Kista Odontogen
Kista Odontogen
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kista
2.1.1 Definisi
Kista adalah rongga patologis yang berisi cairan, dibatasi oleh lapisan epitel
dan jaringan ikat (gambar 2.1). Kista dapat menyebabkan pembesaran intraoral atau
ekstraoral yang secara klinis dapat menyerupai tumor jinak. Kista banyak didapatkan
pada regio Oral dan Maksilofasial karena adanya sisa epitel odontogenik (Cawson,
2002, p.102).
Gambar 2.1: Gambaran skematis kista dari dalam ke luar (Lumen, lining epithelial, wall of fibrous
connective tissue) (Dunlap, 2000, p.1)
Kista sudah ditemukan sejak 4500 tahun sebelum masehi. Pada awal abad
pertama, Aulus Cornelius Celsus adalah orang pertama yang meneliti tentang kista,
dan dilanjutkan oleh Pierre Fauchard (1690 1762) dan John Hunter (1729 1793)
5
SKRIPSI
yang menyatakan bahwa perkembangan diagnosis dan perawatan kista terjadi pada
tahun 1850 (Pechalova et al, 2011, p.767).
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2005 (gambar 2.3), Kista odontogen
disubklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu inflammatory cyst dan developmental cyst.
Yang termasuk Inflammatory cyst adalah: radicular cyst, residual cyst dan
paradental cyst, sedangkan
SKRIPSI
Gambar 2.2: Gambaran beberapa jenis kista pada rahang dan maksilofasial berdasarkan epitel
pembentuknya (Marx et al, 2003, p.2322)
SKRIPSI
Yang termasuk developmental cyst adalah: gingival cyst of newborn, gingival cyst of
adult, odontogenic glandular cyst, dentigerous cyst, orthokeratinized odontogenic
cyst, eruption cyst, lateral periodontal cyst, calcifying odontogenic cyst dan
odontogenic keratocyst (Neville et al, 2010, p. 679).
Odontogenic cyst
Iflammatory cyst
Developmental Cyst
-Radicular cyst
-Residual cyst
-Paradental cyst
-Dentigerous Cyst
-Eruption cyst
-Odontogenic Keratocyst
-Ortokeratinized Odontogenic
-Gingival Cyst Of Adult
- Gingival Cyst Of Newborn
-Lateral periodontal cyst
- Glandular Odontogenic Cyst
-Calcifying Odontogenic Cyst
Gambar 2.3: Klasifikasi kista odontogen berdasarkan WHO pada tahun 2005 (Neville et al, 2010, p.
679)
SKRIPSI
radikular, kista residual, dan kista paradental (Neville et al, 2010, p. 680).
SKRIPSI
10
jaring epitel di ligamen periodontal yang dinamakan sel epitel Malassez (Lin et al,
2007, p.1).
Proses patogenesis kista radikular dibagi menjadi 3 fase yaitu: fase inisiasi,
fase formasi kista, dan fase pembesaran kista. Pada fase inisiasi, produk iritan berupa
endotoksin dari bakteri yang disekresi secara konstan akan menginfeksi pulpa,
menyebar ke jaringan periapikal dan merangsang terjadinya proses inflamasi. Pada
saat proses inflamasi berlangsung, host cell (Fibroblast, granulosit, makrofag, dan
limfosit) akan mensekresi proinflammatory cytokines (IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-),
mediator inflamasi (Prostaglandin), dan growth factor (EGF, KGF, TGF-, FGF, dan
HGF)
untuk
mengeliminasi
bakteri.
Kolaborasi
dari
mediator
inflamasi,
proinflammatory cytokine, dan growth factor akan memicu proliferasi sel epitel
malassez (Shear 2007, p.128-130).
Sel epitel Malassez merupakan sel yang tidak bermetabolisme secara aktif
karena memiliki kandungan rough endoplasmic reticulum, free ribosomes, dan high
nuclear-cytoplasmic ratio dalam jumlah yang sedikit, walaupun demikian sel ini
masih memiliki kemampuan untuk berproliferasi. Pada proses siklus sel, epitel
malassez merupakan sel yang stabil dan diam dalam fase G0, jika ingin berproliferasi
dan membelah, sel tersebut harus bisa mensintesis RNA dan protein untuk masuk ke
fase G1 lalu selanjutnya mensintesis DNA dan kromosom untuk masuk ke fase S, dan
akhirnya berlanjut ke fase M (mitosis). Untuk menstimulasi sel di fase G0 agar bisa
memasuki fase G1 dibutuhkan extracellular signal atau mitogen seperti mediator
inflamasi dan growth factor (Lin et al, 2007, p.1-2).
SKRIPSI
11
Gambar 2.4: Proses perkembangan kista radikular. A. Sisa epitel pertumbuhan gigi. B. Proliferasi
epitel. C. Kematian jaringan di daalam lumen. D. Ekspansi kista karena tekanan osmotik. E. Kista
semakin tumbuh membesar bersama dengan tekanan osmotik yang terus bertambah (Marx oral and
maxilofacial pathology, 2003, p.573 ).
Saat massa semakin membesar, sel yang terletak di bagian tengah massa
terletak semakin jauh dari pembuluh darah sehingga mengakibatkan suplai nutrisi
terhambat, sel yang berada di tengah massa akan mati dan ruangan di tengah massa
akan menjadi suatu lumen (gambar 2.4).
Proses pembesaran kista radikular berhubungan dengan adanya peningkatan
tekanan hidrostatik di dalam lumen kista yang lebih besar daripada tekanan kapiler
pembuluh darah, sehingga untuk menyeimbangkan tekanan akan terjadi proses
transudasi dimana cairan dari luar kista radikular bisa masuk ke lumen yang akan
mengakibatkan ukuran kista semakin besar (Marx, 2003, p.579). Pertumbuhan kista
radikular akan disertai dengan resorbsi tulang karena adanya aktivasi dari osteoklas.
Proinflammatory cytokines, interleukins, prostaglandins, dan TNF- merupakan
SKRIPSI
12
substansi yang bisa menstimulasi proses resorbsi tulang melalui peningkatan regulasi
dari RANKL yang akan berperan pada proses aktivasi osteoklas (Lin et al, 2007, p.8).
Gambaran klinis
Kista radikular bersifat asimptomatis dengan proses pembesaran yang
perlahan dan tidak disadari oleh penderita sampai ukurannya membesar dan bisa
tampak secara klinis (Regezi, 2003, p.242).
Gambaran Radiografis
Secara radiografis, kista radikular nampak sebagai area bulat radiolusen
berbatas radiopak di apeks gigi yang ditunjukkan pada gambar 2.5. Gambaran
radiografis kista radikular biasanya ditandai dengan adanya kerusakan lamina dura
(Cawson, 2002, p.103).
Gambar 2.5: Gambaran radiografis dari kista radikular. Lesi radiolusen berbatas radiopak
yang berhubungan dengan apeks gigi non vital (Shear, 2007, p.123)
SKRIPSI
13
Gambaran histopatologis
Gambaran histopatologis kista radikular ditunjukkan dengan adanya suatu
rongga berlapiskan epitel yang tidak berkeratin dan memiliki ketebalan yang
bervariasi (gambar 2.6). Gambaran khas kista radikular menunjukkan adanya
kerusakan pada dinding epitel kista radikular akibat proses radang sehingga banyak
ditemukan sel neutrofil dan sel radang lainnya pada dinding kista tersebut (Shear,
2007, p.125).
Gambar 2.6: Gambaran histopatologis kista radikular yang dilapisi dinding epitel
(Shear, 2007, p. 142)
SKRIPSI
14
Gambaran klinis
Kista residual bersifat asimptomatis dengan proses pembesaran secara
perlahan-lahan yang tidak disadari oleh penderita sehingga kista residual sering
ditemukan secara tidak sengaja pada saat dilakukan pemeriksaan radiologis rutin.
Kista residual bisa menggangu ketepatan pemasangan dari gigi tiruan, karena adanya
penebalan yang progresif pada epithelial lining dari kista (Cawson, 2002, p.106).
Gambaran histopatologis
Gambaran histopatologis kista residual hampir sama dengan kista radikular
(gambar 2.7) yang dilapisi stratified squamous epithelium dan menunjukkan adanya
proses inflamasi pada dinding epitel (Cawson, 2002, p.107).
Gambar 2.7: Gambaran histopatologis kista residual yang menunjukkan adanya proses inflamasi pada
dinding epitel (Cawson, 2002, p.107)
Gambaran radiografis
Gambaran radiografis kista residual menunjukkan adanya gambaran
radiolusen berbatas radiopak di regio tidak bergigi seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2.8 (Marx, 2003, p.578).
SKRIPSI
15
Gambar 2.8. Gambaran Radiografis kista residual yang menunjukkan adanya gambaran
radiolusen berbatas jelas pada regio tidak bergigi (Neville, 2003, p. 672)
SKRIPSI
16
Gambaran klinis
Odontogenic keratocyst sering menyebabkan pembengkakan di daerah fasial
atau lingual dari tulang rahang, dan terlihat menonjol. Gejala klinis lainnya adalah
parestesi pada bibir, gigi tanggal, dan nyeri (Marx, 2003, p.592).
Radiografis
Odontogenic keratocyst menunjukkan gambaran radiolusen unilokular atau
multilokular dengan batas yang jelas berupa sclerotic border seperti yang ditunjukkan
pada gambar 2.10 (marx, 2003, p.94).
SKRIPSI
17
Gambaran histopatologis
Odontogenic keratocyst merupakan memberikan gambaran histopatologis
yang
khas.
Berdasarkan
gambaran
histopatologis,
odontogenic
keratocyst
(a)
(b)
Gambar 2.11: Gambaran histopatologis odontogenic keratocyst pada lapisan epitel tipe
ortokeratin (a) dan tipe parakeratin (b) (Cawson, 2002, p.112).
SKRIPSI
18
Lapisan permukaan epitel merupakan lapisan parakeratin tipis yang berwarna merah,
berombak, terpisah dari lapisan epitel, dan tampak terlepas kedalam lumen kista. Selsel lapisan basal dari dinding epitel menunjukkan gambaran inti sel berbentuk toraks
dan tersusun seperti pagar atau kuboid dengan inti berwarna gelap dan terpolarisasi
(gambar 2.11b). Lumen kista mengandung banyak sisa keratin atau cairan semi padat
seperti transudat serum. Jaringan subepitel terdiri dari jaringan ikat fibrosa, tidak
mengandung sel radang dan relatif tipis. Diantara dinding kista dapat ditemukan
pulau-pulau sel epitel dengan keratinisasi di bagian sentral yang disebut sebagai kista
satelit (Shear, 2007, p.12).
SKRIPSI
19
akan membentuk cairan diantara outer dan inner enamel epithelium. Tekanan cairan
tersebut akan memicu proliferasi outer enamel epithelium yang menyisakan
perlekatan pada gigi di bagian cemento enamel junction, sehingga inner enamel
epithelium tertekan ke atas permukaan mahkota. Kista dentigerous akan terbentuk
mengelilingi mahkota dan melekat pada cemento enamel junction dari gigi. Saat telah
terbentuk sempurna, mahkota akan berprotrusi ke dalam lumen, dan akar-akarnya
memanjang ke sisi luar kista. Kedua teori menjelaskan bahwa tekanan dari cairan
akan menyebabkan proliferasi kistik karena kandungan hiperosmolar yang dihasilkan
oleh kerusakan dari sel sehingga menyebabkan adanya tekanan osmotik yang akan
memompa cairan ke dalam lumen. Proses terjadinya kista dentigerous juga
berhubungan dengan gigi yang tidak erupsi atau impaksi. Gigi impaksi yang
mempunyai potensi untuk erupsi akan menyebabkan penyumbatan aliran vena
(venous outflow) dan mengakibatkan transudasi serum dinding kapiler. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya tekanan hidrostatik yang akan memisahkan folikel dari
mahkota gigi (Shear, 2007, p.69).
Gambar 2.12: Gross specimen dari kista dentigerous (Neville, 2003, p.397).
SKRIPSI
20
Gambaran Klinis
Kista dentigerous bersifat asimtomatik, namun ukuran dari kista dentigerous
bisa menjadi sangat besar (10-15cm) sehingga bisa menyebabkan adanya asimetris
wajah pada penderita (Neville, 2010, p.679).
Gambaran Radiografis
Gambaran radiografis menunjukkan bahwa kista dentigerous memiliki korteks
yang berbatas jelas dengan outline berbentuk kurva atau sirkuler dan melekat pada
cemento-enamel junction seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.13 (Neville, 2010,
p.680).
Gambaran histopatologis
Gambaran histopatologis menunjukkan bahwa dinding kista dentigerous
dilapisi oleh jaringan ikat dan epitel pipih yang bersatu dengan reduced enamel
epithelium dan menutupi mahkota gigi seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.14
(Cawson, 2002, p.110).
SKRIPSI
21
Gambar 2.14: Gambaran histopatologis dari kista dentigerous dengan dinding epitel yang
dilapisi jaringan ikat. (Cawson, 2002, p.110).
Gambaran Klinis
Kista lateral periodontal bersifat asimptomatik, tidak tampak secara klinis,
sehingga sering ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan radiologis rutin
(Neville, 2010, p.693).
Gambaran radiografis
Secara radiografis, kista lateral periodontal menunjukkan gambaran
radiolusen unilokular berbentuk bulat atau oval di daerah interdental seperti yang
ditunjukkan oleh gambar 2.15 (Shear, 2007, p.87).
SKRIPSI
22
Gambar 2.15: Gambaran radiografis kista lateral periodontal menunjukkan adanya gambaran
radiolusen oval di daerah interdental gigi premolar (Shear, 2007, p.87).
Gambaran histopatologis
Gambaran histopatologis menunjukkan bahwa kista lateral periodontal
dilapisi oleh dua atau tiga lapis epitel tipis, dan pada lapisan ini akan terlihat
pemadatan epitel yang mendorong ke arah luar atau ke dalam lumen seperti yang
ditunjukkan oleh gambar 2.16 (Shear, 2007, p.89).
Gambar 2.16: Gambaran histopatologis kista lateral periodontal (Shear, 2007, p.88)
SKRIPSI
23
Gambaran klinis
Kista erupsi tampak sebagai pembengkakan gusi yang lunak, translusen, dan
bila terisi darah akan berwarna biru keunguan (Neville, 2010, p.682).
Gambaran histopatologis
Gambaran histopatologis menunjukkan bahwa kista erupsi tumbuh diatas
mahkota gigi yang akan erupsi dan menekan jaringan mukosa diatasnya seperti yang
ditunjukkan oleh gambar 2.17 (Shear, 2007, p.78).
Gambar 2.17: Gambaran histopatologis kista erupsi yang menunjukkan bahwa kista tumbuh
di atas mahkota gigi dan menekan jaringan di atasnya (Shear, 2007, p.78).
SKRIPSI
24
Gambaran radiografis
Kista erupsi menunjukkan gambaran radiolusen tipis di bagian koronal gigi
yang akan erupsi seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.18 (Neville, 2003, p.397).
Gambar 2.18: Gambaran radiografis kista erupsi yang menunjukkan adanya gambaran radiolusen tipis
di bagian koronal gigi yang akan erupsi (Neville, 2003, p.397).
(2007, p.3),
menunjukkan bahwa kista odontogen memiliki angka kejadian yang paling tinggi
sebanyak 19.4 %. Penelitian yang dilakukan oleh nunez et al (2010, p.769) di
Spanyol pada periode 1976- 2006 menunjukkan bahwa kista odontogen lebih sering
muncul pada pria (68,4%), dan kista yang paling sering muncul adalah kista radikular
sebanyak 210 kasus (50,2%), diikuti kista dentigerous sebanyak 91 kasus (21,8%),
SKRIPSI
25
kista paradental sebanyak 87 kasus (20,8%), kista residual sebanyak 18 kasus (4,3%),
kista lateral periodontal sebanyak 7 kasus (1,7%), kista primordial sebanyak 4 kasus
(1%), dan kista gingiva pada orang dewasa sebanyak 1 kasus (0,2%). Kista
odontogen lebih banyak terjadi di mandibula (257 kasus; 61,5%) dibandingkan di
maksila (161 kasus; 38,5). Gigi yang paling sering terlibat kista odontogen adalah
molar ketiga rahang bawah (36,8%), diikuti olah molar pertama dan kedua rahang
bawah (13%). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Monteiro et al di
Portugal pada periode 1999- 2001 (2005, p. 670-675), kista radikular merupakan kista
dengan angka kejadian paling tinggi (48,4%), lalu kista dentigerous (21%), kista
residual (21%), odontogenic keratocyst (12,1%), dan kista paradental (0,8%).
Odontogenic keratocyst merupakan kista dengan angka kejadian berbeda antar
individu di setiap daerah yang berbeda karena adanya pengaruh dari alterasi genetik
seperti mutasi dari gen PCTH, dan hilangnya kromosom 9q22 (Shear, 2007, p.58).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mosqueda et al (2002, p. 89-96) di
Meksiko pada tahun 1976-2000 menunjukkan bahwa faktor sosio-ekonomi
berpengaruh terhadap perbedaan angka kejadian kista odontogen. Penelitian ini
dilakukan dengan cara membandingkan angka kejadian kista odontogen di Rumah
Sakit Umum yang lebih banyak didatangi oleh pasien dengan tingkat ekonomi
menengah kebawah dan di rumah sakit swasta yang lebih banyak didatangi oleh
pasien dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kista radikular lebih banyak didapatkan di rumah sakit umum
sebanyak 178 kasus dibandingkan dengan di rumah sakit swasta sebanyak 164 kasus,
sedangakan kista dentigerous lebih banyak didapatkan di rumah sakit swasta
SKRIPSI
26
sebanyak 189 kasus dan di rumah sakit umum didapatkan sebanyak 94 kasus. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan tingkat ekonomi yang rendah memiliki
resiko lebih tinggi untuk terkena kista radikular karena cenderung kurang
memperhatikan kesehatan gigi dan rongga mulut, sedangkan pasien dengan tingkat
ekonomi menengah ke atas cenderung lebih memperhatikan kesehatan rongga mulut
dan lebih sering melakukan pemeriksaan gigi dan mulut secara rutin sehingga jarang
didapatkan kasus kista radikular. Selain itu sistim pelayanan dan ketersedian fasilitas
dari rumah sakit juga merupakan penyebab adanya variasi dari angka kejadian kasus
kista odontogen. Fasilititas yang memadai akan mempermudah pasien untuk
memeriksakan kesehatan mulutnya sehingga kasus kista bisa didiagnosis lebih dini,
sistim pelayanan rumah sakit juga memepngaruhi kemudahan pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.
SKRIPSI
27
2.4.3 Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGM-P) FKG Unair
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1173/MENKES/PER/X/2004, Rumah Sakit Gigi dan Mulut berfungsi secara khusus
sebagai klinik yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum
seputar permasalahan gigi dan mulut (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indo
nesia, 2004, p.1-16).
SKRIPSI
28
SKRIPSI