Anda di halaman 1dari 3

APLIKASI RADIOLARIA

Indra Wicaksono (270110140083),


Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Bandung, 2015

Abstrak
Mikrofosil merupakan fosil yang berukuran mikroskopis dimana untuk mengamatinya
membutuhkan alat bantu, yaitu mikroskop. Mikrofosil terbagi menjadi 4 jenis berdasarkan
komposisi dingding cangkang, yaitu Calcareous, Siliceous, Phospatic dan organic. Jenis
calcareous contohnya foraminifera, calcareous alga. Jenis Phospatic terdiri dari jenis
conodonta. Jenis siliceous misalnya diatom dan radiolaria. Jenis organik terbagi menjadi 2
yaitu pollen dan spora. Beberapa mikrofosil yang sangat penting bagi manusia khususnya
dalam kajian ilmu geologi, yaitu Diatom, Radiolaria, dan Calcareoaus alga. Diatom
meruapakan mikroalga uniseluler berwarna coklat keemasan yang distribusinya sangat
universaldi semua tipe perairan Diatom termasuk dalam kelompok mikroalga utama
umumnya berukuran 10 100 m yang mengandung banyak fitoplankton baik di ekosistem
perairan tawar maupun laut. Diatom merupakan mikrofosil yang sangat baik dalam
merekonstruksi lingkungan masa lampau (paleoenvironment). Karena mikrofosilnya lebih
resisten dan dapat hidup di semua jenis perairan khususnya perairan di daratan. Radiolaria
merupakan zooplankton filum Radiozoa (Cavalier-Smith, 1987) berdiameter antara 50 200
m. Radiolaria banyak digunakan dalam indicator paleogeografi dan aktivitas tektonik pada
cekungan samudera. Hal ini disebabkan fosilnya ditemukan pada laut dalam, teteapi
radiolaria tidak hidup di laut dalam. Calcareous alga atau alga karbonatan/alga gampingan
merupakan alga yang banyak ditemukan dalam terumbu karang sebagai kesatuan penjaga
kelestarian ekosistem. Calcareous Alga banyak digunakan sebagai bioindikator batugamping
sebagai resevoir minyak bumi dengan porositas dan permeabilitas yang sangat baik, untuk
menentukan umur relatif endapan laut, paleotermometer, dan digunakan dalam
kronostratigrafi.
Kata kunci: bioindikator, calcareous alga , diatom, paleoenvironment , radiolaria, umur relatif

I.

Pendahuluan
Radiolaria merupakan zooplankton
filum Radiozoa (Cavalier-Smith, 1987)
yang hidup di laut. Radiolaria (sel
tunggal/individu) berdiameter antara 50
200 m. Radiolaria hidup di laut pada
kedalaman sampai 400 meter di bawah

permukaan laut, baik di daerah dekat kutub


(arktik), subtropis maupun di daerah
tropis. Lautan di daerah tropis yang lebih
hangat dengan kandungan nutrisi yang
berlimpah menjadi surga bagi radiolaria.
Selain hidup secara jomblo (soliter),
radiolaria juga hidup berkelompok dan
membentuk koloni. Satu koloni radiolaria

bisa berisi ratusan sampai ribuan radiolaria


yang saling terhubung melalui helaian
kaki-kaki semu mereka yang bercabang;
atau terikat oleh semacam bahan gelatin
yang menyelimuti mereka. Rombongan
radiolaria ini berkumpul dalam satu koloni
sebesar beberapa sentimeter hingga dalam
ukuran meter dan terlihat sebagai satu
mahluk sendiri yang sulit disangka bahwa
itu adalah komunitas radiolaria.
Radiolaria bereproduksi dengan
pembelahan dan mungkin secara seksual
oleh pelepasan sel flagellated, disebut
swarmers. Radiolaria individu diperkirakan hidup tidak lebih dari 1 bulan.
Radiolaria diketahui telah hidup
sejak zaman kambrium (530 juta tahun
lalu) dan meiliki hampir distribusi
geografis yang global dan pada kedalaman
dari zona fotik hingga dataran abisal.
Radiolaria sangat berperan penting dalam
biostratigrafi sedimen laut dalam di dari
Mesozoikum dan Kenozoikum, dan juga
sebagai indikator paleo-oseanografi.
Istilah "calcareous alga" mengacu
pada berbagai jenis bentik dan planktonik
alga yang mengandung thalli secara
biokimia endapan kalsium karbonat
(CaCO3) sebagai bahan skeletal (Wray,
1977; Braga dan Riding, 2005).
Pengendapan CaCO3 (kalsit dan/atau
aragonit) dapat terjadi di dalam atau pada
tubuh alga. Istilah ini juga dapat
mencakup pertambahan endapan secara
mekanik dari kalsium karbonat yang
disebabkan oleh alga, biasanya sebagai
interaksi proses biologis dan fisik.
Calcareous Alga adalah kelompok yang
sangat buatan yang merupakan anggota
mengapur dari Chlorophyta (alga hijau),
Rhodophyta (alga merah), dan Phaeophyta
(alga coklat) dan kadang-kadang juga
digunakan untuk Cyanobacteria. Saat ini,
calcareous alga adalah salah satu

pembangun
terumbu
(Carbonate
Environment) yang paling penting. Jika
alga mati, dia akan meninggalkan fosil
skeleton yang sebenarnya bukanlah
skeleton se-sungguhnya, tetapi endapan
kalsium karbonat yang terbentuk seperti
skeleton. Skeleton-skeleton inilah yang
nantinya akan membentuk sedimen pada
tropikal lagoon dan reef.
Mikrofosil calcareous alga adalah
mikrofosil alga yang kompisisi dinding
cangkangnya dari karbonat (CaCO3).
Calcareous alga atau bisa disebut alga
karbonatan/alga
gampingan
banyak
ditemukan di daerah terumbu karang.
Karena, daerah terumbu karang berada di
kedalaman kurang dari 4000 meter. Itu
disebabkan karena pada kedalaman lebih
dari 4000 meter karbonat akan larut. Batas
ini disebut CCD atau Carbonate
Compression Depth, sehingga calcareous
alga hanya akan ditemukan di atas batas
CCD.
I.

Metode
Dalam hal ini, kami mengguanakan
metode overview dan studi literatur. Data
yang digunakan adalah data yang sudah
ada di literatur mikropaleontolgi dan
beberapa karya ilmiah yang berhubungan.
Kemudian, mereview data tersebut.

II. Hasil dan Pembahasan


Radiolaria banyak digunakan dalam
indicator paleogeografi dan aktivitas
tektonik pada cekungan samudera. Hal ini
disebabkan fosilnya ditemukan pada laut
dalam. Namun radiolarian tidak hidup
pada laut dalam melainkan selama
hidupnya berupa gampingan dan setelah
mati terendapkan pada daerah yang
melewati batas ambang kelarutan karbonat
atau CCD (Carbonate Compression
Depth). Pada batas ini, semua organisme

karbonatan larut sedangkan radiolarian


cangkangnya terubahkan tersusun dari
silika. Kumpulan radiolaria ini membentuk
lapisan sedimen yang bila terkompaksi
akan membentuk chert (rijang). Rijang
merupakan penyusun dari OPS (oceanic
plate stratigraphy) yang berada diatas
batuan beku pillow lava.
Pengaplikasian
dasar
tentang
pergerakan tektonik dapat ditemui pada
daerah Bantimala, Sulawesi selatan.
Didaerah ini ditemukan rijang, basalt dan
batuan ultrabasa sebagai penyusun
lempeng samudera. Namun, ditemukan
didaratan yang diduga dulunya merupakan
palung dimana semua batuan bercampur
aduk membentuk batuan mlange.
Terjadinya pergerakan lempeng samudera
membawa lapisan- lapisan ini mengarah ke
daratan dan diantara rijang ditemukan
persilangan dengan batu pasir. Ini
menandakan lapisan sedimen ini melewati
tepi benua sebelum diendapkan di daratan.
Dari contoh diatas, dapat digambarkan
rekonstruksi susunan batuan sebelum
terjadi subduksi.
III.

Kesimpulan
Mikrofosil merupakan fosil yang
memiliki ukuran kurang dari 50 m.
diantaranya diatom, radiolarian dan alga
karbonatan.
Ketiga
mikrofosil
ini
merupakan fosil yang habitatnya di
perairan baik di daratan maupun lautan.
Mikrofosil relative digunakan dalam
penelitian
karena
kelimpahannya,
keresistenannya,
dan
menyimpan
informasi yang lengkap dari masa ke masa.

Mikrofosil mikrofosil ini banyak


digunakan dalam aktivitas manusia
diantaranya diatom digunakan dalam
bioindikator
lingkungan
terhadap
pencemaran dan palimnologi, radiolaria
berguna dalam merekonstruksi kondisi
tektonik masa lalu dan alga karbonatan
berguna dalam bidang kronostratigrafi,
perminyakan dalam mencari reservoir, dan
pengobatan untuk implant gigi. Oleh
karena itu, mikrofosil memiliki banyak
manfaat dalam berbagai macam disiplin
ilmu khususnya ilmu geologi dalam
membahas rekonstruksi masa lalu.
Daftar Pustaka
Amstrong, H. and Braasier, M. 2005.
MICROFOSIL, second edition. Australia:
Blackwell
Riding, R. 2011. Calcified cyanobacteria.
In J. Reitner and V. Thiel (eds),
Encyclopedia
of
Geobiology.
Encyclopedia of Earth Science Series,
Springer, Heidelberg, pp. 211-223.
Soeprobowati, T.R, dan Hadisusanto, S.
2009.
paper:
"Diatom
dan
Paleolimnologi:
Studi
Komparasi
Perjalanan Sejarah Danau Lac SaintAugustine Quebeq-City, Canada dan
Danau Rawa Pening Indonesia".
http://geomagz.com/langlangbumi/langlang-bumi/438-radiolariaperunut-batuan-bancuh
www.botany.uwc.ac.za

Anda mungkin juga menyukai