Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

GEOSTRATEGI DAN GEOPOLITIK INDONESIA


(SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN)

Mona Surya U
Natasha A.P
Rizkiyah S
Siti Indah D
Rizki Dwi A
Ghina K.
Olivia Christy
Candrika Nicitha
Estakania
Cahyani P
Sayyidah Ayu
Restyana Yusran

Kelompok 6
240210120086
240210120087
240210120088
240210120089
240210120090
240210120091
240210120092
240210120093
240210120094
240210120095
240210120096
240210120097

UNIVERSITAS PADJAJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTI PANGAN
JATINANGOR
2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Penyusunan
makalah berjudul Sengketa Sipadan dan Ligitan didasari atas tugas mata kuliah
Kewarganegaraan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan di bidang Geostrategi dan
Geopolitik Indonesia lebih khususnya dalam hal pertahanan Indonesia. Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kami kepada Dr. Lilis selaku Dosen Kewarganegaraan, Fakultas
Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran atas bimbingan dalam penyusunan
makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun mencoba menganalisis penyebab dan
kronologi masalah Sipadan dan Ligitan dari segi sistem pertahanan dan geopolitik Indonesia,
serta penyelesaian yang diambil oleh kedua pihak terkait masalah batas wilayah ini.
Diharapkan, dengan penulisan makalah ini, kita dapat mengerti dan memahami konsep
wawasan Indonesia terutama terhadap pertahanan batas-batas wilayah NKRI sehingga di
masa mendatang tidak akan muncul lagi masalah pertahanan yang lain.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca guna perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya. Demikian yang dapat
penyusun sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat,
khususnya para mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Pangan. Terima kasih dan selamat
membaca.

Jatinangor, 12 Mei 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i


DAFTAR ISI .........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah...........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum .................................................................................................................
2.2 Tinjauan Khusus ................................................................................................................
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................................
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan ........................................................................................................................
4.2 Saran ..................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas:
50.000 meter) dengan koordinat: 4652.86N 1183743.52E / 4.1146833N
118.6287556E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter) dengan koordinat: 49N
11853E / 4.15N 118.883E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini
melalui Dewan Tinggi ASEAN, tetapi akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini
melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysi berawal pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua
negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo
akan tetapi, pernyataan ini diartikan berbeda oleh kedua pihak. Pihak Malaysia
membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia
memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan
selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status
kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan
dua pulau ini selesai.
Permasalahan ini membuat bangsa Indonesia mulai memikirkan dan meneliti lebih
dalam terhadap pertahanan batas-batas wilayah NKRI. Hal ini terkait dengan sistem
geopolitik dan geostrategi Indonesia. Geopolitk adalah ilmu bumi politik membahas
masalah politik dalam suatu negara, kemudian berkembang menjadi ajaran yang
menghalalkan ekspensi suatu negara. Dalam Amandemen UUD 1945 Bab IX A tentang
Wilayah Negara, Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam hal ini, Indonesia mempunyai
perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor
Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia,
Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan
Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan
hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan

suatu negara. Kompleksitas permasalah di laut akan semakin memanas akibat semakin
maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar negara yang 90%nya
dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu perbatasan yang juga terjadi pada kasus
Sipadan-Ligitan ini.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Bagaimana kronologi sengketa wilayah Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia
dan Malaysia?
2. Apa penyebab lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI?
3. Bagaimana sistem pertahanan Indonesia dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI
khususnya daerah perbatasan?
4. Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya dalam
mengatasi kasus yang serupa?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum
Menurut Ermaya (2001), geopolitik adalah ilmu yang mempetajari hubungan antara
faktor geografi, strategi, dan politik suatu negara, untuk implementasinya diperlukan
strategi yang bersifat nasional sesuai keadaan atau lingkungan negara itu berada.
Geostrategi merupakan langkah-langkah atau sebuah cara atau strategi untuk dapat
mewujudkan tujuan negara dengan memandang geopolitik yang ada di negeri kita.
Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang sangat strategis dalam keutuhan suatu
negara. Untuk itu diperlukan sistem pertahanan nasional yang baik. Sistem pertahanan
nasional dibagi menjadi 2, yaitu:
- Militer

: a. OTW (Ops Thread War): Atasi separatis, pemberontak, bencan, dll


b. War (Perang)

- Non militer: a. Civil Defence: public security, human ops, economics, dll
b. Non defence force: komp. Cad, dll
Contohnya adalah daerah selat malaka. Daerah selat malaka merupakan daerah
perbatasan yang memegang peranan strategis bagi negara Indonesia. Berdasarkan data
yang ada diketahui bahwa:

terdapat 50000 kapal yang melintas di selat malaka


50% peredaran minyak dunia melalui selat malaka
30% perdagangan dunia terjadi di selat malaka
90% minyak cina dan 80% minya jepang melewati selat malaka
Dari data tersebut dapat menunjukkan betapa pentingnya wilayah perbatasan.

Masalah-masalah yang dapat timbul pada wilayah perbatasan itu sendiri dapat berupa
perompakan, sengketa batas, terorisme, polusi, dan penyelundupan senjata.
Dalam geopolitik nasional, Indonesia menyebutkan dirinya sebagai wasantara
(wawasan nusantara), berbeda dengan geopolitik AS yang merupakan kekuatan unggul di
Asia Pasifik, Cina yang menggaungkan kebangkitan Cina, Jepang yang mementingkan
keamanan pasar dan energi. Karena Indonesia merupakan negara Nusantara, maka perlu
dibuat ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yaitu mengijinkan kapal asing untuk
melewati wilayah laut Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Wilayah miangas
itu sendiri terletak diantara ALKI II dan ALKI III.

Miangas yang juga menjadi salah satu daerah perbatasan NKRI juga menimbulkan
permasalahan, yaitu permasalahan sengketa batas dengan negara Filipina. Hal ini
perlulah diperhatikan dengan serius. Fungsi dari wilayah perbatasan itu sendiri adalah:

melindungi wilayah Negara


menjamin keamanan lapis wilayah perbatasan
wilayah perbatasan menjadi serambil bagi NKRI
Karena dahulu wilayah perbatasan dianggap merupakan daerah terbelakang namun

untuk sekarang ini wilayah perbatasan seperti wilayah Pulau Miangas merupakan daerah
serambi terdepan dari keutuhan NKRI. Hal ini disebabkan bila satu wilayah perbatasan
itu hilang, dalam hal ini berarti tidak lagi menjadi wilayah NKRI, akan menyebabkan
tidak hanya wilayah tersebut saja yang hilang namun dapat lima belas kali lipat bahkan
lebih dari luas wilayah yang hilang. Hal tersebut dapat terjadi sebab Indonesia
merupakan negara Nusantara yang memiliki wilayah laut lebih besar dibanding wilayah
darat. Bila ada wilayah darat yang hilang, maka akan menyebabkan juga kehilangan
wilayah laut minimal sejauh 12 mil dari wilayah yang hilang.
Permasalahan yang dapat timbul di wilayah perbatasan adalah:

infrastruktur: jalan, jembatan, dll


keterbelakangan dan kemiskinan
keterbatasan sumber dana
pengamanan perbatasan kompleks
Oleh karena itu, saat nanti berada di Miangas, kami tidak akan mengeluh dan akan

menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada.


Konsep pembinaan kesadaran bela negara adalah:

kesadaran: orang tersebut harus memiliki kesadaran penuh untuk bela Negara yang

dibela dari suatu negara: ada sesuatu yang benar-benar dibela


kebenaran: yang dibela merupakan suatu hal yang benar nilai-nilai bela negara,
terdiri dari:
cinta kepada tanah air
memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara
yakin kepada pancasila sebagai ideology Negara
rela berkorban untuk bangsa dan Negara
memiliki kesiapan psikis dan fisik untuk melakukan upaya awal bela Negara
dasar hukum: memiliki dasar hukum yang kuat.
Landasan hukum dalam membela negara dapat dilihat pada pasal 27 ayat 3
dan pasal 30 ayat 1 dan 2 UUD 1945, UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan

Negara BAB III pasal 9 ayat 1 dan 2, serta UU No.39 tahun 1999 tentang HAM pasal
68

yang

berbunyi

Setiap

warga

negara

wajib

bela

negara.

- bela negara tidak hanya diwadahi dalam bingkai militer


2.2 Tinjauan Khusus
Sesuai dengan Hukum laut Internasional, Indonesia sebagai negara kepulauan
ditegaskan dalam undang-undang no. 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia,
mempunyai azas kepulauan dimana laut diantara pulau merupakan perairan penghubung.
Dimana darat dan laut terintegrasi. memiliki Laut teritorial, perairan pedalaman (Laut
Nusantara), Zone Ekonomi Eklusif dan Landas kontinen.
Kriteria laut istilah-istilah tersebut :
1) Laut teritorial (territorial Sea ) , merupakan wilayah laut dengan lebar tidak lebih
dari 3 mil dari pangkal/ base line . Garis pangkal adalah garis-garis dasar yang
menghubungkan titik titik terluar (staright base line) pulau pulau ujung pada waktu
air surut.
2) Perairan pedalaman ( Internal Water ) , adalah perairan sebelah dalam garis pangkal.
3) ZEE (Exclusive Economic Zona) , wilayah laut yang tidak melebihi 200 mil .Negara
mempunyai hak berdaulat untuk keperluan ekplotasi, explorasi dan konservasi serta
pengelolaan sumber daya alam hayati dan non hayati.dari perairan.
4) Landas Kontinen (continental Shelf), negara pantai meliputi dasar laut dan tanah
dibawahnya, terletak diluar laut territorial sepanjang merupakan kelanjutan alamiah
wilayah. Jarak 200 mil garis pantai atau maksimal 350 mil atau tidak melebihi 100
mil dari garis batas kedalaman dasar laut sedalam 2500 m.
Beberapa perhatian manusia terhadap laut :
1. Perubahan peta bumi pasca PD II , lahir Negara baru yang memiliki laut, maka perlu
diperhatikan :
a. Laut untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan rakyat
b. Perlu pengaturan pemanfaatan laut dan lingkungan untuk bangsa-bangsa.
2. Kemajuan IPTEK berdampak pada pemanfaatan laut.
3. Bertambahnya penduduk harus diimbangi oleh kenaikan produksi khusunya dari
sumber kekayaan laut.
4. Bangsa Indonesia, laut menjamin integrasi, sarana perhubungan, dan transportasi,
serta salah satu sumber penghidupan, dari segi militer sebagai wahana pertahanan.
Kondisi perbatasan di Indonesia yang berbeda satu dengan yang lainnya, baik antara
kawasan perbatasan kontinen dan laut, maupun antarperbatasan di wilayah daratnya
sendiri, sehingga masing-masing memerlukan kebijakan khusus dan strategi serta
pendekatan yang berbeda. Namun demikian, diperlukan suatu kebijakan dasar yang dapat

dijadikan sebagai payung seluruh kebijakan dan strategi yang berlaku secara nasional
untuk seluruh kawasan perbatasan.
Secara umum, dalam pengembangan kawasan perbatasan diperlukan suatu pola atau
kerangka penanganan kawasan perbatasan yang menyeluruh (holistic), meliputi berbagai
sektor dan kegiatan pembangunan, serta koordinasi dan kerjasama yang efektif mulai dari
Pemerintah Pusat sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. Pola penanganan tersebut dapat
dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro dan
disusun berdasarkan proses partisipatif, baik secara horisontal di pusat maupun vertikal
dengan pemerintah daerah. Sedangkan jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai
dengan operasional.
Adapun kebijakan umum pengembangan kawasan perbatasan antarnegara terdiri dari
tujuh kebijakan, yakni:
1. Menata batas kontinen dan maritim perbatasan antarnegara dalam rangka menjaga dan
mempertahankan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Memberi perhatian lebih besar kepada kawasan perbatasan sebagai `hataman depan'
negara dan pintu gerbang internasional bagi kawasan Asia dan Pasifik.
3. Mengembangkan kawasan perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan dan
keamanan secara serasi.
4. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kecamatan-kecamatan yang
berbatasan langsung secara selektif dan bertahap sesuai prioritas dan kebutuhan.
5. Meningkatkan perlindungan sumberdaya alam hutan tropis dan kawasan konservasi,
serta mengembangkan kawasan budidaya secara produktif bagi kesejahteraan
masyarakat lokal.
6. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) melalui pembangunan di bidang
pendidikan, kesehatan, perhubungan dan informasi.
7. Meningkatkan kerjasama pembangunan di bidang sosial, budaya, keamanan dan
ekonomi dengan negara-negara tetangga.
Kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, baik darat dan laut, perlu dijabarkan
ke dalam strategi umum yang dilaksanakan melalui ukegiatan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah melalui anggaran pembangunan sektoral dan daerah, yang diarahkan
bagi pengembangan kawasan pertumbuhan, dan pengembangan wilayah terpadu
kawasan perbatasan; (2) pembentukan lembaga pengembangan kawasan perbatasan
nasional yang bertugas menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan berbagai kegiatan
pengembangan kawasan perbatasan di tingkat pusat; (3) keberpihakan dan perhatian
yang lebih besar kepada sektor-sektor di pusat terhadap kawasan perbatasan; dan (4)

pemberian dukungan dan fasilitasi pengembangan kawasan perbatasan oleh instansi


pusat dan pihak investor dalam maupun luar negeri.
Sedangkan strategi umum pengembangan kawasan perbatasan tersebut adalah:
1. Penetapan garis batas antar negara
2. Peningkatan sarana dan prasarana perbatasan melalui pembangunan pos-pos
lintas batas beserta fasilitas bea cukai, imigrasi, karantina dan keamanan, serta
sarana dan prasarana fisik lainnya.
3. Penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
perbatasan dan pulau-pulau terluar.
4. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan yang telah mendapatkan respons dari
negara tetangga.
5. Peningkatan kualitas

dan

pengembangan

pemberdayaan

sumberdaya

manusia.
6. Peningkatan ketembagaan pemerintah dan masyarakat di daerah.
7. Perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan dan kelautan.
8. Peningkatan aparat keamanan dan pertahanan di sepanjang perbatasan dan
pulaupulau terluar.
9. Peningkatan sosialisasi dan penyuluhan kehidupan bernegara dan berbangsa
bagi masyarakat perbatasan.
10. Peningkatan kerjasama bilateral di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kronologi Singkat Kasus Sipadan-Ligitan


Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua
negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan
tetapi ternyata pengertian ini berbeda.
Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta
Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia
sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status
ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas
kepemilikan dua pulau ini selesai.
Pemerintah Indonesia yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim
protes ke Kuala Lumpur, meminta agar pembangunan disana diberhentikan dahulu.
Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.
Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam
peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama di pulau Bali ini
antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim
pulau batu puteh , sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan
spratley di laut cina selatan dengan brunei darusalam , Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan.
Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob)
melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk
mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi
ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Pada tahun
1992 kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan
pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya

dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint
Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan
tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing
yang berbeda untuk mengatasi kebuntuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono
dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus
pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun dari empat kali pertemuan
di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 6 - 7 Oktober 1996,
PresidenSoeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan
pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim memuatkan kesepakatan
Final and Binding (Special Agreement for the Submission to the International Court of
Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P.
Sipadan and P. Ligitan) pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani
persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres
Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Kemudian kesepakatan itu disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2
Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI mulai
berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI
Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi
masing-masing melalui Written pleading kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember
1999 diikuti, Counter Memorial pada 2 Agustus 2000 dan reply pada 2 Maret 2001.
Selanjutnya proses Oral hearing dari kedua negara bersengketa pada 312 Juni 2002 .
Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan
tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu,
Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan,
pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat co agent RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI
untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International
Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini
memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah
dikeluarkan.

3.2.

Penyebab Lepasnya Sipadan dan Ligitan


ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai

status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan
oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu
Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation. Dalam
amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Indonesias argument that
it was successor to the Sultanate of Bulungan cannot be accepted. Sementara itu,
Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa Malaysias argument that it was successor
to the Sultan of Sulu cannot be upheld.
Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan
kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation.
Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cutoff date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada pada tahun 1969.
Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari
hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti
tindakan administratif (ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau
regulasi terkait status wilayah tersebut) dan bukan berarti tindakan pendudukan secara
fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah
hanya bisa diterapkan padaterra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau
wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupationtidak
bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan
arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Karena temasuk doktrin
internasional, effective occupationdikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang
merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang
mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.
MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau
sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak
pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah
juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah
Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori
rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen
hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan
secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.

MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan


wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi
1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4 10' LU yang memotong P. Sebatik
sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau
sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua
pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van
Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV
tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi
1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa
tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah
Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan
tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi
hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula
yang bersengketa.
i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa
tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan
dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan
kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak
dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan
pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep
kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ii. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa
sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan
pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial
Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk
tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur
penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan
pada tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan

d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan


pada tahun 1963 di P. Ligitan
Bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas
pulau-pulau Sipadan-Ligitan :
a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari
tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan
pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda
Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini
dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya
kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal
1970an.
b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle
Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan;
regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan
1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan
Malaysia.
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa
UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik
Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan
karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap
patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan
bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa
dijadikan dasar pengajuan klaim.
Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa
activities by private persons cannot be seen as effectivit, if they do not take place on the
basis of official regulations or under governmental authority Oleh karena kegiatan tersebut
bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas
Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan
dasar sebagai adanya effective occupation.
Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti
berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa
sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan
Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu regulatory and administrative assertions of

authority over territory which is specified by name. Esensi keputusan ini bukanlah seperti
yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan
hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk
menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan
hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau
tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum
terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan
perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Kesimpulannya, pemerintah tidak pro aktif melancarkan protes atas usaha malaysia
menyelenggarakan kegiatan di kedua Pulau itu, khususnya Sipadan yang digunakan
Pemerintah Malaysia digunakan sebagai salah satu objek wisata bahari unggulannya, pada
saat kedua negara sepakat memberi status quo pada kedua pulau itu. Di karenakan juga
lemahnya diplomasi yang dilakukan indonesia berbanding terbalik dengat kuatnya malaysia
dalam menggalang diplomasi internasional
3.3 Sistem Pertahanan Indonesia dalam Menjaga Keutuhan Wilayah NKRI khususnya
Daerah Perbatasan
Strategi umum pengembangan kawasan perbatasan tersebut adalah:
1. Penetapan garis batas antar negara
2. Peningkatan sarana dan prasarana perbatasan melalui pembangunan pos-pos lintas
batas beserta fasilitas bea cukai, imigrasi, karantina dan keamanan, serta sarana
dan prasarana fisik lainnya.
3. Penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan
dan pulau-pulau terluar.
4. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan yang telah mendapatkan respons dari
negara tetangga.
5. Peningkatan kualitas dan pengembangan pemberdayaan sumberdaya manusia.
6. Peningkatan ketembagaan pemerintah dan masyarakat di daerah.
7. Perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan dan kelautan.
8. Peningkatan aparat keamanan dan pertahanan di sepanjang perbatasan dan pulaupulau terluar.
9. Peningkatan sosialisasi dan penyuluhan kehidupan bernegara dan berbangsa bagi
masyarakat perbatasan.
10. Peningkatan kerjasama bilateral di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
3.4 Sikap Indonesia dalam Mengatasi Kasus yang Serupa untuk Kedepannya

Pertama, bagi pemerintah dan Deplu masih perlu membagi perhatiannya terhadap isuisu konvensional seperti klaim teritorial ini. Di tengah maraknya isu terorisme dan masalah
Aceh yang sangat menguras energi, tampaknya pemerintah masih perlu menyelesaikan
banyak pekerjaan rumah yang tertunda. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia perlu
meneruskan pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih memiliki
klaim

tumpang

tindih,

seperti

dengan

Filipina,

Vietnam,

dan

Singapura.

Kedua, mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu
keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk penyelesaian
sengketa teritorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga
pertimbangan tersebut akan menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa
teritorial.
Ketiga, mempertanyakan komitmen kita kembali sebagai negara kepulauan untuk
secara efektif menguasai seluruh pulau di batas teritori kita. Tentu saja hal ini membutuhkan
kerja keras dan koordinasi dari semua lembaga yang berurusan dengan pembinaan pulau dan
penjagaan wilayah laut RI. Koordinasi ini perlu dilakukan karena masalah yang terkait
dengan penjagaan wilayah laut RI juga berkaitan dengan maraknya kejahatan transnasional.
Kejahatan transnasional yang rentan terjadi di Indonesia adalah pencurian ikan, bajak laut,
penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata konvensional.
Keempat, pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih proses sengketa
Sipadan-Ligitan sebagai informasi komprehensif bagi masyarakat pada umumnya.
Kronologis sengketa ini perlu di sajikan lengkap beserta dengan proses diplomasi yang
dilakukan kedua negara agar dapat dimengerti utuh oleh masyarkat. Pemahaman masyarakat
yang tidak utuh terhadap sengketa Sipadan-Ligitan akan menurunkan citra pemerintah dan
juga dapat mengakibatkan mispersepsi terhadap negara sahabat, Malaysia dan dunia
internasional pada umumnya.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1

KESIMPULAN
1. Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia berawal pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara
ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas
wilayahnya.
2. Terjadinya kesalah pahaman antara Malaysia dan Indonesia tentang Status Quo.
3. Pemerintah tidak pro aktif melancarkan protes atas usaha malaysia menyelenggarakan
kegiatan di kedua Pulau itu.
4. Lemahnya diplomasi yang dilakukan indonesia berbanding terbalik dengat kuatnya
malaysia dalam menggalang diplomasi internasional.
5. Indonesia lemah dalam hal pembuktian bahwa kedua pulau ini adalah milik Indonesia
karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional.

5.2

SARAN
1. Pemerintah dan Deplu masih perlu membagi perhatiannya terhadap isu-isu
konvensional seperti klaim teritorial ini.
2. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan pembicaraanpembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih memiliki klaim tumpang
tindih, seperti dengan Filipina, Vietnam, dan Singapura.
3. Indonesia perlu mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional, yaitu
keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk
penyelesaian sengketa teritorial lainnya.
4. Sebagai negara kepulauan hendaknya kita meningkatkan komitmen kita kembali
untuk secara efektif menguasai seluruh pulau di batas teritori kita.
5. Perlunya usaha pemerintah untuk menjelaskan kepada masyarakat akan kronologi
persengketaan ini, agar pandangan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia tidak
buruk.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai