Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJA PERLINDUNGAN KERJA

TERHADAP PENYANDANG CACAT, ANAK, DAN PEREMPUAN


DALAM KORPORASI

Disusun oleh :
Ronggo Noto Nagoro
Dea Winadry
Fajar Panduwinata

13120000089
13120000052
13120000055

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja/buruh menjadi tiga macam,yaitu :
1. Perlindungan ekonomis, disebut dengan jaminan sosial
2. Perlindungan sosial, biasa disebut kesehatan kerja
3. Perlindunngan teknis, biasa disebut dengan keselamatan kerja
Hukum tentang ketenagakerjaan dalam pelaksanaannya harus memenuhi hak-hak dan
perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja atau buruh serta pada saat yang
bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu
tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi
juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu,
diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup
pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan
pembinaan hubungan industrial.
Hukum Perburuhan atau ketenagakerjaan merupakan seperangkat aturan dan norma
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha,
disatu sisi, dan Pekerja atau buruh disisi yang lain. Syarat dalam mencapai kesuksesan
pembangunan nasional adalah kualitas dari sumber daya manusia Indonesia itu sendiri yang
menentukan berhasil tidaknya usaha untuk memenuhi tahap tinggal landas. Peningkatan
kualitas manusia tidak mungkin tercapai tanpa memberikan jaminan hidup, sebaliknya
jaminan hidup tidak dapat tercapat apabila manusia tidak mempunyai pekerjaan, dimana dari
hasil pekerjaan itu dapat diperoleh imbalan jasa untuk membiayai dirinya dan keluarganya.

Perluasan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja harus merupakan


kebijaksanaan pokok yang sifatnya menyeluruh di semua sektor. Dalam hubungan ini
program-program pembangunan sektoral maupun regional perlu senantiasa mengusahakan
terciptanya perluasan kesempatan kerja sebanyak mungkin dengan imbalan jasa yang
sepadan. Dengan jalan demikian maka disamping peningkatan produksi sekaligus dapat
dicapai pemerataan hasil pembangunan, karena adanya perluasan partisipasi masyarakat
secara aktif di dalam pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat ditandai dengan tumbuhnya industriindustri baru yang menimbulkan banyak peluang bagi angkatan kerja pria maupun wanita.
Sebagian besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah yang tidak
membutuhkan keterampilan yang khusus lebih banyak memberi peluang bagi tenaga kerja
penyandang cacat,anak, dan wanita. Tuntutan ekonomi yang mendesak dan berkurangnya
peluang serta penghasilan di bidang pertanian yang tidak memberikan suatu hasil yang tepat
dan rutin, dan adanya kesempatan untuk bekerja di bidang industri telah memberikan daya
tarik yang kuat bagi tenaga kerja. Tidak hanya pada tenaga kerja yang sudah dewasa yang
sudah dapat digolongkan pada angkatan kerja. Tetapi memeberikan kesempatan kerja bagi
penyandang cacat agar terealisasinya peningkatan kesejahteraan bagi penyandang cacat
Disisi lain terdapat masalah gangguan yang dialami oleh penyandang
cacat,anak, dan perempuan di tempat kerja, baik oleh teman sekerja maupun oleh majikan.
Gangguan ini bisa berbentuk komentar-komentar atau ucapan-ucapan verbal, tindakan atau
kontak fisik yang mempunyai konotasi seksual. Walaupun seringkali oleh orang yang
menjadi sasaran tindakan tersebut, suatu gangguan tampaknya tidak membahayakan secara
langsung, namun dengan adanya tindakan itu yang mempunyai unsur kekuasaan dan dominsi.
Bentuk yang paling ekstrem terjadi pada anak dan perempuan dari gangguan seksual itu
adalah perkosaan yang seringkali pula bentuknya sangat terselubung, dalam artian bahwa
sering dianggap peristiwa tersebut sebagai peristiwa individual semata dan tidak menyangkut
pelanggaran hak asasi manusia, dan pada pekerja penyandang cacat adalah dalam
kesengajaan korporasi yang tidak memfasilitasi kelengkapan kerja dan keamanan kerja sesuai
derajat kecacatannya.
Masalah tenaga kerja saat ini terus berkembang semakin kompleks sehingga
memerlukan penanganan yang lebih serius. Pada masa perkembangan tersebut pergeseran
nilai dan tata kehidupan akan banyak terjadi. Pergeseran dimaksud tidak jarang melanggara

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menghadapi pergeseran nilai dan tata


kehidupan para pelaku industri dan perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk
mampu

mengambil

langkah-langkah

antisipatif

serta

mampu

menampung

segala

perkembangan yang terjadi.


Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan
harus terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara efektif
oleh para pelaku industri dan perdagangan. Dengan demikian pengawasan ketenagakerjaan
sebagai suatu sistem mengemban misi dan fungsi agar peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan dapat ditegakkan. Penerapan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan/keserasian hubungan antara
hak dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan
ketenagakerjaan dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan kerja
dapat terjamin.
Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan
tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi
perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan
kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan. Dengan demikian,Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur hak dan kewajiban bagi para tenaga kerja
maupun para pengusaha di dalam melaksanakan suatu mekanisme proses produksi.
Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar
bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya undang-undang ketenagakerjaan yaitu
mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia
usaha di Indonesia.
B.

Rumusan Masalah

Setiap perusahaan pada umumnya tidak terlepas dari masalah dalam upaya untuk
merealisasikan tujuannya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan,
maka kami merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedural dan mekanisme korporasi dalam memperkerjakan penyandang


cacat ?
2. Apa bentuk-bentuk payung

hukum yang

diwajibkan oleh perusahaan untuk di

realisasikan terhadap pekerja penyandang cacat ?


3. Bagaimana prosedural korporasi dalam memperkerjakan pekerja anak ?
4. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan dan pembedaan mekanisme kerja pekerja
anak ?
5. Apakah bentuk-bentuk perlindungan dan hak-hak pekerja wanita yang harus
dilaksanakan dan diakomodir oleh perusahaan ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Pekerja Penyandang Cacat
Perlindungan Terhadap Penyandang Cacat (Difabel).
Pasal 67 UU No. 13 th 2003 menyatakan bahwa, pengusaha yang mempekerjakan
tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya. Perlindungan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Perlindungangan terhadap penyandang cacat ini pengaturannya selain dalam undang-undang
ketenagakerjaan ini juga diatur dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
pelaksanaan peraturan tersebut selanjutnya dijabarkan dengan PP Nomor 43 Tahun 1998
tentang upaya meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Disebutkan dalam pasal
13, bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatanya.
Perlindungan ini antara lain :
a. penyediaan aksesibilitas, yaitu kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan ;
b. pemberian alat kerja, dan
c. pemebrian alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Perlindungan ini merupakan bentuk pengakuan HAM yang memenuhi ketentuan UU HAM
No. 39 th 1999 yaitu dalam pasal 41 ayat 2 dan pasal 42.
d. setiap perusahaan wajib mengalokasikan minimmal 1% dari jumlah pekerjanya unntuk
penyandang cacat.
e. kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi penyandang cacat ditegaskan
dalam pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1997
:

setiap penyandang cacat memiliki kesamaan kesempatan untuk mendapatkan


pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

1. Perlindungan Kesempatan Kerja bagi Penyandang Cacat dalam Regulasi


Sebagai pelaksanaan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (UU Penyandang Cacat), telah
dikeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.: 01.KP.01.15.2002 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan tertanggal 26 Februari 2002 (SE Me nakertrans
No. 01/2002). SE Menakertrans No. 01/2002 telah mengamanatkan pada setiap kepala Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk:
a.
b.
c.

mensosialisasikan UU Penyandang Cacat dan PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat sebagai upaya penempatan tenaga kerja penyandang cacat
di perusahaan-perusahaan.
melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat secara
berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali.
melaporkan hasil pendataan perusahaan yang telah mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang
cacat kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi cq. Direktorat Jenderal Binalatpendagri

Perlindungan kesempatan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat diakui dalam UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yaitu dalam penjelasan pasal 5 dan secara tegas dalam pasal
28. Pasal 28 UU Ketenagakerjaan menyatakan:
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan pada perusahaannya untuk setiap 100
(seratus) orang pekerja pada perusahaanya
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 14 jo. penjelasan pasal 14 UU Penyandang Cacat.
Pasal 14 UU Penyandang Cacat:
Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan
jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.
Penjelasan pasal 14 UU Penyandang Cacat:
Perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus)
orang karyawan.
Perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1
(satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang
bersangkutan walaupun jumlah karyawannya kurang dari 100 (seratus) orang.

2.
Departemen Sosial sendiri telah memiliki direktorat khusus dalam pemberdayaan
tenaga kerja penyandang cacat ini, yaitu Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Penyandang Cacat. Direktorat ini antara lain berfungsi untuk menyiapkan penyandang
cacat dalam berinteraksi di masyarakat. Program kerjanya antara lain penyelenggaraan

Balai Latihan Keterampilan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di setiap provinsi, dan bursa
kerja khusus untuk penyandang cacat.
Dasar hukum

1. UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat


2. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.: 01.KP.01.15.2002 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan

B. Perlindungan Kerja Terhadap Pekerja Anak


Didalam aturan hukum pasal 1 angka 26 UUK mendefinisikan bahwa istilah anak
adalah setiap orang yang berada dibawah usia 18 tahun. Secara khusus UUK tidak
menjelaskan dengan jelas tentang pekerja anak batasan yang dapat digunakan
antara lain:
- Pekerja anak adalah anak-anak yang bekerja baik sebagai tenaga upahan
maupun pekerja keluarga.
- Pekerja anak adalah anak yanng bekerja di sektor formal maupun informal
dengan berbagai status hubungan kerja.
Namun fakta pelaksanaan secara empiris, Pengusaha dilarang mempekerjakan
anak, kecuali bagi anak yang berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15
(lima belas) tahun untuk :
a. melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental dan sosial (pasal 68 dan 69 UU No. 13 th 2003);
b. untuk mengembangkan minat dan bakat.
-

Pengusaha yang mempekerjakan anak tersebut diatas harus memenuhi persyaratan :

a. izin tertulis dari orang tua atau wali ;


b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ;
e. keselamatan dan kesehatan kerja ;
f. adanya hubungan kerja yang jelas ; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketentuan dalam huruf a, b, f, dan g diatas dikecualikan bagi anak yang bekerja pada
usaha keluarganya.

C.

Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2003 Tentang Ketenagakerjaan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan


bahwa,Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja
Wanita adalah Tenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian
kerja dengan menerima upah.
Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja
laki-laki, seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan
lain-lain.
1. Pedoman Hukum Bagi Pekerja Wanita
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84, Pasal 93,
Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama
perusahaan yang meliputi:
a.

Perlindungan Jam Kerja

Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul 07.00).
Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang mempekerjakan wanita
pada jam tersebut wajib:

1)

Memberikan makanan dan minuman bergizi

2)

Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

3)

Menyediakan

antar

jemput

bagi

pekerja

perempuan

yang

berangkat

dan pulang bekerja antara pukul 23.00 05.00.


Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berum7ur di
bawah 18 (delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya apabila bekerja antara pukul
23.00 07.00. Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan
makanan dan minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh
diganti dengan uang.
b.

Perlindungan dalam masa haid

Padal Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur


masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dalam
masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah
penuh. Dalam pelaksanaanya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan
tidak mendapatkan premi hadir.
c.

Perlindungan Selama Cuti Hamil

Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum
saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh. Ternyata dalam
pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh.
d.

Pemberian Lokasi Menyusui

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah


ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang anaknya masih
menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan
perusahaan.
2. Peranan Penting Dinas tenaga Kerja
Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja wanit
yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada Dinas Tenaga

Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di bidang ketenagakerjaan dan melakukan


pengawasan ke Perusahaan.
3. Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja
wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang
menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan perundangan
terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya
dengan alasan ekonomi.
Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan
untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan undang-undang negara dan
menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan.
Namun demikian, preempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya
dilindungi dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan.
Adalah sangat prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan
dilaksanakan secara universal.
CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan
diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi
terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang:
a.

Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;

b.

Mencegah

masyarakat

secara

keseluruhan

memberi

pengakuan

terhadap

hak perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atau


c.

Mencegah

kaum

perempuan

menggunakan

hak

asasi

manusia

dan

kebebasan dasar yang dimilikinya.


Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi
reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi
reproduksi.
Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama
majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak
berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga sering terjadi pada

pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat
(3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua
dokumen yang mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan
hukum para wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.
B.

Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILO

Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di bawah tanah.
Isi Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh
melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.
Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan
Wanita untuk Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, Pengupahan meliputi upah atau
gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang
harus dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan barang oleh
pengusaha dengan buruh berhubung dengan pekerjaan buruh.

BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan

Dari pembahasan pada Bab II dapat disimpulkan:


1.

Pelaksanaan peraturan perundangan tentang ketenagakerjaan tersebut, khususnya dalam


perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyandang cacat, anak, dan perempuan
dilaksanakan oleh pemerintah, pengusaha dan pekerja pada perusahaan-perusahaan,
berorientasi pada tiga domein, yaitu domein tenaga kerja, pengusaha dan pemerintah
(lingkungan kerja).

2.

Pemerintah dan pelaksana peraturan perundangan tersebut telah melakukan pengawasan


dalam pelaksanaan peraturan perundangan tersebut, dengan memperhatikan aspek sosial,
ekonomi, politik, budaya dan kultur yang berkembang dalam masyarakat.

3.

Peraturan perundangan yang dibuat pemerintah tentang perlindungan

keselamatan dan

kesehatan kerja sudah cukup untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap tenaga
kerja, khususnya tenaga kerja penyandang cacat, anak, dan perempuan, yaitu memberikan
pekerja berserikat dan berdemokrasi di tempat kerja, perlindungan tenaga kerja penyandang
cacat, anak, dan perempuan terhadap diskriminasi, perlindungan terhadap pemenuhan hakhak dasar pekerja, perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
4.

Kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan peraturan perundangan tersebut,


adalah kendala yang bersifat eksternal dan kendala internal. Namun demikian
peraturan perundangan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif untuk
memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja.

Anda mungkin juga menyukai