Anda di halaman 1dari 20

RELASI GENDER DAN BAHASA DALAM INTERAKSI JUAL BELI PEDAGANG

ETNIS JAWA DI PASAR BARU GRESIK: KAJIAN ETNOLINGUISTIK


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etnolinguistik kelas B

Disusun oleh:
NUR LAILATUS SAADAH
121211132006

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayahnya makalah yang ditujukan untuk memenuhi tugas Etnolinguistik kelas B yang
berjudul Relasi Gender dan Bahasa dalam Interaksi Jual Beli Pedagang Etnis Jawa di Pasar
Baru Gresik: Kajian Etnolinguistik dapat diselesaikan tepat pada waktu yang ditentukan.
Penulisan makalah ini melibatkan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak,
yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk melengkapi makalah ini dengan baik.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah merasa
membantu menyelesaikan makalah ini.
Besar harapan penulis untuk makalah ini agar dimanfaatkan dengan baik oleh
pembacanya, baik untuk melengkapi data dalam studi bahasa Indonesia ataupun untuk bacaan
semata.

Surabaya, 17 Juni 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ............................................................................................................................ i
Daftar Isi .................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Relasi Gender Perempuan dan Bahasa dalam Interaksi Jual Beli Pedagang ................... 7
2.2 Relasi Gender Laki-Laki dan Bahasa dalam Interaksi Jual Beli Pedagang ................... 12
BAB III SIMPULAN ............................................................................................................... 16
Daftar Pustaka ........................................................................................................................... iii

ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gender bukanlah bawaan manusia dari lahir dan bukan sesuatu yang manusia punya
melainkan sesuatu yang kita lakukan. Gender merupakan bentukan dari kebudayaan, gender
merepresentasikan suatu pembagian penting dalam masyarakat kita apakah seseorang itu lakilaki atau perempuan dan hal itu bukanlah sebuah fakta biologis. Menurut Fakih (1999) dalam
Hikmah dkk (2008: 5) konsep gender menunjukkan pada suatu sifat yang melekat pada kaum
pria maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, sifat ini
kemudian akan menentukan status, peran, dan tata hubungan antar jenis kelamin yang
berbeda dan mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Konsep gender bukan menandakan jenis kelamin seseorang, melainkan pembawaan
diri seseorang. Gender sebenarnya diistilahkan sebagai feminin dan maskulin untuk
membedakan bahwa gender bukan jenis kelamin, namun dalam perkembangannya
masyarakat justru membedakan gender sebagai perempuan untuk feminin dan laki-laki untuk
maskulin sehingga batas antara gender dan jenis kelamin sulit dibedakan. Penerapan gender
berbeda dalam satu budaya dengan budaya lain karena tidak ada budaya yang memiliki tata
aturan yang sama, konsep gender untuk budaya Jawa tidak akan bisa diterapkan di budaya
barat karena tradisi yang membentuk gender di masyarakatnya yang berbeda.
Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa tidak memiliki aturan diferensiasi gender yang
tegas dalam kosakatanya seperti dalam bahasa perancis yang membedakan jenis kelamin
setiap benda. Namun, di dalam kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Jawa terdapat
1

diferensiasi gender secara sederhana seperti; penggunaan akhiran [-wan] untuk: (1) laki-laki
yang memiliki profesi tertentu seperti wartawan dan ilmuwan (2) laki-laki yang memiliki
sifat-sifat tertentu misalnya pada kata dermawan (3) laki-laki yang memiliki kepemilikan
tertentu seperti jtawan dan hartawan; penggunaan akhiran [-wati] untuk perempuan dengan
profesi tertentu seperti wartawati, seniwati, dan antariksawati, sehingga tidak bisa dipungkiri
bahwa dalam setiap bahasa ada pengaruh tertentu yang disebabkan oleh diferensiasi gender
Gender dalam bahasa bukan hanya muncul dalam kosakata melainkan juga dalam
penggunaan dan pembawaan bahasa seseorang. Menurut Goddart dan Patterson (2001:86) hal
pertama yang perlu dipelajari dalam gender dan bahasa adalah sejauh mana masyarakat
menanamkan konsep di dalam kebudayaan mengenai cara laki-laki dan perempuan bicara,
atau cara laki-laki dan perempuan seharusnya bicara. Karena bahasa adalah bentukan dari
kebiasaan, ide tentang bahasa sah bagi laki-laki dan perempuan sering ditemukan ekspresi
kebahasaan yang dibentuk dalam buku etiket atau buku mengenai norma. Buku mengenai
etiket selalu menjelaskan lebih tentang bagaimana perilaku perempuan, sedangkan perilaku
laki-laki sering sudah menjadi norma dan tidak diperlukan tanggapan dan perhatian tertentu.
Menurut Stockwell (2008: 20) dalam prakteknya bahasa itu sexist atau berdasarkan jenis
kelamin dan komunitas sering menggunakan cara berbahasa berdasarkan jenis kelamin
daripada menyebut bahasa dikontrol oleh laki-laki. Kita bisa menggunakan istilah genderlect
untuk merujuk pada perbedaan pilihan leksikal dan gramatikal yang secara khusus diproduksi
oleh perempuan dan laki-laki.
Permasalahan mengenai gender sering muncul pada kebudayaan yang menganut
sistem patriarki, dalam sistem tersebut laki-laki diposisikan derajatnya lebih tinggi daripada
posisi perempuan dalam bidang apapun. Budaya Jawa menganut sistem patriarki karena
secara stereotype selalu memposisikan laki-laki sebagai pemimpin dan posisi perempuan
selalu diidentikkan dengan masalah rumah, contohnya muncul istilah dalam bahasa Jawa
2

bahwa peran perempuan selama hidup adalah masak yang artinya memasak, macak yang
artinya berdandan, dan manak yang artinya melahirkan. Pada zaman modern tiga kewajiban
perempuan tersebut mulai diabaikan karena banyak perempuan yang berakhir sebagai kepala
rumah tangga dan bekerja misalnya berdagang.
Pasar Baru Kota Gresik atau biasa disebut oleh masyarakat sebagai Pasar Kulon -karena letaknya di sebelah Barat-- merupakan pasar tradisional paling tua di kota Gresik.
Pedagang di Pasar Baru Gresik sebagian besar didominasi oleh perempuan daripada laki-laki
dan sebagian besar pedagang terdiri dari etnis Jawa dan Madura. Dalam interaksi jual beli
yang digunakan antara pedagang dan pedagang, antara pedagang dan pembeli, dan antara
pedagang dan sales sebagian besar dilakukan dalam bahasa Jawa dialek Gresik, bahasa
Madura, dan sedikit Bahasa Indonesia. Dari hasil pengamatan ditemukan bahwa bahasa yang
digunakan oleh pedagang perempuan dan laki-laki, pembeli perempuan dan laki-laki, dan
sales perempuan dan laki-laki memiliki pola-pola tertentu dan akan menarik untuk dikaji
relasinya dengan konsep bahasa dan gender dari teori etnolinguistiks. Oleh karena itu penulis
membuat makalah ini dengan judul Relasi Gender dan Bahasa dalam Interaksi Jual Beli
Pedagang Etnis Jawa di Pasar Baru Gresik: Kajian Etnolinguistik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dirumuskan
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah relasi gender perempuan dan bahasa dalam interaksi jual beli
pedagang etnis Jawa di Pasar Baru Gresik?

2. Bagaimanakah relasi gender laki-laki dan bahasa dalam interaksi jual beli pedagang
etnis Jawa di Pasar Baru Gresik?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya dapat ditentukan
tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui relasi gender perempuan dan bahasa dalam interaksi jual beli pedagang
etnis Jawa di Pasar Baru Gresik.
2. Mengetahui relasi gender laki-laki dan bahasa dalam interaksi jual beli pedagang etnis
Jawa di Pasar Baru Gresik.

BAB II
PEMBAHASAN

Kebudayaan Jawa telah menanamkan pola pikir yang kuat bahwasannya perempuan
berkedudukan lebih rendah ketimbang laki-laki, perempuan dianggap sebagai kaum yang
lemah dan tersisih sehingga sebagian besar keberadaannya tidak dianggap penting karena
menurut tradisi kebudayaan Jawa tugas perempuan hanya masak yang artinya memasak,
macak yang artinya berdandan, dan manak yang artinya melahirkan. Penggunaan bahasa
ditata sedemikian rupa oleh budaya, sehingga menimbulkan perbedaan yang sangat menonjol
antara bahasa laki-laki dan perempuan khususnya dalam aspek berbahasa yang dapat
dipandang dari segi sosial, agama, dan pola pikir.
Perbedaan berbahasa juga dapat dilihat dari faktor-faktor di luar aspek berbahasa
antara kaum perempuan dan laki-laki, meliputi gerak anggota badan dan ekspresi wajah,
suara dan intonasi, teori tabu, dan sikap sosial dan kejantanan. Dalam hal ekspresi wajah,
perempuan lebih memainkan mata dan bibirnya ketika bertutur dibandingkan laki-laki. Suara
dan intonasi pada perempuan dan laki-laki sangat berbeda, volume suara laki-laki lebih besar
daripada perempuan. Pada umumnya dalam tradisi kebudayaan Jawa, perempuan bersuara
lembut karena bila perempuan bersuara keras dipandang tidak memiliki sopan santun,
sedangkan laki-laki harus bersuara tegas dan lantang sehingga laki-laki yang bersuara lembut
dianggap kurang lanang atau kurang jantan.
Gresik merupakan salah satu kota pesisir yang menganut budaya arek, sehingga
konsep bahasa yang digunakan lebih kasar dan kurang memperhatikan tingkatan berbahasa
misalnya lebih menggunakan bahasa Jawa ngoko daripada bahasa Jawa krama. Penduduk

Gresik sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan nelayan, biasanya profesi tersebut
diturunkan secara turun temurun sehingga banyak ditemukan toko yang menuliskan silsilah
keluarganya misalnya toko nasi krawu khas Gresik yang berada di depan Pasar Baru Gresik
bertuliskan Nasi Krawu Bu Hj. Syifa anak dari Bu Hj. Tiban.
Pasar Baru Gresik terletak di Jalan Gubernur Suryo. Aktivitas perdagangan di pasar
baru Gresik berjalan 24 jam dalam sehari, untuk jam 7 malam hingga jam 5 pagi pedagang di
dominasi oleh pedagang sayur, mulai jam 12 malam bagian pasar sebelah barat dan utara
Pasar Baru Gresik ramai hingga jam 11 siang sehingga banyak pedagang di kompleks
tersebut yang buka dari pukul 02.00-11.00, sedangkan bagian Pasar Baru Gresik sebelah
timur dan selatan ramai mulai jam 5 pagi hingga jam 6 sore sehingga banyak pedagang yang
membuka tokonya pukul 05.00-18.30. Pedagang di Pasar Baru Gresik sebagian besar terdiri
dari perempuan, jumlah laki-laki yang berdagang relatif sedikit dan biasanya pedagang lakilaki hanya bertugas menggantikan istrinya untuk beristirahat dan bertugas mengangkat
barang-barang berat.
Bahasa yang digunakan oleh pedagang sebagian besar bahasa Jawa dialek Gresik,
perbedaan bahasa Jawa dialek Gresik daripada bahasa Jawa dialek Surabaya muncul dari
kosakatanya walaupun tingkatan bahasa Jawa yang digunakan sama yaitu bahasa Jawa ngoko.
Kosakata bahasa Jawa dialek Gresik yang sering ditemukan antara lain kata seru yang
terletak di belakang kata sifat yang berarti sangat, misalnya kata gede seru yang artinya
sangat besar, kata lesu yang artinya lapar, parek artinya dekat, ancen atau pancen yang
artinya memang, anyang-anyangen yang artinya menahan karena ingin buang air kecil,
glegeen yang artinya bersendawa, mokong yang artinya keras kepala tidak mau menurut atau
nakal, bupungan artinya bersama-sama, katuen yang artinya kedinginan, merman yang
artinya kerja sebagai kuli entah kuli bangunan atau kuli petani, ongkep yang artinya panas
atau gerah, batah atau babah atau karep yang artinya terserah atau biarkan, pecicilan artinya
6

bercanda, caos artinya saus tomat, wesoh yang artinya cuci tangan ataupun cuci kaki, ancerancer artinya patokan, sentolop yang artinya senter, dan lain-lain.

2.1 Relasi Gender Perempuan dan Bahasa dalam Interaksi Jual Beli Pedagang
Perempuan menurut Graddo dan Joan (2003) cenderung menggunakan nada yang
tinggi saat berbicara, khususnya berbicara kepada anak-anak dan mereka cenderung meniru
suara anak-anak dalam berkomunikasi, mereka lebih emosional daripada laki-laki dalam
berkomunikasi. Menurut Stockwell (2008: 20) bahasa perempuan berciri khas memiliki
elemen yang kurang, kurang dihormati, dan kurang dalam hal semantik dan konten logika.
Menurut Deborah dkk dalam Stockwell (2008: 20-21) tujuan laki-laki berkomunikasi
adalah mencari dan mengumpulkan informasi, sedangkan perempuan dalam berkomunikasi
bertujuan sebagai mekanisme pendukung. Laki-laki dalam percakapan sering mendominasi
waktu dan memanfaatkan waktu, sedangkan perempuan sering mendukung dan menjawab,
lak-laki menjelaskan kepada perempuan, dan perempuan bertanya dan menjawab singkat,
laki-laki menganggap tekanan dalam percakapan adalah normal, sedangkan perempuan
menganggap tekanan sebagai tindakan agresif dalam percakapan.
Menurut Santoso (2009: 59) penelitian Hamidah dan Adi mengungkapkan bahwa saat
membuka percakapan perempuan cenderung mengungkapkannya dengan (1) mengawali
dengan apologis (2) mengungkapkan inti pembicaraan (3) mengungkapkan rincian agenda (4)
mengulang pembicaraan sebelumnya (5) mengungkapkan maksud percakapan (6)
mengungkapkan definisi untuk acuan (7) mengungkapkan substansi masalah (8)
mengungkapkan simpulan. Menurut Lakoff (1970) dalam Eckert dan Ginet (2006:158),
dalam berbahasa perempuan sering melakukan hal-hal sebagai berikut:

1.

Menambahkan pertanyaan pada setiap pernyataan sebagai wujud dari


ketidakyakinan atau meminta kepastian.

2.

Menaikkan intonasi dalam setiap kalimat pernyataan sehingga intonasinya


mirip dengan kalimat tanya.

3.

Menggunakan berbagai jenis batasan/ memberi label pada kalimat yang


diucapkan.

4.

Melebih-lebihkan apa yang diucapkan.

5.

Menggunakan pernyataan tidak langsung saat menolak sesuatu dan saat


menginginkan sesuatu.

6.

Menggunakan pilihan kalimat yang merendahkan posisi dirinya.

7.

Menghindari bahasa-bahasa vulgar atau ekspresi bahasa yang dianggap tabu,


misalnya saat ingin kencing, ia berkata ingin ke kamar mandi untuk
menghindari penggunaan bahasa yang vulgar.

8.

Selalu menggunakan bahasa yang sopan kepada orang yang dihormati dalam
tradisinya.

Berikut contoh kasus bahasa perempuan yang ditemukan dalam interaksi pedagang
dan pembeli di Pasar Baru Gresik:
Kasus 1
Percakapan terjadi antara pedagang laki-laki (Plk) bernama Bihan, etnis Jawa berusia
sekitar 30 tahunan yang menjual plastik di blok F (sebelah barat pasar), dan pembeli
perempuan (Bpr) berusia sekitar 40 tahunan.

Plk
Bpr

Plk
Bpr

Plk

Bpr

Plk

Bpr

Plk
Bpr
Plk
Bpr

: tuku opo sampeyan?


anda beli apa?
: aku ndelek plastik es cap bola sak kilo, kresek ireng tanggung sak gendel,
ambek keono masakone sak pak ae gak akeh-akeh.
aku mencari plastik untuk es cap bola satu kilo, kresek hitam ukuran sedang
satu ikat, dan beri masako satu pak saja jangan terlalu banyak
: plastik es-e mundhak lo buk, saiki regane dadi sepolo ewu.
plastik harganya naik loh bu, sekarang jadi sepuluh ribu
: walah ndang lapo ngono iku mundhake uakeh sueru, rugi aku laan. Nek
awakmu njupuk bati gak usah akeh-akeh ta Kaan-Kan.
aduh kenapa begitu mahal sekali naiknya, aku bisa rugi. Kalau kamu
mengambil untung jangan terlalu banyak dong Kaan-kan
: lha wong kulaane mundak sisan ndang buk yakopo maneh, tak adol murah
engkok tonggo liyo seng dodol barang podo lak komplen kabeh.
lha bagaimana lagi, belinya mahal, kalau aku jual murah nanti tetangga yang
menjual barang yang sama protes
: yawes karepmu Kan, ndang itungen. Awakmu iki engkok lak tutup jam
suwelas koyok biasae yo. Maringene aku tak kulak rokok sek terus kulak
iwak. Awakmu engkok lak tutup paling suwe bedug kan? Aku tak titip barang
sek, engkok tak jupuk.
ya terserah kamu Kan, segera hitung. Kamu setelah ini nanti tutup jam
sebelas seperti biasa ya. Setelah ini aku ingin beli rokok sama lauk. Kamu
nanti tutu paling lama dhuhur kan? Aku titip barang, nanti aku ambil
: iki dino Jumat ndang, aku budal jumatan paling tutup maringene, tak titipno
tonggo ngarep ae yo, wonge wedok kabeh
ini hari Jumat, aku berangkat sholat jumat mungkin habis ini tutupnya, saya
titipkan tetangga depan saja ya, orangnya perempuan semua
: halah wes sembarang, iki aku tak nang ponten sek, engkok tak mrene maneh.
Piro totale?
iya terserah lah, ini saya pergi ke toilet dulu, nanti saya ke sini lagi. Berapa
totalnya?
: satus loro
seratus dua
: wes iki duite, aku susukono sek cepetan.
sudah ini uangnya, aku kamu beri kembalian dahulu cepat
: ngge, iki susuke dadi telungewu, suwun.
iya, ini kembalinya tiga ribu, terima kasih
: iyo podho-podho.
iya sama-sama

Pada percakapan di atas ditemukan bahwa pembeli perempuan menggunakan pilihan


bahasa yang berlebihan seperti walah ndang lapo ngono iku mundhake uakeh sueru yang
seharusnya cukup diucapkan lapo ngono mundhake akeh seru. Pembeli perempuan juga
menggunakan urutan memulai percakapan dengan (1) inti pembicaraan, yaitu pada dialog
yawes karepmu Kan, ndang itungen (2) rincian agenda, pada dialog awakmu iki engkok lak

tutup jam suwelas koyok biasae yo. Maringene aku tak kulak rokok sek terus kulak iwak (3)
mengulang pembicaraan sebelumnya, pada dialog Awakmu engkok lak tutup paling suwe
bedug kan? (4) mengungkapkan maksud, pada dialog Aku tak titip barang sek, engkok tak
jupuk.
Pembeli perempuan menggunakan kalimat yang bertele-tele saat ingin menitipkan
barang dengan dialog
Awakmu iki engkok lak tutup jam suwelas koyok biasae yo. Maringene aku tak kulak
rokok sek terus kulak iwak. Awakmu engkok lak tutup paling suwe bedug kan? Aku
tak titip barang sek, engkok tak jupuk
Padahal dia dapat mengekspresikannya secara langsung dengan kalimat aku tak titip barang,
engkok tak jupuk mrene aku titip barang, nanti saya ambil ke sini. Pembeli perempuan juga
cenderung menggunakan istilah aku kape nang ponten aku ingin ke toilet daripada istilah
vulgar seperti aku pingin nguyuh aku ingin kencing. Pembeli menggunakan kalimat tanya
saat ia tidak bertanya seperti pada dialog
Awakmu iki engkok lak tutup jam suwelas koyok biasae yo.
Pembeli sebenarnya tahu jadwal pedagang tempat ia beli menutup toko, karena ia kurang
yakin dan ingin memastikan lagi ia menambahkan kata yo pada belakang kalimat. Selain itu
pembeli cenderung menggunakan intonasi bernada tinggi dia akhir kalimat pernyataannya
walaupun bukan kalimat tanya.

Kasus 2
Dialog antara pedagang perempuan 1 (Ppr 1) penjual snack etnis Jawa berusia 17
tahun bernama Diyah, pedagang perempuan 2 (Ppr 2) etnis Jawa saudara perempuan Ppr 1
berusia 21 tahun bernama Ela, dan pembeli perempuan (Bpr) berusia sekitar 40 tahun.
Ppr 1 : tumbas nopo buk?
10

Bpr
Ppr 2
Bpr

Ppr 2
Bpr

Ppr 2

Bpr

Ppr 1

beli apa bu?


: onok sosise mbak? Seng sapi.
ada sosisnya mbak? Yang rasa sapi
: telas buk, sosise kosong. Lintune nopo?
habis buk, lainnya apa?
: yawes aku tuku susu milkimoo coklat cilik rong puluh ambek beng-beng
loro. Piro regane susu saiki?
yasudah saya beli susu milkimoo coklat kecil dua puluh dan beng-beng dua,
berapa harganya susu sekarang?
: sewu telungatusan buk seng beng-beng e pitulikur limangatus
seribu tiga ratus bu, kalau beng-bengnya dua puluh tujuh ribu
: batine titik susune gak isok ngedol sewu laan ngecere. Aku tuku beng-benge
loro tok ae, dadine skeet limo kan?
untungnya sedikit untuk susu aku tidak bisa jual satuan seribu. Aku beli
beng-beng dua saja harganya lima puluh lima ribu kan?
: engge buk, ambek kurangane sampeyan wingi rong puluh ewu durung, dadi
total pitu limo ewu
iya bu, tambah hutang anda kemarin dua puluh ribu jadi total tujuh puluh
lima ribu
: iki duite satus, aku susukono papat limo. Soale duite kari iki tok gae ngelen
ambek tuku sayur.
ini uangnya lima puluh, berikan kembalianku empat lima. Karena uangnya
tinggal ini untuk naik angkutan umum dan beli sayur
: utange berarti durung ngge buk, iki susuke.
utangnya berarti belum ya buk, ini kembaliannya

Dari dialog di atas pembeli menggunakan bahasa yang bertele-tele kepada pedagang,
berikut dialog yang dimaksud:
(1) batine titik susune gak isok ngedol sewu laan ngecere. Aku tuku beng-benge
loro tok ae, dadine skeet limo kan?
(2) iki duite satus, aku susukono papat limo. Soale duite kari iki tok gae ngelen
ambek tuku sayur.
Dialog (1) diucapkan pembeli dengan tujuan untuk menolak membeli susu karena harganya
mahal, pembeli tidak langsung berkata ia tidak mau beli tetapi justru mengungkapkan
kelemahan produk susu dan bagaimana ia menjual satuannya nanti. Dialog (2) diucapkan
pembeli untuk menolak membayar hutang kepada pedagang dengan menjelaskan alasan,
bukan secara langsung menolak membayar. Pedagang satu menggunakan kalimat pernyataan
yang meninggi intonasinya di akhir pada dialog utange berarti durung ngge buk, iki susuke
untuk mengingatkan kembali pembeli agar membayar di lain hari dan menyindir pembeli
secara tidak langsung.
11

Kasus 3
Percakapan antara pedagang perempuan (Ppr) penjual sayur dan bahan pokok dan
pedagang laki-laki 1 (Plk) suaminya.
Ppr

Plk

Ppr

: mas aku talino iki poo aku gak isok antep iki kerduse yo kudu jebol.
Awakmu lak kuat ngangkate lha aku gaiso koyoe abot seru.
mas aku tolong ikatkan ini, aku gak bisa ini berat sepertinya kardusnya mau
rusak, kamu pasti bisa mengangkatnya aku gak bisa sepertinya berat sekali
: awakmu isoe opo, nek gak onok aku lak penggaweanmu nang toko mek
lungguh tok. Maringene lak aku seng ngeterno nang parkiran nang montore
wonge. Pijitono yo aku maringene, awakku remek seru. (tertawa)
Kamu bisanya apa, kalau tidak ada aku pekerjaanmu pasti di toko dudukduduk saja. Habis ini pasti aku yang mengantar ke parkiran ke mobil
orangnya. Aku nanti pijit ya, badanku pegal semua
: iyo, wes ndang candhaen.
iya, ayo dikerjakan cepat

Pedagang perempuan menggunakan pilihan kalimat yang merendahkan dirinya seperti pada
dialog mas aku talino iki poo aku gak isok antep iki kerduse yo kudu jebol. Awakmu lak kuat
ngangkate lha aku gaiso koyoe abot seru. Pedagang perempuan menggunakan intonasi suara
seperti anak-anak saat mengucapkan kalimat mas aku talino iki poo untuk mencari perhatian
suaminya.

2.2 Relasi Gender Laki-Laki dan Bahasa dalam Interaksi Jual Beli Pedagang
Menurut Eckert dan Ginet (2006:46) karena menurut budaya patriarki secara rasional
laki-laki selalu berada dalam posisi yang dominan dari perempuan, mereka cenderung
menggunakan pilihan kata yang merendahkan perempuan, walaupun hal itu dilakukan secara
tidak sadar. laki-laki menggunakan nada yang rendah saat berbicara dan menggunakan
bahasa yang to the point kepada lawan bicaranya. Menurut Santoso (2009: 59) saat membuka
percakapan laki-laki cenderung mengungkapkannya dengan (1) mengawali dengan apologis
(2) mengulang pembicaraan sebelumnya (3) menghendaki kondisi yang diinginkan (4)
12

menjelaskan latar belakang (5) mengungkapkan inti pembicaraan (6) mengungkapkan topik
selanjutnya (7) mengungkapkan hal yang belum dibahas (8) memaparkan rincian percakapan
selanjutnya. Menurut Deborah dkk dalam Stockwell (2008: 20-21) tujuan laki-laki
berkomunikasi adalah mencari dan mengumpulkan informasi, laki-laki dalam percakapan
sering mendominasi waktu dan memanfaatkan waktu, laki-laki menjelaskan kepada
perempuan, laki-laki menganggap tekanan dalam percakapan adalah normal.
Berikut contoh kasus bahasa laki-laki yang ditemukan dalam interaksi pedagang dan
pembeli di Pasar Baru Gresik:

Kasus 1
Percakapan terjadi antara pedagang laki-laki (Plk) bernama Bihan, etnis Jawa berusia
sekitar 30 tahunan yang menjual plastik di blok F (sebelah barat pasar), dan pembeli
perempuan (Bpr) berusia sekitar 40 tahunan.
Plk
Bpr

Plk
Bpr

Plk

Bpr

: tuku opo sampeyan?


anda beli apa?
: aku ndelek plastik es cap bola sak kilo, kresek ireng tanggung sak gendel,
ambek keono masakone sak pak ae gak akeh-akeh.
aku mencari plastik untuk es cap bola satu kilo, kresek hitam ukuran sedang
satu ikat, dan beri masako satu pak saja jangan terlalu banyak
: plastik es-e mundhak lo buk, saiki regane dadi sepolo ewu.
plastik harganya naik loh bu, sekarang jadi sepuluh ribu
: walah ndang lapo ngono iku mundhake uakeh sueru, rugi aku laan. Nek
awakmu njupuk bati gak usah akeh-akeh ta Kaan-Kan.
aduh kenapa begitu mahal sekali naiknya, aku bisa rugi. Kalau kamu
mengambil untung jangan terlalu banyak dong Kaan-kan
: lha wong kulaane mundak sisan ndang buk yakopo maneh, tak adol murah
engkok tonggo liyo seng dodol barang podo lak komplen kabeh.
lha bagaimana lagi, belinya mahal, kalau aku jual murah nanti tetangga yang
menjual barang yang sama protes
: yawes karepmu Kan, ndang itungen. Awakmu iki engkok lak tutup jam
suwelas koyok biasae yo. Maringene aku tak kulak rokok sek terus kulak
iwak. Awakmu engkok lak tutup paling suwe bedug kan? Aku tak titip barang
sek, engkok tak jupuk.
13

Plk

Bpr

Plk
Bpr
Plk
Bpr

ya terserah kamu Kan, segera hitung. Kamu setelah ini nanti tutup jam
sebelas seperti biasa ya. Setelah ini aku ingin beli rokok sama lauk. Kamu
nanti tutu paling lama dhuhur kan? Aku titip barang, nanti aku ambil
: iki dino Jumat ndang, aku budal jumatan paling tutup maringene, tak titipno
tonggo ngarep ae yo, wonge wedok kabeh
ini hari Jumat, aku berangkat sholat jumat mungkin habis ini tutupnya, saya
titipkan tetangga depan saja ya, orangnya perempuan semua
: halah wes sembarang, iki aku tak nang ponten sek, engkok tak mrene maneh.
Piro totale?
iya terserah lah, ini saya pergi ke toilet dulu, nanti saya ke sini lagi. Berapa
totalnya?
: satus loro
seratus dua
: wes iki duite, aku susukono sek cepetan.
sudah ini uangnya, aku kamu beri kembalian dahulu cepat
: ngge, iki susuke dadi telungewu, suwun.
iya, ini kembalinya tiga ribu, terima kasih
: iyo podho-podho.
iya sama-sama

Pada dialog di atas Pedagang laki-laki sering menjelaskan sesuatu kepada pembeli
permpuan dengan dialog sebagai berikut.
(1) plastik es-e mundhak lo buk, saiki regane dadi sepolo ewu.
(2) lha wong kulaane mundak sisan ndang buk yakopo maneh, tak adol murah
engkok tonggo liyo seng dodol barang podo lak komplen kabeh.
(3) iki dino Jumat ndang, aku budal jumatan paling tutup maringene, tak titipno
tonggo ngarep ae yo, wonge wedok kabeh
Pedagang laki-laki juga menghendaki kondisi yang diinginkan dan cenderung mendominasi
untuk mengatur waktu percakapan. Pedagang laki-laki cenderung menjawab pertanyaan dari
pembeli perempuan dengan to the point seperti ketika ditanya harga ia langsung menjawab
harga totalnya, sedangkan pembeli perempuan saat memberikan uang bertele-tele atau
berbasa-basi dahulu. Ia memberikan simpulan dari setiap tuntutan pembeli perempuan dan
memberikan solusi agar waktu untuk berdialog cepat selesai karena ia akan tutup untuk sholat
jumat, hal ini muncul pada dialog
iki dino Jumat ndang, aku budal jumatan paling tutup maringene, tak titipno
tonggo ngarep ae yo, wonge wedok kabeh
14

Kasus 2

Percakapan antara pedagang perempuan (Ppr) penjual sayur dan bahan pokok dan
pedagang laki-laki 1 (Plk) suaminya.
Ppr

Plk

Ppr

: mas aku talino iki poo aku gak isok antep iki kerduse yo kudu jebol.
Awakmu lak kuat ngangkate lha aku gaiso koyoe abot seru.
mas aku tolong ikatkan ini, aku gak bisa ini berat sepertinya kardusnya mau
rusak, kamu pasti bisa mengangkatnya aku gak bisa sepertinya berat sekali
: awakmu isoe opo, nek gak onok aku lak penggaweanmu nang toko mek
lungguh tok. Maringene lak aku seng ngeterno nang parkiran nang montore
wonge. Pijitono yo aku maringene, awakku remek seru. (tertawa)
Kamu bisanya apa, kalau tidak ada aku pekerjaanmu pasti di toko dudukduduk saja. Habis ini pasti aku yang mengantar ke parkiran ke mobil
orangnya. Aku nanti pijit ya, badanku pegal semua
: iyo, wes ndang candhaen.
iya, ayo dikerjakan cepat

Pedagang laki-laki dalam dialog di atas menggunakan pilihan kalimat yang secara tidak
sengaja merendahkan posisi perempuan, hal ini muncul pada dialog
awakmu isoe opo, nek gak onok aku lak penggaweanmu nang toko mek
lungguh tok. Maringene lak aku seng ngeterno nang parkiran nang montore wonge.
Pijitono yo aku maringene, awakku remek seru. (tertawa)
pedagang laki-laki disadari atau tidak telah merendahkan posisi istrinya dengan berkata
bahwa istrinya tidak akan bisa melakukan apapun tanpa bantuannya dan hanya menganngur
di toko saja, walaupun maksud pedagang laki-laki tersebut sebenarnya hanya menggoda
istrinya saja dan mencari alasan agar dipijit istrinya.

15

BAB III
SIMPULAN

Di Pasar Baru Gresik bahasa perempuan yang ditemukan antara lain (1) perempuan
menggunakan nada tinggi dalam kalimat pernyataan (2) perempuan menggunakan bahasa
yang berlebihan (3) perempuan menggunakan pilihan kata yang merendahkan dirinya (4)
perempuan menggunakan bahasa yang bertele-tele (5) perempuan menggunakan bahasa yang
sopan (6) perempuan cenderung bertanya. Bahasa laki-laki yang ditemukan di interaksi
pedagang Pasar Baru Gresik yaitu to the point, selalu mengontrol waktu percakapan, selalu
memberikan solusi dan menerangkan kepada perempuan, dan tidak sengaja menggunakan
pilihan kata yang merendahkan perempuan.
Relasi gender dan bahasa memiliki hubungan timbal balik satu sama lain. Adanya
pemisahan gender laki-laki dan perempuan secara budaya menyebabkan cara berperilaku dan
cara berkomunikasi dibedakan antara keduanya karena pemisahan itulah penggunaan ekspresi
bahasa yang berbeda memberikan label apakah seseorang termasuk feminin atau maskulin.
Namun cara pandang bahwa istilah feminin untuk menggambarkan perempuan dan maskulin
untuk menggambarkan laki-laki masih sulit dipisahkan dari pola pikir masyarakat sehingga
istilah laki-laki dan perempuan sebagai jenis kelamin digunakan sebagai istilah untuk
menggambarkan gender.

16

DAFTAR PUSTAKA

Eckert, Penelope dan Sally McConnell Ginet. 2006. Language and gender. United kingdom:
Cambridge University Press.

Goddart, Angela dan Lindsey M.P. 2001. Language and Gender. London: Routledge.

Graddo, David dan Swann Joan. 2003. Gender Voices Telaah Kritis Relasi Bahasa dan
Jender. Pasuruan: Pedati.

Hikmah, dkk. 2008. Gender dalam Rumah Tangga Masyarakat Nelayan. Jakarta: Balai Besar
Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.

Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta:
Bumi Aksara.

Stockwell, Peter. 2007. Sociolinguistics a Resource Book For Students. London: Routledge.

iii

Anda mungkin juga menyukai