Lapkas CML
Lapkas CML
PENDAHULUAN
1.1
Definisi
Leukemia
adalah penyakit
neoplastik yang
ditandai
dengan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)
Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang
menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik
(lingkungan).
a. Faktor Instrinsik
- Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat
pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada
suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson
(1982) yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi
insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang
terserang dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik
(monozigot), (Agung ,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan
fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah
kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter
dan sindrom turner.
- Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem
imunitas
tubuh
kita
memiliki
kemampuan
untuk
mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem
tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya
2
dan
Diperkirakan
10
penyakit
%
Hodgkin
penderita
yang
mendapat
terapi
leukemia
memiliki
latar
radiasi.
belakang
Patogenesis
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu
reciprocal translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan
kromosom 22 abnormal yang disebabkan oleh translokasi sebagian materi
genetik pada bagian lengan
panjang (q) kromosom 22 ke
kromosom 9, dan translokasi
resiprokal bagian kromosom 9,
termasuk onkogen ABL, ke
region
klaster
(breakpoint
breakpoint
cluster
region,
sehingga
2.4
kronik, CGL).
Leukemia mieloid kronik, Ph negative (CML, Ph-)
Leukemia myeloid kronik juvenilis
Leukemia netrofilik kronik
Leukemia eosinofilik
Leukemia mielomonositik kronik (CMML)
Tetapi, sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML, Ph+ (I
Made, 2006).
Fase Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)
dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase
ini leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh
5
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al.,
(2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
a.
Fase kronik terdiri atas :
1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4. Gejala gout atau gangguan ginjal yang
disebabkan
oleh
bulan.
Pemeriksaan Penunjang
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,
yaitu :
a. Laboratorium
- Darah rutin :
Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut
rendah.
Gambaran sumsum tulang
Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya
mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap
seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan
mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase
-
Gambar 2.1
eosinophilia,
basofilia,
Gambar 2.2
Gambaran apusan darah tepi dengan perbesaran
1000x menunjukkan promielosit, eosinofil,3
basofil, netrofil batang dan segmen.
Gambar 2.3
Gambar 2.4
2.7
menurun.
Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan.
David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk
Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum
tulang berinti.
2. Basofil darah tepi >20%.
3. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif
terhadap terapi.
4. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).
- Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :
1. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang
berinti.
2. Proliferasi blast ekstrameduler.
3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I
Made,2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada
trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan
CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph kromosom seperti halnya
yang selalu ditemukan Ph kromosom pada penderita CML. Untuk fase krisis
blast yaitu leukemia mieloid akut dan sindrom mielodislasia (Victor et al.,
2006).
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada
kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering dijumpai
pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph
kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang
menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan
meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan
makrofag (Victor et al., 2006).
2.8
Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
1. Fase Kronik
11
BAB III
PENUTUP
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk
kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong
sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia
myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic
leukemia (I Made, 2006).
CML merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik
yang paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat
Leukemia kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic
Lymphocytic Leukemia). CML dapat terjadi karena adanya resiprokal
translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan ciri khas adanya
kromosom Philadelphia (Ph). Dibagi menjadi tiga fase dalam perjalan
penyakitnya dan juga digunakan untuk menentukan terapi yaitu fase kronik,
fase akselerasi, fase krisis blast (I Made, 2006; Atul & Victor, 2005).
CML dapat di terapi dengan berbagai cara seperti : pemberian busulfan,
pemberian hydroxyurea, pemberian Imatinib mesylate, pemberian Interferon
alpha, terapi dengan radiasi, dan dengan cara transplantasi sumsum tulang
(Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I Made, 2006).
Prognosis pada CML, yaitu sekitar 20-30% penderita meninggal dalam
waktu 2 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25%
meninggal setiap tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4
tahun atau lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya
meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata
setelah krisis
blast hanya
bulan,
tetapi
kemoterapi
kadang
bisa
12
13