PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di
rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama. Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak
bedah, misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut
maupun di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya
yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas
bedah.1,3,4
Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan
diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminankontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi
sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh
untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan
dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4
1
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1
Anamnesis Pribadi
Nama
: Tn. J
Umur
: 40 tahun
Alamat
: Lhoksukon
Tanggal Masuk : 27 Oktober 2012
Pukul
: 22.00 WIB
2.2 Anamnesis Penyakit
Keluhan Utama
: Nyeri seluruh lapangan perut
Riwayat penyakit sekarang : Hal ini dialami pasien sejak 1 minggu yang lalu.
Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati
kemudian menjalar ke perut kanan bawah dan
menetap selama 3 hari, kemudian menjalar ke
seluruh lapangan perut. Mual dan muntah tidak
dijumpai. Demam dialami sejak 2 hari ini. BAB
tidak dijumpai dan BAK dijumpai. Sebelumnya
pasien sudah berobat ke poli penyakit dalam RSUD
Cut Meutia dan didiagnosis dengan apendisitis.
Pasien dikonsulkan ke bagian bedah untuk tindakan
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit keluarga
2.3 Time Sequence
10 Feb 2016
11 Feb 2016
11 Feb 2016
22.00 WIB
08.30 WIB
13.30 WIB
2.4
B (Breathing)
C (Circulation)
D (Disability)
kedua.
8 jam pertama :
50% defisit cairan + rumatan :
50% defisit cairan = 50% x 3500 = 1750 cc (dalam 8 jam)
= 281,75 cc/jam
Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah :
(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam
Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:
281,75 cc/jam + 110 cc/jam
= 328,75 cc/jam
= 328,75 x 20 tetes/60 menit
= 109 tetes/menit
16 jam berikutnya :
50% defisit cairan + rumatan :
50% defisit cairan = 50% x 3500 = 1750 cc (dalam 16 jam)
= 109,375 cc/jam
Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah :
(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam
Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:
109,75 cc/jam + 110 cc/jam
= 219,75 cc/jam
= 219,75 x 20 tetes/60 menit
= 73,125 tetes/menit
- Pemasangan NGT
- Pemasangan kateter urin
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan crossmatch
3
2.6
B1
B2
3 jari. Riwayat asma/batuk/sesak/alergi : -/-/-/: Akral: D/M/K, TD 110/70, HR 100 x/menit, reguler, T/V kurang, bibir
B3
B4
B5
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
: 13,2 g%
: 43,5 %
: 11,4 x103/mm3
: 262x103/mm3
Faal Hemostasis
- CT/BT
2.8
Foto
Polos
Abdom
4
Operasi
Operasi
Diffuse
Peritonitis
d/t
Appendiks
Perforasi
:
Tindakan
secara IV
Induksi dengan propofol 100 mg
Relaksasi dengan Notrixum 30 mg
Intubasi ETT no.7
Cuff (+)
Suara pernapasan: kanan = kiri
5
Fiksasi pada kedalaman 20cm
- Maintenance dengan N2O : O2 = 2 l/i : 2l/i dan isoflurane 1%
2.12 Durante Operasi
- Lama operasi
: 2 jam
- TD
: 120-130/70-90 mmHg
- HR
: 75-92 x/menit
- RR
: 14 x/menit
- SpO2
: 100%
- Perdarahan
: 100cc
- Penguapan + maintenance: (8+2) x 70 = 700 cc/jam
- UOP = 120 cc/jam
- Cairan :
PO : RL 500 cc
DO : RL 1000 cc
2.13 Post
Diagnosa
Post
Operasi
Post \Operasi:
Laparotomy a/i
Diffuse
Peritonitis
Appendectomy
B1
B2
100%
: Akral: H/M/K, TD 110/60 mmHg, HR
B3
B4
B5
B6
analgetika
tinggi nyeri saat napas
multimodal NSAID (perifer) &
dalam/batuk volume tidal
Opioid (sentral), menurunkan dosis
atelektasis v/q mismatch
tiap regimen efek samping obat
(shunting) oksigenasi , selain
berkurang
itu batuk tidak adekuat mucous
Pastikan analgesia cukup
stasis
pneumonia
-
Peritonitis
peristaltik
membutuhkan waktu untuk pulih,
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
3.1.1
Penilaian Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
3.
4.
5.
6.
anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien.
Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah
identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking
(AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium,
EKG, USG, foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan
mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan,
hal ini tercermin dalam inform consent3.
History Taking
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin
rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat
pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat
dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem
organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang
belum terdiagnosis.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya
meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan
pemeriksaan
airway,
jantung,
paru-paru,
11
dan
system
musculoskeletal.
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
E
Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari
prosedur bedah yang direncanakan.
Indikasi
13
Urinalisis
FBC
Ureum, Creatinin, Elektrolit
ECG
Foto Torak
Tes fungsi hati (Liver Function
Test)
3
4
5
6
7
8
Test
Darah Lengkap
Indikasi
Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic,
antihipertensi,
kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
Konsentrasi
glukosa Diabetes Mellitus
darah
Penyakit hati yang berat
Elektrokardiografi
Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
Chest X-ray
Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
Arterial blood gases
Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
Test fungsi paru
Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
Skreen koagulasi
Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
14
10
Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitary
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
Informed Consent
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.
Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi
dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya.
3.1.2 Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
15
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Tabel
3.4
Fasting
Guideline
Pre-operatif
(American
Society
of
Anesthesiologist, 2011)5
Usia pasien
Intake oral
< 6 bln
Clear fluid
Breast milk
Formula milk
6 bln 5 thn Clear fluid
Formula milk
Solid
>5 thn
Clear fluid
Solid
Adult, op. Clear fuid
Pagi
Solid
Adult,
Siang
Lama
(jam)
2
3
4
2
4
6
2
6
2
Puasa mulai jam
12 mlm
2
Puasa mulai jam 8
pagi
20 cc/kg
10 cc/kg
10 cc/kg
Jumlah
4 mL/kg/jam
+ 2 mL/kg/jam
+ 1 mL/kg/jam
16
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
3.1.4
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
Dosis (Dewasa)
5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
0,1 mg/kgBB
4-8 mg (iv) dewasa
10 mg (iv) dewasa
Dosis disesuaikan
17
f.
g.
h.
i.
j.
Scope
Tubes
Airways
T
I
Tapes
Introducer
C
S
Connector
Suction
Induksi intravena
o Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
o Obat-obat induksi intravena:
Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg sebelum
digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml =
25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis
dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan
diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat
anti-analgesi.
Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg).
suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
19
Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mualmuntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg),
0,3-1 mg/kg/menit.
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien
tidur.
Induksi inhalasi
o N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik
o
21
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari
untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita
berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup
muka kita tempelkan.
Pelumpuh otot nondepolarisasi Tracurium 20 mg (Antracurium)
o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja.
o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama
20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
oTanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
- Cegukan (hiccup)
- Dinding perut kaku
- Ada tahanan pada inflasi paru
RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
22
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 1050 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena
dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran
2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu atau dikendalikan.
TATALAKSANA JALAN NAPAS
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung
Menuju nasofaring
2. Mulut
Menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan
palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju
esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri
dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan
kuneiform.
A. Manuver tripel jalan napas
23
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,
sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan
napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan
napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system
anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan
tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut
atau hidung.
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya
dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai
LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral
untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat
24
Pilar faring
+
-
Uvula
+
+
-
Palatum Molle
+
+
+
-
Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan
lainnya.
26
3.2
Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada
pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat dilakukan
teknik anestesi lokal atau umum.
2.
a.
b.
ada.
Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal
c.
atau regional.
Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan
jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
27
d.
Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul
gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional,
3.
dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dna lain-lain.
5.
Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
Pendidikan
28
ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu
yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi
yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan
hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:
1.
sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB dan
wanita 65 cc/kgBB.
2.
3.
Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi
Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume
4.
5.
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic
Monitoring.
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini
ditujukan hanya tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim
(1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama
general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan
anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
31
palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
3.3
Kriteria
Nilai
32
Aktivitas
Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 2448 jam setelah operasi
dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari
rekam medis, anamnesa terkair perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan
pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan
komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera saraf, cidera
okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus
dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut10
33
BAB 4
KESIMPULAN
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel,
dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Keluhan pokok pada peritonitis
adalah nyeri abdomen. Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien
peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak,
perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau
menghilang, dan pekak hati menghilang.
Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan syok.
Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam menangani keadaan tersebut.
Selain resusitasi cairan, umumnya terapi pembedahan dan antibiotik yang adekuat
juga penting dalam mengatasi peritonitis.
Prognosis peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis sudah
terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai prognosis
yang makin buruk.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.
2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal
Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322.
3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.
4. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery
2007; 26 (3): 98-101.
5. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and
Physiology 12th Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The
Digestive System.
6. Ramli,
Rosdiana.
2011.
Peradangan
Peritoneum.
Available
from:
9. Komisi Trauma IKABI. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Support) Untuk
Dokter.
10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H.
Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J
Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.
11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi.
Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah.
12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Terapi Cairan pada Pembedahan.
13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177:
282-320.
14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;
Transfusi Darah pada Pembedahan.
15. Hardiono, Hanindito, Elizeus, Rahardjo, Puger, dan Rahardjo, Eddy. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Keseimbangan Cairan,
Elektrolit, dan Asam Basa.
36