Anda di halaman 1dari 13

Tugas Khusus

Penghilangan warna pada chitosan (depigmentasi)


Industri pengolahan udang banyak menimbulkan hasil samping berupa
limbah kulit udang yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini
menyebabkan limbah kulit udang kurang memiliki nilai ekonomis dibanding
dengan mengolahnya menjadi kitin dan kitosan. Kitosan banyak digunakan di
berbagai industri antara lain sebagai bahan pengawet pengganti formalin. Kulit
limbah udang mengalami proses deproteinasi demineralisasi, deasetilasi serta
proses depigmentasi atau penghilangan warna dari produk kitosan agar didapatkan
produk kitosan berbentuk Kristal putih .
Tahap depigmentasi, yaitu tahap penghilangan warna terjadi setelah tahap
demineralisasi. Hasil dari proses depigmentasi disebut kitin. Tahap depigmentasi
ini dapat dilakukan dengan mengekstrak endapan hasil demineralisasi dengan
aceton dan di bleaching dengan 0,315 NaOCl selama 5 menit pada suhu kamar.
Perbandingan solid:solven 1:10. Tahap ini dapat dilewati karena sangat
dipengaruhi oleh jenis udang, apabila produk yang dihasilkan pada tahap
demineralisasi sudah mengalami penghilangan warna akibat dari proses
pemisahan mineral oleh HCl.
Penghilangan warna ditunjukkan dengan adanya perubahan warna dari
merah oranye mendekati warna putih. Tahapan Depigmentasi residu juga dapat
dilakukan dengan ekstraksi menggunakan aseton dan dicuci kembali dengan air
sampai netral. Residu yang berupa kitin dikeringkan dalam oven pada suhu 6570oC. Kadar zat warna diperoleh setelah tahap depigmentasi karena zat warna
pada kulit udang windu larut dalam aseton. Namun proses depigmentasi ini tidak
memberikan hasil yang memuaskan karena warna residu yang dihasilkan masih
putih kecoklatan. Proses depigmentasi tidak hanya dilakukan pada proses
pembuatan kitosan. Namun juga diaplikasikan pada proses penanganan limbah
cair dimana depigmentasi ini berperan sebagai adsorben.
Zat warna dan pigmen sangat luas digunakan pada beberapa industri
seperti tekstil, kertas, plastik, kulit, pangan, dan kosmetik untuk mewarnai produk
yang dihasilkan. Jika tidak ditangani dengan tepat maka air limbah industri yang

masih mengandung zat warna atau pigmen akan mencemari lingkungan perairan.
Kebanyakan zat warna organik stabil secara kimia baik terhadap cahaya, panas,
dan zat oksidator serta sulit untuk disingkirkan dari air limbah secara biologis
karena tahan terhadap penguraian aerobik. Berbagai metode dapat digunakan
untuk mengurangi atau mengambil zat warna sebagai bahan pencemar lingkungan
perairan

seperti

filtrasi

membran,

adsorpsi,

koagulasi/flokulasi,

pengendapan/flokulasi, elektrolisis, oksidasi kimiawi, pertukaran ion, dan


beberapa teknik biologis lainnya.
Adsorpsi merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi pencemaran zat
warna. Langkah awal untuk mendapatkan proses adsorpsi yang efektif adalah
dengan memilih adsorben yang memiliki selektivitas dan kapasitas tinggi serta
dapat digunakan berulang-ulang. Arang aktif telah lama digunakan untuk
menyerap zat warna tetapi karena harganya yang cukup tinggi maka penelitian
beralih ke adsorben yang lebih murah dan dapat dihasilkan dari bahan hasil
buangan. Crini (2006), telah mengulas berbagai adsorben murah yang nonkonvensional yang telah digunakan untuk menyingkirkan zat warna. Salah satu
hasil buangan yang berpotensi digunakan sebagai adsorben zat warna adalah
kitosan karena memiliki beberapa karakteristik intrinsik yang berguna sebagai
biosorbent yang efektif untuk menghilangkan zat warna
Kitin dan kitosan atau turunannya telah dimanfaatkan sebagai adsorben
fenol, logam berat Kitosan memiliki gugus amino (NH 2) merupakan sisi aktif
yang dalam kondisi asam berair, akan menangkap H+ dari lingkungannya sehingga
gugus aminonya terprotonasi menjadi NH3+. Muatan positif NH3+ ini dapat
dimanfaatkan untuk mengadsorpsi zat warna anionik. Sementara adsorpsi zat
warna kationik dan kation logam memanfaatkan keberadaan pasangan elektron
bebas pada gugus OH dan NH3 yang bertindak sebagai ligan dan dapat
berinteraksi dengan zat warna kationik atau kation logam melalui mekanisme
pembentukan ikatan kovalen koordinasi (kompleks).
1. Adsorbsi zat warna biru metilena
Pemanfaatan kitin dan kitosan sebagai adsorben zat warna masih sangat
kurang, khususnya untuk zat warna basa. Zat warna biru metilena (CI 52015) atau
Basic Blue 9 merupakan suatu zat warna basa yang umumnya digunakan untuk

mewarnai kertas, pewarna rambut, zat warna kain katun, wol, dan lain-lain.
Walaupun biru metilena bukan termasuk zat warna berbahaya tetapi setelah
terhirup akan menimbulkan gejala sesak napas, muntah-muntah, diare, dan mual.
Selama ini biru metilena telah digunakan sebagai model untuk mempelajari proses
adsorpsi bahan pencemar organik dari larutan berair, dan telah diketahui kinetika
adsorpsinya pada kitin dan kitosan yang mengikuti reaksi orde dua. Secara
termodinamika, proses adsorpsi akan mencapai kesetimbangan yang pada
N

(CH ) N
3 2

N(CH )
3 2

Cl

umumnya digambarkan oleh persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dan


Freundlich.
Gambar 1. Struktur adsobsi kitosan
(Matheis, 2010)
Adsorpsi Biru Metilena oleh Kitosan. Adsorpsi biru metilena (BM) oleh
kitosan dikaji dengan menggunakan kapasitas adsorpsi (q) dengan C0 dan Ce
adalah konsentrasi BM mula-mula dan pada saat kesetimbangan tercapai, V adalah
volume larutan, serta x adalah jumlah adsobat (mg) yang teradsorpsi oleh m gram
adsorbent. Grafik 1 menampilkan hasil penelitian adsorpsi BM oleh kitosan.
Kapasitas adsorpsi BM oleh kitosan semakin meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi awal BM. Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh
Monvisade dan terinterkalasi dengan lempung sebagai adsorbent dan beberapa zat
warna kationik sebagai adsorbat.
Selain itu, hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa persen adsorpsi
naik pada konsentrasi kecil, selanjutnya menurun, dan naik kembali pada
konsentrasi awal 25 ppm. Ini berarti bahwa adsorpsi BM oleh kitosan akan lebih
baik pada konsentrasi yang rendah sedangkan untuk konsentrasi yang tinggi
disarankan untuk melakukan adsorpsi secara bertahap sampai mencapai
konsentrasi BM yang diperbolehkan. Isoterm adsorpsi merupakan suatu gambaran

tentang keadaan kesetimbangan yang telah terjadi sehingga tidak ada perubahan
dalam konsentrasi adsorbat pada permukaan adsorbent dan yang ada pada larutan
ruah

(bulk).

Isoterm

adsorpsi

diperoleh

dengan

memetakan

distribusi

kesetimbangan adsorbat dalam fase padat dan cair pada temperatur tetap. Ada dua
isoterm adsorpsi yang biasa digunakan untuk kasus adsorpsi spesies tunggal dalam
fase padat dan cair yaitu isoterm Langmuir dan isoterm Freundlich. Zat warna
dapat digunakan untuk menentukan luas permukaan suatu adsorbent, salah
satunya adalah BM. Serbuk kulit udang tanpa mineral kemudian dituangkan ke
dalam glas beaker yang berisikan larutan NaOCl 4% dengan rasio 1:10 (gr/mL)
antara serbuk kulit udang dengan NaOCl. Campuran diaduk selama 1 jam tanpa
dipanaskan setelah itu disaring dan dibilas dengan akuades. Padatan dikeringkan
di dalam oven pada suhu 70oC selama 6 jam setelah itu ditimbang hingga berat
konstan (Wiyarsi dan Priyambodo, 2007). Padatan kering yang diperoleh adalah
serbuk kitin halus berwarna putih. Serbuk kitin hasil isolasi dari limbah kulit
udang

selanjutnya

dikarakterisasi

dengan

pereaksi

Van

Wesslink

dan

spektrofotometer IR.
2. Adsorben metil orange
Zat warna indikator Metil Oranye merupakan zat warna anionik atau
sering disebut dengan zat warna asam, yang sangat berguna sebagai larutan
indikator asam bagi kepentingan analitik di berbagai laboratorium kimia.
Laboratorium yang bersangkutan terus menerus akan membuang zat-zat tersebut
ke lingkungan. Zat warna Metil Oranye secara perlahan akan mencemari
lingkungan sekitar laboratorium. Sebagai masyarakat ilmiah yang setiap saat ada
di lingkungan laboratorium kimia dan menggunakan zat warna indikator Metil
Oranye, harus melakukan upaya mengurangi cemaran zat tersebut sebelum
dibuang ke lingkungan perairan.
Berdasarkan kenyataan bahwa zat warna indikator Metil Oranye secara
perlahan akan mencemari lingkungan laboratorium kimia dan penelitian terdahulu
maka diajukan suatu adsorben altenatif yang digunakan yaitu kitosan. Kitosan
adalah kitin yang telah mengalami deasetilasi dengan menggunakan NaOH
konsentrasi tinggi (Muzzarelli, 1977). Kitin tersebar luas di alam dan merupakan
senyawa organik kedua yang melimpah di bumi setelah selulosa. Kitosan

mempunyai gugus aktif NH2 yang akan berinteraksi secara elektrostatik dengan
zat warna indikator Metil Oranye pada pH yang rendah
Kitosan merupakan hasil deasetilasi kitin, yaitu kitin yang telah
mengalami penghilangan gugus asetil. Kitin untuk pertama kalinya dipelajari oleh
Braconnot pada tahun 1811 dalam penelitianya tentang jamur.

Penelitian

dilanjutkan pada tahun 1923 oleh Odier yang mempelajari polisakarida dari
jamur, dan menamainya dengan kitin. Kitin berasal dari bahasa Latin yang artinya
penutup atau sampul. Kitosan ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859 dengan
cara mendidihkan kitin dalam larutan KOH yang sangat pekat dan larut dalam
asam organik. Kitosan ini memberikan warna violet bila direaksikan dengan
iodine dan asam, sedangkan kitin menghasilkan warna coklat.
Kitin merupakan suatu polisakarida alami yang mengandung N-asetil-Dglukosamin sebagai unit pengulangnya dengan ikatan - (1-4). Kitin membentuk
kristal berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau dan tidak dapat larut dalam
pelarut organik umumnya serta dalam asam atau basa encer. Kitin memiliki sifat
khas seperti bioktivitas, biodegrabilitas dan sifat tidak liat, sehingga merupakan
jenis polimer yang banyak dimanfaatkan pada berbagai bidang.
Kitosan adalah polimer dari 2-amino-2 Deoksi-D-glukosa. Untuk
membedakan polimer kitin dan kitosan berdasarkan kandungan nitrogennya.
Polimer kitin mempunyai kandungan nitrogen kurang dari 7% dan kitosan bila
mempunyai kandungan nitrogen lebih dari 7%. Di alam kelompok kitin dan
kitosan merupakan senyawa yang tidak dibatasi dengan stoikiometri secara pasti.
Kitosan merupakan senyawa yang mempunyai daya koagulan dan sering
dimanfaatkan sebagai koagulan limbah industri; terutama pengolahan air minum
karena sifatnya yang tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Berat molekul
kitosan 1,2 x 105, tergantung pada degradasi yang terjadi selama proses
deasetilasi. Sifat-sifat kitosan dihubungkan dengan adanya gugus-gugus amino (NH2) dan hidroksil (-OH) yang terikat. Adanya gugus-gugus tersebut
menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas yang tinggi dan memberikan sifat
polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai amino pengganti. Adsorben
kitosan mempunyai kemampuan mengikat lebih kuat daripada kitin karena
gugusgugus aktifnya.

Adanya gugus aktif NH 2 (merupakan gugus aktif yang mayoritas) pada


permukaan kitosan akan menimbulkan muatan positif pada medium air dan
medium yang asam . Muatan ini harus dimbangai muatan yang berlawanan
supaya netral. Oleh karena itu, kitosan dalam larutan yang bersifat asam (pH 4,8)
dapat menarik molekul-molekul lain yang bermuatan negatif. Pada pH 4,8
indikator Metil Oranye akan berbentuk sebagai gugus asamnya menurut
persamaan:
reaksi : HIn

H+

In-

Hal ini yang menyebabkan mengapa zat warna indikator Metil Oranye dapat
diserap oleh adsorben kitosan. Ikatan yang terjadi adalah ikatan elektrostatik
(ionik) antara kitosan yang bermuatan positif dan zat warna yang bermuatan
negatif. Stuktur Metil Oranye disajikan dalam gambar 2.

Gambar 2. Struktur Metil Oranye


(widhi, 2011)
Saat ini, adsorben kitosan telah diproduksi secara industri di negaranegara maju terutama Jepang dan Amerika Serikat dan mengalami peningkatan
yang cukup tajam. Adsorben kitosan ini merupakan bahan yang sumbernya
melimpah dan dapat diperbaharui, maka dalam situasi pengurangan sumbersumber alam yang berkelanjutan serta perkembangan bioteknologi yang demikian
pesat menjadikan pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti kitosan
merupakan sesuatu yang sangat diperlukan.
2.1.

Penyerapan zat warna indikator Metil Oranye (MO)


Zat warna indikator Metil Oranye telah ditetapkan sebagai bahan pencemar

bagi perairan di lingkungan sekitar laboratorium kimia FMIPA Universitas


Negeri Semarang. Dalam jumlah besar, perairan yang ada tidak memenuhi
syarat sebagai air untuk pertanian, perikanan atau keperluan hidup lainnya
mengingat laboratorium kimia terletak tidak jauh dari lingkungan perumahan.
Di samping masalah pencemaran yang ada, karena persedian air menjadi

tercemari dan semakin berkurang maka perlu dipikirkan juga kemungkinan


untuk memakai kembali sebagian air buangan yang mengalami pengolahan.
Pengolahan air limbah pada umumnya dapat dilakukan dengan berbagai cara,
salah satunya adalah dengan cara penyerapan (adsorpsi). Adsorpsi zat warna
asam Solophenyl Turquise Blue dengan menggunakan kitosan telah dilakukan
oleh Probondari pada tahun 1999. Tetapi adsorpsi oleh kitosan terhadap zat
warna indikator Metil Oranya belum pernah dikerjakan.

Menurut Oscik

adsorpsi adalah proses akumulasi adsorbat pada permukaan adsorben yang


disebabkan oleh gaya tarik menarik antar molekul atau interaksi kimia atau
akibat dari medan gaya pada permukaan padatan (adsorben) yang menarik
molekul-molekul gas/uap atau cairan. Dalam proses adsorpsi terdapat berbagai
macam gaya intermolekul yang sangat menentukan jenis adsorpsi yang
berlangsung, yakni : gaya Van de Waals, gaya hidrofob, ikatan hodrogen, gaya
elektrostatik, dan ikatan kovalen.
Gaya Van de Waals, yang juga dikenal sebagai gaya London atau dispersi,
merupakan gaya tarik menarik yang timbul akibat adanya interaksi dwikutub
sesaat dan dwikutub terimbas. Energi yang dihasilkan dari gaya ini sekitar 2
20 kJ/mol. Gaya Hidrofob, adalah gaya yang memnyebabkan kecenderungan
molekul untuk menetap pada pelarut melebihi gaya tarik ke permukaan
adsorben. Jika pelarut mempunyai tarikan yang lebih besar terhadap zat terlarut
maka adsorpsi sukar untuk terjadi, sebaliknya jika permukaan adsorben
mempunyai tarikan yang lebih besar terhadap zat terlarut maka adsorpsi dapat
berlangsung dengan mudah.
Ikatan Hidrogen, merupakan ikatan yang terjadi antara molekul-molekul
yang atom hidrogennya dapat tertarik oleh atom yang sangat elektronegatif F, O,
atau N dari molekul yang berdekatan, dan ikatan hydrogen secara lemah
terhadap atom dari molekul yang berdekatan seperti Cl dan S. Gaya elektrostatik
merupakan gaya yang timbul akibat terjadinya tarik menarik antara ionion yang
bermuatan berlawanan, dan merupakan gaya yang berperan terhadap
kecenderungan ion-ion terikat pada permukaan adsorben yang bermuatan
berlawanan, gaya elektrostatik akan menghasilkan ikatan ion.

Ikatan kovalen, ikatan yang terbentuk melalui penggunaan pasangan


electron secara bersama-sama. Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben
dengan adsorbat, maka adsorpsi dapat dibedakan menjadi adsorpsi fisika dan
adsorpsi kimia. Dalam adsorpsi kimia molekul adsorbat dan adsorben
membentuk sistem homogen, sedangkan dalam adsorpsi fisika dapat dianggap
sebagai dua sistem individu. Adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia dibedakan oleh
energi adsorpsi, reversibility, dan ketebalan lapis adsorben. Adsorpsi fisika
energinya rendah (<20 kJ/mol), sedangkan adsorpsi kimia energi adsorpsinya
lebih tinggi (>20kJ/mol). Adsorpsi fisika melibatkan gaya antar molekul (gaya
Van der Walls, ikatan hidrogen, dan sebagainya). Panas adsorpsinya rendah, zat
yang diadsorpsi relatif mudah dilepaskan, sangat reversible, memungkinkan
terjadi desorpsi pada temperatur yang sama. Ketebalan lapisan yang diasorpsi
lebih besar dari diameter adsorbat .
Adsorpsi kimia melibatkan ikatan koordinasi yang merupakan hasil
penggunaan elektron bersama antara adsorben dan adsorbat. Proses adsorpsi
biasanya diikuti dengan pengamatan isoterm adsorpsi yaitu banyaknya zat yang
teradsorpsi per gram zat padat yang dialurkan terhadap tekanan akhir fasa ruah
pada temperatur tetap. Apabila system yang diteliti adalah system padat-cair,
maka grafik yang harus dibuat adalah banyaknya zat yang teradsorpsi per gram zat
padat terhadap konsentrasi akhir dari fasa ruah pada temperatur tetap. Giles dan
McEwan mengklasifikasikan isoterm adsorpsi larutan encer menjadi empat jenis
dasar. Dari keempat jenis isoterm adsorpsi tersebut, jenis isoterm adsorpsi L atau
jenis Langmuir yang umum dijumpai dalam adsorpsi larutan encer. Langmuir
mengembangkan suatu model kuantitatif yang telah diterapkan untuk menjelaskan
fenomena adsorpsi. Langmuir mengasumsikan bahwa pada permukaan adsorben
terdapat situs-situs aktif yang proporsional dengan luas permukaan. Masingmasing situs aktif hanya dapat mengadsorpsi satu molekul saja, dengan demikian
adsorpsi hanya terbatas pada pembentukan lapis tunggal (monolayer).
Menurut Adamson (1990) batas minimal adsorpsi kimia adalah 20,92
KJ/mol. Berdasarkan liteatur tersebut maka energi adsorpsi MO pada adsorben
kitosan dapat dikatagorikan sebagai energi adsorpsi kimia. Menurut Stum dan
Morgan (1981), dalam proses adsorpsi terdapat berbagai macam gaya

intermolekuler yang sangat menentukan jenis adsorpsi yang berlangsung yang


diantaranya adalah gaya elektrostatik. Gaya elektrostatik merupakan gaya yang
timbul akibat terjadinya tarik menarik antara ion-ion yang bermuatan berlawanan,
dan merupakan gaya yang berperanan terhadap kecenderungan ion-ion terikat
pada permukaan adsorben yang bermuatan berlawanan, gaya elektrostatik akan
menghasilkan ikatan ion. Gugus NH2 pada kitosan akan berinteraksi dengan
anion zat warna Metil Oranye secara elektrolitik, berikut reaksinya:
R-NH2 + H+

RNH3+

RNH3+ + AMO-

RNH3+ AMO-

AMO = Anion zat warna MO


Menurut Oscik (1982), jika interaksinya melibatkan gaya elektrostatik
seperti pada adsorpsi MO oleh adsorben kitosan dikenal sebagai adsorpsi kimiawi,
oleh karena itu mempunyai sifat lebih spesifik. Adsorpsi berlangsung hanya dalam
satu lapisan monomolekuler dan mempunyai ikatan sedemikian kuat sehingga
spesies aslinya tidak diketemukan lagi.
3. Adsorpsi Zat Warna Direct Black 38
Adsorpsi menggunakan karbon aktif dari berbagai sumber bahan baku
telah umum dilakukan. Salah satu adsorben yang dapat digunakan dalam proses
dekolorisasi limbah cair industri tekstil adalah kitosan . Kitosan dapat diperoleh
dari limbah krustasea seperti udang dan kepiting. Kitosan memiliki afinitas yang
sangat tinggi terhadap zat warna terutama jenis pewarna anionik seperti acid,
reactive dan direct. Hal ini karena kitosan memiliki struktur yang unik yaitu
polikationik.
Penggunaan kitosan untuk dekolorisasi beberapa zat warna telah
dilakukan, seperti Crystal Violet (Ling et al, 2011), Congo Red & Direct Blue 1
(Chatterjee et al, 2009; Perju dan Dragan, 2010), Direct Blue 78 & Acid Black 26
(Salehi et al, 2011), Remazol Brilliant Blue RN & Basic Blue 36 (Kyzas et al,
2010), Reactive Red 222 (Chiou et al, 2003), Acid Green 27 (Hu et al, 2006),
Methyl Orange (Saha et al, 2010), dan Acid Yellow 73 (Iqbal et al, 2010).
Penelitian ini menggunakan kitosan hasil transformasi kitin dari limbah udang
Delta Mahakam (campuran jenis Penaeus monodon dan Metapenaeus

monoceros). Arifin et. al. (2010) melaporkan bahwa limbah udang Delta
Mahakam mempunyai rendemen kitin dan kitosan berturut-turut adalah sebesar
23.30% dan 18.43%.
Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa kitosan tersebut
memenuhi standar kualitas kitosan niaga. Kitosan tersebut digunakan untuk
menjerap zat warna DB 38 yang sering digunakan dalam proses pewarnaan
benang sarung samarinda. Ambas (2010), telah melakukan penelitian dekolorisasi
DB 38 menggunakan karbon aktif dari cangkang biji ketapang. Kondisi optimum
diperoleh dengan persen penurunan warna sebesar 74.54%. Berdasarkan
keberhasilan penelitian di atas, dilakukan dekolorisasi DB 38 menggunakan
kitosan dari limbah udang Delta Mahakam.
4. Adsorpsi Rhodamin B
Rhodamin B adalah zat warna sintesis yang sering digunakan dalam
industri batik. Rhodamin B berbentuk serbuk kristal, tidak berbau, berwarna
kehijauan, berwarna merah keunguan pada konsentrasi tinggi dan berwarna merah
terang pada konsentrasi rendah. Zat warna sintetis dalam limbah industri sangat
beracun bagi kehidupan di air. Oleh karena itu penghilangan zat warna dari
limbah menjadi penting. Berbagai metode telah dilakukan untuk menghilangkan
zat warna antara lain: oksidasi kimia dengan ozon, UV ditambah H 2O2,
bioremediasi anaerobik, adsorpsi, dan lain-lain. Di antara metode-metode
tersebut, proses adsorpsi adalah salah satu metode yang efektif untuk
menghilangkan zat warna dari limbah cair. Menurut Chatterjee et al adsorben
berbasis kitosan memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi terhadap banyak zat
warna. Beads kitosan mempunyai kapasitas yang tinggi untuk mengadsorpsi zat
warna Black DN dan Black B Penurunan konsentrasi Direct Black 38 dengan
kitosan mencapai 63,10% dengan kapasitas adsorpsi sebesar 4,21 mg/g.
Kitosan dalam penelitian ini disintesis dari kitin kulit udang jerbung.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh serbuk kitosan sebanyak
18,11% dari serbuk kulit udang yang digunakan, sedangkan beads kitosan yang
diperoleh sebesar 98,77% dari serbuk kitosan yang digunakan. Pembuatan beads
kitosan diawali dengan melarutkan serbuk kitosan ke dalam asam asetat. Larutan
kitosan yang diperoleh kemudian diteteskan ke dalam batch pengendapan yang

mengandung NaOH. Penetesan akan menetralkan asam asetat yang terkandung


dalam gel kitosan sehingga mengkoagulasi gel kitosan menjadi gel beads kitosan
yang seragam. Gel beads kitosan basah dibilas dengan akuades untuk
menghilangkan sisa NaOH yang masih terdapat pada

beads kitosan.

Cahyaningrum, dkk. (2008) menyebutkan bahwa pada proses pembuatan beads


kitosan, kitosan mengalami re-polimerisasi kitosan sehingga diharapkan polimer
dalam kitosan dapat lebih tertata sehingga strukturnya lebih teratur. Analisis
menggunakan FTIR dilakukan untuk mengetahui serapan-serapan karakteristik
dan menentukan derajat deasetilasi (DD) dari kitosan serbuk dan beads kitosan.
Spektrum IR dari kitosan serbuk dan beads kitosan
Penentuan panjang gelombang maksimum bertujuan untuk mengetahui
panjang gelombang serapan terbesar yang diserap oleh rhodamin B. Panjang
gelombang maksimum ditentukan dengan mengukur serapan larutan rhodamin B
pada range panjang gelombang 700-400 nm. Panjang gelombang maksimum
yang diperoleh untuk rhodamin B adalah 554,2 nm. Spektrum UV-Vis dan grafik
penentuan panjang gelombang maksimum dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Panjang gelombang maksimum rhodamin B


(Mardiyah, 2014)

Setelah diperoleh panjang gelombang maksimum dari rhodamin B


kemudian dilanjutkan dengan pembuatan kurva kalibrasi. Pembuatan kurva
kalibrasi dilakukan dengan dibuat larutan rhodamin B dengan variasi konsentrasi
0,5; 1,0; 2,0; 3,0; dan 4,0 ppm. Tiap-tiap larutan diukur absorbansinya pada maks
dengan spektrofotometer UV-Vis. Derajat keasaman (pH) suatu larutan merupakan
salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan kinerja adsorben dalam
proses adsorpsi. antara rhodamin B dengan R-NH 3+ pada kitosan sehingga

menurunkan kemampuan adsorpsinya. Di lain pihak, pada pH di atas 4 semakin


banyak gugus amina (R-NH2) yang terdapat pada kitosan berubah menjadi RNH2OH sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan kitosan dalam
mengadsorpsi rhodamin B. Penurunan rhodamin B pada pH 4 sebesar 3,05%.
Penurunan rhodamin B mengalami kenaikan mulai dari pH 2 hingga mencapai
optimum pada pH 3 dan mengalami penurunan setelah pH 3. pH optimum dari
beads kitosan lebih kecil daripada kitosan serbuk, hal ini disebabkan ikatan
intramolekul dalam beads kitosan lebih kuat dibanding kitosan serbuk. Penurunan
rhodamin B pada pH 3 sebesar 4,65%.
Waktu kontak optimum merupakan waktu saat penyerapan adsorbat ke
permukaan adsorben terjadi secara maksimum. Peristiwa ini ditunjukkan dengan
konstannya nilai konsentrasi zat warna (adsorbat) dalam sampel yang telah
mengalami pengadukan selama waktu tertentu.Prinsipnya semakin lama waktu
kontak yang dilakukan terhadap adsorbat (zat warna) oleh adsorben, maka akan
semakin banyak adsorbat yang dapat diadsorpsi oleh adsorben. Waktu kontak
merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam proses adsorpsi.

DAFTAR PUSTAKA
Probondari. 1999. Studi Pengambilan Zat Warna Asam Solophenyl Turquise
Blue Secara Koagulasi dan Flokulasi. Skripsi. FMIPA, UGM,
Yogyakarta.
Kurniyasih M, dkk. 2014. Adsorpsi Rhodamin B dengan Adsorben Kitosan
Serbuk dan Beads Kitosan. Jurnal. Volume 2 no.2. FMIPA. Universitas
Jendral Sudirman.Purwokerto.
Arifin Z. dkk. 2013. Adsorpsi Zat Warna Direct Black 38 Menggunakan Kitosan
Berbasis Limbah Udang Delta Mahakam. Jurnal. Teknik kimia. Poltek
Samarinda
Killay A. 2012. Kitosan dari Limbah Kulit Kepiting Rajungan (Portunus
sanginolentus L.) sebagai Adsorben Zat Warna Biru Metilena. Jurnal.
FMIPA. Universitas Ambon.
Sumarni W, F. Widhi Mahatmanti. 2012. Penyerapan Zat Warna Indikator Metil
Oranye (Mo) Dalam Larutan Air Oleh Adsorben Kitosan. Jurnal.
FMIPA. Universitas Negeri Semarang.
Tammi T, dkk. 2012. Variasi Konsentrasi Dan Ph Terhadap Kemampuan Kitosan
Dalam Mengadsorpsi Metilen Biru . Jurnal. Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

Anda mungkin juga menyukai