Disusun oleh :
Ronggo Noto Nagoro
Dea Winadry
Fajar Panduwinata
13120000089
13120000052
13120000055
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja/buruh menjadi tiga macam,yaitu :
1. Perlindungan ekonomis, disebut dengan jaminan sosial
2. Perlindungan sosial, biasa disebut kesehatan kerja
3. Perlindunngan teknis, biasa disebut dengan keselamatan kerja
Hukum tentang ketenagakerjaan dalam pelaksanaannya harus memenuhi hak-hak dan
perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja atau buruh serta pada saat yang
bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu
tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi
juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu,
diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup
pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan
pembinaan hubungan industrial.
Hukum Perburuhan atau ketenagakerjaan merupakan seperangkat aturan dan norma
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha,
disatu sisi, dan Pekerja atau buruh disisi yang lain. Syarat dalam mencapai kesuksesan
pembangunan nasional adalah kualitas dari sumber daya manusia Indonesia itu sendiri yang
menentukan berhasil tidaknya usaha untuk memenuhi tahap tinggal landas. Peningkatan
kualitas manusia tidak mungkin tercapai tanpa memberikan jaminan hidup, sebaliknya
jaminan hidup tidak dapat tercapat apabila manusia tidak mempunyai pekerjaan, dimana dari
hasil pekerjaan itu dapat diperoleh imbalan jasa untuk membiayai dirinya dan keluarganya.
mengambil
langkah-langkah
antisipatif
serta
mampu
menampung
segala
Rumusan Masalah
Setiap perusahaan pada umumnya tidak terlepas dari masalah dalam upaya untuk
merealisasikan tujuannya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan,
maka kami merumuskan permasalahan sebagai berikut:
hukum yang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Pekerja Penyandang Cacat
Perlindungan Terhadap Penyandang Cacat (Difabel).
Pasal 67 UU No. 13 th 2003 menyatakan bahwa, pengusaha yang mempekerjakan
tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya. Perlindungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Perlindungangan terhadap penyandang cacat ini pengaturannya selain dalam undang-undang
ketenagakerjaan ini juga diatur dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
pelaksanaan peraturan tersebut selanjutnya dijabarkan dengan PP Nomor 43 Tahun 1998
tentang upaya meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Disebutkan dalam pasal
13, bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatanya.
Perlindungan ini antara lain :
a. penyediaan aksesibilitas, yaitu kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan ;
b. pemberian alat kerja, dan
c. pemebrian alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Perlindungan ini merupakan bentuk pengakuan HAM yang memenuhi ketentuan UU HAM
No. 39 th 1999 yaitu dalam pasal 41 ayat 2 dan pasal 42.
d. setiap perusahaan wajib mengalokasikan minimmal 1% dari jumlah pekerjanya unntuk
penyandang cacat.
e. kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi penyandang cacat ditegaskan
dalam pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1997
:
mensosialisasikan UU Penyandang Cacat dan PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat sebagai upaya penempatan tenaga kerja penyandang cacat
di perusahaan-perusahaan.
melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat secara
berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali.
melaporkan hasil pendataan perusahaan yang telah mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang
cacat kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi cq. Direktorat Jenderal Binalatpendagri
Perlindungan kesempatan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat diakui dalam UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yaitu dalam penjelasan pasal 5 dan secara tegas dalam pasal
28. Pasal 28 UU Ketenagakerjaan menyatakan:
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan pada perusahaannya untuk setiap 100
(seratus) orang pekerja pada perusahaanya
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 14 jo. penjelasan pasal 14 UU Penyandang Cacat.
Pasal 14 UU Penyandang Cacat:
Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan
jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.
Penjelasan pasal 14 UU Penyandang Cacat:
Perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus)
orang karyawan.
Perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1
(satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang
bersangkutan walaupun jumlah karyawannya kurang dari 100 (seratus) orang.
2.
Departemen Sosial sendiri telah memiliki direktorat khusus dalam pemberdayaan
tenaga kerja penyandang cacat ini, yaitu Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Penyandang Cacat. Direktorat ini antara lain berfungsi untuk menyiapkan penyandang
cacat dalam berinteraksi di masyarakat. Program kerjanya antara lain penyelenggaraan
Balai Latihan Keterampilan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di setiap provinsi, dan bursa
kerja khusus untuk penyandang cacat.
Dasar hukum
C.
Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul 07.00).
Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang mempekerjakan wanita
pada jam tersebut wajib:
1)
2)
3)
Menyediakan
antar
jemput
bagi
pekerja
perempuan
yang
berangkat
b.
Mencegah
masyarakat
secara
keseluruhan
memberi
pengakuan
terhadap
Mencegah
kaum
perempuan
menggunakan
hak
asasi
manusia
dan
pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat
(3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua
dokumen yang mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan
hukum para wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.
B.
Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di bawah tanah.
Isi Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh
melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.
Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan
Wanita untuk Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, Pengupahan meliputi upah atau
gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang
harus dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan barang oleh
pengusaha dengan buruh berhubung dengan pekerjaan buruh.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
2.
3.
keselamatan dan
kesehatan kerja sudah cukup untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap tenaga
kerja, khususnya tenaga kerja penyandang cacat, anak, dan perempuan, yaitu memberikan
pekerja berserikat dan berdemokrasi di tempat kerja, perlindungan tenaga kerja penyandang
cacat, anak, dan perempuan terhadap diskriminasi, perlindungan terhadap pemenuhan hakhak dasar pekerja, perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
4.