Anda di halaman 1dari 277

DRAFT NASKAH

JUDUL
GENRE
TEMA

: CERITERA JEUMPA.
: Novel Remaja
: Pendidikan

PENGARANG : Malahayati

Bulan Bintang.
Bendera yang dikibarkan di tiang rumah wak haji Halim bukan bendera yang
biasa aku lihat di sekolah, warnanya bukan merah dan putih tetapi merah dengan
garis-garis hitam dan lambang bulan sabit juga bintang. Bendera itu dikibarkan
pada tiang-tiang pagar rumahnya, juga di tiang bendera. Waktu aku tanya sama
mamak dia bilang, wak haji Halim anggota partai Aceh jadi dia kibar bendera Aceh.
Aku diam saja, wak haji Halim itu Tengku, guru mengaji.
Aku hanya heran, apa dia tidak takut kalau tentara-tentara aparat militer
mendatangi rumahnya dan memberondongnya dengan peluru. Begitu yang aku
tahu kalau ada yang berani mengibarkan bendera Bulan Bintang, bendera Nanggroe
Aceh Darussalam. Walaupun bendera itu dikibarkan di tanah nanggroe sendiri,
tanah Nanggroe Aceh Darussalam.
Bulan

melambangkan

Ilmuwan

dan

Ulama

sedangkan

Bintang

melambangkan ahli Agama dan ahli Ibadah, kedua hal inilah yang menjadi inti
kekuatan dari suatu negara, Ilmu Pengetahuan dan Agama. Begitu yang aku baca di
buku tentang arti Bulan Bintang yang memang selalu melambangkan kejayaan
Islam.
Tapi bendera ini tidak dibolehkan berkibar menyaingi bendera merah putih
dan entah sudah berapa banyak hal yang harus dikorbankan karena hal tersebut.
Tapi kali ini wak haji Halim kembali mengibarkan bendera dengan lambang Bulan
Bintang tersebut dan kalau ada tentara aparat militer yang memberondongnya
dengan peluru karena itu, aku rasa, aku pun akan berdiri untuk membelanya. Untuk
membela Ilmu Pengetahuan dan Agama yang dilambangkan oleh Bulan dan Bintang
tersebut.
Musim hujan ataupun kemarau, kota Kualasimpang selalu panas dan
berdebu, kota kelahiranku. Kota Kualasimpang terletak pada ujung timur Nanggroe
Aceh Darussalam yang berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara. Tidak seperti
kota-kota lain di Nanggroe Aceh yang mayoritas terdiri dari orang-orang Aceh, kota
Kualasimpang banyak terdapat orang-orang lain selain orang Aceh. Ada orang Jawa,
orang Minang, orang Batak, orang Mandailing, orang Melayu, etnis Cina dan India,

berbagai macam. Bahasa yang digunakan juga bahasa Indonesia karena memang
sudah terjadi akulturasi budaya. Bahasa Aceh hanya digunakan bagi sesama orang
Aceh, kalau aku mengerti bahasa Aceh, aku juga akan menggunakan bahasa Aceh
karena keluarga dari Ibuku adalah orang Aceh. Tapi karena aku belum bisa
berbahasa Aceh, aku menggunakan bahasa Indonesia saja.
Minggu depan kota Kualasimpang akan kedatangan tamu, keluarga
sepupuku, Cherryl, yang tinggal di Batam akan datang pada acara pernikahan
keluarga dari Ibuku. Aku sangat senang karena sudah lama aku tidak bertemu
dengan Cherryl. Dua tahun lalu kami sempat bertemu waktu ia dan keluarganya
datang ke Aceh, aku ajak ia bermain di colosseum, tempat rahasia kami (aku, Habi,
Shahnaz dan Yani, sepupuku yang lain. Juga teman-temanku dan beberapa orang
anak laki-laki. Dulunya itu tempat rahasia Ellja, tapi dia bilang, karena dia sudah
besar, dia sudah tidak punya tempat rahasia lagi. Aku setuju, sekarang Ellja tidak
pernah lagi pergi ke colosseum, dia lebih senang pergi dengan pacarnya yang sama
sekali tidak mengetahui tentang colosseum. Jadi itu tetap menjadi tempat rahasia
bagi kami).
Hampir satu bulan Cherryl tinggal di Kualasimpang, juga adiknya yang lakilaki namanya Zahri. Tapi Zahri masih kecil, masih bayi, baru berusia satu tahun, jadi
tidak bisa kami ajak ke colosseum.
Cherryl tidak mengenakan hijab atau jilbab. Tapi aku bilang padanya kalau di
Aceh harus pakai hijab atau jilbab. Di sekolah di Aceh, termasuk di kota
Kualasimpang, semua anak perempuan harus mengenakan hijab atau jilbab karena
di dalam agama Islam, perempuan memiliki kewajiban untuk menutupi auratnya.
Tapi ada juga yang kalau tidak di sekolah, tidak memakai jilbab.
Mamak tanya apa aku mau ikut menjemput Cherryl di Medan atau duluan ikut
pulang kampung ke rumah chik Yam di Sigli, aku bilang aku mau ikut menjemput
Cherryl di Medan. Jalan-jalan.
Shahnaz, sepupuku yang lain, anaknya bude Aini juga akan ikut menjemput
Cherryl. Om Lian, suaminya bude Aini, ayahnya Shahnaz yang akan mengantar
kami ke Medan dengan mobilnya. Aku cukup dekat dengan Shahnaz, kadang-

kadang kami sekelas kalau hasil nilai raport kami dekat. Pembagian kelas di
sekolahku berdasarkan urutan nilai.
Aku senang jalan-jalan, mungkin aku memiliki cita-cita menjadi traveller atau
guru mengaji, atau guru mengaji saja. Aku tidak memiliki banyak pilihan cita-cita
karena menjadi perempuan, di Aceh, memang sulit untuk dapat memiliki pilihan
cita-cita. Jadi, mungkin, aku akan menjadi guru mengaji saja.
Aku mengajar mengaji di meunasah kampung. Usiaku memang baru 14 tahun
tetapi aku sudah bisa mengajar anak-anak belajar membaca huruf Hijaiyah. Aku
diberi gaji lima puluh ribu rupiah yang habis untuk membeli sabun cuci muka anti
jerawat. Ayahku bekerja sebagai seorang petani tambak sedangkan ibuku bekerja
sebagai guru MIN. Keluargaku tidak mengajarkanku untuk menjadi anak perempuan
yang manja. Kalau mampu berusaha sendiri, harus dapat berusaha sendiri.
Kami menjemput Cherryl di bandara. Kali ini Cherryl hanya datang bersama
ayahnya yang juga merupakan abuwaku dan adik laki-lakinya yang berusia lima
tahun, Isha namanya. Cherryl lebih muda satu tahun dari aku tapi aku bilang tidak
usah memanggilku kakak kalau kami tidak sedang bersama orang-orang tua. Tapi
malah dia jadi lebih terbiasa memanggilku Ayla bukan kak Ayla, karena itu dia
sempat dimarahi oleh ibunya. Sekarang dia lebih sering memanggilku kak Ayla,
daripada dimarahi lagi mungkin dia pikir begitu.
Cherryl cantik sekali. Wajahnya tirus, hidungnya mancung dan rambutnya
tebal. Dia juga tinggi walaupun belum sampai setinggi aku. Kulitnya sawo matang,
lebih putih daripada kulitku yang mewarisi kulit berwarna coklat dari ibuku. Sewaktu
di bandara, Cherryl mengenakan kemeja dan sweater juga celana baggy dengan
gambar ariel mermaid juga sepatu keds converse yang terlihat nyaman sekali.
gayanya keren. Sedangkan aku mengenakan terusan gamis dan jilbab dengan
warna yang sama. Aku merasa tidak keren, sungguh, seorang guru mengaji
memang tidak perlu menjadi keren. Aku ulangi, aku merasa tidak keren.
Cherryl kemudian menyalami Shahnaz, mereka terlihat tertawa, gembira.
Shahnaz juga keren. dia mengenakan dress baby doll dan celana kerut. Jilbabnya
juga jilbab modis.

Shahnaz tidak memiliki cita-cita menjadi guru mengaji. Shahnaz memiliki


cita-cita menjadi dokter gigi. Dokter gigi tidak harus mengenakan gamis dan
flatshoes. Dokter gigi diperbolehkan mengenakan dress baby doll dan celana kerut
yang keren. Shahnaz pintar mengaji tetapi keluarganya dapat memberikan pilihan
cita-cita yang lain bagi Shahnaz selain menjadi guru mengaji.
Dadah gamis
Oke.., apa aku perlu merubah cita-citaku agar aku juga bisa berpakaian
keren?
Kemeja, sweater dan baggy tidak menyalahi aturan syariah, Cherryl tinggal
mengenakan jilbab dan itu akan membuatnya menjadi keren kuadrat. Sedangkan
aku.., aku merasa sangat tidak keren.
Dress baby doll dan celana kerut juga tidak menyalahi aturan syariah.
Seorang dokter gigi tidak menjadi masalah mengenakan dress dan celana. Tetapi
calon guru mengaji harus mengenakan gamis.
Mungkin kalau aku memiliki cita-cita menjadi traveller dan bukannya menjadi
guru mengaji, mungkin aku bisa berpakaian lebih keren, mungkin aku bisa
mengenakan

sepatu

keds

converse

daripada

flatshoes

yang

desainnya

membosankan ini. Mungkin.., kalau aku bercita-cita menjadi profesi lain selain
menjadi guru mengaji, aku akan terlihat lebih gaya.
Kak Ayla.. tegur Cherryl yang langsung menyalamiku, disuruh oleh
ayahnya. Isha juga ikut menyalamiku, Isha seumuran dengan Bani, tetapi Isha lebih
tua beberapa bulan.
Cherryl dan Shahnaz tersenyum melihatku yang terdiam di sudut ruang
tunggu bandara. Mereka berdua seperti remaja model iklan pasta gigi dan sabun
muka anti jerawat yang menghabiskan uang saku dari hasil mengajar ngajiku. Aku
ingin terlihat seperti remaja model iklan pasta gigi dan sabun muka anti jerawat.
Aku minder teman-teman, apa aku boleh berubah menjadi kerekan travel bag
yang bisa ditarik ulur dan dimasukkan lagi jika tidak diperlukan, apa boleh?

Tahun depan Ayla sudah masuk SMA, mungkin akan masuk pesantren ujar
mamak kepada hadirin sekalian sekedar untuk memastikan bahwa aku belum
menjadi kerekan travel bag.
Iya, masuk pesantren, untuk menjadi guru mengaji dengan uang saku
sebesar lima puluh ribu rupiah perbulan dan gamis dan flatshoes dan jilbab sanggul
tinggi dan sungguh merasa tidak keren.
Dan apa aku berhak memiliki cita-cita lain selain menjadi guru mengaji?
Aku menyambut uluran tangan Cherryl dan kemudian dia berbisik , kan
susah naik sepeda kalau pakai rok ujarnya sambil melirik gamis yang aku kenakan.
Modelnya lucu kok, kekinian, dengan kantong dan motif bunga dan ada smileynya.
Model tangannya dengan rumbai, seperti gaun Syalala, itu, Putrinya pangeran
Dandan.
Dua tahun lalu aku belum mengenakan jilbab sewaktu baru lulus SD. Lebih
sering

mengenakan

celana

panjang.

Kalau

bermain

sepeda

lebih

praktis

mengenakan celana panjang. Waktu Cherryl datang juga aku lebih sering
mengenakan celana panjang dan blouse, jadi kami lebih bebas bermain-main.
Karena

akan

masuk

pesantren,

mamak

bilang

aku

harus

sudah

terbiasa

mengenakan jilbab dan gamis jadi harus belajar mengenakan jilbab dan gamis dari
sekarang.
Tapi sekarang aku merasa seperti kerekan travel bag di depan Cherryl.
Nanti aku cerita, susah banyak orang tua.. ujarku sambil mengajaknya dan
Shahnaz berjalan menuju parkiran mobil. Mamak, Ayah, Abuwa Fadli, Isha, om Lian
dan bude Aini sudah berjalan di depan kami.
Ada beberapa hal yang harus dibeli di Medan untuk keperluan acara kenduri
pernikahan. Bude Aini mengajak kami ke Sun Plaza Mall untuk membeli keperluan
acara kenduri pernikahan.
Aku akan bercerita tentang bude Aini. Bude Aini adalah seorang dokter anak.
Shahnaz dan Arin adalah kedua anak perempuannya. Bude Aini adalah orang Jawa.
Tutur sapanya lembut dan rendah hati. Bude Aini juga sangat menyayangi anak-

anak, tentu saja hal ini bukan hanya sekedar tuntutan profesi, tapi bude Aini
memang sangat dekat dengan anak-anak.
Bude Aini juga salah satu orang yang menyemangatiku untuk mengenakan
gamis dan masuk pesantren. Bude Aini juga sudah mengenakan gamis dan hijab.
Shahnaz dan Arin juga sudah mengenakan jilbab, bahkan rencananya Arin juga
akan masuk pesantren.
Om Lian adalah sepupu ibuku. Om Lian adalah orang Aceh tetapi ia menikahi
bude Aini yang merupakan orang Jawa. Shahnaz dan Arin juga tidak dapat
berbahasa Aceh, sama seperti aku. Sekali-sekali kalau kami pulang ke kampung,
kami bertiga seperti orang bloon yang tidak mengerti pembicaraan orang-orang
disana.
Bude Aini pintar berbelanja dan dia mengajak kami ke shopping mall untuk
berbelanja keperluan kenduri titipan dari nek Hin. Berjam-jam kami berjalan
mengelilingi shopping mall hingga sore. Aku, Shahnaz, Cherryl dan Isha sudah
merasa sangat kelelahan menunggu bude Aini di depan butik sepatu.
Tiba-tiba di langit-langit shopping mall, lampu menyala dengan benderang
karena hari sudah menjelang maghrib. Langit biru dan awan putih yang menjadi
latar langit-langit shopping mall menjadi lebih gelap dengan cahaya lampu-lampu
bertaburan yang berbentuk bintang juga bulan.
Bulan Bintang gumamku pelan.
Ayla.., ayo ke masjid Agung, kita shalat maghrib disana ujar mamak yang
sepertinya sudah kelelahan menemani bude Aini berbelanja. Mamak tidak seperti
bude Aini, mamak tidak pintar berbelanja.
Mak lupa jalan tembusnya yang langsung menuju masjid Agung ujar
mamak.
Dari Sun Plaza ada jalan tembus yang langsung menuju masjid Agung, tetapi
tidak banyak pengunjung yang tahu dan ini adalah, sst, ja-lan ra-ha-sia.
Ayla ingat jalan rahasianya ujarku. Ayo kita cari Bulan dan Bintang yang
sebenarnya! kataku lagi dan semuanya langsung terlihat bersemangat.

Shahnaz, Cherryl, Isha, ayah, abuwa Fadli dan mamak seperti

dikomando

langsung mengikutiku sementara om Lian masih menemani bude Aini berbelanja.


Pilihan pertamaku untuk bertanya adalah kepada security mall. Security mall
tentu harus mengetahui setiap sudut mall besar ini, jadi aku tanya kepadanya, Pak,
kalau mau ke masjid Agung lewat mana?
Adik langsung turun ke ground, di sebelah toko roti ada pintu menuju masjid
Agung jawab security mall.
Dan dimulailah petualangan kami di sebuah shopping mall, mencari jalan
rahasia menuju Bulan dan Bintang yang sebenarnya.
Setelah melewati lima escalator dan tiga elevator. Bertanya ke dua buah toko
roti yang mungkin diperkirakan disebelahnya ada jalan menuju masjid Agung
akhirnya kami sampai di toko roti yang dimaksud. Di sebelahnya ada pintu rahasia
menuju masjid Agung.
Kreek pintu itu dibuka oleh mamak sedangkan kami menunggu dengan
penuh ketegangan. Adzhan sudah terdengar dan kami yakin berada pada jalan yang
benar.
Aku yang berada di belakang mamak langsung menengadah.
Itu, Bulan Bintang yang sebenarnya gumamku sambil melihat ke puncak
kubah masjid.
Mission Accomplished ujar Cherryl.
Now its time for the next mission.., shalat! and then lets save my mom
before shes bought by this shopping mall and become another mannequin ujar
Shahnaz menimpali perkataan Cherryl.
Aku tersenyum, memberikan selembar dua ribu rupiah kepada pengemis di
ujung pintu lalu berlari mengejar ayah dan mamak yang sudah terburu-buru
berjalan di depan. Adzan sudah berkumandang dan kami tidak mau menjadi ummat
yang ketinggalan.

Colosseum.
Tempat ini sebenarnya biasa saja, hanya sebuah pondasi bangunan yang
tidak selesai. Karena yang dibangun baru pondasi dan sebagian dari bangunan
berada di bawah tanah, bangunan ini jadi terlihat seperti amphitheater kecil.
Beberapa tiang juga sudah dipancangkan dan beton penyangga lantai atas juga
sudah selesai, tetapi entah kenapa dari semenjak aku masih kecil bangunan ini
dibiarkan begitu saja.
Serunya, bangunan ini di bangun di sudut kota Kualasimpang yang jauh dari
pengamatan orang. Di daerah padang rumput dengan beberapa pohon kelapa. Juga
beberapa pohon dengan bunga flamboyan yang berwarna oranye tua. Daerah
padang rumput ini berada di pinggir delta sungai Tamiang, sungai yang melewati
kota Kualasimpang.
Beberapa pohon nira tua terlihat menjulang melebihi tinggi pohon kelapa.
Pohon-pohon nira tua itu terlihat seperti tanaman purba. Daerah delta sungai
Tamiang terlihat seperti daerah pada zaman era prasejarah.
Ditumbuhi lumut dan rumput membuat bangunan ini tidak terlihat seperti
bangunan, beberapa batang kelapa tumbang di atas betonnya dan dapat kami
lewati sebagai jembatan. Aku yang pertamakali menyadarinya kalau bangunan ini
seperti colosseum karena undak-undakan menuju lantai bawahnya seperti bangku
untuk penonton. Tadinya Ellja menyebut tempat ini Stair Case to Heaven, tapi aku
yang waktu itu masih berusia enam tahun tidak dapat melafazkan istilahnya dan
aku juga tidak memiliki pilihan nama lain jadi untuk beberapa lama tempat ini
merupakan Stair Case to Heaven untuk Ellja.
Setelah aku berusia 12 tahun dan sudah mempelajari sedikit Sejarah Dunia,
aku mengganti namanya menjadi colosseum. Ellja tidak protes juga tidak terlihat
setuju. Baginya tempat ini mungkin tetap Stair Case to Heaven, tapi ia tetap
menjadikannya rahasia. Dia biarkan aku menyebut tempat ini sebagai colosseum
dan memperkenalkannya kepada Shahnaz juga Cherryl.

Shahnaz dan juga Cherryl langsung mengerti kenapa aku menamakan tempat
ini sebagai colosseum.
Kayak tangga.., di tengahnya kita bisa latihan nari ujar Shahnaz.
Secara tidak sengaja Ellja menemukan tempat ini bersama Adri, abangku
yang paling tua. Kata mereka, mereka menemukan tempat ini sewaktu aku masih
bayi jadi aku tidak dapat diajak bermain. Ellja bilang ia, Adri, Hasnah dan Uyan,
sepupuku yang lain yang lebih tua dari aku dan sebaya dengan Ellja menemukan
tempat ini sewaktu mereka mencari kelapa dan mengumpulkan pinang. Bangunan
itu seperti ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Kata mamak, dulu ada orang
Medan yang mau membangun disitu, tetapi entah kenapa tidak jadi, bangunannya
dibiarkan terbengkalai.
Beberapa temanku yang sok tau bilang bangunan itu adalah bangunan
peninggalan Belanda sedangkan aku yang memiliki kemampuan peneliti langsung
mengetahui kalau bangunan itu bukan buatan Belanda.
Memang ada beberapa bangunan peninggalan Belanda di kota Kualasimpang
yang menunjukkan pendudukan Belanda pada daerah ini, tetapi ada juga beberapa
bangunan yang tidak selesai dibangun seperti beberapa benteng menandakan
pendudukan Belanda tidak bertahan lama di kota ini.
Mungkin gabungan pasukan Aceh dan pasukan Tamiang berhasil memukul
mundur Belanda kembali ke tapal batas di daerah Sumatera Utara yang sudah
terlebih dahulu dikuasai Belanda. Yang jelas tidak banyak bangunan peninggalan
Belanda di kota Kualasimpang selain komplek rumah Residen, rumah sakit,
bangunan tempat penampungan air, beberapa kanal saluran drainase dan kherkoff.
Hal ini jelas menandakan bahwa daerah Tamiang juga tidak pernah jatuh ke tangan
Belanda.
Bangunan colosseum ini juga bukan bangunan Belanda, entahlah.., pokoknya
aku tahu.
Kami senang main kesana. Membuat rumah-rumahan dan bermain masakmasakan. Berlatih menari juga anak laki-laki bermain perang-perangan, dengan
senapan dari batang daun pisang, bunyinya mirip dengan letupan senjata. Kadang

aku juga ikut mengangkat senjata. Kadang anak laki juga ikut menari. Tapi tetap
anak laki-laki yang mengangkat senjata dan anak perempuan menari. Diluar hal itu
hanya hal yang kadang-kadang saja.
Ellja yang pertamakali menyatakan kalau stair case to heaven atau
colosseum adalah tempat rahasianya. Ia suka pergi kesana sendirian lalu aku yang
disuruh mamak untuk mencarinya. Waktu itu aku masih SD dan dia masih SMP. Aku
tentu saja harus memanggilnya kak Ellja.
Dia sering datang kesana untuk melukis.
Ellja cerita tentang pacarnya yang bernama Shauqi. Shauqi orang Aceh.
Ayahnya orang Aceh dan Ibunya juga orang Aceh. Ayahnya anggota Gerakan Aceh
Merdeka dan keluarga Shauqi adalah keluarga keturunan Aceh yang sangat
disegani. Nasabnya tinggi.
Tetapi entah kenapa Ellja selalu terlihat tertekan kalau bercerita tentang
Shauqi.
Aku kan gak bisa bahasa Aceh, diajak jumpa sama kakaknya, aku mana bisa
bicara, gak tau bahasa Aceh cerita Ellja kepada Fina, teman satu sekolahnya yang
menanyakan mengenai hubungannya dan Shauqi. Yang ada aku dengar orang itu
ngomong.., aku diam saja. Karena aku diam, dibilang kakaknya aku sombong
Han k tapike ujar Ellja kemudian menjawab dalam sepotong bahasa Aceh
yang mungkin tidak sengaja di dengarnya dari teman-temannya yang orang Aceh
asli.
Orang Aceh itu Rasis! Iya Rasis!
Seperti orang Arab yang sangat menjaga nasab dan keturunan, orang Aceh
juga sangat memilih-milih dalam menjaga keturunan untuk menjaga kemurnian
darah mereka juga untuk menjaga nilai-nilai agama dan untuk menjaga hak waris
atas tanah terutama bagi keluarga-keluarga keturunan raja penguasa yang masih
mewarisi sistem feodal. Diskriminasi masih sangat terasa bagi orang biasa-biasa
saja dan keturunan darah campuran seperti aku dan Ellja, juga dalam hal mencari
pacar.

Ellja tidak bisa masuk ke dalam keluarga Aceh seperti keluarga Shauqi karena
dianggap keturunan campur. Tidak bernasab. Orang biasa. Awam.
Padahal di dalam Al-Quran disebutkan kalau Allah menciptakan manusia dari
berbagai macam suku bangsa agar manusia dapat saling mengenal satu sama lain.
Bukannya malah semakin memperlebar perbedaan.
Ellja dan Shauqi putus sewaktu aku kelas 2 SMP, kejadiannya setahun yang
lalu. Waktu itu dia sering sekali datang ke colosseum untuk menggambar dan
melukis. Gambarnya banyak terdiri dari sosok laki-laki duduk di kursi kayu,
menggendong bayi.

Atau sosok laki-laki sedang duduk menatap horizon dengan

gitar di belakangnya. Atau.., ah entahlah.., kata mamak, Ellja itu teuleubeh, ia


seperti punya indera ke enam. Dari masih kecil dia terlihat berbeda sekali dengan
anak-anak lain.
Sekarang dia pacaran dengan Nazir, orang Aceh juga, tetapi tidak rasis. Nazir
lulusan MAN dan sekarang bekerja membantu ayahnya berjualan rempah di pasar,
rempah seperti bungong lawang kleng, pala, lada, adas manis, jintan juga nilam.
Sulit untuk dapat membaur ke dalam masyarakat Aceh. Jangankan yang
orang luar atau suku luar, yang masih memiliki darah Aceh seperti aku saja sulit
untuk dapat merasa diterima di dalam keluargaku sendiri yang merupakan
masyarakat Aceh. Terutama karena kendala bahasa juga mungkin karena aku
adalah keturunan Aceh dari pihak perempuan jadi dianggap bukan keluarga dalam
atau mungkin karena hal lainnya.
Sudah lama aku tidak ke colosseum, kata Cherryl kalau sudah selesai kenduri,
ia mau pergi kesana. Cherryl menolak waktu aku suruh dia pakai jilbab.
Tubuhku adalah hakku kata Cherryl.
Korban emansipasi dan feminisme! kataku sambil melihat Cherryl yang
mengayuh sepeda dengan tenangnya, mengenakan celana jeans dan t-shirt band
bergambar the Cure juga dengan keds.
Nyaman sekali pakaiannya sementara aku masih harus berpayah-payah
menyibakkan rok panjang ini agar tidak ikut tergulung kayuhan roda sepeda.

Freedom is not free kata Cherryl lagi, kemudian ia berhenti lalu


mengenakan sweater tebal yang menutupi seluruh tubuhnya. Mungkin nanti aku
akan pakai jilbab lanjutnya lagi.

Meuseukat dan Martabak.


Chik Mina menjahitkan kami gaun berwarna seragam yang akan kami
kenakan sewaktu acara kenduri pernikahan Apacut. Apacut adalah sepupu laki-laki
dari ibuku. Cherryl dan Shahnaz juga mendapatkan gaun yang sama. Bahan dan
warnanya sama, hanya kami membuat modelnya berbeda-beda sesuai dengan
keinginan kami. Cherryl dibuatkan gaun terusan dengan pita besar di pinggangnya,
sekarang dia terlihat seperti Nirmala yang ada di majalah Bobo, warna bajunya pun
sama, warna salem kemerah-merahmudaan gitu.
Desain gaun yang dibuat Ellja keren. tidak seperti kebanyakan gaun
kembang-kembang dengan brokat yang banyak dikenakan di acara-acara resepsi
Aceh sekarang. Gaunnya Ellja praktis, modern dan simple. Beberapa desain gaun
Ellja sering diberikan kepada chik Mina dan banyak dicontoh oleh anak-anak
perempuan lain yang menjahit baju pada chik Mina.
Ellja seperti tidak berniat untuk pulang ke Sigli. Dari semenjak kedatangan
Cherryl, dia hanya mengurung diri di kamar. Melukis. Beberapa dari lukisannya

adalah desain kaligrafi tetapi beberapa lainnya hanya coretan abstrak. Seperti tidak
berarti.
Shauqi adalah orang Sigli. Semenjak putus dari Shauqi, Ellja selalu menolak
kalau diajak pulang ke Sigli. Katanya dia cinta sama Shauqi tetapi karena keadaan
yang tidak memungkinkan, mereka berdua harus putus.
Ellja pacaran sama Nazir dan sayang sekali kepada Nazir. Mungkin sudah
hampir lima bulan. Ellja juga senang membantu Nazir berjualan rempah-rempah.
Aku juga bilang mereka cocok sekali. Tetapi beberapa kali Shauqi masih
menghubungi Ellja dan hal itu sepertinya membuat Ellja bingung. Kalau Ellja
bingung, dia melukis. Tidak seperti aku, kalau aku sedang bingung, aku nonton TV.
Waktu aku tanya sebenarnya Ellja lebih cinta sama Shauqi atau Nazir, dia
bilang, Kah jeut pajoh meuseukat peu martabak?
Lalu dia curhat panjang lebar tentang aturan dalam keluarga Aceh dan
bagaimana menjadi menantu perempuan di dalam keluarga Aceh dan bagaimana
terkadang seorang menantu perempuan tidak memiliki hak untuk mengeluarkan
pendapat di dalam keluarga besar Aceh dan bagaimana tentang harus menjaga
imej dan bagaimana tentang gamis dan abaya dan jilbab berpayet dan sanggul
tinggi dan senyum yang harus terus menghiasi bibir semanis rasa meuseukat
seberapapun kering dan lengketnya rasa gula itu di tenggorokan.
Atau martabak? Boleh dimakan dengan acar boleh tidak. Boleh cabenya
dibuang boleh tidak. Boleh pakai saus boleh tidak. Boleh minum air sepuasnya
kalau pedas boleh tidak.
Aku tidak mengerti.
Kak Ja.., diajak Cherryl ke rumah Shahnaz, tanyak sama bude Aini, kita ikut
mobil bude Aini atau mobil chik Jal? Sekalian antar kue bolu yang dibikin mamak
ujarku kepada Ellja yang kembali terlihat sibuk melukis.
Kenapa gak mau belajar naik kereta? Kak terus yang disuruh antar-antar
jawab Ellja sambil membereskan alat lukisnya.

Walaupun menggerutu Ellja akhirnya tetap mengantar aku dan Cherryl ke


rumah Shahnaz dan akhirnya ia harus kembali sendirian ke rumah. Karena hari itu
aku dan Cherryl malah menginap di rumah Shahnaz. Kami mengajak Ellja juga
untuk ikut menginap, tetapi Ellja lebih tua tiga tahun dari kami bertiga dan Cherryl
juga Shahnaz agak segan kepada Ellja. Kalau ngobrolpun Ellja tidak akan cocok
dengan topik obrolan kami. Ellja pun mengerti untuk tetap menjaga imej di depan
adik-adiknya.
Malas gabung sama aneuk miet jawab Ellja.
Biarin, yee jawabku, Cherryl dan Shahnaz sambil membereskan nampannampan kue yang harus dibawa kembali pulang ke rumah oleh Ellja. Rencananya
kami menginap di rumah Shahnaz untuk menyiapkan beberapa hal termasuk untuk
menyiapkan

tugas

sekolah

membuat

herbarium.

Di

kampung

mudah

mengumpulkan bahan untuk herbarium, ini tugas sekolahku dan Shahnaz. Cherryl
membantu kami, katanya dia juga pernah mendapatkan tugas yang sama.
Kami nanti mau pasang hinai.., kak gak mau? tanyaku kepada Ellja agar dia
mau ikut menginap biar besok ada yang mengantar kami pulang ke rumah. Kalau
tidak, mungkin kami akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
Enggak ah.. jawab Ellja cepat lalu segera pulang ke rumah.
Ada anak tentara yang suka dengan Ellja, anak danramil, tentara militer
Indonesia. Teman satu sekolahnya yang suka sekali mengganggu Ellja tapi Ellja
benci sekali kepadanya. Benci yang sangat bencinya dan sangking bencinya,
kebencian ini tidak dapat ditunjukkan lagi. Kalau anak itu mengganggu Ellja, Ellja
hanya tersenyum, terpaksa, karena memakipun tidak ada gunanya. Begitu pula
kalau anak itu mengata-ngatai Ellja, Aceh cilet cilet, karena Ellja bukan keturunan
asli Aceh dan tidak dapat berbahasa Aceh, Ellja senyum saja. Memakipun tidak ada
gunanya.
Keluargaku bukan merupakan keluarga Aceh asli tapi kami mengerti
mengenai konflik yang terjadi di Aceh. Ellja juga aku benci sekali dengan tentara
militer. Kami benci orang-orang yang kejam dan suka menindas yang lemah dengan

senjata. Mengangkat senjata adalah untuk membela hak bukan untuk merampas
hak orang lain.
Walau bagaimanapun, tanah Aceh adalah milik rakyat Aceh.
Walau bagaimanapun cara perlawanannya, tentara militer Indonesia tetap
salah karena Aceh bukanlah hak Indonesia dan apa yang dilakukan tentara militer
Indonesia di Aceh adalah pelanggaran Hak Azasi Manusia dan karena itu aku dan
Ellja jelas-jelas memihak GAM.
Ellja dan aku terang-terang membela Gerakan Aceh Merdeka. Itu sebabnya
Ellja selalu pacaran dengan orang Aceh. Bukan karena Ellja rasis dan membenci
suku selain Aceh tetapi dalam kondisi sekarang penting untuk dapat menjelaskan
keberpihakan dan Ellja memihak pada apa yang dia ketahui benar. Walaupun
mungkin, masa depannya akan sulit kalau dia memutuskan untuk menikah dengan
orang Aceh. Tidak banyak pilihan hidup baginya.
Meuseukat atau Martabak?
Kalau ada orang GAM yang mau, kak mau? tanyaku pada Ellja.
Ya.., lantas hidupku akan berkisar seputar rumah, mendidik anak dan
bersiap untuk kemungkinan di poligami jawab Ellja cepat.
Nazir

bukan

anggota

Gerakan

Aceh

Merdeka,

tetapi

jelas

membela

kemerdekaan Aceh. Tidak ada rakyat Aceh yang tidak mendukung kemerdekaan
Aceh.
Bang Nazir gak akan poligami kakak.. ujarku.
Nazir pedagang, bukan anggota GAM. Kalau GAM, biasanya poligami..,
menikah juga ditujukan untuk politik, membangun sillaturahmi dan kekuatan politik
dengan pernikahan. Aku tidak mau terikat dalam pernikahan yang didasarkan pada
kepentingan politik terang Ellja.
Berarti harus siap-siap jadi tukang jualan rempah.. komentarku.
Berarti harus siap-siap menjadi guru mengaji.. ujar Ellja membalas
komentarku, kemudian kami berdua tertawa.

Ellja sudah sekolah SMA kelas tiga. Tamat SMA dia belum tahu melanjutkan
kemana. Bukan karena dia bodoh. Kalau dia melanjutkan sekolah di Banda Aceh, dia
harus bisa beradaptasi dengan adat dan budaya Aceh sementara Ellja itu, sosialis
liberal sekali. Akan banyak ide yang berbenturan jika Ellja harus beradaptasi dengan
adat dan budaya masyarakat di Banda Aceh. Kalau dia melanjutkan sekolah di
Indonesia, akan sulit untuk dapat pulang ke Aceh lagi dengan masih membawa
idealisme yang sama.
Aku tidak setuju kalau agama dijadikan dasar negara dan aku juga tidak
setuju kalau aturan sosial di dalam masyarakat didasarkan pada agama,
masyarakat yang seperti itu akan sangat kaku dan mematikan hak-hak individu
terang Ellja mengomentari mengenai penerapan Syariah Islam di Aceh.
Tapi tidak ada yang tahu bagaimana perkembangan ke depannya dan Aceh
tetap berhak untuk Merdeka lanjutnya lagi.
Ellja pintar tapi pintar saja tidak cukup kalau ingin menjadi orang berhasil.
Harus rajin, harus patuh, harus tekun, harus disiplin, harus penurut pada aturan,
harus tunduk pada mereka yang menetapkan peraturan, pasti nanti bisa jadi
pegawai andalan.
Ellja tidak seperti itu.
Mungkin dia tidak akan melanjutkan sekolah.
Mungkin dia akan menikah dengan Nazir dan berjualan rempah.
Dadah meuseukat
Aku sendiri tidak terlalu memikirkan pacaran. Aku mengerti kalau di dalam
Islam tidak dibolehkan pacaran, tetapi.., banyak anak-anak perempuan teman kami
yang tinggal di daerah Bronx-nya kota Kualasimpang, mereka banyak yang tidak
mengerti kenapa di dalam Islam tidak dibolehkan pacaran. Banyak yang MBA,
Married Because Accident.
Tidak ada yang menuntun mereka. Tidak ada yang memberi mereka peta dan
kompas untuk dapat menentukan arah. Seharusnya mereka tahu, Bulan dan
Bintang dapat dijadikan penuntun jalan. Itu kalau mereka mau belajar.

Aku sendiri ingin lebih memikirkan bagaimana melanjutkan sekolah. Sulit


sekali untuk dapat menatap masa depan di Aceh dengan kondisi ketidakjelasan
konflik politik seperti sekarang. Aku tentu saja sangat setuju dengan syariah Islam,
gamis yang aku kenakan tidak akan terlihat aneh jika aku berada di Aceh dan tidak
sulit bagiku untuk menyesuaikan diri dengan adat dan budaya Aceh. Tidak seperti
Ellja yang pembangkang, aku lebih penurut.
Mungkin aku harus lebih serius belajar mengaji dan mungkin Ellja harus
pasrah menemani Nazir berjualan rempah.
Tidak begitu banyak pilihan hidup bagi kami.

Kualasimpang, kota Perbatasan.


Urusan melanjutkan sekolah bagi kami di Kualasimpang seperti urusan
memilih Agama dan Ideologi Politik termasuk bagi anak SD dan SMP seperti Yani
dan aku. Yani adalah sepupuku yang paling kecil, anaknya chik Ar. Tahun ini dia
sudah lulus MIN yang setara SD dan akan melanjutkan ke SMP sedangkan aku akan
melanjutkan ke SMA. Hal ini bukanlah hal yang mudah bagi kami, ketika masih
begitu kecil tetapi harus dihadapkan pada perseteruan politik yang menentukan
masa depan kami.
Pilihannya begini, kalau memihak Nanggroe Aceh Darussalam harus masuk
dayah atau sekolah-sekolah agama karena pendidikan di Aceh akan didasarkan
pada Syariah Islam. Kalau masuk sekolah umum, secara otomatis berarti dianggap
memihak Indonesia walaupun pada kondisinya banyak yang tidak mengetahui
aturan tidak tertulis ini di Kualasimpang, apalagi bagi warga pendatang.
Karena keluargaku memihak Nanggroe Aceh Darussalam, setelah lulus MIN,
Yani akan melanjutkan ke dayah atau MTsN. Sedangkan aku akan melanjutkan ke
MAN.
Sekolah-sekolah umum di Nanggroe Aceh Darussalam sebagian besar adalah
milik pemerintah Indonesia sementara sekolah-sekolah agama, MIN, MTsN dan MAN
juga madrasah-madrasah yang lain biasanya didirikan atas nama yayasan Islam
yang umumnya merupakan milik masyarakat Aceh.
Sekolah-sekolah negeri dengan fasilitas pendidikan umum yang memadai
biasanya adalah milik pemerintah Indonesia dan karena itu sulit bagi mereka yang
memihak Aceh Merdeka untuk dapat bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang
mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Biasanya orang Aceh akan menyekolahkan
anak-anak

mereka

di

sekolah-sekolah

agama

dan

karena

itu

pendidikan

pengetahuan umum bagi anak Aceh menjadi sangat jauh tertinggal.


Sebagian kecil anak orang Aceh yang mendapatkan pendidikan di sekolahsekolah negeri dan melanjutkan di kampus negeri biasanya akan bekerja sebagai
pegawai di pemerintah Indonesia. Lapangan pekerjaan yang tertutup bagi mereka

yang memihak Aceh Merdeka dan terlibat gerakan separatis. Kalau ingin bekerja di
bidang yang terkait dengan pemerintahan, mau tidak mau dipaksa tunduk pada
pemerintah Indonesia.
Seperti tidak ada pilihan lain bagi anggota Aceh Merdeka selain tetap menjadi
petani dan guru mengaji. Nelayan dan pedagang. Berlatih khat dan kaligrafi.
Bermain rapai dan menari.
Benci yang sudah sangat benci hingga tidak dapat ditunjukkan lagi dan yang
dapat terlihat hanya tawa tanpa arti seperti orang gila yang lebih memilih tertawatawa, karena marah dan menangispun tidak ada gunanya.
Atjeh Pungo!
Mengerti bagaimana perasaan kami?!
Bagaimana harus dipaksa untuk dapat memberikan keramah-tamahan
sedangkan yang ada di dalam hati hanya kebencian?
Aku akan melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negeri. Tetapi tidak
banyak MAN di kota Kualasimpang. Mungkin aku akan melanjutkan sekolah ke
Langsa. Pendidikan dan iklim ilmu pengetahuan di kota Kualasimpang lebih di
arahkan ke pendidikan umum karena kota kecil ini memang lebih dikuasai oleh
pemerintah Indonesia walaupun menurutku kota ini seperti kota tidak bertuan yang
tidak memiliki pemimpin yang jelas yang mampu mengambil tanggung jawab untuk
mengarahkan masyarakatnya. Hal ini yang terjadi selama puluhan tahun konflik
Aceh di kota Kualasimpang yang merupakan kota perbatasan dan terus dijaga dan
dipastikan untuk aman.
Kota Kualasimpang diharapkan dapat netral politik dan hal ini artinya adalah
ketidakjelasan masa depan bagi kami. Apalagi bagi anak-anak sekolah seperti aku
yang tidak terlalu mengerti bagaimana permasalahannya. Bagi masyarakat kota
Kualasimpang yang selama puluhan tahun konflik Aceh seperti tidak ikut merasakan
gedebam gedebumnya konflik politik dan tekanan militer.

Seperti ada yang menutupi mata kami agar tidak mampu melihat kenyataan
yang sebenarnya. Seperti tidak mampu untuk bersuara mengatakan hal yang
sebenarnya.
Kami yang harus menentukan masa depan kami sendiri. Seperti Yani yang
memilih untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Islam dan Ellja yang lebih memilih
untuk pacaran dengan orang Aceh.
Habis lulus MIN nanti Yani masuk SD kak? tanya Yani kepadaku. Ia tidak
tahu kalau MIN itu setaraf SD.
Setelah lulus MIN nanti bisa masuk SMP, SMIP atau MTsN, SD itu sama
dengan MIN. hanya saja tidak banyak pelajaran agamanya ujarku.
Hidup itu memilih.
Tetapi untuk dapat menentukan pilihan harus didasari oleh pengetahuan dan
kebenaran.
Beberapa bulan lalu aku dan Shahnaz diajak sama Ellja ke perpustakaan
daerah. Dia meminta kami untuk menemaninya mengerjakan tugas dari sekolah.
Ellja menawarkan beberapa buku kepada Shahnaz, dia bilang anak Aceh harus
mengenal sejarah Aceh termasuk dengan latar belakang konflik berdarah yang
melibatkan orang tua orang tua kami yang berbeda suku. Ayahku dan Ellja adalah
orang Minang sedangkan bude Aini, ibunya Shahnaz adalah orang Jawa, tetapi kami
mewarisi darah Aceh dan kami harus mengenal Aceh. Ellja bilang begitu sambil
menawarkan sebuah buku kepada Shahnaz yang langsung membuat bude Aini
marah-marah ketika menemukan buku tersebut di kamar Shahnaz. Dia bilang buku
itu bukan bacaan untuk anak-anak.
Sepupu-sepupuku di kampung, yang tidak begitu mengenal pengetahuan
umum, yang hanya mendapatkan pendidikan agama, mereka seperti lebih yakin
dalam menatap masa depan. Tidak begitu banyak pilihan juga bagi mereka tetapi
setidaknya tidak ada kenyataan yang ditutup-tutupi dari mereka.
Mereka mengalami konflik Aceh secara langsung dan tidak ada yang meninabobokan mereka dengan komik-komik disney dan buku-buku ensiklopedi dan

dongeng-dongeng dunia eropa. Kehidupan mereka adalah realita. Bekerja di ladang,


berjualan di pasar, berdagang atau pergi melaut. Pendidikan tinggi seperti jauh
tidak terjangkau yang hanya dapat dikecap oleh penguasa yang dekat dengan
pemerintah Indonesia.
Aku merasa anak-anak di Aceh jauh lebih mampu mandiri, mereka tidak
dibesarkan dengan cara dimanja. Mereka dibesarkan dengan tanggung jawab, atas
negeri dan agama. Tanggung jawab yang sudah disadari oleh mereka dari semenjak
mereka masih kecil.
Ellja bilang, dia mending jualan rempah sama Nazir daripada jadi ibu-ibu
pejabat.
Dia masih sering melukis. Tetapi sekarang garis-garisnya semakin tidak jelas.

Elljani Hafsah.
Elljani Hafsah, itu nama lengkapnya. Kami sekeluarga memanggilnya Ellja.
Aku dan Bani, adik laki-lakiku yang paling kecil yang masih berusia empat tahun
memanggilnya kak Ellja. Ellja lebih tua tiga tahun dari aku, tahun ini ia tepat berusia
tujuh belas tahun.
Kami ada empat orang bersaudara dalam keluarga. Dua orang laki-laki dan
dua orang perempuan. Ayahku adalah orang Minang Tamiang yang memiliki nama
keluarga Tanjung. Tetapi kami yang anak perempuan tidak mewarisi nama keluarga
ini, aku tidak tahu kenapa. Ibuku orang Aceh, perempuan Aceh.

Adri Tanjung adalah abangku yang paling besar. Dia sudah lulus kuliah dan
sudah bekerja di Pekanbaru. Ellja adalah anak nomor dua. Kemudian aku, Ayla Afzan
dan Muhammad Albani Tanjung.
Diantara kami berempat, Ellja beda sendiri.
Dari kecil Ellja sangat pembangkang. Kalau di sekolah juga dia sering
berontak terhadap guru-gurunya. Ellja di sekolahkan di sekolah umum dan entah
kenapa dia tidak pernah cocok dengan aturan-aturan di sekolah. Ellja juga mengaji
di Madrasah Diniyah Awaliyah, dan di madrasah pun dia sering tidak cocok dengan
guru mengajinya yang banyak merupakan ustadz dan ustadzah dari Jawa.
Mamak sering sekali memarahi Ellja bahkan kadang sampai mamak
menangis sendiri karena kalau dimarahi Ellja itu seperti bebal. Masuk telinga kanan
keluar telinga kiri. Tetapi Ellja juga yang paling dekat dengan mamak dan mewarisi
kemampuan mamak memasak masakan Aceh. Ellja juga lebih keras kepala, sama
seperti mamak yang merupakan perempuan Aceh. Dari gerak-geriknya, cara
bicaranya dan Ellja juga mahir menarikan banyak tarian Aceh. Diantara kami
berempat, bahasa Aceh Ellja juga yang paling bagus. Ellja anak Mak, anak Aceh.
Tetapi entah kenapa, aku selalu merasa Ellja seperti tertekan. Seperti tidak
dapat gembira. Seperti sangat sedih. Kalau sedang seperti itu, Ellja melukis.
Lukisannya banyak yang merupakan kaligrafi. Tetapi ada beberapa yang
merupakan garis-garis abstrak yang membentuk sosok laki-laki. Ada beberapa
lukisan Ellja yang seperti itu. Waktu aku tanya itu siapa, Ellja bilang dia tidak tahu.
Dia sering melihat laki-laki itu di mimpinya, terutama yang duduk di kursi kayu dan
sedang menggendong bayi.
Nilai sastra dan seni Ellja tinggi. Tetapi dia tidak begitu tertarik dengan
pelajaran-pelajaran Agama, tidak seperti aku yang sangat tertarik dengan kajiankajian agama.
Cara berpakaian Ellja juga gaul dan modis. Dia membuat desain sendiri untuk
pakaiannya. Kebanyakan dari desain pakaiannya adalah dress terusan hingga
selutut dipadukan dengan celana. Waktu aku bilang celana itu pakaian laki-laki. Ellja
bilang, dari dulu perempuan Aceh mengenakan celana panjang dengan kain. Entah

kenapa sekarang perempuan Aceh disuruh mengenakan gamis. Gamis itu bukan
pakaian kita. Protesnya.
Aku tidak membalas protesnya karena aku juga tidak mengerti. Tapi aku
nyaman mengenakan gamis. Mungkin aku memang tidak begitu mewarisi darah
ibuku yang merupakan perempuan Aceh. Setidaknya sudah jelas aku tidak mewarisi
sifat keras kepalanya.
Lukisan-lukisannya menurutku banyak yang bagus hanya saja ayah dan
mamak

tidak

mengerti

harus

mengarahkannya

ke

jalur

pendidikan

yang

bagaimana. Ellja sulit untuk dibentuk. Dia begitu seperti memang sudah seperti itu.
Mamak bilang, Ellja mirip sekali dengan nek Aceh. Nenek dari ibuku yang tidak
sempat melihatku karena sudah meninggal sebelum aku lahir.
Ellja benci tentara Indonesia. Dari kecil sudah begitu. Walaupun ada
beberapa anggota keluarga kami yang merupakan tentara dan polisi tetapi dia tidak
bisa dipaksakan untuk dapat bermanis-manis wajah di depan saudara-saudara kami
yang juga merupakan tentara dan polisi. Bahkan untuk sekedar beramah tamah,
seperti jika om Yanto yang tentara datang ke rumah, dia tidak pernah mau keluar
kamar. Aku yang disuruh untuk membuatkan minum.
Aku lihat Mak juga seperti itu. Seperti sedih. Seperti terpaksa. Seperti
tertekan kalau sedang berada dalam lingkungan keluarga orang Indonesia yang
banyak merupakan keluarga dari ayahku.
Aku tidak mengerti.
Mungkin nanti aku akan mengerti.

Mobil Tentara.

Ternyata sewaktu aku dan Cherryl menginap di rumah Shahnaz, sehabis


mengantar kami ke rumah Shahnaz lalu mengembalikan nampan-nampan kue bolu,
Ellja pergi sama Nazir. Lalu dicari sama mamak. Mamak sampai datang ke rumah
bude Aini diantar ayah, mengira Ellja juga menginap di rumah Shahnaz, ternyata
Ellja pergi sama Nazir.
Ayah marah. Mak apalagi. Malam menginap untuk berhinai di rumah Shahnaz
bersama Cherryl akhirnya gagal karena kami semua akhirnya disuruh pulang ke
rumah untuk menunggu Ellja. Setelah dia datang diantar oleh Nazir dengan
tenangnya dia memberikan dua bungkus mie Aceh dan martabak untuk kami.
Kami gak kemana-mana, tadi ngumpul sama teman-teman Nazir ujarnya
lalu langsung masuk ke dalam kamar. Setelah berbicara sebentar Nazir langsung
pamit pulang sementara ayah dan mak tidak dapat berkata apa-apa lagi.
Lalu tidak lama om Yanto dan chik Nur datang. Seperti bude Aini, om Yanto
juga saudara kami. Om Yanto adalah seorang tentara. Om Yanto menikah dengan
kakak perempuan ibuku, chik Nur. Mereka baru pulang dari Medan. Berbelanja
kebutuhan bulanan di Medan. Mereka tinggal di Lhokseumawe.
Mobil om Yanto baru.
Mereka semua berbincang-bincang di ruang tamu.
Aku, Ellja dan Cherryl di dalam kamar.
Kak pergi kemana sama bang Nazir? tanyaku kepada Ellja.
Sst.., anak kecil mau tau aja! jawab Ellja.
Aku agak khawatir dengan Ellja dan pergaulannya. Tidak seperti aku yang
penurut dan berusaha untuk patuh pada aturan, Ellja seperti tidak peduli. Tapi Ellja
sangat tertutup mengenai kehidupan pribadinya, bahkan ayah dan mak juga tidak
berani untuk bertanya.
Om Yanto dan chik Nur menawarkan tumpangan mobil sampai Lhokseumawe.
Jadi mungkin aku, Ellja dan Cherryl bisa berangkat duluan. Dari Lhokseumawe kami

bisa melanjutkan naik bus. Aku pikir seru juga. Aku belum pernah naik bus sendirian
tanpa ditemani ayah dan mak.
Tadinya aku ingin mengajak Shahnaz tapi Ellja bilang pasti tidak akan
diizinkan sama bude Aini. Jadi kami pergi bertiga saja. Kami langsung bersiap-siap.
Aku dan Cherryl langsung bersemangat sementara Ellja berkali-kali menolak. Tetapi
setelah aku memelas dan bilang kepadanya kalau dia tidak ikut kami tidak akan
diizinkan naik bus sendirian dan paling kami hanya bisa menunggu ayah dan mak
datang ke Lhokseumawe lalu baru bisa bersama-sama berangkat ke Sigli, akhirnya
dia mau juga.
Malam itu kami berangkat menumpang mobil baru om Yanto. Aku, Cherryl
dan Ellja duduk di belakang. Sepanjang perjalanan Ellja hanya diam sambil
melemparkan pandang keluar jendela dan kepekatan malam. Perjalanan dari
Kualasimpang menuju Lhokseumawe menghabiskan waktu selama kurang lebih
empat jam. Aku yang banyak berbincang-bincang dengan chik Nur. Afdelia adalah
sepupu kami anak chik Nur yang cukup dekat denganku. Usia kami juga sebaya.
Tapi kata chik Nur, Afdelia sedang di rumah kak Haifa, anaknya chik Nur yang sudah
menikah, lebih tua beberapa tahun dari Ellja.
Chik Nur memiliki bisnis kecil toko souvenir Aceh. Kain sulam dan tenun
Aceh, tas-tas etnis, kain-kain motif, perhiasan, merchandise dan berbagai macam
souvenir lain. Ibuku adalah adik kandung chik Nur. Ayah mereka, kakekku, kakek
Aceh, memiliki dua orang istri. Jadi ibuku juga memiliki beberapa saudara tiri yang
tidak dapat aku hapal semua nama dan orangnya.
Om Yanto adalah tentara. Dulu sempat ditugaskan mengawas di PT.Arun.
Diantara saudara-saudara ibuku, chik Nur termasuk yang berhasil. Juga
merupakan satu-satunya yang sempat mengecap pendidikan tinggi, Sekolah
Keguruan lalu menikah dengan tentara.
Chik Nur menikah dengan om Yanto yang merupakan tentara dan orang Jawa,
mereka dikaruniai tiga orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki.
Pernikahan mereka sepertinya tidak pernah memiliki masalah yang berarti dan
mereka masih bersama hingga sekarang, hanya saja chik Nur kurang dekat dengan

keluarga om Yanto yang merupakan keluarga Jawa dan om Yanto kurang dekat
dengan keluarga chik Nur yang merupakan orang Aceh.
Om Yanto lebih dekat dengan saudara-saudara kami yang bukan orang Aceh,
seperti ayahku dan bude Aini. Anak-anak mereka yang merupakan sepupuku juga
tidak terlalu dekat dengan sepupu-sepupu kami di kampung yang merupakan
keturunan Aceh asli walaupun mereka dapat berbahasa Aceh.
Apa harus berusaha untuk menilik kembali sejarah?
Sepertinya, ada masa tertentu, di dalam sejarah Aceh, dimana integrasi
sosial dipaksakan di dalam masyarakat Aceh. Sepertinya hal ini terjadi semasa
rezim Soeharto. Tentara-tentara dan pegawai pemerintah di datangkan dari Jawa
lalu menikah dengan perempuan-perempuan Aceh yang sudah mendapatkan
pendidikan umum. Mereka inilah yang selanjutnya menjadi pegawai pemerintah
Indonesia

dan

mendapatkan

tanggung

jawab

untuk

mengurusi

aset-aset

pemerintah Indonesia yang ada di Aceh. Kilang minyak, pabrik pupuk, perusahaanperusahaan tambang, perkebunan, gudang penyimpanan logistik juga instansi dan
fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit.
Sementara pemimpin dan penguasa Aceh tinggal menyetujui kesepakatan
lalu menunggu keuntungan. Duduk tenang, menadahkan tangan lalu rupiah datang.
Mereka, yang menuntut merdeka, tetap hanya dapat menjadi petani dan
guru mengaji.
Ellja resah. Tidak tenang berada di dalam mobil tentara.

Sirup Merdeka.
Aku sangat bersemangat kali ini. Belum pernah naik bus di Aceh tanpa
ditemani ayah dan mak. Kalau pulang kampung naik bus pasti bersama ayah dan
mak. Sekarang kami akan bertiga saja, aku, Ellja dan Cherryl.
Chik Nur tadinya tidak mengizinkan kami berangkat tanpa ada orang tua
yang menemani tetapi setelah Ellja berusaha meyakinkan chik Nur bahwa dia akan
dapat menjaga kami akhirnya chik Nur mengizinkan juga (walaupun Ellja tidak
dapat meyakinkan aku. Ellja itu pendiam, selama di perjalanan kalau tidak sibuk
memandang keluar jendela pasti dia tidur. Mana mungkin dia dapat menjaga kami.
Tapi aku yakin aku mampu menjaga diriku sendiri, Cherryl juga begitu)
Ditemani

oleh

chik

Nur kami

menunggu

bus

di

pinggir

jalan

raya

Lhokseumawe. Sewaktu menunggu bus ada kejadian lucu. Sebuah mobil kontainer
sirup berhenti di depan kami dan menurunkan muatan. Ternyata kedai di sebelah
kami memesan sirup tersebut. Nama merk sirupnya Bunga Padi. Rasa sirupnya
bermacam-macam, tapi lebih banyak yang rasa strawberry.
Tiba-tiba Cherryl ngomong, Kalau di Medan, ada sirup Liberty. Kenapa di
Aceh tidak dibuat sirup Merdeka?! celetuknya. Kami semua, termasuk abangabang sirup Bunga Padi langsung melihat ke arahnya.
Liberty kan artinya Kebebasan, jadi arti sirup Liberty, sirup Kebebasan. Kalau
di Aceh, kita buat sirup Merdeka! ujar Cherryl lagi tanpa merasa takut dan berdosa.
Kami yang lain masih diam memperhatikan anak perempuan sepupuku itu berbicara

lalu tiba-tiba lewat seorang tentara berbaju seragam dengan senjata laras panjang
yang diselempangkan di badannya.
Cherryl tidak tahu atau belum tahu, kalau kata, Merdeka itu seperti tabu
diucapkan di Aceh. Tetapi bos sirup Bunga Padi yang merk sirupnya dikomentari
oleh Cherryl terlihat tersenyum, mungkin dia pikir, idenya Cherryl adalah ide yang
bagus.
Setelah berapa lama menunggu akhirnya bus yang kami tunggu datang juga.
Chik Nur yang berbicara dengan kernet bus dan membayar ongkos kami lalu ia
berpesan pada Ellja agar turun di Padang Tiji, bukan di Grong Grong. Nanti orang
Grong Grong yang akan ke Padang Tiji. Ellja mengangguk tetapi pikirannya seperti
entah sedang berada dimana. Kalau dia tidak ingat, aku yang akan mengingatkan.
Setelah berada di dalam bus, ada beberapa bangku yang kosong di depan.
Tetapi si kernet bus menyuruh kami duduk di belakang, bangku paling belakang
dekat toilet. Setelah mendapat bangku masing-masing, kami berusaha untuk
beristirahat. Cherryl yang tidak mengenakan jilbab, dengan baggy jeans dan
sweater terlihat cukup aneh diantara semua perempuan penumpang bus yang
mengenakan jilbab. Apalagi dia tidak bisa berbahasa Aceh. Kelihatan jelas sekali
kalau kami diperlakukan bukan seperti orang Aceh walaupun kami bertiga adalah
keturunan Aceh.
Aku langsung merasakan ada diskriminasi dalam hal ini.
Cherryl yang tidak mengerti dengan keadaan langsung memasang headset
dan menikmati pemandangan. Sawah-sawah yang hijau. Dan pemandangan Bukit
Barisan dari kejauhan. Dari Lhokseumawe, gunung Seulawah belum kelihatan.
Aku duduk berdua dengan Ellja sedangkan Cherryl duduk sendiri. Ellja yang
lebih mengerti kondisi di Aceh seperti tidak tenang memperhatikan Cherryl yang
terlihat biasa-biasa saja sambil mendengarkan musik. Tiba-tiba Ellja mengirimkan
chat kepadaku.
Seharusnya Cherryl disuruh pakai jilbab isi text chat nya.
Sudah aku suruh, tapi dia gak mau balasku.

Nanti kalau ada agam cantoy kita bisa dipalak, dikira anak orang kaya lagi
travelling balas Ellja.
Aku gak ngerti balasku.
Dan tiba-tiba seorang laki-laki langsung menghampiri Cherryl. Dalam logat
Aceh dia tanya Cherryl mau kemana. Karena tidak mengerti, Cherryl langsung
menoleh kepadaku dan Ellja.
Kami mau pulang kampung ke Sigli bang.. ujar Ellja.
Lagi libur sekolah? tanyanya sok akrab.
Kami bertiga mengangguk saja. Lalu dia menanyakan hal yang lain lagi. Tapi
sepertinya Cherryl mulai merasa terganggu.
Abang bangkunya dimana? tanya Cherryl berusaha untuk mengusir abang
itu dengan sopan.
Apa tanya-tanya? kalian juga naiknya gak pakai karcis kan? balas orang itu
yang terlihat langsung marah.
Ya, tapikan tadi abang duduknya gak disini balas Cherryl lalu tiba-tiba
orang itu meletakkan tangannya di paha Cherryl. Ellja yang melihat kejadian
tersebut langsung menjadi bingung karena bingung ia langsung mencabut jarum
jilbabnya dan menusuk tangan orang itu dengan jarum pentul. Orang itu berteriak
lalu pergi dari bangku Cherryl.
Kalau gak pakai jilbab biasanya digangguin Cher.. ujar Ellja lalu pindah
duduk di sebelah Cherryl kemudian memberikan satu buah jilbab kepada Cherryl.
Pakai aja dulu, nanti kalau udah di rumah, dibuka lagi gak apa-apa ujar
Ellja.
Kadang-kadang Ellja benar-benar bisa diandalkan. Kadang-kadang benarbenar lembam.
Ada yang namanya GAM betulan dan ada yang namanya agam cantoy atau
agam panyot. Kalau GAM betulan gak akan mengganggu masyarakat, tapi kalau

agam cantoy, ini yang sering buat masalah. Kami mungkin sedang sial karena
ketemunya malah dengan agam cantoy.
Pelecehan seksual sering terjadi di Aceh, terutama di kendaraan-kendaraan
umum. Karena itu memang lebih baik menggunakan kendaraan pribadi di Aceh.
Ellja yang lebih mengerti kondisi di Aceh, dia lebih sering pulang ke Sigli
sendirian naik bus. Dia bilang karena kondisi politik yang tidak jelas, ekonomi di
Aceh menjadi tidak stabil. Karena itu banyak muncul agam-agam cantoy yang suka
merampok dan mengacau keamanan. Tetapi agam-agam cantoy ini bisa ada juga
karena adanya ketidakadilan di dalam masyarakat Aceh.
Agam panyot ini tidak mau mengerti kalau tidak semua orang yang tidak
berbahasa Aceh dan tidak berpenampilan seperti orang Aceh adalah orang
Indonesia kaya yang jahat dan bisa dipalak seenaknya. Mereka juga tidak akan
mengerti kalau sebenarnya Ellja, aku dan bahkan Cherryl, adalah generasi Aceh
masa kini, yang setuju dengan kemerdekaan Aceh hanya saja caranya bukan
dengan kekerasan.
Ini yang disebut oleh Ellja sebagai Ignorant People
Dan ironisnya yang menjadi korban mereka tidak hanya orang luar Aceh saja.
Cherryl mendapatkan perlakuan pelecehan seksual dari orang Aceh sendiri. Dari
darah yang sama yang juga mengalir di dalam darah ayahnya. Pada akhirnya yang
lemah malah memangsa yang lebih lemah. Dan yang berkuasa tetap berkuasa.
Kalau sudah begini Ellja kembali lembam. Duduk diam.

Senyum Tanah Toba.


Perjalanan kami kali ini menjadi tidak menyenangkan karena bertemu dengan
agam cantoy atau agam panyot. Cherryl akhirnya mengenakan jilbab yang
diberikan Ellja. Ellja kembali terlihat tenang-tenang saja sementara aku merasa
marah. Aku disuruh duduk berdua dengan Cherryl sementara Ellja yang mengawasi
keadaan. Bahkan ketika Ellja membelikan jajanan pisang sale untuk meredakan
amarahku, aku langsung memasang tampang curiga.

Aku mengerti kondisinya, bagaimana kita, orang Aceh tercekik, terjepit,


terhimpit, dibuat setengah mati, tetapi bukan berarti menghilangkan ketulusan hati.
Bukan berarti menghilangkan kemanusiaan diri protesku dengan suara keras
sambil mencomot jajanan pisang sale yang dibelikan Ellja berharap agam cantoy
yang mengganggu Cherryl tadi dapat mendengar.
Cherryl diam saja. Tapi dia sudah tidak mengenakan headsetnya, juga sudah
enggan mendengarkan musik, juga sudah tidak mau menikmati pemandangan, juga
menolak dengan gelengan yang jelas ketika aku menawarkan pisang sale.
Beberapa orang langsung menoleh kepada kami karena mendengar pidato
singkatku.
Kalau ikut kontes pemilihan Cut Nyak Dhien 2015, mungkin bisa menang
kalau pidato seperti itu komentar Ellja datar sambil menawariku sebotol air mineral
lalu menunjuk pamflet kontes beauty peagent Cut Nyak Dhien 2015 yang di
pasang di billboard besar.
Aceh dipaksa untuk tersenyum ujar Ellja lagi.
Cherryl dan aku langsung melihat pamflet besar pemilihan Cut Nyak Dhien
2015 dengan puluhan gadis cantik Aceh yang berjajar dengan tersenyum sangat
manis.
Tidak ada yang berkomentar setelah itu.
Bus mulai memasuki daerah Bireun. Pembangunan di Bireun sudah sangat
maju sekali. Gedung-gedung, masjid, rumah sakit, sekolah. Aku pikir mungkin ada
negara dari arab atau timur tengah sana yang membiayai pembangunan di Bireun
karena kalau mengandalkan pemerintah Indonesia saja, mungkin tujuh turunan juga
akan tetap melarat, akan sulit untuk dapat berkembang.
Kalau aku pindah sekolah ke Aceh, bisa tidak ya? ujar Cherryl tiba-tiba.
Di Batam, pergaulannya bebas sekali komentarnya lagi.
Cherryl adalah sepupuku, anak dari abang ibuku. Abuwa Fadli. Abuwa Fadli
menikah dengan tante Marna, orang Medan yang merupakan muallaf. Keluarga

mereka tinggal di Batam. Keluarga Cherryl dari ibunya, kakek dan neneknya,
beragama Kristen. Kata Cherryl kalau ibunya mau masuk Kristen lagi, keluarga
ibunya mau membantu kesulitan ekonominya. Tetapi ibunya Cherryl tidak mau
masuk Kristen lagi, jadi Cherryl tidak begitu dekat dengan keluarga ibunya.
Walaupun begitu, Cherryl mewarisi senyum tanah Toba.
Keindahan tanah Aceh seperti sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Walaupun ayahnya merupakan orang Aceh, tetapi terlihat jelas kalau Cherryl adalah
gadis Batak.
Aku mau belajar Islam kak ujar tante Marna ketika berbicara dengan Mak
sewaktu mereka liburan di Aceh dua tahun yang lalu.
Tante Marna bukan tergiur oleh kehidupan yang lebih sejahtera di Aceh atau
tanah Aceh yang penuh bergelimang emas atau hal lainnya. Ia ingin mempelajari
agama Islam. Itu sebabnya ia menikah dengan abuwa Fadli yang merupakan orang
Aceh dan ia harap dapat memimpinnya dan juga anak-anaknya di dalam Islam.
Aku diam tidak menjawab pertanyaan Cherryl. Aku mau bilang padanya,
kalau mau tinggal di Aceh, harus pakai jilbab, harus mengenakan pakaian syari,
tidak boleh memiliki idealisme macam-macam, tidak boleh menjadi sosialis liberal,
tidak boleh mengenakan celana baggy jeans, tidak boleh ini dan tidak boleh itu juga
tidak boleh jadi keren karena itu akan membuat kami yang bercita-cita menjadi
guru mengaji merasa menjadi seperti kerekan travel bag.
Iya, pindah sekolah aja kemari.. ujarku diplomatis.
Shahnaz rencananya akan masuk SMA Islam Modern. Syaratnya harus
tahfidz minimal dua juz ujarku lagi, membayangkan sekolah di SMA Islam Modern.
Yang sekolah disana, anak orang kaya. Anak dari petani tambak dan guru MIN
seperti aku, mungkin harus cukup bersyukur untuk bersekolah di MAN saja.
Ellja belum menjawab pertanyaan Cherryl, biasanya dia punya jawaban
sarkastik yang cukup sesuai untuk menjelaskan kondisi-kondisi dimana ironi sangat
terasa.

Aku cuma mau pindah sekolah, di Batam pergaulannya bebas sekali ujar
Cherryl lagi menyatakan kalau dia tidak begitu memerlukan Sekolah Islam Modern
yang lengkap dengan fasilitas dan kewajiban untuk menjadi hafidz karena Sekolah
Islam Modern ini mungkin dibiayai oleh Negara Arab atau Timur Tengah yang
mewajibkan muridnya untuk mampu menjadi hafidz atau ulama.
Cherryl hanya mau pindah ke sekolah biasa saja, bukan yang mewajibkan
agar dia mampu menghapal Al-Quran, bukan juga yang mewajibkan dia agar
mampu menjadi ulama. Dia hanya tidak mau bersekolah di sekolah yang
pergaulannya bebas.
Aku tidak pernah menanyakan cita-cita Cherryl ingin menjadi apa.
Sulit hidup jadi anti-mainstream di Aceh, Cher.. komentar Ellja.
Ya, begitu. Tepat sekali.

Sigli.
Menjelang sore hari kami sampai di Padang Tiji. Dampak otonomi daerah
sangat

terlihat

di

daerah

Aceh

mulai

dari

Lhokseumawe

hingga

Sigli.

Pembangunannya jauh lebih baik daripada kota kecil kami di Kualasimpang.


Stagnan dan bau limbah sawit. Tidak tahu harus diapakan.
Masjid di Aceh dari mulai Lhokseumawe hingga Sigli juga semakin banyak
dibangun. Disepanjang jalan. Tetapi tidak banyak bus yang mau berhenti di masjid
ketika memasuki jadwal shalat. Mungkin mereka tidak mau disangka bus touring
wisata religi.
Kami turun di pasar Padang Tiji, pertigaan tepat di pengkolan, belokan ke
kanan akan menuju Aceh Besar. Ihsan, sepupuku yang lain, anak cut Da, sudah
menunggu kami disana. (sebaiknya aku berhenti menjelaskan hubungan keluarga
antara aku dan sepupu-sepupuku karena kami banyak sekali)
Beberapa rumah hijau berderet ketika kami memasuki Padang Tiji, rumah
tentara. Dari dulu keadaan di Padang Tiji selalu mencekam dibandingkan daerahdaerah lain di Aceh. Sigli memang daerah basis Gerakan Aceh Merdeka. Tapi aku
tahu apa. Anak kecil.
Kami diantar oleh Ihsan ke rumah nek Aceh yang juga merupakan rumahnya.
Ibunya, cut Da sudah pergi ke rumah chik Yam untuk membantu memasak. Rumah
Aceh, rumah kayu dengan tangga tinggi dan ukir-ukiran Aceh. Aku selalu merasa
nyaman tinggal di rumah Aceh. Menurutku rumah Aceh, walaupun sangat etnis dan
tradisional, desainnya ergonomis.
Chik Nar, salah seorang tetangga terlihat membawa kelapa dan nangka muda
dari kebun di rumahnya. Abua Mil, juga salah seorang tetangga yang merupakan
saudara membawakan beberapa ekor ayam untuk dimasak sebagai hidangan
kenduri. Satu persatu para tetangga dan keluarga datang untuk membantu
menyiapkan segala keperluan kenduri.

Kalau ada acara pernikahan di Aceh adalah hal yang sangat menyenangkan.
Satu kampung ikut merasakan kebahagiaan. Satu kampung ikut membantu. Ada
yang membawakan gula. Ada yang membawakan daging. Ada yang membawakan
kelapa. Ada yang membawakan minyak. Ada yang membawakan tepung. Ada yang
membawakan beras. Ada yang membawakan sayur. Ada yang membawakan ayam.
Ada yang membawakan tebu. Ada yang membawakan bumbu.
Masakannya dimasak bersama-sama dan kuenya juga dibuat bersama-sama.
Beusaree-saree.
Aku senang tinggal di kampung.
Setelah mandi dan membereskan barang-barang, aku dan Cherryl langsung
bermain bersama Nita dan Raina, sepupuku yang lain. Karena kami masih kecil dan
tidak bisa membantu memasak, kami disuruh untuk menjaga Aldi, bayi laki-laki
anaknya chik Yam. Kakaknya Apacut. Yang akan menikah sekarang.
Semua orang terlihat sibuk. Aku dan Cherryl tidak tahu harus mengerjakan
apa,

jadi

kami

menjaga

Aldi.

Menggantikan

popoknya

kalau

basah

dan

membawanya bermain bersama kami. Menjaga anak bayi ternyata tidak mudah.
Ellja terlihat malas-malasan, dia memang selalu seperti itu kalau ada acara
keluarga. Begitu sampai di kampung, setelah beres-beres dia malah tidur. Katanya
dia juga tidak enak badan. Agak demam. Aku lihat dia kembali menggambar, desain
ukir-ukiran rumah Aceh.
Aku, Cherryl, Nita dan Raina membantu membuat dalung, menyusun tissue,
membuat bunga-bunga hiasan dan membantu mendekor ruang pelaminan. Banyak
sekali tugas perempuan dalam acara-acara kenduri seperti ini. Anak perempuan
yang memiliki kemampuan kerajinan tangan dan menghias sangat bisa diandalkan.
Ibu-ibu sedang membuat kue seperti Meuseukat dan Karas. Meuseukat dan
Karas buatan Padang Tiji sangat khas. Tapi aku tidak diperbolehkan untuk
menceritakan cara pembuatannya.
Ra-ha-sia.

Di halaman depan bapak-bapak dan anak laki-laki sedang membangun


tenda. Aku melihat beberapa orang bapak-bapak tegap berwajah Aceh yang
membantu. Mungkin GAM.
Aku dan Ellja memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap anggota Gerakan
Aceh Merdeka. Bukan hanya karena kami juga memiliki darah Aceh tetapi juga
karena mereka berada di pihak yang benar. Mereka melawan dan memberontak
untuk memperjuangkan apa yang jelas-jelas menjadi hak mereka. Tidak seperti
tentara Indonesia yang bekerja dibawah telunjuk penguasa dan menindas rakyat
yang lemah, anggota Gerakan Aceh Merdeka berjuang atas nama jihad, atas tanah
negeri dan agama. Karena itu aku dan Ellja mendukung Gerakan Aceh Merdeka.
Aku melihat dua ekor ciceumpala kuneng di dahan pohon bunga merak.
Menjelang malam aku dan Cherryl pulang dari rumah chik Yam. Kami
dibawakan banyak kue-kue. Chik Yam menanyakan keadaan Ellja, aku bilang dia
tidak enak badan. Chik Yam bilang jangan lupa bilang ke Ellja, besok harus ikut
acaranya. Besok kami akan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin
perempuan. Nama acaranya Intat Linto Baroe.
Di bawah rumah cut Da, disudut dekat dapur. Aku lihat Ellja bersama laki-laki.
Begitu kami datang, Ellja langsung melihat kami. Kemudian laki-laki itu
langsung pergi.
Kak bukannya pacaran sama bang Nazir? protesku setelah kami sudah
berada di rumah. Kalau aku hitung-hitung, Ellja itu sudah berkali-kali ganti pacar.
Kadang aku pikir apa masalah yang menyebabkannya kadang terlihat sangat
gloomy dan kelam itu apa karena masalah pacar. Tapi aku pikir bukan, Ellja tidak
pernah mau disusah-payahkan dengan urusan pacar-pacarnya. Punya pacar itu
tujuannya biar ada yang mengajak jalan-jalan dan memberi kado waktu ulang
tahun. Dia bilang gitu waktu aku tanya ngapain pacaran.
Sudah putus jawab Ellja pelan.
Hah? Kapan putusnya? Bukannya kalian baik-baik saja? tanyaku keheranan.

Waktu malam terakhir kali aku pergi dengan Nazir. Yang kalian disuruh
pulang dari rumah Shahnaz jawab Ellja sambil membereskan pakaian yang akan
kami kenakan besok. Ayah, Mak, Abuwa Fadli dan rombongan keluarga dari
Kualasimpang mungkin akan sampai besok pagi.
Tapi kalian kelihatannya baik-baik saja? tanyaku lagi. Aku belum pernah
pacaran. Aku tidak mengerti bagaimana caranya. Yang aku tahu, laki-laki dan
perempuan hanya bisa bersama kalau sudah menikah. Aku ingin sekali bilang
kepada Ellja agar jangan pacaran lagi, mending sekalian saja menikah. Lagipula
usia Ellja sudah cukup dewasa untuk menikah.
Memangnya kalau putus harus kelihatan tidak baik-baik saja? balas Ellja
menjawab pertanyaanku. Kami putus baik-baik. Nazir dan aku masih berteman
ujarnya lagi.
Kenapa kak gak cerita? ujarku lagi.
Buat apa aku cerita-cerita hal seperti itu.. jawab Ellja, Nazir yang minta
putus ujarnya lagi. Hmm.., aku yang meminta Nazir untuk memutuskanku
ralatnya yang membuat aku sedikit bingung kemudian Ellja malah mengambil satu
buah stoples berisi kue Karas yang aku bawa dari rumah chik Yam lalu langsung
menghabiskan satu potong tanpa membahas lagi urusan pacar-pacarnya.
Aku memanggil mantannya Ellja yang ini bang Nazir. Walaupun mereka
pacaran tidak lama, hanya hampir lima bulan mereka berpacaran, tetapi aku cukup
dekat dengan bang Nazir. Keluarganya adalah keluarga Aceh yang juga memiliki
saudara-saudara yang bukan orang Aceh. Beberapa saudara Nazir menikah dengan
orang bukan Aceh, sama seperti keluargaku.
Belakangan aku baru tahu kalau Nazir ingin masuk kepolisian. Hal ini yang
membuat Ellja ingin memutuskan hubungan dengannya.
Ellja terlihat tenang saja jadi aku pikir tidak ada masalah mengenai Nazir
yang minta putus duluan atau Ellja yang minta putus duluan. Yang jelas Ellja dan
Nazir sudah putus. Dan aku pikir laki-laki yang aku lihat tadi bukan Shauqi. Mantan
pacarnya Ellja yang juga orang Sigli.

Aku sudah tidak mau pacar-pacaran lagi ujar Ellja dengan nada yang
terdengar sangat menyesal dan aku yakin memang dia sudah tidak mau pacaran
lagi. Tidak ada gunanya.
Trus yang tadi siapa? ujarku menanyakan mengenai laki-laki yang bersama
Ellja di bawah rumah cut Da tadi.
Beberapa lama Ellja diam. Seperti tidak dapat bercerita. Mungkin seperti cara
pembuatan Meuseukat dan Karas di Padang Tiji yang dirahasiakan dan tidak dapat
aku

ceritakan

kepada

semua

orang.

Mungkin

Ellja memang

belum dapat

menceritakannya kepadaku. Mungkin semua hal ini memang adalah rahasia.


Che-gue-va-ra
Ujar Ellja dengan mengeja per suku kata sambil memandang lurus ke arahku
dengan nada super duper serius yang sangat berusaha untuk dapat meyakinkanku.
Yeah.., Marylin Monroe jawabku sambil melempar wajahnya dengan bantal.
So njang Marylin Monroe? kah Ratu Wilhelmina! pakai kalung emas besar
kurang besar, lagee chik Nur! Lagee Ratu Wilhelmina! ujar Ellja membalas
olokanku dengan menyebutku sebagai Ratu Wilhelmina karena senang mengenakan
kalung emas. Lalu ia tertawa kemudian kembali membalasku dengan melempar
bantal dan kain sarung untuk selimut, kemudian dia langsung pergi tidur.
Tetapi ia belum mau membahas tentang Che Guevara ini.
Cherryl sudah terlebih dahulu tertidur dan terlihat nyenyak sekali tertidur di
bawah jendela kayu rumah. Udara dingin membuatnya menarik selimut hingga
menutupi wajah.
Tetapi malam itu Ellja sama sekali tidak dapat tertidur. Aku yang berada di
sebelahnya menjadi ikut tidak dapat tidur. Tengah malam dia terbangun karena
mimpi buruk. Ellja sering sekali seperti itu makanya mamak bilang dia teuleubeh,
punya indera ke enam.
Aku dengar dia bergumam, LaailaahaillaallaahhuAllaahu Akbaar

Ellja bilang dia mimpi peluru menembus badannya. Dua kali tembakan.
Seketika dia langsung tidak bisa bernafas tetapi masih dapat melafazkan
LaailaahaillallaahhuAllaahu Akbaar.
Ellja kemudian bangun dan shalat tahajjud, mengaji beberapa ayat lalu
kembali

tidur.

Sementara

aku

tidak

dapat

memejamkan

mata

sambil

mendengarkannya mengaji.
Dari semenjak aku masih kecil, saudara-saudaraku yang tinggal di Aceh
sering sekali menyuguhkan cerita-cerita seram tentang peperangan di Aceh.
Tentang pembantaian orang Aceh dan syahidnya para pejuang Aceh. Rumah adat
Aceh yang dulu dimiliki oleh kakek dan nenekku yang orang Aceh diwariskan turun
temurun yang sekarang akhirnya diwariskan kepada cut Da ini juga memiliki
ceritanya tersendiri.
Suara jangkrik dan pekat malam diluar semakin mencekam rasa takutku.
Udara sangat dingin dan aku hanya bisa menarik selimut kain sarung menutupi
wajah seperti Cherryl dan berusaha sekuat-kuatnya untuk dapat tidur.

Intat Linto Baroe.


Ayah dan Mak sampai di Padang Tiji menjelang pagi. Bersama rombongan
dari Kualasimpang yang lain. Juga abuwa Fadli ayahnya Cherryl dan Isha, adik lakilakinya. Juga bude Aini, om Lian, Shahnaz dan Arin. Sebagian menginap di rumah
chik Yam sebagian menginap di rumah cut Da. Sebagian lagi tidur di balai pengajian
meunasah. Suami chik Yam adalah seorang Tengku, guru mengaji.

Melihat Ayah dan Mak, aku langsung merasa tenang. Aku peluk Mak lalu aku
cium tangannya. Beberapa hari saja berpisah dari Mak aku merasa seperti anak
ayam kehilangan induk. Merasa tidak ada yang menjaga dan menyayangi. Aku tahu
Ellja menyayangiku dan akan selalu menjagaku, tapi rasa sayang dan perlindungan
dari Ayah dan Mak, tidak dapat tergantikan.
Bang Adri tidak dapat ikut pulang ke kampung karena banyak pekerjaan.
Tadinya dia bilang mungkin bisa pulang, tapi barusan dia menelpon mamak kalau
tiba-tiba ada pekerjaan mendadak, jadi dia tidak bisa pulang kampung.
Ramai sekali. Aku senang kalau sedang kumpul keluarga besar.
Menjelang pagi, hampir tidak ada yang tidur. Beberapa orang kakak
sepupuku terlihat kerepotan menyiapkan sarapan untuk tamu-tamu keluarga yang
datang dalam rombongan. Ellja mau tidak mau ikut membantu menyiapkan sarapan
atau dia tidak akan dianggap sebagai anak perempuan lagi di dalam keluarga,
selamanya.
Bercanda.., tapi biasanya anak perempuan yang tidak mau membantu
memasak disuruh bantu orang laki-laki mencuci piring. Jadi tidak dianggap anak
perempuan. Itu supaya anak-anak perempuan mau ikut belajar memasak.
Setelah selesai kenduri, kita akan mendaki Cot Merpati! ujar wak Zulfikar
kepadaku, Cherryl, Isha, Shahnaz, Arin, Nita, Aryana, Raina dan sepupu-sepupu
kami yang seusia yang sedang banyak berkumpul. Wak Zulfikar adalah anak tertua
dari kakak tertua keluarga ibuku. Anaknya wak Zulfikar ada dua belas orang dan dia
sendiri tidak hapal nama semua anak-anaknya.
Cot Merpati adalah salah satu puncak punggungan gunung Seulawah.
Gunung Seulawah ada dua. Seulawah Agam dan Seulawah Inong. Kalau pagi hari
dan memandang ke arah gunung Seulawah, Seulawah Agam akan terlihat seperti
kepala laki-laki mengenakan meukeutob. Sedangkan Seulawah Inong, akan terlihat
seperti kepala wanita yang rambutnya panjang yang menjadi barisan punggungan
pegunungan Seulawah. Cot Merpati adalah salah satu puncak punggungan
pegunungan Seulawah.

Aku tidak begitu senang mendaki gunung sementara Cherryl terlihat


langsung bersemangat. Dia ikut kegiatan ekskul Pencinta Alam di sekolahnya.
Sementara

Shahnaz

dan

Arin

bilang

akan

bertanya

dulu

ke

ibunya

apa

diperbolehkan atau tidak. Ellja, waktu aku bilang kami akan mendaki Cot Merpati
langsung bilang tidak ikut karena dia sudah pernah mendaki Cot Merpati waktu
masih kecil.
Dan dia ada janji untuk bertemu dengan teman. Itu, yang dia bilang mirip
Che Guevara.
Hari ini kami akan mengantar pengantin laki-laki. Menggunakan mobil dan
bus karena yang akan ikut adalah satu kampung. Juga ada mobil pick up
chevrolette. Mobil bak terbuka yang biasanya membawa ibu-ibu dan dalung yang
berisi barang-barang hantaran dari keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga
pengantin perempuan. Juga kelapa dan tebu. Hal ini tetap menjadi kebiasaan di
dalam masyarakat Aceh walau bagaimanapun sudah majunya masyarakat Aceh.
Aku langsung bersiap-siap. Chik Yam yang akan mendandani kami. Aku dan
Cherryl. Tadinya kami disuruh untuk mengenakan pakaian adat, bersama dengan
Ihsan dan Iqbal. Tapi karena Cherryl tidak mau, aku juga tidak mau.
Tadi malam aku lihat Cherryl cantik sekali. Dia tetap menolak mengenakan
jilbab (walaupun setelah kejadian pelecehan seksual di bus yang belum kami
ceritakan kepada ayah dan mak ataupun abuwa Fadli, ayahnya Cherryl, karena
kalau kami cerita akan sulit mendapatkan izin untuk jalan-jalan sendirian lagi)
Karena tidak mau mengenakan jilbab, Cherryl diberikan kain tenun oleh chik
Yam yang dia pakai dengan cara diselempangkan di kepala dan dililitkan ke
badannya. Seperti putri Batak yang mengenakan Ulos. Tapi Cherryl tidak mau
disuruh mengenakan pakaian adat Aceh. Di acara intat linto baroe nanti dia akan
memakai pakaian yang dijahitkan chik Mina, pakaiannya sudah satu set dengan
jilbab jadi jilbabnya dia pakai juga. Sewaktu Cherryl memakai jilbab, aku baru
merasa bahwa dia mirip dengan anak-anak perempuan Aceh yang lainnya. Karena
Cherryl tidak mau mengenakan pakaian adat Aceh untuk menemani linto baroe, aku
juga tidak jadi mengenakan pakaian adat Aceh. Padahal sebenarnya aku mau.
Akhirnya Nita dan Raina, juga Ihsan dan Iqbal yang mengenakan pakaian adat.

Begitu kami selesai didandani oleh chik Yam, aku lihat Ellja juga sudah selesai
dandan. Dia belajar make-up sendiri dan membawa peralatan make-up sendiri. Kata
Ellja, bagaimanapun, anak perempuan harus cantik.
Shahnaz dan Arin juga sudah selesai dandan, mereka mengenakan sackdress
chiffon panjang dan blazer. Desainnya modern dibeli di butik.
Rombongan chik Nur dan om Yanto juga baru sampai. Diantara semua ibu-ibu
Aceh yang hadir dalam acara ini, chik Nur adalah yang pakaiannya paling gemerlap.
Sebenarnya kalau dibandingkan dengan dandanan ibu-ibu Aceh orang kaya yang
lain, chik Nur biasa saja. Tetapi karena sekarang chik Nur berada di antara kami
yang lebih senang dengan model modern simple casual, chik Nur jadi terlihat
sangat kontras dan bersinar. Creng.
Dengan dress model kaftan berbordir sulam emas dan juga kalung koin emas
ratu Belanda Wilhelmina dengan diameter dua belas sentimeter membuat chik Nur
semakin terlihat crang cring.
(Kami menyebut ibu-ibu yang senang mengenakan kalung-kalung emas yang
besar sebagai Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda)
Jilbabnya juga adalah model paling terkini dengan payet dan sulam. Juga tas
tangan dengan hiasan ukiran-ukiran emas. Dan perhiasan-perhiasan lain juga
dengan cincin batu mulia. Sedang ada tren batu perhiasan di Aceh dan chik Nur
tentu saja tidak akan pernah ketinggalan trend.
Umumnya yang berdandan gemerlap seperti itu adalah mereka yang berasal
dari keluarga terpandang, memiliki kelas sosial yang tinggi dan juga memiliki uang.
Beberapa ibu yang

datang ke acara resepsi juga dengan dandanan yang tidak

kalah gemerlap. Pakaian pesta yang terbuat dari payet juga abaya modern.
Sedangkan bapak-bapak mengenakan gamis atau kaftan thobe modern yang
pastinya tidak dibuat di Aceh. Mungkin hasil couturier dari India atau Malaysia yang
dapat dibeli di Medan. Trend pakaian yang sedang berkembang di Aceh memang ke
arah ketimur-timuran.
Orang-orang yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja mengenakan
pakaian yang biasa-biasa saja, seperti aku dan Mamak. Juga Ellja.

Ellja ada benarnya juga, sulit bagi dirinya untuk dapat masuk ke dalam
keluarga besar Aceh jika harus mengikuti gaya dan life style mereka. Itu sebabnya,
hubungan ia dan Shauqi tidak dapat berlanjut karena selain Shauqi sangat
bergantung dan terikat dengan keluarganya sehingga Ellja juga harus dapat
mengikuti gaya dan life style keluarga Shauqi yang merupakan keluarga Aceh
terpandang, Ellja juga memang sulit untuk diatur dan tidak mau menurut. Mungkin
hal itu yang menyebabkan Ellja dan Shauqi akhirnya putus.
Ellja han jeut pajoh meuseukat.
Mamak menyuruhku untuk memakai beberapa cincin dan gelang. Aku lihat
Cherryl dan Ellja juga mengenakan sejumlah perhiasan. Jadi aku pakai juga
beberapa perhiasan yang dibawa mamak tetapi tidak ada yang sebesar kalung
emas Wilhelmina yang dikenakan makchik Nur.
Rombongan keluarga dari Banda Aceh juga sudah datang. Mereka membawa
beberapa mobil. Cherryl bilang dia mau naik mobil chevrolette bak terbuka bersama
dengan ibu-ibu yang lain, dia bilang, sepertinya seru tapi tidak diizinkan oleh
mamak. Mamak bilang kita akan ikut dengan mobil rombongan. Aku berpikir sama
seperti Cherryl, sepertinya seru
Pokoknya kalau sedang ada acara kenduri, semuanya jadi ramai.
Kami

akan

mengantar

pengantin

laki-laki

ke

daerah

Jeunieb,

lewat

Samalanga. Di tengah perjalanan sedang ada acara Pekan Kebudayaan. Hal yang
sedang digalakkan di Aceh untuk membangun perekonomian dan pariwisata Aceh.
Aku melihat beberapa anak perempuan usia SD sedang menarikan tarian Ranup
Lam Puan. Aku teringat sewaktu aku masih kecil dan ikut menarikan tarian Ranup
Lam Puan untuk menyambut pejabat-pejabat yang sesekali datang ke kota
Kualasimpang.
Aku teringat perkataaan Ellja, Aceh dipaksa untuk tersenyum.
Tapi apa harus terus bersedih?

Perjalanan dari Padang Tiji menuju Jeunieb menghabiskan waktu hampir satu
jam. Jeunieb adalah daerah yang masih sangat indah. Sawah-sawah, sungai dan
kebun dan pepohonan yang masih asri juga masjid-masjid dan rumah adat Aceh.
Di Jeunieb ada sebuah masjid yang namanya masjid Hijrah. Tapi sayang tidak
terurus lagi padahal mungkin masjid ini memiliki sejarah yang menarik. Mungkin
zaman dahulu, orang-orang yang berhijrah ke Aceh, di Islamkan di masjid Hijrah.
Begitu kata chik Yam ketika aku tanyakan sejarah masjid Hijrah, chik Yam juga tidak
terlalu tahu. Sekarang masjid ini tidak pernah dipergunakan lagi, hanya tinggal
bangunan kayu yang sudah hampir rubuh.
(Cerita tentang masjid Hijrah yang diceritakan oleh chik Yam kepadaku aku
ceritakan kembali kepada Cherryl ketika kami berjalan-jalan setelah mengantar linto
baroe)
Ketika sampai di rumah pengantin wanita, kami langsung disambut oleh
suara Syech yang menyanyikan syair-syair Aceh. Sahut bersahutan dan tanpa teks.
Kreativitas dalam merangkai kata dalam nada seperti keluar begitu saja. Isi syairnya
merupakan pantun-pantun nasehat dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun aku tidak terlalu bisa berbahasa Aceh aku mengerti makna dari
syair-syair tersebut dan aku merasa tersindir ketika Syech menyanyikan sebait syair
tentang anak durhaka. Aku langsung mencari Mak lalu memeluknya. Membuat
ibuku itu terheran-heran lalu langsung mengambilkan aku air minum yang sudah
disediakan oleh tuan rumah. Mamak kira mungkin aku kepanasan karena udara
siang di Aceh yang sangat panas padahal aku takut oleh syair-syair yang
dinyanyikan oleh Syech, aku tidak mau menjadi anak durhaka.
Kehidupan dalam budaya Islam di dalam masyarakat Aceh sudah bukan lagi
seperti kewajiban tetapi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Budaya Aceh sendiri
sudah mengakulturasi budaya Islam sehingga banyak hal dari adat istiadat yang
masih diteruskan turun temurun tetapi sudah disesuaikan dengan budaya Islam.
Keluarga kami bukanlah keluarga yang fanatis dalam agama. Kehidupan
beragama di dalam keluargaku dijalankan bukan dengan paksaan dan kekerasan.
Walaupun ada beberapa saudara kami yang merupakan Tengku dan guru mengaji,

tetapi keluargaku sendiri, adalah keluarga biasa dengan aturan-aturan agama yang
tidak terlalu mengikat.
Kami lalu diajak ke dalam untuk ikut makan berhidang. Hidangan masakan
Aceh berbagai macam. Dari mulai ayam masak merah, eungkot keumamah, gulai
Aceh, gulai asam keueung, itik masak bumbu putih, gulai boh panah dan berbagai
hidangan lain, tidak lupa krupuk mulieng dan nasi lemak.
Kue-kuenya juga berbagai macam. Kue-kue manis karena kebiasaan orang
Aceh membuat kue memang sangat manis. Kue yang tidak begitu manis mungkin
hanya Meurku.
Setelah selesai makan kami saling berkenal-kenalan, antara keluarga
pengantin laki-laki dan keluarga pengantin perempuan. Ellja, Shahnaz, Cherryl, Arin
dan sepupu-sepupuku yang lainnya sudah entah dimana. Ada yang jajan. Ada yang
sedang mencomot cemilan. Ada yang sedang duduk manis mendengarkan Syech.
Ketika diajak untuk berfoto keluarga, kami semua langsung berkumpul.
Setelah

selesai

foto

kami

berpamitan

untuk

pulang.

Tiga

hari

lagi

akan

dilangsungkan acara Troh Dara Baroe, atau mengantar pengantin perempuan ke


rumah pengantin laki-laki. Kami yang akan menjadi tuan rumah.
Semua acaranya dibuat sederhana tetapi sangat kekeluargaan.
Malamnya setelah mengantar Apacut, aku dan Ellja jadi berbicara tentang
pernikahan. Aku bilang Ellja kalau tidak melanjutkan kuliah, aku rasa sudah cocok
untuk menikah. Aku sendiri kalau tidak melanjutkan sekolah, lebih baik secepatnya
menikah.
Menikah itu bukan seperti beli sepatu, gak cocok, bisa ganti uang kembali
komentar Ellja ketika aku bilang aku ingin secepatnya menikah walaupun sekarang
aku masih berumur empat belas tahun. Sedang ada trend menikah muda. Beberapa
kakak sepupu kami menikah pada umur yang masih sangat muda. Kebanyakan dari
mereka yang mengaji di dayah. Yang di pesantren juga begitu.

Orang itu akan menjadi orang yang kita lihat setiap hari selama kita hidup,
seumur hidup kita. Yang akan menjadi teman kita selamanya. Jadi harus yakin
ujarnya lagi.
Kak gak yakin sama bang Nazir? tanyaku, kemudian Ellja bercerita tentang
keinginan Nazir masuk polisi. Ellja tidak menyetujuinya, dia tidak mau memiliki
calon suami seorang polisi.
Aku menginginkan seseorang yang mampu menyamakan langkah, yang
mampu untuk saling mendukung cita-cita. Laki-laki yang yakin dengan hidupnya
bukan laki-laki lemah yang tidak yakin dengan tujuan hidupnya.. ujarnya lagi.
Aku sudah meminta kepastian kepada Nazir dan dia juga tidak dapat
memberikanku kepastian mengenai masa depan kami. Jadi aku minta putus
Oke, aku mengerti dan aku dapat mengambil kesimpulan sendiri.
Laki-laki yang yakin dengan tujuan hidupnya itu.., seperti Che Guevara?
celetukku tidak mengerti. Menurutku laki-laki yang paling luar biasa adalah laki-laki
seperti Rasulullah Muhammad SAW.
Tetapi

mungkin

Ellja

memiliki

selera

yang

berbeda,

seperti

seorang

gerilyawan revolusioner.
Seperti Che Guevara. Misalnya.
Gak mau! Aku gak mau sama pemadat yang juga suka menipu perempuan
dan akhirnya mati sebagai tahanan yang dianggap sebagai penjahat perang balas
Ellja menjelaskan biografi Che Guevara sambil menyentil lenganku pelan yang
berusaha mengambil stoples berisi kue Karas yang dipeluk olehnya.
Lalu beberapa saat dia terdiam.
Ya.., walaupun memang laki-laki yang memiliki cita-cita revolusioner seperti
itu, pesonanya beda. Seperti kombatan-kombatan GAM ujar Ellja lagi, aku
mendengarkan. Tidak mengerti dengan istilahnya, laki-laki dengan cita-cita re-vo-lusio-ner.

Lelaki ini bukan pemadat, juga tidak suka main perempuan. Lulusan kampus
Islam dan yang penting memiliki tujuan pasti dalam hidupnya terang Ellja sambil
mengiming-imingiku dengan stoples kue berisi kue Karas.
Abang yang aku lihat di rumah cut Da beberapa malam lalu? tanyaku
langsung.
Ellja mengangguk pelan tetapi pikirannya sudah berada entah dimana. Ia
diam sambil membolak-balik buku sketsanya di depanku. Aku kembali melihat
sketsa-sketsa yang dibuat oleh Ellja. Sosok laki-laki yang sering aku lihat dalam
lukisan-lukisannya.
Beberapa tahun yang akan datang, atau mungkin beberapa beberapa tahun
yang akan datang, aku mungkin baru bisa mengerti.

Cot Merpati.
Kami menagih janji dari wak Zulfikar untuk mengajak kami mendaki Cot
Merpati setelah selesai kenduri. Cherryl sudah lengkap dengan sepatu gunungnya
sementara Shahnaz sudah mendapat izin dari bude Aini. Arin tidak ikut karena
sedang demam. Isha tidak ikut karena masih terlalu kecil. Nita dan Raina tentu saja
akan ikut. Ellja ada janji dengan teman. Aku, tergopoh-gopoh dengan gamis yang
harus aku kenakan untuk mendaki gunung.

Cherryl menyemangatiku untuk ikut mendaki gunung dengan menggunakan


gamis. Dia bilang mungkin aku bisa memecahkan rekor Guiness Book, anak
perempuan pertama yang mendaki gunung Seulawah dengan mengenakan gamis.
Aku tahu dia bercanda. Aku mengenakan celana panjang training di balik
gamis sehingga tidak kesulitan sewaktu mendaki jalanan terjal menanjak.
Wak Zulfikar yang akan menemani kami, Ihsan, Iqbal dan Nazarul.
Kami berangkat dari kampung setelah Subuh. Dengan membawa semua
perlengkapan dan persiapan. Kami berjalan menyusuri bedengan-bedengan ladang
kemudian memasuki daerah padang rumput savanna di bawah kaki pegunungan
Seulawah Inong di gampoeng Padang Tiji. Padang rumput savanna tersebut cukup
luas, rasanya merdeka sekali kalau berada disana.
Padang rumput ini sangat luas diselingi kebun dan ladang penduduk juga
beberapa pohon besar. Ketika kami melewati padang rumput, ilalang dengan
bunga-bunga putihnya sedang berbunga. Hamparan padang bunga ilalang, seperti
di salah satu novel yang pernah aku baca.
Dari semenjak aku kecil, daerah di kaki pegunungan Seulawah memang
terlihat begitu-begitu saja. Tidak ada yang terlihat berubah dan berbeda. Tidak
seperti pembangunan di daerah-daerah lain yang terlihat sangat maju dan pesat
hingga merusak lingkungan hidup mereka.
Dari jauh aku mencium wangi bunga kelapa. Mungkin wangi bunga kelapa
adalah satu-satunya wangi bunga yang tidak dapat dibuat jadi wangi parfum. Hanya
orang-orang kampung di Aceh yang mengerti apa yang aku maksud dengan wangi
bunga kelapa.

Kemudian kami terus berjalan mulai memasuki vegetasi hutan. Banyak


terdapat ladang-ladang penduduk. Ladang pisang dan pepaya. Ladang kol dan
kentang. Kebun-kebun pinang.
Vegetasi pegunungan Seulawah tidak begitu rapat. Banyak terdapat terna
dan tanaman buah-buahan. Tidak seperti jalur pegunungan tinggi, tidak terdapat

banyak pohon pinus di hutan konifer di Cot Merpati. Kami terus menyusuri
punggungan perbukitan, tidak banyak jalur mendaki yang terjal. Sewaktu melewati
tanaman perdu berduri, kami dikeroyok oleh sarang semut api yang besarnya
hingga tiga sentimeter. Kakiku sampai bengkak. Karena itu kami beristirahat
sebentar lalu baru kembali melanjutkan perjalanan setelah kakiku direndam dalam
larutan air garam.
Mendekati puncak jalur mulai terjal berbatu. Cherryl dan Shahnaz terlihat
sangat bersemangat di depan. Aku juga bersemangat. Nita dan Raina juga
bersemangat.
Perjalanan mendaki Cot Merpati menghabiskan waktu sekitar dua jam. Dan
perjalanan yang paling sulit adalah jalur menuju puncak. Terjal dan berbatu. Tetapi
kami sampai juga di puncaknya.
Puncak Cot Merpati berupa lahan datar yang dapat memandang ke arah laut
di Barat. Dan bentangan alam Aceh. Subhanallaah, sungguh indah. Luas sekali.
Terlihat laut biru di arah Barat dan bentangan daratan Aceh di arah Timur. Kalau
melihat ke arah Utara terlihat beberapa puncak gunung lagi yang lebih tinggi.
Iqbal dan Nazarul memotret kami di puncak beberapa kali.
Menjelang siang kami langsung turun dari puncak. Semuanya tetap terlihat
bersemangat. Cherryl dan Shahnaz bahkan turun dengan setengah berlari, mereka
cekatan sekali. Sampai di gubuk penduduk kami beristirahat. Wak Zulfikar
mengambilkan kami pepaya dari ladang penduduk, dia bilang nanti dia minta izin
sama orangnya karena dia kenal dengan yang punya ladang.
Iqbal dan Nazarul langsung mencari kayu bakar, lalu kami memasak nasi
goreng bakso. Setelah selesai shalat Dzuhur, kami membereskan peralatan lalu
pulang ke rumah.
Sangat menyenangkan mendaki gunung bersama. Sewaktu melewati kebunkebun penduduk, Cherryl dan Shahnaz menertawai aku yang mengenakan gamis
dan memanjat-manjat pagar kebun penduduk dengan kesusahan. Tetapi aku tidak
merasa mereka meledekku. Kami tertawa bersama.

Setelah sampai di rumah kami langsung beres-beres dan bersih-bersih. Aku


melihat Ellja sedang menyetrika di rumah cut Da. Hujan gerimis mulai turun di luar
rumah.
Capek sekali.. rengekku kepada Ellja sambil meletakkan semua barang
bawaan kami yang basah dan kotor di dekatnya.
Apa capek-capek.., siapa yang suruh naik gunung? omelnya, Semua
pakaian kotor kumpulkan di sumur, Kak gak mau liyat ada yang berantakan!
teriaknya kepada kami semua yang datang-datang langsung memberantakkan
rumah. Cherryl dan Shahnaz sambil tersenyum-senyum langsung mengambil
kembali barang-barang mereka yang berantakan. Sementara aku, Nita dan Raina
langsung mengumpulkan semua pakaian kotor kami di sumur.
Banyak hal yang kami peroleh dari perjalanan mendaki gunung. Diantaranya
adalah kebersamaan di dalam keluarga. Saudara-saudara sepupu yang dapat saling
mendukung. Rasa saling percaya ketika tidak ada pertolongan lain selain dari teman
seperjalanan ketika mendaki gunung. Jadi dapat merasa lebih dekat. Wak Zulfikar
juga mengajarkan kami bagaimana memancing ikan di sungai dan menyalakan api.
Aku lihat di sepanjang jalan menuju Cot Merpati tidak ada pemberontakpemberontak GAM yang sedang bersembunyi. Mungkin berita tentang pasukan
Gerilya Aceh adalah berita yang dibesar-besarkan.
Waktu aku tanya sama wak Zulfikar apa masih ada Gerakan Aceh Merdeka
yang bergerilya, dia hanya tertawa. Wak Zulfikar tidak bisa berbahasa Indonesia.
Mungkin karena dia juga adalah salah satu AGAM jadi dia hanya tertawa-tawa
saja waktu ada yang bertanya kepadanya apakah masih ada pejuang GAM yang
bergerilya. AGAM dalam bahasa Aceh artinya adalah orang laki-laki. Jadi ya semua
orang laki-laki Aceh adalah AGAM. Begitu kata wak Zulfikar menjelaskan kepadaku
tentang Gerakan Aceh Merdeka.
Aku mengangguk-mengangguk saja padahal aku tahu yang sebenarnya. Wak
Zulfikar tidak tahu kalau anak zaman sekarang, pengetahuannya sudah jauh lebih
canggih. Sepertinya aku malah lebih tahu mengenai Gerakan Aceh Merdeka
daripada wak Zulfikar yang tinggal di kampung.

Aku, Shahnaz dan Cherryl langsung mencuci pakaian kami yang kotor sehabis
mendaki gunung. Aku juga langsung menjemur sepatu gunung milik bang Adri yang
aku pinjam. Sepatu gunung yang sudah dekil dan kucel. Dulu sepatu gunung itu
juga dipakai oleh Ellja untuk mendaki Cot Merpati sewaktu aku masih kecil.
Dari sumur, aku, Shahnaz dan Cherryl mendengar teriakan Ellja yang
memarahi Iqbal dan Nazarul karena tidak mau membereskan barang-barang
mereka yang berantakan. Kami bertiga kemudian tertawa dan melanjutkan mencuci
pakaian.
Dua ekor cicem pala kuneng kembali aku lihat bertengger di atas pelepah
kelapa yang menjadi dinding sumur.
Sumur di kampung seperti open bath room ujar Shahnaz mengomentari
sumur dan kamar mandi di rumah cut Da yang memang merupakan open bath
room. Tidak ada atapnya. Yang menaungi sumur adalah kanopi pohon kelapa, pohon
mueling, pohon mangga, pohon rambutan. Sementara dindingnya hanya terbuat
dari pelepah kelapa. Bluet u. Pintu kamar mandinya ditutup dengan kain sarung
atau kain panjang yang digunakan sebagai basahan mandi.
Itu kata Shahnaz, open bath room.
Aku teringat dengan Gunongan. Pemandian Putroe Phang, permaisuri Raja
yang sulit sekali disuruh untuk mandi karena di kerajaannya, ia mandi di kelilingi
oleh keindahan gunung-gunung. Sumur di rumah cut Da mungkin seperti sumurnya
Putroe Phang, langsung dikelilingi oleh gunung-gunung.
Aku kembali mencium wangi bunga kelapa dan air sumur yang bersih juga
bulan putih yang baru muncul di langit maghrib dapat terlihat jelas karena tidak ada
polusi asap dan udara di kampung. Jadi kalau ingin menentukan hilal, bisa dapat
terlihat jelas.
Aku senang sekali tinggal di kampung.

Preh Dara Baroe.


Kebersamaan di dalam keluarga adalah hal yang tidak dapat tergantikan,
termasuk kedekatanku dengan sepupu-sepupu yang lain. Walaupun mungkin nanti
kami akan saling berjauhan.
Aku sangat dekat dengan Cherryl dan Shahnaz dan walaupun mungkin nanti
Cherryl akan kembali pulang ke Batam dan Shahnaz akan melanjutkan sekolah di
asrama mengejar cita-citanya menjadi dokter gigi, persaudaraan kami tidak akan
pernah lekang.
Aku sendiri sudah dapat dipastikan akan melanjutkan bersekolah di Madrasah
Aliyah tanpa tahu cita-cita selanjutnya akan menjadi apa.
Dan juga Ellja, seharusnya dia sudah sangat risau sekarang. Tahun ini dia
sudah lulus SMA dan belum tahu harus melanjutkan kemana.
Blunder, stuck. Dalam situasi konflik politik di Aceh seperti sekarang, dengan
kondisi keluarga kami, kesulitan ekonomi dan kesulitan-kesulitan yang lain, sangat
sulit untuk dapat menatap masa depan. Keluarga kami bukanlah keluarga Aceh
terpandang. Tidak banyak anggota keluarga kami yang dapat mengusahakan
pekerjaaan. Aku pikir, aku dan Ellja dan juga Cherryl seperti tidak dapat memiliki
cita-cita yang tinggi dan kehidupan yang lebih baik di Aceh.
Ellja sudah berdandan dan sudah bersiap untuk menyambut dara baroe. Ia
mengenakan terusan dengan kerah baby dengan rimple berwarna krem dari bahan
kain organdi. Pada lengan bajunya terdapat pita. Sederhana sekali. Jilbabnya juga

dikenakan sederhana. Ellja cantik. Ia mewarisi kulit coklat bersinar dari mamak. Dan
wajah Aceh. Walaupun bahasa Acehnya terbata-bata.
Beberapa tamu laki-laki yang masih muda melirik kepadanya. Ellja terlihat
membalasnya dengan senyum sambil menyambut tamu-tamu yang datang. Kalau
tidak dapat melanjutkan kuliah, ya menikah. Kalau tidak dapat menikah dengan
pedagang rempah, dia akan menikah dengan rebellion.
Re-bel-li-on.
Begitu yang Ellja bilang. Ellja tidak suka dengan laki-laki lemah penurut yang
bisanya hanya menjadi pengekor penguasa. Jadi pilihannya hanya itu.
Atau sosok laki-laki di dalam sketsa yang entah kapan akan menjadi nyata.
Dara baroe sudah datang kemudian disandingkan dengan linto baroe di
pelaminan. Selesai berdoa, acara makan berhidang kembali diadakan. Kali ini kami
yang menjadi tuan rumah.
Tamu-tamu yang datang kebanyakan adalah keluarga sendiri juga. Terlihat
Ihsan,

Iqbal

dan

Nazarul

yang

membantu

mengangkat

piring-piring

dan

membereskan meja. Sementara Cherryl, Shahnaz, Nita, Raina ikut membantu


menjaga hidangan dan menyambut tamu. Di Aceh seperti itu, semuanya dikerjakan
bersama-sama. Kalau rasa kekeluargaan dan persaudaraan seperti ini sudah hilang,
sudah tidak ada karena setiap hal dinilai dengan uang, rasanya sayang sekali.
Acara sederhana tersebut berlangsung hingga sore kemudian kami langsung
bersiap-siap untuk pulang ke Kualasimpang.

Rumah.
Biasanya aku akan terbangun karena mendengar suara gemericik air di
sumur ketika mamak mengambil air wudhu untuk shalat Subuh. Tapi kali ini aku
terbangun agak siang. Perjalanan pulang kampung kali ini membuat aku sedikit
kelelahan. Cherryl juga belum terbangun dan aku mendengar suara orang mencuci
piring di sumur, mungkin Ellja.
Pohon jambu air di depan rumah sedang berbunga dan beberapa pohon
pepaya yang di tanam ayah juga sedang berbuah lebat. Perlahan aku sibakkan tirai
jendela dan memandang langit pagi di kebun samping rumah. Udara pagi yang
segar masuk menyeruak ke dalam kamar. Aku lihat Cherryl menarik selimutnya
karena kedinginan.
Ellja pasti marah-marah kalau melihat aku masih tidur jam segini. Jadi setelah
shalat aku langsung mengambil sapu dan menyapu rumah. Guguran daun pohon
mangga memenuhi halaman. Bani sudah terbangun lalu berjalan pelan ke arahku
sambil menyeret selimutnya. Aku peluk dia gemas lalu setelah memandang
sebentar keluar, melihat anak-anak ayam di halaman, dia kembali masuk ke dalam
lalu kembali tidur di depan ruang TV.

Ayah sudah pergi ke tambak dari sebelum Subuh. Seperti biasanya.


Hari ini hari minggu, jadi libur sekolah. Kalau misalnya nanti Cherryl bangun
lebih cepat, kami mungkin bisa bermain sepeda ke colosseum. Ada yang ingin aku
ceritakan padanya. Mungkin nanti aku juga akan menghubungi Shahnaz.
Kemudian aku dengar teriakan mamak, memanggilku untuk membantunya
membuat sarapan. Aku melongok ke dalam kulkas lalu mengambil beberapa bahan
masakan. Kalau membuatkan sarapan, aku sudah pintar sekali.
Aku menyukai pelajaran sejarah dan aku sangat tertarik dengan tempattempat bersejarah. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercerita
kepada Bani tentang tempat-tempat yang sudah pernah aku kunjungi, walaupun
tempat-tempat itu bukan tempat terkenal dan walaupun Bani yang masih berusia
empat tahun sama sekali tidak mengerti tentang apa yang aku ceritakan.
Mamak menyuruhku untuk memasak nasi goreng. Sambil memikirkan
pelajaran Sejarah, aku membantu mamak mengupas bawang. Cherryl lalu
terbangun dan ikut membantuku. Aku suruh dia memetik cabai.
Nanti setelah sarapan, kita ke colosseum, naik sepeda ujarku sambil
berbisik-bisik kepada Cherryl.
Shahnaz gak diajak? tanya Cherryl.
Pulsaku habis jawabku, kemudian Cherryl langsung mengirimkan chat
message kepada Shahnaz.
Katanya iya. Mungkin nanti dia telat. Kalau nanti Arin rewel minta ikut
bagaimana? tanya Cherryl setelah mengirimkan chat message kepada Shahnaz.
Aku bukannya tidak mau mengajak Arin, tapi Arin masih SD jadi mungkin
tidak akan mengerti dengan topik pembicaraan kami. Lagipula, aku juga masih
belum yakin dengan hal ini.
Ajak aja ujarku lalu tiba-tiba Ellja masuk ke dapur sambil mengangkat piring
dan mendengar kami yang kasak kusuk.

Mau main ke pinggir sungai lagi? Nanti ada yang hanyut baru tau! omel
Ellja yang langsung mengetahui rencanaku untuk pergi ke colosseum yang memang
terletak di pinggir sungai.
Sungai Tamiang itu ada hantunya, kalian anak-anak kecil kalau main ke
sungai tidak ditemani orang tua, nanti bisa dimakan sama hantu sungai! ujarnya
menakut-nakuti aku dan Cherryl.
Yeah.., Ellja itu memang senang sekali menakutiku dengan cerita-cerita hantu
yang menyeramkan dan tidak masuk akal. Padahal dia bilang dia yang menemukan
colosseum. Kalaupun hantu sungai itu memang ada, pasti sudah berteman dengan
Ellja karena dia sering sekali pergi ke colosseum sendirian. Aku menoleh kepada
Cherryl dan dia kelihatan tenang-tenang saja, jadi sudah dapat dipastikan kalau
Cherryl tidak takut pada hantu sungai. Jadi rencana ke colosseum tidak dapat
dibatalkan.
Bohong! ujarku kepada Ellja sambil mencibir.
Eeh.., gak percaya! gemasnya sambil memercikkan air ke mukaku dengan
jari-jarinya yang basah sehabis mencuci piring.
Setelah selesai sarapan aku langsung mengeluarkan sepeda. Cherryl
meminjam sepeda Ellja yang sudah tidak pernah digunakannya lagi. Lalu kami
berdua langsung mengayuh sepeda menuju colosseum.
Kami melewati beberapa rumah Belanda yang merupakan bekas rumah
Residen Belanda jaman dahulu. Setelahnya rumah-rumah itu menjadi rumah
pegawai rumah sakit. Ada beberapa juga rumah panggung berarsitektur Melayu
yang merupakan rumah bangsawan Melayu Tamiang.
Aku sudah menyiapkan presentasiku mengenai hal ini, termasuk tentang
colosseum untuk membuktikan sesuatu, tentang cita-citaku setelah lulus SMA dan
keberpihakkan politikku.
Setelah sampai di colosseum, ternyata Shahnaz dan Arin sudah sampai
duluan dan terlihat sedang menunggu aku dan Cherryl.

Tadi ada Derry sama Fandi, tapi aku bilang, hari ini Ayla mau presentasi
rahasia, hanya untuk anak-anak perempuan saja. Terus orang itu langsung pulang
ujar Shahnaz memberitahuku. Derry dan Fandi adalah teman kami. Mereka teman
satu SMP aku dan Shahnaz, rumahnya juga dekat dengan rumah Shahnaz. Mereka
anak laki-laki. Aku jarang bermain bersama anak laki-laki. Hanya kadang-kadang
saja.
Yap. Hari ini aku mau presentasi.
Tentang cita-citaku setelah lulus SMA. (padahal seharusnya Ellja yang sedang
kebingungan memikirkan hal ini)
Baiklah.. ujarku sambil merapikan gamisku yang terlihat kusut karena
menaiki sepeda.
Assalammualaikum warrahmatullahi wabarakaatuh
Selamat datang di colosseum. ujarku setelah membuka presentasi dengan
salam dan shalawat nabi.
Bangunan ini di bangun pada abad ke sembilan belas. Colosseum adalah
salah satu bangunan tua yang terdapat di kota Kualasimpang. Kota kecil kita yang
tidak terlalu menarik ini
Dapat dilihat dari struktur bangunannya, bahwa colosseum direncanakan
akan diperuntukkan sebagai ruang pertemuan.
Sebagian ruangannya berada di bawah tanah, tetapi tidak selesai dibangun.
Berdasarkan bentuknya,

dengan undak-undakan tangga, saya menyebutnya

sebagai colosseum. Walaupun colosseum ini bukanlah colosseum yang di Eropa


Sudah dapat dipastikan, dari struktur bangunan dan rangkanya, colosseum
tidak dibangun pada zaman kependudukan Belanda ujarku sambil berkeliling
memperlihatkan bagian-bagian bangunan colosseum yang dapat menguatkan
hipotesisku bahwa colosseum yang ini, yang ditemukan oleh Ellja, bukanlah
bangunan buatan Belanda.

Shahnaz, Arin dan Cherryl memperhatikanku. Beberapa lama aku merasa


canggung kemudian presentasi yang sudah aku siapkan mengenai penemuan
colosseum akhirnya buyar.
Bangunan ini sebenarnya bangunan biasa saja, hanya bangunan yang tidak
selesai dibangun. Aku hanya melebih-lebihkan sebagian cerita untuk menguatkan
presentasiku tentang aku ingin menjadi apa setelah lulus SMA.
Sebentar lagi Ellja mungkin akan mencari kami kemari dan menyuruh kami
semua pulang untuk makan dan tidur siang.
Aku ingin menjadi seorang Arkeolog ujarku kemudian sambil menatap
teman-temanku satu persatu, Shahnaz dan Cherryl. Juga Arin yang terlihat sibuk
mencomot snack kentang yang dipegang Shahnaz. Snack yang aku bawakan dari
rumah, untuk konsumsi presentasi.
Ya, kemarin aku juga mau bilang seperti itu waktu kamu jelasin tentang
masjid Hijrah. Kamu cocok jadi Arkeolog, Ayla, tapi aku gak tau apa namanya
celetuk Cherryl lalu memberikan tepuk tangan terhadap presentasiku. Diikuti oleh
Shahnaz dan Arin.
Iya, aku juga ngerasa gitu ujar Shahnaz menimpali perkataan Cherryl.
Kalau Cherryl cocok jadi aktivis lingkungan ujar Shahnaz kemudian yang
langsung aku iyakan.
Iya, benar. Cherryl cocok sekali jadi aktivis lingkungan. Seperti aktivis
Greenpeace, Tapi waktu mau bilang, aku gak tau nama pekerjaannya jadi apa..
ujarku.
Kemudian kami bertiga tertawa.
Arin diam dengan snack kentang dan susu coklat di tangan.
Kami bertiga merasa senang. Akhirnya kami dapat mengetahui kami ingin
menjadi apa.

Shahnaz akan menjadi dokter gigi. Aku akan menjadi Arkeolog. Dan Cherryl
akan menjadi aktivis lingkungan. Tentang bagaimana cara menggapainya, kami
masih belum tahu. Pokoknya sekarang, kami sudah menentukan cita-cita kami.
Dan mengenai keberpihakan politik..
Kalian tahukan kalau banyak orang yang pintar, terjebak dalam konflik
politik sehingga tidak dapat menentukan masa depannya sendiri. Bahkan sebagian
ada yang digunakan untuk kepentingan orang-orang jahat? ujarku.
Einstein adalah salah satu ilmuwan yang terjebak dalam konflik politik dan
militer yang kepintarannya digunakan untuk kepentingan orang-orang jahat
lanjutku.
Kita, sebagai generasi muda, penerus ilmuwan dan ulama selanjutnya, harus
dapat menentukan sikap dan keberpihakan politik yang jelas, Kondisi politik di
Aceh sekarang membuat banyak orang kesulitan untuk dapat menatap masa
depan, bahkan untuk kita yang masih menempuh pendidikan dasar karena
kelanjutan dari hal yang kita pilih sekarang akan menentukan masa depan kita
selanjutnya ujarku lagi.
Aku memilih untuk memihak Kemerdekaan Aceh. Dan belajar yang tekun
untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan di Aceh. Bagaimana caranya, aku
masih belum tahu, Bagaimana dengan kalian? tanyaku kepada hadirin yang
hanya terdiri dari Shahnaz, Arin dan Cherryl.
Aku sekolah dan tinggal di Batam. Bagaimana caranya aku bisa mendukung
Kemerdekaan Aceh? jawab Cherryl ketika aku tanya dia mendukung Aceh Merdeka
atau Indonesia.
Mau pindah ke Aceh pun, kata Ellja, sulit hidup jadi anti-mainstream
terangnya lagi. Tapi aku mendukung Kemerdekaan Aceh lanjutnya sambil
tersenyum.
Lalu aku beralih kepada Shahnaz.
Aku nanti pasti dimarahin sama mama jawab Shahnaz.

Aku seperti merasa tidak ada masa depan di Aceh, Ayla.., Terutama
tentang diskriminasi sosial yang akan kita terima karena kita bukan orang Aceh asli
dan banyak hal lainnya.., aku sendiri sulit merasa untuk diterima oleh sepupusepupu kita yang orang asli Aceh, tapi..
Penindasan yang terjadi di Aceh selama ini adalah pelanggaran Hak Azasi
Manusia. Aku sendiri membenci kekuatan militer di Indonesia. Penindasan Hak Azasi
Manusia, tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di Jawa, Bali, Kalimantan, Papua
dan daerah-daerah lain di Indonesia. Tetapi hal tersebut adalah catatan sejarah
masa lalu sebuah bangsa besar. Kita masih tidak tahu bagaimana ke depannya
ujar Shahnaz memberikan pendapatnya.
Tapi.., aku rasa aku tidak dapat menolak jika Aceh memang benar-benar
menginginkan untuk Merdeka ujar Shahnaz akhirnya.
Sehingga dapat disimpulkan, Aku yang keturunan Aceh dan Minang Tamiang.
Juga Cherryl yang keturunan Aceh dan Batak. Juga Shahnaz yang keturunan Aceh
dan Jawa. Kami bertiga menyetujui Kemerdekaan Aceh walaupun bukan berarti kami
harus mendukung Gerakan Aceh Merdeka secara langsung dan walaupun kami tidak
tahu bagaimana caranya agar pendapat kami dapat memberikan pengaruh
terhadap kondisi politik di Aceh.
Pertemuan di colosseum hari itu berlangsung hingga siang hari dan konsumsi
snack kentang yang aku bawa dari rumah ternyata tidak dapat mencukupi perut
kami yang sudah marhabanan.
Ayo pulang rengek Arin. Lalu kami bertiga bersiap untuk pulang.

Sekolah Baru.
Besok aku akan masuk sekolah, Madrasah Aliyah Negeri di Langsa. Semua hal
sudah disiapkan, tas, sepatu, buku, seragam dan jilbab baru. Kalau mungkin aku
akan mengalami kesulitan untuk dapat pulang pergi Langsa Kualasimpang, mamak
bilang aku mungkin akan dicarikan tempat kos. Atau asrama putri di Langsa.
Shahnaz akan masuk sekolah asrama, Sekolah Islam Modern di Medan.
Seragamnya bagus, dengan long coat dan dasi panjang. Shahnaz terlihat keren
sekali.
Ellja tidak akan melanjutkan kuliah tahun ini, mungkin tahun depan.
Cherryl masih setahun lagi baru masuk SMA. Seminggu yang lalu, Cherryl,
Isha dan abuwa Fadli sudah kembali ke Batam. Aku, Shahnaz dan om Lian yang
mengantar mereka ke bandara di Medan.
Kalau di Jawa, banyak sekolah desainnya. Atau cari beasiswa, sekolah desain
keluar negeri komentarku menyayangkan Ellja yang tidak dapat melanjutkan kuliah
karena di Aceh tidak ada jurusan desain. Apalagi yang khusus mempelajari desain
etnis Aceh. Desain-desain kaligrafinya bagus juga desain etnisnya. Sayang Ellja
tidak dapat melanjutkan kuliah.
Njan.., kita kenal sama siapa bisa cari beasiswa keluar negeri?, Ada kenal
sama bapak bupati? Bapak dinas? Jangankan bapak bupati atau bapak dinas, bapak
tukang parkir kantor bupati aja kita gak ada yang kenal ujar Ellja, berusaha
menarikku jatuh kembali ke tanah setelah membayangkan Sekolah Islam Modern
tempat Shahnaz bersekolah dan beasiswa keluar negeri.
Bunyinya, gedebam!

Kak Ja mau bantu chik Nur jual batee ujarnya sambil meletakkan kain
jemuran di dekatku untuk dilipat. Realita yang ada di hadapanku. Jemuran pakaian
yang harus dilipat.
Mana mungkin dikasih mak.. ujarku menimpali.
Pergi sendiri, apa susah.. jawab Ellja sambil membuka jendela kamar.
Kreuh ulee, lagee batee sindirku.
Jeh, namanya bekerja. Di Lhok bisa bantu chik Nur desain perhiasan jawab
Ellja.
Ke njang kreuh ulee lagee batee! Apa bilang-bilang sama Shahnaz sama
Cherryl tentang dukung Aceh Merdeka? Ke bisa dipenjara kalau dukung Aceh
Merdeka terang-terangan omel Ellja.
Siapa yang kasih tau kak? tanyaku.
Bude Aini. Kata bude Aini, Shahnaz jadi banyak baca buku-buku tentang
Aceh. Jadi bude Aini tanya ke Shahnaz, dia bilang ke yang suruh Shahnaz dukung
Aceh Merdeka jawab Ellja.
Shahnaz gak mungkin kayak gitu.. ujarku sambil langsung mengirim chat
message kepada Shahnaz. Shahnaz mengaku kalau dia cerita ke mamanya, dia
bilang minta maaf, tapi dia cerita ke mamanya karena terpaksa. Aku tidak bisa
menyalahkan Shahnaz.
Apa anak kecil udah ikut-ikutan politik. Kalian yang penting belajar dulu!
Nanti mau dukung Aceh Merdeka atau dukung Indonesia, urusan belakangan..
omel Ellja lagi padahal sendirinya jelas-jelas dukung Aceh Merdeka.
Kak Ja, dukung siapa? tanyaku dengan pikiran mendukung Aceh Merdeka
atau Indonesia itu seperti semudah dukungan pada tim bola.
Aceh Merdeka jawab Ellja cepat dengan yakin.
Terus kenapa larang-larang kami dukung Aceh Merdeka? protesku lagi.

Karena kalian masih kecil. Masih harus sekolah yang tinggi. Kalau masih
kecil sudah dianggap aktivis politis separatis, kalian gak akan bisa sekolah! terang
Ellja.
Gak bisa sekolah, jadi orang bodoh! Bangai! Kreuh ulee!! balasnya sambil
menyentil keningku gemas.
Biar, kalau gak bisa sekolah, gak usah sekolah! ujarku marah.
That kreuh ulee.. ujar Ellja lagi sambil mencubit pipiku gemas.
Ada hal yang disembunyikan Ellja. Hal tentang si Che Guevara. Hal tentang
seorang gerilyawan, laki-laki dengan cita-cita revolusioner. Hal yang masih menjadi
rahasia Ellja.
Namanya Samil.
Seorang jurnalis independen yang menerbitkan koran bawah tanah tentang
pergerakan pemuda di Aceh dan juga pedagang tungku bata.
Mereka sudah kenal lama. Bahkan sebelum Ellja pacaran dengan Nazir.
Bahkan sebelum Ellja putus dari Shauqi. Ellja kenal dengan Samil sewaktu dia pergi
ke Banda, melihat pameran kaligrafi di sebuah galeri lukis kecil yang hanya tertutup
untuk komunitas sendiri. Ellja pergi dengan temannya, Fida, yang memang tinggal
di Banda dan tergabung dalam komunitas lukis tersebut.
Ellja senang sekali berada disana dan merasa menemukan teman yang
menyenangi bidang yang sama. Di Kualasimpang tidak ada komunitas lukis dan
tidak ada yang mau mengembangkan seni desain, baik desain etnis maupun
kontemporer. Ellja merasa menemukan tempat dimana seharusnya dia berada.
Ia berkenalan dengan Samil yang waktu itu kebetulan sedang mengantar
koran independen cetakannya yang disebarkan di komunitas-komunitas tertentu.
Terutama kalangan mahasiswa.
Mereka berkenalan. Bertukar nomer telepon dan sesekali menanyakan kabar.
Samil

tidak

terlibat

dalam

gerakan

militan

walaupun

isi

dari

koran

independen terbitannya memuat isu-isu penting mengenai Kemerdekaan Aceh. Dia

juga pedagang tungku bata yang dapat menggunakan bahan bakar dari sekam padi
atau arang briket. Kalau sedang tidak mencetak koran, dia berjualan tungku bata di
pasar Aceh.
Samil adalah laki-laki Aceh biasa dengan tujuan hidup yang pasti.
Laki-laki dengan cita-cita revolusioner.
Ellja bilang, Samil sempat cerita tentang pergerakan anggota separatis yang
masih mengangkat senjata dan Samil kenal beberapa diantara pemimpin mereka.
Tetapi Samil tidak mau bercerita lebih banyak kepada Ellja atau dia harus menahan
Ellja di Sigli dan tidak boleh pergi kemana-mana lagi karena ada banyak rencana
yang gagal karena keterlibatan orang luar dan hal tersebut dapat membahayakan
diri Ellja sendiri.
Ada batas antara Ellja dan Samil.
Samil tidak bisa terlalu dekat dengan Ellja karena kalau mereka sudah dekat,
dia harus melindungi Ellja dan tidak akan dapat membiarkan Ellja pergi kemanamana lagi. Ellja juga tidak dapat memaksakan diri untuk mengenal Samil lebih
dalam karena ada resiko dari sebuah kedekatan.
Mereka bertemu di Sigli, sewaktu pernikahan Apacut. Ellja bilang dia yang
meminta Samil untuk datang ke Padang Tiji. Waktu itu dia sudah putus dari Nazir.
Setelah itu tidak ada perkembangan lagi.
Ellja mau belajar asah batee. Nng.., juga mendesain perhiasan.
Aku akan sekolah di MAN.
Shahnaz akan mengenakan seragam long coat yang keren dengan dasi
panjang dan Cherryl harus menghadapi sekolah dengan pergaulan bebas di Batam.
Begitu rencananya, untuk sementara.

Meniti Masa Depan.


Hari-hari sekolahku di Madrasah Aliyah Negeri akhirnya di mulai. Sekolah
MAN sama dengan sekolah SMA, hanya saja di MAN, lebih banyak pelajaran agama
dan dipisahkan antara murid laki-laki dan murid perempuan. Walaupun ada juga
beberapa mata pelajaran umum yang kelas antara laki-laki dan perempuannya
masih digabung. Kami tentu saja diwajibkan mengenakan pakaian seragam sesuai
syari yang artinya menutup seluruh aurat baik bagi anak laki-laki maupun anak
perempuan.
Sekolah di mulai jam delapan pagi hingga jam dua siang. Pelajaran akan
dimulai setelah shalat Dhuha kemudian kami akan belajar di dalam kelas. Dalam
satu hari biasanya diajarkan tiga hingga empat mata pelajaran. Kemudian ketika
sudah masuk waktu shalat Dzuhur, kami diwajibkan untuk melaksanakan shalat
Dzuhur berjamaah di mesjid sekolah. Setelahnya adalah jam makan siang.
Ketika jam makan siang aku akan berkumpul dengan anak-anak perempuan
yang lain di kantin sekolah. Bercerita-cerita dan bercanda seperti dengan temantemanku sewaktu SMP. Aku sudah memperoleh beberapa teman dekat di MAN,

diantaranya adalah Tias dan Syafrina. Aku cukup dekat dengan mereka berdua
mungkin karena Tias dan Syafrina bukan orang Aceh asli. Teman-temanku yang
orang Aceh asli biasanya berteman dengan orang Aceh asli. Kalau mereka
berkumpul mereka menggunakan bahasa Aceh, jadinya aku sulit untuk dapat
bergabung bersama mereka. Padahal aku ingin berteman dengan mereka,
walaupun bahasa Acehku tidak begitu lancar. Kalau aku bergabung bersama
mereka, aku tidak dapat leluasa berbicara, jadinya aku hanya bisa mendengarkan
mereka. Kadang-kadang kalau ada topik pembicaraan yang lucu, mereka tertawa,
sementara aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku jadinya lebih dekat
dengan Tias dan Syafrina, karena mereka juga tidak mengerti bahasa Aceh. Tias
dan Syafrina juga rajin belajar, jadi aku bisa terkena imbasnya juga rajin belajar.
Pelajaran ekstra kurikuler dapat diambil ketika kami sudah naik ke kelas dua.
Untuk sementara mata pelajaran yang diberikan adalah mata pelajaran dalam
kurikulum dasar. Guru kami di sekolah bilang kalau setelah lulus MAN kami
diharapkan memiliki bekal ilmu Agama yang cukup sebagai pondasi untuk
menghadapi globalisasi di masa depan. Untuk dapat mempelajari pengetahuan
umum apalagi yang berasal dari dunia barat, kami harus memiliki dasar ilmu agama
yang baik terlebih dahulu, agar iman kami dalam Islam tidak mudah goyah. Baru
setelahnya mempelajari ilmu pengetahuan dari barat sebagai bekal dalam
menghadapi globalisasi.
Jadi walaupun nanti aku akan mempelajari arkeologi yang mempelajari
sejarah dunia barat, tetapi imanku di dalam Islam tidak akan mudah digoyahkan.
Walaupun nanti Shahnaz akan mempelajari ilmu kedokteran yang juga berasal dari
barat, tetapi imannya di dalam Islam tidak akan goyah karena kami sudah diberikan
bekal ilmu agama yang baik di sekolah juga di rumah.
Aku senang sekali di sekolah. Aku tidak pernah merasakan bosan apalagi
dengan teman-teman yang sangat menyenangkan. Aku rasa, Ellja akan merasa
kebosanan setengah mati setelah lulus SMA nanti kalau harus berdiam terus di
rumah. Mungkin ada baiknya juga kalau dia ke Lhokseumawe dan membantu chik
Nur mendesain perhiasan di toko souvenirnya.
Pada masa Ellja bersekolah, Aceh sedang bergejolak dalam konflik politik
yang membuatnya sulit untuk dapat belajar dengan tenang. Bencana Tsunami dan

banjir besar di Aceh Tamiang juga membuatnya kesulitan untuk dapat tetap
berkonsentrasi dalam pelajaran. Ellja bersekolah di sekolah umum juga sama
dengan anak-anak Aceh yang lain. Kadang kalau kondisi sedang sangat mencekam,
kami tidak dapat pergi ke sekolah bahkan tidak bisa keluar rumah. Pendidikan bagi
anak-anak pada masa Ellja di Aceh berada di bawah tekanan dan represi politik.
Ilmu agama yang ia dapat di sekolah juga sangat terbatas karena pada masa
represi politik, pendidikan agama bagi anak-anak Aceh hanya dapat diberikan
secara sembunyi-sembunyi di dayah-dayah kecil dan meunasah-meunasah yang
ada di kampung. Banyak sekolah agama yang dibakar dan tengku-tengku yang
dibunuh. Adat istiadat dan kebudayaan Aceh juga dilarang diajarkan bagi generasi
Aceh pada masa Ellja, seperti bahasa Aceh, agar mereka tidak memihak Aceh.
Pendidikan yang lebih ditekankan pada masa Ellja adalah doktrinasi Pancasila dan
patuh pada keutuhan Negara Indonesia.
Generasi Ellja adalah generasi yang ditutup matanya dari kebenaran dan
dipaksakan

untuk

menerima

kebenaran

yang

ditunjukkan

oleh

pemerintah

Indonesia.
Otak Ellja berusaha untuk dibentuk, seperti lilin malam. Dipenyet-penyet.
Ditusuk-tusuk. Dipencet-pencet. Ditekan-tekan.
Agar patuh.
Dengan cara doktrinasi buruk yang malah membuat Ellja menjadi semakin
pembangkang.
Ellja harus bersyukur dapat mempelajari desain etnis dari buku-buku lama
karena dia tidak bisa melanjutkan kuliah dan Elllja juga harus bersyukur semisal ada
Che Guevara yang melamarnya setelah lulus SMA.
Tidak banyak yang dapat dilharapkannya.
Dari rumah aku berangkat jam enam pagi karena perjalanan menggunakan
kendaraan umum dari Kualasimpang ke Langsa menghabiskan waktu selama
kurang lebih satu jam. Aku tentu saja selalu bersemangat untuk dapat bertemu
dengan teman-teman baru dan mempelajari hal-hal baru.

Aku senang dengan pelajaran-pelajaran Agama tetapi aku juga ingin


mempelajari pengetahuan umum terutama Sejarah agar dapat mendukung citacitaku untuk menjadi seorang Arkeolog. Aku ingin dapat menjadi arkeolog untuk
menjaga tempat-tempat bersejarah yang ada di Aceh. Bangunan-bangunannya,
mesjid-mesjidnya, memiliki cerita sejarah tersendiri yang menurutku sangat
menarik. Harus ada yang mau mempelajari tentang hal tersebut. Tetapi sulit untuk
mendapatkan pendidikan pengetahuan umum yang baik di Aceh. Apalagi untuk
sains dan eksakta walaupun aku lebih tertarik kepada pengetahuan umum, yaitu
Sejarah.
Tapi.., untuk menjadi seorang Arkeolog..
Tidak banyak pilihan pekerjaan di Aceh selain menjadi pegawai negeri atau
petani dan wirausaha. Cita-cita untuk menjadi seorang akademisi apalagi di satu
bidang keilmuan hingga menjadi seorang ahli sangat sulit untuk didapatkan di Aceh.
Tidak banyak professor di Aceh yang merupakan perempuan, aku ingat satu orang,
di bidang sastra. Itu juga ia berasal dari keluarga Aceh terpandang. Keturunan kaum
bangsawan tentu lebih mudah memperoleh pendidikan tidak seperti kami yang
bukan berasal dari keturunan terpandang dan juga tidak memiliki banyak uang.
Hal ini bukan cerita lama, sampai sekarangpun strata sosial di dalam
masyarakat Aceh masih sangat menentukan atas nasib seseorang dan hak-hak nya
untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan dan kesejahteraan yang layak. Tapi aku
tidak ingin menjadikan hal tersebut sebagai alasan dari kelemahanku.
Aku ingin menjadi seorang Arkeolog.
Kalaupun mungkin ada beberapa orang yang sangat beruntung dapat
menempuh pendidikan tinggi di luar negeri di bidang keilmuan yang mereka
inginkan, ketika pulang ke Aceh, bidang keilmuan tersebut sulit untuk dapat
diterapkan. Karena lagi-lagi situasi konflik politik yang masih belum dapat stabil
membuat arah pendidikan

di

Aceh masih terbengkalai sehingga ilmu-ilmu

pengetahuan yang sudah maju sulit untuk dapat diterapkan di Aceh.


Belum lagi masalah kecemburuan sosial dan diskriminasi antar golongan di
antara sesama orang Aceh sendiri untuk bisa memperoleh pendidikan yang baik.

Informasi beasiswa yang hanya diketahui oleh beberapa orang saja atau bahkan
hanya antar keluarga tertentu.
Pendidikan

di

Aceh

masih

tertinggal.

Walaupun

kelihatannya

banyak

pembangunan gedung-gedung sekolah dan banyak dibuka sekolah-sekolah baru,


tetapi hal ini tidak banyak dapat mendukung cita-cita kami yang berasal dari rakyat
biasa. Gedung-gedung sekolah tersebut diperuntukkan bagi orang-orang yang dekat
dengan pemerintah.
Sekolah-sekolah dengan fasilitas memadai hanya diperuntukkan bagi orangorang Aceh terpandang dan kaya juga anak-anak pegawai pemerintah Indonesia
yang

orang

tuanya

bekerja

pada

perusahaan-perusahaan

milik

pemerintah

Indonesia yang dibuka di Aceh.


Kali ini aku akan terdengar sangat clich.
Aku tidak suka menjadi pihak yang lemah karena permasalahan kesulitan
ekonomi dan aku tidak suka untuk menunjukkan kesulitan-kesulitan yang aku terima
karena permasalahan himpitan ekonomi. Tapi hal inilah yang terjadi. Aku merasa
sangat iri dan marah dan tidak suka dan tidak senang dan benci melihat anak-anak
lain yang dapat bersekolah dengan fasilitas lengkap yang dibiayai oleh perusahaan
yang mengeruk sumber daya alam dari tanah kami.
Aku dan anak-anak Aceh lain berhak untuk mendapatkan pendidikan yang
lebih baik. Seharusnya bahkan lebih baik daripada mereka, parasit-parasit yang
menggerogoti tanah ini.
Aku tidak pandai mengutarakannya, tidak seperti Ellja yang dapat bertutur
dalam

ironi-ironi

sarkastik

atau

humor-humor

satire

untuk

menertawakan

ketidakadilan yang kami dan anak-anak Aceh lain rasakan, aku hanya dapat
menunjukkan kemarahan ketika aku marah.
Hal ini memang clich, tapi hal ini membuat anak-anak sepertiku semakin
tersudut dalam persaingan sosial. Mereka yang terpandang dan kaya jelas lebih
mudah mendapatkan informasi pendidikan dan banyak hal yang dapat mendukung
cita-cita mereka.

Seperti tidak ada pilihan lain selain menjadi guru mengaji.


Sekarang sudah memasuki ujian semester dan beberapa nilai sudah ada
yang keluar. Aku ingin menanyakan kabar Shahnaz. Di sekolah Islam Modern di
Medan pasti ceritanya lebih seru.
Setelah ujian semester mungkin dia akan pulang ke Kualasimpang.
Beberapa kali aku menanyakan kabar Cherryl, kata abuwa Fadli mungkin
Cherryl akan pindah ke Aceh dan melanjutkan sekolah SMA disini. Tapi kata abuwa,
mungkin Cherryl akan kesulitan untuk menyesuaikan diri. Kalau dia terus menolak
mengenakan jilbab dan tidak mau mengenakan pakaian yang islami, tidak mungkin
dia akan dapat diterima oleh lingkungan di sekolahnya.
Seberapapun pintarnya Cherryl tetapi kalau harus menghadapi aturan yang
sudah ditetapkan di dalam masyarakat, dia tidak akan mampu melawan. Seperti
yang Ellja bilang, sebuah negara yang didasarkan pada aturan agama akan
membentuk masyarakat yang kaku dan mematikan hak-hak individu. Seperti
Cherryl yang harus menerima haknya untuk dapat mengenakan pakaian yang
dikehendakinya digantikan oleh aturan yang mengatur dan melindungi cara
perempuan berpakaian.
Dadah baggy jeans
Freedom is not free ujar Cherryl membalas sms-ku.
Daripada harus sekolah di lingkungan yang pergaulannya bebas tanpa
batasan, aku akan pindah ke Aceh dan belajar mengenakan jilbab terang Cherryl.
Belum ada pilihan bagi Cherryl untuk dapat bersekolah di dalam lingkungan
yang baik dengan tetap dapat mengenakan pakaian yang dikehendakinya. Kalau dia
ingin sekolah di lingkungan yang baik di Aceh, dia harus mengikuti aturan cara
berpakaian di Aceh.
Hidup itu memilih.
Dan setiap pilihan ada resiko dan tanggung jawabnya.

Coretan Ellja.
Laki-laki ini datang lagi, tidak berkata apa-apa, hanya duduk, diam, kemudian
pergi.
Aku lukis dia setelah terbangun.
Aku ingin sekali dapat bekerja dan menghasilkan uang. Membantu ayah dan
mak yang sudah sangat kesulitan untuk membiayai kami berempat. Tetapi
sepertinya kesempatan untuk memperoleh pekerjaan semakin sempit. Apalagi aku
hanya lulusan SMA dan persaingan dengan orang lain yang merupakan lulusan
sarjana, juga memiliki uang dan koneksi, juga lebih terampil dan mudah
berkomunikasi, membuat peluang bagiku untuk mendapatkan pekerjaan semakin
sempit.
Ayah tertawa waktu Ayla bilang padanya aku mau belajar asah batee.
Kalau pindah ke Banda, mungkin aku bisa merasa lebih berguna. Mungkin
ada yang dapat aku lakukan. Belajar melukis dan menggambar desain. Atau belajar
membantu chik Nur mendesain perhiasan. Atau bahkan jualan kopi. Apa saja.., asal
jangan terjebak di kota kecil ini dan tidak dapat melakukan apa-apa.
Samil.
Tidak seperti Shauqi yang sangat terikat dan bergantung dengan keluarga.
Juga tidak seperti Nazir yang tidak yakin dengan dirinya sendiri. Samil seperti
membawakan kemerdekaan untukku.
Dia revolusioner. Pembaharu.
Aku ingin sekali dapat membantunya. Memberikan sumbangan ide dalam
pergerakan-pergerakannya

atau

bahkan

menulis

untuk

bahan

di

koran

independennya. Atau melukis sesuatu untuknya, aku pintar melukis. Revolusi


melalui kanvas. Sedangkan dia menggunakan pena.
Apa saja.., aku tidak tahan tidak melakukan apa-apa dan melihat semuanya
seperti terombang ambing, kesana dan kesini.
Seperti tidak ada orang yang dapat mengerti tapi Samil berbeda, aku yang
ingin untuk dapat mengerti tentang dirinya. Tentang perlawanannya, tentang apa
yang dia bela. Dan apa yang dibelanya sama dengan yang aku bela, sebuah Negeri
yang Merdeka.
Tetapi Samil seperti tidak terjamah.
Ellja, rakyat yang patuh mudah sekali dikendalikan. Ketakutan-ketakutan
rakyat terhadap hukum agama di dalam sebuah Negara yang menerapkan syariat
Islam mudah dikendalikan oleh penguasa yang dzalim, yang bahkan belum tentu
mengerti mengenai Syariah Islam. Penguasa hanya akan menggunakan pengaruh
kepatuhan

rakyat

terhadap

Agama

untuk

mengendalikan

rakyat

dengan

membiarkan rakyat tetap bodoh dan tertindas. Kekuasaan penguasa menjadi tidak
terbatas karena dilindungi oleh hukum agama terang Samil.
Negara dengan masyarakat yang memiliki satu ideologi seragam tentu saja
lebih kuat tetapi masyarakatnya juga lebih mudah dikendalikan dibandingkan
masyarakat yang memiliki keberagaman ideologi
Pada Negara agama, hanya ada kekuasaan penguasa. Penguasa seperti
kebal karena mereka dilindungi oleh pemuka-pemuka agama, sementara rakyat
tetap tertindas
Kita, Ellja. Kita rakyat! ujar Samil yang berusaha membukakan mataku
lebar-lebar tentang apa yang dibelanya.
Negara yang berdasarkan agama sepertinya adalah pandangan utopis
dengan rakyat yang patuh dan taat pada hukum-hukum agama dan hak-hak rakyat
yang dilindungi oleh penegakkan hukum-hukum agama tersebut. Islam dalam hal
ini sudah bukan merupakan agama melainkan ideologi politik yang digunakan
sebagai

dasar

pemerintahan

untuk

mengendalikan

rakyat.

Penguasa

akan

membatasi ruang gerak rakyat, termasuk atas ilmu pengetahuan karena rakyat
tidak akan diberikan kesempatan untuk dapat menentang penguasa dengan
memiliki ilmu pengetahuan
Dan masyarakat yang homogen dengan satu agama yang sama yang
bahkan telah mengakar sebagai adat istiadat dan budaya di dalam masyarakatnya
seperti

masyarakat

Aceh

adalah

rakyat

yang

mudah

dikendalikan

dengan

penerapan hukum-hukum agama. Penguasa lebih mudah mengendalikan kekuasaan


juga untuk kepentingan-kepentingan ekonomi yang juga menyangkut kepentingan
hidup kita
Kita, Ellja. Kita rakyat! ujar Samil malam itu.
Samil mendukung Kemerdekaan Aceh dan tidak menentang Syariah Islam
karena baginya Islam memuat segala tata cara pemerintahan dan sistem politik
yang baik, demokrasi ada di dalam Islam. Hanya saja harus ada fungsi pengawas
yang ketat terhadap jalannya pemerintahan dan hal itu harus dilakukan juga oleh
rakyat.
Dan rakyat yang seperti itu tidak boleh rakyat yang bodoh.
Itu yang dilakukannya dengan cara menyebarkan koran independen antar
kampus dan komunitas-komunitas mahasiswa di Banda Aceh. Agar rakyat Aceh,
tidak menjadi rakyat yang bodoh yang begitu saja tunduk pada aturan-aturan
penguasa yang berlindung dalam hukum agama.
Aku ingin membantunya, semampuku.
Tapi Samil seperti tetap tidak terjamah.

Api pada Bulan Bintang.


Sewaktu pemilu lokal tahun kemarin, aku dan Ellja belum bisa memilih karena
belum cukup umur. Syarat untuk dapat menjadi pemilih dalam pemilu harus sudah
berusia tujuh belas tahun atau sudah menikah. Tetapi dengan semangatnya kami
mendukung partai Aceh.
Pada dasarnya semua orang Aceh akan mendukung partai Aceh karena partai
Aceh adalah bentuk diplomasi politik dari Gerakan Aceh Merdeka. Kalau mendukung
kemerdekaan Aceh, pasti akan mendukung partai Aceh. Juga beberapa partai lokal
lain dengan orang-orang dari Gerakan Aceh Merdeka sebagai penggeraknya.
Orang-orang lain yang tidak setuju dengan kemerdekaan Aceh, mendukung
partai lain yang umumnya bukan partai lokal. Mereka adalah orang-orang Indonesia
yang memiliki kepentingan di Aceh.
Aku tidak mengerti politik hanya saja mau tidak mau harus mengerti politik,
kalau tidak, akan terus dibodoh-bodohi. Di dalam politik, pihak yang bodoh adalah
pihak yang lemah. Pihak yang bodoh tidak mengetahui hak-haknya karena tidak

mau belajar, oleh sebab itu, orang bodoh adalah orang yang lemah. Mau tidak mau
harus rajin belajar.
Ibuku orang Aceh, saudara-saudaraku orang Aceh, bagaimana aku bisa tidak
mendukung kemerdekaan Aceh. Bahkan Ayahku yang merupakan orang MinangTamiang yang dilahirkan dan dibesarkan di kota Kualasimpang juga mendukung
kemerdekaan Aceh. Kami sudah tidak mau dibohong-bohongi terus oleh pemerintah
Indonesia dan ditekan terus dalam ketidakjelasan represi politik dan ekonomi juga
tekanan militer.
Tetapi kami juga tidak mau menjadi masyarakat kelas bawah di Aceh karena
diskriminasi. Kami bukan orang Aceh asli juga bukan orang terpandang yang
memiliki banyak uang juga bukan orang yang mengerti tentang licik-liciknya dunia
politik itu sebabnya sulit bagi kami untuk dapat menuntut hak-hak kami. Orangorang seperti keluargaku dianggap sebagai masyarakat kelas bawah yang bahkan
suaranya tidak akan pernah terdengar oleh penguasa dari manapun, baik dari
Indonesia maupun dari Aceh, kalau kami tidak mau berteriak. Iya berteriak. Agar
kepentingan orang-orang seperti aku dan Ellja dan Cherryl dan mak dan ayah dapat
didengar oleh penguasa, kami harus berteriak.
Keluargaku

hanya

rakyat

biasa

yang

menuntut

untuk

mendapatkan

kehidupan dan kesejahteraan yang sama. Kalau selama ini, hak-hak kami sebagai
rakyat tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah Indonesia, kami tentu saja akan
mendukung Aceh Merdeka dengan harapan pemerintah Aceh yang berdasarkan
syariah Islam jelas dapat melindungi hak-hak kami terutama hak keamanan untuk
dapat beribadah dan bermasyarakat di dalam Islam. Kalau hal ini juga tidak dapat
dipenuhi oleh pemerintah Aceh, lillahi taala kami akan memberontak dan rakyat
seperti kami ini jumlahnya banyak, sangat banyak.
Sampai sekarangpun aku masih merasakan diskriminasi dan himpitan di
dalam kelas-kelas sosial yang ada di dalam masyarakat Aceh.
Sewaktu pemilu lokal tahun lalu, aku dan Ellja ikut melihat berlangsungnya
pemilu. Kami naik kereta pergi ke Tualang Cut untuk melihat pemilu disana. Tibatiba Ellja bilang kepadaku kalau dia melihat api dan asap yang membuat

pandangannya kabur. Dia bilang kalau partai Aceh menang, Aceh akan menjadi
seperti lautan api yang penuh asap.
Itu karena kak pakai kaca mata warna oranye yang ada gradasinya! ujarku
sambil menunjuk kaca mata yang dikenakannya. Karena warna kacamatanya
oranye dia jadi melihat semuanya seperti warna api. Aku tidak mengerti dia sedang
bercanda atau tidak. Aku tidak pernah mengerti bagaimana cara Ellja bercanda.
Oh iya.. ujar Ellja kemudian sambil melepas kacamatanya yang berwarna
oranye dengan gradasi. Mungkin itu sebabnya ia melihat langit menjadi seperti
warna api.
Tetapi begitu kemenangan Partai Aceh ternyata sudah sangat jelas, apa yang
dibilang Ellja bukan lagi terdengar seperti bercandaan. Berkali-kali terjadi kebakaran
di seluruh daerah di Aceh, baik rumah warga, pasar, rumah toko ataupun gedunggedung perkantoran. Tidak jelas siapa pelakunya baik disengaja atau tidak
disengaja.
Situasi di Aceh menjadi semakin mencekam. Suara dari Gerakan Aceh
Merdeka yang tadinya satu mengenai kemerdekaan Aceh mulai terpecah karena
pengaruh dari diplomasi politik. Orang-orang GAM yang sudah duduk di partai juga
akhirnya menjadi seperti kerbau dicucuk hidung. Benar-benar seperti kerbau
dicucuk hidung.
Dengan bantuan dana partai, dengan hadiah-hadiah, dengan segala macam
hibah, dengan bantuan investasi modal usaha. Kasur spring bed dan mobil mewah.
Barang-barang elektronik dan motor baru. Atau bahkan pesawat?
Sementara orang GAM yang tidak ikut di dalam partai dibiarkan saja. Bahkan
sebagian

yang

masih

mengangkat

senjata

terus

diburu

seperti

pesakitan.

Sementara sebagian besar rakyat Aceh yang lain tetap hidup dibawah tekanan dan
kesulitan hidup.
Api pada Bulan Bintang.
Setelah kemenangan partai Aceh, wak Haji Halim yang merupakan tetangga
rumahku langsung mengibarkan Bendera Bulan Bintang. Semangat euphoria seperti

membara di dalam setiap jiwa pemuda dan anggota Gerakan Aceh Merdeka yang
berusaha menempuh jalur diplomasi. Tetapi sekarang, banyak kantor partai Aceh
yang tutup, orang-orangnya juga entah dimana. Tidak jelas lagi apa yang harus
diperjuangkan. Banyak sekali kantor partai Aceh di kota-kota di Aceh yang tutup dan
terbengkalai. Wak Haji Halim juga sudah lama sekali tidak mengibarkan bendera
Bulan Bintang lagi. Mungkin dia kecewa dengan perpecahan yang terjadi di dalam
partai yang dibelanya sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka.
Aku tidak mengerti.
Mak menyuruhku untuk membeli sabun di warung wak Haji Halim. Selain
mengajar ngaji, wak Haji Halim juga berjualan di warung depan rumahnya. Menjual
barang-barang kebutuhan rumah tangga. Aku disuruh Mak untuk membeli sabun
cuci, Ellja mau membeli bedak. wak Salbiyah, istri pertama wak Haji Halim yang
sedang menjaga warung.
Wak.., beli sabun ujarku kepada wak Salbiyah.
Ada dengar, kebakaran di Kede Besi, rumah toko dekat rumah sakit karang
baru? tanya wak Salbiyah kepadaku dan Ellja yang sedang memilih-milih bedak.
Kami berdua menggeleng.
Kalau mau ke collosseum harus melewati kede besi juga komplek perumahan
rumah sakit. Ada beberapa orang saudara kami yang tinggal disana. Kata wak
Salbiyah, sekarang kede besi sudah rata dengan tanah. Hangus terbakar.
Kede besi, walaupun berada di daerah Tamiang yang jauh dari pusat
kekuatan Aceh Merdeka, juga memberikan perlawanan yang berbeda atas
kemerdekaan Aceh. Beberapa orang yang tinggal di daerah ini jelas-jelas
mendukung Aceh Merdeka. Daerah ini dipenuhi oleh pemberontak. Mulai dari
bandar ganja sampai preman terminal. Tetapi tidak ada yang tahu keberpihakan
politik mereka dan bisa jadi mereka memiliki cara perlawanan sendiri.
Aku lihat wak Haji Halim sedang membenarkan pagar. Terakhir kali aku
melihat wak Haji Halim mengibarkan bendera Bulan Bintang sudah berbulan-bulan
yang lalu. Wak Haji Halim adalah orang Tamiang tetapi beliau juga merupakan
anggota Gerakan Aceh Merdeka. Kondisinya memang menjadi agak sulit bagi

mereka yang bukan orang asli Aceh atau keturunan Aceh untuk dapat mendukung
Aceh Merdeka. Bagi pemerintah Aceh mungkin orang seperti ini dianggap cuwak
atau penghianat dan bagi pemerintah Indonesia dianggap penjilat. Padahal wak Haji
Halim benar-benar mendukung kemerdekaan Aceh. Ia mengerti agama dan sejarah
Aceh termasuk dengan sejarah Tamiang karena ia adalah orang Tamiang.
Daerah Tamiang adalah salah satu pintu masuk Aceh. Terutama daerah Utara
seperti Seruwai dan Sungai Yu yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura
sebagai jalur pintu masuk Aceh. Dan kota Kualasimpang yang merupakan jalur pintu
masuk dari Medan. Daerah ini menjadi daerah penting sebagai jalur masuk infiltrasi
ke Aceh dan harus terus dijaga. Kalau daerah ini tidak memiliki keberpihakan politik
yang jelas, pembangunan akan terus tersendat-sendat. Masyarakatnya akan terus
berada dalam ketidakjelasan kepemimpinan.
Wak Haji Halim yang orang Tamiang tentu saja akan bersikeras bahwa orang
Tamiang memiliki kedaulatan atas wilayah Tamiang sebagai Bumi Raja Muda Sedia,
tetapi daerah Tamiang juga tetap harus memiliki keberpihakan politik agar
tanggung jawab pembangunan di daerah Tamiang dapat menjadi jelas.
Itu sebabnya ia mendukung Aceh Merdeka karena sekian lama mengalami
konflik politik di daerah Tamiang, ia sudah tidak percaya kepada pemerintah
Indonesia.
Di Opak juga terjadi kebakaran ujar wak Salbiyah lagi.
Aku dan Ellja kembali saling pandang.
Api pada Bulan Bintang.

Himpitan Bulldozer.

Colosseum

akan

dibuldozer,

habislah

tempat

rahasia

kami

di

kota

Kualasimpang.
Aku tahu hal ini dua hari yang lalu waktu aku ikut sama mamak ke acara
syukuran khitanan anak wak Masud yang tinggal dekat komplek perumahan rumah
sakit di Karang Baru. Aku kenal dengan Oza, adik kelasku waktu di SD. Temantemannya yang lain juga datang, tapi tidak ada yang seumuran denganku.
Rumahnya di Kede Besi.
Aku mendengarkan ibu-ibu dan bapak-bapak membicarakan tentang proyek
pembangunan rumah sakit Karang Baru.
Rumah toko yang di Kede Besi, juga sebagian besar wilayah tanah di desa
Kesehatan ini adalah tanah milik Rumah Sakit dan dalam waktu dekat akan
diadakan pembangunan Rumah Sakit Karang Baru menjadi Rumah Sakit Umum
Kabupaten Aceh Tamiang ujar wak Masud.
Sebagian besar rumah warga akan digusur? tanya beberapa orang.
Rumah toko yang kebakaran di kede besi juga akan digusur? tanya
beberapa orang yang lain.
Satu persatu ibu-ibu dan bapak-bapak yang tinggal di desa Kesehatan dan
daerah sekitar Rumah Sakit Karang Baru berbicara mengutarakan pendapatnya
mengenai pembangunan RSU Tamiang yang harus menggusur sebagian besar
rumah mereka yang dibangun di atas tanah Rumah Sakit.
Pembangunan Rumah Sakit memang sangat penting bagi masyarakat jadi
aku rasa warga desa Kesehatan tidak akan banyak protes jika mereka diberikan
pengganti yang sepadan. Kalau rumah mereka digusur karena pembangunan
Rumah Sakit, pemerintah harus memberikan ganti rugi juga dalam bentuk rumah
dan lahan. Hal ini tentu saja adalah hal yang adil.
Apa pemerintah akan membiarkan orang yang digusur menjadi gelandangan?
Aku senang juga kalau pembangunan Rumah Sakit diadakan, kota kecil kami
akan menjadi semakin ramai. Apalagi kalau rumah-rumah warga dan pemukimanpemukiman kumuh dapat dirapikan atau diberikan tempat dan perumahan yang

layak. Kota Kualasimpang akan menjadi lebih teratur dan rapi. Jadi tidak tertinggal
terus dibandingkan kota-kota lain di Aceh yang pembangunannya semakin maju
sekarang.
Yang jelas seharusnya ada banyak dana yang dapat digunakan dalam
pembangunan kota Kualasimpang, pemasukan daerah dari perkebunan kelapa sawit
dan Pertamina selama berpuluh-puluh tahun ini tidak pernah terlihat hasilnya pada
pembangunan kota Kualasimpang.
Banyak lahan kosong bekas perkebunan kelapa sawit yang dapat digunakan
sebagai perumahan warga. Daripada lahan gersang bekas perkebunan kelapa sawit
itu tidak digunakan, lebih baik dijadikan lahan perumahan bagi masyarakat.
Tidak seperti kota-kota lain di wilayah Aceh, kota Kualasimpang masih jelasjelas berada di dalam kekuasaan Pemerintah Indonesia. Juga karena kondisi
keadaan masyarakatnya yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Pemimpin
daerah di kota Kualasimpang umumnya di pilih dari orang Tamiang yang merupakan
suku asli daerah Tamiang. Dan pemimpin-pemimpin orang Tamiang ini lebih dekat
dengan Pemerintah Indonesia daripada pemimpin di Aceh. Terutama karena hampir
keseluruhan roda ekonomi dan proyek-proyek pembangunan di Tamiang berada di
bawah kendali Pemerintah Indonesia juga investor dari luar.
Walaupun hal tersebut sama sekali tidak berarti kota Kualasimpang menjadi
semakin maju di bawah Pemerintah Indonesia. Lihat saja kondisinya. Ekspansi
perkebunan kelapa sawit yang terus semakin merusak pada daerah hulu dan juga
hilir sungai Tamiang. Banjir yang setiap tahun pasti datang karena tidak ada lagi
hutan di daerah hulu. Kondisi lingkungan yang semakin panas dan buruk dengan
debu dan sampah. Terlebih lagi kondisi sosial masyarakatnya yang semakin mundur
dengan kekerasan, narkotika dan tindak kriminal.
Dan dalam sekian puluh tahun sama sekali tidak ada perbaikan yang berarti
terjadi di kota Kualasimpang. Stagnan dan bau limbah sawit.
Sebagian besar penduduk Aceh Tamiang adalah orang pendatang, mayoritas
bahkan merupakan suku Jawa yang datang ke Aceh Tamiang dalam proyek
transmigrasi dan bekerja pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan karet. Juga

sebagian kecil pegawai pemerintah yang bekerja pada PT.Pertamina yang menjadi
masyarakat kelas atas di daerah Aceh Tamiang. Fasilitas bagi pegawai pemerintah
yang bekerja pada PT. Pertamina terkadang menimbulkan kecemburuan sosial pada
masyarakat lain di Aceh Tamiang. Sekolah-sekolah dengan fasilitas lengkap dan
perumahan juga fasilitas-fasilitas lain.
Dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri yang ada di kota Kualasimpang,
sekolah Pertamina memiliki fasilitas yang jauh lebih lengkap. Kesempatan terbuka
lebar bagi mereka yang berasal dari keluarga-keluarga Pertamina untuk dapat
menempuh pendidikan yang lebih baik.
Melihat ketimpangan sosial yang ada, anak-anak sepertiku hanya bisa
mengintip dari balik pagar pembatas komplek. Ingin sekali untuk bisa mendapatkan
pendidikan yang sama tapi kami tidak boleh terlalu banyak bermimpi.
Ellja lebih realistis. Dia bilang padaku kalau tidak dapat melanjutkan sekolah,
menikah. Kalau belum ada yang mau melamarnya untuk menikah, bekerja. Asah
batee, jual kopi, membuat desain kaligrafi, membantu chik Nur berdagang souvenir,
melukis. Apa saja.
Aku ingat dengan temanku sewaktu SMP, namanya Erlina, dia juga tinggal di
Kualasimpang. Sewaktu lulus sekolah kami ditanya oleh guru ingin melanjutkan
kemana dan akan menjadi apa. Erlina bilang padaku, dia ingin menjadi SPG. Sales
Promotion Girl. Seandainya aku bisa memikirkan cita-cita yang lebih realistis seperti
Erlina atau Ellja.
Aku ingin menjadi Arkeolog dan untuk menjadi seorang Arkeolog aku harus
belajar yang tekun. Tapi sekarang kami berada di bawah himpitan bulldozer.
Colosseum terletak di belakang komplek Rumah Sakit, pada daerah delta
sungai Tamiang. Tidak banyak orang yang mengetahui tempat tersebut atau
mungkin mengetahui tetapi tidak pernah mau ambil pusing dan menganggap
colosseum sebagai runtuhan bangunan saja. Tetapi tidak bagiku, Ellja, Shahnaz dan
beberapa anak Kede Besi yang lain.
Rumahku dan Kede Besi tidak terletak jauh. Kalau terjadi penggusuran di
Kede Besi untuk pelebaran jalan dan pembangunan Rumah Sakit, rumahku juga

mungkin akan digusur. Kualasimpang akan mengalami banyak perubahan dengan


pembangunan dan pembangunan. Tetapi bukan berarti pembangunan yang
dilakukan

di

tanah

ini

semakin

menyingkirkan

kami,

penduduk

asli

dan

menghancurkan apa yang menjadi ciri khas kota Kualasimpang.


Aku lihat wak Haji Halim yang sedang berbicara dengan seorang laki-laki
berpakaian polo shirt berwarna merah dan hitam. Mereka terlihat sangat serius,
beberapa kali aku dengar mereka menyebutkan GAM dan Gerindra, PDI, Demokrat
juga kebakaran di Kede Besi dan Opak. Gerindra, PDI dan Demokrat adalah partai
politik nasional yang pengaruhnya cukup besar di dalam masyarakat Aceh.
Dana partai.
Apalagi yang diharapkan masyarakat Aceh dari partai politik nasional selain
kucuran uang karena pemerintah Indonesia tidak akan pernah membiarkan
masyarakat Aceh mampu mengurus kebijakan fiskal dan moneternya sendiri. Partai
politik nasional juga digunakan untuk menyetir perekonomian Aceh dengan proyekproyek ekonomi masyarakat yang memang banyak membantu perekonomian di
Aceh walaupun dana itu memang hak rakyat Aceh hanya saja dikendalikan oleh
pemerintah Indonesia.
Kami orang sipil, tidak mengerti urusan mereka.
Kalau colosseum digusur, aku dan Ellja harus mencari tempat rahasia lain.

Bidak Menteri.
Kalau tidak mengerti pelajaran Fisika aku akan bertanya pada Ayah.
Walaupun bekerja di tambak, Ayah ternyata banyak mengerti pelajaran Fisika. Dulu
dia sempat belajar di STM atau Sekolah Teknik Menengah. Mamak mengajar
Matematika,

ia

yang

mengajariku

Aljabar

Dasar,

sebelum

anak-anak

lain

mendapatkan pelajaran tersebut di sekolah.


Sambil mengerjakan tugas sekolah, aku membalas beberapa chat message
dari teman-temanku di sekolah. Beberapa ada yang menanyakan tugas sekolah,
tetapi lebih banyak yang menyebarkan gosip. Ya gosip. Kabar tentang temantemanku di sekolah. Ada yang lagi berantam. Ada yang lagi marahan. Ada yang lagi
pacaran. Trus aku juga digosipkan sama mereka, dibilang aku pacaran dengan
Akbar.
Aku kesal juga, tapi harus bilang apa. Namanya juga gosip.
Akbar itu teman sekolahku. Kami berteman baik. Akbar dan aku punya hobi
main catur.
Kalau menteri sudah berada di wilayah lawan dan dalam posisi terancam,
strateginya lebih baik mengirim kuda untuk membantu menteri atau mundur dan
membangun benteng pertahanan? tanyaku kepada Akbar sewaktu kami berdua
bermain catur pada saat istirahat siang.

Kalau menteri sudah berada di wilayah lawan dan dalam posisi terancam,
mengirim bantuanpun percuma. Lebih aman mundur dan membangun benteng
pertahanan. Adu menteri, setidaknya juga dapat menteri jawab Akbar.
Berarti membiarkan menteri mati di wilayah lawan? tanyaku sambil
mengerutkan kening, berpikir apakah pengorbanan itu dapat setimpal.
Itu tanggung jawab menteri, seorang menteri pasti mengerti resikonya kalau
harus sampai menyusup ke wilayah lawan jawab Akbar.
Setidaknya adu menteri.., dapat memukul mundur lawan, atau sama-sama
mati terangnya lagi.
Aku diam, menatap papan catur. Kemudian perlahan aku menggerakkan kuda
untuk mendukung menteri dari belakang. Bagaimanapun aku tidak bisa menutup
wilayah dan membangun benteng pertahanan lalu membiarkan menteriku di luar.
Kalau menteri memiliki tanggung jawab sebagai menteri, aku memiliki tanggung
jawab sebagai pemimpinnya.
Kadang memang menjadi pilihan yang sulit untuk dapat adil antara
kepentingan bersama dan kepentingan satu orang. Apa memang lebih baik, untuk
mengorbankan kepentingan satu orang atau kepentingan dari jumlah orang yang
lebih sedikit untuk kepentingan orang yang lebih banyak.
Akbar lama menatapku.
Mau bunuh diri?
Kan aku gak pakai strategi yang kamu ajarkan. Aku tidak bisa membiarkan
menteriku mati jawabku.
Walaupun itu artinya mengambil resiko untuk membuka pertahanan
wilayah? terang Akbar.
Main catur gak boleh baper, Ayla..! lanjutnya gemas sambil menarik ujung
jilbabku.
Baper. Bawa perasaan. Kosa kata yang lagi trend akhir-akhir ini.

Giliran kamu jalan! ujarku dengan kesal sambil kembali membenarkan


jilbabku.
Akbar menggerakkan menterinya. Ternyata ia memang tidak mau membawabawa perasaan dalam urusan bermain catur. Menteriku terdesak walaupun ada
kuda yang mengawasi di belakang.
Lalu bel tanda istirahat siang selesai akhirnya berbunyi dan teman-temanku
berhamburan ke arah kami berdua yang hanya berduaan di dalam kelas, bermain
catur. Lalu aku digosipkan pacaran dengan Akbar .
Permainan catur kami belum selesai.
Tias menanyakan masalah itu kepadaku, apa benar aku pacaran dengan
Akbar. Aku bilang enggak. Trus malah chat message blast off masuk dari temantemanku yang lain.
Aku jadi malas datang ke sekolah besok.
Ellja lagi uring-uringan, dia malah memberantakkan kamar kami. Aku ingin
sekali menanyakan kelanjutan hubungannya dan Samil, tetapi terakhir kali Ellja
cerita, katanya Samil sedang underground. Entah apa itu istilahnya, pokoknya Samil
sedang berada di luar jangkauan. Mereka berdua sudah resmi menjalani proses
taaruf. Samil juga sudah datang ke rumah dan bertemu dengan ayah dan mak.
Tapi setelah itu, Samil kembali diluar jangkauan.
Aku pikir apa enaknya pacaran diluar jangkauan begitu. Tidak ada yang bisa
diajak jalan-jalan dan susah kalau mau ngasih kado.
Ayah dan Mak terlihat senang dengan Samil. Sopan, berpendidikan, yakin
dengan jalan hidupnya dan mengerti agama. Mengerti Agama itu adalah hal yang
paling penting untuk menjadi pemimpin di dalam keluarga. Kalau tidak siapa yang
akan mengajarkan anaknya syahadat dan shalat?
Ayah dan mak mengerti kalau Samil adalah seorang gerilyawan dan Ellja juga
sangat mengerti dengan posisinya yang sewaktu-waktu bisa saja mendapat kabar
kalau Samil hilang atau meninggal.

Kak Ja, menikah dengan gerilyawan itu artinya sudah siap jadi janda
komentarku melihat Ellja yang entah sedang sibuk apa, membongkar-bongkar
lemari dan rak buku.
Rrgh.., kayaknya aku gak bisa lulus SMA! ujar Ellja tiba-tiba tanpa
membalas komentarku tentang hubungannya dan Samil.
Kak nyari apa?
Raport sekolah, kalau gak kumpul raport sekolah, ijazah gak bisa keluar
jawab Ellja.
Kena banjir pas semester lalu mungkin jawabku.
Trus kiban? tanyanya.
Jeh.., hoom! jawabku.
Sekolah Ellja juga salah satu sekolah yang bermasalah di kota Kualasimpang.
Lagi-lagi urusan perseteruan wilayah dan politik yang melingkupi permasalahan
pendidikan di Aceh. Sekolah Ellja berada dalam pengurusan yayasan yang belum
jelas berada di dalam kewenangan Aceh Tamiang atau Aceh Timur. Alhasil status
sekolah Ellja pun menjadi tidak jelas dan pendidikan untuk Ellja pun menjadi tidak
jelas. Mungkin hal itu yang membuat Ellja ingin belajar asah batee saja.
Lalu tiba-tiba terdengar suara chat message masuk, dari Akbar. Jantungku
langsung berdetak, ya iya, karena aku masih hidup tentu saja jantungku berdetak,
tapi ini frekuensi detaknya jadi lebih tinggi dari normal. Aku pikir lebih baik
memikirkan hitungan berapa detak jantung normal dan berapa detak jantung ketika
dalam kondisi seperti ini daripada membaca sms dari Akbar.
Besok lanjut main catur yang kemarin ya.
Aku balas iya.
Keesokan harinya aku datang lebih cepat ke sekolah, sengaja biar belum ada
anak-anak lain yang datang. Akbar sudah datang di sekolah, ada bunga krisan di
atas mejaku.

Kebun bunga ibuku sedang panen, kamu suka bunga?

tanya Akbar

kemudian aku mengangguk lalu tersenyum melihat bunga krisan berwarna warni di
atas mejaku.
Kami begitu selama sekolah di MAN, kalau tidak main catur, membahas klub
bola. Kalau aku sedang membaca di perpustakaan, Akbar menemaniku sambil baca
koran. Dia tidak terlalu senang membaca buku, lebih senang membaca koran atau
majalah politik. Aku berpikir juga apa kami pacaran, tapi aku dan Akbar tidak mau
pacaran, kami adalah generasi muslim modern yang mengerti kalau di dalam Islam
tidak diperbolehkan pacaran. Tapi kami memang berteman dekat dan pertemanan
kami adalah untuk hal-hal yang baik.
Selama sekolah di MAN, mungkin teman laki-laki yang dekat denganku hanya
Akbar.
Akbar berteman dekat dengan Rana, anak pindahan dari Jakarta yang pindah
ke Aceh karena keluarganya dipindahtugaskan. Ayah Rana adalah kepala polisi.
Karena itu aku kadang-kadang agak menjaga jarak kalau Akbar sedang bersama
dengan Rana. Aku tahu Rana pemadat juga beberapa teman kami yang lain. Mereka
mengisap ganja. Banyak polisi dan tentara di Aceh yang mengisap ganja. Banyak
juga GAM yang mengisap ganja. Mungkin itulah satu-satunya kesamaan diantara
mereka.
Aku tidak tahu apa Akbar juga ikut-ikutan mengisap ganja, ganja dan
narkotika adalah permasalahan yang sangat membelit generasi muda Aceh. Apalagi
yang terlibat di dalamnya bahkan merupakan orang hukum dan pemerintahan.
Biasanya yang sudah menjadi pecandu ganja, tidak akan bisa berkonsentrasi
dengan pelajaran-pelajaran sekolahnya.
Banyak remaja pada generasi di atasku seperti Ellja yang dibesarkan dalam
masa konflik menjadi sangat pembangkang yang akhirnya berujung pada hal yang
merugikan diri mereka sendiri. Banyak sekali abang-abang seumuran Ellja yang
terlibat dengan ganja, baik sebagai pengedar ataupun pengguna. Gaung revolusi
dan kemerdekaan Aceh yang didengung-dengungkan membuat pemuda-pemuda di
Aceh sangat dekat dengan semangat revolusioner yang menggerakkan revolusi
dengan cara memberontak. Perlawanan terhadap pemerintah Indonesia ditunjukkan

oleh mereka dengan cara menjadi pemberontak yang melawan otoritas penguasa
dengan tindakan-tindakan melawan hukum yang ditetapkan oleh penguasa untuk
mengatur rakyat. Termasuk dengan menggunakan ganja yang lekat dengan
semangat revolusioner Cubaisme, euphoria Che Guevara.
Tidak sedikit yang berakhir di dalam penjara karena tindakan-tindakan
melawan hukum yang sengaja mereka tunjukkan untuk terang-terangan melawan
otoritas penguasa dan tidak sedikit juga yang berakhir sebagai pecandu ganja dan
narkotika. Generasi ini menjadi rusak juga karena konflik politik berkepanjangan
yang membuat kondisi pendidikan bagi mereka menjadi tidak terarah.
Pecandu yang akhirnya mati dan dianggap sebagai penjahat perang. Seperti
Che Guevara dengan semangat revolusinya, begitulah perlawanan pemuda Aceh
pada generasi Ellja.
Perlawanan dan pemberontakan dari mereka yang tidak pernah mau tunduk
pada pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa rakyat Aceh sampai sekarangpun
jelas-jelas tetap menginginkan Kemerdekaan Aceh.
Perlawanan dan pemberontakan yang mereka lakukan dengan tujuan agar
diplomasi politik yang dilakukan oleh petinggi GAM dapat mencapai kesepakatan
Kemerdekaan

Aceh

dari

pemerintah

Indonesia.

Mereka

keras

kepala

dan

pembangkang tetapi mereka mengerti dan paham apa yang sebenarnya adalah
kebenaran.
Dan sekarang, setelah kondisi dipaksakan untuk damai, pemberontakpemberontak ini malah menjadi beban dan coreng moreng yang menghiasi sejarah
Aceh. Pesakitan yang dijadikan contoh dari generasi yang rusak agar kami tidak
mengambil contoh dari mereka. Agar generasi kami yang lebih baik tidak mengikuti
gerakan mereka untuk menjadi pembangkang dan pemberontak juga pecandu
ganja.
Aku adalah anak baik dan pintar.
Ellja adalah pembangkang dan keras kepala.

Generasi pada masa sekarang mendapat kesempatan yang lebih baik setelah
Aceh berhasil menetapkan Syariah Islam sebagai dasar Negara yang artinya
kejelasan politik dalam pemerintahan yang berbeda dari pemerintah Indonesia.
Pendidikan bagi anak-anak mulai diarahkan dengan dasar ilmu agama yang kuat.
Pengetahuan umum diajarkan dengan dasar dalil agama yang jelas sehingga kami
tidak akan salah arah. Tidak akan salah arah seperti generasi sebelum kami.
Seperti sel darah putih yang akhirnya menjadi nanah setelah melawan
penyakit, begitulah nasib pemberontak-pemberontak ini. Seperti jembatan yang
harus rela diinjak-injak oleh penyeberang agar generasi kami dapat menapaki masa
depan yang lebih baik, begitulah nasib pemberontak-pemberontak ini. Seperti
antioksidan yang harus rela terbakar lebih dahulu untuk melindungi kami, begitulah
nasib pemberontak-pemberontak ini. Seperti kuda pacu yang menjadi tunggangan
penguasa

untuk

mencapai

kekuasaannya,

begitulah

nasib

pemberontak-

pemberontak ini.
Pesakitan. Biarkan saja.
Generasi Ellja adalah generasi pembangkang dan keras kepala. Generasi
yang dirusak dan ditinggalkan. Anak-anak yang dibiarkan tumbuh tanpa arah di
dalam tekanan politik dan ketidakjelasan masa depan.
Generasiku adalah generasi anak baik dan pintar. Generasi harapan masa
depan. Anak-anak yang diberikan pondasi pendidikan agama yang baik dan tumbuh
di dalam masa peralihan dimana kejelasan politik sudah mulai tumbuh di Aceh.
Kasihan generasi Ellja.
Aku ingin dapat berbicara dalam ironi seperti Ellja dan melontarkan kalimatkalimat sarkastik yang jelas-jelas menunjukkan perlawanan. Tapi apa yang Ellja rasa
berbeda dengan yang aku rasa. Generasi Ellja merasakan kepahitan yang tidak
dapat dirasakan oleh generasi kami yang membuatnya dapat lebih leluasa memaki.
Memaki hal yang jelas-jelas dia ketahui sebagai ironi.
Lost Generation.

Aku sangat menyayangkan hal ini dan generasi Ellja sepertinya masuk ke
dalam masa Lost Generation bagi Aceh. Generasi yang rusak dan kehilangan arah
karena globalisasi dan modernisasi.
Akbar bilang kan tidak mungkin dia memutuskan pertemanan dengan temantemannya yang menggunakan ganja, kalau bisa bahkan Akbar ingin agar mereka
dapat berhenti menggunakan ganja. Lebih banyak mudharatnya. Walaupun dia juga
mengerti permasalahan ganja dan narkotika juga tidak dapat dipisahkan dari
kondisi kehidupan di Aceh yang penuh dengan tekanan dan banyak anak dan
remaja yang menyalurkan himpitan tekanan dan stress yang mereka rasa dengan
menggunakan ganja. Kehidupan yang stagnan dan monoton membuat anak-anak
dan remaja tidak tahu harus menyalurkan energi mereka untuk melakukan hal apa.
Tekanan ekonomi dan himpitan kondisi sosial masyarakat juga permasalahan
politik di Aceh memberikan beban yang berat bagi generasi muda ini. Itu sebabnya
banyak yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan ketenangan dengan
menghisap ganja. Kalau banyak kegiatan yang dikembangkan, seperti seni dan
olahraga, juga bidang-bidang kepemudaan yang lain, yang dapat menghasilkan dan
membuat remaja dan pemuda di Aceh lebih produktif dan ada kegiatan, mungkin
lebih baik.
Aku taruh di meja guru ya ujarku kepada Akbar sambil mengumpulkan
bunga yang diberikannya. Aku tidak tahu harus meletakkan bunga krisan yang
diberikannya dimana.
Iya, vas bunganya kan cuman ada di meja guru ujar Akbar sambil
tersenyum dan melihat ke atas meja guru yang vas bunganya kosong.
Kemudian aku mengisi vas bunga di atas meja guru dengan air dan
meletakkan bunga krisan pemberian Akbar di dalamnya.

Kotaku, kota Kualasimpang.


Kata mamak, kota Kualasimpang dulu sebenarnya indah. Banyak bangunanbangunan

berarsitektur

percampuran

Melayu

dan

Tamiang

juga

bangunan-

bangunan peninggalan Belanda seperti rumah-rumah toko. Mirip dengan rumahrumah toko pada kota-kota yang ada di daerah pusat kebudayaan Melayu di
Sumatera Utara seperti Binjai dan Stabat.
Juga rumah-rumah bangsawan Tamiang, rumah-rumah ini umumnya berupa
rumah panggung dengan ciri khas berwarna kuning dan hijau yang juga menjadi ciri
khas warna Melayu.
Orang Tamiang dapat disebut juga orang Melayu atau Melayu Langkat atau
Langkat Tamiang, berbeda dengan Melayu Deli. Tetapi sudah terjadi akulturasi
dengan orang Aceh sehingga yang dikenal sekarang lebih banyak dengan sebutan
Aceh Tamiang.
Dulu banyak pohon-pohon besar di setiap sudut kota, pohon Mahoni dan
Angsana. Di tanam di depan pajak pagi sehingga suasana di pajak selalu teduh dan
nyaman. Aku juga antara ingat dan tidak, sempat merasakan kota Kualasimpang
yang teduh dan nyaman. Tapi sekarang semuanya menjadi gersang, berdebu dan
banyak sampah.

Aku ingat dengan mak Andini, orang India yang berjualan roti canai di kota
Kualasimpang. Roti canai mak Andini walaupun hanya dengan gula, adalah roti
canai yang paling enak di seluruh kota Kualasimpang.
Juga toko buku di dekat sekolahku yang lama. Kami yang tinggal di
Kualasimpang, baru bisa mengenal dan mempelajari tentang dunia luar dari toko
buku itu. Di toko buku itu ada dijual buku-buku agama dan buku-buku umum, juga
menyewakan komik dan majalah-majalah popular. Biasanya kalau ada yang ingin
kita beli tetapi tidak ada di toko buku tersebut, yang punya toko buku bisa
memesankan ke Medan.
Ada studio musik di Kualasimpang, tempat hingar bingarnya band-band SMA,
orang itu keren sih, tapi ya gitu.., minim pengetahuan karena entah kenapa banyak
anak band yang aku kenal, malas baca buku. Padahalkan bikin lagu gak mudah,
walaupun cuman hmm..hmmhmmhmmm, tetap harus punya referensi yang
banyak. Tapi kalau liriknya padat makna dan musiknya pun punya pesan,
pemusiknya juga kalau diajak ngobrol gak haha hihi haha hihi amat, pasti seru.
Akbar bisa main gitar dan harmonika, tapi tidak begitu ditekuni.
Banyak

etnis

dan

suku

bangsa

yang

mendiami

kota

Kualasimpang,

diantaranya yang paling banyak adalah Jawa dan Cina, juga India, Minang, Batak,
Mandailing bahkan Bugis dan Nias. Suku Aceh dan suku Tamiang yang merupakan
penduduk asli kota Kualasimpang, justru tidak terlalu mendominasi.
Pada dasarnya kota Kualasimpang adalah kota multietnis yang sangat
menghargai perbedaan di dalam masyarakat. Serta peraturan-peraturan yang
diterapkan di masyarakat diusahakan agar tidak ada pihak atau golongan
masyarakat tertentu yang dikesampingkan.
Walaupun begitu, Kota Kualasimpang juga berusaha untuk menerapkan
Syariah Islam di dalam aturan sosial masyarakatnya karena walaupun tidak terdiri
dari golongan-golongan fanatik, mayoritas penduduk Kota Kualasimpang beragama
Islam dan hampir semua golongan masyarakat menyetujui penerapan Syariah Islam
di Kota Kualasimpang.

Semenjak dahulu banyak orang-orang dari daerah lain yang ingin merantau
ke Aceh kemudian tinggal dan menetap di kota Kualasimpang. Setelah bencana
Tsunami dan penerapan Syariah Islam di Aceh, banyak muallaf yang hijrah ke Aceh
memutuskan untuk menetap di Kota Kualasimpang dan pendidikan Agama Islam
bagi mereka sangat diperlukan.
Tetapi

karena

pendidikan

dan

kesejahteraan

bagi

mereka

kurang

diperhatikan, hal ini menjadi bumerang bagi kota Kualasimpang. Karena mereka
yang tidak mendapatkan pendidikan cenderung untuk bertingkah laku yang
merusak karena mereka tidak mengetahui. Itu sebabnya tindak kriminal cukup
tinggi di kota Kualasimpang, perangai masyarakatnya juga keras.
Banyak hal yang berubah di kota Kualasimpang, salah satunya adalah kondisi
lingkungan yang semakin memburuk karena pengaruh perluasan perkebunan
kelapa sawit. Panas, berdebu, penuh sampah, tata kota berantakan dan terlebih
pemimpin yang tidak tegas dan kebijakan dalam hal pembangunan yang tidak
pernah jelas.
Belum lagi konflik politik yang menyebabkan kondisi sosial masyarakat
menjadi semakin kacau. Setiap orang menginginkan agar kotanya menjadi kota
yang indah, yang nyaman, yang teduh, maju, modern dan berpendidikan.
Masyarakat dapat hidup dengan tenang, saling berdampingan, saling membantu
tanpa ada rasa curiga dan terus berada dalam ketakutan seperti yang selama ini
kami rasakan. di Aceh, hidup selalu dalam tekanan. Walaupun berusaha untuk
dapat tertawa, hidup apa adanya dan mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan,
tetapi apa tidak ada yang dapat berusaha agar kehidupan dapat berjalan dengan
lebih baik?
Pendidikan yang baik, aku rasa itu saja dulu yang kami perlukan. Kalau
semua orang bisa mendapatkan pendidikan yang baik, semua orang dapat mengerti
harus melakukan apa agar dapat memperbaiki permasalahan yang ada. Kalau
rakyat tidak diberikan pendidikan yang baik, mereka justru akan merusak.
Bunga mawar di taman kota sedang mekar ketika Ellja memboncengku untuk
pergi ke masjid kota, untuk menunaikan shalat Ashar. Aku memang sudah berniat
untuk shalat Ashar di masjid Kota dari semenjak beberapa hari yang lalu, terus aku

ajak Ellja, katanya dia juga sudah niat ingin shalat di masjid kota Kualasimpang dari
beberapa waktu yang lalu. Aku pikir mungkin kami dapat memiliki kesamaan dalam
pemikiran karena kami bersaudara. Sering seperti itu.
Kak Ja.., aku merasa, kita seperti tidak dianggap sebagai orang Aceh ujarku
tiba-tiba kepada Ellja sambil memandang ke deretan toko-toko cina dan panggung
keyboard dangdut juga anak-anak perempuan yang berpakaian ketat dan premanpreman jalanan yang kasar dan tidak tahu adat.
Berbeda sekali dengan di Banda Aceh atau kota-kota lain di Aceh yang sudah
menerapkan Syariah Islam.
Kalau ke ingin dianggap sebagai orang Aceh, bertingkah laku seperti orang
Aceh jawab Ellja sekenanya, mungkin maksudnya, kalau ingin dianggap sebagai
orang Aceh, bertingkah laku sebagai orang Aceh. Berbicara dalam bahasa Aceh,
berkumpul dengan orang-orang Aceh, mengetahui sejarah dan budaya Aceh, juga
taat dalam beragama seperti orang Aceh.
Tapi maksudku bukan itu. Maksudku, kota Kualasimpang, seperti tidak
dianggap sebagai bagian dari Aceh. Mungkin karena kultur masyarakatnya tidak
seperti orang Aceh. Orang Aceh memiliki ego yang tinggi, juga adat dan aturan
sosial masyarakat yang berbeda dengan masyarakat kota Kualasimpang. Kalau
memaksakan masyarakat kota Kualasimpang menjadi seperti orang Aceh, aku rasa
hal tersebut bukanlah hal yang seharusnya. Itu sebabnya aku merasa seperti tidak
dianggap sebagai orang Aceh. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh masyarakat
kota Kualasimpang lainnya.
Kak Ja bisa berbahasa Aceh, mudah untuk mendapatkan teman-teman kalau
misalnya sekolah di Banda Aceh. Aku tidak bisa berbahasa Aceh ujarku lagi
memikirkan kemungkinan melanjutkan kuliah ke Banda Aceh.
Ya, mungkin kita memang Aceh cilet-cilet, mau bagaimana lagi? jawab Ellja,
sekenanya karena sambil mengendarai kereta, ia harus lebih memperhatikan jalan
daripada menanggapi pertanyaanku.
Masjid di kota Kualasimpang cukup indah, desain interior dan eksteriornya
juga khas. Warnanya putih. Arsitekturnya Islam modern. Tidak ada ciri khas etnis

yang mendominasi. Setiap pulang sekolah sewaktu SMP aku selalu melewati masjid
ini tetapi jarang sekali shalat di dalamnya.
Sesudah masuk SMA, tiba-tiba aku ingin shalat disana. Seperti ada perasaan
aneh kalau mungkin aku akan meninggalkan kota ini dalam waktu yang agak lama
suatu saat nanti. Di dalam hati aku memanjatkan doa agar dapat melanjutkan
kuliah setelah SMA, mungkin itu sebabnya, aku merasa sedang sangat ingin dekat
dengan kota ini.
Kota kecil di perbatasan Aceh yang tidak seberapa ini.
Kota Kualasimpang.

Laki-laki dalam pelarian.

Untaian

zikrullah

tergumam

pelan

dalam

tiap

goresan

tulisan

yang

mengagungkan Asma Allah. Aku selalu teringat pada Samil, setiap kali melukis.
Setiap kali ada kesempatan untuk bertemu, hal yang pertama kali langsung aku
pikirkan adalah mengenai perpisahan.
Aku mengerti resikonya. Samil mengerti tanggung jawabnya.
Aku mencintainya, cinta yang tulus karena Allah taala. Cinta atas agama dan
tanah negeri kami.
Beberapa hari yang lalu ia datang ke Kualasimpang bersama dua orang
temannya, pertemuan kami pun secara diam-diam. Beberapa hari ini rumahku
seperti diamati karena memang dekat dengan lokasi pertamina jadi banyak
kendaraaan proyek yang hilir mudik. Samil sempat menanyakannya, aku bilang
memang aneh, rumahku seperti sedang diintai. Sewaktu aku katakan hal ini pada
Ayah, dia bilang lebih baik berhati-hati kemudian Samil mengajak bertemu di
tempat lain.
Ayah yang mengantar aku untuk bertemu dengan Samil di sebuah kede mie
Aceh. Samil tidak banyak berbicara denganku, ia lebih banyak berbicara pada Ayah.
Samil bilang Aceh adalah negeri yang merdeka, dari dulu sudah begitu.
Orang-orang serakah dan dzalim itu yang tidak menginginkan dan selalu
menghalang-halangi kemerdekaan Aceh. Mereka yang selalu berusaha merusak dan
menghalang-halangi kami untuk secara terang-terangan membela kemerdekaan
Aceh. Mereka yang berusaha menjauhkan pemimpin dari rakyatnya, agar kami,
rakyat Aceh merasa seperti tidak memiliki pemimpin dan tidak memiliki kejelasan
masa depan. Mereka yang berusaha merusak tatanan adat istiadat masyarakat
Aceh, orang-orang dzalim dan serakah. Mereka yang berusaha merusak generasi
Aceh dan membuat banyak anak-anak Aceh seperti kehilangan arah.
Aceh Merdeka, bapak-bapak dan ibu-ibu dari Jawa seharusnya sangat
mengerti mengenai hal ini. Walaupun belum secara terang-terangan, Aceh memiliki
sekat secara sosial yang tidak akan bisa ditembus oleh mereka yang ingin merusak
di Aceh. Secara tatanan sosial akan sulit untuk benar-benar masuk ke dalam

tatanan

masyarakat

Aceh

dan

hal

inilah

yang

benar-benar

menunjukkan

kemerdekaan kami.
Kalian bisa datang ke Aceh dan berlagak seperti penguasa, tetapi tidak ada
rakyat Aceh yang akan tunduk kepada kalian. Yang menjadi pemimpin kami tidak
tertulis di atas kertas, ia yang ruku dan sujud dengan lillaahi taala dan ikhlas
berjuang untuk tegaknya Syariah Islam dan Kemerdekaan Aceh.
Samil bilang, jaga pintu masuk Aceh.
Ayah seperti langsung mengerti lalu membawaku pulang setelah Samil dan
temannya bergegas kembali ke Sigli.
Sampai di rumah aku melihat Ayla sedang menonton televisi, film Indonesia.
Mak sedang di dapur. Orang-orang di Indonesia terlihat sangat ceria dan gembira
sekali. Anak-anak mereka bisa sekolah tinggi, mendapatkan pendidikan dengan
kualitas yang baik. Senyum tawa menghiasi pembicaran-pembicaraan mereka di
televisi. Bintang iklan mereka juga cantik-cantik, seperti tanpa beban, tersenyum.
Aku melihat Ayla dan Bani, lalu langsung terbayang puluhan ribu anak Aceh
lainnya yang tinggal di pelosok kampung, tanpa kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan yang baik karena bagaimanapun dipaksa, mereka tidak akan pernah
mau pergi ke sekolah kalau harus dipaksa untuk menjadi orang Indonesia. Mereka
tidak akan pernah mau.
Aku merasakan tekanan dan beban ini. Juga kebuntuan karena jalan di depan
seperti rimba raya yang menyesatkan, tempat segala macam binatang yang tidak
segan memangsa yang lebih lemah dan belitan tanaman-tanaman beracun yang
menyengat.
Ayla dan Bani tertawa menonton acara lawakan di televisi. Televisi adalah
obat yang murah untuk penderitaan rakyat kecil, mengobati ketidakadilan yang
mereka rasa dengan sinetron-sinetron yang jalan ceritanya mudah untuk mereka
pahami. Aku berusaha untuk tidak terdengar ironi.
Aku berusaha untuk sangat santun dalam hal ini.

Ingin sekali mengatakan kepada Ayla, jangan berharap terlalu banyak pada
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi di Aceh dalam kondisi politik
yang masih belum jelas seperti sekarang. Masyarakat seperti kami hanya akan
menjadi bulan-bulanan, bola tendangan, beban yang di dorong-dorong kesana
kemari oleh mereka yang berkuasa, baik penguasa di Indonesia maupun penguasa
di Aceh. Merangkak dan mengemis-ngemis pun belum tentu kesempatan untuk
dapat mengecap pendidikan tinggi yang baik dapat kami rasakan.
Siapa yang mau membiayai pendidikan tinggi bagi seorang pemberontak?
Tapi

aku

tidak

ingin

mematahkan

semangatnya,

justru

aku

harus

mendukungnya.
Ayla bertanya padaku, tadi aku pergi kemana sama Ayah. Aku bilang rahasia
kemudian dia mencibirkan wajah lalu melanjutkan menonton televisi.
Samil

kembali

underground,

diluar

jangkauan.

Setidaknya

aku

dapat

mengetahui kalau ia dalam kondisi yang baik dan sehat, tidak kurang suatu apa.
Setiap kali pertemuan yang aku rasakan justru keikhlasan dalam perpisahan.
Hanya doa yang dapat memastikan bahwa Allah akan selalu melindungi mereka
yang berjuang di jalan-Nya.

Rencong dan Rebellion.


Beberapa hari ini ayah terlihat sangat serius. Tidak pergi ke tambak juga
tidak ke kebun. Aku lihat Ellja juga tidak ke sekolah setelah mengumpulkan raport
dia tinggal menunggu pembagian ijazah. Sepertinya sudah diputuskan tanpa
pembicaraan lebih lanjut bahwa Ellja tidak akan melanjutkan kuliah tahun ini. Tapi
dia kelihatan tenang-tenang saja. Mungkin seorang Che Guevara akan benar-benar
melamarnya, setelah kembali dari underground, tentu saja. Atau dia benar-benar
harus belajar asah batee.
Hujan turun sangat deras sekali di luar, tempiasnya sampai masuk dari celahcelah pintu. Aku dan Mak langsung sibuk mengambil kain lap untuk menghalau air
hujan agar tidak masuk ke dalam rumah. Hujan juga merembes dari dinding rumah
yang terbuat dari kayu.
Bani sedang belajar membaca atlas, buku peta. Lalu bertanya kepada Ayah
tentang bendera-bendera sambil menunjuk gambar-gambar bendera di dalam atlas.
Ia bertanya macam-macam, kenapa bendera Nepal bentuknya segitiga? kenapa
tulisan Arab di bendera Arab sulit dibaca? Kenapa warnanya merah? Bendera kita
yang mana?
Bendera kita yang mana? Lalu Ayah diam.
Ellja sedang di dapur, memasak mie instant, biasanya kalau Ellja memasak
mie instant, rasanya akan sangat sangat pedas. Lalu tiba-tiba terdengar suara

dering pesan singkat dari kamar, dari telpon selulerku. Bergegas aku ke dalam
kamar, ternyata telponnya Ellja.
Kak.., ada sms teriakku dari dalam kamar kepada Ellja yang berada di
dapur, aku rasa dia pasti dengar, jarak kamar ke dapur hanya beberapa meter.
Apa isinya?
Gak tau, ada nomor baru, yang layanan provider suruh minta telpon kalau
gak ada pulsa itu. call me jawabku sambil membaca sms yang masuk. Ternyata
pesan dari nomor tanpa id yang menggunakan layanan provider selular untuk
menelpon ke nomor tersebut.
Pue kol

mi? Kol ngon mie? ujar Ellja sambil berjalan ke luar dari dapur

membawa sayur kol dan beberapa bungkus mie instant yang akan dimasaknya.
Call me.., call me.., njan, layanan telkomsel call me.., keun sayur kol
deungon mie ujarku menyebut merek provider seluler yang memonopoli jaringan
seluler di Aceh. Cara bercanda Ellja itu kadang-kadang benar-benar Aceh. Entah
mungkin dia pikir aku benar-benar memintanya untuk memasak sayur kol dengan
mie, kol mi.
Kak pikir suruh masak sayur kol dengan mie, soe njang mintak call me?
Iya, masak sayur kol dengan mie juga.., ini ada yang minta call me juga..
jawabku sambil menunjukkan kepadanya sms yang masuk.
Halah hai kak ujarku menganggap Ellja yang lucunya itu kadang-kadang
memang sulit dimengerti.
Njan.., call me nya nanti saja dulu, kita masak dulu yang penting, masak
sayur kol dengan mie! jawab Ellja sambil kembali memberikan telpon selulernya
kepadaku. Lalu ia kembali ke dapur.
Hujan masih terdengar sangat deras dan sudah dari sore listrik padam. Akhirakhir ini sering pemadaman listrik di Aceh, biasanya kalau sedang musim hujan dan
biasanya juga kalau ada iring-iringan truk kendaraan militer yang membawa
pasukan tentara masuk ke Aceh dari perbatasan, lampu dipadamkan. Iring-iringan

truk kendaraan militer, yang membawa ratusan tentara masuk ke Aceh, untuk
menekan kehidupan kami.
Ellja masih harus memasak sayur kol dan mie.
Mak sibuk menutup pintu dan jendela, menghalangi agar air hujan tidak
membanjiri rumah.
Bani belajar mengenali bendera.
Ayah diam.
Tiba-tiba pintu digedor, Ayah langsung menyuruh Mak masuk ke dalam kamar
lalu ia membukakan pintu. Beberapa orang dengan logat Aceh mengucapkan salam
dan langsung bertanya kepada Ayah.
Kah jeut peubuet Rencong? tanya orang itu sambil menunjukkan selembar
karton berisi gambar teknis rencong Aceh.
Bani dengan atlas berisi gambar bendera-bendera melongok ke arah mereka
berdua. Laki-laki dengan pakaian merah dan hitam. Aku dan Mak mengintip dari
kamar dari sela-sela papan kayu. Ellja di dapur, senyap.
Ayah mengangguk. Sebenarnya ayah adalah seorang keturunan pandai besi
yang dapat membuat peralatan-peralatan dari bahan logam dan besi. Tetapi
semenjak masa darurat militer, tidak ada lagi yang meneruskan usaha keluarga
tersebut dan kemudian beralih menjadi petani.
Peubuet Rencong! Hana senjata laen ujarnya, kemudian langsung pergi
bersama beberapa orang lagi yang menunggu di luar, di bawah deras hujan.
Bani masih dengan pertanyaan, bendera kita yang mana?
Aku dan Mak di dalam kamar, berjaga-jaga agar air hujan tidak membanjiri
rumah.
Ellja di dapur, berkutat dengan sayur kol dan mie.
Ayah di ruang tamu, memegang gambar teknis Rencong Aceh.

Himpitan dan tekanan, hidup dalam kesulitan dan kekurangan, sudah biasa
kami rasakan. Mungkin hingga mati rasa dan yang tersisa hanya tawa karena untuk
apa menangis?
Yang benar adalah benar dan tidak ada rasa takut bagi kami untuk membela
apa yang menjadi kebenaran. Lillaahi taalaa.
Ayah kemudian berjalan pelan ke dalam kamar.
Ayla jangan sampai berhenti sekolah ujarnya kepadaku dan Mak lalu
menyelipkan

gambar

teknis

Rencong

Aceh

di

dalam

jaketnya

kemudian

mengeluarkan kereta dan pamit pergi kepada Mak.


Ia tidak bilang mau kemana, Mak juga tidak bertanya.

Jilbab Paris.
Hal yang pertama dilakukan Ellja setelah sudah pasti jelas ia tidak akan
melanjutkan kuliah setelah lulus SMA adalah pergi ke rumah kak Niah yang
merupakan reseller pakaian muslim, rumahnya di kota Lintang dekat pajak
Hongkong. Untuk tugas pertama, Ellja dimandatkan untuk menjual enam lusin jilbab
paris. Berwarna-warni.
Langkah yang sangat realistis untuk anak perempuan putus sekolah.
Kalau jualan jilbab, sudah pasti harus pakai jilbab ujar kak Niah memberi
tahu petunjuk cara penjualan jilbab walaupun hal tersebut sepertinya sudah
merupakan hal yang jelas, beberapa anak perempuan terlihat tersenyum, kami
yang ada disana semuanya mengenakan jilbab, aku ikut mendengarkan. Kemudian
datang beberapa orang perempuan seusia Ellja yang juga menjadi reseller pakaian

muslim yang dijual oleh kak Niah, semuanya anak-anak perempuan Aceh yang tidak
melanjutkan sekolah, sebagian besar yang aku tahu adalah anak perempuan atau
istri kombatan GAM yang sudah menyerahkan diri setelah kesepakatan damai MoU
Helsinki.
Beberapa anak perempuan di belakangku berbisik-bisik sambil menunjuk
buku yang aku bawa untuk dibaca sambil menunggu Ellja mendengarkan petunjuk
penjualan jilbab kak Niah.
Na aneuk pintar.. komentar mereka melihatku.
Aku merasa tersindir tetapi tidak dapat membalas komentar mereka, mereka
saudara-saudaraku.

Aku tahu betul kalau mampu, kalau bisa, mereka juga pasti

ingin menjadi anak-anak pintar, mereka juga ingin terus dapat melanjutkan sekolah,
mereka juga ingin menjadi seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan. Tetapi inilah
mereka, anak-anak perempuan dan istri mantan kombatan GAM yang mendapatkan
secuil bisnis marketing pakaian muslim untuk memperbaiki perekonomian keluarga
mereka, termasuk Ellja.
Ellja yang melihatku terdiam langsung menyikutku pelan.
Kalau jualan jilbab, bisa dapat uang. Kalau cuma pintar baca buku, siapa
yang kasih uang? komentar anak perempuan yang lain lagi.
Kalau pintar baca buku, dikasih uang sama Negara jawab anak perempuan
lain kemudian mereka tertawa.
Ellja tersenyum kecil melihat wajahku yang langsung ditekuk.
Kah kalau ada uang pasti juga mau banyak baca buku. hana peng, kiban
peublo buku? balas yang lain, kakak-kakak seusia Ellja yang akhirnya membelaku.
Kemudian kak Niah kembali menjelaskan mengenai cara pembelian dan
pembayaran jilbab-jilbab yang ditawarkannya. Aku sudah tidak lagi membaca buku
kemudian langsung mengajak Ellja pulang setelah semua hal selesai.
Siapa yang harus disalahkan?

Selama keadaan konflik, keluarga merekalah yang berjuang dibawah tanah


untuk mencapai kemerdekaan Aceh. Setelah keadaan dipaksakan untuk damai,
mereka tetap merasakan tekanan.
Lalu siapa yang harus disalahkan?
Ellja sudah menentukan jalannya untuk menjadi istri seorang pemberontak
yang sampai sekarang pun tidak mau menyerah hingga kemerdekaan Aceh benarbenar tercapai, ia sudah mengerti bagaimana resikonya. Mungkin aku yang
memang belum dapat menentukan jalan hidupku sendiri.
Anak-anak perempuan yang lain mungkin berusaha untuk menjelaskan
kepadaku, kalau benar-benar membela kemerdekaan Aceh, akan sangat sulit untuk
dapat terus melanjutkan sekolah, seperti mereka.

Mereka yang benar-benar

membela kemerdekaan Aceh pasti terus dihambat, dibelenggu, dibatasi dan ditekan
agar tidak menjadi pintar.
Lihat sendiri anak-anak Aceh yang sudah mendapatkan pendidikan umum
yang tinggi. Lihat sendiri bagaimana anak-anak Aceh yang sudah pintar, banyak
yang tidak mampu untuk dapat jelas dan tegas membela kemerdekaan Aceh.
Cita-citaku untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi untuk menjadi seorang
arkeolog seperti semakin jauh tidak terjangkau.
Samil sekarang di Grong Grong ujar Ellja tiba-tiba sambil membaca pesan
yang masuk ke telpon selulernya, kemudian ia langsung menghapusnya, untuk
keamanan bersama. Banyak saudara kami yang merupakan orang Grong Grong.
Kami sedang duduk-duduk disamping rumah, beranda kayu di atas kandang
ayam sambil menempatkan air kelapa dan bubur kacang hijau ke dalam plastikplastik kecil yang akan dijual sebagai es lilin. Ellja sedang membuat adonan pastel,
untuk dikonsumsi sendiri dan juga untuk dijual.
Di bawah terang cahaya matahari sore yang menyela diantara helai daun
kelapa sekilas terlihat wajah Ellja yang khawatir kemudian aku mendengarnya
melafadzkan doa untuk keselamatan Samil. Ellja adalah sosok perempuan Aceh
yang tegar, dari kecil aku tidak pernah melihatnya menangis dan kalau ia sudah

menentukan sesuatu, tidak akan pernah bisa diubah lagi. Ia memiliki kemauan yang
keras dan sulit untuk dapat merubah pendiriannya ketika ia sudah mengetahui
kebenaran atas hal apa yang dibelanya.
Nibak adai dum ka meuhat, saket mangat ka meuhingga gumamnya pelan
sambil membaca pesan dari Samil yang kembali masuk ke telpon selulernya, Ellja
langsung menghapusnya kemudian kembali mengaduk adonan pastelnya.
Tetap tidak ada tangis, juga tidak ada senyum.
Ellja kembali berdoa.

Kopi dan Rembulan di atas Krueng


Raya.
Alunan musik instrumental Aceh terdengar sangat kencang, terkadang
menghentak di telinga untuk mengalahkan suara dari kerumunan puluhan orang
yang memadati warung kopi tersebut. Aku lihat Samil memandangku lurus tanpa

kedip. Aku balas tatapannya dengan berani lalu ia tersenyum sambil menghapus
sisa krim dari kopi sanger yang menempel di sudut bibirku.
Selama dua minggu ini abang akan ke Takengon, meliput beberapa event
kesenian, sama kawan juga. Dek Ja berapa lama di Banda? tanya Samil sambil
menuang kopi pekat ke atas piring kaca kecil untuk didinginkan, uap berbau kopi
langsung mengepul, aroma pahit yang membukakan mata.
Mungkin juga dua minggu, ada pameran kaligrafi di Banda, aku membawa
beberapa dari karyaku untuk mengikuti pameran. Tapi karena aku tidak berasal dari
institusi pendidikan tertentu atau akademisi atau komunitas kesenian yang diakui
pemerintah.., mereka menanyakan mengenai keabsahan karya. Seniman biasanya
harus bekerja sama dengan kurator, yang akan mempromosikan karya. Tapi aku,
ya.., abang tahu sendiri bagaimana.. ujarku sambil melemparkan pandang pada
kerlingan cahaya bulan di atas riak krueng raya. Tidak ada bentuknya, arus riak di
atas permukaan krueng raya juga sangat kencang sepertinya.
Nanti bawa saja langsung karyanya ke panitia pameran, abang yang temani.
Kapan mau ke galerinya? tanya Samil, Kalau sebelum abang ke Takengon, bisa
abang antar ujar Samil lagi sambil meniup kopi panasnya.
Samil sangat baik dan perhatian. Aku takut kalau aku terlalu menyayanginya
hingga tidak dapat ikhlas dalam hal apa yang sedang dibelanya. Aku tidak tahu apa
yang sedang dikerjakannya sekarang, kemungkinan besar tidak hanya untuk
meliput event kesenian di Takengon. Gejolak konflik politik dan militer di Aceh juga
sangat dirasakan di Takengon yang menjadi daerah yang diperebutkan antara
pemerintah Indonesia dan pemerintah Aceh.
Takengon daerah yang sangat indah, Kashmeer of Aceh.
Takengon berbeda dengan Aceh, tetapi sama dalam hal kondisi sosial
masyarakat yang mayoritas merupakan masyarakat Islam. Dalam hal penerapan
Hukum Syariah Islam, Takengon mungkin akan bersama-sama dengan pemerintah
Aceh. Hanya saja akan dibedakan dalam penerapan Qanun dan hukum Adat yang
diterapkan dalam aturan sosial masyarakat.
Jangan khawatir.. ujar Samil sambil menggenggam tanganku hangat.

Beberapa orang memperhatikan kami, Samil sepertinya kenal dengan


beberapa orang diantara mereka. friksi antara golongan masyarakat dapat jelas
sekali terlihat di antara golongan-golongan masyarakat yang ada di Aceh, terutama
antara yang pro NKRI dan pro Kemerdekaan Aceh.
Dek Ja dapat membayangkan sebuah Negara kecil yang Merdeka yang
mampu menegakkan Syariat Islam, yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri,
yang berilmu pengetahuan, yang baik lingkungannya dan terpelihara adat
masyarakatnya? tanya Samil, aku lihat kilatan di matanya.
Keberanian untuk membela Kebenaran, mengalir di dalam darah orang-orang
Aceh.
Hal

itu

yang

sedang

aku

bela!

ujar

Samil

sambil

mempererat

genggamannya.
Pembicaraan mengenai Kemerdekaan Aceh seperti ini tidak pernah atau
jarang sekali ada yang berani untuk membicarakannya di muka umum. Selalu
penuh dengan tekanan Pemerintahan Militer dari Jawa.
Dek Ja tahu, disana.., yang ada adalah penjajahan! ujar Samil sambil
menunjuk televisi layar lebar yang ada di warung kopi tersebut. Diri-diri yang
dipaksakan

untuk

mengenakan

pakaian

orang

lain,

berbahasa

orang

lain,

bertingkah laku seperti orang lain! lanjutnya lagi.


Aku adalah orang Aceh! ujarnya lagi sambil merenggut kerah kemejanya
sendiri. Aku rasakan genggamannya yang seperti hendak meremukkan tanganku,
tapi aku biarkan, aku ingin remuk di dalam genggaman tangannya.
Beberapa orang memperhatikan kami, terutama karena Samil berbicara
seperti itu dalam bahasa Indonesia. Orang Aceh yang membicarakan mengenai
Kemerdekaan Aceh, tidak umum berbicara dalam Bahasa Indonesia. Tapi aku tahu,
hal tersebut dilakukannya untuk sejelas-jelasnya menerangkan bahwa ia terangterangan membela Kemerdekaan Aceh.
Dek Ja dapat membayangkan sebuah Negara kecil yang Merdeka yang
mampu menegakkan Syariat Islam, yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri,

yang berilmu pengetahuan, yang baik lingkungannya dan terpelihara adat


masyarakatnya? ujarnya lagi mengulang pertanyaan yang sama.
Belum dapat aku jawab tapi aku dapat membayangkannya. Sebuah Negara
kecil yang Merdeka, yang mampu menegakkan Syariah Islam, mampu berdiri di atas
kakinya sendiri, memiliki Ilmu Pengetahuan, baik lingkungannya dan terpelihara
adat masyarakatnya.
Puluhan tahun semenjak Teuku Nyak Arif menyetujui untuk bersama-sama
membangun Negara Demokratis yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum
Islam yang akan dibelanya hingga saat titik penghabisan darahnya, semenjak itu
tekanan malah terus dirasakan oleh rakyat Aceh ujar Samil, aku mendengarkan.
Teuku Nyak Arif berjanji untuk membela Indonesia hingga saat titik
penghabisan darahnya, tapi apa yang rakyat Aceh terima?!!
Ini saatnya!
Seorang

laki-laki

muda

yang

bekerja

di

warung

tersebut

kemudian

mendatangi kami untuk memberikan bon pesanan kami, tetapi ia lupa membawa
bolpen. Ia meminjam bolpen kepada Samil yang kemudian mencari bolpen di dalam
tasnya.
Mungkin karena aku perempuan dan aku memperhatikan detail, sebuah
bolpen dengan tinta merah diberikan kepada laki-laki muda tersebut.
Ia kemudian menuliskan sesuatu pada bon pesanan kami kemudian tinta
merah itu habis.
Aku terdiam.
Ini saatnya.

Sebuah Janji.
Empat hari sudah aku di Banda Aceh, empat keliman pita yang aku selip di
catatan harian, hari kelima, lima keliman. Hari ke enam enam keliman, hingga
berapa harinya, akan membentuk kelopak bunga. Pita dari Mamak. Salah satu dari
sumber inspirasi karya lukisku.
Karya yang kedua adalah sebuah kaligrafi dengan dasar kaligrafi Iraqi, aku
contoh dari interior kubah sebuah mesjid, kemudian aku kembangkan dengan dasar
hiasan celtic, sulur-sulur, Irlandia. Mempelajari kaligrafi seperti berusaha untuk
saling

berkenalan

dengan

berbagai

kebudayaan

lain.

Dari

garisnya,

dari

lengkungnya, dari bentuk bunganya, dari bentuk sulur-sulurnya, mencerminkan ciri


khas dari setiap bangsa. Samil bilang keduanya bagus, tapi dia paling suka yang
kaligrafi, dasarnya jelas.
Aku tanya kenapa yang pertama dasarnya tidak jelas, dasarnya adalah cinta.
Samil bilang, penilaian bagi sebuah karya seni kadang tidak hanya dilihat dari sisi
artistik

sang

seniman

tetapi

bagaimana dapat

mengkomunikasikan

kepada

khalayak, ide-ide, hal baru, pengetahuan dan lain sebagainya. Karya lukisku, Pita
dari Mamak, yang berbentuk bunga, dia bilang bagus, tetapi lebih dilihat dari sisi
artistik dan emosional sang seniman. Sedangkan karyaku yang kedua, sudah
terlihat bahwa aku ingin berkarya bukan untuk memuaskan ego artistik dari diriku
pribadi, tetapi lebih ke penyampaian kepada khalayak dan bagaimana aku berusaha
agar karyaku dapat dimengerti dan diterima oleh khalayak.
Aku setuju dengan Samil.
Ia menemaniku menemui panitia penyelenggara lomba kaligrafi dan lukis di
Banda Aceh. Tidak banyak lomba kaligrafi yang dilaksanakan di Banda Aceh
dibandingkan dengan acara hingar bingar seni musik dan tari yang akhir-akhir ini

sangat meriah dan digalakkan di Aceh. Panitia penyelenggara merupakan sebuah


yayasan Islam yang sepertinya di danai oleh lembaga non-profit asing, mungkin
juga dari Negara Timur Tengah. Pengaruh politik Timur Tengah juga sangat terasa di
Aceh terutama dalam hal agama dan ekonomi, urusan minyak dan tambang.
Tetapi juga banyak lembaga non-profit dari negara-negara asing yang lain.
Portugis, Perancis, Inggris, Australia, Jepang, China, Korea, India dan tentu saja
Amerika. Semuanya berusaha untuk menarik simpati masyarakat Aceh. Entah
mungkin mereka tulus, tapi aku juga tidak yakin.
Kalau bercerita masalah ini dengan Ayla, dia pasti langsung berkomentar
panjang. Adikku itu pintar tetapi entah bagaimana agar kepintarannya dapat
berguna selain terus berkomentar panjang mengenai ketidakadilan yang kami,
anak-anak Aceh, rasa.
Kalau Aceh benar-benar menerapkan Syariah Islam, dek Ja harus pakai
abaya setiap keluar rumah ujar Samil memecahkan lamunanku.
Tidak jadi masalah, asal perempuan tetap dapat ikut serta di dalam
masyarakat dan tidak dibatasi dalam hal berkarya dan mendapatkan pekerjaan
jawabku.
Dek Ja tahu, sudah menjadi kodratnya laki-laki ingin menguasai, ingin
memiliki, ingin melindungi dan ingin menjadi pemimpin. Perempuan memang tidak
ditakdirkan untuk seperti itu.., kalian ditempatkan di tempat yang paling baik dan
indah, rumah ujar Samil, aku diam mulai mempelajari apa yang dimaksud olehnya.
Dunia akan selalu dipenuhi oleh persaingan antara orang-orang yang ingin
menguasai, ingin memiliki dan ingin menjadi pemimpin, budaya patriarkal, itu yang
selalu disuarakan oleh kaum feminis yang didukung oleh patriark-patriark barat, apa
itu yang benar-benar ingin kalian lawan? Patriark-patriark bengis yang tidak segan
untuk melakukan apapun agar dapat berkuasa?
Atau sebenarnya kalian hanya dijadikan alat oleh patriark-patriark pengecut
yang

hanya

menggunakan

perempuan

sebagai

alat

untuk

menguasai?

Dipekerjakan, dianggap memberikan peran serta di dalam masyarakat, tetapi


sebenarnya justru hak-hak kalian sebagai perempuan sedang diambil

Hak untuk dapat merasakan ketenangan di rumah, hak untuk dilindungi, hak
untuk disayangi, hak untuk dapat mendidik anak-anak, hak untuk dekat bersama
keluarga, hak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang indah, karena untuk
itulah perempuan diciptakan, untuk menjadi keindahan, mengerjakan hal-hal yang
indah, seperti lukisanmu, seperti kaligrafimu.. terang Samil.
Seperti keindahan yang diberikan ibuku di setiap bunga yang dirawatnya,
makanan yang dimasaknya untukku, pakaian yang dirapihkannya untukku dan doa
yang melindungi rumahku
Maukah kau membawakan keindahan itu ke rumahku nanti? tanyanya
sambil kembali menggenggam erat tanganku.
Aku menunduk, aku belum ingin membiarkan Samil melihatku menangis.
Tetapi kemudian perlahan aku rasakan tangannya menyentuh daguku dan
mengangkat wajahku pelan, ia hapus air mataku.
Kaligrafimu indah.., tidak ada yang akan menghalang-halangi semua
perempuan untuk dapat berkarya, untuk dapat bekerja, untuk dapat berperan serta
di dalam masyarakat, untuk menggapai semua hal baik yang diperuntukkan bagi
perempuan ujar Samil sambil dengan lembut menatapku lurus.
Tetapi tidak untuk melupakan dimana surga kalian sebenarnya ujar Samil
lagi.
Aku kembali mengangguk, mengerti.
Ingin sekali membantahnya dengan kalimat-kalimat ironi yang biasanya aku
gunakan jika sedang berdebat dengan Ayla. Tetapi itulah hal yang sebenarnya dan
tidak semua perempuan cukup beruntung untuk mendapatkan surganya, dimana ia
dapat merasa dilindungi, dijaga, disayangi, dimengerti dan dipenuhi kebutuhan
lahiriah dan batinnya.
Aku dulu tidak mengerti, aku juga setuju dengan emansipasi dan keadilan
untuk perempuan. Aku juga tidak ingin melihat kaum perempuan menjadi kaum
yang bodoh dan lemah, untuk itu perempuan harus mendapatkan hak yang sama
dalam pendidikan, harus dapat sama dengan laki-laki dalam hal pekerjaan dan

peran serta di dalam masyarakat, tidak dipekerjakan semena-mena sebagai budak,


dipenuhi hak-haknya ujar Samil.
Tetapi ternyata tidak seperti itu, Perempuan seharusnya di tempatkan di
tempat yang terindah, dilindungi dan dijaga lanjutnya.
Maukah kau membawakan keindahan itu ke rumahku nanti? ujar Samil
mengulang pertanyaannya yang belum bisa aku jawab.
Maukah kau membawakan kemerdekaan itu untukku? tanyaku membalas
pertanyaannya.
Samil diam tetap dengan pandangannya yang jujur, dengan yakin ia
mengangguk.
Sebuah janji.
Samil yang akan membawakan kemerdekaan dan semua hak-hak itu untukku
kelak.

Langit Banda Aceh.


Samil menunda kepergiannya ke Takengon, dia bilang nanti dia akan
menyusul saja temannya yang sudah berangkat duluan. Dari pagi dia sudah muncul
di beranda rumah abuwa Usman, menungguku. Abuwa Usman adalah adik Uwak
Zulfikar, anak tertua dari kakak tertua keluarga ibuku, selama di Banda Aceh aku
menginap di rumahnya.
Kenapa tidak jadi berangkat hari ini ke Takengon? tanyaku kepada Samil
yang pagi-pagi sudah datang untuk menemuiku.
Abang ingin mengajak dek Ja ke suatu tempat ujar Samil di depan abuwa
Usman, tadi aku lihat mereka sempat mengobrol selama aku bersiap-siap.
Oh.., jauh tidak? tanyaku lagi.
Enggak, masih di Banda Aceh, kenapa rupanya? tanya Samil balik.

Enggak apa-apa, kalau dekat-dekat disini, gak usah bawa tas jawabku yang
memang agak malas direpotkan dengan membawa berbagai perlengkapan,
mungkin aku hanya akan membawa buku sketsa, kalau mungkin ada yang
menginspirasi nanti di perjalanan.
Samil memboncengku dengan keretanya. Aku tidak terlalu hapal jalan-jalan di
Banda Aceh karena memang hanya sekali-kali aku mendatangi kota ini. Setiap sudut
kotanya ramai dan jelas-jelas menunjukkan Syariah Islam. Apalagi di daerah
Darussalam yang merupakan pusat kegiatan pendidikan. Syariah yang beradab dan
bermartabat. Erat ku jinjing tas buku sketsa, entah apa aku cukup siap untuk semua
keseragaman dan kehidupan yang sangat Islami seperti di Banda Aceh.
Satu yang selalu aku ingat dari Banda Aceh setiap aku datang, langitnya
sangat biru.
Samil membawaku ke salah satu sudut kota Banda Aceh, kampung kecil di
pinggiran kota. Ada tempat kumpul workshop seni ukir etnis, pelukis dan juga seni
kontemporer kota Banda Aceh disana. Begitu sampai, hangat Samil langsung
menghampiri beberapa orang yang ada disana. Mereka langsung bertegur sapa dan
bertanya kabar. Aku diam memperhatikan.
Eh siapa ini, kenalkanlah? ujar salah seorang di antara mereka.
Na aneuk dara, darimana dek? tanya yang lain lagi.
Perlahan Samil menarikku dan memperkenalkanku dengan orang-orang
disana, satu persatu aku salami mereka. Ada yang tua, ada yang masih muda, aku
lihat beberapa anak perempuan. Tempat itu nyaman, rumah Aceh dengan workshop
ukir-ukiran Aceh di bawahnya, di sebelahnya ada galeri lukis dan mesjid kecil.
Kualasimpang.. jawabku pelan.
Hey.., pue cerita? Kenapa baru dikenalkan sekarang? komentar yang lain.
Aku melirik Samil yang tetap terlihat tenang setelah memperkenalkanku
kepada orang-orang disana. Aku lihat dia tersenyum, sedikit.

Ellja ini juga pelukis, kontemporer dan kaligrafi, tetapi otodidak jawab
Samil, Sekarang sedang mengikuti pameran kaligrafi di Banda terangnya lagi.
Duduk.., duduk.., silahkan.. ujar Tengku Ihram, orang yang wajahnya
langsung aku kenali, mungkin beberapa kali aku melihatnya di koran lokal. Aku
langsung mengenalnya dan merasa sangat diterima.
Seorang ibu membawakan kopi dan kue-kue cemilan. Beberapa orang disana
langsung terlihat berbincang-bincang dalam bahasa Aceh, waktu aku diajak
berbicara aku hanya bisa berkata Lon hana meumphom basa Aceh jawabku pelan
dengan kikuk kemudian mereka semua tertawa terlihat cukup mengerti tetapi tetap
melanjutkan pembicaraan dalam bahasa Aceh, Samil terlihat berbicara dengan
semangat bersama mereka sambil sesekali melirik kepadaku yang duduk di
sebelahnya.
Seorang anak perempuan menghampiriku, seusia Bani, mungkin sedikit lebih
besar, yang dengan manis menanyakan aku berasal darimana. Aku bilang dari
Kualasimpang.
Kak mau lihat bunga? tanyanya sambil menarik tanganku dan mengajakku
mengikutinya menjauhi kumpulan orang-orang laki yang sedang berbincangbincang. Aku menoleh kepada Samil menanyakan apakah aku boleh pergi bersama
gadis kecil itu, Samil mengangguk pelan kemudian kembali berbincang bersama
orang-orang disana.
Aku mengikuti gadis kecil itu yang membawaku ke taman bunga di sebelah
workshop ukiran Aceh yang terletak di bawah rumahnya. Ditumbuhi beberapa
bunga pacar air, melati, kenanga, krisan dan beberapa bunga hias lain dan pohon
bunga tanjung. Dipetiknya satu bunga cempaka yang cabangnya tumbuh rendah di
bawah, bunga Jeumpa, lalu diberikan kepadaku. Wangi.
Kak tadi kemari naik apa? tanyanya lugu menggunakan bahasa Indonesia
terbata-bata dengan logat Aceh sambil mengumpulkan guguran bunga tanjung
yang jatuh di bawah pohonnya dan memenuhi tanah, seperti lapisan permadani.
Naik kereta jawabku sambil ikut mengumpulkan bunga-bunga tanjung,
yang juga wangi, tetapi berbeda dengan harum bunga jeumpa.

Tasya naik kereta kalau ke rumah nek di Banda, sama abuchik ujarnya lagi.
Kak siapa nama? tanyanya lagi.
Kak Ellja jawabku.
Kak Ellja ujarnya mengulang menyebutkan namaku, Ini bunga apa kak?
tanyanya sambil menunjukkan bunga melati kepadaku.
Bunga Melati jawabku.
Kalau ini? tanyanya lagi sambil menunjuk bunga krisan.
Bunga Krisan jawabku, kemudian dia diam.
Tasya umur berapa? tanyaku.
Lima tahun jawabnya cepat, Kalau ini? ujarnya lagi sambil menunjuk
bunga lain.
Bunga Kertas jawabku.
Aku kembali melihat kepada Samil, pembicaraan mereka sepertinya cukup
seru. Kalau aku ikut bergabung disana mungkin aku bisa mendapatkan informasi
bagaimana berkarya di bidang seni lukis. Tapi agak tidak enak juga kalau aku
bergabung dengan bapak-bapak dan orang laki-laki disana. Nanti pasti Samil yang
akan menceritakan kepadaku mengenai hal itu kalau memang ada kesempatannya.
Ia yang terus menyemangatiku agar jangan berhenti melukis.
Kak.., Tasya haus.. ujar anak perempuan itu sambil mengajakku ke dapur
rumahnya, aku lihat beberapa wanita di dapur, sebagian sedang memasak,
sebagian sedang menjaga anak. Ia kemudian berlari kepada ibunya, wanita yang
mengantarkan kopi dan cemilan ke depan. Ibunya kemudian mengambilkan air
minum sambil tersenyum melihatku yang membawa berbagai macam bunga yang
dipetikkan oleh Tasya.
Ibunya kemudian keluar menghampiriku.
Teman Samil? tanyanya, aku mengangguk pelan.

Kami cukup dekat dengan keluarga Samil di Sigli, tapi Ayah Tasya sudah
jarang pulang ke Sigli ujarnya. Ia masih muda, mungkin masih seumuran dengan
chik Yam.
Kadang dia datang kemari, kalau ada acara biasanya dia diberi tahu. Anakanak muda disini juga dekat dengan Samil ujarnya lagi dalam bahasa Indonesia
yang baik.
Adek darimana? tanyanya kepadaku. Mungkin pertanyaan Darimana? dan
Apakabar? itu adalah pertanyaan yang jawabannya harus terus kita ulang-ulang.
Terutama setiap kali bertemu dengan teman yang sudah lama tidak bertemu atau
orang baru.
Dari Kualasimpang jawabku.
Chik.., istrinya tengku Ihram? tanyaku menebak-nebak, dengan cepat ia
mengangguk sambil tersenyum kemudian memperhatikan Tasya yang mengejarngejar anak ayam.
Tahun depan mungkin masuk sekolah ujarnya karena melihatku yang juga
memperhatikan Tasya, aku ber hmm , aku pikir juga begitu, Tasya sepertinya
adalah anak perempuan yang pintar.
Susah menjaga anak perempuan.. ujarnya lagi. Memang di rumah tidak
sibuk, paling memasak, membereskan rumah, bekerja di ladang, menjaga anak, tapi
tidak bisa lengah.. lanjutnya yang kemudian mengayun ayunan kain di pinggir
dapur. Seorang bayi tertidur di dalamnya.
Adek kerja apa? tanya istri tengku Ihram yang belakangan aku ketahui
bernama chik Hasnah.
Baru lulus SMA jawabku, Sedang belajar membuat kaligrafi.., makanya
diajak Samil kemari, mungkin bisa belajar kaligrafi tambahku lagi.
Tengku membuat ukiran atau hiasan rumah. Yang melukis itu anaknya yang
paling tua, seumuran Samil ujar chik Hasnah. Tapi sekarang sedang tidak disini,
sedang di Kuala Lumpur lanjutnya lagi. Aku mengangguk pelan.

Tidak perlu diceritakan secara langsung, Tengku Ihram dan keluarganya


merupakan anggota Gerakan Aceh Merdeka. Mungkin bukan yang berjuang
langsung dengan mengangkat senjata. Ilmu Kaligrafi dan ukir-ukiran Aceh adalah
ilmu pengetahuan yang diteruskan turun temurun di dalam keluarga-keluarga Aceh
tertentu dan mereka sangat menjaga keturunan dan ilmu pengetahuan tersebut.
Seperti keluarga Tengku Ihram dan Chik Hasnah.
Sekat sosial seperti ini yang harus sangat dijaga oleh masyarakat Aceh,
bukan untuk mengutamakan garis keturunan tertentu tetapi terlebih untuk menjaga
ilmu pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun. Hal yang kadang sulit
dimengerti oleh orang awam seperti aku dan menganggap hal tersebut seperti
diskriminasi yang terkadang membuat orang-orang seperti aku yang bukan
merupakan keturunan Aceh asli merasa seperti dibedakan.
Samil menghampiri aku dan chik Hasnah yang sedang hangat membicarakan
tentang masalah pendidikan di Aceh. Anak-anak mereka semua sekolah di dayah,
tidak ada yang bersekolah di sekolah umum dan tidak ada yang mendapatkan
pendidikan tinggi. Aku jadi merasa tidak begitu berkecil hati karena aku juga tidak
dapat melanjutkan pendidikan tinggi, chik Hasnah juga terus menyemangatiku
untuk mempelajari kaligrafi.
Jangan berhenti belajar.., manusia yang berhenti belajar adalah manusia
yang merugi. Belajar bisa darimana saja, InsyaAllah, dengan niat lillaahi taala, ilmu
yang baik yang akan kita terima ujar chik Hasnah menyemangatiku, Tengku Ihram
juga terlihat tersenyum. Kemudian aku menyalami mereka berdua.
Orang yang berilmu pengetahuan ditinggikan derajatnya di hadapan Allah
SWT.
Samil kemudian mengajakku pulang, ia langsung bercerita bahwa mungkin
kapan-kapan aku bisa tinggal disana dan belajar kaligrafi pada chik Hasnah dan
Tengku Ihram, mungkin nanti.
Kemerdekaan Aceh sebagai sebuah Negara Islam yang Merdeka mungkin
masih merupakan perjalanan panjang yang terbentang di hadapan dan hal tersebut
membutuhkan kesiapan dari setiap anak negeri yang mendukung Kemerdekaan

Aceh. Tentu saja aku tidak dapat seenaknya meneriakkan Kemerdekaan Aceh tanpa
memiliki bekal apapun untuk dapat membangun Aceh kelak.
Kami harus bersiap-siap.
Kita semua harus bersiap-siap.

Gunongan.
Sehabis pulang dari rumah Tengku Ihram, Samil mengajakku makan di
sebuah kantin dekat kampus. Banyak mahasiswa-mahasiswa lain yang juga sedang
menghabiskan

waktu

makan

siang.

Semua

mahasiswa

perempuan

disana

mengenakan hijab dan jilbab. Semuanya terlihat sangat tawadhu dengan hidupnya.
Aku berkaca pada dinding kaca kampus dan aku perhatikan jilbab paris kak Niah
yang aku kenakan begitu saja, sama seperti ketika aku SMP, seperti ketika pertama
kali aku mengenakan jilbab, tidak ada perubahan selama bertahun-tahun ini.
Berbeda dengan mereka.
Kenapa? tanya Samil yang melihatku diam sambil memberikan menu
makanan kepadaku.
Minder jawabku cepat. Apa kalau berbeda harus merasa tidak diterima?
Apa kalau berbeda, harus merasa salah? tanyaku kepada Samil.
Tiap orang mengejar paradigmanya masing-masing mengenai kebenaran
dan kesempurnaan. Bagi yang mengambil pedoman pada Al-Quran dan Hadits,
pedomannya sudah jelas. Aturan menutup aurat bagi perempuan Muslim sudah
sangat jelas diterangkan di dalam Al-Quran, menutup seluruh tubuh kecuali wajah
dan telapak tangan terang Samil.
Kalau belum mampu untuk seperti itu? tanyaku lagi.

Allah mungkin memiliki rencana yang berbeda, yang jelas kita harus dapat
mengerti mengenai mana yang paling sesuai dengan aturan di dalam Islam.
Wallaahuallaam jawab Samil sambil mulai memilih menu makan siangnya.
Penjelasan Samil sangat aku mengerti dan sepertinya dia tidak berusaha
membebaniku dengan kewajiban mengenakan hijab. Tetapi ada beban lain di hati,
seperti keinginan untuk diakui, keinginan untuk mendapatkan tempat pengakuan
yang sama seperti wanita-wanita di dunia maju, keinginan untuk menunjukkan
bahwa wanita di dunia Islam adalah wanita yang merdeka dengan hak-hak yang
dipenuhi, bahwa wanita di dunia Islam, bukanlah perempuan yang bodoh dan
lemah.
Ia angkat wajahnya kemudian kembali melihat kepadaku.
Kenapa belum pilih menunya? tanyanya, Ada apa? tanyanya yang melihat
kegusaran di wajahku. Dengan cepat aku pilih salah satu menu makanan yang
disediakan di kantin tersebut karena pelayan sudah datang menanyakan pesanan
kami. Aku pilih eungkot keumamah, masakan Aceh yang semangatnya tidak akan
pernah lekang, makanan perang.
Menurutku pribadi, kalau aku pakai hijab dan gamis, tidak terlihat bagus
jawabku. Ada apa antara Islam dan Fashion, kenapa sepertinya Islam tidak dapat
beriringan dengan perkembangan zaman, dengan dinamika manusia, dengan
peradaban manusia yang
Yang semakin tidak jelas? potong Samil.
Style, Mode, Fashion, Trend, aku seniman, sepertinya cara pikirku tidak
terbiasa dengan paradigma sempit yang membatasi kreatifitas. Bekerja di dalam
seni membutuhkan kreatifitas tinggi dan ide-ide segar yang selalu beriringan
dengan perkembangan zaman dan dapat diterima oleh peradaban manusia.
Kreatifitas tidak mau tahu dengan pedoman hidup atau idealisme yang membatasi
kreatifitas, aku bilang idealisme adalah kebuntuan ide ujarku memberikan
penjelasan mengenai kegusaran yang aku rasakan membayangkan kerepotan yang
harus aku alami kalau harus berpayah-payah dengan pakaian muslimah seperti
abaya.

Idealisme mematikan kreatifitas dan aku berbicara seperti ini sebagai


seorang seniman tambahku lagi.
Agama bukan Idealisme, Ellja lon sayang.. jawab Samil sambil mengusap
kepalaku sayang, Agama justru yang menjadi pedoman perkembangan zaman,
agar kreatifitas, ide-ide, hal-hal baru yang tumbuh dan berkembang di dalam
peradaban manusia tidak menjadi sesuatu yang merusak manusia itu sendiri,
pedomannya pada Agama terangnya.
Kita

ambil

contoh

kasus,

berapa

banyak

lukisan

nudist

yang

menggambarkan seksualitas perempuan? Berapa banyak perkembangan seni yang


lebih diarahkan pada eksploitasi tubuh perempuan dibandingkan seni yang
mengambil sudut pandang dari sisi lain, seperti ilmu pengetahuan misalnya, seperti
mozaik-mozaik dalam kaligrafi misalnya? Dan berapa banyak hal yang rusak akibat
eksploitasi berlebihan dari tubuh perempuan? Berapa banyak generasi yang
akhirnya rusak pikirannya disebabkan hal ini? jawab Samil yang kembali
melemparkan pertanyaan kepadaku.
Aku

bilang

hal

itu

bisa

terjadi

karena pendidikan

kita

yang

tidak

mengajarkan untuk melihat seksualitas secara dewasa. Lukisan nudist biasa dijual
di

pasar-pasar

lukisan

di

Iran

atau

Turkey,

tetapi

mereka

mengerti

menempatkannya pada tempat yang sesuai, sesuatu yang sakral. Seks adalah
mengenai penciptaan manusia dan tidak ada yang tabu mengenai hal tersebut
Tidak seperti kita yang justru menjadikan perempuan dan seksualitasnya
seperti main-mainan. Pendidikan di Indonesia menjadikan seks seperti barang
mainan murahan
Samil tersenyum, ironis. Ia mengerti apa yang aku maksud.
Anggaplah Iran atau Turkey adalah bangsa yang peradabannya sudah
berkembang ribuan tahun sebelum kita dan tentu saja mereka lebih mengerti
mengenai seni dan tentu saja mereka lebih dewasa dalam menyikapi seksualitas
perempuan

dan

anggaplah,

bangsa

kita

memang

bangsa

yang

terlambat

perkembangan peradabannya dan sulit untuk mengerti hal-hal yang seperti itu dan
tidak dapat dewasa cara berpikirnya dan oleh karena itu, disesuaikan dengan

agama, seks adalah tabu dan wanita muslimah harus menutupi auratnya jawab
Samil.
Sex is not taboo but sacred ujarku.
Samil

diam

kemudian

menarik

nafas

panjang

dan

mengalihkan

pandangannya ke arah lain, bukan ke arah muslimah-muslimah berhijab di sekitar


kami, tetapi ke arah musholla kantin.
Aku ingin sekali mengambil gorden musholla itu, membungkusmu dan
membawamu pulang ke rumah ujarnya yang tidak dapat aku mengerti.
Kenapa tidak memilih salah seorang dari mereka yang sudah jelas-jelas lebih
Islami daripada aku? tanyaku yang mulai merasakan tekanan. Entah mungkin
cemburu. Cemburu pada kesalihan mereka dan mungkin marah, marah karena
sepertinya Allah lebih menyayangi mereka dibandingkan aku atau ribuan wanita
lain yang mungkin belum mendapat jalan untuk mengenakan hijab secara
sempurna. Puluhan wanita muslimah yang pastinya lebih pintar daripada aku, lebih
mengerti agama daripada aku, lebih lembut, lebih baik hati, entahlah.., aku merasa
seperti, rendah.
Samil tersenyum sambil kembali memandang kepadaku.
Yang aku cinta dek Ja, bukan wanita-wanita itu! tegas Samil.
Ia tetap memandangku lurus kemudian mulai diam menghabiskan makan
siangnya. Samil baik dan aku sangat mengerti kalau nadanya sudah tegas seperti
itu, berarti ia sudah tegas menentukan pendapatnya dan tidak ada lagi bantahan.
Sehabis makan siang jadi ke Gunongan? tanya Samil setelah aku diam
berapa lama mengaduk-aduk gulai eungkot keumamah yang aku pesan. Aku
mengangguk pelan. Pesanan Ayla, ia ingin dibawakan sketsa Gunongan.
Setelah musibah Tsunami hampir semua bangunan bersejarah di Banda Aceh
hilang, menyisakan beberapa bangunan seperti mesjid Baiturrahman yang tetap
kokoh berdiri seperti mukjizat yang ditunjukkan oleh Allah SWT. Juga beberapa
bangunan lain seperti Gunongan. Yang aku tahu, Gunongan adalah tempat

pemandian permaisuri raja yang khusus dibangun untuk Putroe Phang, Sang
permaisuri Raja yang mungkin sangat sulit untuk disuruh mandi.
Ayla yang tertarik dengan arkeologi dan tempat-tempat bersejarah. Ia bilang,
bawakan sketsa Gunongan untuknya karena ia tahu, kemahiranku menggambar
mungkin belum mampu untuk menggambarkan sketsa mesjid Baiturrahman dan
rencananya aku hanya dua minggu di Banda Aceh, mungkin tidak akan selesai
untuk menggambarkan sketsa mesjid Baiturrahman.
Selesai makan siang, Samil mengantarkanku ke Gunongan. Di bawah panas
terik aku mulai menggambar sketsa Gunongan.
Biar Permaisuri Raja tidak pernah lupa mandi ujar Samil bercanda sambil
membawakan minuman dingin untukku. Aku tertawa menanggapi bercandaannya.
Sayang sekali banyak tempat-tempat bersejarah yang hilang setelah musibah
Tsunami, aku rasa kalau Ayla dapat melanjutkan kuliah pada bidang Arkeologi, ia
akan mampu untuk kembali menggali sejarah Aceh dan membangun hal-hal baru
yang tidak bertentangan dengan sejarah lama bangsa Aceh. Memajukan peradaban
bangsa Aceh sesuai dengan latar belakang sejarah bangsa Aceh.
Samil duduk di sebelahku, menungguku menggambar.
Menurutmu, apa yang kurang mengenai Islam di Aceh? tanya Samil
membuka pembicaraan lain. Hal ini yang aku sukai dari dia, obrolan kami selalu
memiliki makna dan membahas hal-hal yang dapat memberi manfaat. Tidak seperti
laki-laki lain yang obrolannya berisi rayuan kosong, Samil mengajakku untuk samasama belajar. Sama-sama berjalan menuju kebenaran. Aku rasa hal itulah yang
sebenarnya dicari dari seorang pasangan hidup.
Aku berhenti menggambar lalu menoleh kepadanya dengan senyum yang
menunjukkan bahwa aku tahu jelas mengenai apa yang kurang dari Islam di Aceh.
Melihat aku yang menahan jawaban, ia seperti penasaran.
Apa coba? tanyaku balik membiarkan dia penasaran.
Ellja.., aku yang bertanya duluan ujarnya.

Ilmu Pengetahuan jawabku dengan jelas.


Islam di Aceh memiliki dasar agama yang kuat, dasar keimanan dan
kepercayaan yang kuat hingga tidak akan dapat menggoyahkan iman Islam seorang
Aceh karena orang Aceh mengimani Islam tanpa ragu, tanpa perlu pembuktian dan
memang seperti itulah iman yang seharusnya jawabku.
Tapi.. ujar Samil mencecar penjelasanku.
Tetapi untuk menjadi bangsa yang mampu menjadi khalifah di muka bumi,
bangsa yang mampu membangun Peradaban Islam yang tinggi, kita membutuhkan
Ilmu Pengetahuan jawabku.
Dan menurutmu apa hubungan antara tekanan dan represi politik dan
militer yang selama ini kita terima dengan peradaban Islam di Aceh? tanya Samil
lagi.
Jelas, ada yang tidak senang kalau Aceh kembali berkembang menjadi pusat
Kebudayaan Islam yang maju. Itu sebabnya pendidikan bagi rakyat Aceh sangat
dibatasi, itu sebabnya untuk memperoleh pendidikan kita dipaksa agar tunduk pada
Jawa, itu sebabnya kita terus ditekan dengan ancaman politik dan militer. Itu
sebabnya pemimpin-pemimpin kita yang memihak pemerintah Indonesia seperti
semakin jauh dari rakyatnya jawabku.
Lalu menurutmu, apakah kita dapat mengejar ketinggalan kita di bidang
ilmu pengetahuan dari negara-negara maju yang sudah sangat jauh kemajuannya?
tanya Samil.
Kemajuan yang jauh tanpa petunjuk arah yang jelas, bukan itu yang ingin
kita capai jawabku. Kita memiliki petunjuk arah yang jelas, Al-Quran dan Hadits,
ke arah sanalah kita akan pergi lanjutku lagi.
Samil diam, bergantian menatapku dan menatap Gunongan.
Kalau Kemerdekaan Aceh terus tersendat-sendat, banyak pejuang-pejuang
Aceh yang masih melawan secara gerilya akan sulit untuk mendapatkan hidupnya
gumam Samil.

Maksudmu

seperti

pejuang-pejuang

GAM

yang

masih

belum

mau

menyerahkan diri? tanyaku.


Belum mau dan tidak akan pernah menyerahkan diri jelas Samil.
Aku rasa itulah hidup mereka.. ujarku pelan. Disanalah jihad mereka,
disinilah jihadku ujarku sambil menunjukkan buku sketsa.
Karena itu aku mencintaimu, membuatku yakin dengan jalan hidupku ujar
Samil kemudian mengecup keningku pelan.
Aku menunduk, berusaha kembali menyelesaikan sketsa Gunongan yang
memang sudah hampir rampung. Matahari sudah mulai tenggelam, jingga
kemerahan menghiasi langit Banda Aceh.
Aku berdoa, semoga Allah melindungi semua anak negeri yang tulus
berjuang di jalan-Nya.

Anak Tangga yang hilang.


Pameran kaligrafi tersebut akan dilaksanakan bulan depan selama satu
bulan. Panitia pameran tidak mensyaratkan pemilik karya agar dapat terus hadir
selama pameran jadi aku dapat pulang ke Kualasimpang, kemudian kembali lagi ke
Banda Aceh pada saat acara pembukaan dan mungkin beberapa hari selama
pameran berlangsung. Acara penutupan pameran akan dilangsungkan setelah
keseluruhan

rangkaian

acara

pameran

rampung

dan

semua

pengumuman

mengenai lomba akan diumumkan pada saat penutupan pameran.


Samil mengajakku ke Takengon, aku pikir ide yang bagus, aku dapat singgah
di rumah bang Fikrah, sepupuku yang tinggal di Takengon. Sekalian sillaturahmi
karena sudah lama juga aku tidak menanyakan kabar mereka. Kadang komunikasi
menggunakan telepon, menjauhkan hubungan sillaturahmi. Padahal kalau dapat
saling mengunjungi, hubungan persaudaraan dapat semakin erat.
Tapi Samil belum mengetahui kapan tepatnya ia akan pergi ke Takengon,
selama ini ia malah menemaniku di Banda Aceh.
Kemerdekaan Aceh masih menjadi tema pembicaraan hangat yang selalu
menjadi bahan obrolan antara aku dan Samil. Pembicaraan mengenai Kemerdekaan
Aceh dan isu-isu mengenai hal tersebut mungkin akan menimbulkan banyak
permasalahan

sosial

di

Aceh.

Salah

satunya adalah

friksi

antar

golongan

masyarakat.
Penduduk Aceh tidak hanya terdiri suku asli seperti Aceh, Gayo, Alas, Aneuk
Jamee, Tamiang, dan lain sebagainya tetapi juga masyarakat urban pendatang
terutama pegawai-pegawai pemerintah dan militer yang berasal dari Jawa dan
ditugaskan ke Aceh. Penguasaan wilayah dan tekanan terhadap rakyat Aceh melalui
penguasaan politik dan militer yang sudah diterapkan di Aceh semenjak orde lama,
orde baru, masa reformasi dan bahkan hingga sekarang, menyisakan bekas lukabekas luka menganga di dalam dada orang Aceh.
Apa aku membenci orang Jawa?
Tidak, aku membenci mereka yang rakus dan serakah ingin menguasai.

Menurut dek Ja, kalau dulu Aceh tidak bergabung dengan Indonesia, apa
yang terjadi? tanya Samil ketika kami berdua sedang membeli jajanan jagung
bakar di daerah Lamnyong.
Menurutku apa yang terjadi? tanyaku balik kepada Samil seolah pertanyaan
itu adalah tiket bagiku untuk kembali memutar roda waktu.
Menurutku, kalau Aceh tidak bergabung dengan Indonesia, aku dan ribuan
anak Aceh lainnya tidak akan mengalami krisis identitas, Menurutku adalah
kemajuan dan peradaban Islam yang tinggi di Aceh, Menurutku, adalah kejelasan
atas yang hak dan yang bathil, Menurutku, adalah petunjuk yang lurus yang tidak
akan membiarkan anak-anak sepertiku tersesat jauh dalam modernisasi, globalisasi,
ah.., entah apa lagi! jawabku.
Samil kemudian diam.
Tiba-tiba aku merasa sangat lelah, membayangkan pergolakan jiwa ribuan
orang Aceh ketika harus dihadapkan pada ideologi baru bernama Pancasila.
Temaram, samar, tidak jelas. Petunjuk menyesatkan yang jelas akan menyesatkan
bagi anak-anak Aceh yang dilahirkan di dalam Islam. Sebagai seorang Islam, orang
Aceh tidak diperbolehkan untuk mengakui agama lain walaupun bukan berarti tidak
memiliki toleransi dalam beragama sama sekali. Menerima Pancasila seperti
mengalami degradasi iman. Ketika harus mengakui dan menerima bahwa agama
lain adalah sama. Hal ini yang akhirnya benar-benar menyesatkan aku dan mungkin
ratusan anak Aceh lain yang juga dijejali dengan ideologi ini.
Pancasila membuat iman seorang Islam lemah. Keharusan untuk memberikan
toleransi di dalam beragama membuat iman seorang Islam menjadi lemah hingga
bahkan sulit untuk menentukan secara jelas bahwa yang hak adalah hak dan yang
bathil adalah bathil.
Aku membayangkan ketika seorang muslim remaja yang harus dihadapkan
pada segala paham Barat, filosofi, ideologi dan diharuskan untuk dapat memiliki
toleransi ketika melihat pergaulan teman-temannya, ketika melihat acara televisi
yang jauh sekali dari ajaran agamanya, alih-alih ia berjalan mengikuti petunjuk yang
lurus, justru digiring menuju jurang dalam degradasi iman.

Hal ini yang terjadi dengan Pancasila, hal ini yang terjadi di Jawa.
Apa orang Aceh harus tetap mengikutinya?
Sejarah tidak dapat di putar ulang waktunya gumam Samil, aku kemudian
menghela napas panjang kemudian beristighfar, meminta ampunan kepada Allah
atas dosa-dosaku yang lalu dikarenakan ketidaktahuan dan kedhaifan.
Petunjuk hanya ada pada-Nya, jika Ia berkehendak untuk menyesatkan
seorang hamba, maka tidak ada petunjuk yang lain baginya.
Setelah mampu membedakan jalan yang hak dan jalan yang bathil, apakah
ada orang bodoh yang tetap memilih jalan yang bathil? tanyaku kepada Samil,
Apakah setelah aku mempelajari dan mengetahui bahwa Islam adalah Agama yang
hak, aku akan bersedia kembali lagi pada jalan temaram yang tidak jelas seperti
Pancasila? tanyaku lagi kepada Samil. Apakah orang-orang Aceh yang jelas sudah
memiliki hal ini, Iman di dalam Islam, akan bersedia rela menukarkan imannya
dengan semua kemajuan yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia dalam
ideologi temaram bernama Pancasila? tanyaku kembali kepada Samil, Harus
berapa lama lagi orang-orang Aceh bersedia tunduk pada mereka yang seharusnya
tunduk pada Islam? cecarku kepada Samil.
Kemudian ia kembali menggenggam tanganku.
Ini tidak mudah, Ellja ujarnya sambil menatapku, aku merasakan
tangannya gemetar.
Pada masa represi politik dan militer, banyak meunasah yang dibakar, serta
tengku-tengku dan ulama yang memiliki tanggung jawab dalam pendidikan agama
di dalam masyarakat Aceh yang dibunuh. Banyak ilmu agama dan ilmu-ilmu
pemerintahan, politik, juga seni dan budaya Aceh yang akhirnya hilang karena tidak
ada yang meneruskan, tidak ada lagi guru yang dapat mengajarkan dan anak-anak
Aceh yang ditarik semakin jauh dalam kemajuan ala barat. Anak tangga yang
hilang ujar Samil.
Hal ini menyebabkan kerusakan parah di dalam tatanan sosial masyarakat
Aceh. Tidak ada lagi Tengku atau Ulama yang dapat menjadi panutan bagi anak-

anak dan remaja yang semakin lama semakin tidak dapat dikendalikan. Pemimpin
bergelimang harta yang semakin jauh dari rakyatnya yang miskin papa dan bodoh
dan penuh dengan kebencian yang setiap saat dapat melancarkan pemberontakan
juga melakukan tindakan-tindakan merusak terangnya dengan raut wajah yang
terlihat sangat khawatir.
Aku seperti berada di antara mereka dan merasakan setiap pergulatan.
Melihat kepura-puraan setiap pihak dan aku merasakan kita yang sekarang seperti
sedang bersama-sama jatuh pada jurang degradasi iman yang menjadi pintu awal
jatuhnya sebuah peradaban terang Samil, aku genggam erat tangannya.
Kontak senjata terjadi lagi di Grong-Grong ujar Samil membaca pesan
singkat yang masuk. Di Jeunieb ada ramil yang meninggal lanjutnya.
Friksi antara golongan masyarakat seperti ini yang aku maksud, bagaimana
cara mendamaikannya? komentarku. Jika terus berada dalam kondisi konflik, jika
terus berada dalam tekanan, bagaimana kita dapat belajar dengan tenang?
Bagaimana generasi Aceh yang mampu mengusung Ilmu Pengetahuan dan Agama
itu dapat tumbuh dan berkembang? ujarku lagi.
Mungkin, Negara kecil yang Merdeka yang mampu menegakkan Syariat
Islam, yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, yang berilmu pengetahuan, yang
baik lingkungannya dan terpelihara adat masyarakatnya, yang abang bayangkan
itu, hanya ada di dalam buku ujarku kemudian, aku rasakan tangannya yang
gemetar dan kedinginan. Angin laut yang berhembus di atas jembatan Lamnyong
memang cukup dingin, tetapi bukan hal itu yang membuat Samil gusar.
Setiap orang harus dapat menempatkan dirinya dimana seharusnya ia
berada. Kalau tidak, konflik akan terus terjadi ujar Samil yang kemudian
memberikan jaket kepadaku, lalu menyalakan kereta, bersiap-siap untuk pulang.
Ikut bersamaku besok, kita pergi ke Takengon ujarnya di depan pintu rumah
abuwa Usman sebelum akhirnya kembali menghilang di dalam pekat malam langit
Aceh. Aku mengangguk dan berusaha mengingatkan diri agar dapat menyiapkan
segala sesuatunya.

Detak Kemerdekaan di padang


savanna.
Langit biru cerah dengan awan-awan putih menaungi Banda Aceh ketika
Samil menjemputku pagi tadi. Setelah berpamitan kepada abuwa Usman aku
langsung berangkat bersama Samil.
Aku lihat raut wajahnya seperti sangat serius.
Abang sudah sarapan? tanyaku sambil menawarkan roti tawar lapis yang
aku bawa dari rumah abuwa Usman untuk bekal di perjalanan. Masih pagi sekali
ketika Samil menjemputku, aku bahkan belum selesai sarapan.
Belum jawabnya, Samil menggeleng pelan sambil menyetir mobil.
Sarapan dulu ujarku.
Ia kemudian mengambil satu potong roti lapis lalu sarapan sambil tetap
memandang ke arah jalan. Aku mengecek beberapa pesan yang masuk ke telpon
selulerku, dari Ayla yang menanyakan aku kapan pulang. Langsung aku balas,

mungkin beberapa hari lagi karena aku akan singgah ke Takengon, di rumah bang
Fikrah. Ayla langsung menodongku dengan oleh-oleh.
Bawakan markisa isi pesannya, aku hanya membalas, Iya, insyaAllah
Samil masih terlihat sangat serius. Diteguknya teh manis hangat dari botol
minum yang aku bawa.
Nanti di Sigli, mungkin akan ada kawan yang ikut. Dek Ja, gak apa? tanya
Samil, aku langsung menggeleng pelan.
Gak apa jawabku.
Nanti juga sebelum Jantho, kita singgah dulu di rumah kawan ujar Samil
lagi.
Terasa sekali tekanan yang memberatkan dan aku melihat Samil sangat
serius tapi aku tidak berani untuk menanyakan apa penyebabnya. Kalau ada yang
perlu

ia

ceritakan,

ia

pasti

akan

cerita.

Aku

harus

mengerti

bagaimana

menempatkan diri dan tidak menyusahkannya.


Mobil mulai memasuki daerah Aceh Besar, sebelum Jantho, Samil memasuki
sebuah perkampungan yang agak jauh ke Barat. Aku sendiri tidak tahu nama
tempatnya. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga puluh menit,
kami sampai di sebuah meunasah lama. Ada mesjid kecil yang juga terbuat dari
kayu. Samil mengajakku turun lalu mendatangi beberapa orang anak yang sedang
bermain di halaman meunasah.
Na Tengku Sayeedil dek? tanya Samil kepada anak-anak tersebut.
Na.. jawab seorang anak yang langsung membawa Samil menemui orang
yang dicarinya, aku sendirian di halaman meunasah. Perlahan aku berjalan menuju
bangunan dayah dan beberapa ruang kelas. Kondisi umum dayah-dayah atau
sekolah agama yang ada di Aceh memang tidak terlalu baik karena dibangun dari
jerih payah masyarakat sendiri. Sekolah-sekolah seperti ini biasanya dibangun oleh
keluarga-keluarga tengku atau guru mengaji yang menjadi pusat pendidikan bagi
masyarakat Aceh. Di dayah tidak diajarkan banyak pengetahuan umum juga tidak
diajarkan mengenai Pancasila. Di dayah-dayah dan meunasah seperti di kampung

ini hanya diajarkan pendidikan Agama Islam. Itu sebabnya banyak orang Aceh yang
memang tidak mengenal Pancasila dan tidak mengenal negara Indonesia.
Bagi mereka, mereka adalah bangsa Aceh, beragama Islam.
Negara mereka adalah Nanggroe Aceh Darussalam.
Aku

melihat anak-anak

yang bermain di halaman

meunasah

sambil

menunggu Samil. Yang benar-benar ingin aku lakukan setelah melihat mereka
adalah membatasi dan menjauhkan sejauh-jauhnya mereka dari hal-hal yang bathil
di luar sana. Yang benar-benar ingin aku lakukan adalah memberi tahu mereka,
jangan mau pergi keluar sana, kalian akan dirusak.
Aneh, walaupun aku juga dilahirkan sebagai orang Indonesia, aku tidak ingin
merusak anak-anak ini. Aku tidak mau mereka ikut rusak karena pengaruh
globalisasi di luar sana. Rasanya benar-benar ingin melindungi mereka dari dunia di
luar sana. Menjauhkan mereka sejauh-jauhnya dari pengaruh buruk di Indonesia.
Kalau aku mampu, sekarangpun aku ingin Kemerdekaan Aceh diakui karena
hanya dengan itu, batas jelas yang dapat melindungi anak-anak ini dapat terwujud.
Samil keluar dari mesjid bersama seorang laki-laki yang mengenakan kain
sarung, aku pikir mungkin itu yang dimaksudnya dengan Tengku Sayeedil. Aku
berjalan menghampiri mereka.
Samil mengenalkanku kepada Tengku Sayeedil dalam bahasa Aceh, aku
kemudian menyalami Tengku Sayeedil yang mungkin berusia sama dengan abuwa
Usman. Mereka kemudian melanjutkan pembicaraan dalam bahasa Aceh dan
kemudian Samil mengajakku pergi.
Kalau kau tahu tanganmu kotor, tubuhmu kotor dan semua apa yang kau
ketahui adalah hal-hal yang kotor, apa kau memiliki kehendak untuk merusak
sesuatu yang bersih, yang suci? tanyaku kepada Samil.
Eh, pakon? tanya Samil yang melihatku seperti sangat kesal.
Menurutku, kalau seseorang sudah tersesat dan kalau ia tahu apa yang ia
lakukan

selama

ini

adalah

kesalahan

dan

ia

telah

benar-benar

mengakui

kesalahannya dan bertaubat, ia pasti tidak ingin merusak orang lain dengan
kesalahan-kesalahannya. Kalau ia memang benar-benar bertaubat seharusnya ia
berusaha untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan kesalahan yang sama
seperti yang ia lakukan ujarku.
Kalau abang tersesat dan abang telah mengetahui bahwa jalan ini salah,
apa abang tetap akan mengarahkan orang lain kepada jalan yang salah ini?
tanyaku.
Apa kalau seseorang sudah tersesat, kemudian ia malah ingin agar semakin
banyak orang yang tersesat seperti dirinya? Bukankah seperti itu yang dikatakan
sebagai syaitan? tanyaku lagi.
Kenapa? tanya Samil lagi yang masih belum mengerti dengan apa yang aku
maksud. Tapi aku sedang merasa sangat tertekan sekarang. Beban yang sangat
berat seperti mengganjal di dalam hatiku setelah melihat anak-anak yang mengaji
di meunasah tadi. Sesuatu yang polos dan suci yang akan rusak jika mereka harus
menghadapi globalisasi di Indonesia. Yang akan dirusak jika mereka berusaha untuk
memperoleh kehidupan yang katanya lebih baik diluar sana. Aku seperti merasa
enggan dan tidak mau dan benci untuk kembali kepada saudara-saudaraku yang
merupakan orang Indonesia. Aku benci melihat kemunafikan mereka dan semua
dosa mereka. Aku muak melihat kemajuan yang mereka tawarkan dengan menjual
Iman dalam Islam yang dengan susah payah aku pertahankan. Aku muak hidup
dalam canda tawa olok-olokan dan kepura-puraan munafik seperti mereka. Aku
tidak mau kembali lagi hidup dalam kebodohan dan kejahiliyahan seperti mereka
dan aku ingin agar Aceh benar-benar dibatasi dan dihindarkan dari pengaruhpengaruh buruk dari budaya yang berkembang di Indonesia.
Hal ini adalah sesuatu yang mutlak bahwa Aceh dan Indonesia memiliki dasar
ideologi pemerintahan yang berbeda dan karena itu merupakan dua negara yang
berbeda. Sampai kapan orang-orang serakah dan rakus itu ingin menguasai?
Sampai kapan ramah tamah yang penuh kepura-puraan ini harus diteruskan?
Aku merasa benar-benar marah hingga akhirnya kembali menyebut namaNya.

Aceh

harus

dapat

benar-benar

Merdeka

ujarku

sambil

kembali

mengucapkan doa.
Amin ya rabbal alamiin, Aceh harus dapat benar-benar Merdeka ujar
Samil sambil menggenggam tanganku.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan, tepat setelah sedikit melewati
Jantho, Samil sempat berhenti sebentar di sebuah kede kopi, membeli kopi juga
beberapa cemilan untukku. Aku lihat dia mencari seseorang ke dalam kede,
berbincang-bincang sebentar kemudian segera keluar.
Ada-ada aja orang ngasi nama kue ujar Samil sambil memberikan satu buah
jajanan kepadaku. Aku kemudian membaca nama kue tersebut.
Kacang Sembunyi ujarku membaca nama kue yang dibelikan Samil. Aku
kemudian melirik kepadanya, Samil hanya tertawa kecil.
Dek Ja pernah dengar cerita tentang seorang Alkemis pada jaman kejayaan
Islam di Timur Tengah, diceritakan bahwa setiap apa yang ia sentuh akan menjadi
emas? tanya Samil kepadaku. Aku langsung menggeleng kemudian mulai mencoba
jajanan kue bernama Kacang Sembunyi ini. Memang ada kacang yang masih bulat
sembunyi di dalam kuenya. Kalau sembarangan mengunyah, bisa sakit gigi.
Pada jaman kejayaan Islam, ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat
pesat, hingga ilmuwan-ilmuwan Islam mampu merubah batu menjadi emas ujar
Samil sambil tetap memusatkan perhatiannya kepada jalan. Dek Ja tahu bahwa
ilmuwan-ilmuwan itu, berasal dari orang miskin? tanya Samil, aku menggeleng.
Ummat yang paling disayangi oleh Rasulullah adalah orang miskin. Menurut
dek Ja, kenapa Rasulullah sangat menyayangi orang miskin? tanya Samil lagi.
Menurutku bukan orang miskin tetapi orang yang berusaha untuk hidup
sesuai dengan yang dibutuhkannya, orang yang senantiasa dapat merasa cukup,
tidak hidup berlebih-lebihan dan tidak hidup dalam kemubaziran terangku.
Zuhud. Orang-orang yang tidak lagi terlalu memikirkan keduniawian, bagi
mereka hidup adalah jalan menuju mati dan pintu menuju akhirat. Bagi mereka

hidup tidak memiliki beban untuk mengejar harta keduniawian dan mereka
sepertinya, yang kita lihat, senantiasa hidup dalam kemiskinan ujar Samil.
Kita sebagai orang awam pada zaman sekarang yang pola pikirnya dibentuk
dalam stereotipe modernitas yang melihat mereka, umumnya memiliki pendapat,
kenapa orang-orang ini senang sekali hidup miskin, senang sekali hidup dalam
serba kekurangan, senang sekali bersusah-susah. Kenapa mereka tidak berusaha
untuk mengejar kehidupan yang lebih baik? Kenapa mereka sepertinya malas sekali
dalam hidupnya? Kenapa sepertinya mereka tidak memiliki cita-cita yang tinggi dan
mulia? ujar Samil berusaha menerangkan sesuatu kepadaku.
Mereka adalah ummat yang paling disayangi Rasulullah. Entah Rasulullah
sayang kepada mereka karena orang miskin adalah orang yang lemah entah karena
memang ada suatu kekuatan pada orang-orang miskin yang membuat orang-orang
miskin yang mampu untuk tetap hidup di dalam iman kepada Allah, selalu hidup
dengan taqwa, akan menjadi ummat yang sangat dekat kepada Allah, sangat dekat
kepada Rasulullah ujar Samil.
Sufism, juga ilmu pengetahuan dan seni yang ada pada zaman keemasan
Islam, berkembang dari orang-orang miskin ini. Mereka tidak mengejar harta benda
kehidupan duniawi seperti para saudagar-saudagar Islam yang kaya karena pada
masa itu, kekayaan yang berlimpah dan kekuasaan hanya dimiliki oleh Raja juga
pasukan-pasukan militernya dan para pedagang saudagar yang dapat berniaga ke
berbagai belahan dunia. Para sufi adalah orang-orang miskin yang bukan
merupakan bagian dari raja dan pengikutnya, juga bukan merupakan saudagarsaudagar besar yang kaya dalam perniagaannya
Sufism, berkembang dari orang-orang miskin ini, mereka yang tidak begitu
mengejar keduniawian. Hal ini membuat para sufi tersebut memiliki banyak waktu
untuk dapat bermunajah kepada Allah dan untuk mempelajari ilmu dan keahliankeahlian, seperti kaligrafi, seni dalam sastra, seni dalam musik, seni lukis, ilmu-ilmu
strategi perang juga ilmu-ilmu pengetahuan lain seperti Al-Jabar (Matematika), AnNujm (Astronomi), Ilmu Falaq (Ilmu Alam/Fisika) dan Al-Qimya (Kimia) yang menjadi
sumber kekuatan dari berkembangnya kejayaan Islam pada masa keemasan
terang Samil kepadaku menjelaskan dari mana awalnya Ilmu Pengetahuan Islam

berkembang yang ternyata berasal dari pemikir-pemikir Islam yang ternyata adalah
orang-orang miskin.
Mereka yang berada di jalan seorang sufi, memiliki iqrar, seperti janji
terhadap diri sendiri, bahwa seorang yang berada di jalan seorang sufi akan
memberi tahu jalan yang benar kepada siapa saja yang mencari kebenaran terang
Samil. Pada zaman sekarang ini, mereka hidup di antara kita, ada yang menjadi
orang kaya, ada yang menjadi pemimpin, ada yang menjadi ilmuwan, ada yang
menjadi seniman, ada yang menjadi pedagang, ada yang menjadi orang miskin dan
mungkin ada yang bekerja sebagai pembuat kue Kacang Sembunyi seperti yang
dek Ja makan itu ujar Samil.
Satu yang jelas, pada zaman sekarang ini, apapun yang mereka kerjakan,
mereka memiliki iqrar atau janji untuk memberi petunjuk yang benar kepada orangorang yang mencari kebenaran terangnya lagi.
Aku diam memperhatikan kue Kacang Sembunyi yang diberikan oleh Samil,
Apa petunjuk yang abang dapat dari kue ini? tanyaku.
Hmm Samil terlihat berpikir beberapa lama sambil memperhatikan aku
yang masih terlihat kesal, Ada Kacang yang Sembunyi, di dalam kue jawab
Samil seperti tidak yakin kemudian dia tertawa sambil mencomot kue Kacang
Sembunyi yang aku pegang.
Aku tahu dia berusaha untuk menghiburku setelah merasakan kekesalan tadi.
Di dalam hati setiap aneuk nanggroe, Aceh selalu Merdeka ujar Samil. Aku
diam, menatap jalan, sambil memegang kue Kacang Sembunyi.
Aceh memang adalah negeri yang Merdeka. Allah yang melindungi tanah
negeri ini dan Allah maha berkuasa atas segala sesuatu ujarnya dengan keyakinan
yang tidak dapat aku bantah. Detak kebebasan dan kemerdekaan seperti dapat aku
dengar pada bentangan padang rumput luas yang terhampar di tanah Aceh Besar.
Perjalanan memasuki daerah Aceh Besar. Bentangan savanna dan sawahsawah, hutan yang masih sangat terjaga, rumah-rumah penduduk juga kantorkantor pemerintahan dan pos-pos militer. Aku teringat Nazir, yang berniat untuk

sekolah militer di Sare. Anak negeri yang akan dipaksakan untuk menekan saudara
sendiri.
Nanggroe ini adalah negeri yang merdeka, tetapi berada dalam tekanan
pemerintahan yang dzalim dan serakah ingin menguasai. Anak negeri seperti Nazir
yang awalnya memiliki cita-cita mulia, ingin menjadi seorang yang mampu
melindungi masyarakatnya, justru akan dipatahkan cita-citanya dalam doktrindoktrin militer dan akan digunakan sebagai alat untuk mengendalikan dan
menindas rakyatnya sendiri.
Bagaimana dengan keturunan-keturunan Aceh yang orang tuanya ada dari
pihak Indonesia. Apakah Kemerdekaan Aceh tidak menjadi hal yang akan
menyulitkan masa depan mereka? tanyaku kepada Samil, Ayahku adalah orang
Minang-Tamiang ujarku kepada Samil.
Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam akan ditegakkan berdasarkan
Syariah Islam, bukan adat Aceh jawab Samil, Permasalahan perbedaan suku
seharusnya

tidak

menjadi

masalah.

Mereka

yang

menginginkan

kehidupan

bernegara yang jelas didasarkan pada hukum-hukum Syariah Islam, tentu akan
setuju dengan penegakkan Syariah Islam di Aceh. Tidak menjadi masalah berasal
dari suku apa atau ras apakah mereka ujarnya lagi.
Mereka yang merupakan golongan nasionalis pancasilais di Indonesia
mungkin akan berpendapat untuk tidak akan melepas Aceh. Aceh tetap dapat
berada di bawah Indonesia karena pemerintah Indonesia juga mengakui Islam..
Maksudmu, kita yang benar tetapi harus tunduk pada mereka yang tidak
jelas kebenarannya? ujar Samil memotong perkataanku, Maksudmu, kita yang
sudah benar-benar ingin kaffah di dalam Islam dan sudah muak dengan politik
pemerintahan yang tidak jelas hukumnya seperti di Indonesia, harus tunduk pada
hal-hal yang mungkar tersebut? ujarnya lagi.
Abang tentu tahu bahwa tidak dapat memaksakan Syariah Islam di dalam
masyarakat majemuk seperti di Indonesia ujarku dengan tidak yakin.
Maksudmu, masyarakat majemuk atau masyarakat mayoritas muslim yang
sedang digiring menuju kekufuran? Masyarakat muslim terbesar di dunia yang

sedang digiring pada hilangnya iman? Masyarakat Islam yang bahkan sudah tidak
mengenal apa itu Islam karena harus dapat menerima kemajemukan, karena
dipaksakan untuk menerima kekufuran sebagai hal yang lumrah? ujar Samil
dengan suara yang terdengar sangat marah.
Aku diam, tidak dapat membantah.
Overlapped empowering di Aceh membuat permasalahan politik ini menjadi
sulit untuk diselesaikan ujar Samil.
Mereka seharusnya tahu bahwa yang diinginkan oleh rakyat Aceh adalah
benar-benar merdeka di dalam Syariah Islam, tetapi pemerintah Indonesia
bersikeras menginginkan agar Aceh tidak lepas dari Indonesia dan tetap dapat
menerapkan Syariah Islam di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ujarnya
lagi, Itu yang membingungkan, kita yang benar, tetapi kita yang harus tunduk
pada kekufuran?! lanjutnya lagi.
Dek Ja tahu mayoritas penduduk Malaysia juga adalah Islam, masyarakat
Melayu

Malaysia

juga

adalah

masyarakat

Islam.

Tetapi

mereka

dibawah

persemakmuran Inggris. Malaysia Islam, tetapi tunduk pada yang bukan Islam
terang Samil.
Pada saat kemerdekaan Indonesia, kita diminta untuk bergabung bersama
Indonesia karena permintaan Belanda. Ternyata hal ini adalah tipuan yang membuat
Aceh berada di bawah Indonesia yang berada di bawah Belanda, Kita agak
terlambat menyadari tipuan politik ini, setelah kemerdekaan Indonesia, banyak
pejuang-pejuang Aceh yang langsung melancarkan pemberontakan terang Samil.
Aku tidak tahu apakah endatu-endatu kita itu terlalu baik atau memang
seperti itulah yang diajarkan di dalam Islam agar berani membela kebenaran ketika
yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia pada waktu itu adalah berusaha
menegakkan sebuah negara Republik yang tidak bertentangan dengan hukumhukum Islam, itu sebabnya orang Aceh bersedia mendukung. Memang seperti itulah
kenyataannya orang Aceh yang akan membela apapun demi menegakkan Agama
dan pada dasarnya orang Aceh dalam hal kesetiakawanan adalah orang yang paling

setia, tetapi tidak dapat dikhianati. Orang Aceh tidak menerima pengkhianatan. Dan
hal inilah yang sangat membekas di dalam darah orang-orang Aceh! ujarnya lagi.
Sekali dikhianati, tidak akan ada arti sama sekali! terang Samil.
Aceh berbeda dengan Malaysia karena yang membuat Aceh berada di
bawah pemerintahan Indonesia adalah sebuah skenario tipu muslihat politik yang
keji. Bukan seperti Malaysia yang jelas-jelas menyerah dibawah bendera Inggris
terangnya lagi. Aceh menerima pemerintah Indonesia karena semangat Ukhuwah
Islamiyah, tetapi ternyata dikhianati oleh penjajah yang lebih dzalim di atas
mereka lanjutnya.
Pancasila adalah skenario Belanda untuk menguasai Aceh! ucap Samil
dengan jelas.
Aku mengangguk karena hal ini memang sudah sangat jelas.
Selama ini aku tidak mengerti, apa sebenarnya yang menyebabkan jiwa di
dalam diri ini tidak pernah merasa tenang. Apa yang menyebabkan di dalam diri
selalu ada keinginan untuk melawan. Apa yang menyebabkan jiwa pembangkang
dan pemberontak ini tidak pernah dapat tenang. Apa sebenarnya yang harus aku
lawan?
Hal yang semakin jelas sekarang. Mereka yang dzalim dan serakah itu tidak
akan pernah berhenti terus berusaha untuk menaklukkan dan menguasai.
Detak Kemerdekaan dapat aku dengar pada luas padang Savanna Aceh
Besar.

Seulawah Agam.
Mobil yang dikendarai Samil melaju tenang pada jalanan berliku mulai dari
Aceh Besar hingga memasuki Sare. Sare adalah daerah pertanian yang subur,
sekolah pertanian dan tempat pembudidayaan hasil hutan sudah dibangun di
daerah

ini.

Juga

tempat

penangkaran

gajah

yang

terpaksa

harus

dapat

memasyarakat karena hutan sudah dirambah.


Juga ada pesantren di daerah ini, Pesantren Gontor, salah satu pesantren
dengan guru-guru dari Indonesia. Hal yang entah kenapa tidak pernah dapat aku
terima dari semenjak aku masih kecil. Aku selalu tidak dapat patuh pada guru-guru
yang datang dari Indonesia. Keinginan untuk berontak dan melawan selalu ada
karena aku tahu hal yang sebenarnya. Menguasai suatu bangsa dengan jalan yang
paling murah dan tidak menumpahkan darah adalah dengan merubah jati dirinya,
dengan merusak jati diri generasi bangsa tersebut. Tengku-tengku dan guru-guru
orang Aceh dibunuh, lalu didatangkan guru dari Jawa untuk mengubah jati diri anakanak Aceh agar tidak lagi memiliki jati diri sebagai orang Aceh.
Seharusnya yang menjadi guru-guru dan ulama di Aceh, yang mendidik anakanak Aceh adalah orang Aceh sendiri. Tidak seperti sekarang, anak-anak Aceh yang

bersekolah di sekolah yang didirikan oleh pemerintah Indonesia, sadar tidak sadar,
harus menerima pemerintah Indonesia. Aku benci hal ini.
Aku masih ingat dengan kewajiban untuk menghapal pancasila sewaktu aku
masih SD dan guru pendidikan pancasila dan kewarganegaraan sewaktu aku
sekolah SMP. Doktrin Pancasila diajarkan dengan kekerasan dan benar-benar
berusaha untuk merubah isi kepalaku.
Aku benci mereka! aku benci politik busuk mereka!
Anak-anak Aceh seperti aku yang terang-terang membela Kemerdekaan Aceh
sulit sekali untuk dapat membaur di dalam masyarakat Indonesia. Aku dilahirkan
memang seperti itu, sebagai aneuk Inong Aceh, bagaimana dapat menenangkan
jiwa di dalam diri yang tidak mau berhenti melawan?
Aku merasakan kemarahan di dalam diri yang juga dirasakan oleh rakyat
Aceh lain yang selama ini selalu hidup di dalam tekanan.
Aku menoleh kepada Samil, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu tetapi
belum dapat bercerita kepadaku.
Aku punya seorang teman di Sare, dulu dia sempat sekolah di Kualasimpang
pada Sekolah Menengah Pertama yang sama seperti aku. Karena dia merupakan
orang Aceh, di sekolah ia selalu dikucilkan dan sering dijadikan bahan olok-olokan
oleh anak-anak yang lain. Hal ini akhirnya mempengaruhi nilai sekolahnya. Sewaktu
sekolah di Sare, nilai-nilainya bagus. Tetapi ketika sekolah di sekolah umum milik
pemerintah Indonesia, nilainya langsung turun dan aku melihat ia sangat tertekan
dan menjadi sangat pendiam. Seperti sangat sedih dan memendam kemarahan.
Kebencian yang tidak dapat ditunjukkan. Hanya setahun ia bersekolah bersamaku,
setelahnya ia kembali ke Sare.
Ketidakadilan ini juga aku rasakan.
Keputusanku untuk terang-terang mendukung Kemerdekaan Aceh tentu akan
menghambat studi akademisku. Akan sangat sulit untuk melanjutkan pendidikan
tinggi.

Kami mulai memasuki daerah pegunungan Seulawah. Seulawah Agam sudah


terlihat, kalau dilihat dari arah Padang Tiji, gunung Seulawah Agam akan terlihat
seperti kepala laki-laki mengenakan Meukeutob. Sebentar lagi kami akan memasuki
daerah Aceh Pidie.
Sawah-sawah, kebun-kebun kelapa, pinang, jagung terdapat di kanan kiri
jalan ketika kami memasuki Aceh Pidie. Samil kemudian melambatkan laju mobilnya
sambil sesekali melihat ke pinggir jalan. Di pinggir jalan juga banyak terdapat
meunasah-meunasah.
Secara sejatinya Aceh selalu Merdeka, Hanya saja untuk diakui oleh dunia
internasional membutuhkan usaha diplomasi ujarnya, Dan selama pengakuan
internasional belum kita dapat, kita masih harus menghadapi tekanan dari
pemerintah Indonesia yang tidak mau melepas Aceh, itu sebabnya masih diperlukan
perlawanan gerilya untuk menunjukkan bahwa Aceh belum menyerah terang
Samil.
Apa yang menunjukkan seorang Aceh adalah seorang yang Merdeka?
Selama ia masih mendirikan shalat, masih mengaji, masih bersedia duek sama
tinggi di meunasah, masih pajoh bu ngon kuah plik bak tangan jih, njan ureung
Aceh! tambahnya lagi.
Kalau dia sudah berusaha untuk meniru-niru budaya orang lain, kalau dia
sudah tidak mau untuk duduk sama tinggi di meunasah, kalau dia malu untuk
terlihat seperti orang Aceh lainnya, berarti itu dia sudah bukan lagi orang Aceh,
Disini Ellja, yang berusaha untuk orang itu rubah! ujar Samil dengan menunjuk
kepalanya, Dan disini! ujarnya lagi sambil menunjuk hati.
Manusia tidak hanya terdiri dari wujud, tetapi juga ruh. Yang berusaha untuk
mereka rubah, yang terjajah sekarang adalah ruh, Jati diri orang-orang Islam, jati
diri orang-orang Aceh yang berusaha untuk orang itu rubah
Aku justru khawatir dengan kawan-kawan yang sekarang sedang menempuh
pendidikan di luar negeri, kalau tidak dapat berpegangan kuat pada Agama dan
Ukhuwah Islamiyah, terlepaslah mereka dari Aceh. Diluarnya saja ia mengaku Aceh,

tetapi di dalam dirinya sudah bukan lagi dan ia tidak sadar mengenai hal itu.
Jembatan untuk kembali pulang akan sangat sulit.. ujar Samil.
Alaa

innahum

humus

syufahaa,

walakin

laa

yalamuun.

Ingatlah,

sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak


mengetahui!

ujar

Samil

kepadaku

yang

seperti

berusaha

menghilangkan

kegundahanku karena akan sangat sulit untuk melanjutkan pendidikan tinggi sebab
aku secara terang-terangan menunjukkan untuk membela Kemerdekaan Aceh.
Aku punya teman di Pidie, rumahnya di pinggir jalan, dekat meunasah,
Ingin

singgah,

tapi

nanti

sajalah..

ujarnya

kemudian,

ternyata

tadi

ia

melambatkan mobil untuk mencari rumah seorang temannya yang tinggal di Pidie.
Mobil yang kami kendarai terus melaju hingga sampai di pengkolan Padang
Tiji. Samil bilang nanti akan ada yang ikut dengan kami di Sigli, tetapi Samil belum
bercerita lebih lanjut tentang hal itu.
Nanti kita berhenti di Grong-grong ujar Samil pelan. Aku merasa sedikit
was-was. Beberapa waktu terakhir ini Grong-grong menunjukkan pergolakan yang
sangat jelas. Beberapa kali terjadi kontak senjata di daerah ini. Korban jatuh baik
dari pihak orang Aceh juga dari pihak Indonesia.
Perlawanan di Grong-grong bukan dilakukan oleh mereka yang tergabung
dalam GAM, tetapi sejatinya mereka adalah Agam. Mereka juga melawan untuk
mempertahankan hidup mereka, tanah negeri mereka dan Agama, Perlawanan di
Grong-Grong juga dilancarkan terhadap pemerintah Aceh yang mereka nilai sudah
sangat memihak pemerintah Indonesia dan menekan kehidupan rakyat kecil di
Aceh. Pasukan-pasukan Indonesia ditujukan untuk menekan pergolakan mereka dan
hal ini disetujui oleh pemerintah Aceh yang menganggap pergolakan mereka hanya
membuat kerusuhan terang Samil.
Perlawanan di Grong-Grong adalah perlawanan garis keras yang benar-benar
menolak modernisasi dan globalisasi dan apapun yang ditawarkan oleh pemerintah
Indonesia. Termasuk investasi, termasuk modal usaha dan lain sebagainya. Mereka
sama sekali tidak mau berurusan dengan pemerintah Indonesia dan karena itu
mereka dapat menyatakan sejelas-jelasnya bahwa mereka Merdeka! terang Samil.

Hal ini membuat perselisihan di antara para pejuang-pejuang Aceh yang


masih mau berkompromi dan masih mengusahakan diplomasi. Orang-orang Aceh
yang masih mengira bahwa perjanjian yang mereka adakan dengan orang-orang
kafir dapat memberikan hasil ujar Samil.
Innalladziina kafaruu sawaaun alaihim aanzartahum am lam tunzirhuum
laa yuminuun, Mereka orang-orang kafir itu, sama saja mereka diberi petunjuk
atau tidak diberi petunjuk, mereka tidak akan beriman, Investasi, perjanjian yang
kita buat dengan orang-orang kafir harus berdasarkan ijab qabul yang jelas, kalau
tidak, tanah terjual, jati diri terjual ujar Samil.
Bagaimana dapat mengusahakan diplomasi sedangkan yang orang-orang
kafir itu inginkan adalah menguasai?, Apa ada jalan lain selain melawan dan
mempertahankan apa yang jelas-jelas adalah milik kita? tanyanya kepadaku.
Seulawah Agam itu sekarang seperti sedang berada di hadapanku.
Aku akan berdoa untuk keselamatan kita dan setiap anak negeri yang
berjuang di jalan-Nya gumamku pelan sambil menggenggam tangan Samil. Di
dalam hati aku berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa aku harus kuat untuk
dapat mendampinginya.

Menggapai Syahid.
Melewati Padang Tiji kami memasuki daerah yang juga banyak terdapat
padang rumput, sawah, kebun-kebun kelapa dan gunung-gunung yang menjadi
latar ujung langit. Matahari sudah tinggi dan udara kering padang rumput menerpa
wajahku. Aku memperhatikan hamparan luas padang rumput, kalau ada seorang
pemimpin Aceh seperti pharaoh-pharaoh Mesir, mungkin ia akan langsung
memerintahkan membangun sebuah bangunan yang dapat menjadi ikon bangsa
Aceh di daerah ini. Seperti Mesir yang memiliki Piramid, Italia yang memiliki menara
Pisa, India yang memiliki Taj Mahal dan lain sebagainya. Peradaban manusia selalu
diidentikkan

dengan

bangunan-bangunan

megah

dan

kemajuan

dalam

hal

pembangunan dan ilmu pengetahuan. Tetapi Aceh seperti begitu-begitu saja, aku
tidak tahu kenapa. Tetapi di Aceh yang semakin banyak sekarang adalah MesjidMesjid dan bangunan-bangunan perkantoran. Mungkin Allah memang memberkahi
bangsa ini dengan sifat qanaah, yang artinya senantiasa bersyukur dan selalu
merasa cukup.
Aku mulai memikirkan apa sebenarnya yang dapat dilakukan oleh ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh dunia barat ketika Allah sudah memberikan
segalanya pada tanah ini? Kekayaan alam, kesuburan, sungai-sungai yang bersih,
gunung-gunung yang tinggi menjulang dan hutan yang menyimpan segala yang
manusia butuhkan.
Apakah aku menginginkan agar Aceh dapat maju seperti negara-negara lain,
seperti

London? Seperti Singapura? Seperti Tokyo? Seperti Jakarta? Seperti

Newyork? Terang benderang seperti dongeng-dongeng dunia Eropa dan Amerika.


Terang benderang yang seperti akan menelan cahaya pada bulan dan bintang yang
seharusnya menerangi malam. Terang benderang yang seperti akan menjadikan
Bumi menjadi bola cahaya yang siap meledak.
Mau rujak meuria? tanya Samil tiba-tiba membuyarkan lamunanku tentang
megahnya dunia Eropa dan mengembalikan aku pada luas padang rumput di Aceh.
Dengan cepat aku mengangguk lalu Samil memberhentikan mobil di sebuah
kede rujak dan memesankan empat bungkus rujak meuria. Mungkin juga untuk

teman yang akan ikut bersama kami di Sigli nanti. Samil belum menceritakan apaapa mengenai temannya ini.
Hawa panas langsung menyengat ketika aku turun dari mobil, siang terik di
Aceh Pidie bisa mencapai hingga 40 derajat celcius dengan angin panas yang tidak
berhenti. Sambil duduk di bangku kayu yang ada di kede rujak tersebut aku
memperhatikan aspal panas yang terlihat menguarkan udara panas di atasnya
karena sengatan matahari yang terik. Aku harus sampai memicingkan mata karena
udara panas dan terang cahaya matahari membuat mataku sulit untuk fokus.
Samil

menghampiriku

setelah

memesan

rujak

meuria

pesanan

kami

kemudian ia ikut duduk bersamaku. Udara panas kadang membuat kepala seperti
kosong, apalagi ketika tepat matahari ada di atas kepala.
Di Padang Mahsyar nanti, mataharinya satu jengkal di atas kepala kita ujar
Samil seperti mengerti apa yang sedang aku pikirkan.
Bagaimana rasanya mendidih seperti itu? tanyaku.
Mendidih di dalam kepala, mendidih di dalam hati. Kalau tidak terbakar di
kulit luar, terbakar di dalam hati. Terbakar di dalam diri. Menahan emosi mendidih
yang panasnya seperti di padang Mahsyar jawab Samil.
Apa penolong? tanyaku.
Entahlah, tidak akan ada tempat berpegang, tidak ada yang dapat
membantu, hanya amal baik dan syafaat yang menjadi penolong jawab Samil.
Semua manusia pasti akan berada di tempat itu gumamku kemudian Samil
mengangguk.
Apa lagi yang harus kita cari di dunia ini? tanyanya padaku sambil ikut
memperhatikan fatamorgana panas yang terbentuk di atas aspal melepuh.
Arti, Menjadi seseorang yang dapat memberi arti dalam kebaikan,
memberi manfaat bagi orang-orang terdekat kita, saudara-saudara kita sendiri,
paling tidak memberi kebaikan bagi diri sendiri, paling tidak, tidak mendzhalimi diri

sendiri ujarku sambil mengambil sebatang rokok di tangan Samil yang belum
dinyalakannya dan meletakkannya kembali ke dalam kotaknya.
Nanti gak enak rasa rujak meurianya kalau merokok, hilang rasa pahit kelat
rujak meuria tertutupi rasa tembakau ujarku lagi.
Rujak meuria atau rujak Aceh pesanan kami akhirnya datang. Setelah
membayar dan berbicara sebentar dengan bapak yang menjual rujak, Samil
kemudian mengajakku pergi.
Mobil kembali meluncur di atas jalanan panas Aceh Pidie, sampai di pajak
Grong-Grong, Samil kemudian berhenti di sebuah apotek. Apotek yang TIDAK
MENERIMA RESEP DOKTER.
Beberapa kali aku melihat apotek ini dan bertanya-tanya kenapa apotek ini,
tidak menerima resep dokter. Kali ini akupun tidak sempat bertanya kepada Samil.
Ia kemudian langsung turun dan masuk ke dalam apotek. Aku ikut turun dari mobil
lalu menunggu di pelataran parkir apotek.
Dek, na obat batuk hitam? tanyanya pada penjaga apotek.
Na bang.. jawab penjaga apotek yang langsung mencarikan obat batuk
hitam pesanan Samil.
Setelah membayar, Samil kemudian kembali ke mobil lalu menelepon
temannya.
Sudah di apotek, kalian datang kemari ujarnya.
Ya, hana peu.. ujarnya lagi.
Hampir setengah jam menunggu, datang satu buah becak mesin dari arah
Sigli kemudian berhenti di depan apotek. Satu orang wanita dan satu orang laki-laki
datang menghampiri kami.
Langsung berangkat atau singgah bak rumoh lon dilee tanya laki-laki itu
yang langsung menyalami Samil. Suum that cuaca, makan siang dulu, bada
dzuhur baru berangkat ujarnya lagi yang kemudian menyalami aku kemudian

wanita yang bersamanya juga ikut menyalami Samil dan menyalami aku. Tapi Samil
belum memperkenalkan nama mereka.
Samil kemudian mengangguk lalu memperkenalkan dua orang itu kepadaku.
Ini bang Rasyid, temanku kuliah ujar Samil sambil memperkenalkan Rasyid
kepadaku. Dan ini kak Amirah. Kak Amirah njan ujar Samil memperkenalkan
wanita yang bernama Amirah itu kepadaku. Usia mereka sepertinya berada jauh di
atasku,

bang

Rasyid

mungkin

seumuran

dengan

Samil.

Samil

urung

memperkenalkan Amirah karena sepertinya memang sulit untuk diperkenalkan.


Amirah.. ujarnya yang langsung memperkenalkan dirinya sendiri kepadaku,
Saya jurnalis juga, sama seperti Samil. Tapi lebih ke pendidikan masyarakat untuk
wanita dan anak-anak ujarnya sambil tersenyum, aku agak canggung ketika
menyambut uluran tangannya. Yakin dan percaya diri.
Amirah ini juga ibu PKK, tapi bukan ibu-ibu PKK seperti PKK negara
Indonesia komentar Rasyid yang berusaha untuk bercanda tapi aku justru
menganggap hal tersebut adalah hal yang serius.
Aku langsung mengerti.
Jak.. ujar Samil yang kemudian berjalan menuju mobil.
Rasyid dan Samil duduk di depan, sedangkan aku dan Amirah di belakang
sambil kemudian berbincang-bincang. Kalau berbicara dengan lambat-lambat aku
dapat menggunakan bahasa Aceh.
Aku dan Amirah langsung terlibat pembicaraan seru tentang pendidikan di
Aceh dan dia sepertinya sangat tertarik dengan perkembangan kesenian dan
kerajinan Aceh, terutama Kaligrafi.
Hilang ciri, itu yang aku juga rasa dari hasil kebudayaan dan seni Aceh,
Bangunan-bangunan modern seperti mulai kehilangan ciri.. ujarnya menanggapi
komentarku tentang pembangunan seperti apa yang seharusnya diarahkan di Aceh.
Dimana-mana ruko tambahnya lagi.
Aku mengangguk.

Amirah dan Rasyid sepertinya tidak memiliki hubungan apa-apa. Kebetulan


mereka sama-sama tinggal di Sigli. Samil yang menghubungi mereka berdua dan
mengajak mereka ke Takengon. Amirah juga sedang menulis mengenai pendidikan
bagi wanita Aceh, termasuk mengenai kondisi di Takengon. Sedangkan Rasyid baru
merintis usaha kopi. Mungkin dia memiliki urusan bisnis ke Takengon.
Samil menawarkan rujak Meuria kepada Rasyid dan Amirah. Kemudian Rasyid
mulai bercerita tentang tekanan dari berbagai NGO dan LSM dari berbagai negara
yang sekarang saling berebut untuk menarik simpati rakyat Aceh.
Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Australia, Jerman, Swiss, Perancis,
Amerika, Rusia, Cina, Jepang, Korea, India, ah.., entah berapa banyak lagi ujar
Rasyid.
Negara-negara Eropa njan, mereka membawa faham yang berbeda dengan
kita, itu sebabnya kita harus sangat hati-hati menanggapi bantuan dari negaranegara seperti Spanyol dan Portugal, Harus memikirkan bahwa ada kemungkinan
seperti Timor Timur yang menjadi jajahan Portugis, banyak orang-orang NGO
Spanyol dan Portugal yang sekarang menanam investasi pada petani-petani kecil
tanpa sepengetahuan pemerintah yang sah, dalam hal ini masih merupakan
Pemerintah

Indonesia

terang

Rasyid,

aku

yang

duduk

di

belakang

diam

mendengarkan. Aku lihat Amirah juga mendengarkan.


Pada pemimpin yang berpegang kuat dengan Al-Quran dan Hadits, pada
mereka kita akan patuh ujar Samil.
Ya, lebih baik memang membangun kerjasama dengan negara-negara Timur
Tengah,

kita

memiliki

kesamaan

ideologi,

setidaknya

mereka

tidak

akan

memaksakan faham mereka kepada orang-orang Aceh karena kita sama-sama


muslim ujar Rasyid.
Tidak semua juga bangsa Arab itu mengerti Islam, hai cut bang.. komentar
Amirah yang kemudian aku iyakan. Bangsa Arab juga terdiri dari berbagai macam
suku bangsa yang tidak semuanya mendapatkan pendidikan dalam Islam.

Berarti kita yang harus membenarkan Keislaman kita ujar Samil, Ketika
semuanya tidak ada lagi yang dapat dipercaya, kepada Allah SWT kita tunduk dan
berserah. InsyaAllah, Allah yang akan menjadi pelindung kita ujarnya lagi.
Yang aku khawatirkan adalah generasi kita, anak-anak Aceh yang mendapat
pekerjaan pada NGO-NGO asing. Mereka tidak mengerti maksud sebenarnya dari
NGO-NGO tersebut adalah investasi budi, sama saja seperti Belanda, Mereka
berkegiatan pada bidang pendidikan, memberikan pendidikan bagi masyarakat,
edukasi, kesehatan, di bidang pelestarian lingkungan, dan lain sebagainya, tetapi
tetap tujuan mereka sebenarnya adalah penguasaan. Mereka tidak akan pernah
membiarkan kita mampu menjadi bangsa yang dapat mengolah hasil alam kita
sendiri ujar Amirah.
Tipu muslihatnya banyak sekali, semakin sulit membedakan mana kawan
mana lawan komentar Rasyid yang baru merintis usaha perkebunan kopi di
Takengon, yang menjadi saingannya adalah pengusaha Jerman.
Diplomasi terhadap negara-negara Eropa, juga negara-negara macan Asia
seharusnya dapat kita lakukan dengan tegas. Bahwa Aceh adalah negara Merdeka
yang didasarkan pada Syariah Islam, Kalau tidak cakar-cakar imperialisme yang
mengalir di dalam darah orang-orang Eropa ini akan kembali bergolak, mereka
memang bangsa imperialis! ujar Samil
Yang Islam dan mendirikan shalat, itu yang dapat dijadikan kawan ujarnya
kemudian, Yang lainnya, berhati-hati lanjutnya lagi.
Pada

zaman

sekarang

ini

seperti

sudah

tidak

ada

negara,

yang

mengendalikan masyarakat adalah uang. Dan yang mampu mengendalikan uang


adalah perusahaan. Yang mampu mengendalikan perusahaan adalah orang-orang
kuat yang didukung oleh kekuatan militer ujarku berusaha menimpali pembicaraan
mereka.
Lalu kita ada di pihak yang mana dek Ja? tanya Samil kepadaku.
Rakyat, rakyat yang tidak boleh lagi bodoh jawabku sambil menarik nafas
panjang kemudian melemparkan pandang keluar jendela. Tapi kita bisa apa?
ujarku lemah.

Samil, Rasyid, Amirah dan aku kemudian diam. Mungkin masing-masing


memikirkan apa yang dapat kami lakukan.
Aku bekerja di sebuah yayasan kecil, selama ini kami bekerja dalam
pendidikan untuk perempuan. Termasuk pendidikan bagi muallaf dan anak-anak.
Dakwah Islam sangat penting bagi generasi sekarang ujar Amirah menerangkan
apa yang dapat dan sudah dilakukannya.
Kalau dek Ja tertarik, bisa bantu kami.. lanjutnya lagi.
Aku langsung tersenyum menanggapi tawaran Amirah, tentu saja aku akan
sangat senang jika dapat membantu. Ketertarikanku yang terutama adalah pada
bidang seni Kaligrafi mungkin dengan bergabung aku dapat lebih mengenal budaya
Aceh termasuk mengenai Kaligrafi.
Kalau untuk menyemangati anak-anak agar terus sekolah itu hobinya Ayla.
Amirah langsung memberikan nomer teleponnya, mungkin nanti kalau aku
sudah dapat mengambil keputusan dengan baik, aku akan menghubungi Amirah.
Samil terlihat senang melihat kedekatanku dengan Amirah. Selama ini aku
merasa sendirian, tidak tahu harus melawan karena apa, tidak tahu harus
memperjuangkan apa, tidak tahu siapa yang harus aku bela, tidak tahu harus
berpegang pada siapa.
Tetapi sekarang aku sudah mengerti dan Allah akan menunjukkan jalan-Nya.
Ciiiiiit tiba-tiba terdengar suara gesekan ban dengan aspal karena
Samil yang tiba-tiba mengerem mendadak. Ada beberapa anak-anak kecil yang
melintas di depan kami sambil berlarian. Untung Samil cepat mengerem. Kuah rujak
tumpah di jilbabku.
Disini kejadiannya kemarin, penembakan warga sipil oleh TNI. Dua orang
warga sipil menjadi korban ujar Amirah sambil mengulurkan tissue untuk
membersihkan noda kuah rujak di jilbabku.
Dek Ja seperti kena tembak tepat di ulu hati ujar Amirah sambil menunjuk
jilbabku dan bercak gula merah kuah rujak di jilbabku.

Samil dan Rasyid melihat ke belakang karena mendengarkan pembicaraan


kami. lalu tiba-tiba langit berubah menjadi mendung dan sangat gelap. Hujan deras
tiba-tiba turun dengan sederas-derasnya.
Ya, disini kejadiannya ujar Rasyid sambil menunjuk ke areal sawah dan
kebun.
Innalillaahi wa inna illaahi rojiun gumamku.
Hujan deras turun membasahi tanah, membalur luka dan membawa
kehidupan baru. Mengalir seperti darah Syuhada yang melindungi tanah negeri ini.
Aceh adalah Negeri yang Merdeka.

Seulawah Inong.
Hujan turun semakin deras ketika kami memasuki Gampoeng tempat tinggal
Rasyid, Gampoeng Paya Leupon. Aku dan Amirah langsung berlari-lari ke arah teras
rumah menghindari kebasahan karena hujan. Rumah Rasyid bukan berupa rumah
Aceh yang berbentuk rumah panggung, di sekitarnya aku lihat juga tidak ada yang
merupakan rumah panggung Aceh. Gampoeng Paya Leupon yang terletak di Sigli
sudah lebih modern dibandingkan kampung-kampung lain di Aceh Pidie.
Rasyid mempersilahkan kami masuk. Setelah berbicara beberapa lama
dengan ibunya yang dapat berbahasa Indonesia walau dengan logat Aceh yang
fasih, kami lalu makan siang di rumah Rasyid. Sambil menunggu hujan reda, Rasyid
dan Samil membicarakan sesuatu dalam bahasa Aceh.
Lalu bagaimana kalau memang sekarang banyak LSM asing yang bergerak
di Aceh, seperti di bidang edukasi, konservasi, kesehatan, budaya dan ada
beberapa juga yang telah berinvestasi? tanya Rasyid kepada Samil sambil
membaca koran mengenai perhelatan tari Saman massal di Gayo. Event kesenian
yang mengikutsertakan ribuan penari Saman.
Ijab qabul yang jelas atas tujuan dan kontrak kerja mereka jawab Samil
cepat.
Ya, kita tidak mungkin menghindari globalisasi dan modernisasi dengan
menolak semua hal yang bertujuan dalam investasi di Aceh. Hubungan ekonomi
tidak pernah terlepas dari aliran informasi dan interaksi budaya. Dari semenjak
dahulu, pedagang-pedagang negara lain yang datang ke Aceh juga membawa
tujuan dalam penyebaran budaya dan ajaran yang berkembang di dalam
masyarakat mereka ujarku yang tidak setuju jika benar-benar membatasi Aceh
untuk menolak segala bentuk modernisasi dan investasi.
Hanya saja..
Kita sendiri harus dapat berdiri tegak terlebih dahulu, kalau tidak, limbung
ujar Amirah memotong kalimatku yang langsung aku balas dengan anggukan tegas.

Mungkin dalam beberapa tahun ini sebaiknya jangan dulu ada investasi
besar di Aceh komentar Rasyid.
Pengolahan dana otonomi yang terpenting, diperuntukkan di bidang apa?
ujar Samil.
Kalau sudah masalah dana otonomi, aku malas berkomentar.
Njan, tukang tungku ngon tukang kopi jadi ahli politik komentar Amirah
yang akhirnya menghentikan debat kusir politik antara Rasyid dan Samil.
Kapan berangkat? tanyaku kepada Samil.
Sekarang jawab Samil yang langsung bersiap-siap lalu pamit dan salam
kepada ibu Rasyid kemudian kami berempat langsung berangkat menuju Takengon.
Jalanan basah dan langit sore yang mendung menemani perjalanan kami dari
Sigli. Aku memperhatikan air hujan yang membasahi tanaman bunga pada halaman
rumah-rumah di pinggir jalan, pada rumput, pada pohon dan pada aspal yang kini
basah.
Aku

kembali

diam,

tenggelam

dalam

pikiran-pikiranku

sendiri

sambil

memperhatikan rumah-rumah penduduk yang bergerak semakin menjauh mundur


ke belakang pada pemandangan di pinggir jalan. Amirah terlihat kelelahan dan
langsung beristirahat ketika mobil sudah memasuki daerah Bireun.
Rasyid menemani Samil yang menyetir sambil mengobrol dalam bahasa Aceh
yang hanya sebagian dapat aku mengerti. Rasyid juga membantu menyebarkan
koran bawah tanah cetakan Samil di kampus-kampus yang ada di Sigli. Koran
cetakan Samil berbahasa Aceh dan mungkin adalah koran pertama yang dicetak
dalam bahasa Aceh. Hal ini sangat penting karena jurnalistik yang disampaikan
dalam bahasa Aceh akan lebih jelas maknanya dan hanya akan terbatas pada
kalangan tertentu saja yang dapat mengerti. Selain itu mereka termasuk
mahasiswa-mahasiswa yang tidak dapat berbahasa Aceh juga dapat mempelajari
bahasa Aceh dari koran cetakan Samil.
Bahasa adalah hal yang sangat penting bagi berdirinya suatu negara.
Identitas bangsa.

Ia juga membawa sebagian koran cetakannya ke Takengon. Walaupun dibuat


dalam bentuk koran, tetapi koran cetakan Samil hanya terbit sebulan sekali juga
dalam jumlah terbatas. Perbanyakannya hanya menggunakan fotokopi. Yang
menulis artikel sebagian besar adalah Samil sendiri juga beberapa temannya dari
kalangan mahasiswa dan orang-orang Aceh yang aktif dalam organisasi masyarakat
atau komunitas mahasiswa. Kadang-kadang bergantian dari berbagai kampus di
Aceh.
Perkembangan jurnalisme sangat penting dalam mendukung Revolusi di
negara manapun, itu sebabnya Samil yakin dengan apa yang dikerjakannya.
Perjuangan diplomasi diiringi oleh perlawanan militer dengan cara militant dan
gerilya sedangkan pergerakan akademisi dan ulama dapat dilakukan dengan cara
jurnalistik. Samil berusaha untuk menyambungkan kepentingan berbagai pihak agar
semua dapat berada pada satu jalan.
Bukan hal yang mudah karena berbagai golongan di Aceh memiliki banyak
kepentingan yang kadang berselisih paham mengenai tujuan Revolusi Kemerdekaan
Aceh. Tetapi satu yang jelas, semua pihak mendukung tegaknya Pemerintahan yang
didasarkan pada Syariah Islam.
Berkali-kali

Samil

melihat

ke

belakang,

memperhatikanku

yang

mendengarkan pembicaraannya dan Rasyid yang hanya sebagian saja dapat aku
mengerti juga suara mereka menjadi tidak jelas bersaing dengan suara hujan yang
turun dengan sangat deras.
Sewaktu Adzan Ashar kami sudah berada di daerah Matang. Aku kemudian
membangunkan Amirah dan mengajaknya makan. Rasyid dan Samil sudah terlebih
dahulu memesankan sate matang untuk kami.
Restoran sate matang yang kami singgahi juga ramai disinggahi oleh orang
lain. Aku lihat ada beberapa tamu asing, seperti orang Jerman, yang sepertinya
memang datang untuk mengunjungi Takengon. Amirah langsung menuangkan teh
panas ketika aku memperhatikan orang-orang asing itu.
Aneuk inong Aceh uroe njoe, kalau melihat orang asing, jilbab-jilbab
langsung terbang komentar Amirah dalam bahasa Aceh. Aku hanya diam tidak

berkomentar sambil ikut menuang teh panas. Udara cukup dingin ditambah lembab
hujan yang mulai menggerimis.
NGO, LSM, perusahaan-perusahaan asing, seperti membawa kesempatan
bagi orang Aceh untuk pekerjaan yang lebih baik. Anak-anak perempuan dan wanita
yang bekerja pada NGO, digaji dalam jumlah yang cukup besar walau kesejahteraan
dan kepastian masa depannya belum tentu terjamin. Selain itu mereka juga dapat
mengembangkan ilmu yang mereka miliki, seperti bahasa asing, manajemen,
ekonomi dan komputer terang Amirah.
Aku tidak mengerti tujuan sebenarnya, yang jelas, NGO atau LSM biasanya
juga merupakan organisasi non-profit yang pembiayaannya di dukung oleh donatur
dari individu, yayasan atau perusahaan tertentu. Sebagian juga merupakan proyek
CSR dari perusahaan-perusahaan besar yang ada di Aceh komentarku, Perkara
jilbab terbang, itu urusan pribadi ujarku lagi yang sepertinya sudah agak enggan
membahas masalah hijab, jilbab atau bagaimana cara wanita harus berpakaian.
Sulit sekali kalau harus bekerja dengan memakai pakaian lebar tertutup
seperti abaya, selain itu terlihat tidak biasa untuk kondisi bekerja pada perkantoran
atau fasilitas-fasilitas umum. Aku sempat juga berdiskusi dengan teman yang
mengenakan hijab dan abaya. Bagi mereka ada ketidakadilan ketika mereka
mencari pekerjaan di Indonesia, sulit untuk menemukan pekerjaan yang dapat
melindungi hak mereka untuk dapat mengenakan abaya. Pilihan mereka untuk
mengenakan hijab dan abaya membuat mereka terbatas dalam hal memperoleh
pekerjaan. Walaupun di beberapa perkantoran di Aceh, gamis adalah pakaian yang
sudah biasa untuk dikenakan di perkantoran, tetapi masih belum dianggap lumrah.
Kalau di Aceh, bagi yang tidak mengenakan jilbab, justru akan sangat sulit untuk
memperoleh pekerjaan. Hal ini tentu saja hal yang sesuai dengan Syariah Islam.
Bagi mereka yang tidak mengenakan jilbab, tidak dapat protes.
Aku sampai mendesain sendiri bagaimana pakaian yang cocok dikenakan
oleh wanita-wanita Aceh dan akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa pakaian
dress terusan yang seperti sekarang sering dikenakan oleh perempuan Aceh adalah
Gaun, yang tidak cocok dikenakan pada kondisi perkantoran apalagi pekerjaan yang
menuntut mobilitas tinggi seperti dokter atau laboran atau perawat, dengan alasan
kurang praktis. Aku sendiri kurang senang mengenakan pakaian dalam bentuk gaun

karena alasan kepraktisan juga mungkin karena di dalam diri seorang seniman,
seperti tidak ingin diatur dalam masalah berpakaian. Gaun cocok dikenakan dalam
event-event khusus, seperti kenduri atau pesta.
Yang paling praktis tetap baju terusan selutut dipadukan dengan celana kain.
Seperti pakaian anak-anak perempuan di kampung yang mengenakan celana
panjang dan kain sarung, jarang mereka mengenakan rok. Tapi ada juga yang
memang senang mengenakan rok. Aku bilang, masalah pakaian seharusnya tidak
usah dibuat menjadi masalah. Asal mengerti bagaimana menempatkan segala
sesuatunya pada tempat yang sesuai. Aku tentu tidak akan pernah mengenakan
pakaian renang ke acara kenduri atau sebaliknya.
Njoe lagee njoe, njan lagee njan. Kata mamak.
Amirah juga sepertinya bukan tipe perempuan yang senang disusahkan
dengan masalah bagaimana wanita harus berpakaian. Menutup aurat adalah wajib
dan dia mengenakan jilbab. Pakaiannya simple kasual, longdress selutut dan celana
kerut. Seperti itu sudah baik.
Tentu, bagaimana dapat memaksakan hak individu di dalam aturan
bernegara? tanya Amirah balik menanggapi komentarku mengenai jilbab terbang.
Ya, tapi hal ini menjadi penting ketika cara berpakaian yang disesuaikan
dengan aturan agama menjadi cara untuk menekan kepentingan perempuan,
membatasi hak-hak perempuan, menutup suara mereka ujarku sambil melirik
kepada Rasyid dan Samil yang terlihat mendengarkan dengan manis pembicaraan
kami.
Samil menoleh kepadaku.
Ibarat Seulawah Inong yang deretan punggungan pegunungannya seperti
rambut Inong Aceh yang panjang terurai, aku ingin menutupnya dari pandanganpandangan asing. Untuk itu aku mohon kepada para inong-inong Aceh untuk
menutup rambutnya. Kalau tidak, pandangan-pandangan asing ini akan merampas
semuanya tidak bersisa! ujar Samil dalam bahasa Aceh yang terdengar seperti
maklumat perintah panglima di telingaku.

Amirah dan Rasyid tersenyum memperhatikan kami berdua.


Njan artinya kalau inong Aceh membuka rambutnya, artinya sudah bersedia
untuk membuka pegunungan Seulawah bagi investasi asing komentar Rasyid,
Begitulah perjanjiannya sekarang! ujarnya lagi.
Aku dan Amirah terdiam. Aku lihat Amirah langsung membenarkan jilbabnya.
Perkataan Samil terdengar cukup menakutkan.
Aku juga membantu dalam kasus pengungsi Rohingya ujar Amirah
mengalihkan pembicaraan dari urusan jilbab terbang.
Menurutku pengungsi Rohingya adalah bala bantuan yang dikirim Allah
untuk membantu Aceh ujarku datar.
Amirah, Rasyid dan Samil langsung diam memperhatikanku.
Kita sudah tidak memiliki pasukan armada laut yang handal. Allah
mengirimkan orang-orang Rohingya untuk menjadi guru bagi kita. Manusia Perahu!
tambahku lagi, Mereka datang untuk melengkapi hal yang selama ini hilang,
kemampuan orang-orang Aceh di laut ujarku lagi dengan yakin.
Harus ada orang yang mampu memimpin orang-orang Rohingya. Seorang
Panglima Armada Laut. Kemampuan mereka akan sangat dibutuhkan di Aceh
komentar Rasyid.
Orang Rohingya adalah bangsa pelaut dan sebagian juga bertani. Tidak akan
sulit bagi mereka untuk dapat hidup di Aceh. Kita justru dapat kembali belajar
melaut pada mereka, bangsa pelaut komentar Amirah.
Mereka hanya membutuhkan sedikit tanah untuk rumah, untuk dapat hidup.
Dan kayu-kayu untuk membuat perahu.. komentarku, sambil membayangkan
sebuah pasukan armada laut. Beberapa lama hal ini memang terpikirkan olehku.
Allah SWT seperti mengirimkan orang-orang Rohingya untuk orang Aceh. Generasi
Aceh sekarang sudah sedikit sekali yang mampu untuk menaklukkan laut dan Allah
mengirimkan bangsa yang dapat menjadi guru bagi kita.

Subhanallah, sungguh rencana Allah sama sekali tidak dapat ditentukan oleh
manusia.
Akan aku tulis hal ini di koran cetakanku bulan depan ujar Samil.
Segera setelah menghabiskan sate matang pesanan kami, kami berempat
langsung bergegas menuju Takengon. Bergegas agar dapat mendahului orangorang Jerman yang masih menumpang buang air kecil di kamar mandi restoran sate
Matang.
Hidup beusaree-saree. Saling bahu membahu. Melengkapi apa yang kurang.

Janji Kemerdekaan pada cincin


yang disematkan.
Mobil yang dikendarai Samil melaju pelan memasuki satu-satunya jalur
masuk menuju Takengon dari arah Bireun. Pemandangan di kanan kiri jalan sama
seperti pemandangan di daerah Aceh lainnya. rumah-rumah toko, gedung

perkantoran, fasilitas umum seperti sekolah, mesjid, rumah sakit dan bangunanbangunan umum lainnya.
Aku memperhatikan beberapa rumah toko yang di cat dengan bendera bulan
bintang, lambang dari partai Aceh. Kosong dan terlihat selalu terkunci. Hal ini juga
yang sering aku tanyakan, kemana orang-orang dari Gerakan Aceh Merdeka
tersebut yang telah membentuk diplomasi politik setelah kesepakatan damai MoU
Helsinki disepakati?
Kenapa kantor partai Aceh terlihat selalu tertutup, seperti tidak ada
kegiatan? tanyaku pada Samil dan Rasyid, sementara Amirah terlihat sibuk
mengetik sesuatu pada komputer jinjingnya.
Beberapa saat Samil terlihat diam, seperti enggan menjawab pertanyaanku.
Kebanyakan dari kombatan GAM, yang sudah menyerahkan diri setelah
kesepakatan damai, lebih memilih bekerja daripada berjuang secara diplomasi
kata Samil cepat. Itu sebabnya tidak ada kegiatan di kantor partai Aceh lanjutnya
lagi.
Itu orang itu.. ujar Samil sambil menunjuk orang laki-laki yang sedang
bekerja di kedai-kedai mie Aceh, bengkel, toko, terminal dan lain sebagainya.
Beberapa ada yang lebih senang berjuang secara diplomasi, orang itu ikut partai.
Tapi tetap saja.., yang merdeka itu yang mampu hidup dari tangan sendiri ujarnya
lagi.
Yang berjuang secara diplomasi juga tentu ada tanggung jawabnya, tidak
hanya sekedar besar bicara. Rakyat Aceh membutuhkan hubungan ekonomi agar
tetap baik dengan negara-negara yang selama ini memiliki hubungan yang baik
dengan Nanggroe Aceh. Termasuk hubungan ekonomi dengan Indonesia dan
Malaysia, untuk itu harus ada diplomasi, agar urusan menjadi lancar. Kemerdekaan
Aceh juga butuh pengakuan dari negara-negara lain, untuk itu harus ada yang mau
banyak bicara, tetapi membicarakan hal yang berguna, bukan sekedar banyak
bicara terang Samil.
Sebagian besar juga ada yang masih mengangkat senjata. Tetap harus ada
yang berani untuk berjuang secara gerilya ujarnya lagi, kemudian beberapa lama

ia diam. Aku tidak mau memaksakannya untuk menceritakan hal yang tidak harus
aku ketahui.
Kondisi di Takengon agak berbeda, nanti juga dek Ja bisa mengerti sendiri
ujarnya lagi sambil sesekali menoleh ke belakang ketika berbicara denganku. Rasyid
terlihat mendengarkan tapi juga tidak berkomentar apa-apa.
Adzan maghrib mulai terdengar ketika kami memasuki daerah Empu. Samil
kemudian memberhentikan mobil di salah satu mesjid kecil yang ada di pinggir
jalan. Walau bagaimanapun, shalat adalah amalan wajib yang tidak boleh
ditinggalkan.
Dingin air wudhu membasahi wajahku juga karena hawa dingin dataran tinggi
mulai terasa. Beberapa orang anak perempuan terlihat berlari-larian memasuki
mesjid. Seulekum putih yang mereka kenakan terlihat berkibar pada latar belakang
langit biru yang mulai gelap. Kami kemudian ikut shalat maghrib berjamaah.
Kantor polisi, pos tentara, kedai-kedai kopi dan kantor-kantor partai Aceh
berseling-selingan di pinggir jalan. Saling memarka masing-masing. Berusaha
menguasai satu sama lain. Akan tetapi bagi setiap orang yang mengerti mengenai
sejarah politik Aceh tentu akan mengerti siapa yang benar dan siapa yang
seharusnya tidak berhak untuk menguasai.
Aceh Tengah yang beribukota di Takengon, dulunya adalah bagian daerah
yang berada dalam wilayah Aceh Pidie dan beribukota di Sigli. Hubungan
kekeluargaan yang baik juga sudah terbentuk antara orang-orang Aceh dan orang
Gayo di Takengon yang memang memiliki aturan adat yang cukup berbeda dengan
orang Aceh. Sepanjang sejarah politik Aceh, orang Aceh dan orang Gayo jarang
berselisih paham bahkan bersama-sama berjuang ketika penjajahan imperial dari
semasa zaman Portugis hingga Belanda. Walaupun masing-masing mengunggulkan
diri dan keutamaan adat masing-masing.
Yang jelas, orang Aceh dan orang Gayo sama-sama merupakan masyarakat
Islam yang setuju mengenai penegakkan Syariah Islam di Aceh.
Abang rencananya akan menginap di Lampahan malam ini, dek Ja
bagaimana? Ikut menginap di di Lampahan, atau abang antar ke rumah bang

Fikrah? tanya Samil ketika kami sudah kembali menyelusuri jalan menuju Aceh
Tengah.
Sekilas aku lirik jam tangan yang menunjukkan pukul tujuh malam. Kalau aku
meminta diantarkan ke rumah bang Fikrah di Celala, mungkin akan sampai disana
sekitar pukul sembilan malam. Tapi di dalam hati, sebenarnya aku ingin bersama
Samil. Kami jarang sekali bersama, wajar kalau aku rindu dan ingin menghabiskan
waktu berlama-lama dengannya. Aku juga belum terlalu mengenalnya dan
perlawanan yang dilakukannya. Kalau aku mampu, aku ingin membantunya. Tapi
aku berusaha untuk menahan keinginan yang aku rasakan. Aku juga tidak ingin
menyusahkan dalam perlawanan yang dilakukannya.
Kalau tidak dapat membantu setidaknya aku tidak mau menyulitkannya.
Menginap saja di Lampahan, kak Amirah juga akan ikut menginap bersama
kami di Lampahan ujar Rasyid memberikan pendapatnya sambil menyenggol Samil
yang terlihat diam tidak memberikan saran apakah aku harus ikut menginap di
Lampahan bersama mereka atau menginap di rumah saudaraku di Celala.
Sekali-sekali bertemu, kalian pasti ingin menghabiskan waktu untuk
bersama dan saling mengenal. Tenang saja, aku dan Amirah tidak akan
mengganggu ujar Rasyid yang menggodaku dan Samil. Sekilas aku melirik Samil
tapi dia terlihat tenang saja sambil terus menyetir.
Kalau ada dua orang yang bukan muhrim bersama, yang ketiganya adalah
setan ujar Amirah menimpali perkataan Rasyid yang aku jawab dengan senyum
bingung. Aku ingin bersama mereka, bukan hanya karena aku ingin dekat dengan
Samil tetapi juga aku ingin dapat mengetahui mengenai kondisi sosial politik di
Aceh dan Takengon dan kegiatan seperti apa yang dilakukan oleh Samil, aku ingin
membantu dalam pergerakan dan perlawanannya.
Tapikan kita berempat.., jadi tidak ada yang menjadi setan ujar Rasyid
membalas komentar Amirah, aku kembali tersenyum tidak tahu harus berkomentar
apa sementara Samil tetap diam, seperti memberikan kesempatan bagiku untuk
menentukan sendiri.

Tapi ya.., kalian memang jarang bertemukan? komentar Amirah lagi sambil
melirikku yang sepertinya mengerti kalau aku ingin bersama mereka menginap di
Lampahan. Besok baru sama-sama ke Takengon, singgah di rumah saudara ujar
Amirah lagi. Aku langsung merasa diperlakukan seperti anak kecil diantara mereka.
Kasihan Samil, berpacaran dengan anak perempuan sepertiku pasti menyulitkan
baginya.
Menginap saja di Lampahan. Nanti aku yang menghubungi bang Fikrah dan
Ayah di Kualasimpang ujar Samil akhirnya setelah melihat aku yang tidak dapat
mengambil keputusan. Aku kemudian langsung mengangguk.
Aku merasa Samil sangat bertanggung jawab dan aku merasa dijaga ketika
bersamanya.
Hampir pukul setengah sembilan malam ketika kami sampai di Lampahan,
perjalanan agak ke Tenggara dan memasuki jalan perkampungan yang tidak terlalu
jauh dari jalan besar. Terlihat beberapa tempat penggilingan kopi dan aku dapat
mencium wangi kopi yang sedang disangrai.
Kami berhenti di sebuah rumah panggung kayu dengan halaman luas, mirip
dengan arsitektur rumah Aceh hanya desainnya modern minimalis. Seperti villa
kecil. Aku dapat melihat kedai kopi kecil di bawah kolongnya dan beberapa orang
laki-laki yang terlihat sedang menikmati kopi. Di sebelah rumah tersebut ada
tempat penggilingan kopi. Perlahan aku berjalan mengikuti Samil, kemudian ia
menggenggam tanganku.
Assalammualaikum.. ujar Rasyid dan Samil memberi salam kepada
sekumpulan orang laki-laki disana yang langsung disambut oleh mereka.
Waalaikumsalam
Ka ditunggu.., Pue haba? Duek.., duek.. ujar sebuah suara berat yang
orangnya langsung menyalami kami berempat bergantian. Seorang laki-laki
berperawakan tinggi besar, kulitnya kecoklatan. Ia mengenakan kemeja lapangan
berwarna hijau lumut dengan lengan yang digulung. Walaupun tidak ada tanda
bintang atau pangkat, menurutku orang ini sangat berwibawa sekali. Kewibawaan
bukanlah suatu hal yang dibuat-buat, kewibawaan muncul pada orang yang

memang patut untuk dihormati sebagai pemimpin. Walaupun ia terlihat sangat


ramah. Aku tidak tahu ia siapa. Mungkin salah satu panglima GAM.
Jep kupi.. ujarnya yang mempersilahkan kami untuk minum kopi. Beberapa
ketel panas dengan uap kopi yang menguar berada di atas meja panjang yang
dipenuhi oleh sekitar delapan hingga sebelas orang laki-laki yang semuanya terlihat
siaga walaupun perbincangan dan obrolan mereka terdengar sangat ramah.
Samil kemudian dipersilahkan duduk di dekat orang yang berperawakan
tinggi besar tersebut, Samil belum sempat menceritakan kepadaku siapa nama
orang ini atau siapakah dia. Aku langsung terlihat seperti anak kecil yang
kebingungan. Aku merasakan beberapa pasang mata yang memperhatikanku,
mungkin dia pikir, adik ini seharusnya pergi mengaji ke meunasah, bukan
berkumpul dengan orang laki-laki minum kopi.
Amirah dan Rasyid terlihat langsung membaur bersama beberapa orang yang
sepertinya sudah cukup mereka kenal. Mereka semua berbicara dalam bahasa Aceh
yang sebenarnya dapat aku mengerti sebagian. Amirah kemudian mengajakku
untuk duduk di dekatnya, membiarkan Samil dan orang yang berperawakan tinggi
besar tersebut berbicara beberapa lama.
Beberapa orang membicarakan masalah pilkada dan pengelolaan dana
otonomi khusus. Juga investasi asing seperti yang kami bicarakan selama
perjalanan di dalam mobil. Juga mengenai identitas GAM setelah mereka melebur
menjadi masyarakat sipil.
Aku pikir, Aceh membutuhkan angkatan militer dan yang menjadi inti dari
Angkatan Militer Nanggroe Aceh adalah orang-orang GAM. Tapi perkembangan
dalam pembentukan hal tersebut masih panjang dan mungkin masih menjadi
rahasia internal GAM yang tidak dapat diketahui oleh orang sipil seperti aku.
Kopinya enak, Arabika Gayo.
Pembicaraan mereka terdengar penting sekali. Kandidat gubernur Aceh, kans
wakil Aceh di tingkat nasional, diplomasi politik Aceh ke negara-negara asing,
investasi asing di beberapa proyek besar terkait energi, pengelolaan dana otonomi

khusus, geliat ekonomi mikro yang sekarang menguasai sektor riil di Aceh,
terdengar maju dan jauh sekali.
Aku diam memeluk tas yang berisi buku sketsa sambil sesekali menyeruput
kopi hangat tanpa gula. Aku tidak tahu harus menempatkan diri dimana. Seperti
tidak

bisa

apa-apa.

Seperti

tidak

dapat

melakukan

apa-apa.

Perempuan

kedudukannya sangat lemah dalam perpolitikan di Aceh.


Aku ingin sekolah. Mempelajari kaligrafi dan desain etnis. Tetapi sepertinya
tidak banyak orang yang peduli dengan hal tersebut. Mereka terlalu sibuk dengan
urusan yang sangat penting hingga kami seperti tidak terlihat. Aku, Ayla, Cherryl,
Shahnaz, Arin. Anak-anak perempuan keturunan Aceh yang seperti beban sampah
tak terlihat. Tidak diinginkan di pihak manapun. Terjepit, terhimpit, pihak lemah
yang selalu menjadi sasaran kemarahan pihak-pihak kuat yang bertikai.
Anak-anak perempuan keturunan Aceh seperti aku, Ayla, Cherryl, Shahnaz
dan Arin, jika memihak Indonesia, harus menerima kenyataan persaingan ketat
dengan anak-anak Indonesia yang sudah sangat maju pendidikannya sementara
pendidikan yang kami peroleh di Aceh jauh sekali dari standard yang ada di
Indonesia juga persaingan dalam kelas-kelas sosial karena harganya mahal untuk
dapat memperoleh pendidikan yang baik dan kemungkinan dibenci oleh saudarasaudara kami yang memihak Aceh Merdeka karena dianggap berkhianat.
Sedangkan jika kami memihak Kemerdekaan Aceh, kami akan dianggap kelas
bawah juga diskriminasi diantara saudara-saudara kami yang orang Aceh asli juga
tanpa kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih
baik.
Bagaimana dapat melanjutkan sekolah dalam kondisi politik yang tidak jelas
seperti sekarang? hal itu yang terus menerus aku pikirkan.
Aku peluk buku sketsaku erat-erat sambil berpikir, Allah maha pengasih dan
maha penyayang. Tentu ada hikmah dibalik semua kesulitan. Dhaif, tetapi aku
berusaha untuk percaya bahwa akan ada titik terang.
Amirah dan aku menginap pada satu kamar. Sebuah kamar di rumah
panggung yang berbentuk villa kecil. Kamarnya nyaman, dengan kasur tanpa

tempat tidur. Atapnya rendah juga dengan jendela rendah yang sejajar dengan
pandangan mata. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku lihat Amirah langsung
bekerja mengetik sesuatu.
Aceh

mungkin

akan

Merdeka

dengan

memiliki

kedaulatan

seperti

Switzerland ujarnya kepadaku sambil tetap mengetik.


Dan Indonesia seperti Perancis yang memiliki paham sekuler? tanyaku
berusaha menanggapi. Hal ini memang penting, secepatnya kondisi politik harus
dapat dijelaskan, agar tidak semakin menyulitkan banyak pihak, termasuk bagi aku
yang masih ingin melanjutkan sekolah pada pendidikan tinggi yang lebih baik. Jika
kondisi politik di Aceh terus menerus berada dalam ketidakjelasan, aku tidak tahu
bagaimana harus melanjutkan pendidikan tinggi terutama karena aku sudah
sejelas-jelasnya

mendukung

Kemerdekaan

Aceh.

Untuk

dapat

melanjutkan

pendidikan tinggi di wilayah Negara Indonesia akan terus dipersulit hingga aku mau
mengakui kedaulatan Indonesia yang terdiri dari propinsi Aceh di dalamnya.
Juga karena aku tidak memiliki uang seperti anak-anak panglima GAM atau
orang Aceh yang telah berhasil lainnya. Mereka dapat menyelesaikan semua urusan
dengan uang yang diperoleh dari pemerintah Indonesia, dana otonomi khusus yang
didapat dari hasil tambang dan migas. Aku lihat anak-anak orang Aceh, banyak
yang hidupnya foya-foya sekali. Untuk mendapatkan beasiswa aku harus mengurus
perizinan dan semua urusan administrasi pada pemerintah Indonesia dan hal ini
artinya aku harus mengakui kedaulatan mereka. Aku benar-benar tidak mau
menerima uang beasiswa dari mereka.
Tentu saja aku lebih baik asah batee daripada harus mengakui Negara
Indonesia dan tunduk pada kekufuran. Lebih baik asah batee daripada membuangbuang banyak uang untuk menjadi bola pingpong birokrasi pendidikan di Indonesia
yang sengaja mempersulit anak-anak Aceh untuk dapat memperoleh pendidikan
yang hanya menjual kertas kosong berisi ijazah dan pembodohan agar tunduk pada
pemerintahan yang mungkar dan dzalim.
Ya, seperti itu kira-kira. Perancis dan Swiss seperti dua negara tetangga
yang keduanya sama-sama berdaulat dan memiliki dasar konstitusi yang berbeda
komentar Amirah. Tetapi hal ini masih dalam tahap ide. Bang Yazeer yang bilang

ujarnya lagi sambil menyebutkan nama orang yang kami temui tadi dan berbicara
bersama Samil.
Jika menginginkan untuk dapat bermasyarakat dan bernegara di dalam
Negara Merdeka yang berdaulat dalam menegakkan aturan Syariah Islam di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih baik berpihak dan mendukung
Kemerdekaan Aceh ujar Amirah lagi.
Mengenai melanjutkan sekolah ke pendidikan tinggi.., dalam kondisi seperti
sekarang, semua orang dapat maklum jika tidak dapat memiliki ijazah karena
terang-terang membela Kemerdekaan Aceh. Ijazahku juga dikeluarkan oleh kampus
swasta di Aceh yang entah akreditasinya apa.. ujar Amirah lagi. Tapi yang jelas
aku lebih dekat dengan masyarakatku sendiri, lebih mengerti mengenai bagaimana
kondisi di dalam masyarakatku sendiri. Hal ini yang diinginkan oleh rakyat terhadap
pemimpinnya, bukan ijazah kosong sekolah tinggi tanpa isi yang bahkan membuat
pemimpin semakin jauh dari rakyatnya ujar Amirah seperti mengerti apa yang aku
risaukan.
Bang Yazeer ini salah satu pemimpin GAM? tanyaku kepada Amirah, ia
kemudian mengangguk dan aku kemudian langsung mengerti.
Tapi setelah peralihan kombatan GAM ke masyarakat sipil, dia lebih memilih
gerilya. Walaupun pendidikan militer bagi anggota GAM tetap ada, secara
sembunyi-sembunyi. Sekarang dia sibuk mengurus perkebunan dan penggilingan
kopi untuk membiayai pergerakan. Merencanakan perlawanan sendiri yang terlepas
dari kendali pemerintahan pemimpin-pemimpin boneka yang ada di Eropa ujar
Amirah.
Maksudmu? tanyaku tidak mengerti.
Beberapa

saat

Amirah

hanya

tersenyum

memperhatikanku

yang

kebingungan, Dek Ja pikir, pemimpin yang sudah diasingkan dan berada dalam
kendali orang-orang Eropa dapat objektif dalam mengambil keputusan dan
memihak pada rakyat Aceh? tanyanya padaku.
Maksudnya,

pemimpin-pemimpin

GAM

yang

berusaha

diplomasi dengan negara-negara Eropa? tanyaku masih bingung.

mengusahakan

Ya, itu artinya, orang itu sudah ditangkap sama musuh, diasingkan ke Eropa.
Lalu apa kita masih harus menuruti perintah mereka yang tentu saja dibayangbayangi ancaman musuh? cecar Amirah, logikaku mulai bekerja.
Pemimpin yang dapat benar-benar kita percaya adalah pemimpin yang tidak
pernah tertangkap musuh dan masih benar-benar dekat dengan kondisi dan realitas
yang terjadi di dalam masyarakat Aceh. Sebesar-besarnya pemimpin, kalau tidak
mengerti dengan apa yang terjadi pada rakyatnya, apa yang dipimpinnya?
Tidak berapa lama, kami mendengar pintu kamar diketuk. Aku dan Amirah
kemudian buru-buru mengenakan jilbab lalu aku membukakan pintu.
Temani aku minum kopi ujar Samil yang sudah berdiri di hadapanku.
Tadi

bukannya sudah minum kopi, nanti tidak dapat tidur ujarku

kepadanya.
Gak sempat tadi, sambil bicara-bicara serius, mana bisa minum kopi
ujarnya lagi sambil menatapku lurus.
Tapi

kami

sudah

siap-siap

mau

tidur

ujarku

yang

melihatnya

memperhatikan piyama tidur yang aku kenakan. Amirah yang berada di dalam
kamar terlihat serius mengetik dan sepertinya pura-pura tidak memperhatikan
kami.
Jak.. ujarnya menarik tanganku lalu mengajakku pergi.
Kami duduk di meja bawah sambil memperhatikan cahaya bulan yang
sedang bersinar terang. Langit Takengon terlihat cukup cerah. Aku melihat
beberapa bintang yang terlihat bersembunyi. Samil memanaskan air lalu menyeduh
kopi. Aromanya langsung menguar lalu membukakan mataku yang memang sudah
agak kelelahan. Rumah ini seperti rumah pemberontak Khmer yang pernah aku lihat
di dalam majalah.
Samil terlihat agak gelisah, aku tahu tadi dia mengisap ganja.
Lekat aku perhatikan dia yang sedang menyeruput kopi panas dari dalam
piring kaca tatakan. Aku kemudian ikut menuangkan kopi panas ke dalam piring

kaca tatakan, aku hirup uapnya dalam-dalam. Entahlah euphoria ini juga ikut aku
rasakan.

Euphoria

atas

Kemerdekaan

dan

kejelasan

atas

hal

yang

telah

diperjuangkan oleh setiap rakyat Aceh, oleh setiap Aneuk Nanggroe selama
beberapa dekade pemberontakan yang tidak akan pernah padam.
Euphoria atas Hidup dan Kemerdekaan.
Segala argumentasi telah diajukan untuk mendukung Kemerdekaan Aceh
secara mutlak berdaulat terlepas dari Pemerintah Indonesia. Dari mulai argumentasi
sejarah, argumentasi perbedaan teritori, argumentasi perbedaan kondisi sosial
politik, argumentasi perbedaan budaya masyarakatnya, argumentasi mengenai
perbedaan dasar pemerintahan, argumentasi mengenai perbedaan dasar sistem
konstitusi, kepemimpinan militer dan lain sebagainya. Dari mulai orang Aceh yang
menjadi sangat alim karena harus dapat menegakkan Syariah Islam agar dapat
benar-benar terlepas dari pemerintah Indonesia, hingga orang Aceh yang harus
benar-benar menjadi pemberontak dan mengacau keamanan agar dapat benarbenar

terlepas

dari

pemerintah

Indonesia.

Bagaimanapun

argumentasinya,

bagaimanapun cara perlawanannya, yang diinginkan oleh rakyat Aceh adalah


Kemerdekaan Mutlak dan Berdaulat terlepas dari Pemerintah Indonesia.
Mau menjadi negara agama atau mau menjadi negara sosialis yang jelas
rakyat Aceh tidak mau berada dibawah pemerintah Indonesia. Begitulah kira-kira
pendapat orang Aceh yang benar-benar militant berjuang untuk Kemerdekaan Aceh
karena sangat tidak inginnya berada di bawah pemerintah Indonesia. Mereka tidak
perlu dan tidak mau mengerti bagaimana caranya mengajukan argumen diplomasi
kepada penjajah-penjajah kafir yang serakah ingin menguasai, yang mereka tahu
bahwa

mereka

harus

melawan

untuk

mempertahankan

agamanya.

Untuk

mempertahankan hidup dan tanah negerinya.


Begitu pembicaraan Samil dan Yazeer yang aku dengar sebagian ketika
berbincang-bincang tadi.
Tapi sepertinya bukan itu yang ingin dibicarakan Samil.
Abang

menghisap

ganja?

kemudian mengangguk pelan.

tanyaku

yang

melihat kegelisahannya.

Ia

Kalau dalam kondisi sadar, kadang tidak ada keberanian jawabnya.


Itu karena kita tidak dekat dengan Allah. Kalau dekat dengan Allah dan
mengetahui bahwa apa yang kita bela adalah kebenaran, tidak ada lagi rasa takut
jawabku.
Keberanian ada karena kita mengerti jelas bahwa kita berada pada pihak
yang benar dan takut hanya kepada Allah! ujarku menyemangatinya dan agak
sedikit kesal dengan sikapnya yang kembali mengisap ganja. Ganja dan GAM
seperti hal yang tidak dapat dipisahkan. Walau aku tahu, Samil tidak pernah
menjadi ketergantungan terhadap ganja. Hanya terkadang saja.
Ganja

peubuet

tabangai!

sergahku,

Miseujih

geutanyoe

kabangai

mandum, soe njang pimpin nanggroe?! tanyaku yang merasa sangat kesal.
Samil kemudian mengangguk lalu berjalan ke sumur dan mengambil air
sembahyang lalu shalat sunnah dua rakaat. Setelah itu ia terlihat lebih segar dan
kembali berbicara padaku dengan isi kepala yang lebih benar.
Bukan keberanian untuk memimpin nanggroe yang sedang aku butuh
sekarang ujarnya sambil memutar-mutar cangkir kopi di depanku.
Aku diam saja, karena belum mengerti maksud kata-katanya.
Samil mengajakku berjalan di luar, di halaman depan rumah yang juga di
tanami pohon mulieng, pohon jambu air, pohon belimbing dan juga bunga-bunga.
Erat ia genggam tanganku dan aku rasakan tangannya yang dingin.
Aku ingin dek Ja mengenakan ini.. ujar Samil sambil memperlihatkan satu
buah cincin kepadaku, kemudian ia menyematkan cincin tersebut di jemariku. aku
perhatikan wajahnya yang menunduk sambil menyematkan cincin di jemariku.
Sampai aku benar-benar dapat membawakan Kemerdekaan itu untukmu
ujarnya yang kemudian menatapku lurus. Dikecupnya keningku pelan lalu ia
memberikan satu buah cincin lagi yang ia minta untuk aku sematkan di jarinya.
Inilah keberanian yang aku cari selama ini ujarnya lagi.

Perlahan aku rasakan pandangan matanya menghujam ketika aku sematkan


pasangan cincin itu dijarinya.
Aku tunggu gumamku lirih.

Kelat Pahit Meuria.


Dingin udara pagi mulai menembus sweater tebal yang aku kenakan.
Setelah kembali ke kamar, aku lihat lampu kamar sudah dimatikan oleh Amirah dan
ia sudah tertidur pulas. Aku kemudian duduk di sofa kecil yang ada di kamar

tersebut. Sedetikpun aku merasa tidak mengantuk. Mungkin karena beberapa gelas
kopi yang aku minum malam ini. Mungkin juga karena janji dan perkataan Samil
kepadaku mengenai Kemerdekaan Aceh. Setelah berbicara denganku, ia kemudian
kembali menemui Yazeer di ruang pertemuan yang ada di belakang rumah. Katanya
beberapa orang sudah menunggunya disana untuk membicarakan beberapa
permasalahan.
Sayup aku dengar suara orang yang mengaji di Meunasah, menandakan
sebentar lagi akan masuk waktu Subuh. Penat dan lelah aku rasakan tetapi
pikiranku tetap tidak dapat tenang.
Samil menceritakan beberapa hal kepadaku, yang benar-benar membukakan
mataku tentang seperti apa perlawanan yang sedang dan akan terus dilakukan oleh
setiap rakyat Aceh, setiap Aneuk Nanggroe.
Pada masa sebelum Kemerdekaan Indonesia, Aceh adalah negeri yang
menjadi pusat penyebaran agama Islam. Masyarakatnya memiliki pengetahuan
Agama yang dalam dan keimanan yang tidak diragukan. Pada masa ini, wilayah di
Aceh masih terbentuk dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan kecil dengan
pusat pemerintahan di Kutaradja atau Banda Aceh. Ilmu Agama dan Ilmu
Pengetahuan maju di kalangan intelektual Aceh juga masyarakatnya memiliki
pemahaman Agama Islam yang jelas karena pendidikan di dalam masyarakat Aceh
diberikan langsung oleh para Tengku dan Ulama Aceh yang langsung belajar di
Mekkah serta mewarisi Ilmu Pengetahuan Agama dan juga adat istiadat Aceh.
Setelah masa Kemerdekaan dan Aceh memutuskan untuk bergabung dengan
Indonesia, yang diterima oleh rakyat Aceh justru tekanan politik dan militer dari
pemerintahan rezim di Jawa. Pemerintahan rezim di Jawa yang memiliki taktik untuk
menguasai Aceh dengan cara membunuh para guru, tengku-tengku dan ulama Aceh
agar tidak ada yang dapat meneruskan pendidikan bagi masyarakat Aceh dan
membiarkan anak-anak generasi Aceh hidup dalam kebodohan. Sementara
pemerintahan rezim di Jawa menyekolahkan rakyatnya untuk mempelajari Islam
yang kemudian dikirim ke Aceh bersama tentara militer dan guru-guru yang
membawa doktrin Pancasila untuk mendidik rakyat Aceh agar patuh pada
pemerintah Indonesia. Puluhan tahun kekejaman ini terjadi. Rakyat Aceh tidak

hanya menderita luka fisik tetapi juga moral. Jati diri rakyat Aceh berusaha untuk
dirubah dengan strategi taktik yang kejam dan keji.
Dapat dilihat jelas bahwa strategi taktik ini tidak berhasil karena sampai
kapanpun, tidak akan dapat menghilangkan Iman Islam dan adat istiadat seorang
Aceh. Di dalam hati dan di dalam jiwa setiap Aneuk Nanggroe.
Bagaimana caranya menghapuskan dendam yang tumbuh karena kedzaliman
dan keserakahan?
Bagaimana caranya agar sesama muslim tidak saling memerangi satu sama
lain?
Tidak lengkap syahadat mereka dalam Islam hingga diantara mereka ada
yang syahid, syahadat.., orang-orang yang menyaksikan kebenaran Islam dengan
sebenar-benarnya ujar Samil menyampaikan kepadaku hal yang disampaikan oleh
tengku Sayeedil kepadanya mengenai Keislaman orang-orang Jawa. Tidak lengkap
syahadat dan tauhid mereka dalam Islam hingga diantara mereka ada yang syahid,
orang-orang yang menyaksikan kebenaran Islam dengan sebenar-benarnya.
Pahit, kelat, rasa rujak Meuria. Rujak Aceh.
Lalu apa orang-orang Aceh yang sudah jelas memiliki Keimanan di dalam
Islam harus tunduk pada kepemimpinan pemerintahan yang masih jelas kufur dan
syirik dalam ideologi yang tidak sesuai dengan Islam? Kepemimpinan pemerintahan
yang mungkar dan dzalim?
Kemerdekaan Aceh adalah hal yang mutlak. Memerangi orang-orang Aceh
yang berjuang untuk Kemerdekaan Aceh dalam Syariah Islam sama seperti
memerangi Islam itu sendiri dan laknat Allah kepada mereka yang memerangi
sesama muslim karena ketamakan dan keserakahan.
Sampai kapanpun Aceh adalah Negeri yang Merdeka.

Silang Selisih Kuasa.


Menjelang Subuh aku merasakan kantuk dan kelelahan yang berat. Setelah
Adzan buru-buru aku tunaikan shalat Subuh kemudian langsung merebahkan diri
untuk beristirahat. Karena baru tidur menjelang pagi, aku terbangun kesiangan.
Begitu terbangun aku lihat Amirah sudah rapi dan sedang membereskan barangbarangnya.
Beudoh.., pakon aneuk dara poh jinoe mantong eh.. ujar Amirah
menegurku. Cahaya matahari menderang dari sela-sela kain jendela pada jendela
rendah di dinding rumah. Aku kemudian tersenyum sambil mengusap-usap wajah.
Bagah.., setelah sarapan kita langsung ke Takengon. Jak meuen-meuen
ujar Amirah kepadaku.
Jak meuen-meuen pue? meuen AK47 pue peudeung rencong? tanyaku
balik

kepadanya menanggapi

perkataannya

mengenai

rencana

untuk

pergi

bermain-main ke Takengon pagi ini. Setelah semua hal yang aku ketahui dari Samil,
sepertinya tidak ada lagi waktu untuk bermain-main. Amirah hanya tertawa kecil
sambil mengulurkan handuk dan peralatan mandi kepadaku.
Jak meuen-meuen u pajak, peublo markisa jawab Amirah, Aku juga ada
rencana ingin memasak plik u dan kuah beulangong hari ini, sama ibu-ibu di
belakang, dek Ja juga harus belajar masak masakan Aceh kalau akan menikah
dengan orang Aceh.., kalau tidak, nanti Samil geucok bak rumoh makan atawa ibu
katering ujar Amirah menggodaku. Aku langsung merasa bersemangat belajar
memasak, Mak bilang kalau tidak bisa memasak, rumah tangga akan kurang
harmonis. Aku merasa dekat dengan Amirah. Aku tidak memiliki kakak perempuan,
jadi aku langsung menganggap Amirah sebagai kakak perempuanku sendiri.

Ketika turun dari rumah dan berjalan ke arah sumur, aku lihat Samil dan
Rasyid yang sedang berjalan memasuki halaman rumah. Mereka membawa koran
cetakan Samil yang disebarkan ke meunasah-meunasah sekitar.
Dek Ja, ka lheeue pajoh bu? tanya Samil kepadaku.
Goh lom, jak manoe dilee jawabku kemudian langsung berjalan ke arah
sumur. Sama seperti rumah orang Aceh di kampung, rumah ini juga tidak memiliki
kamar mandi di dalam rumah. Sumber air ada di sumur yang terletak beberapa jauh
dari rumah.
Setelah mandi dan berberes-beres, aku lihat Samil, Amirah dan Rasyid
sedang sarapan di meja bawah. Aku kemudian bergabung bersama mereka.
Sama seperti Kualasimpang, kondisi sosial politik di Takengon agak beda jika
dibandingkan dengan daerah-daerah Aceh yang lain. Hari ini rencana kita hanya
jalan-jalan ke pajak, berkeliling kota Takengon sambil melihat kebun kopi juga kebun
buah ujar Samil kepadaku. Mungkin dek Ja mau bawa buku sketsa, gambar sketsa
bangunan di Takengon lanjut Samil lagi sambil memperhatikanku yang sedang
mengambil eungkot keumamah masak ceunicah sebagai lauk nasi untuk sarapan
pagi.
Kepalaku agak terasa pusing karena kurang tidur tapi aku kemudian tetap
tersenyum dan mengangguk menanggapi Samil.
Mobil lagi dipakai sama bang Yazeer, jadi kita naik kereta ujar Samil lagi
kepadaku, aku kembali mengangguk.
Dek Ja gak apa? tanya Samil kemudian kepadaku sambil memperhatikan
wajahku yang agak pucat.
Njan keurena, kalian berdua bergadang hingga pagi ujar Amirah menimpali
sambil menuangkan teh manis panas untukku. Minum teh manis, biar ada tenaga
ujarnya.
Setelah selesai sarapan, kami kemudian bersiap-siap untuk berjalan-jalan di
Takengon. Samil membawa kamera saku yang biasanya dia bawa untuk fotografi

jurnalistik. Aku juga membawa buku sketsa. Mungkin ada beberapa objek menarik
untuk aku gambarkan sketsanya.
Seperti yang dikatakan Samil, kondisi di Takengon berbeda dengan daerah
lain di Aceh. Hampir di setiap sudut terlihat penanda kekuasaan TNI dan POLRI,
militer Indonesia. Walaupun diantara kokohnya kekuatan militer yang ingin berkuasa
di Takengon, masih terlihat jelas perlawanan rakyat. Poster, spanduk dan coretancoretan dinding yang menentang penguasaan militer atas Tanah Gayo dan
mendukung penegakkan Syariah Islam dan Qanun Adat dapat terlihat jelas di
beberapa sudut kota.
Masyarakat Gayo juga menginginkan Kemerdekaan atas Pemerintahan yang
jelas ditegakkan dengan dasar Syariah Islam dan Hukum Adat. Akan tetapi tidak
mudah untuk melawan penguasaan rezim militer yang telah mengakar dan
berintegrasi

dengan

masyarakat

Gayo,

terutama

pada

pemimpin-pemimpin

masyarakat yang mudah terbujuk. Juga pengaruh kekuasaan asing melalui NGONGO yang banyak bergerak dalam hal edukasi, konservasi, ekonomi, budaya,
kesehatan, sosial dan hal lainnya.
Takengon direncanakan untuk objek wisata, hana prang fisik, nyang na
prang hate.. ujar Samil.
Prang hate kadang pih jeut keu matee jawabku, Samil kemudian
mengangguk sambil tersenyum kecil.
Tekanan pada masyarakat Gayo mungkin tidak terlihat di permukaan, tetapi
sangat terasa pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Batas-batas kelas sosial,
pendidikan yang baik, kesejahteraan dan penguasaan perekonomian tetap ada
pada mereka yang dekat dengan pemerintah Indonesia dan militer.
Tanah Gayo, indah sekali.
Sungai-sungai yang masih bersih, pegunungan dan perbukitan, kebun-kebun
kopi, bunga-bunga yang beraneka ragam. Kashmeer of Aceh.

Terlihat beberapa wajah orang Aceh yang sedang menjemur dan menggiling
kopi mentah. Samil dan Rasyid memberhentikan kereta kemudian berbicara
bersama mereka. Aku dan Amirah berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan.
Pengaruh partai politik nasional juga sangat besar di Takengon. Pendanaan
atas perekonomian rakyat hampir semua dikendalikan oleh partai politik nasional
dan pemerintah Indonesia, hal ini membuat masyarakat Gayo sulit untuk bersuara.
Yang bersikeras tetap mempertahankan bersama dengan NKRI, umumnya adalah
masyarakat pendatang yang bukan merupakan orang Gayo asli. Sulit bagi mereka
untuk dapat mengambil keputusan yang jelas, terutama karena kekuasaan militer
dan integrasi sosial yang akhirnya, mau tidak mau, membangun persaudaraan
antara orang-orang Gayo dan militer Indonesia. Pemimpin-pemimpin masyarakat
sulit untuk dapat mengambil keputusan tegas. Sementara rakyat kecil tetap
menjadi pihak yang tertindas.
Di setiap sudut kota Takengon, terasa sekali penguasaan militer Indonesia.
Pengaruh Gerakan Aceh Merdeka lebih terasa pada pekerja-pekerja lepas dan
masyarakat Gayo yang tidak memperoleh pendidikan. Seperti pada pekerja-pekerja
perkebunan kopi, petani, pedagang dan lain sebagainya. Mahasiswa dan golongan
intelektual, justru tidak dapat diandalkan.
Ellja, kekuatan orang-orang yang lemah itu adalah kekuatan Tuhan kan?
tanya Samil yang tiba-tiba menghampiriku, aku kemudian mengangguk, karena
sempat membaca kalimat tersebut mungkin di salah satu buku politik yang pernah
aku baca.
Orang-orang yang lemah dan senantiasa bertawaqqal kepada Allah, akan
senantiasa dijaga dan dilindungi oleh Allah jawabku.
Samil kemudian menarik nafas panjang.
Bang Syarief, orang yang ingin aku temui hari ini, tadi malam tertembak
mati dalam kontak senjata di perkebunan kopi. Mayatnya sudah dibawa ke rumah
sakit. Bang Yazeer sudah berada disana. Kita juga disuruh kesana ujar Samil
kepadaku dan Amirah, sementara Rasyid sudah bergegas menyalakan kereta. Kami
kemudian langsung pergi ke rumah sakit.

Innalillaahi wa inna illaahi rojiun.


Tangis keluarga korban kontak senjata langsung terdengar begitu kami
sampai di rumah sakit. Bang Yazeer dan beberapa orang lagi yang aku kenal sudah
berada disana. Samil langsung menghampiri bang Yazeer dan terlihat serius
membicarakan sesuatu.
Pat ujeun njang hana pirang. Pat prang njang hana reuda.
Beberapa kali ketika melihat kontak senjata, pepatah Aceh ini yang selalu aku
ingat. Dimana hujan yang tidak berhenti. Dimana perang yang tidak reda. Aku
perhatikan tangis keluarga korban kontak senjata. Hidup mereka adalah perlawanan
atas agama mereka, atas hak mereka, atas tanah mereka, atas negeri mereka.
Kenapa selalu ada orang yang rakus dan serakah yang haus darah ingin berkuasa?
Mayat korban yang dikenal sebagai salah satu simpatisan Gerakan Aceh
Merdeka di Takengon tersebut kemudian dibawa pulang ke rumah sementara kami
membatalkan rencana untuk berjalan-jalan di kota Takengon. Kami berempat
langsung kembali ke rumah bang Yazeer.
Ureung laen jak u prang na senjata. AK47, peudeung, rencong, bom.
Geutanyoe tajak u prang senjatajih pena. Nyangna peubeut susah ureung laen ujar
Amirah ketika kami sudah berada di rumah bang Yazeer.
Kaum intelektual dan akademisi Aceh memiliki massa yang banyak, hanya
tidak ada yang mampu memimpin koordinasi dalam satu kepemimpinan, sehingga
kekuatan menjadi tercerai berai komentar Rasyid.
Sementara kaum Teungku dan Ulama, entah kenapa berat sekali untuk
dapat mengikutsertakan diri di dalam politik Nanggroe, padahal pendapat mereka
sebagai pemimpin agama dan pemimpin adat sangat dibutuhkan ujar Rasyid lagi.
Kalau aku dapat membantu, aku akan merasa sangat senang dapat
membantu

ujarku

dengan

tetap

memeluk

buku

sketsa

yang

tidak

jadi

menggambarkan sketsa Takengon, yang terjadi justru musibah berdarah. Aku


merasa sangat lemah dan dhaif sekali.

Ribuan anak Aceh seperti aku yang seperti terombang-ambing tanpa arah.
Tanpa dapat melakukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi Nanggroe.
Samil terlihat diam memikirkan sesuatu. Ia yang memiliki ide untuk menampung
berbagai kepentingan golongan masyarakat di Aceh dengan jalan jurnalisme. Untuk
memberikan pendidikan politik bagi rakyat agar rakyat Aceh tidak lagi menjadi
rakyat yang bodoh.
Tanpa pembicaraan lebih lanjut, Samil kemudian mengajak Rasyid untuk
menyebarkan koran cetakannya di Takengon. Berkeliling pada beberapa kampus
dan menemui beberapa orang.
Dek Ja disini saja dulu, pucat sekali. Jangan ikut kami dulu, nanti tambah
kelelahan ujarnya kepadaku, Jangan kemana-mana ujarnya kepada Amirah
sebelum pergi bersama Rasyid untuk kembali melakukan perlawanan dengan cara
yang ia tahu. Menyebarkan koran independen cetakannya untuk dapat menyatukan
tujuan Revolusi Kemerdekaan Aceh.
Lembut aku kecup cincin pemberiannya bersama doa yang akan selalu
melindunginya.
Hasbunallaah wa nimal wakiil.

Air dan Minyak.


Rumah yang ditinggali oleh kami selama di Takengon merupakan rumah
tempat berkumpulnya petani-petani kopi yang juga merupakan anggota Gerakan
Aceh Merdeka. Bang Yazeer sendiri tidak selamanya tinggal di rumah tersebut
karena pergerakannya juga mobile antara Takengon dan Banda Aceh. Rumah ini
sepertinya menjadi pusat pendidikan politik bagi anggota Gerakan Aceh Merdeka

yang berada pada wilayah Takengon. Hanya saja kegiatannya tidak terlalu kentara.
Terdapat balai, meja panjang pertemuan, ruang pertemuan, meunasah, beberapa
kamar di atas rumah panggung, perpustakaan dan dapur umum. Sewaktu gempa
Takengon, rumah ini juga menjadi pusat evakuasi korban bencana.
Aku lihat ada beberapa orang ibu yang sedang memasak di dapur umum
untuk makan siang pekerja-pekerja perkebunan kopi. Aku kemudian menghampiri
mereka.
Mereka berbicara dalam bahasa Aceh dan Gayo, tetapi aneh, kami dapat
saling mengerti. Aku langsung membantu mereka merajang bumbu seperti cabai
dan bawang. Kalau ada acara kenduri di rumah, kami anak-anak perempuan Aceh
sudah terbiasa untuk ikut membantu. Mereka menanyakan aku berasal dari mana
dan namaku siapa.
Kami langsung terlibat pembicaraan seputar ibu-ibu, Amirah juga langsung
ikut berbincang-bincang bersama kami. Aku dan Amirah langsung mendengarkan
nasehat-nasehat mereka dan tips seputar memasak plik u dan kuah beulangong.
Plik u dan kuah beulangong juga adalah makanan perang yang biasanya dimasak
beramai-ramai dalam jumlah banyak untuk makanan prajurit perang. Kebiasaan
tersebut hingga sekarang masih ada di dalam masyarakat Aceh, sehingga
sebenarnya kalau dalam kondisi darurat perang atau bencana, perempuanperempuan Aceh sudah terbiasa menghadapinya.
Dalam kondisi darurat perang atau bencana, ibu-ibu dan perempuan
biasanya membantu dalam pertolongan medis dan dapur umum. Perempuanperempuan Aceh yang juga dikenal dengan nama Inong Balee tetap terbiasa dalam
kehidupan mereka sehari-hari untuk bekerja bersama-sama di dapur umum.
Sebagian yang sudah memperoleh pelatihan di bidang medis membantu di dalam
tim medis, biasanya merupakan anak-anak perempuan yang sudah memperoleh
pendidikan baik.
Mereka juga mengadakan kegiatan pengajian terutama pendidikan Agama
bagi anak-anak Aceh dan Gayo di Takengon. Kalau di Kualasimpang, kegiatan ibuibunya ditambah dengan memberikan pendidikan bagi muallaf yang hijrah ke kota
Kualasimpang, menurutku hal itu bukanlah hal yang mudah.

Sebagian ada yang mendapatkan pelatihan militer dan intelijen.


Karena keasikan berbincang-bincang sambil memasak, Amirah menceritakan
mengenai kedekatanku dan Samil. Mereka juga mengenal Samil dengan baik karena
kedekatan Samil dengan bang Yazeer dan Samil sering datang ke Takengon untuk
tujuan jurnalistik. Ibu-ibu itu langsung menggodaku dan mengatakan kalau nanti
kenduri jangan lupa untuk mengundang mereka. Aku bilang Insyaallaah.
Menjelang sore, Rasyid dan Samil kembali dari Takengon. Raut wajah mereka
terlihat serius.
Dek Ja, ketika dalam kondisi perang dan pasukan kita mendapat tambahan
bala bantuan dari suku-suku lain, menurut dek Ja, siapa yang harus memimpin dan
siapa yang harus dipimpin? tanya Samil kepadaku. Ia tahu aku juga senang
membaca Sirah Nabawiyah dan senang membahas strategi perang Rasululullah
dengannya.
Pasukan tambahan tentu harus menempatkan diri dibawah pimpinan
pasukan utama jawabku, Agar komando atau perintah dalam koordinasi satu arah
menjadi jelas tambahku lagi.
Seperti pasukan Salman Al-Faritsi yang merupakan panglima perang dari
kerajaan Persia yang telah masuk Islam, pasukannya yang lebih lengkap dan lebih
terlatih daripada pasukan kaum Muhajjirin, tetap berada di bawah komando
Rasulullah. Di dalam perang dan kemiliteran, perintah tetap hanya akan datang dari
satu arah, agar tidak terjadi tumpang tindih perintah yang dapat menyebabkan
koordinasi di dalam pasukan menjadi cerai berai ujarku menjelaskan mengenai
komando atau perintah satu arah di dalam kemiliteran.
Bisa jelaskan kondisi yang sebenarnya? tanya Amirah kepada Samil dan
Rasyid.
Sejumlah masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai suku yang bukan orang
Aceh memutuskan untuk mendukung Gerakan Aceh Merdeka atau Partai Aceh
dalam bentuk diplomasi politik. Mereka terdiri dari suku-suku pendatang di Aceh,
seperti suku Batak, suku Minang dan juga Jawa. Juga beberapa keturunan Cina.

Menurut dek Ja, apa yang harus kita lakukan terhadap mereka? tanya Samil
kepadaku.
Atas dasar Ukhuwah Islamiyah, tidak ada lagi perbedaan ras dan suku.
Mereka yang bergabung belakangan harus dapat menempatkan diri pada posisi
orang yang dipimpin jawabku. Seperti shaf di dalam shalat, yang datang
belakangan, berada di belakang tambahku lagi.
Sebagian juga ada yang merupakan anggota TNI dan POLRI yang
memutuskan untuk memihak Gerakan Aceh Merdeka terang Rasyid.
Keislaman mereka harus diuji jawabku.
Ya, mereka harus mendapatkan pendidikan Agama Islam terlebih dahulu
jawab Amirah.
Rasyid dan Samil kemudian bercerita mengenai sejumlah aparat TNI POLRI
yang justru beralih mendukung Gerakan Aceh Merdeka karena bersimpati pada
perjuangan dan perlawanan mereka. Tentu saja harus dipikirkan kemungkinan
inflitrasi dan penyusup tetapi hal tersebut dapat dibuktikan dengan menguji
keimanan mereka di dalam Islam. Karena apa yang diperjuangkan oleh Gerakan
Aceh Merdeka tidak hanya Kemerdekaan Aceh, tetapi juga Dakwah Islam.
Fisaabilillaah.
Pemerintah Nanggroe Aceh membutuhkan kekuatan militer dan kekuatan
militer di Aceh seharusnya berasal dari kombatan Gerakan Aceh Merdeka karena
ideologi atau dasar pemikiran dalam perjuangan mereka adalah menegakkan
Syariah Islam di dalam Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara TNI dan POLRI
adalah militer suruhan penguasa Indonesia yang serakah ingin menguasai Aceh
karena mereka dididik dalam pemahaman bahwa Aceh adalah bagian dari
Indonesia.
Jika dalam kondisi darurat perang pun, orang-orang Aceh pastinya tidak akan
pernah mau mendengarkan komando dari TNI POLRI karena perbedaan tujuan.
Tujuan Gerakan Aceh Merdeka adalah jihad fisaabililaah untuk mempertahankan
Agama dan Tanah

Nanggroe

Aceh. Sedangkan TNI POLRI memiliki tujuan

mempertahankan Republik Indonesia tanpa ada dasar perjuangan atas Agama.

Kepentingan mereka hanya merupakan kepentingan Pemerintah yang sedang


berkuasa. Hal ini yang jelas-jelas membedakan antara GAM dan TNI POLRI.
Sudah tentu kami semua mendukung Gerakan Aceh Merdeka.
Kalau berada dalam kondisi darurat perang dan ada kemungkinan kekuatan
militer harus bergabung, bagi kami komando yang akan kami dengar tetap dari
Gerakan Aceh Merdeka, bukan TNI POLRI. Keberadaan TNI POLRI di Aceh
sebenarnya justru mempersulit komando perintah jika Aceh berada dalam kondisi
darurat perang, karena overlapped empowering yang terjadi antara GAM dan TNI.
Harus dapat ditentukan siapa pemimpin militer yang memiliki kuasa atas komando
militer di Aceh. Dan bagiku, juga seluruh rakyat Aceh, kami hanya akan
mendengarkan komando dari Gerakan Aceh Merdeka. Hal ini penting untuk dapat
dimengerti.
Walaupun peralatan TNI POLRI lebih lengkap dan mungkin lebih terlatih tetapi
tujuan perjuangan dan perlawanan orang Aceh berbeda dengan TNI POLRI. Tujuan
perjuangan dan perlawanan orang Aceh adalah jihad Fisaabililaah. Berbeda dengan
TNI POLRI yang merupakan alat penguasa.
Rasanya ingin meludah.
Peralihan Kekuasaan politik pada Pemerintah Indonesia juga memberikan
pengaruh pada kekuasaan militer di Aceh terang Samil.
Pengaruh yang baik atau pengaruh buruk? tanyaku.
Pemerintah yang sekarang lebih lunak karena bukan berasal dari militer.
Mereka lebih memperhatikan pembangunan pada infrastruktur dan kesejahteraan
rakyat. Tidak terlalu memikirkan masalah ideologi bangsa, aku tidak tahu apakah itu
pengaruh baik atau pengaruh buruk. Bagi rakyat Aceh, hal ini mungkin dapat
memberikan pengaruh baik dalam hal dakwah Islam dan penegakkan Syariah Islam.
Tetapi hal ini mungkin dapat memberikan pengaruh buruk bagi rakyat Indonesia
karena bangsa yang tidak memiliki kejelasan ideologi adalah bangsa yang lemah
terang Samil.
Aku, Amirah dan Rasyid kemudian diam beberapa saat.

Itu sebabnya pemerintah Aceh dan pemerintah Indonesia tidak dapat


disatukan dan memang harus dipisahkan ujar Rasyid.
Tidak dapat memaksakan Pancasila pada orang Aceh yang lahir dan
dibesarkan di dalam Islam. Dan tidak dapat memaksakan Islam di dalam
masyarakat Indonesia yang terdiri dari golongan-golongan masyarakat majemuk.
Hal ini adalah hal yang sangat mendasar dan harus benar-benar dapat dimengerti
ujar Rasyid lagi yang terlihat sangat serius dalam hal ini.
Ideologi adalah hal dasar yang membedakan setiap pemerintahan suatu
negara. Jika ideologinya berbeda, maka pemerintahan yang ada juga harus
berbeda. Tidak mungkin disatukan tambah Amirah.
Tapi hal ini akan sulit dimengerti oleh orang-orang yang kepalanya hanya
dipenuhi indoktrinasi pancasila dan nasionalisme dan sekularisme. Mereka tetap
akan memaksakan bahwa Islam sama dengan agama yang lain dan kita harus
dapat menghargai perbedaan. Yang dapat mengerti mungkin hanya mereka yang
benar-benar telah mengerti mengenai Islam ujar Samil.
Karena pemahaman manusia akan Agama adalah pemahaman yang
bertahap dan tidak dapat memaksakan hal ini kepada semua orang. Akan tetapi
bagi mereka yang sudah jelas mengenai keimanan mereka di dalam Islam, tentu
tidak akan mau untuk menerima ajaran-ajaran lain dan pasti dapat mengerti bahwa
Pancasila hanya dapat diterapkan pada mereka yang belum mengerti mengenai
Islam komentar Amirah.
Dakwah Islam di Jawa memang belum selesai. Syahadat dan Tauhid mereka
belum

lengkap.

Sebagian

besar

masyarakat

Jawa

baru

mempercayai

Lailaahaillallaah, bahwa Tuhan adalah satu dan semua agama sama karena semua
agama mempercayai Tuhan yang satu. Tetapi mereka belum mengerti mengenai
Muhammaddur Rasulullaah, bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan merupakan
Rasul penutup dan bahwa keseluruhan hidup seorang Muslim adalah mengikut apa
yang diajarkan dan disunnahkan oleh Rasulullah. Hal ini yang belum lengkap di
dalam ajaran Islam yang ada di masyarakat Jawa terang Samil yang juga
merupakan lulusan perguruan tinggi Islam, IAIN Ar-Raniry.

Allaahumma shalli alaa sayyidiina Muhammadin wa alaa aliihii wa shaliihi


wa salim illaah.. gumam Rasyid mengucapkan shalawat kepada nabi Muhammad
SAW.
Shalallaahu Alaihi Wassallam ujarku dan Amirah.
Hal ini yang membedakan antara Islam di Aceh dan Islam di Jawa dan aku
rasa ustadz-ustadz di Jawa lebih memiliki tanggung jawab dalam dakwah Islam di
Jawa daripada harus terus merecoki Islam di Aceh ujar Samil.
Akan diutus penolong bagi setiap kaum yang berasal dari kaum itu sendiri
ujar Rasyid.
Aku dan Amirah mengangguk. Aku rasa hal ini yang harus benar-benar
dimengerti oleh orang-orang Jawa. Aceh dan Jawa adalah dua kaum yang berbeda.
Allah mengutus penolong bagi setiap kaum dari golongan kaum itu sendiri. Artinya
ustadz Jawa adalah penolong dan petunjuk bagi orang Jawa. Ustadz Aceh adalah
penolong dan petunjuk bagi orang Aceh. Hal ini tidak dapat disatukan karena tetap
akan menimbulkan perselisihan.
Air dan Minyak. Pada dasarnya tidak dapat disatukan. Walaupun ada cara
untuk menyatukannya akan terbentuk campuran yang sangat labil, tidak kokoh dan
mudah pecah.
Aku, Samil, Amirah dan Rasyid terdiam, berusaha mencerna makna dari
obrolan kami dan aku harap hal ini dapat memberikan petunjuk yang jelas atas
perjuangan dan perlawanan kami ke depannya.

Kopi Hitam.
Kami merencanakan untuk menginap satu malam lagi di Lampahan. Setelah
kejadian penembakan salah satu simpatisan Gerakan Aceh Merdeka di Takengon,
Samil memutuskan untuk tidak mengajakku berjalan-jalan di Takengon. Kondisinya
menjadi sangat beresiko. Bang Yazeer dan beberapa orang GAM yang lain juga
sudah tidak terlihat lagi di rumah tersebut, mungkin mereka segera kembali ke
Banda Aceh. Rasyid masih memiliki urusan untuk mengemas stok kopi yang akan
dibawanya ke Banda Aceh untuk dijual sementara Amirah rencananya akan
bertemu seseorang sore ini, mereka berjanji untuk bertemu di Lampahan. Amirah
akan melakukan wawancara mengenai pendidikan bagi anak-anak perempuan di
Takengon terutama dalam kondisi sepuluh tahun setelah Perdamaian Aceh yang
dipaksakan.

Setelah sarapan bersama pekerja-pekerja perkebunan kopi yang lain, aku


lihat Samil langsung pergi ke perpustakaan. Sewaktu sarapan tadi, dia sempat
bilang ingin mencari mengenai Sejarah Tahun Hijriyah karena pembicaraan kami
selama sarapan yang membahas mengenai kepengurusan Mesjid Baiturrahman di
Banda Aceh dan penggunaan penanggalan Islam di Aceh yang masih belum sama
antara satu daerah dan daerah lain membuat banyak kesulitan dalam urusan
administrasi dan penentuan tanggal-tanggal penting. Permasalahan ini juga sempat
terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab yang akhirnya memutuskan untuk
membuat satu Almanak atau Penanggalan resmi yang digunakan di dalam
masyarakat Islam di seluruh negeri yang telah memeluk Islam.
Perdebatan mengenai kepengurusan mesjid Baiturrahman masih menjadi
masalah hingga sekarang ujar Amirah ketika membaca beberapa berita dari situs
warta online.
Kalau permasalahan ini ingin dikerucutkan, permasalahannya sebenarnya
adalah perebutan mesjid Baiturrahman antara kekuasaan pemerintah Indonesia dan
orang-orang Aceh. Orang Aceh tentu saja menginginkan agar mesjid Baiturrahman
sepenuhnya berada di dalam kepengurusan ulama-ulama Aceh tanpa ada campur
tangan ulama Indonesia. Karena mesjid Baiturrahman adalah tempat paling penting
yang menjadi pusat dakwah dan perkembangan politik Islam di Aceh ujar Rasyid.
Mesjid Baiturrahman adalah milik rakyat Aceh, tetapi dibawah kekuasaan
pemerintahan Jawa yang dzalim, untuk menggunakan mesjid Baiturrahman, orang
Aceh harus mendapat izin dari pemerintah Jawa. Hal ini membuat ulama-ulama
Aceh sangat marah ujar Amirah.
Seharusnya mereka tahu diri! ujar Samil yang terlihat sangat geram.
Mesjid adalah pusat dakwah Islam dan pendidikan ilmu pengetahuan di
dalam

Islam.

Pengurusan

administrasi

dalam

masyarakat

Islam,

termasuk

pengurusan zakat dan penanggalan atau kalender Islam, semuanya terpusat di


mesjid. Jadi menurutku, mesjid Baiturrahman adalah hal penting bagi masyarakat
Aceh yang harus benar-benar berada dalam kepengurusan ulama Aceh ujarku
mencoba menimpali kemudian Samil memutuskan untuk membaca beberapa buku
mengenai Sejarah Tahun Hijriyah yang dibentuk pada masa Khalifah Umar bin

Khattab yang juga berisi sejarah mengenai mesjid yang menjadi pusat penting
dakwah bagi masyarakat Islam yang baru terbentuk pada masa itu. Sejarah ini
menjadi sangat penting untuk mempelajari bagaimana awal masyarakat Islam di
Madinah tersebut yang dapat menjadi acuan dalam pemerintahan masyarakat Islam
di Aceh.
Aku hampiri dia yang sedang membaca beberapa buku tebal mengenai Sirah
Nabawiyah dan juga sahabat-sahabat Rasulullah. Untuk dapat menjadi pemimpin di
Nanggroe Aceh yang akan ditegakkan berdasarkan Syariah Islam, Samil harus
mengetahui lengkap sejarah awal terbentuknya masyarakat Islam pada masa
Rasulullah. Pemerintahan di Aceh akan ditegakkan berdasarkan Syariah Islam
dengan tetap menjunjung adat istiadat Aceh karena tanah negeri ini adalah milik
rakyat Aceh.
Mau minum kopi? tanyaku padanya yang sedang serius membaca. Samil
kemudian mengangguk cepat lalu kembali membaca. Aku segera turun ke dapur di
bawah rumah untuk memanaskan air dan membuatkan kopi untuknya. Tamu
Amirah ternyata sudah datang dan mereka sedang berbincang-bincang mengenai
pendidikan bagi anak perempuan dan kaum wanita di Aceh.
Beberapa lama aku menunggu air yang sedang dipanaskan sambil sesekali
melirik jam tangan yang sudah menunjukkan hampir pukul tiga sore, sebentar lagi
akan masuk waktu Ashar. Seharian ini di rumah bang Yazeer tempat kami menginap
terlihat sangat sepi. Samil bilang bang Yazeer dan beberapa anggotanya sudah
berangkat ke Banda Aceh setelah kejadian penembakan salah seorang simpatisan
GAM di Takengon, karena itu malamnya anggota bang Yazeer langsung berangkat
menuju

Banda

Aceh,

juga

dalam

rangka

permasalahan

yang

menyangkut

kepengurusan mesjid Baiturrahman. Itu sebabnya, aku , Amirah, Samil dan Rasyid
langsung semangat untuk membahas permasalahan tersebut.
Terimakasih ujar Samil ketika aku meletakkan gelas kopi di sebelah
tumpukan buku-bukunya.
Di dalam masyarakat Islam, mesjid adalah pusat pemerintahan rakyat dan
dakwah. Itu sebabnya, kepengurusan mesjid Baiturrahman seharusnya dapat

berada di dalam pengurusan Ulama Aceh ujar Samil yang sedang membaca
Sejarah Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Pemerintah Indonesia yang memberikan harga mati atas kedaulatan NKRI
dan Pancasila tidak akan membiarkan hal tersebut jawabku.
Artinya perang di jalan Allah, fisaabilillaah.. jawab Samil.
Aku diam lalu mengangguk pelan. Dalam hal ini tidak ada posisi saling tawar
menawar.
Dek Ja, besok akan ikut kami kembali ke Banda Aceh atau kembali ke
Kualasimpang? tanya Samil sambil memikirkan rencana kami besok. Samil akan
kembali ke Banda Aceh sementara Amirah dan Rasyid akan kembali ke Sigli.
Sementara aku harus kembali ke Kualasimpang.
Kapan kita akan bertemu lagi? Kapan abang ke Kualasimpang? tanyaku
tanpa menjawab pertanyaannya.
Aku belum tahu.. jawabnya dengan suara pelan, Perjalanan di hadapan
masih sangat panjang.., aku belum dapat memastikan ujar Samil.
Aku tidak mau membawamu ke dalam kesulitan ujar Samil yang masih
belum mampu untuk benar-benar membagi bebannya denganku. Aku tahu, kalau
kami memutuskan untuk bersama, ada banyak hal yang harus benar-benar
disepakati. Mungkin justru aku yang akan membawanya ke dalam kesulitan. Banyak
hal yang menjadi rahasia dalam pergerakan dan perlawanan Gerakan Aceh
Merdeka, rancangan strategi dan rencana. Pemerintah Indonesia tentu tidak dhaif
untuk mempercayai bahwa pergerakan GAM akan mati begitu saja. Untuk lahir dan
berjuang di dalam jihad fisaabilillaah adalah tujuan hidup dari setiap rakyat Aceh.
Tidak akan dapat mematikan semangat jihad fisaabilillaah yang sudah ditentukan
pada setiap anak Aceh yang lahir.
Ada banyak rencana yang harus dapat dirahasiakan dan tidak dapat
melibatkan pihak luar. Menjalin hubungan dengan orang sipil dan awam seperti aku,
mungkin akan menyullitkan bagi pergerakannya. Dari awal aku menjalin hubungan
dengan Samil, hal ini yang selalu aku pikirkan. Aku tidak ingin menyulitkannya.

Aku mencintaimu karena Allah taala. Atas agama dan tanah negeri kita
ujar Samil sambil menggenggam tanganku erat dan mengecup hangat cincin atas
janji kemerdekaan yang tersemat di jari manisku.
Aroma kopi hitam pekat menguar diantara kami berdua. Entah sudah berapa
banyak pergerakan dan perjuangan yang hidup dari aroma pekat ini. Entah berapa
banyak aneuk nanggroe yang masih dapat hidup dalam perlawanan mereka atas
Kemerdekaan Negeri yang bertahan pada minuman kelam ini. Kedai kopi menjadi
jantung kehidupan di Aceh, aku rasa hal itu sudah diketahui oleh semua orang.
Besok abang antar ke Kualasimpang, lalu abang langsung kembali ke
Banda ujar Samil.
Aku mengangguk pelan lalu membereskan gelas kopi yang sudah kosong.
Keesokan harinya kami berangkat pagi sekali setelah subuh. Hawa dingin
Takengon dan insiden berdarah yang terjadi ketika kedatangan kami menghilangkan
senyum dan keceriaan di wajah kami berempat. Rasyid yang tadinya senang
bercanda, sepanjang perjalanan dari Takengon menuju Sigli menjadi sangat diam.
Amirah juga lebih fokus pada tulisannya sedangkan aku dan Samil juga tidak
banyak berbincang-bincang.
Setelah sampai di Matang, Amirah dan Rasyid melanjutkan ke Sigli dengan
kendaraan umum. Sedangkan Samil mengantarkanku ke Kualasimpang.
Bada Dhuha kami sampai di Kualasimpang. Rumahku terlihat sepi. Mamak
mengajar. Ayla masih di sekolah. Bani sedang tidur dan ayah sedang merapikan
pohon-pohon coklat di halaman samping. Buru-buru aku memasuki rumah dan
meletakkan barang-barang bawaanku di kamar kemudian membuatkan minum dan
mengambilkan nasi untuk Samil yang katanya agak lapar.
Aku lihat Samil berbicara dengan ayah di halaman samping. Aku
menunggunya di ruang tamu sambil beristirahat sejenak. Perjalanan dari Takengon
cukup melelahkan.
Beberapa saat kemudian ayah datang bersama Samil.

Dom disinoe malam nyoe kata ayah kepada Samil dengan bahasa Aceh
yang cukup fasih.
Jeut ayah, tapi malam nyoe, lon kana janji meuteumee ngon rakan u Banda
jawab Samil, Meunyoe hana janji, pasti dom disinoe ujarnya lagi yang juga telah
diberitahukannya kepadaku sewaktu perjalanan dari Takengon.
Na acara pue? tanya Ayah.
Diskusi publik mengenai kepengurusan mesjid Baiturrahman jawab Samil.
Njan, masalah utama, penting that! ujar Ayah lagi.
Pajoh bu dilee. Tadi pagi Samil belum sempat sarapan Yah.. ujarku sambil
mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk Samil dan Ayah.
Pue ureung nyang leumoh selalu menjadi pihak yang tertindas? tanya Ayah
kepada Samil setelah mendengarkan kabar dari Samil mengenai kematian salah
seorang simpatisan GAM di Takengon.
Meunyoe hana lee hatee, manosa dum kajadeh binatang jawab Samil.
Binatang hana hate ngon akal pikiran untuk mengetahui agar yang kuat
melindungi yang lemah. Yang pintar mendidik yang bodoh ujarnya lagi.
Tanpa tuntunan di dalam Agama Islam, manosa dum kajadeh binatang ujar
Ayah menimpali.
Banyak kepentingan dari orang-orang kuat di Aceh yang berusaha saling
menguasai satu sama lain. Rakyat kecil yang tidak mengerti mengenai pertikaian
mereka hanya akan menjadi kerikil kerdil yang hanya perlu untuk ditendang jauh
ujar Samil.
Bagi yang masih mengerti Agama dan aturan di dalam Islam tentu tahu
bahwa ketika mati, mereka akan tetap membutuhkan penggali kubur komentar
Ayah dengan sinis. Ketika sampai masa itu, tidak ada gunanya kekuatan,
kekuasaan, harta dan kedudukan mereka. Hanya amal baik yang akan menjadi
pelita ujarnya lagi.
Aku dan Samil diam. Jarang sekali mendengar Ayah berbicara sinis seperti itu.

Sampaikan salam kami pada rakan-rakan di Banda. Semoga permasalahan


mengenai mesjid Baiturrahman dapat segera diselesaikan ujar Ayah ketika Samil
sudah bersiap-siap untuk kembali ke Banda Aceh.
Samil kembali ke Banda Aceh setelah selesai shalat Dzuhur.

Pemimpin, sang Penentu Arah.


Ada empat keranjang markisa yang dibawakan Ellja dari Takengon. Tapi aku
tidak sempat bertemu dengan Samil. Waktu mereka kembali dari Takengon, aku
masih di sekolah padahal aku ingin juga bercerita banyak dengannya. Pasti banyak
cerita yang seru dari seorang underground rebellion. Pemberontak gerilya. Pejuang
bawah tanah. Sekalian kalau ada kesempatan, aku ingin dia mengajakku ke Banda
Aceh. Perkembangan kemajuan anak muda di Kualasimpang jauh sekali ketinggalan
kalau dibandingkan dengan di Banda Aceh.
Pelajaran di sekolah semakin berat dan aku semakin tidak mengerti kemana
pemimpin-pemimpin negeri akan membawa kami.
Pelajaran mengenai Pancasila tetap kami terima di sekolah padahal Nanggroe
Aceh sudah jelas telah menetapkan Syariah Islam sebagai ideologi dasar, baik
dalam Pemerintahan, Hukum, Peraturan di dalam kehidupan bermasyarakat juga
seluruh aspek kehidupan rakyat Aceh. Jika di dalam kesepakatan MoU Helsinki yang
telah diturunkan dalam bentuk Undang Undang Pemerintah Aceh telah ditetapkan
bahwa Nanggroe Aceh menggunakan Syariah Islam sebagai dasar Pemerintahan,
hal ini artinya, tidak ada lagi Pancasila di Aceh. Karena tidak mungkin bagi Hukum
yang Berdasarkan Syariah Islam untuk tunduk pada hukum yang masih didasarkan
pada hukum orang-orang kufur, hukum yang tidak didasarkan pada aturan agama,
hukum buatan manusia, Hukum Belanda, seperti pada Pancasila.
Undang-Undang Pemerintah Aceh yang sedang dalam proses pembentukan
dan perkembangannya sekarang harus benar-benar dapat didasarkan pada Al-

Quran dan Hadits serta hukum-hukum Islam. Harus dapat benar-benar terlepas dari
pengaruh hukum-hukum kufur yang merupakan buatan penjajah seperti Undang
Undang Dasar Negara Indonesia yang masih didasarkan pada hukum penjajah,
hukum Belanda.
Begitu yang Akbar bilang, sewaktu kami berdiskusi mengenai permasalahan
pembentukan Undang Undang Pemerintah Aceh yang seharusnya didasarkan pada
Hukum Islam. Artinya Undang Undang Pemerintah Aceh harus merujuk pada
Undang Undang yang diterapkan pada Negara Islam. Bukan Undang Undang Negara
Indonesia yang didasarkan pada Hukum Belanda.
Pemerintah Indonesia menggunakan Pancasila sedangkan Pemerintah Aceh
menggunakan Syariah Islam. Hal ini artinya, adalah dua negara dengan dua dasar
pemerintahan yang berbeda. Aku rasa anak sekolah dasar yang telah mempelajari
dasar-dasar pemerintahan juga pasti akan sangat mengerti mengenai hal ini.
Aku tentu saja mengerti mengenai hal ini tetapi sepertinya banyak pemimpin
negeri yang pura-pura bodoh tidak mengerti sehingga Allah akan benar-benar
membuat mereka bodoh dan tidak mengerti. Kalau ketetapan dalam hal ini masih
belum jelas, akan membuat arah pemerintahan di Aceh menjadi tidak jelas
termasuk

mengenai

masalah

pendidikan

bagi

kami,

generasi

yang

akan

meneruskan bangsa ini.


Apa aku ikut asah bate saja seperti Ellja?
Setelah kembali dari Takengon, aku lihat Ellja menjadi sering melamun. Ia
juga bercerita mengenai kejadian pembunuhan salah seorang simpatisan GAM di
Takengon. Sudah lebih dari seminggu setelah Samil datang ke Kualasimpang dan
kalau sudah underground seperti itu, Samil kembali berada di luar jangkauan.
Kak gak takut, bang Samil ka na isteri? Waktu ke Banda Aceh tempo lalu,
tidak ada dibawa ke rumah keluarganya kan? tanyaku pada Ellja.
Rumah keluarganya di Sigli. Sewaktu kemarin karena terburu-buru dan
karena harus singgah di rumah temannya yang juga aktivis dan akan ikut ke
Takengon, jadi tidak sempat singgah di rumah keluarganya jawab Ellja menjawab
pertanyaanku.

Mungkin, hal itu juga, ra-ha-sia lanjutnya lagi dengan nada yang
membuatku penasaran. Aku kemudian bersungut-sungut.
Sabeh rahasia.., sabeh rahasia komentarku.
Kadang aku berpikir juga begitu. Kenapa dia tidak ada membawaku untuk
bertemu dengan keluarganya? Aku berusaha untuk berpikir positif saja, mungkin
memang belum waktunya. Atau mungkin Samil berpikir aku belum siap untuk dapat
bertemu dengan keluarganya ujar Ellja.
Aku juga tidak berani bertanya kepadanya mengenai keluarganya lanjutnya
lagi.
Susah sekali jadi underground rebellion seperti itu. Hidupnya penuh ra-hasia komentarku lagi.
Tapi perlawanan orang itu lebih jelas dasarnya balas Ellja. Yang mendanai
perlawanan adalah sebenar uang rakyat Aceh, dari hasil padi, kopi, kelapa, pinang,
merica, pala, bungong lawang ujar Ellja, Tidak seperti orang lain yang didanai dari
hasil tambang migas dan uang orang-orang yang merampok kekayaan alam dari
tanah negeri kita ujar Ellja lagi yang terdengar cukup emosi.
Peujual ganja ngon sabhu? celetukku.
Ureung salah arah. Soe nyang peubeut tanyoe bandum salah arah? Tekanan
pemerintahan militer rezim yang menanamkan ideologi bernama Pancasila! Berada
dibawah tekanan pemerintahan kufur yang dzalim, bagaimana tidak membuat
banyak anak negeri yang menjadi salah arah jawab Ellja tegas. Sepertinya setelah
mengenal Samil lebih dalam, Ellja menjadi lebih jelas pandangannya mengenai
Islam, terutama Islam di Aceh. Selama ini, Islam yang diajarkan kepada kami,
adalah Islam yang berada di bawah bayang-bayang Pancasila. Islam yang tidak
merdeka. Islam yang berada dibawah tekanan kekufuran. Pancasila adalah petunjuk
salah arah yang membuat banyak anak negeri yang dilahirkan di dalam Islam
menjadi salah arah.
Islam yang diajarkan oleh pemerintah Indonesia yang didasarkan pada
Pancasila adalah Islam yang digunakan untuk mengendalikan rakyat. Agama yang

digunakan sebagai ideologi untuk mengendalikan rakyat komentar Ellja lagi


terdengar sangat yakin.
Coba pikir, apakah pemimpin-pemimpin negeri yang berkedok di dalam
agama itu adalah sebenar-benar Islam? Bagaimana orang itu dapat benar-benar
menjadi Islam sedangkan orang itu masih tunduk pada Pancasila yang jelas-jelas
merupakan hukum yang kufur yang tidak didasarkan pada hukum-hukum di dalam
Islam ujarnya lagi.
Lihat sendiri, bagaimana tidak konsistennya kebijakan-kebijakan yang orang
itu tetapkan?!, Lihat sendiri, bagaimana orang itu kebingungan untuk dapat
memimpin rakyatnya? Karena orang itu sendiri tidak yakin dengan keislamannya!
ujar Ellja lagi. Pancasila membuat iman Islam seorang muslim menjadi lemah!
tambahnya.
Aku diam, berusaha mencerna maksud dari kata-kata Ellja yang tiba-tiba
terdengar seperti ceramah wak Haji Halim di telingaku.
Tapi kak Ja.., seberapa besar padi, kopi, kelapa, pinang, jagung, merica, pala
dapat mendukung perlawanan dan pergerakan kita? tanyaku. Musuh yang harus
kita hadapi sangat kuat.., kita lemah ujarku bukan untuk sengaja merendahrendahkan diri, bukan untuk meminta dikasihani. Tapi begitulah kenyataannya dan
orang yang telah menyadari kelemahan dirinya tentunya adalah orang yang mampu
untuk dapat merubah kelemahannya.
Ya.., kita lemah. Seperti semut kecil yang sulit untuk mati walau diinjak oleh
gajah. Yang sulit untuk mati, walau dilemparkan dari gedung tinggi ujar Ellja.
Ketika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Ketika telah datang hari
dimana kebenaran ditegakkan, kekuatan orang yang lemah adalah kekuatan Tuhan
ujarnya lagi.
Aku merasa ada yang berubah di dalam diri Ellja. Dulu Ellja cenderung tidak
terlalu peduli mengenai masalah agama dan paham yang ia percaya cenderung
kepada kebebasan berpikir dan hak tiap individu. Tetapi sekarang, ia lebih
cenderung kepada penegakkan hukum Islam di dalam sebuah negeri yang damai.
Hukum yang tegak didasarkan pada Syariah Islam di Aceh.

Banyak yang berubah semenjak Ellja bertemu dengan Samil. Karena apa
yang diajarkan Samil adalah hal yang benar. Tidak seperti guru-guru dan ustadz
yang didatangkan dari Jawa, yang memaksakan doktrinasi Pancasila kepada anakanak Aceh tetapi di dalam kedok pendidikan Agama. Itu sebabnya Ellja tidak pernah
mau

tunduk

dan

selalu

menjadi

pembangkang

terhadap

guru-guru

yang

didatangkan dari Jawa. Karena Ellja adalah aneuk inong Aceh yang mengetahui
kebenaran sebenarnya. Tipu muslihat yang dilancarkan orang-orang Jawa untuk
menguasai Aceh.
Aku rasa untuk muntah dan meludahpun di depan orang-orang Jawa serakah
sudah tidak ada gunanya lagi karena kami sudah mengambil kejelasan sikap
dengan sejelas-jelasnya mendukung Kemerdekaan Aceh.
Di dalam hati aku berdoa semoga Allah memberikan keteguhan hati,
ketegasan, kejelasan sikap, kemampuan untuk dapat mengetahui yang mana
kawan dan yang mana lawan serta keberanian untuk menyatakan kebenaran di
dalam

diri

setiap

pemimpin

Aceh

yang

sekarang

juga

sedang

berusaha

memperjuangkan Kemerdekaan Aceh. Untuk dapat setegas-tegasnya dan sejelasjelasnya menyatakan Kemerdekaan Aceh.
Untuk mencapai Kemerdekaan Aceh adalah bukan hal yang mudah dan kita
membutuhkan seorang pemimpin yang dapat jelas menentukan arah.
Ellja kemudian diam sambil menggiling kelapa dengan bumbu-bumbu untuk
membuat ayam masak merah. Sedangkan aku membantunya memotong daun
jeruk. Mak sedang beristirahat di dalam kamar.
Di dalam era globalisasi seperti sekarang, pasti makin sulit bagi para
pemimpin untuk dapat dengan jelas menentukan arah. Celoteh penghasut dan
suara-suara khianat seperti kabut yang menghalangi pandangan untuk dapat jelas
melihat ke arah yang benar ujar Ellja dengan tegas.
Melihat dan mendengar kemelut yang sedang terjadi, tidak banyak dari para
pemimpin Aceh yang dapat tegas menentukan sikap. Pernyataan-pernyataan yang
mereka ajukan masih dibayang-bayangi ketakutan atas tekanan militer yang akan

dirasakan lagi oleh rakyat Aceh jika Aceh berani dan tegas untuk menyatakan
Kemerdekaan Aceh.
Mungkin ada beberapa yang mampu untuk berani dan tegas, tetapi
perjuangan mereka masih di bawah tanah. Mungkin ada satu orang yang cukup
mampu untuk berdiri di depan sebagai pemimpin. Mungkin dia adalah pemimpin
kami.
Bagaimana dapat membuka kebenaran ketika sejarah selama beberapa
dekade ini telah diputar balikkan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan
yang benar?! tanyaku kepada Ellja.
Bertanyalah

kepada

pemimpin

yang

dapat

menentukan

arah.

Pada

pemimpin yang jelas berpegang pada peta dan kompasnya yang didasarkan pada
Al-Quran dan Hadits jawab Ellja.
Seorang Panglima? tanyaku kepada Ellja.
Ya, seorang Panglima adalah seorang Pemimpin. Kamoe njoe rakyat, njang
memiliki hak untuk menentukan siapa pemimpin yang benar-benar mampu untuk
membawakan Kemerdekaan Aceh ujar Ellja sambil terus menggiling bumbu untuk
ayam masak merah.
Aku mengerti.
Mungkin

bukan

mengerti

dengan

seratus

persen

mengerti

karena

pemahaman adalah proses yang bertahap namun kebenaran adalah kebenaran.


Untuk seorang pemimpin, yang mampu menentukan arah Kemerdekaan
Aceh, doa tulus selalu teriring untuk kebahagiaan dan keselamatannya.
Yaa nuuran nuuri yaa mudabbiral umuri baligh anni ruuha sayyidina
Muhammadin wa arwaha Muhammadin tahiyyatan wa salaaman.

Skorsing Sekolah.

Bulan lalu di sekolah diberikan tugas untuk membuat sebuah model biologi
dari sel syaraf yang harus dikumpulkan bulan ini. Dengan semangat yang masih
tersisa, aku berusaha mengumpulkan stereofoam-stereofoam bekas, walaupun
ternyata di rumah tidak banyak. Hanya ada stereofoam bekas kulkas dan itupun
tidak diizinkan oleh mamak untuk dirusak. Dengan terpaksa aku mengajak Ellja ke
toko cina di simpang, menanyakan apakah mereka menjual sterefoam bekas.
Komunikasi dengan nyonya-nyona cina terkadang agak membingungkan.
Jangankan buat Ellja yang memang entah kenapa begitu anti dengan penjajah dan
etnis imperialis seperti cina, bagiku saja yang cenderung lebih toleran, agak sulit
untuk dapat melakukan perniagaan dalam ijab qabul yang jelas dengan orang-orang
cina. Mungkin karena mereka tidak mengerti mengenai hukum di dalam Islam dan
mereka tidak mengerti bahwa keculasan dalam perniagaan adalah haram dan
seperti memakan bara api neraka. Mengkomunikasikan masalah ijab qabul serta
perniagaan di dalam hukum dagang Islam kepada orang cina seperti membicarakan
urusan sapi terbang kepada pekerja NASA.
Kalau tidak mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya, artinya, rugi. Itu
hukum cina.
Ellja menungguku di kereta sedangkan aku masih mengusahakan stereofoam
bekas dengan nyonya cina. Walaupun nyonya cina bilang ambil saja tidak usah
bayar, aku berkeras untuk membayar karena tidak ada yang gratis dalam prinsip
mereka. Gratis dalam hal yang ini mungkin aku harus membayar berkali-kali lipat
untuk hal yang lain. Jadi aku tetap berusaha menanyakan berapakah harga
stereofoam bekas ini.
Sekalian beli rinso Nyah.., yang satu kilo ujarku akhirnya.
Dua puluh lima ribu ujar nyonya cina akhirnya.
Dua puluh lima ribu sekalian dengan stereofoamnya, tunai. Beli ya Nyah..
ujarku mengujarkan ijab qabul di dalam hukum Islam.
Ya.. kata nyonya cina dengan pelan.

Terimakasih kataku, menyelesaikan urusan perdagangan yang benar di


dalam hukum Islam tetapi memang seperti itulah caranya melakukan perniagaan
dengan orang yang bukan Islam agar barang yang kita beli menjadi benar-benar
barang yang halal.
Ellja menunggu di luar toko. Di sekelilingnya sudah banyak abang-abang
becak. Beberapa orang tukang parkir. Petugas kebersihan dan mungkin jika
beruntung, anak-anak pesantren yang sedang mangkir memperhatikan dan
menggoda Ellja yang menungguku menawar stereofoam.
Pilihan pendamping hidup bagi Ellja hanya ada pada pedagang rempah atau
rebellion.

Dan

karena

ia

memilih

menjadi

pendamping

seorang

rebellion,

pemberontak pejuang gerilya bawah tanah Kemerdekaan Aceh, pilihan baginya


menjadi bertambah. Seperti yang sudah aku sebutkan tadi, pilihannya bertambah
dengan abang-abang becak, tukang parkir, petugas kebersihan, tukang jual air
gallon, anak-anak pesantren, petani, petambak, peternak sapi dan (mungkin jika
beruntung), guru mengaji.
PNS, pegawai dan akademisi yang bersedia tunduk di bawah pemerintah
Republik Indonesia tidak akan menjadi hitungan baginya. Walaupun mungkin
kesejahteraan dan kejelasan masa depannya lebih menjanjikan.
Rok merah hitam putih yang Ellja kenakan, yang kembang-kembang, dengan
manik-manik kemerlang kemerling, terlihat cerah di bawah langit Kualasimpang.
Ada stereofoamnya? tanya Ellja yang jelas-jelas melihatku menjinjing
setereofoam.
Dikasih gratis sama nyonya cina? tanyanya lagi karena melihatku yang
tidak bisa menjawab, tertutup oleh setereofoam.
Enggak! jawabku tegas. Mana ada yang gratis dalam prinsip cina ujarku
lagi.
Ellja tertawa kemudian menyalakan mesin kereta. Aku kemudian meletakkan
stereofoam di belakang Ellja dan berusaha untuk menyisakan tempat bagiku
sendiri.

Beberapa

pasang

mata

memperhatikan

kami.

Friksi

antar

golongan

masyarakat juga sangat terasa di kota Kualasimpang yang terdiri dari berbagai
macam etnis. Sebagian besar yang bukan merupakan keturunan Aceh memihak
pemerintah Indonesia. Bisa dibilang, orang Aceh justru menjadi minoritas di kota
Kualasimpang. Kadang agak tersudut. Kadang emosi amarah sengaja dipancing oleh
penghasut-penghasut khianat untuk memicu kerusuhan yang tidak perlu.
Beberapa orang telah mengetahui bahwa tunangannya Ellja adalah orang
GAM. Sebagian besar memandang sinis, sebagian yang lain tidak peduli. Tetapi
yang jelas, tekanan dan intimidasi akan sangat jelas dirasakan oleh Ellja yang
terang-terangan menyatakan Kemerdekaan Aceh dan dengan sejelas-jelasnya
menjalin hubungan dengan anggota GAM. Tekanan dan intimidasi akan datang
terutama dari golongan masyarakat yang dekat dengan pemerintah Indonesia.
Akbar

kena

skorsing

ujarku

kepada

Ellja

sambil

memotong-motong

stereofoam untuk membuat batang serabut syaraf dan seludang myelin. Aku sudah
pernah menceritakan tentang Akbar kepada Ellja dan Ellja menganggapku sudah
cukup dewasa untuk pacaran. Tetapi aku tetap tidak mengakui kalau kami
berpacaran karena memang tidak pernah ada komitmen sama sekali. Kami
berteman, pertemanan yang baik.
Sedang musim skorsing jawab Ellja, Di Banda Aceh, mahasiswa Unsyiah
juga kena skorsing ujarnya lagi. Di Jawa, sepertinya, dari semenjak setelah Pemilu
dalam setahun belakangan ini, dengan kerusuhan demi kerusuhan,

demonstrasi

rakyat dan buruh yang tidak berkesudahan juga karena mulai ada reformasi di
bidang pendidikan, banyak anak sekolah dan mahasiswa yang diskorsing dalam
damai komentar Ellja datar.
Istilahnya, diskorsing dalam damai.
Padahal menurutku, kejadian Akbar dan teman-temannya diskorsing adalah
kejadian yang lumayan.., edgy. Setidaknya hal tersebut menjadi bahan pembicaraan
di seantero SMA di Langsa.

Kenapa Akbar kena skorsing? tanya Ellja akhirnya. Ia sudah pernah bertemu
dengan Akbar ketika Akbar mengantarku pulang sekolah. Ia mengantarku pulang
sekolah dari Langsa. Lalu kami bertiga makan mie kepiting di Opak.
Demo guru. Ada guru di sekolah yang sengaknya luar biasa. Namanya
Widodo jawabku.
Ellja kemudian tersenyum.
Jangan suka demo. Nanti kesempatan akademis kalian jadi berantakan ujar
Ellja menasehatiku padahal sendirinya, tidak memiliki masa depan akademis karena
memilih menjadi kekasih seorang pemberontak GAM.
Di skorsing berapa lama? tanya Ellja lagi.
Satu bulan. Nilai PPKN sudah dipastikan D jawabku.
Akbar diskorsing sendirian? tanya Ellja.
Enggak. Sama Iqbal, Syafar, Ridha, Syaumi, Mita, Nilla..
Kah pakeun hana keuneung skorsing? tanya Ellja tiba-tiba yang memenggal
jawabanku.
Katanya jangan ikut demo protesku. Katanya jangan jadi kreuh ulee..,
jangan jadi bangai.. ujarku lagi.
Jeut..., beutoi! ujar Ellja sambil kembali membantuku memotong-motong
stereofoam yang akan dijadikan model sel syaraf.
Tapi ujarku lagi kemudian.
Ellja berhenti memotong-motong stereofoam lalu menatapku lurus.
Tapi ada keinginan di dalam diri untuk memberontak yang tidak dapat
ditekan. Semakin menekan keinginan untuk membela hal yang benar ini, semakin
rusak rasanya jiwa di dalam hati ujar Ellja yang aku balas dengan anggukan pelan.
Seperti merasa bersalah.. gumamku lirih.
Terus..? tanya Ellja.

Terus aku bantu Akbar, Iqbal, Syafar, Ridha, Syaumi, Mita, Nilla untuk
membuatkan tugas-tugas orang itu selama orang itu kena skorsing jawabku.
Njan.., that teuleubeh adek lon saboh njang carong ngon get hatee jih.. ujar
Ellja sambil menarik ujung jilbabku dengan gemas.
Jeh.., tugas awak njan lam sebuleun njoe keun sedikit.., Akbar bilang nanti
mau bawakan cokelat kalau tugasnya sudah jadi ujarku.
Pamrih
Biar..
Aneuk miet..
Ureung tuha..
Pue ka peugah?! bentak Ellja sambil mengejarku yang kemudian berlari ke
dalam kamar mengambil lem nasi untuk menempel stereofoam model biologi sel
syaraf.
Mak yang berada di ruang depan akhirnya berteriak karena kegaduhan yang
kami sebabkan.
Urusan skorsing sekolah mungkin akan menjadi kenangan yang akan kami
ingat kelak.

Keumang Payong Biru.


Terkadang Bani senang membantu Ellja melukis, walaupun biasanya ia hanya
mengaduk-aduk cat dan merusak konsentrasi Ellja dalam melukis. Bani diberikan
selembar kertas gambar lain oleh Ellja

yang oleh Bani diwarnai sesukanya. Aku

tidak terlalu pandai dalam hal seni, mungkin aku bisa sedikit dalam keterampilan
seperti membuat hiasan dan bunga-bunga juga menghias. Aku lebih pandai
menghias rumah daripada Ellja, mendekor warna ruang tamu, mengganti gordyn,
menyusun tata letak perabot, mengisi bunga ke dalam vas bunga.
Aku pikir pada dasarnya perempuan, memang seperti itu. Mengerjakan halhal yang indah, detail-detail yang tidak pernah dipikirkan oleh laki-laki. Mereka
mana peduli apakah warna gordyn sesuai dengan garis linear lemari atau apakah
warna sofa sesuai dengan detail taplak mejanya. Itu bagian dari pentingnya
keberadaan wanita di dunia ini, agar dunia menjadi indah.
Pikirkan sendiri jika di dunia ini tidak ada lagi yang mau memikirkan warna
gordyn atau bentuk detail taplak meja atau deretan bunga di beranda, kalian
mending pergi ke Pluto saja.

Cahaya pagi menyeruak masuk diantara gordyn pada jendela kamar.


Perlahan aku tarik ujung kerai daun jendela. Ellja masih duduk di depan bingkai
dengan sketsa yang masih belum jelas. Ada beberapa garis yang belum
memberikan bentuk

. Beberapa lama Ellja duduk tenang di depan kanvas

lukisnya. Sudah dari setelah Subuh dia seperti itu hingga terbit matahari.
Kak Ja mau berapa lama duduk diam di depan kanvas? tanyaku pada Ellja.
Cat pada ujung kuasnya pun sudah mengering.
Sampai aku tahu, apa lagi yang harus aku gambar jawabnya.
Aku kemudian memperhatikan Ellja yang masih duduk diam di depan
kanvas, setelah sekian lama dia tidak bergeming, aku kemudian beranjak keluar
dari dalam kamar.
Ruang tamu belum disapu dan aku lihat beberapa tangkai bunga

sudah

mulai layu di dalam vas bunga yang aku letakkan di atas meja. Blue Bell. Bunga
yang baru ditanam Mak di halaman depan sedang berbunga. Aku potong beberapa
tangkai kemarin, sekarang sudah layu. Aku lihat masih banyak bunga-bunga biru itu
di depan jadi aku ambil beberapa tangkai untuk menggantikan bunga-bunga yang
layu.
Blue Bell.
Keumang Payong Biru.
Setelah meletakkan beberapa tangkai di dalam vas dan memastikan kalau
bunga itu terlihat indah, aku bawakan bunga itu untuk Ellja yang masih duduk diam
di dalam kamar di depan kanvasnya. Tapi sekarang kanvas itu tidak lagi kosong,
sketsa sosok laki-laki yang sedang duduk di bangku kayu sambil menggendong bayi
tergambar jelas di kanvas Ellja, beberapa kali aku memperhatikan sosok laki-laki itu
muncul di lukisan-lukisan Ellja.
Kak gak mau gambar bunga? tanyaku sambil menunjukkan blue bell-blue
bell di dalam vas kepadanya.
Pelan Ellja menggeleng, lalu mulai mengecat sketsanya dengan warna merah
bata monotone. Perlahan aku seret langkah ke ruang tamu untuk kembali

meletakkan blue bell-blue bell di dalam vas tersebut di atas meja. Sekilas aku lihat
Bani yang sudah memenuhi HVS A4 nya dengan gambar rumah, pohon kelapa,
tangga, tebing dan bunga-bunga merah berkelopak lima. Berikut dengan planetplanet dan beberapa bintang. Aku lihat matahari yang tersenyum di antara awan.
Menurutku lukisan Bani lebih imajinatif daripada gambar monotone Ellja.
Dan blue bell-blue bell terlihat lebih hidup.
Sudah hampir empat bulan Samil kembali underground, diluar jangkauan. Kali
ini seperti benar-benar diluar jangkauan, kabar terakhirnya ia bergabung dengan
sisa gerakan separatis di Celala, Takengon setelah peringatan Milad Aceh Merdeka.
Walaupun tahun ini peringatan Milad Aceh Merdeka terasa sangat sepi dan seperti
sekam yang membakar panas di dalam, pada sebagian besar masyarakat Aceh,
semangat kemerdekaan sebagai negeri yang berdaulat itu tidak pernah hilang.
Harus ada yang mampu untuk menjadi pemimpin nanggroe sebagai negeri
yang merdeka, perlawanan gerilya tidak akan pernah berhenti sampai negeri ini
benar-benar merdeka!
Satu demi satu akan terus muncul, hingga ada yang mampu untuk benarbenar memimpin Nanggroe!
Isi pesan Samil sebelum akhirnya benar-benar menghilang selama empat
bulan ini. Setelahnya Ellja terlihat menjadi semakin pendiam dan mengurung diri di
kamar. Apalagi dia tidak melanjutkan sekolah sehingga tidak ada kegiatan.
Bungong pue bengong? komentarku padanya kalau melihat Ellja kembali
duduk diam di depan kanvas.
Kak leubeh get jak peubantu chik Nur desain perhiasan di Lhok, lagee
rencana kak watee awaijih.. ujarku pada Ellja.
Mungkin.. jawabnya pelan.
Semangatnya seperti hilang setelah berbulan-bulan tidak ada kabar dari
Samil. Beberapa saudara yang ada di Takengon dan sempat kenal dengan Samil
juga ditanyakan kabarnya. Tetapi belum ada kabar pasti. Setelahnya, setiap ada

laki-laki Aceh yang tidak jelas identitasnya, tentara-tentara itu menamakannya


sebagai Samil.
Tekanan demi tekanan. Tidak hanya tekanan secara fisik tetapi juga mental.
Penjajahan yang tidak hanya memberikan penyiksaan terhadap tubuh, tetapi
juga pikiran.
Beberapa hari lalu, ayah berbicara banyak dengan Ellja, mengenai masa
depannya. Ada seorang anak ulama Minang-Tamiang yang ingin meminangnya.
Walaupun berasal dari suku Minang-Tamiang, tetapi keluarga ulama tersebut sudah
lama tinggal di Kualasimpang dan sudah membaur di dalam masyarakat di
Kualasimpang yang juga merupakan bagian dari Nanggroe Aceh Darussalam
walaupun kota kecil kami ini terletak di perbatasan.
Ayah mengkhawatirkan nasib Ellja jika Samil benar-benar menghilang atau
tidak dapat bersamanya karena banyak alasan yang jelas.
Salah satu diantaranya adalah semangat kesukuan orang Aceh. Bagi seorang
laki-laki keturunan Aceh asli seperti Samil, menikah dengan perempuan yang bukan
Aceh asli akan sulit untuk dapat menyatukan pikiran dan tujuan, nilai-nilai prinsipil
dalam hidup juga kebiasaan dan adat istiadat. Juga kemungkinan hilangnya garis
keturunan. Keluarga Samil pasti berpikir, dapatkah Ellja membawa garis keturunan
orang Aceh dari keluarga Samil dan hal tersebut terkadang akan sangat
memberatkan bagi pihak calon menantu perempuan yang bukan berasal dari orang
Aceh. Hilang garis keturunan adalah hal yang memalukan di dalam keluarga Aceh.
Alasan yang lain adalah mengenai aktivitas Samil di dalam Kemerdekaan
Aceh membuat Samil tidak dapat menjanjikan kehidupan yang baik bagi Ellja. Samil
tidak dapat menjanjikan masa depan yang baik bagi Ellja. Terlebih dalam
perlawanan gerilya. Tidak jelas bekerja sebagai apa, tidak jelas mendapatkan uang
dari mana. Kalau Ellja menginginkan masa depan yang jelas, bisa naik mobil dan
hidup mewah, seharusnya ia lebih baik menikahi kontraktor atau investor yang
sekarang banyak bekerja di Aceh.
Anak ulama Minang-Tamiang yang berniat meminangnya ini bekerja sebagai
seorang guru. Lama sekali ayah berusaha membicarakan hal ini dengan Ellja agar

tidak menyinggung perasaannya ataupun merusak hubungan baiknya dengan


Samil. Walaupun merupakan seorang Minang-Tamiang, tetapi ayah tidak menentang
Kemerdekaan Aceh yang tegak didirikan atas Syariah Islam.
Hanya saja ayah takut, Ellja tidak akan kuat menjalani hidup sebagai istri
seorang GAM.
Keumang Payong Biru di atas meja.
Kalau layu, masih banyak tangkai bunga yang dapat menggantikannya.
Tapi Bulan dan Bintang itu tetap bersinar terang.
Janji Allah atas keduanya.
Nibak adai dum ka meuhat, saket mangat ka meuhingga.

Tangis terderai hujan.


Pada lomba kaligrafi yang diikuti oleh Ellja tersebut, ia memenangkan juara
ketiga dan karyanya ditawar oleh sebuah galeri kaligrafi di Banda Aceh. Karya
kaligrafi Ellja tersebut sekarang menjadi koleksi di sebuah galeri lukis dan kaligrafi
di Banda Aceh. Dari hadiah lomba dan penjualan

kaligrafi tersebut Ellja

mendapatkan uang yang cukup untuk membuat studio lukis di Kualasimpang. Chik

Nur juga menambahkan modal untuk Ellja dan beberapa koleksi dari perhiasan batu
akik chik Nur juga dipamerkan di studio lukis Ellja di Kualasimpang. Beberapa dari
desain perhiasan tersebut, Ellja yang mendesainnya.
Sudah hampir satu tahun tidak ada kabar dari Samil.
Beberapa kali Ellja berusaha menghubungi Amirah dan Rasyid, tetapi mereka
juga mengatakan belum mendapat kabar dari Samil selain dari kabar terakhirnya
menghilang di Celala.
Sementara itu Rasyid masih melanjutkan perlawanan dengan mengkoordinasi
mahasiswa dan pemuda di Aceh dengan jalan jurnalistik. Walaupun masih dengan
cara sembunyi-sembunyi.
Kita tidak memiliki pemimpin lagi ujar Rasyid.
Setelah meninggalnya Tengku Abdullah Syafii dan Tengku M. Hasan Tiro,
perlawanan rakyat Aceh atas Kemerdekaan Aceh Sumatra, tidak ada lagi yang
melanjutkan. Seperti padam. Keadaan ini menjadi kesempatan bagi pemerintah
NKRI untuk mengusahakan kesepakatan damai yang ditujukan untuk menundukkan
Aceh di bawah pemerintah Indonesia dengan jalan berbagai perjanjian-perjanjian
dan kesepakatan terang Rasyid kepada Ellja sewaktu Rasyid mengunjungi Ellja di
Kualasimpang bulan lalu. Rasyid pun sudah tidak mendapatkan kabar dari Samil
selama satu tahun ini, itu sebabnya ia mendatangi Ellja di Kualasimpang yang juga
belum mendapatkan kabar dari Samil.
Menegakkan Syariah Islam di dalam bingkai NKRI itu artinya sama saja
dengan menutupi yang hak dengan yang bathil, Nanggroe Aceh yang tegak
didasarkan pada Syariah Islam harus tunduk di bawah NKRI yang masih merupakan
pemerintahan yang dzalim, bathil dan kejam ujarnya lagi.
Sulit sekali bagi pemerintah Indonesia untuk mengerti bahwa yang
diinginkan oleh rakyat Aceh bukanlah kemajuan seperti yang dielu-elukan di
Indonesia. Sulit sekali bagi pemerintah Indonesia untuk mengerti bahwa tidak
mungkin menyatukan hukum Islam dan adat istiadat di Aceh dengan pemerintahan
fasis sekuler berkedok ketuhanan yang maha esa seperti di Indonesia cecar Rasyid
terlihat sangat emosi.

Itu sebabnya harus tetap ada yang bertahan secara gerilya gumam Ellja
mulai memahami apa yang sedang diperjuangkan oleh Samil, Rasyid, Amirah dan
kawan-kawan yang lain.
Rasyid mengangguk pelan.
Berat sekali perlawanan orang itu. Orang yang bergerilya ujar Rasyid.
Semasa perang Aceh melawan Belanda, orang yang bergerilya dibantu oleh
rakyat Aceh. Rakyat Aceh bersama-sama melindungi para pejuang gerilya,
menyediakan tempat perlindungan juga makanan dan obat-obatan, karena orang
yang bergerilya tidak dapat bekerja, tidak dapat menghasilkan uang. Rakyat yang
masih bisa bekerja, menghasilkan makanan dan mendapatkan uang, membantu
orang orang gerilya terangnya lagi.
Tidak seperti sekarang.. , Rakyat Aceh banyak yang menjadi penghianat
dan penghasut juga kaki tangan pemerintah dzalim yang terus berusaha menekan
dan menundukkan rakyat Aceh dengan segala macam cara
Pemerintah Indonesia yang sudah bercokol sekian puluh tahun di Aceh telah
berhasil membujuk banyak pemimpin-pemimpin Aceh dan orang-orang Aceh untuk
lebih memihak kepada Indonesia, sehingga yang masih berusaha melawan untuk
Kemerdekaan Aceh menjadi semakin tersudut, semakin tertinggal, semakin tersisih,
semakin terbuang, semakin tidak terperhatikan bahkan para pejuang gerilya seperti
dianggap bukan manusia yang sama derajatnya dengan orang-orang Aceh lain yang
telah mengecap kemajuan yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia terang
Rasyid lagi, aku dengar emosi yang tertahan di dalam suaranya.
Bergerilya pada zaman sekarang sama saja seperti bunuh diri! Tetapi
bagaimanapun tetap harus ada yang mampu memegang tanggung jawab yang
sangat berat tersebut ujarnya lagi.
Seperti Tengku Abdullah Syafii gumam Ellja, Rasyid kembali mengangguk.
Aku yang mendengarkan pembicaraan mereka hanya bisa diam sambil
berpura-pura bermain minesweeper di komputer yang ada di studio. Aku tidak

mengerti sebagian besar pembicaraan mereka, tetapi aku tahu nama Tengku
Abdullah Syafii.
Jadi benar Samil bergabung dengan TNA yang bergerilya di Celala? Apa
benar dia masih hidup? Berkali-kali aku mendengar umpatan tentara aparat
terhadap orang laki-laki tanpa identitas yang disebut dengan nama Samil cecar
Ellja kepada Rasyid.
Itu salah satu bentuk intimidasi dari tentara aparat yang berusaha
memancing Samil untuk keluar ujar Rasyid. Intimidasi seperti itu juga diterima
oleh orang-orang lain yang masih bergerilya, untuk memancing emosi orang-orang
Aceh, orang-orang yang masih meneruskan perlawanan Tengku Abdullah Syafii
terangnya lagi.
Dengan kondisi kekuatan politik Aceh seperti sekarang, dengan kekuatan
moneter yang masih dikendalikan dari pusat, dikendalikan oleh pemerintah
Indonesia, untuk mencari uang, untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan
kehidupan yang layak, orang Aceh dipaksa untuk mengakui kedaulatan Indonesia.
Itu sebabnya orang-orang yang bergerilya, tidak dapat bekerja pada pemerintah
Indonesia. Sulit sekali bagi orang itu untuk dapat merasakan kesejahteraan dan
kemajuan yang sama, Bahkan dalam hal pendidikan, untuk mendapatkan
pendidikan, fasilitas kesehatan dan kesejahteraan yang ditawarkan pemerintah
Indonesia, pejuang gerilya ini diberikan tekanan untuk mengakui kedaulatan NKRI ,
Diperlakukan seperti bukan manusia yang memiliki hak yang sama,
diperlakukan seperti manusia rendah komentar Rasyid lagi.
Sebenarnya tekanan juga dirasakan oleh orang-orang Aceh yang sudah
menjadi pegawai pada pemerintah Indonesia, tetapi mungkin mereka tidak terlalu
merasakan

tekanan

tersebut,

karena

mereka

diberikan

kehidupan

dan

kesejahteraan yang layak. Kehidupan mereka terjamin dan aman secara finansial
dan sosial. Tidak seperti orang-orang Aceh yang masih melawan secara gerilya
yang selalu hidup dalam tekanan dan kesusahan ,
Tekanan pada orang itu diberikan berkali-kali lipat. Tidak hanya tekanan dari
orang-orang luar, orang Indonesia yang datang untuk menguasai Aceh. Tekanan

juga dirasakan dari orang-orang Aceh sendiri, bahkan keluarga sendiri yang lebih
memihak NKRI. Tekanan juga dirasakan dari kawan-kawan sendiri, teman-teman
sendiri yang lebih memilih kesejahteraan dan kemajuan semu yang ditawarkan oleh
pemerintah

Indonesia,

kesejahteraan

dan

kemajuan

yang

membelenggu

kemerdekaan kita sebagai bangsa yang merdeka di dalam Nanggroe Aceh yang
Merdeka berdasarkan Syariah Islam terang Rasyid lagi dengan kemarahan yang
tertahan.
Kita bukan bangsa budak yang mudah untuk diperintah oleh pemerintah
yang dzalim dan bathil! komentarnya lagi dengan suara yang sangat tegas.
Kita bukan bangsa budak yang mudah untuk dipekerjakan seenaknya. Jika
orang Aceh bekerja, itu adalah karena lillaahi taala! bukan karena tunduk pada
pemerintah atau pemimpin yang dzalim! ujarnya lagi dengan sangat jelas.
Aku dan Ellja kemudian diam. Itu sebabnya Ellja selalu membangkang. Itu
sebabnya anak-anak Aceh mendapat predikat bangai dan tidak dapat diatur. Aku
mengerti kalau untuk menjadi anak yang baik dan berakhlak mulia, aku harus
menjadi penurut serta patuh. Tetapi bukan berarti penurut dan patuh pada
pemerintah yang dzalim. Bukan berarti patuh pada pemimpin yang bahkan Ilmu
Agamanya lebih rendah. Bukan juga patuh pada pemerintahan rezim fasis militer
yang kejam.
Walaupun aku adalah generasi anak Aceh yang baik, patuh dan pintar, tetapi
aku mendukung Kemerdekaan Aceh yang tegak berdasarkan pada Syariah Islam.
Mengenai

perlawanan

Tentara

Nasional

Aceh

di

Celala,

yang

jelas,

perlawanan rakyat Aceh tidak akan pernah berhenti. Karena Kemerdekaan bukanlah
hal yang dapat dibeli lalu disimpan. Kemerdekaan adalah hal yang harus
diperjuangkan dan dipertahankan, karena itu perlawanan rakyat Aceh tidak akan
pernah berhenti, tidak akan pernah padam! terang Rasyid lagi.
Terakhir kali aku mendapat kabar dari Samil, ia sudah berada di Celala.
Waktu itu dia bilang mungkin hanya akan sebentar, bertemu dengan beberapa
orang. Setelahnya ia akan kembali ke Banda, tetapi ternyata, setelah itu aku belum
mendapat kabar lagi dari Samil terang Rasyid.

Mungkin juga ia memutuskan untuk bergabung dengan TNA yang ada di


Celala ujarnya lagi.
Ellja hanya terlihat diam waktu itu. Wajahnya sayu dengan tatapan nanar
yang seperti menerawang jauh. Kegundahan hati atas keselamatan kekasihnya.
Derai hujan diluar jendela deras menutupi tangis di dalam hatinya. Tidak ada tetes
air mata yang terlihat jatuh. Lafadz doa dilantunkannya.
Allah yang akan melindunginya ujar Ellja parau.
Hujan deras diluar terlihat mulai menggerimis dan aku lihat beberapa orang
anak SMP baru pulang sekolah berjalan melewati toko.
Amirah juga mengatakan hal yang sama. Amirah bahkan terakhir kali
mendapat kabar dari Samil ketika kita pergi ke Takengon, setelahnya ia tidak pernah
lagi mendapat kabar dari Samil ujar Rasyid lagi, Ellja kemudian mengangguk.
Melihat kondisi Ellja, aku rasa, aku pun juga tidak akan mampu menjadi istri
seorang gerilyawan GAM. Fisik, mental, bathin, spiritual, harus benar-benar siap
karena tekanan dan intimidasi yang dirasakan akan sangat berat.
Studio lukis dan toko perhiasan yang dikelola Ellja cukup ramai. Terkadang
aku membantunya di toko sehabis pulang sekolah. Beberapa pembeli memasuki
toko ketika Ellja dan Rasyid sedang berbicara di ruang tamu studio yang sederhana.
Anak-anak SMP sepulang sekolah yang ingin membeli merchandise-merchandise
juga perhiasan-perhiasan batu akik yang didesain oleh Ellja.
Aku membantu melayani pembeli sementara aku lihat Ellja masih berbicara
dengan Rasyid. Sebagian uang jajan yang diberikan Ellja kepadaku dari pekerjaanku
menjaga studio dan galerinya, aku menabung untuk dapat melanjutkan kuliah.
Kuliah pada jurusan Arkeologi.
Tekanan dan beban berat dirasakan oleh semua pihak yang benar-benar
ikhlas untuk berjuang atas Kemerdekaan Aceh berdasarkan hukum yang tegak pada
Syariah Islam. Bagi mereka yang ruku dan sujud, bagi mereka yang mampu untuk
mendirikan shalat, bagi mereka yang menginginkan untuk dapat hidup sebagai
manusia merdeka di atas tanah yang merdeka di dalam hukum-hukum Islam, pasti

mengerti bahwa Kemerdekaan Aceh sebagai negara yang merdeka adalah


kebenaran dan hal yang benar-benar diinginkan oleh setiap rakyat Aceh.
Tekanan dan beban berat ini tidak hanya dirasakan oleh sebagian rakyat Aceh
yang masih berjuang secara gerilya, mereka yang mengerti bahwa Kemerdekaan
Aceh harus terus diperjuangkan. Aku dan Ellja juga merasakan hal yang sama, juga
anak-anak perempuan Aceh yang lain, juga setiap Aneuk Nanggroe yang mungkin
tidak lagi berjuang dengan cara mengangkat senjata, tetapi dengan cara bekerja,
juga belajar. Juga mereka yang berusaha memperjuangkan Aceh dengan cara
diplomasi agar benar-benar dapat menyampaikan keinginan rakyat Aceh dan hal
yang benar-benar diinginkan oleh rakyat Aceh adalah Kemerdekaan Aceh sebagai
Negara Islam yang Merdeka.
Aku perhatikan wajah-wajah anak MTsN dan SMP yang sedang berbelanja di
toko Ellja. Jilbab putih dengan wajah polos dan tidak tahu apa-apa. Kemerdekaan
dalam Syariah Islam atas tanah negeri ini kelak akan diwariskan kepada mereka.
Untuk itu mereka harus mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Tidak boleh ada
hal yang ditutup-tutupi dari mereka. Agar mereka dapat melihat masa depan dalam
pemahaman yang lebih jelas mengenai Kemerdekaan Aceh. Agar mereka mengerti
hal apa yang menyebabkan konflik politik berkepanjangan di tanah negeri ini
sehingga mereka dapat mengambil sikap dan pilihan dengan yakin dan jelas. Agar
mereka dapat menentukan sikap dengan tegas dan mengetahui yang mana yang
hak dan yang mana yang bathil.
Kesedihan karena berbagai musibah, konflik politik berkepanjangan, represi
politik juga militer, kesulitan dalam kehidupan sosial dan permasalahan ekonomi,
tekanan demi tekanan dan kehidupan yang tidak kunjung memberikan kejelasan
masa depan seperti menghilangkan senyum pada banyak wajah anak perempuan
Aceh. Kami seperti lupa bagaimana caranya untuk tersenyum dengan ikhlas.
Seperti kotoran dan polusi yang menghilangkan harum pada sibungong
jeumpa.
Adzan Dzuhur sudah berkumandang, Ellja kemudian langsung beranjak untuk
melaksanakan shalat Dzuhur. Rasyid pamit kembali ke Sigli.

Aku hanya bisa berdoa, ubek musibah bek le troh teuka. Aceh beu aman,
beumaju, hana le darah. Hana le musibah.
Semoga kesedihan berganti dengan kebahagiaan dan ketenangan hati.
Bismillahi fil awwal wal akhiir.

Seorang Panglima yang Ksatria.


Tahun ini adalah tahun terakhirku di sekolah menengah, Madrasah Aliyah
Negeri. Tahun depan aku akan melanjutkan kuliah. Uang tabunganku sudah banyak,
dua juta tiga ratus enam puluh dua ribu empat ratus rupiah. Aku akan melanjutkan
kuliah dengan uang itu. Aku rasa, aku bisa kuliah Arkeologi di Leiden dengan uang
sebanyak itu.
Ya.., mungkin.
Menyuruh orang untuk berhenti bermimpi, untuk jangan memiliki cita-cita
yang tinggi, aku rasa adalah kejahatan terbesar setelah perbudakan dan
penjajahan. Semua kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang ada sekarang
berasal dari orang-orang yang tidak mau berhenti bermimpi dan terus berikhtiar
untuk mengejar cita-cita yang tinggi di jalan Allah.

Aku memang miskin, tapi aku memiliki cita-cita yang tinggi di jalan Allah.
Setelah lulus MAN ini, uang tabunganku memang hanya berjumlah dua juta
tiga ratus enam puluh dua ribu empat ratus rupiah, tapi aku yakin, aku akan dapat
melanjutkan kuliah dengan niat lillaahi taala.
Tahun-tahun terakhir ini, kondisi politik di Aceh semakin bergejolak, walaupun
tidak terlihat di permukaan. Konflik politik antara Aceh-Jakarta juga seperti
mengalami kondisi fluktuatif, kedua pihak mengalami permasalahan yang sama.
Permasalahan tersebut adalah kehilangan karakter pemimpin pada para
negarawan dan kehilangan generasi penerus.
Tidak ada lagi pemimpin bangsa yang mampu dijadikan panutan, yang dapat
dijadikan suri tauladan. Tanpa pemimpin, rakyat akan bercerai berai. Tanpa
pemimpin, arah kemajuan dan pembangunan akan menjadi limbung.
Juga kehilangan generasi penerus yang memiliki jati diri dan semangat
kebangsaan atas Nanggroe Aceh yang berdaulat. Semangat kebangsaan atas
Nanggroe Aceh yang berdaulat dan tegak dalam Syariah Islam ini harus dapat
ditanamkan pada setiap diri Aneuk Nanggroe dengan pendidikan.
Menurutku memang harus ada revolusi pada sistem pendidikan di Aceh.
Revolusi di bidang pendidikan untuk menyingkirkan pola pikir lama yang kolot,
indoktrinasi yang didasarkan pada kepatuhan terhadap rezim pemerintahan militer
yang masih mengakar di dalam sistem pendidikan di Aceh. Harus ada Revolusi di
bidang pendidikan untuk merubah pola pikir akademisi mengenai indoktrinasi
Pancasila dan lebih menanamkan Syariah Islam pada generasi penerus.
Institusi pendidikan harus bersih dari pengaruh tekanan militer pemerintah
Indonesia karena pendidikan di Aceh akan didasarkan pada Syariah Islam bukan
Pancasila.
Rasyid

sedang

menggalang

demonstrasi

massa

untuk

memperjelas

permasalahan ini. Bahwa pendidikan di Nanggroe Aceh akan didasarkan pada


Syariah Islam dan tidak lagi menggunakan Pancasila sebagai ideologi dasar. Harus
ada yang berani untuk membuat revolusi di bidang pendidikan dan menyatukan

pergerakan akademisi Aceh dengan teman-teman yang berjuang secara diplomasi


politik dan gerilya.
Kemudian, akhirnya ada kabar dari Samil.
Ellja menerima telepon dari Samil ketika sore hari sewaktu kami menutup
toko. Samil menghubungi Ellja dari nomer telepon baru. Samil hapal nomer telepon
Ellja, bahkan setelah ia menghilang di rimba belantara Takengon selama lebih dari
satu tahun ini. Ellja langsung terduduk lemah setelah mendengar suara Samil di
telepon.
Ia meminta Ellja untuk datang ke Banda Aceh pada acara unjuk rasa
mahasiswa dengan tujuan Revolusi Pendidikan Aceh, menghapus pengaruh tekanan
militer pada sistem pendidikan di Aceh.
Acara tersebut akan berlangsung bulan depan.
Aku sedih melihat Ellja selama hampir satu setengah tahun ini menunggu
kabar dari Samil. Ellja seperti benar-benar menjadi seorang janda gerilyawan. Ia
menutup diri terhadap pertemanan dari laki-laki lain juga dari kehidupan sosial.
Kehidupannya sekarang hanya seputar melukis kaligrafi dan mengurus studio lukis
juga galeri perhiasan yang dimodali oleh chik Nur.
Dia juga menolak lamaran dari anak seorang ulama yang diperkenalkan oleh
ayah. Di dalam hatinya, dia tetap yakin Samil akan kembali. Dan Samil benar-benar
kembali.
Kak

Ja

berapa

lama

di

Banda

Aceh?

tanyaku

melihat

Ellja

yang

membereskan beberapa barang-barangnya untuk di bawa ke Banda Aceh.


Seuleukum dan Al-Quran adalah barang yang tidak boleh ditinggalkan. Ia membawa
beberapa pakaian dan perlengkapan lainnya.
Belum

tahu..

jawab

Ellja

pelan,

sepertinya

ia

masih

memikirkan

keselamatan Samil. Samil melarang Ellja untuk meneleponnya karena beberapa kali
Samil mengetahui nomor lama yang digunakan pada telpon selulernya telah
disadap.

Kak gak bawa sepatu gunung? tanyaku kepada Ellja sambil melihat
sepasang sepatu gunung yang tersimpan dalam kotak sepatu.
Siapa tahu langsung diajak gerilya ke gunung.. ujarku lagi menggoda Ellja.
Ia kemudian sedikit tersenyum.
Berat.. jawabnya. Lagipula tujuanku adalah untuk bertemu dengan Samil
dan memastikan keselamatannya lanjutnya lagi.
Ya siapa tahu, Samil langsung mengajak Kak menikah, lalu langsung diajak
bergerilya ke gunung ujarku lagi. Kalau pakai sepatu Ratu Inggris, sepertinya akan
sulit mendaki Seulawah komentarku sambil menunjuk sepatu Ratu Inggris milik
Ellja. Dengan krep dan sol lebar. Nyaman dan elegan. Model sepatu Ratu Inggris
yang tidak pernah berubah dari zaman ke zaman. Tapi kalau dipakai untuk
bergerilya, mungkin akan sedikit agak merepotkan.
Jeh.., kah saja njang pakai sepatu ratu inggris gerilya u seulawah.. balas
Ellja menjawab komentarku tentang sepatu Ratu Inggris. Aku kemudian tertawa
melihat Ellja yang sudah kembali dapat bercanda.
Kak, pasti khawatir dengan keselamatan Samil ujarku lagi.
Yang aku pikirkan sekarang adalah memastikan keselamatannya jawab Ellja
cepat, wajahnya kembali berubah, terlihat sangat cemas.
Aku malah penasaran dengar cerita bang Samil tentang perlawanan
gerilyanya di Celala.. komentarku. Jika ada yang mampu memimpin TNA kembali
dalam perjuangan gerilya, mungkin semangat perjuangan Kemerdekaan Aceh akan
kembali berkobar ujarku lagi.
Seharusnya seperti itu, tetapi perlawanan yang dilancarkan sekarang lebih
ke perlawanan damai secara diplomasi. Teman-teman yang berjuang dalam ranah
hukum, politik dan diplomasi sedang mengusahakan jalan damai untuk mencapai
hasil yang terbaik tanpa kembali menumpahkan darah dan kesedihan terang Ellja.
Akan ada akuisisi atau kondisi peralihan dari kekuatan militer yang dipimpin
oleh pemerintah Indonesia kepada kekuatan militer Aceh Merdeka yang dipimpin
oleh sebenar-benar kekuatan hukum dan militer Aceh tanpa ada campur tangan

pemerintah Indonesia, tetapi hal ini masih membutuhkan regulasi hukum yang
jelas, Perlawanan ke arah sana sedang dimulai.., baru dimulai ujarnya lagi.
Tetapi tetap harus ada yang mampu memimpin perlawanan secara gerilya,
untuk menunjukkan bahwa rakyat Aceh tidak akan pernah menyerah komentarku
lagi.
Tidak

seperti

kondisi

sekarang,

untuk

mendapatkan

regulasi

atau

perundang-undangan atas Kedaulatan di Bidang Hukum dan Militer bagi pemerintah


Aceh, Aceh diminta untuk menyerahkan senjata. Hal tersebut sama saja dengan
dipaksa untuk menyerah. Jika pemerintah Indonesia memiliki itikad baik untuk
menyelesaikan konflik berkepanjangan di Aceh, seharusnya dalam kedudukan yang
sama. Pemerintah Indonesia memiliki kekuatan hukum dan militer. Aceh juga
memiliki kekuatan hukum dan militer. Itu baru dapat disebut menyelesaikan
permasalahan dengan adil! komentarku asal-asalan. Setahu yang aku tahu dan
mungkin hanya berdasarkan pemikiran emosional saja.
Seorang Ksatria tidak akan menghadapi musuhnya dengan cara yang culas
dan menghinakan. Seorang Ksatria akan memperlakukan musuhnya juga sebagai
seorang ksatria yang sepadan komentarku.
Bahkan ketika musuhnya sudah tidak lagi berdaya dengan pedang yang
terlepas dari tangan, seorang ksatria tidak akan pernah berlaku dzalim. Sikap
seorang ksatria justru akan mengembalikan pedang tersebut kepada musuhnya dan
kembali bertempur dalam kondisi yang sepadan!
Tidak seperti sekarang, Aceh di dalam bingkai NKRI. Aceh dipaksa untuk
tunduk

pada

pemerintah

Indonesia

yang

dzalim

ujarku

lagi.

Kalau

membandingkan kekuatan militer, kita memang lebih lemah dibandingkan militer


Indonesia. Karena militer Aceh dibentuk bukan untuk menjajah bangsa lain. Militer
Aceh dibentuk untuk mempertahankan wilayah Nanggroe Aceh, melindungi
rakyatnya, melindungi Agama Islam dan Ilmu Pengetahuan. Bukan untuk menjajah
dan merampas hak orang lain. Bukan untuk menjajah dan menjadi penguasa di
tanah orang lain! cecarku.

Hal ini yang harus dimengerti oleh tentara-tentara aparat! Hal ini yang harus
dimengerti oleh pemerintah Indonesia yang seperti memaksakan adu otot kepada
lawan yang tidak sepadan. Apa itu yang disebut sebagai pemimpin yang memiliki
jiwa ksatria?
Orang Aceh akan tetap melawan, tidak akan pernah berhenti melawan untuk
membela Agama dan tanah nanggroe kamoe! ujarku lagi dengan semangat
fisabilillaah.
Ellja terdiam mendengar perkataanku.
Ini urusan Panglima.., bukan urusan Ksatria komentar Ellja datar.
Pue beda Panglima ngon Ksatria? tanyaku kepada Ellja.
Nng, njan saboh peurtanyaan njang sulet that tajaweub. Njang jelas,
Panglima leubeh get.. jawab Ellja tanpa banyak berpikir panjang. Leubeh
sinkron.. ujar Ellja lagi.
Peu maksudjih sinkron? tanyaku bingung.
Hom! jawab Ellja lagi lebih bingung.
Mungkin aku harus bawa sepatu gunung ini.., kalau misalnya ikut
demonstrasi pakai sepatu Ratu Inggris, repot juga komentar Ellja sambil
menunjukkan sepasang sepatu lapangan yang sudah dekil dan kucel kepadaku.
Kami berdua kemudian tertawa.
Perlawanan gerilya dan perjuangan secara diplomasi seharusnya dapat
berjalan dengan simultan.. ujar Ellja yang kembali terlihat serius.
Aku mengangguk pelan sambil membantunya berkemas.
Dalam hati aku merasakan semangat dan keinginan untuk ikut bersama
dalam perlawanan Kemerdekaan Aceh di Banda.
Ikut demo, jadi rebellion.., gerilya ke gunung, sepertinya seru.

Kah bantu kak jaga galeri selama kak di Banda.. ujar Ellja tiba-tiba sambil
memberikan kunci toko kepadaku. Membuyarkan lamunanku tentang serunya
perlawanan para pemberontak Aceh.
Anak perempuan seharusnya memang di rumah saja. Bantu mak sama ayah,
urus rumah, belajar masak, kasih makan ayam dan itik ujarnya lagi sambil
mengusap kepalaku gemas.
Dia bilangin kita suruh dirumah, bek kreuh ulee! Dia sendirinya ikut pergi
demonstrasi, pacaran sama pemberontak rebellion, bawa sepatu lapangan pergi
gerilya.., that sinkron peurintah Ratu Inggris saboh nyoe! komentarku kesal sambil
menyimpan kunci toko.
Ellja kemudian malah tersenyum-senyum, membereskan barang-barang yang
sudah dikemasnya kemudian bergumam senandung dalam lagu Wind of Change.
Follow the Moschva, down to Gorky Park

Revolusi
Perjalanan dari Kualasimpang ke Banda Aceh menggunakan bus biasanya
menghabiskan waktu hingga 9 jam. Supaya sampai pagi di Banda Aceh, biasanya
orang-orang dari Kualasimpang, berangkat pada malam hari sehingga dapat sampai
di Banda Aceh pada pagi hari. Ada dua jenis kendaraan yang biasanya memiliki
trayek Kualasimpang-Banda Aceh, yaitu, L300 dan bus-bus patas.
Fasilitas dan harga yang ditawarkan oleh L300 dan bus patas juga berbeda.
Ongkos bus patas lebih mahal, tetapi fasilitas kendaraannya lebih baik. Bangku
yang nyaman, bantal dan selimut. Ongkos berkisar antara Rp.130.000 sampai
dengan

Rp.150.000.

L300

sedikit

lebih

murah,

ongkosnya

berkisar

antara

Rp.120.000 sampai dengan Rp.140.000, fasilitas kendaraannya tidak terlalu


nyaman karena merupakan kendaraan kecil. Hanya saja, kalau menggunakan L300,
setiap penumpang diantar sampai ke tempat tujuan masing-masing. Jadi bisa
menghemat ongkos kendaraan umum dari stasiun atau terminal yang biasanya
agak tidak masuk akal di Banda Aceh. Ongkos becak bisa sampai Rp.50.000 dari
Jambo Tape ke Darussalam. Mungkin abang becaknya ingin cepat naik haji.
Kadang Ellja naik bus. Kadang naik L300. Dalam perjalanan kali ini ke Banda
Aceh, ia menumpang bus agar lebih nyaman dan dapat beristirahat.
Samil meminta Ellja untuk menginap di rumah Vita. Salah seorang temannya
yang juga merupakan aktivis perempuan Aceh yang juga memberikan buah
pemikirannya dalam Revolusi Kemerdekaan Aceh. Setiap orang harus dapat
menempatkan dimana seharusnya ia berada. Pada dasarnya Ellja memiliki jiwa
seorang Aceh yang tidak mau tunduk pada pemerintah Indonesia. Ellja dapat
merasa lebih diterima jika ia bergabung bersama teman-teman orang Aceh yang
lain untuk bersama-sama memperjuangkan Kemerdekaan Aceh. Walaupun Ellja

tidak terlalu mengerti mengenai politik, tetapi tentu saja ia dapat membantu pada
bidang yang diketahuinya.
Walaupun hal tersebut akan terus dipersulit oleh orang-orang yang lebih
membela pemerintah Indonesia. Orang-orang itu tidak akan membiarkan aktivisaktivis Aceh dapat kembali berkumpul dan membicarakan permasalahan Revolusi
Aceh. Harus benar-benar berhati-hati dalam menyelesaikan segala urusan juga
berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, tembokpun punya
mata-mata dan telinga.
Nanti ada yang menjemput Ellja setelah sampai di Banda Aceh.
Di dalam hati aku berdoa agar Ellja dapat bertemu kembali dengan Samil
dan mereka berdua dapat melanjutkan perlawanan rakyat Aceh.
Monolog : Ellja
Ketika sedang berada di dalam kendaraan yang sedang bergerak dan
memperhatikan deretan rumah-rumah dan pepohonan di pinggir jalan, kadang kita
yang merasa ditinggalkan. Ditinggalkan oleh waktu yang terus bergerak maju, tidak
pernah sekalipun berputar mundur. Kuasa Allah atas hal tersebut.
Perjalanan di dalam kendaraan kadang menyisakan waktu untuk sejenak
menenangkan pikiran dan memikirkan hal yang sulit untuk kita pikirkan ketika
dalam kondisi terburu-buru mengejar rutinitas kehidupan sehari-hari.
Aku memperhatikan rumah-rumah kecil, terbuat dari kayu yang banyak
terdapat di sepanjang jalan dari Kualasimpang menuju Langsa. Beberapa adalah
rumah orang-orang pendatang yang hijrah ke Aceh untuk bisa mendapatkan
ketenangan hidup bermasyarakat di dalam Islam. Hal yang tidak dapat diberikan
jaminan di Indonesia. Hanya Aceh yang dapat memberikan jaminan ketenangan dan
kehidupan bermasyarakat di dalam Islam dengan hukum-hukum Islam yang tegak.
Hal tersebut merupakan salah satu hak rakyat Aceh yang paling utama.
Setiap rakyat Aceh berhak mendapatkan ketenangan hidup dan kenyamanan
bermasyarakat di dalam Islam.

Malam kemarin ketika mengajar Bani mengaji, Ayla menunjukkan buku


ensiklopedi yang dipinjamnya dari sekolah. Buku ensiklopedia tentang Indonesia.
Tentang kekayaan alam Indonesia. Flora dan fauna. Bangunan-bangunan penting
dan bersejarah. Monumen dan tugu. Pulau-pulau yang indah yang terdapat di
Indonesia. Buku-buku ensiklopedi Indonesia tersebut terdiri dari tiga jilid.
Di dalamnya digambarkan dan diceritakan kekayaan alam Indonesia.
Digambarkan keindahan Indonesia dengan segala kebaikannya. Pulau-pulau yang
indah di Sulawesi. Kekayaan laut yang sangat menawan di Papua. Hutan-hutan yang
lebat di Kalimantan. Seni dan budaya yang tinggi di Bali. Indah sekali. Cemburu
sekali dengan kekayaan alam dan budaya Indonesia.
Namun ada yang kurang. Satu hal yang teramat sangat penting yang hanya
dimiliki oleh Nanggroe Aceh.
Syariah Islam.
Kekayaan rakyat Aceh bukanlah kekayaan materi atau kekayaan alam yang
melimpah. Tetapi Iman di dalam Islam. Agama dan Ilmu Pengetahuan. Kekayaan
rakyat Aceh adalah kehidupan bermasyarakat yang tegak dan bersendikan pada
hukum-hukum Islam.
Hal ini yang kurang dari segala kemajuan dan kesejahteraan yang ditawarkan
oleh pemerintah Indonesia. Kehidupan bermasyarakat yang tegak dan bersendikan
pada hukum-hukum Islam. Dan hal ini hanya dapat dicapai jika sepenuhnya Aceh
menjadi Negara yang Merdeka.
Aku

memperhatikan

masyarakat

yang

tinggal

di

sekitarku

di

kota

Kualasimpang. Umumnya adalah pendatang dari luar Aceh. Suku Jawa, Minang,
Batak, etnis Cina dan India, Mandailing juga Melayu, yang mereka inginkan
bukanlah

gemerlap

kehidupan

modern.

Bukanlah

kemajuan

seperti

yang

ditunjukkan orang Indonesia di televisi. Tetapi kenyamanan dan ketenangan untuk


dapat hidup dan bermasyarakat di dalam Syariah Islam.
Sempat mendengar ada orang Kualasimpang yang berkomentar, biar tinggal
di gubuk kayu atau rumah reot, kalau merupakan rakyat Aceh, kalau nanti

meninggal pasti akan dimandikan, dikafankan, disholatkan dan dikuburkan sebagai


seorang Islam. Hal yang belum tentu mendapat jaminan jika tinggal di Indonesia.
Hingga seperti itu.
Aku lihat orang-orang itu juga tinggal di rumah-rumah kayu kecil. Bekerja
sebagai petani, peternak, bekerja di tambak, tetapi hatinya senang. Karena
lingkungan masyarakatnya baik dan bersendikan di dalam Islam. Hal itu saja yang
diinginkan oleh orang-orang dari luar Aceh yang hijrah ke kota Kualasimpang. Hal
yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat sekuler yang ada di Indonesia walaupun
dengan jaminan kemajuan dan kesejahteraan.
Ulaaikalladziis tarawud dhalaala ta bil huda.. (Al-Baqarah ayat 16)
Mereka adalah orang-orang yang mengambil kesesatan yang ditukar dengan
petunjuk
Aku tidak mau menjadi orang yang merugi. Yang menukarkan iman dalam
Islam yang telah aku miliki dengan kemajuan dan kesejahteraan semu. Yang
menukar petunjuk dengan kesesatan. Aku merasa seperti harus hijrah sejauhjauhnya dari hal-hal yang dapat membawa kepada kesesatan.
Kehidupan dalam Syariah Islam yang bermartabat seperti di Banda Aceh.
Tidak terasa, bus yang aku tumpangi sudah memasuki Aceh Utara. Beberapa
kapal nelayan aku lihat di teluk Aceh Utara. Terang lampu dari bus menerangi
kegelapan malam sehingga aku dapat memperhatikan beberapa kapal yang
bersandar di teluk Aceh Utara. Kemudian aku sedikit berkomentar kepada bapak
yang duduk di sebelah, Di Aceh sekarang, lebih banyak armada bus atau kapal
Pak? tanyaku. Lalu dia menjawab dengan agak bingung, Lebih banyak bus..
jawabnya cepat.
Kenapa sekarang lebih banyak bus di Aceh? Tidak ada lagi armada kapal
perang. Orang-orang Aceh sudah kehilangan kemampuannya untuk menaklukkan
laut ujarku.
Kemudian bapak itu diam.

Beberapa kali aku bermimpi tentang armada pasukan laut Aceh dan
kemampuan orang-orang Aceh di laut. Aku memikirkan hal tersebut setelah
kedatangan orang-orang Rohingya ke Aceh. Allah seperti mengirimkan orang-orang
Rohingya untuk menjadi guru bagi orang Aceh. Untuk kembali mengajarkan bangsa
Aceh menaklukkan laut. Orang Rohingya bukan pengungsi. Allah yang mengirimkan
orang-orang itu untuk Aceh sebagai bala bantuan.
Memasuki Pidie aku mulai merasakan kantuk yang berat karena waktu juga
sudah menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Akhirnya aku tertidur dan kembali
terbangun ketika sudah masuk waktu Subuh. Kendaraan yang aku tumpangi sudah
memasuki Sare. Sebagian penumpang turun untuk mengerjakan shalat Subuh.
Kendaraan yang aku tumpangi kembali melanjutkan perjalanan. Hamparan
bukit-bukit dan padang rumput di Aceh Besar kembali menyuguhkan pemandangan
atas kuasa Allah. Cahaya merah mulai muncul dan semburat matahari di langit
Timur.
Bapak yang disebelahku bertanya apa aku sudah menikah. Aku bilang belum,
lalu pikiranku langsung teringat kepada Samil. Kapan dia akan benar-benar
melamar untuk menikah. Aku tahu dia mungkin tidak mau terburu-buru dalam
mengambil keputusan dalam pernikahan. Aku juga tidak mau menikah dengan lakilaki yang belum siap dengan tanggung jawabnya dalam pernikahan dan rumah
tangga.
Menjelang pagi setelah langit mulai terang, kendaraan mulai memasuki kota
Banda Aceh. Setelah turun dari bus, seseorang menghampiriku.
Ellja..? tanya seseorang menegurku.
Iya.., abang siapa? tanyaku padanya.
Saya Khalid, teman Samil ujarnya sambil mengulurkan tangannya dan
menyalamiku. Jak.. ujarnya lagi.
Yang lain sudah berkumpul tadi malam, saya kira kemarin datang. Kemarin
ada juga nunggu di terminal Batoh, tapi diberitahu Samil katanya hari ini baru
datang. Kawan-kawan yang lain sudah datang duluan.. ujarnya kepadaku.

Kamu terlambat ujarnya lagi seperti menyayangkan ketidakikutsertaanku


selama beberapa waktu ini dalam persiapan unjuk rasa. Kami sudah dari beberapa
bulan lalu menyiapkan hal ini. Pendidikan di Aceh harus benar-benar bersih dari
pengaruh militer Indonesia. Tekanan militer dan birokrasi orde baru benar-benar
menyulitkan pendidikan di Aceh ujarnya kepadaku.
Aku baru diberitahu Samil kemarin.. jawabku pelan dengan sedikit bingung.
Samil sudah dari bulan lalu di Banda Aceh. Dia dan Rasyid yang
mengkoordinir ujarnya lagi.
Dalam hati aku menanyakan kenapa Samil baru memberi kabar kepadaku
kemarin.

Kecurigaan

dan

pikiran-pikiran

buruk

langsung

bermunculan.

Tapi

kemudian aku langsung beristighfar dan memohon perlindungan kepada Allah dari
segala pikiran buruk yang terus mengganggu dan dapat merusak hubunganku dan
Samil.
Setelah sampai di rumah Vita, aku lihat beberapa orang di beranda rumah
yang juga merupakan asrama mahasiswa. Khalid langsung masuk ke dalam rumah
lalu berbicara dengan seorang perempuan mengenakan jilbab besar. Kemudian aku
berjalan pelan mendekati mereka yang sedang berbicara dalam bahasa Aceh.
Ellja? tanyanya sambil menyalamiku, aku kemudian mengangguk pelan,
Vita.. ujarnya memperkenalkan diri. Samil banyak cerita tentang Ellja ke saya.
Mari masuk.. ujarnya lagi dengan ramah.
Berantakan.. ujarnya sambil mempersilahkanku duduk dan membuatkan
minum. Kertas-kertas karton, gunting, spanduk-spanduk dan poster berserakan di
ruang tamu. Beberapa orang mahasiswa terlihat sedang sibuk menyiapkan
beberapa spanduk. Selama di Banda Aceh, Samil juga tinggal disini. Tapi
sekarang.., dia sedang tidak disini.. ujarnya pelan dengan suara yang agak
tertahan, seperti ingin memberitahu sesuatu kepadaku tetapi tidak dapat secara
langsung.
Mungkin.., pergi sama Rasyid, memasang poster dan spanduk ujarnya lagi
dengan tidak yakin sambil membereskan tumpukan spanduk yang memenuhi sofa
di ruang tamu.

Ellja jangan khawatir.. tambahnya dengan gusar.


Aku mengangguk pelan walaupun di dalam hati, aku benar-benar khawatir.
Aku tidak tahu bagaimana kondisi Samil sekarang. Aku tahu dia adalah seorang
aktivis yang bergerak secara sembunyi-sembunyi, tetapi hanya itu yang aku ketahui
tentang kehidupannya. Siapa keluarganya, teman-temannya dan bagaimana
keterlibatannya dalam perlawanan rakyat Aceh, aku sama sekali tidak tahu.
Ya.., beginilah.., Samil bilang Ellja akan menginap disini malam ini?
tanyanya padaku yang kembali aku jawab dengan anggukan pelan.
REVOLUSI PENDIDIKAN ACEH
Menghapus Pengaruh Tekanan Militer, Doktrinasi Pancasila dan
Birokrasi Orde Baru
pada Sistem Pendidikan di Aceh
Isi dari beberapa poster yang dibuat oleh teman-teman mahasiswa.
Desainnya praktis. Anehnya aku justru lebih memperhatikan detail desainnya
daripada judul isu dari demonstrasi mahasiswa tersebut. Mungkin karena aku
seniman. Kalau Ayla yang berkomentar mungkin lebih mengena. Permasalahan
mengenai tekanan militer dan birokrasi orde baru pada sistem pendidikan di Aceh
adalah permasalahan yang harus dapat diperjelas. Banyak anak Aceh terutama
yang keluarganya merupakan simpatisan atau anggota Gerakan Aceh Merdeka yang
kesulitan untuk mendapatkan pendidikan tinggi karena tekanan militer di sekolah
dan di kampus-kampus.
Anak-anak Aceh sepertiku. Yang tetap bersikeras akan Kemerdekaan Aceh.
Mungkin Ellja bisa membantu kami. Tapi sekarang istirahat saja dulu.., pasti
lelah perjalanan dari Kualasimpang ujarnya lagi melihatku yang memperhatikan
beberapa poster yang dibuat oleh teman-teman mahasiswa.
Saya seniman, kak Vita.., kalau membantu membuat desainnya mungkin
bisa jawabku lugas. Ingin sekali dapat membantu pada bidang yang aku mampu.

Vita kemudian mengobrol banyak. Ia masih melanjutkan kuliah magister di


UNSYIAH, pada jurusan Hukum. Orangnya sangat ramah, supel dan mudah bergaul.
Cara bicaranya juga terlihat kalau ia sangat cerdas. Vita sudah kenal lama dengan
Samil, dari semenjak baru kuliah. Kegiatan mereka memang terkait dengan
perlawanan aktivis di Banda Aceh. Vita juga kenal dengan Amirah, dan bersamasama membantu pada permasalahan pendidikan bagi perempuan Aceh.
Ayo, istirahat dulu.., sepertinya lelah sekali.. ujar Vita yang melihatku diam
beberapa lama karena memang merasakan kelelahan karena perjalanan dari
Kualasimpang. Ia kemudian mengantarku ke kamar yang terletak di sebelah rumah.
Setelah meletakkan dan membereskan barang-barang yang aku bawa, aku
dan Vita kemudian kembali berbincang-bincang lagi. Ia duduk di sofa sudut dekat
jendela.
Ellja usianya sudah berapa? tanya Vita kepadaku dengan hati-hati agar
tidak menyinggung perasaanku.
Tahun ini sudah 20 tahun jawabku cepat yang masih mengira-ngira apa
yang ingin disampaikan oleh Vita kepadaku.
Masih muda sekali.. ujarnya sambil tersenyum memperhatikanku, Saya
sudah hampir 35 tahun ujarnya lagi. Walaupun masih muda, tetapi pemikirannya
sudah terlihat dewasa sekali.. tambahnya sambil menatapku lurus.
Kenal dengan Samil sudah berapa lama? tanyanya lagi yang mulai
membuatku merasa tidak nyaman.
Kenal dengan Samil dari semenjak lulus SMA, sudah lebih tiga tahun
sekarang.. jawabku.
Hmm.. , Sudah lama juga ya kalian menjalin hubungan.. komentarnya.
Ya jawabku tegas sambil menunjukkan cincin yang tersemat di jari manisku,
Kami sudah bertunangan ujarku lagi.
Beberapa lama Vita menatapku lurus sambil tersenyum walaupun aku tidak
mengerti maksud dari senyumannya sehingga aku tetap datar-datar saja.

Ellja ada kenal dengan keluarga Samil? tanya Vita kepadaku dengan
berhati-hati sekali.
Pelan aku menggeleng. Aku sama sekali tidak pernah mengetahui mengenai
keluarga Samil. Sewaktu datang ke rumah, dia juga tidak ada berbicara mengenai
keluarganya dengan Ayah. Ayah hanya tahu bahwa Samil merupakan anggota
Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi bukan merupakan bagian dari militansinya.
Perlawanan Samil lebih kepada edukasi bagi rakyat Aceh dengan menyebarkan
Koran

independen

cetakannya

yang

berisikan

isu-isu

penting

mengenai

Kemerdekaan Aceh yang tidak akan bisa di dapat di koran-koran cetakan umum.
Koran independen cetakan Samil cukup dikenal di kalangan komunitas pemuda dan
mahasiswa di Banda Aceh. Dia dan teman-temannya juga sering mengkoordinir
massa untuk dialog-dialog interaktif antar komunitas pemuda dan mahasiswa di
Banda Aceh.
Karena Merdeka harus dari hati. Merdeka di kepala dan pemikiran.
Bukan Merdeka dibawah pusat.
Selebihnya, aku hanya tahu dia berjualan tungku bata di Pasar Aceh. Bisnis
kecil yang didapat dari temannya yang merupakan aktivis lingkungan hidup
penghasil arang briket.
Aku belum berani menanyakan kepadanya tentang keluarganya.
Keluarga Samil, sudah meninggal sewaktu Tsunami ujar Vita pelan, Ayah,
Ibu dan beberapa orang saudaranya tambahnya lagi.
Ulu hatiku seperti langsung berdenyut. Selama ini mungkin bukan maksud
Samil merahasiakan mengenai keluarganya, karena ternyata memang tidak ada
yang harus dirahasiakannya. Beberapa saat aku diam menunggu penjelasan lain
dari Vita.
Samil selamat karena sewaktu Tsunami dia sedang pulang ke Sigli. Waktu itu
kami masih kuliah S1. Saya dan Samil cukup dekat karena ikut dalam komunitas
seni Aceh.. ujarnya kemudian, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa
tidak apa-apa menceritakan hal ini kepadaku.

Musibah dan bencana juga adalah rencana Allah.., kita tidak tahu ada
hikmah apa dibalik ini semua. Setelah Tsunami, yang saya tahu Samil pulang ke
Sigli. Kuliah S1 yang ia ambil di IAIN AR-Raniry pun belum selesai waktu itu.
Beberapa lama kami tidak bertemu. Dua tahun setelah Tsunami, kemudian dia
kembali ke Banda Aceh. Waktu itu saya sudah menikah dan sudah menyelesaikan
kuliah saya di bidang hukum. Samil bertemu dengan saya lalu menceritakan idenya
untuk menerbitkan Koran independen yang benar-benar berisi semangat atas
Kemerdekaan Aceh. Karena waktu itu sedang hamil, saya tidak bisa membantu
banyak, tapi saya bilang, rumah kontrakan saya bisa digunakan untuk basecamp
kumpul komunitas karena dulu juga rumah saya sering dijadikan basecamp kumpul
komunitas seni Aceh. Ia kemudian bertemu dengan Rasyid dan mulai mencetak dan
menyebarkan Koran independen tersebut. Koran berbahasa Aceh, mungkin Koran
berbahasa Aceh pertama yang ada di Aceh cerita Vita kepadaku.
Samil sempat menceritakan kepadaku mengenai bagaimana awal koran
independen cetakannya terbentuk ketika kami pertamakali bertemu pada sebuah
pameran seni rupa di Banda Aceh. Hal yang juga membuat aku tertarik kepadanya.
Ia begitu bersemangat menawarkan koran cetakannya kepadaku ketika aku sedang
memperhatikan pameran lukisan. Aku kira dia tukang jual koran.
Sekilas aku kembali teringat pertemuanku pertamakali dengan Samil.
Koran dek.. tawarnya sambil mengulurkan satu buah eksemplar koran
kepadaku. Pelan aku menggeleng dan terkejut, kenapa bisa ada tukang jual koran di
dalam galeri lukis.
Enggak bang.., terimakasih.. jawabku pelan, menjawab dengan sopan.
Cuma tiga ribu dek.. tawarnya seperti memaksa. Aku kemudian mulai
terlihat bingung.
Gratis.. katanya lagi sambil kembali mengulurkan koran cetakannya
kepadaku, Orang Aceh bukan? Ini koran berbahasa Aceh.., ambil, bacalah.., baca..
ujarnya lagi seperti memaksa, tetapi seperti sedih juga karena aku menolak untuk
membeli korannya. Ini koran berbahasa Aceh, tidak ada dijual ditempat lain
ujarnya lagi. Bacalah.., baca! ujarnya lagi.

Dengan takut aku kemudian mengambil koran tersebut dan membaca tulisan
pada batas headlinenya. Hal yang kelak memperjelas pemikiranku mengenai
perjuangan rakyat Aceh.
Koran Aceh. Tajak Beutroh Takalon Beudoh gumamku membaca koran
tersebut. Aku kemudian menatap si penjual koran tersebut. Laki-laki Aceh, garang
dan masih muda tetapi sepertinya telah memiliki pengalaman hidup yang cukup
banyak. Ada semburat luka dalam tatapannya, tetapi aku belum merasa berhak
untuk tahu.
Tiba-tiba dia kemudian tertawa, menertawaiku yang sepertinya tidak fasih
berbahasa Aceh.
Lucu sekali rasanya.., melihat anak Aceh, yang memiliki darah Aceh, tetapi
lebih kebarat-baratan. Bahkan tidak mampu untuk berbahasa dengan bahasa negeri
sendiri ujarnya kemudian menyindirku dengan terang-terangan.
Maksud abang? tanyaku dengan marah.
Tidak ada maksud apa-apa. Maaf kalau mengganggu ujarnya kemudian lalu
meletakkan sejumlah eksemplar koran cetakannya pada rak koran dan majalah
yang ada di ruang tunggu galeri lukis tersebut. Pada rak koran dan majalah tersebut
ditulis, boleh diambil, gratis.
Orang itu kemudian berbicara dengan resepsionis galeri dan terlihat sangat
akrab, tidak terlihat seperti loper koran. Aku yang malah jadi penasaran dan
memiliki maksud untuk berkenalan. Tetapi malu. Aku kemudian bercerita kepada
Fida tentang pertemuanku dengan seorang loper koran yang cukup aneh. Dengan
sembunyi-sembunyi aku menunjukkan kepada Fida, loper koran tersebut yang
sedang berbicara dengan resepsionis.
Keren.. komentar Fida memperhatikan Samil. Aku kemudian mengangguk
pelan.
Tapi.., tadi aku takut waktu dia ajak bicara ujarku, Dia jualan koran
berbahasa Aceh, aku gak bisa bahasa Aceh.., kiban..? rutukku lagi sambil
menunjukkan

koran

yang

diberikan

Samil

kepadaku.

Fida

kemudian

ikut

menggeleng. Fida lebih parah, ayah dan ibunya orang Jakarta yang pindah bekerja
ke Banda Aceh. Dia samasekali tidak bisa berbahasa Aceh. Bicaranya pakai gue elu.
Ya sudahlah.. gumamku pelan tetapi entah kenapa aku terus mencuri lihat
kepada Samil. Sindirannya cukup mengesankanku. Awalnya marah, tetapi apa yang
dia bilang adalah hal yang benar dan justru membuatku menjadi semangat
mempelajari bahasa Aceh. Tidak aku sangka ternyata ia melihat balik ke arahku dan
jadinya ketahuan kalau aku sedang memperhatikannya. Aku langsung berpura-pura
bicara dengan Fida, tiba-tiba Samil kembali menghampiriku. Aku jadi bingung,
rasanya malu sekali.
Kawannya mau beli koran juga? ujarnya kepadaku yang jelas-jelas ketahuan
memperhatikannya. Tawarannya untuk beli koran sepertinya sudah tidak berlaku
lagi dan seperti hanya ingin memulai pembicaraan saja karena jelas-jelas koran
cetakannya diberikan gratis di galeri lukis tersebut.
Enggak bang.., kawan saya ini.., gak bisa bahasa Aceh. Abang kasih koran
bahasa Aceh ke dia, bagaimana dia bisa baca? Ajari dulu dia bahasa Aceh bang..
ujar Fida tanpa canggung. Aku yang semakin bingung.
Itu nomer telepon saya ada di cp koran, nomer telepon kamu berapa?
tanya Samil kepadaku sambil mengambil telepon seluler.
Aku kemudian memberitahu nomer teleponku kepada Samil. Semenjak itu
kami mulai berkenalan dan sering bertukar kabar. Hingga akhirnya aku putus dari
Nazir dan kami bertemu di Padang Tiji. Aku kemudian resmi menjalin hubungan
dengan Samil.
Seperti itu awal pertemuan kami. Tidak ada kesedihan dalam penuturan
Samil tentang hidupnya, tentang cita-citanya. Yang aku rasakan justru semangat,
semangat atas hidup dan cita-cita. Ia tidak pernah bercerita tentang keluarganya.
Ellja.. tegur Vita yang membuyarkan ingatanku tentang pertemuanku
dengan

Samil.

Kamu

gak

apa-apa?

Agak

pucat..

ujarnya

lagi

sambil

memperhatikan wajahku yang memang kelelahan. Aku kemudian menggeleng


pelan. Aku hanya ingin bertemu dengan Samil.

Tinggal Samil yang membawa garis keturunan dari ayahnya.. ujar Vita
melanjutkan penuturannya tentang keadaan Samil yang tidak aku ketahui.
Mengenai keluarganya yang ternyata telah berpulang terlebih dahulu pada bencana
Tsunami. Keluarga dari ayahnya mendesak agar dia cepat menikah.., hmmfh.. Vita
kemudian menghela nafas, Saya tidak tahu apa saya berhak memberitahukan ini
kepada Ellja. Samil yang meminta saya untuk membicarakan ini karena dia tidak
tahu bagaimana cara menyampaikannya kepada Ellja.., hmm.., Samil juga sudah
bertunangan dengan seorang perempuan Aceh karena permintaan dari keluarganya
di Sigli ujar Vita kemudian dengan berhati-hati menyampaikan kepadaku apa yang
seharusnya disampaikannya.
Sekilas aku lihat Vita memperhatikan raut wajahku yang pucat dan
mengeruh. Keadaan yang tiba-tiba seperti ini membuat keyakinanku terhadap Samil
gusar. Tetapi aku sudah cukup dewasa untuk mengerti kondisinya. Hanya saja aku
membutuhkan

waktu

untuk

dapat

mengerti

dan

mendengarkan

duduk

permasalahannya dari Samil sendiri dan apakah hubungan ini dapat dilanjutkan.
Tapi aku merasa sangat sedih sekali.
Sebentar lagi mungkin Samil kembali. Nanti kalau sudah ada kabar, akan
saya beritahu.. ujar Vita lagi sebelum menghilang dibalik pintu kamar sementara
aku terdiam tidak mampu berkata apa-apa lagi. Kabar yang diceritakan oleh Vita
seperti kembali menghilangkan semangatku untuk hidup.
Ada amarah dan emosi yang sulit untuk aku tunjukkan. Selama ini aku
percaya kepadanya. Bahkan ketika tidak ada berita sama sekali selama lebih dari
satu tahun, aku tetap percaya padanya. Tapi aku tidak bisa melawan kehendak Allah
dan berserah diri sepenuhnya atas rencana-Nya.
Ada segerombol bunga Amaranthine di atas meja, berwarna merah hati.
Sepertinya baru dipetik dari halaman samping rumah yang juga merupakan lahan
pembibitan tanaman bunga dan buah. Bunga segar di dalam vas diletakkan di atas
meja. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering melihat bunga-bunga biasa yang
ditata dengan baik dan diletakkan di atas meja. Krisan, daisy, amaranth, jasmine,
kenanga, geranium, lily..

Manusia bisa berencana, tetapi ketentuan hanya datang dari Allah. Ketika
telah sepenuhnya tawaqqal di jalan Allah, apapun yang ada di hadapan, harus
dapat dijalani dengan tegar.
Bismillaahi wa tawaqqal ala Allah.

Revolusi dan sebuah Janji


Kemerdekaan.
Sehabis menunaikan shalat Dzuhur kemudian aku mencoba beristirahat,
tetapi tidak mampu untuk dapat memejamkan mata. Tentu saja aku sangat ingin

dapat segera bertemu dengan Samil dan membicarakan mengenai persiapan


revolusi yang sedang dipimpinnya juga tentang hubungan kami. Dalam kondisi
seperti ini, aku tidak tahu mana yang lebih penting bagi Samil. Persiapan Revolusi
Kemerdekaan Aceh atau permasalahan hubungan kami.
Karena

tidak

dapat

beristirahat,

aku

kemudian

kembali

berusaha

menyelesaikan sketsa yang sedang aku kerjakan. Menyelesaikan template yang


nanti akan dilukis ke kanvas. Sebuah kaligrafi Persia yang menggambarkan
perputaran Matahari. Jalan yang Lurus adalah jalan Cahaya yang menjadi awal
penentuan waktu. Sebagian literature mengatakan Pengetahuan mengenai Waktu
ini berawal dari pengetahuan bangsa Persia yang menyembah Matahari. Aku sudah
membaca beberapa literature mengenai hal ini dan akhirnya terbersit ide untuk
menggambar sebuah Kaligrafi Persia yang menggambarkan konstelasi waktu.
Setelah beberapa masa dan berkembangnya kebudayaan bangsa Arab di Timur
Tengah, Pengetahuan bangsa Persia atau yang sekarang lebih dikenal dengan
bangsa

Iran

ini

berakulturasi

dengan

budaya

Arab.

Walaupun

kemudian

penanggalan Islam menggunakan peredaran bulan atau penentuan hilal bulan


sebagai dasar almanak atau penanggalan, tetapi awal penanggalan yang dikenal
ummat manusia adalah peredaran matahari atau penanggalan Masehi.
Shalat juga dikatakan adalah sebagai metaphor dari pergerakan Matahari dan
Bulan, mulai dari matahari yang tepat berada di atas kepala dilambangkan dengan
posisi tegak Takbiratul Ihram. Kemudian Ruku yang menandakan tergelincirnya
matahari kemudian kembali berdiri menandakan kembali terbitnya matahari.
Kemudian posisi Sujud yang menandakan peredaran bulan. Posisi duduk antara dua
Sujud yang menggambarkan terbitnya bulan kemudian kembali sujud yang
melambangkan tenggelamnya bulan. Shalat dikatakan sebagai metafora atau
perlambang dari pergerakan benda langit. Matahari dan Bulan.
Allahu Akbar diantara tiap gerakan menandakan bahwa ada Allah yang lebih
agung dan lebih tinggi dari keduanya. Tidak terjangkau oleh pemahaman manusia
yang hanya merupakan makhluk.
Dhaif.

Konstelasi waktu ini digambarkan dengan sangat indah di beberapa Kaligrafi


Persia. Aku sedang mencoba membuat yang sedikit mirip dengan itu.
Perlahan sketsa tersebut aku tajamkan dengan tinta. Mungkin hanya ketika
sedang fokus bekerja aku dapat sedikit melupakan Samil. Ketika tidak sedang
menggambar atau melukis, yang selalu aku ingat hanya dia. Ayla bilang hal
tersebut sudah mulai tidak sehat. Jatuh cinta yang tidak didasarkan pada kecintaan
terhadap Allah hanya akan membawa mudharat. Tetapi hal tersebut adalah hal
kodrati manusia sebagai makhluk, agama juga mengatur bagaimana cara manusia
jatuh cinta. Agama yang membentengi manusia agar tidak jatuh cinta seperti
binatang.
Ketika aku teringat kepada Samil, aku berdoa untuknya.
Menjelang Ashar tiba-tiba pintu kamar diketuk. Vita yang terlihat kalut
langsung masuk ke dalam kamar ketika pintu kamar aku buka.
Ellja.., Samil dan Khalid terlibat perkelahian dengan aparat. Sekarang
mereka di tangkap di Polsek Syiah Kuala. Samil meminta saya dan Ellja kesana..
ujar Vita memberitahuku dengan terburu-buru.
Aku langsung menyambar tas sandang dan handphone lalu bergegas
mengikuti Vita. Mengendarai mobil Vita, kami kemudian ke polsek Syiah Kuala,
tempat Samil dan kawan-kawan memasang spanduk dan beberapa demonstrasi
yang sedang berlangsung. Mulai dari Jeulingke sudah terjadi kemacetan lalu lintas
dan kerumunan massa berdemonstrasi dengan tujuan yang sama.
TEGAKKAN SYARIAH ISLAM
HILANGKAN TEKANAN MILITER DAN BIROKRASI PANCASILA ORDE
BARU
DI DALAM MASYARAKAT ACEH
Macet sekali.. komentar Vita sambil menurunkan kecepatan mobil dan
memperhatikan orang-orang yang berkerumun dan berjalan kaki di jalanan. Ada
juga yang berdemonstrasi karena permasalahan upah dan gaji. Ketidakstabilan
moneter yang terjadi di Indonesia, juga berdampak pada perekonomian rakyat

Aceh. Termasuk bagi pegawai negeri, apalagi yang honorer. Sayangnya, biaya hidup
tidak berubah sementara gaji yang di dapat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Tekanan juga dirasakan oleh pegawai negeri sipil, apalagi pegawai
honorer.
Yang mampu bertahan adalah mereka yang bekerja di sektor riil. Kebutuhan
pokok pada sandang, pangan dan papan. Tetapi kalau daya beli masyarakat tidak
juga membaik, akan terjadi fluktuasi harga dengan kemungkinan stok barang
bertumpuk tidak dapat terjual. Rentang naik turun harga barang akan berkisar jauh
sekali dan pedagang cenderung melihat kondisi ekonomi pembeli sebelum
menentukan harga. Jika terlihat kaya, pedagang akan mematok harga yang tinggi.
Jika terlihat miskin atau bersedia untuk berpura-pura miskin, pedagang akan
memberikan harga yang lebih baik. Hal tersebut menunjukkan ketidakstabilan
ekonomi dan dapat menimbulkan clash dalam kelas-kelas sosial yang ada di dalam
masyarakat.
Harus ada yang mampu memperbaiki kebijakan di bidang moneter.
Setelah sampai di dekat kantor Gubernur, kerumunan demonstran semakin
menyulitkan kami untuk melewati jalan. Pasukan aparat keamanan terlihat siap
berjaga dengan tameng dan topi baja. Aku lihat teman-teman mahasiswa yang
berdemonstrasi menuntut untuk menegakkan syariah Islam dan menghapus
tekanan militer serta birokrasi pancasila orde baru di dalam masyarakat Aceh.
Ini tanah kita, negeri kita, tetapi kita bersedia untuk diatur-atur oleh yang
tidak jelas keislamannya, yang bukan orang Aceh. Geutanyoe bukan bansa lamiet!
ujar Vita yang langsung terlihat bersemangat melihat teman-teman mahasiswa
yang sedang berorasi dalam bahasa Aceh.
Kami berdua kemudian keluar dari mobil dan bergabung bersama dengan
kerumunan

teman-teman

mahasiswa

yang

lain.

Teman-teman

mahasiswa

berdemonstrasi untuk menuntut Gubernur aktif agar memiliki itikad baik untuk
membantu dan memudahkan perbaikan kebijakan di bidang Hukum dan Militer
pada Undang Undang Pemerintah Aceh.

Melewati kantor Gubernur, jalan mulai dapat dilewati, tetapi kerumunan


massa juga sangat padat. Kami melewati jalan Teuku Nyak Arif dengan kecepatan di
bawah 40 km/jam. Ketika sampai di simpang Jl.Syiah Kuala juga terlihat kerumunan
demonstran, beberapa diantaranya adalah mahasiswa yang aku temui di rumah
Vita. Seorang teman mahasiswa langsung menemui aku dan Vita.
Bang Samil ho? tanya Vita.
Di kantor polsek. Baku hantam dengan aparat, bang Khalid sudah dibawa ke
Zainal Abidin. Kepalanya bocor dipukul pakai tongkat sama aparat. Bang Samil
ditahan polisi, diminta keterangan mengenai izin acara dan pemasangan spanduk
terang seorang mahasiswa tersebut yang tidak aku ketahui namanya.
Aku dan Vita kemudian bergegas ke kantor polisi. Setelah sampai di kantor
polisi, kami diantar ke ruang tahanan dan aku melihat Samil sedang berbicara
dengan seorang laki-laki dari balik jeruji penjara. Aku juga melihat seorang wanita
yang mungkin berusia beberapa tahun diatasku sedang menangis di depan Samil.
Entah kenapa aku enggan untuk mendekati mereka.
Vita langsung menghampiri mereka dan berbicara dalam bahasa Aceh. Aku
lihat Samil yang melihat ke arahku dan langsung memanggilku. Tetapi karena aku
diam saja, ia kemudian berjalan ke salah satu sudut penjara yang lebih dekat
dengan tempat aku berdiri memperhatikannya.
Ellja.. tegurnya memanggilku.
Aku kemudian berjalan mendekatinya. Wanita yang aku lihat sedang
menangis itu langsung memperhatikanku, aku membalas tatapannya, dengan
perasaan yang sangat sulit untuk digambarkan. Aku tahu, mungkin wanita tersebut
adalah tunangan yang dijodohkan oleh keluarga ayahnya. Atau mungkin mereka
sudah menikah. Aku tidak berani berprasangka.
Abang gak apa? tanyaku memastikan keadaan Samil yang aku lihat memar
di wajahnya, walaupun begitu ia menggeleng.
Enggak, abang enggak apa. Bapak-bapak aparat yang abang lawan cukup
jantan dengan tidak memakai senjata ketika kami baku hantam. Tapi Khalid kena

pukul, kepalanya bocor kena pukul tongkat polisi, sudah diantar Rasyid ke Zainal
Abidin ujarnya sambil tersenyum, masih berusaha untuk mengajakku bercanda.
Aku diam saja, melihat memar di wajahnya.
Nanti malam, setelah laporannya selesai juga dilepas. Teman-teman yang
lain masih demo di depan kantor Gubernur? tanyanya lagi dengan tenang dan
berusaha menenangkanku. Ia tahu jelas aku selalu mengkhawatirkannya.
Aku kemudian mengangguk pelan. Samil kemudian mengulurkan tangannya
untuk aku pegang, tetap terlihat cincin di jarinya. Cincin yang dikenakan untuk
sebuah Janji Kemerdekaan.
Kak Vita sudah cerita.. ujarku sambil menggenggam tangannya.
Yang aku cinta dek Ja.. ujar Samil parau.
Tapi..
Tapi.. ujar kami bersamaan.
Ada tanggung jawab yang harus aku penuhi terhadap keluargaku jawabnya.
Aku kemudian perlahan melepas genggaman tangannya dan mengalihkan
pandangan pada wanita tersebut yang juga sedang memperhatikan kami. Mungkin
Samil sudah menceritakan mengenai hubungan kami kepadanya.
Aku butuh waktu untuk berpikir ujarku pelan sambil menatap Samil lurus,
perlahan ia menggeleng.
Rayan sudah mengetahui hubungan kita dan sangat mengerti mengenai apa
yang abang rasakan terhadap Ellja ujar Samil kemudian, aku lihat wanita yang
bernama Rayan tersebut berjalan pelan keluar dari ruang tahanan.
Mungkin aku yang belum bisa mengerti.. gumamku pelan, kemudian ikut
menyusul Rayan yang sudah meninggalkan ruang tahanan tempat Samil di tahan.
Kak Vita, saya tunggu di mobil ujarku pelan kepada Vita dengan menahan
sesak tangis di dada.

Ellja.. panggil Samil lagi, tapi aku sedang tidak dapat berpikir dengan
jernih sekarang. Diluar kantor polisi, kerumunan massa semakin membludak.
Beberapa mahasiswa terlihat pingsan dan segera digotong ke pinggir jalan oleh
teman-teman medis.
Tiba-tiba terlihat lemparan bom molotov antara demonstran dan aparat.
Beberapa lemparan bom molotov dari para demonstran diarahkan ke kantor polisi
tempat Samil ditahan. Karena melihat hal tersebut, aku khawatir terhadap
keselamatan Samil yang masih berada di dalam tahanan. Ketika aku berlari kembali
ke kantor polisi, beberapa aparat menghadang dan menghalangiku untuk berjalan
kembali ke kantor polisi.
Bubar.., bubar.. teriak aparat diantara guyuran air dari petugas pemadam
kebakaran. Terlihat beberapa demonstran yang berlari menyeberang ke badan
jalan.
Aku kemudian berlari ke arah parkiran mobil tetapi terhalang oleh kerumunan
massa. Aparat mulai melempari demonstran dengan gas klorin karena kerumunan
demonstran yang tidak mematuhi perintah aparat.
Dari seberang jalan aku lihat kerumunan orang yang berlarian keluar dari
kantor polisi karena dilempari bom molotov dari luar. Aku memperhatikan di antara
mereka apakah ada Samil, Vita, Rayan dan keluarganya. Tetapi aku tidak dapat
memperhatikan jelas. Karena guyuran air dan kabut gas klorin.
Naik.., naik.., kah jeut matee? teriak seorang supir labi-labi kepadaku. Aku
kemudian melompat ke dalam mobil labi-labi bersama beberapa orang yang lain.
Aku lihat beberapa mobil juga dirusak oleh kerumunan demonstran yang sekarang
tidak lagi hanya terdiri dari mahasiswa, tetapi juga orang sipil, termasuk preman
yang sepertinya hanya sengaja untuk menambah kerusuhan.
Supir labi-labi kemudian menurunkan kami di Darussalam. Aku merasa
bingung karena tidak tahu jalan dari Darussalam ke rumah Vita, sementara semua
barang-barangku ada disana. Dengan bingung aku mencoba menelepon Samil,
tetapi sinyal seluler tiba-tiba hilang sehingga aku tidak dapat menelepon siapa-

siapa. Dengan bingung aku berjalan di sepanjang jalan Darussalam hingga


kemudian seseorang memanggilku yang ternyata adalah Fida.
Ellja, mau kemana? tanyanya yang untungnya saja dapat langsung
mengenaliku.
Fida ujarku yang langsung merasa seperti didatangkan penolong oleh Allah.
Mau ke rumah teman.., tapi tadi aku terjebak demonstrasi di depan kantor
Gubernur dan simpang Syiah Kuala.., bang Samil di tahan di kantor polisi, aku terus
ikut labi-labi, diturunkan disini ujarku dengan tidak runtut karena sedang sangat
panik.
Ayo.. ujarnya mengajakku untuk membonceng di keretanya.
Terus sekarang mau kemana? tanya Fida kepadaku.
Ke rumah Fida aja dulu.., banyak sekali masalah ujarku kepada Fida yang
sepertinya tidak terlalu mengerti dengan yang terjadi.
Tadi aku juga lewat kantor Gubernur, rame kali orang demon ujarnya lagi.
Unjuk rasa.. ujarku menanggapi komentar Fida tetapi pikiranku sedang
sangat tidak menentu.
Ketika Maghrib, kami baru sampai di rumah Fida. Setelah menunaikan shalat
Maghrib, aku kemudian menceritakan kepadanya mengenai kejadian tadi. Fida juga
mengenal Samil tetapi tidak terlalu mengerti mengenai siapa dia atau apa yang
dikerjakannya. Ia hanya tahu kalau aku dan Samil berpacaran dan sudah
bertunangan. Sewaktu di Banda Aceh, Fida juga ada bertemu dengan Samil.
Hmm.., kenapa sih orang Aceh keukeuh sekali ingin Merdeka dan terlepas
dari Pemerintah Indonesia? Kenapa tidak bisa bersama-sama dengan rakyat
Indonesia yang lain? Menjadi saudara seaqidah, di Indonesiakan juga banyak yang
Islam. Mayoritas orang Indonesia juga muslim ujar Fida menanggapi ceritaku
tentang perlawanan Samil.
Di dalam Islam ada larangan untuk tidak mengangkat pemimpin dari
golongan yang tidak mengerti Islam atau bahkan dilarang untuk mengangkat

pemimpin dari yang bukan beragama Islam. Karena Pemimpin yang akan
menetapkan dan melindungi hukum yang ditegakkan di dalam wilayahnya. Jika
seorang

Pemimpin

tidak

mengerti

mengenai

Islam,

bagaimana

ia

dapat

menetapkan dan melindungi hukum yang ditegakkan di dalam wilayahnya yang


didasarkan pada Islam? jawabku.
Fida mendengarkan, masih belum mengerti.
Hukum di Indonesia tidak didasarkan pada Hukum Islam, Pemimpin di
Indonesia memimpin tidak didasarkan pada Hukum Islam, karena Indonesia bukan
Negara Agama. Oleh sebab itu, rakyat Aceh tidak akan pernah mau tunduk pada
pemerintah Indonesia karena kehidupan bernegara di dalam masyarakat Aceh, dari
mulai seorang Aceh lahir hingga ia mati, didasarkan pada Hukum Islam ujarku
berusaha menjelaskan kepada Fida kenapa orang Aceh tidak akan pernah mau
tunduk di bawah Indonesia.
Tapi banyak pemimpin Aceh yang bekerja pada pemerintah Indonesia
dengan keislaman yang sangat baik. Malah mungkin lebih baik daripada tengkutengku dan guru mengaji yang katanya banyak melakukan tindakan mesum dan
asusila komentar Fida lagi. Kenapa masalah agama tidak dijadikan urusan pribadi
saja? Urusan antara setiap manusia dengan Tuhan-nya. Dengan khalik-nya?
cecarnya kepadaku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab.
Karena manusia tidak hidup sendiri. Karena Islam bukan hanya merupakan
Agama yang mengatur kehidupan manusia secara individual tetapi juga mengatur
kehidupan seorang manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Ketika seorang
menjadi seorang muslim, hak-haknya akan sulit untuk dipenuhi jika ia tinggal di
dalam lingkungan masyarakat yang tidak dapat melindungi hak-haknya sebagai
seorang muslim. Seperti hak untuk dapat melaksanakan shalat dengan tenang.
Tidak semua wilayah atau Negara dapat melindungi hak seorang muslim untuk
dapat melaksanakan shalat. Hak ini dimiliki oleh warga Negara yang telah
menerapkan Syariah Islam di dalam aturan bernegaranya jawabku dengan
pengetahuan yang masih sangat dangkal.
Shalat itu bukannya kewajiban ya? tanya Fida kepadaku yang kemudian
membuatku sedikit tertawa.

Bagiku shalat adalah hak. Hakku sebagai seorang muslim untuk dapat dekat
kepada Allah SWT. Hakku sebagai seorang muslim untuk dapat menjaga waktu
jawabku dengan yakin.
Itupun sulit sekali untuk dapat ditegakkan! ujarku lagi.
Fida kemudian terlihat berpikir beberapa saat. Dalam hati aku berdoa
semoga ia jangan bertanya lagi. Pertanyaan-pertanyaannya sulit sekali untuk
dijawab dan mungkin hanya petunjuk dari Allah SWT yang dapat memberikan
jawaban pertanyaan tersebut dengan benar.
Itu sebabnya, sampai kapanpun, Nanggroe Aceh adalah Negeri yang
Merdeka dengan hukum-hukum yang tegak didasarkan pada Islam. Nanggroe Aceh
tidak dapat tunduk pada Pemerintah Indonesia yang tidak didasarkan pada Hukum
Islam ujarku lagi.
Tapikan bukan berarti tidak dapat bekerjasama. Memangnya orang Aceh
sudah sama sekali tidak butuh dengan orang Indonesia? ujar Fida sambil
tersenyum, mungkin berusaha untuk menenangkanku karena sepertinya ia masih
juga belum mengerti mengapa rakyat Aceh sangat tidak ingin berada di bawah
NKRI.
Aku kemudian diam beberapa saat.
Mungkin orang Aceh harus belajar untuk memulai segala sesuatunya dari
awal.

Tidak

menggampangkan

kemajuan

yang

dimiliki

orang

lain,

tidak

menggampangkan segala sesuatunya dengan cara mudah membeli ini, membeli


itu, karena orang Aceh memang kaya jawabku kemudian.
Aku sendiri sebagai orang Aceh, yang aku inginkan adalah belajar. Dapat
memperoleh pendidikan yang baik sehingga memiliki Ilmu Pengetahuan. Jadi tidak
mudah menggampangkan, jika tidak dapat membuat sendiri, tinggal beli. Gampang
sekali.. ujarku lagi.
Aku tidak mau menjadi orang yang seperti itu..
Hari sudah menjelang malam dan aku kembali berusaha menghubungi Samil.
Tetapi Samil kembali tidak dapat dihubungi sementara aku sudah merasakan

kelelahan dan rasa penat karena belum sempat beristirahat semenjak perjalanan
dari Kualasimpang. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya karena situasi
bentrok antara para demonstran dan aparat tadi terlihat sangat brutal.
Juga mengenai Rayan, wanita tunangannya yang lain, yang dijodohkan dari
keluarga ayahnya yang merupakan perempuan asli Aceh. Aku malah merasa
kekanak-kanakan sekali jika tidak dapat mengerti permasalahan seperti ini. Aku
tentu saja harus berusaha mengerti bahwa Samil memiliki tanggung jawab untuk
meneruskan garis keturunan keluarga Ayahnya dan bahwa poligami adalah hal yang
dihalalkan di dalam Islam.
Hanya saja, ego pribadi yang mungkin membuatku untuk tidak mau
mengerti.
Ya Allah.., lindungilah dia.

Hunchback of Notredame.
Ketika praktikum Biologi di sekolah, beberapa pesawat tempur terbang
rendah di langit Langsa. Bunyinya mendesing. Sambil menunggu isolasi klorofil, aku
dan Tias memperhatikan pesawat tempur tersebut dari balik jendela laboratorium.
Aku tidak terlalu memikirkan kenapa akhir-akhir ini frekuensi pesawat tempur
mondar mandir di langit Aceh menjadi lebih sering. Urusanku sekarang adalah
praktikum Biologi, isolasi klorofil.
Tetapi sewaktu pulang sekolah, aku lihat banyak sekali barisan tentara militer
yang sedang latihan dari wilayah Langsa hingga Kualasimpang. Dari dulu memang
banyak tentara di Kualasimpang yang terdapat kompi batalyon tentara. Banyak
teman di sekolah yang juga anak-anak polisi dan tentara juga anak brimob juga
anak jenderal. Sekilas aku dan Tias tersenyum, Anak Jenderal itu adalah istilah kami
untuk anak yang serakah, suka menindas, memerintah dengan paksa dan
menguasai. Sedangkan Anak Pejabat adalah istilah kami untuk anak orang kaya
yang malas, bodoh, tidak mau belajar, tidak mau bekerja dan suka menghamburhamburkan uang orang tua mereka yang merupakan uang Negara.
Walaupun banyak juga Anak Jenderal dan Anak Pejabat yang baik, itu adalah
sisi jahatku, Al-Humazah.., Pengumpat. Walaupun aku hanya mengumpat terhadap
orang-orang yang jahat, tetap saja, mengumpat adalah perbuatan dosa.
Tentang Anak Jenderal dan Anak Pejabat ini memang cukup mengesalkan.
Kalau kebetulan satu sekolah atau satu kelas dengan Anak Jenderal dan Anak
Pejabat, biasanya guru-guru jadi menganak emaskan si Anak Jenderal dan si Anak
Pejabat. Aku benci sekali kalau sedang praktikum, Anak Jenderal dan Anak Pejabat
ini mendapat kesempatan pendidikan yang lebih baik. Kalau ada informasi
pendidikan atau beasiswa, mereka lebih diutamakan. Termasuk pendidikan tinggi di
kampus-kampus negeri. Birokrasi pendidikan di Aceh juga di Indonesia masih sangat

terasa tekanan militer dan sistem birokrasi orde baru yang penuh keculasan. Aku
rasa hal tersebut adalah bentuk ketidakadilan yang menekan masyarakat miskin
dan lemah.
Masyarakat miskin dan lemah ini, yang merupakan mayoritas dari seluruh
Rakyat Aceh, jumlahnya sangat banyak. Aku yakin, kekuatan orang yang lemah
adalah kekuatan Tuhan.
Sampai di Kualasimpang, semakin banyak tentara yang aku lihat sedang
mengadakan latihan tempur. Ya mungkin ada musuh dari Amerika atau Rusia yang
harus mereka lawan, kalau tidak, paling mereka akan digunakan untuk kembali
menekan Rakyat Aceh.
Walaupun beberapa waktu lalu, aku dengar semboyan TNI sudah diubah.
NKRI Harga Mati diganti menjadi Netralitas TNI Harga Mati.
Aku tidak mau mati untuk NKRI ataupun Netralitas TNI. Itu mati yang sia-sia.
Kalau harus berjuang, kalau harus melakukan perlawanan adalah demi
Agama dan mempertahankan Tanah Negeri. Fisaabilillaah. Lillaahi Taala.
Aku lihat mereka latihan dengan beberapa helikopter. Aku jadi ingat beberapa
waktu lalu, menonton G30-S-PKI dengan Ellja, lalu Ellja kembali melontarkan
komentar yang ironis.
G30-S-PKI itu kan Indonesia lagi belajar latihan tempur. Tidak ada musuh
yang sepadan, darah negeri sendiri yang ditumpahkan komentarnya sambil makan
pisang sale.
Ketika sampai di rumah, aku beriringan dengan barisan tentara yang barisberbaris tengah siang hari melewati titi Kualasimpang.
Troll.. komentarku sadis.
Itu, makhluk besar hijau tanpa otak dan hati, yang hanya punya otot.
Kemudian aku langsung mengucap Audzubillaahiminas syaithaanirrajiim.
Mak bilang kalau bertemu dengan sesuatu yang membuat kita menjadi ingkar, yang
membuat kita tidak dapat menahan emosi amarah, yang membuat kita mengumpat

dan melakukan perbuatan dosa, minta perlindungan kepada Allah dari godaan
Syaitan.
Di rumah aku lihat Bani sedang menonton kartun, Hunchback of Notredame.
Aku jadi teringat dengan rencanaku untuk kuliah Arkeologi di Leiden, Belanda.
Aku ingin kembali membawa semua pusaka orang Aceh yang ada di Leiden,
kembali ke Aceh.
Perlahan aku buka buku tabunganku dan melihat angka-angka yang tertulis di
dalamnya, tabunganku selama tiga tahun ini yang aku kumpulkan dari uang jajan
untuk melanjutkan kuliah. Dua juta tiga ratus enam puluh dua ribu empat ratus
rupiah.
Sulit sekali bagi anak-anak Aceh yang mendukung Kemerdekaan Aceh untuk
dapat melanjutkan studi di Indonesia. Karena pasti akan terus berusaha didoktrinasi
dan dipaksa untuk mengakui kedaulatan NKRI. Hal yang sedang diperjuangkan oleh
bang Samil dan teman-temannya di Aceh, untuk menghapus tekanan militer dan
birokrasi pancasila orde baru di dalam sistem pendidikan di Aceh.
Tidak ada pilihan lagi bagiku untuk dapat melanjutkan sekolah di Indonesia
atau perguruan tinggi negeri yang masih tunduk pada pemerintah Indonesia karena
aku dan keluargaku jelas-jelas mendukung Kemerdekaan Aceh.
Setelah lulus sekolah, pilihan bagiku hanya bekerja dan menabung untuk
dapat melanjutkan kuliah di luar negeri atau mencari beasiswa dari yayasan
pendidikan di Aceh yang sumber pendanaannya tidak berasal dari pemerintah
Indonesia. Aku rasa, hanya itu pilihan bagiku dan anak-anak Aceh yang lain untuk
sementara ini. Mungkin sekolah di Malaysia atau Singapura tidak akan terlalu mahal
dibandingkan dengan tekanan yang harus kami rasakan jika melanjutkan sekolah di
Indonesia.
Shahnaz

saja

dikeluarkan

dari

sekolahnya

karena

menolak

untuk

menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kejadiannya bulan lalu. Tiba-tiba ia pulang dari
Medan lalu pindah ke Islamic Boarding School yang ada di Kualasimpang. Walaupun
di sekolah yang baru ini, tetap saja dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Tetapi
karena terletak di Aceh, aturan yang digunakan adalah Syariah Islam.

Kakak kelasnya kejam, kami dikerjain. Disuruh nyanyi lagu Indonesia Raya
berulang-ulang. Aku gak bisa nyanyi karena lagi dapat, sakit perut. Trus minta izin
pulang ke asrama. Diaduin sama guru pengawas, katanya aku gak mau disuruh
nyanyi lagu Indonesia Raya terang Shahnaz waktu dia sudah kembali sekolah di
Aceh lagi.
Aku kemudian berusaha memikirkan jalan keluarnya, bagaimana keluar dari
kondisi ini. Puluhan tahun dikuasai dan dicuci otak oleh pemerintahan rezim dari
Jawa, sistem pendidikan di Aceh termasuk akademisi di Aceh sangat lekat dengan
birokrasi orde baru yang culas dan korup. Sisa-sisa bau bangkai orde baru ini masih
sangat terasa jelas di sekolah-sekolah dan juga perguruan tinggi yang ada di Aceh.
Pola pikir mereka masih sangat bergantung di bawah pusat. Mereka yang berada di
dalam institusi-institusi pendidikan ini tidak sadar dengan cengkeraman orde baru
dan tekanan yang mereka berikan terhadap anak negeri sendiri. Sehingga harus
ada orang yang mampu untuk menyadarkan mereka. Orang-orang bawah tanah
seperti Samil yang akan menyadarkan mereka.
Ellja masih di Banda Aceh. Demonstrasi massa di Banda Aceh juga
dikabarkan di televisi.
Institusi pendidikan yang benar-benar terlepas dari kekuasan dan tekanan
pemerintah Indonesia mungkin adalah dayah-dayah yang berada dibawah yayasan
Islam yang sumber pendanaannya benar-benar dari rakyat Aceh. Itu, kalau pernah
naik bus di Aceh lalu ada orang yang meminta sumbangan dalam amplop-amplop
untuk membangun madrasah, seperti itulah awalnya yayasan-yayasan Islam di
Aceh. Karena memang selama rezim militer menguasai Aceh, pendidikan bagi
Rakyat Aceh sangat dibatasi dan ditekan. Tidak ada jalan lain selain berusaha dari
diri sendiri. Jika saja pendidikan tinggi dapat dikembangkan dari dayah-dayah dan
madrasah ini.
Itu artinya memang harus mulai merintis dari awal.
Ya Allah.., hamba merasa kecil dan dhaif sekali.
Film kartun Hunchback of Notredame masih diputar di televisi. Bani
menonton sambil sesekali mengganti saluran televisi jika iklan. Tetapi tetap dia

menonton film kartun Hunchback of Notredame, cerita seorang penjaga kuil gereja
yang bungkuk dan buruk rupa. Ia bertugas membunyikan lonceng sebagai penjaga
waktu
Dalam cerita Disney, Hunchback of Notredame, disadur dengan judul Beauty
and the Beast. Seorang gadis cantik yang jatuh cinta pada si buruk rupa karena
kebaikan hatinya. Ketulusan hatinya untuk menjaga kuil dan menjaga waktu para
penduduk desa. Ia yang bertugas bangun setiap pagi untuk membangunkan
penduduk desa dan menjaga waktu.
Seperti para muadzin yang mengumandangkan Adzan untuk memberitahu
waktu shalat. Hanya saja di dalam cerita Hunchback of Notredame, para penjaga
waktu di kuil-kuil gereja adalah orang buangan yang buruk rupa. Kalau di dalam
masyarakat Islam, para muadzin adalah orang-orang terpilih dan setiap orang wajib
untuk menjaga waktu dengan menegakkan shalat. Sehingga kewajiban untuk
menjaga waktu tidak hanya dibebankan kepada para penjaga rumah ibadah seperti
mesjid, tetapi seluruh manusia wajib untuk menjaga waktu dengan menegakkan
shalat.
Wal Ashr.
Innal insaana lafii hushr.
Illalladziina aamanu wa amilushaalihat.
Watawashaubil haq, watawashaubish shabr.

Perubahan di tangan Kaum Muda.


Rumah Fida adalah sebuah paviliun kecil, ia mengontrak sendirian di rumah
tersebut. Pekerjaannya sebagai marketing produk keramik cukup membiayai
kebutuhan hidupnya di Banda Aceh sambil kuliah di Ekonomi Unsyiah. Keluarganya
sudah tinggal di Jakarta karena dipindahtugaskan ke Jakarta, tetapi semenjak kecil,
ia tinggal di Aceh. Allah yang menentukan langkah dan rezeki seseorang, tanah
nanggroe Aceh juga adalah Bumi Allah, tempat semua manusia berhak untuk

bekerja dan mencari rezeki yang halal di dalam hukum yang tegak didasarkan pada
Hukum Islam.
Hanya saja ia masih belum mengerti kondisi perseteruan antara AcehIndonesia karena umumnya orang Indonesia memang tidak terlalu mengerti
mengenai konflik yang terjadi di Aceh. Ia hanya tahu bahwa ada orang Aceh yang
tidak mau bergabung dengan Indonesia dan orang Indonesia menganggap orangorang seperti itu sebagai pemberontak dan pengacau keamanan. Pemberontakan
mereka hanya disebabkan kecemburuan sosial dan ketidakadilan atas pembagian
kesempatan ekonomi. Tetapi setelah terjadi bencana Tsunami dan kesepakatan
damai, semuanya menjadi aman. Setiap orang yang datang ke Aceh, berusaha
untuk menghormati Syariah Islam dan adat istiadat Aceh. Menurut Fida, hal tersebut
sudah menjadi kemajuan yang baik dan tidak ada alasan bagi Rakyat Aceh untuk
tetap menuntut kemerdekaan sebagai Negara yang berdaulat.
Ia belum mengerti karena tidak pernah berada pada pihak yang tertindas.
Apa yang Fida ketahui tentang penderitaan yang dialami orang Aceh tentu tidak
sama dengan apa yang langsung dirasakan oleh orang-orang Aceh sendiri.
Ia belum mengerti bahwa ada hal lebih penting yang tidak hanya
menyangkut urusan ekonomi yang menyebabkan konflik berkepanjangan di Aceh.
Permasalahan prinsipil mengenai Keimanan dalam Islam dan bagaimana
membangun masyarakat Islam yang didasarkan pada Hukum Islam serta memiliki
Ilmu Pengetahuan.
Pemerintah Indonesia terus menekan Aceh agar tidak dapat menjadi salah
satu Pusat Kebudayaan Islam yang maju dengan menekan perkembangan Ilmu
Pengetahuan di Aceh serta membatasi pendidikan bagi Rakyat Aceh. Syariah Islam
juga diterapkan dengan pemaksaan di bawah tekanan rezim militer. Diwajibkan
untuk shalat dan menutup aurat tetapi yang menyuruh untuk shalat dan menutup
aurat tidak melaksanakan kewajiban tersebut dan bahkan cenderung kepada ajaran
yang syirik juga perbuatan yang culas dan korup. Bagaimana Rakyat Aceh dapat
tunduk pada penguasa yang seperti itu.

Orang-orang Indonesia seperti Fida akan sulit untuk dapat mengerti karena
Islam yang diajarkan kepada mereka adalah Islam liberal yang mengakui semua
agama sama. Bukan Islam yang hakiki. Islam yang diterapkan sebagai sendi
kehidupan seorang muslim, dari mulai kehidupan dalam keluarga hingga kehidupan
bernegara.
Karena tidak dapat tidur, aku kemudian menyeduh air panas untuk membuat
teh. Kemudian terdengar dering telepon, dari Samil. Aku langsung mengangkat
telepon tersebut sambil melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 10
malam.
Ellja sekarang sedang dimana? tanya Samil kepadaku.
Di rumah teman jawabku, Abang masih di polsek? Tadi karena orang unjuk
rasa jadi rusuh, aku kemudian menjauh dari kerumunan..
Sudah tidak di Polsek. Tadi semua tahanan dilepaskan karena kantor polisi
dilempari bom molotov. Abang lari ke kantor Gubernur, bergabung dengan temanteman mahasiswa yang lain.., sekarang sedang di tempat kawan di Lueng Bata. Di
kedai kopi punya kawan, Ellja bisa kemari? Ada yang bisa mengantar? tanyanya
kepadaku.
Disini masih ramai.., beberapa golongan masyarakat bahkan datang dari
daerah untuk menuntut kebijakan dari Gubernur aktif terangnya, Sebagian masih
menunggu di depan kantor Gubernur tambahnya lagi.
Coba aku tanya Fida dulu.., apa dia bersedia mengantar. Bang Samil tahu,
aku tidak hapal jalan di Banda Aceh.. jawabku.
Ya, coba minta antar dengan kawan. Kabari lagi kalau bisa kemari ujar
Samil kemudian sebelum menutup telepon.
Aku

merasa

mengantarku

tidak

bertemu

enak

Samil.

juga
Aku

meminta
lihat

dia

bantuan
sangat

kepada
sibuk

Fida

untuk

menyelesaikan

pekerjaannya.
Sudah ada kabar dari bang Samil? tanyanya kepadaku yang aku jawab
dengan anggukan pelan.

Fid, bisa minta tolong antar aku ke Lueng Bata untuk mencari bang Samil?
tanyaku kepada Fida yang langsung dijawab dengan senyum dan anggukan cepat.
Tapi.., bang Samil itu pemberontak Aceh. Kamu nanti bisa kesulitan atau
malah
Atau malah semakin mempersulit kalian? tanya Fida kepadaku. Kalau nanti
ada intel Indonesia yang tanya-tanya, jawabannya gak tau atau hom saja kan?
tanyanya kemudian kepadaku dengan berusaha meyakinkanku bahwa kami tidak
akan saling mempersulit satu sama lain.
Ya Allah.., semoga Allah menghukum semua cuwak dan mata-mata yang
mempersulit perlawanan kami doaku kemudian agar Fida mengerti bahwa aku
percaya padanya.
Aku antar ke Lueng Bata, setelah itu aku langsung balik ujar Fida akhirnya,
semoga ia tidak tersinggung dengan doaku.
Segera aku sambar tas sandang dan handphone kemudian dengan diantar
Fida, kami langsung menuju Lueng Bata.
Sampai di Darussalam dan Lamnyong memang sudah ramai, beberapa
kerumunan masyarakat dari daerah-daerah dan organisasi masyarakat yang samasama menuntut penegakkan Syariah Islam juga menghapus tekanan militer,
doktrinasi Pancasila dan birokrasi Orde Baru di dalam Pemerintah Aceh sudah
berkumpul di sepanjang jalan. Hal ini tidak hanya dirasakan di Banda Aceh, tetapi
juga di daerah-daerah. Sistem Birokrasi orde baru masih sangat terasa di
pemerintah-pemerintah daerah. Walaupun sudah terguling bertahun-tahun yang
lalu namun cengkeraman kuku-kuku sisa rezim kejam tersebut masih sangat jelas
terasa pada sistem pemerintahan dan juga pendidikan tinggi yang ada di Aceh.
Pada zaman orde baru, semua pegawai negeri tunduk di bawah Negara, tunduk di
bawah pemerintahan rezim kejam tersebut.
Fida kemudian menurunkanku di Lueng Bata. Karena ramai sekali aku tidak
dapat melihat Samil. Fida langsung kembali setelah aku beritahu biar aku sendiri
yang mencari Samil. Kerumunan massa menyulitkan pandanganku. Samil bilang ia
sedang berada di warung kopi milik temannya yang ada di daerah Lueng Bata.

Suara sirine polisi yang bergaung di sepanjang jalan membuatku merasa


sedikit ketakutan. Keadaan seperti sangat mencekam. Aku lihat beberapa orang
aparat dan tentara yang berpatroli lalu lalang di sepanjang jalan Lueng Bata.
Sebagian orang berkumpul di kedai-kedai kopi, tetapi aku tidak dapat menemukan
Samil.
Sebagian besar Rakyat Aceh adalah masyarakat miskin sedangkan orangorang kaya di Aceh umumnya adalah orang Aceh yang bersedia tunduk dan
bekerjasama

dengan

pemerintah

Indonesia.

Kecuali

pedagang

rempah

dan

pengusaha-pengusaha Aceh yang kekayaannya memang berasal dari perniagaan,


kekayaan yang halal. Itupun hanya sebagian kecil dari masyarakat Aceh.
Masyarakat miskin jauh lebih banyak, bahkan angkanya semakin meningkat setelah
konflik dan bencana Tsunami. Banyak dari golongan masyarakat ini yang datang ke
Banda Aceh untuk unjuk rasa mengenai ketegasan sikap dari pemerintah Aceh.
Karena overlapped empowering atau sistem pemerintahan yang tumpang tindih
seperti yang sekarang sedang terjadi di Aceh tidak akan dapat menyelesaikan
penyebab konflik dan sulit untuk dapat menegakkan Pemerintahan yang baik
karena rakyat akan terus merasakan tekanan dari kedua belah pihak serta
kebingungan mengenai perintah siapa yang harus diikuti.
Sudah hampir sepuluh tahun, Aceh mengalami kondisi peralihan seperti ini.
Kondisi overlapped empowering setelah Kesepakatan Damai berhasil untuk dicapai.
Kemajuan hanya terlihat baik di permukaan tetapi di bawah tekanan masih sangat
terasa. Hal ini dapat dilihat dari pemberontakan demi pemberontakan yang masih
terus muncul dan hal ini tidak dapat diselesaikan dengan cara semudah membayar
pemberontak-pemberontak itu dengan uang.
Aku kemudian memperhatikan pasukan patroli polisi yang berhenti di sebuah
kedai kopi. Perseteruan langsung terjadi antara orang-orang di kedai kopi dengan
patroli polisi yang datang. Aku kemudian menghampiri mereka, tetapi langsung
terdorong keluar karena desakan orang yang ramai. Aku lihat Samil berada di
dalam, beberapa orang berusaha melindunginya yang sepertinya sedang dicari oleh
patroli polisi.
Seorang petugas polisi kemudian mengatakan bahwa ia mencari orang yang
bernama Samil. Samil di duga merupakan orang yang bertanggung jawab atas

kerusuhan yang terjadi polsek Syiah Kuala tadi siang dan berusaha melarikan diri
dengan bantuan pengacau-pengacau keamanan yang melempari kantor polisi
dengan bom molotov.
Bang Samil teriakku ketika petugas-petugas polisi tersebut sudah kembali
menangkapnya. Ia langsung memandang ke arahku tapi terhalang oleh kerumunan
massa di sekeliling kami. Aku terus berusaha memanggilnya hingga ia melihat ke
arahku.
Ellja teriaknya sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman polisi.
Yang melempar bom molotov bukan teman-teman kita.., kerusuhan yang terjadi
tadi sudah direncanakan untuk menjebakku teriaknya lagi sambil terus berusaha
untuk melepaskan diri dari cengkeraman polisi dan berjalan ke tempatku. Tetapi dua
orang polisi kekar yang memegangnya terlihat sangat kuat.
Beritahu Vita, carikan aku bantuan pengacara teriaknya lagi sebelum
dipaksa naik ke atas mobil polisi. Aku kemudian bergegas menelepon Vita yang juga
kebingungan dengan keberadaan Samil.
Aku sudah di rumah, tadi waktu rusuh, aku langsung lari keluar. Karena
disuruh bubar oleh patroli polisi dan perempatan jalan sudah di barikade, aku
langsung membawa mobil pulang ke rumah. Takut gak bisa keluar kalau sudah
dibarikade terang Vita kepadaku.
Sudah ada kabar dari Samil? Ellja dimana sekarang? tanya Vita lagi
kepadaku.
Bang Samil ternyata lari ke Lueng Bata, tadi aku sudah jumpa dengannya.
Tapi ternyata dia dikejar polisi, ditangkap di Lueng Bata, Kak Vita bisa jemput saya
di Lueng Bata? tanyaku kepada Vita yang langsung mengiyakan lalu mematikan
telepon.
Kerumunan massa masih terlihat ramai. Beberapa orang bapak-bapak terlihat
berdebat mengenai kejadian tadi. Beberapa orang sepertinya kenal dekat dengan
Samil yang langsung memperhatikanku.

Samil mungkin dibawa ke polsek Baiturrahman, kantor polisi di Syiah Kuala


rusak diamuk massa. Sudah ada anggota kita mengikuti mobil patroli polisi tadi,
kalau tidak dibawa ke kantor polisi, dibawa ke tempat lain, diculik, dihilangkan
nyawanya, itu bisa lebih parah.. ujar seorang laki-laki kepadaku.
Samil butuh bantuan pengacara. Tadi sudah hubungi kawannya? tanya
seorang laki-laki kepadaku. Aku kemudian mengangguk lalu kembali melirik jam
tangan yang menunjukkan hampir tengah malam. Ia kemudian mempersilahkan aku
masuk ke dalam kedai dan menunggu di dalam. Ada seorang ibu di dalam kedai
yang mungkin adalah istri pemilik kedai.
Vita kemudian sampai di Lueng Bata ditemani oleh Arif, salah seorang
mahasiswa yang ikut membantu dalam perlawanan Samil dan kawan kawan.
Samil tadi menelepon ke handphone saya, tapi tidak sempat saya angkat,
hanya beberapa detik langsung mati ujar Vita kepadaku. Tidak lama kemudian
terdengar lagi dering teleponnya, aku kemudian ikut memeriksa handphone yang
ternyata sudah mati karena kehabisan batere. Mungkin karena itu Samil menelepon
ke handphone Vita.
Vita.., besok kalau saya tidak muncul, bilang sama Rasyid, minta dia yang
pimpin unjuk rasa ujar Samil di telepon.
Ini sedang dimana? Kata Ellja dibawa ke polsek Baiturrahman tanya Vita.
Tadi patroli polisi yang membawa saya dicegat oleh anggota, baku hantam
tangan kosong, kami lari ke lorong toko-toko di pasar jawab Samil.
Sama siapa saja? tanya Vita
Ada anggota bang Yazeer jawab Samil, Ellja gak apa? tanyanya lagi.
Gak apa, ini mau bicara? tanya Vita lagi kemudian memberikan handphone
kepadaku.
Dek Ja.., besok jumpa di masjid Baiturrahman. Allahu Akbar ujar Samil.
Allahu Akbar jawabku sebelum Samil mematikan teleponnya.

Bulan dan Bintang pada mesjid


Baiturrahman.
Menjelang dini hari kami berempat kembali ke rumah Vita. Aku, Vita, Arif dan
Rasyid yang menyusul dari Zainal Abidin sehabis menjaga Khalid. Katanya Khalid
sudah tidak apa-apa, dijahit sepuluh jahitan dan sudah pulang ke rumah. Tetapi
Rasyid bilang, ia tetap memaksa untuk ikut dalam acara besok. Unjuk rasa
menuntut Pemerintah Aceh agar menghapuskan tekanan militer, doktrinasi
Pancasila dan birokrasi orde baru dari dalam sistem pemerintahan di Aceh dengan
jalan menyempurnakan UUPA atau Undang Undang Pemerintah Aceh.
Kami

melewati

beberapa

mesjid

yang

terlihat

ramai

mempersiapkan

peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Walaupun tidak seramai bertahun-tahun


dulu, sewaktu Gerakan Aceh Merdeka sedang benar-benar diburu dan dikejar-kejar
oleh pasukan TNI. Setiap bulan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati
di gampong-gampong tanpa henti dengan tujuan memberi makan anggota GAM

yang sedang bergerilya. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dilaksanakan


bergantian pada gampoeng-gampoeng yang diselenggarakan oleh masyarakat
setempat. Ibu-ibu bergantian memasak untuk memastikan orang-orang yang
bergerilya tidak kelaparan. Hal ini sudah menjadi adat dan kebiasaan masyarakat
Aceh dari semenjak zaman perang Aceh.
Walaupun dalam kondisi yang tertekan dan mencekam, tetapi dahulu
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW lebih terasa khidmat. Karena Rakyat Aceh
mengetahui dengan jelas apa yang mereka perjuangkan. Mereka mengetahui
dengan jelas tujuan apa dari perang yang mereka lakukan. Fisabililaah untuk
membela Agama Allah dan tanah Nanggroe.
Tidak seperti sekarang, seperti hilang semangat. Hilang ruh. Karena
Kemerdekaan yang dicapai masih dibayang-bayangi kekuasaan yang dzalim.
Kemerdekaan yang dicapai masih merupakan kemerdekaan semu yang tetap
membutuhkan perlawanan lebih lanjut. Kesepakatan damai yang telah dicapai
masih membutuhkan perjuangan diplomatis dan juga gerilya untuk benar-benar
dapat mewujudkan Kemerdekaan Aceh sebagai Negara Islam yang berdaulat.
Beberapa kali aku membicarakan hal ini dengan Samil. Revolusi seperti apa
yang harus dijalankan di Aceh? Bentuk pemerintahan seperti apa yang dapat
diterapkan di Aceh?
Ada perjalanan sejarah Islam yang cukup panjang di Aceh. Dari mulai
kedatangan bangsa Arab dan alim ulama yang menyebarkan Agama Islam di Aceh
ketika Aceh masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di daerahdaerah. Kemudian Islam di Aceh pada masa penjajahan Belanda yang menyatukan
perjuangan seluruh Rakyat Aceh di dalam Perang Aceh. Pada masa tersebut, sistem
kerajaan-kerajaan sudah tidak ada lagi dan pemerintahan di Aceh menjadi terpusat
pada uleebalang dan pemimpin perang karena semua orang ikut berperang.
Termasuk para Teuku dan Cut. Kemudian Islam di Aceh setelah Kemerdekaan
Indonesia yang membuat Aceh berada di bawah kekuasaan pemerintahan rezim
militer selama beberapa dekade. Bangsa Aceh merasakan penderitaan panjang
pada era kemerdekaan Indonesia. Represi politik dan tekanan militer sangat
dirasakan selama Aceh berada di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia karena
taktik politik yang keji. Kemudian pemberontakan yang dilancarkan oleh keturunan-

keturunan pejuang Aceh yang akhirnya menyadari siasat politik Indonesia untuk
menguasai Aceh. Perlawanan yang sampai sekarangpun masih terus gencar
dilancarkan oleh Rakyat Aceh baik yang masih bergerilya juga pejuang Aceh yang
berusaha berjuang secara diplomasi agar Kemerdekaan Aceh dapat diakui oleh
dunia internasional. Agar Aceh dapat menjadi Negara yang berdaulat.
Revolusi pemerintahan Islam di Aceh dari bentuk Kerajaan Islam menjadi
sebuah Negara Islam.
Hal ini tentu saja bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang
tidak sebentar.
Hal inilah yang sedang diperjuangkan oleh Samil. Sebuah Revolusi panjang
dalam sejarah Aceh. Untuk menjadi sebuah Negara Islam yang Merdeka. Hal yang
terus

dihalang-halangi

oleh

pemerintah

Indonesia

untuk

sebuah

alasan

nasionalisme semu. Hal yang sebenarnya merupakan kedok dari imperialisme Jawa
untuk menguasai nusantara.
Perlawanan yang awalnya dilancarkan oleh Teuku Daud Beureuh dan
kemudian dilanjutkan oleh Hasan Tiro yang terjebak dalam pendidikan Jawa dan
akhirnya diasingkan keluar negeri hingga menjelang akhir hayatnya baru dapat
kembali berada di Tanah Nanggroe. Pemimpin yang diasingkan dan dijauhkan dari
rakyatnya karena tidak mau berhenti melawan tetapi sudah termakan budi dalam
pendidikan Jawa yang merupakan didikan ala Belanda untuk bangsa jajahannya
Geutanjoe kon bansa lamiet.
Apakah perlawanan Rakyat Aceh telah padam? Telah berhenti?
Jihad Fisaabilillaah adalah cita-cita setiap Aneuk Nanggroe yang dilahirkan di
dalam Islam. Yang ditanamkan semenjak dari buaian hingga ke liang lahat. Tidak
akan mungkin mematikan semangat ini di dalam diri setiap anak negeri. Sehingga
perlawanan Rakyat Aceh tidak akan pernah berhenti. Bahkan mungkin sekarang
sudah saatnya Rakyat Aceh menyambung estafet perlawanan yang dilakukan oleh
para endatu di bidang diplomasi karena ternyata titik terang itu ada, jalan keluar
dari kondisi penjajahan dan tekanan ini sudah ada dan sudah dirintis oleh pejuangpejuang Aceh yang sudah terlebih dahulu berjuang di jalur diplomasi.

Kesepakatan Damai yang dicapai di Helsinki antara pejuang Aceh dan pihak
Pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa Aceh menggunakan Syariah Islam
sebagai Ideologi Pemerintahan dan hal ini telah dituangkan ke dalam bentuk
Undang Undang Pemerintah Aceh dan penerapannya telah dilakukan di Aceh
selama kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Undang Undang Pemerintah Aceh
adalah bentuk awal dari Undang Undang Nanggroe Aceh. Hal yang dibutuhkan
dalam Revolusi sistem pemerintahan di Aceh dari bentuk Kerajaan-kerajaan Islam
kemudian menjadi Propinsi dan Daerah Istimewa dengan Hukum Islam di bawah
NKRI hingga menjadi sebuah Negara Islam yang merdeka dan berdaulat. Kita
sedang menuju kesana. Aceh sedang menuju kesana.
Undang Undang Pemerintah Aceh memang belum sempurna dan masih
menjalani proses untuk mengembangkan dan melengkapinya dan ternyata memang
masih ada jalan untuk mewujudkan Negara Islam yang merdeka yang dicita-citakan
oleh para pemimpin Nanggroe terdahulu. Negara Islam yang tegak yang tidak lagi
berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang dzalim walaupun kita semua harus
menyadari bahwa hal tersebut tidaklah mudah.
Hal ini yang dicita-citakan oleh Samil dan semoga Allah memberikan berkah
perlindungan serta keselamatan atasnya.
Vita mengendarai mobil dengan berhati-hati karena memang sudah sangat
mengantuk. Sebelum Subuh kami sampai di rumah Vita. Aku kemudian langsung
beranjak ke kamar, sketsa yang sedang aku kerjakan masih tergeletak di atas meja.
Penat, lelah serta kebingungan aku rasakan tetapi juga ada semangat dan harapan
untuk tujuan yang sama-sama kami perjuangkan.
Sebuah Negara kecil yang Merdeka yang mampu menegakkan Syariat Islam,
yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, yang berilmu pengetahuan, yang baik
lingkungannya dan terpelihara adat masyarakatnya.
Segenap Rakyat Aceh sedang berjalan bersama menuju tujuan tersebut dan
yang pertama kali harus kita lakukan adalah menyamakan pemikiran, menyamakan
tujuan mengenai Negara Merdeka yang didasarkan pada Syariah Islam.

Sayup aku dengar orang mengaji di meunasah, karena tidak sanggup


menahan

kantuk

aku

kemudian

mencuci

muka

dan

kembali

berusaha

menyelesaikan sketsa kaligrafi sambil menunggu adzan Subuh. Beberapa saat


kemudian terdengar adzan Subuh, aku terdiam sambil mendengarkan.
Asshalaatu khairum minan nauum.
Shadaqta wa barakta wa anna alaa dzaalika minas syahidiin.
Aku ingin berada di antara mereka yang mampu syahid, menyaksikan
kebenaran

Islam

dengan

sebenar-benarnya,

tanpa

keraguan

menyaksikan

kebenaran Islam.
Assyhaduu anlaa ilaa ha illa Allah
Wa Assyhaduu annaa Muhammadar rasulullaah.
Selesai shalat Subuh aku kemudian mengaji beberapa ayat dan kemudian
langsung tertidur dengan pulas. Acara unjuk rasa besok pagi direncanakan akan
dimulai pada pukul sembilan, Vita sudah mengingatkanku untuk beristirahat yang
cukup.
Menjelang pagi aku tersentak karena cahaya matahari yang menderang dari
jendela. Mungkin aku sempat tertidur selama satu atau dua jam. Dari ruang tamu
aku mendengar kesibukan orang-orang. Perlahan aku mengenakan jilbab lalu
melangkah keluar dari dalam kamar, teman-teman mahasiswa sedang sibuk
menyiapkan poster-poster dan spanduk. Di ruang tamu aku lihat Vita juga sudah
bangun dan ada Amirah.
Kak Amirah panggilku kepadanya sambil berjalan mendekat.
Ia sedang menjahit bendera. Bulan dan Bintang.
Dek Ja.., duduk sini.. ujarnya memanggilku. Bantu lipat bendera ujarnya
kepadaku.
Aku kemudian membantunya melipat bendera Bulan dan Bintang yang
beberapa telah tersusun rapi. Berwarna merah dengan liris hitam dan putih, dengan
Bulan dan Bintang pada titik tengah.

Bulan

yang

melambangkan

Ilm

Pengetahuan

dan

Bintang

yang

melambangkan Ilmu Agama.


Hal yang selalu melambangkan kejayaan Islam.
Akan dikibarkan dimana? tanyaku pada Amirah.
Mesjid Baiturrahman jawabnya.
Ya Allah.., lindungilah kami dan setiap anak negeri yang berjuang di jalan-Mu.
Fisaabilillaah.
Udep Syaree Mate Syahid.
Jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan
jam setengah sembilan pagi. Aku kemudian pamit kepada kak Amirah yang juga
telah selesai menjahit beberapa buah bendera. Kita semua harus bersiap-siap.
Untuk menghindari kesulitan mobilisasi kalau keadaannya tiba-tiba menjadi
rusuh, kami diantar dengan menggunakan Honda atau sepeda motor. Aku
dibonceng oleh Rasyid yang wajahnya kelihatan sangat kusut.
Kenapa? tanyaku kepada Rasyid.
Belum ada kabar dari Samil semenjak tadi malam jawabnya. Beberapa
anggota sudah berusaha mencarinya di seputaran toko-toko dekat masjid raya, tapi
tidak ada jejak ujarnya lagi.
Katanya beberapa anggota bang Yazeer ada bersamanya ujarku.
Iya.., ada anggota bang Yazeer yang menyusul polisi yang menangkap
Samil. Tapi sudah kembali tadi pagi, katanya orang itu terpisah sewaktu bentrok
jawab Rasyid.
Di Kualasimpang semakin sulit untuk dapat keluar masuk, sudah di
barikade terang Rasyid lagi kepadaku. Terjadi penembakan bus-bus Aceh di
daerah Langkat ujarnya lagi.
Aku langsung teringat Ayah dan Ma, juga Ayla dan Bani.

Dosa kejahatan pelanggaran hak azasi orang itu di masa lalu saja belum
tentu diampuni Allah, ini masih mau menambah dosa baru. Laknat Allah bagi
seorang muslim yang memerangi saudaranya sesama muslim. Kecuali orang-orang
itu memang orang yang tidak memiliki Tuhan! Tidak hanya laknat Allah atas mereka
tetapi neraka jahannam ujarku.
Aku rasa tentara-tentara Indonesia itu memang sudah tidak ada lagi yang
percaya kepada Tuhan. Kalau masih ada yang percaya kepada Tuhan, kalau masih
ada yang memiliki nilai kemanusiaan, tidak akan membiarkan Aceh kembali menjadi
ladang pembantaian ujar Rasyid. Kalau masih ada orang Indonesia yang memiliki
nilai kemanusiaan dan persaudaraan, tidak akan membiarkan kekejaman dan
penindasan kembali terjadi di Aceh ujarnya lagi.
Kalau kota perbatasan sudah dibarikade oleh pihak Indonesia, Aceh akan
terisolasi dan akan menjadi seperti daerah yang dikenakan sanksi embargo oleh
Indonesia terangku.
Cahaya Kebenaran Islam akan hilang dari Indonesia. Kegelapan dan
kesesatan akan menyelimuti hati tiap penduduknya jika Indonesia kembali
menerapkan kekejaman militer di Aceh ujar Rasyid dengan yakin. Janji Allah bagi
setiap kaum yang ingkar tambahnya.
Aku kemudian mengangguk pelan dan sepeda motor yang dikendarai Rasyid
sudah memasuki kawasan masjid Baiturrahman. Masjid yang katanya dibangun oleh
Belanda sebagai tanda penaklukan Kutaradja atas Belanda. Hal yang tidak diketahui
oleh orang-orang Kafir Belanda, bahwa Kemerdekaan di dalam Islam bukanlah
Kemerdekaan yang dapat direnggut paksa. Selama masih ada orang yang mampu
menegakkan Shalat di suatu wilayah, wilayah tersebut adalah wilayah yang
Merdeka di dalam Islam.
Walaupun masjid Baiturrahman dibangun oleh orang Belanda tetapi selama
masih ada orang yang mampu untuk menegakkan Shalat di dalam masjid
Baiturrahman, artinya Kutaradja tetap adalah wilayah yang Merdeka di dalam Islam.
Pembangunan masjid Baiturrahman oleh orang Belanda justru menunjukkan
pengakuan kebenaran mereka atas Islam dan justru menunjukkan kecongkakan

orang-orang Kafir atas kekuatan militer mereka yang tidak akan pernah menang
melawan kebenaran Agama Islam. Orang-orang Kafir tidak akan pernah menang
melawan Agama Allah. Sudah menjadi janji Allah.
Aku lihat beberapa poster dan spanduk telah dipasang oleh teman-teman
mahasiswa. Sejumlah masyarakat sipil juga ikut membantu. Amirah dan Vita
kemudian datang membawa sejumlah bendera dan umbul-umbul. Kami semua
kemudian membantu memasang bendera dan umbul-umbul pada pagar masjid
Baiturrahman. Ketika matahari sudah naik sepenggalah, jam tangan di pergelangan
tanganku menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dari arah Barat Laut aku lihat
kerumunan orang yang berlari ke arah kami sambil membawa bendera, bendera
Nanggroe Aceh. Bendera Bulan Bintang.
Rasyid kemudian menaiki menara masjid Baiturrahman dan memasang
bendera Bulan Bintang pada puncak menara masjid. Hal yang kurang dari masjid
Baiturrahman. Bulan dan Bintang.
Mungkin sudah menjadi tanggung jawab bagi orang muda Aceh untuk
menambahkan hal yang tidak ada pada masjid Baiturrahman. Bulan dan Bintang.
Bulan dan Bintang sebagai Bendera Nanggroe Aceh yang akan melengkapi
masjid Baiturrahman.
Rencana Allah tidak ada yang dapat menentukan.
Aku kemudian melihat Samil yang berada di antara kerumunan orang-orang
dan teman-teman mahasiswa. Ia membawa satu buah bendera dengan tongkat
kayu. Kerumunan orang semakin ramai dan ia membaur di antara kerumunan orang
yang berdesakan. Samil memang hanya laki-laki Aceh biasa diantara ribuan laki-laki
Aceh lainnya. Seorang pedagang tungku bata. Tapi ia memiliki tujuan pasti dalam
Kemerdekaan Aceh.
Lihat

Ellja..,

tidak

hanya

kita..,

seluruh

Rakyat

Aceh

mendukung

Kemerdekaan Aceh sebagai sebuah Negara Islam yang berdaulat dan Merdeka.
Lihat Ellja.., kekuatan orang yang lemah itu, kuasa Allah! ujarnya kepadaku sambil
mengacungkan bendera Bulan dan Bintang.

Kali ini masjid Baiturrahman tidak terlalu ramai, tidak seperti beberapa tahun
lalu saat Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe datang dan mendeklarasikan
Kemerdekaan Aceh. Samil bukan seorang Wali Nanggroe, ia hanya salah satu
Rakyat Aceh yang menuntut hak yang sama di bidang pendidikan. Ia hanya seorang
laki-laki Aceh yang bercita-cita agar seluruh Rakyat Aceh bisa mendapatkan
Pendidikan yang baik didasarkan pada Syariah Islam di dalam Nanggroe Aceh yang
Merdeka.
REVOLUSI PENDIDIKAN ACEH
Menghapus Pengaruh Tekanan Militer, Doktrinasi Pancasila
dan Birokrasi Orde Baru pada Sistem Pendidikan di Aceh
ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBAR teriaknya sebelum
memancangkan tonggak bendera Bulan dan Bintang pada pelataran Mesjid
Baiturrahman.

Bangsa yang Bermartabat dan


Mulia.
Gemerincing lonceng angin yang diletakkan Ellja pada pintu masuk galeri,
terbuat

dari

bambu,

ketika

berhembus

angin,

bunyinya

bertalu.

Sambil

memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang, aku membuat hiasan-hiasan


bunga untuk jilbab. Kata Ellja, sepertinya aku harus menabung dulu dalam satu
tahun ini untuk dapat melanjutkan kuliah sambil bekerja membantunya di studio
dan galeri lukisnya. Jurusan Arkeologi tidak ada di Aceh dan sebaiknya, aku harus
benar-benar melupakan kemungkinan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi yang
ada di Indonesia. Sudah sama sekali tidak ada kemungkinan lagi dapat melanjutkan
kuliah di Indonesia.

Kecuali regulasi atau perundang-undangan yang mengatur hubungan antara


Aceh dan Indonesia sudah jelas, termasuk dalam bidang pendidikan. Seperti
hubungan kerjasama bilateral di bidang pendidikan, sehingga orang-orang Aceh
dapat melanjutkan pendidikan tinggi di Indonesia tanpa merasakan tekanan dan
doktrinasi dari pemerintah Indonesia. Tapi hal itu juga masih sangat sulit karena
tekanan rezim militer tersebut masih sangat jelas terasa di dalam sistem pendidikan
di Indonesia.
Jalan keluar yang jelas memang menabung untuk dapat melanjutkan kuliah.
Aku meminjam beberapa buku Sejarah Aceh dari Perpustakaan Daerah.
Bangsaku adalah bangsa yang bermartabat dan mulia. Bangsaku adalah orangorang pemberani yang tegak berdiri atas kebenaran. Di dalam Sejarah Aceh, orangorang Aceh adalah orang yang pantang untuk menyerah. Bangsa Aceh adalah
bangsa yang setia dan dapat dipercaya. Tidak khianat terhadap kebenaran Islam.
Tetapi kini semangat dan jati diri bangsa Aceh lambat laun hilang. Terkikis
oleh segala kemajuan dan kemudahan yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Juga
dihilangkan oleh tekanan demi tekanan.
Bangsa Aceh adalah bangsa yang bermartabat dan mulia.
Pemimpin mengerti tanggung jawabnya. Rakyat mengerti kewajibannya.
Hal ini bukan hal yang dapat dibentuk dengan hidup manja dalam segala
kemudahan.
Tidak seperti bangsa lain yang murah harga dirinya. Tertindas hak rakyatnya
oleh penguasa yang bodoh dan dzalim. Penguasa dzalim yang hingga rakyatnya
diperkenankan untuk merangkak terseok-seok menghambakan dirinya untuk hidup.
Penguasa yang bahkan membiarkan rakyatnya untuk hidup di dalam penindasan
dalam kerja paksa untuk kepentingan dirinya sendiri.
Tidak pernah pemimpin Aceh membiarkan rakyatnya lapar dan hidup dalam
penindasan. Tidak pernah pemimpin Aceh mengirim rakyatnya untuk menjadi budak
dan pembantu di negeri orang lain. Tanah negeri kami kaya, tidak ada yang lapar.
Maha Suci Allah yang telah memberikan kekayaan dan kesuburan pada tanah ini.

Hidup yang tidak merdeka dalam penindasan baru dirasakan oleh bangsa
Aceh setelah memutuskan bergabung dengan Indonesia. Ketika bangsa Aceh
dipaksakan untuk menerima ideologi bernama Pancasila yang bertentangan dengan
Keimanan orang-orang Aceh di dalam Islam. Hal ini yang menyebabkan konflik
panjang yang terjadi di Aceh yang menghilangkan nyawa puluhan ribu orang Aceh
tanpa suara sama sekali di dunia internasional karena tekanan militer yang
membungkam paksa mulut orang-orang Aceh. Kekejaman pemerintahan rezim
militer yang dalam diam namun telah merusak masyarakat Aceh hingga ke generasi
penerusnya. Tekanan militer yang membuat anak-anak Aceh menjadi hilang
semangatnya, depresi dan tertekan hingga terdorong untuk melakukan hal yang
merusak diri mereka sendiri. Konflik ini tidak akan pernah dapat selesai dengan
hanya memberikan uang kepada pemberontak-pemberontak Aceh karena penyebab
konflik di Aceh bukanlah permasalahan ekonomi tetapi hal prinsipil, bahwa bangsa
Aceh adalah bangsa yang Merdeka di dalam Islam. Bukan bangsa budak dan bukan
bangsa yang mau tunduk pada bangsa lain.
Lonceng angin di pintu depan terdengar bergemerincing lagi. Beberapa anak
perempuan berkerudung dengan baju kurung pakaian seragam SMP masuk ke
dalam toko kemudian langsung memilih-milih beberapa perhiasan batu akik. Aku
kemudian memperhatikan mereka, aku teringat dengan Shahnaz dan Cherryl.
Sebentar lagi Shahnaz dan aku akan lulus SMA sementara Cherryl naik ke kelas tiga.
Cherryl tetap berusaha menyelesaikan sekolahnya di Batam karena abuwa Fadli
bekerja disana. Tapi aku tidak tahu apakah dia akan melanjutkan kuliah disana atau
pindah ke Aceh.
Aku ingat sewaktu masih sekolah dasar, pergi ke sekolah dengan rok pendek.
Tidak ada yang memberitahuku pada waktu itu bahwa malu untuk memperlihatkan
aurat. Tetapi anak-anak sekolah sekarang jauh lebih baik. Pendidikan Agama
mereka sudah lebih baik. Aku rasa aku juga harus dapat menjadi contoh yang baik
bagi mereka.
Assalamualaikum.., ini dek tas sandangnya, tas sandang motif Pinto Aceh.
desainnya seperti tongkat Nabi Musa yang membelah laut merah.. ujarku sambil
menawarkan tas sandang motif Pinto Aceh kepada mereka. Aku melebih-lebihkan
sedikit agar mereka tertarik untuk membeli.

Kalau mengerti Sejarah Aceh pasti tahu kalau desain Pinto Aceh tidak hanya
sekedar desain motif tradisional, tetapi ada strategi perang orang-orang Aceh
digambarkan disana ujarku lagi kepada mereka, Ada yang orang Aceh? tanyaku
kepada mereka.
Orang Tamiang kak.., tapi abang ada nikah dengan orang Aceh jawab salah
satu diantara mereka.
Strategi Perang? tanya salah seorang diantara mereka yang sedang duduk
membaca majalah politik dan koran cetakan bang Samil yang aku letakkan di dekat
sofa toko. Yang satu ini terlihat beda sekali, terlihat tidak tertarik dengan perhiasan,
tidak tertarik dengan baju-baju. Malah duduk dan membaca majalah politik sambil
menunggu teman-temannya memilih perhiasan.
Ya.., kalau nanti mau mempelajari Sejarah Aceh pasti akan tahu, desain
Pinto Aceh bukan hanya mengenai gerbang masuk Aceh, tetapi juga strategi perang
orang-orang Aceh jawabku kepadanya. Ia kemudian mengangguk pelan lalu
kembali membaca buku.
Aku kemudian kembali memandang keluar jendela toko yang terbuat dari
kaca. Di Kualasimpang masih sangat terasa sekali tekanan dari pemerintah
Indonesia. Bentrok antar golongan masyarakat sering terjadi. Untuk mengurus
kepentingan yang berkaitan dengan pemerintah Indonesia terkadang sulit sekali.
Bahkan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar, pasti terjadi bentrok.
Dalam pembicaraan sehari-hari, sulit sekali bagi masyarakat di dalam masyarakat
Aceh untuk bersatu antara yang orang Indonesia dan orang Aceh.
Karena sudah jelas bahwa Aceh akan menuju untuk menjadi sebuah Negara
Islam yang Merdeka, seharusnya tidak perlu lagi berusaha untuk beramah tamah
atau

menyatukan

yang

tidak

dapat

disatukan.

Setiap

orang

harus

dapat

menentukan sikap. Jangan lagi ada keragu-raguan. Kalau sudah membulatkan tekad
untuk memihak Kemerdekaan Aceh, harus mulai diadakan pemisahan dengan jelas,
karena Aceh dan Indonesia sudah tidak satu tujuan.
Hal ini juga harus mulai diterapkan pada institusi pemerintah. Pegawai
pemerintah Indonesia yang tunduk pada pusat dan memiliki ideologi Pancasila tidak

dapat ikut mengurus pemerintahan Aceh pada masa sekarang. Karena tidak
mungkin orang Indonesia mengatur-atur orang Aceh. Orang Aceh akan selalu
memberontak dan ini yang akan terus menimbulkan konflik. Orang-orang Aceh yang
memihak Kemerdekaan Aceh dalam Syariah Islam bersama berjuang untuk
mewujudkan Kemerdekaan Aceh. Kalau tidak seperti itu, akan selalu bentrok, akan
selalu ada banyak kepentingan dan tidak akan pernah satu tujuan.
Sampai kapan harus menumpahkan darah untuk hal yang tidak dapat
disatukan?
Kapan tentara-tentara Indonesia itu mengerti untuk mencari lawan tanding
sepadan latihan tempur karena orang Aceh tidak akan berperang untuk tujuan yang
sia-sia, tidak jelas dan hanya merupakan arogansi semu. Orang Aceh hanya akan
berperang untuk mempertahankan Agama Islam dan tanah Nanggroe Aceh.
Bangsa Aceh adalah bangsa Merdeka yang bermartabat dan mulia.

.
Awal winter, salju turun biasanya diiringi hujan. Kena di pakaian langsung
basah dan tekanan udara semakin berat karena udara dingin membuatku sulit
untuk bernafas. Sambil berlari kecil aku melewati jembatan di kota Leiden.
Jembatan dan gerbang kota Morspoort. Perlahan kembali aku benarkan syal rajut
menutupi leher sambil menghembuskan nafas pada sarung tangan agar sedikit
terasa hangat. Hari sudah menjelang maghrib, jam tanganku menunjukkan hampir
pukul lima sore tapi langit sudah mulai gelap, lembayung merah sudah muncul di
langit kota. Di ujung jembatan ada caf kecil, mungkin aku akan menumpang shalat
disana.
Caf tersebut menjual pastries and pie juga minuman hangat seperti kopi dan
coklat. Hangat perapian langsung aku rasakan ketika masuk ke dalamnya, desain
arsitektur Belanda dengan perapian yang menyala.
Beberapa pelayan menyapaku ramah dengan bahasa Belanda, aku kemudian
menjawab dalam bahasa Inggris.

Excuse me, may I pray here.., shalat? tanyaku padanya tapi ia terlihat
kebingungan sambil menggeleng. Aku tahu pasti dia tidak mengerti apa yang aku
maksud. Di Leiden hampir tidak ada masjid atau musholla sehingga memang agak
sulit untuk mendirikan shalat. Ada sebuah masjid yang baru di bangun pada tahun
2011, tapi tempat tinggalku jauh dari sana.
Aku kemudian duduk di salah satu bangku dan bertayammum pada dinding
caf tersebut. Kemudian shalat maghrib tiga rakaat secara duduk. Shalat adalah
kewajibanku sebagai seorang muslim yang tidak dapat aku tinggalkan. Selesai
shalat aku kemudian memanggil pelayan dan memesan makan malam. Sudah
seharian ini setelah pendaftaran di kampus, aku belum makan.
Caf ini menjadi salah satu pilihan karena dekat dengan asrama mahasiswa
tempat aku tinggal. Menyebut tempat makan dengan sebutan caf membuatku
agak canggung karena penyebutannya sama dengan sebutan yang diberikan oleh
Cut Nyak Dhien kepada penjajah kafir, Kaphe! Di Aceh sekarang sudah banyak caf,
entah itu kemajuan yang baik atau kemajuan yang buruk. Sepertinya memang
harus ada yang diselesaikan mengenai penyebutan ini, caf, kaphe. Walau
sebenarnya aku lebih nyaman menyebut tempat makan sebagai kantin, warung
makan atau kedai.
Aku pesan formaggi raviouli

dan mocachino hangat. Kemudian kembali

membereskan berkas-berkas pendaftaran mahasiswa. Satu tahun menabung,


akhirnya aku dapat kuliah pada jurusan Arkeologi, Leiden. Dua juta tiga ratus enam
puluh

dua

ribu

empat

ratus

rupiah

memang

tidak

akan

pernah

bisa

mengantarkanku ke Leiden. Tapi Ellja dan bang Samil ikut membantuku juga
beasiswa Pemerintah Aceh. Aku benar-benar berharap transparansi serta kejujuran
dan keterus-terangan dapat ditegakkan di bidang pendidikan di Aceh. Informasi
beasiswa diberitahukan kepada semua orang sehingga tidak ada lagi kecurangan
dan orang-orang yang merasa disisihkan.
Ada urusan mengenai caf atau kaphe yang harus aku selesaikan di Leiden.
Seseorang menghampiriku ketika aku sedang menghabiskan makan malam.
Seorang perempuan yang berusia seumuran denganku. Sepertinya kami samasama mendaftar di jurusan Arkeologi, Universitas Leiden.

Hallo.. sapanya ramah, kemudian duduk di depanku. It is warmer here..,


cold weather outside ujarnya lagi kepadaku. Tempat aku duduk memang lebih
dekat dengan perapian jadi terasa lebih hangat.
Hai.. sapaku membalas sapaannya sambil memperhatikan berkas-berkas
pendaftaraan dan buku yang dibawanya.
I saw you at the registration office this morning.., youre different because
wearing jilbab ujarnya kepadaku.
Ya, Im a muslim. Im from Aceh.. , Ayla ujarku sambil mengulurkan
tangan untuk menyalaminya.
Amalia.., Catharina Amalia jawabnya sambil menyambut uluran tanganku
dengan senyum yang ramah dan wajah kemerahan karena udara dingin.
Ayla Afzan ujarku mengulang menyebutkan nama lengkapku.
I know Aceh, a massive disaster strucked your country. Hundreds of
thousand died. In the name of God, I would like to say deep condolence to what
happened in Aceh ujarnya kepadaku.
May God bless all the victims and giving them a best place in heaven
jawabku, ia kemudian mengangguk.
You take Archeology, I see.. ujarnya sambil melihat berkas pendaftaran
kuliahku, aku kemudian mengangguk cepat.
I want to bring home all the heritage of the people of Aceh in Leiden
jawabku.
How on earth it can be here? tanyanya balik kepadaku.
There used to be war in Aceh between Dutch and the people of Aceh.
Somehow your people took our heritage and bring it to Netherland. But after
Tsunami disaster, some of it has been returned jawabku menerangkan kepadanya
mengenai sejumlah pusaka orang Aceh yang dibawa oleh orang-orang Belanda.

But apparently, youve counquered.., if Im not mistaken jawabnya dengan


tegas.
Guerilla struggle of the people of Aceh have not been completed even today
and weve still fighting for our independence as an independent Islamic state
ujarku lagi.
Why should I help? tanyanya kepadaku.
Because Catherine you know, as a warrior for my country, I respect your
country. And as the condescendent of your country, you also have to respect other
country. To respect their freedom. And I hope, by respecting each other, we will also
gain respect from the world. So they would know, that Nanggroe Aceh is a sovereign
nation that based on Syaria Islam ujarku kepada Catherine.
What else is still lagging here in Leiden? tanya Catharina Amalia kepadaku.
Our dignity. Dutch Royal recognition on the independence of Aceh jawabku
tegas.
Salju di luar turun dengan malu-malu. Aku rasa antara seperti enggan, juga
seperti ingin. Hangat perapian dan mug mocachino cukup memberiku alasan untuk
tidak bermain salju di luar.
Kalau tidak menggunakan jas hujan dan menyediakan obat sebelumnya,
agak riskan dan berbahaya.
Main salju diluar juga butuh persiapan yang matang.
Terkena flu dan pilek di awal masa kuliah bukan hal yang menyenangkan.
Kemerdekaan bukan hal yang dapat dibeli lalu disimpan. Kemerdekaan
adalah hal yang tidak akan pernah berhenti diperjuangkan. Bangsa yang
bermartabat dan mulia tidak akan melahirkan anak-anak pengecut. Akan lahir lagi
pahlawan-pahlawan. Akan lahir lagi dia yang mampu menjadi pemimpin. Selama
doa masih dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Perubahan atas kehendak-Nya adalah
hal yang tidak akan mampu dirubah atau ditentukan oleh kedhaifan manusia.
Subhanallah walhamdulillah walaa ilaa ha illa Allaah.

Allaahu Akbar.

Ukhuwah Islamiyah.
Jembatan pada titi Kualasimpang sebenarnya ada dua buah. Tetapi semenjak
awal tahun 2000, jembatan lama, atau titi lama sudah dihancurkan. Katanya dulu
digunakan untuk jalur kereta barang orang Belanda. Sekarang tinggal jembatan
yang baru dibangun. Arsitekturnya biasa saja, tidak ada hal yang luar biasa di kota
Kualasimpang. Hanya kalau memandang kota Kualasimpang dari jembatan kota
Kualasimpang, bangunan rumah-rumah toko lama terlihat seperti deretan toko pada
kota-kota di Iran atau jalur Gaza. Juga karena kondisi lingkungan yang panas dan
berdebu. Juga pohon-pohon nira yang menjulang pada delta muara sungai Tamiang.
Kota ini juga harus berani untuk menentukan sikap.
Sambil mencetak mal kayu dengan beberapa pisau cukil, aku menjaga AdDhien Salsabil yang sedang tertidur di ayunan. Perlahan aku senandungkan
seulaweut untuk menidurkannya. Menanamkan tauhid di dalam hatinya.

Laailaahaillallaah,

Muhammadar

Rasulullah,

Laailaahaillallaah..,

Muhammadar Rasulullah
Aku menikah dengan Samil hampir dua tahun lalu di Banda Aceh, di masjid
Baiturrahman. Setelah menikah aku sempat tinggal beberapa lama di Banda Aceh
sambil belajar Kaligrafi pada Tengku Ihram. Setelah hamil dan melahirkan Ad-Dhien
Salsabil, aku kembali pindah ke Kualasimpang.
Samil masih meneruskan perlawanannya. Untuk sebuah tujuan Nanggroe
Aceh yang Merdeka. Ia mulai mengembangkan jurnalisme di kota Kualasimpang
bersama dengan teman-teman lain yang juga memiliki tujuan sama dalam
Kemerdekaan Aceh. Tetapi sesekali kembali ke Banda Aceh karena pergerakan
Rakyat Aceh secara diplomasi politik berada di Banda Aceh.
Ia menikahi Rayan yang kemudian tinggal di rumah keluarga ayahnya yang
ada di Sigli. Sesekali aku dan Ad-Dhien Salsabil juga pulang ke Sigli untuk
bersillaturahmi dengan keluarga ayah Samil. Aku menganggap Rayan seperti
saudara perempuanku sendiri. Ada kehendak yang lebih hakiki daripada egoku
sendiri. Juga ada kepentingan yang lebih penting daripada egoku sendiri. Yaitu
ketentuan Allah SWT atas qadha dan qadar setiap makhluk-Nya. Juga mengenai
jodoh dan pertemuan. Semoga Allah memberikan ketulusan dan keikhlasan di
dalam hati kami serta ketenangan dalam berumah tangga.
Lonceng angin yang aku letakkan di pintu masuk galeri bertalu kalau terderai
angin. Bunyinya bukan gemerincing karena tidak terbuat dari bahan logam tetapi
dari bambu, sehingga bunyinya disebut bertalu, bukan gemerincing. Gereudhamgereudhim.
Ada beberapa anak perempuan di Kualasimpang yang tertarik belajar
Kaligrafi padaku. Tapi aku bilang pada mereka, aku juga masih belajar. Lebih baik
lagi kalau mereka mau mengusulkan kepada Pemerintah Aceh untuk membuka
Sekolah Kaligrafi. Di Negara-negara Timur Tengah, Seniman Kaligrafi biasanya
memang membuka Sekolah Kaligrafi atau Kursus Kaligrafi, dengan aliran Kaligrafi
yang khas dari sang Seniman, tapi aku belum mampu dan belum merasa pantas
untuk disebut seorang seniman kaligrafi, apalagi guru Kaligrafi. Beberapa kali aku
mengadakan pameran Kaligrafi di Banda Aceh, minat kaum muda Aceh terhadap

Kaligrafi

cukup

besar,

hanya

saja

belum

ada

media

dan

sarana

untuk

mengembangkannya.
Samil yang terus menyemangatiku untuk belajar.
Sebuah mobil Morris Classic berhenti tepat di depan galeri, beberapa orang
anak muda berpakaian trendi dan kekinian turun dari mobil. Aku lihat lambang
Peace dicetak pada pintu mobilnya. Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Sepertinya musisi yang sedang touring. Mereka kemudian singgah di galeri.
Assalamualaikum.., selamat siang sapaku karena tidak mendengar mereka
mengucapkan salam, mungkin karena canggung atau tidak terbiasa mengucapkan
salam dalam bahasa Arab. Perlahan aku bereskan beberapa mal cetak yang sedang
aku buat dan sekilas memperhatikan Ad-Dhien Salsabil yang sudah tertidur
kemudian baru menyapa tamu yang datang.
Waalaikumsalam jawab salah seorang diantara mereka. Seorang laki-laki
dengan rambut gondrong dan gaya yang rock n roll.
Galeri lukis ya kak? tanyanya padaku sementara teman-temannya yang
lain menunggu diluar galeri. Dua orang perempuan yang datang kemudian melihatlihat koleksi lukisan dan perhiasan.
Iya, galeri lukis dan kaligrafi. Juga toko perhiasan jawabku.
Dua orang teman saya ini kak.., gak bawa jilbab. Padahal udah saya
bilangin, di Aceh harus pakai jilbab ujarnya lagi. Kemudian salah seorang
temannya

yang

laki-laki

juga

ikut

masuk

ke

dalam

toko,

mengucapkan

Assalammualaikum kepadaku yang aku jawab dengan Waalaikumsalam, kemudian


ia ikut memperhatikan pembicaraan kami.
Ini banyak koleksi jilbab ujarku menawarkan beberapa jilbab paris juga
pashmina kepada dua orang perempuan tersebut.
Laki-laki yang datang belakangan kemudian memperhatikan beberapa
karyaku dengan sedikit serius. Lukisan laki-laki yang sedang duduk menggendong
bayi.

Senimannya siapa kak? tanyanya.


Saya sendiri jawabku.
Lukisan ini rasanya sunyi sekali ujarnya sambil menunjuk lukisan laki-laki
yang sedang duduk menggendong bayi. Aku ingat sering sekali melukis sosok lakilaki sebelum bertemu dengan Samil. Salah satunya adalah sosok laki-laki yang
sedang duduk di kursi kayu menggendong bayi. Bertahun-tahun yang lalu aku lukis
lukisan tersebut.
Iya memang.., laki-laki yang sunyi jawabku.
Kemudian dia diam memperhatikan lukisan tersebut.
Saya beli lukisan yang ini kak ujarnya kemudian. Lalu duduk menunggu
teman-temannya yang sedang memilih jilbab.
Kalian musisi ya? tanyaku pada mereka.
Iya kak, sedang touring, ada acara musik di Langsa jawabnya.
Dari Medan? tanyaku yang mereka jawab dengan anggukan.
Aceh beneran udah Merdeka ya kak? tanya laki-laki yang satunya yang
kemudian aku jawab dengan anggukan dan senyuman.
Ya, Aceh adalah Negara yang berdaulat dan Merdeka jawabku.
Kenapa masih banyak pasukan TNI? tanya mereka lagi.
Karena sulit memberitahu orang yang sudah kejam, bebal, sombong,
arogan, fasiq dan dhaif bahwa Islam tidak dapat tunduk pada mereka yang kufur!
ujarku dengan tegas.
Berdiplomasi dengan orang seperti itu, sama seperti jihad kan kak? tanya
salah seorang perempuan di antara mereka yang sedang belajar memakai jilbab.
Ya jawabku. Berjuang untuk memberikan pengertian dan pemahaman
kepada mereka mengenai Kemerdekaan dan Kemuliaan di dalam Islam adalah
jihad ujarku lagi.

Juga bahwa Kemerdekaan adalah Hak segala Bangsa kan kak? ujar yang
lain.
Aku kemudian mengangguk.
Bikin lagu Nanta.., bilang sama TNI, jangan lagi menjajah Aceh ujar salah
seorang perempuan tersebut kepada laki-laki yang membeli lukisan.
Iya, nanti aku bikin lagunya jawab laki-laki tersebut.
Trus sekarang, Aceh dan Indonesia jadi musuhan? tanya perempuan yang
satunya.
Ukhuwah Islamiyah, sillaturahmi di dalam Islam tidak mungkin dapat
diputuskan. Hanya saja pemerintah Indonesia dan pemerintah Aceh sudah tidak lagi
sama karena menggunakan dasar Hukum Pemerintahan yang berbeda terangku
sambil membantu dua orang perempuan teman mereka mengenakan jilbab.
Cantik.. ujarku menyemangati mereka mengenakan jilbab, tapi memang,
mengenakan jilbab membuat perempuan lebih cantik. Jadi lebih rapi.
Berasa jadi kayak anak broken home gak Nanta kalau ayah sama ma cerai?
tanya kawannya kepada laki-laki yang membeli lukisan. Mereka masih muda,
mungkin seumuran Ayla. Adik perempuanku itu masih berada di Belanda. Katanya
ingin membawa pulang semua pusaka orang Aceh yang ada di Leiden. Sebuah
tanda dan legalitas Kemerdekaan Aceh. Aku berdoa untuk keselamatannya,
semoga Allah menguatkan niatnya untuk berjuang di Jalan Allah.
Suara lonceng angin yang terbuat dari bambu di pintu terdengar lagi. Derai
angin berhembus di antara tirai pintu. Aku teringat Ayla, semoga salju disana tidak
memadamkan semangatnya.
Nanta ini orang Aceh kak, tapi lahir dan besar di Medan. Udah gak jadi
orang Aceh lagi dia.. ujar temannya.
Aku

hanya

tersenyum

menanggapi

bercandaan

mereka

mengembalikan uang pembayaran untuk lukisan dan dua buah jilbab paris.

sambil

Kemudian

terdengar

adzan

Dzuhur

yang

berkumandang

di

kota

Kualasimpang. Anak laki-laki Aceh yang merupakan band leader kelompok musik itu
terlihat diam mendengar adzan. Aku dengar ia melafadzkan jawaban adzan dan
membaca doa setelah adzan.
Kak, boleh numpang shalat? tanyanya padaku.
Boleh jawabku. Disini tempat wudhunya, musholla disini ujarku kemudian
sambil menunjuk kran air di pintu samping, memang digunakan untuk tempat
wudhu dan musholla kecil yang aku buat di belakang galeri.
Aku dengar ia iqamah kemudian menegakkan shalat.
Selesai shalat kemudian mereka melanjutkan perjalanan.
Terimakasih kak.. ujar dua orang perempuan yang sekarang sudah
memakai jilbab.
Terimakasih kembali, sukses touring musik nya.. jawabku disertai doa
ikhlas.
Ukhuwah Islamiyah tidak akan mungkin dapat diputuskan, tidak dapat
diceraikan. Persaudaraan di dalam Islam adalah persaudaraan yang hak. Tapi ada
hal prinsipil yang tidak dapat disamakan mengenai marwah suatu bangsa.
Mengenai harkat dan martabat bangsa Aceh sebagai bangsa yang Merdeka di
dalam Islam. Mengenai hak bangsa Aceh untuk menjadi Negara Islam yang
Merdeka.
Nanggroe Aceh adalah Negara yang Merdeka di dalam Syariah Islam.
Rabbana aatinaa fiddunia hasanah, wa filakhirati hasanah, wa qinnaa azab
annaar.

Anda mungkin juga menyukai