Anda di halaman 1dari 11

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No.

1, Agustus 2001

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah


Sebuah Tinjauan Komprehensif
Oleh : Fahmi Amhar1, Tri Patmasari2, Anas Kencana3

Abstrak
Pemetaan batas wilayah memiliki beberapa aspek yang harus dimengerti baik oleh para pengambil keputusan
di daerah, maupun oleh para pelaku pemetaan itu sendiri.
Aspek-aspek ini adalah aspek penetapan, aspek
pengukuran dan asepk pemetaan. Dalam sebuah tinjauan yang komprehensif, aspek penetapan ternyata memiliki
beberapa cara (alami, perjanjian, hierarkis), sebagaimana aspek pengukuran (kartometris, fotogrametris, inderaja,
terrestris). Dan dalam masalah pemetaan, batas wilayah memiliki hal-hal yang semestinya penting untuk
ditampilkan, seperti misalnya soal akurasi dan sumber penetapannya. Dengan demikian persoalan pemetaan batas
wilayah tidaklah sekedar masalah pengukuran GPS (terestris) dan pemasangan patok/pilar semata-mata. Dan para
pengguna peta harus lebih kritis ketika akan menggunakan data batas wilayah, apalagi bila itu menyangkut
kewenangan penggunaan sumber daya alam, seperti pada era otonomi sekarang ini.

Pendahuluan
Dalam menghadapi otonomi daerah
dan globalisasi, penegasan batas wilayah
(batas administrasi), baik antar tinggi. persil
tanah, batas konsesi HPH atau Hak Pertambangan, batas antar kabupaten / kota, batas
kewenangan di laut maupun batas negara
menjadi strategis, dan harus dikerjakan
dengan mutu.
Tujuan penegasan ini adalah untuk
mengetahui sejauh mana batas spasial suatu
status hukum, mulai dari kepemilikan, hak
guna, batas peruntukan dalam tata ruang,
tanggung jawab pemerintahan, perpajakan,
hingga untuk menentukan luas area guna
menghitung potensi sumber daya, kepadatan
penduduk hingga dana perimbangan daerah.
Pekerjaan ini mencakup:

1. penetapan batas dari aspek yuridis;


2. pengukuran koordinat batas di lapangan;
3. pemetaan kawasan perbatasan di atas peta
ataupun di atas basis data digital.
Fakta saat ini, penegasan batas wilayah
masih jauh dari memadai. Salah satu kendala
yang dihadapi adalah teknologi. Pada tulisan
ini akan dikupas berbagai jenis teknologi
dalam penegasan batas wilayah, baik dari
segi
penetapan,
pengukuran
maupun
pemetaan.
Aspek-aspek Penetapan Batas
1. Batas ditetapkan secara alami
Batas wilayah (darat) yang dianggap
paling mudah ditentukan secara alami adalah
adanya air (garis tengah sungai atau Thalweg;

Peneliti Muda Bidang Teknologi Pemetaan Digital, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang - Bakosurtanal
Kabid Batas Wilayah, Pusat Pemetaan Batas Wilayah - Bakosurtanal
3
Staf Bidang Pemetaan Batas Wilayah - Bakosurtanal
2

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

dan batas teritorial 12 mil laut dari pantai).


Namun bila diteliti lebih dekat, sungai atau
pantai ini ternyata mengalami dinamika.
Pantai atau tepi sungai bisa bergeser karena
pasang surut, sedimentasi atau erosi. Pada
peta rupabumi (darat), pantai laut biasa
didefinisikan dengan garis pantai (tinggi nol)
rata-rata. Sementara untuk peta perencanaan
permukiman, lebih menguntungkan menggunakan garis pantai dengan pasang tertinggi,
agar pasti daerah permukiman itu tidak
kebanjiran saat air pasang. Sebaliknya untuk
peta navigasi (laut) garis pantai yang lebih
penting adalah garis muka laut terendah,
karena ini berkait dengan apakah sebuah
kapal pasti bisa sandar atau tidak.

dijadikan pegangan adalah koordinat aslinya.


Jadi bukan satu wilayah yang bertambah luas
dan lainnya bertambah sempit, namun obyek
(sungai / pantai) pada wilayah itu yang
bergeser.
Selain air, yang juga sering dijadikan
batas alam adalah patahan bukit, di mana air
hujan akan mengalir ke dua arah yang
berbeda. Definisi ini menguntungkan karena
dengan demikian air tidak harus mengalir
dari satu wilayah ke wilayah lain selain
pada sungai.
Dengan teknologi Model
Elevasi Digital (DEM), patahan bukit ini bisa
ditentukan secara semi otomatis yaitu dengan
memperhatikan arah lereng (slope) yang
berarti juga arah air akan mengalir.

Gambar 1. Peta slope untuk mencari punggung bukit

Andaikata garis batas wilayah mengikuti pergeseran pantai, maka hal itu menjadi
tidak pasti dan bisa merugikan wilayah
tetangga. Oleh karena itu seharusnya yang
dipegang adalah sebuah garis yang didefinisikan dari koordinat-koordinat titik-titik tetap
(misalnya pilar) di pantai yang disebut juga
garis pangkal atau koordinat batas laut
terluar yang direkonstruksi dari titik referensi
di pantai.
Andaikata kelak pantai ini
mengalami dinamika, maka tetap saja yang

2. Batas ditetapkan dengan perjanjian


Selain batas alam, batas buatan dibuat
dengan suatu perjanjian. Batas ini bisa
berupa jalan raya yang secara fisis kelihatan,
atau bisa pula batas maya yang hanya
didefinisikan secara verbal, misalnya dalam
bentuk Undang-undang, Perda, perjanjian
historis atau juga sertifikat tanah.
Baik batas fisik maupun maya ternyata
memiliki dinamika. Jalan bisa mengalami

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

pelebaran sehingga akan mengalami masalah


yang sama seperti batas alam (pantai).
Sedang batas maya selama tidak
mencantumkan koordinat, masih akan
memiliki potensi sengketa, terutama bila apa
yang dideskripsikan secara verbal sudah sulit
dijumpai di lapangan. Bila pohon atau patok
yang hilang tidak berkoordinat, maka sangat
sulit untuk direkonstruksi.
Satu-satunya bentuk batas dengan
perjanjian yang mudah direkonstruksi adalah
batas dengan angka-angka lintang/bujur atau
elevasi tertentu, misalnya seperti sebagian
batas Irian Jaya PNG adalah 141 BT, atau
sebagian batas Kabupaten dan Kota Bandung
adalah sepanjang ketinggian beberapa ratus
meter dari permukaan laut.
3. Batas ditetapkan secara hierarkis
Batas-batas wilayah dan batas pemilikan tanah seharusnya memiliki hubungan
hierarkis, baik ke atas maupun ke bawah.
Hubungan hierarkis ke atas artinya,
batas wilayah harus memperhatikan batasbatas kepemilikan sehingga sebuah tanah
milik perorangan tidak perlu terbagi dua di
daerah administrasi atau bahkan daerah
hukum yang berbeda. Maka dalam penentuan
batas wilayah, panitia penetapan batas perlu
mempelajari status kepemilikan tanah pada
route yang kemungkinan dilewati batas
tersebut. Di sinilah diperlukan koordinasi
antara Badan Pertanahan Nasional (BPN)
dengan Depdagri.
Sedang hubungan hierarkis ke bawah
artinya, batas wilayah yang lebih tinggi
otomatis menjadi batas wilayah di bawahnya.
Maka semestinya, batas negara adalah selalu
bagian dari batas suatu propinsi, dan batas
propinsi selalu bagian dari batas kabupaten/
kota, dan seterusnya menurun ke kecamatan/

desa sampai akhirnya ke batas kepemilikan.


Dengan demikian, di dalam basis data, atribut
dari polygon yang membentuk garis batas
tersebut harus memiliki semua informasi
dalam hierarki. Dalam software GIS seperti
Arc/Info hal ini bisa dilakukan secara
otomatis dimulai dari batas wilayah yang
tertinggi.
Aspek-aspek Pengukuran Batas
Bila penetapan batas harus dilakukan
melalui kesepakatan antar pihak yang akan
berbatasan, maka pengukuran batas adalah
upaya untuk mendapatkan koordinat dari
titik-titik batas.
Di masa lalu, batas sering hanya
didokumentasikan secara grafis, baik berupa
peta atau sketsa. Akibatnya ketelitiannya
sangat tergantung dari skala, bidang proyeksi,
sistem referensi geografis, serta pengaruh
perubahan akibat usia pada kertas grafis yang
dipakai. Baru sejak sekitar dua dekade
terakhir ini barangkali penggambaran batas
dipisahkan dari pengukuran batas, atau
dengan kata lain, pengukuran batas menjadi
salah satu syarat pemetaan batas.
Berbeda dengan obyek alam yang
memiliki ukuran panjang dan lebar (2D), atau
mungkin juga tinggi atau ketebalan (3D),
batas bersifat abstrak, yaitu hanya memiliki
satu dimensi (panjang). Oleh karena itu
pengukuran batas akan memerlukan akurasi
yang jauh lebih tinggi - dari misalnya pengukuran jalan ini karena jalan memiliki lebar
beberapa meter, sehingga bila jalan digambarkan dalam sebuah garis, maka posisi garis
itu memiliki toleransi sebesar lebar jalan.
Maka dalam peta skala berapapun,
garis batas mestinya tidak mengalami
perubahan apapun, baik karena generalisasi
maupun simbolisasi.
Hanya saja secara

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

kartografis hal ini sangat sulit.


Pada
umumnya, pada unsur di mana batas
bertumpang tindih dengan jalan, maka batas
digambar secara offset di salah satu tepi,
dengan maksud agar jalan tetap kelihatan.
Namun dalam basis data di komputer, posisi
garis batas yang sesungguhnya (disebut juga
posisi geografis) tetap bisa terus di simpan,
misalnya dalam kolom atau layer terpisah.
Bila dilakukan analisis spasial, maka posisi
yang sesungguhnya itulah yang dipakai,
bukan posisi kartografisnya.
Masalahnya kini bagaimana mendapatkan angka-angka koordinat posisi geografis
untuk yang pertama kalinya. Ada beberapa
teknik untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu :
1. Batas diambil dari peta yang sudah
ada (kartometris)
Teknik ini dipakai secara massif sejak
hadirnya komputerisasi pemetaan. Maka
semua peta grafis batas, mulai dari batas
persil hingga batas negara dicoba didigitasi
untuk dijadikan data dasar utama analisis
spasial, baik untuk menghitung pajak maupun
untuk menghitung potensi wilayah.
Teknik digitasi ini, biarpun dengan
equipment yang an sich berakurasi sangat
tinggi, tetap saja dia subyek yang dipengaruhi
oleh kualitas sumber data dan efek kartometri
itu sendiri.
Harus diakui bahwa hampir semua
sumber data peta-peta batas yang ada adalah
sedikit banyak hanya merupakan dugaan dari
pemerintah daerah yang dibuat di atas peta
rupabumi. Meski dugaan ini disahkan oleh
pemerintah setempat, namun ketiadaan
dokumen formal dan pilar-pilar batas di
lapangan
mengharuskan
Bakosurtanal,
sebagai pembuat peta rupabumi itu, selalu
menambahkan disklaimer bahwa peta ini

bukan referensi resmi mengenai batas


administrasi. Namun ini sudah merupakan
best available source dibanding misalnya
peta-peta batas Badan Pusat Statistik (BPS)
yanga pada saat itu dibuat dengan sketsa,
sekedar
untuk
membantu
pekerjaan
pencacahan dalam sensus penduduk. Karena
semua data batas baik dari Bakosurtanal
maupun BPS ini ada dalam bentuk digital,
pemakai mestinya berhati-hati dalam menggunakannya.
Kesulitan lain adalah efek kartometri
yang mau tak mau terjadi tatkala orang
mendigitasi peta. Efek ini terjadi karena
garis batas dalam peta sedikit banyak telah
digambar dengan generalisasi dan simbolisasi
yang sesuai skala peta. Bahkan pada kasuskasus tertentu dia digambar secara offset agar
tidak menutupi obyek yang dianggap lebih
penting bagi peta tersebut misalnya jalan.
Menurut riset (Amhar, 2000), akurasi maksimal yang dicapai seorang operator berpengalaman dalam mendigitasi adalah 0.2 mm
pada peta. Sebagai contoh, peta berkala
1:500.000, akan mempunyai akurasi maksimum 1 mm di lapangan. Bila peta itu berskala 1:500.000, maka ini berarti 100 m di
lapangan. Bila hal ini digabungkan dengan
simbol garis batas itu sendiri yang setebal
1nmm (= 500 m di lapangan), offset yang
juga 1 mm, dan generalisasi yang membuat
satu lekukan kecil di peta dihilangkan, maka
ketidakpastian itu menurut hukum propagasi
akan menjadi setidaknya sekitar 714 m di
lapangan!

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

2. Batas diukur di atas foto udara


(fotogrametris)
Teknik ini mirip kartometri namun
menggunakan foto udara yang memiliki
keuntungan belum tergeneralisasi maupun
simbolisasi. Teknik ini efektif untuk program
ajudikasi tanah, yang berarti penegasan batas
kepemilikan lahan, yang volumenya besar
(mencakup areal yang luas). Pengalaman
menarik diberitakan dari Neumaier (VGI
4/97), seorang professor dari Austria yang
berjasa membangun kadastral di Cina tahun
1930-an. Metodenya adalah sebagai berikut :

Membuat pemotretan udara skala besar


(mungkin skala 1:5000) dari seluruh areal
yang akan ditegaskan batasnya.
Menyebar foto-foto itu ke desa-desa
melalui petugas desa yang sudah dilatih
membaca foto udara. Penduduk supaya
memberi tanda batas areal tanah miliknya
di atas foto.
Foto-foto yang telah diberi klaim batas
kemudian diumumkan selama tiga bulan.
Bila dalam tiga bulan itu tidak ada
bantahan, maka batas itupun menjadi
batas resmi. Bantahan yang ada harus
diselesaikan
(negosiasi,
kompromi,
penyelesaian hukum).
Setelah semua batas tegas, barulah foto
itu diukur secara metris. Hal ini bisa
dilakukan dengan dua cara: (1) diukur
koordinatnya di atas foto, baru kemudian
dilakukan transformasi ke georeferensi.
(2) dibuat ortofoto dulu, lalu diukur di
ortofoto, sehingga langsung didapat
koordinat georeferensi.

Kesulitan utama dalam penentuan


batas pada foto maupun ortofoto adalah
adanya bayangan, baik dari gedung atau
vegetasi yang cukup tinggi, maupun dari

awan yang membuat gambar menjadi gelap.


Yang dimaksud di sini adalah bayangan
awan, bukan tutupan awan.
Sedang untuk tutupan awan mau tidak
mau harus diatasi dengan menggunakan
sensor tembus awan (misalnya radar) atau
pemotretan di bawah awan. Namun inipun
bukannya tanpa masalah. Pengalaman di
Irian Jaya, untuk mengatasi tutupan awan,
dicoba dipotret di bawah awan, namun yang
didapatkan menjadi 1600 lembar foto,
padahal yang ingin dihasilkan adalah peta
skala 1:50.000 pada areal yang hampir
seluruhnya hutan belantara dengan elevasi
bergelombang. Sasaran utama yang diinginkan dari metode ini adalah DEM untuk
menghasilkan garis kontur.
Jadi yang
terutama dibutuhkan adalah DEM untuk
menghasilkan garis kontur.
Selanjutnya
posisi sungai bisa didekati lebih dahulu
dengan melihat garis konturnya. Masalahnya
untuk membuat titik-titik input DEM yang
rapat pada volume foto yang sangat besar,
pekerjaan ini tidak ekonomis.
Sebagai
alternatif jalan keluar, DEM didekati dulu
dengan titik-titik Triangulasi Udara (AT)
yang mau tidak mau memang harus diukur
dan dihitung untuk bisa mengerjakan
keseluruhan proyek. Yang penting di sini,
harus ada uji coba secara sampling sejauh
mana diferensi antara DEM dari titik-titik AT
dan DEM dari pengukuran stereo pada daerah
yang terbatas.
Bila toleransi ini masih
dibolehkan pada skala 1:50.000 maka berarti
DEM dari AT ini sudah mencukupi dan
pekerjaan ini akan jauh lebih efisien.
3. Batas diukur dari citra inderaja
Batas juga bisa didekati dengan citra
inderaja (remote sensing). Hal ini umumnya
dilakukan untuk mengukur baik batas alam
(misalnya pantai) maupun batas obyek yang

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

tampak di alam (misal hutan / kebun).


Perbedaan dengan foto udara adalah pada
resolusi citra inderaja yang relatif lebih kasar
- walaupun bisa dibuat halus dengan harga
lebih mahal - misalnya dengan sensor
inderaja pada wahana pesawat terbang
(airborne).
Keuntungan inderaja adalah
pengolahan data relatif lebih terotomatisasi,
sehingga misalnya garis pantai bisa dikenali
otomatis sebagai perbedaan darat dan laut,
demikian juga batas hutan/kebun atau
lintasan sungai/jalan bisa dikenali dari
spektral pixelnya.
Meski demikian, hasil kerja otomatisasi ini tetap harus dinikmati dengan hatihati, karena yang tampak di citra tidak selalu
yang diinginkan untuk diukur. Sebagai misal
mahkota sebuah pohon sering jauh melampaui batas hutan di mana pohon itu berada.
Sedang tepi sungai atau pantai bisa
mengalami perubahan temporal yang cukup
cepat, misalnya karena pasang surut atau
banjir. Ini semua akan berpengaruh langsung
pada citra inderaja yang direkam pada saat
itu.

4. Batas diukur secara terrestris


Pengukuran darat (terrestris) baik
dengan pita meteran, total station maupun
GPS dipandang tetap lebih akurat dibanding
pengkuran kartometris ataupun foto udara
dan inderaja. Yang menjadi masalah pada
pengukuran terestris adalah pengukuran yang
tidak sekaligus sistematis pada areal yang
luas, sehingga ketaktelitian pada suatu lahan
berakibat langsung ketaktelitian pada areal
sekelilingnya. Hal ini bisa disebabkan oleh
akurasi pengukuran itu sendiri, atau oleh
proses perhitungan sesudahnya yang mencakup reduksi dan transformasi ke sistem
koordinat referensi atau proyeksi yang digunakan.
Permasalahannya adalah, dalam sertifikat tanah, angka-angka ketaktelitian ini
tidak pernah (atau bahkan mungkin secara
hukum tidak boleh) disebutkan. Angka luas
tanah yang mestinya mengandung plus minus
sekian meter persegi (atau hektar) seakan
sebuah angka mati yang sudah benar. Hal ini
akan menyulitkan ketika areal di sekelilingnya juga mulai diukur. Jumlah luas
persil-persil bisa-bisa cukup jauh dari luas
keseluruhan areal.
Pemetaan & Basis Data Perbatasan
1. Isian Basis Data Batas Wilayah
Konsekuensi masalah-masalah pengukuran batas di atas mengharuskan basis data
batas wilayah memiliki isian informasi
sebagai berikut :
posisi kartografis (yang memungkinkan
offset) dan tergantung tingkat skala.
posisi geografis yang sesungguhnya (yang
akan digunakan dalam analisis spasial).

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

akurasi sumber data (diperkirakan secara


rinci sesuai metode data akuisisi:
kartometris, fotogrametris, inderaja atau
terrestris).
waktu data diambil dari lapangan (guna
antisipasi aspek temporal pada akuisisi
data) dan waktu berlakunya data tersebut
(guna keperluan update / revisi peta),
sehingga sejarah batas sebuah wilayah
bisa dilacak. Masalah waktu berlakunya
data ini, terutama penting untuk batasbatas non administratif, misalnya batas
konsesi hutan, kebun atau tambang.
jenis batas (administratif, non administratif)
toponimi (tiap wilayah administrasi harus
memiliki identifikasi unik, baik melalui
suatu toponimi, suatu ID wilayah seperti
yang ada di Depdagri (Zip-code), kodepos
(post-code), kode area telepon, kode
nomor polisi untuk kendaraan ataupun
kode cacah (BPS).
dokumen terkait sebagai file hyperlink
yang bisa dipanggil kapan saja. Dokumen
tertulis yang sudah ada bisa discan dan
disimpan sebagai file gambar dalam
format JPEG atau dikonversi ke teks
dengan OCR-software.
Informasi lain-lain seperti person yang
mengerjakan, proyek yang mendanai,
besar dana dan sebagainya.
2. Penurunan peta batas secara otomatis
Bila basis data rupabumi dibuat dengan
benar dan true database oriented, maka

pembuatan peta-peta batas wilayah yang


biasanya hanya menggambarkan kawasan
sepanjang route perbatasan bisa diturunkan
secara otomatis cukup dengan definisi route.
Softwarelah yang akan menyelesaikan
tahapan-tahapan seperti seleksi area (bandbuffer) termasuk penggabungan berbagai
nomor peta - dan konversi termasuk perubahan skala dan transformasi zone proyeksi.
Masalah skala memang sering menjadi
salah satu persoalan dalam peta batas. Skala
baku dalam peta rupabumi sistematis (misal
1:50.000) sering di satu sisi terlalu kecil
untuk menggambarkan detil sepanjang perbatasan, namun di sisi lain terlalu besar untuk
meletakkan seluas mungkin wilayah dalam
sedikit mungkin lembar peta.
Mungkin di sini memang diperlukan
dua jenis peta, yaitu satu overview untuk
keseluruhan area, dan satu peta detil sepanjang perbatasan. Karena garis batas dari titiktitik koordinat itu bersifat 1-dimensi maka
sebenarnya tidak begitu tergantung skala dan
dapat di-overlay ke skala berapapun.
3. Simbol yang menunjukkan otoritas
Dalam peta rupabumi seharusnya
dibedakan antara simbol batas administrasi
yang sifatnya masih sementara dan belum
bisa dijadikan referensi dan batas administrasi yang sudah ditegaskan serta diukur di
lapangan. Simbol juga sebaiknya menunjukkan tingkat akurasi yang dimiliki sesuai
sumber data (dari kartometri, fotogrametri,
inderaja atau terrestris/GPS).

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

Gambar 2. Contoh peta lokasi 30 pilar batas antara Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung

Gambar 3. Contoh peta lokasi 33 pilar referensi penentuan batas perairan

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

Perkembangan Masa Depan


1. Persil / Wilayah harus tanpa sisa
Pada kasus di mana hasil pengukuran
sebuah persil tidak cocok dari angka luas
dalam sertifikat tanah (umumnya kurang),
maka yang sering dipraktekkan saat ini
adalah mengambil defisit atau membuat
surplus ke lahan milik umum seperti jalan
atau sungai. Pemindahan ini tentu saja hanya
abstrak dalam angka-angka koordinat.
Akibatnya, jalan atau sungai yang dianggap
daerah tak bertuan menjadi lebih lebar atau
lebih sempit dari yang sesungguhnya.
Pertanyaannya, apakah tanah-tanah
milik umum seperti jalan, sungai, pantai
atau bahkan laut teritorial memang tidak
perlu disertifikatkan atau setidaknya koordinat batasnya ditetapkan? Pada negaranegara maju, luas wilayah negara adalah
jumlah luas seluruh tanah yang disertifikatkan, karena praktis tidak ada sejengkalpun
tanah di negara itu yang tidak ada angka
koordinat batasnya.
2. Re-Adjustment Batas
Bila ada perubahan tata ruang, misalnya
ada pembangunan jalan, sehingga tanah
seseorang atau suatu kampung terpotong,
maka mestinya ada re-adjustment batas,
misalnya dengan cara tukar guling
sehingga kesatuan administratif tidak terganggu (tak perlu ada enklave). Pengalaman
menunjukkan, keberadaan enklave ini sering
menyulitkan masyarakat baik secara administrasi maupun secara sosial budaya.
3. Penyesuaian Batas dengan Kebutuhan
Tata Lingkungan
Pada era otonomi daerah ini, egoisme
kedaerahan bisa berbenturan dengan asas-

asas lingkungan dalam pemanfaatan ruang.


Sebagai contoh, bila dua daerah berbatasan
pada sebuah sungai, maka sungai itu menjadi
milik bersama. Komplikasinya adalah bila
salah satu daerah tidak begitu peduli terhadap
pencemaran sungai, daerah sebelahnya mau
tak mau ikut menanggung akibatnya. Hal
yang sama juga terjadi bila sungai itu panjang
dan melewati berbagai daerah. Daerah hulu
dipaksa melestarikan hutan lindungnya, dan
karena itu relatif tidak memanfaatkan sumber
daya alamnya. Bila daerah hilir keberatan
ikut menanggung biaya pelestarian lingkungan itu, maka bisa saja daerah hulu
menebang hutan atau membangun industri
dan daerah hilir yang menanggung pencemaran atau banjir.
Solusi yang sering ditawarkan untuk
mengatasi hal ini adalah koordinasi baik
secara bilateral antar daerah maupun dikoordinasikan oleh pemerintah propinsi atau
pemerintah pusat. Namun ada ide lain yang
cemerlang meskipun mungkin perlu waktu
untuk realisasinya, yaitu untuk menggabungkan daerah-daerah yang ada dalam satu
daerah aliran sungai (watershed). Karena
batas watershed bisa ditentukan secara
otomatis dengan DEM, maka batas administrasi daerah baru inipun bisa ditentukan
otomatis.
Dengan batas ini maka dapat dihindari
kasus-kasus sengketa daerah hulu dengan
hilir atau daerah yang berbatasan dengan
sebuah sungai.

Solusi untuk Indonesia


Wilayah Indonesia terdiri atas 17000
pulau, dengan panjang garis pantai 81.000
km. Saat ini secara administratif Indonesia

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

terdiri dari 32 propinsi, 268 kabupaten, 69


kota dan 21 kota administratip. Lebih kurang
sekitar 63 % kabupaten/kota memiliki pantai.
Mungkin yang kini menjadi pertanyaan
adalah, bagaimana kini Indonesia harus
menyediakan peta-peta batas wilayah secara
cepat, hemat dan akurat untuk seluruh
wilayahnya?
Pembangunan kadastral nasional yang
sistematis, dengan mendata seluruh persil di
seluruh wilayah Indonesia termasuk lahanlahan umum seperti jalan, sungai, danau dan
laut - harus menjadi rencana utama (grandplan). Dalam hal ini, sebagai pendekatan
pertama bisa digunakan metode pengukuran
kartometris dengan memakai peta-peta yang
ada. Kemudian baru pada areal yang bernilai
komersil tinggi ditingkatkan lagi dengan
metode fotogrametris, inderaja atau terrestris/
GPS. Yang penting database batas persil
maupun batas wilayah harus mencantumkan
isian akurasi, waktu dan sebagainya seperti
diuraikan di muka.
Hal ini tidak bisa dihindari, mengingat
bila seluruh wilayah Indonesia harus
dipetakan dengan akurat, misalnya lekukan
pantai dengan foto udara atau citra satelit, air
surut terendah dengan data pasut dan
batimetri, maka semua akan memakan waktu
yang sangat lama dan biaya yang sangat
besar. Jadi langkah awal adalah pengukuran

kartometris menggunakan peta-peta yang


sudah ada. Untuk peta batas di wilayah laut
tersedia misalnya Peta Lingkungan Laut
Nasional (LLN) 1:500.000 yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia, peta Lingkungan
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
Pantai Indonesia (LPI) 1:50.000 yang baru
sebagian kecil wilayah pesisir, dan peta
navigasi 1:200.000.
Penetapan yuridis dilakukan secara
paralel dengan metode pengukuran, umumkan batas sementara (terutama untuk batas
alam atau buatan yang bisa direkonstruksi),
beri waktu untuk dikomentari pihak yang
terkait, bila belum disetujui maka lakukan
negosiasi dan kompromi di lapangan untuk
mencari kesepakatan.
Selebihnya batas wilayah dengan hierarki
yang lebih tinggi ditetapkan secara hierarkis
ke atas.
Batas ini setelah divalidasi kemudian
ditetapkan dalam basis data, kemudian dari
situ baru diturunkan peta-peta batas secara
otomatis disertai simbol yang memadai.
Pekerjaan ini semua harus didukung
perundangan yang mengharuskan mencantumkan tingkat akurasi dalam data spasial
seperti luas tanah dalam sertifikat tanah
ataupun luas wilayah pada monografi
wilayah, serta memungkinkan revisi dengan
data yang lebih akurat lagi.

References
Amhar, F. (2000): Kualitas Data, Akurasi dan Skala Peta. FIT ISI 2000: 92-100.
Djunarsjah, E. (2000): Aspek-aspek Geodetik dalam Penetapan Batas Wilayah Laut Propinsi di Indonesia. FIT ISI
2000: 4-8.
Kresnawati, D., H. Warsito, S. Sutisna (2000): Suatu Pemikiran: Pemanfaatan Foto Udara Sebagai Pendekatan Secara
Visual Penegasan Batas Wilayah. FIT ISI 2000: 4-8.
Patmasari, T., A. Kencana, E. Artanto (2000): Tantangan Pemetaan Batas Wilayah dalam Rangka Otonomi Daerah.
FIT ISI 2000: 42-45.

10

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

11

Anda mungkin juga menyukai