatakan setuju terhadap penerapan
pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran berbasis inkuiri.
DAFTAR RUJUKAN
Adair, L. M. & Chiaverina, C. J. 2000.
Preparation of Excellent Teachers at All Levels.
Canada: AAPT Planning Meeting, 27-28 Juli
2000.
Harlen, W. 1993. The Teaching of Science.
London: David Fulton Publisher Ltd.
Hinduan, A. A. 2003. Meningkatkan Kualitas
Sumber Daya Manusia melalui Pendidikan IPA.

FIS - 191

(Makalah). Dipresentasikan dalam Seminar


Himpunan Sarjana dan Pemerhati Pendidikan
IPA Indonesia II (HISPPIPAI). Bandung, 1-2
Agustus 2003.
Jalal, F. & Supriadi, D. (editor). 2001. Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
Bappenas Adicita Karya Nusa.
McDermott, L.C. 1990 A Perspective on Teacher
Preparation in Physics and Other Sciences: The
Need for Special Science Course for Teacher.
American Journal of Physics. 58 (8). p. 734-742.
McDermott, L. C., Shafferi, P. S.,
&
Constantinou, C. P.. 2000. Preparing Teachers to
Teach Physics and Physical Science by Inquiry.
Physics Education. 35(6). p. 411-416.
National Research Council. 1996 National
Science Education Standard. Washington DC:
National Academy Press.
National Research Council. 2000. Inquiry and
the National Science Education Standard: A
Guide for Teaching and Learning. Washington
DC: National Academy Press.
Rustaman, N. Y. 2005
Perkembangan
Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam
Pendidika Sains. (Makalah). Dipresentasikan
dalam Seminar Himpunan Sarjana dan Pemerhati
Pendidikan IPA Indonesia III (HISPPIPAI).
Bandung, 22-23 Juli 2005.

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 192

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN
KOOPERATIF MODEL STUDENT FASILITATOR AND
EXPLAINING (SFAE) UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN,
PENGUASAAN MATERI DAN KETERAMPILAN PRAKTEK
MENGAJAR MATA KULIAH SBM FISIKA
MAHASISWA PRODI PEND. FISIKA FMIPA-UM
Wartono
Jurusan Fisika
Universitas Negeri Malang
Jl. Surabaya 6, Malang 65145 Tlp. (0341) 552125

Abstract

Program Studi Pendidikan Fisika FMIPA-UM bertugas mencetak guru fisika yang profesional
(Katalog FMIPA, 2009). Guru fisika yang profesional haruslah cakap dalam melaksanakan tugasnya
serta mampu menguasai materi fisika, memahami dan menghayati materi pendidikan, serta penguasaan,
penghayatan, dan keterampilan dalam mata kuliah proses belajar mengajar fisika (PBM). Masingmasing materi tersebut mempunyai peran dan kontribusi dalam terbentuknya guru fisika yang handal. Di
antara mata kuliah PBM, Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar Fisika (SBMF) (FIP 443) mempunyai
kedudukan yang strategis karena merupakan fondasi untuk mata kuliah PBM.
Mata Kuliah SBMF, bertujuan agar mahasiswa mampu menguasai metodologi pembelajaran
secara teori serta terampil mengaplikasikannya dalam praktek pembelajaran fisika (Kurikulum dan
Silabi Prodi Pend. Fisika, 2007).
Berdasarkan pengamatan terhadap perkuliahan SBMF , didapatkan fakta bahwa mahasiswa
memahami dengan baik teori dan konsep SBMF tetapi mengalami kesulitan ketika mempraktekkan
metodologi pembelajaran dalam micro teaching. Perbaikan dilakukan dengan menerapkan
pembelajaran kooperatif model student fasilitator and explaining (SFAE) agar mampu meningkatkan
penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran serta mampu meningkatkan keterampilan (skill)
dalam penerapan metodologi pembelajaran. Dengan penerapan pembelajaran kooperatif model student
fasilitator and explaining dijamin akan terjadi sinergi yang mantap antara anggota kelompok sehingga
mampu memacu hasil belajar, baik teori maupun praktek .
Untuk mengetahui efektivitas SFAE peningkatan penguasaan teori dan konsep metodologi
pembelajaran serta prakteknya (skill) dalam pembelajaran, dibandingkan dengan MPK, dilakukan
penelitian yang sifatnya eksperimen di prodi pendidikan Fisika semester 2 tahun 2009-2010.
Mahasiswa off a sebagai kelompok eksperimen dan off B sebagai kelompok kontrol.
Untuk menguji efektivitas MPIAL dibandingkan MPK tersebut analisis yang digunakan uji
perbedaan t dengan satu ekor.
Berdasarkan analisis data penelitian, diperoleh kesimpulan: (1) penerapan SFAE lebih efektif
dalam meningkatkan keaktifan mahasiswa dalam belajar dibandingkan MPK; (2) penerapan SFAE
lebih efektif dalam meningkatkan penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran dari pada
MPK. (3) penerapan SFAE lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan (skil) dalam
melaksanakan pembelajaran dibandingkan MPK.
Kata kunci: model pembelajaran, SFAE, hasil belajar, keterampilan, keaktifan

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 193

PENDAHULUAN

Program Studi Pendidikan Fisika


FMIPA-UM bertugas mencetak guru fisika
yang profesional (Katalog FMIPA, 2009).
Guru fisika yang profesional ditandai
dengan kecakapannya dalam menjalankan
tugasnya yaitu mengajar dan mendidik para
siswanya melalui pembelajaran fisika. Agar
guru fisika mampu mengajar dan mendidik,
perlu bekal yang cukup. Bekal tersebut
adalah (1) penguasaan materi fisika, (2) pemahaman dan penghayatan materi pendidikan, dan (3) penguasaan dan penghayatan
materi matakuliah Proses Belajar Mengajar
(PBM) serta terampil dalam penerapannya.
(Wartono, 2008).
Dari uraian di atas terlihat jelas betapa
pentingnya peranan mata kuliah fisika, mata
kuliah pendidikan, maupun mata kuliah
proses belajar mengajar (PBM). Masingmasing materi tersebut mempunyai peran
dan kontribusi dalam terbentuknya guru
fisika yang handal. Di antara mata kuliah
PBM, mata kuliah Strategi Belajar Mengajar
Fisika (FIP 443) mempunyai kedudukan
yang strategis karena merupakan fondasi
untuk mata kuliah PBM lainnya seperti Mata
Kuliah Pengembangkan Program Pembelajaran Fisika (FIP 449) yang merupakan mata
kuliah puncak PBM sebelum mahasiswa
melaksanakan praktek pengalaman lapangan
(PPL).
Mata kuliah Strategi Belajar Mengajar
Fisika, bertujuan agar mahasiswa mampu
menguasai metodologi pembelajaran secara
teori serta terampil mengaplikasikannya dalam praktek pembelajaran fisika (Kurikulum
dan Silabi Prodi Pend. Fisika, 2007).
Karakteristik mata kuliah ini seperti halnya
mata kuliah PBM lainnya, yaitu mengutamakan keterampilan dalam melaksanakan
pembelajaran dengan mengaplikasikan berbagai melodologi pembelajaran yang sesuai
dengan materi yang diajarkan. Penguasaan
teori dan konsep metodologi pembelajaran
digunakan sebagai landasan agar mampu
mengaplikasikannya dengan baik dalam
praktek pembelajaran fisika.
Materi pokok mata kuliah Strategi
Belajar Mengajar Fisika adalah (1) Hakikat
belajar dan pertistiwa belajar sains/Fisika,
(2) Hakikat mendidik dan peristiwa mendidik, (3) Metode-metode pembelajaran dalam
bidang studi fisika; (4) Pendekatan-pendekatan pembelajaran dalam bidang studi
SEMNAS MIPA 2010

fisika; dan (5) Model-model pembelajaran


fisika (Silabus Fisika, 2008).
Model Pembelajaran Konvensional
(MPK) selama ini dilakukan sebagai berikut:
(1) Dosen menerangkan dan mendiskusikan
materi matakuliah langkah demi langkah; (2)
Dosen memberikan contoh praktek mengajar
dengan menerapkan metodologi pembelajar
sesuai dengan materi pelajaran di SMA; (3)
Mahasiswa secara individu melaksanakan
praktek mengajar dengan menerapkan metodologi pembelajaran sesuai materi pelajaran
SMA yang ditugaskan. Dimungkinkan
mahasiswa diberi kesempatan dua atau tiga
kali praktek.
Berdasarkan pengamatan selama
membina mata kuliah Strategi Belajar
Mengajar Fisika dengan 3 sks dan 4 js,
didapatkan hal-hal sebagai berikut. (1)
Mahasiswa memahami dengan baik teori
dan konsep Strategi Belajar Mengajar
Fisika; (2) Mahasiswa mengalami kesulitan
dalam hal keterampilan mengaplikasikannya
metodologi pembelajaran, walaupun sudah
diberi kesempatan praktek dua atau tiga kali.
Begitu mahasiswa praktek mengajar Strategi
Belajar Mengajar Fisika mereka seperti
grogi dan praktek pembelajaran menjadi
kacau.
Kekurangan ini harus segera dicari
pemecahannya, agar tujuan utama mencetak
guru yang professional dapat diwujudkan.
Menurut analisis diperkirakan mahasiswa
perlu pengalaman yang cukup banyak lagi
dan sesering mungkin, tetapi perlu dikemas
secara bervariasi supaya mahasiswa tidak
bosan dan bahkan terpacu sehingga mampu
menjadi guru yang profesional.
Satu satu alternatif pemecahan permasalahan di atas yang paling tepat adalah
dengan penerapan Pembelajaran Kooperatif
Model Student Fasilitator and Explaining
(SFAE) yang merupakan model pembelajaran yang menempatkan mahasiswa dalam
kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 3-4 siswa. Pembelajaran ini
menekankan kerjasama dalam kelompok
untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu (1)
saling ketergantungan positif; (2) interasksi
langsung antar mahasiswa; (3) pertanggungjawaban individu; (4) keterampilan berinteraksi antar individu dalam kelompok; dan (5)
keefektifan proses kelompok.
SFAE adalah model pembelajaran
kooperatif yang mendasarkan pada penugasFIS - 194

an tiap-tiap kelompok, dimana masingmasing kelompok diberi tugas yang berbeda.


Masing-masing kelompok bertanggung jawab untuk mengorganisasi kelompoknya
dalam mencari informasi tentang tugas yang
didapatkan
melalui
sumber
belajar.
Kelompok berdiskusi untuk menyelesaikan
tugas. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok
lain membuat pertanyaan pada masingmasing topik diskusi.
LANDASAN TEORI

Lewin sebagai pakar psikologi sosial,


mengembangkan teori-teori dinamika kelompok dan interaksi sosial. Hasil penelitiannya dalam psikologi sosial menunjukkan
bahwa diskusi kelompok khususnya ketika
semua anggota kelompok harus memikul
tanggung jawab bersama ternyata lebih
efektif dalam mengubah sikap dan perilaku
individu daripada pengajaran yang bersifat
persuasif.
Pandangan Lewin ini kemudian disempurnakan oleh Deutsch juga pakar
psikologi social, yang mengembangkan teori
pemrosesan kelompok didasarkan pada
tujuan dan ganjaran bersama. Berdasarkan
hasil penelitian, Deutsch menyatakan bahwa
ketika sebuah kelompok diganjar berdasarkan perilaku anggota-anggotanya, anggota
kelompok akan mendorong anggota lainnya
dalam kelompok untuk mengerjakan apapun
dalam rangka membantu kelompok agar
dianugerahi ganjaran.
Hasil kerja Lewin dan Deutsch mengarah pada persepsi baru tentang kekuatan
kelompok yang betul-betul terpadu untuk
menyelesaikan sesuatu, mendorong dan
membantu para anggota, dan memperoleh
keseluruhan yang lebih besar dari jumlah
masing-masing bagiannya.
Beberapa tahun terakhir, terjadi inovasi dalam pendidikan degan cara mempengaruhi pengorganisasian kelas. Guru
dalam melaksanakan program-program pembelajaran yang memungkinkan siswa diorganisasi menjadi kelompok-kelompok kecil
untuk menyelesaikan tugas, memecahkan
masalah, dan mengerjakan kegiatan praktek.
Belajar kooperatif didasarkan pada
hubungan antara motivasi, hubungan interpersonal, dan pencapaian tujuan khusus.
Menurut teori-teori psikologi sosial, suatu
tingkat ketegangan dalam individu memoSEMNAS MIPA 2010

tivasi gerakan ke arah pencapaian tujuan


yang diinginkan. Dengan demikian, dari ide
terebut individu-individu mendorong untuk
mencapai tujuan yang diinginkan yang
memotivasi perilaku, apakah itu secara
individualistik, kompetitif, atau kooperatif.
Teori belajar kooperatif menyatakan
bahwa perilaku tersebut diantara individuindividu dalam sebuah kelompok adalah
sinergis, yakni tujuan-tujuan individu dalam
sebuah kelompok diikat sedemikian sehingga pencapaian tujuan kooperatif dikorelasikan secara positif, atau lebih besar dari
kinerja individu dari anggota kelompoknya.
Prinsip tersebut bekerja pada bebagai model
pembelajaran kooperaif.
Bagaimana pembelajaran kooperatif
dalam menfasilitasi siswa untuk belajar, ada
beberapa pandangan berkaitan dengan pernyataan tersebut. Pakar behavioristik menjelaskannya sebagai berikut. Para siswa yang
bekerja dalam sebuah kelompok berkompetisi degan kelompok-kelompok lainnya.
Para siswa dalam satu kelompok bekerja
bersama untuk menyelesaikan sebuah tugas.
Para siswa dibawa ke dalam suatu situasi
yang menciptakan iklim bahwa keberhasilan
mereka bergantung pada perilaku dan
kinerja siswa lainnya dalam kelompoknya.
Keberhasilan tidak selalu berakibat pada
nilai, tetapi bekerja sebaik-baiknya dalam
sebuah tugas kompetitif yang membandingkan rata-rata kinerja satu kelompok dengan
kinerja kelompok lainnya. Dengan demikian, penghargaan kelompok dan tanggung
jawab individu merupakan esensi dari hasil
belajar.
Dipihak lain pandangan pakar kognitif
menyatakan bahwa tugas yang secara
intrinsik menarik dipadu dengan rentangan
kemampuan dan pengetahuan yang dibawa
siswa ke dalam kelas, dapat meningkatkan
lingkungan belajar. Tugas yang memerlukan
berbagai kemampuan untuk menyelesaikan
tampak efektif dalam mengurangi domiasi
siswa berkemampuan tinggi dalam belajar
kelompok. Alih-alih penitikberatan pada
kemampuan membaca, guru fisika harus
merangsang tugas kelompok yang memerlukan penalaran, prediksi, dan pemikiran
induktif, dan benda-benda manipulatif.
Menurut pakar psikologi tugas-tugas
semacam itu mendorong para siswa untuk
mengubah persepsi dan kompetisi yang
mereka miliki.
FIS - 195

Manusia memiliki derajat potensi,


latar belakang histories, serta harapan masa
depan yang berbeda-beda. Karena adanya
perbedaan tersebut, manusia dapat silih asah
(saling mencerdaskan). Pembelajaran kooperatif secara sadar menciptakan interaksi yang
silih asah sehingga sumber belajar bagi
siswa bukan hanya guru dan buku ajar tetapi
juga semua siswa.
Manusia adalah mahkluk individual,
berbeda satu sama lain, karena sifatnya yang
individual maka manusia yang satu membutuhkan manusia lainnya sehingga sebagai
konsekuensi logisnya manusia harus
menjadi mahkluk sosial, mahkluk yang
berinteraksi dengan sesamanya. Karena satu
sama lain saling membutuhkan maka harus
ada interaksi yang silih asih (saling menyayangi atau saling mencintai). Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran
yang secara sadar dan sengaja menciptakan
interaksi yang saling mengasihi antar sesame
siswa.
Perbedaan manusia yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan
ketersinggungan dan kesalapahaman antar
sesamanya. Agar manusia terhindar dari
ketersinggungan dan kesalapahaman maka
diperlukan interaksi yang silih asuh (saling
tenggang rasa).
Ada beberapa definisi pembelajaran
kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa
ahli pendidikan. Menurut Holubec, 2001
(Nurhadi, dkk, 2004:60) pembelajaran
koperatif (cooperative learning) merupakan
pendekatan pengajaran melalui penggunaan
kelompok kecil siswa untuk bekerjasama
dalam memaksimalkan kondisi belajar dan
mencapai tujuan belajar. Menurut Johson &
Johson (2005) pada umumnya hasil
penelitian dari penggunaan metode pembelajaran kooperatif akan menghasilkan prestasi
yang lebih tinggi, hubungan yang lebih
positif, dan penyesuaian psikologis yang
lebih baik daripada suasana belajar yang
penuh dengan persaingan dan memisahmisahkan siswa.
Sedangkan menurut Johson & Johson
(2005) cooperative learning merupakan
system pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama
dengan sesame siswa dalam tugas-tugas
terstruktur. Lie juga menyebut cooperative
learning sebagai sistem pembelajaran
gotong-royong. Dalam sistem pembelajaran
SEMNAS MIPA 2010

ini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator.


Dengan ringkas Abdurahman dan Bintoro
(Nurhadi, dkk. 2004:61) mengatakan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis
mengembangkan interaksi yang silih asah,
silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa
sebagai latihan hidup di dalam masyarakat
nyata.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan suatu pendekatan pembelajaran
yang didasarkan atas kerja kelompok, yang
menuntut keaktifan siswa untuk saling bekerjasama dan membantu dalam menyelesaikan masalah atau tugas yang diberikan oleh
guru. Melalui pembelajaran kooperatif siswa
didorong untuk bekerjasama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya.
Kerjasama yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah setiap anggota
kelompok harus saling membantu menguasai bahan ajar. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan rendah karena penilaian
akhir ditentukan oleh keberhasilan kelompok. Oleh karena itu setiap anggota kelmpok
harus mempunyai tanggung jawab penuh
terhadap kelompoknya (Joyce at all, 1992).
Pembelajaran kooperatif adalah suatu
system yang didalamnya terdapat elemenelemen yang saling terkait. Adapun elemenelemen dalam pembelajaran kooperatif
adalah adanya: (1) saling ketergantungan
positif; (2) interaksi tatap muka; (3) akuntabilitas individual, dan (4) keterampilan
untuk menjalin hubungan antar pribadi atau
keterampilan sosial yang secara sengaja
diajarkan (Nurhadi dkk, 2004).
Dalam pembelajaran kooperatif, guru
menciptakan suasana yang mendorong agar
siswa
merasa
saling
membutuhkan.
Hubungan yang saling membutuhkan inilah
yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan positif
menurut adanya interaksi promotif yang
memungkinkan sesama siswa saling memberikan motivasi untuk meraih hasil belajar
yang optimal. Saling ketergantungan
tersebut dapat dicapai melalui: (a) saling
ketergantungan pencapaian tugas, (c) saling
ketergantungan bahan atau sumber, (d)
saling ketergantungan peran, dan (e) saling
ketergantungan hadiah.
Interaksi tatap muka menurut para
siswa dalam kelompok dapat saling bertatap
FIS - 196

muka sehingga mereka dapat melakukan


dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga
dengan sesama siswa. Interaksi semacam itu
memungkinkan para siswa dapat saling
menjadi sumber belajar sehingga sumber
belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam
itu sangat penting karena ada siswa yang
merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok.
Meskipun demikian, penilaian ditunjukan
untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual
tersebut selanjutnya disampaikan oleh guru
kepada kelompok agar semua kelompok
mengetahui siapa anggota kelompok yang
memerlukan bantuan dan siapa anggota
kelompok yang dapat memberikan bantuan.
Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata
hasil belajar semua anggotanya, dan karena
itu tiap anggota kelompok harus memberikan urunan demi kemajuan kelompok.
Penilaian kelompok yang didasarkan atas
rata-rata penguasaan semua anggota secara
individual inilah yang dimaksud dengan
akuntabilitas individual.
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial seperti tenggan rasa, sikap
sopan santun terhadap teman, mengkritik ide
dan bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat
lain yang bermanfaat dalam menjalin
hubungan antar pribadi (Interpersonal
relationship) tidak hanya diasumsikan tetapi
secara sengaja hanya memperoleh teguran
dari guru tetapi juga dari semua siswa.
Ada banyak alasan mengapa pembelajaran kooperatif dikembangkan. Hasil
penelitian melalui metode meta analisis yang
dilakukan oleh Johson dan Johson, 1984
(Nurhadi, dkk, 2004:63) menunjukkan
adanya berbagai keunggulan pembelajaran
kooperatif sebagaimana terurai sebagai
berikut (1) Memudahkan siswa melakukan
penyesuaian sosial,( 2) Mengembangkan kegembiraan belajar yang sejati, (3) Memungkinkan para siswa saling belajar menegenai
sikap, keterampilan, informasi, perilaku
sosial, dan pandangan, (4) Memungkinkan
terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai
sosial dan komitmen, (5) Meningkatkan
keterampilan metakognitif, (6) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau
SEMNAS MIPA 2010

egois dan egosentris, (7) Meningkatkan


kepekaan dan kesetiakawanan social, ( 8)
Menghilangkan siswa dari penderitaan
akibat kesendirian atau keterasingan, (9)
Dapat menjadi acuan bagi perkembengan
keperibadian yang sehat dan terintegrasi (10)
Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa, (11) Mencegah
timbulnya
gangguan
kejiwaan,
(12)
Mencegah terjadinya kenakalan dimasa
remaja, (13) Menimbulkan perilaku rasional
dimasa remaja (14) Berbagai keterampilan
sosial yang diperlukan untuk memelihara
hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan, (15) Meningkatkan
rasa saling percaya kepada semua manusia,
(16) Meningkatkan kemampuan memandang
masalah dan situasi dari berbagai prespektif,
(17) Meningkatkan perasaan penuh makna
mengenai arah dan tujuan hidup, (18)
Meningkatkan keyakinan terhadap ide atau
gagasan sendiri.
Model
Pembelajaran
Student
Facilitator and Explaining (SFAE) adalah
model pembelajaran kooperatif yang mendasarkan pada penugasan tiap-tiap kelompok, dimana masing-masing kelompok diberi tugas yang berbeda. Masing-masing kelompok bertanggung jawab untuk mengorganisasi kelompoknya dalam mencari
informasi tentang tugas yang didapatkan melalui sumber belajar. Kelompok berdiskusi
untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok lain
membuat pertanyaan pada masing-masing
topik diskusi. Setelah semua kelompok
sudah mempresentasikan hasil diskusinya
maka dilakukan evaluasi untuk mengetahui
ketercapaian dari pembelajaran tersebut.
Sintaks dari model pembelajaran Student
Facilitator and Explaining (SFAE) adalah
(1) Guru menyampaikan kompetensi yang
ingin dicapai; (2) Guru mendemonstrasikan/
menyajikan materi; (3) Memberikan kesempatan siswa/peserta untuk menjelaskan
kepada peserta untuk menjelaskan kepada
peserta lainnya baik melalui bagan/peta
konsep maupun yang lainnya; (4) Guru
menyimpulkan ide/pendapat dari siswa; (5)
Guru menerangkan semua materi yang
disajikan saat itu; dan (6) evaluasi.
METODE PENELITIAN

FIS - 197

Penelitian ini dilakukan melalui


studi eksperimen yang dilakukan di Prodi
Fisika, Jurusan Fisika FMIPA Universitas
Negeri Malang. Sampel diambil dua
offering yaitu offering A dan B yang
sudah diseimbangan kemampuan awalnya
yaitu nilai mata kuliah Keterampilan Dasar
Mengajar Fisika (FIP441). Mahasiswa
pada off A dipakai sebagai kelompok
eksperimen dan off B sebagai kelompok
kontrol. Kelompok eksperimen mengalami
pembelajaran Kooperatif Model Student
Fasilitator
and Explaining
(SFAE).
Kelompok kontrol mengalami pembelajaran Model Pembelajaran Konvensional.
Pembelajaran SFAE untuk kelompok
eksperimen
dilakukan
dengan
langkah-langkah sebagai berikut: (1)
Mahasiswa
dikelompok-kelompokkan
secara heterogen. Hal ini dimaksudkan
agar terjadi tutor sebaya dalam setiap
kegiatan. Tiap kelompok terdiri atas 3
orang. Hal ini dimaksudkan agar semua
anggota kelompok berperan secara aktif.
(2) Masing-masing kelompok bertugas
mempresentasikan materi pelajaran melalui power point yang dibuat masingmasing
kelompok.
Semua
anggota
kelompok wajib presentasi materi ssuai
pembagian yang diatur oleh masingmasing kelompok. Setelah semua anggota
kelompok presentasi dilanjutkan diskusi
kelas dipimpin dosen dan klarifikasi
dosen. (3) Masing-masing kelompok wajib
melaksanakan praktek mengajar secara tim
teaching dengan menerapkan metodologi
pembelajaran dengan terlebih dahulu
membuat persiapan tertulis. Praktek mengajar secara tim teaching ini dilaksanakan
dua kali. (4) Masing-masing kelompok
wajib membuat CD pembelajaran diambil
dari praktek mengajar secara kelompok,
dan disempurnakan di luar waktu kuliah.
Hal ini dimaksudkan agar penanganan
terhadap pelaksanaan praktek mengajar ini
disempurnakan secara terus menerus. (5)
Terakhir masing-masing mahasiswa diberi
kesempatan untuk praktek mengajar secara
individual.
Sementara itu pembelajaran Model
Pembelajaran Konvensional untuk kelompok kontrol, dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: (1) Dosen menerangkan dan mendiskusikan materi matakuliah langkah demi langkah; (2) Dosen
SEMNAS MIPA 2010

memberikan contoh praktek mengajar


dengan menerapkan metodologi pembelajar
sesuai dengan materi pelajaran di SMA; (3)
Mahasiswa secara individu melaksanakan
praktek mengajar dengan menerapkan
metodologi pembelajaran sesuai materi
pelajaran SMA yang ditugaskan.
Data tentang penguasaan materi baik
teori maupun konsep metodologi pembelajaran fisika diperoleh melalui tes tulis
dulakukan setelah materi disampaikan. Data
tentang keaktifan mahasiswa, diperoleh melalui observasi setiap kegiatan perkuliahan.
Sementara itu data keterampilan (skil)
praktek mengajar dan ketepatannya da;am
menerapkan
metodologi
pembelajaran
diperoleh melalui penilaian observasi saat
praktek.
Untuk mencapai tujuan penelitian
maka analisis dilakukan sebagai berikut.
(1) Data keaktifan siswa dan keterampilan
mengajar dimodifikasi menjadi skor/nilai
(0-100). (2) Skor keatifan siswa, keterampilan berpikir siswa baik kelompok eksperimen maupun kelompok control dihitung
rata-rata dan stndar deviasinya. (3)
Langkah berikutnya adalah uji perbedaan t
dengan satu ekor dan taraf signifikasi 5%.
Hipotesis diterima jika memenuhi persyaratan
thi tung > t t abl e .
HASIL DAN PEMBAHASAN

Skor/nilai keaktifan rata-rata kelompok eksperimen yang diajar melalui pembelajaran Kooperatif Model Student
Fasilitator and Explaining (SFAE) sebesar
82 dengan simpangan baku 9,40
sedangkan yang belajar melalui MPK
sebesar 65 dengan simpangan aku 8,8..
Jadi SFAE lebih unggul lebih unggul 20%
dalam meningkatkan keaktifan siswa dari
pada MPK.
Statistik
n
SD
(SD)2

YE 1
23
82
9,40
88,36

YP1
23
65
8,80
77,44

FIS - 198

Karena t hitu ng = 6,3317 > 1,6800


t (44;0,05), maka penerapan SFAE lebih
efektif
meningkatkan
keaktifan
mahasiswa dari pada MPK.
Skor/nilai penguasan materi ratarata kelompok eksperimen yang diajar
melalui pembelajaran Kooperatif Model
Student Fasilitator and Explaining
(SFAE) sebesar 87,5 dengan standar
deviasi 11,2 sedangkan yang belajar
melalui MPK sebesar 75,8 dengan
standar deviasi 12,4.
Statistik
n
SD
(SD)2

YE 2
23
87,5
11,2
125,44

YP2
23
75,8
12,4
153,76

Karena thi t ung = 3,3827 > 1,6800


t(44;0,05), maka penerapan SFAE lebih efektif
meningkatkan penguasaan teori dan
konsep metodologi pembelajaran dari pada
MPK.
Skor/nilai
keterampilan
(skil)
praktek mengjar rata-rata untuk kelompok
eksperimen
yang
diajar
melalui
pembelajaran Kooperatif Model Student
Fasilitator and Explaining (SFAE) sebesar
86 dengan standar deviasi 10,3 sedangkan
yang belajar melalui MPK sebesar 73
dengan standar deviasi 11,1. Jadi SFAE
lebih unggul lebih unggul 20% dalam
meningkatkan keaktifan siswa dari pada
MPK.
Statistik
n

YE 2
23
86

YP2
23
73

SD
(SD)2

10,3
106,09

11,1
123,21

SEMNAS MIPA 2010

Karena t hitu ng = 4,1172 > 1,6800


t (44;0,05), maka penerapan SFAE lebih
efektif meningkatkan keterampilan
(skil) praktek mengajar dari pada
MPK.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa model pembelajaran SFAE lebih
baik dalam meningkatkan keaktifan,
penguasaan teori dan konsep metodologi pembelajaran, dan keterampilan
praktek mengajar dengan menerapkan
metodologi pembelajaran yang sesuai
dengan materi yang diajarkan.
Model pembelajaran SFAE lebih
baik dalam meningkatkan keaktifan
siswa. Hal ini disebabkan sejak semula
mahasiswa sudah terlibat secara fisik
dan mental. Ketika mempresentasikan
materi metodologi pembelajaran, mereka harus menyusun dan membuat
power point, memahami materi, dan
mempresentasikan, sementara itu yang
belum atau tidak presentasi wajib
mengajukan pertanyaan dalam sesi
diskusi. Keaktifan ini dilanjutkan
dengan menyiapkan untuk praktek juga
disibukkan
dengan
pengambilan
gambar (shooting) untuk membuat CD
pembelajaran. Dan akhirnya secara
individu, mahasiswa harus menyiapkan
diri untuk praktek mengajar secara
perorangan.
Dalam hal meningkatkan penguasaan teori dan konsep metodologi
pembelajaran, model pembelajaran
SFAE lebih baik dari pada MPK. Hal
ini disebabkan karena sejak awal
mahasiswa sudah terlibat secara fisik
dan mental untuk menyiapkan power
point, mempelajari isi materi dan mempresentasikannya serta harus mampu
menjawab semua pertanyaan pada sesi
diskusi.
Dalam hal meningkatkan keterampilan praktek mengajar dengan
menerapkan metodologi pembelajaran,
model pembelajaran SFAE lebih baik
dari pada MPK. Hal ini disebabkan
karena dengan keaktifan yang baik

FIS - 199

akan menjamin penguasaan materi


dengan baik pula. Dengan penguasaan
yang baik terhadap materi, akan
melancarkan dalam hal mempraktekannya. Dalam praktek mengajar diperlukan pengalaman, ini diperoleh melalui
kerja sama antar anggota kelompok,
dimana mereka mendapat pengalaman
dua kali tampil. Pengalaman yang tidak
kalah pentingnya dalam peningkatan
keterampilan praktek adalah pembuatan CD pembelajaran yang dikerjaan
secara terus menerus.
Dengan demikian para mahasiswa memang secara nyata penguasaan
materiya lebih baik, karena tingkat
keterlibatannya lebih baik. sementara
itu yang belum atau tidak presentasi
wajib mengajukan pertanyaan dalam
sesi diskusi. Keaktifan ini dilanjutkan
dengan menyiapkan untuk praktek juga
disibukkan
dengan
pengambilan
gambar (shooting) untuk membuat CD
pembelajaran. Dan akhirnya secara
individu, mahasiswa harus menyiapkan
diri untuk praktek mengajar secara
perorangan.
Dengan demikian para mahasiswa memang secara nyata penguasaan
materiya lebih baik, karena tingkat
keterlibatannya lebih baik. sementara
itu yang belum atau tidak presentasi
wajib mengajukan pertanyaan dalam
sesi diskusi. Keaktifan ini dilanjutkan
dengan menyiapkan untuk praktek juga
disibukkan
dengan
pengambilan
gambar (shooting) untuk membuat CD
pembelajaran. Dan akhirnya secara
individu, mahasiswa harus menyiapkan
diri untuk praktek mengajar secara
perorangan.
KESIMPULAN

Dari hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa (1)
Model Kooperatif Model Student
Fasilitator and Explaining (SFAE) lebih
efektif dalam meningkatkan keaktifan
mahasiswa dari pada MPK; (2) Model
Kooperatif Model Student Fasilitator

SEMNAS MIPA 2010

and Explaining (SFAE) lebih efektif


dalam meningkatkan penguasaan teori
dan konsep metodologi pembelajaran
dari pada MPK; dan (3) Model
Kooperatif Model Student Fasilitator
and Explaining (SFAE) lebih efektif
dalam meningkatkan keterampilan
mahasiswa dalam praktek mengajar
dari pada MPK.
Dalam penerapan pembelajaran
Model Kooperatif Model Student
Fasilitator and Explaining agar mampu
meningkatkan keaktifan, penguasaan
teori dan konsep metodologi pembelajaran, serta keterampilan dalam praktek
mengajar, perlu dilakukan hal-hal
sebagai berikut: (1) Keaktifan mahasiswa perlu dikondisikan secara focus
baik ketika membuat
persiapan
maupun ketika praktek; (2) Mahasiswa
dikelompokkan dalam kelompok-kelompok
kecil
dengan system
campuran, serta perlu diontrol terus
menerus oleh dosen. (3) Setiap usai
melaksanakan praktek mengajar baik
secara kelompok maupun individu,
perlu diberi balikan/masukan oleh
mahasiswa lain ataupun oleh dosen,
agar
pada
tampilan
berikutnya
menejadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Arends. R.I., (2001). Learning to Teach.


Boston: McGraw. Hill
2007. Kurikulum dan Silabi
Program Pendidikan Fisika.
Malang: Prodi Pendidikan Fisika
FMIPA Universitas Negeri
Malang
. 2009. Katalog FMIPA UM
Jurusan Fisika. Malang: Fakultas
Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas
Negeri Malang
Johnson, D.W., & Johnson, R.T. 1989.
Social Skills for Successful Gorup
Work. Educational Leadership,
47(4), 2933.

FIS - 200

Johnson, D.W., Johnson, R.T. & Stanne,


2005. Cooperative Learning
Methods: A Meta-Analysis.
http://www.clcrc.com/pages/clmethods.html.
Joyce, Bruce and Marsha Weil. 1992.
Models of Teaching. New Jersey.
Prentice Hall, Inc.
Kaufman, D.B., Felder, R.M. & Fuller,
H. 2000. Accounting for Individual
Effort in Cooperative Learning
Teams. Journal of Engineering
Education, 89(2), 133140.
Available on:
http://www.ncsu.edu/unity/lochers/
users/f/felder/public/RMF.html.
Nurhadi. 2004. Pembelajaran
Kontekstual. Malang: Penerbit
Universitas Negeri Malang
Sudjana. 1996. Metode Statistika Untuk
Bidang: Biologi, Farmasi,
Geologi, Pendidikan, Psikologi,
Teknik. Bandung: Penerbit
Tarsito
Wartono, 2008. Strategi Belajar
Mengajar Fisika. Malang:
Program Pendidikan Fisika
FMIPA Universitas Negeri
Malang

SEMNAS MIPA 2010

FIS - 201

Anda mungkin juga menyukai