Anda di halaman 1dari 5

Dusun Mendongan, Desa Bandung, Playen, Gunung Kidul.

Time
: 9 Desember 2006, 8.30 a.m. 1.30p.m.
Place
: Di dapur rumah Ibu Sri Rubiyanti, Dusun Mendongan
Informant: Ibu Sri Rubiyanti, Ibu Parni dan Ibu Asti
Subject
: Pembuatan makanan kecil dan mekanisme kerja.
Weather: Panas, kering, musim hujan 2006.
Kegiatan pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja yang dilakukan oleh
ibu-ibu wirausaha di Desa Mendongan. Bagaimana mereka menyiasati pekerjaan-pekerjaan
rumah diantara pekerjaan-pekerjaan ekonomi yang dijalankan untuk menambah penghasilan
keluarga, ditambah lagi kadang-kadang mereka harus ikut pameran guna memperluas
pemasaran. Hari ini saya akan mengamati seorang ibu wirausaha di Desa Mendongan, yaitu
Ibu Sri Rubiyanti.
Pembuatan makanan kecil dan mekanisme kerja
Selesai sarapan pagi dan membereskan fieldnotes, saya berangkat ke rumah Ibu Sri Rubiyanti
melalui jalan kecil di depan rumah Ibu Ismini. Saat saya tiba di rumah Ibu Sri, Ibu Sri sedang
bercakap-cakap dengan dua orang laki-laki sambil memeriksa buku. Saya lalu langsung masuk
menuju dapur. Di situ sudah ada Ibu Parni sedang menggoreng rempeyek sambil mengobrol
keras-keras dengan Ibu Asti yang sedang mengerjakan sesuatu di belakang rumah. Sambil
menyapa saya mendekati Ibu Parni. Saya memperhatikan kalau Ibu Parni mengenakan tutup
kepala yang dibentuk segitiga dan diikatkan di bagian belakang bawah kepalanya serta
secarik kain yang berfungsi sebagai celemk di atas rok yang digunakannya. Ibu Parni
menjelaskan kalau dua orang tamu itu adalah PPL yang memeriksa keuangan kelompok (KPK).
Sambil mengobrol saya mengambil foto proses pembuatan rempeyek berbentuk bundar. Ibu
Parni menjelaskan mengenai proses pembuatan rempeyek itu.
Untuk bikin pyk seperti ini dipak satu kilo tepung ditambah tiga kilo kacang. Habis ini (dicetak
berbentuk lingkaran, Pen.) digoreng lagi. Ini kan belum mateng. Biar cepet, soalnya ini kan
cetakannya cuma enem. Nanti pak penggorengan yang ini kan bisa paling cuma tiga kali goreng
[sambil menunjuk ke penggorengan yang lebih besar yang terletak di sebelah kanannya].

Sambil mengambil foto dan mendengarkan penjelasannya sambil melihat-lihat kondisi dapur.
Saya tertarik melihat ada seperti daun diplintir sedang digantung di lemari dekat situ. Saya lalu
menanyakan kepada Ibu Parni, makanan apakah itu.
Itu untuk bikin belut daun singkong, Mbak. Daunnya direbus setengah mateng. Direbus terus
diperes dari atas ke bawah. Kalo kematengen gak bisa digulung gitu. Bumbunya sama dengan
pyk, dengan tepung beras cuma lebih kentel.

Ibu Asti kemudian masuk ke dapur dan langsung mengambil baskom, bawang putih, kemiri, dan
cabai serta penggilingan. Rupanya dia akan membuat bumbu lanting. Ibu Asti juga mengenakan
penutup kepala segitiga dan kain celemk. Saya lalu memotretnya bekerja. Lalu sambil
mengambil foto, saya berjalan ke arah ruangan lainnya dimana terletak sebuah amben besar
dipenuhi dengan bungkusan-bungkusan besar lanting kering, ceriping pisang, dll. Saya lalu

bertanya mengenai tumpukan lanting dan makanan lainnya yang ada di situ. Saya bertanya
apakah memang Ibu Sri selalu menyediakan stok makanan kering seperti itu. Ibu Asti yang
menjawab pertanyaan saya.
Nggak mesti, Mbak. Kalau musim hujan itu lanting nggak bagus. Kan kalo jemur lanting harus
setengah hari. Kalo hujan pas njemur suka ada item-item itu lho, jamur. Kalo lanting kan nggak
boleh dijemur sampe kering, harus agak-agak basah. 80 persen kering katanya. Kalo disimpen
lama itu jadi jamur. Jelk.

Saya lalu menanyakan mengenai perbedaan bekerja di musim hujan dan musim kemarau.
Kalo musim hujan itu nggak banyak kerja. Soalnya kan hujan. Makanan nggak bisa dikerjain
(karena tidak ada matahari, Pen.). Jadi paling kerjanya dua hari ato tiga hari aja paling banyak.
Kalo musim kemarau,brentinya pas... (enam hari kerja dalam seminggu, Pen.). Musim kemarau
itu banyakan kerjanya daripada liburnya.

Ketika sedang mengobrol, tiba-tiba Ibu Sri masuk ke dapur. Rupanya kedua tamunya sudah
pulang. Dia minta maaf karena tidak menemani saya dari awal. Sambil berbicara, Ibu Sri
bersiap-siap untuk bekerja. Dia menggulung lengan bajunya lalu mengambil kain segitiga dan
diikat di kepalanya dan kemudian mengambil secarik kain yang lalu dipasangnya
melingkari pinggangnya, seperti memakai celemk. "Wah, seperti seragam saja", pikir saya.
Ketika sudah selesai memakai 'seragam' kerjanya tiba-tiba Hpnya berbunyi. Dia berbicara
sebentar di telepon lalu menutupnya. Dia bilang bahwa telepon itu dari ibu lurah yang minta
ditemani untuk pergi. Ibu Sri sambil melepaskan seragam kerjanya bercerita kalau dia memiliki
hubungan saudara dengan Pak Lurah. Ketika sedang bercerita, Ibu Wono, ibunya Pak Pur,
datang. Setelah bertegur sapa dengan saya dan yang lainnya dia lalu mengambil tampah dan
sekarung kecil bawang putih dan membawanya ke ruang proses makanan di luar. Dia mengupas
bawang putih utuk bumbu makanan kecil olahan di atas amben di ruang itu. Setelah itu Ibu Sri
pamit untuk mengantar ibu lurah.
Setelah Ibu Sri berangkat, saya kembali mendekati mengamati Ibu Parni yang sekarang sedang
menggoreng rempeyek setengah matang tadi di penggorengan yang lebih besar. Dia menawari
saya untuk mencicipi rempeyek. Saya ambil satu lalu menggigitnya. Enak, tepungnya renyah,
kacangnya banyak dan matangnya pas. Selesai satu rempeyek, saya mengambil lagi satu sambil
memuji rasa rempeyeknya. Saya lalu menanyakan apakah dia sudah lama bekerja dengan Ibu Sri.
Dia menjawab kalau yang paling lama bekerja bersama Ibu Sri adalah Ibu Rita.
Rita yang paling lama kerja di sini, Mbak. Sejak baru datang di sini (Mendongan, Pen.) dah kerja.
Dulu waktu baru bikin kripik aja. Marut, to, 500 rupiah dibayarnya untuk parutan singkong satu
baskom.
Kalo saya di sini baru tiga taun. Dulu saya kerja di ibunya Pak Lurah. Lama... terus kan suka ada
pembangunan gitu, tukangnya banyak, ada delapan. Berat, jadi saya minta keluar, gak kuat saya
kerja gitu. Terus saya pernah kerja di Ibu Ismini. Mmm... mungkin ada sekitar tiga minggu,
terus gak ada kerjaan to. Saya diminta bantu Ibu Sri, terus ditawari di sini aja. Ya sudah,
sampe sekarang.

Saat itu Ibu Asti sedang mencampur bumbu lanting yang tadi digilingnya dengan pati dan
parutan singkong yang sudah diprs. Saya lalu menanyakan apakah dia tahu jenis-jenis singkong
apa yang digunakan untuk membuat lanting. Dia menjawab tidak tahu. Saya mencoba
memancingnya lagi dengan menyebutkan beberapa jenis singkong yang pernah disebutkan Pak
Dukuh. Ibu Asti lalu seperti teringat lagi.
Yang sumatera sama ketan itu bagus untuk bikin keripik. Untuk keripik itu yang bagus yang
singkongnya halus, empuk, gede singkongnya. Kalo bikin anglng, pak yang gatotkoco, gak
mudah empuk, gak mudah hancur. Singkongnya diparut tipis, dijemur. Kalo dikeringin tawar
bisa samp satu taun. Bikinnya pas musim singkong, (harga singkong, Pen.) murah. Buat
belut daun singkong, yang dipak yang enak, yang trembesi.

Saya bertanya berapa banyak singkong yang dipakai kalau sedang banyak kerja. Ibu Asti
menjawab bahwa kalau semua bekerja, yaitu empat orang, dalam seminggu bisa mencapai satu
ton singkong. Ibu Sri datang. Sambil memakai seragamnya (kain segitiga di kepala dan secarik
kain melingkari bagian pinggang), dia berkata kalau sebaiknya mulai membuat makan siang. Ibu
Asti lalu segera menyelesaikan mengaduk bahan lanting, lalu meninggalkannya untuk mencuci
piring di belakang.
Ibu Sri berkata kalau sedang banyak pekerjaan seperti ini, sering pekerjaan rumah tangga
ketinggalan. Seperti yang terjadi hari ini. Pagi-pagi dia sudah merendam pakaian untuk dicuci
jam sembilan, tapi sampai sekarang (sekitar jam 11 siang) pakaian-pakaian itu masih terendam,
belum diapa-apakan. Dia kemudian mengambil pelat yang terbuat dari anyaman bambu yang
berisi anglng yang siap dijemur. Saya lalu membantunya membawa keluar dan menaruhnya di
tempat penjemuran di samping kanan rumah. Ada lima pelat seperti itu. Tiga pelat berisi anglng
gurih yang berwarna putih dan dua lagi anglng pedas yang berwarna kemerahan dan bertaburan
kulit dan biji cabai.
Ketika itu Ibu Parni sudah selesai menggoreng rempeyek bundar. Ibu Sri langsung mengambil
alih kompor dan penggorengan untuk menggoreng rempeyek yang berbentuk pipih karena ada
pesanan khusus dan akan diambil sore itu. Ibu Parni langsung mengambil bumbu-bumbu
(bawang putih, bawang merah, cabe) untuk makanan siang. Dia lalu mengupas bawang putih dan
bawang merah. Sebelum mulai membuat adonan untuk rempeyek, Ibu Sri menawarkan saya
untuk mencoba belut daun singkong. Dia kemudian mulai membuat adonan tepung cukup
banyak, lalu diambilnya satu ikatan daun singkong rebus yang sudah diplintir. Daun singkong itu
dicelup ke dalam adonan tepung lalu digoreng. Sama seperti pembuatan rempeyek bunder tadi,
belut daun singkong juga digoreng dua kali. Penggorengan pertama untuk sekedar tidak saling
menempel dan membentuk seperti belut. Penggorengan kedua dilakukan untuk mematangkan
dan membuat tepungnya menjadi renyah. Dia bekerja cukup cepat. Sekitar 10 menit, belut daun
singkong sudah jadi dan ditempatkannya di piring melamine lonjong berwarna oranye. Piring itu
lalu diberikan ke saya, Ini untuk nyicipi rasanya. Sambil membawa piring itu ke meja kecil di
samping kompor gas, saya mencicipi satu. Ternyata memang benar-benar enak dan renyah.
Apalagi kebetulan saya suka daun singkong. Dalam sekejap, dua lagi sudah masuk perut saya.
Sementara itu Ibu Sri sudah memasukkan kacang tanah ke dalam adonan tepung yang tadi
digunakan untuk membuat belut daun singkong dan mulai menggoreng rempeyek yang
berbentuk pipih.

Ibu Parni mulai memasukkan tahu yang sudah dibumbui ke penggorengan kecil dekat Ibu Sri
yang sedang menggoreng rempeyek, lalu meninggalkannya. Dia kemudian mulai memarut
kelapa untuk makan siang. Ibu Sri otomatis bertanggung jawab atas dua kompor/masakan itu.
Setelah menuang adonan rempeyek dan membentuknya di penggorengan, dia berpindah ke
penggorengan sebelahnya untuk membalik tahu. Ini menarik, pikir saya. Lalu saya mengambil
foto Ibu Sri yang sedang bekerja dengan beberapa penggorengan sekaligus. Sambil mengambil
foto, saya bilang ke Ibu Sri kalau foto ini akan saya tunjukkan ke teman seorang psikolog untuk
membuktikan bahwa perempuan bisa mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Ibu Sri setuju
dengan pendapat itu. Dia menambahkan kalau laki-laki itu tidak bisa bekerja seperti perempuan
seperti ini. Kalau sudah mengerjakan satu pekerjaan, lalu ditambahkan satu pekerjaan lagi, lakilaki pasti bingung dan pekerjaannya terbengkalai.
Sementara itu Ibu Asti yang sudah selesai mencuci piring, beras, dan memasukkan beras ke rice
cooker, mengambil cabai untuk dipotong-potong. Ibu Sri yang melihatnya memotong cabai
berkata kalau sebaiknya Ibu Asti mulai menggarap sal pisang yang kemarin dikerjakan oleh Ibu
Wono. Ibu Sri meninggalkan gorengannya lalu memberi contoh membuat potongan pisang
menjadi lingkarang-lingkaran seperti cincin. Mula-mula dia mengambil 3-4 potongan tunggal
pisang, lalu menggunakan penggilingan batu yang berbentuk silinder potongan pisang tadi
digiling menjadi gepeng. Setelah itu pisang yang gepeng tadi dibentuk seperti cincin pipih.
Setelah dua kali memberi contoh, Ibu Sri kembali ke penggorengan berisi rempeyek. Ibu Parni
saat itu sedang mengerjakan sayur daun singkong dan mulai membungkus parutan kelapa dengan
bumbu dan lamtoro untuk dibuat botok.
Tiba-tiba hujan turun. Ibu Sri langsung melompat meninggalkan gorengannya dan mengambil
jemuran anglng. Ibu Parni, Ibu Asti, dibantu Bayu juga berlari-lari menyelamatkan jemuran
anglng. Anglng-anglng tadi dibawa ke ruangan sebelah yang agak terbuka. Saya sendiri tidak
ikut membantu mengangkat karena dapur yang lega itu mendadak sempit dan penuh dengan
orang-orang yang berlari membawa-bawa pelat anglng. Bahkan sempat Bayu dan Ibu Parni
yang berlari membawa pelat anglng di atas kepala mereka bertabrakan dengan Ibu Sri sehingga
menyebabkan banyak anglng jatuh dari pelatnya.
Saya lalu memutuskan membantu Ibu Asti. Saat itu sudah sekitar jam 11.30 siang, adzan dzuhur
sudah terdengar. Sambil membuat cincin pisang, saya mulai menanyakan mengenai pembagian
kerja dan jam kerja di tempat ini.
Kita semua disini kerja sama-sama. Mana-mana aja, siapa yang bisa. Kalo yang satu ngerjain
kripik, yang lainnya ngerjain yang lain. Goreng-goreng... Yang pasti kalo bikin lanting, bapak
yang bagian giling-giling. Kan berat. Ngepres juga. Kan batunya berat. Tapi ya kalo bapak lagi
nggak ada, ya kita ram- ram. Gilingnya juga sama-sama.
Kalo lagi banyak kerjaan, ya bisa samp malem. Tapi biasanya dilembur, dibawa pulang kalo
nyambung lanting. Malem-malem juga biasanya Ibu Sri goreng-goreng. Atau bapaknya malemmalem giling (adonan singkong utuk lanting, Pen.).

Beberapa saat kemudian saya pamit pulang ke rumah Ibu Ismini untuk shalat dzuhur dan berjanji
akan kembali lagi sekitar jam setengah empat sore setelah shalat ashar.

Pengamatan mengenai dapur dan ruang kerja pengolahan makanan Ibu Sri
Kesan saya terhadap ruang dapur Ibu Sri cukup luas meskipun tidak sebesar dapur Ibu Ismini.
Terletak di belakang rumah, ruang dapurnya dibuat memanjang dengan lebar hanya sekitar 3m
panjangnya sekitar 10-12m. Lantainya plesteran semua sehingga berkesan bersih dan hanya
digunakan untuk memasak dan menyimpan bahan-bahan makanan dan hasil produksi makanan.
Hanya bagian samping sebelah kiri yang terdapat kompor kayu bakar saja yang berlantai tanah.
Di sisi sebelah kiri itu di sudut kiri terdapat dua kompor minyak tanah, di bagian tengah terletak
kompor kayu bakar dengan empat mata. Kelihatan keempatnya sering digunakan jika kita
melihat dari bekas-bekas kayu bakarnya yang tertinggal.
Di ruang bagian tengah dibagi dengan sekat gedk. Di bagian dalamnya terdapat rak setinggi
sekitar 160cm untuk menyimpan bumbu-bumbu dan keperluan masak lainnya serta meja kecil
setinggi 1m untuk mengolah masakan dan menaruh bahan-bahan makanan. Di bagian tengah
menempel di sekat diatas meja setinggi sekitar 1m terdapat kompor gas dua mata dengan tabung
gasnya di bawah meja. Sisa meja itu digunakan sebagai tempat untuk menaruh makanan yang
sudah matang dan siap disantap. Di seberang meja, persis di samping pintu masuk menuju dapur
terdapat lemari tinggi berisi peralatan masak dan bahan-bahan makanan untuk membuat
makanan kecil yang akan dijual, misalnya perasa makanan, pewarna makanan, baking soda dan
lainnya.
Di bagian sebelah kanan, tepat di samping pintu masuk ada satu meja pendek yang saat itu
sedang dipergunakan oleh Ibu Asti untuk menaruh pisang sal. Di sebelah kanannya lagi terletak
satu amben besar penuh berisi plastik-plastik besar berisi makanan yang siap kemas maupun
setengah siap, seperti misalnya lanting yang belum digoreng. Di atasnya di samping meja,
terletak lemari kecil tempat menyimpan plastik-plastik kemasan, dan perlengkapan lainnya untuk
mengemas makanan kecil kalau sudah selesai dibuat dan siap dijual. Di depan amben itu juga
terdapat bentangan tikar yang diatasnya diletakkan plastik-plastik besar berisi makanan kecil
juga.
Di bagian belakang, di dekat amben terdapat pintu menuju bagian paling belakang dari rumah.
Bagian itu merupakan tempat pengolahan makanan kecil juga, tapi biasanya hanya tempat untuk
mengupas singkong, pisang, bawang. Ruangan itu hanya mempunyai dinding di tiga sisi, sisi
satunya terbuka. Ada satu meja dan amben di sebelah kiri dan sebelah kanannya disekat pendek
digunakan untuk tempat makanan ayam dan gudang kecil untuk menyimpan barang-barang yang
tidak terpakai.

Anda mungkin juga menyukai