Anda di halaman 1dari 3

JUDUL: HARI-HARI YANG TELAH LUPA

KARYA: ANANG AKWA AGHNIA


Ana yakin, ibunya sudah lupa semua tentang yang terjadi ketika Ibu masih kecil seperti
Anang.

Hari itu hujan deras turun, petir sambar menyambar. Listrik mati di rumah Anang. Televisi,
komputer, mesin cuci tentu saja juga mati. Tablet Ibu juga habis batere sehingga Anang tidak
bisa meminjamnya untuk bermain game.

“Bu, apa yang harus kita lakukan? Semua mati,” keluh Anang.

“Kamu rapikan tempat tidur saja, mumpung hari masih terang,” kata Ibu.

Dengan agak malas, Anang melangkah ke kamarnya. Ia merapikan seprei tempat tidurnya.
Merapikan letak bantal kepala dan guling. Anang berusaha merapikan serapi mungkin,
karena ia memang tak punya kegiatan lainnya. Di saat baru akan merapikan buku-bukunya,
terdengar suara Ibu,

“Anang, ayo sini! Bantu Ibu kupas kacang!”

“Kupas kacang?” pikir Anang heran. “Kenapa Ibu tidak beli kacang yang sudah dikupas
saja?” pikir Anang heran.

Anang sering melihat butir-butir kacang mentah yang dijual di dalam plastik di supermarket.
Ia malah belum pernah melihat kacang mentah yang dijual dengan kulitnya di supermarket.
Kecuali kacang panggang asin, camilan di dalam bungkusnya.

Dulu Anang pernah melihat penjual kacang rebus di gerobak dorong. Namun akhir-akhir ini,
Anang tak pernah melihatnya.

“Mungkin kacang yang dijual dengan kulitnya susah laku. Orang orang pasti lebih suka
makan langsung, tanpa repot membuka kulit,” gumam Anang lagi sambil berjalan menuju
dapur.

Di dapur, tampak Ibu duduk di meja makan. Di depannya, ada wadah berisi kacang mentah
yang masih ada kulitnya. Dengan telaten, Ibu membuka cangkang kacang dan mengeluarkan
biji kacang.

“Ayo, sini! Ibu ajari cara membuka kulit kacang,” ajak Ibu.

Anang duduk di sebelah ibunya. Ia melihat tangan ibunya yang cekatan.

“Kacang yang masih segar ada di dalam cangkangnya,” kata Ibu. Lalu memerlihatan
bagaimana cara membuka kulit polong dengan jempol dan dorong keluar semua deretan
kacang.
Sungguh menyenangkan mengeluarkan kacang dan polongnya. Pop pop pip keluar ke dalam
wadah.

Setelah itu, Ibu mengulek kacang bergantian dengan Anang. Ibu mencampur kacang yang
telah diulek dengan beberapa bahan lain. Lalu dicetak dengan cetakan kue. Ada yang
berbentuk hati, bebek, dan sebagainya. Anang suka sekali mencetak adonan kue.

Kue-kue itu lalu dimasukkan ke dalam oven di atas kompor. Tentu saja bukan oven listrik.

“Bu, apa ini sudah waktunya makan siang?” tanya Anang.

“Belum. Kita masih ada waktu untuk main dulu,” kata Ibu.

Jadi, Anang duduk di meja dapur dan bermain empat macam permainan. Congklak, halma,
ular tangga dan ludo. Anang heran, Ibu ternyata masih menyimpan permainan kuno di dalam
lemarinya.

Ibu menang di 2 permainan pertama, congklak dan halma. Anang memang belum terlalu
pintar main kedua permainan itu. Namun Anang menang di 2 permainan terakhir. Anang
merasa dadu yang dilemparnya itu kasihan padanya, sehingga membuat ia menang saat
bermain ludo dan ular tangga.

Ketika permainan terakhir selesai, langit semakin gelap bagai malam dan hujan turun deras
sekali disertai angin kencang.

Ibu menyalakan lilin saat mereka berdua makan siang. Ibu dan Anang juga mencuci piring
dengan penerangan lilin.

“Sekarang,” kata Ibu, “Tolong bacakan sesuatu untuk Ibu sementara Ibu menyiapkan makan
malam. Ibu mau bikin semur daging.”

Anang memilih sebuah buku yang sering dibacakan ibunya ketika ia masih kecil dulu. Buku
bergambar kelinci yang sangat lucu. Buku itu berisi cerita tentang persahabatan kelinci,
ayam, tikus, dan seekor burung kecil yang tinggal di taman yang sama. Anang meniru cara
ibunya mendongeng dulu. Ia meniru suara hewan-hewan itu.

Saat akan meniru suara kelinci, Anang tertawa terbahak karena ia tak pernah mendengar
suara kelinci. Akhirnya, ia hanya menirukan gerakan kelinci. Hidung yang bergerak-gerak,
kepala yang menoleh cepat ke kiri dan kanan.

Anang tertawa terbahak saat bercerita. Ibu juga. Untung Ibu masih bisa mengaduk
masakannya dengan benar.

Tak lama kemudian, Ayah pulang. Anang dan Ibu lega, karena Ayah pulang sebelum angin
dan badai bertiup lebih kencang.

“Betul-betul cuaca buruk hari ini,” kata Ayah. “Tapi Ibu dan Anang kelihatannya nyaman
sekali di rumah. Ada harum kue dan makanan juga. Apa saja yang Ibu dan Anang lakukan di
rumah?”
“Banyak sekali!” kata Anang. “Aku dan Ibu melakukan pekerjaan untuk satu minggu hari ini.
Aku jadi heran. Bu, kenapa kita bisa melakukan banyak hal hari ini? Aku membereskan
kamar. Bermain 4 permainan dengan ibu. Membuat kue kacang. Dan membaca tiga buku
cerita untuk Ibu!”

Ibu tertawa.

“Ibu juga tidak tahu, kenapa bisa begini, ya! Hari ini, sama seperti hari-hari ketika Ibu kecil
dulu. Dalam sehari, Ibu bisa melakukan banyak hal dengan nenek, seperti kita tadi. Mungkin,
kita bisa punya banyak waktu bersama karena benda-benda hiburan modern tidak sebanyak
jaman sekarang.”

Anang memikirkan hal itu. Ia kini mengerti. Tanpa televisi, smartphone, tablet, mesin cuci,
oven listrik, ia dan Ibu jadi bisa melakukan banyak hal berdua bersama. Mereka bisa saling
tolong menolong. Mungkin itu maksud ibu, anang tidak terlalu yakin.

Kini Anang tahu. Ibu samasekali tidak lupa, seperti apa kehidupannya ketika masih kecil
dulu.

Anda mungkin juga menyukai